106

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah
Page 2: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIADidirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)

merupakan organisasi profesi yang bertujuanmengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa.

PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIAKetua : Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaWakil Ketua : Fairul Zabadi, Badan Pengembangan dan Pembinaan BahasaSekretaris : Ifan Iskandar, Universitas Negeri JakartaBendahara : Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

DEWAN EDITORUtama : Bambang Kaswanti Purwo, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaPendamping : Lanny Hidajat, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaAnggota : Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Ellen Rafferty, Universityof Wisconsin, Amerika Serikat; Bernard Comrie, Max Planck Institute; Tim McKinnon,Jakarta Field Station MPI; A. Chaedar Alwasilah, Universitas Pendidikan Indonesia; E.Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia; Siti Wachidah, Universitas NegeriJakarta; Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; D. EdiSubroto, Universitas Sebelas Maret; I Wayan Arka, Universitas Udayana; A. EffendiKadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar, Universitas KatolikIndonesia Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako; Yassir Nasanius, UniversitasKatolik Indonesia Atma Jaya; Dwi Noverini Djenar, Sydney University, Australia;Mahyuni, Universitas Mataram; Patrisius Djiwandono, Universitas Ma Chung; Yanti,Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

JURNAL LINGUISTIK INDONESIALinguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Linguistik Indonesia telah terakreditasiberdasarkan SK Dirjen Dikti No. 040/P/2014, 18 Februari 2014. Jurnal ilmiah inidibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannya umumnyamelalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secaraperseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp 200.000,00 (anggota dalamnegeri) dan US$30 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeriadalah Rp 250.000,00 dan luar negeri US$50 per tahun.

Naskah dan resensi yang panduannya dapat dilihat di www.mlindonesia.orgdikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagianbelakang sampul jurnal.

ALAMATMasyarakat Linguistik IndonesiaPusat Kajian Bahasa dan BudayaUniversitas Katolik Indonesia Atma JayaJI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesiae-mail: [email protected]; [email protected]./Faks.: +62 (0)21 571 9560

Page 3: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah
Page 4: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

FORMAT PENULISAN NASKAHNaskah diketik dengan menggunakan MS Word dikirimkan ke Redaksi melalui [email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah,termasuk daftar pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, denganspasi tunggal dan jenis huruf Times New Roman 11 point. Naskah disertai denganabstrak sekitar 150 kata dan kata kunci (key words) maksimal tiga kata. Abstrak dankata kunci ditulis dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, diletakkansetelah judul naskah dan afiliasi penulis.

Kutipan hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis, kecuali bila panjangnyalebih dari tiga baris. Dalam hal ini, kutipan diketik dengan spasi tunggal, menjorok kedalam (indented) sepuluh karakter, letak tengah (centered), dan tanpa tanda petik. Namapenulis yang dirujuk hendaknya ditulis dengan urutan berikut: nama akhir penulis,tahun penerbitan, dan nomor halaman (bila diperlukan); misalnya, (Radford 1997),(Radford 1997:215). Catatan ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada bagianbawah halaman (footnote).

Setiap rujukan baik artikel maupun buku tanpa dipilah-pilah jenisnya, diurutkanmenurut abjad berdasarkan nama akhir, tanpa diberi nomor urut. Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun pe-

nerbitan, (6) titik, (7) judul buku cetak miring, (8) titik, (9) kota penerbitan, (10) titikdua (colon), (11) nama penerbit, dan (12) titik, seperti pada contoh berikut:Gass, Susan M. dan J. Schachter. 1990. Linguistic Perspectives on Second Language

Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.Thornbury, Scott. 2005. Beyond the Sentence: Introducing Discourse

Analysis. Oxford: Macmillan. Untuk artikel dalam jurnal: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5)

tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tandapetik tutup, (11) nama jurnal cetak miring, (12) volume, (13) titik, (14) nomor (kalauada), (15) koma, (16) spasi, (17) halaman, (18) titik, seperti pada contoh berikut:Chung, Sandra. 1976. “An Object-Creating Rule in Bahasa Indonesia.” Linguistic

Inquiry 7.1, 41-87.Steinhauer, Hein. 1985.“Number in Biak. Counterevidence to Two Alleged

Language Universals.” Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde 141.4,462-485.

Untuk artikel dalam buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5)tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tandapetik tutup, (11) berilah kata "Dalam", (12) titik dua, (13) nama editor disusul (ed.),(14) koma, (15) halaman, (16) titik. Buku ini harus pula dirujuk secara lengkap dalamlema tersendiri, seperti pada contoh berikut:Dardjowidjojo, Soenjono. 2007. “Derajat Keuniversalan dalam Pemerolehan Bahasa.”

Dalam: Nasanius (ed.), 233-261.Nasanius, Yassir. (ed.). 2007. PELBBA 18. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jika ada lebih dari satu artikel oleh pengarang yang sama, nama pengarangnya ditulis

ulang secara lengkap, dimulai dengan tahun terbitan yang lebih dulu, mengikuticontoh ini:Shibatani, Masayoshi. 1977. “Grammatical Relations and Surface Cases.” Language

53, 789- 809.Shibatani, Masayoshi. 1985. “Passives and Related Constructions: A Prototype

Analysis.” Language 61, 821-848.

Page 5: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Daftar Isi

Juara Satu dan Dua: Membandingkan Situasi Kebahasaan Indonesia danPapua Nugini

René van den Berg ............................................................................ 103

Local Languages in Indonesia: Language Maintenance or Language ShiftAbigail C. Cohn & Maya Ravindranath............................................131

Introduction in Indonesian Social Sciences and Humanities ResearchArticles: How Indonesian Writers Justify Their Research Projects

Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana ................................ 149

Keajekan Konseptual dalam Metafora BaruBahren Umar Siregar ....................................................................... 165

Kata dan Makna dalam Bahasa Melayu TernateBetty Litamahuputty .......................................................................... 179

Resensi:Andrew Carnie

Modern Syntax: A CoursebookDiresensi oleh Yassir Nasanius ..................................................................199

Jelajah Linguistik:Mengancang Gejala Bahasa untuk Data Penelitian: MelihatKembali Kasus Konstruksi Nomina + banget dalam BahasaIndonesia

Ridwan Hanafiah & Bahren Umar Siregar ............................................... 201

Indeks ......................................................................................................... 205

Page 6: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia Agustus 2014, 103-129 Volume ke-32, No. 2Copyright©2014, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

JUARA SATU DAN DUA:MEMBANDINGKAN SITUASI KEBAHASAAN INDONESIA

DAN PAPUA NUGINI

René van den Berg*SIL International

[email protected]

AbstrakPapua Nugini dan Indonesia menempati urutan pertama dan kedua pada rankingnegara dengan jumlah bahasa daerah yang tertinggi (Papua Nugini 836,Indonesia 706). Makalah ini bertujuan membandingkan situasi kebahasaan di duanegara yang bertetangga ini. Informasi mengenai latar belakang masing-masingnegara ini dipaparkan pada Pendahuluan. Bagian pertama memfokuskan padabahasa-bahasa nasional (bahasa Indonesia dan Tok Pisin), termasuk sejarah danperanannya saat ini, dilanjutkan dengan pembahasan pendek tentang ciri-ciristruktural dan leksikal Tok Pisin. Bagian ini diakhiri dengan gambaran umummengenai peranan bahasa daerah di dua negara tersebut. Bagian kedua berupadeskripsi yang lebih rinci mengenai dua bahasa daerah dari masing-masingnegara: bahasa Muna dari Sulawesi Tenggara di Indonesia dan bahasa Vitu dariProvinsi West New Britain di Papua Nugini. Bagian ini tidak hanyamenggambarkan sejarah dan peranan kedua bahasa daerah tersebut, melainkanjuga membandingkan beberapa ciri struktural, dan juga tingkat pendokumentasiandan status keterancaman. Makalah ini ditutup dengan beberapa saran.

Kata kunci: Papua Nugini, bahasa nasional, bahasa daerah, perkembanganbahasa, Tok Pisin, bahasa Muna, bahasa Vitu

AbstractWith 836 and 706 languages each, Papua New Guinea and Indonesia occupy thetwo top positions in the list of countries with the highest number of languages. Thisarticle aims to provide a linguistic comparison of these two neighbouringcountries. After a general introduction with some background information abouteach country, the first part of the article focuses on the national languages (bahasaIndonesia and Tok Pisin), their history and current role, as well as a brieftreatment of some lexical and structural features of Tok Pisin. Part one ends with ageneral discussion of the role of the regional languages in both countries, followedin part two by a more detailed discussion of one Austronesian regional languagefrom each country: Muna from Southeast Sulawesi in Indonesia, and Vitu fromWest New Britain in Papua New Guinea. This section does not only treat thehistory and role of these two languages, but also compares various structuralfeatures, as well as their level of description and endangerment. The article endswith three brief suggestions.

Keywords: Papua New Guinea, national language, regional languages, languagedevelopment, Tok Pisin, Muna, Vitu

Page 7: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

104

PENDAHULUAN1

Jumlah total bahasa di dunia sekitar 7.100. 2 Dilihat dari segi jumlah bahasa per negara, PapuaNugini dan Indonesia menempati urutan satu dan dua. Sepuluh negara dengan jumlah bahasadaerah yang tertinggi diuraikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Ranking Negara menurut Jumlah Bahasa DaerahNegara Jumlah

Bahasa3JumlahPenduduk(Juta)4

1 Papua Nugini 836 72 Indonesia 706 2513 Nigeria 522 1284 India 447 10805 RR Cina 298 13006 Meksiko 282 1067 Kamerun 280 168 Brasil 215 2019 Amerika Serikat 214 29510 Australia 214 20

Dalam makalah ini kami akan membandingkan situasi kebahasaan dalam dua negarayang bertetangga ini. Walaupun ada batas sepanjang 760 kilometer antara kedua negaratersebut, hubungan antarnegara selalu dikaitkan dengan faktor politik dan sejarah, sedangkanpengetahuan rakyat dalam dua negara ini mengenai negara tetangga mereka masih sangatminim, dan pada umumnya hanya merupakan stereotip atau klise yang diwarnai oleh prasangka.Dalam percakapan seringkali terdengar komentar seperti ini: “Orang Papua di Papua Nuginiadalah pemakan manusia. Masih pakai koteka, dan hidup di zaman batu.” Sebaliknya di PNGkami mendengar komentar seperti ini: “Di Indonesia terdapat kediktatoran militer. Indonesianegara Islam dan tidak ada kebebasan agama.” Prasangka seperti ini tidak membantu dalamproses pendekatan sebagai tetangga yang harus hidup bersama dengan rukun. Karena kamisekeluarga telah hidup dan bekerja dalam kedua negara ini selama beberapa tahun, kami merasabahwa prasangka seperti itu perlu disingkirkan. Dengan memperkenalkan kedua negara yangbertetangga ini dengan lebih baik, kami berharap dapat membawa pengertian dan apresiasi baru.

Kedua negara ini dapat dibandingkan pada berbagai tingkat, termasuk geografi, politik,sejarah, situasi keagamaan, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Pada makalah ini kamimembatasi diri pada perbandingan kebahasaan. Khususnya, yang akan dibandingkan padabagian pertama adalah bahasa nasional kedua negara ini (bahasa Indonesia dan Tok Pisin) dansituasi bahasa daerah, didahului oleh informasi umum. Dalam bagian kedua akan dibandingkandua bahasa daerah, baik dari segi struktural maupun dari segi sosiolinguistik. Kedua bahasadaerah ini masing-masing adalah bahasa Muna di Sulawesi Tenggara (Indonesia), dan bahasaVitu, di West New Britain (Papua Nugini). Kami mengakhiri makalah ini dengan menganjurkanbeberapa saran.

PERBANDINGAN INDONESIA DAN PAPUA NUGINI

Informasi UmumPada Tabel 2 di bawah ini terlihat beberapa fakta umum mengenai kedua negara yangdibandingkan.

Page 8: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

105

Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua NuginiIndonesia Papua Nugini

1 Wilayah (tanah)5 1.811.569 km2 462.840 km2

2 Jumlah penduduk6 251 juta 7,1 juta3 Ibu kota Jakarta Port Moresby4 GDP per capita7 $5.100 $2.4915 Mata uang Rupiah

(1 euro =Rp 16.200)

Kina(1 euro = 3,5 Kina)

6 Jumlah dokter per 10.000orang8

2,04 0,5 (2008)

7 Literasi9 92,8% 62,4% (resmi)10

15%?8 Lamanya pendidikan11 13 tahun tidak jelas (tetapi

tidak melebihi 6)9 Jumlah bahasa daerah 706 83610 Agama12 Islam 87%

Kristen 10%Lain 3%

Kristen 96%Lain 4%

11 Surat kabar harian13 15 (nasional)34+ (di daerah)

3

Sebaiknya kami memberikan penjelasan sedikit mengenai tabel ini dan sejarah Papua Nugini(atau PNG).

Luas daratan Indonesia sekitar empat kali lebih besar daripada PNG. Wilayah PNG meliputisebelah timur pulau Nugini, dengan tiga pulau besar di sekitarnya (Manus, New Britain, danNew Ireland), dan ratusan pulau kecil. Sebaliknya, wilayah Indonesia meliputi sejumlahbesar pulau yang besar (termasuk sebelah barat pulau Nugini), dan ribuan pulau kecil.

Jumlah penduduk sangat berbeda. Dengan 251 juta orang Indonesia terdapat pada urutanyang ke-4 di dunia (setelah Cina, India, dan Amerika Serikat).

Berbeda dengan Indonesia, wilayah yang sekarang disebut Papua Nugini selama berabad-abad jarang atau tidak pernah dikunjungi oleh orang dari luar, mulai dari zaman kunosampai pada akhir abad ke-19. Itu berarti bahwa dalam periode abad ke-9 sampai abad ke-19, waktu wilayah Indonesia sudah mengalami banyak masukan dari luar, di wilayah PapuaNugini tidak ada pengaruh dari India (Buddhisme), dari Arab (Islam), dari Portugis, dariBelanda atau dari Inggris. Itu juga berarti bahwa, sama halnya dengan daerah Papua diIndonesia (dahulu Irian Jaya), kebudayaan setempat berkembang dalam situasi terisolirtanpa pengaruh dari luar. Alhasil, banyak benda dan konsep dari luar sudah lama dikenal diwilayah Indonesia, tapi masih asing di wilayah PNG pada awal abad ke-20. Contohnya: alatbesi (seperti pisau, parang, pedang), kain, sabun, roda, kertas, payung, sepatu, beras, jagung,anggur, bumbu (seperti merica dan lada), binatang (seperti kuda, sapi, kambing, kucing),dan kegiatan seperti menenun, menulis, dan membaca. Selain itu konsep raja atau pemimpinutama satu wilayah tidak pernah ada. Semuanya ini tidak berarti bahwa kebudayaan Papuabermutu rendah. Pandangan seperti ini mencerminkan perasaan superioritas yang perludihindari. Hanya karena situasi terisolir, penduduk setempat belum mendapat kesempatanuntuk mencicipi yang disebut “kehidupan modern”.

Baru sekitar tahun 1880 ada pengaruh langsung dari penguasa kolonial di PNG. PemerintahJerman mulai menduduki bagian kepulauan dan pesisir di sebelah utara, sedangkan daerahpesisir di bagian selatan mulai dikuasai oleh pemerintah Inggris. Semasa Perang Dunia yang

Page 9: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

106

Pertama (1914-1918), penguasa Jerman dikalahkan dan kemudian seluruh wilayah PapuaNugini mulai diperintah oleh Australia. Pada tahun 1975 Papua Nugini memperolehkemerdekaan dari Australia, tanpa perang atau kekerasan.

Jika dipandang dari segi perkembangan negara dan sumber daya manusia, negara PapuaNugini tetap berada pada urutan rendah. Indikatornya termasuk jumlah pendidikan tinggi(hanya terdapat beberapa universitas dan sekolah tinggi), jumlah dokter dan dokter gigi,jaringan internet, kebutahurufan yang masih tersebar luas, kekerasan dalam rumah tangga(domestic violence), dll. Kebanyakan penduduk hidup dari hasil kebun sendiri.

Walaupun demikian, Papua Nugini juga sangat kaya dengan sumber daya alam. Bukan sajagas dan minyak, tetapi juga banyak mineral seperti emas, besi, tembaga, dll. Tambang emasdi Pulau Lihir adalah cadangan emas yang ketiga di dunia.14

Mengenai nama Papua Nugini (sebenarnya Papua New Guinea), asal-usulnya begini.Bagian ‘New Guinea’ adalah nama yang diberikan kepada pulau ini pada tahun 1545 olehYñigo Ortiz de Retez, seorang penjelajah dari Spanyol (dalam bahasa Spanyol pulau ini disebutNueva Guinea). Sebabnya ialah, dia “mencatat kemiripan orang-orang Papua dibandingkandengan orang-orang yang pernah dilihatnya di sepanjang pesisir Guinea, Afrika [Barat].”15

Mengenai kata ‘Papua’, hampir semua sumber saling mengulangi dengan mengatakan bahwa“kata papua diturunkan dari pepuah, kata dari bahasa Melayu yang menggambarkan rambutorang Melanesia yang keriting.” 16 Padahal, sebenarnya tidak demikian. Berdasarkan penelitianSollewijn Gelpke (1993), ternyata nama papua berasal dari bahasa Biak. Dalam bahasa Biakkata papwa berarti ‘di bawah’ dan juga ‘sebelah barat’. (Hubungan semantis antara konsep‘bawah’ dan ‘barat’ cukup umum; begitu juga dengan ‘atas’ dan ‘timur’; lihat Brown 1983).Dalam bahasa Biak daerah papwa merujuk kepada kepulauan Raja Ampat dan penduduknya.Istilah itu kemudian diambil alih oleh pedagang Melayu dan pemerintahan kolonial Belanda,dan akhirnya menjadi nama umum untuk seluruh Pulau Papua dan penduduknya.

Bahasa NasionalIndonesiaRepublik Indonesia hanya memiliki satu bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Sebelumkemerdekaan Indonesia, fungsi bahasa itu sudah diakui dalam Sumpah Pemuda pada tahun1928. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang dipakai sebagai bahasa daerah diSumatra bagian timur laut, khususnya di kerajaan Sriwijaya, dan (di kemudian hari) juga disemenanjung Melayu. Karena peranan yang penting dalam perdagangan, bahasa Melayu sudahberabad-abad berfungsi sebagai bahasa antarsuku di seantero Nusantara (Adelaar dan Prentice1996). Perlu dicatat juga bahwa menurut beberapa ahli linguistik historis, bahasa Melayusendiri, sebelum menjadi bahasa yang dihubungkan dengan kerajaan Sriwijaya danperdagangan, agaknya berasal dari Pulau Borneo (Adelaar 2004).

Menurut Ethnologue (edisi ke-16) jumlah penutur bahasa Indonesia sebagai bahasapertama sekitar 23 juta, sedangkan penutur bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua sekitar 140juta. Angka seperti ini jelas merupakan perkiraan saja, karena pengumpulan data yang tepattidak gampang. Ada juga yang berpendapat bahwa bahasa Indonesia “dipahami dan dituturkanoleh lebih dari 90% warga Indonesia”.17 Kalau itu memang benar, berarti jumlah penutur sudahmencapai 225 juta. Walaupun ada banyak ragam dan varian lokal, bahasa Indonesia digunakansecara sangat luas dan hampir secara eksklusif di dunia pemerintahan (dari pusat sampaipelosok), di dunia pendidikan (dari SD sampai perguruan tinggi), di media massa dan sastra.Bahasa Indonesia betul-betul merupakan bahasa persatuan bangsa. Ratusan ribu buku sudahditerbitkan dalam bahasa Indonesia, melingkupi buku bacaan anak-anak sampai buku pelajaranperguruan tinggi. Data mengenai jumlah judul baru yang diterbitkan dalam bahasa Indonesiasetiap tahun tidak gampang diperoleh, tetapi pasti ribuan. Penyebaran surat kabar harian dalam

Page 10: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

107

bahasa Indonesia juga sangat luas. Harian dengan jangkauan nasional sudah berjumlah 15(termasuk Kompas dan Republika), di samping puluhan harian di daerah.18

Sejak berdirinya Republik Indonesia ada upaya untuk membakukan, merancang, danmenyebarluaskan pengetahuan mengenai bahasa Indonesia dalam negara. Untuk itu BadanPembinaan dan Pengembangan Bahasa didirikan. Badan ini telah banyak mengeluarkanterbitan mengenai bahasa Indonesia, termasuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi pertamatahun 1988; sekarang dalam edisi yang ketiga, juga terdapat dalam bentuk online), tata bahasayang baku, pembentukan kosakata baru, dan puluhan terbitan lain, termasuk juga karya ilmiahmengenai bahasa daerah di Indonesia. Melalui badan ini, status, fungsi dan masa depan bahasaIndonesia terjamin.

Papua NuginiSituasi Papua Nugini sangat berbeda dengan Indonesia, mulai dari jumlah bahasa nasional,penyebaran bahasa persatuan, dokumentasi, dan terbitan.

Sekarang ada tiga bahasa nasional di Papua Nugini: 1) bahasa Inggris, 2) Tok Pisin, dan3) bahasa Motu. Bahasa Inggris berfungsi sebagai bahasa pemerintahan, bahasa pendidikan, danbahasa tulisan. Tok Pisin adalah bahasa lisan antarsuku, terutama di provinsi-provinsi di bagianutara, di pulau-pulau, dan di pegunungan. Dalam tiga dasawarsa belakangan ini penggunaandan pemakaian Tok Pisin semakin luas, juga dalam ranah tertulis. Bahasa Motu, lebih tepatnyavarian sederhana yang disebut Hiri Motu atau Police Motu, adalah bahasa daerah yangdituturkan di sekitar ibu kota Port Moresby. Hiri Motu pernah berfungsi sebagai bahasaantarsuku di Provinsi Central, Gulf dan sebagian di Western dan Milne Bay, dan juga sebagaibahasa pemerintahan sampai 1975. Untuk sejarah dan penyebaran bahasa Motu, lihat Dutton(1985, 1996). Posisi bahasa Motu semakin berkurang sejak Papua Nugini merdeka, dan tidakakan disebut lagi di sini, begitu juga halnya dengan bahasa Inggris. Kami akan memusatkanperhatian pada Tok Pisin.

Sejarah Tok Pisin sangat menarik. Sebelum kedatangan kuasa kolonial pada akhir abadke-19, tidak pernah ada bahasa persatuan antara ratusan bahasa daerah di wilayah yang sekarangdisebut Papua Nugini. Baru dengan tibanya orang Jerman dan pembentukan sistem perkebunanyang luas (plantation) muncullah suatu bahasa pijin (alat komunikasi antarsuku yang bukanbahasa ibu seseorang), karena memang tidak ada bahasa yang dimengerti oleh semua pihak.Bahasa pijin inilah berkembang menjadi bahasa kreol yang disebut Melanesian Pidgin ataulebih umum sekarang disebut dengan Tok Pisin. Sebenarnya asal Tok Pisin bukan di PapuaNugini, tetapi di kawasan Pasifik, khususnya di perkebunan di Queensland (Australia) dan dipulau Samoa pada tahun 1830-1850. Baru antara 1880 dan 1914 (semasa zaman kolonialJerman), Tok Pisin mendapatkan identitas tersendiri di wilayah PNG sekarang, walaupunseringkali dianggap sebagai ‘bahasa yang rusak’ (broken language), yang tidak layak ditulis dandipakai dalam pergaulan resmi. Baru pada tahun 1960 ejaan Tok Pisin dibakukan, dan kemudianterbitlah bahan bacaan dalam Tok Pisin. Sejarah Tok Pisin diuraikan secara rinci olehMühlhäusler (1979). Sekarang status dan fungsi Tok Pisin semakin kuat, dan jumlah penuturbertambah banyak, baik oleh penutur bahasa pertama di kota, maupun oleh penutur bahasakedua. Mungkin saja sudah ada antara lima sampai enam juta penutur Tok Pisin secara total,yaitu 80% dari seluruh penduduk Papua Nugini.19

Dalam bagian berikut kami menyajikan beberapa sampel kosakata dan struktur TokPisin, mulai dengan percakapan pendek:

Page 11: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

108

A: Yu stap orait? Apa kabar?B: Yes, mi orait tasol. Baik-baik saja.A: Yu go we? Mau ke mana?B: Mi go long taun, mi laik baim nupela su. Saya mau ke kota, mau membeli sepatu baru.A: Pikinini bilong yu i stap we? Anak-anak Anda di mana?B: Ol i stap long ples. Mereka ada di kampung.A: Orait, lukim yu. Baiklah, sampai bertemu lagi.

Di bawah ini diuraikan beberapa ciri Tok Pisin sebagai bahasa kreol dengan sejarahyang agak dangkal.

1. Kosakata diambil dari bahasa yang lain, yang disebut lexifier language. Bahasa yangmemberikan banyak kosakata pada Tok Pisin ialah bahasa Inggris. Berikut contoh dalamejaan modern Tok Pisin dengan kata asalnya dalam bahasa Inggris.

Tok Pisin Arti Kata Asal Bahasa Inggrisai ‘mata’ eyehaus ‘rumah’ househauskuk ‘dapur’ house cook = kitchenkanu ‘perahu’ canoekokonas ‘kelapa’ coconutmarit ‘menikah, kawin’ marriedmoni ‘uang’ moneyrais ‘beras, nasi’ ricetekewe ‘membawa pergi’ take awaytisa ‘guru’ teachertok ‘berbicara; bahasa’ talk

Selain bahasa Inggris, ada cukup banyak kata yang berasal dari bahasa lain, termasuk: Bahasa Portugis: kalabus ‘penjara’, save ‘tahu’, maski ‘biar’, pikinini ‘anak’. Bahasa Kuanua (juga disebut bahasa Tolai) di ujung timur Pulau New Britain (atau

mungkin juga dari bahasa dearah sekitarnya; lihat Mosel 1980): balus ‘merpati; pesawatterbang; diwai ‘pohon, kayu’, kiau ‘telur’, kakaruk ‘ayam’, matmat ‘kuburan’, pukpuk‘buaya’, tambaran ‘roh leluhur, hantu’.

Bahasa Jerman: beten ‘berdoa’, haiden ‘kafir’, popaia ‘tidak kena sasaran’ (< vorbei),plang ‘papan’, raus ‘keluar’, tais ‘rawa’ (< Teich).

Bahasa Melayu. Kata yang masih umum dipakai adalah: baret ‘selokan, parit’,binatang ‘serangga’, kasang ‘kacang’, lombo ‘lombok’, mambu ‘bambu’, satu ‘dadu’,susu ‘susu’.20

Kata dari bahasa Melayu yang kurang umum dipakai sekarang adalah: blion ‘beliung,kapak kecil’, klambu ‘kelambu’, krani ‘pedagang Melayu’, mandor ‘mandor,pengawas’, tiang ‘tiang bercabang dua’ dan yati ‘pohon/kayu jati’.21 Kata-kata Melayuini masuk Tok Pisin sekitar tahun 1900, sewaktu ada orang dari wilayah Indonesia yangdipekerjakan di perkebunan di daerah kepulauan Nugini yang dikuasai oleh Jerman.Sejarah menarik pengaruh bahasa Melayu di Papua Nugini digambarkan dalam Seiler(1982, 1983).

2. Sistem bunyi yang disederhanakan. Berbeda dengan bahasa Inggris (yang ada sekitar 15-18vokal22), Tok Pisin hanya mengenal lima vokal dasar: /i, e, a, o, u/. Itu berarti perbedaanantara vokal /i/ dan /ɪ/ dalam bahasa Inggris dihapus, dan begitu juga antara /ei/, /ɛ/ dan /æ/. Fonem konsonan seperti /f/ pada umumnya diganti dengan /p/, fonem /θ/ diganti dengan/t/, dan /ʃ/ dengan /s/. Gugusan konsonan juga sering dihilangkan. Konsonan bersuara padaakhir kata seperti /b,d,ɡ/ selalu dijadikan tak bersuara, yaitu /p,t,k/. Beberapa contoh:

Page 12: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

109

Tok Pisin Arti Kata Asal Bahasa Inggrisdok ‘anjing’ doghan ‘tangan’ handhat 1. ‘keras’ hard

2. ‘panas’ hot3. ‘topi’ hat4. ‘jantung’ heart

pinis ‘selesai, habis’ finishpilai ‘main’ playpis 1 ‘ikan’ fish

2. ‘damai’ peacesel 1. ‘layar’ sail

2. ‘kerang-kerangan’ shelltenkyu ‘terima kasih’ thank youtingting ‘berpikir’ thinktit ‘gigi’ teeth

3. Sistem pronomina (kata ganti) cukup berbeda dengan bahasa Inggris, dan lebih mirip padasistem pronomina bahasa-bahasa Oseania di daerah Nugini. Misalnya, ada perbedaan antarapronomina orang pertama inklusif dan eksklusif (mipela ‘kami’, yumi ‘kita’), tetapi tidakada gender. Sama dengan bahasa Indonesia (dan hampir semua bahasa dari rumpunAustronesia) tidak ada perbedaan antara he dan she, kedua-duanya em. Selain itu, ada jugadualis (untuk merujuk kepada dua orang), dan dalam daerah tertentu juga trialis (bentuk tigaorang). Namun, trialis agak jarang terpakai dan seringkali tidak dimasukkan dalam sistempronominal Tok Pisin.

Tabel 3. Pronomina Tok Pisin

Tunggal Dualis Trialis Jamak

1 eksklusif mi(saya)

mitupela(kami berdua)

mitripela(kami bertiga)

mipela(kami)

1 inklusif – yumitupela(kita berdua)

yumitripela(kita bertiga)

yumi(kita)

2 yu(anda)

yutupela(anda berdua)

yutripela(anda bertiga)

yupela(kalian)

3 em(dia)

tupela(mereka berdua)

tripela(mereka bertiga)

ol(mereka)

4. Hampir tidak ada morfologi dalam Tok Pisin. Nomina tidak dijamakkan, verba tidakdiberikan infleksi (awalan atau akhiran yang menunjukkan orang, kala atau aspek), tidakada kasus atau bentuk derivasi yang menonjol. Dua proses morfemis yang ada adalahsebagai berikut.

Akhiran -pela pada pronomina (seperti mipela ‘kami’; lihat 3 di atas), dan juga padaadjektiva tertentu, pada kata penunjuk, dan pada kata bilangan. Akhiran -pela berasaldari bahasa Inggris fellow ‘orang laki-laki’. Lihat Baker (1996) untuk sejarah dandistribusi kata ini dalam bahasa-bahasa pijin di kawasan Pasifik dan Australia. Beberapacontoh:

Page 13: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

110

bikpela man ‘orang besar’waitpela meri ‘perempuan putih’dispela pikinini ‘anak ini’wanpela dok ‘satu (ekor) anjing’etpela gaden ‘delapan (bidang) kebun’

Akhiran -im pada verba intransitif membuat verba itu menjadi transitif, sama denganakhiran -kan dalam bahasa Indonesia. Akhiran -im ini berasal dari pronomina him yangmenjadi im, dan kemudian digabungkan dengan verba intransitif. Beberapa contoh:bikmaus ‘berteriak’ bikmaus-im ‘meneriakkan’kamaut ‘keluar’ kamaut-im ‘mengeluarkan, melepaskan,

mencabut’kirap ‘bangun, berdiri’ kirap-im ‘membangunkan’lait ‘bernyala, mengkilap’ lait-im ‘menyalakan’malolo ‘beristirahat’ malolo-im ‘mengistirahatkan’marit ‘kawin, nikah’ marit-im ‘mengawinkan’pinis ‘habis, selesai pinis-im ‘menghabiskan, menyelesaikan’pret ‘takut’ pret-im ‘menakutkan’pul ‘tarik, berdayung’ pul-im ‘menarik, mendayungkan’Akhiran -im sangat produktif, sehingga sering muncul dalam kata baru yang diambil daribahasa Inggris: prin-im ‘mencetak’ (< print), implement-im ‘mengimplementasikan’,snep-im ‘mengambil potret’ (< snap(shot)), blutut-im ‘memindahkan melalui bluetooth’.

5. Seperti halnya dengan banyak bahasa pijin dan kreol di dunia, kosakata Tok Pisin agakterbatas. Jumlah kata yang ada dalam kamus Tok Pisin mungkin tidak melebihi 2.000(termasuk kata turunan dengan -im).23 Kalau dibandingkan dengan bahasa Indonesia yangkhazanahnya mungkin melebihi 35.000 kosakata,24 maka jelas bahwa kekayaan leksikalBahasa Indonesia tidak sepadan dengan Tok Pisin. Alhasil, banyak kata dalam Tok Pisinmempunyai makna yang sangat luas. Beberapa contoh: nogut. Artinya meliputi ‘jahat, jelek, tidak enak, salah, berbahaya’, tetapi juga ‘sangat,

sekali’, dan ‘jangan sampai’. pul: ‘dayung, sayap, sirip’. tok (nomina): ‘kata, bahasa, pesan, pidato, khotbah, cerita’. harim: ‘mendengar, mendengarkan, menaati, mengerti’. stretpasin: ‘kelakuan yang baik, kebajikan, keadilan’.

Ada juga banyak kata dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia yang semata-mata tidakmempunyai padanan dalam Tok Pisin. Contohnya termasuk nervous ‘gelisah’, disappointed‘kecewa’, evidence ‘bukti’, to urge ‘mendesak’, honesty ‘kejujuran’ dan ratusan lainnya.Selain itu, hampir tidak ada nomina untuk merujuk kepada objek flora dan fauna sepertiburung, serangga, ikan, bunga dan pohon. Kalau kata seperti ini diperlukan, para penuturTok Pisin menggunakan bahasa daerah setempat atau bahasa Inggris, atau kata yang umumsaja. Itu berarti mengungkapkan konsep dan ide yang ada di otak si penutur Tok Pisin,merupakan tantangan tersendiri. Seringkali satu frasa atau bahkan kalimat harus disusununtuk menjelaskan makna yang mau disampaikan. Beberapa contoh:25

janda meri man bilong em i dai pinis na em no marit gen(artinya: perempuan yang suaminya telah meninggal dan dia tidak kawin lagi)

terbalik kapsaitim sampela samting baimbai as bilong em i kamap antap(artinya: membalikkan sesuatu sehingga dasarnya berada di atas)

Page 14: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

111

terowongan rot i go aninit long graun na i kamap long hap(artinya: jalan yang pergi di bawah tanah dan muncul di sebelah)

bukti samting bilong strongim tok tru, samting bilong sapotim tok, samting i soimtok i tru(artinya: sesuatu untuk menguatkan kata yang benar, sesuatu untukmendukung kata, sesuatu yang memperlihatkan bahwa kata yang dipakaimemang benar)

akibat wanpela samting i kamap bilong wanem narapela samting i bin kamapim(artinya: sesuatu yang terjadi karena sesuatu yang lain sudah mulai)

Namun, Tok Pisin adalah bahasa yang kelihatan berfungsi sebagai alat komunikasi yangmemadai untuk sebagian besar penuturnya. Tok Pisin juga penuh dengan idiom dan katakiasan yang menarik yang memberikan warna tersendiri kepada bahasa nasional ini.Beberapa contoh: airaun ‘pusing, pening’ (harf: mata berputar) bel hevi ‘susah, sedih, cemas’ (harf: perut berat) bun kakaruk ‘sangat kurus’ (harf: tulang ayam) hetpas ‘bodoh’ (harf: kepala tertutup) namba seven ‘kapak’ (harf: angka tujuh [karena bentuk

angka 7 sama dengan bentuk kapak]) namba ileven ‘ingus yang turun dari (harf: angka sebelas [dua jalur ingus

yang kedua lubang hidung’ turun mirip dengan angka 11]) sikispela lek ‘laki-laki yang beristri dua’ (harf: enam kaki) givim siksti ‘lari dengan kecepatan tinggi’ (harf: memberikan enam puluh [mil]) maus wara ‘meleter, terlalu banyak bicara’ (harf: air mulut)

Dokumentasi Tok Pisin belum memadai. Memang ada dua kamus Tok Pisin ─ Inggris(Mihalic 1971, Volker 2008), yang sangat bermanfaat bagi mereka yang ingin belajar Tok Pisin,terutama orang dari luar. Tetapi kamus Mihalic sudah berumur 40 tahun dan tidak pernahditerbitkan edisi yang diperbaiki, sedangkan Tok Pisin English Dictionary yang dikarang olehVolker dan kawan-kawannya lebih modern, tetapi lebih mencerminkan terutama dialek TokPisin di Port Moresby dengan banyak kata dari bahasa Inggris, dan tidak memasukkan asal kata(etimologi). Bagian sebaliknya yang berupa bahasa Inggris ─ Tok Pisin juga masih sangatterbatas pada kedua kamus tersebut. Sekarang ada usaha memperbarui kamus Mihalic dalambentuk online, tetapi masih dalam proses awal. Satu kamus Tok Pisin lain yang menarik adalahTrilingual Dictionary Tok Pisin ─ English ─ Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh Thomas,dkk. (1997).

Tata bahasa Tok Pisin telah diterbitkan oleh Verhaar (1995), seorang pakar bahasa(hidup dari 1925-2001) yang bekerja baik di Indonesia maupun di Papua Nugini. Namun,karena berdasarkan bahan tertulis (dengan subjudul an experiment in corpus linguistics), makamasih ada peluang untuk memperluas dan memperhalus analisis tata bahasa Tok Pisin denganmenginkorporasikan bahan lisan dari pelbagai daerah, dan perkembangan baru dalam duadasawarsa terakhir.

Jumlah buku yang diterbitkan dalam Tok Pisin terbatas, karena bahasa pendidikan diPapua Nugini adalah bahasa Inggris. Kebanyakan buku yang diterbitkan bersifat bukukeagamaan atau buku anak-anak. Hanya ada satu surat kabar harian dalam Tok Pisin (Wantok).Dukungan resmi dari pihak pemerintah untuk Tok Pisin terlihat agak terbatas. Tok Pisin disebutdalam undang-undang sebagai bahasa resmi dalam negara, tetapi tidak ada badan resmi sepertiBadan Bahasa di Indonesia untuk merancangkan perkembangan bahasa dan membakukanistilah baru yang diperlukan.

Page 15: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

112

Situasi yang kurang memadai ini mencerminkan peran utama Tok Pisin adalah sebagaibahasa lisan antarsuku. Dipandang dari segi itu, membandingkan Bahasa Indonesia dengan TokPisin sebenarnya tidak layak, karena peranan dan fungsinya yang sangat berbeda, di sampingsejarah yang juga berlainan sekali. Pemerintah Papua Nugini mengakui pentingnya Tok Pisinuntuk mempersatukan negara yang begitu aneka ragam, tetapi sekaligus menempati Tok Pisinpada posisi yang kedua setelah bahasa Inggris, sehingga ada kesan bahwa Tok Pisin terabaikan.Bahasa Inggrislah yang merupakan bahasa resmi untuk pemerintahan dan pendidikan, tetapiironisnya Tok Pisinlah yang sesungguhnya menjadi bahasa persatuan.

Bahasa DaerahSeperti dikatakan pada awal makalah ini, Papua Nugini dan Indonesia menempati urutan satudan dua pada daftar negara dengan jumlah bahasa yang terbanyak. Jumlah tergabung melebihi1.550 bahasa; itu berarti kedua negara ini saja menampung sekitar 22% atau 1/5 dari semuabahasa di dunia (jumlah total sekitar 7.100). Tetapi satu perbedaan besar antara kedua negara iniadalah jumlah penutur per bahasa. Menurut statistik, jumlah penutur bahasa daerah di Indonesiarata-rata 340.000 orang, sedangkan jumlah yang sama di Papua Nugini 8.500. Tabel 4memperlihatkan kesepuluh bahasa daerah yang terbesar di kedua negara, tanpa bahasa Indonesiadan Tok Pisin.26

Tabel 4. Kesepuluh Bahasa Daerah yang TerbesarIndonesia PNG

1 Bahasa Jawa 84,3 juta Enga 230 ribu2 Bahasa Sunda 34,0 juta Melpa 130 ribu3 Bahasa Madura 13,6 juta Kuman 115 ribu4 Bahasa Minangkabau 5,5 juta Kamano 63 ribu5 Bahasa Musi (Melayu Palembang) 3,9 juta Kuanua 61 ribu6 Bahasa Melayu Manado 3,8 juta Sinasina 50 ribu7 Bahasa Bugis 3,5 juta Bo-Ung 41 ribu8 Bahasa Bandar 3,5 juta Angal-Hengen 40 ribu9 Bahasa Aceh 3,5 juta Takia 40 ribu10 Bahasa Bali 3.3 juta Waghi 39 ribu

Dari segi genetis, semua bahasa daerah di kedua negara ini bisa digolongkan dalam duakelompok yang besar, yaitu bahasa Austronesia dan bahasa non-Austronesia (juga disebutbahasa Papua). Semua bahasa Austronesia adalah kerabat yang berasal dari satu bahasa purbayang disebut Proto-Austronesia. Wilayah bahasa Austronesia meliputi Taiwan, Filipina,Malaysia, Indonesia, Papua New Guinea dan seluruh kawasan Pasifik sampai kepulauanHawai’i, dan Pulau Paskah. Dari 706 bahasa di Indonesia, sekitar 450 adalah dari rumpunAustronesia, sisanya yang berjumlah sekitar 250 adalah bahasa non-Austronesia. Kebanyakanbahasa non-Austronesia di wilayah Indonesia terdapat di Pulau Nugini (Provinsi Papua danPapua Barat), tetapi ada juga bahasa non-Austronesia yang terdapat di pulau Halmahera bagianutara (sekitar 10), dan di pulau Alor dan Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (sekitar 20).Tidak boleh dilupakan bahwa di Provinsi Papua dan Papua Barat ada juga bahasa Austronesia,terutama di kepulauan Raja Ampat, di jazirah Bomberai, di Pulau Biak dan Yapen, di pesisirTeluk Cendrawasih, dan di daerah Sarmi. Jumlah totalnya sekitar 55.

