Upload
meutiaayudila
View
82
Download
14
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ph
Citation preview
Makalah
Komunikasi Efektif dalam Kesehatan Multikultural
Pembimbing:
Dr.dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes
Disusun oleh:
Meutia Ayudila
100100154
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/
ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN/
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan tepat pada
waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis menyajikan makalah mengenai Komunikasi
Efektif dalam Kesehatan Multikultural. Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior Departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr.dr.Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes atas kesediaan
beliau sebagai pembimbing dalam penulisan makalah ini. Besar harapan, melalui
makalah ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Komunikasi Efektif
dalam Kesehatan Multikultural semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan makalah ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai
pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga
makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang kesehatan.
Medan, Maret 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang............................................................................... 1
1.2. Tujuan ............................................................................................ 2
1.3. Manfaat.......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 3
2.1. Komunikasi.................................................................................... 3
2.1.1. Klasifikasi Komunikasi........................................................ 3
2.1.2. Komunikasi dokter-pasien................................................... 4
2.1.3. Komunikasi Efektif.............................................................. 8
2.2. Multikultural.................................................................................. 10
2.2.1. Pengertian Multikultural...................................................... 10
2.2.2. Masyarakat Multikultural..................................................... 12
2.2.3. Masyarakat Indonesia yang Multikultural........................... 13
2.2.4. Kesehatan Multikultural....................................................... 15
2.2.5. Komunikasi Efektif dalam Kesehatan Multikultural........... 17
BAB III KESIMPULAN............................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Siapa orang yang tidak pernah sakit? Pasti semua orang pernah sakit dan
melakukan proses penyembuhan. Kesehatan adalah problema penting masyarakat
urban saat ini. Perkembangan dunia medis yang sedemikian pesat membuat dokter
dan tenaga paramedik harus mengembangkan diri dan kemampuannya untuk
dapat mengimbangi teknologi tersebut baik secara praktik maupun teori
(Prisgunanto, I, 2012).
Inti permasalahan pengobatan itu adalah adanya interaksi yang baik antara
dokter dengan pasien. Bagaimana dokter memahami keluhan dan apa yang
dirasakan oleh pasien dan juga bagaimana pasien dapat mengungkapkan keluhan
yang ada di dalam dirinya dengan mudah dan tepat. Dengan demikian jelas bahwa
permasalahan utama adalah soal komunikasi antara dokter dan pasien
(Prisgunanto, I, 2012).
Dalam profesi kedokteran, komunikasi dokter-pasien merupakan salah satu
kompetensi yang harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi menentukan
keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien. Selama ini
kompetensi komunikasi dapat dikatakan terabaikan, baik dalam pendidikan maupun
dalam praktik kedokteran/kedokteran gigi (Konsil Kedokteran Indonesia, 2006).
Bagaimana orang bisa memahami orang lain bila tidak berkomunikasi satu
dengan yang lain. Dalam hal ini berkomunikasi juga tidak hanya soal
berkomunikasi antar pribadi melainkan secara budaya (Prisgunanto, I, 2012).
Budaya adalah sebuah kompleks dan fenomena sosial yang memiliki
pengaruh kuat di semua aspek kehidupan modern menurut Geertz, Gudykunst,
Ting-Toomey, & Chua (Kreps, GL & Kunimoto, EN, 2011).
Budaya dapat dilihat sebagai pola keyakinan belajar dan perilaku yang
terdapat di antara kelompok-kelompok yaitu pikiran, gaya berkomunikasi, cara
berinteraksi, pandangan tentang peran dan hubungan, nilai-nilai, praktek, dan adat
istiadat. Kita semua dipengaruhi oleh beberapa budaya, ras dan etnis. Budaya
1
dalam pribadi kita tumbuh dan berubah terus-menerus seiring waktu (Washington
State Department of Health, 2010).
Dokter dan pasien menyadari bahwa budaya adalah sebuah faktor yang
penting dalam kualitas layanan. Para dokter melihat kurangnya pemahaman dari
sebuah kebudayaan sebagai menghambat kemampuan mereka untuk
mengumpulkan informasi dan mendapatkan kepatuhan dari pasien. Beberapa
dokter mengakui konteks budaya sebagai salah satu komponen penting dalam
penyembuhan. Dokter percaya bahwa mereka butuh bantuan untuk memahami
aspek yang relevan bagi pasien mereka dan latar belakang budaya keidupan pasien
mereka (Cave, A, et al, 1995).
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan
memahami tentang Komunikasi Efektif dalam Kesehatan Multikultural dan untuk
memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara
umumnya agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai
Komunikasi Efektif dalam Kesehatan Multikultural.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi
Secara umum, definisi komunikasi adalah “Sebuah proses penyampaian
pikiran-pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara
tertentu sehingga orang lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh
penyampai pikiran-pikiran atau informasi” menurut Komaruddin, 1994;
Schermerhorn, Hunt & Osborn, 1994; Koontz & Weihrich, (1988) (Konsil
Kedokteran Indonesia, 2006).
