220
MENARI DI BUMI LONTARA EDISI PERTAMA (Goresan Pena, Mengisahkan Perjalanan, Kesunyian, dan Keindahan dari Balik Bilik Pondok Pesantren) Rizki Ayu Amaliah

Menari Di Bumi Lontara

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Menari Di Bumi Lontara

MENARI DI BUMI LONTARAEDISI PERTAMA

(Goresan Pena, Mengisahkan Perjalanan, Kesunyian, dan Keindahan dari Balik Bilik

Pondok Pesantren)

Rizki Ayu Amaliah

Page 2: Menari Di Bumi Lontara

Kutipan Pasal 72:Sanksi Pelanggaran Undang-undang Hak Cipta

(UU No. 19 Tahun 2002)

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melaku-kan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, menge-darkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

Page 3: Menari Di Bumi Lontara

MENARI DI BUMI LONTARAEDISI PERTAMA

(Goresan Pena, Mengisahkan Perjalanan, Kesunyian, dan Keindahan dari Balik Bilik

Pondok Pesantren)

Rizki Ayu Amaliah

Page 4: Menari Di Bumi Lontara

Menari di Bumi LontaraRizki Ayu Amaliah Copyright ©2013

xx+ 204 hlm ; 14.5 x 21 cmCetakan 1, April 2013

ISBN:

Penulis: Rizki Ayu AmaliaLay Out: Baihaqi Lathif

Desain Sampul: A. Vathir Zaman

Diterbitkan Oleh: Student and Alumnus Department of Tafsir Hadis Khusus/

Sanad TH Khusus Makassar Sekretariat I: Asrama Ma'had Aly UIN Alauddin Jl. Sultan Alauddin No. 36 Samata Kab. Gowa

Sulawesi Selatan IndonesiaTelp: 0853989439336, 085299516055

Sekretariat II: Asrama Ma'had Aly Kampus IIUniversitas Islam Negeri Makassar Samata

Telp: 081399111779Email: [email protected]

Kerjasama dengan :

Aura PustakaJl. Sidobali UH II No 399 Yogyakarta

Telp: (0274) 580296, 6954040 Email: [email protected]

Dicetak oleh:Ladag Kata

Jl. Tegal Lempuyanga DN 3 No 92 YogyakartaTelp: (0274) 48515771, 085743131220

Email: [email protected]

Page 5: Menari Di Bumi Lontara

� v

DAFTAR ISI

� Daftar Isi C v

� Wawancara Penulis dengan

AG. Drs. KH. Abu Nawas Bintang vii

� Goresan Pena Sang Perindu C xiii

� Namaku Ningrum C 1

� Memori Kota Sutra C 15

� Rembulan Sengkang C 29

� Kubah-kubah Kota Sutra C 39

� Aku Bukan Kiyai C 45

� Di Masjid Tua Aku Mengaji C 59

� The Gotham City C 73

� Kitab Kuning Hadiah Gurutta C 97

Page 6: Menari Di Bumi Lontara

� Terpanah di Kota Santri C 107

� Senjapun Mengaji C 119

� Sepotong Pensil Untuk Ngaji C 123

� Sopo Iki? C 129

� Kelas Laskar Pelangi C 141

� Mengejar Impian C 145

� Peluk Aku Ayah C 155

� Kembali ke Tanah Bugis C 171

� Tahajjud Cinta C 175

� Ustadz Izinkan Aku Jatuh Cinta C 189

� Ucapan Terima Kasih C 193

� Komentar Mereka Tentang C 199

� Rizki Ayu Amaliah C 199

� Biodata Penulis C 203

Page 7: Menari Di Bumi Lontara

� vii

Wawancara Penulis dengan AG. Drs. KH. Abu Nawas Bintang

Hari /Tanggal : Jum’at, 22 Februari 2013

Pukul : 17.15

Tema : Sejarah Lahirnya Pondok

Pesantren As’adiyah.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Penulis: “Mohon maaf sebelumnya Pung karena menyi ta waktunya, saat ini ada beberapa hal yang ingin saya tanya­kan kepada anda mengenai Pondok Pesantren As’adiyah yang didirikan oleh Al­Mukarram Anre Gurutta Muhammad As’ad, Bagaimana awal mula berdirinya Pondok Pesantren As’adiyah ?”

Page 8: Menari Di Bumi Lontara

viii � Menari di Bumi Lontara

AG. Drs. KH. Abu Nawas Bintang: “AG. KH. Muham­mad As’ad yang dikenal dengan Al’Alimu A’lama Haji Mu­hammad As’ad Al­Bugisi diberi gelar dengan sebutan Al­Bugis karena beliau orang bugis. Beliau meninggalkan tanah suci Mekkah awalnya tidak mendapat dukungan dari teman dan kedua orang tuanya tetapi Gurutta tetap bersikeras untuk kembali ke tanah leluhurnya melalui dengan proses perjala­nan ke Malaisia, Kalimantan, dan Sengkang. Setibanya di kota Sengkang, beliau melihat pohon besar di Masjid Jami’ Sengkang yang dijadikan orang­orang tempat penyembahan berhala, kemudian Gurutta mendapat hidayah bahwa tanah leluhurnya itu gelap gulita dan Gurutta berniat untuk tinggal di kota Sengkang.

Selanjutnya beliau mencoba membuka pengajian di masjid dengan system tanya jawab. Makin lama makin bertambah santrinya, kemudian Petta atau orang terpandang di kota Sen­gkang mengadakan pertemuan dengan Anre Gurutta untuk membuka Madrasah. Inilah cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah yang dulunya dikenal dengan nama Madrasah Is­lamiyah al­‘Arabiyah Sengkang atau disingkat dengan sebutan MAI.

Beliau dikenal sebagai ulama Mujaddid yang mana penga­nut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, madzhab Syafi’i tetapi metode pendidikannya sama dengan Wahabi, sedikit haram, sedikit bid’ah, lalu alasan selanjutnya kenapa beliau dianggap Mu­jaddid karena beliau punya pemuda, dulu ada yang dikatakan Pemuda As’adiyah. Kalau pemuda­pemuda ini pergi berda­

Page 9: Menari Di Bumi Lontara

Wawancara Penulis dengan AG. Drs. KH. Abu Nawas Bintang � ix

kwah dan menemukan tempat­tempat menyembah berhala maka mereka menghancurkannya, saking tegasnya Anre Gu­rutta As’ad pohon yang besar itu ditebang dan digali sampai ke akar­akarnya sehingga ia menjadi sumur, air hujan dari Masjid Jami’ semuanya turun kesitu, dan menjadi sumber air. Dulu para santri Gurutta tak ada waktu untuk tidak belajar, setelah magrib belajar, setelah isya juga kembali belajar.”

Penulis: “Apakah sampai sekarang masih diberlakukan Mengaji Tudang?”

AG. Drs. KH. Abu Nawas Bintang: “Dulu Mengaji Tu­dang hanya ada di Masjid Jami’ Sengkang setelah kebakaran kota Sengkang pada tahun 1971. Mengaji Tudang juga diada­kan di masjid Raya Sengkang, kemudian dilanjutkan lagi di Masjid Jami’ Sengkang khusus putri, kemudian di Lapongkoda, tepatnya di kampus 2 As’adiyah. Saat ini ada 3 tempat Mengaji Tudang, yakni di Masjid Lapongkoda yang ditempati Ma‘had ‘Ali Kalimantan dan masyarakat sekitarnya, kemudian Masjid Al­Ikhlas yang ditempati santri As’adiyah putra tingkatan Mts, dan yang ke tiga yakni Asrama As­Shalihah yang ditempati santriwati As’adiyah tingkatan Aliyah, dan ada juga di kam­pus 3 As’adiyah yang di tempati oleh santri As’adiyah Putra tingkatan Aliyah.”

Penulis: “Semenjak Anre Gurutta As’ad menjadi Ulama di kota Sengkang dan membangun Pondok Pesantren, apakah Anre Gurutta pernah kembali ke kota suci Mekkah?”

AG. Drs. KH.Abu Nawas Bintang: “Beliau ke tanah suci Mekkah tak lain hanya untuk menunaikan ibadah Haji.”

Page 10: Menari Di Bumi Lontara

x � Menari di Bumi Lontara

Penulis: “Tahun berapa Anre Gurutta As’ad ke kota Sen­gkang dan membangun Pondok Pesantren As’adiyah?”

AG. Drs. KH.Abu Nawas Bintang: “Pada tahun 1928 tetapi resmi sebagai Pendidikan pada tahun 1930, yang 2 ta­hunnya itu, metode belajar yang digunakan dalam bentuk khalaqah (mengaji tudang).”

Penulis: “Bagaimana awal mulanya masyarakat di kabu­paten Wajo khususnya di kota Sengkang menerima Anre Gu­rutta As’ad dan dakwah yang dibawanya?”

AG. Drs. KH. Abu Nawas Bintang: “Masyarakat kota Sengkang saat itu haus dengan ilmu agama, seperti tadi yang saya katakan bahwa pada saat Anre Gurutta menginjak kota Sengkang, beliau melihat kota Sengkang ini gelap gulita dan beliau bertekad untuk tinggal di kota Sengkang.”

Penulis: “Apa bedanya motode pembelajaran Anre Gu­rutta As’ad dengan metode pembelajaran yang sekarang?”

AG. Drs. KH. Abu Nawas Bintang: “Kalau dulu yang klasikalnya itu mewajibkan berbahasa Bugis, jadi kalau orang mau berbahasa Indonesia maka harus di luar masjid, yang ked­ua mengenai pakaiannya, dulu santri dilarang menggunakan celana panjang, menggunakan dasipun dilarang oleh Gurutta, kemudian dulu kalau orang mau pergi mengajar harus me­makai jas.

Pernah ada cerita dari Anre Gurutta Yunus Maratang, wak tu itu jam mengajarnya adalah setelah dzuhur, karena cua ca panas maka beliau menggunakan baju biasa kemudian di li hat oleh Anre Gurutta As’ad, setelah keluar untuk shalat

Acer
Highlight
Page 11: Menari Di Bumi Lontara

Wawancara Penulis dengan AG. Drs. KH. Abu Nawas Bintang � xi

Ashar, Anre Gurutta Yunus Maratang di panggil oleh Gurutta As’ad dan dimarahi, Anre Gurutta As’ad mengatakan, “Apak­ah kamu tidak memiliki uang untuk membeli jas?, kalau tidak ada nanti saya berikan kamu uang.” Kemudian Gurutta Yunus mengatakan, “Mapella Pung” (Panas Pung), setelah itu

Gurutta As’ad kembali berkata “Mapella mui apinna nera­kae di banding pellana mata essoe”(Lebih panas api neraka daripada panasnya matahari), jadi Gurutta As’ad mengharus­kan guru­guru yang mengajar menggunakan jas dan surban. Jadi yang membedakan metode yang dulu dan yang sekarang adalah bahasa pengantar Gurutta yakni bahasa Arab dan ba­hasa Bugis.”

Penulis: “Apa keunggulan Pondok Pesantren As’adiyah di banding Pondok Pesantren yang lain, misalnya keunggulan dari segi pembelajarannya, dari segi adab, atau bahkan dari segi hormatnya sama gurunya?”

AG. Drs. KH. Abu Nawas Bintang: “Kalau disini ter­kenal dengan istilahnya Sami‘naa Wa Atha‘naa dan sangat hormat sama gurunya, sebagaimana fatwah Syayyidina Ali mengatakan “ man ‘Allama kaffah fahuwa maulaka, insyaa’ba’a wainsya’a faka” itu yang menjadi pegangannya. Kalau dulu Gu­rutta tidak ada yang berani duduk bersebelahan dengan beliau, bertatap muka saja susah, khususnya Gurutta As’ad tidak ada orang yang berani bertatap muka dengan beliau karena tajam­nya beliau punya penglihatan. Seperti yang dika takan ilmu itu menglihat dengan cahaya.”

Page 12: Menari Di Bumi Lontara

xii � Menari di Bumi Lontara

Penulis: “Bisakah anda memberikan pesan untuk para pembaca, karena saat ini banyak yang memandang sebelah mata Pondok Pesantren?”

AG. Drs. KH. Abu Nawas Bintang: “Kamu harus selalu be r sama dengan kebenaran dan kamu akan menjumpai keba­hagiaan.”

Page 13: Menari Di Bumi Lontara

� xiii

Goresan Pena Sang Perindu

Ya Allah tiada pujian yang paling indah selainMu

Shalawat salam untuk Muhammad saw sebagai

Nabi TeladanMu

Istri-istrinya dan sahabatnya sebagai panutan

Dan seluruh manusia yang berada di jalannya

Ketika saya menulis lembaran pertama ini, air mata saya mengalir deras, perasaan bahagia memenuhi ruang hatiku.

Hanya berawal dari kerinduan, kerinduan akan impian dan cita­cita. Impian yang bukan hanya sebatas ketinggian langit, tapi menembus langit. Saya tak menyangka buku per­tama saya yang berjudul “Percikan Rindu dari Sang Perindu” mendapat sambutan yang baik dari publik terutama dikalan­gan pondok pesantren. Begitu banyak pertanyaan dan kriti­

Page 14: Menari Di Bumi Lontara

xiv � Menari di Bumi Lontara

kan, terlebih lagi pujian yang saya dapatkan selama buku saya beredar dibeberapa tempat, ada yang mau bertemu langsung dengan saya, ada yang minta foto bareng, ada yang curhat mengenai perjalanan hidupnya, ada yang minta saran dan pendapat tentang cinta, dan bahkan ada yang sampai mene­teskan air mata ketika membaca buku pertama saya. Tentu hal itu membuat saya semakin percaya diri akan kemampuan saya sebagai penulis telah tumbuh.

Inspirasi itu ibarat buah yang berasal dari batang dan akar tertentu. Semuanya bermula dari benih yang disemai oleh ses­uatu yang terkadang tak jelas siapa dan apa, namun penga­ruhnya jelas membayang­bayang. Terkadang dijatuhkan oleh petani dan ditumbuhkan di satu tempat dan berbilang waktu tumbuhlah sebuah pohon kekar yang tak jelas asal usulnya. Sebagaimana pohon itu, saya sangat sulit menentukan gaya siapa saja yang mempengaruhi gaya menulis saya, tapi saya juga harus mengakui bahwa goresan tulisan saya dipengaruhi oleh beberapa penulis yang boleh saya tiru­tiru gaya menulisnya dan terkadang saya kutip tanpa kata permisi, meskipun belum ada tanda dalam diri saya seperti mereka. Tapi karena kerinduan saya semakin hari semakin menggejolak akan impian dan cita­cita saya, hanya bermodalkan semangat dan dukungan dari orang terdekat terutama kedua orang tua, maka saya mampu menyelesaikan buku kedua saya dalam tempo yang cukup sing­kat yakni 4 bulan. Besar harapan saya agar buku kedua saya ini lebih baik dan lebih bagus dibanding dengan buku pertama.

Buku kedua saya yang berjudul “Menari di Bumi Lon­tara edisi Pertama” yang mana isinya merupakan gabungan

Page 15: Menari Di Bumi Lontara

Goresan Pena Sang Perindu � xv

imajinasi dan kisah nyata yang saya alami selama mondok di pesantren. Saya akui buku kedua ini agak sulit di banding dengan buku pertama saya, karena saya lebih senang menulis sesuatu yang terpintas dalam pikiran saya ketimbang menulis sesuai dengan kenyataan dan itu akan menjadi tantangan ter­berat bagi diri saya sendiri, namun kali ini saya akan melawan tantangan itu dan akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis cerita yang berkaitan dengan perjalanan hidup sant­riwati selama mondok dipesantren, tentunya ini akan men­jadi pelajaran buat kita terutama bagi masyarakat yang mana saat ini memandang sebelah mata sebuah pondok pesantren, mereka hanya menganggap bahwa anak yang di sekolahkan di pesantren tak memiliki masa depan, bahkan mengang­gap pesantren hanya sebagai bengkel untuk anak­akan yang akhlaknya kurang baik.

Sungguh, buku kedua saya ini banyak memeras energi di samping karena saya masih berprofesi sebagai mahasiswa yang tiap harinya dipenuhi dengan tugas­tugas kuliah, saya juga harus kembali belajar bahasa yang terkait dengan buku kedua saya, yang mana didalamnya saya menggabungkan dua bahasa antara bahasa Jawa dan bahasa Bugis karena saya tidak ingin melupakan tempat kelahiran kedua orang tua saya yakni ibu saya yang berasal dari Jawa dan ayah saya berasal dari bugis dan tentu keduanya memiliki karakter dan gaya bahasa yang sangat berbeda. Untuk itu saya kembali belajar bahasa jawa, baik melalui keluarga, terkadang juga melalui kamus, bahkan sekali­kali belajar dengan senior saya di tafsir hadis, yah karena senior saya pernah mondok di Jawa. Mungkin boleh dibilang buku ini adalah renungan hati, tetesan jiwa, selama saya mon­

Acer
Highlight
Page 16: Menari Di Bumi Lontara

xvi � Menari di Bumi Lontara

dok di pesantren dan menjadi seorang penulis memasuki dunia yang berbeda.

Buku ini menceritakan perjalanan hidup seorang anak perempuan yang bermukim di tanah jawa, dan mulanya men­ganggap bahwa pesantren hanya diminati oleh rakyat jelata, dan sama sekali tak memiliki masa depan, namun akhirnya setelah menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah bu­gis maka disinilah awalnya dia menemukan jati diri. Silih ber­gantinya nikmat rizki menghampirinya, setelah menuai ilmu dari pondok pesantren. Ada apa dengan pesantren? Rizki apa saja yang Ningrum dapatkan ketika menuai ilmu di pondok pesantren?

Baca dan simak kisah menarik seorang santriwati dalam mewujudkan impiannya. “Menari di Bumi Lontara edisi Per­tama”.

Semoga karya yang sederhana namun sarat makna ini dapat memberi manfaat yang sebesar­besarnya kepada pem­baca, khususnya kepada orang tua agar kiranya lebih fokus memperhatikan buah hatinya untuk masa yang akan datang. Dan semoga tulisan ini sekaligus menjadi amal jariyah yang pahalanya akan mengalir sepanjang masa bagi penulis khu­susnya dan semua pihak yang terlibat dalam perwujudan buku ini, baik penerbitnya, editornya, setter dan penata letaknya. Selamat membaca!!!

Ma’had Ali Makassar, 23 November 2012

Rizki Ayu Amaliah

Page 17: Menari Di Bumi Lontara

� 1

Namaku Ningrum

Kebanyakan orang menganggap bahwa masa kecil adalah ma sa yang menyenangkan, tapi berbeda dengan diriku yang me ng anggap bahwa jaman cilik’e ora pernah ono. (Masa kecil tak pernah ada)

Aku anak pertama dari pasangan suami istri yang awalnya cukup bahagia, yang terbesik dalam pikiranku adalah a nak per tama tentu merupakan anak yang dinanti­nantikan ta pi se­jarah membuktikan ketika aku dilahirkan waktu itu aku masih berumur 3 bulan, ayah pergi meninggalkan ibu.

Aku tak tahu apa alasan ayah pada waktu itu yang jelas begitulah yang kudengar dari Mbah Putri dan ketika aku ber ­umur 8 bulan, ibu menitipkan aku pada Mbah Kakung dan Mbah Putri. 8 bulan masih usia balita, usia merangkak, menge­nal benda dan lain sebagainya.

Ketika memasuki usia 1 tahun, hari dimana aku mulai be­la jar berjalan, menyebut nama dan mengenal orang­orang ter­

Page 18: Menari Di Bumi Lontara

2 � Menari di Bumi Lontara

dekatku, yang aku tahu hanya Mbah Putri1 dan Mbah Kakung2. Begitulah yang kualami sampai aku berusia 5 tahun, yang ku­tahu hanya berdiam diri di rumah bersama Mbah Putri sambil menunggu kedatangan Mbah Kakung dari sawah.

Suara sorak anak­anak sebayaku benar­benar memancing diriku untuk menyaksikan alam luar, ah ingin rasanya ber­gabung dengan mereka tapi aku belum berani untuk itu. Siang hari menemani Mbah Putri membuat kue dan malamnya habis magrib belajar mengaji di masjid sudah cukup mengisi hari­hariku.

Aku tak pernah mengenal dunia barbie yang sering di­mainin oleh anak­anak sebayaku, Mbah Kakung dan Mbah Putri juga tak pernah mengenalkan dunia mainan padaku, yang kutahu hanyalah orang­orangan yang dibuat oleh Mbah Kakung, orang­orangan yang dipakai untuk menakut­nakuti burung di sawah, dan wayang golek3 yang sering dimainkan oleh Mbah Kakung, yah hanya itulah mainan yang kupunya.

Tiap pagi aku menemani Mbah Putri berjualan kue keli­ling kam pung, hari itu Mbah Putri sedang sakit jadi pekerjaan jualan kue kulakukan seorang diri.

“Kue...kue...kue...kue...”

Butir­butir keringat mulai berjatuhan di dahiku, “ah berat juga kue ini”. Kulihat seorang ibu menyapu halaman rumah,

1. Mbah Putri: Panggilan untuk nenek.2. Mbah Kakung: Panggilan untuk kakek.3. Wayang golek: suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari

boneka kayu.

Page 19: Menari Di Bumi Lontara

Namaku Ningrum � 3

kuhampiri sambil menawarkan kue yang sedari tadi tak laku­laku.

“Bu..kuenya bu..” ibu itu tersenyum melihatku, dan men­gajakku masuk.

“Monggo4 nak...” kata ibu itu.

Aku masuk mengikuti ibu itu, dia menyuruhku menunggu. Dan beberapa menit kemudian ibu itupun keluar.

Beliau memegang kepalaku sambil berkata, “anak manis...sopo toh jennengmu5?”

Dengan nada terbata­bata aku hanya menjawab “jen­nengnge Ningrum bu”. Yah itulah namaku, nama yang diberi­kan oleh Mbah Kakung.

Kuberanikan diriku menatapnya dan dia kembali bertanya padaku “nak umurmu piro6 nang? Terus go’ke kiro sopo7?”

Aku tersenyum dan menjawab, “umur kulo8 gangsal 9ta­hun, kulo tinggal kalian si Mbah Kakung lan putri”.

“Nak..kelihatannya kowe10 bocah11 sing cerdas, nang ngo­mongno karo si Mbah Kakung lan putrimu supaya kon nyeko­lahke kowe, lan aku arep tuku rotimu iki12 duwite13”.

4. Monggo:( bahasa Jawa) yang berarti mari.5. Jenneng:( dalam bahasa Jawa) yang berarti nama.6. Piro:(dalam bahasa Jawa) berarti berapa.7. Sopo: (dalam bahasa Jawa) berarti siapa.8. Kulo: (bahasa Jawa) saya.9. Gangsal: (bahasa Jawa) lima.10. Kowe: (bahasa Jawa) kamu. 11. Bocah:(bahasa Jawa) anak.12. Iki: (bahasa Jawa) ini.13. Duwite: (bahasa Jawa) uang.

Page 20: Menari Di Bumi Lontara

4 � Menari di Bumi Lontara

“Matur suwun14 bu, kalau begitu kulo pamit dulu.”

“Ia nak, salam gawe simbahmu, hati­hati kowe neng ja­lan!”

Sesampainya di rumah...

“Mbah...Mbah Putri…..”

“Kho’..kho’..kho...” suara batuk Mbah Putri terdengar dari kamar mandi.

“Mbah.. Ningrum pulang, dan ini hasil jualan kuenya”.

“Neng sopo arep tuku rotimu nduk15?”

Aku tersipu malu dihadapan Mbah Putri, dan mulai ber­cerita, “tadi ada ibu­ibu yang membeli kueku mbah, ibu itu ayu16 lan baik hati loh mbah, cuman wajah Mbah Putri hmm­mmmm.... lebih cantik dari ibu yang tadi”.

Mendengar ceritaku, Mbah Kakung dan Mbah Putri ter­tawa.

“Mbah.. ibu itu pesan lan kulo katanya karo Mbah Kakungmu lan Mbah Putrimu supaya kon nyekolahke kowe”.

“Mbah.. emangnya sekolah itu penting yah?” Tanyaku polos.

Mbah Kakung dan Mbah Putri tersenyum sambil bertata­pan wajah.

14. Matur Suwun: (bahasa Jawa) terima kasih.15. Nduk: (bahasa Jawa) panggilan sayang untuk anak.16. Ayu: (bahasa Jawa) cantik.

Page 21: Menari Di Bumi Lontara

Namaku Ningrum � 5

Mbah Kakung mendekatiku, “nduk... mbah akan berusaha sekuat tenaga untuk menyekolahkanmu agar kamu jadi anak yang pintar, tahun depan kamu sudah bisa sekolah”.

“Horeeee....” teriakanku membuat Mbah Putri tertawa.

****

1 tahun kemudian...

Mbah Kakung menemaniku mendaftarkan diri disalah satu sekolah di desaku.

“Neng....” sapa Mbah Kakung.

“Nduk sinawu seng sereggep yoo? (belajar yang baik yah) ko we mu liha karo konco­koncomu! Simbah ke sawah dulu nduk”.

Hari itu pelajaran di sekolah dasar di mulai, aku merasa terasingkan, entah bagaimana caranya berkenalan dengan teman­temanku. Untuk itu aku hanya memilih duduk sendiri dipojok kelas.

Di dalam kelas terlihat anak­anak berlarian, di lapangan ada yang main karet, sedangkan aku hanya terdiam seorang diri sambil memaini kotak pensilku, putar kekanan dan kekiri.

Tiba­tiba seseorang menyapaku.

“Sopoto jennengmu?”

Aku hanya terdiam membisu.

Kemudian dia kembali bertanya padaku, “jennengmu sopo?”

Aku menjawab, “Ningrum biasa dipanggil Enneng.”

Page 22: Menari Di Bumi Lontara

6 � Menari di Bumi Lontara

“Oh, hay Ningrum jenneng kulo Nurul, Kita main yuk” ajak Nurul.

“Ah, terima kasih tapi aku lebih senang duduk disini”.

“Apa? kamu lebih senang disini? Neng, enakan main ketimbang berdiam diri di kelas. Kulo bisa jadi teman main kamu kok”.

Aku hanya menggelengkan kepala.

“Yah sudah kalau enggak mau bermain bersamaku, tidak apa­apa. Tapi besok­besok main yah sama aku”. Ajak Nurul.

Aku tersenyum mendengar ajakannya.

Sepulang sekolah aku melihat Mbah Putri menungguku di halaman rumah.

“Nduk kepriyen17 nyekolah18 ye? Jenengkera19?”

Aku memeluk Mbah Putri dengan erat, “ia mbah jeneng­kera”

****

Keesokan harinya...

“Ningrum...Ningrum...teriak Nurul”

Aku hanya tersenyum.

“Neng istirahat nanti kita main yuk”

Lagi­lagi aku hanya menggelengkan kepala.

“Yah kamu, yah udah, lain kali aja deh”

17. Kepriyen: (bahasa Jawa) bagaimana.18. Nyekolah: (bahasa Jawa) sekolah.19. Jenengkera: (bahasa jawa) menyenangkan.

Page 23: Menari Di Bumi Lontara

Namaku Ningrum � 7

Aku berjalan menuju bangkuku, itulah yang kulakukan tiap harinya hingga pada hari kelima seorang guru keterampi­lan masuk ke kelas dan menyuruh murid memperkenalkan diri.

Tibalah giliranku berdiri di depan kelas memulai mem­perkenalkan diri.

“Namaku Ningrum Wijastuti biasa dipanggil Enneng”

Setelah itu guru itu bertanya padaku.

“Jenneng ibumu sopo lan ayahmu?”

Aku tertunduk tak tahu harus berkata apa.

“Nak?”

“Nyuwun ngapunten20bu? Kulo mbopen mangerti sopo niku ibu lan ayah, yang membesarkanku selama ini adalah mbahku.”

“Yah sudah nak, ora21 opo­opo22 silahkan duduk”

Semua mata tertuju padaku, aku sampai sekarang bertan­ya­tanya apa itu ibu dan ayah, kenapa semua teman­teman membangga­banggakan ibu dan ayah mereka.

Sesampainya di rumah, Mbah Kakung dan Mbah Putri mengajakku makan siang setelah itu aku mulai bertanya ke­pada mereka.

“Mbah, sopo iku23 ibu lan ayah?”

Mereka hanya saling memandang tak ada yang mulai men­jawab pertanyaanku.

20. Nyuwun Ngapunten: (bahasa Jawa) mohon maaf.21. Ora: (bahasa Jawa) Tidak.22. Opo – opo:(bahasa Jawa) apa – apa.23. Iku: (bahasa Jawa) itu.

Page 24: Menari Di Bumi Lontara

8 � Menari di Bumi Lontara

“Mengapa semua teman­temanku memiliki ibu dan ayah sedangkan aku tidak?”

Mbah Kakung mendekatiku seraya berkata..

“Nduk, ibu adalah orang yang melahirkan kita, dan ayah adalah orang yang mendampingi ibu, dia yang mencarikan nafkah sekaligus kepala rumah tangga”

“Berarti Mbah Kakung dan Mbah Putri ibu dan ayahku?” jawabku polos.

Mbah Putri hanya tersenyum, “nduk, kelak kowe arep24 tahu semuanya, bahkan kowe arep merasakannya.”

Beberapa tahun berlalu, Ningrum mulai menunjukkan kepandaian dan kepintarannya, tiap semester ia menduduki juara kelas sampai sekarang ketika menduduki bangku kelas 3 SD.

“Ningrum.....” lagi­lagi Nurul menghampiriku.

“Ningrum, kamu kenapa sih sudah 3 tahun kita sekolah bareng tapi sampai sekarang aku belum pernah bermain bareng kamu. Jika kamu terus­terusan berdiam diri di kelas maka se­lamanya kamu enggak bakalan punya teman” Tutur Nurul.

“Nurul maafkan aku, bukannya aku tak ingin bermain bersamamu tapi inilah aku yang memang lebih memilih kes­endirian ketimbang kumpul bareng”

“Ningrum, kamu temanku dari dulu, sekarang maupun kedepannya. Jangan pernah engkau segan untuk bermain ber­samaku.”

24. Arep: (bahasa Jawa) akan.

Page 25: Menari Di Bumi Lontara

Namaku Ningrum � 9

Sejak itu aku mulai bermain dengan Nurul, Nurul adalah teman pertama yang aku punya di dunia selain Mbah Kakung dan Mbah Putri.

Hari itu aku pulang bareng bersama Nurul, dan saat itu aku mengetahui bahwa rumah Nurul cukup dekat dengan rumahku. Kehidupan Nurul tidak jauh beda dengan kehidu­pan yang kujalani, Nurul hanyalah anak buruh tani seperti Mbah Kakung dan Mbah Putri, tapi yang kukagumi dari Nurul adalah dia mampu bergaul dengan siapa saja, sedangkan diriku tak punya keberanian.

Tak terasa hari­hari berlalu dan hari­hariku mulai ber­warna semenjak kedatangan Nurul dalam kehidupanku. Pagi di sekolah bersama Nurul, sore bermain di lapangan bersama Nurul dan juga malam hari setelah magrib mengaji bareng di masjid bersama Nurul.

Nurul datang sebagai sahabat yang senantiasa mendengar­kan keluhan dan kesedihanku, persahabatan terus berlanjut sampai dengan kelas 6 SD.

ketika ujian nasional telah dilaksanakan, guru menunjuk aku untuk membawakan kesan dan pesan dalam acara per­pisahan.

****

Tibalah waktunya, acara perpisahan tingkat SD di kabu­patenku diadakan.

Protokol mulai membacakan susunan acaranya dan setelah acara yang keempat, tibalah giliranku.

Page 26: Menari Di Bumi Lontara

10 � Menari di Bumi Lontara

“Yah, hadirin dan hidarat yang berbahagia, acara selan­jutnya, kesan dan pesan dari salah satu perwakilan siswa yang meninggalkan sekaligus siswa yang berprestasi yang dibawakan oleh adinda Ningrum Wijastuti, kepadanya disilahkan”

Melangkahkan kaki penuh dengan rasa gugup, berdiri di­hadapan siswa siswi dan orang tua murid yang kurang lebih 300 orang.

Kumulailah pidatoku...

“Yang saya hormati Bapak Kepala Dinas Pendidikan, yang saya hormati kepala sekolah, serta para tamu undangan”

“Assalamu alaikum Wr.Wb”

“Pertama-tama syukur kehadirat Allah swt. yang memberikan kita kesehatan, kekuatan dan yang utama nikmat iman sehingga kita berkumpul ditempat yang berbahagia ini. Begitupun shalawat dan salam kita curahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muham-mad saw. Nabi yang menjadi panutan seluruh umat manusia.

Saya berdiri dihadapan para hadirin mewakili teman-teman bukan berarti bahwa saya adalah yang terbaik dari semuanya, saya hanyalah seorang anak buruh tani yang menumpang menuntut ilmu di sekolah ini, yang hanya kebetulan menimbah ilmu di sekolah ini, yah itulah saya, seseorang yang tidak memiliki apa-apa, saya tidaklah pintar, tapi saya memiliki semangat yang tinggi untuk menuntut ilmu karena menurut saya menuntut ilmu adalah salah satu sarana meng-gapai cita-cita”

Air mata mulai menetes, setelah diam beberapa detik, saya kembali melanjutkan pidato saya.

“Alhamdulillah kita semua telah berhasil lulus, hari-hari penuh

Page 27: Menari Di Bumi Lontara

Namaku Ningrum � 11

dengan ujian yang menegangkan kini berakhirlah sudah, kita lulus kita akan meninggalkan sekolah ini dan berpisah, betapapun berat-nya setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan.

Ucapan terima kasih kami haturkan kepada orang tua, ibu dan bapak yang memberikan kami dukungan, baik itu dukungan moral dan materi, tanpa kalian kami tak kan mampu bersekolah. Tapi perlu hadirin ketahui bahwa saya mampu bersekolah, meraih presta-si, lulus dengan nilai terbaik sampai saya berdiri dihadapan hadi-rin, itu bukan karena ibu dan ayah saya, tapi saya menjadi seperti ini itu karena 2 orang yang senantiasa memberikan saya semangat, memberikan saya harapan untuk mewujudkan cita-cita saya, mer-ekalah menjadi tulang punggung buat saya, merekalah yang menjadi sayap saya, merekalah yang menjadi pemikul beban saya, yah mereka adalah simbahku. Mbah Kakung dan Mbah Putri yang telah men-jadi orang tua saya selama ini.

Begitupun untuk Bapak dan ibu guru, terima kasih atas semua jasa-jasamu, tanpamu kami tak mungkin sukses seperti ini, tanpamu kami tak mungkin dapat membedakan huruf-huruf satu dangan yang lainnya, dan tanpamu kami tak mungkin bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Guru-guru yang tak pernah mengenal lelah dan letih, tak pernah mengenal panas dan hujan, semua demi kami. Wahai guru, tahukah engkau bahwa jasa-jasamu akan kami kenang selamanya. Jasa-jasa yang akan membekas dalam naluri kami, bekal ilmu yang engkau berikan akan menjadi benteng buat kami.

Dan juga teman-teman sekalian, terima kasih atas persahabat-nya selama ini, terima kasih atas kesetiaan dan kebersamaannya, dan terima kasih karena kalian telah memperkenalkan pada diriku tentang arti sebuah kasih sayang, semoga persahabatan kita abadi

Page 28: Menari Di Bumi Lontara

12 � Menari di Bumi Lontara

sepanjang masa.

Akhirnya tak ada gading yang tak retak tak ada manusia yang tak memiliki kesalahan, sekian dan terima kasih.

Wassalamu alaikum Wr. Wb”

Setelah membawakan pidato, semua orang yang hadir diruangan itu bertepuk tangan dan guru­guru memelukku.

****

Sesampainya di rumah Mbah Kakung bertanya padaku.

“Nduk kowe masih ingin melanjutkan pendidikanmu ?”

Aku hanya tertunduk tak menjawab pertanyaan Mbah Kakung.

“Nduk, kamu harus tetap melanjutkan pendidikanmu tak usah memikirkan biaya yang terpenting kuwe sinawu seng sereggep, insya Allah rezekimu sudah diatur oleh gusti Allah. Mbah akan memilih pesantren sebagai tempat menuntut il­mumu nduk. Mbah ngarep kelak kamu akan jadi orang besar setelah keluar dari pesantren”

Oh Tuhan, mengapa harus pesantren? tak ada masa de­pan di pesantren, apakah hanya orang­orang yang tak mampu sepertiku yang melanjutkan pendidikan di pesantren? ingin rasanya kuutarakan isi hatiku pada mbahku tapi takut menya­kiti hati mereka. Takut mematahkan semangatnya yang begitu besar untuk menyekolahkanku di pesantren.

Entah aku harus bagaimana menyikapi permintaan mbah. Sama sekali aku tak ingin melanjutkan pendidikan di

Page 29: Menari Di Bumi Lontara

Namaku Ningrum � 13

pesantren. Tapi apa boleh buat jika ini telah menjadi kepu­tusan Mbah Kakungku. Dan pesantren yang menjadi pilihan mbah ku adalah pesantren yang ada di daerah Sulawesi­Se­latan tepatnya adalah Pesantren As’adiyah.

****

“Uff...” menarik nafas panjang merenungi masa kecilku, masa kecil yang serba diatur.

