36
Pendekatan DiagnostiK Keluarga untuk Kasus Infeksi Pernapasan Akut (ISPA) Pendahuluan Tujuan pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada Sistem Kesehatan Nasional adalah suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia guna mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yang mana dikatakan bahwa peningkatan derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan, tindakan serta bawaan (congenital). Hidup sehat merupakan hak yang dimilki oleh setiap manusia yang ada didunia ini, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya (Anonim, 2007). Sebagai upaya untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, pemerintah telah menyusun berbagai program pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain kegiatan pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif di semua aspek lingkungan kegiatan pelayanan kesehatan. Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator, salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Anonim, 2008).

Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Embed Size (px)

DESCRIPTION

semoga bermanfaat

Citation preview

Page 1: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Pendekatan DiagnostiK Keluarga untuk Kasus Infeksi Pernapasan Akut (ISPA)

Pendahuluan

Tujuan pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada Sistem Kesehatan Nasional

adalah suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia

guna mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar dapat mewujudkan

derajat kesehatan yang optimal yang mana dikatakan bahwa peningkatan derajat kesehatan

masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan,

tindakan serta bawaan (congenital). Hidup sehat merupakan hak yang dimilki oleh setiap

manusia yang ada didunia ini, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya

(Anonim, 2007).

Sebagai upaya untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, pemerintah telah

menyusun berbagai program pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain kegiatan

pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif

dan rehabilitatif di semua aspek lingkungan kegiatan pelayanan kesehatan.

Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator,

salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang

telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44

per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Anonim, 2008).

World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40

per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut

WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian

tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama

kematian dengan membunuh 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).

Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan

pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering

berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang

dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai

penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh

kematian balita (Anonim, 2008).

Page 2: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung

selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian,

dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran

bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura

(Anonim, 2007).

Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti

dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran

bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera

diobati. Usia Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran

pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih

tinggi pada balita di negara berkembang.

Penemuan penderita ISPA pada balita di Sulawesi Tenggara, sejak tahun 2006

hingga 2008, berturut–turut adalah 74.278 kasus (36,26 %), 62.126 kasus (31,45%),

72.537 kasus (35,94%) (Anonim, 2008). Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA

merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup

tinggi, sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari

masyarakat maupun petugas, terutama tentang beberapa faktor yang mempengaruhi

derajat kesehatan. Menurut Hendrik Blum dalam Notoatmodjo, 1996, faktor-faktor yang

mempengaruhi derajat kesehatan antara lain faktor lingkungan seperti asap dapur, faktor

prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, faktor pelayanan kesehatan

seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR dan faktor keturunan.

Asap dapur dan faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah

sangat berpengaruh karena semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat

merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah

perempuan dan anak-anak, sedangkan faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi,

ASI Ekslusif dan BBLR merupakan faktor yang dapat membantu mencegah terjadinya

penyakit infeksi seperti gangguan pernapasan sehingga tidak mudah menjadi parah

(Anonim, 2007).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini diadaptasi

dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA

meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai

berikut:

Page 3: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

1) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan

berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

2) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ

adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara

anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah

(termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan

ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract).

3) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari

diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang

dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

A. Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena

menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau

stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung,

yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta

demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.

Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah.

Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi

yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran

tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radangparu).

B. Cara Penularan Penyakit ISPA

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit

penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA

ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah

cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda

terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui

kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah

karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme

penyebab.

Page 4: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

C. Diagnosa ISPA

Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak

biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum

memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab

pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen

darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pnemonia.

Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri

penyebab pnemonia pada balita, namun disisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan

bertentangan dengan etika (terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan

pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia

mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO), bahwa Streptococcus,

Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada

penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju pnemonia pada balita

disebabkan oleh virus.Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan

atau kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur.

Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan dengan

menggunkan sound timer. Batas nafas cepat adalah :

1) Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau

lebih.

2) Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit

atau lebih.

3) Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per menit

atau lebih.

Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai dengan

adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau

adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan

penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang

disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan

pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis,

tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia lainnya.

Page 5: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Klasifikasi ISPA

Klasifikasi Berdasarkan Umur

1) Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :

a. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu

(jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau

sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38ºC atau lebih) atau

suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernafasan cepat 60 kali atau lebih per

menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea,

distensi abdomen dan abdomen tegang.

b. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per menit

dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.

2) Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :

a. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan sianosis

sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit

dibangunkan.

b. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada, tetapi

tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.

c. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa penarikan

dinding dada.

d. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa

pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.

e. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun telah

diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan antibiotik yang

sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi pernafasan yang tinggi,

dan demam ringan.

Epidemiologi Penyakit ISPA

Distribusi Penyakit ISPA

A. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Orang

Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan tubuh anak sangat

berbeda dengan orang dewasa karena sistim pertahanan tubuhnya belum kuat. Kalau di

dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih mudah

tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit pun

menjadi lebih cepat. Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 6-8 kali

Page 6: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

penyakit ISPA. Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk dengan menganalisa data Survei

Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1998, didapatkan bahwa prevalensi penyakit ISPA

berdasarkan umur balita adalah untuk usia <6 bulan (4,5%), 6-11 bulan (11,5%), 12-23

bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan (9,2%), 48-59 bulan (8,0%).

Berdasarkan hasil penelitian Ridwan Daulay di Medan pada tahun 1999 mendapatkan

bahwa kejadian ISPA atas tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan, sedangkan

ISPA bawah pada umur < 6 tahun lebih sering pada anak lakilaki. 18 Sesuai dengan

penelitian Djaja, dkk (2001) prevalensi ISPA pada anak laki laki (9,4%) hampir sama

dengan perempuan (9,3%).

B. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Tempat

ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas

pada anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan penyebab morbiditas utama

pada negara maju sedangkan di negara berkembang morbiditasnya relatif lebih kecil

tetapi mortalitasnya lebih tinggi terutama disebabkan oleh ISPA bagian bawah atau

pneumonia.

Menurut penelitian Djaja, dkk (2001) didapatkan bahwa prevalensi ISPA di perkotaan

(11,2%), sementara di pedesaan (8,4%); di Jawa-Bali (10,7%), sementara di luar Jawa-

bali (7,8%).6 Berdasarkan klasifikasi daerah prevalensi ISPA untuk daerah tidak

tertinggal (9,7%), sementara di daerah tertinggal (8,4%).

C. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Waktu

Berdasarkan hasil kesepakatan Declaration of the World Summit for Children pada 30

desember 1999 di New York, AS ditargetkan bahwa penurunan kematian akibat

pneumonia balita sampai 33% pada tahun 1994-1999. Sedangkan di Indonesia sendiri

oleh Dirjen PPM & PL menargetkan bahwa angka kematian balita akibat penyakit ISPA 5

per 1000 pada tahun 2000 akan diturunkan menjadi 3 per 1000 pada akhir tahun 2005.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, terlihat bahwa cakupan pneumonia

penderita dan pengobatan dari target (perkiraan penderita) masih relatif rendah, tahun

2000 ada 30,1%; tahun 2001 ada 25%; tahun 2002 ada 22,1%; tahun 2003 ada 30%;

tahun 2004 ada 36%; tahun 2005 ada 27,7%. Hasil pantauan yang dilakukan ini belum

menggambarkan kondisi yang sebenarnya oleh karena masih ada beberapa wilayah yang

belum menyampaikan laporannya. Penelitian Septri Anti (2007), dari catatan bulanan

program P2 ISPA Kota

Page 7: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Medan tahun 2002-2006 didapatkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi linier

terdapat nilai signifikan sebesar 0,552 (>0,05), tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara waktu dengan jumlah penderita ISPA pada balita, hal ini berarti bahwa adanya

kecenderungan peningkatan jumlah balita penderita ISPA, dimana penderita penyakit

ISPA pada tahun 2002 berjumlah 8.836 orang dan pada tahun 2007 mencapai 9.412

orang.

Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA

a. Agent

Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara akut

atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan sinusitis.

Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek,

merupakan penyakit virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah

virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo.Berdasarkan hasil penelitian Isbagio (2003),

mendapatkan bahwa bakteri Streptococcus pneumonie adalah bakteri yang menyebabkan

sebagian besar kematian 4 juta balita setiap tahun di negara berkembang. Isbagio ini

mengutip penelitian WHO dan UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95%

S.pneumococcus kehilangan sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika, hampir 50%

dari bakteri yang diperiksa resisten terhadap kotrimoksasol yang merupakan pilihan untuk

mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian pula di Arab Saudi dan Spanyol 60% S.

pneumonie ditemukan resisten terhadap antibiotika.Berdasarkan hasil penelitian Parhusip

(2004), yang meneliti spektrum dari 101 penderita infeksi saluran pernafasan bagian

bawah di BP4 Medan didapatkan bahwa semua penderita terlihat hasil biakan positif,

pada dua penderita dijumpai tumbuh dua galur bakteri sedangkan yang lainnya hanya

tumbuh satu galur. Bakteri gram positif dijumpai sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri

gram negatif 49 galur (47,6%).Dari hasil biakan terlihat bahwa yang terbanyak adalah

bakteri Streptococcus viridans 38 galur sebesar 36,89%, diikuti oleh Enterobacter

aerogens 19 galur sebesar 18,45%, Pseudomonas aureginosa 16 galur sebesar 15,53%,

Klebsiella sp 14 galur sebesar 13,59%, Stapilococcus aureus 13 galur sebesar 12,62%,

Pneumococcus 2 galur sebesar 1,94%, dan Sreptococcus pneumonie 1 galur sebesar

0,97%.21

Page 8: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

b. Manusia

Umur

Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah 2

tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan

anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun

imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit.Berdasarkan

hasil penelitian Maya di RS Haji Medan (2004), didapatkan bahwa proporsi balita

penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun 1998 sampai tahun 2002 terbesar

pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah 91,1%,22 demikian juga penelitian

Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006, didapatkan bahwa proporsi balita penderita

pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun sebesar 82,1%,

sementara kelompok umur <2 bulan sebesar 17,9%.

Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki

dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian ISPA

lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, terutama

anak usia muda, dibawah 6 tahun. Menurut Glenzen dan Deeny, anak laki-laki lebih

rentan terhadap ISPA yang lebih berat, dibandingkan dengan anak perempuan.

Status Gizi

Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama

kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang

meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi yang

kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat

memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Hasil

penelitian Dewi, dkk (1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain cross sectional

didapatkan bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk mempunyai risiko

pneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi

baik/normal. Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi menurut Keputusan

Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk keperluan Pemantauan

Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat badan terhadap umur. Status

gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD

Page 9: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD

Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD

Gizi Buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.26

Berat Badan Lahir

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir

<2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka

kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat ≥2500 gram saat lahir selama tahun

pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian terbesar akibat infeksi

pada bayi baru lahir.

Status ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan

faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama

minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal

mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan

sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi (0-12

bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan padat. Pada enam

bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa

diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan makanan

pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika anak

tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi postnatal.

Status Imunisasi

Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit

menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya

imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya

terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak. Imunisasi bermanfaat untuk

mencegah beberapa jenis penyakit seperti, POLIO (lumpuh layu), TBC (batuk

berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, pertusis. Bahkan imunisasi juga dapat

mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Berdasarkan hasil

penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara kejadian pneumonia pada balita dengan status imunisasi. Hasil uji

statistik diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%; 2.929 – 4.413), artinya anak balita yang

menderita pneumonia risikonya 2,5 kali lebih besar pada anak yang status

imunisasinya tidak lengkap.

Page 10: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

c. Lingkungan

1. Kelembaban Ruangan

Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan

perumahan menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40-

70%, optimum 60%. Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan

(2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan

berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi,

diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya

kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko

terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali.

2. Suhu Ruangan

Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-

300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan

rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat

kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.

3. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga

agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan

O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi

akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang

bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.30 Sirkulasi udara dalam rumah

akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal

10% dari luas lantai.

