Upload
harry-d-fauzi
View
335
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
1
HARRY D. FAUZI
MENGENAL TRADISI PERTUNJUKAN
WAYANG
Bahan Apresiasi bagi yang Ingin Mengenal Tradisi Wayang
2
PENGANTAR
Wayang sebagai salah satu hasil budaya asli bangsa Indonesia
hampir tidak dikenali lagi oleh generasi muda masa kini. Gencarnya
hiburan yang bersifat global melalui berbagai media elektronik seolah
menyisihkan wayang dari pengamatan masyarakat. Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang melesat telah memberikan
banyak pilihan kepada masyarakat dalam memilih dan menentukan jenis
hiburan yang akan dinikmatinya.
Akhir-akhir ini memang ada usaha mengangkat kembali kesenian
wayang, baik wayang kulit, wayang golek, maupun wayang orang. Berbagai
media dan kesempatan mencoba menyajikan hiburan ini dengan berbagai
kepentingan. Ini merupakan langkah yang sangat baik dalam upaya
melestarikan kesenian wayang. Di sisi lain, ada pula usaha pendekatan
yang dilakukan oleh para pelaku seni wayang dengan mengemas
pertunjukan wayang lebih menarik. Tujuannya sama, agar masyarakat
dapat menikmati kembali wayang seperti pada masa kejayaannya dulu.
Salah satu upaya yang dilakukan dalam memperkenalkan wayang
adalah melalui jalur pendidikan. Hingga saat ini masih sangat sedikit
buku-buku bacaan mengenai seni tradisional, termasuk wayang, yang ada
di perpustakaan-perustakaan sekolah. Padahal, kita sadar bahwa
lingkungan pendidikan merupakan salah satu jalan yang paling efektif
untuk memperkenalkan kesenian tradisional. Usia siswa SLTP dan SLTA
masih diliputi rasa keingintahuan yang tinggi serta mudah memberikan
apresiasi terhadap hal-hal yang dipahaminya.
Penulisan buku ini merupakan salah satu upaya untuk
mendekatkan kesenian wayang kepada generasi muda. Di dalam buku ini
disajikan berbagai aspek mengenai wayang sebagai salah satu bentuk
kesenian tradisional Indonesia. Diawali dengan pengertian-pengertian
3
dasar, sejarah pertumbuhan wayang, jenis pertunjukan wayang, sumber
cerita wayang, hingga struktur pementasan wayang. Pembahasan dalam
buku ini diupayakan lebih ringkas dan sederhana agar mudah dipahami,
serta mampu merangsang para siswa untuk mengetahui lebih lanjut
dengan mencari dan menemukan sumber-sumber lainnya.
Pembahasan wayang dalam buku ini masih bersifat umum karena
ingin mencakup pemahaman siswa tentang wayang golek, wayang kulit,
dan wayang orang. Pada kenyataannya, perkembangan masing-masing
jenis pertunjukan wayang tersebut memiliki kekhasan tersendiri,
termasuk peristilahan yang digunakan, sesuai dengan lingkungan
daerahnya. Oleh karena itu, ilustrasi yang digunakan dalam buku ini tidak
mengacu kepada salah satu jenis pertunjukan wayang tersebut. Sebagai
penjelasan, ilustrasi disajikan dari berbagai bentuk versi wayang. Ada yang
menggunakan versi wayang kulit, wayang golek, wayang orang, ilustrasi
komik, dan sebagainya.
Akhirnya, mudah-mudahan isi buku ini dapat memberikan manfaat
bagi peningkatan apresiasi siswa terhadap kesenian wayang. Agar jenis
kesenian wayang ini tidak semakin terpinggirkan dan kalah oleh hiburan-
hiburan yang berasal dari luar negeri.
Semoga.
Penulis
4
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan
2. Jenis Pertunjukan Wayang
3. Sumber Cerita dalam Pertunjukan Wayang
4. Tokoh Panakawan atau Punakawan
5. Karakterisasi dalam Wayang
6. Struktur Lakon dalam Pertunjukan Wayang
7. Struktur Pementasan Wayang
8. Daftar Pustaka
5
PENDAHULUAN
Pengertian Wayang
Wayang diyakini sudah ada sejak zaman dahulu, yaitu pada masa
prasejarah (sekitar 1500 tahun SM). Masyarakat Indonesia pada masa itu
memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang
yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca
atau gambar.
Pada awalnya, beberapa orang ahli wayang menyatakan bahwa
wayang berasal dari India. Hal ini didasarkan kepada kenyataan tentang
sumber-sumber cerita wayang, seperti epos Mahabharata dan
Ramayana, datang dari India. Akan tetapi, tidak ada bukti-bukti yang
menguatkan dugaan kesenian wayang berasal dari negeri tersebut. Setelah
dilakukan penelitian lebih jauh, para ahli berkesimpulan bahwa wayang
adalah kreasi asli orang Indonesia karena tidak ada pertunjukan yang
sama ditemukan dalam budaya lain.
Ada beberapa definisi berkaitan dengan pengertian wayang. Tiga di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Perkataan wayang berasal dari bahasa Jawa krama ngoko (bahasa
Jawa halus dan kasar) yang berarti perwajahan yang terdiri dari
barang dan lain sebagainya, yang terkena cahaya atau penerangan
(Ismunandar, 1988).
2. Wayang terbuat dari kulit dan menceritakan peranan orang Jawa
zaman dahulu. Disebut wayang karena dapat dilihat bayangannya
pada kelir (layar), menggambarkan orang zaman dahulu yang
terbayang dalam angan-angan (Mertosedono, 1990).
3. Wayang adalah orang-orangan yang terbuat dari kulit atau dari
kayu yang diibaratkan menjadi tokoh-tokoh dari cerita
6
Mahabharata yang membentuk menjadi pementasan sandiwara
boneka (Kamus Umum Bahasa Sunda).
Secara harfiah wayang diartikan sebagai bayangan. Akan tetapi,
sesuai dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman, pengertian
wayang itu berubah, sehingga kini wayang dapat diartikan sebagai
pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris.
Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung yang
melibatkan sutradara sebagai pemain. Orang yang menjadi sutradara
dalam wayang golek disebut dalang.
Asal-usul Wayang
Sangat sulit untuk meruntut perkembangan wayang sejak zaman
prasejarah karena hampir tidak ada catatan yang dapat menunjukkan
perkembangannya. Akan tetapi, para ahli merasa yakin bahwa pada
awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme dalam
menyembah ‘hyang’. Kegiatan penyembahan ’hyang’ ini dilakukan antara
lain di saat-saat panenan atau menanam padi dalam bentuk upacara
ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau agar
desa terhindar dari segala malapetaka.
Pada sekitar tahun 898 – 910 M, sesungguhnya wayang sudah
menjadi wayang purwa, tetapi masih tetap ditujukan untuk menyembah
para sanghyang bagaimana yang tertulis dalam Prasasti Balitung (tahun
907 Masehi) yang berbunyi: ”si galigi mawayang buat hyang, macarita
bhimaya kumara” (terjemahan bebasnya kira-kira adalah ”menggelar
wayang untuk para hyang menceritakan tentang Bima sang Kumara”).
Prasasti Balitung yang berupa lempengan tembaga dari Jawa
Tengah diduga berasal dari abad kesepuluh. Hal ini menunjukkan bukti
bahwa episode-episode yang terdapat dalam Mahabharata dan Ramayana
telah diperdengarkan melalui lantunan lagu pada peristiwa-peristiwa yang
memiliki sifat ritual. Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita yang
berhubungan dengan Bima. Cerita ini boleh jadi telah dipertunjukan
7
sebagai sebuah teater bayangan yang sekarang kita kenal dengan istilah
wayang purwa.
Pada jaman kerajaan Mataram Hindu ini, kitab epos Ramayana dari
India berhasil dituliskan ke dalam bahasa Jawa Kuna (Kawi) pada masa
raja Dharmawangsa, yang berkuasa pada tahun 996 – 1042 M.
Selanjutnya, kitab Mahabharata yang berbahasa Sansekerta dan terdiri
atas delapan belas parwa dapat dirakit menjadi sembilan parwa dalam
bahasa Jawa Kuna. Kemudian, pada masa kekuasaan Raja Airlangga,
yakni sekitar abad kesebelas, kisah Arjuna Wiwaha pun berhasil pula
disusun oleh Mpu Kanwa. Pada jaman kerajaan Kediri dan Raja Jayabaya,
Mpu Sedah pun menyusun serat Bharatayuda yang kemudian diselesaikan
oleh Mpu Panuluh. Tak puas dengan itu saja, Mpu Panuluh lalu menyusun
Serat Hariwangsa dan kemudian Serat Gatutkacasraya.
Menurut Serat Centhini, Sang Jayabaya kemudian memerintahkan
untuk menuliskan karya-karya Mpu Sedah, Mpu Panuluh, dan Mpu
Kanwa tersebut ke atas rontal (lembaran-lembaran daun lontar yang
disusun seperti kerai dan disatukan dengan tali).
Pada zaman awal kerajaan Majapahit, wayang digambar di atas
kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian. Karya
ini kemudian dikenal sebagai bentuk wayang beber. Masa-masa awal
abad kesepuluh ini bisa kita sebut sebagai periode globalisasi wayang
tahap pertama di tanah Jawa. Pada periode ini kepercayaan animisme
mulai digeser oleh pengaruh agama Hindu yang menempatkan tokoh
‘dewa’ berada di atas tokoh ‘hyang’. Selain itu, pada periode sekularisasi
wayang tahap pertama ini, dikembangkan berbagai mitos yang
mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa. Periode
globalisasi wayang tahap pertama ini berlangsung sekitar abad kesepuluh
hingga abad kedua belas, bahkan hingga abad kelima belas.
8
Gambar 1. Bentuk pementasan wayang beber. Perhatikan bermacam sesaji dihidangkan di depan dalang, http://yanabeing.blogspot.com/2011/04/wayang-beber.html
Pada abad kelima belas, terjadi lagi proses globalisasi wayang tahap
kedua. Pada periode ini pengaruh budaya Islam mulai meresap masuk ke
dalam seni wayang. Pada saat berdirinya kerajaan Demak (1500 – 1550
M), ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran
Islam. Raden Patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang
yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotong-royong. Wayang
beber, karya Prabangkara (yang telah ditulis pada jaman Majapahit)
segera direka ulang, dibuat dan digambar kembali di atas permukaan kulit
kerbau yang ditipiskan. Di wilayah kerajaan Demak masa itu, sapi tidak
boleh dipotong untuk menghormati penganut Hindu yang masih banyak.
Gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan
penguat tanduk kerbau. Sunan Bonang bertugas menyusun struktur
dramatika cerita wayang. Sunan Prawata menambahkan tokoh raksasa
dan kera, serta menambahkan beberapa bentuk cerita sempalan. Raden
Patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan. Sunan Kalijaga
mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari
9
batang pisang, blencong, kotak wayang,
dan gunungan. Pada masa inilah
perkembangan wayang kulit dimulai.
Beberapa pembaharuan dan perbaikan
dilakukan secara bertahap oleh Sunan
Kudus dan Sultan Trenggana. Bahkan,
Sunan Bonang menyusun cerita yang
bersumber dari kerajaan Majapahit, seperti
kisah Damarwulan, serta dipentaskan
dalam bentuk wayang untuk konsumsi
rakyat jelata.
Pada masa inilah Sunan Kudus mulai
memperkenalkan bentuk wayang golek
untuk pertama kalinya. Penciptaan
pertunjukan wayang golek ini dimaksudkan
untuk mengatasi kendala pertunjukan wayang (kulit) yang biasanya hanya
dapat ditampilkan pada malam hari. Dengan adanya wayang golek, maka
pertunjukan wayang dapat ditampilkan pada siang hari karena tidak
memerlukan layar (kelir) serta pencahayaan. Cerita-cerita yang
ditampilkan pada pertunjukan wayang golek tidak jauh berbeda dengan
pertunjukan wayang kulit serta wayang-wayang lainnya, yakni bersumber
dari epos Mahabharata, Ramayana, Babad Lokapala, kisah-kisah raja
Majapahit, dan raja-raja sebelumnya.
Dengan demikian, mulailah periode pertumbuhan wayang golek
purwa di tanah Jawa, yang kemudian lebih berkembang di daerah Jawa
Barat, khususnya wilayah Priangan.
Bentuk Wayang
Pada awal perkembangannya, wayang memiliki bentuk
sebagaimana wujud manusia sempurna. Namun, setelah kedatangan
agama Islam, wayang berubah bentuk sesuai dengan aturan agama Islam.
Gambar 2. Wayang kulit yang sekarang dikenal merupakan hasil perubahan bentuk yang dilakukan
oleh para wali. (Sumber: http://www.jelajahunik.us/2012/02/mengenal-jenis-jenis-wayang-
di.html)
10
Hal ini dilakukan karena Islam, melarang pemeluknya menciptakan
sesuatu yang sangat mirip dengan manusia. Itulah sebabnya maka bentuk
wayang berubah menjadi bentuk mahluk berbeda dari manusia tetapi
masih mirip dengan manusia. Wajah dan tubuhnya dibuat sangat
langsing, sedangkan tangannya tidak menampilkan ukuran perbandingan
yang baik dengan bagian tubuh yang lain (biasanya tangannya dibuat lebih
panjang dari ukuran yang seharusnya).
Meskipun demikian, setiap boneka mewakili tokoh khusus.
Penggambaran tokoh pada wayang golek ditandai dengan bentuk wajah,
warna muka, serta pakaian yang dikenakan oleh masing-masing wayang.
Akan tetapi, boneka tidak dapat menggambarkan perasaan tokoh, maka
peran dalang dalam memainkan boneka, dalam mengemukakan ceritera
dan dalam berkomunikasi dengan penonton sangat penting. Perasaan para
tokoh juga dapat diperlihatkan melalui lagu yang ditembangkan para
pesinden (penyanyi) dan musik yang dimainkan para nayaga (pemain
musik), sedangkan karakter dasar dilambangkan melalui warna wajah
yang beraneka rupa. Dalam bahasa Sunda, ada ungkapan yang berasal dari
kepercayaan agama Islam, dan menyatakan “Wayang sakotak, dalangna
ngan hiji”. Ungkapan ini dapat diartikan: ”wayangnya sekotak, hanya
memerlukan seorang dalang” yang berarti bahwa begitu banyak manusia
di dunia hanya memerlukan satu Tuhan.
Wayang Purwa
Istilah wayang purwa mengacu kepada cerita wayang yang berakar
pada epos Mahabharata dan Ramayana, sehingga semua pertunjukan
wayang kulit maupun wayang golek yang mengambil cerita dari kedua
epos tersebut dinamakan sebagai wayang kulit purwa dan wayang golek
purwa. Kedua cerita tersebut merasal dari India yang masing-masing
ditulis oleh Vyasa (Mahabharata) dan Valmiki (Ramayana). Peristilahan
wayang purwa ini untuk membedakan jenis wayang ini dengan wayang-
wayang lainnya.
11
Dalam tradisi wayang purwa di Indonesia, kedua cerita yang ditulis
oleh dua pengarang berbeda itu diramu menjadi satu dan dihubungkan
satu sama lain. Kedua cerita tersebut digabungkan seolah-olah terjalin
dalam urutan waktu. Kisah Ramayana terlahir lebih dahulu, yang
kemudian diakhiri dengan kisah Mahabharata. Di antara kedua cerita
besar tersebut, kemudian disisipkan berbagai cerita rekaan yang dapat
menghubungkan kedua epos tersebut.
Awal Perkembangan Wayang Golek
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, wayang merupakan
tradisi kuno, termasuk pertunjukan wayang kulit. Dahulu pertunjukan
wayang kulit hanya dapat dilakukan pada malam hari, dengan memakai
cahaya blencong (sejenis penerangan khusus yang menggunakan minyak
tanah) serta penggunaan layar (kelir). Waktu pertunjukan wayang pada
malam hari ini tentu saja membatasi jumlah penonton. Artinya,
masyarakat yang berusaha menonton pertunjukan wayang kulit pada
malam hari sangat terbatas. Hanya orang-orang tertentu saja yang mau
dengan sengaja menyaksikan pertunjukan pada waktu malam hari.
Gambar 3. Bentuk pementasan wayang kulit yang menggantungkan pencahayaan pada blencong (tergantung di bagian tengah pentas mengarah ke permukaan kelir atau layar).
Pada layar inilah pada umumnya warga masyarakat menghibur hatinya setelah penat bekerja sepekan. (Sumber: http://dabgenthong.wordpress.com/2011/01/14/wayang-
kulit-tontonan-dan-tuntunan-hidup/)
12
Sebagai sarana pendidikan kepada masyarakat, pertunjukan pada
malam hari tentu kurang mencapai sasaran. Apa lagi, pada saat itu
pertunjukan wayang kulit digunakan sebagai salah satu sarana da’wah
Islam. Oleh karena itu, Sunan Kudus pada tahun 1583 mulai
memperkenalkan boneka kayu sebagai alat pertunjukkan, dengan tujuan
agar boneka ini dapat dimainkan pada siang hari.
Pada mulanya, yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera
panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek
ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati pada
tahun 1540-1650). Di daerah Cirebon disebut sebagai wayang golek
papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman
Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita
yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang
dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Wayang
golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa)
baru lahir pada sekitar tahun 1840-an.
Gambar 4. Wayang golek papak atau wayang cepak yang berkembang di daerah Cirebon merupakan cikal bakal perkembangan wayang golek gaya Priangan yang dikenal dewasa
ini. Tokoh di atas merupakan salah satu karakter yang dimainkan dalam pertunjukan wayang cepak. (Sumber: http://wayangpabu.files.wordpress.com/)
13
Menurut C.M Pleyte, masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal
wayang pada sekitar tahun 1455 Saka atau sekitar tahun 1533 Masehi
sesuai dengan yang tertera dalam Prasasti Batutulis. Naskah Ceritera
Parahyangan yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta pada pertengahan
abad ke-16 juga disebutkan berulang-ulang kata-kata Sang Pandawa Ring
/ Kuningan. Hal ini menunjukkan bahwa benar masyarakat Jawa Barat
telah mengenal wayang sejak awal abad ke-16.
Pada waktu kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada di bawah
pemerintahan Mataram, yakni pada masa pemerintahan Sultan Agung
(1601-1635), jumlah masyarakat penggemar seni pewayangan lebih
meningkat lagi sehingga mampu meningkatkan penyebaran wayang di
daerah Priangan. Di sisi lain, banyaknya kaum bangsawan Sunda yang
datang ke Mataram untuk mempelajari bahasa Jawa untuk kepentingan
pemerintahan, membantu pula penyebaran dan perkembangan seni
wayang. Kebebasan penggunaan bahasa dalam pertunjukan wayang
menambah pula petumbuhan wayang golek
sehingga menjangkau hampir seluruh
wilayah Jawa Barat.
Dr. Th. Pigeaud, seorang ahli
sejarah, menyebutkan bahwa salah seorang
bupati Sumedang mendapat gagasan untuk
membuat wayang golek yang bentuknya
meniru wayang kulit seperti dalam cerita
Ramayana dan Mahabharata yang
berkembang di Jawa Tengah. Perubahan
bentuk wayang kulit menjadi golek ini
berlangsung secara berangsur-angsur. Hal
itu terjadi pada sekitar abad XVIII – XIX.
