Upload
alfiani-rachmawati
View
47
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah ekodas kelompok 3 ,,,,, ,,,,,,,,,,
Citation preview
MAKALAH
Asas-Asas Mengenai Faktor Pembatas
Disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Ekologi Dasar yang dibina oleh Ibu Prof. Dr. Hj.
Mimien Henie Irawati, M.S. dan Bapak Dr. Ibrohim, M.Si
Oleh kelompok 03
Selfi Ratnawati (209341419817)
Jamilatul Laili (209341420895)
Reza Ramadhan W.A (209314419820)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Februari 2011
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang lingkungan. Di dalam lingkungan
ini terdapat beberapa yang mempengaruhi baik faktor biotik maupun faktor abiotik. Selain
itu, di dalam suatu lingkungan terdapat suatu organisme yang berusaha bertahan hidup dalam
keadaan tertentu. Tumbuhan untuk dapat hidup dan tumbuh dengan baik membutuhkan
sejumlah nutrien tertentu (misalnya unsur-unsur nitrat dan fosfat) dalam jumlah minimum.
Faktor minimum merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pencapaian nutrisi oleh
tumbuhan. Jika hal tersebut tidak terpenuhi maka pertumbuhan dan perkembangannya akan
terganggu. Dalam hal ini unsur-unsur tersebut sebagai faktor ekologi berperan sebagai faktor
pembatas.
Dengan adanya faktor pembatas tersebut tumbuhan berkompetisi dengan tumbuhan
sejenis agar bisa mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dan di lingkungan yang meyediakan dalam jumlah yang terbatas. Untuk lebih
memahami apa arti dari faktor pembatas atau faktor apa saja yang bisa mempengaruhinya
maka kami menyusun makalah ini. Makalah ini memberikan informasi kepada pembaca
mengenahai hal tersebut.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang kami gunakan dalam makalah ini adalah:
1. Faktor kompensasi apa yang dapat mempengaruhi faktor pembatas?
2. Apa yang dimaksud dengan jam biologi pada ekologi?
3. Mengapa api bisa dijadikan sebagai faktor ekologi?
4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan tanah?
5. Apa yang dimaksud dengan “hukum minimum liebig”?
3. Tujuan
Tujuan yang dapat kami ambil, yaitu:
1. Untuk mengetahui faktor kompensasi yang dapat mempengaruhi faktor pembatas
2. Untuk mengetahui pengertian dari jam biologi
3. Untuk mengetahui kegunaan api sebagai faktor ekologi
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tanah
5. Untuk mengetahui pengertian dari “hukum minimum liebig”
PEMBAHASAN
1. Faktor Kompensasi
Dalam sebuah komunitas, biasanya terdapat berbagai macam faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup suatu organisme. Setiap organisme yang berada dalam
komunitas ini sangat berpengaruh, sehingga organisme yang hidup ini harus bisa untuk
beradaptasi agar dapat melangsungkan kehidupannya. Contohnya saja pada tumbuhan. Pada
dasarnya tumbuhan dapat tumbuh karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
cahaya,nutrisi,suhu dalam jumlah minimum atau maksimum. Dalam hal ini, satu atau lebih
dari faktor ini dapat dikatakan sebagai faktor yang penting sebab faktor-faktor semacam ini
dapat dibutuhkan atau dapat juga sebagai faktor yang mempengaruhi.
Faktor kompensasi demikian terutama efektis pada tingkat komunitas dari
organisasinya, tetapi terjadi juga di dalam jenis. Jenis dengan kisaran geografi yang luas
hampir selalu membentuk populasi yang menyesuaikan diri secara setempat disebut ekotipe
yang mempunyai optima dan batas-batas toleransi disesuaikan terhadap keadaan-keadaan
setempat. Kompensasi sepanjang gradien temperatur,sinar,atau faktor –faktor lainnya dapat
melibatkan genetik (dengan atau tanpa menivestasi morfologi) atau semata-mata aklimatisasi
secara fisiologi. Pencakokan timbal-balik menetapkan metode yang baik dari penentuan
sejauh mana pengikatan genetik terlibat dalam ekotipe (odum,1996)
2. Jam-jam Biologi
Jam-jam biologi merupakan mekanisme secara fisiologi yang dimiliki oleh
organisme-organisme untuk mengukur waktu. Perubahan lingkungan pasti dialami oleh setiap
organisme. Berbagai perubahan lingkungan terjadi, seperti kecepatan angin yang berubah
secara nyata hampir setiap detik. Suhu, tingkat cahaya, dan kelembaban yang berubah tajam
setiap beberapa jam. Semua perubahan tersebut terjadi dalam daur harian diurnal
(menunjukkan waktu siang atau lamanya pancaran cahaya). Memperkirakan dan
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan akan menguntungkan bagi organisme
tersebut. Tiga di antara perubahan lingkungan itu yang berkaitan dengan mekanika sistem
matahari yang teratur sehingga dapat terjadi daur harian, daur bulanan, dan daur tahunan
(Salisbury, 1995).