Page 30: Menari Di Bumi Lontara
Page 31: Menari Di Bumi Lontara

� 15

Memori Kota Sutra

Memasuki tahun ajaran baru, Mbah Kakung mengantarku memasuki pesantren. Pesantren yang menjadi pilihan Mbah Kakung adalah Pesantren khusus purti, perjalanan yang ku­tempuh dari kampungku ke daerah Sulawesi Selatan cukup jauh, selama perjalanan yang kupikirkan hanyalah nasibku kedepannya seperti apa jika selesai mondok di Pesantren, men­gapa sih harus pesantren yang menjadi pilihan Mbah Kakung.

Mbah Kakung mendekatiku, beliau mencoba berbicara denganku mencoba mengerti apa yang aku rasakan, mencoba memahami isi dan kemauan hatiku tapi tetap saja hati dan perasaanku menolak kemauannya yang ingin melepaskanku.

Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya aku sampai dan menginjakkan kaki di tanah bugis, sebuah daerah yang terkenal begitu ramah, adatnya mencolok, dan aman sejahtera.

Page 32: Menari Di Bumi Lontara

16 � Menari di Bumi Lontara

Melintasi Kabupaten Sidrap aku memandang hamparan sawah yang amat luas, sejauh mata memandang yang nampak adalah sawah­sawah yang hijau dan kekuning­kuningan, di beberapa tempat aku melihat banyak warga yang memanen secara bersama­sama.

“Nduk, disini orang bugis punya tradisi panen yang unik, mereka menggelar pesta panen secara meriah yang disebut Mappadendang, dalam ritual ini ada musik lesung, lagu­lagu, serta tarian yang semuanya menggambarkan kegembiraan atas panen. Kini Mappadendang telah menjadi kalender rutin bagi warga setempat”

Saat itu aku dan Mbah Kakung menginap di rumah teman lama Mbah Kakung, namanya Pak Ambo.

Di tikungan jalan aku memandang sebuah rumah kecil dengan atap dan daun ilalang yang telah kering. Kata sim­bah begitulah perumahan orang­orang di sekitar rumah pak Ambo, yah namanya saja kampung pasti sangat berbeda den­gan rumah yang ada diperkotaan”

“Assalamu alaikum...” simbah mulai memberi salam.

“Wa alaikum salam..” jawab salah seorang pemilik rumah tersebut.

Pemilik rumah itu melangkahkan kaki menuju pintu rumah yang sedari tadi diketuk oleh si mbah, ketika pintu mulai di buka pemilik rumah itu menyambut kedatanganku dan si mbah penuh dengan keceriaan.

“Masya Allah..tamu yang agung datang menginjakkan kaki di gubukku ini” Ucap pemilik rumah.

Page 33: Menari Di Bumi Lontara

Memori Kota Sutra � 17

Aku teringat si mbah pernah bercerita bahwa dia punya sahabat dekat di Sulawesi Selatan tepatnya di daerah Wajo. Si mbah sering memuji sahabat dekatnya di depanku, sahabat dekat yang biasa disapa dengan sebutan Ambo Dalle, pada waktu itu aku sempat bertanya pada si mbah tentang makna Ambo Dalle itu apa, si mbah bilang, Ambo itu bahasa bugis yang bisa diartikan sebagai bapak, dan Dalle itu bermakna rezeki, jadi Ambo Dalle itu artinya bapaknya rezeki, aku juga terkadang kagum dengan bahasa yang digunakan oleh orang bugis, disamping bahasanya lucu, juga agak aneh kedengaran­nya.

Mbah Kakung seketika itu memeluk sosok yang sedari tadi berada di depannya, pelukan sahabat lama yang begitu merin­dukannya, sekitar 40 tahun tak bertatap muka, sekarang seraya kerinduan itu mulai terobati, kerinduan yang selama ini hanya dilukiskan melalui ungkapan surat, yang dikirim tiap bulan, atau sesekali lewat telegram.

Tanpa pikir panjang sahabat si mbah yang disapa dengan sebutan pak Ambo menyuruh kami untuk masuk ke rumahn­ya, rumah yang berdiri dengan menggunakan beberapa tiang dikelilingi oleh bambu dan papan menunjukkan kesederha­naan dari rumah yang hanya di huni oleh sepasang kakek ne­nek dan seorang cucu laki­laki berumur 5 tahun. Air mata mulai menetes dari mataku, aku teringat dengan kampung halamanku, aku teringat dengan si mbok, yah meskipun rumahku hanya beralaskan tanah, karena memang begitulah rumah orang­orang dahulu di daerah jawa, namun suasananya

Page 34: Menari Di Bumi Lontara

18 � Menari di Bumi Lontara

senantiasa memberikan kesan yang indah pada orang yang per­nah menempatinya.

Sambil memegang kepalaku, bapak itu bertanya pada si mbah, “Broto, ini cucu kamu yang sering kamu ceritakan di surat?”

Mbah tersenyum padanya, “iya, ini cucuku. Cucu semata wayang25” Jawabnya.

“Wah, maputeh26 namacantik di?” Tanyanya lagi.

Aku bertanya­tanya dalam hati tentang apa yang diucap­kan bapak itu. Mungkin itu bagian dari bahasa bugis.

Lagi­lagi si mbah hanya tersenyum, si mbah memang se­dikit mengerti dengan bahasa bugis karena si mbah pernah bersekolah di daerah bugis yah tepatnya di Pondok Pesantren yang sebentar lagi akan menjadi tempat menimbah ilmuku. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa si mbah mem­bawaku ke Sulawesi Selatan.

Aku berjalan mengelilingi rumah bapak itu, pandangan mataku tertuju pada foto di dinding rumahnya, foto itu ber­tuliskan “KENANGAN TERINDAH” Sebuah foto berlatar bangunan Pesantren, aku menghampiri Mbah Kakung dan bertanya padanya siapa orang di dalam foto tersebut.

“Mbah, iki sopo?”

Mbah Kakung hanya tersenyum melihatku, “iki mbah dan teman­teman mbah semasa Aliyah dulu” Jawab si mbah.

25. Semata Wayang : satu – satunya.26. Puteh : (bahasa Bugis) putih.

Page 35: Menari Di Bumi Lontara

Memori Kota Sutra � 19

“Terus iki sopo mbah?” Sambil menunjuk wanita berkulit putih bersih dan berjilbab hijau dalam foto tersebut.

Belum sempat simbah menjawab pertanyaanku, pak Ambo sahabat dekat mbah mendekatiku dan mengambil foto yang ada dalam genggamanku.

“Nak, iye makunrei e, anakna anre gurutta, yolotu nak, kakekmu napoji lanre iye makunrei ye” (perempuan ini adalah anak dari guru besar, dulu kakekmu menyukai perempuan ini) Ujarnya.

Sambil menggaruk­garuk kepala, wajahku penuh keher­anan dengan pengutaraan bapak itu. Mungkin karena terlalu lama di kampung jadi bapak itu sampai lupa dengan bahasa Negara yakni bahasa Indonesia.

“Mbah, bapak itu ngomong apa?” Tanyaku.

Lagi­lagi mbah hanya tersenyum melihatku, dulu mbah sangat menginginkan menikah dengan orang bugis nduk, ke­inginan mbah untuk menikah dengan wanita bugis kuutarakan pada mbah buyut, tapi lagi­lagi karena si buyutmu tak meng­inginkan simbah menikah dengan orang bugis maka keinginan si mbah akhirnya batal, nduk inilah wanita yang membuat kagum mbah selama di Pesantren. Sekarang beliau telah di­panggil oleh Gusti Allah ketika berusia 25 tahun”

Selang beberapa menit setelah aku berbincang­bincang dengan Mbah Kakung dan sahabat si mbah, seorang wanita yang sebaya dengan simbok keluar dari balik horden membawa berbagai macam menu makanan ala bugis. Aromanya meng­ganggu penciumanku, perutku mulai keroncongan. Setelah wanita itu menyajikan makanan, dan mempersilahkan untuk

Page 36: Menari Di Bumi Lontara

20 � Menari di Bumi Lontara

mencicipinya, tanpa pikir panjang diriku beranjak dari kursi kayu menuju tempat makan. Aku menyantap makanan itu dengan lahap.

Masakan wanita itu membuatku merindukan si mbok di kampung halaman, masakan yang akan membuatku merindu­kannya tiap waktu. Dari berbagai macam makanan yang ada di hadapanku ada satu menu makanan yang tak pernah kura­sakan sebelumnya. Di jawa saya sangat jarang menemukan ikan yang serupa dengan ini, ikan yang keriuk ketika dikunyah, aku mencoba beranikan diriku untuk bertanya pada istri pak Ambo.

“Bu, ini ikan pa?”

“Ikan mujair nak, jawabnya”

“Setahuku ikan mujair tidak seperti ini bu, jawabku meya­kinkannya”

Semua orang tertawa, ruang makan yang tadinya hening karena terlalu semangat menyantap makanan , seketika itu menjadi ramai.

“Bale rakko nak, jawab ibu itu”

Lagi­lagi aku menggeleng­geleng kepala pertanda tak mengerti dengan bahasa yang digunakan ibu itu.

Melihaku kebingungan, Mbah Kakung menjelaskan bah­wa bale rakko itu bahasa bugis artinya ikan kering.

“Terus, kenapa terasa asin?” Tanyaku polos.

“Yah, karena sebelum di jemur ikan ini di rendam di air garam” Jawab pak Ambo.“Oya, silahkan makan dulu” Perintah pak Ambo.

Page 37: Menari Di Bumi Lontara

Memori Kota Sutra � 21

“Matur suwun pak” aku mencicipi makanan yang terse­dia sambil menunggu kelanjutan pembicaraan pak Ambo dan Mbah Kakungku.

****

Malam harinya aku kembali merenungi hari esok, hari dimana aku akan menginjakkan kakiku di Pondok Pesantren.

****

Matahari mulai terbit, hari mulai pagi, burung­burung mu­lai berkicauan suaranya terdengar merdu. Usai melaksanakan shalat dhuha, Mbah Kakung menghampiriku dan mengelus­elus ubun­ubunku.

“Nduk, ikhlaskan hatimu, jangan sampai kamu melak­sanakan semua karena terpaksa, semuanya akan sia­sia nduk. Segala sesuatu apapun itu meskipun itu hal yang terkecil jika dilaksanakan dengan iklas maka akan mendapatkan pahala dari gusti Allah. Tapi jika sesuatu dikerjakan dengan terpaksa, maka pekerjaan itu akan semakin berat kamu jalani nduk, itu nasehat mbah untukmu nduk”

Nasehat Mbah Kakung membuatku mulai berfikir tentang harapan besar Mbah Kakung terhadapku, saat ini mungkin aku belum menerima keputusan Mbah Kakung, karena hatiku belum sepenuhnya kesana.

Beberapa menit kemudian aku, Mbah Kakung dan pak Ambo bersiap­siap untuk ke Pesantren yang jaraknya 25 kilo dari rumah pak Ambo, saat itu pak Ambolah yang mengemudi mobil.

Page 38: Menari Di Bumi Lontara

22 � Menari di Bumi Lontara

Saat pertama kali memasuki Kota Sengkang, kita akan menyaksikan sebuah gapura besar bertuliskan Selamat Datang di Kota Sengkang, Kota Sutra, tulisan tersebut semacam pem­beritahuan dari masyarakat bahwa kota yang dimasuki adalah kota yang produksi sutra di Indonesia .

Aku pernah mendengar dari Mbah Kakung, konon kata nya ada seseorang yang bernama Yusran Darmawan yang pernah meneliti tentang sutra yang ada di Sengkang, dia mengatakan bahwa bicara masalah tenun, hampir di seluruh daerah yang ada di Sulawesi Selatan memilik khasanah tentang tenun, teknologi menenun sudah diketahui masyarakat sejak terjadi persentuhan kebudayaan dengan Melayu. Hal yang membe­dakan Sengkang dengan daerah lain adalah karena di Kota inilah sutra di produksi secara massif jika dibandingkan den­gan daerah lain yang ada di Sulawesi Selatan. Dia juga meng­utarakan bahwa Wajo dikenal sebagai basisnya para pengusaha Bugis yang kondang ke mana­mana. Bahkan beredar pula mi­tos yang menyebutkan tentang BOSOWA (Bone, Soppeng, Wajo). Bone identik dengan kebenaran dan tempat lahirnya para pemimpin, Soppeng terkenal dengan gadis­gadisnya yang cantik, dan Wajo terkenal dengan saudagar atau pedagang yang tersebar dimana­mana.

Beberapa menit kemudia akhirnya saya sampai di tempat tujuan, sebuah baliho terpampang di depan Pesantren yang tertulis AHLAN WASAHLAN, SELAMAT DATANG DI PONDOK PESANTREN AS’ADIYAH PUSAT SENG-KANG. Suasana pesantren mulai kurasakan. Kuperhatikan satu persatu santri yang ada di Pondokan tersebut, mereka

Page 39: Menari Di Bumi Lontara

Memori Kota Sutra � 23

semua menggunakan jilbab, perlahan­lahan kulangkahkan kakiku menuju papan pengumuman, kulihat tata tertib ter­cantum di papan pengumuman.

TATA TERTIB PESANTREN

� Santriwati diwajibkan memakai pakaian yang mencer­minkan tata krama beragama.

� Santriwati diwajibkan menjaga nama baik keluarga, udz­tadz/udztadzah, dan pondok pesantren.

� Santriwati diwajibkan menjaga fasilitas pondok dengan baik.

� Santriwati diwajibkan mengikuti pengajian khalaqah (mengaji tudang)

� Santriwati wajib mengikuti shalat berjamaah dan amalan sunnah lainnya.

� Santriwati diwajibkan untuk tinggal di asrama.

� Santriwati diwajibkan berbahasa arab dan inggirs pada hari bahasa.

� Santriwati tidak diperbolehkan membawa alat elektronik, senjata tajam, minuman keras dan semacamnya.

� Santriwati tidak diperbolehkan keluar pondok tanpa seizin Pembina.

� Santriwati diharuskan menghormati yang tua dan me­nyayangi yang muda.

Page 40: Menari Di Bumi Lontara

24 � Menari di Bumi Lontara

Peraturan apa ini? Tanyaku dalam hati. Aku akan mera­sakan sebuah tekanan jika selamanya aku harus hidup di Pesantren.

Ketika Mbah Kakung mengenalkan aku dengan salah seorang guru di Pesantren tersebut, Mbah Kakung pergi meng­hampiriku dan mengatakan..

“Nduk mbah pulang dulu yoo”

Ketika itu aku tak dapat berkata apa­apa, secepat itu mbah meninggalkanku.

Mbah Kakung memelukku erat, sangat erat.

Dan diapun berlaju pergi, di dampingi dengan sahabatnya dan pembina asramaku.

Aku berusaha menguatkan diriku ketika Mbah Kakung pergi meninggalkanku, namun usahaku untuk menguatkan diri justru berakhir dengan linangan air mata.

****

Aku tak tahu harus kumulai dari mana mengutarakan per­asaan ini, entah dengan cara apa aku mengungkapkan sakit dengan tekanan yang kualami selama ini.

Mondok di pesantren adalah salah satu pengalaman terpa­hit yang kurasakan pada saat itu. Hari pertama di pesantren, ketika itu aku hanya terdiam di kamar yang luasnya sekian kali sekian. Yang kutahu hanya menangis, menangis, dan menan­gis.

Page 41: Menari Di Bumi Lontara

Memori Kota Sutra � 25

Kuambil diariku dan menulis ungkapan hatiku dan melu­apkan kesedihanku melalui goresan penaku.

Oh Tuhan ….

Aku punya mimpi, dan aku punya cita­cita. Aku menangis seperti ini, bukan karena aku lemah, bukan karena aku takut, dan bukan karena aku cengeng, tapi aku menangis karena aku khawatir wahai Tuhan­Ku jika harapan dan cita­citaku akan menjadi mimpi selamanya.

Wahai Tuhan hanya kepadamulah aku mengeluhkan kesedi­hanku yang menimpaku.

Berikanlah peluang agar aku mampu membuktikan dan mewujudkan harapan dan cita­citaku.

Tuhan, aku takkan lemah sekalipun aku adalah perempuan.

“Assalamu alaikum ukhti..”

Terdengar suara tepat disamping kupingku.

Ukhti27? Itu apa yah? tanyaku dalam hati. Uff, mungkin ini juga bagian dari bahasa bugis.

“Kamu anak yang dari jawa itukan?” Tanyanya.

“Iya” Jawabku singkat.

“Perkenalkan namaku Aeni, saya dari kabupaten Jenne­ponto”

“Aduh.. nama kampung yang cukup aneh” ucapku sambil menjabat tangannya.

“Jennenge Ningrum..”

27. Ukhti :(bahasa Arab) saudara perempuanku.

Page 42: Menari Di Bumi Lontara

26 � Menari di Bumi Lontara

“Ningrum salam kenal yah.. kamarku tepat di depan ka­marmu, tadi saya melihatmu menangis kenapa kamu menan­gis teman? Dan yang mengantar kamu ke asrama ini itu ayah kamu yah?” tanyanya.

Aku hanya menggeleng, “ bukan” dia siMbah Kakungku.

“Mbah Kakung itu artinya om yah?” tanyanya.

Aku tersenyum. “Bukan, Mbah Kakung itu kakekku”

“Kemana ayah dan ibumu?” Tanyanya lagi.

“Aku tak tahu sopo ibu lan bapakk” Jawabku sambil men­guatkan hatiku.

“Oh, kalau gitu maafkan saya teman, Rum...saya sudah 1 tahun di pesantren. Saya tua setahun di banding kamu tapi kamu panggil saya Aeni aja yah.. karena tahun ini aku baru sekolah. 1 tahun kemarin saya perdalam bahasa arab di pesantren” Ucapnya.

Aku hanya tertunduk, dan sekali­kali air mataku menetes.

“Rum..kenapa kamu masih menangis teman?” Tanya Aeni kepadaku.

“Aeni.. apakah di pesantren ini semuanya siswi hanya me­miliki kemampuan standar atau kemampuan dibawah rata­rata? Baik kepintaran maupun pola hidup mereka?” Tanyaku penasaran.

Aeni tersenyum, dan berusaha meyakinkanku.

“Ningrum, kamu salah, santri disini bukan hanya seba­tas santri biasa, namun mereka semua adalah orang yang luar biasa. Kamu pikir disini hanya kamu yang mempunyai asal daerah yang jauh? Hmmm…. Sangat banyak Rum... ada yang

Page 43: Menari Di Bumi Lontara

Memori Kota Sutra � 27

dari Kalimantan, ada dari NTT, bahkan ada dari Papua. Mer­eka rela meninggalkan kampungnya bahkan orang terdekatnya demi menuntut ilmu di pesantren ini... pesantren pertama dan tertua di daerah bugis”

Belum sempat kalimat terlontar di bibirku, Aeni kembali melanjutkan penjelasannya.

“Rum.. kamu pikir yang sekolah di pesantren ini hanya rakyat biasa dan orang yang tidak mampu? Hmm... kamu salah Rum.. di pesantren ini bahkan ada anak dokter, insinyur, poli­si bahkan anak pejabat sekalipun. Rum, hilangkanlah beban yang ada di pikiranmu saat ini jika kamu ingin sukses”

Air mataku makin deras mengalir di pipi. Aku pengen banget memeluk sosok gadis mungil yang ada di depanku.

Tiba­tiba.. aku tak menyangka, Aeni memelukku.

“Rum, sabarki nah!!!” tegasnya.

“Matur suwun yo?” Jawabku.

“Heehehhehe... Rum, besok­besok ajari saya bahasa jawa yo?”

Aeni mengingatkan aku pada Nurul dikampung.

“Rum.. di asrama ini ada tempat yang bagus untuk dija­dikan tempat renungan atau bahkan tempat meluapkan kes­edihan” Ujarnya…

“Dimana?” Tanyaku.

“Ditingkat 3 Rum.. saya kalau lagi merindukan mama saya kelantai 3 menangis. Itu akan menjadi tempat kita berdua un­tuk berbagi. Nanti ba’da isya saya kekamarmu dan kita kelantai 3. Katanya sambil mencubit pipiku”

Page 44: Menari Di Bumi Lontara

28 � Menari di Bumi Lontara

Meskipun sebagian dari penjelasan Aeni tak kumengerti, aku merasa cukup senang, karena hari pertama di asrama, aku sudah memiliki teman, yah setidaknya ada yang mengerti den­gan apa yang kualami saat ini.

****

Page 45: Menari Di Bumi Lontara

� 29

Rembulan Sengkang

Setelah makan malam dan shalat isya, Aeni datang ke kamarku dan mendapatiku menangis.

“Rum?..Ningrum? Kenapaki nangis?”

Tangisanku semakin terdengar.

“Eeeenggeeeeeeeehhhh28... ora opo­opo Aen”

Aeni menarik tanganku, dia mengajakku naik kelantai 3 tepatnya diloteng asrama.

Sesampainya di loteng asrama, Aeni dengan semangat 45­nya mengambil tikar yang ada di kamar 1.a.

“Rum, sini……” ajaknya.

Aku berjalan menuju tempatnya.

“Rum, cepat, atau kamu akan kehilangan moment yang sangat indah” Ujarnya.

28. Enggeh : (bahasa Jawa) Penolakan.

Page 46: Menari Di Bumi Lontara

30 � Menari di Bumi Lontara

Kurebahkan badanku di atas tikar yang hanya dimuat un­tuk 2 orang.

“Rum, pejamkan matamu! nanti setelah saya bilang buka, kamu boleh buka matamu” Tegasnya.

Aku mulai memejamkan mataku, kucoba mengeluarkan kesedihanku. Dan mulai menceritakannya pada Aeni.

“Aeni, apakah kamu tahu sakit yang kualami selama ini?” tanyaku padanya.

Sambil menggenggam erat tanganku, dia memberiku isyarat untuk melanjutkan ceritaku.

“Aeni, aku tak punya ibu dan ayah. Sejak kecil aku dibe­sarkan oleh Mbah Kakung dan Mbah Putriku. mbah dan simbok juga tak pernah cerita perihal mengapa orang tuaku meninggalkan aku. Dari kecil yang kutahu hanya berdiam diri di rumah, terkadang juga membantu si mbah di sawah dan membantu si mbok bejualan kue, padahal boleh dibilang kedua orang tuaku adalah orang yang berada. Dulu aku selalu berharap agar mereka pulang, karena aku tak tahan dengan kondisi hidup seperti ini, tapi impianku untuk berada dipelu­kan mereka sirna seketika itu”

“Aeni, terkadang aku merasa iba dengan pengorbanan simbah dan simbok yang susah payah membesarkanku, itu­lah mengapa aku selalu berusaha semaksimal mungkin un­tuk membahagiakan mereka, kamu tahu Aeni? Dari kecil aku bercita­cita ingin menjadi dokter agar simbah bangga dengan pekerjaanku dan aku bisa menyembuhkan segala macam pe­nyakitnya, tapi aku tak mengerti dengan jalan pikir mbah yang membawaku untuk mondok di Sul­Sel, padahal begitu banyak

Page 47: Menari Di Bumi Lontara

Rembulan Sengkang � 31

pesantren yang ada di tanah Jawa. Mbah Kakung berharap aku mampu melanjutkan cita­cita dan harapan Mbah Kakung untuk membangun pesantren di tanah Jawa”

“Ningrum, saya yakin semua itu hanyalah ujian dari Al­lah” Ujar Aeni.

Terdengar isak tangis Aeni, dalam hati kecilku mengatakan bahwa Aeni mungkin terharu dengan perjalanan takdirku.

“Ningrum... semestinya kamu harus bersyukur, karena di dunia ini masih ada yang lebih berat ujiannya dibanding kamu” contohnya saja aku.

“Ningrum, saya anak kedua dari empat bersaudara, 3 perempuan dan 1 laki­laki. Yang membiayai saya beserta ka­kak dan adik­adik saya, adalah ibu saya semata, ayah saya pergi meninggalkan ibu saya ketika saya duduk dibangku kelas 4 SD, dan adik saya yang bungsu saat itu masih bayi. Ayah selingkuh dengan teman kantornya, dia tega meninggalkan keluarga yang dibinanya selama belasan tahun demi seorang janda. Awalnya ketika saya masih dalam kandungan, ayah saya selingkuh, tapi setelah kedapatan dengan ibu saya, dia berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, dengan sabarnya ibu saya masih menerima ayah saya, namun beberapa tahun kemudian peristiwa itu teru­lang lagi, hingga akhirnya ayah meninggalkan ibu beserta saya dan saudara saya”

“Pernah.. dia datang menemui saya di sekolahan, dan mengukur kaki saya, dia bilang ingin membelikan saya sepatu, yah karena saya anak yang paling dekat dengan dia. Ibuku saat itu mengatakan padaku untuk membujuk ayahku kembali ke

Page 48: Menari Di Bumi Lontara

32 � Menari di Bumi Lontara

rumah. Tapi ayah tetap pergi dan sampai sekarang saya tak pernah lagi bersua dengannya”

“Kamu tahu Rum, bagaimana cara ibu saya menghada­pi kehidupan? Sambil mengajar beliau juga berjualan depan rumah, jual ubi, dan kue­kue seperti simbokmu”

“Bagiku ibuku adalah sosok wanita yang tangguh, tak per­nah sedikitpun terucap dari bibirnya kalimat keluhan ataupun keputus asaan. Kini saya baru menyadari bahwa lebih baik tak mengenal siapa itu ayah di banding punya ayah tapi seorang pengkhianat”

Hatiku tersentuh mendengar perjalanan hidup Aeni. Aku berjanji dalam hatiku agar takkan mengingat kembali masa lalu yang begitu suram, merindukan ayah dan ibu itu takkan pernah lagi kuutarakan pada siapapun.

“Ningrum, kamu pernah dengar lagu dari Raihan?” Tanya Aeni sambil menunjukkan kaset lagunya. Meskipun aku yakin Aeni berusaha menyembunyikan kesedihannya.

“Emangnya judulnya apa?” Tanyaku.

“Kau Sahabatku Kau Teman Sejatiku” Jawabnya.

Aeni mulai memutarkan lagu yang begitu ia banggakan.

Liriknya seperti ini :

Kau Sahabatku Kau Teman Sejatiku

Telah tiba saat waktu kau tinggalkan kamiKarena takdir yang maha Esa telah menetapkan kamiSedih rasanya hati ini bila menganangkan

Page 49: Menari Di Bumi Lontara

Rembulan Sengkang � 33

Kau sahabatku Kau teman sejati

Tulus ikhlasmu, luhur budimu, bagai tiada penggantiSenyum tawamu, juga katamu menghiburkan kamiMemori indah kita bersama terus bersemanggiKau sahabatku, kau teman sejati..

Sudah ditakdirkan kau pergi duluDisaat kau masih diperlukanTuhan lebih menyayangi dirimu Kupasrah diatas kehendak yang Esa

Ya Allah…. Tempatkannya ditempat yang muliaTempat yang engkau janjikan nikmat untuk hambamuSahabatku akan kuteruskan perjuangan ini,Walau kutahu kau tiada disisi

Perjuangan kita masih jauh beribu batuSekali roh masih di jasad hidup diteruskanSedih rasanya hati ini mengenangkan dikauBagai semalam kau bersama kami

Moga amanlah dan bahagia dikau disanaSetangkai doa juga fatihah terus kukirimkanMoga disana kau bersama para shalihinKau sahabatku kau teman sejati..

Page 50: Menari Di Bumi Lontara

34 � Menari di Bumi Lontara

Telah tiba saat waktu kau tinggalkan kamiKarena takdir yang maha Esa telah menetapkan Sedih rasanya hati ini bila mengenangkanKau sahabatku kau teman sejati

****

Tak kusangka air mataku mengalir deras mendengar lagu yang diputar Aeni.

“Rum, saya memang belum mengenalmu lebih jauh, tapi hatiku terus meminta agar kamu jadi sahabatku”

“Terima kasih atas kebaikanmu Aeni..”

****

Menikmati dinginnya udara malam sambil mendengarkan alunan musik lembut mengalir mengikuti arah angin. Semen­tara itu sambil sesekali menarik nafas, Aeni menunjuk kearah langit, menunjuk kearah bintang yang diam berkelip­kelip.

“Rum, coba kamu perhatikan rembulan itu, Nampak be­gitu indah menerangi bintang yang ada di sekelilingnya. Saya ingin kamu seperti itu Rum.. menerangi semua orang yang ada disekitarmu. Dan tentunya kamu juga menerangi dirimu sendiri, dengan senyuman yang terukir di bibirmu. Jangan pernah kamu pudarkan senyuman dari bibirmu Rum, seperti rembulan itu, malam takkan indah tanpa rembulan, begitupun dunia takkan indah tanpamu”

“Aeni… Aeni...” tiba­tiba ada suara yang memanggil Aeni.

Page 51: Menari Di Bumi Lontara

Rembulan Sengkang � 35

“Ya ukhti ainaki29?” Suara itu semakin dekat.

“Na’am30 ukhti…. Ana fii hunaa31” Jawab Aeni.

“Oh,kak Mutmainnah? Limaadzaa32 ya Ukhti?” Tanya Aeni.

“Ya Ukhti Aeni a’laiki antahdurii ila’ttoobaqati tsaniyahati lilistimaa’I ma’luumaat, allati satulqii ummu Ruwayah, musyrifatu ssakan :mubasyaroh. Illaa kuma lam tahduroo fil gurfati” (Aeni, kumpul di lantai 2, ada pengumuman yang ingin disampaikan oleh bu Ruwayah, Pembina Asrama, cepat yah, karena tinggal kalian berdua yang belum ada di ruangan)” Tegas Mutmain­nah.

“Na’am ya Ukhti,, intadzirnaa ,,,,”

“Rum, itu tadi kak Mutmainnah, dia ketua asrama. Qumii yaa ukhtiku”

Lagi­lagi Aeni membuatku kagum terhadapnya. Subha­nallah bahasa Arabnya lancar. Usai melipat tikar, Aeni men­gajakku untuk turun ke lantai 2 asrama yang lumayan luas dijadikan tempat kumpul para santri.

Bu Ruwayah adalah Pembina dan sekaligus penanggung jawab asrama Assa’ada Putri. Malam ini beliau mengumpul­kan para santri tanpa terkecuali, baik penghuni lama maupun penghuni baru. Beliau membawakan wejangan kepada kami khususnya santri baru.

29. Ya Ukhta Ainaki? (bahasa Arab) hai saudaraku dimanaki.30. Na’am : (bahasa Arab) iya.31. Ana fii Huna: (bahasa Arab) saya disini.32. Limaadzaa : ( bahasa Arab) kenapa?

Page 52: Menari Di Bumi Lontara

36 � Menari di Bumi Lontara

“Assalam alaikum warahmatullahi wabarakatu”

“Adik­adik selamat datang di asrama putri, saya meng­umpulkan kalian disini selaku Pembina asrama. Ada per­aturan yang ingin disepakati bersama sekaligus membicarakan kekurangan yang harus dipenuhi, namun terlebih dulu saya akan membacakan penghuni masing­masing kamar di lantai 1 dan lantrai 2, dan yang disebut namanya di mohon untuk berdiri”

Setelah bu Ruwayah membacakan penghuni kamar, beliau melanjutkan wejangannya mengenai peraturan asrama.

Di dalam asrama terdapat peraturan yang harus jalankan, dan tentunya yang melanggar akan dikenakan sanksi.Peraturannya adalah :

� Berakhlakul karimah, menghormati yang tua dan menya yangi yang muda.

� Menjaga kebersihan asrama.

� Mengikuti program Asrama dengan baik.

� Mengikuti shalat berjamaah di masjid.

� Dilarang membawa alat elektronik.

� Dilarang keluar asrama tanpa seizin Pembina asrama.

� Dilarang menerima atau melayani tamu diluar batas bertamu.

� Di larang berdua­duaan dengan yang bukan muhrim.

� Dilarang memasukkan tamu laki­laki di dalam kamar.

� Izin pulang hanya sekali sebulan.

Page 53: Menari Di Bumi Lontara

Rembulan Sengkang � 37

Peraturan ini diberlakukan untuk semua santriwati yang mondok di asrama Induk, berbeda dengan asrama putri lain­nya, tidak seketat ini. Malam semakin larut, dan udara sema­kin dingin.

Sesekali kulirik rembulan yang cahayanya nampak dari lantai dua asrama, terlebih lagi keindahan rembulan itu terli­hat begitu indah di lantai 3 asrama.

****

Page 54: Menari Di Bumi Lontara
Page 55: Menari Di Bumi Lontara

� 39

Kubah-kubah Kota Sutra

Keesokan harinya, Aeni mengajakku mengelilingi kota Sengkang, sekaligus membeli perlengkapan sekolah. Aeni dan aku ke kamar Pembina asrama, yang letak kamarnya bersebela­han dengan ruang tamu. Awalnya Bu Ruwayah selaku Pembina asrama tak mengizinkan kami, tapi karena Aeni terus­terusan memaksa, akhirnya kamipun diberi izin dengan catatan tidak melampaui batas waktu yang telah ditetapkan yakni sebelum shalat magrib.

“Aeni kita mau kemana?” Tanyaku.

“Kita pergi makan dulu yah, setelah itu baru ke Sentral (pusat perbelanjaan)” Jawabnya.

“Naik angkot?” Tanyaku lagi.

“Tidak.. naik itu tuh...” sambil menunjuk kearah kenda­raan yang akan kami tumpangi.

Page 56: Menari Di Bumi Lontara

40 � Menari di Bumi Lontara

Aku menyaksikan kendaraan yang paling banyak di kota ini adalah bemor atau gabungan antara becak dan motor. Ternyata orang Sengkang kreatif juga dalam mengubah bentuk motor sehingga bisa mengangkut penumpang.

“Aeni.. motor dan becaknya enggak akan misahkan?” Tan­yaku khawatir.

Aeni, dan pak bemor itu tertawa mendengar pertanyaanku.

Aku hanya menggaruk­garuk kepala, dan tersenyum me­lihat mereka mentertawakanku.

****

Sesampai di tempat makan.

Tempat makan yang kami tempati adalah lesehan yang konsepnya seperti pavilion, kita duduk di salah satu dangau33 dan ditutupi tirai bambu. Tempat makan tersebut diberi nama Lesehan Jet Tempur. Dinamakan demikian karena letaknya yang berhadapan dengan monument berupa pesawat jet. Tam­paknya tak banyak yang tahu apa makna keberadaan jet itu. Apakah jet itu dulunya milik TNI ataukah milik bangsa lain. Namun seorang yang meneliti di kota Sengkang mengatakan bahwa jet itu milik bangsa Yahudi yang jatuh di kota Sengkang.

Aeni memesan ikan bakar dan aku menikmatinya dengan lahap. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan untuk mengel­ilingi kota Sengkang.

Beberapa jam kemudian, ketika aku dan Aeni sibuk mencari kebutuhan sehari­hari di pasar, pusat perbelanjaan

33. Dangau : gubuk atau rumah kecil

Page 57: Menari Di Bumi Lontara

Kubah-kubah Kota Sutra � 41

warga Sengkang, yang juga ketika lebaran dipenuhi pembeli dari segala penjuru khususnya para petani yang usai panen. Aku mendengar adzan dikumandangkan menandakan me­masuki waktu dzuhur. Tapi sesuatu yang membuatku heran, begitu banyak yang mengumandang adzan. Sesuatu hal yang membuatku takjub dengan kota Sengkang, hampir setiap ja­lan memiliki masjid, jadi seraya muadzinnya berlomba­lomba mengumandangkan adzan.

“Aeni aku pengen melihat tempat tertinggi di kota Seng­kang ini, dimana?” Tanyaku pada Aeni.

“Di Pattirosompe dan Pasanggrahan” Jawab Aeni.

“Aeni, aku ingin kesana yah”

“Iya, Insya Allah setelah shalat Ashar kita kesana yah, tapi cukup sekali selama kita mondok”

“Emangnya kenapa?” Tanyaku penasaran

“Rum, di tempat itu selain tempatnya bagus untuk melihat kota Sengkang, juga menjadi tempat maksiatnya para muda mudi di Sengkang”

“Iya deh” Ujarku.

Setelah membeli segela macam perlengkapan sekolah, aku dan Aeni kembali melanjutkan perjalananku mengelilingi kota Sengkang.

Aeni mengajakku untuk beristirahat sejenak di masjid Agung Sengkang. Masya Allah dekorasi bangunan masjid­nya terlihat seperti istana, langit­langit masjidnya di kelilingi lukisan kaligrafi, dan banyak pemuda yang tinggal di masjid ini, setelah aku tanyakan kepada Aeni, ternyata mereka adalah

Page 58: Menari Di Bumi Lontara

42 � Menari di Bumi Lontara

para penghafal Qur’an, yah sangat wajar jika kota ini disebut dengan kota Santri, karena tiap masjid rata­rata memiliki pen­gahafal Qur’an, dan santrinya bertebaran dimana­mana. Dis­amping masjid Raya terdapat Radio Suara As’adiyah, asrama Ma’had Aly dan juga kediaman pimpinan Pondok Pesantren As’adiyah.

Usai shalat Ashar, Aeni mengajakku untuk melihat­me­lihat kediaman Santri Ma’had Aly. Di gerbang aku melihat seorang lelaki berdiri mengenakan baju kokoh dan sarung, ternyata laki­laki itu adalah sekampung Aeni.

“Kak Bur?” Sapa Aeni.

