Upload
yogix-thetroubleshooter
View
160
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
definisi konsumsi
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep dan Definisi Konsumsi
Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang
dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang
yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan,
pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan
atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat
untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Dumairy, 2004).
Pengeluaran konsumsi masyarakat/rumah tangga merupakan salah satu
variabel makro ekonomi. Pengeluaran konsumsi seseorang adalah bagian dari
pendapatan yang dibelanjakan. Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua
orang dalam suatu negara dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran konsumsi
masyarakat negara yang bersangkutan. Menurut Rahardja (2001), pengeluaran
konsumsi terdiri atas konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi
masyarakat atau rumah tangga (household consumption).
Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah semua pembelian barang dan jasa
oleh rumah tangga yang tujuannya untuk dikonsumsi selama periode tertentu
dikurangi neto penjualan barang bekas. Untuk menduga pengeluaran konsumsi rumah
tangga digunakan data pendukung antara lain:
1. Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan kelompok makanan dan bukan makanan.
2. Indeks harga konsumen (IHK) untuk masing-masing kelompok komoditi dan jasa
dari bagian statistik harga konsumen.
3. Jumlah penduduk dari proyeksi hasil survey penduduk antar sensus.
2.2. Teori Konsumsi
2.2.1. Teori Konsumsi John Maynard Keynes
Dalam teorinya Keynes mengandalkan analisis statistik, dan juga membuat
dugaan-dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi kasual.
Pertama dan terpenting Keynes menduga bahwa, kecenderungan mengkonsumsi
marginal atau MPC (marginal propensity to consume) jumlah yang dikonsumsi dalam
setiap tambahan pendapatan adalah antara nol dan satu. Kecenderungan
mengkonsumsi marginal merupakan rekomendasi kebijakan Keynes untuk
menurunkan pengangguran yang kian meluas. Kekuatan kebijakan fiskal, untuk
mempengaruhi perekonomian seperti ditunjukkan oleh pengganda kebijakan fiskal
muncul dari umpan balik antara pendapatan dan konsumsi. Kedua, Keynes
menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan, yang disebut kecenderungan
mengkonsumsi rata-rata atau APC (average propensity to consume), turun ketika
pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan, sehingga ia
barharap orang kaya menabung dalam proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan
mereka ketimbang si miskin. Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan
merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki
peranan penting. Keynes menyatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap
konsumsi hanya sebatas teori.
Dalam jangka pendek orang dapat berkonsumsi dengan menggunakan
tabungan yang lalu, sehingga jika ini terjadi maka orang tersebut telah melakukan
tabungan negatif (dissaving). Berdasarkan tiga dugaan ini, persamaan konsumsi
Keynes secara matematis ditulis sebagai berikut (Mankiw, 2003):
C = a + bY, a > 0, 0 < b < 1 ..................................................(2.1)
Keterangan:
C = Pengeluaran untuk konsumsi
a = Besarnya konsumsi pada tingkat pendapatan nol
b = Besarnya tambahan konsumsi karena tambahan pendapatan atau MPC
Y = Pendapatan untuk rumah tangga individu
Secara grafis, fungsi konsumsi Keynes digambarkan sebagai berikut:
C (konsumsi) Y=C
C
Co
0 Y (Pendapatan)
Gambar 2.1. Kurva Fungsi Konsumsi Keynes
Pada Gambar 2.1 fungsi konsumsi Keynes tidak melalui titik 0 tetapi melalui
titik C0. Konsekuensinya adalah apabila pendapatan nasional meningkat akan
memberikan dampak penurunan terhadap APC. Jika hal ini terjadi maka dalam fungsi
konsumsi Keynes akan terlihat pertama, peningkatan pendapatan masih diikuti oleh
peningkatan konsumsi, kedua, pada saat garis konsumsi C memotong garis 0Y maka
peningkatan pendapatan akan diiringi penurunan APC.
2.2.2. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Permanen
Teori dengan hipotesis pendapatan permanen dikemukakan oleh Milton
Friedman. Menurut teori ini pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi 2
yaitu pendapatan permanen (permanent income) dan pendapatan sementara
(transitory income). Pengertian dari pendapatan permanen adalah:
1. Pendapatan yang selalu diterima pada setiap periode tertentu dan dapat
diperkirakan sebelumnya, misalnya pendapatan dari gaji, upah.
2. Pendapatan yang diperoleh dari semua faktor yang menentukan kekayaan
seseorang (yang menciptakan kekayaan).
Pengertian pendapatan sementara adalah pendapatan yang tidak bisa
diperkirakan sebelumnya (Guritno, 1998).