Untuk memperkirakan dan mempersiapkan diri terhadap perubahan lingkungan yang
teratur ini, organisme memerlukan mekanisme jam dan berbagai mekanisme lain yang terkait.
Sistem waktu tersebut mempunyai dua sifat, yaitu pertama, sistem waktu harus tepat, tidak
boleh terlalu dipengaruhi oleh faktor tak terduga dari lingkungan organisme. Faktor-faktor
yang tak terduga tersebut merupakan faktor yang tidak dapat diperkirakan secara tepat,
misalnya suhu, tingkat cahaya siang hari (beragam karena awan atau naungan), kecepatan
angin, dan kelembaban. Kedua, harus ada mekanisme parangkai yang memungkinkan
organisme memperoleh keuntungan dari penyesuaian waktu. Misalnya, tumbuhan dapat
menghemat energi jika mampu mengatur dan menyatukan sumber daya yang tersedia untuk
mekanisme fotosintesis pada siang hari dan untuk mekanisme metabolic selama malam hari.
Karena malam hari selalu lebih dingin daripada siang hari, tumbuhan dapat mengatur suhu
optimalnya agar sesuai bagi proses metaboliknya (Salisbury, 1995).
Lebih dari dua setengah abad yang lalu, seorang astronom berkebangsaan prancis,
jean jacques d’ortour de mairan (1729), telah menyadari masalah dasar yang berhubungan
dengan ‘gerak tidur’ dalam tumbuhan. Dia ingin mengtahui apakah gerak tersebut disebabkan
oleh perubahan dalam lingkungan (daur harian terang-gelap) atau diatur oleh sistem
pengukuran waktu dalam tumbuhan. Jika daun bergerak hanya akibat respons terhadap
perubahan luar, pengaturan waktu bersifat eksogen; jika akibat respons terhadap jam dalam,
maka pengaturan waktu bersifat endogen (Salisbury, 1995). Frank Brown (1969), pendukung
gagasan mengenai pembuka jalan eksternal untuk jam dalam, menemukan bahwa organisme-
organisme tanggap terhadap fluktuasi-fluktuasi harian dalam lapangan geomagnetik bumi.
Dia mengusulkan bahwa tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang menggunakan fluktuasi
yang sedemikian halus sebagai ‘jaringan atau kisi’ waktu pada mana mereka menyandikan
informasi yang diperlukan untuk mencatat waktu ritme-ritme fisiologi mereka (Odum, 1996).
Periode sinambung merupakan periode suatu irama yang berlangsung terus pada
kondisi lingkungan yang tetap. Karena periode sinambung melebihi 24 jam, tampaknya tidak
ada pilihanselain jam endogen. Irama bukan hanya mengikuti waktu siang dan malam yang
normal, irama itu juga dapt menyimpang dari waktu siang dan malam. Biasanya irama diatur
ulang atau diselaraskan ke daur alamiah, mungkin denga adanya fajar dan atau petang, tapi
jam sinambung menyingkapkan ketidak tepatannya dan meninjukkan sifat endogenousnya
(Salisbury, 1995). Perjalanan di udara dan penjelajahan ruang angkasa membuat manusia
menyadari bahwa mereka juga mempunyai ritme circadian. Terbang dengan cepat dari waktu
yang jauh ke tempat lainnya merupakan perjalanan yang menegangkan dan melelahkan bagi
banyak orang. Mungkin beberapa hari diperlukan sebelum ritme-ritme tidur, makan, dan
sebagainya yang bersifat fisiologi itu terkoordinasikan lagi dengan daur siang malam
setempat. Maka jelaslah bahwa pola kegiatan 24 jam harus terpelihara dan dipertahankan
dengan baik di dalam perjalanan ruang angkasa serta mekanisme khas yang terbawa itu akan
diperlukan untuk perjalanan-perjalanan ruang angkasa yang lama (Odum, 1996).