Komunikasi dokter-pasien adalah hubungan yang berlangsung antara
dokter/dokter gigi dengan pasiennya selama proses
pemeriksaan/pengobatan/perawatan yang terjadi di ruang praktik perorangan,
poliklinik, rumah sakit, dan puskesmas dalam rangka membantu menyelesaikan
masalah kesehatan pasien (Konsil Kedokteran Indonesia, 2006).
Menurut Ganjar (2009) komunikasi bersifat fundamental dalam kehidupan
sehari-hari karena kita tidak dapat hidup tanpa berkomunikasi. Berkomunikasi
berarti menyampaikan suatu pesan dari sumber pesan (komunikator) kepada satu
atau lebih penerima pesan (khalayak) dengan menggunakan seperangkat aturan
atau cara tertentu. Pada tingkat yang paling sederhana, komunikasi memerlukan
unsur pengirim pesan, pesan, penerima, dan media komunikasi (Arianto, 2013).
Komunikasi melalui proses penyampaian dan penerimaan pesan dari
seseorang yang dibagi kepada orang lain. Berkomunikasi berarti membantu
menyampaikan pesan untuk kemudian diketahui dan dipahami bersama. Pesan
dalam komunikasi digunakan dalam memilih dan pengambilan keputusan
(Arianto,2013).
2.1.1. Klasifikasi Komunikasi
Komunikasi bersifat sosial dalam masyarakat sehari-hari sering
berlangsung secara verbal atau berlangsung secara langsung yaitu melalui
percakapan dan atau bahasa tertulis, tetapi komunikasi nonverbal juga memainkan
3
peran penting dalam komunikasi sehari-hari. Komunikasi nonverbal meliputi,
ekspresi muka, bahasa tubuh atau gerak gerik, postur tubuh samai kepada pakaian
yanh digunakan berkonstribusi terhadap pesan yang diterima (Arianto, 2013).
Dalam kasus komunikasi antarpribadi dapat dilakukan secara lisan atau
melalui penggunaan ragam media, yang menggunakan pesan bahasa tertulis atau
lambang/simbol. Komunikasi antarpribadi ini sering dilakukan antara dua orang
atau dalam kelompok kecil. Komunikasi ini seperti biasanya sifatnya
transaksional dalam lingkungan sosial, dalam arti bahwa individu yang terlibat
saling mempengaruhi, dipengaruhi, dan memberikan kontribusi. Demikian pula
kontek komunikasi massa, misalnya, promosi kesehatan dan kampanye kesehatan
masyarakat (Arianto, 2013).
(Konsil Kedokteran Indonesia, 2006).
2.1.2. Komunikasi Dokter-Pasien
Dalam profesi kedokteran, komunikasi dokter-pasien merupakan salah
satu kompetensi yang harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi menentukan
4
keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien. Selama ini
kompetensi komunikasi dapat dikatakan terabaikan, baik dalam pendidikan
maupun dalam praktik kedokteran/kedokteran gigi (Konsil Kedokteran Indonesia,
2006).
Komponen komunikasi dokter-pasien :
A. Dokter sebagai komunikator
Sesuai dengan pemahaman dasar komunikasi antar pribadi. bahwa
terciptanya komunikasi sangat tergantung dari kemampuan keduabelah pihak
dalam menciptakan keintiman. Oleh sebab ini dokter sebagai komunikator harus
menjadi pihak yang bisa menciptakan keintiman yang ada dalam hubungan
komunikasi kesehatan ini. Dengan demikian maka ada beberapa aspek yang perlu
diperhatikan dokter sebagai komunikator dalam berhubungan dengan pasien
sebagai komunikan harus mengutamakan sikap humanistik. seperti: Comfort
(kenyamanan). Acceptance (Diterima). Responsive (Responsif dan timbal balik).
Empathy (empatik) (Prisgunanto, I 2012).
Diketahui model komunikasi dokter dan pasien adalah (Prisgunanto, I 2012):
1. Aktif—Pasif
Di sini ada pola komunikasi dimana pasien berkedudukan sebagai
komunikan yang berkedudukan sebagai inferior. Oleh sebab ada penekanan
bahwa dokter yang superior perlu memberikan komando. Di sini pasien harus
serta merta. tanpa ada upaya perlawanan mengikuti keinginan dan perintah dokter
(Prisgunanto, I 2012).
2. Petunjuk
Di sini ada pola dokter sebagai mitra sejajar dengan pasien dalam konteks
kerjasama melawan penyakit. Pasien tidak dianggap sebagai orang yang
memerlukan informasi untuk tetap bertahan hidup dan sehat. Dokter tidak merasa
5
sebagai pihak yang superior atau dikenal dengan konsep Dewa. Mereka tidak
menganggap dirinya sebagai malaikat yang memberikan kesehatan dan mampu
mempertahankan hidup seseorang (Prisgunanto, I 2012).
