Upload
erik-sosanto
View
400
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas uas
Citation preview
i
MAKALAH
PENEGAKAN HUKUM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DOSEN PENGASUH : RIZKI SETYOBONO SANGALANG, SH.,MH
Oleh:
KELOMPOK III
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
2013
i
LEMBAR PENGESAHAAN
DISUSUN OLEH :
NAMA NIM TTD
1. ERIK SOSANTO EAA 110 039 . . . . . . . . . . . .
2. RIA WIJAYANTI EAA 110 011 . . . . . . . . . . . .
3. MEGA SELVY EAA 110 023 . . . . . . . . . . . .
4. FRANSISCA NOVITASARI EAA 110 031 . . . . . . . . . . . .
5. LAMGANDA H SIMATUPANG EAA 110 029 . . . . . . . . . . . .
6. FERRY ERYANDI. S EAA 110 021 . . . . . . . . . . . .
7. STEVEN BELKA LAMBUNG EAA 110 041 . . . . . . . . . . . .
8. ANDREAS WINDRA IKAT EAA 110 037 . . . . . . . . . . . .
9. ARBY SUHASTRA EAA 110 070 . . . . . . . . . . . .
10. EDI SUHARTONO EAA 110 025 . . . . . . . . . . . .
11. ARIADY DWITAMA EAA 110 008 . . . . . . . . . . . .
12. BOBY SAVENDRA EAA 110 046 . . . . . . . . . . . .
13. PEBRIANDI EAA 110 019 . . . . . . . . . . . .
ii
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya
dari Tuhan Yang Maha Esa karena atas izinnyalah penulis masih diberikan
kesempatan atas selesainya penyusunan makalah ini sebagai tambahan ilmu, tugas
dan pedoman yang berjudul Penegakan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Dalam penyusunan makalah ini saya mengumpulkan dari berbagai sumber
buku-buku dan sumber lainnya yang berhubungan dengan Penegakan Hukum
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang memudahkan saya dalam menyelesaikan tugas
ini.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman
dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak sekali
kekurangan-kekurangan baik dalam penulisan, pemakaian kata, redaksional kalimat
dan bahkan dalam penggunaan aturan-aturan tata bahasa Indonesia yang baik dan
benar, hal mana ini disebabkan terbatasanya kemampuan dan pengetahuan penulis
miliki, Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan penulisan makalah lebih lanjut.
Akhir kata penulis berharap semoga penyusunan dan penulisan makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
iii
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................... 3
1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penulisan ........................................................................................ 3
1.5. Metode Penulisan ......................................................................................... 4
1.6. Sistematika penulisan ................................................................................... 4
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan ruang lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga ................ 6
2.2 Penegakan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga..................... ............ 10
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 20
3.2. Saran ............................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik,
seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Dampak KDRT sangat kompleks dan
mempengaruhi ketahanan individu maupun ketahanan keluarga.
Sehingga memerlukan penanganan yang kompleks untuk memulihkan korban.
Dalam aspek hukum diperlukan lembaga-lembaga yang berkekuatan hukum dan
aparat penegak hukum serta pendamping korban KDRT yang membantu jalannya
proses hukum korban KDRT. Aspek psikologi diperlukan untuk memberi
kenyamanan korban untuk menyampaikan masalah kekerasan yang dialami dan
membantu korban KDRT agar mampu mengambil keputusan serta pilihan yang
diperlukan agar kembali berdaya. Aspek sosial diperlukan agar korban KDRT dapat
hidup bebas sebagai warga masyarakat sebagaimana adanya. Korban KDRT dapat
berhubungan sosial dengan tetangga dan keluarganya, tidak terisolasi dan dijauhi
lingkungannya serta tidak dipersalahkan keluarganya. Untuk aspek pemenuhan
HAM, diperlukan karena HAM sebagai hak-hak yang melekat pada diri manusia
yaitu hak-hak dasar yang dimiliki manusia sejak ia lahir berkaitan dengan harkat dan
martabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME tidak bisa dilanggar atau dihilangkan
2
oleh siapapun. Maka sebab itu Penegakan hukum korban KDRT itu penting karena
akan memberikan perlindungan kepada korban KDRT itu sendiri serta menindak
pelaku dari KDRT tersebut.