3. Api sebagai Faktor Ekologi
Penelitian selama 40 terakhir ini membuat kita perlu mengadakan reorientasi gagasan
mengenai api sebagai faktor ekologi. Api bukanlah minor atau abnormal, melainkan
merupakan faktor utama yang hampir merupakan bagian dari “iklim” normal pada
kebanyakan lingkungan darat di dunia. Akibat dari komunitas biotik menyesuaikan diri dan
mengimbangi faktor ini seperti yang dilakukan terhadap terperatur dan air. Kegagalan
mengetahui bahwa ekosistem dapat “fire adapted” telah menyebabkan banyak
“mismanagement” sumber daya alam. Jika digunakan dengan tepat, api dapat merupakan
faktor yang penting bagi manusia, pada musim tertentu dan mempunyai kendali yang besar
dibandingkan dengan faktor lainnya (Odum, 1996).
Api merupakan salah satu bagian dari faktor dalam ekologi. Kebakaran bagian dari
proses kejadian alam yang berhubungan dengan perubahan lingkungan secara alami,
misalanya kebakaran hutan yang terjadi secara alami yang diakibatkan oleh perubahan suhu
yang meningkat, sehingga menyebabkan panas tinggi dan memicu daun-daun kering terbakar.
Ada tiga tingkatan kebakaran alami yang dapat terjadi di dalam hutan, yaitu:
a. Kebakaran melalui tanah yang kaya bahan organik
b. Kebakaran melalui permukaan tanah dengan bahan tanaman yang telah mati
c. Kebakaran dibagian atas semak atau pohon
api memiliki efek yang penting pada komponen ekosistem, yaitu komponen abiotik
(non-hidup), terutama tanah. Arang (karbon) dari sisa kebakaran diduga dapat menetralkan
air tanah dan menyebabkan perubahan struktur tanah menjadi lebih subur. Kebakaran hutan
memodifikasi tanah dengan meninggalkan sebuah mosaik lingkungan yang diversifikasi
pemandangannya berbeda. Pada komponen biotik seperti tumbuhan telah didesain untuk
dapat merespon dan beradaptasi terhadap api (kebakaran hutan). Misalnya, beberapa tanaman
memiliki daun yang dilapisi minyak dan mudah terbakar sehingga menimbulkan sebuah api
yang besar penyebab kebakaran dalam hutan. Beberapa tumbuhan juga memanfaatkan api
sebagai media tumbuh tunas-tunas baru mereka, misalanya lodgepole pinus (pinus contorta)
dan sequoiadendron giganteum memerlukan api guna menumbuhkan bibit-bibit baru mereka.
Beberapa spesies yang disesuaikan dengan kebakaran hutan, seperti pohon-pohon pinus
(misalnya, pinus halepensis) yang membuka kuncup mereka setelah terpapar api. Selain
tanaman, hewan juga memiliki berbagai kemampuan untuk mengatasi kebakaran, tetapi
mereka berbeda dari tanaman, mereka harus menghindari api yang sebenarnya untuk bertahan
hidup. Misalnya meninggalkan tempat-tempat kebakaran menuju tempat yang dirasa cukup
aman untuk berlindung, seperti berlindung dalam galian tanah atau gorong-gorong yang
sengaja mereka buat untuk tempat persembunyian selama kebakaran.
Di dalam membicarakan api sebagai faktor ekologi, hal yang pertama-tama
ditegaskan adalah ada beberapa tipe kebakaran di alam yang mempunyai pengaruh berbeda,
yaitu tipe “crown fire” (kebakaran tajuk), kebakaran ini seringkali menghancurkan semua
vegetasi, sehingga diperlukan beberapa waktu yang cukup lama bagi komunitas biotik
maupun abiotic untuk mengembangkan pertumbuhannya kembali. Sedangkan “surface fire”
(kebakaran permukaan) yang mempunyai pengaruh lain, yaitu membatasi terhadap beberapa
organisme yang mempunyai toleransi tinggi terhadap faktor api, jadi dapat membantu atau
menguntungkan perkembangan dari organisme tersebut. Kebakaran permukaan juga
membantu bakteri dalam memecahkan tumbuh-tumbuahan dalam membuat hara mineral
lebih cepat yang dapat digunakan bagi pertumbuhan tumbuhan baru (Odum, 1996).
4. Perubahan Tanah
Tanah merupakan bentukan dari atmosfer, hidrosfir, dan pedosfir yang terrakhir.