Penemuan ini diperkuat dengan adanya
berita, bahwa pada abad ke-18, tepatnya
Gambar 5. Bentuk wayang golek gaya Priangan yang dikenal dewasa ini.
(Sumber: http://www.kaskus.co.id/showthread.ph
p?p=588909727)
14
sekitar tahun 1794-1829, Dalem Bupati Bandung atau Dalem Wiranata
Koesoemah III (disebut juga sebagai Dalem Karanganyar),
menugaskan Ki Darman, seorang juru wayang kulit asal Tegal yang
bertempat tinggal di Cibiru (Ujungberung, Bandung), untuk membuat
bentuk wayang golek purwa. Bentuk wayang yang dibuatnya semula
berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Bentuk atau wujud
wayang golek yang dibuat Ki Darman ini kemudian mengalami
perkembangan dan perbaikan sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan jaman. Pada akhir abad ke-20, wayang golek mengalami
perubahan-perubahan bentuk yang semakin menjadi baik dan sempurna,
sehingga mencapai bentuk wayang golek yang kita ketemukan sekarang
ini. Wayang golek yang seperti ini kita sebut Wayang Golek Purwa Gaya
Sunda atau Priangan.
Pada awalnya perkembangannya, pertunjukan wayang golek
diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda) di lingkungan
istana atau lingkungan kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun
untuk keperluan umum. Lambat laun, pertunjukan wayang golek ini
menyebar pula ke lingkungan masyarakat umum. Perkenalan masyarakat
Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya
Daendels yang menghubungkan daerah pantai yang landai dengan
Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan
menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai
mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
15
Gambar 6. Pertunjukan wayang golek dapat dilakukan untuk berbagai kepentingan, baik yang bersifat ritual khusus maupun tontonan hiburan (Sumber: http://antarafoto.com)
Fungsi pertunjukan wayang tersebut bergantung kepada
permintaan, terutama para bangsawan pada waktu itu. Pergelaran wayang
golek tersebut dilakukan untuk keperluan ritual khusus atau dalam rangka
tontonan/hiburan. Pertunjukan wayang golek yang sifatnya ritual,
walaupun ada tetapi sudah jarang sekali dipentaskan.
Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat Jawa Barat adalah
ngaruwat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa
orang yang diruwat antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung
Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba
(empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima
putra); 6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra
dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang
putra), dan sebagainya. Di samping itu, acara pementasan bersifat ritual
itu juga dilakukan dalam rangka selamatan rumah, upacara sedekah laut
dan sedekah bumi, setiap tahun sekali.
Pementasan yang masih semarak adalah pertunjukan wayang golek
untuk keperluan tontonan. Biasanya diselenggerakan untuk keperluan
memperingati hari jadi, HUT Kemerdekaan RI, syukuran dan lain
16
sebagainya. Di samping sebagai sarana hiburan yang sehat, ia juga
berfungsi sebagai media penerangan dan pendidikan. Pementasan wayang
pada umumnya berbicara tentang moralitas, etika, adat istiadat atau religi.
Walaupun demikian, bukan berarti esensi yang terkandung dalam
pertunjukan wayang golek sudah hilang, nilai-nilai tersebut tetap
dipertahankan sesuai dengan kepentingannya.
Bentuk Wayang Golek
Media utama pergelaran Wayang Golek adalah boneka yang terbuat
dari kayu (umumnya jenis kayu yang ringan), dipahat dan diukir, dicat,
diberi busana dan karakter sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan.
Boneka kayu yang menyerupai manusia dengan stilisasi di sana-sini itu
disebut wayang golek, dengan demikian nama benda peraga dan nama
jenis pertunjukannya itu sendiri sama yakni Wayang Golek.
Bentuk/badan wadag Wayang Golek sebenarnya dapat dipisah-
pisah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu bagian kepala beserta leher, tangan,
dan badan. Ketiga bagian tersebut dibuat secara terpisah untuk kemudian
disambungkan sehingga bentuknya tampak utuh seperti “manusia”.
Bagian leher dan kepala disambungkan oleh bambu yang telah
diraut kurang lebih sebesar jari kelingking sehingga wayang tersebut dapat
menengok ke kiri dan ke kanan seperti manusia. Bagian bawah dari
bambu itu diruncingkan, menembus badan wayang sampai ke bawah dan
akhirnya berfungsi sebagai kaki yang akan ditancapkan pada batang
pisang sehingga dapat berdiri kokoh. Dari bagian pinggang ke bawah
dipasang kain yang berbentuk sarung sehingga tangan Dalang yang
memegang bambu tadi tidak tampak dari luar.
17
Gambar 7. Bagian kepala dan leher yang disambung dengan sebuah tongkat bambu lancip (Sumber: www.antarafoto.com)
Bagian tangan dibuat terpisah terutama pada sendi bahu dan sendi
siku. Sendi-sendi itu dihubungkan dengan benang/tali sehingga wayang
tersebut dapat digerakkan menyerupai manusia. Bagian tangan tokoh-
tokoh wayang tertentu diberi kelat bahu (hiasan pangkal lengan) atau
gelang. Demikian juga pada bagian-bagian tubuh wayang yang penuh
dengan manik-manik, anting telinga, badong (hiasan punggung), keris
dan sebagainya. Adapun bentuk badan raut wajah, pakaian, hiasan,
disesuaikan dengan karakter dan kedudukan tokoh wayang yang
bersangkutan.
18
JENIS PERTUNJUKAN WAYANG
Sejak wayang pertama kali dikenal oleh masyarakat Nusantara,
telah terlahir cukup banyak jenis pertunjukan wayang yang berkembang di
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Kurang lebih terdapat 30
jenis pertunjukan wayang yang berkembang dan tersebar di keempat
daerah tersebut. Masing-masing pertunjukan wayang tersebut memiliki
keunikan dan ciri tersendiri yang dapat memperkaya khasanah
kebudayaan nasional. Jumlah tersebut belum termasuk bentuk-bentuk
teater boneka yang berkembang kemudian akibat pengaruh budaya
Nusantara
Dari sekian banyaknya jenis pertunjukan wayang tersebut,
beberapa di antaranya akan dijelaskan berikut ini.
1. Wayang Beber
Jenis wayang ini dinamakan wayang beber karena terdiri atas
lembaran-lembaran kain atau kulit lembu yang digambari dengan adegan-
adegan dalam cerita wayang. Sumber cerita yang disajikan dalam wayang
beber bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana.
Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang
di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah daerah
tertentu di Pulau Jawa. Wayang beber muncul dan berkembang di Pulau
Jawa pada masa kerajaan Majapahit. Gambar-gambar tokoh pewayangan
dilukiskan pada selembar kain atau kertas, kemudian disusun adegan
demi adegan berurutan sesuai dengan urutan cerita. Gambar-gambar ini
dimainkan dengan cara dibeber. Saat ini hanya beberapa kalangan di
Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunung Kidul, yang masih
menyimpan dan memainkan wayang beber ini.
Konon oleh para Wali, di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang
beber ini dimodifikasi bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk-bentuk
19
yang bersifat hiasan yang dikenal sekarang, karena ajaran Islam
mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, hewan) maupun
patung serta menambahkan Pusaka Hyang Kalimusada atau Layang
Jamus Kalimusada. Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang
digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang.
Gambar 8. Salah satu cuplikan adegan pada gulungan wayang beber yang biasa ditampilkan. (Sumber: http://julianarome.blogspot.com/)
Salah satu Wayang Beber tua ditemukan di Daerah Pacitan,
Donorojo. Wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun
dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari
keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat
luhur yang harus dipelihara. Selain di Pacitan, ada juga sampai sekarang
jenis wayang beber yang masih tersimpan dengan baik dan masing
dimainkan di Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunungkidul.
Menurut Kitab Sastro Mirudo, Wayang Beber dibuat pada tahun
1283, dengan Condro Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo
(1283), Kemudian dilanjutkan oleh putra Prabu Bhre Wijaya, Raden
Sungging Prabangkara, dalam pembuatan wayang beber. Wayang Beber
20
juga memuat banyak cerita Panji, yakni Kisah Cinta Panji Asmara Bangun
yang merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo.
Usia teater tutur ini sudah amat tua, sekurang-kurangnya sudah
ada sejak zaman Majapahit (menurut berita Cina tahun 1416). Sisa-sisanya
masih terdapat di Pacitan dan kemungkinan hampir punah karena seni ini
tidak dapat diajarkan kepada orang-orang lain kecuali keturunannya saja,
takut terhadap pelanggaran pantangan nenek moyangnya.
Wayang Beber hanya dipentaskan untuk upacara ruwatan atau
nadar saja. Wayang ini berbentuk lukisan di atas kertas, dengan roman
seperti wayang kulit purwa hanya kedua matanya nampak. Sikap wayang
bermacam-macam, ada yang duduk bersila, sedang berjalan, sedang
berperang dan sebagainya. Lukisan wayang beber berjumlah 6 gulung, dan
tiap gulung berisi 4 jagong atau adegan.
Gambar 9. Pementasan wayang beber. Dalang tampak sedang membeberkan gambar sambil bercerita. Di belakang Ki Dalang tampak para penonton menyaksikan dan
mendengarkan tuturan dalang. (Sumber: http://waybemetro.wordpress.com/)
Dalang menggelar tiap gulungan tiap gulungan dengan cara
membeberkannya di atas kotak gulungan.
21
Urutan pertunjukkan :
1. Dalang membakar kemenyan, kemudian membuka kotak dan
mengambil tiap gulungan menurut kronologi cerita.
2. Dalang membeberkan gulungannya pertama dan seterusnya,
dengan membelakangi penonton.
3. Dalang mulai menuturkan janturan (narasi).
4. Setelah janturan, mulailah suluk (lagu penggambaran) yang amat
berbeda dengan umumnya suluk wayang purwa
5. Setelah suluk, dimulailah pocapan atau penuturan cerita
berdasarkan gambar wayang yang tengah dibeberkan. begitu
seterusnya sampai seluruh gulungan habis dibeberkan dan
dikisahkan.
Seluruh pertunjukkan diiringi dengan seperangkat gamelan Slendro
yang terdiri dari rebab, kendang batangan, ketuk berlaras dua, kenong,
gong besar, gong susukan, kempul. Penabuhnya cukup 4 orang saja yakni
sebagai penggesek rebab, petigendang, penabuh ketuk kenong, dan
penabuh kempul serta gong. Patet yang digunakan hanya patet nem dan
patet sanga.
Lama pementasan hanya sekitar satu setengah jam saja, dapat
dilakukan siang hari ataupun malam hari. Setiap pagelaran wayang beber
harus ada sesaji yang terdiri dari kembang boreh, ketan yang ditumbuk
halus, tumpeng dan panggang ayam, ayam hidup, jajan pasar (kue-kue)
dan pembakaran kemenyan. Untuk upacara ruatan atau bersih desa perlu
ada tambahan sesaji berupa sebuah kuali baru, kendi baru dan kain putih
baru.
2. Wayang Kulit
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama
berkembang di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang
22
juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh
musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang
dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik
kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya
disorotkan lampu listrik atau lampu minyak atau blencong, sehingga para
penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan
wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang,
penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang
bayangannya tampil di layar.
Gambar 10. Tata letak pentas pada pergelaran wayang kulit purwa. Perhatikan letak masing-masing, nayaga, pesinden yang seluruhnya berada di belakang dalang yang
menghadapi kelir (layar). Di belakang kelir, tampak para penonton menyaksikan bayangan wayang yang dimainkan dalang. (Sumber:
http://siswandikadamok.wordpress.com/).
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata
dan Ramayana. Akan tetapi, seorang dalang tak dibatasi hanya dengan
pakem (cerita baku) tersebut, ki Dalang bisa juga memainkan lakon
carangan (gubahan sendiri), termasuk menyajikan cerita panji.
23
Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses
menjadi kulit lembaran. Perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50
x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang
digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang
berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai
bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk
lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.
Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai
bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya
dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan
ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya
dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai
yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman
juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya
umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang
ditempel atau bisa juga dengan dibronz, dicat dengan bubuk yang
dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik,
warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bronz.
3. Wayang Cepak
Wayang di Cirebon dikenal dengan nama wayang cepak atau
wayang papak. Cepak atau papak berarti datar, sama, atau lebih dekat.
Bntuk hiasan kepala wayang golek jenis ini cenderung lebih datar jika
dibandingkan dengan bentuk wayang golek yang tinggi dan bulat. Wayang
ini terbuat dari kayu, yang ujungnya tidak runcing (cepak = bhs Sunda;
papak = bhs Jawa). Itulah sebabnya maka wayang ini disebut wayang
cepak atau wayang papak.
Dilihat dari bentuknya, wayang cepak diperkirakan merupakan
pengembangan dari wayang kulit, wayang golek atau wayang menak yang
berpusat di daerah Cirebon. Wayang cepak biasanya membawakan lakon-
lakon Menak, Panji, cerita-cerita babad, legenda dan mitos. Tetapi, di
24
daerah Cirebon sendiri, wayang cepak lebih banyak melakonkan babad
Cirebon, juga babad Mekah dan Pamanukan yang disampaikan dengan
bahasa Jawa Cirebon. Sehingga muncul tokoh-tokoh seperti Nyi Mas
Gandasari, Wiralodra, Ki Tinggil, Kuwu Sangkan, Bagal Buntung, dan lain-
lain.
Wayang cepak dipercaya dibuat oleh
Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Wayang
cepak dapat terbuat dari kulit (wayang kulit
cepak) atau dari kayu (wayang golek cepak).
Bentuk wayang golek cepak diambil dari
wayang kulit cepak. Ceritanya bersumber dari
sejarah Jawa dan cerita Islam. Meskipun
terkait dengan sejarah, cerita-cerita digubah
dari sumber lisan kemudian dibuat menjadi
cerita tersendiri.
Dalam pertunjukannya di masyarakat,
wayang cepak Cirebon memiliki struktur
yang baku. Adapun susunan adegan wayang
cepak Cirebon secara umum sebagai berikut :
(1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung,
gending jejer atau gending kawit, murwa,
nyandra, suluk atau kakawen dan biantara; (2) babak unjal, paseban, dan
bebegalan; (3) nagara sejen; (4) patepah; (5) perang gagal; (6) panakawan
atau goro-goro; (7) perang kembang; (8) Perang Raket; (9) Tutug.
4. Wayang Golek Purwa
Wayang golek adalah wayang dengan bentuk tri matra (tiga
dimensi). Kata golek secara harfiah berarti boneka, patung kecil, atau
mencari (makna cerita). Kepala, badan, dan lengan boneka diukir dari
kayu; tudhing (gagang penggerak) biasanya dibuat dari bambu, sama
dengan gagang penyangga (sogo). Sogo dibuat menembus badan ke kepala
Gambar 11. Bentuk wayang golek cepak yang menggambarkan sosok
Prabu Cakrabuana. Perhatikan bentuk bagian kepala wayang yang
rata atau cepak. (Sumber: http://www.pitoyo.com/)
25
dan berfungsi sebagai pegangan. Wayang jenis ini memakai kain panjang
yang terikat di pinggang dengan selendang tempat menyimpan keris.
Menurut Serat Centhini (awal abad ke-19) dan Serat Sastramiruda (awal
abad ke-20), wayang golek Jawa diperkenalkan pada tahun 1584.
Sedangkan, wayang golek purwa gaya Sunda baru mulai diperkenalkan di
Parahyangan awal abad ke-19.
Pada dasarnya, struktur pertunjukan wayang golek tidak jauh
berbeda dari pertunjukan wayang kulit. Bahkan, sumber cerita yang
digunakan dalam pertunjukan
wayang golek sama seperti
sumber cerita yang digunakan
dalam pertunjukan wayang kulit,
yakni epos Mahabharata,
Ramayana, dan Babad Lokapala.
Hal yang membedakan
pertunjukan wayang golek dari
wayang kulit adalah (1)
pertunjukan wayang golek tidak
mengenal kelir (layar) karena
dipertunjukkan secara langsung,
(2) pertunjukan wayang golek
(khususnya gaya Priangan)
menggunakan bahasa Sunda, dan
(3) aspek karawitan pada
pertunjukan wayang golek
menggunakan karawitan Sunda.
Wayang Golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang
tumbuh dan berkembang di daerah Jawa Barat. Daerah penyebarannya
terbentang luas dari Cirebon di sebelah timur sampai wilayah Banten di
sebelah barat, bahkan di daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan
Jawa Barat sering pula dipertunjukkan pergelaran Wayang Golek.
Gambar 12. Wayang golek yang mewakili karakter Gatotkaca, salah seorang putra
Bima (Sumber: http://www.datasunda.org/)
26
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar
(Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem
memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang
tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu.
Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola
pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran
Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh
berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri
dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan
wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang
menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung.
Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun,
setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan
adalah bahasa Sunda.
5. Wayang Krucil
Wayang krucil adalah kesenian khas Ngawi, Jawa Timur dari
bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut dengan
Wayang Krucil. Wayang ini dalam perkembangannya menggunakan bahan
kayu pipih (dua dimensi) yang kemudian dikenal sebagai Wayang Klithik.
Di daerah Jawa Tengah wayang krucil memiliki bentuk yang mirip
dengan wayang gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris,
dan menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Sedangkan, di Jawa Timur
tokoh-tokohnya banyak yang menyerupai wayang kulit purwa, raja-
rajanya bermahkota dan memakai praba. Di Jawa Tengah, tokoh-tokoh
rajanya bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.
27
Cerita yang dipakai dalam wayang
krucil umumnya mengambil dari zaman
Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga
zaman Prabu Brawijaya di Majapahit.
Namun, tidak menutup kemungkinan
wayang krucil memakai cerita wayang
purwa dan wayang menak, bahkan dari
babad tanah Jawa sekalipun.
Gamelan yang dipergunakan untuk
mengiringi pertunjukan wayang ini amat
sederhana, berlaras slendro dan berirama
playon bangomati (srepegan). Namun,
ada kalanya wayang krucil menggunakan
gending-gending besar.
6. Wayang Orang
Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa
Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang
sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang diciptakan
oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731.
Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi
dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit
yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), tetapi
menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka
wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan
yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka
mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali
pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan
gambar atau lukisan.
Wayang Orang adalah suatu bentuk drama tari berdialog prosa
yang ceritanya diambil dari epos Ramayana dan Mahabarata. Konsep
Gambar 13. Bentuk wayang krucil yang kecil dan berkembang di Jawa
Tengah. (Sumber: http://wayangindonesiaraya.blogspo
t.com/)
28
dasar wayang orang mengacu pada wayang purwa (wayang kulit). Oleh
karena itu, wayang orang merupakan personifikasi wayang kulit.
Gambar 14. Penampilan kelompok Wayang Orang Bharata dalam menyajikan salah satu adegan pada epos Mahabharata (Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/File:Wayang_Wong_Bharata_Pandawa.jpg)
Bila ditelusuri tentang asal-usulnya, kesenian Wayang Orang sudah
ada pada masa Jawa Kuna, sekitar tahun 930, dan dikenal dengan nama
“Wayang Wong” seperti yang tercantum dalam prasasti Wimalasrama.
Pada mulanya, yakni pertengahan abad ke-18, semua penari Wayang
Orang adalah penari pria, tidak ada penari wanita. Jadi agak mirip dengan
pertunjukan ludruk di Jawa Timur dewasa ini.