Dari 836 bahasa daerah di Papua Nugini, sekitar 220 dikelompokkan sebagai bahasaAustronesia, khususnya cabang Oseania. Yang lain, lebih dari 600, tergolong sebagai bahasanon-Austronesia atau bahasa Papua. Rumpun terbesar di antara bahasa non-Austronesia adalahTrans-New Guinea, dengan ratusan bahasa di Pulau Nugini, baik di sebelah Indonesia, maupundi sebelah Papua Nugini. Selain rumpun Trans-New Guinea, ada rumpun yang lebih kecilseperti West Papuan, Torricelli, Skou, Lower-Ramu-Sepik, dan banyak yang lain.

Page 16: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

113

Beberapa bahasa daerah besar di Indonesia ada aksara atau abjad tersendiri, termasukBatak, Jawa, Makassar, Bugis, atau ditulis dengan huruf Arab (antara lain Aceh, Melayu,Wolio). Lain halnya dengan Papua Nugini, di mana tak satu bahasa daerahpun pernah ditulissebelum akhir abad ke-19.

Status resmi bahasa daerah di kedua negara ini tidak jauh berbeda. Selain Hiri Motu diPapua Nugini, tidak ada bahasa daerah yang diakui sebagai bahasa resmi pada tingkat nasionalatau tingkat provinsi dengan perlindungan hukum. Di dunia pendidikan situasi kebahasaankedua negara juga agak sama; bahasa daerah memang diakui sebagai unsur kebudayaan pentingyang perlu dihormati dan dilestarikan, tetapi dalam praktek di Indonesia bahasa Indonesiasangat diutamakan, dan bahasa daerah hanya memainkan peranan yang terbatas dalamkurikulum, atau sama sekali tidak mendapat perhatian. Walaupun sejak tahun 1995 ada usahauntuk memberikan tempat pada bahasa daerah dalam kurikulum muatan lokal di SD dan SMP,banyak bahasa daerah yang kecil tetap diabaikan karena kebijakan sekolah, kurangnya materi,ketidaktersediaan guru, dan lain sebagainya. Di Provinsi Sulawesi Tenggara, misalnya, bahasa-bahasa daerah yang relatif besar memang diajarkan pada tingkat SD dan SMP, seperti bahasaTolaki, bahasa Wolio, dan bahasa Muna. Namun, bahasa daerah yang relatif kecil kurangmendapatkan perhatian, seperti bahasa Wawonii, bahasa Kulisusu, bahasa Kamaru, dan bahasaBusoa.

Dalam sistem pendidikan di Papua Nugini, bahasa Inggris dinomorsatukan, denganperanan samping bagi Tok Pisin atau bahasa daerah sebagai bahasa lisan yang hanya dipakaioleh para guru untuk menjelaskan materi sulit yang diajarkan. Ada juga sekolah dasar di manaTok Pisin dipakai pada tahap awal belajar membaca dan menulis. Tetapi tujuannya selaluberalih ke bahasa Inggris secepat mungkin. Sebenarnya penggunaan bahasa daerah di duniapendidikan di Papua Nugini mengalami perubahan beberapa kali, sehingga ada tiga periodeyang bisa dibedakan.

Periode 1 Dari kemerdekaan pada tahun 1975 sampai pada tahun 1999, hanya bahasaInggrislah yang diizinkan sebagai bahasa pengantar di sekolah (English onlypolicy). Dengan beberapa pengecualian, bahasa daerah tidak ada peranan di bidangpendidikan.

Periode 2 Mulai pada tahun 1999 ada perubahan yang disebut Elementary Reform. Melihatpentingnya bahasa dan budaya setempat dan kesulitan langsung mulai denganbahasa Inggris, maka bahasa daerah dipromosikan di kelas 1 dan 2 sekolah dasar(Kelas 1-2 disebut Elementary School, kelas 3-8 disebut Primary School). Ituberarti semua murid mulai belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibu, yaitubahasa daerah masing-masing. Baru pada kelas 3 ada transisi yang berangsur-angsur kepada Bahasa Inggris (lihat Wroge 2002). Periode ini berlangsung sampaitahun 2013.

Periode 3 Pada awal tahun 2013, ada perubahan yang drastis. Pada kalangan pemerintah hasilkebijakan Elementary Reform dirasakan tidak memadai: mutu pendidikan dianggapmerosot, persentase orang yang buta huruf tetap tinggi, dan kemampuan berbahasaInggris kelihatan menurun. Alhasil, pemerintah Papua Nugini mengambil keputusanuntuk kembali kepada bahasa Inggris saja. Dalam kalangan tertentu ada rasakecewa, termasuk pada kalangan SIL, karena menurut banyak pengamat ada faktor-faktor lain yang tidak disebut secara resmi. Faktor-faktor itu termasuk pendidikanguru SD yang akan mengajarkan bahasa daerah tidak memadai sehingga para gurusering bingung, kekurangan sarana dan prasarana di banyak tempat (gedung sekolahdan buku), ketiadaan ejaan baku dalam banyak bahasa daerah, dan ketidakhadiranguru pada jam pengajaran (teacher absenteeism) yang cukup umum terjadi. Namun,kebijakan baru diharuskan untuk semua sekolah.27 Memang masih ada peluang

Page 17: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

114

untuk mengajarkan bahasa daerah di Tok Ples Preschool (pra-sekolah bahasadaerah), tetapi itu merupakan pendidikan non-formal. Boleh dikatakan masa depanbahasa daerah dalam pendidikan di Papua Nugini tidak gemilang.

Ada satu hal lagi yang belum disebut, yaitu status keterancaman (endangerment status)bahasa daerah dalm dua negara tersebut. Skala keterancaman yang sering dipakai sekarang disebutEGIDS.28 Tabel 5 memperlihatkan pembagiaan bahasa daerah berdasarkan keterancaman menurutEthnologue.

Tabel 5. Status Keterancaman Bahasa DaerahEGIDS Indonesia29 Papua Nugini30

3 bersifat kelembagaan (institutional) 21 614-5 berkembang (developing) 97 2956a kuat (vigorous) 248 3406b-7 terancam (in trouble) 265 1048-9 menghadapi maut (dying) 75 3610 mati / punah (extinct) 13 12

jumlah total 719 848

Dalam grafik di bawah perbedaan antara kedua negara lebih jelas lagi.

Indonesia

Papua Nugini

Perlu diingat bahwa angka-angka di atas bersifat tentatif dan sering tidak diperolehberdasarkan penelitian setempat. Tingkat 6a (kuat), misalnya, adalah pilihan otomatis (default)yang diberikan untuk semua bahasa daerah jika tidak ada informasi mengenai statusketerancaman. Jelas bahwa ini merupakan satu asumsi yang perlu disangsikan bila kita melihatpergeseran bahasa daerah di dunia modern. Kami sendiri berpendapat bahwa ada sejumlah besarbahasa daerah yang perlu dipindahkan dari kategori 6a (kuat) ke kategori 6b (dalam keadaanterancam), mungkin sebanyak 20%.

Page 18: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

115

Walaupun mungkin angka-angka ini tidak semuanya tepat, jelaslah bahwa situasikebahasaan sangat memprihatinkan, terutama di Indonesia, di mana sekurang-kurangnya 265bahasa daerah (sepertiga dari jumlah total) berada dalam keadaan terancam. Jelas penyebabnyaialah kuatnya Bahasa Indonesia, modernisasi, media massa, perkawinan antarsuku, danperubahan sikap terhadap bahasa daerah yang sering dianggap kuno. Situasi di Papua Nuginiagak lebih baik, walaupun di Provinsi Madang, Sepik, dan Sandaun sudah ada puluhan bahasadaerah yang terancam punah. Keadaan yang rawan ini lebih parah lagi kalau dipikirkan bahwasebagian besar dari bahasa daerah yang terancam tergolong rumpun bahasa (language families)yang kecil, bahkan isolate (bahasa tanpa kerabat yang terkenal). Setiap bahasa yang punahmerupakan kerugian dan kehilangan bagi seluruh umat manusia (lihat juga Evans (2010) danHammerström (2010)).

PERBANDINGAN DUA BAHASA DAERAH: BAHASA MUNA DAN BAHASA VITU

PendahuluanDalam bagian ketiga ini akan dibandingkan dua bahasa daerah di Indonesia dan Papua Nugini.Yang pertama ialah bahasa Muna di Sulawesi Tenggara, yang kedua bahasa Vitu di West NewBritain (lihat Peta 1). Walaupun kedua bahasa ini cukup berjauhan, masih ada hubungankekeluargaan, karena kedua-duanya termasuk rumpun Austronesia (untuk rumpun Austronesia,lihat Blust 2009). Cabangnya dalam rumpun ini memang sangat berbeda, karena bahasa Munatergolong kelompok Celebic dalam cabang Western Malayo-Polynesian, sedangkan bahasa Vitutergolong kelompok Meso-Melanesian dalam cabang Oceanic. Dengan kata lain, mereka masihsupupu, tetapi entah sepupu yang keberapa. Data selanjutnya mengenai bahasa Muna diambildari van den Berg (1989), van den Berg dan La Ode Sidu (2000). Data bahasa Vitu diambil darivan den Berg dan Bachet (2006). Data Proto-Austronesia dari Austronesian ComparativeDictionary (http://www.trussel2.com/ACD/), karangan Robert Blust.

Figur 1. Peta Muna dan Vitu

Yang menarik, ada beberapa kata dalam dua bahasa ini yang memang sama dalam bentuk danarti, karena berasal dari kata induk Proto-Austronesia yang sama.

Page 19: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

116

Muna Vitu Bahasa Indonesia Proto-Austronesialima lima 1. ‘lima’; 2. ‘tangan’ *limatolu tolu ‘tiga’ *təlumai mai ‘datang’ *maifoo vao ‘mangga’ *pahuqkuli hulit-a ‘kulit’ *kulitmata mata ‘mata’ *maCamate mate ‘mati’ *mataymoghane tamohane ‘laki-laki’ *maRuqanayrobhine tavine ‘perempuan’ *b<in>ahiama tama ‘ayah’ *amabhangka vaga ‘perahu’ *waŋkano-ghuri ma-huri ‘hidup’ *ma-qudipghuse huza ‘hujan’ *quZanponu bonu ‘penyu’ *pəñuzanga-vulu ompulu ‘sepuluh’ *sa-puluq

Bandingkan juga beberapa kata Vitu yang sama dengan bahasa Indonesia, tetapi sangat berbedadengan bahasa Muna:

Vitu Bahasa Indonesia Munaruma ‘rumah’ lambuzaha ‘jahat’ dia(h)iha ‘ikan’ kentahanitu ‘hantu’ kahandalohor-a ‘leher’ wughuhizu ‘hidung’ neetalinga ‘telinga’ pongketangi ‘tangis’ ghaehinu-mi-a ‘minum’ foroghutaru ‘taruh’ tei

SosiolinguistikTabel 6 memperlihatkan beberapa kesamaan dan perbedaan dalam profil sosiolinguistik keduabahasa.31

Tabel 6. Profil Sosiolinguistik Muna dan VituMuna Vitu

lokasi pulau Muna, SulawesiTenggara, Indonesia

kepulauan Vitu, West NewBritain, PNG

luasnya daerah 2.889 km2 96 km2

jumlah penutur sekitar 300.00032 sekitar 8.800variasi dialek banyak (Gu, Lakudo,

Mawasangka, Tiworo,Siompu, Kadatua,Katobengke, dll.)

sedikit (Mudua, Lambe)

agama Islam (98%), Katolik (2%) Katolik (80%), Protestan (20%)tulisan tradisional tidak ada tidak adatulisan modern abjad Roma abjad Romadipakai di sekolah sedikit sedikitbahasa pendidikan bahasa Indonesia bahasa Inggris, Tok Pisin

Page 20: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

117

status EGIDS 6b (terancam; threatened) resmi: 4 (educational),kenyataan: antara 6a (kuat;vigorous) dan 6b (terancam;threatened)

kontak langsungdengan duniamodern

awal abad ke-20 awal abad ke-20

kata serapan ratusan (dari bahasaMelayu)

puluhan (dari Tok Pisin)

status dokumentasi baik (tata bahasa, duakamus, laman)

sedang (tata bahasa, kamus hurufA-H)

adanya buku bahan pelajaran SD danSMP, buku bacaan

buku pelajaran

Fonologi Ciri-ciri fonologis yang sama antara bahasa Muna dan bahasa Vitu:o Lima vokal dasar: i,e,a,o,u.o Tidak ada konsonan palatal seperti <ny>, <c>, dan <j>.o Ada konsonan frikatif velar/uvular bersuara /ɣ/ ~ /ʁ/, yang dilambangkan dengan <gh>

dalam Bahasa Muna, dan dengan <h> dalam Bahasa Vitu. (Dipilihnya <h> dalamBahasa Vitu, karena Vitu tidak mengenal bunyi /h/ biasa.)

o Tidak ada gugusan konsonan.o Gugusan vokal cukup umum, seperti Muna daoa ‘pasar’, buea ‘buaya’, dan Vitu kaua

‘anjing’ dan puae ‘malu’.o Suku kata yang terbuka (bahasa vokalis). Tidak ada kata seperti kalam atau karap.o Tekanan kata pada suku yang kedua dari akhirnya (penultimate stress).

Ciri-ciri unik pada fonologi Bahasa Vitu:o Ada fonem /ð/ (frikatif dental bersuara, seperti <th> pada bahasa Inggris there,

breathe), yang dilambangkan dengan huruf <z>: zahe ‘naik’, dazi ‘laut’, zuzu ‘buahdada’.

o Pranasalisasi terjadi secara otomatis pada fonem /b/, /d/, dan /ɡ/, terutama antara vokal,sehingga diucapkan sebagai [mb], [nd], dan [ŋɡ]. Pranasalisasi ini tidak tertulis.

o Fonem /t/ direalisasikan sebagai [tʃ] (<c> dalam ejaan Indonesia) sebelum vokal /i/,tetapi tetap ditulis dengan <t>: katia [kɑtʃiɑ] ‘membuat’.

o Tidak ada fonem /s/ dalam Bahasa Vitu, kecuali dalam beberapa kata serapan dari TokPisin, seperti hausik ‘rumah sakit’, krismas ‘tahun’, dan brus ‘tembakau’.

Hubungan antara ejaan, representasi fonemis dan ucapan fonetis bahasa Vitu bisa dilihat dibawah ini:

Table 7. Contoh Kata Bahasa VituEjaan Vitu FONEMIS Fonetis Maknadazi /dɑði/ ['ndɑði] ‘laut’hizu /ɣiðu/ ['ɣiðu] ‘hidung’ngiti /ŋiti/ ['ŋitʃi] ‘tersenyum’vago /βɑɡƆ/ ['βɑŋɡƆ] ‘bergalah’

Page 21: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

118

Ciri-ciri yang unik pada fonologi bahasa Muna:o Pranasalisasi fonemis sangat umum, baik pada awal maupun di tengah kata. Itu

menghasilkan tujuh fonem tambahan: /mp, mb, nt, nd, ŋk, ŋɡ, ns/.o Selain /b/ biasa ada juga fonem bilabial implosif /ɓ/, yang dilambangkan sebagai <bh>.o Selain /d/ biasa, yang sering diucapkan sebagai implosif [ɗ], ada juga fonem plosif

lamino-dental /ḓ/, dilambangkan dengan <dh>.

Hubungan antara ejaan, representasi fonemis dan ucapan fonetis bahasa Muna bisa dilihat dibawah ini:

Table 8. Contoh Kata Bahasa MunaEjaan Fonemis Fonetis Maknandoke /ndƆkɛ/ ['ndƆkɛ] ‘kera’dahu /dɑhu/ ['dɑhu] ~ ['ɗɑhu] ‘anjing’bhangka /ɓɑŋkɑ/ ['ɓɑŋkɑ] ‘perahu’dhangku /ḓɑŋku/ ['ḓɑŋku] ‘janggut’ghoghora /ʁƆʁƆrɑ/ [ʁƆ'ʁƆrɑ]~[ɣƆ'ɣƆrɑ] ‘kencing’

MorfologiProfil morfologis kedua bahasa ini cukup berbeda. Perbandingan morfologi bahasa Muna,bahasa Vitu, dan bahasa Indonesia dapat dilihat di Tabel 9 di bawah ini. Tabel ini hanyamemperlihatkan morfologi yang produktif, bukan imbuhan pinjaman (seperti -wati atau -isasidalam bahasa Indonesia), dan sebuah morfem hanya satu kali dihitung, walaupun artinyaberganda, misalnya ter- pada verba (ter-lihat) dan adjektiva (ter-tinggi). Klitika seperti -kah dan-lah dan alomorfi juga tidak diperhitungkan; mem-, meng-, men-, meny- dan me- merupakansatu morfem derivasi saja. Untuk menghindari seluk-beluk analisis morfologis, konfiks sepertike-…-an juga tidak dimasukkan.

Tabel 9. Profil Morfologis Bahasa Vitu, Bahasa Muna, dan Bahasa IndonesiaBahasa Vitu Bahasa Muna Bahasa Indonesia

infleksi subjek ya ya -infleksi objek ya ya yainfleksi objek indirek - ya -jumlah awalan infleksi 16 22 2 (ku-, mu-)jumlah akhiran infleksi 14 19 3 (-ku, -mu, -nya)jumlah awalan derivasi 3 32 8 (ber-, per-, ter-, meng-,

peng-, di-, ke-, se-)jumlah akhiran derivasi 3 11 3 (-an, -i, -kan)jumlah sisipan - 1 -reduplikasi 2 jenis 3 jenis 2 jenispemajemukan ya - ya

Sudah jelas bahwa dari segi morfologis, Bahasa Munalah yang paling kompleks. MorfologiBahasa Vitu sebenarnya tidak terlalu luas dan terbatas pada kategori berikut ini: Infleksi subjek pada partikel praverbal kala dan modus: (hau) te mai ‘saya telah datang’,

(ho) tu mai ‘anda telah datang’, (ia) ti mai ‘dia telah datang’. Infleksi posesif pada nomina: lima-gu ‘tangan saya’, lima-na ‘tangannya’ (lihat juga di

bawah). Akhiran nominalisasi -a (dengan alomorf -nga): lohu ‘tiba’ > lohu-a ‘ketibaan’; pole

‘berkata’ > pole-a ‘perkataan’; gala ‘bekerja’ > gala-nga ‘pekerjaan’.

Page 22: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

119

Akhiran objek: hubi ‘pukul’ > hubi-au ‘pukul saya’, hubi-ho ‘pukul kamu’, hubi-a ‘pukuldia’.

Akhiran transitif -Ki (dengan K mewakili konsonan tematis yang selalu diikuti oleh akhiranobjek): hinu ‘minum’ > hinu-mi-a ‘meminumnya’; hada ‘lihat’ > hada-vi-a ‘melihatnya’;longo ‘dengar’ > longo-ri-a ‘mendengarkannya’.

Awalan kausatif va-: dua ‘jatuh’ > va-dua ‘menjatuhkan’; tunga ‘melihat’ > va-tunga‘memperlihatkan’.

Awalan resiprok (saling) vari-: hani ‘makan’ > vari-hani ‘saling makan, berkelahi’; tangi‘menangis’ > tangi-zi-a ‘menangisinya’, vari-tangi-zi-a ‘saling menangisi’.

Pasif yang dibentuk dengan beraneka cara, termasuk perubahan vokal: hani-a ‘makan dia’ >hanua ‘dimakan’; hubi-a ‘pukul dia’ > hubua ‘dipukul’; maki-a ‘pilih dia’ > makua‘dipilih’, kade-a ‘belinya’ > kadoa ‘dibeli’. Keberadaan bentuk pasif dalam sebuah bahasaOseania sangat jarang. Di Papua Nugini hampir tidak ada bahasa daerah dengan bentukpasif yang murni dan produktif, kecuali Vitu, dan bahasa tetangga di daratan West NewBritain, bahasa Bola (lihat van den Berg 2007, dan van den Berg dan Boerger 2011).

Selain itu masih ada juga reduplikasi morfemis, yang terjadi dalam bentuk perulangan satu sukudan dua suku: gere ‘main’ > ge-gere ‘main-main’; mia ‘duduk, hidup’ > mi-mia ‘duduk-duduk’;matu ‘mandi’ > matu-matu ‘mandi-mandi’. Makna perulangan sebagian sama dengan bahasaIndonesia dan bahasa Muna, termasuk ‘melakukan berulang kali atau terus-menerus’ dan‘melakukan tanpa tujuan yang sebenarnya’. Di samping itu, ada juga makna lain sepertimengurangi ketransitifan.

Satu proses morfemis yang sangat produktif dalam bahasa Vitu yang tidak terdapatdalam bahasa Muna adalah proses pemajemukan (compounding). Dalam proses ini dua verba(atau satu verba dengan satu adjektiva atau adverbia) digabungkan menjadi satu verba baru,dengan akhiran transitif -Ki yang baru. Beberapa contoh:

hubi-a ‘pukul dia’ mate ‘mati’ > hubi-mate-hi-a ‘memukul dia sampai mati’taru-hi-a ‘taruh dia’ tadu ‘turun’ > taru-tadu-ri-a ‘menaruhnya di bawah’hani-a ‘makan dia’ hozo ‘habis’ > hani-hozo-vi-a ‘memakannya sampai habis’

Dibandingkan dengan bahasa Vitu, morfologi bahasa Muna jauh lebih rumit dan kompleks.Infleksi subjek pada verba, misalnya, membedakan tiga kelas (kelas a-, kelas ae-, dan kelas ao-)dengan bentuk realis (untuk masa sekarang dan lampau) dan irealis (untuk masa depan dansesudah kata ingkar), seperti digambarkan dalam tabel berikut.

Tabel 10. Infleksi Subjek Bahasa MunaKelas a- Kelas ae- Kelas ao-

REALIS IREALIS REALIS IREALIS REALIS IREALIStg 1 a- a- ae- ae- ao- ao-

2 o- o- ome- ome- omo- omo-2 hor to- ta- te- tae- to- tao-3 no- na- ne- nae- no- nao-

du 1 ink do- da- de- dae- do- dao-jm 1 ink do-Vmu da-Vmu de-Vmu dae-Vmu do-Vmu dao-Vmu

1 eks ta- ta- tae- tae- tao- tao-2 o-Vmu o-Vmu ome-Vmu ome-Vmu omo-Vmu omo-Vmu2 hor to-Vmu ta-Vmu te-Vmu tae-Vmu to-Vmu tao-Vmu3 do- da- de- dae- do- dao-

Page 23: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

120

Selain infleksi subjek, masih ada infleksi objek langsung, dan juga infleksi objek tidak langsung(indirek). Beberapa contoh berdasarkan kata dasar kala ‘pergi’ (kelas a-) dan gholi ‘beli’ (kelasae-). Perhatikan bahwa irealis kelas a- dibentuk dengan sisipan -um- bersama awalan subjekirealis.

a-kala ‘saya pergi’a-kala-mo ‘saya sudah pergi’a-k<um>ala ‘saya akan pergi’a-k<um>ala-mo ‘saya sudah mau pergi’do-kala 1. ‘kita (berdua) pergi’ 2. ‘mereka pergi’do-kala-amu ‘kita (semua) pergi’da-k<um>ala-amu ‘kita (semua) akan pergi’ta-k<um>ala 1. ‘kami (akan pergi)’ 2. ‘Bapak/Ibu akan pergi’ae-gholi ‘saya membeli; saya akan membeli’nae-gholi ‘dia akan membeli’a-gh<um>oli-e ‘saya akan membelinya’a-gh<um>oli-angko-e ‘saya akan membelikannya untuk kamu’a-gh<um>oli-angko-e-mo ‘saya sudah akan membelikannya untuk kamu’

Pada nomina, turunan nominalisasi sangat produktif. Nominalisasi melalui konfiks ka-...-ha(dan alomorfnya kae-...-ha dan kao-...-ha) bisa berarti tempat, waktu, alat atau sebab satukegiatan. Satu contoh pada kata dasar mate ‘mati’ dengan beberapa awalan lain:

no-mate ‘dia mati’ka-mate-ha ‘kematian; tempat/waktu/alat/sebab mati’ka-mate-ha-no ‘kematiannya; tempat/waktu/alat/sebab dia mati’ka-mate-ha-no-mo ‘itulah kematiannya; itulah sebabnya dia mati’feka-mate ‘matikan’no-feka-mate ‘dia mematikan, dia membunuh’no-feka-mate-e ‘dia mematikannya, dia membunuhnya’no-ti-feka-mate ‘dia terbunuh, termatikan’no-piki-feka-mate-e ‘dia cepat mematikannya’ka-ti-piki-feka-mate-ha-no-mo ‘itulah sebabnya dia cepat dimatikan’

Pada contoh terakhir kelihatan kata dasar mate dengan empat awalan dan tiga akhiran. Halseperti itu mustahil dalam bahasa Vitu (dan juga dalam bahasa Indonesia!).

SintaksisDilihat dari segi sintaksis, ada cukup banyak kesamaan antara bahasa Muna dan bahasa Vitu,antara lain: Urutan kata SVO dalam klausa transitif. Urutan kata dalam frasa nominal (kata sandang mendahului nomina, sedangkan adjektiva,

kata penunjuk dan frasa posesif mengikuti nomina). Penggunaan sistem realis-irealis pada verba, khususnya penggunaan bentuk irealis dalam

konteks pengingkaran. Penggunaan preposisi. Penggunaan kata sandang pada nomina tanpa arti tertentu. Tidak ada verba khusus yang berarti ‘memiliki’ atau ‘mempunyai’, sehingga strategi lain

diperlukan untuk mengungkapkan kepunyaan pada tingkat klausa.

Page 24: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

121

Namun, perbedaan sintaktis antara kedua bahasa ini juga cukup menonjol: Urutan kata dalam klausa intransitif pada bahasa Muna memakai VS dan SV; bahasa Vitu

hanya memakai SV. Partikel praverbal yang menandai aspek-modus-perturutan (aspect-mood-sequentiality)

sangat umum dalam bahasa Vitu; dalam bahasa Muna sistem itu tidak ada. Penggolong bilangan (numeral classifiers) dalam bahasa Muna ada; dalam bahasa Vitu

tidak ada. Sistem kata penunjuk bahasa Muna jauh lebih kompleks daripada bahasa Vitu. Penggunaan klausa pasif dalam bahasa Muna terbatas pada klausa relatif; dalam bahasa

Vitu klausa pasif tidak mengenal kendala tersebut. Bahasa Muna ada verba keberadaan (existential verb) naandoo ‘ada’; dalam bahasa Vitu

tidak ada verba seperti itu.

Dalam bagian berikut ini kita akan mengamati dua bidang sintaksis di mana bahasa Muna danbahasa Vitu agak berbeda.

Sistem PosesifSistem posesif bahasa Muna agak sederhana. Semua nomina bisa diimbuhkan dengan akhiranposesif. Pada Tabel 11 diberikan beberapa contoh, terbatas pada bentuk tunggal.

Tabel 11. Sistem Posesif Bahasa Munalima ‘tangan’ lambu ‘rumah’ kalei ‘pisang’

1 lima-ku lambu-ku kalei-ku2 lima-mu lambu-mu kalei-mu2 hor lima-nto lambu-nto kalei-nto3 lima-no lambu-no kalei-no

Sistem posesif bahasa Vitu agak berbeda. Sama dengan hampir semua bahasa Oseania, nominadipisahkan dalam dua kelompok: nomina yang tak terasingkan (inalienable nouns) dan nominayang terasingkan (alienable nouns). Perbedaan ini berkaitan dengan hubungan antara si pemilikdan apa yang dimilikinya. Benda yang tidak terasingkan, termasuk istilah kekerabatan dananggota badan, merupakan milik permanen. Nomina seperti ‘ayah’, ‘kakak’, ‘anak’, ‘kepala’,‘tangan’, selalu dimiliki, dan (biasanya) tidak bisa dijual, dihabiskan, dihilangkan, dipinjamkan,dibakar dll. Berbeda dengan benda biasa seperti ‘rumah’, ‘mobil’, ‘perahu’, ‘baju’, atau bahanmakanan. Semuanya itu merupakan nomina yang terasingkan. Dalam Bahasa Vitu perbedaan inidiwujudkan secara gramatikal. Sama dengan Bahasa Muna, ada akhiran posesif, tetapi akhiranitu hanya bisa digunakan secara langsung pada nomina yang tak terasingkan (inalienablenouns): lima-gu ‘tangan saya’, lima-a ‘tangan anda’, lima-na ‘tangannya.’

Berbeda halnya dengan nomina yang terasingkan; nomina seperti itu memerlukan katabantu yang umumnya disebut penggolong posesif (possessive classifier). Kata penggolongposesif yang satu berbentuk ka, dan akhiran posesif digabungkan pada kata ka itu. Dalambahasa Vitu ‘rumah saya’ tidak bisa diterjemahkan sebagai *ruma-gu, karena ruma adalahnomina yang terasingkan. Padanan yang cocok ialah ka-gu ruma, dengan menggunakan katapenggolong posesif ka. Yang menarik lagi, untuk bahan konsumsi (makanan, minimum, obat)dipakai kata penggolong posesif tersendiri, yaitu ha (ucapan [ɣɑ]). Padanan ‘pisang saya’adalah ha-gu beti, diucap ['ɣɑŋgu 'mbɛtʃi]. Kata penggolong ha juga digunakan untuk bendayang berhubungan dengan pemerolehan makanan seperti vanua ‘kebun’, diaro ‘tombak’, danhoa ‘jerat’. Selain itu, kata vagi ‘musuh’ yang masuk dalam kategori konsumsi, barangkalimencerminkan praktik kanibalisme pada zaman dahulu. Ketiga metode pembentukan posesifdisimpulkan dalam Tabel 12.

Page 25: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

122

Tabel 12. Sistem Posesif Bahasa VituNominaTidak Terasingkan

NominaTerasingkan Umum

NominaTerasingkan Konsumsi

lima ‘tangan’ ruma ‘rumah’ beti ‘pisang’1 lima-gu ka-gu ruma ha-gu beti2 lima-a ka-a ruma ha-a beti3 lima-na ka-na ruma ha-na beti

Peranan Nomina Common dan ProperBaik bahasa Muna maupun bahasa Vitu juga membedakan dua jenis nomina dengan cara lain:nomina umum (common nouns) dan nomina nama (proper nouns). Pada bahasa Munaperbedaan ini hanya kentara pada pilihan kata sandang (article). Nomina umum mengambil katasandang o (hanya dalam konteks tertentu33), sedangkan nomina nama mengambil kata sandangla (untuk laki-laki) atau wa (untuk perempuan), biasanya ditulis dengan huruf besar. Contohnyaterdapat pada Tabel 13.

Tabel 13. Dua Jenis Nomina dalam Bahasa Munanomina umum o lambu ‘rumah’

o bheka ‘kucing’o mie ‘orang’

nomina nama laki-laki La Ali ‘Ali’La Ene ‘Ene’

perempuan Wa Ira ‘Ira’Wa Rumi ‘Rumi’

Kata lahae ‘siapa’ juga mengandung kata sandang la, dibandingkan dengan o hae ‘apa’.Dalam bahasa Vitu ada juga nomina umum dan nomina nama. Namun, kelompok

nomina nama jauh lebih luas daripada bahasa Muna. Bukan saja nama pribadi orang yangmasuk dalam kelas nomina orang, tetapi juga nama tempat (seperti kota, kampung, pulau,gunung, dan sungai), istilah kekerabatan (misalnya ayah, ibu, anak, paman), pronomina orang(saya, kamu, kita), nama bulan, gelar orang (dokter, pastor, anggota parlemen), dan ─ samadengan Muna ─ kata zei ‘siapa’.

Perbedaan antara kedua kelompok nomina muncul dari kelakuan kelompok masing-masing dalam lima konteks tertentu. 1) Pemilihan kata sandang: na (nomina umum) atau a(nomina nama); 2) bentuk kata depan yang berarti ‘kepada’: kara (umum) atau kiri (nama); 3)bentuk pemilik yang tak terasingkan (kalau diikuti oleh nomina), -na (umum) atau -ni (nama);4) bentuk pemilik yang terasingkan umum (kalau diikuti oleh nomina): ka-na (umum) atau ke(nama); 5) bentuk pemilik yang terasingkan untuk bahan konsumsi (kalau diikuti oleh nomina):ha-na (umum) atau he (nama). Contoh kelima kategori ini dipaparkan dalam Tabel 14.

Tabel 14. Dua Jenis Nomina dalam Bahasa Vitunomina umum(common nouns)

nomina nama(proper nouns)

1. Kata sandang na ruma ‘rumah’ a Kuni ‘Kuni’2. Kata depan kara ruma

‘kepada rumah’kiri Kuni‘kepada Kuni’

3. Pemilik yang tak terasingkan kabe-na kaua‘kaki anjing’

kabe-ni tama-gu‘kaki ayah saya’

4. Pemilik yang terasingkan umum ruma ka-na kaua‘rumah anjing’

ruma ke tama-gu‘rumah ayah saya’

5. Pemilik yang terasingkan konsumsi beti ha-na kapiru‘pisang anak-anak’

beti he tama-gu‘pisang ayah saya’

Page 26: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

123

Perbendaharaan KataPerbendaharaan kata kedua bahasa ini mencerminkan sejarah kedua pulau ini. Misalnya, setelahkedatangan jagung di Pulau Muna pada abad ke-16 atau ke-17 yang dibawa oleh orang Portugisdan Spanyol, lama kelamaan jagung menjadi pokok makanan di Muna. Tanah yang kering danberkapur di Pulau Muna lebih cocok untuk menanam jagung daripada padi. Terkait dengankeadaan kehidupan perkebunan yang seperti ini, muncullah puluhan kosakata yang berkaitandengan pertumbuhan, produksi, dan konsumsi jagung, sebagaimana yang dapat dilihat padacontoh-contoh berikut.

kahitela jagung [kata ini berasal dari bahasa Ternate kasitela < Portugis Castela, namadaerah dan kerajaan Castilia di Spanyol sekitar abad ke-10 sampai ke-18;bandingkan juga Bahasa Indonesia ketela dengan asal yang sama, walaupunmerujuk pada ubi]

kambuse jagung yang direbuskapusu jagung yang direbus pakai kapur (sehingga kulit biji yang keras hilang)kamperodo jagung (muda) yang dimasak dengan kulitnya (ujung atas dan bawah dipotong,

kulit luar sebagian dikeluarkan)kantiniwua jagung yang dimasak buahnya tanpa kulitkatungkukoro bungkusan jagung muda yang ditumbuk dengan ujung pembungkus (kulit

jagung) dilipat dan ditusuk ke dalamkantubhi buah jagung yang berukuran di bawah sedangangki tua dan keras (tentang jagung); sebagai kiasan juga mengenai gadis tuabhoka buah jagung yang isinya tersembul dari kulitbhokolo mengeluarkan kulit jagung dengan pisau (untuk pembungkus)ragi sejenis jagung yang bijinya berwarna ungulero jamur (pada jagung)

Pengaruh luar yang lain adalah masuknya Islam di Pulau Muna pada abad yang ke-16 yang jugamembawa banyak kata baru dari bahasa Arab melalui bahasa Melayu, seperti adhala ‘ajal’,adhamu ‘adam, tanah’ (dalam arti asal manusia), barakati ‘berkat’, bharasandi ‘barzanji’,malaekati ‘malaikat’ dan puluhan lain. Pemerintahan kolonial Belanda menduduki Pulau Munapada tahun 1906, tetapi jauh sebelumnya sudah ada pengaruh kuat dari bahasa Melayu, bahasaWolio (bahasa resmi di kesultanan Buton), dan bahasa Makassar. Karena bahasa Melayu sendirisudah penuh dengan kata serapan dari bahasa asing, maka dalam bahasa Munapun kelihatanbanyak kosakata yang dipinjam dari bahasa asing. Hanya beberapa contoh bisa diberikan di sini.Etimologinya sebagian diambil dari Jones (2007).

bhadhu ‘baju’ (< bahasa Persia bāzū)bhitara ‘hakimi, adili’ (< bahasa Sanskerta vicāra)butolo ‘botol’ (< bahasa Inggris bottle)dhampi ‘kuda putih atau kuning’ (< bahasa Makassar jampi)dhanila ‘jendela di loteng’ (< bahasa Portugis janella)faberiki ‘pabrik’ (< bahasa Belanda fabriek)gambara ‘gambar’ (< bahasa Melayu gambar)malaekati ‘malaikat’ (< bahasa Arab malā’ikat)mansuana (bughou) ‘pengantin’ (< bahasa Wolio mancuana)

Situasi bahasa Vitu agak berbeda karena pulau ini cukup terisolir, sehingga kontakdengan dunia luar agak terbatas. Memang ada perdagangan dengan orang Kove di pantai WestNew Britain, dan ada beberapa kata serapan dalam bahasa Vitu dari bahasa sekitarnya, termasukmon ‘perahu lesung (tanpa cadik)’ dan sia ‘jenis tarian’. Namun, jumlah kata serapan itu sangatterbatas dan baru dengan kedatangan zaman kolonial pada awal abad ke-20 ada pengaruh dari

Page 27: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

124

luar, sehingga kata-kata Tok Pisin masuk bahasa Vitu, seperti baket ‘ember’ (< Tok Pisin baket< bucket), botole ‘botol’, gumi ‘karet’ (< TP gumi < Jerman Gummi), haine ‘tombak denganujung besi’ (< Tok Pisin ain < iron ‘besi’), naipe ‘pisau’ (<Tok Pisin naip < knife). Banyakistilah pemerintahan dan keagamaan diambil dari Tok Pisin (king ‘raja’, lo ‘hukum’ [< law],propet ‘nabi’), dan sebagian dari bahasa Latin yang pengaruhnya masih kuat di Gereja Katolik(agelo ‘malaikat’ < Latin anggelus; Deo ‘Allah’ < Latin Deus).

Perkembangan Bahasa dan Status KeterancamanSelama berabad-abad baik bahasa Vitu maupun bahasa Muna mengalami nasib yang sama, yaituhanya berfungsi sebagai bahasa lisan semata-mata dalam wilayahnya. Tidak pernah ada tulisanatau abjad sendiri, dan rupanya juga tidak pernah ada usaha untuk menulis bahasa itu, apakaholeh orang dari luar maupun orang dalam pulau itu sendiri yang telah mengikuti pendidikan.

Perkembangan bahasa Vitu mulai pada tahun 1950-an, waktu ada seorang pastor dariJerman, Pater Mayerhofen, yang membawa agama Katolik di Vitu. Dia sempat mempelajaribahasa Vitu sehingga berhasil mengarang lagu rohani di dalamnya, dan sebagian lagu itu masihdinyanyikan pada hari raya Kristen sampai sekarang. Namun, hasil tulisan lain, seperti tatabahasa atau kamus baku tersebut tidak pernah ada. Setelah itu tidak ada kegiatan kebahasaansampai tahun 1990. Pada tahun 1990 satu tim dari SIL International mulai dengan proyekpengembangan bahasa yang sampai sekarang menghasilkan antara lain, ejaan Bahasa Vitu yangbaku, poster abjad, beberapa buku bacaan untuk SD dan buku kesehatan (dalam oplah yangkecil), tata bahasa (van den Berg and Bachet 2006), dan kamus bagian A-K dengan rekamanaudio (van den Berg, Ereliu dan Komoe 2011).

Menurut Ethnologue Bahasa Vitu masih kuat (EGIDS 4 Educational), tetapi penilaianini terlalu optimistis. Karena hampir semua penduduk Pulau Vitu fasih berbahasa Tok Pisin,bahasa Vitu juga barangkali perlu dianggap sudah menuju ke zona berbahaya (antara 6a dan6b). Dalam pengalaman kami, sudah ada kelompok anak-anak yang tidak lagi tahu bahasa ibumereka, atau hanya tahu secara pasif saja. Hanya tidak diketahui jumlah itu berapa persen dariseluruh anak-anak. Selain itu, sejak tahun 2012 ada kebijakan baru dari Departemen Pendidikanuntuk menguatkan pengajaran bahasa Inggris pada tingkat dasar, dan mengeluarkan pengajaranbahasa daerah dari kurikulum, seperti dijelaskan di atas. Dengan jelas strategi baru tersebuttidak akan membantu kelanjutan hidup bahasa Vitu. Dengan kata lain, bahasa Vitu belum sakitbetul, tetapi sudah ada gejala mau menjadi lemah. Yang merupakan faktor positif dalam hal iniadalah posisi terisolirnya. Di pulau ini belum ada aliran listrik, belum ada sinyal telepongenggam. Hubungan laut dengan ibu kota Provinsi Kimbe tidak lancar dan pengaruh kehidupanmodern masih terbatas, sehingga kebanyakan orang tetap tinggal di pulau tersebut.

