33
1 BAB I PENDAHULUAN Cedera akut tulang belakang merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Terdapat korelasi antara level cedera dengan morbiditas dan mortalitas, dimana semakin tinggi level cedera, semakin tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Disabilitas akibat trauma harus diterima oleh pasien dan keluarga. Kerusakan fungsi saraf tulang belakang bersifat irreversible, karena saraf tulang belakang merupakan bagian susunan saraf pusat yang tidak bisa beregenerasi atau tumbuh kembali, karena alasan ini evaluasi dan pengobatan pada cedera tulang belakang, medula spinalis, dan saraf tepi memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Tata laksana pasien dengan cedera saraf tulang belakang sangat kompleks, mulai penanganan prarumah sakit yang memadai, standar proteksi tulang belakang sesuai ATLS (advanced trauma life support), diagnosis dini, menjaga fungsi medula spinalis, dan pemeliharaan aligment serta stabilitas tulang belakang merupakan keberhasilan dari manajemen (Mahadewa, 2009; Japardi, 2002). Sekitar 5-10% pasien tidak sadar yang datang ke ruang gawat darurat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh, disertai dengan trauma tulang belakang servikal. Fraktur tulang belakang servikal

Manajemen fraktur servikal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

menjabarkan mengenai penatalaksanaan cedera servikal

Citation preview

Page 1: Manajemen fraktur servikal

1

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera akut tulang belakang merupakan penyebab yang paling sering dari

kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Terdapat korelasi antara level cedera

dengan morbiditas dan mortalitas, dimana semakin tinggi level cedera, semakin

tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Disabilitas akibat trauma harus diterima oleh

pasien dan keluarga. Kerusakan fungsi saraf tulang belakang bersifat irreversible,

karena saraf tulang belakang merupakan bagian susunan saraf pusat yang tidak

bisa beregenerasi atau tumbuh kembali, karena alasan ini evaluasi dan pengobatan

pada cedera tulang belakang, medula spinalis, dan saraf tepi memerlukan

pendekatan yang terintegrasi. Tata laksana pasien dengan cedera saraf tulang

belakang sangat kompleks, mulai penanganan prarumah sakit yang memadai,

standar proteksi tulang belakang sesuai ATLS (advanced trauma life support),

diagnosis dini, menjaga fungsi medula spinalis, dan pemeliharaan aligment serta

stabilitas tulang belakang merupakan keberhasilan dari manajemen (Mahadewa,

2009; Japardi, 2002).

Sekitar 5-10% pasien tidak sadar yang datang ke ruang gawat darurat

disebabkan karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh, disertai dengan trauma tulang

belakang servikal. Fraktur tulang belakang servikal 1/3nya terjadi pada level C2

dan 1/2nya terjadi pada level C6 atau C7. Fraktur servikal yang fatal, sering

terjadi pada level servikal yang lebih tinggi, pada craniocervical junction C1 atau

C2. (Davenport, 2009)

Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas secara umum tentang manajemen

dari fraktur servikal.

Page 2: Manajemen fraktur servikal

2

BAB II

MANAJEMEN FRAKTUR CERVIKAL

2.1. Anatomi vertebra servikalis

Tulang belakang servikal terbentuk dari 7 ruas vertebra pertama dari

tulang belakang, yang dipisahkan oleh diskus intervertebralis. Dimulai dari

bagian bawah skull dan berakhir pada bagian atas torak. Vertebra servikal terdiri

dari C1 sampai C7, sedangkan nervus servikalis terdiri dari C1 sampai C8. Tulang

servikal berbentuk “C” terbalik (lordotic view) dan lebih mobile dari tulang

belakang di daerah torakal dan lumbal. Vertebra servikalis selain berfungsi

melindungi medula spinalis dari kerusakan, juga menyangga kepala, dan

menggerakan kepala rotasi, ke depan serta ke belakang. Berbeda dengan tulang

belakang yang lain, dalam tulang servikal berjalan arteri vertebralis yang

mensuplai darah ke otak, yang hanya melalui vertebra C1 sampai C6 (Anonim,

2008; Eidelson, 2004; Davenport, 2009).