Dalam berbagai buku mengenai budaya wayang disebutkan bahwa
Wayang Orang diciptakan oleh Kangjeng Pangeran Adipati Arya
Mangkunegara I (1757 - 1795). Para pemainnya waktu itu terdiri atas abdi
dalem istana. Pertama kali Wayang Orang itu dipentaskan secara terbatas
pada tahun 1760. Namun, baru pada pemerintahan Mangkunegara V
pertunjukan Wayang Orang itu lebih memasyarakat, walaupun masih
tetap terbatas dinikmati oleh kerabat keraton dan para pegawainya.
Pemasyarakatan seni Wayang Orang hampir bersamaan waktunya
dengan lahirnya drama tari Langendriyan.
29
Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII (1916 -1944)
kesenian Wayang Orang mulai diperkenalkan pada masyarakat di luar
tembok keraton. Usaha memasyarakatkan kesenian ini makin pesat
ketika Sunan Paku Buwana X (1893-1939) memprakarsai pertunjukan
Wayang Orang bagi masyarakat umum di Balekambang, Taman Sri
Wedari, dan di Pasar Malam yang diselenggarakan di alun-alun. Para
pemainnya pun, bukan lagi hanya para abdi dalem, melainkan juga
orang-orang di luar keraton yang berbakat menari.
Penyelenggaraan pertunjukan Wayang Orang secara komersial
baru dimulai pada tahun 1922. Mulanya, dengan tujuan
mengumpulkan dana bagi kongres kebudayaan. Kemudian pada tahun
1932, pertama kali Wayang Orang masuk dalam siaran radio,
yaitu Solosche Radio Vereeniging, yang mendapat sambutan hebat dari
masyarakat.
Pakaian para penari Wayang Orang pada awalnya masih amat
sederhana, tidak jauh berbeda dengan pakaian adat keraton sehari-
hari, hanya ditambah dengan selendang tari. Baru pada zaman
Mangkunegara VI (1881-1896), penari Wayang Orang mengenakan
irah-irahan terbuat dari kulit ditatah apik, kemudian disungging
dengan prada.
30
SUMBER CERITA DALAM PERTUNJUKAN WAYANG
Sebuah pementasan wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek,
maupun wayang orang, selalu menyajikan cerita yang dapat dinikmati oleh
penonton. Cerita yang dipaparkan dalam sebuah pertunjukan wayang
pada umumnya telah dikenal dan dipahami oleh penontonnya. Oleh
karena itu, penonton akan lebih dapat menikmati pertunjukan dari awal
hingga akhir.
Dalam tradisi wayang purwa di Jawa Tengah maupun di Priangan,
terdapat sumber cerita yang dijadikan dasar pertunjukan wayang. Sumber
cerita tersebut sebagian besar bersumber dari epos Ramayana dan
Mahabharata. Akan tetapi, kedua cerita tersebut amatlah panjang dan
rumit jika harus dipentaskan dalam satu kali pergelaran. Oleh karena itu,
dalang biasanya mengambil bagian-bagian tertentu dari cerita Ramayana
atau Mahabharata untuk ditampilkan.
Sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang
lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak
saat itulah cerita-cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja
Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang
lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan
Wayang Beber.
Meskipun demikian, ada kalanya juga dalang mengembangkan
sendiri cerita yang diambil dari naskah baku tersebut sesuai dengan
penafsirannya. Maksud pengembangan dalam pementasan ini agar cerita
lebih menarik dan disukai penonton. Pengembangan ini kemudian
menjadi makin meluas, sehingga tidak sedikit dalang-dalang berkreasi
dengan mengarang sendiri cerita untuk dipentaskan.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk
pada Ramayana dan Mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman
31
itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang,
termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus
berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Selanjutnya, mulai
dikenal pula adanya cerita wayang pakem yang sesuai standar cerita, dan
cerita wayang carangan yang di luar garis standar. Selain itu masih ada
lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari
cerita pakem.
Penggunaan cerita yang bermacam-macam, dan ada kalanya
menyimpang dari sumber cerita yang sesungguhnya, menyebabkan
munculnya pembagian kelompok cerita. Pada cerita pedalangan, terdapat
tiga bentuk lakon atau cerita yang biasa ditampilkan dalam pertunjukan
wayang, yakni cerita atau lakon pakem, lakon sempalan, dan lakon
carangan. Ketiga bentuk cerita atau lakon inilah yang kemudian menjadi
standar pementasan wayang baik di Jawa maupun di Sunda.
1. Lakon Pakem
Tradisi cerita wayang di Jawa dan Sunda pada awalnya bersumber
dari mitologi Hindu-Jawa. Dalam ajaran Hindu, terdapat tiga kekuatan
yang saling berkaitan satu sama lain, yakni kesatuan Siwa – Brahma –
Wisnu. Wisnu sebagai sang pemelihara jagad, berbeda dengan Brahma
sang pencipta dan Siwa sang penghancur. Wisnu dalam menjalankan
tugasnya perlu bertumimbal hidup – lahir tua dan mati – bersama para
"titah" atau "dumadi" atau "makhluk". Oleh karena itu, dalam dunia
pewayangan, setiap babakan kisah atau "babad" akan dipimpin oleh titisan
atau "awatara" Wisnu yang berganti-ganti.
Menurut mitologi Hindu-Jawa, ada sepuluh "babad" atau babakan
kisah penitisan Wisnu di dunia, yaitu diawali dengan Wisnu menitis
sebagai "matsya" atau ikan besar, dan ditutup kelak menitis sebagai
danawa Kalki pada awal "kaliyuga" atau "jaman kalabendu", jaman serba
sengsara. Tetapi dari sepuluh babakan kisah itu, hanya tiga di antaranya
yang dikisahkan dalam rangkaian lakon, untuk digunakan sebagai
32
"wayang", bayangan, "gegambaran" atau suri
tauladan, dan selanjutnya diperagakan dengan
"boneka" atau "anak wayang" sebagai wahana.
Tiga babakan kisah itu ialah semasa
penitisan Wisnu yang keenam, yaitu ketika
Wisnu menitis sebagai brahmana yang
bersenjata kampak atau Parasurama;
penitisan Wisnu yang ketujuh, yaitu Wisnu
menitis sebagai Rama raja Ayudhya; dan
penitisan Wisnu kedelapan, yaitu Wisnu
menitis sebagai Kresna, raja Dwarawati.
Dalam dunia pedalangan wayang Jawa,
penitisan pertama terhimpun dalam pakem
lakon atau Babad Lokapala, yakni ketika Wisnu menjelma dalam raga
Prabu Harjunasasrabahu. Penitisan kedua terjadi dalam pakem lakon
Ramayana, ketika Wisnu menjelma dalam raga Raja Ramawijaya.
Sedangkan penitisan ketiga terjadi dalam pakem lakon Mahabharata,
ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Kresna. Ketiga-tiga "sumber"
lakon wayang itulah yang dinamai "pakem".
Secara ringkas isi dari ketiga pakem cerita dalam pewayangan Jawa
dan Sunda tersebut adalah sebagai berikut.
a. Babad Lokapala atau Serat Arjuna Sasrabahu
Istilah Babad Lokapala merupakan istilah yang digunakan dalam
lingkungan Pedalangan Sunda, sedangkan di lingkungan
Pedalangan Jawa disebut sebagai (Serat) Arjuna Sasrabahu. Lakon
ini dapat dikatakan lebih tua daripada Ramayana, tetapi
“sebenarnya” merupakan kisah awal kelahiran Rahwana menuju
kapada Cerita Ramayana. Karena mahirnya para pujangga, kisah ini
seolah-olah runtut, dari kisah paradewa, lahirnya Rahwana, kisah
Gambar 15. Penggambaran Wisnu dalam wayang kulit (Sumber:
http://id.wikipedia.org/)
33
Subali-Sugriwa, serta kisah Arjuna Sasrabahu begitu juga hubungan
kekeluargaan dari tokoh-tokoh dalam alur Cerita Babad Lokapala.
Kandungan kisah dalam Babad Lokapala:
- Kisah kelahiran Rahwana
Kerajaan Lokapala dipimpin oleh Prabu Danaraja atau
Danapati. Beliau adalah putra Begawan Wisrawa dan Dewi
Lokati. Ada keinginan Sang Prabu untuk mempersunting Dewi
Sukesi, putri Prabu Sumali dari kerajaan Alengka. Begawan
Wisrawa pun hendak melamar Sekar Kedaton Alengka tersebut
sebagai permaisuri prabu Danapati.
Kecantikan Dewi Sukesi ini membuat Prabu Sumali tidak terlalu
kesulitan untuk mencarikan jodoh bagi putrinya tersayang.
Namun syarat yang diajukan oleh Dewi Sukesi amatlah berat,
yakni ia bersedia menerima pria manapun asalkan pria tersebut
mampu mengajarinya Ilmu Sastra Jendra.
Demi Sang Danaraja, maka berangkatlah Begawan Wisrawa
menuju Kerajaan Lokapala. Sesampainya di sana Sang Begawan
menyampaikan maksud kedatangannya itu kepada Prabu
Sumali. Sesuai dengan permintaan putrinya Dewi Sukesi, maka
Prabu Sumali berkata kepada Sang Begawan bahwa putrinya
akan menerima siapa saja yang mampu mengajarinya ilmu
rahasia dewa tersebut. Sang Begawan menyanggupi permintaan
Dewi Sukesi tersebut asalkan Sang Dewi mau dijadikan
menantunya. Beliau juga menambahkan bahwa untuk
memberikan wejangan ilmu rahasia itu harus di tempat yang
benar-benar sunyi dan di taman yang hanya ditumbuhi bunga
kenanga saja. Kesepakatan antara kedua belah pihak pun dibuat.
Kemudian dipanggilah Dewi Sukesi menghadap Sang Begawan
yang saat itu sudah bersiap-siap di taman yang agak jauh dari
istana. Taman tersebut benar-benar sunyi dan hanya bunga
34
kenanga yang tumbuh di sana sebagaimana permintaan Sang
Begawan. Setelah Dewi Sukesi memberikan hormat kepada Sang
Begawan, maka dimulailah wejangan ilmu “Sastra Jendra”
seperti yang diminta oleh Sang Dewi.
Gambar 16. Begawan Wisrawa tengah mengajarkan ilmu Sastra Jendra kepada Dewi Sukesi. (Sumber: http://tomyarjunanto.wordpress.com/)
Menurut patunjuk para dewa, ilmu sastra jendra tidak boleh
diajarkan kepada sembarang orang. Terlebih-lebih dari pria
kepada wanita, karena akan berakibat buruk. Begawan Wisrawa
yang mengajarkan ilmu sastra jendra pada Dewi Sukesi ini
mendapat murka dari Batara Guru. Seketika Batara Guru
menitis ke dalam diri Begawan Wisrawa dan Batari Uma
menjelma ke dalam diri Dewi Sukesi. Dengan demikian, Dewi
Sukesi bertekad hanya mau melayani Begawan Wisrawa.
Begawan Wisrawa yang telah dirasuki Betara Guru pun tidak
menolak.
35
Begitulah akhirnya, Dewi Sukesi dikawini sendiri oleh Begawan
Wisrawa dan melahirkan 4 orang anak, yakni Rahwana atau
Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Gunawan Wibisana.
Betapa kagetnya Dewi Lokati melihat suaminya menikah lagi
dengan putri yang seharusnya menjadi permaisuri putranya.
Prabu Danaraja menerima keadaan itu sebagai suratan takdir
dengan iklhas legawa. Namun malapetaka terus berlanjut ketika
Dasamuka membunuh Dewi Lokati dan Prabu Danaraja.
Sebagai penghargaan atas keluhuran budi Prabu Danaraja, para
dewa di kahyangan mengangkat arwahnya menjadi dewa
kekayaan dengan gelar Batara Kuwera. Di sana Batara Kuwera
diberi wewenang untuk menjaga Kembang Dewaretna, bunga
yang berfungsi untuk membagi rejeki di alam raya.
Rahwana kemudian menjadi raja Alengka dan menjalankan
pemerintahan dengan cara angkara murka. Rahwana menguasai
dunia dengan keji karena kesaktian yang dimilikinya.
- Kisah Subali dan Sugriwa
Menurut versi Ramayana, Subali dan Sugriwa adalah sepasang
Wanara kembar yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi
berbeda ayah. Keduanya sama-sama putra dewa. Subali adalah
putra Indra, sedangkan Sugriwa merupakan putra Surya.
Berbeda dengan versi aslinya, dalam pewayangan Jawa, Subali
dan Sugriwa pada mulanya terlahir sebagai manusia normal.
Keduanya masing-masing bernama Guwarsi dan Guwarsa.
Mereka memiliki kakak perempuan bernama Anjani. Ketiganya
merupakan anak Resi Gotama dan Dewi Indradi yang tinggal di
Pertapaan Agrastina.
Pada suatu hari Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa berselisih
memperebutkan cupu milik ibu mereka yang luar biasa
indahnya. Hal itu diketahui oleh Gotama. Indradi pun dipanggil
36
dan ditanya dari mana cupu tersebut berasal. Gotama
sebenarnya mengetahui kalau cupu itu adalah benda kahyangan
milik Batara Surya yang bernama Cupumanik Astagina. Indradi
yang ketakutan diam tak mau menjawab. Gotama yang marah
karena merasa dikhianati mengutuk istrinya itu menjadi tugu. Ia
lalu melemparkan tugu tersebut sejauh-jauhnya, sampai jatuh di
perbatasan Kerajaan Alengka.
Meskipun kehilangan ibu, ketiga anak Gotama tetap saja
memperebutkan Cupu Astagina. Gotama pun membuang benda
itu jauh-jauh. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Cupu Astagina
jatuh di sebuah tanah kosong dan berubah menjadi telaga.
Guwarsi dan Guwarsa begitu sampai di dekat telaga itu segera
menceburkan diri karena mengira cupu yang mereka cari jatuh
ke dalamnya. Seketika itu juga wujud keduanya berubah
menjadi wanara atau kera. Sementara itu Anjani yang baru tiba
merasa kepanasan. Ia pun mencuci muka menggunakan air
telaga tersebut. Akibatnya, wajah dan lengannya berubah
menjadi wajah dan lengan kera.
Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa menghadap Gotama dengan
perasaan sedih. Ketiganya pun diperintahkan untuk bertapa
mensucikan diri. Anjani bertapa di Telaga Madirda. Kelak ia
bertemu Batara Guru dan memperoleh seorang putra bernama
Hanoman. Sementara itu Guwarsi dan Guwarsa yang telah
berganti nama menjadi Subali dan Sugriwa masing-masing
bertapa di Gunung dan Hutan Sunyapringga. Ketiga anak
Gotama tersebut berangkat ke tempat tujuan masing-masing.
Sesuai petunjuk ayah mereka, Anjani bertapa dengan gaya
berendam telanjang seperti seekor katak, Subali menggantung
di dahan pohon seperti seekor kelelawar, sedangkan Sugriwa
mengangkat sebelah kakinya seperti seekor kijang.
37
Anjani, setelah melahirkan Hanoman, kembali seperti semula
dan diangkat menjadi dewi di kahyangan. Sedangkan Subali dan
Sugriwa tetap menjalani tapanya sampai kemudian dipanggil
oleh dewa untuk melawan Mahesasura di Goa Kiskenda.
- Kisah Arjuna Sasrabahu
Kisah Arjunasasrabahu terdapat dalam babad Mahespati. Babad
Mahespati ini merupakan kelanjutan petualangan Rahwana
dalam melakukan perbuatan angkaranya, yang harus diimbangi
dengan kewajiban Batara Wisnu dalam mengamankan dunia.
Karena itulah, maka Batara Wisnu menitis ke dalam raga Prabu
Arjunasasrabahu atau yang disebut Prabu Arjuna Wijaya salah
seorang keturunan Hyang Tunggal, yang menjadi raja di
Mahespati.
Silsilah Mahespati ini masih terkait dengan Resi Gotama yang
ada di pertapan Grastina, dan Resi Suwandageni di pertapan
Jatisrana. Resi Bargawa adalah seorang Brahmana yang
menjalani kehidupannya dengan jalan berkelana, untuk mencari
kematiannya di tangan Batara Wisnu.
Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam babad
Arjunasasrabahu adalah pengabdian Bambang Sumantri yaitu
putra Begawan Suwandageni dari pertaapan Jatisrana,
pernikahan Prabu Arjunasasrabahu dengan Dewi Citrawati yaitu
putra Prabu Citradarma dari negara Manggada, penaklukan raja
Rahwana oleh Prabu Arjunasasrabahu di mana Rahwana
berjanji akan menjadi manusia yang baik, kematian Bambang
Sumantri setelah diangkat menjadi patih di Mahespati dengan
gelar Patih Suwanda. Baik babad Mahespati maupun cerita
Ramayana, menonjolkan Dewa Wisnu sebagai sumber peranan,
sumber kesaktian dalam mengamankan dunia.
38
Gambar 17. Ilustrasi pertarungan Rama Bargawa dengan Arjunasasrabahu (Sumber: http://mitrabangsa-seni.blogspot.com/)
Prabu Arjunasasrabahu kemudian gugur oleh Begawan Rama
Bargawa, yang menyangka bahwa Prabu Arjunasasrabahu
adalah titisan Batara Wisnu. Setelah Prabu Arjunasasrabahu
mangkat, Rahwana mengingkari sumpahnya dan kembali
mengumbar angkara murka.
Memang benar bahwa Prabu Arjunasasrabahu adalah titisan
Batara Wisnu, tetapi pada saat bertempur melawan Begawan
Rama Bargawa, Batara Wisnu sudah meninggalkan raga Prabu
Harjunasasrabahu. Menurut beberapa kitab, Prabu
Arjunasasrabahu adalah titisan Batara Wisnu, karena memiliki
ciri-ciri yang sama dengan Batara Wisnu, salah satunya yaitu
bisa ber-Triwikrama.
- Kisah Ramaparasu
RAMA BARGAWA, atau yang lebih dikenal dengan nama Rama
Parasu, merupakan salah satu tokoh wayang lintas batas, artinya
ada dicerita Ramayana dan Mahabarata. Brahmana yang juga
39
pertapa sakti bertekad menjungkirbalikkan tata nilai dan
anggapan masyarakat kala itu yang terlalu mengagungkan
golongan ksatria. Bertahun-tahun ia berkelana mengelilingi
dunia hanya untuk mencari perkara dan alasan agar dengan
kesaktian yang dimilikinya. ia dapat membunuh ksatria
sebanyak-banyaknya.
Gambar 18. Rama Bargawa atau Parasu Rama, seorang begawan atau resi yang terkenal sangat membenci satria. (Sumber:
http://batararama.multiply.com/)
Nama Rama Bargawa diperolehnya karena ia merupakan
keturunan Maharesi Bregu yang ternama. la juga dinamakan
Rama Parasu, karena senjata andalannya adalah kapak. Parasu
berarti kapak. Kelak, Rama Bargawa akan berhadapan dengan
Rama Wijaya dalam kisah Ramayana, serta mengajarkan ilmu
kesaktian kepada Bisma, Durna, dan Karna dalam kisah
Mahabharata.
b. Kisah Ramayana
Ramayana pada wayang golek purwa, mengacu kepada kisah asli;
Ramayana, yang terdiri atas tujuh “kanda”. Istilah kanda yang
40
digunakan dalam kisah Ramayana dapat diartikan sebagai babak
atau bagian.