Friedman menganggap tidak ada hubungan antara pendapatan sementara
dengan pendapatan permanen, juga antara konsumsi sementara dengan konsumsi
permanen, maupun konsumsi sementara dengan pendapatan sementara. Sehingga
MPC dari pendapatan sementara sama dengan nol yang berarti bila konsumen
menerima pendapatan sementara yang positif maka tidak akan mempengaruhi
konsumsi. Demikian pula bila konsumen menerima pendapatan sementara yang
negatif maka tidak akan mengurangi konsumsi (Suparmoko, 2001).
Dalam bentuk matematis fungsi konsumsi dengan hipotesis pendapatan
permanen dapat dituliskan sebagai berikut (Reksoprayitno, 2000: 155):
Cp = kYp .......................................................................................................(2.2)
Di mana:
Cp = Konsumsi permanen
Yp = Pendapatan permanen
k = Angka konstanta yang menunjukkan bagian pendapatan
permanen yang dikonsumsi, ini berarti 0<k<1
Secara grafis fungsi konsumsi dengan hipotesis pendapatan permanen ditunjukkan
seperti pada Gambar 2.2:
Consumption of C1 Y first period A Budget Y2(t+i2) Line D H J J3
E I J2
Y1 C1 J1
C2 F G C2
O B Consumption of Y2 Y1(t+i) Second period
Gambar 2.2. Kurva Fungsi Konsumsi dengan Permanent Income Hypothesis
Gambar 2.2. menunjukkan gambar indifference curves dan budget line.
Konsumen ingin memperoleh kepuasan yang maksimum dengan mengkonsumsi
barang sesuai dengan anggarannya. Kepuasan maksimum akan tercapai saat
kemiringan kurva indiferen (slope indifference curves) sama dengan garis anggaran
(budget line). Dalam teori perilaku konsumen, indifference curves menggambarkan
dua barang yang dikonsumsi, dalam teori Permanent Income Hypotesis dua barang
yang dikonsumsi tersebut ditukar dengan konsumsi pada periode pertama dan
konsumsi pada periode kedua. Budget line diumpamakan sebagai garis pendapatan.
Ada tiga faktor yang mempengaruhinya, yaitu pendapatan pada periode pertama,
pendapatan pada periode kedua dan tingkat bunga. Pada Gambar 2.2 dapat dilihat
bahwa:
1. OA = OB = Jumlah total pendapatan untuk periode satu dan periode kedua
2. OD = Pendapatan periode pertama
3. AD = Pendapatan periode kedua yang didiscount
4. OF = Pendapatan periode kedua
5. FB = Pendapatan periode pertama yang ditambah bunga (i).
6. Pada saat pendapatan periode pertama Y1, konsumen mengkonsumsi barang pada
periode satu sebesar C1. Sisanya DE disimpan. Pada periode kedua, ketika
pendapatan hanya mencapai Y2, agar kepuasan maksimum, ia akan
mengkonsumsi sebesar C2.
7. Pada saat itu C2 > Y2, hal ini dapat terjadi karena konsumen menggunakan saving
pada periode pertama sebesar FG → FG = DE + bunga. Jadi sekarang konsumen
mencapai kepuasan yang maksimum selama dua periode, pertama ia
mengkonsumsi sebesar C1 dan pada periode kedua mengkonsumsi sebesar C2.
8. Dengan kata lain, hipotesis Friedman menjelaskan bahwa konsumsi pada saat ini
tidak tergantung pada pendapatan saat ini tetapi lebih pada Expected Normal
Income (rata-rata pendapatan normal) yang disebut sebagai permanent income.
2.2.3. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Siklus Hidup
Teori dengan hipotesis siklus hidup dikemukaan oleh Albert Ando, Richard
Brumberg dan Franco Modigliani. Dalam modelnya ketiga tokoh ini menerangkan
bahwa pola pengeluaran konsumsi masyarakat didasarkan kepada kenyataan bahwa
pola penerimaan dan pola pengeluaran konsumsi seseorang pada umumnya
dipengaruhi oleh masa dalam siklus hidupnya. Karena orang cenderung menerima
penghasilan/pendapatan yang rendah pada usia muda, tinggi pada usia menengah dan
rendah pada usia tua, maka rasio tabungan akan berfluktuasi sejalan dengan
perkembangan umur mereka yaitu orang muda akan mempunyai tabungan negatif
(dissaving), orang berumur menengah menabung dan membayar kembali pinjaman
pada masa muda mereka, dan orang usia tua akan mengambil tabungan yang
dibuatnya di masa usia menengah.
