Upload
muhammad-sauri-edogawa
View
83
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
METODE BAYANI DALAM EPISTIMOLOGI
Oleh :
M u z a d iNIM : 24121410-2
(Mahasiswa Program Pasca Sarjana IAIN Ar Raniry Banda Aceh)
A. Pendahuluan
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori
ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang
berarti pengetahuan.1 Pengetahuan adalah semua yang diketahui.2 Epistemologi
menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan
metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan
permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari.3
Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia
menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya.
Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain.4
Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya
dalam konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Pandangan dunia
1 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 243
2 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 4-6.
3 P. Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 6-7
4 Nirwan Syafrin, “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”, Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus 2004, hal. 43.
1
manusia akan terpengaruh bahkan dibentuk oleh konsepsinya tentang
epistemologi.5 Oleh karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu
keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas. Sehingga
diharapkan epistemologi Islami akan lahir dan memberi jawab atas kegelisahan
umat dewasa ini.6 Sehubungan dengan masalah tersebut maka di sini akan dibahas
tentang epistemologi Islam yang digagas oleh Muhammad Abid al-Jabiri, seorang
cendekiawan muslim yang kini banyak dirujuk oleh cendekiawan muslim
Indonesia.
B. Epistemologi Bayani
1. Pengertian Bayani
Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri
berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan
sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya
dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan
dengan visi dari metode bayani.7
Sementara itu, secara terminology bayan mempunyai dua arti (1)
sebagai aturan penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi
wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal
peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni pada
masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara 5 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?,... hal. 261.
6 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?,... hal. 261.
7 Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hal. 60
2
langsung artinya memahiami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti
memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas
menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
2. Perkembangan Bayani
Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup
makna-makna yang mengandung persoalan ushul/pokok dan yang
berkembang hingga ke furu’ atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’i
membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak
butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan
Tuhan dalam al Qur’an sebagai ketentuan bagi makhlukNya, 2) Bayan yang
beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 3)
Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah,
4) Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al
Qur’an, 5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang
tidak terdapat dalam al Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan
tersebut, Syafi’I kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al
Qur’an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.8
Al-Jahizh (868 M) mengkritik konsep Syafi’i di atas. Menurutnya, apa
yang dilakukan Syafi’i baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum
8 A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 182
3
pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas
pemahaman yang diperoleh. Padahal, menurutnya inilah yang terpenting dari
proses bayani. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bayan adalah syarat
syarat untuk memproduksi wacana dan bukan sekedar aturan aturan
penafsiran wacana. Jahizh menetapkan lima syarat bagi bayani yaitu : 1)
kefasihan ucapan, 2) seleksi huruf dan lafat, 3) adanya keterbukaan makna, 4)
adanya kesesuaian antara kata dan makna, 5) adanya kekuatan kalimat untuk
memaksa lawan kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta
kesalahan konsepnya sendiri.
Sampai disini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sekedar
penjelas atas kata kata sulit dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi
sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks, Membuat kesimpulan
atasnya, Kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman
tersebut kepada pendengar bahkan sebagai alat untuk memenangkan
perdebatan. Akan tetapi, Apa yang ditetapkan jahiz pada masa berikutnya
dianggap kurang tetap dan sistematis. Menurut Ibnu Wahab, Bayani bukan
diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode untuk
membangun konsep ashul furu’ caranya dengan menggunakan paduan pola
yang dipakai ulama fikih dan kalam.
Paduan antara metode fikih yang eksplanatoris dan theology yang
dialektik dalam rangka membangun epistemology bayani baru ini sangat
penting, Karena menurutnya apa yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci
tetapi mencakup 4 hal yaitu : 1) Wujud materi yang mengandung aksiden dan
subtansi, 2) Rahasia hati yang member keputusan bahwa sesuatu itu benar-
4
salah dan subhat, saat terjadi proses perenungan, 3) Teks suci dan ucapan
yang mengandung banyak dimensi, 4) Teks-teks yang merupakan representasi
pemikiran dan konsep. Dari 4 macam obyek ini Ibnu Wahab menawarkan 4
macam bayani yaitu: 1) Bayan Al itibar, 2) Bayan Al itiqod, 3) Bayan Al
ibaroh, 4) Bayan Al-kitab.