1) Bala kanda, mengisahkan Kusya dan Lawa, menjadi pencerita
tentang kisah Rama yang telah tega mengusir Dewi Sinta yang
sedang hamil. Sinta kemudian dipelihara oleh Resi Walmiki
sampai melahirkan Kusya dan Lawa. Rama kemudian
menyadari perilakunya.
2) Ayodya kanda, cerita Kusya dan Lawa tentang leluhur Rama.
Kisah Dasarata yang akan melantik Rama menjadi raja yang
digagalkan Dwei Kakeyi yang menuntut anaknya Barata
dijadikan raja. Padahal Barata tidak menghendakinya. Akhirnya,
Rama harus dibuang ke dalam hutan.
3) Arania kanda: yang mengisahkan kehidupan Rama, Sinta dan
Laksmana di hutan Dandaka. Kanda ini diakhiri dengan
diculiknya Dewi Sinta oleh Rahwana, dan Rama mencari
permaisurinya.
4) Kiskenda kanda, mengisahkan pertarungan Resi Sobali dan
Sugriwa. Dengan pertolongan Rama, Sobali dapat dibunuh.
Dengan matinya Sobali, Sugriwa mengerahkan rakyatnya
membantu Rama.
5) Sundara kanda, Anoman diutus memberikan cincin Batara
Rama kepada Dewi Sinta. Anoman memberikan cincin Rama di
taman Soka, dan Sinta memberikan konde (cundamanik).
Anoman dikepung oleh wadiabala Alengka. Anoman membakar
sebagian Alengka. Babak ini sering disebut Anoman Duta.
41
Gambar 19. Salah satu adegan dalam Sendratari Ramayana yang menggambarkan kisah Hanoman Duta (Sumber: http://sonces.blogspot.com/)
6) Yuda kanda, mengisahkan perang antara Rama dan Rahwana,
yang diakhiri dengan kematian Rahwana, karena dihimpit
gunung Sondara-Sondari. Diakhiri dengan kembalinya Dewi
Sinta ke Ayodya, disertai Dewi Trijata.
7) Utara kanda, kisah yang berisi pembakaran Sinta untuk
membersihkan tudingan masyarakat, karena prasangka akan
kesucian Dewi Sinta. Karena Sinta merupakan isteri setia, Sinta
tetap tanpa cacat walaupun dibakar. Masyarakat percaya dan
Rama menerima Sinta sebagi permasurinya. Babak ini sering
disebut dengan Sinta Labuhgeni atau Sinta Obong. Namun
masyarakat tetap berburuk sangka, setelah Sinta dinyatakan
suci, Sinta kembali ke hutan dan dipelihara oleh Resi Walmiki,
sampai melahirkan Kusa dan Lawa. Sinta diminta untuk kemali
ke Ayodya, tetapi Sinta malah memasuki Patala dan diterima
oleh Dewi Pratiwi.
c. Kisah Mahabharata
Seperti halnya Ramayana, Mahabarata juga digunakan sebagai
acuan, dan terdiri dari 18 parwa atau bagian.
42
1) Adiparwa, mengisahkan leluhur Pandawa dan Korawa,
diantaranya juga mengisahkan Raja Duswanta-Dewi Sakuntala
(orangtua Barata). Juga dikisahkan riwayat kelahiran Destarata
dan Pandu serta kelahiran anak-anaknya dan perangainya.
Asal muasalnya perselisilah Pandawa dan Korawa.juga
sayembara di pancala. Parwa ini sering disebut LULUHUR
PANDAWA.
2) Sabha parwa, persidangan para putra mahkota, perjudian
dengan dadu yang berakibat Pandawa harus masuk hutan
Kamiaka slama 12 tahun. Parwa ini sering disebut PANDAWA
DADU.
Gambar 20 Drupadi menerima penghinaan yang sangat keji dari Dursasana ketika Pandawa kalah bermain dadu dengan Kurawa. (Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Sabhaparwa)
3) Wana parwa, kehidupan selama pengembaraan Pandawa di
hutan.
4) Wirata parwa, penyamaran Pandawa selama satu tahun di
negara Wirata. Pada bagian ini dikisahkan juga tentang
terbunuhnya Kaecaka.
43
Gambar 21 Penyamaran Pandawa selama satu tahun di negara Wirata tanpa diketahui oleh Kurawa maupun raja Wirata (Sumber:
http://baltyra.com/2012/07/18/draupadi-5/)
5) Udyoga parwa, persiapan Baratayuda, meminta bantuan
negara sahabat. Kresna menjadi duta Pandawa untuk meminta
Amarta. Dalam padalangan Sunda, Sering disebut bab
KRESNA DUTA.
6) Bisma parwa, mengisahkan keperwiraan Resi Bisma dalam
memimpin bala Korawa. Bisma dikalahkan Dewi Srikandi yang
merupakan titisan Dewi Amba.
7) Drona parwa, mengisahkan taktik perang yang digunakan
bala Korawa dibawah pimpinan Resi Dorna. Resi Dorna gugur
karena kecintaannya kepada anaknya Aswatama yang
didengarnya sudah gugur dan percaya akan kata-kata Samiaji.
8) Karna parwa, pertempuran Karna sebagai Mahasenapati
Korawa melawan Arjuna. Akhirnya Karna gugur. Cerita ini
lebih terkenal dengan nama KARNA TANDINGAN atau
KARNA TINANDING.
44
Gambar 22. Pertempuran antara Karna dan Gatotkaca yang menyebabkan gugurnya Gatotkaca oleh senjata Konta milik Karna (Sumber:
http://www.santaisejenak.com/cerita-rakyat/suluhan-gatotkaca-gugur/)
9) Salya parwa, pertempuran Mahasenapati Salya. Salya
terkena panah Samiaji akibat supata Resi Bagaspati, mertua
Salya.
10) Sauptika parwa, penyerbuan tiga pahlawan Korawa,
dipimpin Aswatama dan berhasil membunuh Drestajumena,
Srikandi dan Pancawala. Aswatama dikutuk oleh Batara
Kresna, sehingga sukmanya “berada di dalam tanah”.
11) Stri parwa, mengisahkan kesedihan janda-janda dari kedua
belah pihak.
12) Santi parwa, nasihat kewajiban dan tugas Kepala Negara dari
Kresna, serta dari Bisma, agar tenang tenteram mengurus
negara, serta persiapan kurban kuda.
13) Anusasana parwa, nasihat Resi Bisma sebelum meninggal.
14) Aswamedika parwa, korban kuda, upacara pelantikan
Semiaji jadi raja.
15) Asramawasana parwa, Destarata, Dewi Gandari dan Dewi
Kunti, bertapa di hutan, dan meninggal akibat kebakaran
hutan.
45
16) Mausala parwa, mengisahkan meninggalnya Prabu
Baladewa dan Batara Kresna. Negara Meralaya ditelan ombak,
rakyat Meralaya musnah akibat saling gada. Batara Kresna
meninggal akibat terpanah kakinya.
17) Mahasprahastanika parwa, mengisahkan Semiaji
menyerahkan tahta Astina kepada Parikesit. Selanjutnya
Pandawa mengadakan perjalanan suci ke Himalaya. Masing-
masing Pandawa meninggal kecuali Semaji.
18) Swargarohana parwa, buku terakhir. Semaji melihat
saudara-saudaranya di neraka dan Korawa di sorga yang
kemudian bertukar tempat, Pandawa berada di sorga.
Dalam kisah Mahabarata terdapat cerita/lakon yang tidak dapat
dengan begitu saja dipergelarkan, yaitu Bharata Yudha (Perang
Barata), namun kisah-kisah ini paling menarik masayarakat.
Sehingga Baratayuda ini penyajian pagelarannya dibagi dalam 24
lakon.
1) KRESNA DUTA, Kresna menjadi utusan Pandawa meminta
kembali kerajaan Amarta atau Indraprahasta, tetapi Korawa
tetap pada pendiriannya, yang akhirnya diputuskan untuk
tetap berperang.
2) JAYA SETA, berkisah tentang gugurnya Seta oleh Resi Bisma.
3) JAYA RENYUAN, berkisah tentang gugurnya Abimanyu oleh
Jayadrata, oleh senjata Gagakrancang, sehingga tubuhnya
dipenuhi panah.
4) JAYA TIGASAN, berkisah tentang Arjuna sedih atas
kematian Abimanyu, dan membalas dendam kepada Jayadrata.
Jayadrata gugur oleh Arjuna.
5) JAYA PERBANGSA, berkisah tentang gugurnya Gatotkaca
akibat senjata Konta yang digunakan Adipati Karna.Konta
46
menghilang bersama sukma Gatotkaca, layaknya sebuah keris
yang masuk ke dalam warangkanya, karena warangka Konta
ada dalam pusar Gatotkaca.
6) JAYA JAMABAKAN, berkisah tentang matinya Dursasana
oleh Bima. Darah Dursasana digunakan untuk mencuci rambut
Dewi Drupadi serta juga diminum Bima.
7) KARNA TINANDING, berkisah tentang gugurnya Adipati
Karna oleh Arjuna.
8) JAYA LENGLENGAN, berkisah tentang gugurnya Prabu
Salya oleh Darmakusumah, yang juga dibantu oleh supata Resi
Bagaspati (mertua Salya)
9) JAYA LENGGAKAN, berkisah tentang gugurnya resi Dorna
oleh Drestajumena, setelah dibohongi bahwa Aswatama mati.
10) JAYA SEBITAN, berkisah tentang binasanya Patih Sangkuni
oleh Bima, dengan menghantam mulut Sangkuni.
11) JAYA PUPUAN, berkisah tentang gugurnya Prabu Suyudana
oleh Bima. Suyudana membilas badannya dengan minyak
Renggatala/Kamandungu sehingga kebal, tetapi paha (PUPU)
kirinya tidak kena minyak, karena sudah habis. Paha Suyudana
menjadi titik matinya Suyudana, dan dipukul Bima.
12) JAYA GANGSIRAN, berkisah tentang dibunuhnya
Drestajumena, Pancawala dan Srikandi oleh Aswatama, pada
saat tidur di kemah. Aswatama dikutuk Kresna, sukmanya
beredar di dalam tanah.
13) JAYA SUNGGAL, berkisah tentang matinya anak-anak Raja
Wirata : Wratsangka terbunuh oleh Resi Dorna dan Utara oleh
Prabu Salya.
14) JAYA AMPUWALIKAL, berkisah tentang gugurnya Irawan,
anak Arjuna, oleh Kalasrenggi. Kalasrenggi dibunuh Arjuna
47
15) JAYA PRABATA, mengisahkan Sang Prabata, wasu bungsu
yang menitis kepada Bisma melawan Srikandi titisan sukma
Dewi Amba. Resi Bisma dipenuhi panah-panah Srikandi.
16) JAYA LALEWA, berkisah tentang Dewi Siti Sondari,
melakukan satia - labuh geni, karena meninggalnya Abimanyu.
17) JAYA GANDOLAN, mengisahkan gugurnya Burisrawa oleh
Padmanagara/ Sencaki.
18) JAYA GITIKAN, mengisahkan kematian Antaraeja, akibat
menjiat tapak kakinya.
19) JAYA KALAMUNCUL, berkisah tentang saat Arjuna dan
Dipati Karna bertempur, muncul ular yang bernama
Ardawalika, yang ingin membalas dendam kepada Arjuna,
karena ayahnya dibunuh Arjuna. Dengan nasihat Batara
Kresna, Ardawalika dapat dibunuh.
20) JAYA RUNIAGA, mengsahkan Dewi Surtikanti melakukan
satia-labuhgeni akibat gugurnya Dipati Karna.
21) JAYA WINAGUN, Arjuna melawan Walmuka, tetapi Kresna
marah dan pulang ke Dwarawati.
22) JAYA SUMINGGAR, berkisah tentang Wisata mendakwa
Batara Kresna, bahwa pelaku licik dibiarkan. Kresna
mengatakan sukar melaksanakannnya karena perang yang
hebat, tak dapat lagi membedakan mana yang benar dan yang
curang.
23) JAYA WIGEGELA, berkisah tentang Prabu Salya bertengkar
dengan Aswatama, karena Salya “curang” ketika menjadi kusir
Dipati Karna.
24) JAYA SUMINGKAL, berkisah tentang Resi Abiasa mengusir
siluman dan para setan.
48
2. Lakon Carangan
Lakon carangan, atau disebut dengan carangan saja, adalah cerita
gubahan dalang yang hanya garis pokoknya saja yang bersumber pada
perpustakaan wayang. Lakon carangan boleh dikatakan sebagai lakon
asli yang diberi tambahan atau bumbu-bumbu berupa carangan
(carang dalam bahasa Jawa berarti dahan). Lakon Carangan yang
lazim dipentaskan di antaranya adalah kisah Babad Alas Mertani,
Partakrama, Aji Narantaka, Abimanyu Lahir, dan sebagainya.
3. Lakon Sempalan
Lakon sempalan merupakan lakon atau cerita yang sama sekali
terlepas dari pakem pewayangan. Alur cerita dalam lakon sempalan
merupakan karangan utuh dalang atau pengarang. Hanya nama dan
tempat saja yang digunakan dalam lakon jenis ini. Misalnya cerita
Dawala Gugat, yang mengisahkan gugatan Dawala atau Petruk
terhadap Batara Guru yang telah menelantarkan hidupnya, padahal
dirinya memiliki hak yang sama dengan para dewa lainnya.
4. Lakon Lain-lain
Pengggolongan lakon atau cerita dalam pewayangan juga ada yang
didasarkan kepada jenis ceritanya, di antarannya: lakon lahiran, lakon
raben, lakon gugur, lakon wahyu, lakon banjaran, lakon gugat dan
lakon brubuh.
• Lakon Lahiran biasanya mengisahkan tentang lahirnya seorang
tokoh dalam pewayangan, sebagai contoh lahirnya Dasamuka,
lahirnya Wisanggeni, lahirnya Gatotkaca, dan sebagainya.
49
• Lakon Raben biasanya mengisahkan tentang seorang ksatria yang
menyunting seorang puteri untuk dijadikan istrinya. Lakon Raben
yang paling terkenal adalah Rabine Premadi.
• Lakon Gugur biasanya menceriterakan wafatnya seorang tokoh
wayang, misalnya Salya Gugur, Bisma Gugur, Duryudana Gugur,
dan sebagainya.
• Lakon Wahyu menceriterakan mengenai keberuntungan seorang
ksatria yang mendapatkan anugerah dari dewata karena kesucian
hatinya dalam memaknai setiap cita-citanya. Lakon wahyu yang
paling terkenal yakni Wahyu Makutharama. Lakon wahyu ini
sangat banyak dan tergolong paling disukai masyarakat penggemar
wayang. Karena sifatnya yang ringan, banyak humor, berpetuah,
dan ramai dalam sajian, serta diyakini akan membawa berkah
kebaikan pada penanggap pasca mengadakan pergelaran wayang.
• Lakon Banjaran merupakan kreativitas baru terutama dari
Dalang Ki Timbul Hadiprayitno. Banjaran serupa visualisasi
riwayat hidup seorang tokoh, lengkap dari lahir sampai mati. Maka
Gambar 23. Gatotkaca terlahir dengan nama Jabang Tutuka. Kelahiran Gatotkaca menjadi salah satu cerita sempalan yang menarik untuk diperhatikan. (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)
50
lakon Banjaran Sangkuni menceritakan lahirnya Sangkuni dan
nama aslinya, bagaimana ia mendapat jabatan patih di Astina,
bagaimana ia menyulut pembakaran para Pandawa, sampai
kematian Sangkuni dalam perang Baratayudha. Lakon Banjaran
lainnya adalah Banjaran Durna, Banjaran Bhisma, Banjaran
Salya, Banjaran Pandu dan sebagainya.
• Lakon Gugat merupakan semacam representasi visualiasi protes
pada keadaan yang tidak beres atau ketidak-adilan. Misalnya,
Pandawa Gugat, Pandu Gugat, Gatotkaca Gugat. Walaupun tidak
menggunakan kata "gugat" namun lakon Petruk Jadi Ratu
menampilkan gugatan orang kecil pada majikannya.
• Lakon Brubuh menceritakan hancurnya suatu kerajaan. Maka
ada lakon Brubuh Alengka dan Brubuh Astina
51
TOKOH PANAKAWAN ATAU PUNAKAWAN
Panakawan (diambil dari bahasa Jawa) atau punakawan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebutan umum untuk para
pengikut ksatria dalam khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di
Jawa. Pada umumnya para panakawan ditampilkan dalam pementasan
wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang orang
sebagai kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana. Namun di
samping itu, para panakawan juga berperan penting sebagai penasihat
ksatria yang menjadi asuhan mereka.
Istilah punakawan berasal dari kata pana yang bermakna "paham",
dan kawan yang bermakna "teman". Maksudnya ialah, para panakawan
tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga
memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan, seringkali
mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut.
Gambar 24. Sosok pakakawan versi wayang kulit Jawa Tengah. Dari kiri ke kanan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sumber: http://id.wikipedia.org/)
Para tokoh dalam kelompok Punakawan ini memiliki karakter yang
menarik karena mewakili simbol kerendahhatian dan penebar hikmah.
Mereka adalah tokoh multiperan yang dapat menjadi penasihat para
52
penguasa/ksatria bahkan dewa, penghibur, kritikus hingga menjadi
penyampai kebenaran dan kebajikan.
1. Sejarah Punakawan dalam Pewayangan
Pementasan wayang hampir selalu dibumbui dengan tingkah
laku lucu para panakawan. Pada umumnya kisah yang dipentaskan
bersumber dari naskah Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari
India. Meskipun demikian, dalam kedua naskah tersebut sama sekali
tidak dijumpai adanya tokoh panakawan. Hal ini dikarenakan
panakawan merupakan unsur lokal ciptaan pujangga Jawa sendiri.
Menurut sejarawan Slamet Mulyana, tokoh panakawan muncul
pertama kali dalam karya sastra berjudul Ghatotkacasraya karangan
Empu Panuluh pada zaman kerajaan Kediri. Naskah ini menceritakan
tentang bantuan Gatotkaca terhadap sepupunya, yaitu Abimanyu yang
berusaha menikahi Sundari, putri Sri Kresna.
Gambar 25. Ilustrasi panakawan dalam komik di Indonesia menggambarkan Semar bersama ketiga anaknya yang tiada henti bersenda gurau (Sumber:
http://wayang.wordpress.com/)
Dikisahkan Abimanyu memiliki tiga orang panakawan bernama
Jurudyah, Punta, dan Prasanta. Ketiganya dianggap sebagai
53
panakawan pertama dalam sejarah kesusastraan Jawa. Dalam kisah
tersebut peran ketiganya masih belum seberapa, seolah hanya sebagai
pengikut biasa.
Panakawan selanjutnya adalah Semar, yang muncul dalam
karya sastra berjudul Sudamala dari zaman Kerajaan Majapahit.
Dalam naskah ini, Semar lebih banyak berperan aktif daripada ketiga
panakawan di atas. Pada zaman selanjutnya, untuk menjaga
keterkaitan antara kedua golongan panakawan tersebut, para dalang
dalam pementasan wayang seringkali menyebut Jurudyah
Puntaprasanta sebagai salah satu nama sebutan lain untuk Semar.