Selanjutnya Modigliani menganggap penting peranan kekayaan (assets)
sebagai penentu tingkah laku konsumsi. Konsumsi akan meningkat apabila terjadi
kenaikan nilai kekayaan seperti karena adanya inflasi maka nilai rumah dan tanah
meningkat, karena adanya kenaikan harga surat-surat berharga, atau karena
peningkatan dalam jumlah uang beredar. Sesungguhnya dalam kenyataan orang
menumpuk kekayaan sepanjang hidup mereka, dan tidak hanya orang yang sudah
pensiun saja. Apabila terjadi kenaikan dalam nilai kekayaan, maka konsumsi akan
meningkat atau dapat dipertahankan lebih lama. Akhirnya hipotesis siklus kehidupan
ini akan berarti menekan hasrat konsumsi, menekan koefisien pengganda, dan
melindungi perekonomian dari perubahan-perubahan yang tidak diharapkan
Suparmoko, 2001). Secara grafik teori konsumsi dengan hipotesis siklus hidup dapat
dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini.
Gambar 2.3. Kurva Fungsi Konsumsi dengan Hipotesis Siklus Hidup
Gambar 2.3 menjelaskan bahwa pada tahap I pada usia 0 tahun hingga t0
tahun seseorang melakukan pengeluaran konsumsinya dalam kondisi dissaving. Pada
usia t0 tahun hingga usia t1 tahun digambarkan bahwa pada usia tersebut sebenarnya
seseorang sudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi kondisinya masih
ada ketergantungan dengan orang lain. Tahap II , pada usia t1 tahun hingga usia t2
tahun menunjukkan orang berkonsumsi sepenuhnya dalam kondisi saving artinya
pengeluaran konsumsinya sudah tidak lagi tergantung pada orang lain. Dan pada
tahap III, ketika seseorang pada usia tua (sudah tidak produktif) di mana orang
tersebut tidak mampu lagi bekerja menghasilkan pendapatan sendiri, sehingga
seseorang tersebut dapat dikatakan bahwa orang berkonsumsi kembali dalam kondisi
dissaving.
2.2.4. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Relatif
James Duesenberry dalam bukunya Income, Saving and The Theory of
Consumer Behavior mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat
ditentukan oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya. Pendapatan
berkurang, konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluaran untuk konsumsi.
Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi, terpaksa mengurangi besarnya
saving. Apabila pendapatan bertambah maka konsumsi mereka juga akan bertambah,
tetapi bertambahnya tidak terlalu besar. Sedangkan saving akan bertambah besar
dengan pesatnya. Kenyataan ini terus kita jumpai sampai tingkat pendapatan tertinggi
yang pernah dicapai, tercapai kembali. Sesudah puncak dari pendapatan sebelumnya
telah dilalui, maka tambahan pendapatan akan banyak menyebabkan bertambahnya
pengeluaran untuk konsumsi, sedangkan dilain pihak bertambahnya saving tidak
begitu cepat (Reksoprayitno, 2000).
Dalam teorinya, Duesenberry menggunakan dua asumsi yaitu:
1. Selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya
pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran yang dilakukan
oleh orang sekitarnya.
2. Pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya pola pengeluaran seseorang
pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat
penghasilan mengalami penurunan (Guritno, 1998).
Bentuk fungsi konsumsi masyarakat menurut Duesenberry adalah sebagai
berikut:
C / Yt = f [ Y / Y* ] ………………………………………..................(2.3)
Di mana:
Yt = pendapatan pada tahun t
Y* = pendapatan tertinggi yang pernah dicapai pada masa lalu
Bentuk fungsi tersebut dapat dijelaskan dengan kurva seperti pada Gambar 2.4 .
Gambar 2.4. Kurva Fungsi Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Relatif
CL menunjukkan besarnya pengeluaran konsumsi jangka panjang. Apabila
pendapatan sebesar OYo, maka besarnya pengeluaran konsumsi yang terjadi adalah
BYo, apabila pendapatan mengalami penurunan dari OY0 menjadi OY1, maka
pengeluaran konsumsi tidak langsung turun ke titik E pada kurva pengeluaran jangka
panjang (C) namun ke titik A pada kurva pengeluaran konsumsi jangka pendek C1.
Dalam hal ini pada saat terjadinya penurunan pendapatan, pengeluaran konsumsi
rumah tangga tidak turun drastis melainkan bergerak turun secara perlahan.
Dari pengamatan yang dilakukan Duesenberry mengenai pendapatan relatif
secara memungkinkan terjadi suatu kondisi yang demikian, apabila seseorang
pendapatannya mengalami kenaikan maka dalam jangka pendek tidak akan langsung
menaikkan pengeluaran konsumsi secara proporsional dengan kenaikan pendapatan,
akan tetapi kenaikan pengeluaran konsumsinya lambat karena seseorang lebih
memilih untuk menambah jumlah tabungan (saving), dan sebaliknya bila pendapatan
turun seseorang tidak mudah terjebak dengan kondisi konsumsi dengan biaya tinggi
(high consumption).