“Mau kemana dik?” Tanyanya.

“Nih, dari pasar kakak, oya perkenalkan ini teman baruku kak, namanya Ningrum, Ningrum ini dari Jawa Tengah kak”

“Wah, Masya Allah yah dik, jauhnya datang dari Jawa terus ke Sengkang” Ujar kak Bur.

“Rum, kak Bur ini orangnya pintar dan cerdas” Puji Aeni.

Aku hanya tersenyum melihatnya.

“Kak, kami pamit dulu yah, masih ada tempat yang ingin kami kunjungi. Assalamu Alaikum”

“Waalaikum salam” Jawab kak Bur.

****

Bemor berlaju begitu cepat menaiki ketinggian Pasanggra­han, sesampainya di puncak, ternyata benar kata Aeni, begitu banyak muda­mudi yang menjadikan tempat ini sebagai tem­pat mengungkapkan rasa cinta dan kasih sayang pada sang

Page 59: Menari Di Bumi Lontara

Kubah-kubah Kota Sutra � 43

kekasih. Haa..? seperti itukah cinta? Namun aku tak peduli dengan itu semua, aku hanya ingin menyaksikan kota Seng­kang secara keseluruhan.

Aeni, memesan jus Jeruk, dan mengambil tempat paling pojok.

“Subhanallah Aeni.. inikah kota Sengkang yang sering disebut­sebut oleh simbahku?”

Kota lahirnya ulama­ulama besar?

Kota dengan adat daerah yang mencolok?

Kota yang lahirnya pemuda­pemudi Shaleh dan Shaleha?

“Aeni, aku takjub dengan Kota ini, ketika aku membalik­kan pandanganku kearah barat aku melihat banyak kubah­kubah masjid, begitupun ketika aku membalikkan pandan­ganku kearah timur, aku juga mendapati banyak kubah masjid, di sana sini ada masjid, pantas saja, ketika Adzan dikumandan­gkan seakan mereka berlomba­lomba untuk menyelesaikan Adzan mereka”

Tak lama kemudian, mataku tertuju pada satu kubah mas­jid yang lumayan besar meskipun tak sebanding dengan kubah masjid Raya tapi kubah ini terlihat begitu tua.

“Aeni, itu masjid apa?” Tanyaku.

“Yang mana?” Aeni kembali bertanya padaku.

“Ituloh Aen, yang warna hijau itu”

“Oh itu masjid Jami, masjid tertua di Kota ini, masjid itu tepat berada depan Asrama kita, yah sekaligus tempat belajar kita”

Acer
Highlight
Page 60: Menari Di Bumi Lontara

44 � Menari di Bumi Lontara

“Oh gitu, wah, kalau aku jadi orang kaya nanti Aeni, Aku akan bangun masjid, yang mirip dengan masjid Jami itu, yang pastinya di kampungku”

“Ehhehehhehe,,,Amiin”

Matahari mulai terbenam, keindahan kota Sengkang ma­kin nampak.

“Aeni, yang tempat matahari terbenam di bagian sana sep­erti laut lepas, itu apa Aeni?”

“Oh, itu namanya Danau Tempe” Sengkangkan juga ter­kenal dengan keindahan danau tempenya.

“Oh iya, aku baru ingat Aeni”

“Senja di sore hari ini terlihat begitu indah Aeni. Kamu tahu Aeni? Saat mataku menakjubi keindahan ini, hati dan pikiranku juga tengah mengagumi penciptanya. Jika keinda­han ini saja sudah begitu indah bagaimana lagi dengan kein­dahan Sang Pencipta Maha Karya ini, pemilik keindahan dari segala keindahan, Sang Maha Indah?”

“Keindahan semesta ini adalah ayat­ayatNya untuk kita Rum”

****

Perjalan sehari mengelilingi kota Sengkang cukup mem­berikan kesan menarik bagiku. Aku dan Aeni kembali ke as­rama untuk melanjutkan aktifitas sebagai seorang santri.

Page 61: Menari Di Bumi Lontara

� 45

Aku Bukan Kiyai

Selama aku mengenyam pendidikan, aku pernah men­emukan guru idolaku waktu duduk dibangku MTs dan berkat sang idola aku bisa bangun dari tidur, dan juga bisa berdiri dari dudukku. Aku benar­benar menemukan jendela baru dalam menatap masa depan pendidikanku dikala itu.

Ceritanya begini...

Hari kedua sekolah seorang laki­laki berpostur tubuh tinggi mengenakan baju kokoh putih, membuat para santriwati melototinya ditambah lagi dengan peci putih yang dikenakan di kepalanya menambah kewibawaannya. Beliau adalah ustadz Agus, mengajarkan ilmu tafsir, beliau alumni mesir tepatnya di Universitas al Azhar Cairo.

Page 62: Menari Di Bumi Lontara

46 � Menari di Bumi Lontara

“Wah, mageretta34lanre35Gurutta36mbe37” ujar salah seorang santri dengan logat daerahnya.

“Assalamu alaikum adik­adik …” Salam telah terlontar dari bibirnya.

“Waalaikum salam...” jawab kami serempak.

Aeni menyenggol pinggangku.

“Rum, gimana menurut kamu dengan guru kita yang satu ini” tanya Aeni.

Aku hanya tersenyum dan tak berkomentar apapun den­gan guru yang berada tepat di hadapanku.

“Adik­adik sekalian” Sapanya.

“Hari ini mungkin kita belum memulai pelajaran Tafsir tapi pertemuan pertama ini akan kita jadikan pertemuan sal­ing mengenal satu sama lain. Seperti kata pepatah Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cintaa…”

“Baiklah adik­adik, perkenalkan nama saya Muhammad Agus Lc. Bisa dipanggil A’a Agus, kak Agus juga bisa, yang jelas bukan Guse”

Mendengar perkenalan pertama Ustadz Agus semua santri tertawa kecuali aku, yang kurang memahami apa arti Guse itu.Ustadz Agus kembali melanjutkan perkenalannya.

34. Mageretta : (bahasa Bugis) ganteng.35. Lanre : (bahasa BUgis) sekali( banget)36. Gurutta : (bahasa Bugis) guru kita.37. Mbe : hanya sekedar gaya bahasa yang sering digunakan orang Bone.

Page 63: Menari Di Bumi Lontara

Aku Bukan Kiyai � 47

“Adik­adik sekalian.. sebelum saya melanjutkan perkena­lan saya, saya ingin bertanya pada adik­adik sekalian semuanya mengerti bahasa bugiskan? Atau ada yang bukan orang bugis?” Tanya ustadz Agus.

“Ada dari Jawa pak” Ujar salah seorang santri sambil menunjukku.

“Oh adik dari mana?” Tanyanya padaku.

“Aku dari Magellang, Jawa Tengah pak” Jawabku.

“Oh wong Jowo? Namanya siapa dik?”

“Ningrum wijastuti” Jawabku singkat.

“Tapi adik pernah ke Sulawesi sebelumnya? Atau adik pu­nya keluarga disini. Tanyanya lagi”

Aku menggelengkan kepala, “tidak pak, ini untuk pertama kalinya aku ke daerah bugis” Jawabku.

Setelah santriwati memperkenalkan masing­masing nama dan asal daerahnya. Ustadz Agus kembali bertanya pada kami.

“Adik­adikku yang saya banggakan, lanjut di pesantren adalah pilihan yang tepat yang tidak akan pernah kalian sesali sampai kapanpun. Kakak ingin bertanya lagi kekalian semua. Diantara kalian ada tidak yang dipaksa masuk ke pesantren atau masuk ke pesanntren tapi niatnya setengah­tengah?”

Aku mengacungkan tanganku.

“Ningrum? Kenapa dik?”

“Tak ada sedikitpun keinginanku untuk lanjut di pesantren pak, apalagi di daerah Sulawesi, aku melakukan semua ini karena aku tak ingin mengecewakan kakek dan nenekku” Kataku sambil menahan air mataku menetes.

Page 64: Menari Di Bumi Lontara

48 � Menari di Bumi Lontara

“Emangnya pandangan adik tentang pesantren itu seperti apa?” Tanyanya penasaran.

“Setahuku orang yang mondok di pesantren tak memiliki masa depan” Ujarku.

Kulihat ustadz Agus tersenyum dan mulai menjelaskan padaku mengenai pondok pesantren.

“Adik Ningrum dan adik­adik sekalin pengen tidak men­dengar cerita kakak?” tanyanya.

“Ia pak..” jawab kami.

“Dulu dik, setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar saya ingin lanjut di sekolah menengah pertama yang ber­basis Intenasional. Tapi bapak saya menolak permintaan saya dan beliau ingin agar saya masuk pesantren. Setelah menyelas­aikan studi di Mts, saya kembali mengutarakan keinginan saya ke bapak saya untuk lanjut di sekolah menengah atas berba­sis Internasional, tapi parahnya bapak saya mengatakan pada saya, “mau sekolah atau tidak? Kalau mau sekolah yah lanjut di pesantren” Yah terpaksa lanjut lagi di pesantren, tapi Alham­dulillah kelas 2 aliyah saya mulai sadar akan harapan bapak saya, dan saya mulai menekuni pelajaran di pondok pesantren, dan Alhamdulillah setelah tammat aliyah saya lulus ke Mesir dan mendapatkan beasiswa”

Aku tak menyangka air mata membasahi pipiku, begitu­pun dengan Aeni.

Ustadz Agus melanjutkan penjelasannya.

“Adik­adik sekalian, menjadi seorang yang sukses bukan­lah sesuatu hal yang mudah, lihatlah air menitik dari langit,

Page 65: Menari Di Bumi Lontara

Aku Bukan Kiyai � 49

butir demi butir maka bumipun basah, lihatlah…..!!! air men­galir dari gunung melewati sungai melalui muarah jadilah ia lautan. Begitupun dengan kesuksesan, seseorang akan meraih sebuah kesuksesan dengan berbagai macam cobaan dan ujian. Pandanglah dan petiklah sebuah pelajaran dari seekor kupu­kupu yang sangat cantik, mereka ada melalui perjuangan yang berat, dimulai dari telur menjadi seekor ulat yang terkadang geli untuk dipandang bahkan menjijikkan, seekor ulat berubah menjadi kepompong, kemudian jadilah seekor kupu­kupu yang sangat cantik dan indah, itulah perjuangan hidup yang awal­nya pahit namun hasilnya lebih manis dari madu”

****

Ustadz Agus sangat dekat dengan para santri, dia sangat welcome bagi siapa saja yang ingin bertanya dan curhat ke­padanya. Sejak hari pertama itu aku mulai dekat dengannya, dan semakin aku dekat semakin aku menyayanginya, sayang sebagai kakak yang selalu memberikan pelajaran berharga dan semangat kepadaku. Jika ada waktu kosong kami sempatkan ke perpustakaan berdiskusi bersama Ustadz Agus.

Hari ke empat di sekolahan aku dan Aeni ke perpustakaan kulihat Ustadz Agus duduk dibangku paling pojok sambil membaca buku karangan Ulama Indonesia yang pengarang dan bukunya cukup terkenal, Quraish Shihab dalam karan­gannya Tafsir Al­Misbah. Beliau menekuninya dengan penuh penghayatan.

“Kak Agus...!” hardik Riska.

Page 66: Menari Di Bumi Lontara

50 � Menari di Bumi Lontara

Kulihat Ustadz Agus hanya tersenyum, tiba­tiba bu Fati­mah menghampiri Riska, dan menegurnya, awalnya aku mengira kalau cara Riska menyapa guru kurang sopan ternya­ta………..

“Nak, jangan menyapa guru di sini dengan sapaan kakak, karena bagaimanapun mudanya, dia tetap guru kalian” Ujar Bu Fatimah.

“Lalu saya harus memanggilnya dengan sebutan apa Pung?” Tanya Riska.

“Yah sapalah dia dengan sebutan Pung” Tegas bu Fatimah.

Riska hanya mengangguk.

Aku menghampiri Aeni dan bertanya padanya.

“Aeni... Pung itu apa?” Tanyaku.

“Hihihihihi.. Rum... pung itu gelar untuk orang yang di tuakan di daerah Wajo” Jawab Aeni.

“Aeni, gelar itu juga untuk ustadz semuda dia?” Tanyaku lagi.

“Rum, siapa bilang kak Agus masih muda? Beliau itu dah berkepala dua, dan sebentar lagi berkepala tiga” Canda Aeni.

Mendengar penjelasan Aeni aku hanya tersenyum dan mulai mengerti bahwa adat istiadat di Bugis memang begitu kental.

“Aeni, emangnya ustadz Agus belum punya calon istri yah?” tanyaku penasaran.

“Ckckkckck…yah ada kalau kamu mau jadi salah satu calonnya” Canda Aeni menarik ujung jilbabku.

Page 67: Menari Di Bumi Lontara

Aku Bukan Kiyai � 51

“Yahh.. ora iso Aeni.. wong tasih38 cilik, mana iso?”

“Waduh ngomong apa sih kamu ini Rum, saya mana pa­ham bahasamu”

“Makanya belajar Aen... siapa tau aja kamu dapat orang jawa” Kataku.

****

Beberapa hari berlalu begitu banyak hal yang diajarkan Ustadz Agus kepadaku, seputar pesantren, masa depan, bahasa arab, bahkan terkadang mengenai pelajaran di kelas. Sangat wajar rasanya jika aku nobatkan beliau sebagai guru idolaku, karena berkat beliau, aku menemukan potensi yang masi ter­pendam, diantara potensiku yang menonjol adalah:

Menulis karya ilmiah, potensi ini aku temui ketika beliau sering mengajari bagaimana menulis karya ilmiah, selain itu untuk menumbuhkan semangat santri dalam menulis, beliau membentuk tim redaksi majalah santri, dan kebetulan yang dipercayai sebagai ketua redaksinya adalah aku sendiri, yah agar aku bisa menuangkan bakat menulisku melalui majalah dinding yang di fasilitas sekolah. Kemudian potensi berbicara di hadapan publik, sebelum masuk MTs, aku anaknya dike­nal sebagai anak pendiam dan tidak bisa berbicara di depan umum. Namun dengan metode mengajar beliau yang sangat tepat, akhirnya aku keluar dari zona penakut berbicara depan publik.

38. Tasih: (bahasa Jawa) masih.

Page 68: Menari Di Bumi Lontara

52 � Menari di Bumi Lontara

Kedekatan itu semakin kurasakan ketika ada acara tasyak­kuran di pondok pesantren, tepatnya hari perayaan ruangan baru, sekaligus acara maulid kanjeng nabi Muhammad saw, saat itu terdengar suara ustadz Agus membaca sesuatu, ha­tiku bertanya­tanya, kalau yang dibaca ustadz Agus itu bukan ayat Al Qur’an bukan pula hadis Nabi, tapi cara Ustadz Agus membacanya menggunakan irama yang terdengar merdu dan mendayu menggunakan bahasa arab, mungkin itu semacam syair arab. Aku beranikan diri untuk bertanya pada salah satu guru di pondok.

“Pung yang di baca Ustadz Agus itu namanya apa?” Tan­yaku penasaran.

“Oh itu namanya Barasanji nak. Barasanji itu berasal dari nama kampung, awal mulanya ketika Rasulullah saw wafat, para sahabat saat mengalami kemunduran dalam berdak­wah, semangat mereka tidak seperti sediakalanya semenjak sepeninggalan Rasulullah, setelah itu diadakan semacam lom­ba menulis, dan yang memenanginya adalah Syaikh Ja’far Al Barzanji, tulisannya tentang prikehidupan Nabi Muhammad saw, agar umat Islam dapat mengetahui kemudian meneladani bagian­bagian penting prikehidupan Nabi Muhammad saw”

“Wah, aku tak pernah menemukan semacam itu di tanah jawa pung” Kataku.

“Yah, memang nak sebagian orang menganggap bahwa amalan ini adalah bid’ah, tapi coba kita bertanya pada orang yang menganggap bahwa barasanji itu bid’ah, apakah mer­eka mengetahui isi dari berasanji itu apa? Bagaimana mereka mampu memfonis sesuatu hal dengan mengatakan ini bid’ah

Page 69: Menari Di Bumi Lontara

Aku Bukan Kiyai � 53

lantasan mereka sendiri tidak mengerti tentang sesuatu hal itu. Barasanji ini telah menjadi tradisi dikalangan santri As’adiyah, yang mana hal ini telah diamalkan oleh anre Gurutta As’ad”

“Agus itu punya keahlian membacakan Barasanji, santri as’adiyah banyak belajar sama dia”

Akupun mulai belajar pada ustadz Agus mengenai Barasanji dan bahasa bugis.

****

Seiring berjalannya waktu kedekatanku dengan Ustadz Agus dan Aeni menjadi pembicaraan di pondok pesantren hingga melibatkan aku dan ustadz Agus mendapat masalah. Entah dari mana asalnya berita itu, yang jelas berita yang terse­bar dikalangan santri dan para guru ialah yang mengira aku dan ustadz Agus memiliki hubungan selain antar guru dan murid.

“Rum, (kamu dipanggil wakamad kesiswaan di ruang ke­pala sekolah) ujar piket sekolah”

Dengan lesu kulangkahkan kakiku menuju kantor kepada madrasah.

Sesampainya di sana.

“Assalamu alaikum pung”

“Waalaikum salam..” jawab bu kati, sambil mempersilah­kanku duduk.

“Rum, kamu tahu kesalahanmu sehingga kamu di panggil di sini nak?” Tanya bu Kati.

“Enggeh pung, ora ngerti” Jawabku.

Page 70: Menari Di Bumi Lontara

54 � Menari di Bumi Lontara

“Rum, para guru telah mendengar kedekatan kamu den­gan ustadz Agus, itu sangat mengganggu kenyamanan guru­guru lain nak. Apa kamu punya hubungan khusus dengan ustadz Agus?” Tanya bu Kati.

“Aku berani sumpah pung, tak ada hubungan apa­apa an­tara aku dan ustadz Agus selain guru dan murid, beliau hanya aku anggap sebagai kakak, bahkan ayah pung.” Mataku mulai nanar.

“Iya nak, ibu percaya sama kamu tapi nak, watak dan ke­priadian teman dan guru­guru berbeda­beda. Melihat kedeka­tan kamu, itu akan membuat teman­teman kamu cemburu dan jangan sampai karena kedekatan kalian menimbulkan prasangka­prasangka yang tidak baik di mata masyarakat” Te­gas bu Kati.

“Tapi pung... aku dan ustadz Agus tidak memiliki hubun­gan apa­apa” Ucapku.

“Iya nak, ibu hanya menasihatimu, jangan sampai hal itu terjadi nak. Yah hanya itu yang ingin ibu tanyakan dan yakink­an kepadamu nak. Kamu boleh kembali ke kelas melanjutkan pelajaran” Perintah bu Kati.

Aku pergi meninggalkan bu Kati menuju kelas, Aeni menungguku di depan ruangan kepala sekolah.

“Rum...” ( sambil memelukku).

“Aeni, kenapa semua orang menganggapku seperti itu?”

“Rum, isbirii 39!!!” Aeni berusaha menguatkanku.

39. Isbir: (bahasa Arab) sabar.

Page 71: Menari Di Bumi Lontara

Aku Bukan Kiyai � 55

“Sore nanti kita ke tempat favorit kita yuk?” Ajak Aeni.

“Emangnya nanti sore tak ada kegiatan ekstrakurikuler yah?” tanyaku.

“Yah, Alhamdulillah tidak ada, kebetulan Bu Fatimah, nanti sore ada acara jadi tidak sempat hadir” Jawab Aeni.

Sorenya……

Semilir angin lembut serta matahari yang hampir teng­gelam diujung barat. Dan warnanya yang jingga seperti mem­bakar langit. Bunga­bunga mekar disepanjang pekarangan rumah warga yang tak henti memberi wangi sepanjang hari.

“Uuuff... Aeni...aku merindukan mbah dan si mbok, sudah sebulan aku di pesantren”

“Rum, bagaimana perasaanmu selama sebulan disini?” Tanyanya.

“Yah, terkadang aku berfikir Aen, mampukah aku ber­tahan di pesantren?”

“Tiap hari aku memimpikan simbah dan si mbok…..”

“Rum, itu berarti kamu belum ikhlas dengan perjalanan takdirmu” Tutur Aeni.

“Iya mungkin saja begitu Aen, aku belum bisa menerima semuanya”

“Rum, aku yakin akan tiba waktunya dimana kamu akan mengerti ketetapan Allah terhadapmu”

****

Page 72: Menari Di Bumi Lontara

56 � Menari di Bumi Lontara

Semenjak hari itu kedekatanku dengan ustadz Agus mulai renggang, padahal kalau bukan beliau aku takkan mungkin bertahan di pesantren ini.

Hari demi hari, aku kembali seperti dulu lagi, tak ada lagi senyuman yang terukir di bibirku. Tak ada lagi yang mem­beriku semangat dan wejangan.

Tuhan, aku merindukan sosok ustadz muda itu, aku merin­dukannya. Sudah dua minggu beliau tak menyapaku, mungkin beliau sengaja menghindariku agar tak ada lagi yang berang­gapan lain­lain terhadapku.

Keesokan harinya.

“Assalamu alaikum adik­adik…..”

Aku tersadar dari lamunanku, aku tak menyangka ustadz Agus kembali mengajar di kelasku.

“Wa alaikum salam pung..” jawab kami serempak.

“Mohon maaf karena minggu kemarin kakak tidak sem­pat mengajar di kelas kalian disebabkan orang tua kakak sakit keras dan mengharuskan kakak untuk kembali ke kampung, tapi Alhmdulillah saat ini keadaan beliau mulai membaik”

“Kaifa halukunna?” Tanyanya

“Bikhair Alhamdulillah” jawab kami.

“Wa kaifa haluki?” Sambil menatapku.

“Alhamdulillah pung” Jawabku singkat.

“Senyum dong Rum..” kata Ustadz Agus“Na’am fii hadza al-yaumi , nadrusu ‘an Baabi Makkii Wal Madanii” Lanjut ustadz Agus.

Page 73: Menari Di Bumi Lontara

Aku Bukan Kiyai � 57

Alhamdulillah aku merasa legah karena Ustadz Agus telah kembali seperti dulu. Ucapku dalam hati.

Usai pelajaran beliau menemuiku.

“Dik, bagaimana kabarmu?” Tanyanya.

Belum sempat aku menjawab beliau melanjutkan kalimat­nya.

“Dik, semua akan seperti sediakalanya, tak ada masalah dik, bersikaplah sewajarnya dik” Ujar ustadz Agus.

Perasaan kagum dan rasa hormatku pada ustadz Agus se­makin bertambah, aku selalu berdoa agar ustadzku ini segera mendapatkan jodoh. Hehehhehehe. Ucapku lirih.

****

Page 74: Menari Di Bumi Lontara
Page 75: Menari Di Bumi Lontara

� 59

Di Masjid Tua Aku Mengaji

Selamat pagi... bagiku waktu selalu pagi, diantara poton­gan dua puluh empat jam sehari, bagiku pagi adalah waktu yang paling indah. Ketika janji­janji baru muncul seiring embun menggeluyut di ujung dedaunan. Andai pagiku bukan waktu yang di sibukkan dengan aktifitas yang harus segera kuker­jakan sebagai seorang santri mungkin tiap hari aku menunggu pagi di masjid tua ini, bahkan aku akan mendatangi matahari terbit dan mengejar embun di ujung dedaunan.

Masjid Jami Sengkang merupakan masjid tertua di kota Sengkang, begitu banyak santri huffadz40 yang meluangkan se­perdua waktunya di masjid tapi itu bukan alasannya mengapa aku senang berdiam diri di masjid tua ini. Masjid tua ini punya warna tersendiri yang nuansanya membawa kesan tersendiri bagi setiap jamaahnya.

40. Huffadz : (Bahasa Arab) Para penghafal.

Page 76: Menari Di Bumi Lontara

60 � Menari di Bumi Lontara

Santri Huffadz menghafal dan mendaras hafalan di masjid tua ini, moment seperti itu tak pernah kulewatkan sedikitpun, mendengarkan mereka melafazkan ayat­ayat Al Qur’an dapat menggetarkan hatiku, meskipun itu hanya kudengar di balik tirai sebagai pembatas laki­laki dan perempuan.

Tiap waktu aku menyempatkan diriku ke masjid tua ini, ketika aku merindukan Mbah Kakung, Mbah Putri, kampung halaman, aku juga kalau mengahafal ke masjid ini, karena mudah masuk dan tak ada gangguan. Di samping itu juga aku ke masjid ini ketika aku lapar dan tak ada yang bisa di­makan, karena jika kubiarkan diriku berada di asrama ketika aku lapar, maka lapar itu semakin terasa disebabkan aroma masakan santri­santri di asrama, sedangkan di masjid, tak ada yang memancing rasa lapar itu.

Sudah 3 bulan aku menetap di asrama, aku memikir­kan nasibku kedepannya, uang yang diberikan oleh mbahku ternyata tak mencukupi kebutuhanku selama beberapa bulan kedepan, uang yang diberikan Mbah Kakung telah aku pakai untuk keperluan sekolah, olehnya itu kupikirkan bagaimana agar aku mampu bertahan hidup.

Di pesantren tersebut para santri memasak sendiri, ter­masuk juga aku, oleh karena itu saat pulang dan kembali ke pondok kami membawa bahan­bahan makanan mentah pada­hal jarak yang kutempuh sekitar 3 KM dengan berjalan kaki.

Suatu kali ketika aku sedang duduk santai sambil mem­baca kitab di teras masjid Jami, tiba­tiba Aeni menghampiriku, kulirik sekilas setelah itu kukembali menekuni kitab.

Page 77: Menari Di Bumi Lontara

Di Masjid Tua Aku Mengaji � 61

“Rum, akaltii41 ?” Tanyanya.

Aku hanya mengangguk. Aku menyadari bahwa Aeni sangat menyayangiku, memperhatikan kebutuhanku, seperti sosok Nurul sahabatku, namun aku tak mau sedikitpun me­nyusahkan orang selama aku mampu mengurus diriku sendiri.

“Rum, hadzihii risalah42” Sambil menyodorkan surat itu kepadaku.

“Min..?” tanyaku.

“Laa a’rif Rum, yumkin min mbahmu” (saya tidak tahu, mung kin dari mbahmu) Jawabnya.

“Syukran Aen”

“Rum, qabilnii ba’da taqraiina risalah. Oke” (temui saya setelah membaca surat)

“Na’am ukhti”

Kubuka amplop dari surat tersebut, betapa senangnya diriku ternyata surat itu dari si mbah di kampung.

Assalamu alaikum nduk...

Mbah Kakung kangen kaleh sampean nduk, nyuwun ngapunten bilih simbah dereng saget nyukani yotro kagem sampean sasi niki nduk, amargi simbah dereng angsal tambahan yotro, yotro ingkang simbah angsal namung cekap kagem maem mben dinten kaleh mbah sama simbok, nduk ngapunten ugi menawi sasi ramadhan mangke sampean mboten saget wangsul ramadhan lan riyoyonan sareng mbah.

41. Akalti? :(bahasa Arab) sudah makan?42. Haadzihi risalah : (bahasa Arab) ini surat.

Page 78: Menari Di Bumi Lontara

62 � Menari di Bumi Lontara

Ngapunten enggeh nduk, mbah sayang kaleh sampean nduk.

(Kakek begitu merindukanmu cu’, mohon maaf karena ka­kek belum bisa kirimkan uang untuk belanjamu bulan ini cu’, karena kakek belum dapat tambahan uang, uang yang kakek dapatkan itu hanya cukup sebagai makan sehari­hari kakek sama nenekmu.Cu’ maaf juga karena bulan ramadhan nanti kamu tidak bisa pulang dan lebaran dengan kakek. Maafkan kakek cu’, kakek sayang sekali sama kamu cu’)

Wa salamu alaikum wr.wb.

Setelah membaca surat dari Mbah Kakung, senyumanku­pun perlahan­lahan berubah menjadi linangan air mata.

Minggu depan sudah memasuki bulan suci ramadhan, ke­banyakan temanku akan pulang kampung, karena faktor biaya tahun ini aku puasa dan lebaran tanpa ditemani Mbah Kakung dan Mbah Putri, Aeni yang kampungnya di Jenneponto luma­yan jauh dengan jarak Sengkang ke Jenneponto memanggilku untuk liburan ke rumahnya, tapi aku tetap bersikeras untuk ti­dak menyusahkan orang lain selama aku meyakini aku mampu melaluinya.

Kulanjutkan bacaan kitabku, tak kuhiraukan sebanyak apa air mataku membasahi pipi,

Keesokan harinya, ustadz Agus melihatku melamun di sudut masjid, beliau menghampiriku.

“Dek, kenapa melamun?” Tanyanya mengagetkanku.

“Enggeh..pung...” aku tersenyum.

“Ada masalah dik?” Tanyanya penasaran.

Page 79: Menari Di Bumi Lontara

Di Masjid Tua Aku Mengaji � 63

“Aku hanya rindu dengan mbah di kampung, minggu de­pan dah puasa tapi aku enggak bisa lebaran bareng si mbah dan si mbok di kampong” Jawabku lesu.

“Sabar yah dik !” ustadz Agus berusaha menghiburku.

“Dik, bagaimana kalau ramadhan ini adik ikut saja pelepasan mubaligh dan muballigah” Ujar ustadz Agus.

“Tapi aku tak ngerti bahasa bugis pung” Jawabku.

“Saya akan tempatkan kamu di daerah yang mengerti ba­hasa Indonesia, bagaimana dik?” Tanyanya.

“Yowes pung, kalau itu baik menurut ustadz Agus, Insya Allah aku siap pung” Jawabku.

****

Malam harinya aku dan Aeni, ke lantai 3 asrama tempat kami melepaskan kesedihan.

“Rum, beneren kamu enggak mau ikut aku ke kampung?” Tanya Aeni.

“Ia Aen, untuk saat ini aku belum bisa ke kampung sam­pean”

“Terus, sampean mau kemana?” Canda Aeni, sambil me­niru gaya bahasaku.

“Aku rencananya mau ikut pelepasan Mubalig dan Mubal­ligah, ustadz Agus yang nawarin”

“Wah, hebat dong..” ujar Aeni. “Yah tapi sayang banget yah Rum karena sebulan lebih kita pisah” Lanjutnya.

Page 80: Menari Di Bumi Lontara

64 � Menari di Bumi Lontara

“Yah, mau gimana lagi Aeni, moso kowe eca­eca (masa kamu senang­senang) di kampung sampean43, lah lan kene kulo sengsara, kesangetan bangetkan?” (dan saya disini sengsara, ket­erlaluan sekalikan) Ujar aku dengan logat jawaku.

“Waduh, kamu itu bicara apa sih, aku kan tidak mengerti” Keluh Aeni.

“Makanya sampean belajar dong, biar dapat jodoh wong Jowo”

****

3 hari kemudian, tibalah saat yang dinantikan para santri, yakni pulang ke kampung halaman masing­masing, berkum­pul dengan orang­orang yang mereka sayangi, makan masakan ibunda tercintanya, bermain bersama adik dan kakak mereka, dan masih banyak lagi kenangan di kampung yang tidak di­dapatkan di asrama. satu per satu santri meninggalkan asrama dengan penuh senyuman. Tak terkecuali Aeni.

“Rum, saya pulang dulu yah sayang…”

“Aeni, kamu mau enggak tak antar ke terminal?” Tanyaku.

“Wah.. yang benar?” Tanya Aeni.

“Iya...” jawabku singkat.

“Makasi banyak yah Rum, di saat­saat seperti ini kamu masih selalu ingin bersamaku” Ucap Aeni.

Aku dan Aeni bergegas menuju ke terminal, jaraknya lu­mayan dekat dengan asrama.

43. Sampean: bisa berartikan kamu.

Page 81: Menari Di Bumi Lontara

Di Masjid Tua Aku Mengaji � 65

Sesampainya di terminal.

“Makassar... Pare­Pare... Palopo…” teriak sopir mobil di terminal.

“Tegaki jokka44 dek”? Tanya seorang kernet mobil.

Hmm.. pasti maksud dari kernet itu, mau kemana. Ucapku dalam hati.

“Pak, saya mau ke Jenneponto” Ujar Aeni.

“Oh, bagian sana dek” Sambil menunjuk ke arah mobil hitam yang ada di pojok terminal.

Seketika itu Aeni menarik tanganku menuju kearah mobil hitam itu.

“Pak, Jenneponto?” Tanya Aeni kepada sopir mobil.

“Ohm iye ndi, siyagaki45 ?” tanya sopir.

“1 orang pa” Jawab Aeni.

“Teman adik mau kemana?” Tanyanya lagi.

“Dia hanya sekedar mengantar pak” Jawab Aeni.

“Oh, kalau gitu naikmeki dik, kita akan berangkat seka­rang”

“Rum, saya pergi dulu yah sayang, jaga diri di kampungnya orang, sesampai di rumah saya akan nelpon ke asrama”

Setelah berpelukan dengan Aeni, akupun memanggil be­mor dan kembali ke asrama.

44. Tegaki Jokka: (bahasa Bugis) kemana ma pergi?45. Siyaga: (bahasa Bugis) berapa?

Page 82: Menari Di Bumi Lontara

66 � Menari di Bumi Lontara

Sesampainya di asrama, terasa sepi dan hening, hanya tinggal beberapa orang.

“Rum!!!”

“Oh, Intan, kenapa?”

“Rum, aku dengar­ dengar kamu tugas ceramahnya di kampungku”

“Oya? Siapa yang bilang?” Tanyaku penasaran.

“Tadi aku dengar Ustadz Agus cerita dengan bu Ruwayah” Jawab Intan.

“Yah, syukurlah aku di tempatkan di kampungmu. Kalau gitu aku ke kamar dulu yah”

****

Malam harinya, di saat suasana begitu hening, telephon asrama berdering.

Kring....kring....kring.....

Aku melangkahkan kaki menuju ruang tamu dan men­gangkat telepon.

“Halo, Assalamu alaikum....”

“Wa alaikum salam...” jawabnya.

“Bisa saya bicara dengan Ningrum?” Tanyanya.

“Ia, saya sendiri, ini siapa?” Jawabku.

“Rum, ini aku, Aeni, Alhamdulillah aku dah sampai di rumah dengan selamat”

“Oh, sampean?” Tanyaku.

Page 83: Menari Di Bumi Lontara

Di Masjid Tua Aku Mengaji � 67

“Sampean­sampean… kamu ini, lupain tuh logat Jawanya kaya’ tukang jamu tau” Canda Aeni.

“Yeee.... itumah ciri khasku, gini­gini kamu dah terbiuskan dengan bahasa daerahku?”

“Ich...ichhh... mulai lagi deh muji diri sendiri” Lanjut Aeni.

“Rum, gimana? Dah tau enggak tugas kamu dimana?” Tanyanya.

“Emmm... aku tugas di Kabupaten Soppeng, tepatnya di kampungnya Intan”

“What? Di Soppeng?” Tanya Aeni.

“Ia, di Soppeng, emang kenapa?”

“Rum, Soppeng terkenal dengan kelelawarnya yang punya ciri khas dengan baunya yang menyengat” Ujar Aeni.

“Iya Aeni, aku ngerti, tapi itukan hanya dibagian kota, lah akukan di kampung, paling sekali dua kali aku jalan­jalan ke kota untuk cari tahu kenapa kelelawar sukanya di pusat kota Soppeng” Tuturku meyakinkannya.

“Yah, yah, selamat bertugas aja yah. Pesanku, banyak­banyak bergaul yah di sana biar kamu tidak merasa kesepian”

“Insya Allah Aeni, aku akan berusaha semaksimal mung­kin. Nih, aku lagi nyiapin konsep­konsep untuk bahan cera­mahku”

“Oh, kalau gitu sudah dulu yah Rum, kamu baik­baik di kampungnya orang”

“Aen, salam buat mamamu yah!”

Page 84: Menari Di Bumi Lontara

68 � Menari di Bumi Lontara

“Yowes.... sudah yah….. Assalamu alaikum…”

“Waalaikum salam....” jawabku

T e t t t t t t t … … … … … … … … … … … . .tetttttttttttttttttttttttt…...

Aeni menutup telephonya, aku kemudian melanjutkan pekerjaanku untuk menyiapkan perlengkapanku hari esok dan 1 bulan kedepannya.

****

Keesokan harinya.

Seperti biasanya, program yang diadakan oleh Pondok Pesantren As’adiyah setiap tahunnya adalah pelepasan para Muballig, Muballigah, dan Imam Tarwih. Program ini bertu­juan agar para santri dan santriwati As’adiyah mendapat we­jangan berupa nasihat­nasihat untuk dijadikan pegangan. Para santri dan santriwati yang mempunyai tugas di daerah masing­masing berkumpul di masjid Istiqamah tepatnya di kampus 2 As’adiyah.

Aku dan Ratna saat itu mewakili Mts.1 putri yang di­beri kepercayaan untuk membawakan ceramah tarwih dan ceramah subuh pada bulan suci Ramadhan. Aku dan Ratna bertugas di masjid yang sama, tugas ceramah kami bagi dua, yah karena enggak mungkinkan orang pemula sepertiku mem­bawakan ceramah tiap malam dan tiap subuh.

“Ningrum.....” sapa Ustadz Agus.

Page 85: Menari Di Bumi Lontara

Di Masjid Tua Aku Mengaji � 69

Sosok yang beribawa itu berdiri pas di depanku, Subha­nallah beliau terlihat lebih muda dan lebih rapi menggunakan baju kokoh ala Ustadz Jefri.