4. Kepadatan Hunian Rumah

Kepadatan penghuni dalam rumah dibedakan atas 5 kategori yaitu, ≤3,9

m2/orang, 4-4,9 m2/orang, 5-6,9 m2/orang, 7-8 m2/orang, ≥9 m2/orang. Dikatakan

padat jika luas lantai rumah ≤3,9 m2/orang, dan tidak padat jika luas lantai rumah ≥4

m2/orang.31 Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004)

menemukan proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang

tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang

Page 11: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

tidak padat.Berdasarkan hasil penelitian Chahaya tahun 2004, kepadatan hunian

rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.

5. Penggunaan Anti Nyamuk

Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk

dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau

tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak

mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan

pernafasan.

6. Bahan Bakar Untuk Memasak

Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan

kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak

memenuhi standar nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya

peningkatan penyakit paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta

kematian.

7. Keberadaan Perokok

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap

rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain

Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain.

Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan

prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau

97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki 32,67% atau

31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814 penduduk.

Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah

sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%. Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar

69,5%, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-

14 tahun sebesar 70,5%. Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur

muda disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan orang tua ataupun

saudaranya yang merokok dalam rumah.

8. Status Ekonomi dan Pendidikan

Page 12: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu

individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap

penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut. Untuk

bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan

diterima oleh anaknya. Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan

bahwa bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah

besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih

banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status ekonomi

tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan

dengan ibu yang status ekonominya rendah.Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan

lebih banyak membawa anak berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan

pendidikan rendah lebih banyak mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat

ke dukun. Ibu yang berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak

membawa anaknya ke pelayanan kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu

yang tidak bersekolah, hal ini disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih

mengenal gejala penyakit yang diderita oleh balitanya.

d. Pencegahan Penyakit ISPA

Penyelenggaraan Program P2 ISPA dititikberatkan pada penemuan dan pengobatan

penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat terutama kader,

dengan dukungan pelayanan kesehatan dan rujukan secara terpadu di sarana kesehatan

yang terkait.

1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap

sebagai strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia. Termasuk disini

ialah :

a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan

dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat

meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa

penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi,

penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan

rumah, penyuluhan bahaya rokok.

Page 13: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka

kesakitan (insiden) pneumonia.

c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.

d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.

e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah

polusi di dalam maupun di luar rumah.

2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini

mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu :

a. Untuk kelompok umur < 2 bulan, pengobatannya meliputi :

- Pneumonia Berat: rawat dirumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami

sianosi sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang

hebat), terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenisilin dan gentamisin

atau kanamisin.

- Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, nasihati ibu

untuk menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan

bersihkan sumbatan pada hidung jika sumbatan itu menggangu saat memberi

makan.

b. Untuk kelompok umur 2 bulan - <5 tahun, pengobatannya meliputi :

- Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi

antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6

jam. Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari),

pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi,

perawatan suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang dua

kali sehari.

- Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik

dengan memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling

sedikit selama 3 hari, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati

pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari.

- Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan

kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain

intramuskular per hari, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah,

obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari.

Page 14: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

- Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik

sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati

demam, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah.

- Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan

memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya

infeksi pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang.

3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak

bertambah parah dan mengakibatkan kematian.

- Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian kloram

fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloksasilin

ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia stafilokokus.

- Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin

dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzipenisilin

kemudian periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak

masih menunjukkan tanda pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka

cari penyebab pneumonia persistensi. Pneumonia: Coba untuk melihat kembali

anak setelah 2 hari dan periksa adanya tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih

lambat, demam berkurang, nafsu makan membaik. Nilai kembali dan kemudian

putuskan jika anak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada atau tanda

penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan ini yaitu rawat, obati sebagai

pneumonia berat atau pneumonia sangat berat. Jika anak tidak membaik sama

sekali tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau tanda lain penyakit sangat

berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.

e. Penanganan Penyakit ISPA

Hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh ISPbA,

paling sering adalah pneumonia. Bayi baru lahir dan bayi berusia satu bulan atau disebut