2.3. Fungsi Konsumsi
Dalam teori makro ekonomi dikenal berbagai variasi tentang model fungsi
konsumsi. Fungsi konsumsi yang paling dikenal dan sangat sering ditemukan dalam
buku-buku makro ekonomi adalah fungsi konsumsi Keynesian, yaitu:
C = f (Y) ......................................................................................................(2.4)
Atau,
C = f (Y-T) ..................................................................................................(2.5)
Persamaan ini menyatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari disposable
income. Hubungan antara konsumsi dan disposable income disebut consumption
function (Mankiw, 2003).
Keynes menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat tergantung
(berbanding lurus) dengan tingkat pendapatannya. Secara lebih spesifik, Keynes
memasukkan komponen MPC ke dalam persamaan konsumsinya seperti yang telah
diuraikan pada persamaan (2.1) sebelumnya.
Teori daur hidup (life-cycle) yang terutama dikembangkan oleh Franco
Modigliani, melihat bahwa individu merencanakan perilaku konsumsi dan tabungan
mereka untuk jangka panjang dengan tujuan mengalokasikan konsumsi mereka
dengan cara terbaik yang mungkin selama masa hidup mereka. Tabungan dipandang
sebagai akibat dari keinginan individu untuk menjamin konsumsi di hari tua. Fungsi
konsumsi yang dikembangkan berdasarkan teori daur hidup adalah:
C = aWR + cYL ..........................................................................................(2.6)
di mana WR merupakan kekayaan riil, a adalah kecenderungan mengkonsumsi
marjinal dari kekayaan, YL merupakan pendapatan tenaga kerja dan c adalah
kecenderungan mengkonsumsi marjinal dari pendapatan tenaga kerja.
Milton Friedman dengan teori pendapatan permanennya mengemukakan
bahwa orang menyesuaikan perilaku konsumsi mereka dengan kesempatan konsumsi
permanen atau jangka panjang, dan bukan dengan tingkat pendapatan mereka yang
sekarang (Dornbusch and Fisher, 2004). Dalam bentuk yang paling sederhana,
hipotesis pendapatan permanen dari perilaku konsumsi berpendapat bahwa konsumsi
itu adalah proporsional terhadap pendapatan permanen, yaitu:
C = cYP .......................................................................................................(2.7)
di mana YP merupakan pendapatan permanen. Dari persamaan (2.7), konsumsi
bervariasi menurut proporsi yang sama dengan pendapatan permanen. Kenaikan 5%
dalam pendapatan permanen akan menaikkan konsumsi sebesar 5%. Lebih jauh
hipotesis Friedman menjelaskan bahwa konsumsi pada saat ini tidak tergantung pada
pendapatan saat ini tetapi pada expected normal income (rata-rata pendapatan
normal). Bentuk lain fungsi konsumsinya adalah:
C = f (YP,i)...................................................................................................(2.8)
di mana YP adalah permanent income dan i adalah real interest rate.
Berbagai teori modern tentang konsumsi lebih jauh mengkombinasikan
pembentukan ekspektasi melalui pendekatan pendapatan permanen dan pendekatan
daur hidup yang menggunakan variabel kekayaan dan demografis (Dornbusch and
Fisher, 2004). Suatu fungsi konsumsi modern yang disederhanakan akan menjadi:
C = aWR + bθYD + b(1 – θ) YD-1 ..............................................................(2.9)
di mana WR adalah kekayaan riil, YD adalah pendapatan disposable tahun ini, YD-1
adalah pendapatan disposable tahun lalu. Persamaan (2.9) memperlihatkan peranan
kekayaan yang mempunyai pengaruh penting terhadap pengeluaran konsumsi.
Konsumsi adakalanya tidak sesuai dengan yang diharapkan, hal ini terjadi
karena keterbatasan anggaran. Fisher mencoba membuat persamaan yang
menganalisis tentang batas anggaran untuk konsumsi pada dua periode, yaitu: pada
periode pertama, tabungan sama dengan pendapatan dikurangi konsumsi:
S = Y1 – C1 ................................................................................................ (2.10)
dalam periode kedua, konsumsi sama dengan akumulasi tabungan (termasuk bunga
tabungan) ditambah pendapatan periode kedua, yaitu:
C2 = (1 + r)S + Y2 ......................................................................................(2.11)
di mana r adalah tingkat bunga riil, variabel S menunjukkan tabungan atau pinjaman
dan persamaan ini berlaku dalam kedua kasus. Jika konsumsi pada periode pertama
kurang dari pendapatan periode pertama, berarti konsumen menabung dan S lebih
besar dari nol. Jika konsumsi periode pertama melebihi pendapatan periode pertama,
konsumen meminjam dan S kurang dari nol. Untuk menderivasi batas anggaran
konsumen, maka kombinasi persamaan (2.10) dan persamaan (2.11) menghasilkan
persamaan:
C2 = (1 + r) (Y1 – C1) + Y2 .........................................................................(2.12)
persamaan ini menghubungkan konsumsi selama dua periode dengan pendapatan
dalam dua periode.