Dua tulang vertebra pertama disebut tulang atlas (C1) dan axis (C2),

berfungsi untuk gerakan rotasi. Tulang atlas (C1) memiliki arkus anterior yang

tebal , arkus posterior yang tipis dengan 2 prominent masses dan tidak memiliki

korpus vertebra. Setiap tulang vertebra memiliki perbedaan secara anatomis, tetapi

secara umum tulang vertebra terdiri atas bagian anterior yang disebut korpus dan

bagian posterior yang disebut arkus vertebra. Keduanya membentuk foramen

vertebrae yang dilalui medula spinalis. Arkus vertebra terdiri atas sepasang

pedicle yang membentuk sisi arkus dan lamina yang pipih, yang melengkapi arkus

dibagian belakang (Anonim, 2008; Eidelson, 2004; Davenport, 2009).

Di antara setiap vertebra terdapat diskus yang terdiri dari pelindung luar,

annulus fibrosus, dan gel didalamnya disebut nukleus pulposus. Diskus ini

berfungsi sebagai bantalan atau peredam dan memungkinkan pergerakan antara

korpus verterbra. Terdapat berkas serat yang kuat diantara tulang yang disebut

ligament longitudinal. Ligamen longitudinal anterior berjalan di depan korpus

vertebra dan ligamen longitudinal posterior berada di posterior korpus vertebra, di

depan medula spinalis (Anonim, 2010).

Page 3: Manajemen fraktur servikal

3

Gambar 1. Korpus vertebra C1 (atlas) dan C2 (axis)

Gambar 2. Korpus vertebra C3, C5, C6

Page 4: Manajemen fraktur servikal

4

2.2. Patofisiologi

Cedera servikal dapat berupa dislokasi atlanto occipital, dislokasi atlanto

aksial, fraktur atlas (C1), fraktur aksis (fraktur Hangman’s, fraktur odontoid),

fraktur subaksial (C3-C7), fraktur Clay Shoveler. Keterlibatan dari medula

spinalis disebabkan adanya cedera mekanis primer, dapat berupa kompresi,

penetrasi, laserasi, atau distraksi. Cedera primer kemudian diikuti cedera sekunder

yaitu hilangnya autoregulasi, adanya vasospasme, perdarahan, perubahan

permeabilitas, edema, perubahan elektrolit, perubahan biokimia termasuk

neurotransmiter. Mekanisme ini menyebabkan kerusakan aksonal dan kematian

sel. Iskemi medula spinalis mendasari adanya defisit neurologis, yang

berhubungan dengan perubahan vaskular sistemik atau lokal setelah trauma

(Anonim, 2001(a)).

Gangguan sistem respirasi dan disfungsi paru sering terjadi pada pasien

dengan fraktur servikal. Gangguan yang berat dapat menimbulkan penurunan

kapasitas vital paru, kapasitas inspirasi, dan relatif hipoksemia. Keadaan ini dapat

menyebabkan terjadinya hipoksemia global dan memperberat iskemi pada medula

spinalis setelah trauma akut. Ini menunjukkan deteksi dini disfungsi ventilasi dan

jantung diperlukan, sehingga pasien perlu perawatan intensif (intensiv care unit)

serta monitoring terhadap fungsi paru dan jantung. Suatu studi melaporkan 62%

pasien dengan fraktur servikal yang dirawat di ICU memiliki outcome yang baik

(Anonim, 2001(a); Crosby, 2006).

2.3. Diagnosis fraktur servikal

Fraktur servikal selalu dipikirkan terjadi pada pasien dengan riwayat

kecelakaan dengan kendaraan bermotor kecepatan tinggi, trauma pada wajah dan

kepala yang signifikan, terdapat defisit neurologis, nyeri pada leher, dan trauma

multipel. Gambaran umum adanya fraktur servikal dapat berupa nyeri pada

palpasi dari prosesus spinosus di leher posterior, terbatasnya gerakan yang disertai

nyeri, adanya kelemahan ekstremitas, rasa kebas, parestesi pada saraf yang

terkena. Sulit untuk mengevaluasi secara klinis adanya trauma tumpul servikal.