’bayi muda’ yang menderita pneumonia dapat tidak mengalami batuk dan frekuensi

pernfasannya secara normal sering melebihi 50 kali permenit. Infeksi bakteri pada

kelompok usia ini dapat hanya menampakkan tanda klinis yang spesifik, sehingga sulit

untuk membedakan pneumonia dari sepsis dan meningitis. Infeksi ini dapat cepat fatal

pada bayi muda yang telah diobati dengan sebaik-baiknya di rumah sakit dengan

Page 15: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

antibiotik parenteral. Cara yang paling efektif untuk mengurangi angka kematian karena

pneumonia adalah dengan memperbaiki manajemen kasus dan memastikan adanya

penyediaan antibiotik yang tepat secara teratur melalui fasilitas perawatan tingkat pertama

dokter praktik umum. Langkah selanjutnya untuk mengurangi angka kematian karena

pneumonia dapat dicapai dengan menyediakan perawatan rujukan untuk anak yang

mengalami ISPA berat memerlukan oksigen, antibiotik lini II, serta keahlian klinis yang

lebih hebat

Kriteria Rumah Sehat

Menurut  WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung,

dimana  lingkungan  berguna  untuk  kesehatan  jasmani  dan  rohani serta keadaan sosialnya

baik untuk kesehatan keluarga dan individu. Rumah merupakan tempat berlindung dan

beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga yang menumbuhkan kehidupan sehat

secara fisik, mental dan sosial, sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara

produktif. Oleh karena itu keberadaan rumah yang sehat sangat diperlukan, lalu bagaimana

kriteria rumah sehat itu? kriteria rumah sehat secara umum sebagai berikut :

Memenuhi  kebutuhan  fisiologis  antara  lain  pencahayaan,  penghawaan  dan ruang

gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.

Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privacy yang cukup, komunikasi yang sehat

antar anggota keluarga dan penghuni rumah.

Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan

penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas vektor

penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang berlebihan, cukup sinar matahari pagi,

terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan

penghawaan yang cukup.

Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena 

keadaan  luar  maupun  dalam  rumah  antara  lain  persyaratan  garis sempadan jalan,

konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat

penghuninya jatuh tergelincir.

Page 16: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Syarat Rumah Sehat

Menurut  Keputusan  Menteri  Kesehatan  Republik  Indonesia  Nomor  :  829  /

Menkes/SK/VII/1999, syarat rumah sehat yaitu:

a. Lokasi

1) Tidak  terletak  pada  daerah  rawan  bencana  alam  seperti  bantaran sungai, aliran

lahar, gelombang tsunami, longsor, dan sebagainya.

2) Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir   sampah dan bekas lokasi

pertambangan.

3) Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah   kebakaran seperti jalur

pendaratan penerbangan.

b. Sarana dan Prasarana Lingkungan

1) Memiliki  taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi

yang aman dari kecelakaan.

2) Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat  perindukan  vektor  penyakit

dan memenuhi persyaratan   teknis  sesuai  dengan  ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

3) Memiliki  sarana jalan lingkungan dengan ketentuan sebagai   berikut   Konstruksi

jalan tidak membahayakan kesehatan.  Konstruksi  trotoar  jalan  tidak 

membahayakan  pejalan  kaki  dan penyandang cacat.  Bila ada jembatan harus diberi

pagar pengaman.  Lampu penerangan jalan tidak menyilaukan.

4) Tersedia  sumber  air  bersih  yang  menghasilkan  air  secara  cukup sepanjang 

waktu  dengan  kualitas  air  yang  memenuhi  persyaratan kesehatan.

5) Pengelolaan pembuangan  kotoran  manusia  dan  limbah  rumah  tangga harus 

memenuhi  persyaratan  kesehatan.

6) Pengelolaan  pembuangan  sampah  rumah  tangga  harus  memenuhi persyaratan 

kesehatan.

7) Memiliki  akses  terhadap  sarana  pelayanan  umum  dan  sosial  seperti keamanan, 

kesehatan,  komunikasi,  tempat  kerja,  tempat hiburan, tempat    pendidikan,  

kesenian,  dan   lain sebagainya.