3. Peran Bersama
Model hubungan yang dimaksud adalah adalah hubungan timbal balik atau
resiprokal antara dokter dan pasien. Yang diajukan dalann hubungan ini adalah
konsultasi dokter. Maksudnya dokter dianggap sebagai pihak yang netral dan
kedudukan keduanya dalam komunikasi bisa berubah-ubah. Kadang-kadang bisa
dokter menjadi inferior atau superior. Hubungan mereka tetap berjenjang atau
tidak setara, tergantung situasi dan kondisi yang ada (Prisgunanto, I 2012).
B. Ruang praktik sebagai medium
Ruang praktik dianggap sebagai medium atau sarana berkomunikasi antara
dokter dengan pasien. Dipahami bahwa dalam berinteraksi ada ruang dan waktu
yang dalam kasus ini adalah ruang praktik. Dalam konteks interaksi simbolik jelas
ruang dokter dibuat sedemikian rupa sebagai tempat pengobatan atau terapi yang
bisa membuat suasana berbeda pada pasien (Prisgunanto, I 2012).
Tata ruang yang ada di ruang praktik juga memiliki konflik yang ada.
seperti; penempatan bangku dan meja, jarak antara dokter dengan pasien, tata
pencahayaan juga udara yang masuk ke ruang itu seperti alat pendingin, hingga
aroma ruangan. Indonesia yang dikenal multikultural. tentu saja seharusnya
memunculkan tata ruang yang memang dipahami oleh masing-masing budaya.
Pada banyak tata ruang praktik dokter hanya mengikuti standar belum ada
departemen kesehatan sehingga tidak ada ada nyaman dan seperti di rumah sendiri
pada pasien dan ini menjadi kesenjangan sendiri bagi pasien dalam melakukan
pengobatan medis dari dokter (Prisgunanto, I 2012).
C. Cerita-cerita takhayul
6
Adanya kesenjangan ini malah merugikan rumah sakit. Kesenjangan
kesehatan lain Cerita-Cerita Takhayul yang dipahami dalam konteks multikultural
bahwa Indonesia penuh dengan cerita-cerita berbau mistis dianggap takhayul.
Sayangnya cerita-cerita rakyat berbau mistik. sistem kepercayaan dan kekuatan
supernatural adalah sesuai yang takhayul dan tidak perlu ditanggapi secara serius
dalam dunia kesehatan. Hal itu semua perlu dibuang jauh karena menyesatkan dan
tidak berdasarkan atas akal sehat (Prisgunanto, I 2012).
D. Pasien sebagai komunikan
Yang pertama dilihat adalah penampilan dokternya adalah yang bisa
membuat mereka merasa aman. Artinya bahwa pasien juga menilai dokter yang
memberikan pengobatan kepada mereka. Di sini penilaian lebih kepada masalah
wajah, gaya berpakaian, berbicara dan gerakan-gerakan tubuh yang lain
(Prisgunanto, I 2012).
Hal yang penting diperhatikan dokter terhadap pasien:
1. Prasangka
Pasien banyak yang memiliki prasangka kepada dokter. prasangka yang
paling besar adalah dokter adalah pihak yang memaksa untuk mencoba alat ini
dan itu di rumah sakit. sehingga biaya pengobatan menjadi besar. Demikian juga
uji coba obat yang bisa membuat orang bisa sembuh tetapi masih memiliki efek
samping yang terkadang dianggap sebagai kelalaian dokter. Inilah yang membuat
kesenjangan dan bisa memunculkan konflik komunikasi dokter dan pasien.
Prasangka ini dimiliki semua kultur di Indonesia, seperti orang Lampung paling
tidak percaya dengan dokter Jaseng atau singkatan untuk Jawa Serang
(Prisgunanto, I 2012).
7
2. Berbicara(Paralanguange)
Berbicara dokter menjadi masalah yang penting bagi pasien. karena dan
mereka berbicara bisa dipahami cocok atau tidak pasien dengan dokter tersebut
dan mereka bisa meneruskan pengobatan atau terapi atau malah
menghentikannya. Berbicara di sini akan dilihat logikanya dan cara
menyampaikannya masuk akal atau tidak? Mudah dicerna atau sulit dan lain-lain
(Prisgunanto, I 2012).
3. Sentuhan
Sentuhan ternyata dapat memberikan efek luar biasa dalarn pengobatan.
Pada penelitian ini jelas banyak pasien yang menyatakan ingin dokter melakukan
sentuhan kepada mereka. sentuhan adalah hal penting dalam pengobatan di
Indonesia, mereka menganggap dokter tidak hanya bicara dan sentuhan dianggap
sebagai bagian dan pengobatan yang dilakukan dokter (Prisgunanto, I 2012).