2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi
Banyak ahli yang telah menguraikan pendapatnya mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi konsumsi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dan faktor
faktor yang mempengaruhi konsumsi tersebut telah dijabarkan ke dalam suatu fungsi
konsumsi yang terangkum dalam persamaan (2.1) sampai dengan (2.12) tersebut
di atas.
Begitu pentingnya bahasan tentang konsumsi sehingga banyak ahli lainnya
yang turut membahas tentang determinan konsumsi. Misalnya, Spencer (1977),
menurutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi diantaranya adalah
pendapatan disposable yang merupakan faktor utama, banyaknya anggota keluarga,
usia anggota keluarga, pendapatan yang terdahulu dan pengharapan akan pendapatan
di masa yang akan datang.
Menurut Samuelson (1999) bahwa faktor-faktor pokok yang mempengaruhi
dan menentukan jumlah pengeluaran untuk konsumsi adalah pendapatan disposable
sebagai faktor utama, pendapatan permanen dan pendapatan menurut daur hidup,
kekayaan dan faktor permanen lainnya seperti faktor sosial dan harapan tentang
kondisi ekonomi di masa yang akan datang.
Parkin (1993) sependapat dengan teori ahli-ahli lainnya bahwa pengeluaran
konsumsi rumah tangga ditentukan oleh banyak faktor. Namun menurut Parkin yang
paling penting dari faktor-faktor yang menentukan pengeluaran konsumsi hanya dua,
yaitu: pendapatan disposable dan pengharapan terhadap pendapatan di masa yang
akan datang (expected future income).
Nicholson (1991) menyatakan bahwa persentase pendapatan yang
dibelanjakan untuk pangan cenderung turun jika pendapatan meningkat. Kondisi ini
menunjukkan adanya hubungan yang terbalik antara persentase kenaikan pendapatan
dengan persentase pengeluaran untuk pangan. Keadaan ini lebih dikenal dengan
Hukum Engel (Engel’s Law).
Dalam hukum Engel dikemukakan tentang kaitan antara tingkat pendapatan
dengan pola konsumsi. Hukum ini menerangkan bahwa pendapatan disposable yang
berubah-ubah pada berbagai tingkat pendapatan, dengan naiknya tingkat pendapatan
maka persentase yang digunakan untuk sandang dan pelaksanaan rumah tangga
adalah cenderung konstan. Sementara persentase yang digunakan untuk pendidikan,
kesehatan dan rekreasi semakin bertambah.
Godam (2007) menyebutkan terdapat 3 penyebab perubahan konsumsi, yaitu:
1. Penyebab Faktor Ekonomi
a. Pendapatan
Pendapatan yang meningkat tentu saja biasanya otomatis diikuti dengan
peningkatan pengeluaran konsumsi. Contoh: seseorang yang tadinya makan
nasi beras kualitas rendah ketika mendapat pekerjaan yang menghasilkan gaji
yang besar akan meninggalkan nasi beras kualitas rendah menjadi nasi beras
kualitas tinggi. Orang yang tadinya makan sehari dua kali bisa jadi tiga kali
ketika dapat tunjangan tambahan dari pabrik.
b. Kekayaan
Kekayaan secara eksplisit maupun implisit, sering dimasukan dalam fungsi
konsumsi agregat sebagai faktor yang menentukan konsumsi. Seperti dalam
hipotesis pendapatan permanen yang dikemukakan oleh Friedman, Albert
Ando dan Franco Modigliani menyatakan bahwa hasil bersih (net worth) dari
suatu kekayaan merupakan faktor penting dalam menentukan konsumsi. Orang
kaya yang punya banyak aset riil biasanya memiliki pengeluaran konsumsi
yang besar.
c. Tingkat Bunga
Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi yang tinggi karena
orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga tetap tabungan atau
deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan banyak uang.
d. Perkiraan Masa Depan
Orang yang was-was tentang nasibnya di masa yang akan datang akan menekan
konsumsi. Biasanya seperti orang yang mau pensiun, punya anak yang butuh
biaya sekolah, ada yang sakit butuh banyak biaya perobatan, dan lain
sebagainya.