Komponen biotik dan abiotik sangat erat berhubungan dalam tanah, yang berdasarkan
batasannya terdiri dari lapisan kulit bumi yang dilapukkan oleh organisme hidup dan hasilnya
bercampur aduk. Keadaan topografi sangat mempengaruhi tanah di dalam daerah iklim
tertentu. Lahan berbukit-bukit yang digunakan manusia dengan cara yang salah akan
mengakibatkan terjadinya erosi (Odum, 1996).
Perubahan tanah adalah hasil satu atau lebih proses terjadinya penurunan kemampuan
tanah secara aktual maupun potensial untuk memproduksi barang dan jasa. Faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan tanah adalah antara lain, faktor alami dan faktor manusia.
Faktor alami mencakup areal berlereng curam, tanah mudah rusak, erosi, kebakaran hutan,
curah hujan yang intensif. Sedangkan faktor manusia yaitu perubahan populasi, marjinalisasi
penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan
kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, deforestrasi dan pengembangan pertanian
yang tidak tepat (Kurniawan, 2010).
Ancaman perubahan tanah yang lain adalah erosi. Erosi tanah merupakan penyebab
kemerosotan tingkat produktivitas lahan das bagian hulu dan kualitas lahan kritis semakin
meluas. Penggunaan lahan di atas daya dukungnya tanpa diimbangi dengan upaya konservasi
dan perbaikan kondisi lahan sering menyebabkan perubahan tanah. Misalnya lahan didaerah
hulu dengan lereng curam yang hanya sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi
menjadi lahan pertanian tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau tanah
longsor. Erosi tanah oleh air di indonesia ( daerah tropis), merupakan bentuk degradasi lahan
yang sangat dominan (Kurniawan, 2010).
Problem perubahan tanah dan lingkungan umumnya lebih parah di daerah-daerah
tropis daripada daerah subtropis, di daerah kering daripada daerah basah, di daerah iklim
panas daripada daerah dingin. Diperkirakan diseluruh dunia tanah terdegradasi sekitar 2
milyar hektar dan 75% berada di daerah tropis.perubahan tanah dapat disebabkan oleh
banyak proses, termasuk erosi tanah yang dipercepat, salinasi, kerusakan karena
pertambangan dan aktivitas perkotan, serta pengembalaan berlebih dan komtaminasi dari
polutn industri (Widjaja, 2002).
Erosi tanah yang disebabkan oleh air dan angin terjadi secara alami sepanjang waktu,
dengan perpindahan secara berkala akibat banjir besar, gletser, letusan gunung berapi,
dampak komet. Daerah yang lebih cepat kehilangan tanah akan terbentuk secara umum
mempengaruhi turunnya produktivitas dan berefek bahaya. Konservasi tanah merupakan cara
konvensional yang cukup mampu menanggulangi erosi tanah. Dengan menerapkan sistem
konservasi tanah diharapkan bisa menanggulangi erosi, menyediakan air dan meningkatkan
kandungan hara dalam tanah serta menjadikan lahan tidak kritis lagi. Masalah yang paling
utama dari kehidupan modern sekarang adalah pencemaran tanah, seperti pembuangan
sampah plastik pada tanah, limbah logam, dll. Metode pertanian dibuat dalam usaha
menyelesaikan masalah pencermaran tanah. Seperti konservasi tanah yang mengikutsertakan
sisa tanaman yang telah mati dan terkubur untuk menyuburkan tanah. Tiga metode yang
biasanya digunakan dalam konservasi tanah yaitu metode vegetatif dengan menggunakan
vegetasi dan tanaman, metode mekanis dengan menggunakan konstruksi bangunan, metode
kimia dengan memanfaatkan bahan-bahan kimia untuk memperkuat sifat fisik tanah
(Subarjo, 2009).
Faktor terjadinya erosi menurut Prof.Dr.Ir.H. Suntoro Wongso Atmojo. Ms. Dalam
tulisannya “Degradasi Lahan dan Ancaman Bagi Pertanian”, antara lain :
1. Erosi. Erosi tanah merupakan penyebab kemerosotan tingkat produktivitas lahan das
bagian hulu, yang akan berakibat terhadap luas dan kualitas lahan kritis semakin meluas.