2. Tokoh Semar dalam Pewayangan
Sebagaimana disebutkan di atas
bahwa nama Semar pertama kali
ditemukan dalam sebuah karya sastra
berjudul Sudamala yang ditulis pada
masa kerajaan Majapahit. Selain
dalam bentuk kakawin, kisah
Sudamala juga dipahat sebagai relief
dalam Candi Sukuh yang berangka
tahun 1439. Nama Semar kemudian
dikukuhkan sebagai salah satu
panakawan dalam cerita pewayangan
Jawa dan Sunda.
Semar dikisahkan sebagai abdi
atau hamba tokoh utama cerita
tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran
Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai
pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam
berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai
Gambar 26. Sosok Semar versi wayang golek gaya Priangan
(Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)
54
salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar
Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam ingatan
masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya,
yakni Sunan Kalijaga, mempertahankan keberadaan tokoh Semar ini.
Bahkan, peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin
meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka
mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan
penjelmaan Batara Ismaya, kakak kandung dari Batara Guru, raja para
dewa.
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar,
yakni versi Serat Kanda, versi Paramayoga, versi Purwakanda, dan
versi Purwacarita. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai
penjelmaan dewa.
Dalam tradisi pewayangan Jawa dan Sunda, nama Semar
dilengkapi dengan Badranaya sehingga menjadi Semar Badranaya.
Kata Badranaya ini berasal dari kata Bebadra yang berarti
”membangun sarana dari dasar” serta kata naya = nayaka = utusan
mangrasul. Jadi, kata badranaya mengandung makna ”mengemban
sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi
kesejahteraan manusia”.
Badannya pendek, tambun, berkulit hitam pekat tetapi
wajahnya putih kepalanya berkuncung sejumput rambut berwarna
putih. Tokoh ini bernama Semar. Jabatannya lurah di Desa Karang
Tumaritis termasuk wilayah Kabupaten Madukara, Pandawa. Karena
itu ia sering pula disebut Lurah Semar atau Lurah Kudapawana.
55
Abdi dalem Kerajaan Pandawa itu
hidup amat sederhana bersama istrinya,
Dewi Sutiragen (Sudiragen) seorang putri
raja serta tiga anaknya. Ada perbedaan
urutan anak-anak Semar di dalam
pewayangan Jawa dan Sunda. Dalam
pewayangan Jawa, anak sulung Semar
bernama Gareng kemudian Petruk dan yang
bungsu bernama Bagong. Sedangkan dalam
pewayangan Sunda, anak sulung bernama
Cepot alias Sastrajingga alias Bagong.
Kedua bernama Dawala dengan nama kecil
Udel, dan yang bungsu bernama Gareng
alias Nalagareng.
3. Semar dan Anak-anaknya
Baik dalam versi Jawa Tengah maupun versi Sunda, anak-anak
Semar seluruhnya ada tiga orang sebagaimana telah disebutkan di atas.
Akan tetapi, pada versi Cirebon terdapat lebih banyak anak-anak
Semar.
Urutan anak Semar pada wayang versi Jawa Tengah adalah
Gareng, Petruk, dan Bagong. Gareng dianggap anak tertua, yang
disusul oleh Petruk, dan si bungsu Bagong. Sementara itu, pewayangan
gaya Jawa Timuran menyebut pasangan Semar hanya Bagong saja,
serta anak Bagong yang bernama Besut.
Menurut versi Sunda, Cepot atau Astrajingga adalah anak
tertua, disusul oleh Dawala atau Petruk, dan anak bungsu Gareng atau
Nalagareng. Baik Cepot, Dawala, maupun Gareng tidak terlahir dari
perkawinan Semar dengan Sutiragen, melainkan hasil ciptaan Semar
sendiri. Banyak versi tentang kelahiran ketiga anak Semar ini, salah
satu di antaranya adalah sebagai berikut.
Gambar 27. Cepot atau Astrajingga versi wayang
golek Sunda (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)
56
Sanghyang Antaga, adik dari
Sanghyang Ismaya, menyatakan bahwa
ia tidak sanggup memelihara Pusaka
Jamus Layang Kalimasada. Antaga
menyerahkan pusaka itu kepada Semar.
Tetapi, Antaga kemudian meminta
teman. Togog kemudian memohon
dengan cara mujasmedi seraya meminta
dari pusaka. Muncullah seorang
makhluk yang mirip Togog, hanya agak
kurus, dan dinamai Sarawita. Togog dan
Sarawita meninggalkan Semar, menuju
ke arah barat.
Sepeninggal Togog atau Antaga
beserta anaknya, Semar menangis sendiri beserta pusaka Layang
Jamus Kalimasada. Tiba-tiba datanglah hujan yang sangat deras.
Semar berlari-lari mencari tempat berteduh, dan menemukan dangau
sehingga ia masuk ke dalam dangau tersebut. Tiba-tiba hujan berhenti
dan seketika terang benderang. Semar sangat gembira dan merasa
ditolong oleh dangau, lalu ia meminta kepada pusaka yang dipegangnta
agar dangau itu dijadikan teman.
Seketika muncullah orang yang mirip Semar namun agak kecil,
dan dinami Astra (Asta) Jingga, asta artinya lengan – jingga jenis
warna, yang berarti bibit kehidupan.
Dalam perjalanannya Semar dan Astrajingga menemukan patok,
yang diubah melalui pemujaan oleh Semar, yang menjelma menjadi
manusia jangkung berhidung panjang dan dinamai Petruk yang artinya
patok di jalan. Pada perjalanan berikutnya, Petruk memiliki nama lain
yang lebih populer, yakni Dewala atau Udel.
Gambar 28. Dawala alias Petruk, anak kedua Semar, versi wayang
golek (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/).
57
Semar bersama kedua anaknya terus
berjalan dan memasuki sebuah tempat
perlindungan sehingga semua binatang buas
tak mampu mengganggu. Tempat
perlindungan itu kemudian di”puja” dan
menjelma menjadi orang pendek, bertangan
bengkok dan berperut buncit dan dinamai
Nalagareng, artinya hati yang kering.
Bersama ketiga anaknya inilah Semar
mengabdi kepada satria-satria yang
memiliki budi luhur.
4. Togog Tejamantri
Togog adalah tokoh wayang yang
digunakan pada lakon apapun juga di pihak
raksasa. Ia sebagai pelopor petunjuk jalan
pada waktu raksasa yang diikutinya berjalan
ke negeri lain. Pengetahuan Togog dalam hal
ini, karena ia menjelajah banyak negeri
dengan menghambakan dirinya, dan
sebentar kemudian pindah pada majikan
yang lain hingga tak mempunyai kesetiaan.
Karena itu kelakuan Togog sering
diumpamakan pada seseorang yang tidak
setia pada pekerjaannya dan sering berganti
majikan.
Togog adalah penjelmaan dari
Sanghyang Antaga, saudara dari Sanghyang
Ismaya atau Semar. Selama hidupnya, Togog
hanya mengabdi kepada raja-raja yang
angkara murka, tetapi dia sendiri tidak pernah terpengaruh. Tugasnya
Gambar 29. Gareng atau Nalagareng, anak bungsu Semar, versi wayang golek
Sunda. (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)
Gambar 30. Togog, penjelmaan Sanghyang
Antaga, versi wayang golek Sunda (Sumber:
http://wayang.wordpress.com/)
58
hanya menasihati raja angkara murka tersebut bukan mengikuti
kemauannya. Akibatnya, setiap kali raja angkara murka tidak dapat
dinasihati, maka Togog dan putranya pun meninggalkannya.
Togog bermata keran (juling), hidung pesek, mulut mrongos (jongang),
tak bergigi, kepala botak, rambut hanya sedikit di tengkuk. Bergelang.
Kain slobog (nama batik), berkeris dan berwedung. Togog bersuara
besar, cara menyuarakannya dengan suara dalam leher dibesarkan.
Punakawan atau panakawan ternyata tidak hanya terdapat dalam cerita
pewayangan saja. Pada cerita-cerita lain pun kerap ditemukan tokoh-
tokoh yang bisa dianggap sebagai panakawan. Dalam cerita-cerita panji
dikenal beberapa panakawan seperti Sabdapalon dan Nayagenggong.
Dalam kisah-kisah babad di Sunda dikenal adanya tokoh Lengser.
59
KARAKTERISASI DALAM WAYANG
Pertunjukan wayang, baik wayang kulit, wayang golek, maupun
wayang orang, adalah bentuk teater total. Seluruh unsur teater terdapat
dalam proses pertunjukan wayang, termasuk karakterisasi tokoh-tokoh
yang berlaku di dalamnya.
Jika di dalam pementasan teater modern permasalahan
karakterisasi menjadi bagian dari penafsiran aktor, maka dalam
pertunjukan wayang justru tidak. Karakterisasi dalam wayang merupakan
unsur pokok yang sudah ditetapkan aturannya. Pengembangan karakter
dasar tokoh Gatotkaca oleh semua dalang pasti sama dan tidak boleh
berubah. Demikian pula halnya dengan pengembangan karakter para
panakawan. Guyonan dan humor hanya boleh dilontarkan melalui tokoh-
tokoh panakawan serta para raksasa. Sedangkan para satria tidak
diperbolehkan melahirkan guyonan. Sosok satria menurut pakem
pewayangan merupakan suatu keharusan yang tidak boleh diubah dan
dipermainkan semau dalang.
Selain melalui pemahaman dan pengembangan karakter melalui
ucapan dan gerak dalang, pada wayang golek karakter wayang dapat
dilihat dari bentuk fisik serta warna wajah golek yang bersangkutan.
Wajah-wajah wayang golek ada yang putih, ada yang berwajah krem, biru,
merah, hijau, dan lain-lain. Setiap warna tersebut melambangkan karakter
dasar dari sosok wayang tersebut.
Warna merah mewakili sifat-sifat keberingasan, sifat toma (angkara
murka), ketidaksabaran, rasa wera (amarah). Warna hitam dan biru
mewakili sifat-sifat ketentraman, kebangkitan rohani, kedewasaan. Warna
putih mewakili sifat-sifat kemurnian, budi luhur dan tatakrama,
sedangkan warna mas atau kuning (krem) mewakili karakter para narapati
dan kaum ningrat.
60
Di samping itu, karakter dasar masing-masing tokoh dalam
pewayangan telah ditetapkan dan seorang dalang harus menguasainya
dengan lengkap.
1. Tokoh-tokoh pada Babad Lokapala
Pada babad Lokapala terdapat beberapa tokoh penting yang
perwatakannya harus diperhatikan.
- Resi Wisrawa adalah putra Resi
Supadma dari pertapaan Giri Jembatan,
masih keturunan Bathara Sambodana,
putra Bathara Sambu. Resi Wisrawa
sangat sakti dan termashur dalam ilmu
Kasidan. Ia kemudian dinikahkan
dengan saudara sepupunya. Dewi
Lokawati, putri Prabu Lokawana raja
negara Lokapala dengan permaisuri
Dewi Lokati. Dari perkawinan tersebut ia
memperoleh seorang putra bernama
Wisrawana yang kemudian menjadi raja
Lokapala bergelar Prabu Danapati atau
Danaraja.
- Sukesi adalah putri sulung Prabu Sumali, raja negara Alengka
dengan permaisuri Dewi Desidara. Ia mempunyai adik kandung
bernama Prahasta. Walau ayahnya berwujud raksasa Dewi Sukesi
berwajah cantik seperti ibunya, seorang hapsari/bidadari. Ia
mempunyai perwatakan, sangat bersahaja, jujur, setia dan kuat
dalam pendirian. Setelah dewasa Dewi Sukesi menjadi lamaran
para satria dan raja. Untuk menentukan pilihan, Dewi Sukesi
menggelar sayembara : barang siapa yang bisa menjabarkan ilmu
“Sastra Harjendra Yuningrat” dialah yang berhak menjadi
suaminya. Selain itu, pamannya, Ditya Jambumangli putra Ditya
Gambar 31. Begawan Wisrawa (Sumber:
http://wayang.wordpress.com)
61
Maliawan, yang secara diam-diam mencintai Dewi Sukesi ikut
mengajukan satu persyaratan; bahwa hanya mereka yang dapat
mengalahkan dirinya yang berhak mengawini Dewi Sukesi.
Sayembara akhirnya dimenangkan oleh Resi Wisrawa, brahmana
dari pertapaan Girijembatan, yang meminang Dewi Sukesi atas
nama putranya, Prabu
Wisrawana/Danaraja, raja negara
Lokapala. Selain dapat menjabarkan
ilmu “Sastra Harjendra Yuningrat”,
Resi Wisrawa juga berhasil membunuh
Ditya Jambumangli. Dewi Sukesi yang
menolak dinikahkan dengan Prabu
Danaraja, akhirnya menikah dengan
Resi Wisrawa. Dari perkawinan
tersebut, ia memperoleh empat orang
putra, masing-masing bernama
Rahwana, Arya Kumbakarna, Dewi
Sarpakenaka dan Arya Wibisana.
- Prabu Sumali adalah putra Prabu
Suksara, raja raksasa negara Alengka dengan permaisuri Dewi
Subakti. Ia mempunyai adik kandung bernama Ditya Maliawan.
Prabu Sumali menjadi raja negara Alengka menggantikan
kedudukan ayahnya, Prabu Suksara yang mengundurkan diri hidup
sabagai brahmana. Prabu Sumali adalah raja Aditya yang berwatak
brahmana. Ia memerintah negara dengan arif dan bijaksana, adil
dan jujur. Prabu Sumali menikah dengan Dewi Desidara, seorang
hapsari keturunan Bathara Brahma dari permaisuri Dewi Sarasyati.
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra masing-
masing bernama Dewi Sukesi dan Prahasta.
- Arjunasasrabahu adalah seorang raja yang gagah perkasa, tinggi
kesaktiannya, serta merupakan salah satu titisan Wisnu. Karakter
Gambar 32. Dewi Sukesi yang bersikukuh ingin menguasai ilmu Sastra Jendra (Sumber:
http://wayang.wordpress.com/)
62
dasar Arjunasasrabahu adalah karakter satria gagah tetapi santun.
Kartawirya atau Sahasrarjuna adalah nama seorang tokoh
dalam mitologi Hindu yang dikenal sebagai raja Kerajaan Hehaya
yang beribu kota di Mahismati. Konon, ia dilukiskan memiliki
seribu lengan sehingga dikenal pula dengan sebutan Arjuna
Sahasrabahu, atau "Arjuna yang Berlengan Seribu". Kartawirya
Arjuna merupakan pemuja setia Dewa Dattatreya. Ia pernah
mengalahkan Rahwana, musuh besar Sri Rama dalam kisah
Ramayana. Ia sendiri akhirnya mati di tangan awatara Wisnu yang
bernama Parasurama. Akan tetapi, dalam pewayangan Jawa yang
disebut sebagai awatara Wisnu justru Kartawirya Arjuna sendiri.
Dalam versi ini, Kartawirya Arjuna lebih sering disebut dengan
nama Arjuna Sasrabahu, yang dikenal sebagai raja Kerajaan
Mahespati.
Gambar 33. Dua versi sosok Arjuna Sasrabahu yang digambarkan sebagai avatar Wisnu (Sumber: http://archive.kaskus.co.id/thread/11302687/40)
- Bambang Sumantri atau Patih Suwanda, adalah seorang satria
perkasa yang memiliki sifat agak angkuh. Dia hanya tunduk kepada
Arjunasasrabahu. Karakternya kuat, bicaranya ringan, tetapi tetap
santun. Bambang Sumantri adalah keponakan Rama Bergawa. Dia
63
mempunyai adik bernama Sukrasana yang buruk rupa. Dia pernah
dihukum oleh Arjuna Sasrabahu karena ingin menikahi calon istri
Arjuna Sasrabahu, yaitu diperintah untuk memindahkan Taman
Sriwedari ke alun-alun kota. Berkat bantuan adiknya taman itu bisa
dipindahkan. Namun karena malu punyak adik buruk rupa
akhirnya secara tidak sengaja Sukrasana terbunuh oleh kakaknya
sendiri. Sumantri mati oleh Sukrasana yang menjelma menjadi
buaya ketika Sumantri berkelahi dengan Rahwana.
- Sukasrana, adalah adik dari Sumantri. Tubuhnya berwujud
raksasa kerdil dan sangat mencintai kakaknya. Sukasrana adalah
tipe tokoh yang jujur, rendah hati, sangat setia, dan sakti
mandraguna. Ia putra Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar
dengan permaisuri Dewi Darini, seorang hapsari keturunan Bathara
Sambujana, putra Sanghyang Sambo. Ia mempunyai seorang kakak
bernama Bambang Sumantri, yang berwajah sangat tampan.
2. Tokoh-tokoh pada Periode Ramayana
Pada periode Ramayana terdapat beberapa
tokoh penting yang harus diperhatikan
perwatakannya.
- Sri Rama adalah pewaris tahta kerajaan
Kosala. Ia merupakan titisan Wisnu.
Karakter dasarnya adalah lemah lembut,
santun, dan penuh wibawa. Sri Rama atau
Ramacandra adalah salah satu tokoh
utama dalam wiracarita Ramayana. Ia
adalah putera dari Prabu Dasarata (raja
Ayodhya) dengan Kosalya. Rama
dipandang sebagai Maryada
Purushottama, yang berarti manusia sempurna. Ia juga diyakini
sebagai awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun pada zaman
Gambar 34. Sri Rama versi wayang golek (Sumber:
http://saungreyodastrajingga.blogspot.com/)
64
Tretayuga. Rama beristrikan Dewi Sita atau Dewi Sinta, yang
merupakan inkarnasi dari Dewi Laksmi. Dari pernikahan itu,
mereka dikaruniai dua anak kembar yaitu Kusa dan Lawa.
- Laksmana atau Laksmanawidagda adalah putra Prabu Dasarata,
raja negara Ayodya dengan permaisuri kedua Dewi Sumitra, putri
Prabu Ruryana raja negara Maespati. Ia mempunyai empat orang
saudara seayah lain ibu masing-masing bernama Ramawijaya/
Ramadewa, dari permaisuri Dewi Kusalya, dan Barata, Satrugna
serta Dewi Kawakwa ketiganya putra Prabu Dasarata dengan
permaisuri Dewi Kekayi. Laksmana bertempat tinggal di kesatrian
Girituba. Ia seorang satria brahmacari (tidak kawin). Mempunyai
watak halus, setia dan tak kenal takut. Sejak kecil Laksmana sangat
rapat dan sangat sayang kepada Ramawijaya. Laksmana diyakini
sebagai titisan Bathara Suman, pasangan Bathara Wisnu.
- Dewi Sinta adalah putri Prabu Janaka, raja negara Mantili atau
Mitila (Mahabharata). Dewi Sinta diyakini sebagai titisan Bathari
Sri Widowati, istri Bathara Wisnu. Selain sangat cantik, Dewi Sinta
merupakan putri yang sangat setia, jatmika (selalu dengan sopan
santun) dan suci trilaksita (ucapan, pikiran dan hati)nya. Dewi
Sinta menikah dengan Ramawijaya, putra Prabu Dasarata dengan
Dewi Kusalya dari negara Ayodya, setelah Rama memenangkan
sayembara mengangkat busur Dewa Siwa di negara Mantili. Dari
perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra masing-
masing bernama Lawa dan Kusya.
- Hanoman atau disebut juga Anoman Perbancana Suta, atau
Hanoman, kera berbulu putih putra Batara Guru dari dewi Anjani.
Ia pernah menjabat sebagai senapati kerajaan Mahespati, mengabdi
kepada Batara Rama dalam kisah Ramayana.Ia juga memiliki umur
yang sangat panjang, karena mempunyai tugas menyimpan sukma
Rahwana di dalam cupunya. Itu menurut Pustaka Rajah Purwa
65
Ramayana, yang berbeda dengan versi Ramayana dari India.