Dari penelitian, kemampuan untuk memprediksi adanya trauma servikal

berdasarkan pemeriksaan klinis saja memiliki sensitivitas 46%, spesifisitas 94%,

dan 33% pasien yang tidak terdiagnosis. Karena keterbatasan dan besarnya

Page 5: Manajemen fraktur servikal

5

morbiditas jangka panjang bila trauma tidak terdiagnosis, pasien dengan trauma

tumpul yang komplek dilakukan pemeriksaan radiologi, sampai dieksklusi adanya

trauma servikal. Tidak terdiagnosisnya trauma servikal dapat disebabkan karena

tidak dicurigai adanya trauma servikal, gambaran radiologi yang tidak adekuat,

dan interpretasi radiologi yang salah. (Mahadewa, 2009; Davenport, 2009 ;Brohi,

2002).

Adanya trauma servikal dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik berupa :

spinal shock (paresis flaksid, areflexia, hilangnya tonus sfingter anus,

inkontinensia alvi, priapismus), neurogenic shock (hipotensi, bradikardi

paradoksikal, flushed, kering dan hangat pada kulit), disfungsi otonom (ileus,

retensi urin, poikilotermi). Trauma servikal yang mengenai medula spinalis dapat

berupa lesi yang komplit atau inkomplit (Davenport, 2009; Kirshblum et al,

2004).

Pemeriksaan radiologi diperlukan pada pasien dengan defisit neurologis

yang konsisten dengan lesi medula spinalis, pasien dengan perubahan kesadaran

karena trauma kepala atau intoksikasi, pasien dengan keluhan nyeri leher, pasien

tanpa keluhan nyeri leher tetapi dengan trauma signifikan disekitarnya.

Pemeriksaan radiologis standar yang dilakukan adalah rontgen servikal

anteroposterior, cross-table lateral, open-mouth odontoid view, bila diperlukan

rontgen servikal swimmer’s, dan bilateral oblique (Davenport, 2009; Brohi, 2002;

Cohen, 1997)

Gambar 3. AP, Lateral, odontoid, Swimmer’s view

Page 6: Manajemen fraktur servikal

6

2.4. Manajemen fraktur servikal

2.4.1. Penatalaksanaan awal

Pasien dengan fraktur servikal biasanya memiliki beberapa trauma,

sehingga perlu dilakukan stabilisasi segera di tempat kejadian. Penatalaksanaan

pertama cedera servikal berdasarkan prinsip umum ATLS (advanced trauma life

support) yaitu evaluasi awal berdasarkan primary survey ABCD (airway and C-

spine control, breathing and ventilatory, circulation and stop bleeding, disability

and environment). Bila airway tidak adekuat, perlu dilakukan intubasi tanpa

menggerakkan kepala (C-spine protection). Evaluasi dan assesmen berulang

diperlukan pada pasien dengan trauma kepala dan karena pasien dengan kesadaran

menurun tidak dapat mengetahui adanya nyeri pada leher. Bila stabil dilanjutkan

ke secondary survey (head to toe examination) (Foster, 2009; Mahadewa, 2009;

Anonim, 2001(b)).

Manajemen awal pasien dengan cedera servikal dimulai di tempat

kejadian. Perhatian utama selama penatalaksanaan awal adalah adanya gangguan

fungsi neurologi karena gerakan yang patologis (trauma). Diperkirakan 3%

sampai 25% trauma medula spinalis terjadi saat awal trauma, saat transit atau

pada saat penatalaksanaannya. Telah dilaporkan beberapa kasus dengan outcome

yang buruk karena kesalahan penanganan cedera servikal (Anonim, 2001(b)).

Stabilisasi tulang belakang, manajemen hemodinamik dan gangguan

otonom sangat penting pada trauma akut. Prinsip khusus penatalaksanaan cedera

servikal adalah reposisi/realignment, imobilisasi, dan fiksasi tulang belakang

sesuai indikasi. Semua pasien dengan cedera servikal atau yang potensial untuk

cedera servikal, harus dilakukan imobilisasi sampai dieksklusi adanya trauma

servikal. Bila terdapat kecurigaan trauma, stabilisasi kepala dan leher secara

manual atau dengan collar. Beberapa alat yang direkomendasikan American

College of Surgeons dapat digunakan untuk imobilisasi pre-hospital adalah hard

backboard, rigid cervical collar, dan pita pengikat. Imobilisasi ini dapat

mengurangi gerakan sehingga menurunkan morbiditas, karena gerakan patologis

(trauma) pada servikal menyebabkan kerusakan pada medula spinalis atau radiks

saraf. Teknik imobilisasi dan penanganan pasien pre-hospital yaitu tulang

belakang harus dilindungi selama manajemen pasien dengan trauma multipel.