Berbicara mengenai upaya penegakan hukum tak mungkin lepas dari
berbicara mengenai aparaturnya. Upaya penegakan hukum tentu saja harus ada
aktornya. Sejauh ini kita menemukan dan merasakan fakta adanya penegakan hukum
yang terus menerus dilaksanakan akan tetapi out-putnya tidak memberikan keadilan
kepada masyarakat. Aparat penegak hukum atau Catur Wangsa alias Empat Pilar
Penegak Hukum yang dimaksud adalah Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara (atau
yang sekarang secara yuridis formal disebut Advokat).
Salah satu yang menjadi menarik ketika kita berbicara mengenai penegakan
hukum khususnya para korban kekerasan dalam rumah tangga, yaitu sejauh manakah
sudah efektifnya peraturan perundang-undangan dalam melindungi para korban
kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimanakah peran serta upaya para Aparat
penegak hukum dalam menegakan hukum tersebut.
Sejalan dengan uraian singakt diatas, maka penulis tertarik untuk sedikit
menguraikan Permasalahan-Permasalahan yang berkaitan dengan Penegakan hukum
khususnya para korban kekerasan dalam rumah tangga ini dalam bentuk makalah,
dengan judul “ PENEGAKAN HUKUM KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA ” Yang merupakan gambaran dan fakta hukum yang terjadi dalam
kehidupan kemasyarakatan dan ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan sosial
yang kiranya penting untuk dibahas.
3
1.2 Perumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan isu
hukum yang dikemukakan dalam penulisan ini, maka perumusan masalah yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1) Apakah Pengertian dan ruang lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga ?.
2) Bagaimana upaya Penegakan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga?.
Terhadap dua rumusan masalah tersebut, penulis melakukan pembatasan
dengan mengacu pada perspektif kajian Penegakan Hukum Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
1.3 Tujuan Penulisan
Hakekat kegiatan penulisan adalah penyaluran hasrat ingin tahu manusia
dalam taraf keilmuan, karena manusia pada dasarnya selalu ingin tahu sebab dari
suatu rentetan akibat. Demikian pula halnya dengan penulisan karya bidang tulis
hukum, berupa makalah, sesungguhnya tidak lepas dari adanya suatu tujuan yang
ingin dicapai yaitu sebagi berikut :
1) Mengetahui dan memahami Pengertian dan ruang lingkup Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
2) Mengetahui dan memahami Bagaimana upaya Penegakan Hukum Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Sebagai media untuk menambah wawasan.
4
2) Bahan referensi aktual .
3) Bahan bacaan dan pengetahuan
1.5 Metode Penulisan
Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada
buku-buku referensi yang berhubungan dengan Hukum Undang-Undang Kekerasaan
dalam Rumah Tangga dan situs internet yang langsung mengangkat permasalahan-
permasalahan tentang perspektif kajian Penegakan Hukum Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematiaka penulisan makalah ini mempunyai makna deskripsi secara garis
besar akan hal-hal yang mendasari isu hukum berupa rumusan masalah untuk
dilakukan analisis untuk selajutnya dikembangkan dan diberikan pemahaman bersifat
komprehensif sebagimana tersarikan dalam 3 (BAB) yaitu sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bermaterikan latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan,metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Merupakan uraian dalam bentuk analisis hukum secara normatif yang
ditujukan untuk memberikan penjelsan secara komprehensif terhadap 2(hal)
permasalahan yang dirumuskan pada bab I yaitu :
1) Pengertian dan ruang lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2) upaya Penegakan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga.
5
BAB III PENUTUP
Pada BAB penutup ini penulis mencoba mensarikan hal-hal yang telah
dideskripsikan pada BAB I-BAB II didepan, dalam bentuk suatu kesimpulan
dan dilengkapi saran-saran sebagai masukan positif bagi semua pihak.
6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan ruang lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga
2.1.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-
undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan
perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang
antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes
dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
6
7
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah
perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau
masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan
d. atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaan.
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
2.1.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan
ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut
(menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai
dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak
seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
b. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan
8
psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk
penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar
yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari
dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak.
c. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari
kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa
selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
d. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini
adalah tidak memberi nafkah istri,bahkan menghabiskan uang istri.