2.1.3. Komunikasi Efektif
Komunikasi efektif dokter-pasien merupakan pengembangan hubungan
dokter-pasien secara efektif yang berlangsung secara efisien, dengan tujuan utama
penyampaian informasi atau pemberian penjelasan yang diperlukan dalam rangka
membangun kerja sama antara dokter dengan pasien. Komunikasi yang dilakukan
secara verbal dan non-verbal menghasilkan pemahaman pasien terhadap keadaan
kesehatannya, peluang dan kendalanya, sehingga dapat bersama-sama dokter
mencari alternatif untuk mengatasi permasalahannya (Konsil Kedokteran
Indonesia, 2006).
Kemampuan seorang dokter untuk memiliki keterampilan berkomunikasi
dengan baik terhadap pasiennya untuk mencapai sejumlah tujuan yang berbeda.
Ada 3 (tiga) tujuan yang berbeda komunikasi antara dokter dan pasien, yaitu :
(1) menciptakan hubungan interpersonal yang baik (creating a good interpersonal
relationship),
(2) pertukaran informasi (exchange of information),
8
(3) pengambilan keputusan medis (medical decision making). (Arianto, 2013).
Bentuk hubungan Komunikasi antara dokter dan pasien ditekankan pada
terjadinya komunikasi efektif antara dokter dan pasien yang memberikan manfaat.
Edelmann (2000) mengidentifikasi empat faktor utama yang mungkin
mempengaruhi sifat dan efektivitas komunikasi antara dokter dan pasien, yaitu :
1. Karakteristik dokter (jenis kelamin dan pengalaman)
2. Karakteristik pasien (jenis kelamin, kelas sosial, usia, pendidikan dan keinginan
akan informasi)
3. Perbedaan antara kedua belah pihak dalam hal kelas sosial dan pendidikan
sikap, keyakinan dan harapan
4. Faktor-faktor situasional (beban pasien, tingkat kenalan dan sifat masalah yang
diajukan). (Arianto, 2013).
Dalam mengevaluasi pola kontrol komunikasi antara dokter dan pasien
menurut Roter dan Hall (1992) menggambarkan empat dasar bentuk hubungan
antara dokter dan pasien yaitu : bentuk standar (default), bentuk paternalistik
(paternalistic), konsumtif (consumerist) dan mutualistik (mutualistic) (Arianto,
2013).
Hubungan standar ditandai dengan kurangnya kontrol di kedua pihak baik
dokter maupun si pasien , dan jelas jauh dari ideal. Bentuk paternalistik ditandai
hubungan oleh dokter yang dominan dan pasien pasif, sedangkan konsumerisme
dikaitkan dengan sebaliknya, dengan itu fokus pada “hak dan kewajiban” dokter
kepada pasien. Akhirnya, bentuk hubungan mutualistik ditandai oleh berbagi
dalam pengambilan keputusan, dan sering menganjurkan jenis hubungan terbaik
untuk saling memahami (Arianto, 2013).
Hal lain yang sering dilupakan adalah bagaimana orang bisa memahami
orang lain bila tidak berkomunikasi satu dengan yang lain. Dalam hal ini
berkomunikasi juga tidak hanya soal berkomunikasi antar pribadi melainkan
secara budaya (Prisgunanto, I, 2012).
9
2.2. Multikultural
2.2.1. Pengertian Multikultural
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,
multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme
(aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan
martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya
masing-masing yang unik (Hidayah Nur,2006).
Apa itu kultural? Apa budaya? Apa artinya menjadi kompeten secara
budaya? Apa artinya budaya dalam perawatan kesehatan dan pelayanan
kesehatan? Meskipun makna "budaya" telah banyak diperdebatkan dan
didefinisikan secara luas, tema-tema tertentu yang umum muncul. "Budaya dapat
dilihat sebagai pola keyakinan belajar dan perilaku yang terdapat di antara
kelompok-kelompok yaitu pikiran, gaya berkomunikasi, cara berinteraksi,
pandangan tentang peran dan hubungan, nilai-nilai, praktek, dan adat istiadat. Kita
semua dipengaruhi oleh beberapa budaya, ras dan etnis. Budaya dalam pribadi
kita tumbuh dan berubah terus-menerus seiring waktu (Washington State
Department of Health, 2010).
Budaya merupakan istilah yang banyak dijumpai dan digunakan hampir
dalam setiap aktivitas sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa budaya begitu
dekat dengan lingkungan kita (Sutarno, 2007).