Situasi bahasa Muna pada dasarnya sama. Orang yang pertama menulis mengenaibahasa Muna adalah Nikolaus Adriani (1865-1926), seorang ahli bahasa daerah Sulawesi padazaman kolonial.34 Selama keberadaannya di Sulawesi (yang disebut Celebes pada waktu itu), diajuga sempat menulis satu bab dalam bahasa Belanda mengenai bahasa Muna dalam bukunyatentang situasi kebahasaan di Sulawesi dan Halmahera (Adriani dan Kruyt 1914). Orang yangkedua yang meneliti bahasa Muna adalah orang Muna sendiri yang bernama Hanafi (1938-1993). Hanafi (1968) adalah skripsi mengenai pronomina, aspek yang rumit dalam BahasaMuna. Orang yang ketiga ialah La Ode Sidu, yang kemudian menjadi pakar bahasa Munadengan beberapa terbitan, termasuk skripsi S1, S2, dan disertasi S3 (La Ode Sidu 2003). Mulaitahun 1980-an juga diterbitkan beberapa karya ilmiah mengenai bahasa Muna yang dikeluarkanoleh Pusat Bahasa di Jakarta. Kami sendiri menulis tata bahasa Muna (van den Berg 1989),kamus Muna (bersama La Ode Sidu, versi Muna-Inggris 1996, versi Muna-Indonesia 2000,cetakan kedua 2013), dan beberapa karangan ilmiah mengenai bahasa Muna, seperti situasidialek Muna, fonologi historis, kata serapan dari bahasa Belanda, ketransitifan, deiksis, dan jugadialek Muna selatan. Awal tahun 1990-an dibentuk sebuah tim penelitian dan pengembangan

Page 28: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

125

bahasa daerah Muna yang menerbitkan Pedoman Ejaan Bahasa Muna (Hanafi, dkk. 1991),diikuti oleh beberapa buku kecil dalam bahasa Muna: Kadadihi ne witeno Wuna (Atakasi 1991),Kabhanti Wuna (La Mokui 1991), Wata-watangke Wuna (La Mokui dan La Kimi Batoa 1991).Sejak adanya muatan lokal di kabupaten Muna, muncullah juga beberapa buku pelajaran,termasuk metode untuk SD O Wamba Wuna (La Ode Sidu 1994) dan metode untuk SLTPStruktur Bahasa Muna (La Tia, dkk.). Bersama dengan La Mokui, kami menulis metode baruuntuk SMP Maimo dopogurumana wamba Wuna (La Mokui dan van den Berg 2008a, 2008b),bersama pedoman gurunya. La Sinenda (2002) menulis Tata Bahasa Daerah Muna, tetapisayangnya tidak pernah diterbitkan. Belakangan ini perlu disebut karya La Ode Sirad Imbo(2012) yang berjudul Kamus Bahasa Indonesia-Muna. Pada awal tahun 2014 dibuka lamankhusus mengenai bahasa Muna (www.bahasamuna.org). Jelas perhatian pada bahasa Munatidak mengecewakan, baik dari orang luar maupun dari penutur bahasa Muna sendiri.

Walaupun status pendokumentasian bahasa Muna cukup tinggi, ada gejala bahasa Munasudah agak sakit. Di Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sejak dulu bahasa Muna jarang dipakaioleh orang Muna sendiri. Orang dari luar yang datang di Muna hampir tidak ada yang belajarbahasa Muna. Sejak tahun 1990-an, penduduk di kampungpun mulai bergeser ke bahasaIndonesia, sehingga makin banyak anak-anak dan remaja tidak menguasai lagi bahasa ibumereka. Seringkali dalam satu desa orang tua masih fasih berbahasa Muna (khususnya waktubergaul dengan generasi di atas mereka), tetapi berkomunikasi dengan anak-anak di rumahpakai bahasa Indonesia. Kalau situasi ini tetap begitu (dan kami belum melihat tanda yangmelawan perkembangan ini), maka ini berarti bahwa bahasa Muna dengan jumlah penutursekitar 300.000, betul-betul terancam dan berada dalam zona gawat. Apakah arah itu masih bisaberubah? Pertanyaan itu tidak mudah dijawab.

SARAN

Makalah ini diakhiri dengan tiga saran.1. Melihat rawannya situasi bahasa daerah di Indonesia dan di Papua Nugini, setiap ahli

bahasa sebenarnya wajib terlibat dalam kegiatan pendokumentasian dan pelestarian salahsatu bahasa daerah. Pada abad ke-21, sudah tidak pantas lagi kalau seorang ahli bahasabekerja saja dalam kantor dan hanya meneliti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia atau TokPisin. Kita harus turun ke kampung. Jangan sampai dalam kurun waktu 50 atau 100 tahun,objek penelitian kita hilang tanpa bekas.

2. Sebaiknya ada tekanan pada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk memasukkan bahasadan budaya dalam muatan lokal secara konsisten. Jelas harus ada sarana (kurikulum, bukupelajaran, pedoman guru), tetapi harus didampingi dengan pendidikan guru bahasa daerahyang bermutu. Sejauh pengetahuan kami, pendidikan guru bahasa daerah belum digalakkandi banyak daerah di Indonesia.

3. Kedwibahasaan atau ketribahasaan perlu diteladani oleh kaum cendekiawan di Indonesiadan PNG. Itu berarti menggunakan bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa daerah diIndonesia, dan bahasa Inggris, Tok Pisin dan bahasa daerah di PNG. Terutama dalam situasipergaulan di rumah, bahasa daerah perlu dipertahankan. Selain efek didik pada anak-anak,ada bukti bahwa menguasai lebih dari satu bahasa ada efek positif pada otak manusia,sehingga memperlambat mulainya demensia dan membuat manusia lebih sosial dan efisienmenjalankan tugasnya.35

CATATAN* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah ini.

Page 29: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

126

1 Karangan ini adalah adaptasi dari makalah yang dibawa pada Kongres Internasional MasyarakatLinguistik Indonesia (KIMLI) yang diselenggarakan di Lampung pada tanggal 19-22 Februari 2014. Sayamengucapkan terima kasih kepada panitia KIMLI yang mengundang saya, rekan-rekan di Indonesia, dandi PNG yang memberikan masukan, para peserta KIMLI yang memberikan tanggapan, dan Tiar Adamsyang memperbaiki bahasa Indonesia saya.2 Data dari Ethnologue, http://www.ethnologue.com/world, diakses pada 13-1-2014.3 Hanya bahasa pribumi (indigenous languages) terhitung. Data dari Ethnologue, http://www.ethnologue.com/world, diakses pada 13-1-2014.4 Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.5 Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.6 Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.7 Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.8 Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.9 Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012. Definisi literasi: yang berumur 15 tahun keatas dan mampu membaca dan menulis.10 Angka resmi ini sudah pasti terlalu tinggi. Penelitian yang serius dan teliti oleh ASPBAE (Asia SouthPacific Association for Basic and Adult Education) dan PEAN (PNG Education Advocacy Network) padatahun 2011 melaporkan bahwa literasi untuk lima provinsi yang disurvei cuma sekitar 15%. Pada ProvinsiGulf jumlah orang yang melek huruf hanya 4%. (Sumber: The National. 15 September 2011.)11 Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012. Lamanya pendidikan berarti: jumlah tahunpendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dibagi rata.12 Data dari http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Indonesia dan http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Papua_New_Guinea, diakses pada 14-1-2014.13 Data dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_surat_kabar_di_Indonesia dan http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_newspapers_in_Papua_New_Guinea, diakses pada 14-1-2014.14 Nomor satu adalah tambang Grasberg (milik Freeport) di Papua, Indonesia. Nomor dua South Deep diAfrika Selatan. Data dari http://www.mining.com/web/worlds-top-10-gold-deposits/. Diakses pada 30-12-2013.15 http://id.wikipedia.org/wiki/Papua_Nugini. Diakses pada 30-12-2013.16 http://id.wikipedia.org/wiki/Papua_Nugini. Diakses pada 30-12-2013.17 http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia. Diakses pada 4 Januari 2014.18 http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_newspapers_in_Indonesia (diakses pada 4 Januari 2014) mencatat36 harian di daerah (seperti Bali Post dan Manado Post), tetapi jumlah yang sebenarnya jauh lebih besar.Surat kabar dari Sulawesi saja yang tidak disebut termasuk Fajar (di Makassar), Kendari Pos, KendariEkspres dan Radar Buton.19 Angka ini diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Tok_Pisin/, diakses pada 4-1-2014.20 Setahu kami, belum ada penjelasan yang memadai mengenai perubahan bunyi (parit > barit, bambu >mambu) dan perubahan makna kata binatang (dari ‘binatang’ menjadi ‘serangga’; bandingkan perubahanmakna yang mirip dalam bahasa Inggris dari creature ‘mahluk’ ke critter yang berarti ‘serangga’ dalamdialek tertentu di Amerika Serikat).21 Sumber informasi asal kata ini Mihalic (1971). Kata lain yang menurut Mihalic diambil dari Melayuadalah amamas ‘senang, gembira’, kaskas ‘kudis’, kuskus ‘kuskus’, tandok ‘tanda/sirene untuk mulaidan/atau berhenti bekerja’, tetapi kami rasa setiap kata ada masalahnya. Pada kata yati ‘jati’ Mihalic tidakmemberikan kode Mal (= Malay, Melayu).22 Jumlah tepat berbeda menurut analisis diftong dan dialek yang dianalisis.23 Angka ini berdasarkan kamus Mihalic (1971), yang rata-rata ada 13 entri pada sepuluh halamanpertama. Dengan 152 halaman jumlah total mendekati 2.000. Banyak kata yang termuat dalam kamusMihalic tidak lazim dipakai lagi.

Page 30: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

127

24 Angka ini berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi pertama) yang rata-rata ada 35 entri (katadasar) pada sepuluh halaman pertama. Dengan 1018 halaman jumlah total melebihi 35.000.25 Tiga kata pertama diambil dari Mihalic (1971), di bawah lema widow (janda), upside down (terbalik)dan tunnel (terowongan). Dua kata yang terakhir diambil dari Volker dkk. Tok Pisin - English dictionary(2008) di bawah lema evidence (bukti) dan consequence (akibat).26 Data untuk PNG dari Ethnologue, untuk Indonesia dari http://en.wikipedia.org/wiki/Languages_of_Indonesia27 Walaupun demikian, ternyata tidak semua daerah langsung menerapkan kebijakan baru ini. Selama satukunjungan pada distrik Pomio di Provinsi East New Britain pada bulan Mei 2014, kami mendapatkanbeberapa Elementary School yang tetap mengajarkan bahasa daerah Mengen.28 http://www.ethnologue.com/about/language-status, diakses pada 13-1-2014. Skala EGIDS sebenarnyaada 10 tingkat yang terpisah, tetapi dalam tabel 5 beberapa tingkat dipersatukan.29 http://www.ethnologue.com/country/ID, diakses pada 30-12-2013.30 http://www.ethnologue.com/country/PG, diakses pada 30-12-2013.31 Data mengenai Vitu sebagian besar berasal dari Peter Bachet, anggota SIL yang sudah lama bekerja diVitu, melalui komunikasi pribadi.32 Angka ini perkiraan saja berdasarkan jumlah penduduk di Kabupaten Muna, tetapi tidak berdasarkansensus resmi atau penelitian yang mendalam. Jumlah penutur bahasa Muna sangat sulit ditetapkan denganseksama, berhubungan dengan pergeseran bahasa Muna, sehingga makin banyak orang dari suku Munatidak lagi menguasai bahasa Muna. Selain itu, ada banyak penutur Muna di luar Kabupaten Muna,termasuk penutur dialek Muna Selatan di Kabupaten Buton (baik di Pulau Muna sendiri maupun di PulauButon), dan ribuan orang Muna yang menetap di Kendari.33 Distribusi kata sandang o dalam bahasa Muna cukup rumit. Selain faktor nomina umum, masih adafaktor lain, terutama faktor sintaksis dan faktor prosodi (lihat van den Berg 2011).34 Informasi lebih lanjut mengenai Adriani bisa diperoleh dalam van den Berg (2009) dan referensi disana.35 Lihat umpamanya, http://www.psychologytoday.com/blog/life-bilingual/201106/what-are-the-effects-bilingualism.

REFERENCES

Adelaar, Karl A. 2004. “Where does Malay come from? Twenty years of discussions abouthomeland, migrations and classifications.” Bijdragen tot de Taal-, Land- enVolkenkunde 160/1:1-30.

Adelaar, Karl A. dan David J. Prentice. 1996. “Malay, its history, role and spread.” Dalam:S.A.Wurm, P. Mühlhäusler dan D. Tryon (eds), Atlas of Languages of InterculturalCommunication in the Pacific, Asia and the Americas, 673-693. Berlin/New York:Mouton - de Gruyter.

Adriani, Nicolaus dan Albertus C. Kruyt, 1914. De Bare’e-sprekende Toradja’s van Midden-Celebes. Vol 3: Taal- en letterkundige schets der Bare’e taal en overzicht van hettaalgebied: Celebes - Zuid-Halmahera. Batavia: Landsdrukkerij.

Atakasi, Lukas. 1991. Kadadihi ne witeno Wuna. Raha: Tim Penelitian dan PengembanganBahasa Muna.

Baker, Philip. 1996. “Productive fellow.” Dalam: S.A.Wurm, P. Mühlhäusler dan D. Tryon(Eds.), Atlas of Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia and theAmericas, 533-536. Berlin/New York: Mouton - de Gruyter.

Blust, Robert. 2009. The Austronesian Languages. Canberra: Pacific Linguistics.

Page 31: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

René van den Berg

128

Brown, Cecil.H. 1983. “Where do cardinal directions come from?” Anthropological Linguistics25:121-161.

Dutton, Tom. 1985. Police Motu: Iena Sivarai (its story). Port Moresby: University of PapuaNew Guinea Press.

Dutton, Tom. 1996. “Hiri Motu.” Dalam: S.A.Wurm, P. Mühlhäusler dan D. Tryon (Eds.), Atlasof Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia and the Americas,225-232. Berlin/New York: Mouton - de Gruyter.

Evans, Nicholas. 2010. Dying words. Endangered languages and what they have to tell us.Oxford: Blackwell.

Hammerström, Harald. 2010. “The status of the least documented language families in theworld.” Language Documentation and Conservation 4: 177-212.

Hanafi. 1968. Hubungan kata ganti orang dengan kata kerdja dalam bahasa Muna, ditindjau darisegi linguistik deskriptif. [Skripsi IKIP Makassar yang tidak diterbitkan.]

Hanafi, La Mokui, La Dame, La Kimi Batoa, La Ode Sidu. 1991. Pedoman Ejaan BahasaDaerah Muna dan beberapa contoh sastra Muna. Raha: Tim Penelitian danPengembangan Bahasa Muna.

Jones, Russell. (ed) 2007. Loan-words in Indonesian and Malay. Compiled by the IndonesianEtymological Project. Leiden: KITLV Press.

La Mokui. 1991. Kabhanti Wuna. Pantun Muna. Raha: Astri.

La Mokui dan La Kimi Batoa. 1991. Wata-watangke Wuna. Teka-teki Muna. Muna Riddles.Ujung Pandang: Program kerjasama UNHAS-SIL.

La Mokui dan René van den Berg. 2008a. Maimo dopogurumana wamba Wuna! Metode barupengajaran bahasa Muna untuk SMP. Raha.

La Mokui dan René van den Berg. 2008b. Pedoman Guru untuk buku pelajaran Maimodopogurumana wamba Wuna! Metode baru pengajaran bahasa Muna untuk SMP.Raha.

La Ode Sidu. 1994. O Wamba Wuna. Kapoguruha ne SD. [Tanpa tempat terbitan.]

La Ode Sidu. 2003. Pronomina Persona Bahasa Muna. Satu Kajian Sintaksis dan Semantik.Personal pronouns of the Muna language. An approach to Syntax and Semantics.[Disertasi yang tidak diterbitkan, Universitas Padjadjaran, Bandung.]

La Ode Sirad Imbo, 2012. Kamus Bahasa Indonesia - Muna. Wamba Malau Do WambaWunaane. Kendari: Unhalu Press.

La Sinenda. 2002. Tata Bahasa Daerah Muna. Raha: Pendidikan Nasional Kabupaten Muna.

La Tia, dkk. Struktur Bahasa Muna untuk SLTP. [Tanpa tahun dan tempat terbitan.]

Mihalic, Francis. 1971. The Jacaranda Dictionary and Grammar of Melanesian Pidgin. PapuaNew Guinea: Jacaranda Press.

Mosel, Ulrike. 1980. Tolai and Tok Pisin: The influence of the substratum on the developmentof New Guinea Pidgin. Canberra: Pacific Linguistics.

Mühlhäusler, Peter. 1979. Growth and Structure of the Lexicon of New Guinea Pidgin.Canberra: Pacific Linguistics.

Page 32: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

129

Seiler, Walter. 1982. “The spread of Malay to Kaiser-Wilhelmsland”. Dalam: R. Carle dkk(Eds.). Gava’. Studies in Austronesian Languages and Cultures, dedicated to HansKähler, 67-85. Berlin: Reimer.

Seiler, Walter. 1983. “The lost Malay language of Papua New Guinea.” NUSA 17: 62-75.

Sollewijn Gelpke, Johan H.F. 1993. “On the origin of the name Papua.” Bijdragen tot de Taal-,Land- en Volkenkunde 149: 318-332.

Thomas, Dicks R., T.R. Andi Lolo dan Nico Jakarimilena. 1997. Trilingual Dictionary TokPisin - English - Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

van den Berg, René. 1989. A grammar of the Muna language. Dordrecht/Providence: Foris.http://www.sil.org/resources/publications/entry/52170.

van den Berg, René. 2007. “An unusual passive in Western Oceanic: the case of Vitu.” OceanicLinguistics 46:54-70.

van den Berg, René. 2009. “Nicolaus Adriani.” Dalam: H. Stammerjohann (ed.) LexiconGrammaticorum. A Bio-Bibliographical Companion to the History of Linguistics., 2ndedition, 13-14. Tübingen: Niemeyer.

van den Berg, René. 2011. “Elusive articles in Sulawesi: between syntax and prosody.” Dalam:J.-O. Svantesson, N. Burenhult, A. Holmer, A. Karlsson dan H. Lundström (eds)Language Documentation and Description Volume 10. 208-227. London: School ofOriental and African Studies.

van den Berg, René in collaboration with La Ode Sidu. 1996. Muna ─ English dictionary.Leiden: KITLV Press.

van den Berg, René dan Brenda H. Boerger. 2011. “A Proto-Oceanic passive? Evidence fromBola and Natügu.” Oceanic Linguistics 50: 226-251.

van den Berg, René dan La Ode Sidu. 2000. Kamus Muna-Indonesia. Kupang: Artha WacanaPress. [Cetakan kedua 2013. Yogyakarta: Pustaka Puitika.]

van den Berg, René dan Pete Bachet. 2006. Vitu Grammar Sketch. Data Papers on Papua NewGuinea Languages, volume 51. Ukarumpa: SIL.

van den Berg, René, Vena Ereliu, Leni Ereliu dan Pol Komoe. 2011. Vitu-English DictionaryA-K. http://www.sil.org/pacific/png/abstract.asp?id=928474543521 (diakses pada 13Januari 2014).

Volker, Craig Allan. (ed). 2008. Tok Pisin ─ English dictionary. Victoria: Oxford University Press.

Verhaar, John W.M. 1995. Toward a Reference Grammar of Tok Pisin: An Experiment in CorpusLinguistics. Oceanic Linguistics Special Publication No. 26. Honolulu: University ofHawai’i Press.

Wroge, Diane. 2002. “Papua New Guinea’s Vernacular Language Preschool Programme.”http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001373/137383e.pdf (diakses pada 10 Januari2014).

Page 33: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia Agustus 2014, 131-148 Volume ke-32, No. 2Copyright©2014, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

LOCAL LANGUAGES IN INDONESIA:LANGUAGE MAINTENANCE OR LANGUAGE SHIFT?

Abigail C. Cohn*Cornell [email protected]

Maya RavindranathUniversity of New [email protected]

AbstractThe choice and subsequent development of Bahasa Indonesia as the nationallanguage following the founding of the Republic of Indonesia in 1945 is widelycited as a great success story in language planning. With the increased use ofIndonesian—both formal (bahasa resmi) and informal (bahasa sehari-hari)—in allfacets of daily life, the question arises as to whether Indonesia will continue as ahighly multilingual society or move toward monolingualism. We consider this issuefrom the perspectives of research on language policy, language endangerment,and language ideologies. As a case study, we consider current trends and shifts inthe use of Javanese by younger speakers as influenced by the increased use ofIndonesian. As Indonesian takes over in more and more domains ofcommunication and intergenerational transmission of Javanese breaks down, weare led to conclude that even a language with over 80 million speakers can be atrisk, a trend that has serious implications for all of the local languages ofIndonesia.

Keywords: Language shift, Indonesian, language policy

AbstrakPemilihan dan pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional setelahpembentukan negara Republik Indonesia pada tahun 1945 telah disebut sebagaisatu cerita keberhasilan dalam perencanaan bahasa. Seiring denganmeningkatnya penggunaan bahasa Indonesia, baik bahasa resmi maupun bahasasehari-hari, dalam semua aspek kehidupan sehari-hari menimbulkan sebuahpertanyaan “Apakah Indonesia akan terus dianggap sebagai masyarakatmultibahasa atau akan beralih menuju masyarakat monolingual?” Kami menilikpersoalan ini dari berbagai pandangan penelitian tentang kebijakan bahasa,kepunahan bahasa, dan ideologi-idelogi bahasa. Sebagai studi kasus, kami melihatbahwa arah gejala dan perubahan dalam penggunaan bahasa Jawa oleh penuturberusia muda dewasa ini dipengaruhi oleh meningkatnya penggunaan bahasaIndonesia. Seiring dengan semakin besarnya peran bahasa Indonesia dalamberbagai domain komunikasi dan terputusnya transmisi antargenerasi bahasaJawa, kami dituntun untuk menyimpulkan bahwa sebuah bahasa dengan jumlahpenutur lebih dari 80 juta pun dapat terancam punah. Arah gejala ini memilikiimplikasi serius untuk semua bahasa daerah di Indonesia.

Kata kunci: perubahan bahasa, bahasa Indonesia, kebijakan bahasa

Page 34: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath

132

INTRODUCTION

In this paper, we explore the history of language policy in Indonesia and consider theimplications of the increased use of Indonesian on the maintenance of local languages,particularly those with large speaker populations. This review serves as the background for twoprojects currently underway, the Basa Urang Project, which looks at language shift in W. Java,focusing particularly on the use of Sundanese in and around Bandung, and the Bahasa Kitaproject, in which we have developed a questionnaire about language use and attitudes to be usedthroughout Indonesia.

The choice and development of Indonesian (Bahasa Indonesia) as the national languageof a vast and varied archipelago at the time of Indonesia’s founding in 1945 is often cited as oneof the great success stories of language policy and institutional language planning. (SeeSneddon 2003a, Paauw 2009, and Zentz 2012, among others, for recent discussion and reviewof literature.) Three generations past the founding of the Republic of Indonesia and thesubsequent promotion of the national language, we can now examine the state of the Indonesianlanguage against the backdrop of the many languages of Indonesia.

The first proclamation of Indonesian (a dialect of Malay that had been used throughoutthe archipelago as a lingua franca) as the future national language of Indonesia took place in1928 at the 2nd Indonesian Youth Congress: Sumpah Pemuda. Their pledge was toacknowledge “one motherland” and “one nation” and to uphold one “language of unity, theIndonesian language.”

As with other new, post-colonial nations, the choice of a national language and itsdevelopment and promotion were seen as central to nation building in Indonesia. A successfulnational language was seen as critical to education and mass communication. When comparedto the contention surrounding the promotion of a national language in some neighboringcountries (e.g. the Philippines), the choice of Indonesian has been described as bothstraightforward and successful. It was widely agreed that choice of the prior colonial language,Dutch, did not make sense, and English did not have a strong enough presence to be a logicalchoice. (In this regard, an interesting comparison can be made between Indonesia and Malaysia,where English has played a larger role. See Baldauf and Nguyen 2012 for an overview oflanguage policy throughout Asia and the Pacific.) There was wide agreement that the culturallydominant, majority regional language, Javanese, would not serve as an accessible, opendemocratic, national language. Rather, Malay, which had already served for many centuries as alingua franca throughout the archipelago, was an obvious choice. Language policy during theJapanese occupation in World War II further paved the way for this decision, as Malay was thelanguage of education during this period.

Since independence, Indonesian has increasingly been spoken as a second language bymost of the population and more recently increasingly as a first language as well, coexistingalongside other native languages in the archipelago. Lewis, Simons, and Fenning (2013) identifyseveral hundred languages (706 distinct languages at the current count) that are spokenthroughout the archipelago. While in some cases the languages are very closely related, none aremutually intelligible; that is, they are described as distinct languages, not dialects. Most of theseseven hundred languages are members of the Austronesian language family and thus related tothe languages of the Philippines, Malaysia, the indigenous languages of Taiwan, as well as thelanguages of the Pacific Islands. In Eastern Indonesia, where there is the greatest diversity,many of the languages are Papuan, related to the languages of Papua New Guinea. Roughly 10percent of the languages of the world are spoken in Indonesia, making it one of the mostmultilingual nations in the world. A glimpse of this richness is seen in Figure 1.

Page 35: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

133

Figure 1. Indonesia Index Map (from Lewis et al. 2013)

The complex linguistic landscape of Indonesia that holds three generations after theestablishment of the republic is a dynamic one, and the interaction between the development ofIndonesian as the national language and the maintenance of vernacular languages at the localand regional levels has resulted in a number of different types of language shift scenarios(Himmelman 2010, Anderbeck 2012) throughout Indonesia. It goes without saying that bothIndonesian and local languages will only be maintained if a significant part of the populationremains bi- or multilingual. Although many speech communities in what is now Indonesia havemaintained stable multilingualism for generations, numerous researchers now report on the useof Indonesian in an increasing number of domains and the question arises as to whether stablemultilingualism will continue to be maintained.

To frame this question, it is useful to think about how a nation is defined as mono- ormultilingual. Consider, by way of comparison, the situation in the United States. The UnitedStates is perceived as a largely monolingual nation. While it is widely agreed that English is thenational language, nowhere is this written or stipulated. There is no formal national languagepolicy and no statement about language in the constitution.1 The United States has a historicpattern of immigration and transitional bilingualism followed by rapid language shift within oneor two generations (leaving aside the issues of indigenous populations and languages spoken bythese communities). This pattern of rapid language assimilation contributes to the metaphor ofthe USA as a “melting pot”. Although there is actually a relatively high level of bilingualism inthe USA, with recent figures showing that close to one fifth of Americans aged 5 and olderspeak another language besides English at home (United States Census Bureau 2010), thesepatterns of bilingualism are at the level of the community and many of these communities arenot seen as part of the mainstream.2 In terms of societal attitudes, bilingualism is widely seen asnegative. Bilingualism is often thought to impede assimilation to the mainstream, access toeducation, good jobs, and so forth, a prevalent societal ideology that does not accord with much

Page 36: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath

134

of the research on bilingualism (see Wolfram 1998 on issues of language ideology in the US andwork by Bialystock and colleagues, e.g. Bialystock et al. 2012, on cognitive benefits ofbilingualism.)

In terms of official languages, Indonesia is monolingual as only Indonesian has thestatus of a national language. There is no official national multilingualism, although the locallanguages of Indonesia are protected by the constitution (in contrast to countries such asMalaysia, Singapore, Vanuatu, and India, where the nation itself is defined as bi- or multi-lingual). Thus we ask the following questions: How has the increased used of Indonesian as asecond language and increasingly a first language affected widespread societal multilingualismin Indonesia? Has this resulted in stable or increased multilingualism or is a shift underwaytoward greater monolingualism? As the number of speakers of Indonesian has increased overrecent decades (as schematized in Figure 2), what has happened to the number of speakers oflocal languages? Is Indonesian expanding at the expense of local languages?

Figure 2. Increase in the number of speakers of Indonesian (schematic)

A situation of stable bilingualism would show a relatively stable number of speakers of regionallanguages as the number of speakers of Indonesian increases, as schematized by the blue line inFigure 3; while transitional bilingualism would show a trade-off between the number ofspeakers of Indonesian and the number of speakers of local or regional languages asschematized by the green line. The latter would suggest that Indonesia is shifting from amultilingual nation to a monolingual nation. This is the question we explore in this paper.

Page 37: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

135

Figure 3. Effect of increase in the number of speakers of Indonesian on number ofspeakers of local languages (schematic)

Has the development and increased use of Indonesian in all spheres of society affectedthe use of the other native languages of Indonesia? In many ways this question has to beconsidered from a variety of both “top-down” and “bottom-up” perspectives, including languagepolicy and planning decisions at the national level, and multilingualism and diglossia at the locallevel. The growing interest in and rhetoric about language vitality and language endangermentmust also be considered. In this paper we take Javanese as a case study of how local languageuse is affected by national language policy and local language ideology. These different ways oflooking at the linguistic situation in Indonesia can be understood as a reflection of differentstages in the recent history of language planning in Indonesia, as laid out in Table 1.

Table 1. Stages in development of linguistic situation in IndonesiaI Establishment and

Development of Indonesian~ 1920s – 1940s Language Policy

II Diffusion of Indonesian ~ 1950s – 1980s MultilingualismDiglossia

III Post diffusion ~1990s – 2000s Language vitalityIV Long term outcome Today and beyond Stable multilingualism or language

endangerment?

In the early parts of the 20th century, before the founding of the republic, issues oflanguage policy were at the fore as the focus was on the establishment and development of thenational language. From the 1950’s to the 1980’s the diffusion of Indonesian was a centralconcern of the national government (Table 1, I). We first briefly discuss these issues (as muchprior literature discusses these language policy matters). The diffusion and increased use ofIndonesian resulted in increased multilingualism, and the development of diglossia in Indonesia(Table 1, II). Finally, since the 1990’s there has been increasing concern throughout the worldabout the loss of linguistic diversity, and related issues of local language maintenance, includingindigenous minority languages. We take up these issues and consider how the languages ofIndonesia are faring in the context of these global concerns, focusing in particular on the fate oflarge languages, those with over a million speakers. We then discuss the situation of Javanese as

Page 38: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath

136

one example of local language shift and we conclude with implications and next steps, includingour Bahasa Kita project.

ESTABLISHMENT AND DIFFUSION OF INDONESIAN AS THE NATIONALLANGUAGE OF INDONESIA

The adoption, establishment, and development of Indonesian as the national language ofIndonesia were accomplished through government policy, with the establishment of the PusatBahasa dan Budaya (now the Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa or Badan Bahasa).Language policy and its implementation were seen as central both during the Sukarno era andduring the New Order. (In addition to Sneddon 2003a, Paauw 2009, and Zentz 2012, see alsoAnwar 1980, Dardjowidjodjo 1998, Errington 1986, 1998a. For a political science perspectiveon the development of Indonesian as a national language, the reader is referred to Anderson1991. For discussion of the linguistic situation in the post-New Order era, the reader is referredto Foulcher et al. 2012.) Central goals were the development of Indonesian as the language ofeducation, government, and public discourse. Census data from the later decades of the 20th

century speak to the success of these initiatives, as discussed by Steinhauer 1994 where by1990, over 90% of the population aged 10-49 reported knowledge of Indonesian.

The diffusion of Indonesian has obviously resulted in the increased use of Indonesian ina variety of spheres. Less is known about how this increased use of Indonesian has affected theuse of local languages. In the 1970’s and 1980’s much attention was paid to the success of theadoption of Indonesian. At the time the concern was whether native speakers of culturally andpolitically dominant local languages such as Javanese would choose to become fluent in and useIndonesian beyond those spheres where it was proscribed.

This concern is reflected in Nababan’s (1985) study “Bilingualism in Indonesia: EthnicLanguage Maintenance and the Spread of the National Language.” Nababan reports on a 1980survey of bilingualism and finds that, among adults, if their first language is a vernacularlanguage then, in most cases, they also speak Indonesian; but if their first language isIndonesian, they usually do not know a vernacular language. Among children, he finds thatwhether Indonesian is their first language or second language, they also know a vernacularlanguage. Nababan (1985) interprets these findings as highlighting the success of the adoptionof Indonesian and as a reassurance for those who think the use of vernacular languages isnegatively affected by the increased use of Indonesian:

This can be interpreted as a reassuring factor for people who fear that the use ofthe vernaculars is decreasing and that they will die out. (1985:7)The results of the survey have indicated that even though Indonesian isincreasingly acquired as first language, and that Indonesian is making inroadson the traditional domains of the vernacular, there seems to be no immediatelikelihood that the vernaculars will die out. (1985:17)[Thus] the rapid development and spread of Indonesian is no threat to themaintenance of the vernaculars of ethnic languages in the country. (1985:17).

While this was taken as reassuring at the time, as we discuss below, shifts in the use of Javanesesince that time have been rapid and pervasive across different levels of society. To understandthe issues implicit in Nababan’s discussion with respect to individual language choice, we needto think more fully about what it means for a speaker to be bi- or multilingual. In the case ofIndonesia, we need to know more about how and when Indonesian is used, and how thesechoices relate to the use of different language styles or registers in different domains. This is thetopic we turn to next.

Page 39: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

137

MULTILINGUALISM IN INDONESIA

There are many different ways that a person can be bilingual. A “balanced” bilingual is usuallydescribed as someone who has full mastery of two languages and can use the languagesinterchangeably in any situation. In point of fact, most bilinguals may use either language in agiven situation, but typically the choice of language is affected by at least the situation andaddressee(s), along with a variety of other factors. Additionally, if language shift is occurring,we assume that the language choices of individuals in any given situation are changing overtime. Indeed, we can’t talk about language choices of a bilingual speaker separately from thecommunity they function in. Closely related to these questions are the issues of language choicebased on language style or degree of formality.

Every speaker, monolinguals included, masters a variety of styles of speech, the use ofwhich depend variably on addressee, context, and other factors. Most basically we can speak inmore informal or formal styles (also called “registers”) with the different styles generally fallingalong a continuum of variable pronunciations, choice of words, and syntactic features. Althoughthis informal-formal distinction is sometimes equated with spoken vs. written language, thiscomparison is really not accurate, since it is possible both to speak very formally (as is often thecase in public speeches) and to write very informally, as is increasingly the case with electroniccommunication such as texting and e-mail, which tend to mimic informal styles of spokenlanguage although they are conveyed through a written medium. It is also not possible to equateinformal with “rude” and formal with “polite”, though the terms kasar ‘rude’ and sopan ‘polite’are often used in Indonesia to refer to informal and formal registers of language respectively.While speaking too informally in a formal situation or to someone of higher social status isconsidered kurang sopan ‘lacking in politeness’; speaking too formally in an informal situationor to a close friend or family member is also considered rude. When the different registers that aspeaker is switching between are actually distinct languages, this switching is known as code-switching (as opposed to style-shifting, which is usually reserved for shifting between varietiesof one language). Moreover, if the choice of linguistic code in formal vs. informal situations ishighly codified at the national level, this is referred to as diglossia, where two different buthistorically related linguistic codes are used in a largely complementary manner (and usuallylabeled H for ‘high’ and L for ‘low’). This situation of highly codified bilingualism was firstdescribed by Ferguson (1959, as quoted by Sneddon 2003b: 519), who defined diglossia in thefollowing way:

…a relatively stable language situation in which [...] there is a very divergent,highly codified (often grammatically more complex) superposed variety [...]which is learned largely by formal education and is used for most written andformal spoken purposes but is not used by any sector of the community forordinary conversation.

Errington (1986), Sneddon (2003b), and others have argued that Indonesia exhibits a clear caseof diglossia, with an H variety of Indonesian, “bahasa resmi” and an L variety, “bahasa sehari-hari.” Both Errington and Sneddon point out that Indonesia’s diglossia differs from Ferguson’soriginal definition in that the H and L varieties of Indonesian exist along a continuum, withspeakers using more or less of particular linguistic features depending on context. Sneddon’scharacterization of use of L vs. H in Indonesian is summarized in Table 2:

Page 40: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath

138

Table 2. Diglossia in Indonesian (following Sneddon 2003b: 521)L (bahasa sehari-hari) H (bahasa resmi)

instruction to servants government, administration, & the lawconversations with family, friends, colleagues formal situations, such as speeches and

lecturescaptions on political cartoons literature, poetry and most novels

most of the mass mediamedium of education at all levels

choice is based on both addressee and situation

These style or register differences refer to varieties of Indonesian, but many speakers inIndonesia are also making additional use of regional languages in these same domains. AsSneddon (2003b: 520) notes “The occurrence of many regional languages used alongside thenational language adds a further dimension to diglossia in Indonesia.” Thus, for example, in thecase of Javanese, the use of speech levels (the informal Ngoko ‘low register’ at one end and themost formal Krama, ‘high register’ at the other, with differing degrees of formality in-between)is already highly codified. Recent work discussed further below looks at the additionalinteraction between Javanese and Indonesian. The most prevalent trend appears to be a tendencyfor formal styles of Indonesian to replace the use of Krama.

Thus, the situation is much more complicated than just asking whether speakers aremonolingual or bilingual or what range of variation exists between informal and formal ways ofusing a particular language. Rather there is interaction between the two dimensions of languagechoice and register choice. Before developing these points in the context of use of Javanese, webriefly consider the issue of language endangerment and language vitality.

ISSUES OF LANGUAGE VITALITY, THE SITUATION IN INDONESIA

At the end of the 20th century, attention turned to the risk of endangerment and loss faced byminority languages of the world. Krauss (1992), among others, highlighted evidence of theacceleration of the rate of language endangerment and loss. Krauss argued that any languagewith fewer than 100,000 speakers should be considered at risk. Around this time, UNESCOstarted a project to create the UNESCO Atlas of the World’s Languages in Danger and newfoundations were formed to support field work and documentation of endangered languages.Ethnologue (Lewis 2009, 16th edition, http://www.ethnologue.com) present a startling figure,highlighting the sheer number of “small” languages in the world that may be at greatest risk ofendangerment: “It turns out that 389 (or nearly 6%) of the world’s languages have at least onemillion speakers and account for 94% of the world’s population. By contrast, the remaining94% of languages are spoken by only 6% of the world’s people.”

Fewer than 20 of the 706 languages spoken in Indonesia have at least a millionspeakers, leaving hundreds of small languages in Indonesia that are likely to be at risk giventheir size alone. Correspondingly, recent work has attempted to assess language vitality ofAustronesian languages and Indonesian languages (Florey 2010, Anderbeck 2012), largelyfocusing on languages with small speaker populations. It is now widely agreed that languageswith small numbers of speakers are at risk, but what about major regional languages? Mostaccounts consider languages with over a million speakers “safe.” In Indonesia, based on themost recent figures in Lewis et al. (2013), there are 19 languages with over a million speakers(notably all in Western Indonesia). These are listed starting with the largest, Javanese, in Table3. How are these languages faring? In Ravindranath and Cohn (2014), we further take up thisquestion, looking at the degree to which there is a correlation between risk of endangerment andlanguage size, and concluding, in agreement with Anderbeck (2012), that even a large speakerpopulation does not protect against language shift.

Page 41: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

139

Table 3. Spoken languages of Indonesia with over 1 million speakers(based on Lewis et al. 2013)

Language Region Population EGIDS numberJava Java and Bali 84,300,000 5 WrittenSunda Java and Bali 34,000,000 5 WrittenIndonesian (Bahasa Indonesia) 22,800,000 1 NationalMadura Java and Bali 13,600,000 5 WrittenMinangkabu Sumatra 5,530,000 5 WrittenMusi Sumatra 3,930,000 3 TradeAceh Sumatra 3,500,000 3 TradeBanjar Kalimantan 3,500,000 3 TradeBugis Sulawesi 3,500,000 6b ThreatenedBali Java and Bali 3,330,000 5 WrittenBetawi Java and Bali 2,700,000 6b ThreatenedMalay, Central Sumatra 2,350,000 5 WrittenSasak Nusa Tenggara 2,100,000 5 WrittenBatak Toba Sumatra 2,000,000 5 WrittenMalay, Makassar Sumatra 1,880,000 3 TradeMakasar Sulawesi 1,600,000 6b ThreatenedBatak Dairi Sumatra 1,200,000 5 WrittenBatak Simalungun Sumatra 1,200,000 5 WrittenBatak Mandailing Sumatra 1,100,000 Unknown

PATTERNS OF LANGUAGE USE AND TRANSMISSION: THE CASE OF JAVANESE

In assessing the language of Java, Adelaar (2010: 25) writes that “In spite of their large speechcommunities, the Javanese, Sundanese, and Madurese languages are actually endangered in thatsome of their domains of usage are being taken over by Indonesian, and, to a lesser extent, inthat they are not always passed on to the next generation.” In this section, we consider thisquestion more closely by looking at the case of Javanese.

Javanese is by far the most widely spoken local language in Indonesia and by mostcounts, it is also the most widely spoken first language in Indonesia (surpassing Indonesian,though it is difficult to get an accurate estimate of the number of first language speakers ofIndonesian). The current estimated number of speakers of Javanese is 84.3 million (Lewis et al.2013), making it the 10th most widely spoken language in the world.4 Although it is the onlylanguage in this group that is not a national or official language of a country, on the EGIDSvitality scale, Javanese is rated as 2 (Provincial), at the “safe” end of the scale. Its position asone of the most widely spoken languages in the world can been seen in its location in the“language cloud” locating individual languages in the space created by plotting EGIDS levelsagainst language speaker population for the languages of the world (available for eachindividual language entry in the current online edition of Ethnologue). The factors that favorstrong maintenance of Javanese include, into addition to the size of the speaker population, theexistence of dense speaker communities and the cultural and political dominance of theJavanese people. If any language of Indonesia is “safe”, it seems that Javanese should be. Infact, in the 1980’s there was concern both about whether Javanese people would learnIndonesian and whether Indonesian was overly influenced by Javanese.

Page 42: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath

140

Figure 4. Javanese in the language cloud (http://www.ethnologue.com/cloud/jav)

However, although it seems difficult to call a language with 84 million speakers“endangered” a number of recent studies demonstrate rapidly shifting language use patterns andlack of intergenerational transmission of Javanese, it is starting to become clear that evenJavanese may be at risk of language endangerment. We consider four aspects of language shiftin Javanese, as follows: 1. Shift away from use of Krama (Errington 1998b, G. Poedjosoedarmo2006, Setiawan 2012); 2. Class, gender, and urban/rural differences in language choices (Smith-Hefner 2009, Setiawan 2012, Kurniasih 2006); 3. Broader social perspectives on linguisticchoices and shift (Smith-Hefner 2009); and 4. Effects of globalization and increased use ofEnglish (Zentz 2012).

