Upload
yurike-maani
View
32
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
semoga bermanfaat
Citation preview
Pendekatan DiagnostiK Keluarga untuk Kasus Infeksi Pernapasan Akut (ISPA)
Pendahuluan
Tujuan pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada Sistem Kesehatan Nasional
adalah suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia
guna mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal yang mana dikatakan bahwa peningkatan derajat kesehatan
masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan,
tindakan serta bawaan (congenital). Hidup sehat merupakan hak yang dimilki oleh setiap
manusia yang ada didunia ini, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya
(Anonim, 2007).
Sebagai upaya untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, pemerintah telah
menyusun berbagai program pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain kegiatan
pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif di semua aspek lingkungan kegiatan pelayanan kesehatan.
Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator,
salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang
telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44
per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Anonim, 2008).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40
per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut
WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian
tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama
kematian dengan membunuh 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan
pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering
berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang
dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai
penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh
kematian balita (Anonim, 2008).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung
selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian,
dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran
bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura
(Anonim, 2007).
Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti
dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran
bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera
diobati. Usia Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran
pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih
tinggi pada balita di negara berkembang.
Penemuan penderita ISPA pada balita di Sulawesi Tenggara, sejak tahun 2006
hingga 2008, berturut–turut adalah 74.278 kasus (36,26 %), 62.126 kasus (31,45%),
72.537 kasus (35,94%) (Anonim, 2008). Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA
merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup
tinggi, sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari
masyarakat maupun petugas, terutama tentang beberapa faktor yang mempengaruhi
derajat kesehatan. Menurut Hendrik Blum dalam Notoatmodjo, 1996, faktor-faktor yang
mempengaruhi derajat kesehatan antara lain faktor lingkungan seperti asap dapur, faktor
prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, faktor pelayanan kesehatan
seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR dan faktor keturunan.
Asap dapur dan faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah
sangat berpengaruh karena semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat
merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah
perempuan dan anak-anak, sedangkan faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi,
ASI Ekslusif dan BBLR merupakan faktor yang dapat membantu mencegah terjadinya
penyakit infeksi seperti gangguan pernapasan sehingga tidak mudah menjadi parah
(Anonim, 2007).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini diadaptasi
dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA
meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai
berikut:
1) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara
anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah
(termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan
ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract).
3) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang
dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
A. Gejala ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena
menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau
stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung,
yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta
demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah.
Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi
yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran
tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radangparu).
B. Cara Penularan Penyakit ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA
ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah
cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda
terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui
kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah
karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme
penyebab.
C. Diagnosa ISPA
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak
biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum
memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab
pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen
darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pnemonia.
Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri
penyebab pnemonia pada balita, namun disisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan
bertentangan dengan etika (terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan
pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia
mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO), bahwa Streptococcus,
Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada
penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju pnemonia pada balita
disebabkan oleh virus.Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan
atau kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur.
Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan dengan
menggunkan sound timer. Batas nafas cepat adalah :
1) Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau
lebih.
2) Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit
atau lebih.
3) Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per menit
atau lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai dengan
adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau
adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan
penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang
disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan
pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis,
tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia lainnya.
Klasifikasi ISPA
Klasifikasi Berdasarkan Umur
1) Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :
a. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu
(jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau
sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38ºC atau lebih) atau
suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernafasan cepat 60 kali atau lebih per
menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea,
distensi abdomen dan abdomen tegang.
b. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per menit
dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.
2) Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :
a. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan sianosis
sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit
dibangunkan.
b. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada, tetapi
tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
c. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa penarikan
dinding dada.
d. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa
pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
e. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun telah
diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan antibiotik yang
sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi pernafasan yang tinggi,
dan demam ringan.
Epidemiologi Penyakit ISPA
Distribusi Penyakit ISPA
A. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Orang
Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan tubuh anak sangat
berbeda dengan orang dewasa karena sistim pertahanan tubuhnya belum kuat. Kalau di
dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih mudah
tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit pun
menjadi lebih cepat. Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 6-8 kali
penyakit ISPA. Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk dengan menganalisa data Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1998, didapatkan bahwa prevalensi penyakit ISPA
berdasarkan umur balita adalah untuk usia <6 bulan (4,5%), 6-11 bulan (11,5%), 12-23
bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan (9,2%), 48-59 bulan (8,0%).