Apa yang terlintas pada pikiran Anda bila istilah ”budaya”, ”kultur” atau
”kebudayaan” itu muncul. Mungkin di pikiran kita terlintas tentang tarian-tarian,
adat istiadat suatu daerah, pakaian adat, rumah adat, lagu-lagu daerah atau ritual
peninggalan masa lalu. Hal ini sangat mungkin berbeda dengan yang dipikirkan
oleh orang Barat ketika mendengar kata yang sama. Di dunia Barat istilah budaya
juga digunakan dalam pengertian yang populer, yaitu budaya tinggi (high culture)
untuk menyebut bidang estetik (keindahan) seperti seni, drama, balet dan karya
sastra dan budaya rendah (low cultur) untuk menyebut seni yang lebih populer
seperti musik pop, dan media massa. Namun ada beberapa ciri khas budaya yang
dapat dijadikan petunjuk untuk memperoleh gambaran tentang definisi budaya
(Sutarno, 2007).
10
Dalam arti sempit budaya itu adalah kesenian (Koentjaraningrat, 2000).
Secara luas, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan
gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Kita lihat, pengertian yang dibuat oleh
Koentjaraningrat itu sangat luas yang mencakup seluruh aktivitas manusia
(Sutarno, 2007).
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa budaya itu berkaitan
dengan kata kunci yang mencakup (1) gagasan, (2) perilaku dan (3) hasil karya
manusia (Sutarno, 2007).
Unsur-Unsur Budaya
Koentjaraningrat lebih sistematis dalam memerinci unsur-unsur
kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2000: 2) adalah
sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan.
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup.
7. Sistem teknologi dan peralatan (Sutarno, 2007).
Wujud Budaya
Kalau kita perhatikan definisi budaya seperti diuraikan di atas, maka
wujud kebudayaan (Koentjaraningrat, 2000: 5) bisa terdiri dari
1. Wujud idiil (adat tata kelakuan) yang bersifat abstrak, tak dapat diraba.
Terletak di alam pikiran dari warga masyarakat di mana kebudayaan yang
bersangkutan itu hidup, yang nampak pada karangan, lagu-lagu. Fungsinya
11
adalah pengatur, penata, pengendali, dan pemberi arah kelakuan manusia
dalam masyarakat. Adat terdiri atas beberapa lapisan, yaitu sistem nilai
budaya (yang paling abstrak dan luas), sistem norma-norma (lebih kongkrit),
dan peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari (aturan sopan
santun) yang paling kongkrit dan terbatas ruang lingkupnya.
2. Wujud kedua adalah sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari manusia
itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi
yang selalu mengikuti pola tertentu. Sifatnya kongkrit, bisa diobservasi.
3. Wujud ketiga adalah kebudayaan fisik yang bersifat paling kongkrit dan
berupa benda yang dapat diraba dan dilihat.
2.2.2. Masyarakat Multikultural
Konsep masyarakat multikultural sebenarnya relatif baru. Sekitar 1970-an,
gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada. Kemudian diikuti
Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lain-lainnya (Hidayah Nur,2006).
James Banks mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap
identitas etnik atau kultural identity, yaitu :
1. Ethnic psychological captivy. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap
dalam stereotype kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang
rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya
sendiri dan menganggap budaya lainnya inferior.
2. Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkapdalam kapsul
kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain.sikap ini biasanya mempunyai
prkiraan bahwa hanya nilai-nilai kebudayaannya sendiri yang paling baik dan
paling tinggi, dan biasanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa
lain.
3. Ethnic identifities clarification. Pribadi macam ini mengembangkan sikapnya
yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan
memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk
12
mengembangkan sikap yang demikian maka seseorang lebih dahulu perlu
mengetahui beberapa kelemahan budaya atau bangsa sendiri.
4. The ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap
budaya yang datang dari etnis lainnya, seperti budayanya sendiri
5. Multicultural ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam
menghayati kebudayaan lain di lingkunga masyarakat bangsanya.
6. Globalism. Pribadi ini dapat menerima diberbagai jenis budaya dan bangsa lain
(Hidayah Nur,2006).
(Sutarno, 2007).
2.2.3. Masyarakat Indonesia yang Multikultural
Harus diakui bahwa multikulturalisme kebangsaan Indonesia belum
sepenuhnya dipahami oleh segenap warga masyarakat sesuatu yang given, takdir
Tuhan, dan bukan faktor bentukan manusia (Hidayah Nur,2006).
Indonesia adalah salah satu negara di belahan timur bumi yang kaya, baik
berupa kekayaan sumber daya alam maupun kekayaan sumber daya sosial.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh banyak ahli ilmu sosial di Indonesia,
13
tercatat sekitar 300 suku bangsa dengan bahasa, adat istiadat dan agama yang
berbeda-beda. Namun suatu hal yang membanggakan bahwa meskipun tingkat
kemajemukannya tinggi tetapi tetap kokoh sebagai suatu kesatuan. Hal ini
didasarkan pada ide atau cita-cita yang terdapat dalam lambing negara yang
dilengkapi dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Mekipun dengan semboyan
demikian, bukan berarti di dalam masyarakat Indonesia yang multikultural itu
tidak terjadi gejolak-gejolak yang mengarah kepada pepecahan dalam segala
bidang. Hal yang terpenting adalah mayoritas kelompok atau lingkungan hukum
adat yang ada mengakui dan menyadari akan kesatuan di dalam keanekaragaman
yang ada. Kebhinekaan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua cara sebagai
berikut:
A. Secara Horizontal (Diferensiasi)
1) Perbedaan Fisik atau ras
Berdasarkan perbedaan fisik atau rasnya, di Indonesia terdapat golongan-
golongan fisik penduduk sebagai berikut.