2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks
struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan
dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
9
b. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika
suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak,
maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam
rumah tangga.
d. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan
terhadap anaknya agar menjadi tertib.
e. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi
suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni
keluarga.
10
2.2 Penegakan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga
2.2.1 Peran Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan KDRT
Berbicara mengenai peran aparat penegak hukum dalam penanganan
KDRT tak lepas dari tinjauan hak-hak korban. seperti yang telah ditentukan
dalam Pasal 13 UU Nomor 23 Tahun 2004 Salah satunya adalah perlindungan
dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan. Hak perlindungan adalah segala upaya
yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan
oleh pihak keluarga, masyarakat, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan pengadilan.
1. Peran Kepolisian (Pasal l6)
Perlindungan oleh polisi dilakukan dalam waktu 1 X 24 jam terhitung
sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT. Kepolisian wajib segera
memberikan perlindungan sementara pada korban. Perlindungan sementara
diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
Dalam waktu 1 X 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan kepolisian
wajib meminta surat penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan.
Dalam memberikan perlindungan sementara kepolisian dapat bekerjasama
dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan / atau
pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
11
Setelah memperoleh perlindungan sementara, hak lain berkaitan proses
hukum dan kepolisian korban memperoleh hak penanganan perkara secara
cepat. Dalam Undang-Undang Kepolisian wajib segera melakukan
penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Untuk lebih jelas proses pelaporan di
Kepolisian antara lain :
a. Pembuatan laporan Polisi.
Pelapor/korban melaporkan kekerasan yang dialaminya ke kantor
Kepolisian di wilayah Tempat Kejadian Perkara (TKP).
b. Pembuatan visum et repertum.
Polisi akan membuat surat pengantar visum et repertum di Rumah Sakit
yang ditunjuk.
c. Pemeriksaan korban/pelapor.
Pemeriksaan korban dituangkan ke dalam BAP yang berisi kronologi
kejadian.
d. Pemeriksaan saksi-saksi.
Pemeriksaan saksi-saksi dituangkan ke dalam BAP yang berisi
keterangan saksi yang mendukung keterangan korban.
e. Pemeriksaan tersangka.
Setelah pemeriksaan dianggap selesai yang dilakukan Kepolisian yaitu
apabila berkas penyidikan sudah dianggap lengkap maka polisi akan
melimpahkan berkas ke Kejaksaan. Jika Kejaksaan merasa berkas belum
12
lengkap maka berkas dikembalikan ke Kepolisian untuk melengkapi catatan-
catatan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum. Jika berkas sudah lengkap
maka dinyatakan perkara sudah P-21 (siap disidangkan).
2. Peran Kejaksaan (Pasal 10)
Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum akan menyusun Surat Dakwaan
berisi pasal-pasal yang didakwakan kepada terdakwa atas perbuatan yang
telah dilakukannya. Berkas Perkara dan Surat Dakwaan kemudian
dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan. Lebih jelas lagi peran aparat
penegak hukum dalam proses persidangan yaitu :
a. Sidang Pembacaan Dakwaan.
Merupakan sidang pertama di pengadilan dimana Jaksa Penuntut Umum
membacakan Surat Dakwaan di muka pengadilan.
b. Sidang Pemeriksaan Korban.
Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Pengacara Terdakwa memberika
pertanyaan. Korban memberikan keterangan.
c. Sidang Pemeriksaan Saksi-saksi.
Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Pengacara Terdakwa memberikan
pertanyaan. Saksi memberikan keterangan. Apabila berbeda dengan BAP
maka yang diakui pengadilan adalah keterangan di muka pengadilan.
d. Sidang Pemeriksaan Terdakwa.
13
Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Pengacara Terdakwa memberikan
pertanyaan kepada terdakwa. Apabila berbeda dengan BAP maka yang
diakui pengadilan adalah keterangan di muka pengadilan.
e. Sidang Pembacaan Tuntutan.
Tuntutan diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum berisi fakta-fakta
persidangan, pasal yang dilanggar dan tuntutan hukuman.
f. Sidang Pembacaan Pledoi/Pembelaan.
Pembelaan diajukan oleh Terdakwa/Pengacara Terdakwa sebagai
tangkisan atas dalil-dalil tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
g. Sampai Sidang Pembacaan Putusan oleh Majelis Hakim yang memeriksa
dan mengadili perkara tersebut.