Berdasarkan hasil penelitian Ridwan Daulay di Medan pada tahun 1999 mendapatkan
bahwa kejadian ISPA atas tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan, sedangkan
ISPA bawah pada umur < 6 tahun lebih sering pada anak lakilaki. 18 Sesuai dengan
penelitian Djaja, dkk (2001) prevalensi ISPA pada anak laki laki (9,4%) hampir sama
dengan perempuan (9,3%).
B. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Tempat
ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan penyebab morbiditas utama
pada negara maju sedangkan di negara berkembang morbiditasnya relatif lebih kecil
tetapi mortalitasnya lebih tinggi terutama disebabkan oleh ISPA bagian bawah atau
pneumonia.
Menurut penelitian Djaja, dkk (2001) didapatkan bahwa prevalensi ISPA di perkotaan
(11,2%), sementara di pedesaan (8,4%); di Jawa-Bali (10,7%), sementara di luar Jawa-
bali (7,8%).6 Berdasarkan klasifikasi daerah prevalensi ISPA untuk daerah tidak
tertinggal (9,7%), sementara di daerah tertinggal (8,4%).
C. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Waktu
Berdasarkan hasil kesepakatan Declaration of the World Summit for Children pada 30
desember 1999 di New York, AS ditargetkan bahwa penurunan kematian akibat
pneumonia balita sampai 33% pada tahun 1994-1999. Sedangkan di Indonesia sendiri
oleh Dirjen PPM & PL menargetkan bahwa angka kematian balita akibat penyakit ISPA 5
per 1000 pada tahun 2000 akan diturunkan menjadi 3 per 1000 pada akhir tahun 2005.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, terlihat bahwa cakupan pneumonia
penderita dan pengobatan dari target (perkiraan penderita) masih relatif rendah, tahun
2000 ada 30,1%; tahun 2001 ada 25%; tahun 2002 ada 22,1%; tahun 2003 ada 30%;
tahun 2004 ada 36%; tahun 2005 ada 27,7%. Hasil pantauan yang dilakukan ini belum
menggambarkan kondisi yang sebenarnya oleh karena masih ada beberapa wilayah yang
belum menyampaikan laporannya. Penelitian Septri Anti (2007), dari catatan bulanan
program P2 ISPA Kota
Medan tahun 2002-2006 didapatkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi linier
terdapat nilai signifikan sebesar 0,552 (>0,05), tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara waktu dengan jumlah penderita ISPA pada balita, hal ini berarti bahwa adanya
kecenderungan peningkatan jumlah balita penderita ISPA, dimana penderita penyakit
ISPA pada tahun 2002 berjumlah 8.836 orang dan pada tahun 2007 mencapai 9.412
orang.
Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA
a. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara akut
atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan sinusitis.
Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek,
merupakan penyakit virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah
virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo.Berdasarkan hasil penelitian Isbagio (2003),
mendapatkan bahwa bakteri Streptococcus pneumonie adalah bakteri yang menyebabkan
sebagian besar kematian 4 juta balita setiap tahun di negara berkembang. Isbagio ini
mengutip penelitian WHO dan UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95%
S.pneumococcus kehilangan sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika, hampir 50%
dari bakteri yang diperiksa resisten terhadap kotrimoksasol yang merupakan pilihan untuk
mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian pula di Arab Saudi dan Spanyol 60% S.