Pada periode terakhir , muncul alsyatibi ( 1388 M ) menurutnya ,
sampai sejauh itu bayan belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti
(qoth’i) tapi baru derajat dugaan ( dhzon) sehingga tidak bisa di pertanggung
jawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani yaitu istinbat dan
qiyas hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Oleh karena
itu Al-Syatibi menawarkan 3 teori yaitu : 1) Al-istintaj, 2) Al-isthiqro’, 3) Al-
maqosid asyari’.
3. Metode Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh
dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah
bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip
utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas diartikan
memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang
telah ada kepastian hukumnya dalam teks, Karena adanya kesamaan illah.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: 1) Adanya al-
Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, 2)
al-far yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash,3) hukum al-ashl
5
yakni ketetapn hukum yang diberikan oleh ashl, 4) illah yakni keadaan
tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum Ashl .9
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari qurmah. Arak
dari perasan kurma disebut far (cabang ) karena tidak ada ketentuan
hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khomr. Khamr adalah
ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks (nash) Dan hukumnya haram,
alasanya (illah) Karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena
ada persamaan antara arak dan khamr , yakni sama sama memabukkan.
Menurut jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan
dalam epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1) qiyas jali , dimana
far mempunyai persaolan hokum yang kuat di banding ashl , 2) qiyas fi makna an
nash dimana ashl dan far mempunyai derajat hokum yang sama, qiyas al-kahfi
dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan
mujtahid. Menurut Abd al jabar, seorang pemikir teologi muktazilah, metode
qiyas bayani diatas tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga
bisa dikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan non fisik
( ghoib).10
C. SELAYANG PANDANG SEPUTAR ”BAYANI”
9 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1992), hal. 146-147; Bandingkan dengan A. Khudori Sholeh, Wacana Baru…, hlm. 188-189.
10 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1992), hal. 146-147; Bandingkan dengan A. Khudori Sholeh, Wacana Baru…, hal. 188-189.
6
Berbicara tentang klasifikasi epistemologi keilmuan,
terdapat beberapa istilah yang berbeda- beda. Di dalam kajian
epistemologi Barat terdapat, paling tidak, tiga aliran pemikiran,
yaitu empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Di dalam
pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa
didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan
pengalaman pribadi. Sedangkan dalam pemikiran Islam juga
dikenal tiga aliran, yang dalam hal ini merupakan pembagian
yang ditawarkan oleh Abed al- Jabiri, intelektual Muslim yang
berasal dari Maroko. Ketiga epistemologi itu
adalah bayani,burhani dan irfani. Ketiga tema besar ini dibahas
secara panjang lebar di dalam bukunya bunyah al aql al
‘arabi.Sebagaimana telah disebutkan di dalam pendahuluan
bahwa makalah sederhana ini akan mencoba
mengenalkan bayanisebagai sebuah epistemologi keilmuan di
dalam Islam.11
Bayani (explanatory) secara etimologis mempunyai
pengertian penjelasan, pernyataan, dan atau ketetapan.
Sedangkan secara terminologis bayani adalah metode pemikiran
11 Ainurrofiq, ”Menawarkan Epistemologi Jama’i Sebagai Epistemologi
Ushulul Fiqh” dalam Ainuurofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma
Ushulul Fiqh Kontemporer, hlm. 36-37. Lihat juga Khudhari Sholeh,
”Epitemologi Bayani” dalam http://khudarisholeh.blogspot.com dikutip dari al-
Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), hlm.
35.