Anoman memiliki beberapa ajian. Aji Pancasona, kekuatan
menerima bacokan musuh. Bayu Bajra, pukulan dengan tenaga
ratusan kali sehingga bisa menjepit gunung sonara-sonara untuk
menjepit tubuh dasamuka. Pancanaka, kuku ibu jarinya yang bisa
digunakan sebagai senjata pembunuh yang hebat. Bayu Rota,
kekuatan atau kecepatan secepat angin. Sirna Bobot, aji untuk
meringankan tubuh saat terbang atau pun loncat.
Gambar 35 Penggambaran sosok Hanoman dalam dua versi wayang golek (Sumber: http://batararama.multiply.com/)
- Gunawan Wibisana adalah adik bungsu Rahwana. Wibisana
sangat berbudi luhur dan membela keadilan dan kebenaran. Oleh
sebab itu, dia meninggalkan kakaknya Rahwana untuk memihak Sri
Rama karena melihat bahwa kakaknya salah dan keblinger,
bertindak tidak adil dan mau menang sendiri.
- Sugriwa dikenal pula dengan nama Guwarsa (pedalangan). Ia
merupakan putra bungsu Resi Gotama dari pertapaan
Erraya/Grastina dengan Dewi Indradi/Windardi, bidadari
66
keturunan Bathara Asmara. Sugriwa mempunyai dua orang saudra
kandung masing-masing bernama Dewi Anjani dan Subali.
- Rahwana adalah tokoh utama
yang bertentangan terhadap
Rama dalam Sastra Hindu,
Ramayana. Dalam kisah, ia
merupakan Raja Alengka,
sekaligus Rakshasa atau iblis,
ribuan tahun yang lalu. Rawana
dilukiskan dalam kesenian
dengan sepuluh kepala,
menunjukkan bahwa ia memiliki
pengetahuan dalam Weda dan
sastra. Karena punya sepuluh
kepala ia diberi nama
Dasamukha (bermuka sepuluh),
Dasagriva (berleher sepuluh)
dan Dasakanta (berkerongkongan sepuluh). Ia juga memiliki dua
puluh tangan, menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak
terbatas. Ia juga dikatakan sebagai ksatria besar.
- Kumbakarna adalah putra kedua Resi Wisrawa dengan Dewi
Sukesi, putri Prabu Sumali, raja negara Alengka. Ia mempunyai tiga
orang saudara kandung bernama; Dasamuka/Rahwana, Dewi
Sarpakenaka dan Arya Wibisana. Kumbakarna juga mempunyai
saudara lain ibu bernama Wisrawana/Prabu Danaraja raja negara
Lokapala, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati. Kumbakarna
mempunyai tempat kedudukan di kesatrian/negara Leburgangsa.
Ia berwatak jujur, berani karena benar dan bersifat satria. Pada
waktu mudanya ia pergi bertapa dengan maksud agar dapat
anugerah Dewa berupa kejujuran dan kesaktian. Kumbakarna
pernah ikut serta Prabu Dasamuka menyerang Suralaya, dan
Gambar 36. Rahwana atau Prabu Dasamuka (Sumber:
http://batararama.multiply.com/)
67
memperoleh Dewi Aswani sebagai istrinya. Dari perkawinan
tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama; Kumba-kumba
dan Aswanikumba.
- Sarpakanaka adalah putri ketiga Resi Wisrawa dengan Dewi
Sukesi, putri Prabu Sumali, raja negara Alengka. Ia mempunyai tiga
orang saudara kandung masing-masing bernama; Dasamuka/
Rahwana, Arya Kumbakarna dan Arya Wibisana. Sarpakenaka juga
mempunyai saudara seayah lain ibu bernama Prabu Danaraja/
Danapati, raja negara Lokapala, putra Resi Wisrawa dengan Dewi
Lokawati. Tabiat Sarpakenaka adalah manja dan keji.
- Indrajit alias Megananda adalah salah satu putera Rahwana dan
menjadi putera mahkota Kerajaan Alengka. Indrajit merupakan
ksatria yang sakti mandraguna, dalam perang antara pihak Rama
dan Rahwana, Indrajit sering merepotkan bala tentara Rama
dengan kesaktiannya. Ia punya senjata sakti yang bernama
Nagapasa, apabila senjata tersebut dilepaskan, maka akan keluar
ribuan naga meyerang ke barisan musuh.
3. Tokoh-tokoh pada Periode Mahabharata
Pada periode Mahabharata terdapat banyak sekali tokoh yang
berperan. Akan tetapi, tokoh-tokoh penting yang harus diperhatikan
perwatakannya adalah sebagai berikut.
a. Para Pandawa yang terdiri atas
- Yudhistira (disebut juga Dharmakusuma atau Samiaji)
adalah raja yang sangat bijaksana, sangat jujur dan tidak pernah
berbohong, setia terhadap saudaranya, serta luhur budi
pekertinya. Sifat-sifat ini digambarkan dalam perilaku yang
halus, lemah lembut tetapi tegas, serta penuh wibawa.
68
Gambar 37. Prabu Yudhistira, putra tertua Pandawa (Sumber: http://datasunda.org/)
- Bima atau Bratasena atau Werkudara adalah anak kedua
dari lima Pandawa bersaudara. Ia adalah titisan (inkarnasi,
turunan) Batara Bayu. Bima diwujudkan dengan tubuh yang
besar kokoh (dalam wayang kulit di Jawa, perbedaan ukurannya
sangat besar, ketimbang di Bali). Dalam wayang wong (wayang
orang), tentu, pebedaannya tidak bisa jauh sekali, walau untuk
peran Bima juga dipilih penari yang paling tinggi-besar. Dalam
semua gaya (gagrag) wayang, yang khas dari Bima adalah
memiliki Kuku Pancanaka, Gelang Candrakirana, dan Dodot
Bintuluaji (Bangbintuluaji), dengan pola kotak-kotak seperti
papan catur, dengan 4 warna: putih, kuning, merah, hitam.
69
Gambar 38. Penggambaran sosok Bima dalam beberapa versi wayang golek dan wayang kulit (Sumber: http://wayang.wordpress.com/)
- Arjuna adalah putra Pandu yang ketiga dari ibu Dewi Kunti.
Disebut juga panengah Pandawa. Tinggal di Madukara, bagian
dari kerajaan Amarta. Berparas
tampan, banyak disukai wanita.
Memiliki senjata pusaka keris
Pancaroba, Ali-ali Ampal dan panah
Pasopati. Arjuna sangat taat kepada
gurunya, yaitu Resi Drona dari kerajaan
Astina. Dalam cerita pewayangan,
Arjuna memiliki kedekatan khusus
dengan Sri Kresna, sehingga mereka
diibaratkan sebagai dwitunggal.
Memiliki putra salah satunya adalah
Abimanyu.
- Nakula adalah putra Pandu yang
keempat. Disebut juga Pandawa yang
keempat. Memiliki saudara kembar yaitu Sadewa. Nakula
dikenal sebagai seorang ahli pertanian. Karakternya lebih
dewasa dan lebih teliti daripada Arjuna, kakaknya.
- Sadewa adalah saudara kembar Nakula, putra kelima Pandu,
atau Pandawa kelima. Sadewa terkenal sebagai ahli peternakan.
Gambar 39. Arjuna, panengah Pandawa (Sumber:
http://2.bp.blogspot.com/)
70
Gambar 40. Nakula dan Sadewa, dua Pandawa kembar, yang dilahirkan melalui Dewi Madrim. (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/).
b. Tokoh-tokoh yang mendukung Pandawa seperti:
- Sri Kresna adalah anak Dewaki dan Wasudewa, termasuk suku
Yadawa, keturunan Yadu. Ia lahir dari kehamilan yang ke
delapan, jelmaan dewa Wisnu. Semasih kecil hingga remaja
bernama Narayana. Raden Narayana setelah menjadi raja
bernama Prabu Harimurti Padmanaba, karena ia titisan
Begawan Padmanaba. Disebut juga Prabu Dwarawati, karena
menjadi raja di negeri Dwarawati, dan disebut juga Prabu
Kresna, karena berkulit hitam dan lain-lain. la dapat bertahta di
Dwarawati karena mengalahkan seorang raja raksasa bernama
Prabu Kunjana Kresna di negeri tersebut, dan nama Kresna itu
dipakainya juga sebagai namanya sendiri, yakni Prabu Kresna.
Prabu Kresna sebagai pengasuh Pandawa atau disebut dalang,
ialah seorang yang pandai menjalankan siasat politik negara,
peperangan dan lain-lain. Prabu Kresna mempunyai senjata
cakra, senjata yang hanya dikuasai oleh titisan Wisnu, dan
mempunyai azimat kembang Wijayakusuma, untuk
menghidupkan orang mati, yang belum sampai pada takdirnya.
71
Dalam perang Baratayudha Sri Kresna yang memegang daya
upaya kemenangan Pandawa. Usia Prabu Kresna lanjut, hingga
sehabis perang Baratayudha.
Gambar 41. Penggambaran sosok Kresna versi wayang golek dan wayang kulit (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/ dan http://wayang.wordpress.com/)
- Gatotkaca adalah putera Wrekudara atau Bima yang kedua.
Ibunya seorang putri raksasa bernama Dewi Arimbi di
Pringgandani. Waktu dilahirkan Gatotkaca berupa raksasa,
karena sangat saktinya tidak ada senjata yang dapat memotong
tali pusatnya. Kemudian tali pusat itu dapat juga dipotong
dengan senjata Karna yang bernama Kunta, tetapi sarung
senjata itu masuk ke dalam perut Gatotkaca, dan menambah
lagi kesaktiannya. Dengan kehendak dewa-dewa, bayi Gatotkaca
itu dimasak seperti bubur dan diisi dengan segala kesaktian.
Karena itu, Gatotkaca berurat kawat, bertulang besi, berdarah
gala-gala, dapat terbang di awan dan duduk di atas awan yang
melintang. Kecepatan Gatotkaca pada waktu terbang di awan
bagai kilat dan liar bagai halilintar. Kesaktiannya dalam perang,
dapat mencabut leher musuhnya dengan digunakan pada saat
72
yang penting. Gatotkaca diangkat jadi raja di Pringgadani dan ia
disebut kesatria di Pringgadani, karena pemerintahan negara
dikuasai oleh keturunan dari pihak perempuan. Dalam perang
Baratayudha Gatotkaca tewas oleh senjata Kunta yang ditujukan
kepada Gatotkaca. Ketika Gatotkaca bersembunyi dalam awan.
Gatotkaca jatuh dari angkasa dan mengenai kereta kendaraan
Karna hingga hancur lebur. Gatotkaca beristerikan saudara
misan, bernama Dewi Pregiwa, puteri Raden Arjuna.
Gambar 42. Gatotkaca, putra Bima, yang tewas di tangan Karna dalam Bharatayudha. (Sumber: http://batararama.multiply.com/)
- Antareja adalah putera Raden Wrekudara atau Bima yang
tertua dengan Dewi Nagagini, puteri Hyang Antaboga, Dewa
ular di Saptapratala. Antasena juga bernama Antareja, terhitung
sebangsa dewa. Ia dapat hidup dalam bumi dan dapat terbang di
awan. Tetapi ia tetap tinggal di dalam bumi, hanya keluar ke
dunia jika perlu. Kesaktian Antasena mengalahkan kesaktian
Wrekudara ayahnya. Kesaktiannya yang luar biasa, ialah
menyembur bagai ular dan berbisa sekali. Jika dijilatnya bekas
telapak kaki seseorang, matilah orang yang punya jejak itu. Oleh
terang tilik Sri Kresna, Antasena ditipu supaya menjilat jejak
73
kakinya sendiri, Antasena tewas karenanya. Kehendak Sri
Kresna itu karena nanti pada perang Baratayudha Antasena tak
akan mendapat lawan.
Gambar 43. Antareja, putra sulung Bima dari Dewi Nagagini. Badan Antareja digambarkan bersisik. (Sumber: http://www.pitoyo.com/ dan
http://wayang.wordpress.com/)
- Abimanyu. Raden Angkawijaya semasa mudanya bernama
Bambang Abimanyu, putera Raden Arjuna dengan Dewi Wara
Sumbadra. Isteri Abimanyu yang pertama adalah Dewi Siti
Sundari, puteri Prabu Kresna, namun tidak berputra. Isteri
kedua Dewi Utari, puteri Prabu Matswapati, berputera Prabu
Parikesit, ialah penghabisan turunan Pandawa dalam zaman
Purwa. Perkawinan Angkawijaya dengan Dewi Utari ini adalah
tidak sepadan, karena Dewi Utari itu seumur dengan bapak
kakek (nenek moyang atau Jawa:. embah buyut) Angkawijaya,
tetapi oleh kuasa Dewa, Dewi Utari tidak berubah sifatnya, tetap
muda. Raden Angkawijaya sebagai kesatria agung, bersemayam
di negeri Plangkawati, asalnya negeri itu negeri seorang raksasa
yang dikalahkan oleh Angkawijaya.
74
c. Para Kurawa yang diwakili oleh tokoh-tokoh:
- Duryudana atau disebut juga Suyudana adalah putera Prabu
Destarastra di Hastinapura, ia seorang Kurawa yang tertua.
Korawa atau Kurawa berarti suku bangsa Kuru. Setelah dewasa
Duryudana bertahta di Hastinapura bergelar Prabu Duryudana.
Kurawa meskipun bersaudara misan dengan Pandawa namun
senantiasa bermusuhan, hingga terjadi
perang saudara, yang disebut
Baratayudha. Negeri Hastinapurapura
terhitung kerajaan besar, binatara,
maka waktu perang Baratayudha
dapat bantuan dari kerajaan lain.
Sebenarnya Prabu Duryudana seorang
yang sakti, tetapi tak pernah kelihatan
kesaktiannya. Duryudana memiliki
sifat-sifat angkara murka dan mudah
terhasut oleh pamannya, yaitu Patih
Sangkuni, untuk memusnahkan
Pandawa.
- Dursasana adalah putera Prabu
Destarastra yang ke dua di Hastinapura, seorang Kurawa
kesatria yang tinggal di kesatrian Banjarjungut, karena itu ia
disebut juga kesatria Banjarjungut. Dursasana sangat disayangi
oleh rama ibu dan saudara tuanya, Sri Duryudana. Apa yang
diperbuatnya tidak dilarang dan selalu dibiarkan saja. la suka
dipuji dan bertabiat sesuka-sukanya. Tidak ada seorang pun
yang kuasa melarangnya. Perkataan Dursasana kasar diikuti
dengan tertawa dan ia tak pernah tenang. Pada waktu berjalan
melenggang-lenggang panyang, pun waktu duduk ia berbuat
begitu juga, suatu adat yang ganjil sekali.
Gambar 44. Duryudana, tertua dari Kurawa, Raja Hastina yang
berupaya melenyapkan Pandawa (Sumber:
http://wayang.wordpress.com/)
75
Gambar 45. Para Kurawa yang berjumlah 100 orang, merupakan putra-putra dari Drestarata dari Dewi Gendari. Seluruh Kurawa diasuh oleh Sangkuni dengan cara-cara
yang salah. (Sumber: http://wayang.wordpress.com/)
- Citraksa putra Prabu Destarastra di Hastinapura, seorang
Kurawa, saudara Sri Duryudana. Citraksa berbicara gagap,
beradat congkak. la seorang Kurawa yang. terpilih. Dalam
perang Baratayudha Citraksa tewas oleh Arjuna pada waktu
Arjuna mengamuk dalam perang itu,
sesudah Angkawijaya meninggal.
d. Tokoh-tokoh yang mendukung Kurawa
- Sangkuni atau Sakuning merupakan
paman dari Kurawa dan adik dari Gandari.
Sengkuni ini bersifat licik dan suka
menghasut. Kurawa mendapat pengaruh
buruk karena dimanja oleh Sengkuni.
- Resi Drona atau Dahyang Durna
semasa mudanya bernama Bambang
Kumbayana, beroman cakap dan sakti, asal
dari Atasangin. Sebenarnya ia seorang
pendeta bijaksana, guru Pandawa dan
Kurawa. Wrekudaralah seorang anak
muridnya yang sejati. Adapun pada mulanya memang
Gambar 46. Patih Sangkuni, pengasuh Kurawa yang licik.
(Sumber: http://batararama.multiply.com
/).
76
Wrekudara diperdayanya, diperintahkan terjun ke dalam laut
supaya mati. Tapi segala petunjuk Durna yang demikian itu
malahan menjadikan kesempumaan ilmunya atas petunjuk
Dewa Ruci, dewanya Wrekudara yang sebenarnya. Dalam
perang Baratayudha, Durna tewas oleh Raden Drustajumena
kena tusukan keris yang telah kemasukan jiwa Prabu Palgunadi,
yang membalas dendam pada Durna.
Gambar 47. Resi Durna, guru para Pandawa dan Kurawa, seorang resi sakti mandraguna (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)
- Aswatama adalah putra Resi Drona (guru Pandawa dan
Kurawa) dari Dewi Wilotama. Putra satu-satunya, menjadikan
Aswatama sangat disayang oleh ayahnya.
- Karna adalah putera Dewi Kunti dengan Betara Surya, tetapi
melalui kejadian yang gaib, sebab pada waktu Dewi Kunti masih
gadis. Ia mempunyai ilmu dari seorang pendeta Begawan
Druwasa. Ilmu itu tak boleh dirapal ketika ia sedang kena sinar
77
matahari. Tetapi Dewi Kunti lengah, ia melangar pantangan itu,
maka hamillah puteri itu. Oleh pertolongan dan kesaktian
Begawan Druwasa, bayi dalam kandungan itu dapat dikeluarkan
dari telinga (telinga bahasa Kawinya: Karna), dan setelah anak
itu dewasa bernama Karna juga. Konon waktu dilahirkan di
kedua telinganya terselip sepasang anting-anting.
Gambar 48. Karna, semula bernama Aradea, putra Dewi Kunti dari Batara Surya yang dibuang kemudian dipungut oleh kusir Adirata. Karna diangkat menjadi Adipati Awangga oleh Duryudana. (Sumber: http://wayang-golek-
antik.blogspot.com/ dan http://www.tembi.com.)
Oleh banyak orang kemudian ia dianggap sebagai anak tak
berbapa, karena itu ia dibuang oleh neneknya di tepi samudra.
Bayi itu kemudian ditemukan oleh seorang kusir Astina
bernama Adirata. Bayi itu kemudian diberi nama Aradea.
Karena Karna juga anak angkat Betara Surya maka ia bernama
juga Suryaputra. Walaupun Karna saudara tertua Pandawa,
tetapi ia tak berpihak pada saudara-saudaranya itu, malah ia
memihak kepada kerajaan Hastinapura, yang rajanya terhitung
saudara misannya. Karna berbuat demikian karena dia merasa
disia-siakan oleh orang tuanya pada waktu masih bayi. Hingga
Baratayudha Karna tetap memandang Pandawa sebagai musuh
yang mutlak. Dalam Baratayudha Karna berperang tanding
78
dengan Arjuna hingga tewas, menepati kesetiaannya pada
kerajaan Hastinapura.
e. Tokoh lain di luar Pandawa dan Kurawa
- Raden Kakrasana waktu jadi raja di Madura bergelar Prabu
Baladewa. Ia naik tahta setelah menjadi menantu Prabu Salya,
raja di Madraka. Ketika itulah ia mendapat gelar Prabu
Baladewa, karena pada waktu kawin dihadiri oleh para dewa. Ia
mendapat hadiah dari Betara Guru berupa senjata Algora dan
diberi nama oleh dewa Kusumawalikita, Balarama, Basukiyana.