pneumonie ditemukan resisten terhadap antibiotika.Berdasarkan hasil penelitian Parhusip
(2004), yang meneliti spektrum dari 101 penderita infeksi saluran pernafasan bagian
bawah di BP4 Medan didapatkan bahwa semua penderita terlihat hasil biakan positif,
pada dua penderita dijumpai tumbuh dua galur bakteri sedangkan yang lainnya hanya
tumbuh satu galur. Bakteri gram positif dijumpai sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri
gram negatif 49 galur (47,6%).Dari hasil biakan terlihat bahwa yang terbanyak adalah
bakteri Streptococcus viridans 38 galur sebesar 36,89%, diikuti oleh Enterobacter
aerogens 19 galur sebesar 18,45%, Pseudomonas aureginosa 16 galur sebesar 15,53%,
Klebsiella sp 14 galur sebesar 13,59%, Stapilococcus aureus 13 galur sebesar 12,62%,
Pneumococcus 2 galur sebesar 1,94%, dan Sreptococcus pneumonie 1 galur sebesar
0,97%.21
b. Manusia
Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah 2
tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan
anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun
imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit.Berdasarkan
hasil penelitian Maya di RS Haji Medan (2004), didapatkan bahwa proporsi balita
penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun 1998 sampai tahun 2002 terbesar
pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah 91,1%,22 demikian juga penelitian
Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006, didapatkan bahwa proporsi balita penderita
pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun sebesar 82,1%,
sementara kelompok umur <2 bulan sebesar 17,9%.
Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian ISPA
lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, terutama
anak usia muda, dibawah 6 tahun. Menurut Glenzen dan Deeny, anak laki-laki lebih
rentan terhadap ISPA yang lebih berat, dibandingkan dengan anak perempuan.
Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama
kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang
meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi yang
kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat
memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Hasil
penelitian Dewi, dkk (1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain cross sectional
didapatkan bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk mempunyai risiko
pneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi
baik/normal. Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk keperluan Pemantauan
Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat badan terhadap umur. Status
gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD
Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD
Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD
Gizi Buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.26
Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir
<2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka
kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat ≥2500 gram saat lahir selama tahun
pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian terbesar akibat infeksi
pada bayi baru lahir.
Status ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan
faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama
minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal
mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan
sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi (0-12
bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan padat. Pada enam
bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa
diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan makanan
pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika anak
tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi postnatal.
Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit
menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya
imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya
terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak. Imunisasi bermanfaat untuk
mencegah beberapa jenis penyakit seperti, POLIO (lumpuh layu), TBC (batuk
berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, pertusis. Bahkan imunisasi juga dapat
mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Berdasarkan hasil
penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kejadian pneumonia pada balita dengan status imunisasi. Hasil uji
statistik diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%; 2.929 – 4.413), artinya anak balita yang
menderita pneumonia risikonya 2,5 kali lebih besar pada anak yang status
imunisasinya tidak lengkap.
c. Lingkungan
1. Kelembaban Ruangan
Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan
perumahan menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40-
70%, optimum 60%. Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan
(2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan
berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi,
diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya
kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko
terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali.
2. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-
300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan
rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.
3. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan
O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang
bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.30 Sirkulasi udara dalam rumah
akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal
10% dari luas lantai.
4. Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni dalam rumah dibedakan atas 5 kategori yaitu, ≤3,9
m2/orang, 4-4,9 m2/orang, 5-6,9 m2/orang, 7-8 m2/orang, ≥9 m2/orang. Dikatakan
padat jika luas lantai rumah ≤3,9 m2/orang, dan tidak padat jika luas lantai rumah ≥4
m2/orang.31 Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004)
menemukan proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang
tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang
tidak padat.Berdasarkan hasil penelitian Chahaya tahun 2004, kepadatan hunian
rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.
5. Penggunaan Anti Nyamuk
Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk
dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau
tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak
mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan
pernafasan.
6. Bahan Bakar Untuk Memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan
kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak
memenuhi standar nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya
peningkatan penyakit paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta
kematian.
7. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap
rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain
Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain.
Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan
prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau
97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki 32,67% atau
31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814 penduduk.
Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah
sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%. Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar
69,5%, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-
14 tahun sebesar 70,5%. Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur
muda disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan orang tua ataupun
saudaranya yang merokok dalam rumah.
8. Status Ekonomi dan Pendidikan
Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu
individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap
penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut. Untuk
bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan
diterima oleh anaknya. Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan
bahwa bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah
besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih
banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status ekonomi
tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan
dengan ibu yang status ekonominya rendah.Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan
lebih banyak membawa anak berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan
pendidikan rendah lebih banyak mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat
ke dukun. Ibu yang berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak
membawa anaknya ke pelayanan kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu
yang tidak bersekolah, hal ini disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih
mengenal gejala penyakit yang diderita oleh balitanya.
d. Pencegahan Penyakit ISPA
Penyelenggaraan Program P2 ISPA dititikberatkan pada penemuan dan pengobatan
penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat terutama kader,
dengan dukungan pelayanan kesehatan dan rujukan secara terpadu di sarana kesehatan
yang terkait.