Page 7: Manajemen fraktur servikal

7

Posisi ideal adalah imobilisasi seluruh tulang belakang posisi netral dengan

permukaan yang keras. Dapat dilakukan secara manual, servikal collar semi rigid,

side head support dan pengikat. Pindahkan pasien secara hati-hati menggunakan

logroll technique untuk mencegah displacement ke arah lateral. Papan spine

direkomendasikan, juga dapat digunakan bantal, head blocks. Traksi untuk

mendapatkan dan mempertahankan alignment yang baik, imobilisasi eksternal

untuk stabilisasi sementara dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera

sekunder (Gondim, 2009; Mahadewa, 2009; Anonim, 2001(b))

Sasaran jangka panjang adalah penanganan komplikasi gastrointestinal

(ileus, konstipasi), genitourinarius (urinary tract infection, hidronefrosis),

dermatologi (dekubitus), dan muskuloskeletal (fraktur, nyeri akut dan kronis).

(Gondim, 2009).

2.4.2. Traksi dan imobilisasi

Pada fraktur sevikal dengan malalignment, sebelum terapi definitif,

dilakukan pemasangan servikal traksi dengan Crutchfield traction atau Halo Tong

Traction dengan beban sesuai dengan level kerusakan segmen servikalnya. Halo

vest sering digunakan sebagai alat definitf eksternal fiksasi untuk cedera spinal

servikal. Philadelphia collar bersifat semi rigid, sintetik foam brace dimana pada

dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-j collar

bersifat lebih kaku dan lebih nyaman untuk sandaran. Brace yang adekuat

melakukan imobilisasi adalah Thermoplastic Minnerva Body Jacket (TMBJ) dan

halo vest. TMBJ lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih

nyaman dibandingkan halo vest, sedangkan halo vest lebih baik membatasi rotasi.

Pasien cedera servikal diberikan imobilisasi untuk mencegah penekanan medula

spinalis lebih lanjut (Mahadewa, 2009)

Gambar 4. Philadelphia collar, Miami J collar

Page 8: Manajemen fraktur servikal

8

Gambar 5. Halo Tong Traction, Thermoplastic Minnerva Body Jacket

2.4.3. Medikamentosa

Obat yang diberikan pada pasien cedera servikal adalah golongan

kortikosteroid. Steroid berfungsi memperbaiki cedera medula spinalis dan

diberikan pada 8 jam pertama setelah cedera. Methylprednisolon dapat

menurunkan respon inflamasi dengan menekan migrasi polymorphonuclear

(PMN) dan menghambat peningkatan permeabilitas vaskular. Dosis yang

diberikan 30 mg/kgbb intravena dalam 15 menit pertama diikuti 45 menit

berikutnya dengan dosis 5,4 mg/kgbb/jam selama 23 jam (Mahadewa, 2009;

Cohen, 1997).

2.4.4. Bedah

Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis karena deformitas

tulang, fragmen tulang, atau hematom, diperlukan tindakan dekompresi. Tujuan

terapi awal adalah untuk dekompresi medula spinalis dengan memperbaiki

diameter sagital normal dari kolumna vertebralis. Berkurangnya dislokasi baik

parsial atau komplit juga akan mengurangi nyeri. Dislokasi yang disertai

instabilitas tulang belakang memerlukan tindakan reposisi dan stabilisasi. Indikasi

operasi cedera servikal adalah (Mahadewa, 2009):

Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah

servikal, bilamana traksi atau manipulasi gagal

Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dengan fragmen

tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis, meskipun telah

dilakukan traksi yang adekuat

Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak

adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh

Page 9: Manajemen fraktur servikal

9

diskus intervertebralis. Perlu dilakukan pemeriksaan myelografi dan CT Scan

untuk membuktikannya

Fragmen yang menekan lengkung saraf

Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis

Lesi parsial medula spinalis yang memburuk setelah mulanya dengan cara

konservatif maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai adanya

hematoma

Jika masih terdapat kelemahan motorik yang signifikan setelah suatu periode

perbaikan

Jika terdapat instabilitas spinal

Pembedahan darurat dilakukan bila terdapat gangguan neurologis

progresif akibat penekanan dan pada luka tembus. Pembedahan akan mengurangi

kemungkinan terjadinya penyulit tetapi tidak harus dilakukan sebagai tindakan

darurat. Pasien dengan kompresi sekunder dari herniasi diskus akibat trauma

harus segera didekompresi. Cedera medula spinalis akibat osteofit, penebalan

ligamen flavum, atau stenosis tidak memerlukan operasi segera. Terdapat 3

indikasi utama untuk melakukan tindakan operasi yaitu untuk dekompresi elemen

saraf, koreksi deformitas, dan stabilisasi segmen (Mahadewa, 2009; Cohen,

1997) .