One indicator of the successful intergenerational transmission of Javanese ismaintenance of the full richness of its linguistic registers. Yet, in the 1970s, it had already beenobserved that the use of Krama was decreasing, and often in situations where Krama wouldhave been used in the past, Indonesian was used instead. Smith-Hefner (2009: 58) observes“What the census figures can only hint at are two important developments: first, the gradual butcontinuing expansion of Indonesian into domains which were previously the province ofJavanese, and, second, the negative effects of this encroachment on use of the formal styles ofthe language.”

Poejosoedarmo (2006:113) “The Effect of Bahasa Indonesia as a Lingua Franca on theJavanese Speech Levels and Their Functions” highlights these changes, observing, “Javanese, itwould appear, is in no danger of dying out. However, what the statistics fail to show is thatcompetence in using the polite form of the Javanese language is falling rapidly.” The effects ofincreased use of Indonesian result in confusion between Krama levels, reduced vocabularies andsubstitutions from Indonesian. She then goes on to say:

Page 43: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

141

However, the most far reaching effect. . . is that many people, aware that theyare not very competent at manipulating the levels, simply use the Indonesianlanguage instead of Javanese in contexts where it is necessary to be formal andpolite. (2006:117). . . observations suggest that Indonesian is replacing the Krama level ofJavanese for many of its functions and that many young people, even those forwhom Javanese is the language of the home, cannot use the polite levelscorrectly.” (2006:119)

Her observations highlight a type of linguistic insecurity among young speakers of Javanese,whose concern over being sopan has resulted in avoidance of the higher speech levels inJavanese for many younger speakers, and accelerated shift toward Indonesian.

Setiawan (2012), in Children’s Language in a Bilingual Community in East Java,similarly finds decreasing use of Krama among children speakers in three East Javacommunities, although in contrast to Poedjosoedarmo his outlook for the future of Javanese is“bleak.” Comparing children in a city, town, and village, Setiawan finds that urban children aremore likely to report using only Indonesian as compared to their town and village counterparts,who are more likely to report using a combination of Indonesian and Javanese (Ngoko).

Kurniasih (2006), in “Gender, Class and Language Preference: A case study inYogyakarta”, looks at the effect of class and gender on the language choice and use of Javaneseand/or Indonesian. She finds that “Young Javanese [in Yogyakarta] are shifting in language usefrom Javanese to Indonesian (and to some extent from High Javanese to Low Javanese)”(2006:2). The patterns of usage she finds show that both children and adults fall along acontinuum from most Javanese to most Indonesian as follows: Low Javanese – Low & HighJavanese – Low Javanese & Indonesian - Low & High Javanese & Indonesian – Indonesian.Among school-aged children, she finds that language use is determined by both gender andclass, as shown in Table 4.

Table 4. Pattern of language use by children in the home environment (followingKurniasih 2006, Table 3: 13) LJ: Low Javanese, HJ: High Javanese, Ind: Indonesian

Pattern oflang spoken

Name oflanguage

Working Class (total: 40)Girls (19) Boys (21)

% %

Middle Class (total: 68)Girls (35) Boys (33)

% %Girls (35)

%Boys (33)

%1. LJ 0 0 0 02. LJ + HJ 30 81 0 03. LJ + Ind 25 5 32 484. LJ + HJ + Ind 45 14 11 435. Ind 0 0 57 9

Working class children use more Javanese, while middle class children use moreIndonesian. Looking at gender, boys use more Javanese, while girls use more Indonesian.Kurniasih (2006:13) observes: “The middle class girls have the strongest inclination to use onlyIndonesian, while the working class girls have a tendency to include Indonesian in theirlinguistic repertoire.” At school she also finds addressee-based differences, with working classchildren using Indonesian with teachers, but Ngoko with classmates, while middle classchildren, especially girls, tend to use Indonesian with everyone. Kurniasih suggests that part ofthis difference lies in the fact that working class children are usually in families with denserfamily networks since they live with or in close proximity to extended family members. “Themaintenance of Javanese is dependent on the input of family members – the home is where

Page 44: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath

142

language is instilled and reinforced – in particular the contribution of older persons, such asgrandparents, uncles and aunts” (Kurniasih 2006:15). Mobility and “future orientation” are alsoimportant factors. Not only are middle class speakers more mobile, with greater exposure todifferent language varieties, but middle class families also see education as a key to future goals,and fluency in Indonesian as a key to education. This effect of future orientation can be seen bycomparing patterns of language use between parents and other adults (Table 5) with patterns oflanguage between parents and children (Table 6).

Table 5. Pattern of language use reported by parents (following Kurniasih 2006: 13, Table5) LJ: Low Javanese, HJ: High Javanese, Ind: Indonesian

Pattern oflang spoken

Name oflanguage

Working Class (total: 40)Mothers Fathers

% %

Middle Class (total: 68)Mothers Fathers

% %1. LJ 0 0 0 02. LJ + HJ 37 76 0 03. LJ + Ind 0 0 5 24. LJ + HJ + Ind 63 24 95 985. Ind 0 0 0 0

Among adults, we also see class and gender differences. The middle class parents of both sexesalmost all use Low & High Javanese as well as Indonesian; while in the case of the workingclass parents, the majority of mothers show this pattern; while the majority of fathers arereported being more oriented to Javanese using Low & High Javanese. What is really striking isthe difference seen in the patterns of language use of the parents toward their children.

Table 6. Pattern of language use by parents to children (following Kurniasih 2006: 17,Table 6) LJ: Low Javanese, HJ: High Javanese, Ind: Indonesian

Pattern oflang spoken

Name oflanguage

Working Class (total: 40)Mothers Fathers

% %

Middle Class (total: 68)Mothers Fathers

% %1. LJ 0 0 0 02. LJ + HJ 19 60 0 03. LJ + Ind 42 17 4 244. LJ + HJ + Ind 39 23 8 375. Ind 0 0 88 39

As seen in Table 6, there is a large difference between mothers and fathers with both workingclass and middle class mothers using Indonesian in their repertoire. This is particularly strikingfor the middle class mothers, 88% of whom use Indonesian with their children. Especiallynoteworthy is that the mothers’ patterns of language use with older members of the family aredifferent from those with their children. Kurniasih (2006:17) observes “about 95% of middleclass mothers claimed using both Low and High Javanese together with Indonesian, but about88% of them chose to use only Indonesian to speak to their children. They reported using Lowand High Javanese to older members of the family such as grandparents, neighbors, and oldercolleagues at work.” It is not clear from these data alone whether it is the children or mothersdriving the linguistic choices, but Smith-Hefner’s (2009) study, discussed below, suggests that itmay be mothers, as much as daughters, driving this shift. The parents in this study thus are apivot generation in terms of shifting their linguistic patterns when they talk to older or youngerspeakers. (See Ravindranath 2009 for discussion of similar phenomena.)

Page 45: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

143

Kurniasih’s findings are further elucidated by Smith-Hefner (2009) in “Language shift,gender, and ideologies of modernity in Central Java, Indonesia”, who looked at the role of socialattitudes on language choice. The study included both a survey and interviews with collegestudents and recent graduates from Universitas Gadja Mada and Universitas Islam Indonesia inYogyakarta in order to address issues of social attitudes and language shift. “Recent changes inpossibilities for social and status mobility linked to language use have challenged traditionallanguage ideologies and have led Javanese men and women to develop different languagestrategies and patterns of interaction” (Smith-Hefner 2009:57).

Of particular relevance to our discussion are students’ responses to the question of whatlanguage they use with their parents and grandparents versus their planned language use withfuture children. First consider Smith-Hefner’s finding reproduced here in Table 7. Overall, asseen in Chart A, we see a striking shift from patterns of language use with older speakers andprojected language use with future children. As in Kurniasih’s study, there are also genderdifferences, broken down in Chart C, which shows women shifting more to Indonesian thanmen, both with their parents and their expected future children.

Table 7. Reported Indonesian language use by University Student Respondents (Smith-Hefner 2009, chart A, 65) and broken down by gender (chart C, 67)

Chart ABI use with grandparents 22/206 (11%)BI use with parents 25/199 (13%)Plan to use BI with own children 123/198 (62%)Chart C Male FemaleBI use with grandparents 10/105 (105) 12/101 (12%)BI use with parents 8/104 (8%) 17/95 (18%)Plan to use BI with own children 50/97 (52%) 73/101 (72%)

Based on surveys and interviews, Smith-Hefner links these patterns of linguisticbehavior with social attitudes and goals of young people. She observes the following:

Survey data which indicate Javanese women’s greater preference forIndonesian must be viewed within the context of new social and educationalopportunities for young people and their differential impact on genderideologies and the symbolic valuation of language resources. (Smith-Hefner2009:67)

Javanese women’s shift to Indonesian and away from formal Javanese can alsobe seen as resistance to a traditional gender ideology that positions women inthe domestic sphere and as subservient to men. (Smith-Hefner 2009:72)

In the Javanese case the cluster includes not only gender, but socialexpressivity, middle-class identity, and the perceived ideals of modernity.(Smith-Hefner 2009:72)

Together Smith-Hefner, Kurniasih, and Setiawan paint a picture of pivotal language shiftreflecting rapidly changing social attitudes and social goals, driven in particular by the languageuse patterns of urban, middle class women and their daughters.

Another increasingly important factor in language choice is the role of globalization andincreased use of English in many spheres of Indonesian society. Zentz (2012:17) in GlobalLanguage Identities and Ideologies in an Indonesian University explores “globalization’s localmanifestations, language nationalization and language shift, and language learners’ identitiesand motivations”. Zentz investigates how globalization has impacted local language ecologies inCentral Java, Indonesia. She finds a three-way tension between local identity, national identity

Page 46: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath

144

and globalization. In terms of national language policy Indonesia has continued “efforts to alignnational borders with linguistic borders” (2012:24); she quotes the Indonesian governmentposition: “Mencintai bahasa daerah, memakai bahasa nasional, mempelajari bahasa asing.”(‘Love local languages, use the national language, study foreign languages.’)

Zentz highlights the multifaceted role of English in terms of social indexicality,“commodified linguistic resources”, economic interests and values, and educational policy andparticularly internationalization of state education standards. In Zentz’s study, it is attitudesabout English more than its actual use that affect the linguistic ecology. She finds that the actualeffects on language use are somewhat peripheral (except among subgroups who are reallyfluent), but the social and economic values are clear. Thus this is another level of influence onthe perceived value of local varieties of language.

Together, shifts away from Krama, shifts from Javanese to Indonesian more generally,and increased interest in and orientation to English, all contribute to what appears to be dramaticand rapid shifts in intergenerational transmission from current Javanese speakers to their currentand future children.

CONCLUSIONS AND IMPLICATIONS

It is generally agreed that Indonesian as a national language is a successful example of languageplanning and language standardization in the interest of nation building. Grimes (1996:724)asks: “Should Indonesian be a force for unity at the expense of the diversity of existinglanguages and cultures, or should national unity be built on a foundation that accommodates andappreciates ethnolinguistic diversity?” The evidence from Javanese underscores his implicationthat there is a trade off between the success of a national language and vitality of localvernaculars.

Anderbeck (2012), in discussing Gorontalo, a language with one million speakers, asksthe question of whether languages with large speaker populations can be “too big to fail”. Theevidence from Javanese suggests that size alone will not lead to language maintenance.Languages with large speaker populations have the advantage of a more heterogenous speakerpopulation, and the likelihood that shifts in language dynamics will not lead as quickly to anirreversible outcome. In addition, languages with large speaker populations are more likely to bewritten, and already have historical records and documentation. Nevertheless, rapid languageshift of the type that we discuss above will have a profound impact. Large languages, even onesuch as Javanese with 84 million speakers, are at risk of greatly reduced numbers of fluentspeakers and loss of the full richness of linguistic knowledge and tradition, although there maybe many ways in which Javanese continues to be vital and integral to the linguistic ecology (ashighlighted by Musgrave n.d., Goebel 2005, Zentz 2012, and others).

Language is not a monolithic entity; rather it resides in a system of linguistic and socialecology (in the sense discussed by Mufwene 2012). The impact of shifts in patterns of use maybe non-uniform across facets of the language, as in the case of Krama vs. Ngoko, or mightdisproportionately affect certain segments of the population, such as the more rapid patterns ofshift seen in middle class women. At the same time, different languages already serve distinctsocial and cultural functions. As pointed out by Zentz (2012), local, national, and globallanguages offer different opportunities linguistically and socially.

The situation of language endangerment worldwide has demonstrated the criticalimportance of language documentation. What the complexity of the Javanese situationhighlights is the need not only for documentation, but also for studies that address language useand language attitudes. Fuller study of local patterns of language use will help us to understandthe complex factors that contribute to language vitality. Ideally such studies will be able to bothdocument the rate of change by looking at generational differences in language use patterns, aswell as examine the factors that contribute to change.

Page 47: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

145

We are undertaking two projects to contribute to these goals. In the first, Bahasa Kita,we have developed a language use questionnaire for use throughout Indonesia. Thisquestionnaire (Cohn et al. 2013, Kuesioner Penggunaan Bahasa Sehari-hari) builds on previousquestionnaires that have been developed for use in Indonesia and elsewhere (most notably theMiddle Indonesia Project conducted by Errington and colleagues with a questionnaire developedby Tadmor.)5 It includes questions about personal background, including the geographic, ethnic,religious, educational and linguistic background of the respondent, their parents, theirgrandparents, and their spouse and children. It also asks about their level of mastery of differentlanguages, their use of technology, and their language use in 34 different domains. Finally, weinclude 14 attitude questions with a 5-point response scale from strongly agree to stronglydisagree. The questionnaire offers a way to gain a broad overview and look at conditioningfactors, providing connections between individual choices and community level decisions. Thequestionnaire can be completed online or in hard copy and is available athttp://lingweb.eva.mpg.de/jakarta/kuesioner.php. An English version of the questionnaire isalso available if scholars would like to use it in other linguistic settings.

In our current project, we are using the questionnaire to compare patterns of languageuse in several local languages of Indonesia with speaking populations over a million people.We are using preliminary results to address key questions about language shift scenarios (asreported in Cohn et al. 2014) and at the same time working to develop models of the multiplefactors that contribute to scenarios of language change.

The second project, the Basa Urang Proyek, is a more in-depth case study of the use ofIndonesian and Sundanese in West Java. Sundanese is the 3rd most widely spoken locallanguage (after Javanese and local varieties of Malay if these are pooled together), with anestimated speaking population of 34 million speakers. Like Javanese, Sundanese is a highprestige, written language spoken by a clearly defined ethnic group with a large speakerpopulation. Sundanese has received comparatively less attention in the literature (although seeSobarna 2010 and Moriyama 2012 on increasing use of Indonesian at the expense of Sundanesein Bandung; and, Sobarna et al. 1997 and Djajasudarma 1994 on the use of colloquialIndonesian in Sundanese communities). In this project, we aim to consider the Sundanese-Indonesian contact situation more closely, using questionnaires and interviews in West Javanesecommunities to examine the interplay of sociolinguistic background, language use and languageattitudes in urban and rural Sundanese communities. We look forward to reporting on the resultsfrom these studies and welcome colleagues to join in using the methodologies, questionnaire,and interview materials for other case studies.

NOTE* This work was carried out while Cohn was a Fulbright Senior Research Scholar at Unika Atma Jaya,Jakarta, Indonesia in 2012-13. It is thanks to the support of the Fulbright Program, administered byAMINEF, sabbatical leave from Cornell University, and the warm welcome of colleagues at PKBB thatthis research was conducted. The Center for the Humanities at the University of New Hampshire alsosupported a portion of this research. Thanks also to Rindu Simanjuntak for all his valuable assistance asresearch project manager. Versions of this paper were presented at SETALI, Universitas PendidikanIndonesia, Bandung, January 2013, and a colloquium at Department of Anthropology, UniversitasIndonesia, March 2013. Thanks to both audiences for insightful questions and comments.1 Currently 28 US states have so-called “English-only” or “Official English” policies. For discussion ofthese state-level policies, see English-only Movement, Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/English-only_movement).2 To see more about the distribution of languages, bilingualism, etc., in the US, the Modern LanguageAssociation Language Map, available at http://www.mla.org/map_main, provides an excellent resource.

Page 48: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath

146

3 Since no official or universally agreed upon labels exist, these are representative labels, chosen from anumber of labels that are used for these varieties.4 This calculation treats both Chinese and Arabic as single languages. See http://www.ethnologue.com/statistics/size.5 More information about Errington’s Middle Indonesia Project, titled "In Search of Middle Indonesia”,is available at http://www.kitlv.nl/home/Projects?id=14.

REFERENCES

Adelaar, Alexander K. 2010. “Language Documentation in the West Austronesian World andVanuatu: An Overview.” In: M. J. Florey (Ed.). Endangered Languages of Austronesia,12-41. Oxford: OUP.

Anderbeck, Karl. 2012. Portraits of Indonesian Language Vitality. Ms. Available https://sites.google.com/site/nusantaralanguagevitality/.

Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread ofNationalism. London: Verso.

Anwar, Khaidir. 1980. Indonesian: The Development and Use of a National Language.Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press.

Bahasa Kita Proyek. Available at http://lingweb.eva.mpg.de/jakarta/kuesioner.php.

Baldauf Jr, Richard B. and Hoa Thi Mai Nguyen. 2012. “Language Policy in Asia and thePacific.” In B. Spolsky (Ed.). The Cambridge Handbook of Language Policy, 617-638.Cambridge: CUP.

Bialystok, Ellen, Fergus, I.M. Craig, and Gigi Luk. 2012. “Bilingualism: Consequences formind and brain.” Trends in Cognitive Sciences, 16(4), 240–250.

Cohn, Abigail C., John Bowden, Timothy McKinnon, Maya Ravindranath, Rindu Simanjuntak,Bradley Taylor, and Yanti. 2013. Kuesioner Penggunaan Bahasa Sehari-hari. Availableat http://lingweb.eva.mpg.de/jakarta/kuesioner.php.

Cohn, Abigail C., John Bowden, Timothy McKinnon, Maya Ravindranath, Rindu Simanjuntak,Bradley Taylor, and Yanti. 2014. “Assessing the impact of Indonesian on themaintenance of local languages.” Presented at KIMLI 2014, Lampung, Indonesia.

Dardjowidjodjo, Soenjono 1998. “Strategies for a successful national language policy: TheIndonesian case.” International Journal of the Sociology of Language 130: 35-47.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Akulturasi bahasa Sunda dan non-Sunda di daerah pariwisataPangandaran, Jawa Barat. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

English-only Movement. In Wikipedia. Retrieved from http://en.wikipedia.org/wiki/English-only_movement, Accessed April 25, 2013.

Errington, J. Joseph. 1986. “Continuity and change in Indonesian language development.”Journal of Asian Studies 45(2), 329-353.

Errington, J. Joseph. 1998a. “Indonesian(‘s) development: On the state of a language of state.”In B. B. Schieffelin, K. A. Woolard, and P. V. Kroskrity (Eds.). Language Ideologies:Practice and Theory, 271-284. New York: Oxford University Press.

Errington, J. Joseph. 1998b. Shifting Languages: Interaction and Identity in Javanese Indonesia.Cambridge: Cambridge University Press.

Page 49: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

147

Florey, Margaret J. (Ed.). 2010. Endangered Languages of Austronesia. Oxford: OxfordUniversity Press.

Foulcher, Keith, Mikohiro Moriyama, and Manneke Budiman (Eds.). 2012. Words in Motion:Language and Discourse in Post-New Order Indonesia. Singapore: NUS Press.

Goebel, Zane. 2005. “An ethnographic study of code choice in two neighbourhoods ofIndonesia.” Australian Journal of Linguistics, 25(1), 85-107.

Grimes, Charles E. 1996. “Indonesian—the official language of a multilingual nation.” In S. A.Wurm, P. Mühlhäusler, and D. T. Tryon (Eds.). Atlas of Languages of InterculturalCommunication in the Pacific, Asia, and the America. Berlin: Mouton de Gruyter.

Himmelmann, Nikolaus P. 2010. “Language endangerment scenarios: a case study fromnorthern Central Sulawesi.” In M. J. Florey (Ed.). Endangered Languages ofAustronesia, 45-72. Oxford: Oxford University Press.

Kraus, Michael. 1992. “The world’s languages in crisis.” Language, 68 (1), 4-10.

Kurniasih, Yacinta. 2006. “Gender, Class and Language Preference: A case study inYogyakarta.” In K. Allan (Ed.). Selected papers from the 2005 Conference of theAustralian Linguistic Society. Retrieved from http://www.als.asn.au.

Lewis, M. Paul (Ed.). 2009. Ethnologue: Languages of the World, Sixteenth edition. Dallas,Texas: SIL International. Retrieved from http://www.ethnologue.com/16 on October 1,2012.

Lewis, M. Paul, Gary F. Simons, and Charles D. Fennig (Eds.). 2013. Ethnologue: Languagesof the World, Seventeenth edition. Dallas, Texas: SIL International. Retrieved fromhttp://www.ethnologue.com on April 24, 2013.

Modern Language Association Language Map. Available at http://www.mla.org/map_main.

Moriyama, Mikihiro. 2012. “Regional Languages and Decentralisation in Post-New OrderIndonesia: The case of Sundanese.” In K. Foulcher, M. Moriyama and M. Budiman(Eds.). Words in Motion – Language and Discourse in Post-New Order Indonesia, 82-100, Singapore: NUS Press.

Mufwene, Salikoko S. 2002. “Colonisation, Globalisation, and the Future of Languages in theTwenty-first Century.” MOST Journal on Multicultural Societies, 4(2), 1- 47. Retrievedfrom http://www.unesco.org/most/vl4n2mufwene.pdf.

Musgrave, Simon. n.d. Language shift and language maintenance in Indonesia. Retrieved from:http://users.monash.edu.au/~smusgrav/publications/LMLS_Indonesia_Musgrave.pdf.

Nababan, P. W. J. 1985. “Bilingualism in Indonesia: Ethnic Language Maintenance and theSpread of the National Language.” Southeast Asian Journal of Social Science 13(1), 1-18.

Paauw, Scott. 2009. “One land, one nation, one language: An analysis of Indonesia’s nationallanguage policy.” In H. Lehnert-LeHouillier and A.B. Fine (Eds.). University ofRochester Working Papers in the Language Sciences, 5(1), 2-16.

Poejosoedarmo, Gloria. 2006. The Effect of Bahasa Indonesia as a Lingua Franca on theJavanese Speech Levels and Their Functions. International Journal of the Sociology ofLanguage 177(1), 111–121.

Page 50: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath

148

Ravindranath, Maya. 2009. Language Shift and the Speech Community: Sociolinguistic changein a Garifuna community in Belize. Unpublished doctoral dissertation, University ofPennsylvania, Philadelphia.

Ravindranath, Maya and Abigail C. Cohn. 2014. “Can a language with millions of speakers beendangered?” Journal of the Southeast Asian Lingusitics Society (JEALS) 7, 64-75.

Setiawan, Slamet. 2012. Children’s language in a bilingual community in East Java.Unpublished doctoral dissertation, The University of Western Australia, Perth,Australia.

Smith-Hefner, Nancy. 2009. “Language shift, gender, and ideologies of modernity in CentralJava, Indonesia.” Journal of Linguistic Anthropology, 19(1), 57-77.

Sneddon, James N. 2003a. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society.Sydney, NSW: UNSW Press.

Sneddon, James N. 2003b. “Diglossia in Indonesian.” Bijdragen tot de Taal-, Land- enVolkenkunde, 159(4), 519-549.

Sobarna, Cece. 2010. “Bahasa Sunda sudah di Ambang Pintu Kematiankah?” Makara, SosialHumaniora (Social Humanities), 11(1), 13-17.

Sobarna, Cece, T. Fatimah Djajasudarma, Oyon Sofyan Umsari. 1997. Kehidupan BahasaSunda Di Lingkungan Remaja Kodya Bandung. Jakarta: Pusat Pembinaan danPengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Steinhauer, Hein. 1994. “The Indonesian language situation and linguistics; Prospects andpossibilities.” Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde, 150(4), 755–784.

UNESCO. UNESCO Atlas of the World’s Languages in Danger. Retrieved fromhttp://www.unesco.org/culture/languages-atlas/.

United States Census Bureau. 2010. Language Use in the US: 2007 American CommunitySurvey Reports. Retrieved from http://www.census.gov/hhes/socdemo/language/, onApril 25, 2013.

Wolfram, Walt. 1998. “Language ideology and dialect: Understanding the Oakland Ebonicscontroversy.” Journal of English Linguistics 26(2), 108-121.

Zentz, Lauren. 2012. Global Language Identities and Ideologies in an Indonesian UniversityContext. Unpublished doctoral dissertation, University of Arizona, Arizona.

Page 51: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia Agustus 2014, 149-163 Volume ke-32, No. 2Copyright©2014, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

INTRODUCTION IN INDONESIAN SOCIAL SCIENCES ANDHUMANITIES RESEARCH ARTICLES: HOW INDONESIAN

WRITERS JUSTIFY THEIR RESEARCH PROJECTS

Safnil Arsyad*Bengkulu [email protected]

Dian Eka Chandra WardhanaBengkulu [email protected]

AbstractThe introductory part of a research article (RA) is very important because in this sectionwriters must argue about the importance of their research topic and project so that theycan attract their readers’ attention to read the whole article. This study analyzes RAintroductions written by Indonesian writers in social sciences and humanities journals. Itfocuses on how they justify their research topics and research projects. A corpus of 200research articles written in Indonesian by Indonesian writers and published inIndonesian research journals was analyzed in this study. Following the problemjustifying project (PJP) model suggested by Arsyad (2001), the analyses were conductedby using the genre-based analysis of text communicative purpose of ‘move’ and ‘step’.The result of this study indicates that Indonesian writers justify their research project byintroducing the actual research topic, identifying the research problem, and reviewingthe current knowledge and practices.

Keywords: introduction, research article, rhetorical style

AbstrakBagian pendahuluan adalah bagian yang sangat penting dalam sebuah artikel jurnalpenelitian karena di bagian ini penulis harus berargumen akan pentingnya topik dankegiatan penelitian mereka sehingga pembaca tertarik untuk membaca seluruh artikeltersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagian pendahuluan artikel jurnalpenelitian yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh peneliti Indonesia dalam bidangilmu-ilmu sosial dan humaniora. Fokus penelitian adalah tentang bagaimana penulismemberikan penjelasan untuk mempertahankan topik penelitian dan kegiatan penelitianmereka. Sebuah korpus dengan 200 artikel penelitian berbahasa Indonesia yangditerbitkan dalam jurnal penelitian Indonesia telah dipilih untuk penelitian ini. Denganmenggunakan model problem justifying project (PJP) yang disarankan oleh Arsyad(2001), analisis dilakukan dengan menggunakan analisis berbasis genre melalui analisisunit-unit berdasarkan tujuan komunikatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulisIndonesia memberikan penjelasan untuk mempertahankan penelitian mereka denganmemperkenalkan topik penelitian, mengidentifikasi masalah penelitian, serta menelaahpengetahuan dan praktik terkait saat ini.

Kata kunci: pendahuluan, artikel penelitian, gaya retorika

INTRODUCTION

Research publication is very important for researchers because a research activity has not beencompleted if its results are not published in a scientific journal. Research findings will havepractical economic and social impacts if they are published. Rifai (1995), in a rather harsh tone,suggests that all researchers who have received research fund from the government must publishtheir research results in a scientific journal as an accountability on the use of public fund, andthose who do not comply with this can be regarded as unlawful and should be taken to court. Hefurther states that researchers are obliged to publish the research findings because the final

Page 52: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana

150

objective of a scientific study is to give a solution to a specific problem. Similarly, Swales(1990) suggests that researchers must disseminate their research findings because a researchproject is not yet completed until the results are made available to the wider researchcommunity. Therefore, publication in journals is considered as the major route to tenure,promotion, and research grants in an academic life (Swales, 1990).

The most appropriate means of disseminating research findings is through publicationof research articles (RAs) in scientific journals. RAs enable scholars and scientists tocommunicate with each other in order to enhance their credibility. To attain professionalsuccess, researchers must understand and have the ability to compose in this genre(Berkenkotter and Huckin, 1995). Likewise, Indonesian researchers must be able to write RAswell so that they can publish their research articles not only in accredited national journals butalso in reputable international journals.

According to Swales (1990), the RA, which is the key genre of the academic discourse,has a dynamic relationship with all other public research-process genres, such as abstracts, thesesand dissertations, presentations, grant proposals, books and monographs. RAs should also begiven prominence because of their significant quantity. Swales (1990) suggests that about fivemillion RAs in all disciplines and all languages are published every year. This situation impliesthat a very large number of people involved in the production and comprehension of this genre.Swales (1990) further states that “… research articles are a gargantuan genre and, consequently,they have become the standard product of the knowledge-manufacturing industries” (p. 95).

One of the most important sections in an RA is the introduction section because it is thefirst section readers will read after the abstract. Thus, if readers are not impressed with it, theywill unlikely continue reading the next sections of the article (Arsyad, 2001; Swales and Najjar,1987). The introduction section of an RA functions to motivate readers to read the entire article,and therefore, this section must be written in an interesting and convincing way. According toBelcher (2009), the main purpose of this section is to ‘provide enough information for thereaders to be able to understand your argument and its stakes’ (p.209). Correspondingly, Swalesand Feak (1994) state that there are two main purposes of the introduction section: to give alogical reason for the article and to provoke readers to read it. However, the ways writersrhetorically present the arguments in their RA introduction will determine whether or notreaders are impressed and convinced and whether or not they will continue reading the article.

Writing an RA introduction in a particular discipline is not easy especially foruniversity students and novice writers. Swales (1990) claims that for most writers writing anintroduction is more difficult than writing the other sections of the article because in theintroduction section writers have to provide the right amount and the right kind of informationnecessary for the readers to understand the research topic and research project (p.137). Inaddition, the RA introduction should be convincingly argumentative and persuasive as well asinterestingly informative because this is the place where writers must attract their reader’sattention so that they are willing to read the entire article.

The introduction section of an RA carries some persuasive value in that writers appealto readers that their research project is important and useful (Hunston, 1994). According toHunston (1994), in the introduction, RA writers have to address two very important reasons ofwhy they carried out their research project: firstly, there is a knowledge gap left from previousrelevant studies, and, secondly, the knowledge gap occurs in an important topic. These twodistinctive issues are equally important but should be expressed in different rhetorical ways. Inaddition, different writers, as well as writers from different disciplines, may use differentdiscourse styles or features in addressing these two different communicative units.

In the introduction section of an RA, the writer must answer two important questions: 1)why the research topic is important or interesting and 2) why the research project is important ornecessary. According to Swales (1990), in the context of international journal, the first question

Page 53: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

151

can be answered by claiming that their research topic is interesting, valid, or classic, and that ithas been investigated by many other researchers. The writer can also state the knowledge orpractice and phenomena which are related to the research topic. By doing so, RA writers appealto readers to consider that their RA is worth reading. However, the success of such persuasiveappeal may depend on the writer’s credibility in the eyes of the readers; the more credible theRA writers the more successful the persuasion will be.

The second question can be answered by pointing at the gap found in the previousresearch or in the current knowledge of a particular research topic in order to establish the nichefor the present research (Swales, 1990; 2004). According to Swales, this is normally done bynegatively evaluating or criticizing items from the previous relevant research. There are fourpossible strategies of presenting negative evaluation or criticism generally employed by RAwriters: 1) showing disagreement in some way with the results of previous research anddisputing or challenging them; 2) pointing out that the results of the previous research lackvalidity and reliability; 3) expressing that they want to answer a particular question arising fromthe previous research; and 4) expressing that they want to look further at the development of aparticular case. Swales (1990) suggests that these claims are crucial especially in a competitiveresearch environment where researchers face a tight competition for a research space. In orderto succeed in the competition, giving ‘high-level claims’ is often important although this‘involves contradicting large bodies of the relevant literature’ in order to challenge assumptionsmade by previous studies (Swales, 1990:117). The logical and reliable challenge to the alreadyestablished knowledge or claims, although risky, is an important consideration for researchjournal editors to consider whether or not a particular RA can be published.

THE RHETORICAL STYLE OF ENGLISH RA INTRODUCTIONS

The rhetorical style of RA introduction in international journals published in English generallyfollows the pattern of ‘create a research space’ (CARS) as suggested Swales (1990:141). In thispattern, an RA introduction consists of three units or moves with different communicativefunctions. Each move contains of one or more subsequent units or steps with differentcommunicative function aiming to describe each move in details in order to be more easilyunderstood. In each subsequent unit or step, there can also be a smaller communicative unit. Therhetorical style of RA introduction in English according to the Swales’ CARS model ispresented in Figure 1.

Move 1: Establishing a territoryStep 1 Claiming centrality; and/orStep 2 Making topic generalization(s); and/orStep 3 Reviewing items of previous research

Declining rhetorical effortMove 2: Establishing a niche

Step 1A Counter claiming; orStep 1B Indicating a gap; orStep 1C Question-raising; orStep 1D Continuing a tradition

Weakening knowledge claimsMove 3: Occupying a niche

Step 1A Outlining purposes; orStep 1B Announcing present researchStep 2 Announcing principle findingsStep 3 Indicating RA structure

Increasing explicitnessFigure 1. The CARS Model of English RA Introductions (Swales 1990:141)

Page 54: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana

152

As shown in Figure 1, most of the steps in the CARS model are optional. In Move 1, forexample, only one step is mandatory while the other two steps are optional. However, one canalso find an RA introduction containing all the three steps. Move 2, which is to establish theniche, can be expressed using one of the four possible steps. Move 3 can be delivered by usingat least one of the three possible steps. According to Swales (1990), some steps are optional asthey are intended to accommodate a greater variety of communicative function in theintroduction of more complex RAs. Swales further claims that the number of steps used in theintroduction of an RA can determine the quality of the RA in terms of its rhetorical style. It isalso important to point out that the number of steps is actually determined by many factors, suchas the cultural values in the language of the RA, conditions in certain areas of research,rhetorical style options available in a particular language, the distinctive nature of researchtopics, and rhetorical style preferred by the individual writers.

Swales (2004) revised his CARS model of English RA introduction. He particularlychanged the steps in Move 2. In the new model, the niche is established based on input from theresearch findings, as presented in Figure 2.

Move 1: Establishing a territory (citation required)Via

Topic generalizations of increasing specificity

Move 2: Establishing a niche (citation possible)Via [Possible recycling of

increasingly specifictopics]

Step 1A Indicating a gapOr

Step 1B Adding to what is knownStep 2 (optional) Presenting positive justification

Figure 2. The Revised CARS Model (Swales 2004: 230)

The most obvious difference between the old and the new CARS models is in Move 2(establishing a niche). As shown in Figure 2, in the new CARS model, Swales combines Step-1A (counter claiming) and Step-1B (indicating a gap) into a new Step-1A (indicating a gap). Inaddition, Step-1C (raising question) and Step-1D (continuing tradition) are merged into a newStep-1B (adding to what is known). He also adds an optional step or Step-2 (presenting positivejustification) in Move 2. According to Swales, this new model is potentially more flexible inaccommodating for the varying environmental context of research from different fields. Yet, themain questions remain: 1) whether or not the model of RA introduction from differentdisciplines in a particular language is the same; 2) whether or not the model of RA introductionfrom a particular discipline is the same in different languages; and 3) whether or not the modelof RA introduction from different disciplines and in different languages is the same.

THE RHETORICAL STYLE OF INDONESIAN RA INTRODUCTION

The way writers organize their ideas in RA introductions has become a focus of interest inscientific discourse studies recently in Indonesia. Studies on this topic have been conducted by anumber of Indonesian scholars (among others Adnan, 2009; Mirahayuni, 2002; Arsyad, 2001;2013). Arsyad (2001) investigated the rhetorical structure of RA introductions written inIndonesian by Indonesian writers in economics, psychology, and education. He found that thediscourse style of RA introduction in the corpus of his study was different from the one of

Page 55: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

153

English RAs as reflected in Swales’ (1990) CARS model. According to Arsyad (2001), some ofthe differences of the Indonesian RAs introduction in comparison to the one in English are asfollows: 1) The introduction of Indonesian RAs has more moves and steps; 2) Move 1, which isto establish a territory, is built by referring to government policy to convince readers that thetopic of the research project is important; 3) Move 2, which is the part in which a writer justifiesa research project, is addressed by simply saying that the topic or the problem is necessary orinteresting to investigate. In other words, Indonesian RA writers do not justify their researchprojects reported in their RA introductions as the ways English RA writers do.

A comparative genre-based study of rhetorical style of RA introduction has beenconducted by Mirahayuni (2002) by analyzing the rhetorical style of Indonesian and English RAintroductions written by Indonesian and English writers. Mirahayuni employed CARS toanalyze the rhetorical style of the introduction sections of three groups of RAs (20 RAs inEnglish by English writers, 19 RAs in English by Indonesian writers, and 19 Indonesian RAs byIndonesian writers) in the field of language teaching or applied linguistics. She found significantdifferences between English RAs written by English writers and the ones written by Indonesianwriters in the way they introduce and explain the importance of the research topic and researchprojects. To introduce and justify their research activities, English writers refer to theknowledge and findings of previous relevant studies. On the other hand, Indonesian writers referto more practical problems occurring in the community. Mirahayuni concluded that, forIndonesian writers, research activities were conducted to address local problems and to be readby smaller scope of readers.

Another study was conducted by Adnan (2009) who analyzed the discourse style of RAintroductions in the discipline of education. By using Swales’ CARS as a model, Adnan foundthat out of twenty-one RA introductions written by Indonesian writers, none fit the discoursestyle of English RA introduction as suggested by Swales (1990). According to Adnan, in Move1 (establishing a territory), the majority of Indonesian RA writers address the importance oftheir research topic by referring to practical problems faced by either the society or thegovernment in general rather than by a particular discourse community. Furthermore, unlikeSwales’ model of Move 2 (establishing a niche), none of the Indonesian RA writers justifiestheir research projects by discussing the gap in the findings of previous studies. Adnan proposesa modified model of an ideal problem solution (IPS) to capture the important discourse style ofthe Indonesian RA introduction sections, in particular for the discipline of education.

A recent research project on the rhetorical style of English RA introductions written byIndonesian speakers was conducted by Arsyad (2013). Arsyad’s corpus consisted of 30 RAstaken from three different international journals published in Indonesia (ITB Journal ofEngineering Science, Acta Medica Indonesia, and ITB Journal of Science). Arsyad’s researchfindings correspond to the findings of the previous studies (i.e. Adnan, 2009; Mirahayuni, 2002;and Arsyad, 2001) which reveal the fact that the rhetorical style of English RA introductionsection written by Indonesian writers is different from the one written by English writers. Oneof the differences was the occurrence of Move 2: the way writers support the importance of theresearch activities. Only 15 (50%) of the English RAs by Indonesian writers have the movewhich can be classified as Move 2. In addition, out of 15 RAs, none of them used Step-1:counter claiming or justifying the importance of research activities on the basis of an evaluationor critique on the previous research results. Despite the differences, Arsyad also foundsimilarities between the rhetorical style of English RA introductions written by Indonesianwriters and the ones written by English writers. Both RAs had Move 1 (establishing a territory)and Move 3 (occupying a niche). In addition, almost all of them used contrastive discoursemarkers, such as while, however, and but, and also lexical negations, such as very limited, hasnot been, and not yet to assist readers in reading the article. These similarities might have

Page 56: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana

154

occurred since Indonesian writers used English RAs as the references for the discussion in boththe RA introduction and discussion sections.

The aforementioned studies are very important as they reveal how Indonesianacademics of a particular discipline or group of discipline rhetorically write RA introductions.However, these studies only involve a small number of RAs as sample of the study. Thefindings of these studies need to be reevaluated and confirmed by studies with a larger corpus ofRA introductions in the same field of discipline and in the same language. This study is alsoimportant because, as pointed out by Shi-xu (2005), although discourse studies of a languageand/or culture other than English is often leftout or forgotten, these studies are important toproduce balanced information in the literature and objective perception of academic societymembers at large on these languages and cultures. This study aims at investigating the argumentstyle of Indonesian RA introductions written by Indonesian academics published in Indonesianresearch journals in social sciences and humanities. This study is also intended to evaluate theeligibility of the Problem Justifying Project (PJP) pattern proposed by Arsyad (2001)—furtherexplanation of PJP is given below—to represent the rhetorical style of Indonesian RAintroductions by analyzing a larger corpus of RA from more varied disciplines (compared to thatof Arsyad’s (2001) study).

The main questions addressed in this study are the following:a) What communicative units are found in the introduction sections of Indonesian RAs in

social sciences and humanities and published in Indonesian research journals?b) How do Indonesian writers argue for the importance of their research topic reported in their

Indonesian RA introductions in social sciences and humanities published in Indonesianresearch journals?

c) How do Indonesian writers argue for the importance of their research projects reported intheir Indonesian RA introductions in social sciences and humanities published in Indonesianresearch journals?

To answer the above questions, genre-based analyses were conducted on the introductionsections of 200 Indonesian RAs published in Indonesian research journals in social sciences andhumanities.

METHOD

The corpus of this study comprised 200 Indonesian RAs taken from research journals in thefields of language studies, literature studies, social sciences and law sciences published inIndonesian research journals. These articles were chosen to represent Indonesian RA genre inthe field of social sciences and humanities. The distribution of the journals and the number ofthe RAs is summarized in Table 1 below.