1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap
sebagai strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia. Termasuk disini
ialah :
a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan
dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat
meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa
penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi,
penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan
rumah, penyuluhan bahaya rokok.
b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka
kesakitan (insiden) pneumonia.
c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah
polusi di dalam maupun di luar rumah.
2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini
mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu :
a. Untuk kelompok umur < 2 bulan, pengobatannya meliputi :
- Pneumonia Berat: rawat dirumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami
sianosi sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang
hebat), terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenisilin dan gentamisin
atau kanamisin.
- Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, nasihati ibu
untuk menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan
bersihkan sumbatan pada hidung jika sumbatan itu menggangu saat memberi
makan.
b. Untuk kelompok umur 2 bulan - <5 tahun, pengobatannya meliputi :
- Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi
antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6
jam. Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari),
pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi,
perawatan suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang dua
kali sehari.
- Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik
dengan memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling
sedikit selama 3 hari, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati
pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari.
- Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan
kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain
intramuskular per hari, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah,
obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari.
- Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik
sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati
demam, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah.
- Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan
memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya
infeksi pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang.
3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak
bertambah parah dan mengakibatkan kematian.
- Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian kloram
fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloksasilin
ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia stafilokokus.
- Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin
dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzipenisilin
kemudian periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak
masih menunjukkan tanda pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka
cari penyebab pneumonia persistensi. Pneumonia: Coba untuk melihat kembali
anak setelah 2 hari dan periksa adanya tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih
lambat, demam berkurang, nafsu makan membaik. Nilai kembali dan kemudian
putuskan jika anak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada atau tanda
penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan ini yaitu rawat, obati sebagai
pneumonia berat atau pneumonia sangat berat. Jika anak tidak membaik sama
sekali tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau tanda lain penyakit sangat
berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.
e. Penanganan Penyakit ISPA
Hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh ISPbA,
paling sering adalah pneumonia. Bayi baru lahir dan bayi berusia satu bulan atau disebut
’bayi muda’ yang menderita pneumonia dapat tidak mengalami batuk dan frekuensi
pernfasannya secara normal sering melebihi 50 kali permenit. Infeksi bakteri pada
kelompok usia ini dapat hanya menampakkan tanda klinis yang spesifik, sehingga sulit
untuk membedakan pneumonia dari sepsis dan meningitis. Infeksi ini dapat cepat fatal
pada bayi muda yang telah diobati dengan sebaik-baiknya di rumah sakit dengan
antibiotik parenteral. Cara yang paling efektif untuk mengurangi angka kematian karena
pneumonia adalah dengan memperbaiki manajemen kasus dan memastikan adanya
penyediaan antibiotik yang tepat secara teratur melalui fasilitas perawatan tingkat pertama
dokter praktik umum. Langkah selanjutnya untuk mengurangi angka kematian karena
pneumonia dapat dicapai dengan menyediakan perawatan rujukan untuk anak yang
mengalami ISPA berat memerlukan oksigen, antibiotik lini II, serta keahlian klinis yang
lebih hebat
Kriteria Rumah Sehat
Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung,
dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya
baik untuk kesehatan keluarga dan individu. Rumah merupakan tempat berlindung dan
beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga yang menumbuhkan kehidupan sehat
secara fisik, mental dan sosial, sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara
produktif. Oleh karena itu keberadaan rumah yang sehat sangat diperlukan, lalu bagaimana
kriteria rumah sehat itu? kriteria rumah sehat secara umum sebagai berikut :
Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan dan ruang
gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privacy yang cukup, komunikasi yang sehat
antar anggota keluarga dan penghuni rumah.
Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan
penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas vektor
penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang berlebihan, cukup sinar matahari pagi,
terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan
penghawaan yang cukup.
Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena
keadaan luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan,
konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat
penghuninya jatuh tergelincir.
Syarat Rumah Sehat
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 829 /
Menkes/SK/VII/1999, syarat rumah sehat yaitu:
a. Lokasi
1) Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran
lahar, gelombang tsunami, longsor, dan sebagainya.
2) Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir sampah dan bekas lokasi
pertambangan.
3) Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur
pendaratan penerbangan.
b. Sarana dan Prasarana Lingkungan
1) Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi
yang aman dari kecelakaan.
2) Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit
dan memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
3) Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan sebagai berikut Konstruksi
jalan tidak membahayakan kesehatan. Konstruksi trotoar jalan tidak
membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat. Bila ada jembatan harus diberi
pagar pengaman. Lampu penerangan jalan tidak menyilaukan.
4) Tersedia sumber air bersih yang menghasilkan air secara cukup sepanjang
waktu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan kesehatan.
5) Pengelolaan pembuangan kotoran manusia dan limbah rumah tangga harus
memenuhi persyaratan kesehatan.
6) Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi persyaratan
kesehatan.
7) Memiliki akses terhadap sarana pelayanan umum dan sosial seperti keamanan,
kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan,
kesenian, dan lain sebagainya.
8) Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
9) Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadinya kontaminasi
yang dapat menimbulkan keracunan.
Demikian ada 4 kriteria rumah sehat, dari sini diharapakan dapat menjadi gambaran
kepada masyarakat tentang kriteria rumah sehat dan syarat rumah sehat yang baik sehingga
diharapakan bisa menekan terjadinya kasus-kasus penyakit maupun kecelakaan-kecelakaan
yang disebabkan oleh rumah yang kurang memenuhi syarat.
Pembahasan
A. Tinjauan kasus
Tanggal: 12 April 2012 Oleh: kelompok 5
B. Data identitas keluarga pasien
a. Biodata
Nama Bapa : Suhardin
Umur :35 tahun
Pendidikan : SD
Nama Istri : Sunariah
Umur : 28 Tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT
b. Susunan keluarga
No.Nama
anggota
Umur
L/P
Hubungan
keluarga
Pendidikan/
pekerjaanImunisasi
Keadaan
fisik
1. Suhardin L/35tahun KK SD/ sopir mobil - Sehat
2.Ny.
SunariahP/28tahun Istri
SD/ IRT (Ibu
Rumah Tangga)- Sakit
3. An. Saskia P/ 2 tahun Anak - Lengkap Sakit
4. Sehat
c. Genogram keluarga
C. Riwayat kesehatan keluarga pasien
1) Bapak : sebagai ketua keluarga ada penyakit Hipertensi dan sekarang sebagai
perokok.
2) Ibu: sebagai IRT memiliki gejala ISPA sama dengan anaknya.
3) Zaskia: flu, batuk dan demam sudah 3 hari, pernah diare pada umur < 1 tahun.
D. Data pola hidup keluarga
1. Pola kesehatan
a. Bila anggota keluarga sakit berobat ke PUSKESMAS
b. Persalinan ditolong oleh bidan di PUSKESMAS
2. Pola kebiasaan sehari-hari
a) Pola makan dan makanan
Dewasa: makan 3x/ hari sarapan tempe, tahu, telur, nasi putih. Makan siang
dengan ikan, nasi putih dan sayur. Makan malam demgan ikan, nasi putih
dan sayur.
Anak (2 tahun): makan 3-4x/ hari dengan makanan indomie 1 kali sehari dan
makanan jajan sosis dan frutamin.
Suhardin n Sunariah
Saskia
Penyediaan makanan : goreng dan rebus (lebih sering merebus)
Sering minum air (air gallon dan dimasak)
b) Pola kebersihan
Ayah: mandi 3-4x/ hari. Ganti baju dan pakaian dalam 3-4x/ hari.
Ibu: mandi 2-3x/ hari. Ganti baju dan pakaian dalam 2x/ hari.
Anak: mandi 2-3x/ hari. Ganti baju dan pakaian dalam 4-5x/ hari.
Keluarga sering cuci tangan
Sering mencuci pakaian tiga kali seminggu.
Sumber air untuk mencuci dan mandi:air sumur dan sumur bor.
E. Data keadaan lingkungan
1. Kondisi rumah dan kawasan lingkungan
1) Keluasan rumah adalah cukup luas untuk dihuni oleh 4 orang +/- 10 x 5 m2 .
2) Lantai terbuat dari semen dan di lapisi dengan tikar plastic.