3. Peran Pengadilan (Pasal 28)
Sementara itu, undang-undang juga mengatur tentang peran pengadilan
dalam memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya mengenai
pelaksanaan mekanisme perintah perlindungan. Kepolisian harus meminta
surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Setelah menerima
permohonan itu, pengadilan harus:
a. Mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi
korban dan anggota keluarga lain.
b. Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat
mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus yakni
14
pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama,
larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban.
Apabila terjadi pelanggaran perintah perlindungan maka korban dapat
melaporkan hal ini kepada kepolisian, kemudian secara bersamasama
menyusun laporan yang ditujukan kepada pengadilan. Setelah itu, pengadilan
wajib memanggil pelaku untuk mengadakan penyelidikan dan meminta pelaku
untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk
mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap melanggar surat
pernyataan itu, maka pengadilan dapat menahan pelaku sampai 30 hari
lamanya.
4. Peran Advokat (Pasal 25)
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban maka
advokat wajib:
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-
hak korban dan proses peradilan,
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya, dan
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
15
2.2.2 Faktor-faktor yang mendukung dalam penanganan Penegakan Hukum
KDRT
a. Peraturan perundang-undangan
Perlu kiranya diperbanyak kegiatan sosialisasi masalah hukum dan
perundang-undangan yang berkaitan masalah ini kepada masyarakat,
terutama UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga yang tergolong baru terbit dan baru disahkan
oleh negara sehingga masyarakat tahu, sadar, dan memahami isi
undang-undang tersebut untuk sekaligus dijadikan pemahaman diri
dalam prilaku kehidupan mereka
b. Sarana dan Prasarana
Sarana adalah alat bantu disebut juga dengan fasilitas (facilities),
keadaan (circumstances) yang menyebabkan kemudahan dalam
melakukan sesuatu. Dilain pihak sarana juga disebut segala sesuatu yang
dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai maksud dan tujuan.
Sedangkan prasarana disebut juga dengan infrastructure diartikan
sebagai keterpaduan antara sistem dan bangunan fisik. Antara prasarana
dan sarana terdapat satu keterpaduan makna yang tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan yang lain. Dalam konteks ini faktor sarana dan
prasarana pendukung dalam penegakan hukum KDRT ialah Mendirikan
Ruang dan Pelayanan Khusus (RPK), sebagai tempat penanganan kasus-
KDRT dan pelanggaran anak, serta Membentuk unit Pelayanan
16
Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat kepolisian sebagaimana
dituangkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007.
c. Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia yang dimaksud ialah aparat penegakan
hukumnya. Dalam konteks ini faktor Sumber Daya Manusia pendukung
dalam penegakan hukum KDRT ialah meningkatkan kemampuan
personil Ruang dan Pelayanan Khusus (RPK) dalam penyidikan dan
penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dilakukan
melalui pendidikan, sehingga akan menambah pengetahuan personil
RPK tentang penyidikan secara umum ini dilakukan di intansi
kepolisian, , serta bagaimana upaya pencegahan dan menangani
pelanggarnya, dan Menjalin kerjasama dengan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan menyusun suatu manual atau buku saku
pegangan polisi dalam menangani kasus KDRT.