Penggunaan lahan di atas daya dukungnya tanpa diimbangi dengan upaya konservasi dan
perbaikan kondisi lahan sering akan menyebabkan perubahan tanah, misalnya lahan
didaerah hulu dengan lereng curam yang hanya sesuai untuk hutan. Apabila lahan
tersebut mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian tanaman semusim akan rentan
terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor. Erosi tanah oleh air di indonesia (daerah
tropis), merupakan bentuk perubahan tanah yang sangat dominan.
2. Pencemaran industri. Pencemaran dan kerusakan lingkungan di lingkungan pertanian
dapat juga disebabkan karena kegiatan industri. Pengembangan sektor industri akan
berpotensi menimbulkan dampak negatip terhadap lingkungan pertanian kita, dikarenakan
adanya limbah cair, gas dan padatan yang asing bagi lingkungan pertanian. Dampak yang
ditimbulkan dapat berupa gas buang seperti belerang dioksida (SO2) akan menyebabkan
terjadinya hujan asam dan akan merusak lahan pertanian. Disamping itu, adanya limbah
cair dengan kandungan logam berat beracun (Pb, Ni, Cd, Hg) akan menyebabkan
degradasi lahan pertanian dan terjadinya pencemaran dakhil. Limbah cair ini apa bila
masuk ke badan air pengairan, dampak negatipnya akan meluas sebaranya. Penggalakan
terhadap program kalibersih dan langit biru perlu dilakukan, dan penerapan sangsi bagi
pengusaha yang mengotori tanah, air dan udara.
3. Pertambangan dan galian c. Usaha pertambangan besar sering dilakukan diatas lahan
yang subur atau hutan yang permanen. Dampak negatif pertambangan dapat berupa
rusaknya permukaan bekas penambangan yang tidak teratur, hilangnya lapisan tanah yang
subur, dan sisa ekstraksi (tailing) yang akan berpengaruh pada reaksi tanah dan komposisi
tanah. Sisa ektraksi ini bisa bereaksi sangat asam atau sangat basa, sehingga akan
berpengaruh pada degradasi kesuburan tanah.
4. Alih fungsi lahan. Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat akhir-akhir ini
merupakan salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian. Salah satu pemicu alih
fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya isentif bagi petani dalam
berusaha tani dan tingkat keuntungan berusahatani relatif rendah. Selain itu, usaha
pertanian dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya
pengendalian seperti cuaca, hama dan penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan
pemasaran. Alih fungsi lahan banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang mempunyai
produktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian. Dilaporkan dalam periode tahun 1981-
1999, sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di pulau jawa, dan sekitar 17% (0,6
juta ha) di luar pulau jawa telah menyusut dan beralih ke non-pertanian, terutama ke areal
industri dan perumahan (Kurniawan, 2009).
5. Hukum “Minimum Liebig”
Untuk dapat bertahan dan hidup di dalam keadaan tertentu, suatu organisme harus
memiliki bahan-bahan yang penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan. Keperluan-keperluan ini mendasar dari variasi antara jenis dengan
keadaan. Di bawah keadaan-keadaan yang mantap bahan yang penting yang mendekati dalam
jumlah paling dekat mendekati minimum cenderung sebagai faktor pembatas. Hukum
minimum kurang tepat diterapkan di bawah keadaan sementara apabila jumlah pengaruhnya
cepat berubah (Odum, 1996).
Justus Liebig merupakan perintis dalm pengkajian pengaruh berbagai faktor terhadap
pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Dia mengemukakan bahwa pada pertanian masa kini, hasil
tanam seringkali dibatasi tidak oleh hara yang diperlukan dalam jumlah yang banyak seperti,
karbondioksida dan air karena jumlahnya seringkali berlimpah dalam lingkungan tetapi oleh
beberapa bahan mentah seperti boron yang diperlukan dalam jumlah sedikit tetapi sangat
langka. Pertumbuhan suatu tanaman bergantung pada jumlah bahan makanan yang
disediakan oleh lingkungan dalam jumlah minimum terkenal dengan sebutan “hukum
minimum liebig”. Hukum minimum ini merupakan satu aspek dari konsep faktor-faktor yang
membatasi serta pada gilirannya hanya merupakan satu aspek pengendali lingkungan dari
organisme (Odum, 1996).
