Upload
vera-octasia
View
51
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
forensik
Citation preview
MAKALAH UJIAN KASUS
PATOLOGI FORENSIK
Penguji:
dr. Fitri Ambar Sari, Sp.F
Disusun Oleh:
Yolanda Nababan
030.08.260
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL CIPTO MANGUNKUSUMO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2013
BAB I
ILUSTRASI KASUS
KEMATIAN AKIBAT ASFIKSIA
PENDAHULUAN :
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan
terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat
mekanik) misalnya penutupan lubang saluran pernapasan atas
(pembekapan/smothering, pencekikan/choking), penekanan dinding saluran napas
(penjeratan/strangulation, pencekikan/manual strangulation, gantung/hanging),
penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik), saluran napas terisi air
(tenggelam/drowning).
Diagnosis kematian akibat tenggelam kadang-kadang sulit ditegakkan, bila
tidak dijumpai tanda khas baik pada pemeriksaan luar atau dalam. Pada mayat yang
ditemukan terbenam dalam air,perlu pula diingat bahwa mungkin korban sudah
meninggal sebelum masuk ke dalam air.
A. IDENTITAS MAYAT :
1. Nama : Tuan X
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Umur : -
4. Agama : -
5. Warga Negara : -
6. Pekerjaan : -
7. Alamat : -
8. Nomor Registrasi Forensik : 1317/SK IV/XII/2012
9. Nomor Registrasi RSCM : 4380A 1212
Pemeriksaan luar dilakukan pada hari Kamis, 6 Desember 2012 pukul 09.12
WIB dan pemeriksaan dalam dilakukan pada hari Senin, 10 Desember 2012 pukul
09.10 WIB di Ruang Otopsi Forensik FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo.
B. RIWAYAT
Jenazah korban diterima Instalasi Kamar Jenazah RSCM pada tanggal 6
Desember 2012, dengan lampiran surat permintaan visum dari Kepolisian Sektor
Cengkareng tertanggal 6 Desember 2012, dengan nomor polisi
385/VER/XII/2012/SC.
Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa korban ditemukan meninggal dunia di
sungai Cisadane pada tanggal 6 Desember 2012. Polisi belum mengetahui dugaan
penyebab kematian korban.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Prosedur Medikolegal
Dalam kepentingan penegakkan hukum serta keadilan, ilmu kedokteran
forensik bermanfaat untuk penyidik dan peradilan yaitu dalam bentuk keterangan ahli
maupun visum et repertum. Menurut pasal 184 KUHAP, keterangan ahli ini dijadikan
sebagai alat bukti yang sah di depan siding peradilan. Keterangan ahli ini dapat
diberikan secara lisan di depan siding pengadilan (pasal 186 KUHAP), dapat pula
diberikan pada masa penyidikan dalam bentuk laporan penyidik, atau dapat diberikan
dalam bentuk keterangan tertulis di dalam suatu surat(pasal 187 KUHAP).
Penegakkan hukum harus dilakukan dengan seadil-adilnya sesuai dengan fakta
yang sebenarnya.Hal ini membuat penegakkan hukum harus berdasarkan pada
keilmuan ahli bidang terkait.Bidang kedokteran diberikan penghargaan yang sangat
tinggi dalam upaya menegakkan keadilan yang menyangkut tubuh dan nyawa
manusia.Kedokteran forensik sebagai ujung tombak dalam bidang peradilan lebih
mudah.
Ahli kedokteran forensik, bersama-sama dengan ahli kedokteran lain
bertanggung jawab dalam memberikan penjelasan (keterangan ahli) bagi pihak yang
menangani kasus hukum yang sedang berlangsung. Oleh karena itu dokter diharapkan
dapat menemukan kelainan pada tubuh korban, serta dampak yang akan timbul
terhadap kesehatan korban yang masih hidup. Namun jika korban telah meninggal,
maka dokter diharapkan dapat menjelaskan penyebab dan mekanisme kematian.
Kewajiban dokter memberikan keterangan ahli diatur dalam KUHAP pasal
133 ayat (1) : “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwewenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau lainnya”.
Keterangan ahli atas permintaan pihak berwenang untuk kepentingan
peradilan akan dibuat dalam bentuk tulisan. Keterangan ahli yang dituliskan tersebut
disebut VIsum Et Repertum. Visum et Repertum per definisi adalah keterangan yang
dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwewenang mengenai hasil
pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati, ataupun bagian atau
diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah, untuk
kepentingan peradilan. Visum et Repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang
telah mengucapkan sumpah saat mulai menjabat sebagai dokter, yang lafalnya seperti
pada No.97 pasal 38 tahun 1882. Komponen Visum et Repertum meliputi kata “Pro
Justitia”, pendahuluan, pemberitahuan/pemberitaan, kesimpulan dan penutup.