7
khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung
berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga
perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti
akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya,
tetapi tetap harus bersandar pada teks.12
Senada dengan hal ini, sebagaimana dikutip oleh M. Zuhri,
dosen filsafat UIN Sunan Kalijaga, bahwa Amin Abdullah
menggambarkan bagaimana besarnya dimensi teks di bumi Arab
klasik sebagai hadrah al nash. Posisi teks sangat menentukan
peradaban Arab-Islam dan juga disisi lain pemosisian teks seperti
itu pula dapat membawa pada titik terendah dari peradaban.13
Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa sumber
pengetahuan bayani adalah teks (nash), yang dalam hal ini
adalah Al Quran dan Hadis (walaupun pada kajian selanjutnya
tidak hanya terbatas pada Quran dan Hadis). Kerena itu
epistemologi bayani menaruh perhatian yang besar dan teliti
dalam proses transmisi teks (nash) dari satu generasi ke
12 Khudhari Sholeh, ”Epitemologi Bayani”
dalam http://khudarisholeh.blogspot.com, lihat juga ”Model-Model
Epistemologi Islam” dalam http://khudarisholeh.blogspot.com, diakses tanggal
15 Maret 2009.
13 M. Zuhri, ”Dari Al Jabiri Tentang Nalar Etika Islam”, Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman, Vol 8, No. 1, Januari 2008, hlm. 56.
8
generasi selanjutnya. Karena benar dan salahnya proses
transmisi menentukan kebenaran dan kesalahan sebuah ilmu
yang dikutip atau diambil dari teks tersebut. Bilamana proses
transmisi dapat dipertanggungjawabkan kevalidannya, maka
teks tersebut dapat digunakan sebagai dasar ilmu. Akan tetapi
sebaliknya, jika kevalidan proses transmisi tidak dapat
dipertanggungjawabkan, maka teks tersebut tidak dapat
dijadikan dasar ilmu. Sehingga tidak heran mengapa pada masa
kodifikasi (tadwin), khususnya penulisan hadis, para ulama
sangat teliti dan ketat dalam menyeleksi teks-teks, terutama
hadis-hadis Nabi agar dapat diterima sebagai teks yang valid.
Dalam ranah epitemologi bayani ini lebih mengedepankan
pemahaman wahyu atau nash secara tekstual. Sehingga
bagaimana teks itu berbunyi, maka begitulah kesimpulannya.
Dalam ha ini wahyu atau nash menguasai akal atau rasio.
D. MEMBACA KONSTRUK EPISTEMOLOGI ”BAYANI”
Berdasarkan hal yang di atas, bahwa bayani berkaitan
dengan teks, maka persoalan pokoknya adalah sekitar lafadz-
makna dan ushul-furu’. Misalnya, apakah suatu teks dimaknai
sesuai konteksnya atau makna aslinya, bagaimana
menganalogikan kata-kata atau istilah yang tidak disinggung
9
dalam teks suci, dan bagaimana memaknai istilah-istilah khusus
dalam al-asma al-syar’iyah, seperti kata shalat, shiyam, zakat.
Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks,
metode bayani menempuh dua jalan.14 Pertama, berpegang pada
redaksi (lafadz) teks, dengan menggunakan kaidah bahasa Arab,
seperti nahwu dan sharaf. Kedua, berpegang pada makna teks
dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai
sarana analisa.
Pada jalan yang kedua, penggunaan logika dilakukan
dengan empat macam cara. Pertama, berpegang pada tujuan
pokok (al-maqashid al-dharuriyah) yang mencakup lima
kepentingan utama, yakni menjaga keselamatan agama (al din),
jiwa (al nafs), akal (al ’aql), keturunan (al nasb) dan harta (al
mal). Caranya dengan menggunakan induksi tematis (al-istiqra’
al-ma’wi) dan disitulah tempat penalaran rasional.