8) Pengaturan  instalasi  listrik  harus  menjamin  keamanan  sesuai  dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

9) Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadinya kontaminasi 

yang  dapat  menimbulkan  keracunan.

Page 17: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Demikian ada 4 kriteria rumah sehat, dari sini diharapakan dapat menjadi gambaran

kepada masyarakat tentang kriteria rumah sehat dan syarat rumah sehat yang baik sehingga

diharapakan bisa menekan terjadinya kasus-kasus penyakit maupun kecelakaan-kecelakaan

yang disebabkan oleh rumah yang kurang memenuhi syarat.

Page 18: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Pembahasan

A. Tinjauan kasus

Tanggal: 12 April 2012 Oleh: kelompok 5

B. Data identitas keluarga pasien

a. Biodata

Nama Bapa : Suhardin

Umur :35 tahun

Pendidikan : SD

Nama Istri : Sunariah

Umur : 28 Tahun

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : IRT

b. Susunan keluarga

No.Nama

anggota

Umur

L/P

Hubungan

keluarga

Pendidikan/

pekerjaanImunisasi

Keadaan

fisik

1. Suhardin L/35tahun KK SD/ sopir mobil - Sehat

2.Ny.

SunariahP/28tahun Istri

SD/ IRT (Ibu

Rumah Tangga)- Sakit

3. An. Saskia P/ 2 tahun Anak - Lengkap Sakit

4. Sehat

Page 19: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

c. Genogram keluarga

C. Riwayat kesehatan keluarga pasien

1) Bapak : sebagai ketua keluarga ada penyakit Hipertensi dan sekarang sebagai

perokok.

2) Ibu: sebagai IRT memiliki gejala ISPA sama dengan anaknya.

3) Zaskia: flu, batuk dan demam sudah 3 hari, pernah diare pada umur < 1 tahun.

D. Data pola hidup keluarga

1. Pola kesehatan

a. Bila anggota keluarga sakit berobat ke PUSKESMAS

b. Persalinan ditolong oleh bidan di PUSKESMAS

2. Pola kebiasaan sehari-hari

a) Pola makan dan makanan

Dewasa: makan 3x/ hari sarapan tempe, tahu, telur, nasi putih. Makan siang

dengan ikan, nasi putih dan sayur. Makan malam demgan ikan, nasi putih

dan sayur.

Anak (2 tahun): makan 3-4x/ hari dengan makanan indomie 1 kali sehari dan

makanan jajan sosis dan frutamin.

Suhardin n Sunariah

Saskia

Page 20: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Penyediaan makanan : goreng dan rebus (lebih sering merebus)

Sering minum air (air gallon dan dimasak)

b) Pola kebersihan

Ayah: mandi 3-4x/ hari. Ganti baju dan pakaian dalam 3-4x/ hari.

Ibu: mandi 2-3x/ hari. Ganti baju dan pakaian dalam 2x/ hari.

Anak: mandi 2-3x/ hari. Ganti baju dan pakaian dalam 4-5x/ hari.

Keluarga sering cuci tangan

Sering mencuci pakaian tiga kali seminggu.

Sumber air untuk mencuci dan mandi:air sumur dan sumur bor.

E. Data keadaan lingkungan

1. Kondisi rumah dan kawasan lingkungan

1) Keluasan rumah adalah cukup luas untuk dihuni oleh 4 orang +/- 10 x 5 m2 .

2) Lantai terbuat dari semen dan di lapisi dengan tikar plastic.

3) Dinding terbuat dari papan dan sekat antara kamar dari tripleks.

4) Atap terbuat dari seng pada bagian depan dan pada bagian belakang rumah dari

rumbia.

5) Ventilasi ruang tamu karena terdapat jendela dengan ukuran 1.5 x 2 m, kamar

didepan baik karena ada jendelanya dengan ukuran 1,5 x 0,5 m, dapur tidak punya

jendela hanya kuseng untuk ventilasi, ruang tengah hanya satu jendelanya dengan

ukuran 1,5 x 0,5 m.