“Pung, tugas dimana?” Tanyaku.

“Saya di Kalimantan dik” Jawab Ustadz Agus.

Harus kuakui bahwa ustadz Agus memang pandai cera­mah, boleh dibilang beliau menguasai ratusan bahkan ribuan bahan ceramah, dengan tema yang berbeda. Hoby membaca buku pengetahuan agama, mengantarkan beliau menjadi mu­ba llig, yang bukan hanya dikenal dikalangan pesantren tapi beliau juga dekat dan dipercaya oleh masyarakat yang ada di kota Sengkang, tak salah jika beliau dinobatkan oleh masyara­kat sebagai Ustadz.

“Mari dik, kita menuju ke masjid, acara pelepasan akan segera dimulai”

Masya Allah begitu banyak santri As’adiyah yang diper­caya oleh masyarakat membawakan ceramah, sekaligus men­jadi Imam Tarwih di bulan Ramadhan. Saking banyanya, aku sampai tak kebagian tempat duduk, yah melihat masjid sudah dipenuhi para santri dan santriwati, aku dan Ratna terpaksa duduk di teras masjid”

AG. KH. Abu Nawas Bintang, beliau saat itu membawakan wejangan di acara pelepasan santri­santriwati As’adiyah. Inti dari wejangan beliau adalah agar kiranya para santri santri­wati menjaga nama baik pondok Pesantren As’adiyah, karena kepercayaan masyarakat kepada Pesantren As’adiyah untuk menjadi muballig dan Imam Tarwih begitu besar jangan sam­pai karena hanya kesalahan yang kita perbuat, citra pesantren

Page 86: Menari Di Bumi Lontara

70 � Menari di Bumi Lontara

kita ternodai. Bagi para muballig dan Muballigah, ketika me­nyampaikan ceramah, agar berupaya menyampaikan ceramah dengan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat dan diharapkan agar ceramah yang di sampaikan itu secara detail dan jelas. Dan khusus kepada Imam Tarwih, harap men­jaga amalan­amalan tiap harinya, agar hafalan kalian berkah. Wejangan gurutta Abu Nawas Bintang cukup singkat namun tersirat makna yang cukup luas dan menyentuh.

Usai pelepasan…. Para santri santriwati berhamburan menuju papan pengumuman melihat lokasi tempat tugas mer­eka, tak terkecuali aku dan Ratna.

“Dik, tugas dimana” tanya seorang santri kepadaku.

“Di Soppeng..” jawabku singkat.

“Oh, aku di Bone dik” Ujar laki­laki itu, meskipun tanpa kutanya sedikutpun padanya.

“Namanya siapa dik? Dan sekarang kelas berapa?” Tan­yanya.

“Ningrum, kelas 1 Mts”

“Oh, Aku Awal dik, kelas 2 Macanang” Ujarnya.

Macanang adalah nama kampung dan disitulah letak kam­pus 3 pondok Pesantren As’adiyah. Tepatnya yang dihuni oleh Madrasah Aliyah Putra. Jaraknya kurang lebih 12 kilo dari kota Sengkang. Lokasi kampus 3 As’adiyah yang di tempati oleh Aliyah putra jauh dari keramaian dan daerah terpencil, hal itulah yang terkadang membuat santri As’adiyah putra Ma­canang merasa cemburu dengan para santri santriwati yang ditempatkan di pusat kota Sengkang.

Page 87: Menari Di Bumi Lontara

Di Masjid Tua Aku Mengaji � 71

“Salam kenal yah dik” Lanjutnya.

“Kalau gitu aku duluan yah kak” Kataku.

“Iya dik, hati­hati” Sambil menunjukkan perhatiannya padaku.

****

Keesokan harinya, sebuah mobil berhenti di depan asra­maku.

Pip....pipppp….

Suara klakson terdengar begitu keras, memancingku un­tuk keluar.

“Maaf pak, ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku pada seorang bapak yang mengemudi mobil.

“Dek, apa benar ini asrama putri?” Tanyanya.

“Oh, ia benar pak, di sini asrama putri, ada yang bisa saya bantu pak?” Tanyaku menawarkan bantuan.

“Adek, bisa panggilkan Ningrum dan Ratna” Perintahnya.

“Oh, maaf, saya sendiri pak” Ujarku.

“Dek, siapkanmi barangta, kita yang bertugas di keca­matan Takalalla Soppeng to? Gatti­gattiki46 ndi”

Wah, ngomong apaan tuh bapak. Ucapku dalam hati.

Segera aku berlari masuk asrama memanggil Ratna.

46. Gatti – gatti: (bahasa Bugis) cepat – cepat.

Page 88: Menari Di Bumi Lontara

72 � Menari di Bumi Lontara

“Ratna, jemputan sudah datang, mereka ada di luar, aku enggak ngerti bahasanya, jadi aku tinggalin aja. Kamu keluar gih, ajak ngobrol tuh bapak”

Setelah pamit dengan Bu Ruwayah selaku Pembina As­rama, aku dan Ratna, menaiki mobil yang kurang lebih 10 menit menunggu kami.

Ternyata yang menjemput tadi itu adalah tuan rumah yang akan aku tempati selama sebulan, di dalam mobil kami saling memperkenalkan diri satu sama lain dan sekali­kali bercerita tentang kampung halaman.

****

Page 89: Menari Di Bumi Lontara

� 73

The Gotham City

“Oh, orang Jawaki nak?” Tanya Bu Anti.

“Ia bu, saya asli Jawa” Jawabku.

“Wah, hebat yah dik, jauhnya sekolah, kenapa enggak di Jawa saja, kan masih banyak pesantren yang lebih maju dan lebih hebat di banding pesantren As’adiyah” Tutur ibu Anti.

Aku hanya tersenyum, tak tahu musti ngomong apa.

“Tapi kamu takkan menyesal dik, jika kamu bersungguh­sungguh menuntut ilmu, Insya Allah setelah keluar dari As’adiyah kamu akan menuai berkah yang terkandung di Pondok Pesantren As’adiyah, kebanyakan alumni As’adiyah setelah tamat di Pesantren, kehidupannya lebih maju, itu karena berkahnya As’adiyah dik”

“Insya Allah bu”

“Rum... (senggol Ratna)

“Kenapa Na?” tanyaku heran.

Page 90: Menari Di Bumi Lontara

74 � Menari di Bumi Lontara

“Jangan bilang ibu, tapi pung”

“Loh, aku pikir pung itu hanya untuk menyapa guru­guru kita di Pondok?” Tanyaku.

“Hmm, tidak Rum, pung itu tidak memandang siapapun dia, baik itu guru kita, ataupun siapa, yang jelas orang tua, musti kita panggil pung, apalagi orang terhormat seperti Bu Anti ini” ujar Ratna.

“Oh.. jadi... aku juga musti panggil pak bemor dengan sebutan pung gitu?”

Ratna dan Bu Anti, tertawa mendengar pertanyaanku.

“Yah, kalau perlu..” Jawab Ratna sambil menggaruk­garuk kepalanya.

Tak terasa kami memasuki daerah Soppeng.

Jika kita kenal dengan tokoh Batman, maka pastilah kita mengenal Gotham City, tempat tinggal pahlawan yang diju­luki manusia kelelawar, dalam film Batman, Gotham digam­barkan sebagai kota yang paling banyak didiami oleh ribuan kelelawar sehingga di sore hari langit penuh dengan kelelawar yang berterbangan. Hal itu bisa kugambarkan ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di kabupaten Soppeng, tepatnya di kota Watangsoppeng, di siang hari, kelelawar memenuhi pohon­pohon di jalanan utama kota Soppeng.

Wahhh...aku takjub melihatnya, pohon­pohon disitu di­penuhi dengan kelelawar yang banyak, sehingga jika dilihat sepintas seperti daun­daun pohon itu berwarna hitam. Dan katanya jika di sore hari semua kelelawar itu berhamburan dan memenuhi angkasa, saking banyaknya kelelawar yang berter­

Page 91: Menari Di Bumi Lontara

The Gotham City � 75

bangan langit kota Soppeng menjadi hitam. Ehhehehehe.. in­dah….Kelelawar itu menjadi karib yang memberi tanda mistis menjadi bagian dari kearifan khasanah orang Soppeng.

Dan tak kalah indahnya kota Soppeng, terlihat begitu bersih.

“Wah, Soppeng, terlihat begitu bersih yah pung?” Tan­yaku.

“Ia, nak, memang warga Soppeng menomor satukan ke­bersihan, di banding apapun, berbeda dengan warga wajo, yang mana rata­rata dari mereka adalah pebisnis. Dan Sop­peng juga terkenal dengan keamanannya, salah satu buktinya dik, di Soppeng sama sekali tidak terlihat lampu lalu lintas. Ujar bu Anti”

“Emangnya kenapa pung?” Tanyaku ingin tahu.

“Warga di Soppeng terbiasa dengan kedisiplinan nak” Jawab ibu Anti.

“Nih, dah masuk kampung ibu” Ujar bu Anti.

Wah, sesekali kukeluarkan kepalaku dari jendela mobil, merasakan kesejukan kampung halaman bu Anti, benar­benar mengingatkanku dengan kampung halamanku. Terlihat anak­anak di sawah bermain. Aku merindukan moment seperti ini. Tiba­tiba mobil bu Anti berhenti di depan rumah kayu, tapi bukan kayu biasa tapi kayu yang terbuat dari kayu yang tahan dan kuat, halaman rumah terlihat begitu bersih, dikelilingi dengan bunga berwarna­warni. Dilengkapi dengan ayunan di depan rumah. Masya Allah sempurna.

“Pung, ini rumah siapa?” Tanya Ratna.

Page 92: Menari Di Bumi Lontara

76 � Menari di Bumi Lontara

“Yuk, turun, ini rumah ibu nak. Di rumah ini, hanya ada ibu, suami ibu, dan dua anak ibu, yang satunya kelas 2 SD, dan yang satunya 3 tahun”

Kuperhatikan tiap sudut rumah, tak ada debu sedikitpun yang terlihat.

“Nak, ini kamarnya” Sambil menunjukkan kamar yang ada di ruang tamu.

Aku dan Ratna masuk ke kamar dan beristirahat sejenak.

Adzan di masjid di kumandangkan pertanda memasuki waktu shalat dzuhur. Masjid tempatku tugas lumayan dekat dengan rumah bu Anti. Setelah menunaikan shalat dzuhur, anak pertama Bu Anti yang bernama Aufa datang ke kamar,

Tok …tok...suara ketukan pintu.

Ratna membuka pintu kamar.

“Eh ada adik...kenapa dik?” Tanya Ratna.

“Kakak di panggil mama makan”

“Ih...adik cantik.. siapa namanya?” Tanyaku.

“Aufa kak...” Jawabnya sambil menunjukkan senyuman terindahnya.

“Nama kakak, kak Ningrum, dan kakak yang satu ini na­manya kak Ratna”

Aku dan Ratna bergegas menuju meja makan.

“Nak, nanti setelah shalat ashar, pergi ke kebun yah, kita makan kelapa muda” Ajak pak Syamsuddin, beliau adalah ke­pala desa di kampung itu.

Page 93: Menari Di Bumi Lontara

The Gotham City � 77

Setelah menyantap makanan siang, aku dan Ratna mengerjakan pekerjaan yang sepantasnya untuk kami kerjakan yakni cuci piring.

“Ehhhh.. enggak usah dik, kaliankan masih capek” Ucap bu Anti.

“Ora opo­opo bu... ini dah biasa kok” Balasku.

“Rum, mulai lagi deh bahasa jawanya” Hardik Ratna.

“Ups, maaf bu…”

****

Sore harinya.

Aku, dan keluarga Bu anti ke kebun yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kediaman. Kebun yang bersebelahan dengan sawah. Udara terasa sejuk di kampung itu, tak ada polusi sep­erti di kota yang mencemarkan udara. Padi­padi menguning, biasanya musim panen para petani bertepatan pada bulan suci ramadhan, dan momen itu aku saksikan sendiri. Mataku berkelabat mencari sesuatu, aku mencari burung bangau. Aku ingat dulu waktu musim panen aku selalu ikut simbah dan simbok ke sawah, bukan untuk membantu mereka menyabit padi tetapi aku dan Nurul berlomba mencari emas­emasan, siapa yang mendapatkannya paling banyak maka dialah yang menang, memang tak ada hadiah, tetapi bagi kami, memenang­kannya itu adalah suatu kebanggaan bagi kami tersendiri.

Tak terasa besok memasuki bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah. “Apakah simbah dan simbok, baik­baik saja?” Ucapku lirih.

Page 94: Menari Di Bumi Lontara

78 � Menari di Bumi Lontara

“Rum, sini nak, cobain kelapa mudanya” Ajak pak Syam­suddin.

“Ia, pak...” Sambil mengambil secangkir kelapa muda.

“Hmm....nyamiiii.... Masya Allah, enak sekali pak” Ucap­ku.

“Ia dong Rum, enak, secara……….. langsung dari pohon­nya” Jawab Ratna.

Suasana angin sejuk di sore hari di tambah moment makan kelapa, dan di keliling sawah dengan hamparan padi yang menguning, mengingatkan aku pada kampung halaman, lebih­lebih mengingatkanku pada siMbah Kakung dan Mbah Putri.

Selesai menikmati kelapa muda, kami kembali ke rumah pak Syamsuddin untuk mempersiapkan diri, shalat magrib, shalat isya sekaligus shalat tarwih pertama.

****

Masjid yang luasnya tidak seluas dengan masjid Jami’ Sengkang namun memuat puluhan orang membuatku merasa lebih nyaman dengan kesederhanaannya.

Usai shalat isya, pak Syamsuddin selaku kepala desa, naik ke mimbar menyampaikan sambutannya.

“Assalamu alaikum wr. wb.”

“Para jamaah masjid yang saya hormati, memasuki bulan suci ramdhan kali ini ada beberapa hal yang ingin saya sam­paikan.

Page 95: Menari Di Bumi Lontara

The Gotham City � 79

Yang menjadi Imam Tarwih kita selama Ramdhan adalah adik Muhammad Ihsan Ramadhan dari Pondok Tahfidz As’adiyah Sengkang, adik ini adalah penghafal 30 juz. Dan yang menjadi penceramah tarwih dan usai shalat subhu adalah adik Ningrum Wijastuti dan Ratna, mereka akan bergantian membawakan ceramah. Mereka adalah santriwati dari Pondok Pesantren As’adiyah, Pesantren Pertama di Sulawesi Selatan dan Tertua di Luar pulau Jawa. Saya mengaharapkan kepada masyarakat agar kiranya jangan melihat siapa yang menyam­paikan ceramah, akan tetapi pandanglah apa yang di sampai­kan, karena adik Ningrum berasal dari Jawa Tengah dan adik Ratna berasal dari Sulawesi Tenggara, mereka lebih memilih datang ke kampung ini di banding pulang ke kampung hala­man mereka karena ingin menyampaikan apa yang mereka dapatkan di Pondok Pesantren As’adiyah, perlu juga hadirin dan hadirat ketahui bahwa mereka ini adalah orang terpilih yang diberikan kepercayaan oleh Pondok Pesantren As’adiyah untuk membawakan ceramah di bulan Ramdhan, jadi berun­tunglah masjid kita mendapatkan penceramah seperti mereka. Dan semoga melalui bulan Ramdhan ini, amalan kita semakin bertambah dan menjadikan kita insan yang bertakwa. Amin ya Rabbal Alamin”

“Wassalamu alaikum wr.wb”

Setelah pak Syamsuddin menyampaikan sambutannya, shalat Tarwihpun dimulai. Yang di Imami oleh salah satu peng­hafal di masjid Jami’ Sengkang.

Page 96: Menari Di Bumi Lontara

80 � Menari di Bumi Lontara

Rakaat pertama, ketika membacakan surah Al Fatihah, tiba­tiba bulu romaku merinding, mendengar suaranya yang begitu indah, sampai­sampai aku meneteskan air mata.

Setelah selesai shalat tarwih 8 rakaat, di lanjutkan shalat Witir yang hanya dilaksanakan oleh sebagian orang itupun kebanyakan yang melakukan hanya anak muda. Dan sebagian besar duduk­duduk sepertinya ada yang ditunggu, tentu hal itu membuatku bertanya­tanya, kuhampiri salah satu jamaah masjid.

“Pung, maaf, aku mau bertanya”

“Iya nak, kenapa?” Jawab ibu itu.

“Pung, apa yang di tunggu jamaah masjid, mengapa mer­eka tidak mengikuti shalat witir usai shalat Tarwih 8 rakaat?” Tanyaku penasaran.

“Oh, orang­orang disini, kebanyakan melaksanakan shalat tarwih 20 rakaat”

Aku tersenyum, “terima kasih atas penjelasannya pung” Ucapku.

kupalingkan wajahku dan kembali bertanya kepada Ratna.

“Na... emang seperti itu yah? Apa As’adiyah memang melaksanakan amalan seperti itu?” Tanyaku.

“Ia Rum, kebanyakan warga As’adiyah melaksanakan tar­wih 20 rakaat. Karena amalan itu dulunya diamalkan oleh anre gurutta As’ad”

“Oh, aku baru mengerti, karena di Jawa, aku belum mendapati yang seperti ini, yah mungkin karena aku shalat

Page 97: Menari Di Bumi Lontara

The Gotham City � 81

Tarwihnya hanya di satu masjid, masyarakat di kampung hala­manku di Jawa hanya melakoni shalat tarwih 8 rakaat”

Saat itu aku hanya mengikuti apa yang dilaksanakan oleh masyarakat disitu, nanti deh pulang dari masjid aku cari dalil yang berkaitan dengan amalan ini, karena tak mungkinkan amalan yang di ajarkan oleh ulama­ulama As’adiyah diamal­kan tanpa ada dalil yang mendasarinya. Ucapku lirih.

Sepulang dari masjid, kami makan malam, seusai makan malam, aku kembali ke kamar, dan membuka bukuku terkait dengan amalan di bulan ramadhan, salah satunya adalah shalat Tarwih, setelah membuka lembar demi lembar, akhirnya kutemukan juga apa yang kucari. Disitu tertulis, ada pendapat yang melaksanakan 8 rakaat ada juga yang 20 rakaat. Pendapat yang mengamalkan 20 rakaat mengikut pada amalan Sahabat yakni amalan Umar bin Khattab, yang melaksanakan shalat tarwih 20 rakaat.

Kali ini aku tak ragu lagi dengan amalan yang dilaksanakan oleh masyarakat di kampung ini, aku juga akan mulai melakoni amalan ini, dan akan kembali ke Jawa dengan menerapkan amalan ini. Ucapku lirih.

Setelah membaca buku, aku kembali ke ruang keluarga pak Syamsuddin, bermain bersama Aufa dan adiknya yang bernama Ayyim.

Anak­anak Pak Syamsuddin dan Bu Anti ini benar­benar cerdas. Aufa yang sekarang duduk dibangku kelas 2 SD, su­dah mampu menghafal beberapa surah­surah pendek, dan beberapa hadis Nabi, sedangkan Ayyim yang saat itu berusia

Page 98: Menari Di Bumi Lontara

82 � Menari di Bumi Lontara

belia yakni 3 tahun, pandai mengumandangkan Adzan, dan menghafal gerakan shalat. Mereka semua lucu­lucu.

Beberapa menit setelah bermain dengan anak­anak pak Syamsuddin, aku dan Ratna masuk kamar untuk tidur karena kami harus bangun shalat tahajjud dan menyiapkan makanan untuk sahur.

****

Tepat pukul 02.00 aku terbangun dari tidurku dan men­gambil air wudhu, untuk shalat tahajjud.

Kutanaikan shalat tahajjud yang diiringi dengan linangan air mata.

Rukuk, sujudku begitu khusyu’ kurasakan. Kupanjatkan doa kepada Allah swt yang tak senantiasa memberikan lim­pahan Rahmat kepadaku.

“Ya Allah, Tuhan yang Maha Penyayang, yang kasih dan sayangnya tak terhitung luasnya, kali ini kuhadapkan diriku, memohon ampun kepadaMu, beribu­ribu dosa yang kulaku­kan Tuhan, namun jutaan limpahan ampunan yang engkau berikan kepadaku.

Memasuki bulan Ramdhan yang penuh berkah ini, ham­ba mohon ya Rabb, agar engkau memberiku petunjuk untuk senantiasa menyibukkan diri dengan amalan­amalan yang ber­manfaat sehingga berbalaskan pahala di sisiMu.

Ya Allah, hamba begitu sedih karena tak dapat menjalank­an bulan suci Ramdhan dengan kedua orang yang kusayangi yakni simbah dan simbok. Jaga dan lindungilah mereka Ya Rabb… panjangkanlah umur mereka dan berilah mereka ke­

Page 99: Menari Di Bumi Lontara

The Gotham City � 83

bahagiaan. Kebahagiaan yang takkan perna memudarkan se­nyuman mereka. Aku mencintai mereka Ya Rabb”

Usai memanjatkan doa, aku membangunkan Ratna.

“Na, bangunnn...bangunn...tahajjud dan siapkan kon­sepmu lah kamukan yang ceramah?”

“Mmm.... yah Rum, aku dah bangun”

Setelah membangunkan Ratna, aku keluar kamar menuju ke dapur, karena bu Anti belum ada di dapur, aku melanjutkan amalanku untuk membaca Al Qur’an.

Beberapa menit kemudian, bu Anti keluar dari kamarnya.

“Eh Rum, dari tadi bangun nak?” Tanyanya.

“Ia pung, dari tadi…” Jawabku.

Kuhentikan mengajiku, dan membantu bu Anti menyiap­kan makanan.

Hari pertama sahur, menu makanannya adalah ayam goreng.

Setelah menyiapakan makanan, kamipun makan. Tiba­ti­ba terbesik di hatiku. Ya Allah simbah makan apa di kampung? Apakah simbah dan sombok juga menikmati sahur pertama? Hmm...semoga saja. Ucapku.

Beberapa menit kemudian, pertanda imsak pun di bun­yikan di masjid.

Aku dan Ratna bersiap­siap ke masjid lebih dulu.

“Na? gimana dah siapkan?” Tanyaku.

“Insya Allah Rum....hehehhe meskipun sedikit tegang”

Page 100: Menari Di Bumi Lontara

84 � Menari di Bumi Lontara

“Yeee....emang seperti itu kok, namanya aja pemula” Ucapku.

“Rum, gimana menurutmu Imam masjid kampung ini?” tanya Ratna.

“Biasa aja, heheheh... tapi suaranya masya Allah yah?” jawabku.

“Dia itu penghafal masjid Jami’ loh, kamu pernah lihat dia enggak sebelumnya?” Tanyanya lagi.

“Hmm, belum pernah, akumah males ngurusin yang kaya’gituan” Jawabku.

“Ia, malas.. karena di hati kamu hanya Ustadz Agus lelaki terbaik” Candanya.

“Yeeeh.... ngomong apa sih sampean ini, lah ustadz Agus itu guru kita. Bagiku laki­laki terbaik itu hanya satu, yakni si Mbah Kakungku”

“Tapii……..”

“Tapi apa? Sudah deh, enggak usah bahas yang kaya’ gi­tuan... orang mau ibadah ko’ dipancing ngomongin yang eng­gak penting gitu” Tegasku.

****

Sesampainya di masjid, terlebih dahulu kutunaikan salah satu amalan sunnah yakni Tahiyatul Masjid kemudian dilan­jutkan tadarusan.

Setelah Adzan di kumandangkan, kutunaikan lagi amalan yang sering diajarkan oleh simbahku yakni shalat sunnah 2 rakaat sebelum shalat subhu. Shalat sunnah 2 rakaat sebelum

Page 101: Menari Di Bumi Lontara

The Gotham City � 85

shalat subhu lebih baik dari dunia beserta isinya. Kata sim­bahku.

Di masjid yang kutempati bertugas ini, ceramah subuhnya di laksanakan setelah shalat subuh karena perinsip mereka, diharuskan mendahulukan wajib kemudian sunnah.

Usai shalat subuh, Ratna naik ke mimbar untuk menyam­paikan ceramahnya. Yang saat itu berjudul, Adab­Adab me­masuki Bulan Ramadhan. Ceramah yang disampaikan Ratna, begitu bagus, karena Intonasi dan cara membawakannya be­gitu menarik perhatian, sehingga, masyarakat menikmatinya, tanpa rasa kantuk.

****

Hari pertama puasa…

“Ratna... aku bete’nih”

“Kenapa?” Tanyanya.

“Masa’tiap hari kita gini­gini terus?”

“Gini­gini apa?”

“Yah.. tiap harinya berdiam diri di kamar” Ucapku.

“Terus mau kamu apaan Rum….?” Tanya Ratna.

“Yah, kok kamu balik nanya sih? Akukakn minta pendapat kamu” Ucapku.

“Yeh, sayamah tidak tahu, harus ngapain…. Yah mending tidur” Ucap Ratna.

“Hah? Sebulan di sibukkan dengan tidur? Ngabisin waktu tau…”

Page 102: Menari Di Bumi Lontara

86 � Menari di Bumi Lontara

“Emangnya setiap Ramadhan waktu kamu gunakan untuk apa?” Tanyanya.

“Yah, kalau di kampung, aku ngajarin anak­anak kampung mengaji” Jawabku.

Tiba­tiba bu Anti datang ke kamarku. Mungkin beliau mendengar pembicaraanku dengan Ratna.

“Rum, kamu ingin ngajarin anak­anak kampung mengaji?” Tanya bu Anti.

“Ia pung, kalau memang ada berniat untuk belajar mengaji aku siap kok” Jawabku.

“Ya sudah, nanti aku bicarakan dengan bapaknya Aufa” Ujar bu Anti.

“Ia pung, ada Ratna kok yang bantuin..” Kataku sambil melirik ke arah Ratna.

“Ia nak....”

****

Setelah mendapat persetujuan dari pak Syamsuddin, akh­irnya mulai besok jam 09.00, aku dan Ratna akan mengajar anak­anak kampung mengaji.

Beberapa jam kemudian setelah menyantap hidangan ber­buka puasa, aku mempersiapkan bahan ceramahku. Ceramah tarwih yang akan kusampaikan nanti adalah pentingnya iman. Aku akan jelaskan kepada jamaah tarwih, mengapa di awal ramadhan judul ceramah yang kubawakan adalah Pentingnya Iman.

Page 103: Menari Di Bumi Lontara

The Gotham City � 87

Ketika MC membacakan Jadwal yang membawa hidangan buka puasa, selanjutnya yang membawakan ceramah Tarwih, akupun naik ke mimbar dan memulai ceramahku.

Setelah kubuka denga salam dan puji­pujian kepada Gusti Allah dan Kanjeng Nabi, aku mulai menjelaskan maksud dari ceramahku membahas Iman.

“Hadirin hadirat saat ini mungkin bertanya­tanya men­gapa malam pertama saya ceramah, justru yang saya sampaikan mengenai pentingnya iman.”

“Hadirin­Hadirat yang dimuliakan Allah swt.”

“Iman itu sangat berkaitan dengan amalan­amalan yang kita lakukan, kita tak mungkin berada di tempat yang penuh berkah ini tanpa adanya iman, banyak saudara­saudara kita, teman­teman kita, bahkan dari kerabat­kerabat kita yang be­lum tergerak hatinya ke masjid karena kenapa? Karena mereka belum dipilih oleh Allah swt. Olehnya itu melalui bulan yang penuh berkah ini, mari kita luruskan niat kita, untuk kembali merenungkan apakah amalan kita laksanakan ini benar­benar karena Allah atau hanya untuk menggugurkan kewajiban kita selaku hambaNya? Semua itu tidak akan tercapai jika dalam hati kita tidak memiliki iman. Sebegitu pentingnya iman dalam diri kita”

Setelah menyampaikan beberapa dalil yang terkait dengan iman dan penjelasannya, kuakhiri ceramah pertamaku, dan di lanjutkan dengan shalat tarwih.

****

Page 104: Menari Di Bumi Lontara

88 � Menari di Bumi Lontara

Keesokan harinya, tepat jam 09.00, aku dan Ratna ke Mas­jid untuk mengajar anak­anak kampung mengaji. Disinilah aku mulai menemukan kedamaian saat mengajar anak­anak mengaji. Buat apa mereka pandai membaca dan mengeja huruf A sampai Z, tapi mereka buta dengan huruf­huruf hijayyah. Itulah kegiatan yang kulakukan selama bulan Ramadhan, dan sekali­kali sehabis shalat subuh kami berjalan­jalan mengel­ilingi kampung, silaturrahim di rumah warga dan bahkan mem­bantu para petani memanen padi.

Terkadang aku dan Ratna mengajar anak­anak mengaji di tengah sawah tepatnya di tempat para petani beristirahat ketika lelah, tujuanku tak lain adalah disamping medapatkan udara yang sejuk, juga mengenalkan keindahan alam pada anak­anak, bahwa semua ini adalah ciptaaan Allah, aku in­gin mereka mengenal Tuhan, bukan hanya sebatas mengenal siksaan jika tak mematuhi perintahnya seperti yang mereka katakan “eh, jangan nakal nanti masuk neraka”, tapi aku juga ingin mereka tahu bahwa Allah itu Maha pencipta dan Maha Kuasa, menciptakan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Aku ingin mereka merasakan bahwa begitu banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita, sehingga memang sepantasnya diri kita untuk mematuhinya.

Sungguh kuakui bahwa keindahan kampung ini benar ter­asa adanya, biasanya jika angin bertiup kencang banyak randu yang berjatuhan, dan akibat panas yang menyengat banyak diantara randu­randu yang telah tua­tua dan kering itu pecah hingga akhirnya momen inilah yang kusaksikan. Indah.

****

Page 105: Menari Di Bumi Lontara

The Gotham City � 89

Tak terasa waktu terus berlalu hingga tiba di penghujung Ramadhan, 3 hari lagi merupakan hari kemenangan bagi kaum Muslimin, hari dimana orang­orang mulai menyiapkan segala macam kebutuhan untuk menyambut Idul Fitri. Bu Anti mulai bolak balik ke pasar untuk membeli peralatan dan bahan­ba­han kue, adik Aufa dan Ayyim mulai bertanya­tanya tentang baju baru ke ibu bapaknya. Warga mulai memenuhi pasar di kampung, semua itu mereka lakukan untuk menyambut hari yang fitrah.

Betapa inginnya aku merayakan lebaran di kampung hala­man, lebaran bukanlah ritual tahunan yang dilewati begitu saja, seolah tanpa dentuman47. Lebaran adalah saat dimana kebersaman semakin berwarna dan bermakna dimana kami pulang dari shalat Idul Fitri di lapangan, setelah itu kembali ke rumah mencium tangan Mbah Kakung dan Mbah Putri pertanda maaf­maafan. Tahun ini aku hanya bisa merayakan moment bahagia ini di kota Kelelawar, tapi aku berharap tahun depan bisa merayakan lebaran di kampung halaman, lebaran yang semarak dan mengasyikkan sesemarak waktu kecil dulu, ada baju baru, dan cium tangan simbah dan simbokku.

Air mataku menetes membasahi pipi.

“Rum?” Hardik Bu Anti.

Segera kuhapus air mata yang membasahi pipiku.

“Iya bu? …”

“Kenapa nak?” Tanya Bu Anti. “Enggeh Bu, aku hanya ingat dengan simbah dan simbok”

47. Dentuman: bunyi yang keras seperti bunyi meriam.

Page 106: Menari Di Bumi Lontara

90 � Menari di Bumi Lontara

“Kamu punya no. telepon simbah mu nak?” Tanyanya.

“Engga ada bu..” Jawabku singkat.

“Kalau tetangga kamu di sana nak?”

“Ada bu, tapi jaraknya cukup jauh dari rumah simbah”

“Kamu nelpon saja ke sana nak, biar kerinduanmu tero­bati” Ujar bu Anti.

Bu Anti memencet tombol telepon “ berapa nomornya nak?”

Aku mulai menyebutkan nomor telephon kepala desa di kampungku.

“Halo Assalamu alaikum...” ujar orang yang mengangkat telephon

“Waalaikum salam, mohon maaf saya dengan bu Anti, bisa bicara dengan pak Broto? Mbah Ningrum?”

“Oh, maaf bu, tapi ini bukan telepon umum” Jawabnya.

“Iya pak, tapi bisa tidak pak saya minta tolong untuk di­panggilkan, karena cucunya sangat merindukan mereka” Ujar bu Anti.

“Yah, 30 menit kedepan ibu menelphon kembali yah?”

“Oh, baik pak, terima kasih yah pak” Kata bu Anti.

Teeeeeeeeeeeeeeettttttttttttttt....telephon terputus.

Bu Anti tersenyum padaku.

Nak, 30 menit lagi, kita telephon balik. Ujar bu Anti.

“Iya pung, matur nuhun….”

30 menit kemudian, bu Anti kembali mencoba meng­hubungi nomor yang kuberikan padanya.

Page 107: Menari Di Bumi Lontara

The Gotham City � 91

“Halo, Assalamu alaikum, dengan siapa?”

“Waalaikum salam, maaf pak, apa pak Brotonya sudah ada?”

“Oh, iya bu... sambil memberikan telepon kepada simbah”

“Halo, sopo yoo?”

“Maaf pak, saya bu Anti, Ningrum ingin bicara dengan anda pak”

Bu Anti memberikan telephon itu kepadaku, entah ke­napa tanganku gemetar memegang telephon itu, aku tak me­nyangka orang yang akan kuajak bicara via telepon adalah simbah, orang yang begitu sangat kurindukan.

“Mbah, iki Ningrum mbah”

“Oh, kowe nduk?” Tanyanya.

“Iya mbah” Jawabku.

Air mataku mulai menetes, aku sepertinya tak sanggup melanjutkan kalimatku.

“Nduk, kowe dimana nduk?” Tanya simbah.

“Kulo di kampungnya orang mbah” di kampungnya orang mbah.

“Sampean ngapain di situ?”

“Aku lagi tugas ceramah mbah, gimana kabar mbah lan simbok?”

“Alhmdulillah nduk baik, kepriye nyekolahmu nduk?”

“Alhamdulillah mbah lancar. Mbah, Neng, kangen simbah dan simbok.”

“Yowes nduk, ojo nangis”

Page 108: Menari Di Bumi Lontara

92 � Menari di Bumi Lontara

“enggeh mbah, Neng, enggak nangis”

“Sampean kudu belajar baik­baik yo nduk? Maafin simbah dan simbokmu kalau banyak salah nduk”

Air mataku mulai tak tertahankan.

“Mbah, salam sama simbokku yah, simbah ngomongno simbok, kalau Ningrum, kangeeennnnnnn sama si mbok Mbah, kalau gitu sudah dulu yah mbah, doain Ningrum supaya dimudahkan oleh gusti Allah. Ojo lali mbah”

“Iya nduk, jaga diri baik­baik yoo..!”

“Iya mbah Assalamu Alaikum.....”

Setelah menutup telepon aku kembali melanjutkan pe­kerjaanku yakni membantu bu Anti membuat kue, kini ker­induanku telah terobati.

****

Sehari sebelum Idul Fitri....

“Na, tak terasa yah, besok dah lebaran dan lusa kita akan kembali ke asrama kesayangan kita, gimana perasaanmu nak?” Tanyaku.

“Rum, hati saya dah menyatu dengan kampung ini, apalagi dengan imamnya” Jawab Ratna.

“Wah kamu Na, ada­ada aja, aku juga dah jatuh cinta dengan kampung ini, dengan keluarga pak Syamsuddin, anak­anak mengaji dan keindahan alam yang ada di kampung ini. aku akan merindukan suasana­suasana seperti ini, angin ini, panas ini, juga kapas­kapas yang berterbangan yang tak jarang

Acer
Highlight
Page 109: Menari Di Bumi Lontara

The Gotham City � 93

mampir di hidungku. Uffff semuanya mengingatkan aku pada kampung halamanku”

“Iya Rum, kita sangat beruntung di tempatkan di kampung ini” ujar Ratna.

Malam harinya…gema takbir kemenangan mulai di perdengarkan, suara beduk berdendang mengikuti alunan irama takbir.

“Allahu Akbar.. Allahu Akbar……”

“Ningrum, Ratna… sini nak!!!” Panggil Bu Anti.

“Iya bu...” Jawab kami.

“Ini baju baru untuk kalian nak” Ujar bu Anti.

“Waw... syukran bu….. Masya Allah, semoga gusti Allah membalas dengan pahala yang berlipat ganda”

Baju baru yang diberikan bu Anti kepadaku, merupakan hadiah pertama yang aku terima. Selama hidupku, ini untuk pertama kalinya aku mendapatkan hadiah. Sungguh, aku me­nyukai baju ini, baju terusan yang di kelilingi dengan bordiran bunga­bunga.

“Subhanallah Rum, kamu cantik sekali” Puji Ratna ke­padaku.

“Wkwkwkwkw..... Ratna...Ratna, kamu menghina atau menghibur?” Tanyaku.

“Yah, mujilah, kamu itu musti bilang Alhamdulillah, kare­na memang kenyataannya kamu cantik” Jawabnya.

“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah” Ujarku.

“Kamu juga cantik Na, memakai baju warna hijau itu” Kataku.

Page 110: Menari Di Bumi Lontara

94 � Menari di Bumi Lontara

“Makasi Rum... emang dari dulu aku cantik” ujarnya.