Kedua, berpegang pada illah teks. Untuk menemukan dan
mengetahui adanya illah suatu teks ini digunakan sebuah sarana
yang memerlukan penalaran yang disebut ‘jalan illah’ (masalik
al-illah) yang terdiri atas tiga hal, (1) illat yang telah ditetapkan
oleh nash, seperti illah tentang kewajiban mengambil 20% harta
rampasan untuk fakir miskin agar harta tersebut tidak beredar
dikalangan orang kaya saja (QS. Al Hasyr, 7). (2) illah yang telah
14 Khudhari Sholeh, ”Model-Model Epistemologi Islam” dalam http://khudarisholeh.blogspot.com, diakses tanggal 15 Maret 2009.
10
disepakati oleh para mujtahid, misalnya illah menguasai harta
anak yang masih kecil adalah karena kecilnya. (3) Al-sibr wa al-
taqsim (trial), dengan cara merangkum sifat-sifat baik untuk
dijadikan illah pada asal (nash), kemudian illah itu dikembalikan
kepada sifat-sifat tersebut agar bisa dikatakan bahwa illah itu
bersifat begitu atau begini. Cara kedua ini lebih lanjut
memunculkan metode qiyas (analogi) dan istihsan, yakni beralih
dari sesuatu yang jelas kepada sesuatu yang masih samar,
karena karena adanya alasan yang kuat untuk pengalihan itu.
Ketiga, berpegang pada tujuan sekunder teks. Tujuan
sekunder adalah tujuan yang mendukung terlaksananya tujuan
pokok. Misalnya, tujuan pokok adalah memberikan pemahaman
materi kuliah pada mahasiswa, tujuan sekunder memberikan
tugas. Adanya tugas akan mendukung pemahaman kuliah yang
diberikan. Sarana yang digunakan untuk menemukan tujuan
sekunder teks adalah istidlal, yakni mencari dalil dari luar teks;
berbeda dengan istimbat yang berarti mencari dalil pada teks.
Keempat, berpegang pada diamnya Syari` (Allah dan
Rasul). Ini untuk masalah-masalah yang sama sekali tidak ada
ketetapannya dalam teks dan tidak bisa dilkukan dengan cara
qiyas. Caranya dengan kembali pada hukum pokok (asal) yang
telah diketahui. Misalnya, hukum asal muamalah adalah boleh
(al-ashl fi al-mu`amalah al-ibahah), maka jual beli lewat internet
11
yang tidak ada ketentuannya berarti boleh, tinggal bagaimana
mengemasnya agar tidak dilarang. Metode ini melahirkan
teori istishab, yakni menetapkan sesuatu berdasar keadaan yang
berlaku sebelumnya selama tidak ditemui dasar/dalil yang
menunjukkan perubahannya.
Untuk disiplin ilmu yang dapat masuk dalam kajian
epistemologi bayani diantaranya adalah filologi, ilmu hukum
(fikih), ulumal-Quran (interpretasi, hermeneutika, dan eksegesis),
teologi dialektis (kalam), dan teori sastra nonfilosofis. Sebagai
tambahan informasi, bahwa kerangka bayani ini sangat menarik
bagi para ahli kalam karena beberapa alasan.15
Pertama, epistemologi ini tidak bersifat saling melengkapi
adakan tetapi lebih bayan bersifat dialogis dan lebih-lebih
polemis. Kecenderungan untuk tidak saling melengkapi dan
polemis mengakibatkan sering terjadinya klaim kebenaran
sepihak. Kedua, meskipun terdapat ahli kalam yang
mengedepankan akal, akan tetapi pada titik tertentu masih
memanfaatkan atau bahkan memanipulasi wahyu dengan
memberikan interpretasi sebaliknya dari interpretasi pihak lain
atau pihak lawan. ini bukan dimaksudkan untuk melepaskan akal
darinya, akan tetapi lebih sebagai counter terhadap
15 Ainurrofiq, ”Menawarkan Epistemologi Jama’i Sebagai Epistemologi
Ushulul Fiqh” dalam Ainuurofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma
Ushulul Fiqh Kontemporer, hlm. 41.