d. Masyarakat dan Budaya
Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan
masyarakat sendiri enggan melaporkan permasalahan dalam rumah
tangganya. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru
benar-benar bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban,
baik fisik yang parah maupun kematian, itupun jika diliput oleh media
massa; Faktor budaya pun mendukung hal tersebut, diantara kalangan
Masyarakat yang khusus menganut patriarkis/patrilineal ditandai dengan
17
pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki–laki dan perempuan
dimana laki–laki mendominasi perempuan. Selain itu juga pandangan
bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak–
anaknya, atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan
mereka sendiri yang mana tidak boleh dicampuri oleh pihak lain,
termasuk aparat penegak hukum; Maka yang dimkasud dengan faktor
pendukung Masyarakat dan Budaya dalam penegakan hukum KDRT
ialah Menyelenggarakan berbagai seminar/lokakarya bertujuan untuk
memberikan informasi kepada masyarakat tentang ketentuan/ peraturan
yang terkait dengan masalah perlindungan hukum terhadap KDRT
sehingga diharapakan masyarakat menjadi tanggap dalam menyikapi
segala bentuk kekerasaan dilingkungan sekitarnya yang menyakut
KDRT.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bentuk-bentuk kekerasan yang umum diketemukan dalam kekerasan dalam
rumah tangga antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan
kekerasan ekonomi. Berbagai Perlindungan terhadap Korban kekerasan dalam rumah
tangga seperti berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara
maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan dimana sudah
diatur didalam UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Bahkan Peran aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, advokat dan pengadilan,
dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban kekerasan dalam
rumah tangga, diatur secara khusus yaitu, sebagai berikut:
a. Kepolisian
Diatur dalam ketentuan Pasal l6 UU No. 23 Tahun 2004. Pada waktu kepolisian
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, harus segera dijelaskan
kepada korban bahwa mereka mendapatkan pelayanan dan pendampingan.
Kepolisian memperkenalkan identitas mereka dan segera wajib melakukan
penyelidikan serta wajib melindungi korban. Selanjutnya kepolisian akan
meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Kepolisian
dapat melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku.
18
19
b. Kejaksaan
Diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 4 dan Pasal 10 huruf a UU No 23 tahun
2004. Pada Tahap penuntutan (to carry out accusation) adalah berkas perkara
yang diterima pihak kejaksaan dilakukan penelitian apakah perkara/kasus
tersebut dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan negeri, apabila berkas
perkara belum lengkap maka berkas dikembalikan kepihak penyidik untuk
dilengkapi dan apabila berkas perkara dinyatakan lengkap maka penyidik wajib
menyerahkan tersangka berikut barang bukti.Sehingga dalam hal tersebut dapat
dikatakan, lembaga kejaksaan mempunyai peranan juga dalam memberikan
perlindungan terhadap korban
c. Advokat
Diatur dalam ketentuan Pasal 25 UU. No. 23 Tahun 2004. Di dalam memberikan
perlindungan dan pelayanan, advokat wajib memberikan konsultasi hukum
mengenai hak-hak korban dan proses peradilan. Mendampingi korban pada
penyidikan dan pemeriksaan di dalam sidang, serta melakukan koordinasi dengan
sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses
peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
d. Pengadilan
Diatur dalam ketentuan Pasal 28 sampai dengan 34, 37 dan 38 UU. No. 23 Tahun
2004. Pengadilan harus mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan
bagi korban dan anggota keluarga lain yang diajukan oleh kepolisian.
20
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan untuk mencegah agar tidak
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain peningkatan pendidikan
sehingga dapat menyadari hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan
warga masyarakat. Serta peningkatan kesempatan kerja dan lapangan kerja bagi yang
merata tidak membedakan gender antara laki-laki dan perempuan, sehingga secara
ekonomi tidak tergantung sepenuhnya kepada salah satu pihak. Sosialisasi peraturan
perundang-undangan yang memberikan perlindungan kepada korban khususnya
sosialisasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga lengkap dengan peran dan fungsi Ruang Pelayanan Khusus
(RPK). Memberikan advokasi dan pendampingan bagi korban serta Memberikan
advokasi kebijakan pemerintah di dalam menyusun peraturan-peraturan yang
melindungi istri.
21
DAFTAR PUSTAKA
Marlyn Jane Alputila, Peran Kepolisian Dalam Proses Penyidikan Kasus Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Di Polres Ambon, Jurnal Fakultas Hukum, Universitas
Hasanuddin, Makassar, 2012 di akses tanggal 3 Desember 2013
Midwifejaniezt (2012), Makalah Kdrt, midwifejaniezt.blogspot.com/2012/12
/makalah-kdrt.html di akses tanggal 3 Desember 2013
Saptadi Agung Priharyanto, Peran Aparat Penegak Hukum dan Pendamping Korban
dalam Penanganan KDRT ( Studi Kasus LBH Apik Jakarta, P2TP2A Provinsi
DKI Jakarta dan Unit PPA Bareskrim Polri ), Tesis , Program Studi Kajian
Stratejik Ketahanan Nasional Program Pascasarjana Universitas Indonesia
Jakarta, 2011