a) Golongan orang Papua Melanosoid. Golongan penduduk ini bermukim
di pulau Papua, Kei dan Aru. Mereka mempunyai cirri fisik seperti rambut
keriting, bibir tebal, dan berkulit hitam.
b) Golongan orang Mongoloid. Berdiam di sebagian besar kepulauan
Indonesia, khususnya di kepulauan Sunda besar (kawasan Indonesia Barat),
dengan cirri-ciri rambut ikal dan lurus, muka agak bulat, kulit putih hingga sawo
matang.
c) Golongan Vedoid, antara lain orang-orang Kubu, Sakai, Mentawai,
Enggano, dan Tomura dengan cirri-ciri fisik bertubuh relative kecil, kulit sawo
matang, dan rambut berombak.
2) Perbedaan suku bangsa
Di Indonesia, hidup sekitar 300 suku bangsa dengan jumlahsetiap sukunya
beragam, mulai dari beberapa ratus orang saja hingga puluhan juta orang. Suku
yang populasinya terbanyak antara lain suku Jawa, Sunda, Dayak, Batak, Minang,
Melayu, Aceh, Manado, dan Makasar. Di samping itu, terdapat pula suku bangsa
14
yang jumlah penduduknya hanya sedikit, misalnya suku Nias, Kubu, Mentawai,
Asmat dan suku lainnya.
3) Perbedaan agama
Aninisme dan dinanisme merupakan kepercayaan yang paling tua dan
berkembang sejak zaman prasejarah, sebelum bangsa Indonesia mengenal tulisan.
Agama Hindu dan agama Budha datang ke Indonesia dari daratan India sekitar
abad ke 5 SM, bukti-bukti tertulisnya ditemukan di kerajaan Kutai (Kalimantan
Timur) dan kerajaan Tarumanegara (Bogor). Agama Islam datang dari Arab Saudi
melalui India Selatan di abad ke-7. Agama Islam menjadi agama terbesar dan
dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Orang Eropa datang ke Indonesia
pada awal abad ke-19dengan membawa agama Nasrani yang kemudian hari juga
banyak dianut oleh penduduk Indonesia.
4) Perbedaan jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin adalah sesuatu yang sangat alami. Perbedaan
seperti ini tidak menunjukkan adanya tingkatan atau perbedaan kedudukan dalam
sistem sosial. Anggapan superior bagi laki-laki dan inferior bagi perempuan
adalah tidak benar. Masing-masing mempunyai peran dan tanggung jawab yang
saling membutuhkan dan melengkapi.
B. Secara Vertikal (Stratifikasi)
Perbedaan secara vertikal adalah perbedaan individu atau kelompok dalam
tingkatan-tingkatan secara hierarki, atau perbedaan dalam kelas-kelas yang
berbeda tingkatan dalam suatu sistem sosial. Perbedaan secara vertikal ini dikenal
dengan stratifikasi. Keanekaragaman dalam tingkat atau kelas sosial ini
disebabkan oleh adanya sifat yang menghargai atau menjunjung tinggi sesuatu
baik berkenaan dengan barang-barang kebutuhan, kekuasaan dalam masyarakat,
keturunan, dan pendidikan tertentu yang dapat dicapai seseorang.
2.2.4. Kesehatan Multikultural
Untuk memahami dampak dari bahasa dan budaya pada perawatan
kesehatan, penting untuk melihat isu-isu yang mempengaruhi kesehatan. Program
15
Lintas Budaya Kesehatan di Seattle telah menempatkan isu yang mempengaruhi
kesehatan di empat categories:
1. Perbedaan bahasa dan pola komunikasi non-verbal.
2. Perbedaan budaya dalam persepsi sakit, penyakit, peran dan tanggung jawab
medis.
3. preferensi Budaya untuk pengobatan penyakit.
4. Status sosial ekonomi.
Perbedaan bahasa dan pola komunikasi non-verbal mengatur panggung
untuk apa yang terjadi di pertemuan medis. Berbicara bahasa yang berbeda atau
menggunakan ekspresi non-verbal yang berbeda atau isyarat dapat menyebabkan
hambatan komunikasi yang dapat mempengaruhi layanan yang disediakan.
Mengatasi hambatan tersebut membutuhkan kerjasama dari pasien, penyedia dan
organisasi atau sistem di mana pertemuan itu berlangsung (Washington State
Department of Health, 2010).