Gambar 6. Gambaran radiologis fraktur cervicalImaging Cervical trauma

Page 10: Manajemen fraktur servikal

10

Gambar 7. Gambaran radiologis fraktur cervicalImaging Cervical trauma

2.4.5. Rehabilitasi

Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya

komplikasi, mengurangi kecacatan, dan menyiapkan penderita kembali ke

masyarakat. Tim rehabilitasi yang diperlukan terdiri dari dokter (ahli bedah saraf,

ahli bedah tulang), perawat, fisioterapis, petugas sosial, psikolog, ahli terapi

kerja.

Program rehabilitasi dapat dibagi 2 tahap. Tahap pertama pada fase akut

yaitu semasa pasien dalam pengobatan yang intensif, terutama dikerjakan oleh

perawat dan fisioterapis. Tindakan yang dilakukan pada tahap ini adalah latihan,

masase, memelihara jalan nafas, merawat gangguan miksi dan defekasi. Tahap

kedua adalah rehabilitasi jangka panjang dengan tujuan mengembalikan penderita

kembali ke masyarakat, yang meliputi menyiapkan keadaan mental penderita agar

tetap dapat berkarya walaupun cacat, edukasi pada penderita dan keluarga tentang

perawatan di rumah, latihan cara makan, berpakaian, miksi dan defekasi, latihan

menggunakan alat bantu, alih pekerjaan sesuai dengan kondisi penderita.

Terapi fisik dilakukan untuk pemulihan ROM (range of motion) dan

meningkatkan kemampuan mobilitas. Hal terpenting adalah memperkuat otot

ekstremitas atas, juga menjaga keseimbangan dan stabilitas tubuh. Otot

ekstremitas atas biasanya lebih parah dari ekstremitas bawah, maka pasien

akan kesulitan untuk menggunakan alat bantu berjalan yang membutuhkan

bantuan tangan.

Page 11: Manajemen fraktur servikal

11

Terapi rehabilitasi kerja ditujukan untuk perbaikan kemampuan dalam

menjalankan aktivitas sehari-hari, memperkuat ekstremitas atas, dan perbaikan

ROM. Bidai digunakan untuk mempertahankan posisi fungional tangan dan

kaki juga mencegah kontraktur.

Terapi bicara diberikan untuk pasien yang mengalami disfagia akibat

pemakaian alat-alat untuk mempertahankan stabilitas servikal atau akibat fusi

servikalis anterior. Pasien diajarkan cara menelan agar tidak memperparah

disfagi dan mencegah aspirasi. (Mahadewa, 2009)

2.4.6. Penanganan kasus khusus

a. Autonomic dysreflexia

Merupakan keadaan akut akibat stimulasi masif simpatis. Terjadi setelah syok

spinal, biasanya dalam 6 bulan pertama sampai 1 tahun. Gejala yang timbul

berupa hipertensi, sakit kepala, muka merah, berkeringat, hidung buntu,

piloereksi, dan bradikardi. Penyebabnya adalah distensi bladder dan bowel,

atau tindakan kateterisasi, mengorek skibala, penekanan ulkus dekubitus,

infeksi saluran kencing, penggunaan brace atau pakaian terlalu ketat.

Tindakan yang dilakukan adalah tinggikan posisi kepala, monitor tekanan

darah, kurangi stimulus noksius dan evaluasi faktor penyebab. Jika tidak ada

perbaikan, terapi untuk menurunkan tekanan darah (Mahadewa, 2009;

Krishblum et al, 2004).

b. Nyeri neuropatik

Pasien dengan cedera medula spinalis dapat mengalami alodinia di bawah

level injury. Penanganannya dengan mengevaluasi dan menghilangkan faktor-

faktor pencetus seperti infeksi dan pressure ulcer. Terapi dengan pemberian

obat anti konvulsan (Mahadewa, 2009; Krishblum et al, 2004).

c. Spastisitas

Awalnya pasien akan mengalami penurunan tonus saat periode spinal syok,

tetapi kemudian akan mengalami spastisitas. Program peregangan dan posisi

tidur yang benar dapat mengurangi spastisitas dan mencegah kontraktur.