“Kamu itu Na, giliran dipuji, deeeehhhhhhh…”

“Deeeehhhh, apa maksudmu Rum?”

“Enggeehh,,,, yowes, sampean ayuuu banget”

****

Alaramku berbunyi tepat pukul 03.00 subuh, aku terba­ngun untuk melaksakan amalan sunnah yakni shalat Tahajjud.

Kupanjatkan doa kepada melalui sembah sujudku.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha Illal­lahu wallahu Akbar, Allahu Akbar Walillah Ilham.

Ya Allah, di hari yang Fitrah ini, sucikanlah perkataanku, sucikanlah pikiranku, sucikanlah hatiku, sucikan perbuatanku dari segala sesuatu yang tak mengandung manfaat di matamu ya Rabb.

Terimalah amal ibadahku di bulan Ramadhan ini dan aku memohon dipertemukan dengan Ramadhan tahun yang akan datang. Amin.

Kuselesaikan tadarusanku, yang memasuki juz 30, Insya Allah sebentar lagi khatam.

Beberapa jam kemudian Adzan mulai di kumandangkan. Kubangunkan Ratna, untuk shalat subuh dan mempersiapkan diri untuk menunaikan shalat Idul Fitri.

Sebelum berangkat ke masjid, terlebih dahulu kami makan, karena hal itu merupakan sunnah Rasul saw.

Allahu Akbar .. Allahu Akbar... gema takbir berkumadang di Masjid….

Page 111: Menari Di Bumi Lontara

The Gotham City � 95

Aku, Ratna, dan Keluarga Pak Syamsuddin melangkahkan kaki menuju ke masjid.

Ya Allah, sucikanlah diriku di hari yang fitrah ini, jadikan­lah aku orang­orang yang beruntung. Ucapku lirih.

****

Setelah melaksanakan shalat Idul Fitri dan bersilatur­rahim dengan warga kampung, aku dan Ratna menyiapkan barang­barangku untuk kembali ke asrama.

Aku yakin, aku akan senantiasa merindukan suasana kam­pung ini, merindukan keluarga pak Syamsuddin, merindukan canda tawa adik Aufa dan adik Ayyim, dan merindukan kein­dahan alam di kampung ini.

****

Page 112: Menari Di Bumi Lontara
Page 113: Menari Di Bumi Lontara

� 97

Kitab Kuning Hadiah Gurutta

Setelah melewati liburan selama sebulan di kampung pak Syamsuddin tepatnya di kacamatan Takalalla kabupaten Sop­peng, aku kembali ke pesantren, memulai aktifitasku sebagai santri. Wah, debu disana sini memenuhi kamarku, mengharus­kan aku untuk membersihkan kamarku yang dipenuhi debu.

1 minggu setelah Ramadhan, program di Pesantren mulai berjalan.

Secara finansial selama mondok di Sengkang boleh dikata 90% aku mandiri dari Mbah Kakung dan 100 % dari orang tua. Untuk makan sehari­hari dan biaya pesantren aku harus kerja. Kadang juga aku kerja di rumah penduduk seperti menimba, menyapu, mengepel, dan lain­lain. Hasilnya aku belikan beras, bumbu sayuran, dan lain­lain. Biasanya untuk memasak kami berkelompok ada yang beli bawang, ada yang beli jelatah two in one (kami namakan seperti itu karena masih bisa untuk menggoreng, lebih sedap, dan yang paling murah).

Page 114: Menari Di Bumi Lontara

98 � Menari di Bumi Lontara

Pernah aku hendak menulis surat untuk Mbah Kakung di kampung, setelah menulis salam pembuka, tiba­tiba mataku mengabur dan tulisan itu menyebarkan air mataku, kuu­rungkan niat itu karena aku tahu betapa susahnya Mbah Kakung dan Mbah Putri untuk mencari uang sepuluh ribu saja harus berjalan 5 KM sambil memikul pisang, kelapa, dan hasil kebun lainnya. Aku sebagai cucunya masih muda, kuat tinggal menikmati hasil perasan keringat Mbah Kakung yang telah renta. Tidak! Aku tak tega. Tidak sampai hati kulakukan itu. Tidak sampai hati aku menceritakan kehidupan yang kualami selama di pesantren, aku tahu bahwa kehidupanku jauh lebih baik di banding simbah dan simbok yang tiap harinya ke sawah demi mendapatkan sesuap nasi.

Suatu saat dengan perut kosong aku pergi ke kebun sambil berharap ada jamur merang untuk di masak. Begitu sampai di kebun ternyata tidak ada. Dengan langkah gontai kucoba mengusuri sungai Paduppa, setelah sampai ternyata kangkung itu telah bersih karena di rambai oleh para santri.

Perutku berteriak­teriak minta di isi, akhirnya terpak­sa aku hutang beras, satu mangkuk kecil kepada temanku, setelah sampai di dapur aku menyalakan api, dengan kayu yang lembab, sehingga susah untuk menyalah. Setelah setengah jam matang juga nasi­nasi gemuk dalam kendil dan menggugah selerahku. Namun saat itu aku mendengar bunyi bel pertama sekolah pertanda masuk kelas untuk belajar, langsung hilang selera makanku,. Aku bergegas masuk kelas tanpa pikir pan­jang, kuletakkan kendil itu di atas rak­rak, tapi tiba­tiba... “Praaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkk......”

Page 115: Menari Di Bumi Lontara

Kitab Kuning Hadiah Gurutta � 99

Suara itu begitu keras terdengar di telingaku. Ya Allah, kendil itu pecah, dan nasi­nasi gemuk itu berceceran di tanah. Padahal perjuangan untuk memasak nasi begitu susah.

Bel kembali berbunyi untuk kedua kalinya pertanda pela­jaran akan segera berlangsung, pelajaran yang akan di bawakan oleh ustadz Hamzah. Sesampai di kelas aku berusaha untuk tawajuh, pertanyaan­pertanyaan dari ustadz Hamzah kujawab dengan baik. Mengenai pendidikan kewargaan.

Setelah keluar kelas, baru kusadari bahwa sedari pagi aku tak pernah makan. Aku bergegas menuju kebun mencari sawi­sawi, kacang panjang dan sayuran lainnya. Segera kukukus semuanya kucampur dengan sisa­sisa sambal kelapa yang su­dah tidak dimakan oleh para santri.

Wah aku makan dengan begitu lahap, yah inilah diriku yang dibesarkan dan dimandirikan oleh diriku sendiri. Aku sama sekali tak pernah mengeluh dengan makanan yang ku­makan selama di pesantren, karena aku sudah terbiasa dengan makanan seperti ini, bahkan seringkali aku makan hanya den­gan nasi di campur dengan garam dan minyak goreng.

Setelah usai shalat isya, program di pesantren As’adiyah adalah WB, atau wajib belajar. Begitu bel berbunyi semua sant­ri segera melangkahkan kakinya menuju ke tempat belajarnya masing­masing. Ada yang melangkah dengan penuh semangat dan adapula yang melangkah dengan keterpaksaan. Kegiatan wajib belajar di laksanakan pukul 20.00 sampai dengan 23.00, terdiri dari 2 kelompok belajar. Malam semakin larut dan udara semakin dingin, karena demikian dinginnya, kulihat beberapa santri menggigil, termasuk juga aku.

Page 116: Menari Di Bumi Lontara

100 � Menari di Bumi Lontara

Jam menunjukkan pukul 23.30, tapi Bu Fatimah belum menyelesaikan pelajaran yang di ajarkannya, rasa kantuk merasukiku.

‘Aduuuuhhhh... kapan berhentinya bu?’ Tanyaku dalam hati.

Beberapa menit kemudian, tibalah yang dinantikan para santri akhirnya bu Fatimah mengakhiri pengajarannya.

Serentak para santri berhamburan menuju kamar masing­masing, ada yang seketika itu tidur, namun berbeda denganku meskipun rasa kantuk itu menguasaiku, aku tak pernah mele­watkan amalan yang diajarkan oleh Mbah Kakungku, untuk berwudhu sebelum tidur.

Dan setiap pukul 02.00 dinihari, aku bangun lalu wudhu dengan air yang lebih layak kusebut dengan air es. Shalat taha­jjud dan dilanjutkan dengan mengulang pelajaran, kulihat di sekelilingku juga banyak yang sedang membaca atau mengha­fal pelajarannya.

Kulihat Aeni memegang sebuah mudzhab berwarna merah jambu, Aeni adalah sosok wanita yang tangguh, dia tampak manis dengan lesung pipi yang ada di pipinya, dia adalah hafid­zah, saat itu hafalannya mencapai 5juz. Masya Allah sekali, sejak kecil ia telah bergelut dengan Al Qur’an, di saat kami baru mulai mengenal Al Qur’an, dia telah mampu menghafal Al Qur’an di usia yang masih belia.

Masa kecilku yang disibukkan dengan membantu Mbah Kakung di sawah dan membantu Mbah Putri berjualan kue, jadi waktu mengaji hanya ada di malam hari itupun di bagi dengan waktu mengerjakan PR dari sekolah, sedangkan Aeni,

Page 117: Menari Di Bumi Lontara

Kitab Kuning Hadiah Gurutta � 101

masa kecilnya bergelut dengan Al Qur’an. Yah seperti itulah perbedaanku dengan Aeni.

Namun saat itu, aku tekadkan diriku untuk mengikuti je­jak Aeni, aku sering berguru kepadanya, mengenai tata cara menghafal, bahkan tiap malamnya aku setor hafalan kepadan­ya, terkadang 1 halaman atau setengah halaman jika hari itu mata pelajaran di sekolah full. Tapi kata Aeni setor hafalannya harus tiap hari atau bahasa lainnya istiqamah, agar hafalannya tak mudah hilang dan cepat khatamnya.

****

Keesokan harinya, lagi­lagi kudengar dari teman­temanku mereka bercerita dari mulut kemulut bahwa aku dan udztadz Agus memiliki hubungan yang istimewa selain antara guru dan murid.

“Ya Allah.... kenapa sih, mereka sampai berfikiran seperti itu? Bisa­bisanya usia sepertiku yang baru­baru ini menginjak usia 12 tahun disandingkan dengan usia 22 tahun. Dia hanya kuanggap sebagai kakak, bahkan seorang ayah. Seketika itu air mataku menetes. Ya Allah jangan engkau uji aku seperti ini” Ucapku lirih.

Aeni menghardikku, kuhapus air mata itu, aku tak ingin menampakkan kesedihanku di depan siapapun.

“Rum ? kamu kenapa?” Tanyanya sambil menatap tajam mataku.

“Aeni, aku makin tak tahan, aku ingin pulang”

“Rum, apakah karena gosib itu yang kembali menyebar?” Tanyanya.

Page 118: Menari Di Bumi Lontara

102 � Menari di Bumi Lontara

Aku hanya mengangguk, sambil kembali menahan air mata yang sedari tadi ingin menetes.

“Ningrum aku tak ingin kamu terus terpuruk dalam kes­edihan, hal itu akan mengganggumu teman. Tak usah kamu pedulikan ejekan ataupun berita yang menyebar itu, karena semua itu hanya akan menyita waktumu untuk memikirkan­nya. Kamu punya aku Rum, orang yang akan selalu meneman­imu, orang yang akan selalu menjadi temanmu, dikala senang ataupun sedih”

“Syukran atas semua kebaikanmu selama ini padaku Aeni. Aku tak tahu jika kamu tak berada di sampingku, mungkin pesantren ini bukan hanya menjadi penjara bagiku tapi juga akan menjadi neraka”

“Rum... lebih baik kamu diam daripada meladeni orang­orang iseng seperti mereka. Ingat Rum, semakin bertambahnya rizki seseorang, kepintaran seseorang dan lain sebagainya maka akan semakin tinggi pula kecemburuan orang terhadapmu”

Kata­kata Aeni begitu menyejukkan hatiku, mungkin karena masalah yang dia hadapi selama ini yang membuatnya dewasa, bahkan lebih dewasa dariku.

Aku dan Aeni berjalan menuju kelas. Sebelum aku mema­suki kelas, langkahku terhenti dikelas 1.b, ternyata yang men­gajar di kelas itu adalah udztadz Agus, beliau menghampiriku.

“Rum, kenapa lesu dik?” tanyanya.

“Pung aku ingin kembali ke kampung, aku tak tahan, aku belum pernah merasakan surga ketenangan di sekolah ini, aku ingin pulang pak, aku ingin kembali kepelukan si mbahku”

Page 119: Menari Di Bumi Lontara

Kitab Kuning Hadiah Gurutta � 103

Ustadz Agus hanya tersenyum padaku, aku bingung den­gan senyuman yang terukir di bibirnya.

“Rum, aku mengajar dulu yah dik, nanti kita bicarakan” Jawabnya.

Aku kembali melangkahkan kakiku, menuju kelasku. Di dalam kelas aku hanya diam, karena itulah yang terbaik.

Beberapa menit kemudian, ustadz Agus menemuiku di perpustakaan, meskipun saat itu aku mulai menjaga jarak darinya tapi tak ada yang bisa memberiku solusi selain dirinya.

“Pung.. aku ingin pulang...”

“Kenapa dik?” Tanyanya.

“Aku ingin pulang ke Jawa pung”

“Tapi kenapa dik?” Tanyanya lagi.

“Aku tak tahan mondok pung, selama ini aku berusaha dengan sekuat tenaga dan kemampuanku untuk menjadi lebih baik, tapi jangankan mendapatkan dukungan dari mereka tapi yang kudapatkan justru cacian dan makian dari mereka. Ke­napa surga ketenangan itu belum kurasakan sampai detik ini pung?”

“Dik, apabila orang menghinamu, maka bersabarlah, jangan terlalu ambil pusing, jangan memikirkan apa yang di­hinakannya, dan jangan menghadapi mereka dengan terlalu agresif. Sebab apa? Dari sekian banyak orang yang menghina orang lain, mereka tidak mengetahui maksud dari hinaan itu sendiri. Mereka akan lebih senang kalau hinaan mereka di­tanggapi oleh diri kita, dan dengan spontan mereka akan terus menghinanya, seperti api yang disirami bahan bakar. Jangan

Page 120: Menari Di Bumi Lontara

104 � Menari di Bumi Lontara

panik karena kepanikanmu akan menumpulkanmu dari ber­buat sesuatu. Serahkan semuanya pada Allah, jangan buat dirimu tertekan dengan segala cercaan orang, karena orang lain tidaklah berbuat demikian kecuali karena engkau telah mengungguli mereka dalam suatu hal, kesuksesan misalnya dik, ketegaran dalam mengarungi hidup, atau karena kita mendapatkan sesuatu yang mereka tidak memperolehnya. Jadilah seperti singa yang tidak menghiraukan gigitan nyamuk di sekitarnya, sebab singa telah mempunyai target untuk me­mangsa kawanan domba. Tidak ada waktu bagi sang singa hanya untuk memikirkan gigitan seekor nyamuk. Hari ini terus berjalan, di balik cercaan dan hinaan terdapat sebuah kemu­liaan, di balik dosa ada ampunan, setelah lapar akan merasa kenyang, dan setelah jalan menikung ada jalan yang lurus. Setelah badai akan hujan, setelah tanjakan akan ada turunan, setelah miskin akan terdapat kekayaan, setelah sakit akan ada kesembuhan, dan bersama kesusahan ada kemudahan”

Subhanallah... nasehat yang begitu menyentuh, telah ter­lontar dari mulut udztadz Agus. Beliau berusaha menguat­kanku.

“Dik, Abu Dzuaib Al­Hudzali melantunkan syairnya :

Kutunjukkan ketabahanku kepada orang­orang yang meng­hina bahwa aku tidak pernah gusar terhadap kebimbangan zaman.

Jika kematian telah menjulurkan kukunya, semua jimat yang kau pergunakan tak akan berguna .

Itulah syair yang diutarakan oleh Abu Dzuaib Al­Hudzali, akan tetapi apabila hinaan telah terlalu berat engkau rasakan dik, air mata tak kunjung berhenti karenanya, akal telah labil

Page 121: Menari Di Bumi Lontara

Kitab Kuning Hadiah Gurutta � 105

dibuatnya, hati mulai kropos di cabik­cabiknya, mata mulai gelap menghadapinya, maka ber’uzlahlah (menjauhlah) dari mereka dik”

Mendengar nasehat ustadz Agus membuatku menangis histeris.

Beliau memberiku sebuah kitab, beliau menyarankan agar aku menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat agar aku tak larut dalam kesedihan yang begitu mendalam.

“Syukran ‘alaa nashiihatkum ya udztadz … wa insya Allah saufa asy’uru mutmainnan binashihatkum…” Kataku, dengan menggunakan bahasa arab.

“Afwan dik..” jawab ustadz Agus sambil tersenyum.

Setelah mendapatkan nasehat dari ustadz Agus aku kem­bali ke kelas.

Semangatku mulai membara, untuk tetap menimba ilmu di pesantren ini. tak kuhiraukan hinaan dan gosib yang bere­dar.

Akhirnya aku mengalihkan perhatianku untuk membuka dan menelaah kitab Ihya Ulumiddin terutama bab Amraadhul Qulub wa Dawaiha ternyata betul­betul aku tenggelam dalam uraian indah dari Al Imam Al­Ghazali, sehingga rasanya tak dapat melepaskan kitab tersebut dari tangan dan hatiku karena aku merasakan kesejukan dalam setiap untaian kata di dalamnya.

****

Page 122: Menari Di Bumi Lontara
Page 123: Menari Di Bumi Lontara

� 107

Terpanah di Kota Santri

Kini aku mulai beradaptasi dengan Pesantren, program­program Pesantren mulai kulaksanakan dengan baik, begi­tupun dengan kegiatan ekstrakurikuler sudah mulai kugeluti terutama dibagian keterampilan dan seni. Kepercayaan guru dan teman­teman mulai kembali seperti sediakalanya.

Hafalankupun semakin hari semakin bertambah berkat adanya bantuan Aeni, prestasikupun semakin kutonjolkan. Aku semakin yakin dengan kemampuan yang kumiliki, sampai akhirnya kutekadkan diriku untuk melanjutkan harapan sim­bahku Akupun dicalonkan untuk menjadi ketua osis, setelah terpilih menjadi ketua osis, begitu banyak program yang ku­jalani, mana tiap harinya aku harus ke rumah penduduk untuk bantu­bantu menyelesaikan pekerjaan rumah, melihat peker­jaan terlalu banyak yang harus kulaksanakan maka salah satu diantaranya harus kulepaskan. Aku beranikan diriku untuk berbicara pada guru bagian kesiswaan.

Page 124: Menari Di Bumi Lontara

108 � Menari di Bumi Lontara

“Assalamu alaikum pung....”

“Waalaikum salam...” jawab bu Kati, yang saat itu men­jadi guru bagian kesiswaan. Guru yang mempunyai suara yang indah saat melantunkan ayat­ayat suci al Qur’an, beliau juga selaku guru tajwid dalam kegiatan ekstrakurikuler.

“Pung, tujuan saya kemari tak lain adalah mengundurkan diri dari jabatan saya selaku ketua osis” kataku.

“Tapi kenapa nak?” Tanyanya. “Bukankah teman­teman­mu telah mempercayakan tugas ini kepadamu nak?” Lanjut­nya.

“Pung, saya melepaskan amanah ini bukan karena saya lari dari tanggung jawab tapi karena ada beberapa hal yang mengharuskan saya melepaskan posisi saya pung” Jawabku.

“Tidak semudah itu nak kamu melepaskan kewajiban kamu ini” ujar bu Kati.

“Pung, saya punya beberapa tugas diluar sana, tiap harinya saya harus kerja di rumah penduduk, mohon pengertiannya pung” Tegasku.

“Kalau itu maumu nak baiklah, kamu tukar posisi saja dengan teman kamu yang menjabat selaku sekertaris osis”

“Ufff...” kutarik nafas panjang, “yah, sama saja kan pung, ketua dan sekertaris” ujarku dalam hati. “Tapi tak apalah”

“Syukran pung..” kucium tangan guruku, dan beranjak pergi.

Semenjak amanah selaku ketua osis kulepaskan, aku mulai mengatur waktu dengan menulis program­program yang akan kulaksanakan.

Page 125: Menari Di Bumi Lontara

Terpanah di Kota Santri � 109

Hari itu ketika Ustadz Amir mengajarkan Fiqhi Kifayah di kelasku, pelajaran fiqhi yang dibawakan oleh Ustadz Amir kudengarkan dengan baik dan seksama. Tak ada sedikitpun beban yang ada dalam diriku yang kurasakan saat itu. Namun beberapa hari setalah aku mulai menggeluti pesantren tiba­tiba berita buruk pun kuterima dari Pak Ambo.

Angin di sore hari begitu terasa sejuk, halaman asrama begitu bersih sehingga enak dipandang, saat itu aku sedang menghafal, dan hafalanku masuk pada juz ke 6. Aku begitu menghayati firman Allah pada juz ke 6, namun ketika sampai pada ayat ke 152 surah An­Nisaa juz 6, yang artinya : Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-RasulNya tidak membeda-bedakan di antara mereka, kelak Allah akan memberikan pahala kepada mereka. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

“Rum...Rum...”

Sepertinya ada yang memanggikku, sambil menengok ke kiri dan ke kanan, kucari asal suara itu.

“Rum ada tamu untukmu” ujar Amel yang saat itu selaku piket asrama.

“Siapa Mel?” Tanyaku.

“Bapak­bapak Rum, kurang tahu juga siapa dia, karena dia tak menyebutkan namanya” Jawabnya.

Segera diriku beranjak dari kursi dan menuju ke ruang tamu, tempat yang disediakan untuk para tamu asrama.

Beberapa lagi, langkahku akan sampai di ruang tamu, na­mun tiba­tiba langkahku terhenti.

Page 126: Menari Di Bumi Lontara

110 � Menari di Bumi Lontara

“Bu, kakek Ningrum lagi sakit keras”

‘Kaya’nya aku mengenal suara itu’ ucapku dalam hati. Orang itu menyebut simbah.

Segera diriku berlari menuju asal suara itu.

Sesampainya disana, ternyata dugaanku benar bahwa yang berbicara tadi adalah pak Ambo.

“Ada apa pak?” Tanyaku.

Sejenak pak Ambo diam tanpa kata.

“Pak, jawab, berita apa yang ingin bapak sampaikan?” Tan­yaku penasaran.

“Nak, mbahmu di Jawa sakit keras, dan beliau meng­inginkan kamu untuk kembali ke Jawa”

Seketika itu tubuhku terasa lemah, oh Tuhan, cobaan apa lagi yang menimpaku.

Bu Ruwayah yang sedari tadi menemani pak Ambo, tak dapat berkata apapun.

“Ini surat dari mbahmu nak” sambil menyodorkan selem­bar kertas.

Surat yang ditujukan untukku yang ditulis langsung oleh si mbok, isinya cukup singkat.

NDUK….. SIMBAH SAKIT, SEKIRANYA KAMU BISA PULANG NDUK KE KAMPUNG…….

Air mataku membasahi surat yang kupegang dengan tan­gan gemetaran.

“Nak, bapak tunggu hari Rabu di rumah” Tegas pak Ambo.

Hari rabu? Berarti 3 hari lagi aku ke rumah pak Ambo.

Page 127: Menari Di Bumi Lontara

Terpanah di Kota Santri � 111

Setelah pak Ambo meninggalkan asrama. Aku berlari ke kamar.

Melihat air mata yang sedari tadi menetes di pipi, tentu membuat sekamarku heran.

“Kak Ningrum, kenapa?” Tanya Icha.

“Tidak dik, kakak enggak apa­apa” Jawabku singkat.

Isak tangisku semakin terdengar. Melihatku seperti itu bu Ruwayah menghampiriku.

“Nak, tabahkan hatimu nak, itu cobaan bagi keluargamu”

“Pung, aku sayang simbah tapi aku juga tak ingin mening­galkan pesantren yang telah merubah pola pikirku pung, apa­lagi aku hampir duduk di bangku kelas 3, sebentar lagi aku akan ujian Nasional”

Bu Ruwayah, selaku pembina asramaku, memelukku erat, beliau ikut meneteskan air mata dalam pelukan. beliau seperti itu karena tak dapat memberiku solusi yang tepat dalam ma­salahku ini.

Sehari semalam, tangisan menyilimutiku, bagaimana ti­dak, saat itu kedaan menyudutkanku.

2 hari lagi aku akan meninggalkan pesantrenku ini.

Setelah menghadap pada kepala sekolah, aku mulai men­gurus berkas­berkas. Kepala sekolah hanya menyarankan aku untuk ikut pada ujian Nasional yang tak cukup setahun lagi akan diselenggarakan.

Aku hanya menganggup tak tahu harus jawab apa.

Aku juga berpamitan kepada guru­guru yang ada di pesantren. Tak terkecuali dengan ustadz Agus.

Page 128: Menari Di Bumi Lontara

112 � Menari di Bumi Lontara

“Pung, hari ini hari terakhir aku menginjakkan kaki di sekolah ini, hari ini hari terakhir aku untuk menimbah ilmu di sekolah ini, hari ini hari terakhir aku untuk bertemu dengan guru­guru di pesantren termasuk kita pung” Ucapku.

“Tapi kenapa dik?” Tanyanya kebingungan.

“Pung, mbah sakit keras, tak ada yang merawat beliau, penghasilan jualan kue Mbah Putri pas­pasan lalu bagaimana dengan biaya sekolahku?” Jawabku.

“Dik, kamu pintar, kamu cerdas, dan kamu berprestasi, pesantren akan berusaha memberimu bantuan atau beasiswa” Tegas Ustadz Agus.

“Pung, ini bukan masalah beasiswa atau apanya, tapi ini masalah si mbah yang sekarang sakit keras”

“Selama ini, dari kecil sampai ketika aku beranjak dewasa yang merawat dan membesarkan aku adalah simbah dan sim­bok, itulah sebabnya mengapa aku lebih mementingkan mer­eka dibanding apapun di dunia ini” Tegasku.

“Tapi...dik….”

“Pung, ketika saat ini simbah ingin berjalan­jalan padahal kaki sudah lumpuh siapakah yang akan mengantarnya?”

“Ia ingin berpergian, padahal tenaga sudah loyo, siapakah yang akan memapahnya?”

“Ia ingin makan yang enak­enak padahal tak ada yang memasak, siapakah yang menyiapkannya?”

“Ia ingin meminta ini dan itu, padahal anaknya saja entah kemana, dan cucunya jauh, simboh yang semakin tua, siapak­ah yang akan memberinya?”

Page 129: Menari Di Bumi Lontara

Terpanah di Kota Santri � 113

“Ia ingin bercanda ria, padahal anak dan cucu sudah pisah siapakah yang mau menemaninya?”

“Ia ingin bercerita dan menyampaikan keluh kesah pa­dahal dia sendirian, siapakah yang akan mendengarkannya?”

“Ketika ia berbaring sakit, siapakah yang akan menunggu, siapakah yang mengasuh dan siapakah yang akan memperdu­likannya?”

Mendengar penjelasanku ustadz Agus diam tanpa kata.

“Pung, inilah jalan takdirku” Kataku. “Kulo kudu balik pung”

“Bukannya hati ini tak sakit pung, dan bukannya hati ini tak hancur, bukan pula hati ini tak perih, namun hanya kepas­rahan yang mengiringi”

“Kalau tak ada jalan selain kembali ke kampung dik, bai­klah, teruskan langkah dan niatmu dik” Ujar ustadz Agus.

“Terima kasih atas semua kebaikan yang ustadz berikan ke­padaku, aku banyak berutang budi pada anda pung” Ucapku.

“Semua kulakukan itu semata­mata karena saya ingin me­lihatmu sukses tanpa ada kata menyerah dik”

“Kalau begitu aku pamit dulu pung, ucapku tanpa men­jabat tangan ustadz Agus, karena kutahu ustadz Agus begitu menjaga hijab”

Setelah berpamitan dengan guru­guru yang ada di pesantren, aku melangkahkan kaki menuju asramaku yang penuh kenangan terlebih lagi kenangan bersama Aeni saha­batku.

Page 130: Menari Di Bumi Lontara

114 � Menari di Bumi Lontara

Sesampai di asrama, kutelusuri kamar demi kamar, kucari sosok Aeni, yang sedari pagi tak tahu entah kemana.

“Aeni... ayna anti ?” Teriakku.

“Ukhti Maryam, apakah kamu melihat Aeni?” Tanyaku.

“Oh Aeni, pas pulang sekolah dia ke sentral”. Jawab Mary­am.

“Loh, kok egga pamitan sama aku?” Tanyaku kembali.

“Aeni tadi pesan kalau dia tidak sempat minta izin sama kamu” Jawabnya.

“Oh, syukran yah”

Aku bergegas menuju kamarku, membereskan semua barang­barangku.

“Aeni, kemana sih... sudah tahu ini hari terakhirku di as­rama, eh malah kelayapan kesana kemari” Ucapku kesal.

“Astagfirullah, Aeni kan belum tahu aku akan kembali ke Jawa” Ucapku lirih.

****

Perjalanan Aeni ke sentral.

“Kak Aeni, mau beli apa di pasar?” Tanya Icha.

“Oh, saya mau beli kaos kaki dik, uff... saya heran tiap minggu kaos kakiku sering hilang sebelah” Ujar Aeni.

“Hihihihihi.... malellekije kak…. “

“Entahlah dik, saya yang teledor atau memang anak as­rama yang enggak bisa bedakan milik sendiri, atau bukan, ka­lau adik?”

Page 131: Menari Di Bumi Lontara

Terpanah di Kota Santri � 115

“Kalau saya yah kebutuhan dapurji kakak” jawab icha.

“Oh.. iya saya baru ingat.. bawang putih, bawang merah, dan lombokku juga sudah habis”

“Kak, mau ke Toko Asia?” Tanya Icha.

“Iya dek... sabun cuciku juga habis”

“Yah, saya kira hilang, kalau sabun kakak hilang itu berarti bukan santri yang ambil tapi tikus asrama” Tutur Icha.

“Kamu itu bisa aja dik…. “ Lanjut Aeni.

“Kak Aeni sudah tahu belum kalau besok kak Ningrum balik ke Jawa, dan kemungkinan enggak akan kembali lagi”

“Apa dik? Seriuski?” Tanya Aeni.

“Iye kak, aku enggak mungkin bohong” jawab Icha.

“Tapi kenapa Ningrum enggak bilang apa­apa sama kakak dik?”

“Mungkin kak Ningrum belum siap untuk menyampaikan berita ini sama kakak”

“Emangnya ada masalah apa dik?” Tanya Aeni.

“Dengar­dengar katanya kakek kak Ningrum sakit keras kak” Jawab Icha.

“Yah kalau gitu dik kita enggak usah ke Toko Asia, setelah ke pasar langsung pulang saja yah? enggak apa­apakan dik?” ajak Aeni.

“Iye kak, enggak apa­apa”

Setelah membeli kaos kaki dan kebutuhan dapur di as­rama. Aeni dan Icha menuju asrama dengan menggunakan bemor.

Page 132: Menari Di Bumi Lontara

116 � Menari di Bumi Lontara

“Pak bemor... bisa sedikit agak cepat pak?” Perintah Aeni.

“Oh, iya...” jawab pak Bemor.

Sesampainya diasrama, tanpa pikir panjang Aeni men­emuiku, seketika itu aku kaget, karena sementara aku serius menyiapkan barang­barangku, seorang wanita menangis terse­du­sedu di depan pintu kamarku, dan tak lain itu adalah Aeni.

“Kenapa Aen?” Sambil kumendekatinya.

“Rum, kenapa kamu enggak bilang padaku kalau kamu akan meninggalkanku?”

Melihat Aeni menangis seperti itu, hatiku sakit sekali.

“Aeni, maafkan aku, bukannya aku enggak mau ngomong dan cerita sama kamu tapi aku pilih waktu yang tepat untuk cerita”

“Rum, apa tidak ada pilihan lain, selain meninggalkan pesantren ini?” tanya Aeni

Aku hanya menggelengkan kepala.

“Rum… jadi kamu akan meninggalkanku?”

Tak kusangka air mataku mulai menetes membasahi jilbab Aeni.

“Rum, aku akan meresa kehilangan kamu”

“Aeni, tak ada jalan lagi selain kembali ke Jawa karena saat ini, simbahku sakit keras. Sekarang aku tak tahu harus melakukan apa, selain berdoa dan menerima kenyataan ini”

“Aen, kamu teman terbaikku.. tak mudah melupakan te­man sebaik kamu Aen”

Page 133: Menari Di Bumi Lontara

Terpanah di Kota Santri � 117

Aeni berusaha menahan tangisannya dan dia memban­tuku menyiapkan barang­barang.

“Aeni... ojo nangis yoo!!!!” Kataku.

Kulihat Aeni mengusap air matanya, dan mulai tersenyum kepadaku.

“Yowes, yuk siap­siap ke masjid, sebentar lagi adzan. Kataku.

****

Page 134: Menari Di Bumi Lontara
Page 135: Menari Di Bumi Lontara

� 119

Senjapun Mengaji

Seperti biasanya, ba’da shalat magrib, program Pondok Pesantren As’adiyah adalah Pesantren, atau biasa disebut dengan mengaji tudang, kegiatan yang di amalkan oleh al Mu­karram Anre Gurutta Muhammad As’ad ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah Sengkang, kehadiran sosok ulama yang bernama Muhammad As’ad telah membius semua warga Sengkang untuk mengenal ajaran Islam lebih dalam, bukan hanya warga kota Sengkang yang bertasbih, tapi semestapun ikut bertasbih, alam ikut merasakan udara sejuk yang dibawa oleh Anre Gurutta As’ad, bahkan senja ikut mengiringi sayup­sayup adzan yang dikumandangkan di Masjid Jami.

Jadwal pada malam itu adalah Riyadhu Shalihiin, yang membawakannya adalah AG.KH. Ali Pawellangi, metode pe­nyampaian beliau cukup jelas dan mudah dipahami, ketika beliau yang membawakan pesantren tak kulewatkan shaf ter­depan, mengahayati kalam Ilahi yang dia lafadzkan saat shalat.

Page 136: Menari Di Bumi Lontara

120 � Menari di Bumi Lontara

Dan ketika dia membawakan pesantren aku sesekali melirik wajahnya, jika beliau berbalik ke arah pandangan mataku, aku menundukkan pandanganku karena aku tak sanggup menatap wajahnya secara langsung. Beliau terkadang membuat lelucon ketika membawakan pesantren, tapi cara beliau berbeda den­gan yang lainnya, beliau membuat kami tertawa namun dirinya hanya senyum sesimple mungkin.

Sehabis shalat kucium tangannya, yang terkadang tan­ganku gemetar saat menyentuh kulitnya, kulitnya begitu putih dan dingin. Inilah terakhir kalinya aku menjabat tangannya, aku akan senantiasa merindukanmu pung.

Sehabis shalat isya, kembali kurapikan barang­barangku, setelah itu kulangkahkan kakiku menuju lantai 3, tempat yang paling berkesan antara aku dan Aeni.

Aku tak menyangka ini malam terakhirku bersama Aeni. Kata perpisahan akan mengakhiri segalanya. Perpisahan itu akan selalu ada, karena kita pernah berjumpa bersama dalam canda tawa dan bahagia. Setiap tetes air mata yang tertumpah di malam ini akan menjadi saksi atas jalinan ukhuwah kita.

Malam ini jiwa dan naluriku kembali terluka atas perpisa­han raga. Namun aku percaya, hatiku dan hati Aeni akan selalu terikat, jalinan Ukhuwah akan semakin erat. Tapi tetap saja aku tak dapat membendung air mata ini.

“Rum, tidak usah terlalu bersedih sahabat, berbahagialah karena engkau akan menemukan suasana yang baru, bukan disini lagi tapi disana”

Page 137: Menari Di Bumi Lontara

Senjapun Mengaji � 121

“Aeni...aku telah menemukan kedamaian di Pondok ini, lalu bagaimana aku bisa meninggalkannya sedangkan separuh hidupku ada di sini?”

“Rum, jika air mata itu tak tertahankan biarkanlah air mata itu jatuh sesukanya, biarkanlah dia mengalir, mengucap kata seindah­indahnya. Biarkan dia menetes karena air mata tak berarti sedih, air mata tak berarti duka, air mata adalah juga lambang bahagianya hati, biarkan dia menemani kita di hari ini, biarkan…. karena dia memang hadir untuk ini, untuk sebuah perpisahan”

“Aeni, aku akan merindukan suasana­suasana di pesantren ini, paginya yang sejuk, senjanya yang elok, dan malamnya yang menarik. Semuanya memberikan kesan yang mendalam”

“Rum, segala rindu yang akan muncul, segala nafas yang akan berhembus, segala harapan yang akan kita raih, segala langkah yang akan kita ayunkan, yakinlah disana ada sukses. Di sana ada keberkahan, dan di sana pasti ada cinta”

“Iya Aeni, aku akan berusaha menerima kenyataan ini, meskipun terasa berat” kamu jangan tangisi kepergianku yah”

“Bagaimana mungkin aku tak meneteskan air mata, se­dangkan engkau terus­terusan menangis”

Aku memeluk Aeni dan sepertinya aku tak ingin melepas­kan pelukan itu tapi kuyakinkan diriku bahwa Allah punya jalan tersendiri untukku.