Table 1. The Distribution of RAs in the Corpus of this StudyNo. Fields Code Number of RAs Percentage1. Language studies LGS 50 25%2. Literature studies LTS 50 25%3. Social sciences SOS 50 25%4. Law sciences LAS 50 25%

Total 200 100%

Rhetorical analyses were done only on the introduction section of the RAs in the corpus of thisstudy in order to answer the research questions.

In this study, a communicative unit or move in the introduction section of the RAs wasdefined as follows:

Page 57: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

155

... a clause or a set of clauses or a paragraph which shows a clear indication of aspecific identifiable communicative purpose, signaled by linguistic clues orinferred from specific information in the text. The communicative units ormoves in a particular text together develop a set of communicative purposesrelevant to the genre of the text (Arsyad, 2001: 82).

Smaller communicative units in this study were considered as a sub-communicative unit orStep. In line with Arsyad (2001), in this study, a step was defined as follows:

[a] segment of a text containing a particular form rhetorical work necessary forrealizing the communicative purpose of a move. Steps are strategies forencoding communicative purposes. The steps are mostly signaled by linguisticand discourse clues in the text or are inferred from the context (p.83).

A segment in the text, such as a clause(s) or a paragraph(s), was considered a move or a step if ithad a distinctive and identifiable communicative purpose or function.

The processes of identifying communicative units in the introduction section of RAswere done following the procedures suggested by Dudley-Evans (1994) which were thefollowing: 1) search for move structure by identifying move borders; 2) use a clause or a simplesentence as the smallest unit of analysis, and 3) use independent rater(s) to validate the analysis.In details, the analysis processes went through the following steps: first, read the title and sub-titles, the abstracts and key terms in the RAs to get a rough understanding of the content of theRAs. Second, read the whole RA and divide it into the main sections of introduction, methods,results and discussion and conclusion (IMRDC). Third, read the introduction section of each RAagain to look for the available linguistic and discourse clues, such as conjunctions, specificlexicons and discourse markers. Fourth, identify the possible communicative units in the RAintroduction by using linguistic and discourse clues and also the researchers’ judgment based ontheir interpretation of the text. Fifth, identify the common discourse style of the RA introductionin particular the part in which Indonesian RA writers justified their research topic and researchproject. Finally, ask an independent rater to do the same procedure on samples of RAintroduction sections in order to ensure the validity and reliability of the results of the analysis.

The smallest unit analysis in this study was a clause or a simple sentence because it wasunlikely that a single clause can address more than one communicative purpose as a clauseshould have only one topic or subject and one comment or predicate. The identification ofmoves in the discussion section of RAs was conducted by using linguistic and discourse cluessuch as, formulaic expressions, particular lexical items, cohesive markers, and other kinds ofdiscourse clues, such as sub-titles or sub-section titles, paragraph as a unit of ideas, or byinferring from the information contained in the text. These clues enabled the researchers tosegment the text into moves and identify the move boundaries.

This study employed the Problem Justifying Project (PJP) pattern suggested by Arsyad(2001) as a model for the macro and micro rhetorical analyses in which an RA introduction mayhave up to four different moves as shown in the following figure.

Page 58: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana

156

Move 1 Establishing Shared Schemata by:Step A: Defining key terms; and/orStep B: Giving a short history of the research field; and/orStep C: Describing the geographical setting of the research; and/orStep D: Making a general claim.

Move 2 Establishing the Research Field by:Step A: Introducing the actual research topic; and/orStep B: Identifying the research problem or phenomena;Step C: Referring to the government policy; andStep D: Reviewing the current knowledge and practice.

Move 3 Justifying the Present Research Project by:Step A: Indicating a gap in previous study results; orStep B: Claiming that the topic has never or rarely been investigated; orStep C: Claiming that the topic is necessary to investigate; orStep D: Claiming interest in investigating a particular topic.

Move 4 Announcing the Present Research by:Step A: Announcing the research purposes; and/orStep B: Stating the research questions; and/orStep C: Describing the specific features of the research; and/orStep D: Stating the expected benefits of the research; and/orStep E: Announcing the principal findings; and/orStep F: Proposing the research hypothesis; and/orStep G: Suggesting a solution to the research problem.

Figure 3. The PJP Rhetorical Model for Indonesian RA Introductions

A little modification has been made to the original PJP model in which Step C of Move 1(Referring to the government policy) was moved to Step C of Move 2. This is because therhetoric of ‘referring to the government policy’ can be considered as the RA writer’s strategy tojustify their research topic. Since the majority of research projects in Indonesia are supported bygovernment funding; therefore, a research project must deal with the government policy orprogram. Thus, a particular research topic is considered important if the research results mayhelp the government understand and/or solve the possible practical problems in the community.The micro analysis focused on the ways Indonesian writers justified their research topic (Move2) and the ways they justified their research project (Move 3). The present study employed PJPas a model, instead of CARS, because the corpus of this study was similar to that of Arsyad’s(2001) study in terms of the language and the writers (Indonesian).

RESULTS AND DISCUSSION

An independent rater involved in this study was a lecturer at the Indonesian educationdepartment of teacher training and education faculty of Bengkulu University who had a Ph.D.degree in Applied Linguistics. First, the independent rater was told how to identify the possiblemoves and steps in the texts following the procedures described above. She was given twoweeks to identify the moves and steps in 20 (10%) randomly selected RA introductions from thecorpus of this study. Inter-rater correlation analysis results showed about 15 out 20 RAs (75%)agreement; the inter-rater disagreement occurred in the frequency of occurrence of the steps ofMove 2 and Move 3. No disagreement occurred in the identification and categorization of themoves (Moves 1, 2, 3 and 4) in the RA introduction sections. The disagreements were thendiscussed further in order to look for an agreement before further analyses were conducted.

Page 59: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

157

The Main Communicative Units in the Indonesian RA IntroductionsThe data analysis results of the main communicative units found in the introduction section ofIndonesian RAs in the discipline of social sciences and humanities were presented in Table 2below.

Table 2. The Main Communicative Units in the Indonesian RA Introductions

The MainCommunicative Units

Journal DisciplinesSocial

Sciencesn=50

LiteratureStudiesn=50

LanguageStudiesn=50

LawSciences

n=50

TotalN=200

%

Move 1 (Establishingshared schemata)

40 44 46 48 178 89%

Move 2 (Establishingthe research field)

50 42 48 47 187 93.5%

Move 3 (Justifying thepresent researchproject)

16 23 20 25 87 43.5%

Move 4 (Announcingthe present research)

41 35 36 28 140 70%

As shown in Table 2, the majority of the RA introductions in the corpus of this studyhave Move 1, 2 and 4: however, only some of them (87 or 43.4%) have Move 3. This impliesthat the PJP model proposed by Arsyad (2001) can represent the main communicative units inthe Indonesian RA introductions in the field of social sciences and humanities. As also shown inTable 2, justifying the research project (Move 3) is considered to be not important byIndonesian writers—at least, it is not as important as establishing the shared schemata (Move 1)and establishing the research field (Move 2). Probably, Indonesian RA writers assume that thecontent of Move 2 (Establishing the research field), such as identifying the research problem, isconvincing enough to justify their research project reported in the article. In fact, according toNachmias and Nachmias (1976), identifying and stating research problems is a universalstrategy of justifying the importance of particular research project. As mentioned by Nachmiasand Nachmias (1976:10) the problem is “… an intellectual stimulus calling for a response in theform of a scientific answer” and since scientists are problem solvers, therefore, it is reasonableif in their research, scientists raise problems to ground their research.

Table 2 also shows that only 140 RA introductions (70%) have Move 4 (announcing thepresent research). Writers are expected to announce the important features of their researchproject, such as research questions and/or objectives, significances of the study, principlefindings and research hypotheses in the introduction section of their RAs in order to attractreaders’ attention to read the whole article. This is because the main function of RA introductionis to convince readers that the research topic and research project reported in the RA isinteresting and important and therefore it is worth reading (Hunston, 1994; Arsyad, 2001;Swales and Feak, 1994; and Swales and Najjar, 1987). Subsequently, RA writers must providenecessary information of their research project in their RA introductions (Belcher, 2009).

Justification for the Importance of the Research Topic (Move 2)The second question of this study is how Indonesian writers argue for the importance of theirresearch topic. The data analysis results of the frequency of steps of Move 2 is presented inTable 3 below.

Page 60: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana

158

Table 3. The Ways Indonesian Writers Justify their Research Topic (Move 2)

The Writer’s Ways ofJustifying the Research

Topic

Journal DisciplinesTotalN=200 %Social

Sciencesn=50

Literaturestudiesn=50

LanguageStudiesn=50

Lawsciences

n=50A Introducing the

actual researchtopic

30 45 19 26 120 60%

B Identifying theresearch problem

26 34 33 28 121 60.5%

C Referring to thegovernment policy

15 10 5 33 63 31.5%

D Reviewing thecurrect knowledgeand practices

41 40 41 33 155 77.5%

Table 3 shows that the majority of Indonesian writers support the importance of their researchtopic by simply introducing the actual research topic (Step-A); identifying the research problem(Step-B) and/or reviewing the current knowledge and practices related to the research topic(Step-D); however, only some of them also address the government policy (Step-C). Theexamples of the rhetorical work identified as the ways Indonesian writers justify their researchtopic in their RA introductions (Steps A, B, C and D) are given below:

1. Dunia perempuan yang terdapat dalam karya sastra diciptakan baik oleh pengarang laki-lakimaupun perempuan. Sayangnya pada awal perkembangan karya sastra Indonesia hanyakarya pengarang lak-laki yang diperhitungkan, sedangkan karya pengarang perempuandianggap hanya sebagai karya populer yang tidak layak diperhitungkan (Step A: LTS-1)(The world of women has been writer in literary works by both male and female writers.Unfortunately, at the beginning of the development of Indonesian literary works, only theworks of male writers were considered as high-quality literary works. The works of femalewriters, on the other hand, were only regarded as popular works and could never beclassified as high-quality literary works.)

2. Menurut Quraisy Shihab, nikah siri adalah sah menurut hukum islam, tetapi dapatmengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar ketentuan pemerintah. Aturan UlilAmri harus dituruti selama tidak bertentangan dengan hukum hukum Allah (Step B: LAS-25)(According to Quraish Shihab, unregistered marriages are legal under Islamic law, but it canresult in sin as it violates government regulations. Government rules must be obeyed as faras they do not contradict the laws of God).

3. Pada pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bahasa Indonesia adalahbahasa negara. Selanjutnya bahasa Indonesia juga disebut sebagai bahasa Nasional,bahasa administrasi Negara, dan ditetapkan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah.Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran disemua jenjang pendidikan antara lain tertuang dalam Undang-Undang Sisdiknas, Pasal 33Ayat 1 Nomor 20 Tahun 2003. (Step C: LGS-13)(In Article 30 of the Constitution of 1945, it is stated that Indonesian is the official language ofthe country. It is also stated that Indonesian is the national language, the language of the Stateadministration, and also established as the language of education. The use of Indonesian as ameans of instruction in teaching and learning process at all levels of education is also stated inthe National Education Act of 2003, Article 33 Paragraph 1 No. 20).

Page 61: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

159

4. Menurut Badudu (1988:14) terdapat lima peranan radio, yaitu: a) memberikan informasi,b) memberikan bimbingan, c) menyiarkan ilmu pengetahuan, d) memberikan hiburan, dane) membina bahasa Indonesia yang baik dan benar (Step D: LGS-33)(According to Badudu (1988:14), there are five roles of radio broadcasting, namely: a) to

provide information, b) to provide guidance, c) to broadcast knowledge, d) to provideentertainment, and e) to foster good and correct Indonesian).

In English RA conventions, the research problem is a key issue of a research. Day(1996:30) states that “any piece of research is built around a design, which begins withidentifying a problem and then the issue that guides our understanding.” Day further points outthat research is designed mainly to find the answer to a specific problematic question.Correspondingly, Swales (1990:140) argues that problems are central to research in manydisciplines, by saying that “problems or research questions or unexplained phenomena are thelife blood of many research undertakings.” The format of research questions can be in the formof questions in the format of a hypothesis statement, as Travers (1969) has noted. Traversfurther suggests that research problems can be stated in terms of a question for which theproposed research is designed in order to obtain an answer. Sometimes, the question is referredto as a hypothesis.

The strategies of Indonesian writers in justifying their research topic, as identified in thecorpus of this study, are slightly different from the ones commonly used by the writers ofEnglish RAs. The obvious difference is in the occurrence of Step-C (referring to the governmentpolicy) in the Indonesian RA introductions as one way to justify the research topic. This stepdoes not exist in the English RA introductions. The possible reason for the presence of thisrhetorical work is that research projects in Indonesia are mainly funded by using governmentfundings. A research project can only be financially supported if it deals with the governmentprogram or policy and the research results are expected to help the government to solvepractical problems in the society. Thus, to win the government research funding, researchersmust relate their research topic to the government programs or policies.

The Ways Indonesian Writers Justify their Research Project (Move 3)The last research question addressed in this study is how the Indonesian writers argue for theimportance of their research project reported in the article. The data analysis results arepresented in Table 4 below.

Table 4: Argument Style of the Writers for the Importance of the Research Project

The Writer’s Ways ofJustifying the Research

Project

Journal DisciplinesTotal

N=200 %Socialsciences

n=50

Literaturestudiesn=50

Languagestudiesn=50

Lawsciences

n=50A Indicating a gap in

previous studies4 5 6 4 19 9.5%

B Claiming that thetopic has never beenor rarely investigated

3 4 4 - 11 5.5%

C Claiming that thetopic is necessary toinvestigate

6 8 4 10 28 14%

D Claiming interest ininvestigating thetopic

3 6 6 11 36 18%

Page 62: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana

160

As shown in Table 4, Indonesian writers justify their research project by using one of the fourpossible ways or Steps A, B, C or D. Below are examples of the steps of Move 3 taken from thecorpus:

1. Karya ilmiah dengan aneka pembahasan di atas, meskipun sama-sama berpendapat tentangpentingnya pernak-pernik nilai budaya Islam Indonesia sebagai solusi alternatif bagikerangka bina-damai, akan tetapi tidak secara spesifik membahas bagaimana nilai-nilaibina-damai sufistik cerita pewayangan. Oleh karenanya, penulisan karya ilmiah ini bukanpengulangan kajian-kajian ilmiah terdahulu dengan mengambil tema dan analisis kajianyang sama. (Step A: LTS-14)(Although all of the above scientific works argue for the importance of Islamic culturalvalues as an alternative solution for peace-building framework in different ways, they donot specifically discuss the values of peace-building of ‘Sufi’ puppet stories. Therefore, thisscientific paper is different from previous scientific studies although it is of similar themeand field of analysis.)

2. Kekhasan bahasa Minangkabau ragam adat sangat menarik untuk dikaji. Apalagi selamaini, belum begitu banyak perhatian para sarjana bahasa mengkaji bahasa Minangkabauragam adat ini. (Step B: LGS-20)(The characteristics of indigenous variety of Minangkabau language is very interesting tostudy. In addition, only few linguists have studied this variety of Minangkabau language.)

3. Namun dalam tataran lebih besar, pengembalian asset korupsi masih belum oftimalpenanganannya, untuk itu layak pembentukan Lembaga Perampasan Aset. Berdasarkankepada uraian tersebut di atas dalam penelitian ini, penulis menganggap penting masalahini untuk diteliti, maka penulis mengambil tema mengenai pengawasan intern departemendan tindaklanjutnya. (Step C:LAS-16)(However, in a larger scope, the recovery of the corruption assets is still not optimallyhandled; hence, the establishment of the agency of Asset Confiscation becomes necessary.Based on the above description, the writers consider that this issue must be investigated;accordingly, the theme of this study is the implementation of internal control structure andits further action.)

4. Dalam rangka menganalisis lebih jauh efektivitas upaya pemberantasan tindak pidanaperdagangan orang di Kota Bengkulu, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh tematersebut. (Step D: LAS-34)(In order to further analyze the effectiveness of the efforts to combat human traffickingcrime in the city of Bengkulu, researchers are interested in investigating this topic further.)

As also reflected in Table 4, only few Indonesian writers explain the importance of theirresearch project by indicating a gap found in previous relevant studies. Indonesian writers tendto avoid giving a negative evaluation or criticism towards the work of others especially inacademic writing. Keraf (1992) argues that the reason why Indonesian writers rarely criticizeother people’s views is because criticizing other people, especially those who are older or have ahigher social or economic status, is considered culturally impolite. According to Keraf, this isnot an ideal attitude for scientists because the main objective of scientific work is to find thetruth. Corresponding to Keraf’s argument, ethnographers such as Saville-Troike (1982) andGudykunst and Ting-Toomey (1988) also argue that, unlike Western cultures, Eastern peoplesuch as Chinese, Koreans, and Japanese consider group harmony and collective value veryimportant. They prefer to keep silence over boldly criticizing other people. Indonesian academicwriters seem to adopt the same view when writing academic texts in Indonesian; that is avoidingcriticizing or pointing at weaknesses of other people, in order to keep the group’s harmony ornot to be considered impolite or appear face-threatening.

Page 63: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

161

Another possible explanation for the Indonesian writers’ reluctance to negativelyevaluate other people’s work is because they do not see the need to do so. They, for example, donot have to compete for a research space or even to obtain a place in a journal publication intheir own field of discipline in Indonesia. The claim that research on a particular topic isnonexistent or has never been reported may have been considered to be a convincing appealfrom the writers to readers in order to accept that the present work is necessary and important.This is in line with the convention of RA writing in Indonesia which requires Indonesianresearchers to express in their introduction that the research problem of their research reallyexists (Rifai, 1995). Accordingly, convincing readers that the research project was conductedbecause there was a practical problem on an important topic has been considered scientificallysatisfactory.

The Indonesian writers’ strategies in justifying their research project is different fromthe ones by English RA writers. The obvious difference, as shown in Table 4, is the use of‘Claiming interest in investigating the topic’ or Step-D of Move 3 in the PJP model which is notavailable in Swales’ CARS model. One of the possible explanations for this condition is thatIndonesian writers think that they can justify their research project by simply presenting andproving that there is a practical problem occurring in the society. If there is a problem on animportant topic then a research activity is necessary in order to investigate the causes of theproblem or to find the best solution for the problem. Although similar studies may have beenconducted elsewhere, the results of those studies are not well socialized or distributed sincecommunication between academics or researchers through seminars or conferences is infrequentand research reports are rarely published. This is why Indonesian writers tend to focus on localresearch contexts, rather than national or international ones, without considering the holistic oruniversal effect of their scientific works.

A similar comment has been made by Soeparno et al. (1987 cited in Arsyad, 2001), whostate that, in writing academic texts, Indonesian writers rarely consult indices of work carriedout or articles written on Indonesia, such as Indeks Majalah Ilmiah Indonesia (Index ofIndonesian Scientific Periodicals) which is published by Pusat Dokumentasi dan InformasiIlmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Center for Scientific Documentation andInformation of Indonesian Institute of Sciences). In other words, Indonesian writers do notattemp to relate their current works to the most recent works that has been conducted inIndonesia or elsewhere. The findings of this study support the argument that Indonesian RAwriters do not attempt to find out whether studies relevant to or similar to their works have beencarried out by other people in other places. Instead, they use their own findings to justify theirstudies.

CONCLUSION AND SUGGESTION

Indonesian writers who write in social sciences and humanities journals have their ownrhetorical style of RA introductions which are different from the ones found in English RAs.There are three important findings that can be reported in this study. First, the majority ofIndonesian RA introductions have Move 1, 2 and 4. However, only few of them have Move 3(justifying the present research). Second, the majority of Indonesian writers justify theirresearch topic simply by reviewing the present knowledge and research practices and/oridentifying the research problems. Third, in contrast to what is commonly found in English RAintroductions, very few Indonesian RA writers attempt to evaluate the work of others inprevious relevant studies in order to justify their research project.

It is suggested that when writing an RA in English, the Indonesian writers must modifytheir rhetorical style to match the one acceptable by English readers, in particular to justify theirresearch topic and project. They need to support the importance of their research project byevaluating the weaknesses and shortcomings of previous relevant studies in order to fill the gap

Page 64: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana

162

on an important topic. By so doing, it is expected that the chance for their manuscript to beaccepted for publication in an international journal is higher.

NOTE

* We would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.

BIBLIOGRAPHY

Adnan, Zifirdaus. 2009. “Some Potential Problems for Research Articles Written by IndonesianAcademics When Submitted to International English Language Journals.” Asian EFLJournal Quarterly 11 (1): 107-125.

Arsyad, Safnil. 2001. Rhetorical Structure Analyses of Indonesian Research Articles.Unpublished Ph.D. Dissertation. The Australian National University, Canberra,Australia.

Arsyad, Safnil. 2013. “A Genre-Based Analysis on the Introductions of Research ArticlesWritten by Indonesian Academics.” TEFLIN Journal 24 (2): 180-200.

Belcher, Wendy Laura. 2009. Writing Your Journal Article in Twelve Weeks: A Guide toAcademic Publishing Success. California: SAGE Publications, Inc.

Berkenkotter, Carol and Thomas N. Huckin. 1995. Genre Knowledge in DisciplinaryCommunication: Cognition/Culture/Power. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Day, Abby. 1996. How to Get Research Published in Journals. Hampshire: Gower PublishingLimited.

Dudley-Evans, Tony. 1994. “Genre Analysis: An Approach to Text Analysis for ESP.” InR.M. Coulthard (Ed.). Advances in Written Text Analysis, 219-228. London:Routledge.

Gudykunst, William and Stella Ting-Toomey. 1988. Culture and Interpersonal Communication,Newbury Park. California: Sage Publication.

Hunston, Susan. 1994. “Evaluation and Organization in a Sample of Written AcademicDiscourse.” In R.M. Coulthard (Ed.). Advances in Written Text Analysis, 219-228.London: Routledge.

Keraf, Gorys. 1992. Argumen dan Narasi, Jakarta: Gramedia.

Mirahayuni, Ni Ketut. 2002. Investigating Textual Structure in Native and Nonnative EnglishResearch Articles: Strategy Differences between English and Indonesian Writers.Unpublished Ph.D. Dissertation, the University of New South Wales, Sydney, Australia.

Nachmias, David and Chava Nachmias. 1976. Research Methods in the Social Sciences.London: St. Martin’s Press.

Rifai, Mien A. 1995. Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan dan Penerbitan Karya IlmiahIndonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Saville-Troike, Muriel. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil Blackwell.

Shi-xu. 2005. A Cultural Approach to Discourse. New York: Palgrave Macmillan.

Swales, John M. 1990. Genre Analyses: English in Academic and Research Settings.Cambridge: Cambridge University Press.

Page 65: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

163

Swales, John M. 2004. Research Genres: Axplorations and Applications. Cambridge:Cambridge University Press.

Swales, John M. and Christine B. Feak. 1994. Academic Writing for Graduate Students:Essential Tasks and Skills. Michigan: The Michigan University Press.

Swales, John M. and Hazzem Najjar. 1987. “The Writing of Research Article Introductions.”Written Communication 4 (2): 175-191.

Travers, Robert M.W. 1969. An Introduction to Educational Research (3rd ed.). New York: TheMacmillan Company.

Page 66: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia Agustus 2014, 165-177 Volume ke-32, No. 2Copyright©2014, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

KEAJEKAN KONSEPTUAL DALAM METAFORA BARU

Bahren Umar Siregar*Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan tentang (a) bagaimana menentukankeajekan konseptual metafora yang baru, dan (b) apakah tingkat kemapanan metaforabaru berpengaruh pada keajekan konseptual dalam metafora itu. Untuk itu, tigametafora baru dan penggunaannya dalam berbagai media daring dan situs web dipilihsebagai data penelitian. Ketiga metafora tersebut adalah Jeruk kok minum jeruk, Cicaklawan buaya atau Cicak vs. buaya dan Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmupengetahuan. Penelitian ini menunjukkan bahwa keajekan konseptual metafora yangbaru dapat ditentukan berdasarkan dua hal: (a) kekerapan penggunaan metafora; dan(b) ketertonjolan semantik makna metafora. Selain itu, karena kekerapan penggunaanberhubungan dengan kemapanan metafora, tingkat kemapanan metafora baru dengandemikian mempunyai pengaruh terhadap tingkat keajekan konseptual metafora.

Kata kunci: keajekan konseptual, metafora baru, metafora konvensional, kemapanan

AbstractThe present reserch on metaphors attempts to study (a) to what degree we can determinethe conceptual stability of novel metaphors, and (b) whether the level of conventionality ofthe novel metaphors has an effect on their conceptual stability. Three relatively newmetaphors such as Jeruk kok minum jeruk, literally means ‘How come an orange drinksthe orange juice’, Cicak lawan buaya or Cicak vs. buaya (Lizard vs. Crocodile) andBahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan (The Indonesian language as acarrier of knowledge) and their usage in various online media and websites were selectedas data. The research has shown that the conceptual stability of a novel metaphor isdetermined by frequent use of the metaphor and saliency of its figurative meaning. As thelevel of conventionality of the metaphor also depends on the frequency of its use, theconventionality, therefore, has an effect on the conceptual stability.

Keywords: conceptual stability, novel metaphors, conventional metaphors, conventionality

“Novel metaphors can have the power of def ining real i ty”(Lakoff & Johnson, 1980a:484)

PENDAHULUAN

Bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi; bagi Nietzsche1 bahasa adalah arus penampungankonseptual, tempat metafora baru memasuki bahasa dan secara berangsur menjadi mapan,digunakan sampai menjadi bagian konvensionalitas (bahasa). Masih menurut Nietzsche, dalampraktiknya metafora lama memberikan kerangka yang digunakan untuk menjelaskan metaforabaru. Namun, dalam perjalanan penggunaan bahasa, metafora baru tidak selamanya berubahmenjadi konvensional dan kemudian lenyap dari peredarannya dalam wacana. Metafora barusering juga disebut sebagai metafora hidup, imajinatif, dinamis, atau metafora puitis. Metaforalama kemudian dinamakan juga sebagai metafora mati, konvensional, metafora lecek, ataumetafora beku. Metafora yang termasuk ke dalam kategori ini kemudian cenderung dianggapsebagai ungkapan yang sudah bersifat harfiah atau bermakna nonmetaforis (Ricoeur 1975,Black 1993, Kittay 1987, dan Fogelin 1994).

Page 67: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Bahren Umar Siregar

166

Pada umumnya para linguis kognitifis sependapat dengan Lakoff dan Johnson (1980b),Lakoff (1987), dan Johnson (1987) bahwa metafora, apakah metafora lama atau baru,merupakan unsur mendasar dalam menyusun kategorisasi dunia (pandangan hidup) dan dalamproses berpikir manusia. Metafora merupakan bukti peran imajinasi dalam konseptualisasi danpenalaran. Namun, tidak semua sepakat tentang hakikat metafora dalam bahasa. Menurutpandangan linguistik kognitif yang paling ekstrem, semua bahasa bersifat metaforis. Dalampandangan yang demikian, diyakini tidak terdapat perbedaan di antara bahasa figuratif danbahasa literal atau bahasa harfiah. Sementara itu, dalam pandangan semantik kognitif yang lain,disepakati bahwa walaupun metafora terdapat di mana-mana dan dianggap sebagai modusberpikir yang sangat penting, konsep-konsep nonmetaforis juga terdapat dalam bahasa (periksaNovitz 1985:101).

Pendapat yang kedua disebutkan di ataslah yang mendasari penelitian ini. Bahasa dapatbersifat metaforis maupun nonmetaforis. Penelitian ini dengan demikian sependapat bahwa baikkonsep-konsep metaforis maupun nonmetaforis sama-sama ditemukan dalam bahasa. Penuturbahasa memiliki pilihan untuk apakah menggunakan makna harfiah ataupun makna metaforisdalam tuturannya, apakah memilih metafora lama (konvensional) atau menggunakan metaforayang baru sama sekali, atau memperluas konsep metaforis yang sudah ada untuk membentukmetafora yang baru, bergantung pada konteks penggunaannya dalam komunikasi.

Penelitian tentang metafora baru sudah lama dilakukan. Bahkan dalam perkembanganpenelitian metafora terdapat dua penekanan penelitian yang membentuk perbedaan ekstrem,yaitu penelitian metafora yang hanya berfokus pada metafora baru dan penelitian yang hanyamengambil metafora lama sebagai objek kajian (periksa Kronfeld 1980-1981). MenurutKronfeld (1980-1981), pemisahan fokus penelitian yang terjadi bukanlah untuk kepentingandalam memberikan penjelasan yang terbaik terhadap hakikat metafora dan hubungannya denganpikiran. Penetapan pilihan terhadap metafora baru sebagai objek kajian dan menolak metaforalama sebagai sumber data atau sebaliknya hanyalah semata murni karena alasan metodologis.Tidak heran pada perkembangan berikutnya muncul kajian yang mengambil kedua-duanya,yakni metofora lama dan baru sebagai data penelitian, yang akhirnya memberikan petunjukbagaimana menafsirkan metafora baru dari sejumlah ungkapan bahasa (periksa Lakoff danTurner 1989).

Dalam sejumlah kajian sebelumnya, keajekan konseptual dihubung-hubungkan denganmetafora konseptual. Beberapa peneliti, di antaranya Murphy (1996), Lakoff dan Kövecses(1987), Glucksberg dan McGlone (1999), menyebutkan bahwa metafora konseptual merupakanstruktur yang mapan dalam pikiran penutur. Secara terpisah, Lakoff (1993:227-228, 245)menegaskan bahwa metafora konseptual bersifat ajek dan merupakan penayangan konseptuallintas ranah yang otomatis dalam pikiran penutur. Sementara itu, Kövecses (2010:137)mengatakan bahwa metafora konseptual terkait dengan penciptaan satu struktur yang kuat danmapan bagi sistem yang kompleks.

Sejak 80-an penelitian terhadap metafora baru telah banyak menarik perhatian penelitidari berbagai disiplin seperti linguistik, antropologi, dan psikologi. Dari sekian banyakpenelitian yang mengambil metafora baru sebagai data penelitian, hanya satu kajian (Martins2006) yang membahas metafora baru dan keajekan konseptual. Namun, Martins (2006) hanyamelihat bagaimana tiga pendekatan yang berbeda seperti pandangan klasik, kognitivisme, dandekonstruksionisme mendekati metafora baru. Belum ada penelitian sebelumnya yang mencobamelihat bagaimana pengaruh keajekan konseptual terhadap kemapanan metafora baru.

Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan tentang (a) bagaimana menentukankeajekan konseptual metafora yang baru, dan (b) apakah tingkat kemapanan metafora baruberpengaruh pada keajekan konseptual dalam metafora itu. Untuk itu, tiga metafora baru danpenggunaannya dalam berbagai media daring dan situs web dipilih sebagai data penelitian.

Page 68: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

167

Ketiga metafora tersebut adalah Jeruk kok minum jeruk, Cicak lawan buaya atau Cicak vs.buaya, dan Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan.

TINJAUAN PUSTAKA

Metafora merupakan ciri penting bahasa manusia dalam linguistik kognitif dan semantikkognitif. Secara umum, metafora dipahami sebagai gejala bahasa yang di dalamnya terdapatpenataan satu ranah konseptual melalui ranah konseptual yang lain. Salah satu ciri pentingmetafora ialah perluasan makna karena metafora dapat memberikan makna baru melalui prosesyang disebut dengan metaforisasi. Dalam linguistik kognitif perluasan makna berbasis metaforaini dapat terjadi pada berbagai gejala bahasa yang berbeda (Evans dan Green, 2006).

Salah satu prinsip penting dalam semantik kognitif adalah model kognitif pada dasarnyaadalah bersifat citra-skematik. Citra-skema ditransformasikan melalui cara kerja metaforis danmetonimis (Gärdenfors 1999). Struktur citra-skema merupakan bagian dari struktur semantikyang paling penting. Citra-skema adalah citra mental, konsep bergambar yang dipelajari melaluipengalaman atau melalui interaksi jasadi dengan dunia. Citra-skema adalah pola mental yangterus-menerus memberikan pemahaman yang terstruktur terhadap berbagai pengalaman dan siapdigunakan melalui metafora sebagai satu ranah sumber untuk memahami pengalaman lainnya.

Citra dan skema dapat sekaligus merupakan hasil dari proses yang sama. Citra sebagaiunit representasional biasanya dianggap sebagai unit holistik, yang berbeda dengan skemasebagai struktur komposisional, terdiri dari seperangkat unsur dan seperangkat hubungan diantara unsur-unsur ini. Citra memadukan ke dalam satu representasi beberapa kesan yangdidapatkan dari realitas. Citra selalu merupakan citra dari sesuatu. Citra melambangkan obyekdan tindakan. Citra adalah pengertian rasional yang harus digunakan untuk menunjuk suatu unityang dipakai untuk merepresentasikan pengetahuan tentang dunia luar. Sementara skema lebihdekat dengan pengertian konsep, yaitu seperangkat fitur yang membatasi klasifikasi obyek.Skema selalu berhubungan dengan istilah “struktur” dan “unsur”.

Seperti yang disebutkan oleh Lakoff dan Johnson (1980b), konsep-konsep tentangdunia, model-model mental, didasarkan utamanya pada citra-skema. Citra-skema digunakanuntuk memahami gejala-gejala konkret seperti bagaimana roda berputar dan anak panahmengenai sasaran. Citra-skema yang sama digunakan untuk membentuk konsep-konsepmetaforis (abstrak) tentang cara kerja dunia, nasib yang naik dan turun kemudian dilihat melaluicitra-skema roda berputar ini atau pertanyaan yang melenceng dari sasaran dipahami melaluicitra-skema anak panah mengenai sasaran, dan sebagainya. Metafora citra-skema jauh tersematdalam bahasa dan pikiran, begitu dalam sehingga keberadaannya tidak pernah disadari samasekali.

Berdasarkan model di atas dapat ditafsirkan bahwa metafora, baik yang lama ataupunyang baru, muncul melalui pemetaan citra-skema ini terhadap pengalaman penutur dalamkonteks yang mirip atau sama. Dengan kata lainnya, metafora memetakan citra-skema kepadakonsep seperti waktu, keadaan, perubahan, tindakan, musabab, tujuan, cara, kuantitas, dankategori. Hal ini didukung oleh Lakoff dan Johnson (1980b:252) yang mengatakan bahwametafora dan metonimi konseptual yang ada sama-sama bisa membentuk gabungan metonimidan metafora yang kompleks maupun yang baru. Sementara itu, Lakoff danTurner (1989)mengajukan tiga mekanisme untuk menentukan metafora baru dari suatu tuturan, yaitu melaluiperluasan metafora lama (konvensional), metafora pada tingkat generik, dan metafora citra.

Lakoff dan Johnson (1980b:53) menggolongkan metafora baru ke dalam metaforaimajinatif atau metafora nonliteral.2 Metafora baru baginya adalah satu metafora yang sekadarmenjadi cara berpikir yang baru tentang sesuatu ihwal tetapi tidak digunakan untuk menatasebagian dari sistem konseptual kita yang normal. Namun dalam kesempatan lain, Lakoffbersama Johnson (1980a), seperti yang dapat dibaca dalam kutipan yang mengawali bagian

Page 69: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Bahren Umar Siregar

168

pendahuluan, tetap menganggap bahwa metafora yang baru dapat memiliki kekuatan untukmengatasi kenyataan.

Grady (1999) menelusur analisis sistematik metafora baru dan lama untuk menemukankorelasi dalam pengalaman representasional yang membentuk prinsip dasar dari aspek-aspekpemikiran metaforis. Dia menggunakan tipologi metafora korelasi, metafora persamaan, danmetafora generik-adalah-spesifik dalam penelusurannya untuk menyatukan pandangan teorikemiripan dan teori metafora konseptual dalam kajian metafora lama dan baru. Menurut Gibbs(2010), penelitian yang menggunakan tipologi metafora persamaan menekankan kebaharuanpemetaan konseptual, sementara yang memanfaatkan metafora korelasi berfokus padakemungkinan adanya pola-pola pikiran metaforis yang mapan. Berkaitan dengan perbedaankedua tipologi ini, Kövecses (2010:310) mengatakan bahwa kedua tipologi ini, yakni metaforapersamaan dan metafora korelasi harus dilihat sebagai saling melengkapi bukan sebagai dua halyang bertentangan.

Ketika metafora yang baru digunakan dan terus digunakan, kebaharuannya pun hilangtetapi metafora yang baru tetap berfungsi untuk menunjukkan sesuatu kepada petutur dalam carayang baru. Sering metafora merupakan satu-satunya cara untuk mengomunikasikan apa yangdimaksudkan oleh penutur dengan tepat dan efisien. Metafora yang baru juga sering munculsejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Penemuan baru dalam ilmu pengetahuansering memerlukan cara untuk mengomunikasikannya kepada masyarakat ilmu itu, bahkankepada masyarakat awam, sehingga metafora menjadi pilihan untuk melakukan ihwal tersebut.

Metafora baru lahir dan digunakan dalam konteks, sama seperti metafora itu dipahamiberdasarkan konteksnya. Bagaimana metafora lahir dalam konteks dan dipahami berdasarkankonteksnya telah dibuktikan oleh metode yang digunakan dalam kajian analisis wacana dalampenelitian teks percakapan. Berdasarkan fakta ini dan alasan bahwa metafora lama dan barusama-sama bergantung pada konteks, beberapa peneliti tidak mempertentangkan perbedaanantara metafora lama dan baru. Cameron (2008:202), misalnya, tidak sependapat denganpembagian metafora ke dalam metafora baru dan metafora lama. Menurutnya, metafora yangmuncul dalam percakapan digunakan secara sengaja dan sadar. Ini berarti penutur mencari apayang dianggapnya paling sesuai untuk mengungkapkan pikirannya.

Dengan cara yang berbeda Gibbs (1994:262) mengatakan bahwa metafora yang barutidak melibatkan konseptualisasi baru. Metafora baru hanya menggunakan perikutan yang barudari citra-skema yang sudah ada. Ini berarti penggunaan metafora menjadi tepat apabilametafora itu sebanding dengan metafora yang sudah ada. Thibodeau dan Durgin (2008) telahmembuktikan bahwa metafora yang sudah ada atau metafora lama membantu memahamimetafora yang baru.

Dalam kaitannya dengan metafora baru dan keajekan konseptual, Martins (2006)membahas tiga pendekatan yang sangat berbeda terhadap metafora baru, yaitu pendekatanklasik, kognitif, dan dekonstruksionisme dengan tujuan untuk mencoba mencari titik temudalam ketiga pendekatan ini. Selanjutnya, dia berpendapat sebagai berikut: pendekatan klasikmenganggap bahwa metafora didefinisikan dari segi kebaharuannya berdasarkan sistemkonseptual yang sudah mapan. Pendekatan kognitif melihat metafora konseptual baru sebagaisesuatu hal yang memungkinkan, tetapi relatif merupakan gejala yang jarang terjadi. Dalampendekatan dekonstruksionisme terdapat pandangan bahwa kebaharuan metafora merupakankemustahilan dan tidak perlu dipermasalahkan. Martins (2006) menyimpulkan bahwapenggunaan wawasan Wittgensteinian tentang bahasa dan makna telah membuka kemungkinanuntuk menyatukan ketiga pendekatan di atas dalam pengkajian metafora baru dan keajekankonseptual.

Walaupun ketidakajekan dalam metafora dipertentangkan dengan keajekan konseptualyang diwujudkan melalui metafora konseptual, ketidakajekan dalam metafora tidak banyakdisebut-sebut dalam pustaka. Ketidakajekan konseptual dalam metafora dianggap tidak penting

Page 70: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

169

karena metafora seperti ini tidak termasuk ke dalam kategori metafora konseptual sehinggatidak dapat digunakan untuk memunculkan kategori metafora yang ajek. Lakoff (1993) danLakoff dan Turner (1989) menggunakan istilah metafora citra untuk merujuk kepada metafora-metafora yang muncul sebagai metafora fana (tidak ajek), yang tidak pernah menjadi ajek,sehingga tidak dileksikalisasikan ke dalam bahasa. Sementara itu, Ruiz de Mendoza (1999)dalam Ureña (2012:247) menyebut kasus ini dengan istilah metafora situasional.

Dalam bahasa Indonesia, sapi perah atau sapi perahan telah menjadi metafora lamaatau konvensional. Metafora ini telah dileksikalisasikan ke dalam bahasa Indonesia danditemukan dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI 2008) dengan makna ‘orang yg diperastenaganya (penghasilannya, dsb) oleh orang lain; orang yg dimanfaatkan secara terus-menerusoleh orang lain’. Bahkan, tanpa dipasangkan dengan target atau topik tertentu, orang sudahdapat memahami maknanya. Selanjutnya, apabila dipasangkan dengan target tertentu sepertidia, BUMN, Pertamina, perusahaan itu, dan sebagainya menjadi Dia jadi sapi perahan, BUMNjadi sapi perahan, Pertamina jadi sapi perahan, Perusahaan itu jadi sapi perahan, metafora initetap ajek secara konseptual.

METODE PENELITIAN

Data penelitian ini adalah tiga metafora baru dalam bahasa Indonesia. Yang pertama adalah datametafora Jeruk kok minum jeruk yang digunakan dalam Siregar (2005) dan perkembanganpenggunaannya dalam beberapa tahun terakhir. Yang kedua dan ketiga adalah metafora baruCicak lawan buaya atau Cicak vs. buaya dan Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmupengetahuan. Penggunaan ketiga metafora ini dikumpulkan dari media daring, beberapa blog diinternet, termasuk jejaring sosial. Sumber data seperti ini dipilih karena sumber datapenggunaan bahasa yang memberikan akses yang paling mudah untuk dimasuki adalah datatuturan yang terdapat dalam media daring dan situs-situs lainnya di internet. Khusus untukmetafora Jeruk kok minum jeruk pengumpulan data tambahan dilakukan untuk melihatperkembangan penggunaan metafora tersebut.