Perbedaan budaya dalam persepsi sakit, penyakit dan peran dan tanggung
jawab medis dapat mempengaruhi jalannya dan hasil dari penyakit. Keyakinan
yang berbeda tentang penyebab, diagnosis dan pengobatan penyakit dapat menjadi
penghalang antara penyedia dan pasien (Washington State Department of Health,
2010).
Preferensi budaya untuk pengobatan penyakit berarti bahwa orang dapat
mematuhi tradisi penyembuhan masyarakat atau negara asal mereka. Ini tidak
berarti bahwa pasien tidak akan menggunakan obat-obatan Barat; Namun,
penyedia layanan kesehatan dapat menghadapi tantangan dalam membantu pasien
mengatasi keraguan tentang pengobatan Barat (Washington State Department of
Health, 2010).
Status Socioeconomic mempengaruhi kesehatan dan kesehatan karena
membatasi pilihan perawatan kesehatan dan akses ke perawatan. (Washington
State Department of Health, 2010).
Dokter keluarga memiliki pasien yang seringkali berasal dari luar jakarta.
Kebanyakan dokter yang memiliki pasien dari berbagai kota dan Negara tertarik
dengan implikasi budaya pasien-pasiennya (Cave, A, et al, 1995).
16
Studi kami menunjukkan bahwa dokter dan pasien yang tampaknya
menyadari bahwa budaya adalah sebuah faktor yang penting dalam kualitas
layanan. Para dokter melihat kurangnya pemahaman dari sebuah kebudayaan
sebagai menghambat kemampuan mereka untuk mengumpulkan informasi dan
mendapatkan kepatuhan dari pasien. Beberapa dokter mengakui konteks budaya
sebagai salah satu komponen penting dalam penyembuhan. Dokter percaya bahwa
mereka butuh bantuan untuk memahami aspek yang relevan bagi pasien mereka
dan latar belakang budaya keidupan pasien mereka (Cave, A, et al, 1995).
2.2.3. Komunikasi Efektif dalam Kesehatan Multikultural
Beberapa faktor yang berkontribusi untuk keberhasilan tenaga kesehatan
multikultural untuk mencegah dan mengatasi penyakit kronis berdasarkan
demografis adalah melakukan rekrutmen tenaga kesehatan dari berbagai
karakteristik dari budaya dan lingkungan yang berbeda, hasil studi dari suatu
komunitas yang melakukan perawatan untuk penyakit kronis, hasilnya
menegaskan bahwa tenaga kesehatan multikultural memiliki kekuatan dan
kemampuan untuk bekerja dengan efektif dengan masyarakat di banyak jaringan
sosial dan budaya (Goris, J, et al, 2013).
Bahasa dan budaya juga memiliki dampak yang besar terhadap kesehatan,
diharapkan tenaga kesehatan multikultural dapat mengatasi hambatan ini, mereka
harus memberikan bantuan sosial, pendidikan kesehatan, peningkatan layanan
sukarela dan manajemen kesehatan (Goris, J, et al, 2013).
Suatu penelitian menyimpulkan bahwa sangat besar peran budaya dalam
meningkatkan efektivitas komunikasi kesehatan antara dokter dan pasien. Hal ini
dapat dilakukan dengan memperkenalkan pola komunikasi yang telah dirancang
sedemikian rupa dengan model komunikasi dan persuasi (Kreuter, MW &
Mcclure, SM, 2004).
Meningkatnya pengakuan budaya sebagai faktor penting dalam kesehatan
masyarakat dan komunikasi kesehatan memiliki potensi untuk berkontribusi pada
pengembangan strategi baru yang lebih efektif untuk membantu menghilangkan
kesenjangan kesehatan. Namun, hasil penelitian yang mendukung hal-hal ini
17
masih sangat sedikit, sehingga sangat penting untuk melakukan penelitian tentang
peran budaya dalam komunikasi kesehatan untuk masa yang akan datang
(Kreuter, MW & Mcclure SM, 2004).
Komunikasi memainkan peran penting dalam praktek radiografi,
radiografer menyadari kebutuhan fisik dan emosional pasien yang bisa dicapai
melalui komunikasi yang efektif. Keragaman populasi pasien menciptakan
tantangan untuk penyediaan kualitas layanan kesehatan di semua segmen
penduduk. Umumnya, komunikasi multikultural di departemen radiologi efektif.
Namun, adanya kendala waktu dan kurangnya pedoman dalam komunikasi efektif
tersebut (Antwi, WK, Kyei KA & Quarcoopome LN, 2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mayoritas radiografer di Ghana
sudah baik keterampilan komunikasi dan mampu beradaptasi dengan situasi yang
berbeda dengan mencoba melakukan pendekatan sampai hasil yang diinginkan
tercapai. Umumnya, penelitian menunjukkan komunikasi multikultural yang
efektif meskipun penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
keterampilan komunikasi yang ada, menerapkan keterampilan dan pedoman yang
ada (Antwi, WK, Kyei KA & Quarcoopome LN, 2014).