2. Penyebab Faktor Demografi
a. Komposisi Penduduk
Dalam suatu wilayah jika jumlah orang yang usia kerja produktif banyak maka
konsumsinya akan tinggi. Bila yang tinggal di kota ada banyak maka konsumsi
suatu daerah akan tinggi juga. Bila tingkat pendidikan sumber daya manusia
di wilayah itu tinggi-tinggi maka biasanya pengeluaran wilayah tersebut
menjadi tinggi.
b. Jumlah Penduduk
Jika suatu daerah jumlah orangnya sedikit sekali maka biasanya konsumsinya
sedikit. Jika orangnya ada sangat banyak maka konsumsinya sangat banyak
pula.
3. Penyebab/Faktor Lain
a. Kebiasaan Adat Sosial Budaya
Suatu kebiasaan di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat konsumsi
seseorang. Di daerah yang memegang teguh adat istiadat untuk hidup
sederhana biasanya akan memiliki tingkat konsumsi yang kecil. Sedangkan
daerah yang memiliki kebiasaan gemar pesta adat biasanya memiliki
pengeluaran yang besar.
b. Gaya Hidup Seseorang
Seseorang yang berpenghasilan rendah dapat memiliki tingkat pengeluaran
konsumsi yang tinggi jika orang itu menyukai gaya hidup yang mewah dan
gemar berhutang baik kepada orang lain maupun lembaga keuangan bank
(kredit).
Perkembangan ekonomi yang terjadi mengakibatkan bertambahnya variabel
yang dapat mempengaruhi pengeluaran konsumsi selain hal di atas antara lain:
1). Selera
Di antara orang-orang yang berumur sama dan berpendapatan sama, beberapa
orang dari mereka mengkonsumsi lebih banyak daripada yang lain. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan sikap dalam penghematan (thrift).
2). Faktor sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan dan keadaan
keluarga. Biasanya pendapatan akan tinggi pada kelompok umur muda dan terus
meninggi dan mencapai puncaknya pada umur pertengahan, dan akhirnya turun
pada kelompok tua. Demikian juga dengan pendapatan yang disisihkan (tabungan)
pada kelompok umur tua adalah rendah. Hal ini berarti bagian pendapatan yang
dikonsumsi relatif tinggi pada kelompok muda dan tua, tetapi rendah pada umur
pertengahan. Dengan adanya perbedaan proporsi pendapatan untuk konsumsi
diantara kelompok umur, maka naiknya umur rata-rata penduduk akan mengubah
fungsi konsumsi agregat.
3). Keuntungan/Kerugian capital
Keuntungan kapital yaitu dengan naiknya hasil bersih dari kapital akan mendorong
tambahnya konsumsi, sebaliknya dengan adanya kerugian kapital akan
mengurangi konsumsi.
4). Tingkat harga
Naiknya pendapatan nominal yang disertai dengan naiknya tingkat harga dengan
proporsi yang sama tidak akan mengubah konsumsi riil. Bila seseorang tidak
mengubah konsumsi riilnya walaupun ada kenaikan pendapatan nominal dan
tingkat harga secara proposional, maka ia dinamakan bebas dari ilusi uang (money
illusion) seperti halnya pendapat ekonomi kasik. Sebaliknya bila mereka
mengubah konsumsi riilnya maka dikatakan mengalami “ilusi uang” seperti yang
dikemukakan Keynes.
5). Barang tahan lama
Barang tahan lama adalah barang yang dapat dinikmati sampai pada masa yang
akan datang (biasanya lebih dari satu tahun). Adanya barang tahan lama ini
menyebabkan timbulnya fluktuasi pengeluaran konsumsi. Seseorang yang
memiliki banyak barang tahan lama seperti: lemari es, perabotan, mobil, sepeda
motor, tidak membelinya lagi dalam waktu dekat. Akibatnya pengeluaran
konsumsi untuk jenis barang seperti ini cenderung menurun pada masa (tahun)
yang akan datang. Pengeluaran konsumsi untuk jenis barang ini menjadi
berfluktuasi sepanjang waktu, sehingga pada periode tersebut pengeluaran
konsumsi secara keseluruhan juga berfluktuasi.
6). Kredit
Kredit yang diberikan oleh sektor perbankan sangat erat hubungannya dengan
pengeluaran konsumsi yang dilakukan rumah tangga. Adanya kredit menyebabkan
rumah tangga dapat membeli barang pada waktu sekarang dan pembayarannya
dilakukan di kemudian hari. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa adanya
fasilitas kredit menyebabkan rumah tangga akan melakukan konsumsi yang lebih
banyak, karena apa yang mereka beli sekarang harus dibayar dengan penghasilan
yang akan datang. Konsumen akan memperhitungkan beberapa hal dalam
melakukan pembayaran dengan cara kredit, misalnya tingkat bunga, uang muka
dan waktu pelunasannya. Tingkat bunga tidak merupakan faktor dominan dalam
memutuskan pembelian dengan cara kredit, sebagaimana faktor-faktor yang lain
seperti uang muka dan waktu pelunasan. Kenaikan uang muka akan menurunkan
jumlah uang yang harus dibayar secara kredit. Sedangkan semakin panjang waktu
pelunasan akan meningkatkan jumlah uang yang harus dibayar dengan kredit
(Suparmoko, 2001).