6) Pencahayaan pada ruang tamu bagus karena ada jendela kaca sehingga cahaya

bisa masuk, pada ruang tengah kurang baik karena hanya terdapat 1 jendela

sehingga cahaya kurang yang masuk, kamar depan bagus dan dapur

pencahayaannya baik karena ada jendela, hanya pada dua kamar yang tidak punya

jendela sehingga pencahayaan kurang dan pengap.

7) Plafon hanya terdapat pada kamar dan ruang tengah yang terbuat dari kain dan

dipasang seadanya serta berdebu.

8) Tempat mencuci piring terletak didapur dan kurang bersih.

9) Tempat tidur terhambur tidak rapi.

10) Tempat pembuangan sampah tidak terdapat untuk sampah khusus, sampah

dibuang dikebun belakang rumah.

Page 21: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

11) Kamar mandi : Terletak didalam rumah,lantai dari semen dan dinding dari kayu

memiliki pintu dalam kondisi yg baik.

12) Jamban :BAB langsung di jamban didalam rumah.

13) Perkarangan :Ada di hadapan rumah yang kotor dan gersang serta berdebu.

14) Letak rumah berada di pinggiran jalan dan jarak dengan tetangga +/- 1 meter.,

keadaan perumahan blum terlalu padat.

F. Keadaan sosial ,ekonomi dan pendidikan keluarga.

1. Sifat keluarga : keluarga inti karena terdiri dari ibu, bapak, dan satu orang anak.

2. Sosial ekonomi

a. Kepala keluarga tidak memiliki penghasilan yang tetap (± Rp.1.500.000,-)

b. Istri sebagai ibu rumah tangga tidak bekerja

3. Sosial budaya

a. Hubungan keluarga dengan tetangga baik, saling membantu jika ada kesulitan

4. Pendidikan ibu dan bapa dan pengetahuan tentang ISPA :

a. Ibu : pendidikan SMA, tidak pernah mengikuti sosialisasi ISPA.

b. Bapa : pendidikan SD

G. Daftar masalah keluarga

Permasalahan PeneranganKurangnya tingkat pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA.

Hasil anamnesis melalui ibu bahwa dia kurang mengetahui tentang penyakit ISPA sehingga membeli obat sembarangan diwarung.

Anak sering bermain diluar rumah bersama dengan anak-anak lain yang memiliki penyakit ISPA.

Hasil wawancara dengan orang tua bahwa anak sering bermain diluar rumah dengan anak-anak tetangga.

Hygiene sanitasi lingkungan yang kurang baik.

Kawasan pekarangan rumah tempat tinggal keluarga gersang dan berdebu.

Kurangnya jendela yang ada dikamar belakang .Penggunaan garam dalam makanan sehari-hari

Hasil wawancara dengan ibu bahwa sering menambahkan garam pada saat memasak.

Anak sering terpapar dengan asap rokok dari ayahnya.

Hasil wawancara dengan ibu bahwa si anak sering kontak dengan ayahnya yang mempunyai kebiasaan merokok dan sering terpapar dengan asap rokok.

Sering menggunakan obat nyamuk bakar

Hasil wawancara dengan ibu bahwa sering menggunakan obat nyamuk bakar pada saat nonton tv.

Page 22: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Keadaan status ekonomi keluarga yang kurang.

Hanya ayah yang berkerja dan pendapatannya tidak tetap untuk membiayai anggota keluarganya.

H. Perancanaan intervensi terhadap masalah keluarga

Permasalahan Rencana intervensi Rasional tindakan intervensiKurangnya tingkat pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA.

Konseling kepada ibu tentang penyakit ISPA.

Memberi saran kepada ibu untuk memeriksakan anaknya ke puskesmas bila anak sedang sakit.

Dengan konseling ini diharapkan ibu dapat mengetahui tentang penyakit ISPA misalnya faktor-faktor penyebab, gejala dan cara pencegahannya.

Saran yang disampaikan kepada ibu diharapkan dapat memperbaiki kondisi kesehatan anak.

Anak sering bermain diluar rumah bersama dengan anak-anak lain yang memiliki penyakit ISPA.