Prosedur penentuan metafora yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedurMIPVU (Steen et al. 2010) untuk menentukan unsur teks yang menjadi sumber data sebagaimetafora atau tidak. Untuk melihat basis atau motivasi metaforis dalam masing-masingpenggunaannya, penelitian ini menggunakan pendekatan tipologis dalam analisis data, yaitumetafora korelasi, metafora persamaan, dan metafora generik-adalah-spesifik (Grady 1999).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seiring dengan waktu dan kekerapan penggunaannya, metafora yang baru kemudian mengalamileksikalisasi atau terkonvensionalisasi. Pada tingkat ini, metafora kemudian menjadi metaforakonvensional dan menjadi bagian dari kamus. Dari ketiga metafora baru yang ditelusur denganmenggunakan mesin pencari Google, setelah dianalisis, ditemukan dua tambahan penggunaanbaru untuk metafora Jeruk kok minum jeruk. Konteks penggunaan metafora ini lebih banyak dandengan topik yang bervariasi. Penelitian ini juga menemukan bahwa metafora Cicak lawanbuaya digunakan hanya dalam konteks yang terbatas dengan topik KPK dan Polri. Sementaraitu, penggunaan metafora Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan ditemukanlebih banyak dibandingkan dengan metafora Cicak lawan buaya dalam berbagai forum daringtetapi dengan topik yang juga terbatas.

Metafora Jeruk kok Minum JerukDalam penelitian sebelumnya, Siregar (2005) menemukan bahwa metafora Jeruk kok minumjeruk memiliki sembilan makna berbeda seperti (1) – (9) di bawah ini.

Page 71: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Bahren Umar Siregar

170

1) ‘Meludah ke atas terpercik muka sendiri’2) ‘Orang yang bermasalah akan selalu menimbulkan masalah pada orang lain’3) ‘Pencuri mengaku dicuri’, ‘Maling teriak maling’4) ‘Memilih diri sendiri dalam pemilihan’5) ‘Tidak memilih diri sendiri (kelompok sendiri) dalam pemilihan’6) ‘Pagar makan tanaman’7) ‘Kuman di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan’8) ‘Koruptor tidak mungkin memberantas korupsi’9) ‘Membatalkan keputusan yang telah dibuat tanpa alasan yang kuat’

Terkait dengan inventarisasi makna ini selanjutnya Siregar (2005:87) mengatakanbahwa (a) di antara makna-makna metafora itu terdapat pertentangan makna, dan (b) metaforaJeruk kok minum jeruk belum mempunyai makna yang ajek:

“Yang menarik ialah ternyata metafora ini juga memiliki dua makna yangbertentangan, yaitu ‘Memilih diri sendiri dalam pemilihan’ dan ‘Tidak memilih dirisendiri (kelompok sendiri) dalam pemilihan’. Hal ini sekaligus menunjukkanbahwa peran konteks sangat penting untuk mengetahui makna yang dimaksudkanmelalui metafora yang digunakan. Sebagai metafora baru, metafora ini cenderungbelum mendapatkan makna yang tetap.”

Dari perkembangan penggunaannya ditemukan dua makna lagi yang tidak termasuk kedalam kesembilan makna yang ditemukan Siregar (2005) di atas. Metafora Jeruk kok minumjeruk mempunyai makna (10) untuk merujuk pada seorang pria atau wanita yang berhubunganseksual dengan sesama pria atau sesama wanita lain. Sementara itu, masih dalam topik‘pernikahan’, ‘perkawinan’, atau ‘berhubungan seksual’, makna (11) merujuk kepada seorangpria atau wanita yang menikah dengan wanita atau pria yang sama-sama bekerja di tempat ataulembaga yang sama, atau seorang pria atau wanita yang menikah dengan wanita atau pria yangsama-sama mempunyai marga yang sama.

10) ‘Perkawinan atau berhubungan seks dengan pasangan sejenis atau homoseks dan lesbian’Obama is disgusting... Let gay and lesbian become the parts of his army... Nanti bukannyaberperang malah asyik sedot2an. Jeruk kok minum jeruk... Ihhhh...3

11) ‘Menikah dengan pasangan yang berasal dari instansi, kampung/desa, atau daerah (marga)sendiri’Kalau disebut satu per satu, mungkin ada lebih dari satu postingan tentang keunikanalumni TN ini. Tapi yang sedang merebak tidak lain dan tidak bukan adalah “jeruk makanjeruk”. Jeruk makan jeruk yang berbeda dari pengertian homo serta lesbi melainkanmemiliki ketertarikan terhadap sesama jenis alumni TN yang berbeda kelamin. Nah lo!Bingung? Secara sederhana bisa dibilang ada abang suka sama adik, adik suka samaabang atau sesama satu angkatan tapi jelas-jelas beda jenis kelamin, bukan kaum sodomyang dilaknat Allah.4

Untuk memperjelas inventarisasi kesembilan makna metaforis di atas, Siregar (2005)memberikan sembilan konteks Jeruk kok minum jeruk, yang datanya juga berasal dari berbagaisitus internet, masing-masing sesuai dengan maknanya sebagai berikut ini:5

12) ‘Meludah ke atas terpercik muka sendiri’“Tonjokan” Ketua KPU Pusat ... yang mengakui kinerja KPUD lamban, sama denganjeruk minum jeruk atau makecuh marep menek (berludah ke atas). (Bali Post Online, 9April 2004)

Page 72: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

171

13) ‘Orang yang bermasalah akan selalu menimbulkan masalah pada orang lain’Yah begitulah kalau jeruk minum jeruk, makanya pilih capres yang bersih tanpa adamasalah dan beban di masa lalu. No1 bermasalah, No2 bermasalah, No4 bermasalah, No5tidak qualified, Jadi ya pilihannya gak ada lagi tinggal No3 yang Bersih, Cerdas, Jujur,Berani, Amanah. Ayo kita bangun Indonesia jauhkan jeruk minum jeruk. GatotKaca([email protected]) - Djokdja

14) ‘Pencuri mengaku dicuri’, ‘Maling teriak maling’Jeruk kok minum jeruk. Rampok kok mengaku dirampok. Tapi itulah yang dilakukan oleh ...,warga Jl Lumajang Probolinggo. Untuk mengelabui petugas, beberapa waktu lalu diamengaku dirampok di Desa Bantaran. Padahal, dia sendiri yang melakukan perampokan.(Jawa Pos Online, 3 Agustus 2004)

15) ‘Memilih diri sendiri dalam pemilihan’Pemungutan suara berdasarkan daftar hadir para anggota Dewan. ... Ketika Ketua DPRDitu masuk ke bilik suara muncul celotehan, “Masak jeruk minum jeruk”. (Suara MerdekaOnline, 23 Januari 2004)

16) ‘Tidak memilih diri sendiri (kelompok sendiri) dalam pemilihan’“Saya akan maju jadi calon presiden dari PKB. Mana ada capres yang mendukung caprespartai lain. Masak jeruk, minum jeruk”. (Suara Merdeka Cyber News, 27 April 2004)

17) ‘Pagar makan tanaman’Ternyata istilah Jeruk minum Jeruk kembali terjadi lagi. Kali ini korbannya adalah seorangtukang jahit yang bernama, Kasmo (42), warga Perumnas Gunung Ibul Blok A-1 Prabumulih Timur. Ketika Kasmo meninggalkan rumahnya untuk menjahit di Pasar Inpres, Jumat(19/3) sekitar pukul 10.30 WIB, isi rumahnya dijarah maling yang diduga tetangganyasendiri.(Sriwijaya Post Online, 20 Maret 2004)

18) ‘Kuman di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan’FAN Dewan Kota mengibaratkan Bambang SP sebagai “Jeruk Minum Jeruk”. “Kalauyang dikritik masalah APBD Kota, seharusnya Sekda DIY ... bercermin dulu. Untuk kasusJEC (Jogja Expo Center) itu kan ada kemungkinan dirinya (...) juga menjadi calontersangka berikutnya. Kalau demikian kan ibarat Jeruk Minum Jeruk”. (Bernas Online, 24November 2004)

19) ‘Koruptor tidak mungkin memberantas korupsi’La wongkoroptor kok mau brantaskoroptor/koropsi, itu ibarat “Jeruk Minum Jeruk”.(Gatra Online, 29 Maret 2004)

20) ‘Membatalkan keputusan yang telah dibuat tanpa alasan yang kuat’“Kalau keputusan rapim mau dianulir dengan mengadakan rapim, itu namanya jerukminum jeruk. Saya bisa memahami kalau para peserta konvensi ngamuk karena merekatelah kobol-kobol membiayai daerah, tapi akhirnya dikibuli juga,” ujarnya. (RakyatMerdeka Online, 10 Februari 2004).

Dalam metafora Jeruk kok minum jeruk, sebagian besar metafora ini merupakanperluasan konseptual metafora TANAMAN sebagai MANUSIA. Jika demikian, metafora Jerukkok minum jeruk dapat ditafsirkan sedang mempertanyakan ihwal yang berkaitan dengankanibalisme. Kanibalisme berkaitan dengan keadaan (perbuatan) memakan sesama manusia,yang dalam kebudayaan masyarakat Indonesia merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima.Keterkaitan makna metafora ini dengan bagian dari nilai sosiokultural masyarakat penuturnyadapat menambah ketertonjolan makna metafora itu.

Page 73: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Bahren Umar Siregar

172

Metafora Cicak Lawan BuayaMetafora Cicak Lawan Buaya atau Cicak vs. Buaya muncul pada tahun 2009. Pada tahun 2012,metafora ini kembali populer dan dijuluki dengan Cicak Lawan Buaya Jilid Kedua atau Cicakvs. Buaya Jilid Kedua. Kedua metafora ini sama-sama merujuk pada perseteruan antara KomisiPemberantasan Korupsi (KPK) dan pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dari berbagaikonteks penggunaannya, kelihatannya metafora hanya merujuk pada satu makna, yaitu: ‘KPKlawan Polri dalam kasus pemberantasan korupsi’.

Dalam konteksnya, metafora ini merujuk pada KPK dan Polri yang sama-sama lembagapenegak hukum untuk memberantas korupsi di Indonesia. Masalah muncul ketika tindakkorupsi yang akan diselidiki melibatkan oknum Polri sehingga KPK harus berhadapan dengansesama lembaga pemberantasan korupsi. Metafora ini kemudian muncul ketika terjadiperlawanan dari pihak Polri dan memaksakan agar kasus korupsi yang melibatkan Polri cukupditangani oleh pihak kepolisian.

Walaupun pada awalnya tidak dimaksudkan demikian, pada perkembanganpenggunaannya metafora Cicak lawan buaya ditafsirkan sebagai perseteruan antara KPK danPolri. KPK dihubung-hubungkan dengan lembaga yang kecil, lemah, dan tidak berdayamelawan Polri yang besar, kuat, dan berkuasa. Dalam perkembangan penggunaannya, ‘cicak’merujuk pada KPK dan ‘buaya’ merujuk pada polisi atau lembaga Kepolisian RI (Polri) yangkorup. Meskipun yang melakukan tindak pidana korupsi adalah ‘oknum kepolisian,’ dalammetafora ini terjadi metonimisasi BAGIAN untuk KESELURUHAN. Individu polisi menjadirujukan untuk seluruh polisi atau Polri sebagai lembaga yang menghimpun anggota kepolisianseluruhnya.

21) “…cicak kok mau melawan buaya…” (Majalah TEMPO, 6-12 Juli 2009)22) Menurut Oce, sejak awal muncul kasus simulator kemudi, potensi kemunculan Cicak vs

Buaya jilid dua sudah diperkirakan oleh banyak pegiat antikorupsi. (TEMPO CO., 6Oktober 2012).

23) Salaman atau salam damai adalah kalimat mempunyai makna yang sangat positif. Ia bisaberarti mempertemukan dua manusia untuk saling mempererat tali silaturahim atau bisajuga dimaknai simbol saling memaafkan orang-orang yang sempat bertikai.Tapi Buaya Jalanan menghancurkan makna dari simbol yang baik itu. Dijalanan salamanatau salam damai dipraktekan sebagai permintaan buaya kepada pengguna jalan yang(dianggap) bersalah untuk menyelipkan lembaran rupiah ke tangan kanannya dandiajaknya salaman agar lembaran rupiah ituberpindah ketangan buaya.6

Dalam metafora Cicak lawan buaya terdapat makna metaforis ‘yang lemah melawanyang kuat’ dan dua metonimi CICAK untuk KPK (yang lemah) dan BUAYA untuk POLRI. Daripenggunaannya, POLRI mengalami perluasan metonimi menjadi BUAYA untuk POLISI YANGKORUP. Seperti yang dapat diamati dalam data (23), buaya merujuk kepada ‘oknum polisi lalulintas yang meminta suap’. Dalam data ini sekaligus pula terjadi perluasan metaforis dari‘buaya’ dengan makna ‘kuat’ kepada ‘buaya’ dengan makna ‘koruptor’.

Kelihatannya secara konseptual metafora buaya belum seajek metafora tikus dalamhubungannya dengan makna ‘korupsi’, ‘koruptor’, dan ‘penyelewengan’. Dibandingkan denganmetafora ‘buaya’, metafora ‘tikus’ sudah terleksikalisasi dalam bahasa Indonesia. Dalam KBImisalnya, ditemukan lema dimakan tikus dengan makna ‘dicuri orang sedikit demi sedikit’.Keajekan konseptual metafora tikus ini dapat pula dilhat pada tajuk berita daring: Penasarandengan Pemain Anggaran, Basuki Pasang “Jebakan Tikus”.7

Metafora buaya lebih menonjol dalam konteks metafora yang berbeda dalam bahasaIndonesia. Seperti yang dikutip dari KBI di bawah ini, metafora ini lebih menonjol dalam

Page 74: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

173

makna ‘menipu’ sehingga makna metaforis yang berkaitan dengan ‘korupsi’ atau ‘kuat, besar’masih relatif baru dan belum mapan dalam penggunaan bahasa Indonesia.

mem·bu·a·ya v1 menyerupai buaya; merangkak; 2ki menjadi penjahat;mengganggu perempuan; mem·bu·a·yaiv ki1 menipu; memperdayakan: sudahsering ia membuayai pedagang-pedagang, tetapi belum pernah tertangkap;2menggertak; menakut-nakuti: gemetar ia krn tamu itu membuayainya.8

Metafora Bahasa sebagai Penghela Ilmu PengetahuanMetafora bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan pertama sekali muncul dalamwacana pembahasan Kurikulum 2013, khususnya yang berkaitan dengan pemelajaran bahasaIndonesia. Untuk membantu memahami metafora yang baru ini, metafora penghela ilmupengetahuan sering diikuti dengan padanannya dalam bahasa Inggris, misalnya: penghela ilmupengetahuan (carrier of knowledge). Dengan memberikan padanannya dalam bahasa Inggrispembaca diharapkan lebih memahami metafora ini dalam konteks “mata pelajaran bahasaIndonesia sebagai pembawa ilmu pengetahuan”.

Dalam penggunaannya di berbagai situs web, ternyata terdapat dua penafsiran yangdapat diberikan kepada metafora ini. Bahasa Indonesia yang mengalami proses metonimisasidalam metafora Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan menunjuk pada duaacuan, yaitu BAHASA INDONESIA sebagai bahasa dan BAHASA INDONESIA sebagai matapelajaran. Hal ini terlihat jelas pada data di bawah ini:BAHASA INDONESIA sebagai mata pelajaran:

24) “Pelajaran Bahasa Indonesia akan menjadi sangat strategis karena porsinya akan lebihbesar, digunakan sebagai bahasa pengantar, sekaligus menjadi penghela perkembanganilmu pengetahuan.”9

25) Dalam kurikulum 2013 ditegaskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, bahwaBahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan.10

26) Kurikulum 2013 menempatkan Bahasa Indonesia sebagai penghela mata pelajaran lain dankarenanya harus berada di depan semua mata pelajaran lain. Apabila peserta didik tidakmenguasai mata pelajaran tertentu harus dipastikan bahwa yang tidak dikuasainya adalahsubstansi mata pelajaran tersebut, bukan karena kelemahan penguasaan bahasa pengantaryang dipergunakan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 2013).

27) Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapatdilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaranlain. Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteksdalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia.11

BAHASA INDONESIA sebagai bahasa:

28) Kurikulum 2013 membawa banyak perubahan. Salah satunya adalah adanya penekanandalam hal penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia diposisikan sebagai penghelapengetahuan. Maknanya, secara implisit (tapi cukup keras) bahasa Indonesia ditetapkansebagai ujung tombak dalam pembelajaran.12

29) Apalagi saat ini, bahasa Indonesia juga diberi peran sebagai penghela ilmu pengetahuan.Sebagai penghela, yang mendorong, bahasa Indonesia harus mampu menjadi alat bantubagi anak didik untuk menguasai ilmu pengetahuan. Banyak tantangan yang harus kamihadapi untuk menjalankan peran bahasa Indonesia.13

30) Untuk itu, sebagai bahasa penghela dan pembawa ilmu pengetahuan, bahasa Indonesiasudah dirancang kehadirannya pada ruang pembelajaran teks yang membuat bahasanasional lebih ramah terhadap bahasa daerah.14

Page 75: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Bahren Umar Siregar

174

31) “Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia yang semakin mantap. Hal ini membuat bahasaIndonesia berkembang amat pesat, menyebabkan bahasa Indonesia bukan saja sebagaibahasa pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan juga menjadi penghela ilmupengetahuan,”15

32) “Sebagai penghela ilmu pengetahuan, bahasa Indonesia telah mampu mewadahikeberagaman konsep pengetahuan, baik konsep yang berakar pada kearifan nusantaramaupun konsep peradaban baru,”16

Sebagai metafora baru, metafora ini jelas masih belum mapan. Kata wahanadibandingkan penghela masih lebih mapan dalam berkolokasi dengan ilmu pengetahuan seperti‘Bahasa Indonesia sebagai wahana ilmu pengetahuan’ dibandingkan dengan ‘Bahasa Indonesiasebagai penghela ilmu pengetahuan’. Ketidakmapanan metafora ini cenderung mempengaruhikeajekan konseptual, yang di antaranya dapat menyebabkan kegagalan memahami makna yangdimaksudkan metafora ini seperti yang dapat diamati pada data (28) – (32).

Ada dua jenis gagal paham yang terdapat pada data ini, yaitu (a) salah perujukan, dan(b) gagal semantik. Yang pertama, bahasa Indonesia yang dijadikan rujukan dalam metafora‘Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan’ adalah ‘Bahasa Indonesia sebagai matapelajaran’ bukan ‘bahasa Indonesia sebagai sistem linguistik’. Jadi data (28) – (32) merupakancontoh salah perujukan. Sementara itu, gagal semantik terdapat pada data (29). Kata penghelakeliru dipahami dengan makna ‘pendorong’ seperti dalam Sebagai penghela, yang mendorong.

SIMPULAN

Dari analisis data dapat disimpulkan bahwa keajekan konseptual metafora yang baru dapatditentukan berdasarkan sedikitnya dua hal: (a) kekerapan penggunaan metafora itu dalamberbagai konteks yang berkaitan; dan (b) ketertonjolan semantik makna metafora itu di antaramakna-makna unsur kata yang mendukung metafora tersebut, misalnya makna pada ranahsumber.17 Faktor kekerapan penggunaan metafora berkaitan dengan tingkat kemapanan metaforaitu juga diakui oleh Jones dan Estes (2006:19). Ini berarti bahwa tingkat kemapanan metaforabaru mempunyai pengaruh terhadap tingkat keajekan konseptual metafora itu. Sementara itu,aspek ketertonjolan cenderung bersifat laten sehingga satu metafora yang menonjol beberapasaat dapat saja meredup penggunaannya dan pada saat lainnya muncul kembali dalampenggunaan bahasa dalam kasus penggunaan yang serupa tetapi dalam konteks yang berbeda.

Dari ketiga metafora baru yang dibahas, yakni metafora Jeruk kok minum jeruk, Cicaklawan buaya, dan Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan, metafora Jeruk kokminum jeruk memiliki keajekan konseptual yang lebih tinggi dibandingkan kedua metafora barulainnya. Metafora ini mengalami proses abstraksi dan konvensionalisasi secara bertahap padasaat metafora ini berkembang dari penggunaannya yang masih baru sampai menjadi metaforakonvensional. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa kemapanan metafora berpengaruhterhadap keajekan konseptual metafora baru.

Metafora Cicak lawan buaya menggambarkan peristiwa yang sangat spesifik, yaituperistiwa pertentangan antara dua lembaga hukum, KPK dan Polri. Metafora ini akan sulitmenjadi mapan secara konseptual karena penggunaannya sangat bergantung pada peristiwayang akan melibatkan kedua lembaga itu. Metafora buaya masih digunakan secara terbatas padatopik Polri sementara metafora cicak belum ditemukan meluas kepada penggunaan dalamkonteks lain. Metafora ini termasuk yang menonjol, khususnya dalam situasi sosial politik padasaat metafora itu digunakan. Walaupun metafora ini cenderung sudah mulaiterkonvensionalisasi, kelihatannya metafora ini masih belum memiliki tingkat keajekan yangbegitu tinggi.

Metafora Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan adalah metafora yangpaling baru dari ketiga metafora yang diteliti. Dalam perkembangan penggunaannya terjadi

Page 76: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

175

beberapa perluasan yang dapat ditafsirkan sebagai ketidakajekan konseptual metafora ini.Bahasa Indonesia dalam metafora ini dapat merujuk kepada Bahasa Indonesia sebagai sistemdan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran sekolah. Melihat gejala ini, dapat disimpulkanpula bahwa tingkat keajekan konseptual metafora sangat bergantung pada pemahaman penuturatau pengguna metafora terhadap metafora yang baru muncul.

Kekerapan penggunaan metafora baru dan ketertonjolan (saliency) makna metafora itujuga memungkinkan metafora itu menjadi mapan (terkonvensionalisasi atau dileksikalisasi)sehingga metafora itu kehilangan kebaharuannya dan menjadi bagian dari leksikon. MetaforaJeruk kok minum jeruk cenderung lebih mapan dibandingkan metafora Cicak lawan buaya danBahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan. Dari penggunaannya dapat disimpulkanbahwa tingkat kemapanan metafora baru berpengaruh pada keajekan konseptual dalam metaforaitu, seperti yang terlihat pada metafora Jeruk kok minum jeruk. Selain itu dapat disimpulkanpula bahwa ketidakajekan konseptual pada metafora baru berpotensi menimbulkankesalahpahaman penutur dalam penggunaan metafora itu dan kesalahpahaman petutur dalammenafsirkan maknanya dalam berbagai konteks.

CATATAN* Penulis menyampaikan terima kasih kepada mitra bestari yang telah memberikan masukan yang sangatberharga untuk tulisan ini.1 http://rhetorosaurus.blogspot.com/2007/04/friedrich-nietzsche.html (23 April 2007)2 Ini merupakan bagian dari pandangan Lakoff dan pendukungnya yang menganggap metafora lama ataumetafora mati sebagai bagian literal dari bahasa, yang sudah memiliki konsep nonmetaforis.3 http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/10/10/16/140530-obama-bebaskan-tentaranya- menjadi-homo4 http://maundriprihanggo.blogspot.com/2011/10/jeruk-makan-jeruk.html5 Konteks ujaran dikutip seadanya tanpa penyuntingan isi ataupun susunan kalimat.6 http://nanangs.blogdetik.com/2009/12/09/1001-cara-korupsi-buaya-jalanan/7 http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/22/1921143/Penasaran.dengan.Pemain.Anggaran.Basuki.Pasang.Jebakan.Tikus.8 ki merupakan singkatan kiasan, yang artinya berhubungan dengan penggunaan bahasa metaforis.9 http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=86649#.UoLNdeJdJTw10 http://www.unsoed.ac.id/berita/bahasa-pembentuk-nilai-moral-generasi-muda-gelaran-seminar-sastra-indonesia-unsoed11 http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/0820528612 http://guraru.org/guru-berbagi/kecil-sih-tapi/13 http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/15/mgmp-bahasa-indonesia-se-jatim-dukung-kurikulum-2013-589986.html14 http://www.tempo.co/read/kolom/2013/05/02/704/Kurikulum-2013-di-Tengah-Kisruh-Ujian-Nasional15 http://nasional.inilah.com/read/detail/2044187/forum-berbagi-ilmu-pengetahuan#.UoLJZeJdJTw16 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/10/24/3/190282/-Bahasa-Indonesia-Dinilai-Penghela-Pengetahuan17 Dalam beberapa literatur, konsep ini sering disebut aptness.

REFERENSI

Black, Max. 1993. “More about Metaphor.” Dalam A. Ortony (Ed.). Metaphor and Thought(hlm. 19-41). (Edisi 2). Cambridge: Cambridge University Press.

Page 77: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Bahren Umar Siregar

176

Cameron, Lynne J. 2008. Metaphor and Talk. Dalam R.W. Gibbs, Jr. (Ed.). The CambridgeHandbook of Metaphor and Thought, 197–211. Cambridge: Cambridge UniversityPress.

Evans, Vyvyan dan Melanie Green. 2006. Cognitive Linguistics: An Introduction. Edinburgh:Edinburgh University Press.

Fogelin, Robert J. 1994. Metaphors, Similes and Similarity. Dalam J. Hintikka (Ed.). Aspects ofMetaphor, 23-40. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Gärdenfors, Peter. 1999. Some Tenets of Cognitive Semantics. Dalam J. Alwood dan P.Gärdenfors (Eds.). Cognitive Semantics: Meaning and Cognition, 19-36. Amsterdam:John Benjamins Publishing Company.

Gibbs Jr., Raymond W. 2010.The Wonderful, Chaotic, Creative, Heroic, Challenging World ofResearching and Applying Metaphor: A Celebration of the Past and Some Peeks intothe Future. Dalam G. Low, Z. Todd, A. Deignan, dan L. Cameron (Eds.). Researchingand Applying Metaphor in the Real World, 1-20. Amsterdam: John BenjaminsPublishing Company.

Grady, Joseph. 1999. A Typology of Motivation for Conceptual Metaphor: Correlation vs.Resemblance. Dalam R.W. Gibbs, Jr., dan G. J. Steen (Eds.). Metaphor in CognitiveLinguistics, 79-100. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Glucksberg, Sam dan Matthew S. McGlone. 1999. When Love Is Not a Journey: WhatMetaphors Mean. Journal of Pragmatics 31, 1541- 1558.

Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Bahasa Indonesia WahanaPengetahuan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Johnson, Mark. 1987. The Body in the Mind: The Bodily Basis of Meaning, Imagination, andReason. Chicago: University of Chicago Press.

Jones, Lara L. dan Zachary Estes. 2006. Roosters, Robins, and Alarm Clocks: Aptness andConventionality in Metaphor Comprehension. Journal of Memory and Language 55,18–32.

Kittay, Eve Feder. 1987. Metaphor: Its Cognitive Force and Linguistic Structure. Oxford:Oxford University Press.

Kövecses, Zoltan. 2010. Metaphor: A Practical Introduction. (Edisi 2.). Oxford: OxfordUniversity Press.

Kronfeld, Chana. 1980-1981. Novel and Conventional Metaphors: A Matter of Methodology.Poetics Today, 2(1b), 13-24.

Lakoff, George. 1987. Women, Fire, and Dangerous Things: What Categories Reveal about theMind. Chicago: University of Chicago Press.

Lakoff, George. 1993. The Contemporary Theory of Metaphor. Dalam A. Ortony (Ed.). Metaphorand Thought, 202-251. (Edisi 2). Cambridge: Cambridge University Press.

Lakoff, George dan Mark Johnson. 1980a. Conceptual Metaphor in Every Day Language. TheJournal of Philosophy, 77(8), 453-486.

Page 78: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

177

Lakoff, George dan Mark Johnson. 1980b. Metaphors We Live By. Chicago: University ofChicago Press.

Lakoff, George dan Zoltan Kövecses. 1987. The Cognitive Model of Anger Inherent inAmerican English. Dalam D. Holland dan N. Quinn (Eds.). Cultural Models inLanguage and Thought, 195–221. Cambridge: Cambridge University Press.

Lakoff, George dan Mark Turner. 1989. More than Cool Reason: A Field Guide to PoeticMetaphor. Chicago: University of Chicago Press.

Martins, Helena. 2006. Novel Metaphor and Conceptual Stability. D.E.L.T.A., 22 (Especial),123-145.

Murphy, Gregory L. 1996. On Metaphoric Representation. Cognition 60, 173-204.

Novitz, David. 1985. Metaphor, Derrida, and Davidson. The Journal Of Aesthetics And ArtCriticism, 44(2), 101-114.

Ricoeur, Paul. 1975. The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies in the Creation ofMeaning. Toronto: University of Toronto Press.

Siregar, Bahren Umar. 2004. “Metaphors of Governance in the Language of the IndonesianPress.” Dalam Z. Ibrahim, A. R. Mohd. Zaid, F. Kamaruddin, L. Baskaran, & R.S.Appacutty (Eds.). Language, Linguistics and the Real World. Volume II: LanguagePractices in the Workplace, 111-134. Kuala Lumpur: Faculty of Languages andLinguistics, University of Malaya.

Siregar, Bahren Umar. 2005. “Jeruk kok Minum Jeruk: Gejala Metaforis dan Metonimisasidalam Bahasa Indonesia.” Linguistik Indonesia, 23(2), 181-192.

Steen, Gerard J., dan Aletta G. Dorst, J. Berenike Herrmann, Anna A. Kaal, Tina Krennmayr,Trijntje Pasma. 2010. A Method for Linguistic Metaphor Identification: From MIP toMIPVU. Amsterdam: John Benjamins.

Thibodeau, Paul H. dan Frank H. Durgin. 2008. “Productive Figurative Communication:Conventional Metaphors Facilitate the Comprehension of Related Novel Metaphors.”Journal of Memory and Language, 58, 521-540.

Ureña, José Manuel. 2012. “Conceptual Types of Terminological Metaphors in Marine Biology:An English-Spanish contrastive analysis from an experientialist perspective.” Dalam: F.MacArthur, J.L. Oncins-Martínez, M. Sánchez-García, dan A.M. Piquer-Píriz, A.M.(Eds.). Metaphor in Use: Context, Culture, and Communication, 239-260. Amsterdam:John Benjamins Publishing Company.

Page 79: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia Agustus 2014, 179-197 Volume ke-32, No. 2Copyright©2014, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

KATA DAN MAKNA DALAM BAHASA MELAYU TERNATE1

Betty Litamahuputty*Jakarta Field Station of the Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology

[email protected]

AbstrakMelayu Ternate adalah salah satu di antara banyak bahasa yang tidak menandai unsurgramatikal pada bentuk kata. Kalaupun proses morfologis diterapkan, hasilnyamerupakan tambahan makna, bukan menandakan unsur gramatikal. Dalam keadaan ini,konteks linguistik dan keadaan nonlinguistik menentukan pemahaman kata danrangkaian kata yang paling cocok dan tepat. Artikel ini membahas bagaimana kata tugastertentu, susunan kata, dan tambahan fitur prosodis dapat berperan sebagai petunjukdan memudahkan menentukan struktur dan pemahaman rangkaian kata. Contoh yangmenjelaskan pembahasan ini diambil dari beberapa cerita serentak penutur asli danmencerminkan sejenis bahasa Melayu sehari-hari yang umum digunakan di Ternate.

Kata kunci: Ternate Melayu, tata bahasa, makna

AbstractTernate Malay is one of the languages in which a word may fulfil various grammaticalroles and express different meanings without showing any formal features on the word.Even if morphological processes are applied, they merely add something to the meaningand do not indicate grammatical features. It is the linguistic context as well as the non-linguistic situation that determine how words and strings of words have to be interpretedto achieve the most suitable meaning. This article shows how certain function words, theword order, and additional prosodic features facilitate Ternate Malay speakers andhearers in expressing and interpreting strings of words. The examples are taken fromspontaneous told narratives and display a kind of natural spoken Ternate Malay.

Keywords: Ternate Malay, grammar, meaning

PENDAHULUAN

Ternate adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Halmahera, pulau terbesar diprovinsi Maluku Utara. Pulau Ternate merupakan wilayah kepulauan vulkanis yang memilikisebuah gunung berapi, Gamalama, dengan ketinggian 1715 meter di atas permukaan laut.Besarnya pulau Ternate 111,80 km2 (BPS Kota Ternate, 2013: 13, tabel 1.1.7). Berdasarkan dataBPS Kota Ternate tahun 2013, jumlah penduduk di seluruh pulau Ternate lebih kurang 180.000jiwa (Bappeda Kota Ternate, [2014]:22).1 Kurang lebih 90% dari jumlah total penduduk dipulau Ternate tinggal di kota Ternate, daerah perkotaan yang terletak di bagian timur pulau danyang berkembang ke arah selatan. Wilayah ini merupakan daerah di mana Melayu Ternateumum digunakan sebagai bahasa sehari-hari, dan di sini juga terdapat penutur yangmenggunakan bahasa ini sebagai bahasa ibu, yaitu bahasa yang pertama-tama diajarkan orangtua. Di luar wilayah perkotaan, bahasa daerah, yaitu bahasa Ternate, tetap berperan sebagaibahasa ibu, tetapi kedudukannya mulai terancam; dan bahasa Melayu Ternate perlahan-lahanmenjadi bahasa yang pertama diajarkan orang tua kepada anaknya.

Artikel ini membahas cara menentukan struktur dan makna rangkaian kata dalambahasa Melayu Ternate beserta peran beberapa kata tugas sebagai alat bantu yang dapatdigunakan untuk mencapai pemahaman yang cocok dan tepat. Melayu Ternate merupakan salah

Page 80: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Betty Litamahuputty

180

satu di antara banyak bahasa yang tidak menandai unsur gramatikal pada bentuk kata. Sebuahkata mampu mempunyai fungsi gramatikal yang berbeda-beda dengan makna yang berbeda-beda tanpa perubahan bentuk yang menunjukkan perbedaan ini. Pemahaman kata yang palingcocok dan pantas ditentukan oleh konteks linguistik dan keadaan nonlinguistik di mana katatersebut muncul. Hal ini memungkinkan sebuah kata dapat berperan sebagai, misalnya, katabenda dalam konteks tertentu, tetapi dalam konteks dan keadaan yang berbeda, sebagai katakerja untuk menggambarkan kegiatan. Kalaupun bentuk kata berubah melalui prosesmorfologis, fleksibilitas ini tidak hilang dan watak kata yang baru terbentuk ini tetap samadengan kata dasarnya. Dengan sendirinya, sebuah proses morfologis dianggap sebagai prosespenambahan makna pada kata dasar, bukan semata-mata sebagai proses penandaan aspekgramatikal. Pada keadaan seperti ini, alat linguistik yang biasa dan lazim digunakan untukmenentukan pengelompokan kata tidak berguna. Semua ini bukan hal unik dan sesuatu yangjarang ditemui. Banyak ilmuwan linguistik telah menghadapi dan memperhatikan masalahseperti ini dan mencoba mencari penyelesaian yang memuaskan supaya gejala ini dapatdijelaskan dan dipahami. Kesulitan menentukan perbedaan antara kata sifat dan kata kerja padabahasa Melayu telah sering mendapat perhatian ilmiah (antara lain dari Gonda 1949, Teeuw1962, dan Steinhauer 1986). Salah satu penyelesaian yang diusulkan merupakan proses yangmemungkinkan sebuah kata berpindah dari suatu kelompok/kelas kata ke kelompok/kelas katayang lain, tanpa mengalami perubahan bentuk. Proses ini dikenal dengan istilah zero-derivationatau conversion. Namun, penyelesaian seperti ini kurang memuaskan. Menurut Gil (2013), tidakada bukti linguistik yang kuat yang mendukung pengelompokan yang membedakan antara katabenda dan kata kerja pada bahasa Indonesia Riau. Penyelesaiannya, sebuah kata harus dianggapsebagai unsur sintaktis yang paling kecil. Konteks linguistik dan keadaan nonlinguistikmenentukan makna sebuah kata sehingga makna rangkaian kata terdiri dari jumlah makna unsurmasing-masing (Gil 1994). Tertarik pada buah pikiran seperti ini, saya mencoba menerapkannyapada Melayu Ternate, mencoba menjelaskan fleksibilitas yang terdapat pada kata MelayuTernate, serta membahas kebijakan yang ada pada bahasa tersebut untuk mencapai maknatuturan yang paling cocok dan sesuai dengan konteks linguistik dan keadaan nonlinguistiknya.Keanggotaan pada kelompok/kelas kata tertentu hanya dapat ditentukan berdasarkan hubungandengan kata lain dan situasi/keadaan pada tuturan, bukan berdasarkan penentuan berpratanda.Istilah seperti “kata benda”, “kata kerja”, “kata sifat”, dan sebagainya, yang terdapat di sini,merupakan alat penamaan atau penyebutan belaka dan harus dipahami dengan fleksibel.

Tulisan ini disusun sebagai berikut. Pendahuluan ini diikuti penguraian terbitanmengenai bahasa Melayu di Maluku (Utara) yang menggambarkan peran dan bentuk bahasa inidi wilayah tersebut dan pada waktu tertentu. Fleksibilitas kata yang merupakan salah satu ciribahasa Melayu Ternate dibahas pada bagian berikutnya. Setelah itu dua garis kebijakan untukmencapai pemahaman yang paling cocok dan sesuai konteks dan keadaan dibicarakan, yaitu,keberadaan kata tugas khusus, seperti pe atau yang serta urutan kata. Tulisan ini diakhiri denganringkasan pendek.

MELAYU MALUKU UTARA DALAM TULISAN

Daerah Maluku (yang saat ini terdiri dari provinsi Maluku dan Maluku Utara) terkenal sebagai“Pulau Rempah” (Spice Islands), karena di sinilah tempat asal rempah-rempah, seperti cengkehdan pala. Pedagang dari seluruh dunia datang ke wilayah ini dengan harapan dapat ikut sertadalam menikmati keuntungan besar dari perdagangan rempah-rempah ini, yang berkembangpesat pada abad ke-16 dan ke-17. Bahasa yang digunakan dalam perdagangan ini, baik dalaminteraksi pedagang dengan penduduk setempat maupun antara pedagang sendiri yang berasaldari berbagai tempat dan mempunyai latar belakang bahasa yang berbeda-beda, adalah bahasaMelayu. Di pelbagai tempat pesisir sepanjang jalur perdagangan ini, berkembang logat Melayudengan ciri-ciri khas lokal, termasuk di Ternate.

Page 81: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

181

Naskah tertua yang menyatakan Melayu digunakan di wilayah Maluku merupakan duapucuk surat dari sultan Ternate kepada raja Portugal pada abad ke-16. Kedua surat Melayu iniditulis dengan huruf Jawi, yang berdasarkan huruf Arab, dan bertanggal 1521 dan 1522.Menurut C.O. Blagden (1930) yang meneliti surat ini, gaya dan tata-bahasa tata bahasamenunjukkan kemungkinan surat tersebut disusun oleh lebih dari satu orang penulis dan merekatidak menguasai bahasa Melayu dengan baik, sehingga muncul kesan dan dugaan penulis keduasurat ini adalah orang setempat, bukan seorang Melayu. Salah satu contoh yang diberikanBlagden adalah urutan kata. Pada surat bertanggal 1521, terdapat rangkaian kata “Raja SultanAbu Hayat surat”, yang diterjemahkan Blagden dengan makna kepemilikan, Letter of SultanAbu Hayat ‘surat Sultan Abu Hayat’. Dalam rangkaian kata yang digunakan ini, kata yangmengacu pada pemilik mendahului kata yang mengacu pada apa yang dimiliki, dan urutan kataini tidak lazim terdapat dalam naskah Melayu (Klasik). Namun, hanya contoh ini satu-satunyacontoh yang ditemuinya, konstruksi kepemilikan yang lain dalam surat tersebut menunjukkanurutan kata yang “benar”. Mungkin saja, kedua cara pengungkapan makna posesif inimenunjukkan keadaan bahasa pada zaman tersebut, di mana telah ada gambaran dan kebiasaanmenggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa tulisan, sedangkan caranya belum diikuti danditerapkan secara teratur dan teliti.

Pada tahun 1521, Antonio Pigafetta, seorang Italia, menyusun dua daftar kata yangdilampirkan pada laporan penjelajahan keliling dunianya. Pigafetta ikut ekspedisi denganKapten Ferdinan Magellan yang tewas di Filipina. Salah satu daftar berisi kata-kata Filipino,sedangkan daftar kata yang lain diberi judul “Kata dari Orang Moro itu” (Robertson, 1906:117).Kebanyakan kata pada daftar terakhir ini jelas berasal dari bahasa Melayu, tetapi ada beberapakata yang sulit ditentukan asal-usulnya. Kata ini menjadi topik diskusi hangat antara beberapaahli bahasa selama beberapa dasawarsa. Ada yang berpendapat kata-kata ini berasal dari Maluku(Le Roux 1929), sedangkan ahli lain mengutarakan pendapat ini tidak didasarkan pada buktilinguistik dan muncul karena daftar kata tersebut mengikuti laporan mengenai Tidore, sebuahtempat yang terletak di Maluku (Blagden 1931). Blagden, didukung Kern (1938) dan Bausani(1960), menduga Pigafetta mengumpulkan kata di beberapa tempat dan dari beberapanarasumber sehingga ada kata, antara lain dari bahasa di Brunei dan Filipina, tercampur kedalam daftar ini. Setiap kata Melayu diberikan catatan “kata umum”, sehingga ada kesan bahasaMelayu di beberapa tempat berbeda satu dengan yang lain, walaupun ada kata tertentu yangumum penggunaannya (Blagden 1931).