Hyang Narada memberi nama Alayuda.
Gambar 49. Prabu Baladewa dalam dua versi wayang kulit dan wayang golek Sunda (Sumber: http://punakawan-suroboyo.blogspot.com/ dan
http://blvckshadow.blogspot.com/)
Setelah menjadi raja ia memihak pada Kurawa dan memusuhi
Pandawa, saudara misannya sendiri. Karena kesaktian Prabu
Baladewa itu dipandang oleh Sri Kresna tidak akan tertandingi,
maka menjelang perang Baratayudha, ia ditipu oleh Sri Kresna
supaya bertapa di Grojogan Sewu. Setelah Prabu Baladewa
mendapat nasehat Sri Kresna, ia menuju tempat yang ditunjuk
dan bertapa di Grojogan Sewu. Pada saat bertapa di air terjun,
terlihat darah mengalir dan mengertilah ia bahwa perang
79
Baratayudha telah terjadi. Setelah perang, Prabu Baladewa
kembali Ke Hastinapura, dan mengetahui kekalahan Kurawa
dan binasa di medan perang. Kemudian Prabu Baladewa
mengikuti Pandawa mengasuh Prabu Parikesit hingga ajalnya.
Prabu Baladewa mempunyai senjata bernama Nanggala,
kesaktiannya tak seorang pun yang mampu menahannnya
sekalipun ia dewa.
- Raden Wratsangka, putera bungsu raja di Wirata, Prabu
Matswapati, saudara Raden Seta. Wratsangka beristerikan Dewi
Sindusari, puteri Prabu Tasikraja di Tasikretna, sebagai hadiah,
karena ia dapat mengalahkan musuh seorang raja raksasa di
Bulukapitu, bernama Prabu Prawata. Dalam perang
Baratayudha, setewasnya Raden Utara, Wratsangka diangkat
menggantikan sebagai panglima perang. Kemudian ia mati juga
oleh Bisma. Kematian ketiga kesatria ini dalam sehari, sangat
mengharukan sekalian yang seisi negeri. Hingga ibu para
kesatria itu datang ke medan perang menangisi jenazah
puteranya yang berkumpul jadi satu. Rasa duka ibu ini tak
terhingga dengan memandang wajah putra-putranya. Tetapi
besar juga dalam hati, karena kematian kedua putera lantaran
berbakti kepada negeri tumpah darah yang merebut kebenaran.
Selain tokoh-tokoh di atas, pada setiap cerita masih terdapat sejumlah
tokoh dan karakter yang berpengaruh terhadap jalan cerita. Bahkan,
tokoh-tokoh dewa pun digambarkan secara nyata dalam bentuk wayang
sebagaimana tokoh-tokoh lainnya.
- Batara Guru merupakan dewa yang merajai kahyangan. Ia
merupakan perwujudan dari dewa Siwa yang mengatur wahyu,
hadiah, dan berbagai ilmu kepada para tokoh wayang lainnya.
Batara Guru mempunyai istri Dewi Uma, dan mempunyai
beberapa anak. Betara Guru digambarkan sebagai wayang
80
bertangan empat, dua tangan di antaranya memegang senjata
trisula dan bunga teratai. Hewan kendaraan Batara Guru adalah
sang lembu Nandini.
Gambar 50. Batara Guru versi wayang golek dan wayang kulit (Sumber: http://batararama.multiply.com/ dan http://blvckshadow.blogspot.com/)
- Batara Brahma juga disebut Brahma atau Batara Agni.
Penguasa api. Ayah dari Dewi Dresanala, yang kemudian
melahirkan anak bernama Wisanggeni, satu-satunya keturunan
bangsa manusia, yang berani dan mampu menggugat kekuasaan
bangsa dewa. Dewa Brahma beristri Dewi Saraswati, yang
menurunkan segala ilmu pengetahuan ke dunia.
- Batara Wisnu adalah dewa mempunyai tunggangan seekor
burung garuda bernama Brihawan. Dia adalah seorang dewa
yang suka memelihara ketentraman mayapada dari ancaman
para angkara murka, semua ini terbukti beberapa kali ia menitis
kepada para raja dan kesatria atau berwujud apa saja, guna
menumpas angkara murka. Seperti terlukis dalam ceritera
Ramayana, di sini Batara Wisnu berujud prabu Rama yang
menumpas prabu Rawana beserta bala tentaranya, dan Batara
81
Wisnu selalu menjadi musuhnya Batara Kala, ini sebagai
lambang Budi Wening dan Angkara Murka.
- Batara Indra adalah putra Batara Guru dari Dewi Uma. Batara
Indra mempunyai kekuasaan atas para dewa dan para bidadari
di sorga. Selain itu sering memberikan anugrah atau hadiah
pada siapa saja yang gemar bertapa dan membantu ketentraman
dunia serta permintaan titah yang sedang bertapa. Batara Indra
mempunyai kekuasaan memerintah para Dewa atas perintah
Hyang Guru. Batara Indra mempunyai keahlian berperang dan
banyak mempunyai panah sakti. Betara Indra merupakan dewa
yang menyebabkan kelahiran Arjuna melalui Dewi Kunti.
- Batara Surya adalah seorang dewa yang menguasai gerak
Matahari. Serta dalam lakon lahirnya Karna Betara Surya adalah
salah satu dewa yang menurunkan raden Suryaputra dengan
ibunya dewi Kunti. Menurut silsilah pewayangan di Jawa dan
Sunda, Batara Surya merupakan salah seorang putra dari
Sanghyang Ismaya atau Semar.
- Batara Narada adalah tangan kanan Batara Guru di negeri
Jonggring Saloka. Memiliki postur tubuh yang khas, bulat
gemuk, kepala selalu tengadah dan jalan berjingkat-jingkat.
Dilahirkan di sebuah alam kasat mata Sidi Udaludal. Walaupun
kehadirannya selalu merupakan wakil dari Batara Guru, tapi
tidak jarang bangsa dewa ini selalu berselisih paham dengan
dewa lainnya. Terutama kritisinya atas sikap Batara Guru yang
selalu ingin mengatur kehidupan di Macapada.
82
STRUKTUR LAKON DALAM PERTUNJUKAN WAYANG
Struktur lakon atau cerita wayang berkaitan erat dengan struktur
pertunjukan wayang secara keseluruhan. Struktur lakon wayang ini tentu
sangat terikat oleh kebutuhan pentas sehingga polanya diatur sedemikian
rupa agar dapat menyajikan peristiwa demi peristiwa secara runtut.
Penyajian epos Ramayana dan Mahabharata secara utuh bukanlah
hal yang mudah dan tidak akan menarik. Oleh karena itu, diperlukan
keterampilan khusus bagi para penyanggi cerita untuk menyusun
peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita agar menarik. Aspek menarik di
sini mengandung makna dapat diikuti dengan mudah mengingat penikmat
pertunjukan wayang bukan hanya dari kalangan pelajar saja, melainkan
juga kalangan masyarakat secara luas.
Menurut kaidah dramatik, sebuah cerita pada dasarnya terbagi atas
tiga bagian: awal cerita, tengah cerita, dan akhir cerita. Awal cerita akan
menentukan perkembangan bagian tengah cerita, dan peristiwa-peristiwa
yang berlangsung pada bagian tengah cerita akan sangat menentukan
bagian akhir cerita.
Bagian awal cerita wayang terdiri atas pemaparan tentang tempat,
waktu, tokoh, serta situasi yang sedang berlangsung. Pada bagian
pendahuluan ini muncul motif-motif yang kemudian mulai saling
berbenturan dengan kondisi dan situasi di sekelilingya atau tokoh lain.
Bagian tengah cerita merupakan pengembangan atas motif-motif
yang muncul pada bagian awal. Motif-motif tersebut kemudian saling
berbenturan dengan motif-motif lain sesuai dengan kepentingannya. Pada
bagian inilah yang dinamakan dengan konflik cerita. Konflik ini bisa saja
dapat merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak lain.
83
Ketika salah satu pihak kian terdesak dan sulit melepaskan diri dari
tekanan pihak lain, muncul solusi berupa pertolongan yang dapat
menyelesaikan masalah. Pihak yang tertekan kemudian bangkit dan
melawan pihak yang menekan.
Bagian akhir cerita digambarkan pihak yang asalnya tertekan
memperoleh kemenangan. Bagian akhir ini juga akan diisi dengan
penjelasan-penjelasan tentang peristiwa yang telah berlangsung, serta
nasihat-nasihat bagi semua penonton.
Dalam struktur cerita wayang terdapat beberapa pola cerita yang
lazim digunakan. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
Pola Bagian Deskripsi Cerita
Awal Sang pahlawan (ksatria) memperoleh panggilan gaib atau panggilan dewata.
Tengah Sang pahlawan berangkat menuju dunia lain, dunia di luar kesehariannya. Di sana ia diuji dan setelah lulus ia memperoleh anugerah dewata.
Mintaraga
Akhir Anugerah ini kemudian ia gunakan untuk menyejahterakan sesamanya.
Awal Sang Wisnu turun ke dunia dan menitis pada satu tokoh dan bertugas untuk memerangi angkara murka.
Tengah Tokoh yang dititisi Wisnu mencari identitas dirinya secara metafisikal. Kemudian ia memerangi angkara murka yang mengancam dan akan merusak ketenteraman dunia dan kesejahteraan manusia.
Wisnu Nitis
Akhir Angkara murka dapat diberantas dan keadaan dunia kembali aman sejahtera.
84
Pola Bagian Deskripsi Cerita
Awal Salah seorang putra Arjuna di pertapaan kakeknya bertanya tentang siapa sebenarnya ayah kandungnya. Sang Kakek mengatakan bahwa ayahnya adalah Arjuna.
Tengah Sang ksatria pun pergi ke Amarta mencari ayahnya. Ia kemudian diuji melalui pelaksanaan dharmanya sebagai ksatria.
Mencari Ayah
Akhir Setelah lulus, resmilah ia dakui sebagai putra Arjuna.
Selain pola-pola di atas, masih dapat kita temukan pola-pola lain
dalam drama klasik yang dapat kita pelajari dan kita kembangkan.
Misalnya saja Pola Mencari Pengetahuan, Pola Kejayaan-
Kejatuhan, Pola Mengalahkan Kejahatan, dan sebagainya.
85
STRUKTUR PEMENTASAN WAYANG
Dalam sebuah pementasan wayang, baik wayang kulit, wayang
golek, maupun wayang orang, selalu terlibat sejumlah unsur yang harus
dipenuhi. Unsur-unsur tersebut terdiri atas cerita, bahasa dan sastra
pedalangan, unsur tarian, unsur antawacana, dan aspek dramatik.
1. Unsur Cerita
Unsur cerita, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
terdahulu, bersumber dari epos Mahabharata, Ramayana, dan Babad
Lokapala. Meskipun demikian, terdapat juga sejumlah cerita yang
bersumber dari kisah-kisah lain seperti perjuangan Islam (pada wayang
menak) serta cerita-cerita panji (pada wayang golek Jawa Tengah).
2. Bahasa dan Sastra Pedalangan
Bahasa pedalangan mengacu kepada bahasa yang digunakan dalang
dalam pementasan. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa tuturan yang
sesuai dengan tingkatan atau derajat kedudukan tokoh wayang. Misalnya,
bahasa yang digunakan oleh para ksatria lungguh akan berbeda dari
bahasa yang digunakan oleh para raksasa. Bahasa komunikasi Arjuna akan
berbeda dari bahasa komunikasi yang digunakan si Cepot. Termasuk
humor dan guyonan yang dilakukan oleh para tokoh dalam wayang. Akan
janggal rasanya kalau tiba-tiba mendengar Arjuna dan Kresna bersenda
gurau sebagaimana layaknya si Cepot dan si Dawala.
Sastra pedalangan mengacu kepada bentuk-bentuk murwa,
nyandra, kekawen, renggan, dan sendon yang digunakan dalang.
Murwa adalah lirik yang dinyanyikan oleh dalang pada adegan
permulaan yang dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan suatu
adegan. Murwa ini bermacam-macam bentuknya. Di antara murwa yang
sering dilantunkan oleh dalang di tatar Pasundan dan Jawa Tengah adalah
86
Kembang Sungsang, Murwa Jejer Keraton (Patet Lasem), Murwa
Pertapaan (patet Sanga), Murwa Taman Bunga (patet Manyura Ageng),
Murwa Astina, serta Murwa adegan Sawarga. Lirik dari murwa tersebut
biasanya sudah ditetapkan dan merupakan pustaka acuan bagi para
dalang.
Contoh murwa Kembang Sungsang:
Kembang sungsang, gotaka rawis wayang Rap kidap, purwa mandra-mandra winulan Sosoroti kadya sang Diwangkara Kadya sangiang Latri kapajut gumbira lawan ancala
Setelah murwa, biasanya dilanjutkan dengan nyandra. Nyandra
adalah prosa lirik yang dipergunakan dalang untuk melukiskan keadaan
suatu adegan sebagai pengarahan bagi penonton. Di Jawa Tengah, bagian
ini sering dinamakan dengan Janturan, sedangkan di Cirebon disebut
Ngretawara atau Prasanta. Panjang atau pendeknya nyandra sangat
tergantung kepada kemampuan dalang dalam mereka bahasa dan sastra
pedalangan. Ada dalang yang lebih suka menggunakan bahasa yang
panjang, dan sebagian lainnya adal yang lebih pendek. Nyandra
merupakan penggambaran setting atau latar. Latar ini dapat berupa
tempat (negara, keraton, pertapaan, medan pertempuran), waktu, atau
keadaan. Oleh karena itu, setiap jejer atau latar memiliki nyandra
masing-masing, seperti jejer Amarta, Jejer Astina, Jejer Sawarga, dan
sebagainya.
Kakawen berasal dari kata ka-kawi-an. Artinya, ungkapan atau
lantunan lagu yang menggunakan tiruan bahasa Kawi. Istilah kakawen
hanya dikenal di Jawa Barat saja. DI Jawa Tengah digunakan istilah
suluk. Suluk atau kakawen adalah syair yang dinyanyikan oleh dalang,
berisi simbol-simbol atau pepatah, nasihat, penerangan bagi masyarakat.
Kakawen disajikan setelah gending akhir pengiring selesai dimainkan.
Kakawen atau suluk yang disajikan pad akhir gending pengiring jejer ini
dinamakan dengan sebrakan. Beberapa sebrakan yang sering
87
dinyanyikan oleh para dalang di antaranya adalah Saur Nira, Betet Ijo, Sri
Timon, dan sebagainya.
Contoh kakawen: Sri Timon
Sri timon pasewakan, busana maneka warna Kebak puspiteng udiana, miang hanjrah sarwa rukma Renggeng manik narawata, narawata Narawungkang ajuwala, ajuwala
Kakawen berikutnya adalah untuk menggambarkan adegan yang
disertai dengan menancapkan gunungan atau kayon. Suluk atau kakawen
yang digunakan di antaranya adalah Kayu Agung, Gedong Duwur, Toya
Mijil, Gunung Kelir, dan Tinungsang.
Kakawen Kayu Agung:
Kayu agung babar wite, samia rebel godonge, ya godonge Samia rogol yang pangpange, sekar mekar ing galihe Pandele si pandan arum.
Kakawen digunakan juga untuk menggambarkan jabatan seperti
pandita, keputren, denawa, sinatria, dan pandawa. Kakawen juga
digunakan untuk menggambarkan tokoh-tokoh tertentu seperti Arjuna,
Kresna, Semar, Gatotkaca, Durna, Kumbakarna, dan sebagainya.
Kakawen Semar:
Semar – semar ya gegelar Wayang agung sumalindung Semar – semar ya gegelar Semar sana danar guling.
atau
Semar semar ya winangnong Semar kuncung pakuning alam Semar-semar ya gegelar Wayang Agung sumalindung.
Sendon adalah vokalia yang disajikan dalang dan berfungsi untuk
mendukung suasana sedih yang dialami oleh tokoh pada suatu adegan.
88
Kesedihan tersebut diungkapkan melalui syair dan melodi tertentu. Ada
bentuk sendon umum (digunakan dalam berbagai situasi sedih oleh
sembarang tokoh), sendon lara tangis (digunakan untuk menggambarkan
tangisan penuh kedukaan), sendon papaten (digunakan untuk
menggambarkan kesedihan karena kematian), dan sendon penanggalan
(digunakan khusus untuk menggambarkan kerinduan Sinta terhadap Sri
Rama dalam kisah Ramayana).
Sendon Umum yang sering digunakan:
Rebang rebang cinandak layang kakerin, Wis tinancak perlambange, perlambange sinungkemi.
Renggan adalah vokalia yang digunakan untuk menggambarkan
suatu adegan atau suasana dalam suatu adegan. Misalnya renggan taman
bunga (menggambarkan keindahan taman bunga), renggan gembira
(menggambarkan kegembiraan yang diperoleh karena suatu sebab),
renggan kaget, renggan tamu datang, renggan sukma atau ruh keluar
dari jasad, dan renggan denawa.
Renggan Gembira:
Bingah amarwata suta, bingah kagiri-giri Aningal dayu kang nembe rawuh, solendra katon pawarna.
Renggan Kaget:
Kaget den nira ningali Ningali kang nembe rawuh solendra katon pawarna
Renggan sukma keluar dari jasad:
Nur cahya sekaring wawang Sukma medal saking raga Solendra katon pawarsa.
Greget Saut adalah vokalia yang menggambarkan kemarahan
seorang tokoh tertentu. Misalnya greget saut Arjuna, greget saut Kresna,
89
greget saut Bima, greget saut Karna, greget saut Gatotkaca, dan
sebagainya.
3. Unsur Tarian
Unsur tarian dalam pergelaran wayang golek dan wayang kulit
adalah keterampilan dalang dalam memainkan wayang, baik dalam
menari, berjalan, berperang, dan sebagainya. Sedangkan pada wayang
orang adalah keterampilan masing-masing pemain dalam melakukan
gerak-gerak yang diperlukan dalam proses pemeranan tokoh wayang.
Dalam pergelaran wayang golek terdapat bentuk-bentuk ibing (tarian)
bagi berbagai tokoh seperti ibing raja, ibing satria lungguh, ibing satria
dangah, ibing satria ladak, ibing putri halus, ibing putri dangah, ibing
topeng, ibing danawa, ibing panakawan, ibing semar, ibing cepot, ibing
dawala, ibing gareng, dan sebagainya. Selain itu, terdapat pula berbagai
gerak perang baik tanpa senjata maupun dengan senjata.
4. Unsur Antawacana
Antawacana adalah penampilan suara dalang yang diolah untuk
membeda-bedakan dialog atau paguneman setiap wayang berdasarkan
warna suara, nada dasar (surupan), serta logat atau aksen. Di Jawa Tengah
dikenal dengan nama Catur atau Paguneman.
Warna suara dalam istilah pedalangan dimaksudkan sebagai
perbedaan karakter suara bagi masing-masing tokoh wayang. Warna suara
ini diperoleh melalui keterampilan dalang dalam mengolah suaranya
berdasarkan teknik-teknik vokal tertentu. Ada tiga teknik pengembangan
warna suara yang digunakan sebagai karakter suara, yakni suara biasa,
suara gangsa, dan suara bengek.