12
lawannya. Ketiga, ahli kalam lebih suka menggunakan analisis
yang bersifat retoris sebagai upaya untuk memberikan
keseimbangan (balance) atau bahkan mengalahkan pihak lain.
Kritik-krtik yang disampaikan tidak ditujukan sebagai perbaikan,
akan tetapi untuk menunjukkan adanya hegemoni salah satu
pihak terhadap pihak yan lain. Dan keempat, sebagai upaya
untuk membela diri baik karena jauhnya jarak, tingkat
pemahaman, atau referensi yang digunakan.
Berikut ini beberapa hal yang terkait dengan
epistemologi bayani, baik sumber, penekatan, metode dan lain-
lain:16
Sumber dan Pendekatan
- Sumber epistemologi bayani adalah nash (teks).
- Pendekatan epistemologi bayani adalah lughawiyah.
Prinsip Bayani
- infisal (diskontinu) atau atomistik.
- tajwiz (tidak ada hukum kausalitas).
- muqarabah (keserupaan atau kedekatan dengan teks).
Kerangka dan Proses Berpikir
- Kerangka berpikir cenderung deduktif, yaitu berpangkal
dari teks.
16 Muqowwim, “Rumpun Bayani dalam Islam” dalam http://muqowim.blogspot.com, diakses pada tanggal 15 Maret 2009.
13
- Dalam keilmuan fikih menggunakan qiyas
al-’illah sementara dalam disiplin kalam menggunakan qiyas
al-dalalah.
- Selain itu, corak berpikir bayani cenderung
mengeluarkan makna yang bertolak dari lafadz, baik yang
bersifat‘am, khas, mushtarak, haqiqah, majaz,
muhkam, mufassar, zahir, khafi, musykil, mujmal,
dan mutasyabih.
Metode pengembangan corak berpikir ini adalah dengan
cara ijtihadiyah dan qiyas. Yang termasuk proses berpikir
ijtihadiyah adalah istinbatiyah, istintajiyah,
dan istidlaliyah, sementara yang dimaksud qiyas adalah
qiyas al-ghayb ‘ala al-ghayb.
Fungsi Akal
- Akal berfungsi sebagai pengekang atau pengatur hawa
nafsu.
- Akal cenderung menjalankan fungsi justifikatif, repetitif,
dan taqlidi.
1. Otoritas ada pada teks, sehingga hasil pemikiran apa pun
tidak boleh bertentangan dengan teks. Karena itu, dalam
penalaran ini jenis argumen yang dibuat lebih bersifat
14
dialektik (jadaliyah) dan al-’uqul al-mutanasifah, sehingga
cenderung defensif, apologetik, polemik, dan dogmatik.
2. Yang dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran ilmu model
bayani adalah adanya keserupaan atau kedekatan antara
teks atau nash dengan realitas.
Untuk lebih jelas dan mudah dipahami, berikut ini telah
penulis sertakan tabel yang membedakan antara trilogi kerangka
berpikir di dalam Islam, mulai dari sumber, metode, pendekatan,
tema sentral, validitas kebenaran, dab pendukung. Berikut
sketsa tabelnya:
Perbandingan Epistemologi dalam Islam 17
Bayani Irfani Burhani
SumberTeks Keagamaan/ Nash
Ilham/ Intuisi Rasio
MetodeIstinbat dan Istidlal
Kasyf
(experience)
Tahlili (analitik)
dan Diskursus
Pendekatan Linguistik/ Dilâlat al-
Psikho-Gnostik Logika
17 Khudari Sholeh, ”Model-Model Epistemologi Islam”
dalam http://khudarisholeh.blogspot.com, diakses tanggal 15 Maret 2009.