Pemberian terapi antispasme diberikan bila spasme otot menimbulkan

perasaan tidak nyaman (Mahadewa, 2009).

d. Pressure ulcer

Page 12: Manajemen fraktur servikal

12

Menurunnya fungsi sensoris mengakibatkan timbulnya pressure ulcer karena

penekanan pada kulit. Pencegahan yang dilakukan adalah meminimalisasi

penekanan pada kulit (mengunakan kasur khusus, melapisi penonjolan tulang

dengan bantal), merubah posisi secara teratur. Jika ulkus semakin parah, bila

perlu dikonsulkan ke bagian bedah plastik(Mahadewa, 2009; Cohen, 1997).

e. Neurogenic bladder

Pasien dengan cedera medula spinalis sering mengalami retensi urin sehingga

memerlukan pemasangan kateter. Jika penderita sudah stabil, kateter dapat

dilepas dan dilakukan latihan pengendalian kandung kemih. Dapat dipasang

kateter intermiten, bila diperlukan. Fungsi kandung kemih biasanya kembali

setelah 6 bulan, tetapi jika tidak kembali pasien diajarkan untuk memasang

kateter sendiri saat rangsangan berkemih datang (Mahadewa, 2009; Krishblum

et al, 2004).

f. Neurogenic bowel

Pasien cedera akut beresiko mengalami gastric atoni dan ileus yang dapat

menyebabkan muntah dan aspirasi. Ileus dapat terjadi pada 1-2 hari pertama

dan berakhir pada hari ke-7. Pada fase kronis dapat terjadi distensi colon,

distensi abdomen, konstipasi, mual, muntah dan gangguan elektrolit. Berikan

latihan pengontrolan defekasi secara teratur karena terjadi penurunan

kemampuan kontrol terhadap defekasi, juga pemberian serat dan cairan yang

cukup untuk menghindari konstipasi atau inkontinensia. Lakukan evakuasi

feses dengan stimulasi colok dubur atau metode lain (Mahadewa, 2009;

Krishblum et al, 2004).

2.4.7. Follow up

Tujuan utama jangka panjang adalah mencegah komplikasi medis, yang

merupakan alasan dari 30% pasien cedera medula spinalis memerlukan perawatan

rumah sakit (Gondim, 2009; Mahadewa, 2009)

Monitor tekanan darah. Biasanya pasien dibuat hipertensi ringan untuk

meningkatkan aliran darah ke medula spinalis pada 12-24 jam pertama. Untuk

mencegah iskemik medula spinalis, ideal mean arterial presurre diatas

70mmhg.

Pencegahan infeksi nosokomial dan pemberian antibiotika sesuai indikasi

Page 13: Manajemen fraktur servikal

13

Perawatan kulit untuk mencegah ulkus dekubitus, penggunaan kasur khusus,

perlu sering dilakukan gerakan alih baring

Berikan profilaksis untuk DVT (deep vein thrombosis) dengan LMWH (low

molecular weight heparin)

Management cairan, elektrolit,dan nutrisi

Mengatasi nyeri dan kecemasan

Profilaksis gastrointestinal terhadap terjadinya ulkus. Pasien dengan cedera

medula spinalis memiliki insiden stress ulcer yang tinggi, dan diperburuk

dengan pemberian obat kortikosteroid pada fase akut.

Pemasangan foley catheter bila terjadi retensi urin

Page 14: Manajemen fraktur servikal

14

BAB III

RINGKASAN

Cedera akut tulang belakang merupakan penyebab yang paling sering dari

kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Kerusakan fungsi saraf tulang belakang

bersifat irreversible, karena saraf tulang belakang merupakan bagian susunan

saraf pusat yang tidak bisa beregenerasi atau tumbuh kembali, karena alasan ini

evaluasi dan pengobatan pada cedera tulang belakang, medula spinalis, dan saraf

tepi memerlukan pendekatan yang terintegrasi.