Konseling terhadap kedua orang tua tentang pengawasan aktivitas keseharian anak.

Dengan konseling ini diharapkan kedua orang tua dapat meningkatkan pengawasannya terhadap aktivitas anak dan dapat memilihkan tempat bermain yang baik sehingga terhindar dari sumber penyakit.

Hygiene sanitasi lingkungan yang kurang baik.

Memberikan penyuluhan terhadap sanitasi lingkungan yang bersih dan sehat kepada keluarga

Dengan pemberian penyuluhan terhadap sanitasi lingkungan diharapkan keluarga dapat mengetahui dan mengerti bagaimana keadaan lingkungan bersih dan sehat.

Penggunaan garam dalam makanan sehari-hari

Memberikan saran tentang penggunaan garam dapur yang sesuai kebutuhan.

Dengan saran yang diberikan kepada keluarga diharapkan keluarga dapat mengkonsumsi garam dapur sesuai kebutuhan pada penderita hipertensi.

Anak sering terpapar dengan asap rokok dari ayahnya

Konseling kepada orang tua tentang pengaruh rokok terhadap kesehatan

Dengan konseling yang diberikan kepada orang tua diharapkan dapat mengurangi kebiasaan merokok dan menghindari kontak langsung kepada anggota keluarga lainnya.

Sering menggunakan obat nyamuk bakar

Kensoling kepada orang tua tentang pengaruh asap obat nyamuk bakar terhadap kesehatan.

Dengan konseling yang diberikan kepada orang tua diharapkan dapat mengetahui cara menggunakan obat nyamuk dengan benar dan dapat menghindari kontak langsung dari asap obat nyamuk bakar.

Page 23: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Keadaan status ekonomi keluarga yang kurang.

Memberi konseling kepada orang tua tentang pengaturan ekonomi yang baik dalam keluarga.

Dengan konseling ini diharapkan keluarga dapat mengatur dan menyesuaikan keadaan ekonomi dengan kebutuhan hidup sehingga bisa memprioritaskan kebutuhan yang lebih utama yang diperlukan dalam keluarga.

Kesimpulan

1. Masalah kesehatan yang dialami keluarga suhardin disebabkan karena kurangnya

pengetahuan orang tua mengenai penyakit ISPA sehingga orang tua lalai dalam menjaga

kesehatan keluarga.

2. Kurangnya pemahaman ibu tentang sanitasi lingkungan yang bersih dan sehat yang

merupakan salah satu factor yang berpengaruh dalam terjadinya suatu penyakit.

3. Kebiasaan merokok yang dimiliki ayah dapat berpengaruh terhadap kesehatan keluarga

misalnya pada anak yang menderita ISPA.

4. Penggunaan garam dapur pada makanan dapat mempengaruhi terjadinya penyakit

hipertensi.

Saran

1. Petugas Kesehatan

- Meningkatkan peranan dokter puskesmas dalam fungsinya sebagai dokter keluarga

untuk lebih meningkatkan pengetahuannya. Dokter puskesmas harus memberikan

terutama berkaitan dengan penyakit yang terbanyak dilingkungan puskesmas tersebut.

2. Kader Kesehatan

- Lebih meningkatkan wawasan dan kerjasama yang baik dengan masyarakat dan

petugas kesehatan sehingga mampu memberikan pelayanan yang baik bagi

masyarakat dan mampu memotifasi masyarkat untuk menuju kearah yang lebih baik.

3. Keluarga

Agar keluarga lebih peduli terhadap kesehatan lingkungan baik di dalam maupun di

luar rumah.

Keluarga dapat menghindari factor-faktor yang dapat menyebabkan gangguan

kesehatan. Misalnya : menghindari kebiasaan merokok serta menghidari kontak

langsung asap rokok dengan anggota keluarga lain nya.

Page 24: Laporan Modul 2 Kekom.docterfix

Melakukan konsultasi dengan kader dan petugas kesehatan jika ada masalah yang

berhubungan dengan kesehatan keluarga.

Orang tua lebih meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas, kebersihan, serta

lingkungan bermain pada anak.