15
Lughawiyah
Tema Sentral
Ashl – Furu`
Kata – Makna
Zahir – Batin
Wilayah –
Nubuwah
Essensi –
Aksistensi
Bahasa –
Logika
Validitas Kebenaran
Koresponedensi
Intersubjektif
Koherensi
Konsistensi
PendukungKaum Teolog, ahli Fiqh dan ahli Bahasa
Kaum Sufi Para Filosof
IV. KRITIK TERHADAP EPISTEMOLOGI BAYANI
“Peradaban Islam adalah peradaban teks” demikian
ungkapan Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir asal Mesir yang pernah
dikritik ”habis-habisan” dengan statmentnya bahwa ”Al Quran
sebagai produk budaya”. Pernyataan Abu Zayd ini memang
sebuah realitas yang sulit untuk dibantah. Hal ini dapat dilihat
dari produk pemikiran Islam dari abad ke abad yang tiada henti
16
terus merujuk pada teks. Tidak sedikit dari para ulama dahulu
dan masih berjalan hingga sekarang yang ’seakan-akan’
menganggap bahwa kebenaran adalah dengan hanya merujuk
teks (Al Quran). Kitab-kitab fiqih, dapat dikatakan sebagai bentuk
penjabaran dari peradaban teks tersebut. Banyak sekali para
ulama Muslim yang mensakralkan kitab-kitab fiqh tersebut. Di
lain sisi, peradaban Barat sering disebut peradaban konsep.
Peradaban yang penuh dengan kematangan metode dan
pendekatan. Berbeda dengan Islam, meksipun peradaban Islam
juga berasas pada konsep, tapi -lagi-lagi- merujuk teks. Artinya,
peradaban Islam selalu memosisikan teks sebagai poros utama.
Teks adalah segala-galanya dan menjadi tempat pijakan yang
utama
Dengan penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa
sebenarnya teks tak bisa dilepaskan dari gerak peradaban umat
Islam. Namun persoalannya adalah teks yang diartikan secara
literal. Maksudnya, teks yang (sesungguhnya) merupakan produk
sejarah –dan oleh karena itu ia adalah profan- dalam prakteknya
dipandang bertuah, sakral, dan melampaui sejarah. Maka
terjadilah kesenjangan antara teks dan realitas kemanusiaan.
Kesenjangan itu bisa berbentuk ketidaktahuan akan modernitas,
sehingga menimbulkan rasa terasing, sikap anti Barat, serta
upaya menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam yang dianggap
17
“murni”: sebagaimana yang dikandung teks Al-Quran dan
Sunnah. Upaya menggapai yang “murni” ini, memunculkan
gerakan pemurnian (puritanisasi) atas hal-hal yang dianggap
bukan asli Islam.18
Sebagaimana digambarkan oleh Amin Abdullah bahwa posisi teks
menjadi amat menentukan dalam proses menuju keemasaan
peradaban Arab-Islam. Namun pada saat yang sama, peran dan
pemosisian teks itu pula yang mendorong peradaban Arab-Islam
berada pada titik terendahnya. Peran dan posisi teks menjadi
amat dominan dalam struktur nalar Arab-Islam oleh karena
topangan sosial-politik yang amat kuat.
Tanpa harus meninggalkan teks, seharusnya kita dapat
menggunakan tawaran metodologi dari beberapa intelektual
Muslim untuk mempertahankan eksistensi keberagamaan kita
saat ini. Sementara itu, persoalan besar akan selalu mengikuti
kelompok yang melakukan gerakan ”pemurnian” (puritan),
utamanya ketika mereka meniscayakan ketundukan atas Al-
Qur’an dalam bentuknya yang tekstual. Ketika teks diposisikan
sebagai barang transenden, tidak terpengaruh hiruk-pikuk soal
kemanusiaan, maka ia akan mati. Teks, oleh mereka diposisikan
monointerpretatif: Ditafsirkan sekali untuk berlaku selamanya.
18 Hilay Basya, ”Quran Tak Turun Diruang Hampa”
dalam http://islamlib.com, diakses pada tanggal 15 Maret 2009.