Kemampuan untuk memprediksi adanya trauma servikal berdasarkan

pemeriksaan klinis saja memiliki sensitivitas 46%, spesifisitas 94%. Karena

keterbatasan dan besarnya morbiditas jangka panjang bila trauma tidak

terdiagnosis, pasien dengan trauma tumpul yang komplek dilakukan pemeriksaan

radiologi, sampai dieksklusi adanya fraktur servikal.

Manajemen awal pasien dengan cedera servikal dimulai di tempat

kejadian. Penatalaksanaan pertama cedera servikal berdasarkan prinsip umum

ATLS (advanced trauma life support) yaitu evaluasi awal berdasarkan primary

survey ABCD (airway and C-spine control, breathing and ventilatory, circulation

and stop bleeding, disability and environment). Perhatian utama selama

penatalaksanaan awal adalah adanya gangguan fungsi neurologi karena gerakan

yang patologis (trauma). Diperkirakan 3% sampai 25% trauma medula spinalis

terjadi saat awal trauma, saat transit atau pada saat penatalaksanaannya. Prinsip

khusus penatalaksanaan cedera servikal adalah reposisi/realignment, imobilisasi,

dan fiksasi tulang belakang sesuai indikasi.

Obat yang diberikan pada pasien cedera servikal adalah golongan

kortikosteroid. Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis karena

deformitas tulang, fragmen tulang, atau hematom, diperlukan tindakan

dekompresi. Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya

komplikasi, mengurangi kecacatan, dan menyiapkan penderita kembali ke

masyarakat. Sasaran jangka panjang adalah penanganan komplikasi

gastrointestinal (ileus, konstipasi), genitourinarius (urinary tract infection,

hidronefrosis), dermatologi (dekubitus), dan muskuloskeletal.

Page 15: Manajemen fraktur servikal

15

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001(a). Management of acute spinal cord injuries in an intensive care unit or other monitored setting. [cited 14 March 2010]. URL : http://static.spineuniverse.com/pdf/traumaguide/7.pdf

Anonim. 2010. Cervical spine anatomy. [cited 17 March 2010] .URL : http://www.waterburyhospital.org/index.htm

Anonim. 2001(b). Pre-hospital cervical spinal immobilization following trauma. [cited 14 March 2010]. URL : http://www.neann.com/Prehospital%20Spine%20Immobilisation%20Review%20Of%20Studies.pdf

Anonim. 2008. Anatomy. [cited 16 March 2010]. URL : http://www.necksurgery.com/anatomy.html

Brohi, K. 2002. Spine trauma. [cited 14 March 2010]. URL : http://trauma.org/archive/spine/cspine-eval.html

Cohen, A. 1997. The acute management of spinal injury. [cited 14 March 2010]. URL : http://www.medicalonline.com.au/medical/first_aid/spineman.htm

Crosby, T.E. 2006. Airway management in adults after cervical spine trauma. Anesthesiology 104:1293-318

Davenport, M. 2009. Fracture cervical spine. [cited 14 March 2010]. URL : http://emedicine.medscape.com/article/824380-overview

Eidelson, S. 2004. Cervical spine anatomy. [cited 16 March 2010]. URL : http://www.spineuniverse.com/anatomy/cervical-spine-anatomy-neck

Foster, M. 2009. C1 fractures. [cited 17 March 2010]. URL : http://emedicine.medscape.com/article/1263453-treatment

Gondim, F. 2009. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. [cited 17 March 2010). URL : http://emedicine.medscape.com/article/1149070-treatment

Iskandar, J. 2002. Cervical injury. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah. Universitas Sumatera Utara.

Kirshblum, S., Gonzalez, P., Cuccurullo, S., Luciano, L. 2004. Epidemiology of spinal cord injury. Demos Medical Publishing Inc.

Mahadewa, T.G.B., Maliawan, S. 2009. Cedera saraf tulang belakang.Denpasar : Udayana University Press.