Permintaan keterangan ahli oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis
seperti yang tertuang pada KUHAP 133 ayat (2) :” Penemuan keterangan ahli
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu
disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.
Permintaan tertulis itu disebut Surat Permintaan Visum. Syarat surat SPV
yang sah adalah jika berisi kop surat, dugaan penyebab kematian, permintaan apakah
pemeriksaan luar atau bedah mayat, serta nama dan tanda tangan peminta visum.
Sesuai peraturan Pemerintah No.27 tahun 1983, pihak yang berwenang
membuat SPV adalah penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan
Dua.Seorang komandan kepolisian, tanpa memandang pangkatnya, adalah seorang
penyidik dan berhak meminta keterangan ahli. Apabila pada pembuatan visum et
repertum jenazah terdapat permintaan bedah mayat (autopsi), maka penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban sesuai dengan KUHAP
pasal 134 ayat(1) : “Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan
pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban”.
Kemudian jika keluarga keberatan, kewajiban penyidik tercantum dalam pasal
134 ayat(2) : “ Dalam hal keluarga keberatan penyidik wajib menerangkan sejelas-
jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.” Jika
tidak ada keluarga yang memberi tanggapan atau tidak dapat dihubungi, maka boleh
dilakukan autopsi sesuai dengan KUHAP pasal 134 ayat (3) : “ Apabila dalam waktu
dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu
tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.”
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi pemeriksaan luar dan
pemeriksaan bedah mayat.Pemeriksaan luar merupakan pemeriksaan yang tidak
merusak keutuhan jaringan jenazah, dilakukan secara teliti dan
sistematik.Pemeriksaan meliputi tutup/bungkus mayat, perhiasan, pakaian, benda-
benda disekitar jenazah, tanda-tanda tanatologi, gigi geligi, identitas khusus, dan luka-
luka yang ada di seluruh bagian luar tubuh.Dari pemeriksaan ini kesimpulan yang
didapatkan adalah jenis luka, jenis kekerasan, dan perkiraan saat kematian.
Jika belum dilakukam autopsi, maka penyebab kematian belum dapat
ditentukan. Autopsi dilakukan dengan membuka tengkorak, dada, leher, perut dan
pangkal pangggul. Dapat pula dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
seperti histopatologik, toksikologik, dan lain-lain untuk menentukan penyebab
kematian.
B. Kematian akibat Asfiksia
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Diagnosis kematian akibat tenggelam kadang-kadang sulit ditegakkan, bila
tidak dijumpai tanda khas baik pada pemeriksaan luar atau dalam. Pada mayat yang
ditemukan terbenam dalam air,perlu pula diingat bahwa mungkin korban sudah
meninggal sebelum masuk ke dalam air.
Keadaan sekitar individu penting. Tenggelam tidak hanya terbatas di dalam air
dalam seperti laut, sungai, danau, atau kolam renang, tetapi mungkin pula terbenam
dalam kubangan atau selokan dengan hanya muka yang berada di bawah permukaan
air.
Tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas
(asfiksia) disebabkan masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan. Sebenarnya
istilah tenggelam harus pula mencakup proses yang terjadi akibat terbenamnya korban
dalam air yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa.
Mekanisme kematian pada korban tenggelam di antaranya:
- Asfiksia akibat spasme laring
- Asfiksia karena gagging dan choking
- Refleks vagal
- Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar)
- Edema pulmoner (dalam air asin)
Pada pemeriksaan mayat akibat tenggelam, pemeriksaan harus seteliti
mungkin agar mekanisme kematian dapat ditentukan, karena seringkali mayat
ditemukan sudah dalam keadaan membusuk. Berikut adalah hal penting yang perlu
ditentukan dalam pemeriksaan.
1. Menentukan identitas korban
Identitas korban ditentukan dengan memeriksa antara lain : pakaian dan
benda milik korban, warna dan distribusi rambut dan identitas lain,
kelainan atau deformitas dan jaringan parut, sidik jari, pemeriksaan gigi,
serta teknik identifikasi lain.