Mengatasi kesenjangan ini dalam perawatan kesehatan dan hasil kesehatan
semakin menjadi prioritas pada tingkat nasional dan negara bagian. Departemen
Kesehatan berkomitmen untuk menciptakan kesetaraan kesehatan dan
didedikasikan untuk mempromosikan kompetensi budaya di antara penyedia
layanan kesehatan, untuk meningkatkan hasil yang positif bagi semua orang,
terlepas dari ras, etnis, usia, jenis kelamin atau orientasi seksual (Washington
State Department of Health, 2010).
18
BAB 3
KESIMPULAN
Komunikasi dokter dan pasien sering mengalami kegagalan dan ini yang
menyebabkan kesulitan dalam melakukan penyembuhan dan terapi pada pasien.
Dan sisi dokter sebagai komunikator diketahui bahwa Dokter terkadang tidak
memahami pasien dalam konteks diri maupun multikultural pasien tentang cara
berkomunikasi yang paling efisien kepada pasien. Kebanyakan dokter memahami
pasien dari penafsiran dan prediksi sikap yang diamati dari pasiennya saja.
Patokan yang digunakan adalah asal usia dan pendidikan pasien. Dokter masih
menganggap dirinya paling benar dan tahu oleh sebab itu kemungkinann terjadi
kesenjangan dan konflik sangat tinggi.
Kemampuan berbahasa dokter menjadi patokan apakah pasien
melanjutkan pengobatan atau tidak karena di sanalah barometer dokter bisa
memahami penyakitnya atau tidak. Deniikian juga dengan sentuhan, bahwa pasien
menyukai dokter yang melakukan sentuhan kepada pasien daripada yang tidak.
Dengan sentuhan ada rasa kenyamanan dan kedekatan dengan dokter dan tenaga
medik yang ada. Pasien ada juga yang sudah antipati dan terjadi konflik
multikultural dengan dokter. yang terjadi adalah mereka lari dari kenyataan dan
tidak percaya dengan pengobatan medis. Pengobatan yang mereka lakukan adalah
pengobatan alternatif yang dianggap bias memuaskan mereka dalam konteks
komunikasi yang masuk dalam konteks multikultural yang ada pada pasien. Oleh
sebab itu pasien terpuaskan dalam konteks komunikasi yang membawa mereka
pada kenyamanan diri dan memberikan efek pada pengobatan dan terapi yang ada.
Komunikasi kesehatan dokter dan pasien yang sukses dan
komunikatif serta berdampak positif bagi pasien. Hal ini
berdampak pada kualitas afektif dari komunikasi dokter dan
pasien merupakan penentu utama dari kepuasan pasien dan
kepatuhan terhadap pengobatan dan perawatan. Secara khusus
19
hubungan interpersonal dokter dan pasien yang baik dan
meningkat ketika konteks komunikasi interpersonal berlangsung
dengan keramahan dokter, perilaku sopan, percakapan sosial,
perilaku mendorong dan empatik, dan membangun kemitraan,
dan ekspresi empati selama konsultasi.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Antwi, WK, Kyei, KA, Quarcoopome, LN, ‘Effective of Multicultural Communication between Radiographers and Patients and Its Impact on outcome of Examinations’, World Journal of Medical Research University of Ghana, College of Health Sciences.
2. Arianto, 2013, Komunikasi Kesehatan: Komunikasi antara Dokter dan Pasien.
3. Cave, A, Maharaj, U, Gibson, N, Jackson E, 1995, ‘Physicians and Immigrant Patients, Cross-Cultural Communication’, Research Canadian Family Physician, Vol.41.
4. Goris, J, Komaric, N, Guandalini, A, Fancis, D, Hawes, E, 2012, ‘Effectiveness of Multicultural Health Workers in Chronic Disease Prevention and Self Management in Culturally and Lingustically Diverse Populations: A Systematic Literature Review’, Australian Journal of Primary Health, 19, 14-37.
5. Konsil Kedokteran Indonesia, 2006. Komunikasi Efektif Dokter-Pasien. Jakarta.
6. Kreps, GL, Kunimoto, EN, 2011, Effective Communication in Multicultural Health Care Settings, 3rd Ed, SAGE Productions, London.
7. Kreuter, MW & Mcclure SM, 2004, ‘The Role of Culture in Health Communication’, Annual Review Public Health Arjournals by Pennsylvania State University.
8. Hidayah, N, 2006, Masyarakat Multikultural. Yogyakarta.
9. Prisgunanto, I, 2012, Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi: Konflik Multikultural antara Komunikasi Dokter dan Pasien, Jakarta.
10. Sutarno, 2007. Hakikat Kebudayaan dan Pendidikan Multikultural. Jakarta.
11. Washington State Department of Health, 2010, Cultural Competency in Health Services and Care: A Guide for Health Care Providers, Washington
21