Page 16: Manajemen fraktur servikal

16

Tinjauan Pustaka

MANAJEMEN FRAKTUR SERVIKAL

Oleh :

Desie Yuliani

Pembimbing :

dr. Tjokorda G.B. Mahadewa, M.Kes, SpBS(K)

DISAMPAIKAN DALAM ACARA ILMIAH

BAGIAN / SMF ILMU BEDAH

FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR

2010

Page 17: Manajemen fraktur servikal

17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-

Nyalah tinjauan pustaka yang berjudul “Manajemen Fraktur Servikal” ini dapat

kami selesaikan. Adapun tinjauan pustaka ini, merupakan salah satu tugas yang

harus diselesaikan pada saat mengikuti stase di bagian Ilmu Bedah Saraf FK

UNUD / RSUP Sanglah Denpasar.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof.Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K) selaku Kepala Bagian Lab / SMF

Ilmu Bedah FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar

2. Dr. Tjokorda G.B. Mahadewa, M.Kes, SpBS(K), selaku pembimbing kami

dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.

3. Para senior di Lab / SMF Ilmu Bedah Saraf FK UNUD / RSUP Sanglah

Denpasar.

Akhir kata, kami menyadari bahwa tinjauan pustaka yang kami susun ini

masih kurang sempurna, sehingga masih memerlukan bimbingan, kritik, dan saran

dari para senior. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Penyusun

Desie Yuliani

Page 18: Manajemen fraktur servikal

18

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................................

i

Daftar Isi ......................................................................................................................

ii

Bab 1 Pendahuluan ....................................................................................................

1

Bab 2 Manajemen Fraktur Servikal ............................................................................

2

2.1. Anatomi vertebra servikalis ..................................................................................

2

2.2 Patofisiologi...........................................................................................................

4

2.3. Diagnosis fraktur servikal .....................................................................................

4

2.4. Manajemen fraktur servikal ..................................................................................

6

2.4.1. Penatalaksanaan awal ........................................................................................

6

2.4.2. Traksi dan imobilisasi ........................................................................................

7

2.4.3. Medikamentosa ..................................................................................................

8

2.4.4. Bedah .................................................................................................................

8

2.4.5. Rehabilitasi ........................................................................................................

10

2.4.6. Penanganan kasus khusus ..................................................................................

11

2.4.7. Follow up ...........................................................................................................

12

Page 19: Manajemen fraktur servikal

19

Bab 3 Ringkasan .........................................................................................................

14

Daftar Pustaka ..............................................................................................................

15

Page 20: Manajemen fraktur servikal

20

Philadelpia collar1 http://schneiderorthopaedic.com/cervicalaids.html

Rehab http://www.netterimages.com/image/7343.htm

Rehab 2 http://metrosportsmed.patientsites.com/Injuries-Conditions/Upper-

Back-Neck/Upper-Back-Surgery/Cervical-Laminectomy/a~314/article.html

• Injury to the spine and spinal cord. William A. Walters MD.

• C2 Fracture. Igor Boyarsky.

http://emedicine.medscape.com/article/1267150-overview

• Primary screening for CSI.(CSI ppt)

• Imaging cervical trauma. Les folio.

http://www.passmyboards.org/rad/handouts/folio/Cervical_Spine_Tru

ama_Dec_05.pdf

• Cervical spine. T. Ros Bailey.

http://www.tcuathletictraining.com/ross/Cervical%20Spine%20PPT

%202003.pdf

• Cervical spine anatomy.

http://citysquarephysiotherapy.patientsites.com/article.php?aid=308

• Spinal cord injury http://www.siskinrehab.org/subpage.php?

pageId=537

Page 21: Manajemen fraktur servikal

21

943, Waterbury

Cervical spine anatomy

Spinal shock

Spinal shock is a state of transient physiologic (rather than anatomic) reflex depression of cord function below the level of injury, with associated loss of all sensorimotor functions. An initial increase in blood pressure due to the release of catecholamines, followed by hypotension, is noted. Flaccid paralysis, including of the bowel and bladder, is observed, and sometimes sustained priapism develops. These symptoms tend to last several hours to days until the reflex arcs below the

Page 22: Manajemen fraktur servikal

22

level of the injury begin to function again (eg, bulbocavernosus reflex, muscle stretch reflex [MSR]).

Neurogenic shock

Neurogenic shock is manifested by the triad of hypotension, bradycardia, and hypothermia. Shock tends to occur more commonly in injuries above T6, secondary to the disruption of the sympathetic outflow from T1-L2 and to unopposed vagal tone, leading to a decrease in vascular resistance, with associated vascular dilatation. Neurogenic shock needs to be differentiated from spinal and hypovolemic shock. Hypovolemic shock tends to be associated with tachycardia.

Page 23: Manajemen fraktur servikal

23