2. Apakah korban hidup sebelum tenggelam
Pada mayat yang masih segar, untuk menentukan apakah korban masih
hidup atau sudah meninggal pada saat tenggelam, dapat diketahui dari
hasil pemeriksaan.
a. Metode yang memuaskan untuk menentukan apakah orang masih
hidup saat tenggelam ialah pemeriksaan diatom.
b. Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar
magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan.
c. Benda asing dalam paru dan saluran napas mempunyai nilai yang
menentukan pada mayat yang terbenam selama beberapa waktu dan
mulai membusuk. Demikian pula dengan isi lambung dan usus.
d. Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang
secara fisik dan kimia sifatnya sama dengan air tempat korban
tenggelam mempunyai nilai yang bermakna.
e. Pada beberapa kasus, ditemukannya kadar alkohol tinggi dapat
menjelaskan bahwa korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat
masuk ke dalam air.
3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning
Pada mayat yang segar, gambaran pasca mati dapat menunjukkan tipe
drowning, dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan
atau kekerasan lain. Pada kecelakaan di kolam renang, benturan ante
mortem pada tubuh bagian atas, misalnya memar pada muka, perlukaan
pada vertebra servikalis dan medulla spinalis dapat ditentukan.
4. Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian
Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian, misalnya kekerasan,
alkohol, atau obat-obatan, dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau
melalui bedah jenazah.
5. Tempat korban pertama kali tenggelam
Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam
saluran pernapasan, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban
ditemukan dapat membantu menentukan apakah korban tenggelam di
tempat itu atau tempat lain.
6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian
a. Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada waktu masuk
ke dalam air, maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan
karena air masuk ke salam saluran pernapasan (tenggelam). Pada
immersion drowning, kematian terjadi dengan cepat, mungkin
disebabkan oleh sudden cardiac arrest. Faktor lain adalah keadaan
hipersensitivitas dan kadang adanya intoksikasi alkohol.
b. Bila tidak ditemukan air dalam paru-paru dan lambung, berarti
kematian terjadi seketika akibat spasme glottis, yang menyebabkan
cairan tidak dapat masuk.
Waktu yang diperlukan untuk terbenam dapat bervariasi tergantung dari
keadaan sekeliling korban, keadaan masing-masing korban, reaksi perorangan,
keadaan kesehatan, dan jumlah serta sifat cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran
napas. Korban tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang semakin lama semakin
banyak, kemudian menjadi tidak sadar dalam waktu 2-12 menit (fatal period). Dalam
periode ini, korban masih dapat selamat jika dilakukan resusitasi.
Pemeriksaan Luar Jenazah
1. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan
benda asing lain yang terdapat dalam air, jika seluruh tubuh terbenam
dalam air.
2. Busa halus pada hidung dan mulut, terkadang berdarah.
3. Mata setengah terbuka atau tertutup, jarang terdapat perdarahan atau
perbendungan.
4. Cutis anserina pada kulit permukaan tubuh anterior tubuh terutama pada
ekstremitas karena kontraksi m. erector pili yang dapat terjadi karena
rangsang dinginnya air. Gambaran tersebut dapat juga muncul akibat rigor
mortis pada otot tersebut.
5. Washer woman’s hands; telapak tangan dan kaki berwarna keputihan an
keriput yang terjadi akibat imbibisi cairan ke dalam kutis dalam waktu
lama.
6. Cadaveric spasm; adalah tanda intravital yang terjadi sewaktu korban
berusaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja seperti rumput
atau benda dalam air lainnya.
7. Luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan kaki karena gesekan pada
benda dalam air. Puncak kepala mungkin terbentur pada dasar waktu
terbenam, tetapi dapat pula terjadi luka post-mortal akibat benda atau
binatang dalam air.
Pemeriksaan Bedah Jenazah
1. Busa halus dan benda asing (pasir, tumbuhan air) dalam saluran
pernapasan.
2. Paru-paru membesar seperti balon, lebih berat sampai menutupi kandung
jantung. Pada pengirisan banyak keluar cairan. Keadaan ini terutama
terjadi pada kasus tenggelam di laut.
3. Ptechiae sedikit sekali ditemukan karena kapiler terjepit di antara septum
interalveolar. Mungkin terdapat bercak perdarahan yang disebut bercak
Paltauf karena robeknya penyekat alveoli.
4. Dapat pula ditemukan paru-paru dalam kondisi ‘biasa’ karena cairan tidak
masuk ke alveoli atau cairan sudah masuk ke dalam aliran darah melalui
proses imbibisi. Ini dapat terjadi pada kasus tenggelam di air tawar.
5. Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami perbendungan.