3) Dinding terbuat dari papan dan sekat antara kamar dari tripleks.
4) Atap terbuat dari seng pada bagian depan dan pada bagian belakang rumah dari
rumbia.
5) Ventilasi ruang tamu karena terdapat jendela dengan ukuran 1.5 x 2 m, kamar
didepan baik karena ada jendelanya dengan ukuran 1,5 x 0,5 m, dapur tidak punya
jendela hanya kuseng untuk ventilasi, ruang tengah hanya satu jendelanya dengan
ukuran 1,5 x 0,5 m.
6) Pencahayaan pada ruang tamu bagus karena ada jendela kaca sehingga cahaya
bisa masuk, pada ruang tengah kurang baik karena hanya terdapat 1 jendela
sehingga cahaya kurang yang masuk, kamar depan bagus dan dapur
pencahayaannya baik karena ada jendela, hanya pada dua kamar yang tidak punya
jendela sehingga pencahayaan kurang dan pengap.
7) Plafon hanya terdapat pada kamar dan ruang tengah yang terbuat dari kain dan
dipasang seadanya serta berdebu.
8) Tempat mencuci piring terletak didapur dan kurang bersih.
9) Tempat tidur terhambur tidak rapi.
10) Tempat pembuangan sampah tidak terdapat untuk sampah khusus, sampah
dibuang dikebun belakang rumah.
11) Kamar mandi : Terletak didalam rumah,lantai dari semen dan dinding dari kayu
memiliki pintu dalam kondisi yg baik.
12) Jamban :BAB langsung di jamban didalam rumah.
13) Perkarangan :Ada di hadapan rumah yang kotor dan gersang serta berdebu.
14) Letak rumah berada di pinggiran jalan dan jarak dengan tetangga +/- 1 meter.,
keadaan perumahan blum terlalu padat.
F. Keadaan sosial ,ekonomi dan pendidikan keluarga.
1. Sifat keluarga : keluarga inti karena terdiri dari ibu, bapak, dan satu orang anak.
2. Sosial ekonomi
a. Kepala keluarga tidak memiliki penghasilan yang tetap (± Rp.1.500.000,-)
b. Istri sebagai ibu rumah tangga tidak bekerja
3. Sosial budaya
a. Hubungan keluarga dengan tetangga baik, saling membantu jika ada kesulitan
4. Pendidikan ibu dan bapa dan pengetahuan tentang ISPA :
a. Ibu : pendidikan SMA, tidak pernah mengikuti sosialisasi ISPA.
b. Bapa : pendidikan SD
G. Daftar masalah keluarga
Permasalahan PeneranganKurangnya tingkat pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA.
Hasil anamnesis melalui ibu bahwa dia kurang mengetahui tentang penyakit ISPA sehingga membeli obat sembarangan diwarung.
Anak sering bermain diluar rumah bersama dengan anak-anak lain yang memiliki penyakit ISPA.
Hasil wawancara dengan orang tua bahwa anak sering bermain diluar rumah dengan anak-anak tetangga.
Hygiene sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Kawasan pekarangan rumah tempat tinggal keluarga gersang dan berdebu.
Kurangnya jendela yang ada dikamar belakang .Penggunaan garam dalam makanan sehari-hari
Hasil wawancara dengan ibu bahwa sering menambahkan garam pada saat memasak.
Anak sering terpapar dengan asap rokok dari ayahnya.
Hasil wawancara dengan ibu bahwa si anak sering kontak dengan ayahnya yang mempunyai kebiasaan merokok dan sering terpapar dengan asap rokok.
Sering menggunakan obat nyamuk bakar
Hasil wawancara dengan ibu bahwa sering menggunakan obat nyamuk bakar pada saat nonton tv.
Keadaan status ekonomi keluarga yang kurang.
Hanya ayah yang berkerja dan pendapatannya tidak tetap untuk membiayai anggota keluarganya.
H. Perancanaan intervensi terhadap masalah keluarga
Permasalahan Rencana intervensi Rasional tindakan intervensiKurangnya tingkat pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA.
Konseling kepada ibu tentang penyakit ISPA.
Memberi saran kepada ibu untuk memeriksakan anaknya ke puskesmas bila anak sedang sakit.