Rentang panjang perjalanan kisah kita laksana perjalanan kisah­kisah seru yang pernah dijalani mereka yang dimabuk asrama, teringat kembali banyak teman­teman kita yang sering cemburu dengan kedekatan kita, bahkan mereka mengatakan kepada kita bahwa hubungan kita laksana sepasang kekasih.

Page 138: Menari Di Bumi Lontara

122 � Menari di Bumi Lontara

Hari­hari begitu berwarna, kita saling tertawa bersama, meng­habiskan hari­hari bersama. menguras habis isi dompet kita, andai kenangan itu seperti patung mungkin begitu banyak patung yang akan kita buat. Bahkan alam semesta ini adalah pahatan yang sama­sama kita ukir, matahari yang terbit, senja di sore hari. Dirimu seakan menjadi pemandangan terindah yang pernah kuukir di angkasa.

Adakah happy ending untuk semua yang kita jalani hari ini dan hari­hari kemarin?

“Aku yakin Aeni, bahwa persahabatan kita selalu berakhir dengan senyuman dan kebahagiaan bukan berakhir dengan perpisahan dan linangan air mata”

“Rum, kebiasaanmu yang takkan pernah kulupakan eng­kau tak bisa menahan diri untuk bersastra ria mencipta puisi dadakanmu atau bait prosa puitisasi imajinasimu menggiring aku untuk juga terbiasa mendengar dan menikmati setiap kali matamu menangkap keindahan, saat kita bersam tak peduli apakah kita kita tengah duduk, berdiri atau berjalan. Bah­kan ketika aku tak disampingmu, puisi dan bait­bait puitis itu akan kutemukan di kamarku. Aku tak pernah bisa mengerti mengapa begitu cepat daya imajinasimu, dan begitu sigap li­dahmu menuturkan keindahan itu. Seperti halnya juga aku tidak pernah bisa mengerti mengapa matahari terbit, embun di pucuk­pucuk dedaunan pagi, juga momen matahari pulang menjemput senja begitu indah di matamu”

“Tapi Aeni, senyumanmu mengalahkan keindahan alam ini”

Aeni tertawa mendengarkan pujianku.

Page 139: Menari Di Bumi Lontara

� 123

Sepotong Pensil Untuk Ngaji

Keesokan harinya aku pamitan dengan teman­teman, juga kepada Pembina asramaku. Kukuatkan diriku untuk ti­dak meneteskan air mata tapi apalah daya aku tak sekuat batu karang yang ada di laut. Air mata itupun akhirnya menetes jua. Apalagi ketika aku dihadapkan dengan sosok wanita manis yang banyak memberiku hikmah di balik setiap masalah yang menimpaku. Yah dialah Aeni.

Sebelum kakiku melangkah meninggalkan asrama ini, so­sok itu menarik jilbabku dan memelukku.

“Rum, isbiri, innallaha ma’anaa”

“Aeni, I love you because of Allah”

“Rum, hafalanmu harus tetap jalan yah jangan pernah kamu sia­siakan waktumu”

“Ini pensil kesayanganku yang sering kugunakan ketika ngaji, aku akan bagi dua pensil ini dan sepotongnya akan ku­

Page 140: Menari Di Bumi Lontara

124 � Menari di Bumi Lontara

berikan kepadamu dan aku berharap suatu hari nanti pensil ini akan kembali menjadi satu”

“Selamat tinggal yah Aeni, semoga waktu menyatukan kita, aku pergi dulu yah Aeni, jaga dirimu baik­baik”

“Insya Allah Rum, illliqaa qariiban”

“Insya Allah Aeni. Assalamu alaikum...”

Secepat itu kupalingkan wajahku tanpa menatap wajahn­ya, karena aku tak kuasa melihatnya meneteskan air mata. Aku mencintai Aeni seperti aku mencintai sosok Nurul teman kecilku.

****

Di perjalanan menuju rumah pak Ambo yang ada hanya tangisan menemaniku, sepahit inikah perpisahan? Sesakit ini­kah perpisahan? Dan sepedih inikah perpisahan? Oh Tuhan, aku tak kuat, tak tahan, bahkan tak sanggup dengan semua ini.

Sesampainya di rumah pak Ambo, seperti biasanya tiap kali aku ke rumahnya, beliau menyambutku dengan gembira. Usai menyantap makan siang, beliau mendekatiku.

“Rum, kamu naik pesawat saja yah nak..?”

“Tapi bukankah ongkos pesawatnya mahal pung? Terus aku dapat uang darimana?” Tanyaku.

“Kebetulan bapak ada rezky, jadi kamu bisa pakai nak..”

“Tapi pak.....”

“Rum, kamu bukan orang lain nak, kakekmu itu adalah sahabatku, insya allah besok bapak antar ke Makassar”“Terima kasih pak.”

Page 141: Menari Di Bumi Lontara

Sepotong Pensil Untuk Ngaji � 125

Keesokan harinya, aku dan pak Ambo menuju ke Makas­sar.

Sesampai di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, ku­cium tangan pak Ambo, beliau pengganti mbah kakung selama aku di Pondok.

Akhirnya aku benar­benar meninggalkan provinsi Sulawe­si Selatan. Meninggalkan kota santri, meninggalkan kenangan di kota kelelawar, dan meninggalkan keindahan Pattirosompe dan Pasanggrahan.

Ya Rabb, maafkan aku karena sudah sekian kali aku mengeluhkan perjalanan hidupku.

Begitu banyak cobaan yang engkau berikan kepadaku, tapi aku yakin Ya Rabb dibalik cobaan ini, ada sejuta kebaikan yang engkau siapkan untukku.

Tiap harinya hanya ada tangisan, bahkan aku lupa bagaimana senyuman itu.

****

Setiba di kampung halamanku....

Tak ada yang berubah dengan situasi dan lingkungan seki­tar rumahku.

Secepat kilat aku berlari masuk rumah, tak sabar lagi aku ingin bertemu dengan simbah dan simbok.

“Assalamu Alaikum….”

“Waalaikum salam.....”“Mbah, mbok, iki Ningrum... Ningrum pulang mbah…..”

Page 142: Menari Di Bumi Lontara

126 � Menari di Bumi Lontara

Pintupun di buka, sosok yang kurang lebih 2 tahun tak pernah kutatap akhirnya ada di hadapanku. kupeluk simbok yang ada di hadapanku.

Dan mulai melangkahkan kakiku menuju dalam rumah, lagi­lagi air mataku mengalir deras melihat mbah terbaring lemah. Sosoknya semakin tua, dan semakin kurus.

“Mbah, iki Ningrum… mbah....”

“Nduk, bagaimana mondoknya?”

“Iya mbah Ningrum menikmatinya dan banyak mengam­bil pelajaran berharga”

“Maafkan mbah nduk”

“Ora opo­opo mbah...” Aku menampakkan senyumanku pada mbah.

****

Yah mulai hari inilah aku belajar untuk membuang jauh­jauh impianku, mulai saat ini aku berusaha untuk melupakan meja dan bangku sekolahku, mulai saat ini kusingkirkan sera­gam, tas, dan sepatu sekolahku. Itu semua kulakukan untuk menghilangkan kesedihan yang ada dalam diriku.

Hari­hari berlalu tapi hariku tak pernah kubiarkan ber­lalu begitu saja, selain merawat mbah, pelajaran yang pernah kudapat selama di pesantren terus kuulang hingga pelajaran tersebut berbekas dalam memoriku, hafalankupun juga tetap jalan, sepotong pensil yang diberikan oleh Aeni sahabatku ku­gunakan untuk ngaji.

****

Page 143: Menari Di Bumi Lontara

Sepotong Pensil Untuk Ngaji � 127

Yang kupikirkan pada saat ini adalah kesembuhan mbah, namun apalah daya perjuangan mbah kakung tak dapat ber­tahan lama, sebelum menghembusan nafas terakhir, aku masih sempat bercanda bersama simbah, namun aku tak menyangka bahwa itulah saat­saat terakhirku melihat senyuman di wajah mbah.

Mbah telah pergi meninggalkan aku dan simbok, mampu­kah aku menjaga simbok yang sudah tua dimakan usia dengan usiaku yang baru memasuki usia yang ke 14?

Harus dengan cara apa aku menghidupi simbok?

Harus dengan cara apa kubahagiakan simbok?

****

Page 144: Menari Di Bumi Lontara
Page 145: Menari Di Bumi Lontara

� 129

Sopo Iki?

Kini Mbah Kakung benar­benar pergi meninggalkan aku dan Mbah Putri, orang­orang berdatangan ke rumah, sebelum jasad mbah dimandikan, aku pergi menghampiri mayatnya, memandangnya untuk yang terakhir kalinya, mencium pipinya sebagai bentuk perpisahanku dengannya, memegang lembut wajahnya yang keriput, menggenggam erat tangannya, dan mengelus­elus kepalanya.

Disamping itu, aku melihat wajah Mbah Putriku penuh dengan kesedihan, meskipun Mbah Putri berusaha menyem­bunyikan kesedihannya dihadapanku tapi aku tahu bahwa Mbah Putri belum bisa menerima kenyataan yang telah me­nimpa kami.

Orang­orang silih berganti datang menghampiri may­at Mbah Kakung, yah hal itu memang wajar karena Mbah Kakung merupakan salah satu orang yang disegani dan di­

Page 146: Menari Di Bumi Lontara

130 � Menari di Bumi Lontara

tuakan di kampung ini. Namun tiba­tiba ada satu hal yang membuatku heran pada saat itu.

Seorang wanita tinggi putih, berparas cantik didampingi oleh seorang laki­laki berambut ikal tinggi besar, menangis dihadapan mayat Mbah Kakung. Tentu hal itu membuatku bertanya­tanya ada apa dengan wanita itu, kemudian aku ber­tanya pada Mbah Putri.

“Mbok, iki sopo?”

“Sopo wanita itu? mengapa dia menangis dihadapan Mbah Kakung?”

Air mata Mbah Putri mulai berjatuhan, dan tak berkata apapun.

Aku pergi menghampiri wanita itu, kuberanikan diriku bertanya padanya.

“Niwun sewu bu, sopoto iki?”

Wanita itu berbalik padaku, dan memelukku erat dan menangis terseduh­seduh.

aku melepaskan pelukan itu dan kembali bertanya, “sopoto ?”

Belum sempat wanita itu menjawab, Mbah Putri pergi menghampiriku, dan mengajakku pergi meninggalkan wanita itu.

Aku semakin heran dengan sikap simbok, terlebih lagi sikap wanita itu.

Pertanyaan­pertanyaan itu terus menghantui pikiranku saat itu, dan aku tekadkan untuk bertanya kembali padanya setelah pemakaman jasad Mbah Kakung.

Page 147: Menari Di Bumi Lontara

Sopo Iki? � 131

Rumah terasa sepi, yang ada hanya tengisan belaka, ter­masuk tangisan wanita yang tak pernah berhenti sedari tadi. Dengan memberanikan diri kuhampiri wanita itu.

“Bu sopoto iki ?”

Wanita itu hanya bisa menangis, kulihat laki­laki yang ada disampinginya menenangkan wanita tersebut, mungkin saja laki­laki itu adalah suami ibu itu, itulah yang ada dipikiranku.

“Bu kuwe sopo ?” aku kembali bertanya padanya.

Simbok mendekatiku dan berusaha untuk menjelaskan­nya padaku.

“Neng...kamu pasti tahu nduk seorang anak tidakkan lahir di dunia ini tanpa adanya seorang ibu, ibu yang mengandung selama 9 bulan dan melahirkan dengan penuh perjuangan”

“Kemarin kamu bertanya­tanya mengenai siapa itu ibu dan ayah, perlu kamu ketahui nduk bahwa wanita yang ada dihadapanmu ini adalah ibumu. Ibu kandungmu”

Bagai halilintar yang menyambar, penjelasan simbok benar­benar membuatku terkejut.

“Tidak, tidak mungkin.. selama hidupku aku tidak pernah mengenal siapa itu ibu dan ayah, yang kutahu bahwa Mbah Kakung lan Mbah Putri adalah orang tuaku”

“Aku tidak mengenal mereka, apalagi wanita ini, wanita yang Mbah Putri katakan sebagai ibu kandungku”

“Ningrum, wanita ini adalah ibumu nduk” ujar simbok.

Saat itu nyawaku seperti diunjung tanduk, volume su­araku mulai agak keras.

Page 148: Menari Di Bumi Lontara

132 � Menari di Bumi Lontara

“Mbah, jangan paksa aku untuk mengakui bahwa mereka adalah orang tuaku, aku tak mengenal siapa mereka”

“Aku bahkan tak mau mendengar bahwa aku mempunyai ibu dan ayah”

Ketika itu kata­kata yang keluar dari mulutku benar­benar seperti kata­kata yang diucapkan oleh orang yang berusia 20an, wanita itu mendekatiku dan memelukku.

Tentu saja hal itu membuatku marah, tubuhku berusaha melepaskan pelukan wanita itu.

“Tolong menjauh dariku, jangan coba­coba menyentuh sedikitpun kulitku”

“Nak..aku ibumu, ibu yang selama ini mengandungmu, ibu yang selama ini mengasihimu” Ujar wanita itu.

“Haa ? ibu katamu”

“Iya nak, akulah ibumu”

Jawaban wanita itu membuatku geli mendengarnya.

“Perlu anda ketahui bahwa aku tak pernah minta untuk dilahirkan oleh wanita sepertimu, dan jangan pernah berani mengatakan kata­kata mengasihiku dihadapanku, karena sama sekali aku tak mengerti apa itu sayang dan kasih”

Tiba­tiba Mbah Putri angkat bicara.

“Rum..kamu tidak boleh berkata demikian pada ibumu, biar bagaimanapun dia adalah ibumu”

“Mbah, sudahlah... mbah tidak perlu membela wanita ini”

“Apakah dia pernah memikirkan kehidupan kita sebelum ini ?”

Page 149: Menari Di Bumi Lontara

Sopo Iki? � 133

“Memikirkan penderitaan kita selama ini ?”

“Memikirkan makan apa kita selama ini ?”

“Apakah dia pernah memikirkan Mbah Kakung dan Mbah Putri ?”

“Mbah yang selama ini membesarkanku, simbok yang tiap harinya keliling berjualan kue, berpanas­panasan dijalanan, dan Mbah Kakung tiap saat kesawah, sekalipun kehujanan, semua mereka lakukan demi aku. Sekali lagi demi aku !”

“Dan................

Apakah dia pernah memikirkan tentang masa depanku yang bergantung pada pendidikan? pernah memikirkan cita­citaku selama ini, harapan dan impian yang harus kutelan karena faktor biaya ?”

“Tentu hal itu tak pernah terpikirkan dalam ingatannya, yang ada dipikirannya hanyalah kesenangan belaka, kesenan­gan yang dipenuhi dengan kekayaan yang dia miliki”

Mendengar kata­kata yang kulontarkan, wanita itu lang­sung terjatuh dan pingsan. Kulihat laki­laki disampingnya yang sedaritadi hanya diam tanpa kata mengangkat dan berusaha menyadarkan wanita itu. Ternyata laki­laki itu adalah suami kedua dari wanita itu. Dan pastinya dia bukan ayahku.

Aku pergi meninggalkan mereka, berdiam diri di kamar merupakan cara terbaik untuk menumpahkan kesedihan.

Kutunaikan shalat sunnah 2 rakaat yang diajarkan oleh Mbah Kakung semasa hidupnya, beliau berpesan bahwa tiap ada masalah yang menimpamu, segeralah tunaikan shalat.

Page 150: Menari Di Bumi Lontara

134 � Menari di Bumi Lontara

‘Ya Allah Ya Tuhanku, entah apa maksud dari cobaan yang menimpaku ini, yang jelas berilah hamba ketegaran dan ke­mudahan untuk menjalani ujian yang datang silih berganti’

Beberapa menit kemudian wanita itu sadar, Mbah Putri atau biasa kupanggil dengan sebutan simbok kemudian me­nyuruh wanita itu bermalam di rumah.

Itulah sosok simbok, sosok seorang wanita yang begitu cepat melupakan kesalahan orang lain,terlebih lagi kesalahan anaknya sendiri. Namun aku belum bisa seperti Mbah Putriku.

Aku bertekad untuk berdiam diri di kamar selama wanita itu berada di rumah.

Keesokan harinya.

Wanita itu pergi menghampiriku, “nak, kamu sudah ban­gun..... ?”

Kupasang wajah yang cemberut dihadapan dia, oh Tuhan, aku benci melihat wajahnya.

“Nak.. kamu sudah besar yah, dan anak mama sungguh cantik”

Kulihat tangannya mulai memegang pundakku, dan beru­saha untuk memelukku, tapi diriku serta merta menolak pe­lukan itu.

“Nak, mama begitu merindukanmu”

“Apa ? merindukanku ? setelah mencampakkanku ?”

“Waw, hebat sekali yah, 15 tahun anda meninggalkanku dan sekarang dengan mudah anda katakan rindu ?”

Kulihat tetesan air mata mulai membasahi wajah wanita itu.

Page 151: Menari Di Bumi Lontara

Sopo Iki? � 135

“Sebenarnya ada enggak sih, rasa sayang dalam diri anda untuk anak anda ?”

“Nak, orang tua mana yang tidak sayang sama anaknya? orang tua mana yang tidak bangga kepada anaknya ?”

“Di dunia ini aku tidak punya orang tua bahkan aku tidak membutuhkannya”

Tiba­tiba simbok datang dan mengatakan padaku.

“Ningrum, diam! Sekarang cepat pergi dari kamar ini !” hardik simbok.

Secepat kilat aku berlari, aku tak ingin Mbah Putri men­gulang kata­kata itu sekali lagi, karena inilah pertama kalinya aku mendengar Mbah Putri membentakku.

Tak kuhiraukan sederas apapun air mata yang terbawa an­gin, entah dimana langkahku terhenti, yang kutahu tangisku yang memecah kian deras. Aku menyesal mengapa aku harus memiliki ibu seperti wanita itu.

Tiba­tiba saja langkahku menuju ke makam Mbah Kakung, lagi­lagi tangisan yang keluar membasahi pipiku. “mbah, aku merindukanmu, piye kabare mbah ?”

Aku jongkok dan meletakkan pipiku diatas kubur seraya berkata :

“Mbah, bagaimana rasanya tinggal sendirian di alam ku­bur yang gelap tanpa lampu ?”

“Apakah ada yang menghiburmu mbah ?”

“Jika kemarin aku masih menyalakan lampu untuk mbah, sekarang siapakah yang akan menyalakannnya mbah?”

Page 152: Menari Di Bumi Lontara

136 � Menari di Bumi Lontara

“Kemarin akulah yang menyiapakan tikar tidur untuk mbah, sekarang siapakah yang akan menyiapkannya mbah?”

“Kemarin akulah yang menyiapkan makanan untuk mbah, sekarang siapakah yang akan menyiapkan makanan untuk mbah?”

“Kemarin akulah yang mengurut tangan dan kaki mbah yang capek, sekarang siapakah yang mengurutmu mbah?”

“Kemarin dulu akulah yang menuangkan minuman untuk mbah, sekarang siapakah yang akan memberikan minuman mbah?”

“Kemarin akulah yang mengajak mbah bercanda ria, seka­rang siapakah yang menemani mbah bercanda ria ?”

“Kemarin akulah yang memperhatikan keperluan mbah, sekarang siapakah yang memperhatikan keperluan mbah?”

“Kemarin akulah yang menyelimuti tubuh mbah supaya tidak kedinginan, sekarang siapakah yang akan menyelimu­timu mbah?”

“Kemarin akulah yang mbah perintah untuk ini dan itu, sekarang siapakah yang akan melayani mbah?”

“Mbah , Ningrum merindukan mbah, merindukan nasehat mbah”

“Bue, bue terlalu kasar pada Ningrum, sampai sekarang Ningrum belum pulang”

“Iya, ini untuk pertama kalinya aku berkata kasar padanya, bu’e akan cari dia, mungkin dia kemakam pa’e mu nduk”

Simbok pergi mencariku dan ketika melihatku tertidur di atas makam Mbah Kakung, simbok membangunkanku.

Page 153: Menari Di Bumi Lontara

Sopo Iki? � 137

“Nduk.. bangun nduk..”

Aku membuka mata ternyata Mbah Putri datang menjem­putku. Beliau menciumku.

“Nduk, kembalilah kerumah, mbah minta maaf nduk”

“Mbah, apakah wanita itu masih di rumah ?”

“Nduk, dia adalah ibumu, untuk sementara dia akan ting­gal di rumah”

“Apa mbah ? wanita itu akan tinggal di rumah mbah ?”

“Tapi........”

Sebelum kulanjutkan kalimatku aku terdiam sejenak, ke­mudian aku mengatakan pada simbok, tapi aku belum bisa menerimanya sebagai seorang ibu.

Mbah Putri memelukku, “nduk, simbok mengerti dengan perasaanmu nduk jika itu telah menjadi keputusanmu, terserah darimu nduk yang jelas simbok sangat menyayangimu”

Mbah Putri mengajakku pulang, ditengah jalan aku ber­temu Nurul, sahabat jiwaku, yang sudah 2 tahun aku tak berjumpa, segera diriku berlari untuk menyapanya.

“Nurul….”

Wajahnya berbalik kearahku.

“Ningrum....”

Kami berpelukan dalam suasana kerinduan yang begitu mendalam. Tuhan betapa aku menyayangi Nurul.

“Ningrum..saya turut berduka cita atas kematian sim­bahmu yah, maaf kemarin saya tak sempat datang ke rumahmu

Page 154: Menari Di Bumi Lontara

138 � Menari di Bumi Lontara

karena kebetulan saya lagi liburan kekampung eyangku. Oya, gimana pesantrennya ?”

Pertanyaan Ningrum, benar­benar mengingatkan aku den­gan pondokku, pesantren yang mengubah pola pikir dan pola pandanganku tentang arti hidup dan cita­cita. Namun apalah daya, Allah berkehendak lain dengan jalan takdirku.

“Ningrum…”

Hardikan Nurul mematahkan lamuanku.

“Nurul, untuk sementara ini aku kembali ke kampung karena kemarin Mbah Kakungku sedang sakit keras dan seka­rang entahlah apakah aku masih bisa kembali ke pesantren, dengan melihat kondisi simbok yang hidup sendiri dan sema­kin tua”

“Nurul, daripada kamu hanya berdiam diri di rumah, mending kamu temanin aku ngajar anak­anak kampung, baca tulis Al Qur’an”

“Hmm, pagi hari kamu ke sekolah dan aku membantu sim­bokku ke sawah atau berjualan kue dan setelah itu siangnya sampai sore atau usai shalat magrib sampai isyah kita luangkan waktu kita untuk ngajar anak­anak mengaji. Gimana ?”

Nurul tersenyum melihatku,

“Yah deh Rum, aku akan nemanin kamu ngajar anak­anak mengaji, daripada aku hanya berdiam diri di rumah”

“Nurul, kalau begitu aku pulang dulu yah”

“Assalamu alaikum wr.wb”

Sesampainya di rumah, wanita itu kembali menyambutku dengan senyuman.

Page 155: Menari Di Bumi Lontara

Sopo Iki? � 139

Aku tetap memandangnya dengan wajah sinis. Entah ka­pan aku bisa menerima wanita ini, entah kapan aku mampu menganggapnya sebagai orang tuaku, dan entah kapan wak­tunya aku akan memanggilnya dengan sapaan ‘ibu’.

Keesokan harinya......

Aku membantu simbok ke sawah, dan sehabis ke sawah, aku pergi ngajar anak­anak kampung baca tulis Al Qur’an, inilah kesempatanku untuk kembali mengamalkan ilmu yang telah kudapat di pesantren selama 2 tahun lebih.

Melangkahkan kaki menuju masjid, dengan niat mencari ridha Allah.

“Assalamu alaikum,wr,wb.”

“Waalaikum salam wr,wb, jawaban anak­anak serentak.

“Perhatian­perhatian, adik­adik sekalian, perkenalkan ini kakak Nurul, kakak ini akan menjadi guru baru kalian semua, dia akan membantuku utuk mendidik kalian”

Hari itu Nurul mulai menemaniku mengajar anak­anak mengaji.

Itulah rutinitas yang kukerjakan setiap harinya.

****

Page 156: Menari Di Bumi Lontara
Page 157: Menari Di Bumi Lontara

� 141

Kelas Laskar Pelangi

Ketika usai membantu simbok ke sawah, aku bergagas ke masjid untuk mengajar anak­anak mengaji, tiba­tiba….

“mbak Ning...” terdengar suara memanggil namaku. Ternyata yang memanggilku adalah pak Eko.

“Mbak Ning, besok masjid ini akan di renovasi, nyuwun ngapunten mbak Ning, terpaksa untuk beberapa bulan kedepan anak­anak mengaji di masjid harus dipindahkan mbak, karena susah sementara tukang batunya sibuk bekerja dan bocah­bocah itu lari ke sana kemari, jangan sampai ada musibah yang menimpa anak­anak itu, seperti ketimpa batu, atau teriris alat bangunan”

Aku hanya tertunduk lesuh mendengarkan penjelasan pak Eko. Dan memikirkan harus dikemanakan anak­anak menga­jiku.

Page 158: Menari Di Bumi Lontara

142 � Menari di Bumi Lontara

Aku dan Nurul mengumpulkan anak­anak didikan dan menyampaikan berita ini.

“Adik­adik sekalian, untuk beberapa hari ini kegiatan mengaji kita diberhentikan, sampai ketika kakak menemukan solusi dan tempat yang baru agar kalian bisa kembali mengaji seperti sediakalanya”

“Loh mbak Ning, kenapa seperti itu?” Tanya Rahma.

“Masjid ini akan di renovasi dik, jadi ora opo­opokan dik?”

“Yowes mbak ora opo­opo, tapi janji yah mbak Ning, ini berlangsung hanya beberapa hari, kasiankan kami ini kalau ngaji harus diberhentikan” Ujar Ahmad.

“Iya dik, mbak Ning janji akan mencarikan tempat yang baru untuk kalian semua”

****

3 hari kemudian belum juga kutemukan jalan keluar dari masalah yang menimpaku dengan anak­anak didikanku.

Tapi ketika aku sedang berjalan­jalan mengelilingi sawah dan sekitar sawah mbahku, aku menemukan sebuah gubuk kecil yang mana itu adalah bekas kandang ayam si mbah, yah meskipun itu bekas kandang ayam simbah tapi masih layak untuk di tempati mengajar anak­anak didikanku.

Dengan bantuan dari beberapa pemuda­pemuda kampung akhirnya gubuk itu bersih dari kotoran dan bulu­bulu ayam yang mulanya ada dimana­mana.

Pernahkah kita mendengar, membaca atau menyaksikan film yang berjudul Laskar Pelangi? Kelas yang mereka tempati

Page 159: Menari Di Bumi Lontara

Kelas Laskar Pelangi � 143

tidak jauh beda dengan gubuk ini, sehigga mulai saat ini, aku menamakan kelas ini dengan nama Kelas Laskar Pelangi.

2 hari setelah kurenovasi gubuk ini dengan menambah­kan hiasan­hiasan dinding berupa poster huruf­huruf hijayyah, poster sahabat­sahabat Rasulullah dan poster praktik wudhu dan shalat, gubuk ini terlihat lebih indah dari sebelunnya. Aku dan Nurul kembali mengajar.

Setelah memberikan sapaan dan kalimat pembuka, tak kusangka air mataku menetes membasahi pipi, aku ingin anak­anak yang ada di hadapanku ini kedepannya menjadi orang sukses. Aku teringat dengan syair lagu Laskar Pelangi.

Laskar Pelangi

Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan duniaBerlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnhyaLaskar pelangi takkan terikat waktuBebaskan mimpimu di angkasa warnai bintang di jiwa

Menarilah dan terus tertawa walau dunia tak seindah surgaBersyukurlah pada yang Kuasa cinta kita di duniaSelamanya

Cinta kepada hidup memberikan senyuman abadiWalau hidup kadang tak adil tapi cinta lengkapi kita Lasckar pelangi takkan terikat waktuJangan berhenti mewarnai jutaan mimpi di bumi.

Lagu ini seakan memberikan inspirasi terbaru bagiku, ter­uslah bermimpi, jangan berhenti bermimpi selama mimpi itu

Page 160: Menari Di Bumi Lontara

144 � Menari di Bumi Lontara

gratis, aku juga meyakinkan pada anak­anak didikanku untuk bermimpi setinggi­tingginya, pendidikan bukan hanya untuk si kaya sedangkan si miskin cukup melamun dan menghayal bersekolah.

“Sebagai pelajar marilah kita mencoba membuat gebrakan baru walau hanya dalam tatanan yang sangat sederhana tapi mampu membuat dunia tercengang, kita buktikan pada dunia bahwa orang seperti kita mampu membawa perubahan pada dunia” “Kesejahteraan ada di tangan adik­adik sekalian, kare­na siapa lagi yang akan kita harapkan kalau bukan generasi hari ini. ingat dik, Negara kita saat ini buta terhadap ilmu agama dik, dimana­mana mereka hanya mengejar dunia se­mata sehingga akhirat terlupakan. Al hasil, tidak bisa dipung­kiri bahwa terjadinya banyak tindakan kriminalitas dan peny­impangan disebabkan karena semakin jauhnya mereka dari nilai­nilai ajaran Islam. Untuk itu adik­adik sekalian mari kita berjuang atas nama agama, bangsa dan Negara kita” Ujarku.

****

Page 161: Menari Di Bumi Lontara

� 145

Mengejar Impian

Keesokan harinya....

Nurul ke rumahku dan bertanya padaku tentang mimpi.

“Ningrum, apakah hidupmu akan begini terus selaman­ya?” Tanyanya padaku.

“Apa maksudmu begini terus ?” tanyaku heran.

“Ya, segala rutinitas yang kamu jalani setiap hari” jaw­abnya.

“Mengaji, mengajar iqra’ anak­anak, memasak, juga mem­bantu simbok mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lain? Bahkan ketika ada waktu pergi ke sawah membantu Mbah Kakung mencari rumput? Apakah kamu tidak bosan?” Tan­yanya lagi.

“Bosan? Tidak, aku malah menikmatinya, karena dalam segala rutinitas itu aku menemukan kedamaian yang tidak

Page 162: Menari Di Bumi Lontara

146 � Menari di Bumi Lontara

aku temukan saat aku tidak mengerjakannya” aku tersenyum menatap Nurul.

“Hah...Kedamaian apa yang kamu dapat saat memasak dan hanya asap dapur yang memedihkan mata yang menyam­butmu? Kedamaian apa yang kamu dapat saat kamu pergi ke sawah berkubang diantara lumpur dan tanaman liar?” Tan­yanya lagi.

“Nurul, kalau tidak salah ini adalah pembicaraan tentang bosanmu yang pertama? Karena selama bertahun­tahun kita bersahabat belum pernah kamu mengeluh tentang kehidupan yang kita jalani selama ini” ujarku.

“Rum, aku benar­benar bosan, bosan dengan rutinitas yang kita jalani selama ini, tiap harinya hanya mengerjakan pekerjaan anak­anak desa” mata Ningrum mulai nanar.

“Nurul…………….”

Belum sempat kulanjutkan kalimatku dia langsung memo­tong pembicaraanku.

“Rum, aku belum selesai bicara, Ningrum, aku sudah me­mikirkannya masak­masak dan aku sudah memutuskan bahwa inilah kesempatanku untuk mengubah hidupku. Mengubah nasibku yang terus­terusan seperti ini tanpa ada perkemban­gan”

“Hanya hidupmu?” Tanyaku.

“Mungkin juga bagimu!” Dia menatapku tajam.

“Kenapa kamu begitu egois Rul? Kenapa kamu harus me­mentingkan hidupmu? Lalu bagaimana dengan nasib kampung kita? Apakah kamu yakin bahwa kampung kita akan semakin

Page 163: Menari Di Bumi Lontara

Mengejar Impian � 147

baik sepeninggalanmu? Sudah begitu yakinkah kamu dengan kata­kata untuk mengubah hidup harus mengadu nasib? Bu­kankah nasib kita sudah baik sebagai gadis dusun yang masih bisa tersenyum sambil menatap hamparan padi yang mengun­ing dibalik jendela bilik kita? Bukankah nasib kita begitu indah saat mendengar sayup­sayup adzan mengalun diantara semilir angin?” Kata­kataku meluncur antara kesedihan dan kekece­waan terhadap seorang sahabat dekat.

“Ningrum engkau jangan bermain sastra, kita tidak sedang mengarang istana hijau dari angan­angan. Sekarang kita hidup dalam kenyataan” Katanya.

“Lalu bagaimana dengan nasib anak­anak yang kini sudah mulai mau belajar mengaji di masjid? Bagaimana dengan na­sib anak­anak yang mulai mengenal Tuhannya? Apakah kamu juga akan meninggalkannya?” Tanyaku.

“Kaukan tahu, itu bukan mimpiku, bukan cita­citaku, bukan harapanku untuk mengubah mereka. Aku melakukan semua ini bukan karena keinginanku, melainkan karena aku mampu dan mereka membutuhkanku”

Kata­kata Nurul bagai halilintar yang menyambar.

“Ningrum, apakah kamu tidak punya mimpi? Maksudku selain itu” Tanyaya.

“Nurul. Apakah aku tampak seperti orang depresi yang tak punya harapan untuk hidup hari esok?” Balasku.

“Kenapa kamu balas aku dengan balik bertanya? Apa sih susahnya menjawab punya atau tidak” tambahnya.

Page 164: Menari Di Bumi Lontara

148 � Menari di Bumi Lontara

“Setiap orang pasti dan berhak punya mimpi, Kamu punya mimpi begitupun dengan diriku” Ucapku.

“Jangan sok filosofis deh kamu, kenapa kamu tak pernah membicarakannya?” Aku ingin kita berbagi tentang hal ini, tapi kumohon jangan membicarakan tentang mimpimu yang mustahil untuk terwujud. Mimpi yang pernah kamu paparkan dihadapanku” Ucapnya lirih.

“Mustahil? Tidak, mimpiku tidak mustahil sama sekali, bahkan aku yakin akan dapat mewujudkannya” Kataku meya­kinkan dia terlebih lagi meyakinkan diriku sendiri.

“Kukira kita masih perlu banyak bicara tentang mimpimu ini” Kata­katanya agak melembut.

“Nurul, aku hanya ingin bicara sebagai gadis yang mulai beranjak dewasa kita tak usah banyak merajuk angan­angan, sudah saatnya kita meniti kenyataan, sudah waktunya kita bicara tentang kebutuhan kita yang sesungguhnya”

“Bagiku, apa yang kucita­citakan ini adalah kebutuhan primer, kebutuhan yang tidak boleh ditawar­tawar” Kataku.

“Ya.. kebutuhan yang akan lapuk oleh hujan, lekang oleh panas, membentuk sebuah kampung yang religius, kampung yang penuh dengan suasana agama yang sering kamu bicara­kan, itu kebutuhan menurut kamukan? Mana mungkin, sung­guh tidak realistis!” Ujarnya.

“Aku yakin untuk mendapatkan mutiara harus menyelami lautan, aku yakin cita­citaku akan terwujud, tentu saja karena perjuangan dan pengorbanan. Justru aku yakin ingin memper­

Page 165: Menari Di Bumi Lontara

Mengejar Impian � 149

panjang kegagalan orang­orang yang pernah punya cita­cita sepertiku”

“Aku teringat nasehat a­ marhum simbah, yang selalu mengajarkanku untuk senantiasa berdoa, nanti gusti Allah akan beri rezeki yang melimpah. Nduk’ mbah ingin kelak kamu jadi guru ngaji, dan mbah akan mendapat limpahan pahala untuk menerangi kubur mbah. Aku juga teringat ketika detik­detik nafas terakhir mbah aku membacakan surah Yasin. Aku memang…… aku memang………” ah aku mulai tersekak oleh dua perasaan yakni sedih dan marah yang dengan pahit kutelan lagi.

“Hmmm...” Nurul menarik nafas yang panjang, eh malah Nurul yang menangis, padahal aku berusaha kuat untuk me­nahan linangan air mata dari kelopak mataku. Aku tak ingin menangis dihadapan Nurul, orang yang tidak percaya akan cita­citaku.

Aku memang tidak bisa melanjutkan pendidikanku, dan mungkin aku tidak bisa membangun gedung untuk kemudian hanya dihuni oleh angin dan jin, dan tiap harinya terlihat sunyi dan dipenuhi debu dan sarang laba laba.

“Ningrum, kamu mau memulai cita­citamu dari mana? Bagaimanapun menggebu­gebunya kata­katamu itu tetap cita­cita, seperti kata guru kita waktu SD, gantunglah cita­citamu setinggi langit”

“Nurul, cita­citaku bukan hanya setinggi langit tapi men­embus langit”

Page 166: Menari Di Bumi Lontara

150 � Menari di Bumi Lontara

“Rul, aku ingin cita­citaku membuat Pondok Pesantren di kampung kita ini” Air mata mulai menetes di pipiku.