Liebig menunjukkan bahwa dua asas tambahan harus ditambahkan pada konsep
tersebut yaitu, yang pertama kendala bahwa hokum liebig dapat diterapkan dengan keras
hanya di bawah keadaan mantap, yaitu apabila arus masuk energi dan marerial seimbang
dengan arus keluarnya. Contoh hal tersebut yaitu karbondioksida merupakan faktor utama
yang membatasi dalam danau dan prokduktifitas, karena seimbang dengan laju suplai
karbondioksida yang berasal dari pembusukan bahan organic. Kita akan menganggap bahwa
sinar, nitrogen, fosfor dan lain-lain tersedia beelebihan dalam keseimbangan pada keadaan
mantap. Apabila terjadi angina rebut dan membawa karbondioksida ke dalam danau maka
laju produksi akan berubah dan akan bergantung pada faktor lain. Sementara laju berubah
maka tidak ada lagi keadaan mantap dan tidak ada unsur pokok minimum sebagai gantinya
reaksi beragantung pada kosentrasi semua pokok yang ada, yang dalam periode peralihan ini
berdeda laju yang berlimpah ini sedang ditambahkan. Laju produksi akan berubah cepat
sambil berbagai unsur habis terpakai sampai beberapa unsur seperti karbondioksida
membatasi dan system danau akan berjalan pada laju yang dikendalikan oleh hukum
minimum. Yang kedua adalah faktor interaksi. Kosentrasi atau kesediaan yang tinggi dari
beberapa senyawa atau dari beberapa faktor selain dari yang minimum dapat mengubah laju
penggunaan faktor teraksir tersebut. Kadang-kadang organisme mampu untuk mengganti
senyawa yang secara kimia dekat hubungannya untuk yang kekurangn di dalam
lingkungannya. Beberapa tumbuhan menunjukkan bahwa memerlukan sedikit seng apabila
tumbuh di bawah naungan daripada tumbuh di bawah sinar matahari penuh karena seng
dalam tanah kurang membatasi untuk tumbuh-tumbuhan dalam naungan (Odum, 1996).
Penutup
1. Kesimpulan
a. Faktor kompensasi merupakan faktor yang berpengaruh dalam pertumbuhan suatu
tumbuhan, dapat berpengaruh dalam arti positif maupun negatif.
b. Jam-jam biologi merupakan mekanisme secara fisiologi yang dimiliki oleh
organisme-organisme untuk mengukur perubahan waktu
c. Api memiliki efek yang penting pada komponen ekosistem, yaitu komponen abiotik
(non-hidup), terutama tanah. Arang (karbon) dari sisa kebakaran diduga dapat
menetralkan air tanah dan menyebabkan perubahan struktur tanah menjadi lebih
subur.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tanah adalah antara lain, faktor alami
dan faktor manusia. Faktor alami mencakup areal berlereng curam, tanah mudah
rusak, erosi, kebakaran hutan, curah hujan yang intensif. Sedangkan faktor manusia
yaitu perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah
kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial
dan ekonomi, deforestrasi dan pengembangan pertanian yang tidak tepat.
e. Pertumbuhan suatu tanaman bergantung pada jumlah bahan makanan yang disediakan
oleh lingkungan dalam jumlah minimum terkenal dengan sebutan “hukum minimum
liebig”. Hukum minimum ini merupakan satu aspek dari konsep faktor-faktor yang
membatasi serta pada gilirannya hanya merupakan satu aspek pengendali lingkungan
dari organisme
2. Saran
1. Dalam penyusunan makalah agar menjadi lebih baik digunakan sumber-sumber
rujukan yang lebih bervariasi.
2. Dalam menggunakan rujukan, sebaiknya mengunakan buku pedoman yang ada.
Apabila mengunduh dari internet, pastikan itu adalah sumber yang dapat di
pertanggung jawabkan kebenarannya.
Daftar Pustaka
Kurniawan, Rendika Ferri. 2010. Dasar-dasar Ilmu Tanah Degradasi Lahan. Jogjakarta:
UGM. (Online), http://kuliahnyok.co.cc/?p=18, diakses tanggal 6 Februari 2011.
Odum, E.P., diterjemahkan oleh Samingan, T. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Jogjakarta:
Universitas Gajah Mada Press.
Salisbury, Frank B., & Ross, Cleon W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.
Subarjo. 2009. Konservasi Tanah dan Air. (Online),
http://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/konservasi-tanah-dan-
air/, diakses tanggal 6 Februari 2011.
Widjaja, H. 2002. Peningkatan Karbon Pada Lahan Terdegradasi. (Online),
http://rudyct.tripod.com/sem2 012/hermanu w.htm., diakses tanggal 6 Februari 2011.