18
Makna yang dikandung teks, bagi mereka identik dan permanen
dengan teks. Padahal teks adalah produk budaya. Al-Qur’an
sebagai firman Allah yang direkam dalam bentuk teks, diproduksi
oleh sebab dan peristiwa yang biasa dikenal sebagai asbab al
nuzul.19
Terdapat beberapa kelemahan di dalam
epistemologi bayani ini, dantaranya adalah; pertama, ketika
berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh
komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain,
biasanya, corak berpikir ini cenderung bersifat dogmatik,
defensif, apologetis, dan polemis dengan semboyan kurang lebih
“right or wrong is my country.” Kedua, hal ini terjadi karena
fungsi akal hanya untuk mengukuhkan dan membenarkan
otoritas teks. Padahal, dalam realitasnya, seringkali terjadi ada
jurang antara yang terdapat dalam teks dengan pelaksanaannya,
sebab akan sangat bergantung pada kualitas pemikiran,
pengalaman dan lingkungan sosial tempat teks tersebut
dipahami dan ditafsirkan.
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa
karena bayani hanya mendasarkan diri pada teks, ia menjadi
terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial,
sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah
19 Ini merupakan hasil catatan yang dirangkum dari mata kuliah
Hermeneutika dan Ulumul Quran.
19
dan sosial masyarakat yang begitu cepat. Kenyataannya,
pemikiran Islam saat ini yang masih banyak didominasi
pemikiranbayani kurang bisa merespon dan mengimbangi
perkembangan peradaban dunia. Wallahu a’lam bi al shawab.
V. KESIMPULAN
Dari penjabaran diatas jelaslah bahwa
epistemologi bayani adalah kerangka berfikir yang cenderung
menggunakan teks sebagai poros utama. Teks adalah nomor
satu dan yang lainnya adalah penguat, termasuk akal. Sehingga
tidak heran bila disebut sebagai tekstual-epistemologi. Otoritas
tekslah yang bekerja dan manusia ”dipaksa” tunduk pada teks
yang bisu.
Sebagaimana sudah disebutkan diatas bahwa karena bayani
hanya mendasarkan segalanya pada teks, maka ia tidak atau
kurang mampu untuk dinamis mengikuti sejarah dan sosial
masyarakat yang terus berkembang dari waktu ke waktu dengan
sangat cepat. Hal ini terbukti dengan masih banyak pemikiran
intelektual Muslim yang didominasi oleh epistemologi ini yang
tidak mampu mengimbangi perkembangan peradaban dunia.
20
Terakhir, saran konstruktif teman-teman sangat berarti bagi
penulis, karena untuk perbaikan makalah ini menjadi lebih baik
dan sempurna. Dan sekali lagi ucapan terimakasih saya kepada
Bapak Dosen dan teman-teman atas segala bantuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam, alih bahasa, Burhan, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003Hadi, P. Hardono, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), Yogyakarta: Kanisius, 1994
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991
Al Jabiri, Muhammad Abed, Post Tradisionalisme Islam, Terj, Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000
Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991). Dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
21
Adonis. Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam. Terj. Khairon Nahdiyyin. Yogyakarta: LkiS, 2007.
Ainuurofiq (ed,). Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushulul Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Ar-ruzz Press, 2002.
Al Jabiri, Muhammad Abed. Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius. Terj. Iman Khoiri. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Basya, Hilaly. ”Quran Tak Turun Diruang Hampa” dalam http://islamlib.com.
Hakim, Lexi Zulkarnaen. ”Al Jabiri dan Kritik Nalar Arab” dalam http://kommabogor.wordpress.com.Mu’allim, Amir dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 2001.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Nicholson, Reynold A. Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman, Jakarta: Rajawali, 1987
Sholeh, Khudari. ”Model-Model Epistemologi Islam” dalam http://khudarisholeh. blogspot.com.
_________________. ”Epistemologi Bayani” dalam http://khudarisholeh. blogspot.com.
Syafrin, Nirwan, “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”, Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus 2004
Soleh, A. Khudori, M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006
22