“Uuuuuuuuuffffffffff... Ningrum, itukah angan­anganmu yang membuatmu pintar menyangkal kata­kataku? Padahal aku tahu kamu Rum, daridulu kamu paling suka menolak se­dikit­sedikit, enggeh­enggeh. Bahkan ketika aku sering men­gajakmu bermain kamu selali saja menolak”

“Nurul engkau senantiasa menganggap remeh cita­citaku, sedangkan kerinduan mewujudkan cita­citaku hampir saja melesakkan semua gemuruh dalam diriku”

“Bukan menganggap remeh namun menganggap aneh” Ujarnya. Kutatap wajah Nurul, wajah sahabatku, sejak kecil selalu berangkat sekolah waktu pagi dan mengaji waktu sore. Walau bagaimanapun sikap Nurul terhadapku, ia tetap saha­batku. Ia dan keluargaku sangat sayang padaku. Aku pernah membicarakan cita­citaku padanya, meskipun hanya sekali tetapi dia tetap mengacuhkanku, mungkin dia menganggap bahwa cita­citaku mustahil untuk direalisasikan atau mungkin karena dia tetap meremehkan cita­citaku.

Tentang keinginanku yang ingin mengubah kampungku dari lingkungan kampung yang awam menjadi kampung yang agamis. Tentang keinginanku yang untuk membangun Pon­dok Pesantren di pekarangan satu­satunya peninggalan Mbah Kakung. Membangun Pesantren bagi anak­anak dusun yang masih lugu, anak­anak yang terancam zaman. Tentang niat dan tekadku untuk membangun generasi Qur’ani. Itulah cita­citaku tak ada yang lain.

Page 167: Menari Di Bumi Lontara

Mengejar Impian � 151

“Sudahlah Rum aku hanya bercanda” katanya enteng karena melihat mukaku yang mengisyaratkan ketidaksenan­ganku, aku tidak suka jika ada orang memandang rendah akan keinginan dan cita­citaku, meskipun dia adalah sahabatku.

“Rum aku hanya ingin mengatakan padamu maaf karena aku tak bisa membantumu, dalam mewujudkan harapan dan cita­citamu, karena aku punya tekad sendiri untuk hidupku” Ucapnya serius.

“Rul, kamu tahu, sejak kecil aku terbiasa tertawa dan menangis di hadapanmu. Kadang aku menangis karena ke­nakalanmu, kadang aku tertawa karena kamu memang pintar menghiburku” Ucapku.

“Rum, jika selama ini aku bersikap sinis terhadap keingi­nanmu, bukan berarti aku memandang rendah cita­citamu. Aku akan mendukungmu, tetapi dengan caraku”

Nurul melangkah gontai dari beranda rumahku. Dan aku tak tahu bahwa ini hari terakhir kebersamaan kita dia tak per­nah berkata bahwa dia akan pergi menggapai mimpinya hari ini juga.

Rul, delapan ratus kilometer tempat kita berpisah entah kapan kita akan bertemu lagi. Kapan lagi kita duduk di amben depan rumahku sambil melempar butiran jagung untuk ayam­ayam simbok dan tetangga, ah Nurul memang unik, suatu saat dia bisa membuatku jengkel setengah mati, juga tertawa. Tapi pada saat yang lain dia juga bisa membuatku menitikkan air mata, dan segala macam keunikannya akan membuatku me­rindukannya.

Page 168: Menari Di Bumi Lontara

152 � Menari di Bumi Lontara

Aku akan merindukannmu, mendengar suaramu yang merdu saat mengaji, mendengar tawamu saat mengerjai anak­anak di kelas dan juga merindukan semangat hidupmu. Sela­mat jalan sahabatku....

****

Lagi­lagi hari­hari kumulai seorang diri, mengajar anak­anak di masjid tanpa ditemani oleh Nurul, Nurul telah pergi meninggalkanku, meninggalkan anak­anak yang dibinannya selama setahun, meninggalkan kampung halaman demi mimpi yang ia cita­citakan selama ini. Tapi aku percaya apapun yang akan menjadi keputusan Nurul itulah yang terbaik baginya. Dan aku yakin bahwa suatu saat nanti aku akan membukti­kan kepada Nurul bahwa aku bisa mewujudkan cita­cita dan mimpiku dan juga mimpi Mbah Kakungku.Kumenulis sebuah puisi di lembaran harianku yang berjudul:

PENGHARAPAN

Ketika mendung tak juga usaiHujan datang membasahi bumiAda pelangi yang menantiMemberi asa di hati

Pengharapan semenjak masa mudaku di tanganMuMasa depan dan CintakuKutaruh dalam tanganMu Tuhan

Bukan karena aku lihatTapi …Aku percaya bahwa masa depan gemilang

Page 169: Menari Di Bumi Lontara

Mengejar Impian � 153

Tetap menanti dalam janjiMu Tuhan…

****

Entah mengapa aku begitu yakin dengan kemampuan dan semangat yang kumiliki bahwa suatu hari nanti aku mampu mewujudkan harapan dan mimpiku, semangat dan jiwa be­sar Mbah Kakung benar­benar telah kuwarisi. Aku percaya Pesantren akan membawa pengaruh besar terhadap cita­cita­ku.

Terucap dalam benakku, ‘Nurul...15 tahun kedepan kamu akan melihat bukti dari mimpiku’

****

Page 170: Menari Di Bumi Lontara
Page 171: Menari Di Bumi Lontara

� 155

Peluk Aku Ayah

Sepulang dari mengajar anak­anak kampung di masjid, aku kembali ke rumah kulihat wanita yang katanya dia adalah ibuku berbicara dengan seorang laki­laki asing yang sama seka­li tak kukenali. Melalui pembicarannya aku mendengar…….

“Untuk apa kamu kesini?” Tanya ibuku.

Laki­laki itu tertunduk, dan mengatakan: “Hafzah, izink­an aku bertemu dengan anak kita meskipun hanya semenit” Hafzah itu nama ibuku.

“Apa mas? Mas ingin menemui Ilmi, setelah pergi mening­galkannya?”

“Hafzah, aku juga punya hak atas anak kita, izinkan aku bertemu dengannya” Ujar laki­laki itu.

“Sampean wong edan yoo?” Ujar wanita itu dengan kasar.

Hatiku bertanya­tanya, apa? Dia adalah ayahku?

Acer
Highlight
Page 172: Menari Di Bumi Lontara

156 � Menari di Bumi Lontara

Setelah mngetahui dengan pasti bahwa laki­laki itu adalah ayahku, aku pergi menghampiri mereka.

“Ada apa ini?” Tanyaku dengan ketus.

Mereka tak menjawab, dengan lantang sekali lagi aku mengatakan “ada apa ini?”

“Ningrum anakku, ibu ingin bicara dengan laki­laki ini dulu nak” Jawab wanita itu.

“Sudah berapa kali aku harus katakan jangan panggil aku dengan sebutan anak, dan siapa laki­laki ini?” Tanyaku seak­an­akan tidak tahu siapa dia, padahal aku telah mendengar pembicaraan mereka.

Kulihat laki­laki itu mulai meneteskan air mata dan ber­kata…

“Ningrum anakku, kamu sudah besar yah nak, aku adalah ayahmu nak”

Hatiku menangis mendengar penjelasan laki­laki itu, Oh Tuhan mengapa engkau uji diriku seperti ini.

“Aku tidak punya orang tua..!! anda harus tahu itu”

“Nak, tapi aku adalah ayahmu, ayah yang selalu menyay­angimu”

“Aku tidak berharap dan tak ingin punya orang tua seperti kalian!” Kurasakan air mata mulai menetes di pipiku. “Kalian benar­benar tega padaku, setelah kalian pergi mencampak­kanku, dengan mudahnya kalian kembali dengan mengatakan kalian adalah orang tuaku”

Page 173: Menari Di Bumi Lontara

Peluk Aku Ayah � 157

“Ningrum, ibu mengaku salah nak, tapi semua ini kare­na ayahmu yang pergi meninggalkan ibu. Meninggalkan ibu seorang diri untuk merawatmu” Jawab wanita itu.

“Kalian semua sama, kalian memang tak pernah mem­perhatikanku, menyayangiku, terlebih lagi mengingatku, bertahun­tahun aku menunggu kalian, menanti kedatangan kalian, mengharap pelukan dan kasih sayang kalian, tapi kalian datang setelah pintu hatiku dan maafku telah tertutup untuk kalian”

Laki­laki itu datang menghampiriku, dan membacakan sebuah syair padaku:

“Nak, saat engkau kecil aku selalu menjagamu, engkaupun minum dari hasil jerih payahku”

“Jika di malam hari engkau sakit, sepanjang malam aku ti­dak tidur, karena memikirkan penderitaanmu, hingga tubuhku sepoyongan menahan kantuk. Saat itu seakan­akan akulah yang sakit bukan dirimu, bahkan air mataku berlinang karena aku khawatir kamu akan meninggalkanku, tetapi mengapa ke­tika kamu mencapai usia matang dimana saat itu kuharapkan dirimu, justru kamu balas aku dengan kata kasar”

“Anakku andai kamu tak dapat menganggapku sebagai ayah maka perlakukanlah aku sebagai tetangga yang hidup berdampingan denganmu”

Ucapan laki­laki itu membuatku meneteskan air mata, aku terharu dengan kata­kata yang terucap dari bibirnya dan ingin rasanya aku pergi memeluknya namun hatiku sudah terlanjur membencinya, benci dengan sikapnya yang telah mencamp­akkanku. Dengan segera kuhapus air mata yang membasahi

Page 174: Menari Di Bumi Lontara

158 � Menari di Bumi Lontara

pipiku, aku tak ingin menampakkan kesedihan di hadapan mereka, menampakkan kerinduanku pada ayah dan ibuku.

Tiba­tiba laki­laki itu bersujud di hadapanku, entah men­gapa aku merasa ibah dengannya, berbeda ketika pertama kali bertemu dengan wanita itu, wanita yang melahirkanku, mung­kin karena wanita itu telah menikah dengan laki­laki lain, sedangkan ayahku masih setia sampai sekarang, meskipun aku tak tahu alasan ayah meninggalkan ibu ketika itu.

“Nak, maafkan ayah...”

Kupalingkan wajahku yang sedari tadi ingin menatapnya, ingin menatap wajah yang selama ini kurindukan, tapi entah kenapa hatiku begitu keras, terasa begitu sulit memaafkannya, aku harus bagaimana wahai Allah Tuhanku? Tanyaku dalam hati.

Seketika itu kelepaskan tangannya yang menggenggam be­tisku, aku mencoba menghindar dan mencoba meninggalkan mereka, namun lagi­lagi laki­laki itu menarik tanganku.

Kulihat wanita itu hanya terdiam dan menangis, laki­laki itu menghardiknya.

“Hafzah, sebelumnya aku sudah mengingatkanmu untuk menjaga anak kita selama aku pergi, kenapa kamu juga me­ninggalkannya?”

“Mas, 5 bulan aku menungggumu tapi kamu tak kunjung datang jadi aku memilih untuk memulai kehidupan yang baru daripada harus menunggumu yang tak kunjung datang”

“Memulai kehidupan yang baru dan setelah itu mencam­pakkan anak kita?”

Acer
Highlight
Page 175: Menari Di Bumi Lontara

Peluk Aku Ayah � 159

“Cukup mas! Aku mengaku salah lagian ini semua karena kamu yang mulai”

Aku tak tahan dengan sakit yang sudah sekian lama ku­pendam hingga akhirnya air mataku menetes di hadapan mer­eka.

Melihatku seperti ini, laki­laki itu pergi mendekatiku dan menghapus air mataku, laki­laki itu langsung memelukku, pe­lukan dari seorang ayah yang sekian lama kunantikan, pelu­kan yang dapat menghilangkan segala kesedihan seketika itu. Dalam hatiku berucap, ayah aku merindukanmu.

Entah mengapa aku begitu lemah dan cepat luluh di ha­dapan laki­laki itu. Tapi lagi­lagi kebencian merasuki hati dan perasaanku, kulepaskan pelukan itu, dan berlari ke dalam rumah. Laki­laki itu mulai membiarkanku pergi.

Kuintip dari jendela kamarku, dengan lesuhnya laki­laki itu melangkahkan kaki untuk meninggalkan rumah simbok tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada wanita itu, wani­ta yang pernah menjadi istrinya.

Segera diriku mengambil air wudhu dan kutunaikan shalat dua rakaat, memohon petunjuk pada Allah SWT, aku yakin bahwa semua peristiwa ini tak lepas dari takdir yang telah ditetapkannya.

****

Keesokan harinya sebelum aku berangkat ke masjid untuk mengajar anak­anak mengaji, aku sempatkan diriku untuk ber­canda bersama simbok, Mbah Putriku.

“lagi apa mbah?”

Page 176: Menari Di Bumi Lontara

160 � Menari di Bumi Lontara

“Nih simbok lagi masak makanan kesukaanmu nduk”

“Asyik... makasi yah mbah”

Mbah Putri tersenyum, terlihat giginya hanya tinggal be­berapa, mungkin sekitar 4 giginya yang tersisa. Namun beliau masih kelihatan cantik.

Beberapa menit kemudian masakan simbok telah jadi dan siap untuk disajikan, kulihat wanita itu membantu simbok, setelah masakan disajikan, wanita itu pergi memanggil sua­minya, entah kenapa saat itu nafsu makanku mulai berkurang, seandainya bukan karena simbok yang membujukku, maka aku takkan mau makan bersama mereka.

“Mbok, Ilmi ke kamar dulu...”

“Nduk simbok dah masak untukmu nduk, manganlah ka­lian simbok lan bu’e mu nduk! Yoo nduk?”

Aku hanya mengangguk. Di meja makan sudah terlihat wanita itu bersama suaminya.

Wanita itu mulai menyapaku.

“Piye kabarmu nak?”

Aku hanya diam, dan simbok menghardikku.

“Ningrum.. kuwe ditanyain sama bu’e mu nduk..”

“Api’­api’ wae..” jawabku singkat.

Simbok mempersilahkan kami makan.

“Monggo..monggo..monggo!”

Wanita itu mengambilkan makanan untuk suaminya. Melihat pelayanannya terhadap lelaki itu aku teringat sama ayahku. Apa ayah? Aku tak punya ayah, ucapku dalam hati.

Acer
Highlight
Page 177: Menari Di Bumi Lontara

Peluk Aku Ayah � 161

Wanita itu menatapku tajam, dari pancaran bola matanya terlihat penyesalan yang begitu mendalam. Tidak, aku tak boleh merasa ibah dengannya meskipun dia yang telah mela­hirkanku.

“Simbok, kulo pergi dulu yoo?”

“Oh iya nduk” aku mencium tangan simbok, tanpa me­noleh sedikitpun pada wanita itu.

****

Sesampainya di masjid kulihat laki­laki yang tak lain dia adalah ayahku mengajar anak­anak didikanku mengaji, entah kali ini aku tak mengerti keinginannnya.

Seorang anak datang menghampiriku.

“Mbak Ning…….. bapak itu bapak mbak Ning yah?”

Belum sempat kujawab pertanyaan anak itu, anak itu kembali melanjutkan pertanyaannya, “Mbak Ning, jenneng bapak mbak sopo?”

Aku hanya menggeleng­geleng, tiba­tiba laki­laki itu datang menghampiri anak itu.

“Nak, saya ayahnya Ningrum, nama bapak, Muhammad Dhofari”

Ternyata nama ayahku sunggu indah, anak itu kembali melontarkan ucapannya.

“Mbak Ning mestinya bersyukur punya ayah sebaik beliau, murah senyum pintar ngaji lagi”

Aku hanya tersenyum menatap wajah anak itu.

Page 178: Menari Di Bumi Lontara

162 � Menari di Bumi Lontara

Aku dihimpit oleh dua perasaan disatu sisi, aku merin­dukannya, disatu sisi lagi aku begitu membencinya. Hari ini bapak itu menemaniku mengajar anak­anak mengaji di masjid, yah berhubung Aisyah sudah tidak mengajar anak­anak lagi, aku senang laki­laki itu menemaniku mengajar, tapi tetap saja hatiku belum bisa menganggapnya sebagai ayah.

5 hari kemudian, ketika aku sampai di masjid aku tak mendapati laki­laki itu mengajar anak­anak di masjid, ah aku tak peduli ujarku, namun rasa peduli itu muncul ketika hari ke 10 laki­laki itu juga tak kunjung datang, ada rasa khawatir dalam diriku, ada rasa cemas pada diriku, ucapku dalam hati ‘ayah kemanakah engkau?’

Beberapa jam setelah kekhawatiranku aku mendengar kabar dari penjaga masjid bahwa laki­laki itu sedang sakit dan dirawat di rumah sakit, seketika itu tubuhku terasa lemah, inikah jawaban dari kekhawatiranku selama ini?

Sesampainya di rumah, kuceritakan pada Mbah Putri bahwa laki­laki itu sedang sakit.

“Mbok, laki­laki yang mbok katakan sebagai ayahku, seka­rang lagi sakit dan di rawat di rumah sakit”

“Sabar yah nduk.. ini kesempatanmu nduk untuk berbakti pada pa’e mu ndu! Pergi dan rawatlah nduk” Ujar simbok.

Aku berusaha untuk menguatkan diriku, tapi lagi­lagi air mata mengalir di pipiku. Membasahi pipiku yang kemerah­merahan.

“Mbok, kuwe ora ngerti dengan jalan takdirku mbok”

Page 179: Menari Di Bumi Lontara

Peluk Aku Ayah � 163

“Nduk Gusti Allah sayang sama kulo nduk percayalah itu nduk” Ujar simbok memastikan.

Tiba­tiba wanita yang telah tinggal bersama aku dan sim­bok selama setahun, tapi belum dapat kuterima sebagai ibuku datang menghampiriku.

“Kenapa nak?”

Secepat itu kuhapus air mata yang sedari tadi menetes di pipiku.

“Ora opo­opo” jawabku.

“Hafzah, ayahnya Ningrum sakit dan dirawat di rumah sakit” kata simbok.

Mata wanita itu berkaca­kaca, mendengar pengutaraan simbok.

“Mbok, Ningrum akan pergi menjenguknya” ujarku.

“Bu’e persiapkan perlengkapanmu yah nak” kata wanita itu.

Aku hanya diam.

Setelah wanita itu mempersiapkan pakaianku dan segala macam kebutuhanku, aku pamit untuk pergi menjenguk laki­laki itu, aku mencium simbok, dan wanita itu ikut mengulur­kan tangannya, dengan sangat terpaksa aku mencium tangan itu, inilah pertama kalinya aku menyentuh kulitnya.

“Simbok,Ningrum pergi dulu yah mbok?”

“Nduk’ hati­hati kuwe neng jalan”

****

Page 180: Menari Di Bumi Lontara

164 � Menari di Bumi Lontara

Sesampai di rumah sakit, kulihat seorang suster berdiri di depan pintu.

“Mbak, kamar no bapak Dhofari dimana?” Tanyaku.

“Oh, di kamar nomor 023 mbak” jawab suster itu.

“Matur Suwun yoo mbak”

Aku melangkahkan kaki menuju kamar 023. Sesampainya disana, kulihat seorang laki­laki terbaring lemah dilengkapi se­lang medis yang melekat di tubuhnya. Laki­laki itu tersenyum lebar melihatku, meskipun kutahu kalau tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. Kudekati dia.

“Piye kabare mu nak?” Tanyanya.

“Api­api wae” jawabku singkat.

“Pa’e senang melihatmu datang nak”

Ada rasa ibah dalam hatiku melihatnya. “Pak, apakah bapak baik­baik saja?”

Lagi­lagi dia hanya tersenyum.

Yah sudah bapak istirahat dulu aku akan pergi menemui suster menanyakan keadaan bapak.

Aku pergi menemui suster yang menangani ayahku.

“Suster, penyakit apa yang menimpa bapak itu?” Tanyaku penasaran.

“Maaf dik, bapak itu menderita kangker otak, dan sangat sedikit kemungkinannya bapak itu bisa bertahan lama”

Mendengar ucapan suster itu, tanpa kusadari air mataku menetes.

Page 181: Menari Di Bumi Lontara

Peluk Aku Ayah � 165

“Suster, dengan jalan apa agar bapak itu bisa sembuh?” Tanyaku sambil perlahan­lahan mengusap air mataku.

“Dik, dokter telah berusaha melakukan yang terbaik buat bapak itu, tapi hasil akhirnya kita serahkan pada gusti Allah”

Mendengar pengutaran dari suster, aku segera berlari dan pergi menghampiri bapak itu, seseorang yang darahnya men­galir dalam tubuhku.

Sesampainya di ruangan yang kutuju, lagi­lagi sosok itu tersenyum padaku, ingin rasanya aku memeluknya dan berkata bahwa aku mencintainya.

Dia menyuruhku untuk mendekatinya, aku melangkah­kan kaki menuju tempat tidurnya yang dilengkapi dengan ber­bagai macam peralatan medis. Kemudian dia menggenggam erat tanganku, erat sekali, sampai tanganku kram dibuatnya.

“Nak, ayah ingin kamu menemani hari­hari terakhir ayah di dunia ini”

Aku berusaha bersikap acuh, agar tak Nampak kesedihan dalam diriku, aku tak ingin menangis dihadapannya.

Aku mengalihkan pembicaraan, agar bapak itu tak melan­jutkan kalimat selanjutnya.

“Pak, bapak makan dulu yah!”

Bapak itu hanya mengangguk, dan diriku segera melepas­kan genggaman yang sedari tadi berada dalam genggaman tangan bapak itu.

Aku mulai menyuapinya, kulihat bibirnya mulai pucat. Setelah selesai menyuapi bapak itu diapun tertidur. Saat itu kuperhatikan sosok lemah yang terbaring di hadapanku.

Page 182: Menari Di Bumi Lontara

166 � Menari di Bumi Lontara

Kuberanikan diriku untuk memegang tangannya, me­nyapu lembut wajahnya dengan tanganku, kuelus­elus ubun­ubunnya dan kucium keningnya. Oh Tuhan sudah sekian lama aku menantikan moment seperti ini tapi mengapa disaat sosok ayah hadir di kehidupanku, disaat aku butuh kasih dan say­angnya, justru seperti ini yang kudapatkan.

Aku larut dalam kesedihan yang mendalam hingga aku tertidur dibuatnya.

****

Keesokan harinya, disaat aku terbangun aku tak dapati bapak itu di hadapanku, setelah kutelusuri berbagai tempat di rumah sakit, ternyata bapak itu ada di taman, akupun meng­hampirinya.

“Pak, pak, panggilanku memecah lamunannya” Kulihat air menetes dari kelopak matanya.

“Ningrum anakku, mendekatlah nak, bapak ingin kamu mengajak bapak jalan­jalan keliling rumah sakit ini, iso yoo nduk”

“Iso pak” jawabku singkat.

“Nak, umur bapak takkan lama lagi. Bapak ingin detik­detik terakhir bapak kamu ada menemani bapak”

Sambil kudorong kursi rodanya, aku meneteskan air mata, kemudian bapak itu melanjutkan kalimat selanjutnya.

“Nak, cita­cita kamu apa nak?”

“Aku... aku... aku punya cita­cita pak meski cita­cita itu sulit untuk terwujud”

Page 183: Menari Di Bumi Lontara

Peluk Aku Ayah � 167

“Nak, bapak ingin kamu melanjutkan cita­cita yang se­lama ini menjadi mimpimu Apa mimpimu selama ini anakku?”

Pertanyaan bapak itu mengingatkanku pada almarhum Mbah Kakung, tentang keinginan beliau yang ingin menjadi­kan kampungku menjadi kampung yang religius.

Tiba­tiba bapak itu memutar kursih rodanya kehadapanku.

“Nak, sebutlah cita­citamu nak, jangan kamu meragukan impian yang selama ini kamu mimpikan”

“Pak, aku ingin membuat pesantren, itulah impianku dan juga impian Mbah Kakung”

Air mata bapak itu semakin deras, ia tak menyangka anak semata wayangnya punya harapan dan cita­cita setinggi itu.

Dia memelukku, “nak ayah begitu bangga denganmu, begitu bangga dengan impianmu, ayah tak menyangka kamu punya impian setinggi itu nak. Tapi ketahuilah anakku, selama ini ayah tak menemuimu bukan karena ayah lari dari tanggung jawab sebagai seorang ayah, namun karena ayah malu ketika ayah datang menemuimu tak ada yang bisa ayah berikan pada kamu nak dan juga ibumu”

“Tapi sekarang ayah sudah agak tenang ketika menjelang detik terkhir kehidupan dunia ayah, ada sedikit bantuan yang ayah ingin berikan kepadamu nak sebagai bentuk permohonan maaf ayah padamu, meskipun ayah tahu bahwa hal itu belum bisa membuatmu memaafkan kesalahan ayah selama ini”

Tiba­tiba tak kusangka tanganku mulai memegang wajah bapak itu, “pak, aku telah memafkanmu”

Air mata tak tertahankan dari kelopak mata laki­laki itu.

Page 184: Menari Di Bumi Lontara

168 � Menari di Bumi Lontara

“Nak, ayah punya 1 permintaan padamu nak, ayah in­gin kamu memanggilku dengan sebutan ayah, meskipun ayah tahu sebutan ayah tak pantas untuk ayah dapatkan dari anak sepertimu nak”

Aku memeluknya, dan entah darimana datangnya, entah apa yang merasuki jiwa dan pikiranku, kebencian yang selama ini menggerogoti hati dan pikiranku, kini telah tertutupi oleh kerinduan yang begitu mendalam. terlontar dari mulutku se­buah kalimat yang tak pernah terpikirkan olehku, “AYAH AKU MENCINTAIMU. Maafkan aku ayah, maafkan atas semua sikap kasarku pada ayah”

“Ningrum anakku, ayah punya tabungan yang bisa kamu pakai setelah ayah pergi dari muka bumi ini”

Aku dan ayah larut dalam kesedihan yang begitu men­dalam.

****

Beberapa hari dimana disaat diriku telah menerima so­sok laki­laki itu menjadi ayahku, tiba­tiba sesuatu hal yang membuatku semakin khawatir, penyakit ayahku makin parah, menjelang detik­detik terakhirnya aku membacakan beberapa ayat­ayat Al Qur’an.

Sekujur tubuhnya mulai dingin detak jantungnya agak melambat dan matanya agak memerah. Saat itu aku mera­sakan bahwa aku akan kehilangan ayah untuk kedua kalinya. Ku berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa ayah masih pu­nya kesempatan untuk hidup bersamaku lebih lama lagi, na­

Page 185: Menari Di Bumi Lontara

Peluk Aku Ayah � 169

mun lagi­lagi takdir berkata lain, kebahagiaan bersama seorang ayah kurasakan hanya dalam hitungan hari.

Ayah pergi meninggalkanku dengan meninggalkan bekas dalam diriku bahwa ayah begitu sangat menyayangiku.

Tangisan memecah semangat hidupku, entah dengan cara apalagi aku munculkan semangat yang membara setelah sosok seorang ayah muncul dalam kehidupanku.

Jasad ayahku di bawah ke rumah, tak hentinya air mata membasahi pipiku. Kupandangi wajahnya penuh dengan kasih dan sayang. Kuperhatikan wajah wanita yang telah melahir­kanku, tak ada setetespun air mata yang menetes dari kelopak matanya. Hal itu membuatku semakin membencinya.

Benar yang dikatakan kebanyakan orang bahwa kasih seorang ayah akan terlihat setelah ia tiada, pesannya akan ter­simpan saat kita mengenang kalimat­kalimat pedasnya, untuk kita anak yang senantiasa dijaganya dan diayominya.

Malam terasa panjang setelah kepergiannya. Kepergiaan seorang ayah yang membuatku semakin merindukannya, ditambah lagi pearsaan bersalah yang kian mengahantuiku, kuambil buku diariku kutulis sebuah kalimat untuknya.

Untuk ayahku

Ayah, awalnya aku tak pernah menyangka engkau hadir dike-hidupanku, setelah sekian lama aku merindukanmu, kebencian men-guasaiku saat itu sehingga aku begitu membencimu, namun karena perputaran waktu, entah dari mana muncul perasaan ini, perasaan yang sama sekali tak kuduga bisa berbekas sampai detik ini dalam hatiku.

Ayahku, aku sungguh sangat mencintaimu, menyayangimu,

Page 186: Menari Di Bumi Lontara

170 � Menari di Bumi Lontara

kelembutan yang engkau miliki menjadikan malamku menjadi pan-jang, entah kapan waktunya aku bisa melihat senyumanmu kem-bali...ayah...sungguh aku mencintaimu.

****

Keesokan harinya, kubertekad pergi kemakam ayahku, ku­hampiri makamnya yang masih basah. Lagi­lagi tangisan yang membasahi pipiku.

“Wahai ayah aku telah menghadapkan tubuhmu ke kiblat dan kau akan tetap menghadap kiblat, atau apakah ayah sudah berpaling?”

“Aku telah mengkafani tubuhmu dengan baik, apakah pembungkus itu telah engkau lepaskan?”

“Ayah jasadmu kuletakkan dalam kubur dalam keadaan mulus masih tetapkah seperti sedia kala atau sudah dimakan cacing?”

“Ayah saya pernah mendengar di pesantren seorang ulama berkata bahwa di dalam kubur akan datang malaikat dan akan ditanya, apakah ayah menjawabnya atau tidak bisa menjaw­abnya?”

“Ayah di pesantren aku juga pernah mendengar seorang ulama berkata bahwa kubur akan menjadi sempit atau menjadi lapang, ayah berada dalam posisi mana?”

“Ayah biasanya ketika aku memanggil ayah engkau selalu menjawabnya, kini aku memanggilmu, aku sampai tak men­dengar suaramu. Ayah aku mencintaimu, merindukan senyu­manmu, merindukan pelukanmu, merindukan nasehatmu, merindukan apa yang ada dalam dirimu.”

Page 187: Menari Di Bumi Lontara

� 171

Kembali ke Tanah Bugis

Siapa yang menyangka? Bahwa setelah kepergiaan ayahku aku akan kembali ke Sulawesi Selatan mengejar cita­citaku? Yah aku akan kembali menyebrangi pulau Jawa ke Sulawesi Selatan, mengejar impianku yang tertinggal di sana.

Tentu hal itu tak lepas dari restu dari mbah putriku sendiri.

“Mbok,, baik­baik yah di kampung, Ningrum akan menye­lesaikan sekolah Ningrum, engga apa­apakan mbok?”

“Nduk, mbok sangat mendukungmu untuk kembali ber­sekolah, seperti pesan terkhir mbah kakungmu.”

Betapa senangnya diriku ketika restu dan ridho telah aku peroleh dari mbah putriku,.Betapa senangnya diriku ketika tiket pesawat ke Sulawesi Selatan sudah ada di tanganku, be­tapa senangnya bertemu kembali dengan guru­guru, teman­teman dan sahabatku, betapa senangnya aku ketika kembali membayangkan aku akan mengelilingi kota Sengkang, betapa

Page 188: Menari Di Bumi Lontara

172 � Menari di Bumi Lontara

senangnya aku ketika aku akan kembali menginjakkan kaki di kota tempat aku menbangun impian dan cita­cita.

****

“Rum, Ningrum anakku?”

Sesaat aku menoleh ternyata yang memanggilku adalah wanita yang mana dia adalah ibuku.

“Iya, kenapa?” Tanyaku.

Nak, kamu akan pergi?

“Iya, aku akan kembali ke Sulawesi Selatan, karena aku menemukan kedamaian dan ketenangan disana.”

“Nak, tak adakah rasa ibah dan kasih sayang terhadap ibumu selama setahun lebih ibu disni?”

“Maafkan aku, entah kenapa aku sulit memaafkan anda.”

“Sekeras itukah hatimu nak?”

“Maafkan aku, karena cinta dan sayangku semuanya telah kuberikan untuk mbah, mbok dan almarhum ayahku, tak ada tersisa sedikitpun untuk anda”.

“Bahkan ketika aku telah tiada?”

“Iya, sekalipun anda meninggal hari ini, takkan ada penye­salan dalam diriku, ketika aku mengacuhkanmu selama ini”.

Kulihat wanita itu meneteskan air mata setelah menden­garkan penjelasanku.

“Sudahlah, tak ada yang perlu anda sesali, tak ada yang perlu anda khawatirkan, tak ada yang perlu anda cemaskan, dan tak ada yang perlu anda takutkan”. Ujarku.

Page 189: Menari Di Bumi Lontara

Kembali ke Tanah Bugis � 173

“Ningrum, setega itukah kamu terhadapku nak?”

“Bu, perlukah aku mengulang kembali tentang masa laluku yang begitu menyedihkan? Haruskan aku kembali mencerita­kan pada anda perihal kehidupanku sebelum ini? haruskah aku menangis di hadapan anda karena masa kecilku tak pernah kurasakan? Haruskan kuulang kembali perkatakaanku bahwa, sekian kali teman – teman mengucilkan diriku karena tak me­miliki kedua orang tua? Haruskah aku kembali mengutarakan perasaanku yang dulu yang merindukan pelukan seorang ibu? Haruskah? Haruskah? Haruskah? Haruska?”.

“Bu, jangan engkau tambah kesedihanku dengan memak­saku mengakuimu sebagai ibuku”. Jangan bu, karena itu adalah kepedihan yang tak tertahankan”.

“Sudah cukup banyak cobaan yang kulalui selama ini, su­dah begitu banyak penderiaan yang kualami selama ini, sudah begitu banyak air mata yang menetes dari kelopak mataku”. Dan sekarang kumohon pada anda, jangan tambah kesedihan itu dalam diriku, jangan tambah penderitaan dalam hidupku, dan jangan buat air mataku kembali menetes karenamu”.

“iya nak, ibu takkan memaksamu, tapi sebelum kamu me­ninggalkan ibu, ibu ingin kamu memeluk ibu”.

Akupun memeluknya.

Dia menangis histeris dan memelukku sangat erat.

“Bu, maafkan aku, jika saat ini, aku belum bisa mengangp­mu sebagai ibu, apalagi memanggimu sebagai IBU, namun aku berharap agar Allah membuka hatiku sehingga aku bisa kem­bali dalam pangkuanmu”.

Page 190: Menari Di Bumi Lontara

174 � Menari di Bumi Lontara

Keesokan harinya..

Akupun meninggalkan kampung halamanku, menuju ke Sulawesi Selatan. Mengenai anak – anak didikanku, aku ali­hkan ke remaja mesjid untuk mengajar mereka, namun aku telah berjanji padanya bahwa aku akan kembali dengan mem­bawa hadiah terindah yakni ILMU.

****

Sesampai di pesantren, tepatnya di kompleks Lapongkoda, para santri dan guru – guru di pesantren menyambutku dengan penuh kebahagiaan.

Aku mencoba menyusaikan diriku dengan lingkungan dan pembelajaran di pesantren. Alhamdulillah akhirnya aku mampu menyesuaikan, dan kini aku duduk di bangku kelas 2 aliyah jurusan keagamaan, jurusan yang sama dengan Aeni, meskipun berbeda kelas.

****

Meninggalkan orang yang disayang, dan kampung hala­man, bukanlah hal yang mudah tapi Insya Allah, dengan tekad yang kuat dan semangat yang membara akan mengalahkan segala macam rasa yang ada di hati.

Page 191: Menari Di Bumi Lontara

� 175

Tahajjud Cinta

Apa sih itu cinta? Begitu banyak orang yang bercerita tentang cinta dan tak pernah terungkit kisah akhirnya. Cinta adalah anugrah Tuhan yang indah bagi manusia, cinta sang pu­jangga. Aku akan terus mencari jawaban tentang cinta meski­pun cinta sebenarnya tak pernah menjauhiku, cinta ada dalam hatiku, cinta ada dalam diriku, cinta tak pernah berubah ko­dratnya sebagai anugrah terindah, cinta milik manusia secara universal, cinta bukan hanya milik mereka yang puber. Siapa­pun kita pasti diberikan hak oleh Allah swt untuk menikmati cinta walaupun ekspresi cinta berbeda­beda. Entah apa jadinya kalau di dalam kehidupan tidak ada cinta, aku sendiri bahkan sejarah hidupku sulit memberikan jawaban yang pasti tentang hakikat perasaanku bernama cinta.

Ketika aku memasuki usia 17 tahun, usia dimana orang katakana usia ABG, bahasa kerennya anak baru gede, ada ses­uatu yang aneh dalam diriku.

Acer
Highlight
Page 192: Menari Di Bumi Lontara

176 � Menari di Bumi Lontara

Hari itu aku sempatkan diriku bersama Aurel untuk jalan­jalan sore mengelili kompleks, seorang cowok melintas di de­panku, mengenakan baju berkerah cerah bawahan bergaya ca­sual, dengan tas ransel di atas punggungnya, ia terlihat santai dan trendy sambil mengayuh sepeda BMX­nya dengan lincah, ditambah lagi dengan topi ngepas ala Limpbizkit bertengger di atas kepalanya, aku berbalik menatap Aurel dan memberi isyarat dengan gaya khasku.

“Rel... kamu kenal itu siapa?” Tanyaku penasaran.

“Oh, itu anak bungsunya salah satu guru besar di Pondok. Aku dengar­dengar karena gurutta sedang sakit jadi dia cuti di tempat kuliahnya” Jawab Aurel.

Aku hanya tersenyum mendengar penjelasan Aurel.

“Rel... memangnya dia kuliahnya dimana?” Tanyaku .

“Di Universitas Indonesia Jurusan Sastra Belanda, semes­ter 5” Jawabnya.

Aku hanya mengangguk, setelah itu kulanjutkan lang­kahku yang terhenti karena pria itu.

Malam harinya, aku merasakan sesuatu hal yang tak per­nah kurasakan sebelumnya, apakah ini yang dikatakan cinta pada pandangan yang pertama? Ah bukan, cinta tak semudah itu datangnya, ucapku dalam hati.