- Suara biasa adalah suara dasar yang dimiliki dalang yang
disesuaikan dengan nada-nada tertentu pada gamelan. Jenis
suara ini biasanya dimiliki oleh Arjuna, Yudhistira, Abimanyu
(Amarta); Duryudana dan Lesmana Mandrakumara (Astina); Sri
90
Rama, Laksmana, Sinta (Ayodya); Pandu Dewanata, Kunti
Nalibrata, Arimbi, Rukmini, serta satria-satria yang setara.
- Suara gangsa diperoleh dengan cara pengolahan suara dada
dan suara perut yang ditekan pada tenggorokan. Jenis suara ini
digunakan untuk penyuaraan wayang-wayang yang berkarakter
kasar, gagah, berwibawa, berani atau serakah. Di antaranya
adalah Antareja, Antasena, Bima, Gatotkaca, Udawa (Amarta);
Aswatama, Baladewa, Jayadrata, Bisma, Salya, Suyudana
(Astina); Indrajit, Prahasta, Kumbakarna, Rahwana, Somali
(Alengka); Bayu, Indra, Basuki, Yamadipati, Sambu
(Swargaloka); Brajamusti, Brajawisesa, Brajalambatan
(Banyu Mudal); ponggawa-ponggawa lain seperti Anoman,
Anggada, Dursala, Gandamanah, dan sebagainya.
- Suara Bengek diperoleh melalui pengolahan suara dada atau
suara perut yang ditekan ke tenggorokan dan dikeluarkan
melalui rongga hidung. Jenis suara ini digunakan untuk
menggambarkan penyuaraan wayang-wayang yang bersifat
lantang, lincah, putri lungguh. Penampilan suara ini pun
diselaraskan dengan nada dasar yang sesuai dengan gamelan. Di
antara wayang yang menggunakan jenis suara ini adalah jenis
Satria Ladak seperti Aradea, Arayana, Bambang Somantri,
Citragada, Drestajumena, Ekalaya, Irawan, Janaka, Kresna,
Karna, Narasoma, Samba, Eisanggeni. Kemudian jenis Putri
Lincah seperti Banowati, Erawati, Surtikanti, Kakeyi, Rukmini,
Setiawati, dan lainnya. Selanjutnya Putri Lungguh seperti
Larasati, Lara ireng, Mustakaweni, Subadra, Supraba, Windardi,
dan sebagainya. Jenis suara ini juga digunakan untuk
penyuaraan tokoh-tokoh Kombayana, Bilung, Semar, Togog,
serta denawa tertentu.
91
- Selain ketiga jenis suara di atas, kadang-kadang digunakan juga
suara falseto (cop stem). Jenis suara ini digunakan untuk
wayang-wayang yang bersifat lucu.
Unsur nada dasar juga menentukan jenis suara wayang. Perbedaan
penggunaan nada dasar (surpan) akan sangat terasa jika tengah
menyuarakan dua karakter wayang yang sama. Misalnya paguneman atau
pembicaraan yang terjadi antara Bima dan Gatotkaca yang memiliki suara
gangsa. Untuk membedakannya biasanya digunakan nada dasar yang
berbeda. Misalnya Bima menggunakan nada dasar Barang rendah (B
ageng), sedangkan Gatotkaca menggunakan nada dasar Loloran atau
Kenongan ageng.
Unsur terakhir yang menentukan karakter suara tokoh wayang
adalah logat atau aksen bicara. Ada logat yang memberi kesan lemah
lembut seperti pada tokoh Arjuna dan Yudhistira; ada pula yang berlogat
enteng, lincah, hidup, gembira seperti yang diterapkan kepada Karna,
Kresna, Ekalaya, dan sejenisnya. Ada pula tokoh wayang yang berbicara
gugup seperti pada tokoh Dursasana, Rahwana, dan Burisrawa. Ada pula
yang berbicara dengan logat yang memiliki kesan keras, tegas, dan tegap
seperti yang diterapkan kepada tokoh Gatotkaca, Bima, Bisma, Indrajit,
Salya, dan sebagainya.
Hal yang sama juga diterapkan kepada wayang-wayang putri sesuai
dengan karakter masing-masing. Wayang-wayang panakawan juga
menggunakan berbagai logat sebagaimana disebutkan di atas tetapi
diselaraskan dengan karakter masing-masing.
5. Aspek Dramatik
Aspek dramatik pedalangan berkaitan dengan struktur pertunjukan
yang disajikan. Aspek dramatik yang langsung dapat dinikmati oleh
penonton adalah susunan pengadegan serta konstruksi pentas.
92
a. Susunan Pengadegan dalam Pergelaran Wayang
Susunan pengadegan tidak lain adalah pembabakan dalam cerita yang
dikaitkan dengan proses pertunjukan. Secara umum struktur
pertunjukan terdiri atas adegan-adegan berikut.
(1) Tatalu adalah bagian permulaan pementasan ketika
pertunjukan akan segera dimulai. Tatalu berarti memainkan
gamelan dalam rangka memberitahu masyarakat bahwa
pertunjukan akan segera dimulai. Pada saat ini, dalang dan
sinden naik panggung. Dalang kemudian memukul campala dan
gending kawitan atau gending jejer pun ditabuh. Setelah selesai,
dilanjutkan dengan murwa, kemudian nyandra, dan kakawen.
(2) Adegan pertama atau Jejer yang merupakan penjelasan dalang
tentang latar sesuai dengan tempat peristiwa berlangsung.
Misalnya kerajaan Amarta, kerajaan Hastina, kerajaan Maespati,
dan sebagainya.
(3) Kadatonan, yakni adegan yang mengisahkan raja yang sedang
membicarakan permasalahannya bersama keluarganya.
(4) Paseban adalah adegan bermusyawarah bersama seluruh tokoh
dan narapati kerajaan di paseban.
(5) Jaranan mengisahkan persiapan perjalanan pasukan kerajaan
dengan menggunakan berbagai kendaraan. Biasanya adegan ini
dilakukan melalui narasi dalang.
(6) Bebegalan mengisahkan keadaan barisan pasukan yang dicegat
oleh para denawa penghuni hutan. Peperangan terjadi yang
dimenangkan oleh pasukan kerajaan.
(7) Pagedongan merupakan adegan pembatas yang ditandai
dengan menancapkan gunungan. Pada saat ini sepintas dalang
menjelaskan perpindahan adegan melalui narasi.
93
(8) Negara Sejen mengisahkan keadaan yang ada di negara lain.
Adegan ini dapat berupa adegan kerajaan, pertapaan, atau
tempat lain yang ada sangkut pautnya dengan cerita yang digelar.
Topik permasalahan yang dibicarakan pada adegan negara sejen
ini berkaitan dengan permasalahan yang dibahas pada awal
cerita, baik bertentangan ataupun sejalan.
(9) Perang Gagal mengisahkan peperangan antara pasukan
kerajaan dengan pasukan negara sejen. Peperangan diakhiri
dengan salah satu keputusan: pasukan kerajaan mengalami
kekalahan, dilakukan perundingan, melakukan kerja sama, atau
tindakan lain yang sesuai dengan kepentingan cerita.
(10) Adegan sambilan (di Jawa Tengah disebut dengan Goro-
goro) menceritakan suatu adegan (kerajaan, pertapaan, atau
tempat lain) yang ada kaitannya dengan alur cerita. Manurut
kebiasaan, adegan ini diawali dengan keluarnya para panakawan,
yaitu Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng sebagai pengawal atau
pengasuh. Dalam adegan ini biasanya dipenuhi dengan gelak
tawa penonton karena menyaksikan senda gurau para
panakawan.
Gambar 51. Adegan sambilan atau Goro-goro biasanya ditandai dengan munculnya para panakawan (Sumber: http://www.wayangprabu.com/)
94
Apabila adegan ini menggambarkan suatu pertapaan, maka satria
yang diasuh panakawan sudah tamat menuntut ilmu
kesaktiannya sehingga diperbolehkan untuk membaktikan
kemampuannya. Pada bagian ini tumbuh penjelasan tentang
pertolongan bagi pihak yang benar.
(11) Adegan penyelang merupakan adegan yang akan memberikan
pertolongan kepada pihak yang benar. Pada adegan ini terjadi
pertemuan antara pihak yang menolong dan pihak yang meminta
pertolongan. Setelah selesai perundingan, maka penolong dan
yang ditolong berangkat menuju pertempuran dengan negara
sejen.
(12) Perang Kembang mengisahkan perang-perang awal dari
pelaku utama dalam membela kebenaran. Adegan ini biasanya
merupakan peperangan antara panakawan dengan pengikut
pasukan musuh.
(13) Perang ruket merupakan perang sesungguhnya antara pelaku
utama dengan musuh. Akhir dari peperangan ini adalah
kemenangan bagi kebenaran. Pasukan musuh lari tunggang
langgang, dan musuh utamanya menyatakan takluk atau perlaya.
(14) Adegan pamungkas merupakan adegan penutup yang berisi
akhir cerita yang melukiskan kemenangan pihak yang benar dan
kekalahan pihak yang salah.
b. Konstruksi Pentas
Panggung pertunjukan wayang golek dan wayang kulit adalah
dua batang gedebog pisang yang ada di hadapan dalang, bukan ruang
dengan empat dinding sebagaimana tempat permainan bagi teater.
Kedua batang pisang ini harus dapat diolah dan dikembangkan
sedemikian rupa sehingga dapat menampilkan peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi dalam cerita.
95
Dalang menempatkan wayang-wayang yang dimainkannya
pada dua batang pohon pisang sesuai dengan kaidah yang
dipahaminya. Secara sederhana, komposisi standar penempatan
wayang adalah sebagai berikut.
Gambar 52 Konstruksi pentas pada pertunjukan wayang golek dan wayang kulit.
Keterangan:
X = gedebog bagian luar sebagai tempat bagi tokoh berkedudukan
tinggi dan dihormati.
Y = gedebog bagian dalam sebagai paseban.
Sedangkan abjad-abjad A, B, C, D, E, dan F merupakan tokoh-
tokoh yang dimainkan dengan ketentuan sebagai berikut.
Adegan A B C D E F
Amarta Yudhistira Bima Kresna Arjuna Nakula Sadewa
Sawarga Batara Guru Batara Narada
Batara Indra
Batara Bayu
Batara Sambu
Kamajaya
Alengka Rahwana Togog Prahasta Indrajit Bukbis Marica
Hastina Duruyudana Karna Pandita Durna
Banakeling Dursasana Aswatama
Bloking atau penempatan wayang di atas sesungguhnya
didasarkan atas pengalaman para dalang yang kemudian diikuti
96
sebagai ketentuan. Pada adegan-adegan lain, penempatan tokoh
disesuaikan pula dengan tingkat atau strata sosial tokoh masing-
masing.
Hal lain yang menjadi fakta menarik adalah posisi wayang pada
tangan dalang ketika melakukan perang tanding. Tokoh yang akan
menang dalam perang tanding, atau tokoh yang berada di pihak yang
benar, akan selalu berada pada sebelah kanan dalang. Sedangkan
tokoh yang akan kalah perang tanding, atau tokoh yang berada di
pihak salah akan berada di sebelah kiri dalang.
97
DAFTAR PUSTAKA
Agus Pramono 2005. Mbah Daman Darmono, Dhalang Wayang Krucil Saka Trenggalek : Aku Kepingin Pentas nang Pendapa. Majalah Jayabaya No.45 Tahun 2005. Surabaya: PT Jayabaya Prabu Gendrayana.
Akbar Kaelola. 2010. Mengenal Tokoh Wayang Mahabharata. Jakarta: Cakrawala.
Amrin Rauf. 2010. Jagad Wayang. Jogyakarta: Garailmu.
Amir Mertosedono. 1986. Sejarah Wayang, Asal-usul, Jenis dan Cirinya. Semarang. Dahara Prize.
Anom Sukatno. 1993. Serat Pedhalangan Lampahan Bimo Suci. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih.
Ardian Kresna. 2009. Arjuna Sang Pembunuh. Jogyakarta: DIVAPress.
Ardian Kresna. 2009. Pahlawan Pilihan Kresna. Jogyakarta: DIVAPress.
Atik Sopandi. 1984. Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan. Bandung: Pustaka Buana
Bastomi, Suwaji. 1993. Nilai-nilai Seni Pewayangan. Semarang: Dahara Prize.
Bondhan Harghana SW. 2003. Janturan Jangkep Wayang Purwo. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih.
Bondhan Harghana SW. 1998a. Serat Ramayana, Reroncen Balungan Pakem Cariyos Ringgit Purwo. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih.
Damardjati Soepadjar 1994. Krida Graita. Jogyakarta: Krida Martana.
Djoko Mulyono. 1993. Kalender Pawukon 200 Tahun, 1900-2100, The 200- Year Pawukon Calendar. Jakarta: TMII dan Pepadi Pusat.
Edi Sedyawati, Sapardi Djoko Damono (1983). Seni Dalam Masyarakat Indonesia, Bunga Rampai. Jakarta: PT Gramedia.
Gamal Komandoko. 2009. Bharatayudha, Banjir darah di Tegal Kurusetra. Jogyakarta: Narasi.
Ghulam – Sarwar Yousof. 1992. Panggung Semar, Aspects of Traditional Malay Theatre. Selangor Darul Ehsan. Tempo Publishing (M) Sdn Bhd.
98
Hardjowirogo. 1968. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: PN Balai Pustaka
Haryanto, S. 1992. Bayang-bayang Adiluhung. Filsafat, Simbolis dan Mistik Dalam Wayang. Semarang: Dahara Prize.
Heru S. Sudjarwo, Sumari, et.al. 2010. Rupa & Karakter Wayang Purwa. Edisi I Cetakan Pertama. Jakarta: Kaki Langit Kencana.
Majalah Jayabaya 2005. Wara Sumbadra, Garwa Sing Banget Setya. Edisi Nomor 45 Tahun 2005. Surabaya: PT Jayabaya Prabu Gendrayana.
Masud Thoyib.ed. 1996. Jagad Pedalangan dan Pewayangan. Cempala. Edisi Gatotkaca. Jakarta: Humas PEPADI Pusat
Megandaru W. Kawuryan. 2006. Tata Pemerintahan Negara Kertagama Kraton Majapahit. Jogyakarta: Panji Pustaka.
Mohammad Syuropati. 2010. Buku Cerdas 1818 Peribahasa Jawa (Bacaan Wajib Masyarakat Jawa). Jogyakarta: IN AzNa Books
Niels Mulder. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Nyoman S. Pendit. 2010. Mahabharata. Cetakan ke sepuluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nyoman S. Pendit. 2010. Ramayana. Cetakan ke sepuluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pandam Guritno 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Pekan Wayang Indonesia VI. 1993. Sarasehan Wayang Indonesia Tahun 1993. Jakarta: Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENAWANGI).
Pitoyo Amrih. 2006. Antareja Antasena. Jalan Kematian Para Ksatria. Jogyakarta: Pinus Book Publisher.
Pitoyo Amrih. 2007a. Ksatria Pembela Kurawa. Jogyakarta: Pinus Book Publishers.
Pitoyo Amrih. 2007b. Mengungkap Kisah-kisah Tersembunyi Kebaikan Kurawa. Jogyakarta: Pinus Book Publishers.
Pitoyo Amrih. 2008c. Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata. Sukohardjo, Solo: EBook Publishing.
Pitoyo Amrih. 2010. Sebuah Novel: Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna. Jogyakarta: Pinus Book Publishers.
99
Purwadi. 2007. Mengenal Gambar Tokoh Wayang Purwa dan Keterangannya. Sukoharjo-Surakarta: CV. Cendrawasih.
Purwadi, Dr., M.Hum. 2007. Seni Pedhalangan: Wayang Purwa. Jakarta: Tanpa Penerbit.
Ranggawarsita, R. Ng. 1988. Serat Jayengbaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Sabdawara. 1997. Kumpulan Balungan Lakon. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih.
Seno Sastroamijoyo. 1967. Tjeritera Dewa Rutji, dengan arti Filsafatnya. Tjetakan ke-2. Jakarta: Kinta.
Sindunata. 2007. Manusia & Kebatinan Petruk Jadi Guru. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Syamsoedjin Probohardjono 1964. Seni Pedhalangan Gaya Surakarta. Surakarta: Pawiyatan Kabudayan Kraton Surakarta.
Sri Mulyono, Ir. 1987. Tripama Watak Satria dan Sastra Jendra. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Gunung Agung.
Sri Mulyono, Ir. 1982. Apa & Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung.
Soekatno, BA 1992. Mengenal Wayang Kulit Purwa. Semarang: Aneka Ilmu.
Sudibioprono, Rio. 1994. Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compendium). Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Direktorat Pembinaan Kesenian, Ditjen Kebudayaan Departemen P&K.
Suratno Guno Wiharjo. 1994. Kempalan Balungan Lampahan Wayang Kulit Purwa. Sukohardjo-Surakarta. CV Cendrawasih.
Tuwuh Raharjo. 2002. Serat Pedhalangan (Kawruh Wayang Purwa). Sukoharjo-Surakarta: Cendrawasih.
Victoria M. Clara van Groenendael. 1987. Dalang Di balik Wayang. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Wijanarko. Tanpa Tahun. Selayang Pandang Wayang Menak. Bogor: Amigo.
100
SUMBER-SUMBER DARI INTERNET
Artikel-artikel pada http://www.wayangprabu.com/
Artikel-artikel pada http://wayang.wordpress.com/
Artikel-artikel pada http://www.pitoyo.com/
Artikel-artikel pada http://batararama.multiply.com/
Artikel-artikel pada http://id.wikipedia.org/
Artikel bebas ”Asal-usul Wayang Indonesia” (On-line) terdapat pada http://serbaserbihindu.blogspot.com/2012/05/asal-usul-wayang-indonesia.html
Artikel bebas ”Seni Pewayangan” (On-line) terdapat pada http://nazhroul.wordpress.com/2010/05/22/seni-pewayangan/
Gambar-gambar yang bersumber dari:
1. http://yanabeing.blogspot.com/2011/04/wayang-beber.html
2. http://www.jelajahunik.us/2012/02/mengenal-jenis-jenis-wayang-di.html
3. http://dabgenthong.wordpress.com/2011/01/14/wayang-kulit-tontonan-dan-tuntunan-hidup/
4. http://wayangpabu.files.wordpress.com/
5. http://www.kaskus.co.id/
6. http://antarafoto.com
7. http://julianarome.blogspot.com/
8. http://waybemetro.wordpress.com/
9. http://siswandikadamok.wordpress.com/
10. http://www.pitoyo.com/
11. http://www.datasunda.org/
12. http://wayangindonesiaraya.blogspot.com/
101
13. http://en.wikipedia.org/wiki/
14. http://tomyarjunanto.wordpress.com/
15. http://mitrabangsa-seni.blogspot.com/
16. http://batararama.multiply.com/
17. http://sonces.blogspot.com/
18. http://baltyra.com/2012/07/18/draupadi-5/
19. http://www.santaisejenak.com/cerita-rakyat/suluhan-gatotkaca-gugur/
20. http://2.bp.blogspot.com/
21. http://saungreyodastrajingga.blogspot.com/
22. http://www.tembi.com
23. http://punakawan-suroboyo.blogspot.com
24. http://blvckshadow.blogspot.com/