7). Inflasi
Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga barang secara umum
(Mankiw, 2000; Mishkin, 2004). Penyebab terjadinya inflasi dapat dilihat dari
beberapa sisi yaitu: sisi permintaan, sisi penawaran, atau campuran antara
keduanya. Secara umum, penyebab terjadinya inflasi dapat diidentifikasi menjadi
3, yakni tarikan permintaan (Demand Pull Inflation), desakan biaya (Cost Push
Inflation) atau karena inflasi negara lain yang tersalur melalui jaringan
perdagangan (imported inflation). Proses dinamika harga ini dapat berlangsung
secara natural melalui mekanisme pasar, maupun karena kebijakan. Salah satu
contoh pergerakan harga yang diakibatkan oleh kebijakan adalah kebijakan
kenaikan harga bahan bakar yang memicu kenaikan harga-harga barang dan jasa
(administered price).
Menurut Ahmad Jamli, (2001: 35) inflasi juga akan menimbulkan efek-efek
berikut kepada individu dan masyarakat yaitu:
a. Inflasi akan menurunkan pendapatan riil masyarakat berpendapatan tetap.
b. Inflasi akan mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang.
c. Memperburuk pembagian kekayaan.
d. Mempengaruhi distribusi pendapatan (equity effect)
e. Mempengaruhi alokasi faktor produksi serta produk nasional (efficiency effect
dan output effect).
8). Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)
Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Keynes bahwa faktor utama dari
konsumsi rumah tangga adalah pendapatan mutlak. Di dalam penelitian ini
pendapatan mutlak tersebut digambarkan oleh PDRB, karena PDRB jika dibagi
dengan jumlah penduduk merupakan pendapatan perkapita. Hal ini dilakukan agar
tidak terjadi efek multikolinearitas dengan faktor penduduk yang juga diukutsertakan.
PDRB baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan pada dasarnya
merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha kegiatan
ekonomi dalam suatu daerah/wilayah pada periode tertentu, atau merupakan jumlah
nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas
dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung
menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar
harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung
menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. Ada dua
metode yang dapat dipakai untuk menghitung PDRB, yaitu metode langsung dan
metode tidak langsung.
a. Metode Langsung
Penghitungan didasarkan sepenuhnya pada data daerah, hasil penghitungannya
mencakup seluruh produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh daerah
tersebut. Pemakaian metode ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan.
a) Pendekatan Produksi
PDRB merupakan jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) atau nilai barang dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu wilayah/region
dalam suatu periode tertentu, biasanya satu tahun. Sedangkan NTB adalah Nilai
Produksi Bruto (NPB/Output) dari barang dan jasa tersebut dikurangi seluruh
biaya antara yang digunakan dalam proses produksi.
b) Pendekatan Pendapatan
PDRB adalah jumlah seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah/region dalam
jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Berdasarkan pengertian tersebut,
maka NTB adalah jumlah dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan
keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak
langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB ini termasuk pula komponen
penyusutan dan pajak tak langsung neto.
c) Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah jumlah seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk konsumsi
rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan
modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor neto, di dalam suatu
wilayah/region dalam periode tertentu, biasanya satu tahun. Penghitungan NTB
bertitik tolak pada penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi.
b. Metode Tidak Langsung
Menghitung nilai tambah suatu kelompok ekonomi dengan mengalokasikan nilai
tambah nasional ke dalam masing-masing kelompok kegiatan ekonomi pada
tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar
pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.
Pemakaian kedua metode pendekatan di atas tergantung pada data yang tersedia.
Kenyataannya, kedua metode tersebut saling mendukung, karena metode langsung
akan mendorong peningkatan kualitas data daerah, sedang metode tidak langsung
akan merupakan koreksi dalam pembanding bagi data daerah.
2.5. Tinjauan Penelitian Sebelumnya
1. Susanti (2000) mengemukakan perkembangan rata-rata pengeluaran konsumsi
rumah tangga di Provinsi Aceh periode 1986–1998 sebesar 5,2% per tahun.
Pertumbuhan PDRB berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi rumah
tangga. Hal ini ditunjukkan dengan hasil regresi yaitu C = 409,160 + 0,617897
PDRB. Sehingga membuktikan bahwa setiap perubahan pada pendapatan memberi
efek terhadap perubahan konsumsi.