Kesimpulannya, walaupun ada beberapa ilmuwan seperti C.C.F.M Le Roux (1929) danJ. Gonda (1938) yang berpendapat bahwa daftar kata Pigafetta dikumpulkan di Maluku(Tidore), hal ini tidak dapat dipastikan secara mutlak, karena Pigafetta sendiri tidakmemberitahukan, baik tempat di mana dia mengumpulkan daftar kata Melayu tersebut maupunlatar belakang narasumber yang membantunya. Daftar kata Melayu Pigafetta ini dapat dianggapsebagai pernyataaan bahwa bahasa Melayu sudah berperan sebagai bahasa perantaraan diwilayah yang cukup luas, termasuk di daerah Maluku dan Maluku Utara, pada abad ke-16.

Peran bahasa Melayu sebagai bahasa perantaraan perantara ini merupakan alasan bagiawak kapal Belanda sehingga sebuah daftar kata dilampirkan pada laporan perjalanannya kedaerah timur, dengan catatan “untuk membantu mereka yang mau berlayar ke sana, karenabahasa Melayu digunakan di seluruh wilayah Hindia Timur, terutama di kepulauan Maluku”.Daftar ini terdiri dari tiga bahasa: Belanda-Melayu-Jawa dan merangkul 708 kata yang disusunsecara abjad dari A sampai S. Daftar kata kedua yang dilampirkan terdiri dari 249 kata dalambahasa Belanda dan Melayu, diikuti dua daftar pendek yang dinamakan “Beberapa Kata Jawa”dan “Angka Maluku”, yang masing-masing terdiri dari 20 dan 24 kata. Daftar ini dicatat diTernate, tetapi tidak dijelaskan siapa saja yang menjadi narasumber atau tepatnya tempat dimana daftar kata ini dikumpulkan (Commelin 1646 I:43; Keuning 1942:158). Collins danSchmidt (1992) membahas aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis daftar kata ini dan

Page 82: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Betty Litamahuputty

182

menyimpulkan ada varian/logat Melayu di daerah Indonesia timur, seperti di Ambon, Manado,Bacan, dan Ternate, yang mewariskan beberapa aspek Melayu yang mirip dengan bahasaMelayu yang terdapat dalam daftar ini. Berdasarkan ciri khas yang tidak terdapat pada daftarkata ini, yaitu konstruksi kepemilikan dengan (sebuah unsur seperti) “punya” sebagaipenghubung antara pemilik dan yang dimiliki, konstruksi kausatif yang mengandung “kasi”,atau kata pinjaman dari bahasa Cina, disimpulkan bahwa jenis Melayu ini tidak berasal dariMelayu Malacca (Collins and Schmidt 1992:318), seperti diusulkan ilmuwan lain yangberpendapat bahwa Melayu lokal di kota perdagangan di daerah pesisir dikembangkan pedagangCina yang berbahasa Melayu dengan penduduk setempat (Adelaar and Prentice, 1996).

Konstruksi kausatif yang terdapat dalam daftar kata ini mengandung kata “beri”, yangsama maknanya dengan “kasi”. Hal ini dapat mencerminkan perkembangan konstruksi ini: padasaat tertentu terjadi pergantian kata, sedangkan makna konstruksi tersebut tetap dipertahankan.Apa yang menggerakkan perubahan ini dan kenapa gejala ini terjadi belum diketahui danmemerlukan penelitian lebih lanjut.

Sebuah naskah yang ditulis Naidah dalam bahasa Ternate dan Melayu denganmengunakan huruf Jawi menceritakan sejarah Ternate. P. van der Crab, pemilik naskah ini,menyalin dan menerjemahkan teks tersebut ke dalam bahasa Belanda dan mempublikasikannyasebagai artikel dalam sebuah majalah pada tahun 1878. Naskah aslinya hilang (Fraassen1987:10-11). Dalam artikelnya ini, Van der Crab mengaku mengalami kesulitan sewaktumenerjemahkan teks tersebut, disebabkan kesalahan ejaan, ketidaktelitian penulis, dan urutankejadian dan peristiwa yang tidak sesuai dengan urutan waktu yang sebenarnya. Walaupun tatabahasanya memperlihatkan banyak kesalahan dan kekurangan, mungkin bagian dalam bahasaTernate masih mempunyai nilai linguistik (Crab 1878:489). Ragam bahasa Melayu yangdigunakan dalam hikayat ini memang sangat berbeda dari ragam bahasa yang digunakan,misalnya dalam surat sultan Ternate yang diteliti Blagden (1930). Ragam teks hikayat inimengingatkan pada ragam bahasa Melayu yang digunakan sebagai bahasa percakapan, misalnyapenggunaan kata “punya” sebagai penghubung pada rangkaian kata kepemilikan, atau kata pigi‘pergi’ dan trada ‘tidak, tidak ada’ (Crab 1878). Perbedaan ragam bahasa sangat menarik danperlu diteliti lebih dalam.

Beberapa artikel mengenai Melayu di Maluku Utara membandingkan Melayu MalukuUtara dengan bahasa Indonesia (Voorhoeve 1983) dan membahas pengaruh bahasa daerah diMaluku Utara pada Melayu setempat (Taylor 1983; Bowden 2005). Voorhoeve (1983)mendeskripsikan bagaimana beberapa gejala fonologis dan morfologis yang terdapat dalambahasa Indonesia diungkapkan dalam Melayu Maluku Utara untuk menjelaskan perbedaanantara kedua jenis Melayu ini. Contoh bahasa yang dilampirkan pada tulisannya terdiri dariserpihan teks Hikayat Ternate oleh Naidah dan transkripsi rekaman dengan penutur dari daerahSahu dan Ibu (Halmahera) dan seorang penutur dari Makian Barat. Taylor (1983) memfokuskanperhatian pada keadaan linguistik di daerah Kao (Halmahera) dan menggambarkan bagaimanabahasa daerah mempengaruhi bahasa Melayu Maluku Utara di sana pada sistem deiksis. Dalamtulisannya dia juga membandingkan penggunaan prefix ba- dengan prefix ber-, padanannyadalam bahasa Indonesia. John Bowden, yang pernah meneliti bahasa Taba di Pulau Makian,menjelaskan sistem pengarahan yang umum dipakai dalam bahasa Melayu Maluku Utara dandipengaruhi baik oleh bahasa Austronesia maupun bahasa non-Austronesia yang terdapat diwilayah tersebut (Bowden 2005).

Sebelum melanjutkan dengan ciri fleksibilitas kata Melayu Ternate, perlu dijelaskanbahwa artikel ini merupakan serpihan kajian Melayu Ternate yang disampaikan dalam sebuahtata bahasa Melayu Ternate (Litamahuputty 2012). Contoh yang terdapat di sini dikutip darinarasumber utama, seorang pemuda yang dilahirkan dan dibesarkan di Salero (Ternate). Secaraspontan dia menceritakan beberapa kisah sehari-hari yang direkam, ditranskripsi, danditerjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Data ini merupakan sumber data utama sewaktu

Page 83: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

183

menyusun tata bahasa Melayu Ternate. Dua puluh cerita pendek dan rekaman suara aslinya,serta daftar kata kecil Melayu Ternate-Inggris, dan tata bahasa ini dapat diakses melalui internetpada laman: http://lingweb.eva.mpg.de/jakarta/ternate/ open.htm.

FLEKSIBILITAS KATA MELAYU TERNATE

Pada umumnya, sebuah kata logat Melayu Ternate tidak mengandung ciri yang menandai,misalnya jenis kelamin, jumlah, waktu, atau peran gramatikal lain, pada bentuknya. Sebuah katadapat berfungsi dalam pelbagai peran tanpa perubahan pada bentuknya. Kalaupun bentuk kataberubah akibat proses morfologis, hasil proses ini tidak menghilangkan fleksibilitas, sehinggakata yang baru terbentuk tetap dapat digunakan dengan pelbagai fungsi gramatikal tanpa adaperubahan tambahan pada bentuknya. Proses morfologis yang diterapkan merupakan prosespenambahan makna, bukan menandai perubahan sintaktis. Keadaan seperti ini mempersulit caramengelompokkan kata dengan menggunakan alat linguistik yang umum dan lazim diterapkan.

Beberapa contoh di bawah ini menggambarkan sifat fleksibilitas sebuah kata dari segibentuk dan fungsi2.

1) Baru dia karung1 pake karung2 strep.CONJ 3SG sack.[V] use sack.[N] lineKemudian dia mengarunginya menggunakan karung bergaris.

Pada kalimat (1) kata karung muncul dua kali. Karung1 mengikuti kata dia dan berperan sebagaipredikat, sehingga dianggap sebagai kegiatan dan mendapatkan arti sebagai “kata kerja”, yaitu‘mengarungi’ atau ‘memasukkan sesuatu ke dalam karung’. Karung2 diikuti strep ‘garis’ danmerupakan rangkaian kata, di mana karung merupakan pokok dan strep berperan sebagaipewatas. Jika pake dianggap sebagai kata yang menunjukkan kegiatan dan bermakna‘menggunakan’, rangkaian kata ini berperan sebagai tema dan dianggap mengacu pada sebuahbenda.

Contoh ini menunjukkan bahwa kata karung bisa berfungsi sebagai predikat sehinggamemperoleh sebuah makna verbal, yaitu, ‘mengarungi’ dan, tanpa perubahan bentuk, bisaberperan sebagai pokok rangkaian kata. Pada peran ini karung mengacu pada sebuah benda danharus dipahami dengan makna nominal. Konteks linguistik dan situasi nonlinguistikmenentukan makna yang paling tepat. Sama halnya dengan kata lain yang terdapat pada kalimatcontoh ini: konteks dan situasi menentukan apakah dia mengacu pada seorang pria atau wanita,karena jenis kelamin tidak diungkapkan pada bentuk kata, serta apakah karung1 harus dianggapbenda tunggal atau majemuk, karena jumlah tidak diungkapkan pada kata benda ini.

2) De gigi ilang spanggal.3SG 1. bite.[V]

2. tooth.[N]disappear Part

1. Dia menggigit dan sebagian hilang.2. Sebagian giginya patah.

Makna rangkaian de gigi pada contoh (2) tergantung pada penentuan hubungan antara keduakata ini. Pada pemahaman pertama, struktur de gigi, ilang spanggal terdiri dari dua klausa: diagigi dan ilang spanggal. De ‘orang ketiga tunggal’ merupakan subjek dan gigi merupakanpredikat yang diartikan sebagai kegiatan ‘menggigit’, sehingga makna ‘dia menggigit’ berlaku.Ilang spanggal dapat dianggap sebagai rangkaian kata yang terdiri dari sebuah predikat ilang‘hilang’ dan subjek spanggal ‘sebagian’. Pemahaman seperti ini berlaku, misalnya, dalamsebuah cerita mengenai binatang buas yang menyerang seseorang atau seekor binatang,menggigitnya, dan menyebabkan sebagian tubuh korban hilang dimakan.

Page 84: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Betty Litamahuputty

184

Jika de gigi dipahami sebagai rangkaian kata yang mengungkapkan kepemilikan, deberperan sebagai pewatas yang mengacu pada pemilik ‘dia’ dan gigi berperan sebagai pokokyang mengacu pada apa yang dimiliki ‘gigi’, sehingga de gigi dengan makna ‘giginya’ berlaku.Dalam konteks ini ilang spanggal merupakan predikat yang terdiri dari ilang ‘hilang’ danspanggal ‘sebagian’ menjelaskan cara, sehingga de gigi ilang spanggal berarti ‘sebagiangiginya hilang/patah’ atau ‘giginya sebagiannya hilang/terlepas’. Kalimat dengan pengertianseperti ini muncul, misalnya, dalam cerita mengenai apa yang terjadi waktu seseorang terjatuhdari motor.

3) Model nasi kuning1 bagitu,shape cooked.rice yellow.[A] like.thattapi kuning2 lebe muda.CONJ yellow.[N] more youngRupanya (seperti) nasi kuning, tetapi kuningnya lebih muda.

Kalimat (3) terdiri dari dua klausa yang digabung oleh tapi ‘tetapi’, sebuah kata penghubungyang menunjukkan ada perlawanan makna antara model nasi kuning bagitu dan kuning lebemuda. Pada rangkaian nasi kuning, kuning merupakan pewatas yang menjelaskan pokoknya,yaitu, nasi, dan mengungkapkan sifat ‘(bersifat) kuning’. Rangkaian ini berfungsi sebagaipredikat dengan pengertian ‘menyerupai nasi kuning’, sedangkan model ‘rupa’ berfungsisebagai subjek. Pada bagian kedua, kuning2 merupakan subjek yang mengacu pada sebuahbenda dan memperoleh makna ‘kekuningan’ atau ‘(warna) kuningnya’. Penguraian rangkaiankata dan hubungan antara unsur rangkaian menentukan makna yang berlaku pada setiap kata.

Contoh di atas ini menggambarkan fleksibilitas sebuah kata yang memungkinkan katatersebut dapat memainkan peran gramatikal yang berbeda-beda, mengungkapkan makna yangberbeda-beda dan sesuai dengan konteks dan situasi, tanpa mengalami perubahan padabentuknya.

PERUBAHAN BENTUK DAN FLEKSIBILITAS KATA

Perubahan bentuk kata melalui proses morfologis yang terdapat pada Melayu Ternate terdiridari proses pengulangan dan penggabungan dengan unsur terikat. Kedua proses ini bukanmerupakan penandaan gejala gramatikal, melainkan diterapkan untuk menambahkan maknapada sebuah kata dasar. Kata baru yang terbentuk dengan mempertahankan fleksibilitasnyadapat digunakan dalam pelbagai fungsi, serta mengungkapkan berbagai makna, tanpamemperlihatkan perubahan tambahan pada bentuk; sama halnya dengan kata dasarnya dandengan kata yang lain. Konteks dan situasi di mana sebuah kata atau kata berimbuhan beradamenentukan maknanya.

Pengulangan/ReduplikasiProses reduplikasi atau proses pengulangan kata dapat diterapkan pada banyak kata dan seringmenimbulkan arti “kemajemukan” sebuah benda, kegiatan, sifat, kejadian, dan sebagainya, dandapat menghasilkan pemahaman seperti, ‘beraneka-ragam (benda)’, ‘(kegiatan yang) dilakukansecara berulang-ulang’, dan sebagainya, sesuai dengan konteks dan situasi kata bersangkutan.Berikut ini terdapat beberapa tuturan yang mengandung kata ulang. Pada contoh (a)pengulangan itu berperan sebagai predikat dan dipahami sebagai kegiatan, sedangkan padacontoh (b) kata yang sama bentuknya memenuhi fungsi gramatikal yang berbeda dengan maknayang berbeda.

Page 85: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

185

4a) Kasbi peot tu de basar-basar, to?cassava dented that 3SG PL-big QTKasbi peyot itu besar-besar, bukan?

4b) Basar-basar su tar ada.PL-big COMP NEG be.presentYang besar-besar sudah tidak ada.

Penutur contoh (4a) menceritakan mengenai sejenis umbi-umbian yang dikenal dengan istilahkasbi peot. Dia menggambarkan bentuknya menggunakan kata berimbuhan basar-basar ‘besar’,yang pada contoh ini berfungsi sebagai predikat dan memperoleh makna predikatif ‘mempunyai(bermacam-macam) ukuran besar’. Contoh berikutnya muncul dalam sebuah percakapanmengenai ular yang pernah ada di tempat tertentu. Si penutur memastikan ular besar tidakterdapat lagi di tempat tersebut. Dalam konteks ini basar-basar berfungsi sebagai subjek danmengacu pada ular dengan ukuran besar. Pada konteks dan situasi ini, basar-basar selayaknyadipahami sebagai benda ‘(ular) yang besar’ dengan makna “kemajemukan”, sehinggamendapatkan makna ‘berbagai (ular) (dengan ukuran) besar’.

5a) Dong akang su tara pukul-pukul suda.3PL FUT COMP NEG PL-hit COMPMereka tidak akan memukul lagi.

5b) De pe pukul-pukul ana-ana gila.3SG POSS PL-hit PL-child crazyCara memukul anak itu luar biasa.

Pada contoh (5a) penutur menceritakan pengalaman masa kecilnya, waktu dia sering dipukulorang tuanya karena nakal. Pada saat percakapan ini orang tuanya sudah berumur dan diamenduga mereka tidak akan memukulnya lagi. Pukul-pukul mengungkapkan kemajemukan danpada contoh ini berperan sebagai predikat, sehingga memperoleh makna sesuai dengan fungsitersebut: ‘memukul berulang kali’.

Dalam konteks dan situasi yang berbeda, fungsi dan makna bisa berubah, walaupunbentuk masih sama, seperti pada contoh (5b) yang menceritakan mengenai seorang guru yangmengingatkan muridnya dengan cara keras. Pukul-pukul dalam konteks ini didahului pe yangsering menandai konstruksi kepemilikan, sehingga kedua unsur yang digabung pe itu harusditafsirkan sebagai kata benda. Makna yang diperoleh pukul-pukul dalam konteks dan situasiseperti ini adalah ‘perbuatan memukul berulang-ulang’ atau ‘pukulan, tamparan berulang-ulang’.

Pada contoh (6a) dan (6b) terdapat kata ana-ana. Contoh (6a) dikutip dari sebuah ceritamengenai seseorang yang diduga bekerja sebagai tukang angkat barang di pasar, karenamengenakan celana pendek. Seorang ibu minta tolong membawakan belanjaannya ke tempatperhentian mobil umum, dan karena orang itu ingin membantu, dia melakukannya. Waktu ibuitu mau memberikan uang kepadanya, dia mengaku dia sebenarnya bukan tukang angkat barang.

6a) Saya tara... bukang ana-ana ba-angka.1SG NEG NEG PL-child HAB-lift.Saya tidak... bukan tukang angkat.

6b) Dia Kase latian ana-ana lagi.3SG Give exercise PL-child againDia juga melatih anak-anak. (Harfiah: ‘Dia juga memberi latihan anak-anak.’)

Pada contoh (6a), ana-ana baangka merupakan predikat yang harus dimaknakan sebagaikegiatan dan memperoleh arti ‘merupakan/menjadi tukang angkat barang’ atau ‘bekerja sebagaitukang angkat barang’.

Page 86: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Betty Litamahuputty

186

Sebenarnya, ana-ana pada contoh (6b) dapat dibaca dengan cara yang berbeda-beda,tergantung pada penguraian yang dilakukan, khususnya terhadap kata latian ‘latihan’. Jikalatian dianggap sebagai benda, ana-ana berfungsi sebagai pewatas, menghasilkan rangkaiankata yang mengacu pada sejenis latihan. Makna yang muncul pada benak adalah ‘latihanuntuk/kepada anak-anak’. Jika kase diikuti sebuah benda, maknanya menjadi ‘memberi,menyampaikan’. Dalam konteks dan situasi yang berbeda, latian dapat dibaca sebagai “katakerja” dan mengacu pada kegiatan, sehingga rangkaian kata kase latian memperoleh maknakausatif ‘melakukan sesuatu supaya (anak-anak) melatih’. Pada pemahaman seperti ini, ana-anaberfungsi sebagai objek yang mengacu pada penerima (dan sekaligus menjadi pelaku kegiatanmelatih) dan merupakan “kata benda”. Contoh ini dikutip dari cerita mengenai teman sekolahpenutur yang mengikuti seni bela diri. Selain belajar dan menerima latihan, ternyata teman inijuga menjadi guru yang melatih anak-anak. Pada keadaan seperti ini, pemahaman latian ana-ana sebagai “benda” yang berarti ‘latihan untuk anak-anak’ mungkin lebih cocok dan tepatdaripada pengertian kausatif.

Perubahan bentuk kata melalui proses pengulangan ternyata tidak mengubahfleksibilitas sebuah kata. Kata baru yang terbentuk tetap mampu memenuhi fungsi sintaktis yangberbeda-beda dan mencerminkan makna yang berbeda-beda, sesuai konteks dan keadaan dimana kata tersebut berada. Proses pengulangan semata-mata merupakan proses penambahanmakna, misalnya, “kemajemukan”, “keanekaragaman” pada kata dasar dan bukan untukmenandai unsur gramatikal.

ImbuhanPerubahan bentuk kata dapat diperoleh melalui proses menghubungkan unsur terikat, seperti ba-,baku-, atau ta- pada kata dasar. Imbuhan kata dengan ba- dapat menambahkan bermacam-macam makna, sesuai dengan makna kata dasarnya, misalnya, melakukan pada diri sendiri,melakukan kegiatan, berkembang menuju keadaan atau sifat, dan sebagainya. Konteks dankeadaan menentukan peran dan fungsi kata bersangkutan dan makna yang dicerminkannya.Penambahan ta- pada sebuah kata sering menambahkan makna ‘tidak sengaja’ atau menandaiterjadinya ‘perubahan keadaan’ tanpa selalu diketahui siapa atau apa penggeraknya.Penggabungan unsur terikat baku- menambahkan unsur ‘kebersamaan’ atau ‘saling melakukansesuatu’ pada makna kata dasar. Contoh yang terdapat di bawah ini menggambarkanpenggabungan unsur terikat pada sebuah kata semata-mata menghasilkan penambahan makna,bukan perubahan gramatikal. Untuk tujuan itu predikat yang terdiri dari kata dasar tertentu(contoh (7a), (8a), dan (9a) dibandingkan dengan predikat yang terdiri dari kata dasar yang samaini dan sudah mengalami penggabungan dengan unsur terikat (contoh (7b), (8b), dan (9b).

7a) Ngana colo dalang aer.2SG dip inside waterKamu mencelup itu dalam air.

7b) “Untung ngana tara ba-colo di aer.”luck 2SG NEG REFL-dip in water

“Untung kamu tidak mencelup di air.”

Penutur contoh (7a) menjelaskan apa yang akan terjadi kalau sesuatu yang panas didinginkandengan cara cepat. Supaya Dengan maksud supaya temannya mengerti tujuannya, penuturmengajak temannya membayangkan sebuah strika panas yang dicelupnyakan ke dalam air. Padacontoh ini colo merupakan predikat dan mengacu pada kegiatan ‘memasukkan sesuatu ke dalamcairan’. Situasi contoh (7b) juga ada kaitan dengan bahayanya mendinginkan sesuatu yangpanas dengan cepat. Kalimat ini dikutip dari cerita mengenai seorang teman yang sakit malariadan tubuhnya panas sekali. Sebenarnya dia sendiri ingin menurunkan rasa panas itu denganmandi air dingin. Pada contoh tersebut, kata colo digabung dengan ba-, yang dapat

Page 87: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

187

menambahkan makna ‘pada diri sendiri’, sehingga hasil penggabungan ini, ba-colo, dipahamisebagai ‘mencelup diri sendiri’.

8a) Satu bulang kita tara tinggal di ruma.one month 1SG NEG stay in houseSelama satu bulan saya tidak tinggal di rumah.

8b) De bilang, “Hamja e, kita pe kos3SG say Hamja EXCL 1SG POSS T-shirtta-tinggal di atas.”INV-stay in aboveDia bilang: “Hamja e, kos saya tertinggal di atas.”

Pada contoh (8a), penutur menceritakan dia sering meninggalkan rumah orang tuanya danmenginap di tempat lain. Kata tinggal merupakan predikat dan harus dipahami dengan makna‘berada/berdiam pada sebuah tempat’. Contoh (8b) dipetik dari cerita mengenai anak-anak yangmencuri mangga dari pohon, diketahui anak pemiliknya, dan pencuri melarikan diri tanpamembawa hasil jarahannya. Untuk mendapatkan karung yang berisi mangga dan tertinggal dipohon itu, seorang anak minta izin kepada pemilik pohon untuk mengambil bajunya yang,menurut dia, tanpa sengaja masih ada di pohon. Pada contoh ini, tinggal digabung denganawalan ta- untuk menambahkan makna “ketidaksengajaan” pada kata dasar tersebut, sehinggata-tinggal harus dipahami dengan makna ‘tanpa sengaja berada pada sebuah tempat’.

9a) […] kong kita lia balangang su ada.CONJ 1SG see wok COMP be.present

[…] dan saya melihat wajan sudah ada (lagi).9b) trus baku-lia to, jadi baku-pegang tangang.

continue REC-see QT thus REC-hold handkemudian mereka melihat satu dengan yang lain dan berjabatan tangan.

Contoh (9a) dan (9b) mengandung kata yang terdiri dari lia. Pada contoh (9a) lia mengacu padakegiatan dan memperoleh makna ‘melihat’. Contoh (9b) menceritakan seorang ayah mencarianaknya dan apa yang terjadi waktu mereka bertemu lagi setelah puluhan tahun terpisah satudengan yang lain. Bakulia pada contoh (9b) mengungkapkan pemahaman ‘saling melihat’ danmenunjukkan tambahan baku- menambahkan unsur ‘kebersamaan’ atau ‘saling melakukan’pada kata dasarnya. Bakupegang pada contoh yang sama itu dapat dipahami dengan makna‘saling memegang’.

Keseringan berlakunya makna tertentu menyebabkan makna tersebut pertama-tamamuncul pada ingatan, sehingga melancarkan dan memudahkan proses penentuan pemahamanyang paling cocok. Konteks dan keadaan menentukan apakah makna itu cocok dan berlaku.

Perubahan bentuk kata melalui proses penggabungan unsur terikat ini tidakmenyebabkan perubahan pada sifat fleksibilitas sebuah kata, karena kata baru yang terbentuk initetap mampu memenuhi fungsi sintaktis yang berbeda-beda dan menunjukkan makna yangberbeda-beda, yang ditentukan konteks dan situasi di mana kata itu berada. Dengan kata lain,perubahan bentuk kata tidak mencerminkan peran sintaktis, namun menambah makna pada katadasarnya. Pada contoh berikut ini, kata yang sudah mengalami proses penggabungan unsurterikat ba- (contoh (10)), baku- (contoh (11)), dan ta- (contoh (12)) bukan mengungkapkankegiatan, seperti pada contoh di atas di mana kata berimbuhan berfungsi sebagai predikat,melainkan mengacu pada benda, cara, atau sifat, sesuai dengan konteks dan keadaankeberadaannya. Kemampuan ini menunjukkan perubahan bentuk tidak mengakibatkanperubahan pada fleksibilitas kata.

Page 88: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Betty Litamahuputty

188

10) Kita pe ba-jalang1 bagini,1SG POSS DUR-walk.[N] like.thissebe ba-jalang2 ka dara.father DUR-walk.[V] to landSaya baru berjalan seperti ini, waktu ayah berjalan ke darat.

Contoh ini menceritakan bagaimana penutur gagal menghindari bertemu dengan ayahnya, waktudia sedang berjalan berdua bersama teman perempuannya. Kata bajalang muncul dua kali;bajalang1 didahului unsur pe yang menandai struktur kepemilikan, sehingga bajalang harusdimaknakan sebagai benda karena mengacu pada apa yang dimiliki. Unsur yang mendahului pemengacu pada pemilik dan juga dimaknakan sebagai benda, sehingga kita pe bajalang dipahamisebagai ‘(kegiatan) berjalan saya’ atau ‘jalannya saya’. Bajalang2 berperan sebagai predikat,sehingga mendapatkan makna sebagai “kata kerja”, yaitu, ‘berjalan’. Kata ini didahului sebe‘ayah’ yang berperan sebagai subjek.

Pada contoh (11), bakumangada dapat dimaknakan dengan pelbagai cara, tergantungpada penguraian dan pembagian struktur.

11) Ngana badiri baku-mangada dia, ha...2SG stand REC-face.[ADV] 3SG EXCL(Kalau) kamu berdiri berhadapan dengan dia, ha…

Penutur contoh ini menceritakan bagaimana seseorang dikejar buaya. Dia membayangkan apayang mungkin akan terjadi jika buaya itu tiba-tiba berada di depan. Penutur menggunakanbakumangada untuk menjelaskan cara berdirinya kedua makhluk dan kata ini dapat dianggapsebagai kata penjelas cara. Pada pemahaman ini, badiri bakumangada merupakan rangkaiankata di mana badiri dijelaskan bakumangada, sedangkan dia berfungsi sebagai objek yangmengacu pada tempat. Unsur baku- menyiratkan “kesalingan” dan dalam konteks ini kataberimbuhan bakumangada berperan sebagai “kata penjelas cara” dengan makna ‘secaraberhadapan’ atau ‘berhadapan satu dengan yang lain’.

Dalam keadaan di mana contoh ini merupakan, misalnya, perintah, contoh ini dapatdiurai sebagai dua klausa yang berurutan: ngana badiri dan bakumangada dia. Intonasi atau ciriprosodis lain, seperti jeda di antara dua rangkaian ini, dapat membantu penentuan uraian inidengan tepat. Pada pemahaman perintah seperti itu, ngana badari dapat berarti ‘kamu berdiri!’dan bakumangada berperan sebagai predikat yang mengacu pada kegiatan, sehinggabakumangada dia berarti ‘(kamu) menghadapinya!’.

Kadangkala struktur dan uraian rangkaian agak sulit ditentukan. Dengan tuturan seperticontoh (12), digambarkan bagaimana orang tua mengingatkan anaknya berhati-hati memotongsesuatu, dengan menggambarkan apa yang mungkin terjadi pada tangannya.

12) “Tara lama ngana tangang ta-potong.”NEG long 2SG hand INV-cut“Tidak lama lagi tanganmu (akan) terpotong.”

Pada contoh ini ngana tangang ‘tanganmu’ dapat berperan sebagai subjek dan merupakan pusatperhatian. Pada interpretasi ini ngana tangang dianggap sebagai rangkaian kepemilikan yangterdiri dari tangang yang berperan sebagai pokok dan ngana yang berperan sebagai pewatas.Pada penguraian seperti ini, tapotong berdiri sendiri dan berfungsi sebagai predikat yangbermakna ‘tanpa sengaja dipotong’. Namun, dalam konteks ini ngana ‘orang kedua tunggal’juga dapat diuraikan sebagai unsur yang berdiri sendiri dan berfungsi sebagai subjek, sehinggatangang tapotong berperan sebagai predikat ‘tangan yang terpotong’. Dalam rangkaian tangangtapotong ini, tangang dianggap sebagai pokok, sedangkan tapotong merupakan pewatas.Perhatikan, pada contoh ini agak sulit memutuskan struktur mana yang paling cocok. Lagipula,berdasarkan bentuk kata dan rangkaian kata tidak dapat diketahui perbedaan antara struktur

Page 89: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

189

subjek-predikat dan pokok-pewatas. Adakalanya, intonasi atau ciri prosodis lain, seperti jeda,membantu dalam menentukan struktur dan pemahaman yang paling tepat.

Contoh pada bagian di atas ini menunjukan bahwa bentuk kata dalam bahasa MelayuTernate tidak menunjukkan peran gramatikal, sehingga alat linguistik yang biasanya digunakanuntuk mengelompokkan kata tidak berlaku. Akibatnya, makna sebuah kata ditentukan denganmemperhatikan konteks linguistik dan keadaan nonlinguistik di mana kata itu berada. Padakonteks linguistik, keseringan berlakunya makna tertentu pada sebuah kata tertentu menjadipetunjuk yang dapat membantu penentuan makna sebuah kata atau rangkaian kata. Di sampingitu, intonasi dan fitur prosodis lain, keberadaan kata tugas tertentu, seperti kata tugas pe danyang yang berperan sebagai pertanda struktur rangkaian kata, serta urutan kata, merupakan alatbantu yang melancarkan dan memudahkan penentuan makna.

KATA TUGAS PENENTU MAKNA

Dalam bahasa Melayu Ternate terdapat beberapa kata dengan peran utama supaya memudahkanmenguraikan rangkaian kata. Kata seperti ini dapat menandai perbatasan antara dua rangkaiankata, menjelaskan hubungan antara kedua unsur ini, serta mengarahkan makna yang berlaku.Kata penghubung seperti deng ‘dan; dengan’ atau tapi ‘tetapi’, yang mampu menggandengkandua kata, rangkaian kata, dan klausa termasuk kelompok kata tugas tersebut. Selain berperansebagai kata penghubung, deng menandai kesamaan antara kedua unsur yang digandengkan,seperti pikul dan nae pada contoh (13) yang dua-duanya mengacu pada kegiatan. Kesamaan inimenimbulkan makna keseimbangan antara kedua unsur.

13) Pikul deng nae tong cuma tiga orang.carry and go.up 1PL only three personKami harus pikul dan naik dan cuma bertiga saja.

Pada contoh (14) tapi menghubungkan tua skali dan kuat. Kata tapi ini juga menandai adanyakeganjilan atau perlawanan makna antara kedua unsur yang digandengkan. Jika tua skalimenggambarkan keadaan seseorang atau sesuatu, muncul ‘kelemahan’, sedangkan pada contohini dikatakan orang yang dibicarakan itu bersifat kuat. Ketidakseimbangan kesan yang munculpada kata tua karena keseringan ada kesan ‘lemah’ dan fakta ‘kuat’ yang terdapat padakenyataan ditandai melalui keberadaan kata tapi.

14) Paitua su tua skali, tapi kuat.old.man COMP old very but strongBapak itu su tua sekali, tetapi kuat.

Kata tugas peKeberadaan kata seperti deng dan tapi memudahkan menentukan stuktur struktur rangkaian katakarena menandai pembatasan antara dua unsur serta mengarahkan makna. Selanjutnya dua katatugas lain, yaitu pe dan yang, dibahas di sini. Dua kata ini dipilih untuk dibahas di sini karenakeduanya seolah-olah saling melengkapi satu dengan yang lain dalam hal menunjukkan polarangkaian kata yang berlawanan. Pe menandai unsur yang mengikutinya berperan sebagaipokok rangkaian kata bersangkutan, sedangkan yang menandai unsur yang mengikutinyamerupakan pewatas. Berikut ada beberapa contoh penggunaan kata tugas pe pada rangkaian kataY pe X ini, yang sering menghasilkan rangkaian dengan makna kepemilikan.

15) De buka ular pe bisa.3SG open snake POSS poisonDia mengeluarkan bisa ular.

Page 90: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Betty Litamahuputty

190

Contoh (15) ini diambil dari cerita mengenai dukun ular dan menjelaskan mengapa gigitan ularpiaraannya tidak berbahaya lagi; bisanya sudah dikeluarkan. Pada contoh ini pe menggabungkata ular dan bisa menjadi rangkaian kata ular pe bisa. Ular ‘snake’ mendahului pe danmengacu pada sebuah benda hidup yang berperan sebagai pemilik, sedangkan unsur yangmengikuti pe, yaitu, bisa ‘bisa, racun’, mengacu pada sesuatu yang dimiliki. Rangkaian kataular pe bisa dapat mengungkapkan makna kepemilikan ‘bisa/racun ular’ atau ‘bisa/racunnyaular’, yang cocok dan sesuai dengan konteks dan keadaannya.

16) Dokter pe pigi loyo ulang.doctor POSS go weak repeatSaat dokter pergi jadi lemas lagi.

Pada contoh (16) rangkaian kata dokter pe pigi dapat dipahami dengan makna kepemilikan‘kepergian dokter’. Pada contoh ini pe didahului dokter yang mengacu pada seorang denganpekerjaan tertentu dan berperan sebagai pemilik, sedangkan pigi ‘pergi’ yang de facto mengacupada sebuah benda, berdasarkan letaknya mengikuti pe, memperoleh makna ‘kepergian’.Contoh ini dikutip dari sebuah cerita pemuda yang sedang bekerja bangunan di rumah dokterwanita yang sangat cantik. Pekerjaannya cukup berat dan pemuda itu sering merasa lelah. Saatmenghadapdokter cantik itu, dia langsung berusaha menyembunyikan kelelahannya danbersikap kuat dan gagah. Saat dokter pergi, rasa lemah dan lelah muncul lagi. Dalam konteksdan situasi seperti ini, dokter pe pigi dapat mengacu pada keadaan waktu sehingga dapatdimaknakan sebagai ‘sewaktu dokter pergi’ atau ‘pada saat kepergian dokter’.

17) Paitua pe cuci balangang kita herang.old.man POSS wash wok 1SG surprisedCaranya dia mencuci wajan itu mengherankan saya.

Pada contoh (17) pe menggabung dua unsur, yaitu, paitua dan cuci balangang, yangmenghasilkan rangkaian kata paitua pe cuci balangang yang dapat dipahami dengan maknakepemilikan ‘(cara) mencuci wajannya orang lelaki itu’. Kalimat ini menyatakan perasaanpenutur yang menceritakan pengalamannya waktu dia sedang berada di kebunnya . Waktu itu,seorang tentara yang sedang menjalankan latihan di tempat itu menghadapnya untuk meminjamwajannya. Setelah beberapa hari, wajannya dikembalikan dalam keadaan putih dan bersih. Halitu sangat mengherankan penutur tersebut. Pada konteks dan keadaan ini, paitua pe cucibalangan mengacu pada suatu kejadian yang menimbulkan perasaan herang ‘heran’. Kata iniberfungsi sebagai predikat, sedangkan yang mengalami perasaan ini, yaitu kita ‘kata peroranganpertama tunggal’, berperan sebagai subjek.

Contoh (17) juga menjelaskan bagaimana kata tugas pe membantu menentukan strukturrangkaian: unsur Y yang mendahului pe berperan sebagai pewatas, sedangkan unsur X yangmengikuti pe merupakan pokok. Rangkaian dengan bentuk Y pe X ini mencerminkan maknakepemilikan sehingga keberadaan pe menandakan kedua unsur yang dihubungkannya secara defacto merupakan kata benda. Penguraian ini memudahkan penentuan makna unsur masing-masing, yaitu, unsur Y yang mendahului pe mengacu pada ‘pemilik’, sedangkan unsur X yangmengikuti pe mengacu pada ‘apa yang dimiliki’. Namun, pengertian Y pe X yang paling tepatditentukan konteks dan keadaan. Sering Y pe X mencerminkan pengertian ‘kepemilikan’, tetapicara ucapan dengan nada seru dan/atau keberadaan sebuah kata seru dapat menandai pengertianyang berbeda, yaitu, ‘penilaian/peninjauan’.

Uraian di atas ini dapat diterapkan pada contoh (18) sehingga kedua unsur yangdihubungkan pe, yaitu, batu angos ‘bongkahan lahar kering’ dan tajang ‘ketajaman’ secara defacto merupakan kata benda.

Page 91: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

191

18) Baru batu angos pe tajang!moreover stone burnt POSS sharpLagipula alangkah tajam bongkahan lahar kering itu!

Jika konteks dan situasi memungkinannya dan makna kepemilikan berlaku, batu angos petajang dapat diterjemahkan dengan ‘ketajaman bongkahan batu lahar’. Namun, jika Y pe Xdiucapkan dengan nada seru, seperti ditandai tanda seru pada contoh ini, pengertian bukanmengacu pada kepemilikan, melainkan merupakan penilaian penutur yang menunjukkankekaguman atau keheranan. Makna yang lebih cocok pada konteks ini merupakan ‘alangkahtajam bongkahan lahar kering itu!’ atau ‘tajamnya bongkahan lahar kering itu!’.

Bersamaan dengan nada seru yang menjadi pertanda, sebuah kata tertentu, seperti kataseru mama, atau kata lain, dapat berperan sebagai alat bantu dalam proses menentukanpemahaman yang paling tepat dan cocok. Kedua unsur ini memungkinkan pemahamanrangkaian Y pe X sebagai penilaian atau peninjauan penutur, bukan sebagai ujaran kepemilikan.

19) ”Mama, ikang pe basar!”mother fish POSS bigWaduh, alangkah besar ikannya!

Penutur contoh (19) menceritakan pengalamannya waktu mendayung ke sebuah pulau danmenghadapi seekor ikan paus. Dalam cerita itu dia mengutip ujarannya dan menggambarkanperasaannya waktu melihat besarnya ikan tersebut. Dalam konteks seperti ini, kata mama,khususnya jika diucapkan dengan nada seru dan suku kata terakhir agak panjang, merupakankata seru yang menunjukkan kekaguman, keheranan, ketidakpercayaan, dan sebagainya, senadadengan kata seru seperti ‘waduh!’, ‘ha?!’, atau ‘waw!’. Bersama dengan cara ucapan rangkaiankata ikang pe basar dengan nada seru, ujaran ini lebih memungkinkan pemahaman ‘penilaian’atau ‘peninjauan’ daripada pemahaman ‘kepemilikan’, sehingga ‘waduh, alangkah besarikannya!’ atau ‘waw, besarnya ikannya!’ lebih cocok dalam konteks ini daripada pemahamankepemilikan ‘besarnya ikan’.

Kata tugas yangKata tugas lain yang dapat membantu menguraikan rangkaian kata adalah yang. Kata inimempunyai persamaan dengan pe dalam berperan sebagai penanda struktur rangkaian kata.Keberadaan yang menandai unsur yang mendahului kata yang merupakan pokok rangkaian katabersangkutan, sedangkan unsur yang mengikuti kata yang menjadi pewatasnya. Urutan pokok-pewatas ini kebalikan dari urutan pewatas-pokok yang ditandai oleh keberadaan pe.

Pada contoh (20) yang merupakan penghubung antara kumis dan paling bagus.

20) kumis yang paling bagus...moustache REL very beautifulkumis yang paling bagus...

Konteks dan situasi menentukan bagaimana rangkaian ini harus diuraikan dan dimaknakan.Dalam konteks di mana kumis yang paling bagus merupakan kelompok kata yang berperan,misalnya, sebagai subjek, predikat, atau objek, kumis merupakan pokok dan yang paling bagusmerupakan pewatasnya. Namun, dalam konteks dan keadaan yang berbeda, kumis yang palingbagus dapat ditafsirkan sebagai tuturan utuh yang terdiri dari kumis sebagai subjek dan yangpaling bagus sebagai predikat. Penguraian terakhir ini muncul pada situasi di mana penuturmemilih dan memberi penilaian, ‘kúmis (bukan rambut atau mata) yang paling bagus’. Pusatperhatian diarahkan pada kumis. Selain situasi, nada pengucapan dan fitur prosodis--yangmisalnya menekankan suku kata tertentu atau menandai struktur dengan jeda--dapat membantumenentukan penguraian dan pengertian yang paling cocok dan tepat.