****

Keesokan harinya, 12 mataku tertuju pada satu pandan­gan, seorang cowok berdiri diantara kerumunan anak­anak Madrasah Ibtidayyah.

Page 193: Menari Di Bumi Lontara

Tahajjud Cinta � 177

Aku penasaran dengan sosok pria itu hingga kuberanikan diriku untuk mendekat, yah karena sekolahku berseblahan dengan sekolah MIA (Madrasah Ibtidayyah As’adiyah).

Ternyata dugaanku benar pria yang kulihat itu adalah pria yang kemarin membuat langkahku terhenti. Yang kudengar bahwa cowok itu sementara waktu akan mengajar bimbingan belajar di tempat yang sama denganku, aku diamanahkan un­tuk mengajar anak kelas 4 MIA, sedangkan dia diamanahkan untuk mengajar anak kelas 5.

Setelah pulang sekolah aku lanjutkan dengan kegiatan ekstra anak­anak MIA, tiba­tiba terdengar suara tepat di­belakangku memanggilku.

“Ningrum … Ningrum…”

Seketika itu aku menoleh, tak kusangka yang memang­gilku adalah cowok yang yang sedari kemarin membuatku penasaran akan dirinya. Entah darimana dia mengetahui na­maku.

“Ningrum, siswa kelas 5 yang mana dik, dan kelasnya di­mana?” Tanyanya.

Tanpa banyak basa basi aku menunjukkan kelas yang dia tanyakan. Setelah itu berlaju pergi meninggalkannya menuju kelas mengajarku.

“Assalamu alaikum adik­adik”

“Waalaikum salam kakak..” jawab mereka serentak.

“Hari ini kita akan melanjutkan pelajaran minggu lalu, tentang macam­macam kalimat, silahkan salah satu diantara

Page 194: Menari Di Bumi Lontara

178 � Menari di Bumi Lontara

kalian kembali menjelaskan tentang apa itu kalimat yang telah kakak jelaskan minggu lalu”

Salah seorang murid mengacungkan tangan, dan menjelas­kan defenisi kalimat.

1 jam kemudian...

“Adik­adik, mungkin cukup sampai disini pertemuan kita, insya Allah dilanjutkan minggu depan dengan pembahasan Paragraf”

Setelah anak­anak pamit dan bersalaman denganku, co­wok itu berdiri di depan pintu dan menungguku, kulangkah­kan kaki untuk menghampirinya.

“Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku.

“Dik, saya dengar­dengar adik ini orang asli jawa yah?” tanyanya.

Aku hanya mengangguk.

“Di Jawa mana dik?” Tanyanya lagi.

“Di Magellang kak” Jawabku singkat.

“Perkenalkan dik, nama saya Zahwan”

“Ia kak.. saya Ningrum kak, masih ada yang ingin ditan­yakan?” Tanyaku.

Dia hanya menggelengkan kepala.

“Oh, kalau begitu saya pamit dulu kak”

****

Beberapa hari berlalu, aku semakin mengenal sosok kak Zahwan yang menjadi buah bibir dikalangan guru­guru dan

Page 195: Menari Di Bumi Lontara

Tahajjud Cinta � 179

para santri khususnya santri putri, kak Zahwan mempunyai karakter yang sama dengan namanya, Zahwan yang berarti­kan yang sering memancarkan cahaya, wajahnya yang putih bersih, memancarkan kilauan cahaya yang menyinari setiap orang yang menatapnya.

Satu hal yang membuatku kagum terhadapnya, kak Zah­wan gaya bergaulnya supel kocak, dan engga pilih­pilih teman. Pulang pergi ngajar naik sepeda. Tapi yang membuat penampi­lannya akhir­akhir ini berbeda adalah sesuatu yang melingkar di jari telunjuk tangan kanannya. Sepintas seperti cincin tapi bentuknya jauh berbeda dari cincin pada umumnya. Lebih terlihat seperti jam digital berukuran kecil karena ada tombol­tombolnya. Namanya saja anak gaul pasti ada saja aksesoris yang membuat dirinya tampil beda. Apalagi benda aneh yang melingkar di jarinya itu berwarna ungu mencolok bulat dan menonjol. Awalnya aku tak ingin bertanya karena melihat ses­uatu yang berbeda dari penampilan seorang kak Zahwan itu sudah menjadi hal yang biasa. Tapi rasa penasaran itu semakin membuncah ketika melihat jempol tangan kanannya seringkali memencat tombol­tombol kecil pada benda aneh berwarna ungu itu. Rasa penasaran pun tak dapat dibendung. Setelah kutanyakan ternyata benda aneh itu adalah mesin pencatat dzikir model terbaru. Lagi­lagi seorang kak Zahwan membuat kejutan, dibalik tampilan gaulnya ternyata dia memiliki sisi spiritual yang begitu dalam.

“Daripada waktu bersepeda nganggur, bagusya aku dzikir untuk ngimbangin timbangan dosaku” imbuhnya jenaka.

Page 196: Menari Di Bumi Lontara

180 � Menari di Bumi Lontara

Seorang Zahwan yang menginspirasi, menjadi anak gaul bukan berarti harus steril dari aktifitas yang menurut sebagian orang adalah aktifitas para kakek dan nenek. Di usia muda bukan berarti enggan berfikir tentang negeri akhirat. Tidak dilarang bagi anak muda untuk berfikir tentang alam kubur, padang mahsyar, ataupun surga dan neraka. Petuah seorang Zahwan. “Anak muda itu biar gaul, trendy, tapi harus tetap sholeh”

Siapa yang tidak takjub kalau ada anak muda yang tampi­lannya gaul, pakai kaos oblong, sepatu cats, berjalan kesana kemari dengan headset melekat di telinganya, tapi yang diden­gar murottal Al Qur’an?

Sungguh aku begitu kagum terhadapnya, dia tak hanya tampan, atau pandai tapi dia itu seorang anak ulama. Masya Allah, aku sungguh terkesima melihatnya.

****

Malam harinya aku duduk di blakon asrama, sambil me­megang erat diariku, air mataku mulai menetes, aku men­gagumi seseorang tapi entah kenapa perasaan kagumku itu menjelma menjadi cinta tanpa aku sadari, aku mencintai kak Zahwan tapi perasaan ini belum mampu untuk kuungkapkan, dia terlalu sempurna buatku, seakan­akan dia bagaikan ma­tahari yang menerangi dunia ini, dan semakin aku menatapnya maka aku akan punah dibuatnya, hingga aku menyadari siapa diriku ini.

Aku mulai menumpahkan perasaanku lewat lembaran diari.

Page 197: Menari Di Bumi Lontara

Tahajjud Cinta � 181

What’s love?

Ya Allah Q

Mengapa cinta selalu membuat bimbang hati dan pikirankuMengapa setiap saat hanya wajahnya yang terlintas di benakkuYa… Allah kenapa ada cinta?Kenapa rasa itu selalu mengetuk hatiku?Apakah aku salah jika aku tidak memiliki cinta?Ya Allah tafsirkan cinta itu dengan mudah!Maknailah hidup ini dengan cinta dan kasih sayangMuAgar kami mencintaiMu dengan cinta yang engkau berikan kepada kami

****

Ketika sang matahari menampakkan dirinya sambil ter­tawa tersenyum, embun di pagi hari mulai menghilang dari dedaunan, udara yang sejuk di waktu fajar kini mulai terasa panas, dan meneteskan butir­butir keringat di wajahku. Kuter­bangun dari mimpi indahku, kembali tersadar dengan harapan dan cita­citaku yang tak akan tercapai jika hanya berdiam diri.

Kulanjutkan aktifitasku sebagai seorang pelajar, seperti biasanya jika berangkat ke sekolah kutunaikan shalat dhuha.

Sesampai di sekolah, pelajaran Ilmu ‘Arudi yang diajarkan oleh pak Yusuf Razak tidak sempat hadir, kuluangkan waktuku untuk membaca di perpus, itulah salah satu kebiasaanku jika jam pelajaran kosong.

Pandanganku tertuju pada sebuah buku berwarna biru, ada gambar perempuan memakai jilbab di cover depan buku

Page 198: Menari Di Bumi Lontara

182 � Menari di Bumi Lontara

tersebut, aku mencoba mengambilnya dan berniat untuk membacanya. Buku berjudul PERCIKAN RINDU DARI SANG PERINDU, yang dikarang oleh salah seorang penulis muda. Wah seketika itu aku terkesima, dan menebak, dalam buku ini membahas tentang cinta dan kerinduan. Dengan se­mangat aku mulai membuka lembaran buku itu. Tiba­tiba tak kusangka bacaanku tertuju pada suatu kalimat yang berbicara mengenai cinta.

Cinta adalah sesuatu yang sederhana, ia adalah sesuatu yang menggetarkan hidupku, ia membuatku tertawa, mem-buatku menangis, membuatku kuat, bahkan membuatku lemah.

Aku tak menyangka, kalimat ini membuatku salah tingkah sendiri.

Tiba­tiba…….

“Ningrum…Ningrum....”

Sebuah suara mengejutkanku.

“Aeni?”

“Cie....lagi apaki?” Tanyanya.

Aku tersenyum, sambil menyembunyikan buku yang ku­baca itu.

“Ningrum? kamu baca buku apa?” Dewi berusaha merebut buku yang ada di tanganku.

“PERCIKAN RINDU DARI SANG PERINDU?” Ujarnya.

“Hahahhahahahha...” dia tertawa lepas, entahkah maksud dari tawanya itu mengejek atau apa, entahlah.

Acer
Highlight
Page 199: Menari Di Bumi Lontara

Tahajjud Cinta � 183

“Kamu rindu pada seseorang yah? tanyanya sambil men­colek pinggangku”

Aku semakin salah tingkah dibuatnya.

“Ningrum… katanya sih, seseorang jatuh cinta akan men­ganggap segala sesuatu sebagai kekasihnya. Seorang yang jatuh cinta akan merasa puas hanya dengan melihat pintu rumah kekasihnya. Saat itu hatinya akan tenang dan berbahagia” Ujarnya sambil melotot.

“ W e t s … . . s e t … … . . s e t … … … … … . .set………………………………… Aku mah biasa aja kalau lagi jatuh cinta. Menurut aku kehadiran kekasih ada dimana­mana, walaupun sang kekasih entah berada dimana…hehehe­hehehehehehehe….” Balasku.

“Ningrum..Ningrum, aku tahu saat ini kamu kagum sama…….”

“Aeni….stoooopppppppp…” aku menutup mulut Aeni tak membiarkan melanjutkan kalimatnya.

“Utssss.... laa takuuna mirratan..uskutna..hadza laysa makaan lil mujaadalah” Tegas petugas perpus.

“Afwan ukhti...” jawabku.

Aku menuju tempat pinjaman buku perpus, karena buku yang sedari tadi ada dalam genggamanku akan kubaca di as­rama, tanpa gangguan dari siapapun. Kutunjukkan kartu ang­gotaku dan berlaju pergi.

Hari itu, hari Ahad, tanggal 6 januari 2002, pelajaran tak ada yang terisi, semua guru­guru di pesantren pergi menghadiri acara walimah salah seorang guru di sekolah dasar As’adiyah.

Page 200: Menari Di Bumi Lontara

184 � Menari di Bumi Lontara

Aku sempatkan moment itu untuk tidur di siang hari.

****

Tepat pukul 15.10 aku terbangun, suara adzan yang merdu terasa membangunkanku untuk menunaikan kewajibanku.

“Aurel.... sopo yang adzan?”

“Sopo..sopo.. aduuuhhhh Rum.. kamu dah di daerah bu­gis, jadi budayakan dong bahasa bugis. Lain kali aku baru mau jawab pertanyaanmu kalau kamu tanyanya dengan bahasa bu­gis” Ujarnya.

“Uff... iye pung nanti aku belajar bahasa bugis” Candaku.

Setelah kutunaikan shalat ashar dan dilanjutkan baca surah Ar­Rahman, aku kembali cari tahu siapa suara yang adzan di masjid, sudah 3 waktu shalat yang adzan suara yang sama.

Siapa yah? tanyaku dalam hati.

Ah, aku tak peduli siapa dia, sekarang yang harus kulaku­kan adalah belajar untuk persiapan ujian lisan Ilmu Kalam.

Tak terasa waktu terus berputar hingga adzan magrib diku­mandangkan. Lagi­lagi suara yang indah itu kembali terdengar di telingaku. Aku semakin penasaran dibuatnya. Bahkan aku bertekad dalam hati bahwa muadzin itu akan menjadi imamku kelak.

****

Keesokan harinya, ketika sang fajar melintang di pemuki­man mampang. Berulang kali suara indah itu terdengar. Sahut menyahut, syahdu, merdu, dan menderu. Suara itu bersahutan

Page 201: Menari Di Bumi Lontara

Tahajjud Cinta � 185

dari masjid Lapongkoda, kesenyapan subuh dan pengeras suara yang ditempatkan diketinggian semakin memperjelas kalimat­kalimat tersebut.

Kadangkala suara itu terdengar di senja hari, saat sang rembulan menjalankan takdirnya. Sejuk rasanya, indah keden­garannya apalagi dengan nada yang mendayu. Allahu Akbar.

Aku terbangun dari tidur panjangku.

“Aurel...wake up...wake up....”

“Aurel... hayya ‘alaa dzihaabi ilal masjidi” Teriakku sambil membangunkan Aurel.

Bergegas diriku mengambil air wudhu meski terasa dingin.

“Ningrum, macekke lanre we’…… engka muaka tawwe jok­ka masempajang? Jakkammi idi bawang...”(dingin, adakah orang yang kemesjid? Jangan sampai hanya kita)

“Addduuuhh...ngomong apa sih Rel, hadza al­usbu’ usbu’u al­‘arabii, fahiimti?”

Aurel hanya mengangguk. Dan mulai berwudhu.

Sesampai di masjid aku tak dapati laki­laki yang mempun­yai suara yang indah itu, karena yang adzan dan yang iqamah subuh itu adalah orang yang berbeda, itu kutahu dari cara pelafalannya.

“Uff...padahal aku dah sesubuh mungkin datang ke masjid. Astagfirullah... apa yang ada dalam pikiranku? Sama saja dong kalau aku engga ikhlas?” Ucapku lirih.

****

Page 202: Menari Di Bumi Lontara

186 � Menari di Bumi Lontara

Sepulang dari masjid, kembali kuulangi pelajaran yang telah kupelajari kemarin sore, setelah itu bersiap­siap ke seko­lah yang jaraknya hanya beberapa langkah.

Bel berbunyi pertanda pelajaran pertama dimulai, aku tak menyangka bahwa namaku yang pertama kali di panggil oleh bu Rabiah.

Bismillah.. semoga aku berhasil, ucapku dalam hati.

Dengan santai aku menjawab pertanyaan ibu Rabiah sepu­tar tentang aliran­aliran yang ada di Indonesia.

Dan Alhmdulillah semuanya berjalan sesuai dengan ha­rapanku. Kemudian kuhampiri Aeni

“Aeni, aku ingin curhat” Kataku.

“Hah? Curhat masalah cinta?” Usilnya

“Aen.. Aku serius, ini mengenai rasa penasaranku selama ini?” Ketusku.

“Na’am..Na’am..tafaddalii..ukhtiku”

“Aeni aku penasaran dengan muadzin masjid Lapongkoda,beberpa hari ini yang adzan di masjid bukan tu­kang muadzin yang biasanya”

“Masya Allah Aen.. suaranya sungguh indah. Suara itu tampaknya bukan hanya suara indah, apalagi hanya sekedar membangunkan orang­orang di sekitar masjid yang masih le­kat dengan selimutnya, melainkan mulai meresap ke dalam hati. Kalaulah pelantunnya hanya sekedar menyuarakan den­gan lisannya, bisa jadi orang yang mendengarnya akan men­ghujamkannya ke dalam qalbu lalu memaknainya” Lanjutku sambil meyakinkannya.

Page 203: Menari Di Bumi Lontara

Tahajjud Cinta � 187

“Rum, you are falling in love? Hahahahhahaha....” dia men­ertawaiku.

“Ichh...Aeni, pokoknya kamu harus bantu aku cari tahu siapa orang itu, titik….!” Tegasku.

“Iye pung.... No problem” Jawabnya.

“Shalat magribnya di masjid istiqamah aja yah Aen? Kita pesantrennya sekali­kali disana, kan engga apa­apa..”

“Hmmm...” Aeni menarik nafas panjang.

“Ningrum kamu itu kalau ada maunya engga bisa bilang engga. Iya deh, saya usahakan”

“Aeni, please!!!”

“Yes, I can help you…”

“Syukran ukhtikuu, ujarku dengan nada senang”

****

Aku tak sabar lagi menunggu muadzin mengumandang­kan adzannya. Ketika radio masjid mulai diperdengarkan aku dan Aeni melangkahkan kaki menuju masjid Lapongkoda yang jaraknya tidak cukup jauh dengan asramaku, yah tepatnya di depan Kampus 2 Pondok Pesantren As’adiyah.

Sesampainya di sana adzanpun dikumandangkan,

Masya Allah, aku tak menyangka dapat menyaksikan langsung sosok yang membuatku terbangun dari tidurku untuk memenuhi panggilan Allah melalui adzan yang dikumandan­gkannya.

Namanya Marwan, sosoknya sering menjadi pembicara­an jamaah di mesjid dan masyarakat sekitar mesjid, dia juga

Page 204: Menari Di Bumi Lontara

188 � Menari di Bumi Lontara

termasuk anak ulama tepatnya adik dari sosok laki­laki yang membuatku mengenal rasa yang tak pernah aku rasakan sebe­lumnya, dia adalah adik dari kak Zahwan.

Aku sudah cukup mengenal sosok kak Zahwan, melalui gaya, tutur kata, dan tingkah lakunya sehari­hari. Sedangkan kak Marwan hanya kukenal melalui suara adzannya.

Tapi kedua sosok ini mempunyai karakter yang berbeda, kak Zahwan orangnya kocak, cara berpakaiannya mengikuti gaya masa kini tapi dia haus ilmu agama jadi seakan­akan ilmu Akhiratnya dan dunianya seimbang, sedangkan kak Marwan orangya sederhana, pendiam, hanya bicara jika ditanya, tapi begitu banyak kelebihan yang dia miliki, disamping suaranya indah, dia juga seorang hafidz Qur’an

Ya Allah akankah aku mencintai dua orang sekaligus?

Kepada siapakah hatiku akan berpihak?***

Page 205: Menari Di Bumi Lontara

� 189

Ustadz Izinkan Aku Jatuh Cinta

Keesokan harinya…

“Rum...” kamu dipanggil ustadz dan ustadzah.

“Memangnya kenapa?” Tanyaku penasaran.

“Rum, gurutta marah, sepertinya ada masalah”

Aku melangkahkan kaki menuju rumah ustadzku, yang bertanggung jawab dengan keamanan asrama.

Sesampainya disana beliau mempersilahkanku duduk.

“Rum, min ayna ji’ti bil amsi ?” ( kemarin kamu darimana) tanya ustadz Danul.

“Ji’tu minal masjid al­istiqamah, li ssalaatil magrib wa ta’lim? ...” (saya dari mesjid Istiqamah untuk shalat dan pesantren) jawabku.

“Limadza tadzhabiina lil masjidi….wa dzalikal makaan ba’iidun jiddan?”

Page 206: Menari Di Bumi Lontara

190 � Menari di Bumi Lontara

“Afwan pung...dzahabtu lil tamasyyaa” (maaf pung saya hanya sekedar jalan­jalan).

“Rum... kamu tahu nak, apa yang kamu lakukan melang­gar peraturan asrama karena teman kamu cerita kalau tujuan kamu ke mesjid hanya untuk menemui seseorang”

Mendengar penjelasan dari ustadz Danul, air mataku menetes.

“Rum, sebagai hukuman atas apa yang kamu perbuat, kamu dan Aeni tidak boleh keluar dari asrama kecuali ke seko­lah dan pesantren. Kamu mengerti?”

“Pung, jangan libatkan Aeni dalam masalah ini, dia hanya menemaniku pung”

“Bukankah menemani itu sudah termasuk mendukung apa yang kamu lakukan?”

“Menolong sesama dalam hal buruk itu sama saja berdosa”

Mendengar penjelasan ustadz Danul hatiku sakit dan aku mulai angkat bicara.

“Pung, apakah ini buruk? Apakah ini perkara yang men­gandung dosa? Apakah perkara ini di haramkan di Pondok ?”

“Iya, perkara ini sama sekali tidak dibenarkan di Pesantren ini”

“Salahkah aku jika aku jatuh cinta? Salahkah aku jika menyukai seseorang? Salahkah aku jika mencintai seseorang pung?”

“Nak Ningrum, bapak tak pernah melarangmu untuk jatuh cinta apalagi melarangmu menyukai seseorang, tapi cinta

Page 207: Menari Di Bumi Lontara

Ustadz Izinkan Aku Jatuh Cinta � 191

itu tak perlu kamu ombar ambirkan kepada siapapun. Cukup cinta itu berlabuh dalam hatimu nak”

Siapapun orangnya dan bagaimanapun orangnya, tak ada yang berhak melarangnya untuk jatuh cinta, islam juga tidak menafikkan adanya cinta nak, karena cinta itu adalah anu­grah, tapi saat ini banyak yang menyalahgunakan cinta itu, atas nama cinta mereka mengombar ambirkan kisah asmara mereka di sana sini.

“Pung aku takkan mengecewakanmu, engkau laksana orang tuaku. Aku takkan mengurangi kepercayaanmu padaku hanya karena cinta. Mendapatkan kasih sayang dan cinta dari orang – orang terdekat itu lebih dari cukup pung. Cinta kalian terhadapku sudah memenuhi hatiku pung.”

“Sekali lagi nak, bapak dan semua guru di pesantren ini tak pernah melarangmu jatuh cinta tapi ingat nak. Biarkanlah waktu yang bicara nak, ingat janji Allah bahwa jodoh takkan kemana.”

****

Mulai hari itu, aku diberi hukuman untuk tidak me­ninggalkan asrama selama seminggu selain ke sekolah dan pesantren. Aku semakin yakin bahwa guru – guru di pesantren menyayangiku.

“Ya Allah, jagalah cintaku ini, biarkan dia tetap diam hingga tiba waktunya dia akan berbicara dengan sendirinya.”

Cintaku akan tetap kubiarkan berlabuh dalam hatiku.

Siapapun yang Allah tetapkan untuk menjadi jodohku kelak, aku percaya bahwa itu adalah pilihan yang terbaik.

Page 208: Menari Di Bumi Lontara

192 � Menari di Bumi Lontara

Tapi mampukah aku memendam perasaan ini?

Mampukah hatiku berpihak pada satu hati dan selamanya hanya mencintai satu hati? Atau sewaktu­waktu cinta itu akan berpindah pada hati yang lain?

Mampukah aku mencintai seseorang tanpa menunggu balasan cinta darinya?

Mampukah aku mempertanggung jawabkan cinta ini di hadapan sang Pencipta?

Apakah cinta ini akan terus bersemi di bawah naungan sang Ilahi?

Atau apakah cinta ini akan mengalahkan cintaku pada Sang Maha Kuasa?

Ataukah cinta ini hanya berlandaskan hawa nafsu semata?

CINTA, begitu sulit kudefenisikan.

****

Bersambung ke

“MENARI DI BUMI LONTARA EDISI 2”

Buku Pertama dari dwilogi

Menari di Bumi Lontara ini

Mulai di tulis di asrama Ma’had Aly Uin Alauddin Makassar

Jumat, 23 November 2012, menjemput senja.

Alhamdulillah selesai ditulis di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik

Hari Selasa, 26 Maret 2013, Waktu Dzuhur.

Page 209: Menari Di Bumi Lontara

� 193

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih ya Allah, atas semua limpahan rahmat dan KaruniaMu yang engkau berikan dengan tak terhingga kepa­daku dan engkau selalu bersamaku.

Dengan kekuatan dan kasih sayang yang Allah berikan kepadaku akhirnya selesai juga buku sederhana ini saya tu­lis, ketika saya menjadi mahasiswi di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Jurusan Ilmu Al Qur’an dan Tafsir sampai detik dimana saya menuliskan ucapan terima kasih ini, ba­gian terakhir dari buku ini, dari kamarku 03 lantai 2 Asrama Ma’had ‘Aly UIN Makassar.

Ucapan terima kasih saya harturkan kepada guru­guru saya di Pondok Pesantren As’adiyah, begitupun dosen­dosen saya di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, yang ber­sedia menyalurkan ilmunya.

Page 210: Menari Di Bumi Lontara

194 � Menari di Bumi Lontara

Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Ustadz Abdul Gaffar. M.Th.I, alumnus Tafsir Hadis Khusus angkatan per­tama, sebentar lagi menyandang gelar doktor dan kini terjun sebagai dosen di Universitas Islam Negeri Makassar dan guru di Pondok Pesantren Al­Imam Ashim dan sebagai pendidik di asrama Ma’had ‘Aly UIN Alauddin Makassar, dimana asrama ini menjadi tempat tinggal saya, beliau dan istrinya Ustadzah Fauziah Ahmad. M.Th.I, sudah saya anggap sebagai orang tua kedua saya. Dan tak terlupakan beliaulah perantara per­tamaku ketika saya hendak mendaftarkan diri untuk masuk UIN Makassar Jurusan Tafsir hadis Khusus. Syukran laka, yaa Ustadz.

Begitupun kepada Ustadz Muhammad Agus. M.Th.I, se­laku ketua Student and Alumnus Department Of Tafsir Hadis Khusus Makassar (Sanad TH Makassar), beliau banyak mem­beri masukan dalam penyusunan buku kedua ini.

Kepada kak Muhammad Nasir yang meluangkan waktu untuk membantu menyusun buku ini.

Saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang dalam kepada segenap keluarga besar Tafsir Hadis Khusus yang telah banyak membantu tanpa pamrih. Kak Rusdi, Kak Ghani, Kak Asriadi yang bersedia mengurus berkas­berkasku, kak Sila yang meluangkan waktu untuk mengajarkan bahasa Jawa kepadaku. Dan Juniorku Sulaiman dan Rahman yang menjadi penggemar tulisanku. Terima kasih semuanya, dan yakinlah bahwa Allah sebaik­baik pemberi balasan.

Page 211: Menari Di Bumi Lontara

Ucapan Terima Kasih � 195

Kepada segenap pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis priode 2013­2014, syukran telah memberikan saya kepercayaan untuk menjadi ketua Redaksi Majalah Dinding.

Kepada kak Yusran Darmawan yang banyak memberikan inspirasi melalui perjalanan hidupnya.

Kepada kawan­kawanku di kampung halaman, alumni Madrasah Aliyah Putri As’adiyah tanpa terkecuali terima kasih atas kebersamaannya selama ini. kepada Kak Arafah yang baru­baru ini kukenal sosoknya sebagai anak ulama, yang banyak memberi bantuan dalam hal ilmu pengetahuan. Juga ucapan selamat kepada kakak­kakak yang ada di Ma’had Aly Sengkang. Kak Mustari, Kak Tirmidzi, Kak Asrar, Kak Ashar, Kak Syamsuddin, Kak Sulaiman, Kak Bur, Kak Ika, Kak Erna, Kak Muna, Kak Rahmi, kak Darmi dan seluruh kakak Ma’had yang tak sempat saya sebutkan satu persatu, selamat atas gelar Kiyai Mudanya. Dan kepada kawan­kawan seang­katanku di Universitas Islam Negeri Makassar ada kenangan diantara kita, salah satunya ketika kita menghabiskan waktu untuk berjalan­jalan di Kabupaten Soppeng, suatu moment yang menyenangkan. Tak lupa kepada teman angkatanku yang ikhwannya, Rahmat Hamid, Fadil, Rahman, yang terkadang membuatku meneteskan air mata. Begitupun kepada teman­temanku yang akhwatnya, Yuliana , Mujahidatul Khaerat, Syahriana, Nurul Fadilah, Fitrah Tahir, terima kasih atas per­sahabatannya. Terkhusus ucapan terima kasih yang teramat dalam saya ucapkan kepada Nur Hikmah Itsnaini Jufri, terima kasih atas kesabaranmu selama ini, saya berterima kasih ke­

Page 212: Menari Di Bumi Lontara

196 � Menari di Bumi Lontara

padanya karena ia tempat merebahkan keletihan ini, ketika semua menatapku dengan penuh prasangka, engkau mampu menenangkanku bahkan memeluk dan menyeka air mata ini. mungkin inilah hikmah dari sebuah persahabatan, engkau se­lalu ada saat aku membutuhkan.

Kepada segenap keluarga besarku, Eyang Omang dan Ey­ang Titiku yang senantiasa mendoakanku. Romo, Pa’le, Bu’le, Mbah dan Uwa’ keluarga besarku di tanah Jawa. Dan keluarga besar abiku yang ada di bugis. Yang telah banyak memberikan bantuan moril dan materil kepadaku.

Juga kepada Kakakku Muhammad Ihsan Ramadhan, yang memberiku ketegaran dalam mengarungi hidup. Saya berharap agar hafalan Qur’an kakakku senantiasa mendapat berkah.

Juga kepada Kak Rusyaid yang senantiasa menjadi guru dan inspirasiku, terima kasih atas semangat dan motivasinya, semoga kebahagiaan senantiasa tercurah kepadamu.

Sampai pada bagian ini, ucapan terima kasih yang special saya persembahkan kepada abi dan ummiku tercinta. Kepada abiku, yang senantiasa memberikan dukungan tiada akhir, serta selalu memberikan semangat dalam isyaratnya untuk terus berjuang, yang tak pernah lelah menuntunku dalam mengarungi hidup. Kepada ummiku sayang, yang memberi­kan kasih sayang dan cinta tanpa batas. Saat mengingat wajah dan senyumanmu, saya merasakan sebuah kehangatan dalam hati ini. senyumanmu adalah embun yang menyejukkan kala jiwaku terbaring lelah, maafkan aku ummi karena saat ini aku tak bisa bersamamu.

Page 213: Menari Di Bumi Lontara

Ucapan Terima Kasih � 197

Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak­pihak yang telah membantu atas terlaksananya proyek kecil ini, yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu dalam buku ini, kepada penerbit dan editor setia saya Rahmat Firdaus dan kak Baihaqi atas kerja samanya yang professional, kepada mereka yang berdiri di luar sana yang terus menerus mem­berikan semangat terutama di kalangan Pondok Pesantren As’adiyah, pelajar, mahasiswa, dosen, dan pembaca setiaku. Salam dan terima kasih banyak dari penulis. MENARI di BUMI LONTARA edisi pertama.

Rizki Ayu Amaliah

Page 214: Menari Di Bumi Lontara
Page 215: Menari Di Bumi Lontara

� 199

Komentar Mereka Tentang Rizki Ayu Amaliah

Lugu...itulah kata yang pertama kali muncul dalam benak ketika saya bertemu dan mengenal Rizki Ayu Amaliah. Awal­nya dia sering mengeluh dengan ketidak PD­annya bahkan kelemahannya sebagai seorang wanita. Namun satu kalimat yang sering dia ucapkan, “Meskipun kaum hawa lemah, tetapi teriakan mereka mampu mengubah dunia”. Akhirnya kini, dia tumbuh menjadi seorang penulis muda berbakat yang cukup inspiratif dan imajinatif. Dia tampil sebagai potret wanita mod­ern, penuh tekad, perjuangan dan keinginan untuk terus maju yang menjadikan karyanya layak untuk dibaca. (Muhammad Agus. M.Th.I, dosen Universitas Islam Negeri Alauddin Makas­sar, sekaligus ketua Umum Student and Alumnus Dapartemen of Tafsir Hadis Khusus Makassar).

Page 216: Menari Di Bumi Lontara

200 � Menari di Bumi Lontara

Hal­hal yang besar memang sering lahir dari sesuatu yang sederhana, itulah yang telah diwujudkan oleh Rizki Ayu Ama­liah dengan goresan penanya “Biasa yang Berharga”. (Muham­mad Ali Rusdi Bedong, S.Th.I, M.H.I)

Novel ini sangat menunjukkan jati diri penulis sebagai santri sejati. Elaborasinya terhadap dunia pesantren member­inya banyak inspirasi hidup. Sangat berkarakter… (Fauziah Ahmad. M.Th.I, dosen sekaligus Pembina asrama Ma’had Aly UIN Makassar)

Kehadiran penulis­penulis di Indonesia Timur merupakan sebuah angin sejuk bagi kepustakaan kesustraan kita, karena penulis yang berasal dari daerah Sulawesi Selatan masih sangat sedikit di banding daerah lain. Terlebih lagi Rizki Ayu Amaliah adalah penulis muda yang merupakan tonggak masa depan ke­sustraan Indonesia, tidak hanya sekedar menuangkan pikiran ke dalam tulisan, memperindah untaian kata, ataupun men­jadikan kisah menjadi makna, akan tetapi juga menjadikan tulisan sebagai jalan dakwah yang lebih dekat dengan pemuda­pemudi se­zaman. (Abdul Ghani, )

Rizki Ayu Amaliah orangnya punya misi hidup yang jelas, terbuka dengan orang meskipun belum kenal lebih jauh, dia juga ramah, mudah bergaul dan ambisius. (Ardiansyah, Ketua Bidang Kekaryaan, Pengembangan dan Penelitian di Himpunan Mahasiswa Islam, sekaligus Sekertaris umum UKM 5 Washilah).

Kemauan dan Semangat yang tinggi yang terkadang tidak dimiliki seseorang untuk melangkah dalam mengarungi setiap alur kehidupan ini sehingga membuat hidupnya seakan tidak

Page 217: Menari Di Bumi Lontara

Komentar Mereka Tentang Rizki Ayu Amaliah � 201

memiliki tujuan. Namun kedua hal itulah yang dimiliki oleh Rizki Ayu Amaliah sehingga berhasil menyelesaikan buku ked­uanya. (Muhammad Arfah. S.EI,M.E, dosen)

Sebuah karya yang luar biasa penyejuk jiwa, dengan tutur bahasa yang lembut menyentuh hati yang paling dalam ten­tang indahnya jalan menuju Tuhan dengan cinta yang tulus penuh pengorbanan hingga akhirnya membuahkan surga­Nya. (dumair, mahasiswa ilmu hadis).

Saya hanya mengenal sosoknya lewat torehan penannya, dia wanita yang sangat bersahaja tapi suka menangis, bersa­haja karena pintar menyederhanakan hidup, tapi di balik ke­hebatannya ada air mata yang disembunyikan karena kerin­duannya, tidak salah jika dia menamakan dirinya sang Perindu. (Muhammad Arabiyah Mangawing, mahasiswa Universitas Al Azhar Cairo).

Saya belum banyak mengenal Rizki Ayu Amaliah, tapi ketika mengenal sosoknya untuk pertama kalinya, saya bisa simpulkan bahwa dia sosok wanita yang kuat bahkan sangat membela kedudukan dan harkat martabat wanita. (Rabiyah Adawiyah, PNS di Manado).

Buku kedua Rizki Ayu Amaliah ini berlatar belakang pen­didikan pesantren, yang merupakan hasil imajinasi dan kreati­vitas yang disusun secara sistematis, dan estetis dengan meng­gunakan berbagai bahasa sebagai medianya sehingga mampu menyajikan jalinan cerita yang indah. Dalam bahasa yang lebih umum, ceritanya mungkin ada yang berdasarkan pengalaman objektif semata, atau mungkin juga terpaksa harus direkayasa

Page 218: Menari Di Bumi Lontara

202 � Menari di Bumi Lontara

dan diperkaya dengan pengalaman imajinatif dan pengala­man intelektual. Melalui karyanya, ia berusaha merefleksikan gejolak dalam jiwanya, yang menghasilkan sebuah cita­cita yang begitu mulia. Itulah Rizki Ayu Amaliah sahabatku, dan sahabat semua orang.(Nurul Fadilah Faisal,mahasiswa Ilmu Hadis,salah satu sahabat Rizki Ayu Amaliah)

Page 219: Menari Di Bumi Lontara

� 203

BIODATA PENULIS

Rizki Ayu Amaliah lahir di Sengkang 3 Mei 1993, Hoby menulis, membaca, ber­main musik dan berhayal. Mempunyai cita­cita yang tinggi untuk membangun Pondok Pesantren. Cita­citanya dia utara­kan melalui goresan pena dalam buku keduanya yang berjudul Menari di Bumi

Lontara. Menamatkan Sekolah Dasar 262 Bulu Pabbulu, dan mengenyam ilmu di Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang selama 6 tahun. Saat ini melanjutkan pendidikan S1 di Uni­versitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Fakultas Ushulud­din, Filsafat dan Politik, Jurusan Tafsir Hadis, Prodi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir Khusus.

Pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis, Kor­dinator bagian Ilmu dan Penalaran.

Page 220: Menari Di Bumi Lontara

204 � Menari di Bumi Lontara

Tahun 2012, Rizki Ayu Amaliah menerbitkan buku per­tamanya, Percikan Rindu dari Sang Perindu, kumpulan cerpen yang digabungkan dalam satu tema sehingga menjadi sebuah buku, yang bercerita tentang perempuan.

Penulis merasa senang jika ada yang ingin berbagi cerita dengannya, bagi pembaca yang ingin mengenal penulis lebih dekat, anda bisa menghubunginya di 085342032826, atau ala­mat Facebook di [email protected].