2. Syahruddin (2001) meneliti tentang fungsi konsumsi kenyataannya di Sumatera
Barat. Hasilnya menunjukkan konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan setelah
dikurangi pajak, jumlah penduduk, jumlah harta lancar dan harta tetap yang
dimiliki. Variabel pajak merupakan variabel paling dominan, variabel penduduk,
harta lancar dan harta tetap merupakan variabel penerang. Ketiga variabel ini
berpengaruh positif. MPC untuk keseluruhan pengamatan sebesar 0,75.
3. Marsidin, R (2002) meneliti tentang determinan pengeluaran konsumsi rumah
tangga berstatus buruh/karyawan di Indonesia: analisis data SUSENAS 2000.
Hasilnya menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengeluaran
konsumsi dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu variabel ekonomi (gaji/upah)
dan variabel non ekonomi (karakteristik demografi, pendidikan dan kesehatan).
Berdasarkan analisis inferensial dengan model regresi double log diketahui bahwa
elastisitas pendapatan terhadap pengeluaran konsumsi tergantung dari pendidikan,
usia dan daerah tempat tinggal.
4. Isyani dan Hasmarini (2003) meneliti tentang konsumsi di Indonesia tahun 1989-
2002 (Tinjauan terhadap hipotesis Keynes dan Post Keynes). Hasilnya
menunjukkan bahwa berdasarkan model PAM, elastisitas jangka panjang lebih
besar dari jangka pendek. Artinya elastisitas jangka panjang tidak dipengaruhi lagi
oleh pengeluaran konsumsi sebelumnya. Pendapatan Nasional berpengaruh
terhadap hutang luar negeri Indonesia. Suku bunga riil dan konsumsi sebelumnya
berpengaruh secara signifikan terhadap konsumsi di Indonesia.
5. Nurhayati dan Rachman (2003) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
fungsi konsumsi masyarakat di Jawa Tengah tahun 2002. Hasilnya menunjukkan
bahwa PDRB berpengaruh positif pada tingkat α = 1% dengan nilai koefisien
sebesar 0,403. Hubungan tersebut sesuai dengan teori yang ada di mana fungsi
konsumsi menunjukkan hubungan antara tingkat konsumsi dan tingkat pendapatan
di mana jika pendapatan meningkat maka konsumsi juga akan meningkat.
6. Soemartini (2007) meneliti tentang Pengaruh variabel makro terhadap perubahan
konsumsi masyarakat Indonesia periode 200-2006. Hasilnya nilai MPC periode
1983.1-1996.1, mengalami perubahan yakni pada periode 1983.1-1988.4 disaat
kebijakan pemerintah (Pakto 1988) belum diberlakukan sebesar 0.6428, sedangkan
nilai MPC setelah berlakunya Pakto 1988, sebesar 0.6131. Pendapatan permanen
dan tingkat tabungan berpengaruh positif dan nyata terhadap pengeluaran
konsumsi. Nilai tukar riil, inflasi dan tingkat bunga tahun sebelumnya memberikan
pengaruh yang negatif dan nyata terhadap pertumbuhan konsumsi.
7. Khairani (2009) meneliti tentang determinan konsumsi masyarakat di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan Pendapatan Nasional berpengaruh positif dan
signifikan terhadap konsumsi masyarakat di Indonesia dengan nilai MPC sebesar
0,431. Inflasi mempunyai hubungan yang positif terhadap variabel konsumsi
masyarakat. Tingkat suku bunga deposito berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap konsumsi masyarakat di Indonesia. Sumbangan pengeluaran konsumsi
masyarakat terhadap PDB adalah yang terbesar dengan porsi sebesar 60%.
8. Fauzana (2009) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran
konsumsi rumah tangga di Jawa Barat (1990-2003). Hasilnya menunjukkan bahwa
pengaruh tingkat pendapatan keluarga serta jumlah anggota keluarga lemah
terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga.
2.6. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan perumusan masalah, landasan teori dan berbagai penelitian
sebelumnya, maka dibentuk suatu kerangka pemikiran penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.5. Kerangka Pikir Pengaruh Variabel Makro terhadap Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Kabupaten/Kota di Sumatera Utara
2.7. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka dapat dirumuskan hipotesis yaitu:
1. PDRB berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, ceteris paribus.
2. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, ceteris paribus.
3. Kredit konsumsi berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, ceteris paribus.
4. Tingkat bunga kredit konsumsi berpengaruh negatif terhadap pengeluaran
konsumsi masyarakat kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, ceteris paribus.
PDRB
Penduduk
Kredit Konsumsi
Konsumsi Masyarakat
Kabupaten/Kota
Tingkat Bunga Kredit Konsumsi