Dengan konseling ini diharapkan ibu dapat mengetahui tentang penyakit ISPA misalnya faktor-faktor penyebab, gejala dan cara pencegahannya.
Saran yang disampaikan kepada ibu diharapkan dapat memperbaiki kondisi kesehatan anak.
Anak sering bermain diluar rumah bersama dengan anak-anak lain yang memiliki penyakit ISPA.
Konseling terhadap kedua orang tua tentang pengawasan aktivitas keseharian anak.
Dengan konseling ini diharapkan kedua orang tua dapat meningkatkan pengawasannya terhadap aktivitas anak dan dapat memilihkan tempat bermain yang baik sehingga terhindar dari sumber penyakit.
Hygiene sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Memberikan penyuluhan terhadap sanitasi lingkungan yang bersih dan sehat kepada keluarga
Dengan pemberian penyuluhan terhadap sanitasi lingkungan diharapkan keluarga dapat mengetahui dan mengerti bagaimana keadaan lingkungan bersih dan sehat.
Penggunaan garam dalam makanan sehari-hari
Memberikan saran tentang penggunaan garam dapur yang sesuai kebutuhan.
Dengan saran yang diberikan kepada keluarga diharapkan keluarga dapat mengkonsumsi garam dapur sesuai kebutuhan pada penderita hipertensi.
Anak sering terpapar dengan asap rokok dari ayahnya
Konseling kepada orang tua tentang pengaruh rokok terhadap kesehatan
Dengan konseling yang diberikan kepada orang tua diharapkan dapat mengurangi kebiasaan merokok dan menghindari kontak langsung kepada anggota keluarga lainnya.
Sering menggunakan obat nyamuk bakar
Kensoling kepada orang tua tentang pengaruh asap obat nyamuk bakar terhadap kesehatan.
Dengan konseling yang diberikan kepada orang tua diharapkan dapat mengetahui cara menggunakan obat nyamuk dengan benar dan dapat menghindari kontak langsung dari asap obat nyamuk bakar.
Keadaan status ekonomi keluarga yang kurang.
Memberi konseling kepada orang tua tentang pengaturan ekonomi yang baik dalam keluarga.
Dengan konseling ini diharapkan keluarga dapat mengatur dan menyesuaikan keadaan ekonomi dengan kebutuhan hidup sehingga bisa memprioritaskan kebutuhan yang lebih utama yang diperlukan dalam keluarga.
Kesimpulan
1. Masalah kesehatan yang dialami keluarga suhardin disebabkan karena kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai penyakit ISPA sehingga orang tua lalai dalam menjaga
kesehatan keluarga.
2. Kurangnya pemahaman ibu tentang sanitasi lingkungan yang bersih dan sehat yang
merupakan salah satu factor yang berpengaruh dalam terjadinya suatu penyakit.
3. Kebiasaan merokok yang dimiliki ayah dapat berpengaruh terhadap kesehatan keluarga
misalnya pada anak yang menderita ISPA.
4. Penggunaan garam dapur pada makanan dapat mempengaruhi terjadinya penyakit
hipertensi.
Saran
1. Petugas Kesehatan
- Meningkatkan peranan dokter puskesmas dalam fungsinya sebagai dokter keluarga
untuk lebih meningkatkan pengetahuannya. Dokter puskesmas harus memberikan
terutama berkaitan dengan penyakit yang terbanyak dilingkungan puskesmas tersebut.
2. Kader Kesehatan
- Lebih meningkatkan wawasan dan kerjasama yang baik dengan masyarakat dan
petugas kesehatan sehingga mampu memberikan pelayanan yang baik bagi
masyarakat dan mampu memotifasi masyarkat untuk menuju kearah yang lebih baik.
3. Keluarga
Agar keluarga lebih peduli terhadap kesehatan lingkungan baik di dalam maupun di
luar rumah.
Keluarga dapat menghindari factor-faktor yang dapat menyebabkan gangguan
kesehatan. Misalnya : menghindari kebiasaan merokok serta menghidari kontak
langsung asap rokok dengan anggota keluarga lain nya.
Melakukan konsultasi dengan kader dan petugas kesehatan jika ada masalah yang
berhubungan dengan kesehatan keluarga.
Orang tua lebih meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas, kebersihan, serta
lingkungan bermain pada anak.