Page 92: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Betty Litamahuputty

192

Pada contoh berikut ini, yang menandai keberadaan dua pewatas yang sederajat, yaitulombo ‘lembut’ dan tabal ‘tebal’.

21) sagu lombo yang tabal dua pulu... lempeng.sago soft REL thick two tens slabdua puluh lembar sagu lembut yang tebal.

Pada contoh (21) ini sagu lombo yang tabal berfungsi sebagai subjek yang diikuti predikat yangterdiri dari dua balas lempeng ‘dua belas lembar’. Dalam konteks ini, yang merupakan batasantara sagu lombo yang menjadi pokok dan tabal yang berperan sebagai pewatas, sehinggapengertian ‘sagu lembut yang tebal’ berlaku. Lombo dan tabal merupakan sifat pokok yangsederajat. Konteks dan situasi menentukan apakah rangkaian ini merupakan ujaran sempurnaatau sebagian dari sebuah tuturan. Seperti halnya pada contoh (20), nada pengucapan dan fiturprosodis lain dapat menentukan penguraian dan pengertian yang berlaku. Selain nada dan fiturprosodis, kata tertentu, seperti itu atau ini, dapat berperan sebagai alat bantu yang bermanfaat,karena kedua kata ini dapat berfungsi sebagai penutup dan batas sebuah rangkaian kata.

22) Paitua itu yang tangka.old.man that REL catchBapak itu yang menangkapnya.

Pada contoh (22) ini, keberadaan yang menandai unsur yang mendahului yang, yaitu paitua itu‘bapak itu’, merupakan pokok, sedangkan tangka ‘tangkap’ merupakan pewatas rangkaian katabersangkutan. Oleh sebab kata itu sering berfungsi sebagai perbatasan antara dua kelompokkata yang menempati posisi paling akhir, paitua itu ‘bapak itu’ dapat diuraikan sebagai subjekyang mengacu pada aktor dan pelaku, sedangkan yang tangka ‘yang menangkap(nya)’ berperansebagai predikat dan mengacu pada kegiatan.

Contoh-contoh di atas ini menunjukkan kedua kata tugas pe dan yang salingmelengkapi: pe menandai unsur yang mendahuluinya merupakan pewatas, sedangkankeberadaan yang menandai unsur yang mendahuluinya sebagai pokok atau subjek. Unsur yangmengikuti pe merupakan pokok, sedangkan yang mengikuti yang mengacu kepada pewatas ataupredikat. Keberadaan unsur seperti pe dan yang ini sangat membantu dalam proses penguraianrangkaian kata serta penentuan pengertian. Kerap kali rangkaian mengandung pe mengarah padamakna kepemilikan, sehingga keberadaannya langsung mengingatkan pada makna tersebut.Namun, jika ada tambahan nada seru, kata seru, atau fitur lain yang mengungkapkan seruan,maknanya berubah dan pemahamannya diarahkan pada penilaian atau peninjauan. Keberadaankata tugas seperti pe dan yang, keseringan penggunaan makna tertentu, dan nada ujaran khusus,merupakan pertanda yang dapat melancarkan dan memudahkan proses penentuan struktur danmakna rangkaian kata. Pada bagian berikut ini, urutan kata dibahas dan digambarkan terjadinyaperubahan makna jika urutan kata diubah. Gejala ini menunjukkan pentingnya urutan kata padamakna.

URUTAN KATA

Urutan kata dapat berfungsi sebagai sebuah alat bantu untuk memperoleh makna rangkaian kata,karena perubahan urutan mengakibatkan perubahan makna. Gejala ini digambarkan melalui kataada, kata bilangan, dan kata tara, yang mampu mengutarakan makna yang berbeda-beda, tanpaperubahan bentuk kata dan sesuai dengan letaknya pada rangkaian kata. Konteks linguistik dansituasi nonlinguistik menentukan makna dan pengertian yang paling cocok dan tepat.

Dua contoh berikut ini dikutip dari sebuah cerita mengenai dua orang anak yangmencuri mangga. Waktu sedang sibuk memetik buah mangga di pohonnya, tiba-tiba keluar anakpemilik rumah dan berdiri di bawah pohon, sambil menyuruh kedua pencuri itu turun. Mereka

Page 93: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

193

sangat beruntung bisa melarikan diri tanpa ditangkap orang itu, tetapi mangga curiannyatertinggal di pohon. Setelah itu ada teman yang berhasil mengambilnya dengan alasanmengambil kaosnya yang tertinggal di pohon.

23) “Ah, Anwar, [ada]P [orang]S [di bawa]LOC.”EXCL Anwar be.present person in bottom“Ah, Anwar, ada seseorang di bawah.”

Contoh (23) mengutip salah seorang pencuri yang memberitahukan temannya keberadaanseseorang di bawah pohon. Ungkapan ini menjelaskan perubahan pada kenyataan (dari tidak adaorang menjadi ada orang di bawah pohon), dan informasi yang disampaikan temannyamerupakan informasi baru, yang diantarkan ke dalam wacana melalui kata ada. Pada situasiseperti ini, kata ada memperoleh pemahaman eksistensial, ‘ada seseorang’. Perhatikan, subjekorang mengikuti predikatnya ada.

24) [Hamja]S [masi ada]P [di bawa pohong]LOC.Hamja still be.present in bottom treeHamja masih berada di bawah pohon.

Pada contoh (24) ada tetap merupakan predikat, namun Hamja, yang berfungsi sebagai subjek,mendahului predikat tersebut. Urutan kata seperti ini memperoleh pemahaman yang berbedadari apa yang disampaikan pada contoh sebelumnya. Contoh (24) ini mengacu padakeberlanjutan peristiwa atau kegiatan, yang diungkapkan dengan masi ‘masih’. Kata masi iniseringkali menandakan suatu peristiwa atau kegiatan yang mulai pada waktu yang sudahlampau, misalnya, sebelum tuturan bersangkutan diungkapkan, dan berlanjut sampai pada saatkini, misalnya pada saat tuturan. Pada konteks di mana masi diikuti ada, dan subjek mendahuluipredikat, ada mengungkapkan ‘kehadiran’ atau ‘keberadaan’ dan memperoleh makna ‘berada(pada suatu tempat)’.

Perbedaan antara contoh (23), yang mempunyai urutan predikat-subjek, dengan contoh(24), yang urutannya subjek-predikat, menghasilkan perbedaan makna. Hal ini menunjukkanperan urutan kata dalam menentukan makna, sehingga pantas diperhatikan sebagai alat bantupenguraian dan penentuan pengertian rangkaian kata yang paling cocok dan tepat.

Hal ini dapat digambarkan dengan urutan kata benda dan kata bilangan pada sebuahrangkaian kata. Kata bilangan yang digabung dengan kata benda dapat mendahului ataumengikuti kata benda tersebut. Struktur rangkaian ini menentukan hubungan antara kedua unsurdan cara pemahamannya. Kata bilangan yang mendahului kata benda merupakan pewatasnya,sehingga memperoleh pemahaman atributif, sedangkan jika kata bilangan mengikuti kata benda,perannya sebagai predikat dan pemahaman predikatif berlaku.

Contoh (25) dikutip dari percakapan mengenai pupeda, sejenis bubur yang dibuat dariterigu sagu atau singkong/ubi dan yang merupakan makanan pokok orang Maluku. Berapabanyak pupeda bisa dimakan setiap orang menjadi pokok pembicaraannya.

25) Lima balei, bukang lima bokor.five turn.around NEG five bowlLima sajikan, bukan lima mangkuk.

Penutur tuturan ini menjawab dia bisa makan “lima”, dan pada tuturan berikutnya diamenjelaskan takaran yang dimaksudkannya, yaitu, lima bale ‘lima sajikan’, bukan lima bokor‘lima mangkuk’. Lima mendahului bale ‘sajikan’ dan dapat peran sebagai pewatas yangmengungkapkan jumlahnya. Dari konteks dan keadaan ini dapat dimengerti lima mempunyaimakna distributif: satu orang mampu makan lima sajikan.

Page 94: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Betty Litamahuputty

194

26) Kita su karja su ampa hari.1SG COMP work COMP four daySaya sudah bekerja selama empat hari.

Pada contoh (26) penutur menceritakan pekerjaannya dan jumlah hari kerja yang sudahdilewatinya. Rangkaian kata ampa hari terdiri dari bilangan ampa ‘empat’ yang mendahuluikata hari ‘hari’, sehingga ditentukan sebagai pewatas; ampa hari memperoleh makna distributif‘(selama) empat hari’.

Jika urutan kata benda dan kata bilangan ini diubah, struktur dan maknanya pun ikutberubah.

27) Oto dua de jual samua, ngana!car two 3SG sell all 2SGDia menjual kedua mobilnya!

Pada contoh (27) kata bilangan mengikuti kata benda, oto ‘mobil’, menghasilkan rangkaian kataoto dua yang mendapatkan penguraian predikatif ‘oto (jumlahnya) dua’. Pada konteks dankeadaan ini, makna ‘kolektif, mengumpul’ berlaku, menghasilkan makna ‘kedua mobil’.

Kata satu mempunyai kedudukan tersendiri. Jika satu mengikuti kata benda, makna taktentu berlaku.

28) “Cek, tarada, ini antar tamang satu.”EXCL NEG this deliver friend one“Ah, tidak, hanya mengantar seorang teman.”

Makna ini berlaku pada contoh (28) di atas ini, di mana satu mengikuti tamang ‘teman’ danmenghasilkan rangkaian kata tamang satu yang sering mendapatkan makna ‘seorang teman’,dengan pengertian taktentu. Jika satu mendahului pokoknya, kata ini mencerminkan makna“distributif” dan tertentu, seperti dicontohkan di bawah ini.

29) Satu orang dua ika, pegang.one person two bind hold(Setiap) satu orang dua ikat, pegang.

Contoh (29) diambil dari cerita mengenai anak-anak yang mencuri mangga dengan caramelempar kayu bakar ke pohon mangga. Setiap orang diberikan dua ikat kayu bakar. Padacontoh di bawah ini, satu orang mengacu pada ‘satu orang (tertentu)’ atau ‘setiap orang’. Dalamkonteks dan keadaan contoh tersebut, dua ika ‘dua ikat’ memperoleh makna distributif, yaitu,setiap orang memegang dua ikat kayu bakar.

Rangkaian kata yang mengandung kata bilangan di atas ini mencerminkan pentingnyaurutan dan letak kata bagi pemahaman dan makna. Pada bagian berikut ini, kata tara dibahas.Kata ini sering mengungkapkan makna negatif, jika merupakan sebagian dari predikat di manatara menjelaskan unsur utamanya. Kata tara dapat diletakkan pada ujung belakang tuturanuntuk berperan sebagai butir pertanyaan yang biasanya digunakan untuk memancing reaksirekan bicara, mengikat perhatian rekan bicara, atau untuk memastikan semua rekan bicaramemiliki informasi yang sama. Pada posisi ini tara mendapatkan pelafalan khusus dantuturannya diucapkan dengan nada bertanya. Kedua ciri ini memperkuat pemahaman khusustara, yaitu sebagai butir pertanyaan.

Pada contoh di bawah ini, tara berperan sebagai operator predikat dengan maknaketiadaan.

Page 95: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

195

30) Kita bilang, “Ngana tara tidor?”.1SG say 2SG NEG sleepSaya berkata, “Kamu tidak tidur?”.

Pada contoh (30), tara mendahului tidor yang merupakan unsur utama pada predikat. Taramenunjukkan makna ‘tidak’, sehingga tara tidor berarti ‘tidak tidur’. Jika tara diikuti kata yangmengacu pada sebuah benda atau kepada seorang manusia, makna ‘tidak ada’ atau ‘tidakmempunyai’ berlaku.

31) Cek, kita tara cewe.EXCL 1SG NEG girlWeh, saya tidak ada pacar.

Pada contoh (31), cewe mengacu pada seorang pacar perempuan dan berfungsi sebagai predikat.Kata ini didahului tara dan menghasilkan tara cewe yang memperoleh makna ‘tidakmempunyai pacar perempuan’.

Jika tara terdapat pada akhir tuturan, tara berperan sebagai butir pertanyaan, sepertipada contoh berikut ini.

32) Ih, kita su bilang, tara?EXCL 1SG COMP say NEGAh, saya sudah bilang, bukan?

33) Fondasi, tara?foundation NEG(Itu menjadi) fondasi, bukan?

Pada posisi ini, tara mendapatkan ucapan dengan nada bertanya, yang pada contoh (32) dan(33) di atas ini ditandai dengan tanda tanya. Kadangkala antara tara dan tuturan sebelumnyaterdapat fitur prosodis lain, seperti jeda, sehingga tara dapat diurai sebagai kesatuan tersendiridengan tugas tersendiri. Tara pada akhir tuturan dengan tambahan fitur prosodis seperti iniharus ditafsirkan dan dimaknakan sebagai butir pertanyaan yang berperan sebagai pemancingjawaban atau balasan, ‘bukan?’.

Contoh di atas ini mencerminkan pentingnya letak kata serta urutan kata pada maknadan pemahaman rangkaian kata dan unsurnya masing-masing.

SIMPULAN

Tulisan ini membahas salah satu ciri khas kata bahasa Melayu Ternate, yaitu kemampuanmemenuhi pelbagai peran sintaktis dengan makna yang berbeda-beda tanpa menunjukkanperubahan pada bentuk kata. Kalaupun bentuk kata berubah disebabkan proses morfologisseperti pengulangan dan penggabungan dengan unsur terikat, hasil proses tersebut tetap bersifatfleksibel. Tulisan ini menggambarkan bahwa proses morfologis semata-mata merupakanpenambahan makna pada kata dasar, bukan untuk menandai peran gramatikal. Keadaaan sepertiini memicu pendekatan di mana kata dan rangkaian kata memperoleh maknanya karena beradadalam konteks linguistik dan keadaan nonlinguistik tertentu. Konteks linguistik menandakanbagaimana rangkaian kata dapat diuraikan, misalnya dengan keberadaan kata tugas tertentu,seperti pe dan yang; kedua kata tugas ini menandai bagian mana merupakan pokok dan yangmana berfungsi sebagai pewatas. Letak kata dan urutan kata juga dibahas di sini danmenunjukkan perubahan makna apabila letak kata atau urutan kata diubah. Pada sebuah bahasayang bentuk kata tidak mencerminkan fungsi sintaktis, kata tugas, urutan kata, keseringanberlakunya fungsi dan makna tertentu, intonasi dan ciri prosodis lain, serta keadaannonlinguistik seperti kebiasaan dan penilaian masyarakat penutur bahasa, dapat membantumenentukan pemahaman dan makna yang paling tepat dan melancarkan proses tersebut.

Page 96: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Betty Litamahuputty

196

CATATAN* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Aone van Engelenhoven yang telahmemberikan masukan pada versi sebelumnya. Kelalaian pada tulisan ini adalah tanggung jawab penulis.1 Istilah "pulau Ternate" dan "kota Ternate" yang digunakan di sini mengacu pada sebuah daerahgeografis, yang tidak sesuai dengan istilah administratif. “Pulau Ternate” mengacu pada seluruh daerahgeografis pulau Ternate, sedangkan "kota Ternate" mengacu pada daerah perkotaan di pulau Ternate.2 Glos pada contoh disampaikan dalam bahasa Inggris. Singkatan yang digunakan adalah: 1: orangpertama; 2: orang kedua; 3: orang ketiga; A: sifat; ADV: keterangan; COMP: completive, ketuntasan;CONJ: penyambung; DUR: duratif; EXCL: seruan; FUT: futur, yang akan datang; HAB: kebiasaan; INV:ketidaksengajaan; LOC: tempat; N: benda; NEG: negatif, peniadaan; P: predikat; PL: jamak; POSS:posesif, kepemilikan; PROG: progresif, keberlangsungan; QT: unsur konstruksi pertanyaan; REC:bersilangan; REFL: refleksif, pada diri sendiri; REL: relatif, nisbi; S: subjek; SG:tunggal; V: kegiatan.3 Kata bale sering muncul dengan makna ‘balik, putar’. Mungkin dalam konteks ini ada kaitannya dengancara menyajikan pupeda yang diputar-putar pada gata-gata, satu atau dua garpu bercabang dua yangterbuat dari kayu atau bambu.

DAFTAR PUSTAKA

Adelaar, Karl Alexander dan David J. Prentice with contributions from C.D. Grijns, H.Steinhauer and A. van Engelenhoven. 1996. “Malay: Its history, role and spread.”Dalam: A. Wurm, P. Mühlhäusler, dan D.T. Tryon (Eds.). Atlas of languages ofintercultural communication in the Pacific, Asia, and the Americas, Volume II.1 Texts,673-693. Berlin: Mouton de Gruyter.

Bappeda Kota Ternate. 2014. Monografi Kota Ternate 2014. Ternate: Bappeda Kota Ternate.

Bausani, Alessandro. 1960. “The first Italian-Malay vocabulary by Antonio Pigafetta.” East andWest. 11:229-248.

Blagden, Charles Otto. 1930. “Two Malay letters from Ternate in the Moluccas, written in 1521and 1522”. Bulletin of the School of Oriental Studies 6-(1), 87-101.

Blagden, Charles Otto. 1931. “Corrigenda to Malay and other words collected by Pigafetta.”Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland 63, 57-861.

Bowden, John F. 2005. ‘Language contact and metatypic restructuring in the directional systemof North Maluku Malay’, Concentric: Studies in Linguistics 31-2:133-158.

BPS Kota Ternate [n.d.]. Kota Ternate Dalam Angka 2013. Ternate: BPS Kota Ternate [KatalogBPS: 1102001.8271].

Collins, James T. dan Hans Schmidt. 1992. “Bahasa Melayu di pulau Ternate: Maklumat tahun1599.” Jurnal Dewan Bahasa 36, 292-327.

Commelin, Isaac. 1646 [1969]. Begin ende voortgangh, van de Vereenighde NederlantscheGeoctroyeerde Oost-Indische Compagnie: vervatende de voornaemste reysen, bij deinwoonderen der selver provincien derwaerts gedaen. 4 vols. [Amsterdam]: [FacsimileUitgaven Nederland].

Crab, P. van der. 1878. “Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en Maleischen tekstbeschreven door den Ternataan Naidah, met vertaling en aanteekeningen.” Bijdragen totde Taal-, Land- en Volkenkunde 4, 381-493.

Page 97: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

197

Fraassen, Chr. F. Van. 1987. Ternate, de Molukken en de Indonesische archipel. Van soa-organisatie en vierdeling: een studie van traditionele samenleving en cultuur inIndonesië. 2 vols. [PhD thesis Universiteit Leiden.]

Gil, David. 1994. “The structure of Riau Indonesian.” Nordic Journal of Linguistics 17, 179-200.

Gil, David, 2013. “Riau Indonesian: a language without nouns and verbs.” Dalam: J. Rijkhoffand E. van Lier (Eds.). Flexible Word Classes: Typological studies of underspecifiedparts of speech, 89-130. Oxford: Oxford University Press.

Gonda, Jan. 1938. “Pigafetta’s vocabularium van het “Molukken-Maleisch”.” Bijdragen tot deTaal-, Land- en Volkenkunde 97:101-124.

Gonda, Jan. 1949. “Prolegomena tot een theorie der woordsoorten in Indonesische talen.”Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 105, 275-331.

Kern, W. 1938. “Waar verzamelde Pigafetta zijn Maleise woorden?” Tijdschrift voor IndischeTaal-, Land- en Volkenkunde 78, 271-273.

Keuning, J. 1942. De tweede schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder JacobCornelisz. van Neck en Wybrant Warwijck, 1598-1600: Journalen, documenten enandere bescheiden, deel III: Het tweede boeck, journael oft daghregister. ’s-Gravenhage: Nijhoff. [Werken uitgegeven door de Linschoten-vereeniging 46].

Le Roux, Charles Constant François Marie. 1929. Feestbundel uitgegeven door het KoninklijkBataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen bij gelegenheid van zijn 150jarig bestaan 1778-1928. De Elcano’s tocht door den Timorarchipel met Magalhães’schip “Victoria”. Weltevreden: Kolff.

Litamahuputty, Betty. 2012. Ternate Malay: Grammar and Texts. Utrecht: LOT Publications[Dissertation Series 306].

Robertson, James Alexander. 1906. Magellan’s voyage around the world by Antonio Pigafetta:The original text of the Ambrosian MS., with English translation, notes, bibliography,and index. 3 vols. Cleveland, Ohio: Arthur H. Clark.

Steinhauer, Hein. 1986. “On distinguishing adjectives and intransitive verbs in Indonesian.”Dalam: C.S.M Hellwig dan S.O. Robson (Eds.). A man of Indonesian letters: Essays inhonour of Professor A. Teeuw, 316-323. Dordrecht: Foris.

Taylor, Paul Michael. 1983. “North Moluccan Malay: Notes on a ‘substandard’ dialect ofIndonesian.” Dalam: J.T. Collins (Ed.). Studies in Malay dialects (part II), 14-27.Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. [NUSA 17.]

Teeuw, Andries. 1962. “Some problems in the study of word-classes in bahasa Indonesia.”Lingua 11, 409-421.

Voorhoeve, Clemens Lambertus. 1983. “Some observations on North-Moluccan Malay.”Dalam: J.T. Collins (Ed.). Studies in Malay dialects (part II), 1-13. Jakarta: UniversitasKatolik Indonesia Atma Jaya. [NUSA 17.]

Page 98: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Agustus 2014, 199-200 Volume ke-32, No. 2Copyright©2014, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

Resensi Buku

Judul : Modern Syntax: A CoursebookISBN : 978-0-521-68204-6 PaperbackPenulis : Andrew CarniePenerbit : Cambridge University PressTebal : 358 halaman

Yassir NasaniusUniversitas Katolik Indonesia Atma Jaya

[email protected]

Buku teks ini agak berbeda dengan buku-buku teks sintaksis serupa yang beredar di pasaran.Perbedaan tersebut terletak pada dua ciri yang melekat pada buku teks ini. Ciri pembedapertama terletak pada ancangan teoretis yang dipakai oleh penulis buku ini. Penulismenggunakan tiga ancangan teoretis untuk keperluan analisis sintaksis, yaitu (i) ChomskyanMinimalism (teori sintaksis termutahir yang dikembangkan Chomsky dan pengikutnya), (ii)Head-Driven Phrase Structure Grammar (teori sintaksis yang dikembangkan Ivan Sag danThomas Wasow dan pengikutnya), dan (iii) Lexical-Functional Grammar (teori sintaksis yangdikembangkan Joan Bresnan dan pengikutnya).

Pemilihan ketiga macam teori sintaksis ini tidaklah mengherankan karena ketiganyamemang tergolong sebagai varian dari tata bahasa generatif. Misalnya, untuk analisis konstituensintaksis dalam buku ini, penulis mengambil konsep-konsep dari Minimalism. Dari Head-Driven Phrase Structure Grammar penulis mengadopsi sistem notasi dan sistem subkategorisasisintaksis, dan dari Lexical-Functional Grammar penulis meminjam analisis perpindahan induk(head) dari frasa dan analisis ketergantungan jarak jauh (long-distance dependencies).

Ciri pembeda kedua adalah buku ini mencoba mengajarkan konsep-konsep sintaksismelalui proses penemuan (discovery) daripada melalui proses pemaparan belaka. Untukmenerapkan metode ini, setiap selesai membaca bagian-bagian buku ini, pembaca diajak untukmencoba menjawab tiga macam pertanyaan, yaitu (i) notebook questions (pertanyaan-pertanyaan yang ditandai dengan simbol buku dan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaanini dapat ditemui pada setiap akhir bab), (ii) answer-on-the-page questions (pertanyaan-pertanyaan yang ditandai dengan simbol pensil dan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini juga dapat ditemui pada setiap akhir bab), (ii) challenge questions (pertanyaan-pertanyaan yang dirancang agar pembaca dapat mengevaluasi secara kritis teori-teori yangdibahas dalam setiap bab dan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini harus ditemukansendiri oleh pembaca).

Buku ini terdiri atas lima bab yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam 26 unit. Sebanyakempat bab dialokasikan untuk penjabaran konsep-konsep sintaksis dan satu bab untuk simpulan.Di dalam Bab 1, yang bertajuk Some basic ideas in syntax, pembaca diajak untuk memahamidefinisi sintaksis dan hal-hal yang menjadi ciri-diri dari sintaksis modern. Di dalam bab ini,pembaca juga diajak untuk memahami dua macam data sintaksis, yaitu data yang diambil darikorpus dan data yang didapatkan dari tugas untuk memberikan penilaian terhadapkegramatikalan kalimat (judgment tasks). Pada bagian akhir bab ini, pembaca diajak untukmemahami berbagai kaidah sintaksis yang ditelurkan oleh para pakar sintaksis.

Konsep-konsep kategori dan subkategori dipaparkan dalam Bab 2 yang dituangkandalam tujuh unit. Di dalam bab ini, pembaca diajak untuk memahami konsep-konsep kategori(parts of speech, lexical categories,functional categories), konsep-konsep subkategori untukpronomina, nomina, ketransitifan (transitivity), dan kata bantu (auxiliary). Di samping itu,pembaca diajak pula untuk menggali konsep-konsep tense, aspect, voice, dan mood.

Page 99: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Resensi Buku

200

Bab 3 bertajuk Constituents, merge and trees. Di dalam bab ini, pembaca diajak untukmemahami konsep-konsep yang berkaitan dengan konstituen (misalnya definisi konstituen, tipe-tipe konstituen seperti complement, specifier, adjunct), konsep-konsep yang berkaitan denganpenggabungan (merge) seperti C-Merge yang berkaitan dengan complement dan merge yangberkaitan dengan adjunct. Pada akhir bab ini, pembaca diajak untuk mengenal metode-metodeyang digunakan dalam menggambar pohon sintaksis dan berlatih menggambar pohon sintaksis.

Konsep-konsep perpindahan (movement) dan kontrol (control) merupakan bahan ajardalam bab 4. Untuk memahami sejumlah konsep perpindahan, pembaca diajak untuk menelaahteori perpindahan dalam kalimat pasif dan kalimat tanya. Di samping itu, pembaca diajak pulauntuk memahami dua macam perpindahan dari induk ke induk yang terjadi pada auxiliary danverb. Untuk memahami konsep kontrol, pembaca diajak untuk memahami perbedaan yangterjadi dalam dua macam konstruksi, yaitu konstruksi kontrol (control construction) dankonstruksi penaikan (raising construction).

Buku teks ini baik sekali bila digunakan sebagai buku pegangan dalam kelas sintaksis,terutama kelas sintaksis yang ingin mengajarkan tata bahasa generatif yang dikembangkan olehChomsky dan pengikutnya. Dari segi metodologi, buku ini sangat cocok dalam melatih parasiswa belajar dengan kritis dan aktif karena buku teks ini menekankan proses penemuan(discovery) dalam mempelajari konsep-konsep sintaksis dan dalam menganalisis data sintaksis.

DAFTAR PUSTAKA

Bresnan, Joan. 2001. Lexical-Functional Syntax.Oxford: Blackwell.

Carnie, Andrew. 2006. Syntax: A Generative Introduction. Oxford: Wiley-Blackwell.

Sag, Ivan dan Thomas Wasow. 1999. Syntactic Theory: A Formal Introduction. Stanford: CSLIPublications.

Page 100: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Agustus 2014, 201-203 Volume ke-32, No. 2Copyright©2014, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

JELAJAH LINGUISTIKRubrik ini membuka peluang untuk saling berbagi di antara kita tentang beberapa kemungkinan topik ini:a. pencanangan metode penelitian linguistik yang belum lazim digunakanb. daur-ulang metodologi penelitian linguistikc. persoalan data yang – meskipun barangkali belum ditemukan pemecahannya – penelusurannya

berpeluang membuka sesuatu yang baru yang belum pernah menjadi perhatian peneliti terdahulud. penerapan teori linguistik tertentu untuk menjelaskan data bahasa seperti bahasa Indonesia yang

membuat peneliti mempersoalkan teori yang bersangkutan

MENGANCANG GEJALA BAHASA UNTUK DATA PENELITIAN:MELIHAT KEMBALI KASUS KONSTRUKSI NOMINA + banget

DALAM BAHASA INDONESIA

Ridwan HanafiahUniversitas Sumatera [email protected]

Bahren Umar Siregar1

Universitas Katolik Indonesia [email protected]

Pada umumnya peneliti maupun pemerhati bahasa memiliki dua sikap atau pandangan ketikasedang mengamati suatu gejala bahasa, yaitu preskriptif dan deskriptif. Pandangan preskriptifmelihat gejala bahasa secara normatif dengan mengacu pada kaidah tata Bahasa, sementarapendekatan deskriptif menganggap bahasa bersifat dinamis dan dapat menyesuaikan bentuknyasehingga gejala bahasa seperti apapun dianggap diatur oleh suatu kaidah (rule-governed).Dengan demikian dari sisi pandangan deskriptif, gejala bahasa tidak ada yang bersifat acaktetapi sistematik sehingga penelitian deskriptif utamanya bertujuan untuk mengungkapkanbagaimana suatu gejala bahasa terjadi atau terbentuk dan kaidah seperti apa yang mengaturbentuk tersebut. Sementara itu, pandangan preskriptif cenderung menilai keselarasan gejalabahasa yang ada dengan kaidah tata bahasa sehingga gejala bahasa yang tidak selaras dengankaidah tata bahasa dianggap sebagai bentuk yang ‘salah’ atau ‘rancu’.

Dalam perjalanan penggunaannya di tengah-tengah masyarakat, gejala bahasa yangdianggap salah atau rancu ini kemudian digunakan secara luas pada berbagai kesempatansehingga menjadi bentuk yang ‘salah-kaprah’, yaitu bentuk yang awal kehadirannya dalampenggunaan bahasa dianggap suatu kesalahan tetapi kemudian menjadi bentuk yang lazim.Misalnya, konstruksi nomina + banget merupakan gejala bahasa yang termasuk ke dalamkategori salah-kaprah ini, bentuk yang secara normatif melanggar kaidah tata bahasa Indonesiatetapi menjadi lazim dalam penggunaannya, paling tidak dalam laras bahasa tidak resmi.

Pakar yang pertama sekali mencoba mengkaji kasus ini dari ‘kaca mata’ perskriptifadalah Prof. Soenjono Dardjowidjojo (Dardjowidjojo 2009). Beliau mengambil contohkonstruksi nomina + banget seperti kopi banget, cowok banget, sabun banget, dan eskrimbanget dan secara perskriptif mengatakan bahwa konstruksi ini “tidak rule-governed”. Diamenambahkan, “Sebagai adverbia, kata ini terkendala oleh aturan yang mewajibkannya menjadiketerangan pada adjektiva. Sesuai dengan parameter bahasa Indonesia, kita peroleh frasa kecilbanget, tinggi banget, mahal banget, dsb.”

Berikut ini, mari kita perhatikan dengan saksama kutipan di bawah ini dari blog bahasaKompasiana, yang berkaitan dengan konstruksi nomina + banget. Yang menjadi pokok bahasanpada paragraf ini adalah konstruksi sesuatu + banget. Dari cara pemaparan terhadap pokokbahasan dapat disimpulkan bahwa penulis cenderung menggunakan pendekatan preskriptif.

Page 101: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Jelajah Linguistik

202

Sesuatu banget, jargon yang menjadi ciri khas Syahrini ini begitu populer setahunbelakangan ini. Namun, tahukah Anda, bahwa jargon ini bisa membuat Syahrinidikatakan sebagai pendobrak tatanan baku laksana Sutardji Calzoum Bachri di eratahun 1970-an dulu? (Maaf, ini hanya sekadar penilaian iseng-iseng saja, yangmerasa sastrawan mohon tak meradang).Bagaimana tidak? Syahrini telah mendobrak sebuah aturan yang menyatakanbahwa kata banget yang merupakan bentuk tak baku dari sangat ini hanyamenerangkan kata sifat. Kata berjenis kata sifat memang diterangkan dengan kataketerangan (dalam hal ini sangat), misalnya sangat cantik, sangat merah, sangattinggi, dll. Sedangkan sesuatu termasuk pronomina yang berarti kata untukmenunjukkan suatu hal atau barang yang tak tentu. Barang tentulah tak bisadisangatkan karena bukan merupakan kata sifat. Jadi, kalau Syahrini beranimenerangkan kata sesuatu (pronomina) dengan banget (kata keterangan), sudahpastilah ia termasuk orang-orang pembaharu semacam Sutardji dalam puisi Batu-nya. (Cetak tebal sesuai dengan aslinya)2

Lalu, bagaimana pemerian kasus konstruksi nomina + banget ini apabila dikaji darisudut pandang deskriptif? Sebagai langkah awal, kita perlu menyimak apa yang dikatakan olehSiregar (2011, hlm. 135) seperti di bawah ini:

... ujaran atau kalimat yang diucapkan oleh penutur yang normal tidaklah terjadisecara acak begitu saja melainkan terpola oleh kaidah bahasa. Selama itumenyangkut penggunaan bahasa oleh penutur bahasa yang normal, tidak adakerancuan bahasa atau salah penalaran dalam bahasa karena apa yangditunjukkan oleh kedua gejala bahasa ini adalah kehadiran sistem baru dalamvariasi penggunaan bahasa.

Siregar (2011, hlm. 12) juga mengatakan bahwa “bukti empiris yang diperoleh darimasyarakat bahasa tertentu ... menunjukkan bentuk-bentuk yang dianggap kerancuan bahasa(bahasa rancu) ternyata memiliki pola keteraturan.” Dalam hubungannya dengan penggunaanbahasa yang baku, (Siregar 2011, hlm. 128) melanjutkan bahwa “bentuk-bentuk ‘rancu’ ...sebenarnya adalah salah satu bentuk ragam bahasa yang digunakan di tengah-tengah masyarakatpenutur bahasa Indonesia, yang sama makulnya dengan bentuk-bentuk baku lainnya.”

Dari sejumlah data empiris penggunaan konstruksi frasa dengan bentuk banget dapatdiperikan bahwa kata ini dapat berfungsi untuk menerangkan atau membatasi dua kategorileksikal, yaitu adjektiva (adjektiva + banget) seperti kecil banget, tinggi banget, atau mahalbanget, dan (pro)nomina (nomina + banget) seperti sesuatu banget, kopi banget, cowok banget,atau sabun banget. Kata banget membatasi masing-masing makna adjektiva dan nomina dalamkonstituen frasa adjektiva (FA) dan nomina (FN). Konstruksi yang terakhir ini merupakanperkembangan mutakhir gejala bahasa yang ditemukan dalam penggunaan bahasa Indonesiatidak resmi atau bahasa sehari-hari. Pemerian deskriptif seperti ini dihasilkan melalui analisisdata empiris yang apa adanya. Berbeda dengan pendekatan perskriptif yang berangkat darikaidah formal tata bahasa Indonesia, pendekatan deskriptif berbasis data dan keteraturan yangdapat diamati pada data tersebut.

Menilik makna kata banget dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI 2008, hlm. 43),makna kata ini mencakup ‘amat sangat, amat, begitu, benar-benar, betul, betul-betul, kelewat,luar biasa, nian, sangat, sekali, sungguh, terlalu, terlampau’. Dari senarai makna ini dapatdikelompokkan dua gugus makna yang sesuai dengan fungsi kata banget dalam kedua strukturfrasa FA dan FN. Yang pertama, gugus makna ‘amat sangat, amat, begitu, betul, kelewat, luarbiasa, nian, sangat, sekali, sungguh, terlalu, terlampau’, yang bergayut dengan makna konstruksifrasa FA. Yang kedua, gugus makna ‘benar-benar, betul-betul, luar biasa’, yang berpaut denganmakna konstruksi frasa FN. Dengan demikian makna frasa sesuatu banget, kopi banget, cowok

Page 102: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 1, Februari 2014

203

banget, atau sabun banget adalah ‘benar-benar (betul-betul) sesuatu’, ‘benar-benar (betul-betul)kopi, ‘benar-benar (betul-betul) cowok, atau ‘benar-benar (betul-betul) sabun’ atau ‘sesuatuyang luar biasa’, ‘kopi yang luar biasa’, ‘cowok yang luar biasa’, atau ‘sabun yang luar biasa’,yang tentu saja secara deskriptif tidak dapat dikaitkan dengan makna superlatif.

Gejala bahasa yang terjadi pada kata banget dalam penggunaan bahasa Indonesiasehari-hari kemungkinan merupakan gejala pembentukan polisemi baru, yang diikuti denganperluasan kategoris dari adverbia menjadi adverbia dan adjektiva. Perbedaan kategori iniditentukan oleh unsur leksikal yang menjadi inti frasa yang menggunakan banget, apakah intiadjektiva atau nomina. Namun, untuk mendukung pendapat ini memang diperlukan data yanglebih lengkap lagi.

Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa gejala bahasa yang sama boleh jadi dinilaisecara berbeda berdasarkan pendekatan yang digunakan untuk mengancang gejala bahasa itumenjadi data penelitian. Ancangan deskriptif dan preskriptif merupakan dua di antara beberapaancangan penelitian linguistik yang dapat digunakan untuk kepentingan yang berbeda.

CATATAN1 Komunikasi email tentang isi tulisan ini dapat ditujukan pada penulis kedua Bahren Umar Siregar.2 http://bahasa.kompasiana.com/2012/09/11/salah-tetapi-kaprah-492263.html

REFERENSI

Dardjowidjojo, Soenjono. 2009. Bahasa dan pola berfikir bangsa kita. Makalah dibacakan padaKongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI), Malang 5-7November 2009.

Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus bahasa Indonesia.Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Siregar, Bahren Umar. 2011. Seluk beluk fungsi bahasa. Jakarta: PKBB Unika Atma Jaya.

Page 103: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Agustus 2014, 205-207 Copyright©2014, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

INDEKS PENULIS

Arsyad, Wardhana 153

Bowden 63

Cohn, Ravindranath 131

Hidajat 11

Heydon 1 Litamahuputty 181

Rini 77

Sariah 47

Simanjuntak 33

Siregar 167

van den Berg 103

Page 104: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Indeks

206

INDEKS SUBYEK

A Distributed Morphology Analysis of Indonesian ke-/-An Verbs 11

ke-/-an circumfix 11, 15

verbalizing head 11, 22, 29

Akronim yang Berfonotaktik Tidak Lazim dalam Bahasa Indonesia 47

akronim 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61 fonotaktik 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60

suku kata 47, 48, 50, 52, 53, 54, 56, 57, 58, 59, 60, 61

Forensic Linguistics: Forms and Processes 1

forensic linguistics 1, 2, 7, 8, 9, 10

police investigations 1

credibility assessment 1

Introduction in Indonesian Social Sciences and Humanities Research Articles:

How Indonesian Writers Justify Their Research Projects 153 introduction 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 164, 165

research article 153, 154

rhetorical style 153, 155, 156, 157, 158, 165

Juara Satu dan Dua: Membandingkan Situasi Kebahasaan Indonesia dan Papua Nugini 103

Papua Nugini 103, 104, 105, 106, 107, 108, 111, 112, 113, 114, 115, 125

bahasa nasional 103, 104, 106, 107, 111

bahasa daerah 103, 104, 105, 106, 107, 110, 112, 113, 114, 115, 119, 124, 125

perkembangan bahasa 103, 111, 124 Tok Pisin 103, 104, 107, 109, 110, 111, 112, 113, 117, 123, 124, 125

Bahasa Muna 103, 104, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125

Bahasa Vitu 103, 104, 115, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124

Kata dan Makna dalam Bahasa Melayu Ternate 181

Ternate Melayu 181

tata bahasa 181, 183, 184, 185

makna 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197

Keajekan Konseptual dalam Metafora Baru 167

keajekan konseptual 167, 168, 169, 171, 175, 176, 177

metafora baru 167, 168, 169,170, 171, 172, 176, 177

metafora konvensional 167, 172, 177

kemapanan 167, 168, 169, 177

Local Languages in Indonesia: Language Maintenance or Language Shift? 131

language shift 132, 133, 136, 137, 138, 140, 143, 144, 145, 147, 148

Indonesian 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148

language policy 132, 133, 135, 136, 144, 146, 147

Measuring Proficiency in Standard Indonesian for Enggano Speakers 33

bilingual proficiency 33, 35, 36, 37, 38, 39

The Role of Culture in the Translation Process through Think-Aloud Protocols 77

culture-bound words 77, 83, 85, 86, 87, 89

translation strategy 77

cultural differences 77

Page 105: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014

207

Verbs of Excretion in Taba 63

argument marking 63

excretion 63, 64, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73

proclitic 63, 65, 67, 69

enclitic 63, 67, 68

middle voice 63, 73, 75

Page 106: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2014.pdfLinguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 105 Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini 1 Wilayah

Terima Kasih

Redaksi Linguistik Indonesia mengucapkan terima kasih kepada para

mitra bebestari yang telah berkenan mereview artikel-artikel yang

diterbitkan dalam Linguistik Indonesia edisi Februari dan Agustus 2014,

yaitu:

1. Katharina Endriati Sukamto Unika Atma Jaya

2. Patrisius Istiarto Djiwandono Universitas Ma Chung

3. A. Effendi Kadarisman Universitas Negeri Malang

4. Yassir Nasanius Unika Atma Jaya

5. Faizah Sari Universitas Surya

6. Yanti Unika Atma Jaya

7. Erni Farida Ginting Max Planck Institute forEvolutionary Anthropology,Jakarta Field Station

Jakarta, Agustus 2014

Redaksi Linguistik Indonesia