6. Lambung dapat sangat membesar, berisikan air, lumpur dan sebagainya
yang mungkin pula terdapat pada usus halus.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan diatom. Alga (ganggang) bersel satu dengan dinding terdiri
dari silikat (SiO2) yang tahan panas dan asam kuat. Diatom ini
dapatdijumpai dalam air tawar, air laut, air sungai, air sumur, dan udara.
Bila seseorang mati karena tenggelam maka cairan bersama diatom akan
masuk ke dalam saluran pernapasan atau pencernaan, kemudian diatom
akan masuk ke dalam aliran darah melalui kerusakan dinding kapiler pada
waktu korban masih hidup dan tersebar ke seluruh jaringan.
Pemeriksaaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila
mayat telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringanginjal,
otot skelet,atau sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan
limpa kurang bermakna sebab dapat berasal dari penyerapan abnormal dari
saluran pencernaan terhadap air minum atau makanan.
Pemeriksaan destruksi (digesti asam) pada paru. Ambil jaringan perifer
paru sebanyak 100 gram,masukkan ke dalam labu Kjeldahl dan tambahkan
asam sulfat pekat sampai jaringanparu terendam, diamkan lebih kurang
setengah hari agar jaringan hancur. Kemudian di panaskan dalam lemari
asam sambil diteteskan asam sitrat pekat sampai terbentuk cairan yang
jernih, dinginkan dan cairan dipusing dalam centrifuge.
Sedimen yang terjadi ditambah dengan akuades, pusing kembali dan
akhirnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif bila pada
jaringan paru ditemukan diatom cukup banyak, 4-5/LPB atau 10-20
persatu sediaan; ataupada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu.
Pemeriksaan getah paru. Permukaan paru disiram dengan air bersih, iris
bagian perifer, ambil sedikit cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh
pada gelas obyek, tutup dengan kaca penutup dan lihat dengan mikroskop.
Selain diatom dapat pula terlihat ganggang atau tumbuhan jenis lainnya.
2. Pemeriksaan darah jantung. Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit
pada adarah yang berasal dari bilik jantung kiri dan bilik jantung kanan.
Bila tenggelam di air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah
jantung kiri lebih rendah dari jantung kanan. Sedangkan pada tenggelam di
air asin terjadi sebaliknya.
Perbedaan kadar elektrolit lebih dari 10% dapat menyokong
diagnosis,walaupun secara tersendiri kurang bermakna.
Diagnosis tenggelam
Bila mayat masih segar (belum terdapat pembusukan), maka diagnosis
kematian akibat tenggelam dapat dengan mudah ditegakkan melalui
pemeriksaan yang teliti dari:
- Pemeriksaan luar
- Pemeriksaan dalam
- Pemeriksaan laboratorium berupa histology jaringan, destruksi jaringan
dan berat jenis serta kadar elektrolit darah.
Bila mayat sudah membusuk, maka diagnosis kematian akibat tenggelam
dibuat berdasarkan adanya diatom yang cukup banyak pada paru-paru yang
bila disokong oleh penemuan diatom pada ginjal, otot skelet atau diatom pada
sumsum tulang, maka diagnosis akan menjadi pasti.
C. Visum Et Repertum Jenazah
Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas
permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medic terhadap
manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia,
berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan.
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label
yang memuat identitas mayat, di-lak dan diberi cap jabatan, yang diikatkan pada ibu
jari kaki atau bagian tubuh lainnya.
Dari pemeriksaan forensic terhadap jeazah dapat diketahui sebab kematian
korban , selain jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan saat
kematian. Pemeriksaan forensik terhadap jenasah meliputi pemeriksaan luar jenasah ,
tanpa melakukan tindakan yang merusak keutuhan jaringan jenasah. Pemeriksaan
dilakukan dengan teliti dan sistematik , serta kemudian dicatat secara rinci , mulai dari
bungkus atau tutup jenasah, pakaian, benda di sekitar jenasah, perhiasan, ciri-ciri
umum identitas, tanda-tanda tanatologik, gigi-geligi, dan luka atau cedera atau
kelaianan yang ditemukan di seluruh bagian luar.
Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja , maka
kesimpulan visum et repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan
dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab matinya tidak dapat ditentukan
karena tidak dilakukan pemeriksaan bedah jenasah. Lamanya mati sebelum
pemeriksaan (perkiraan saat kematian) , apabila dapat diperkirakan dapat
dicantumkan dalam kesimpulan.
Jika penyidik meminta pemeriksaan dalam atau bedah jenasah maka
dilakukan pemeriksaab bedah jenasah setelah pemeriksaan luar secara menyeluruh
dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut , dan panggul. Kadangkala
dilakukan pemeriksaan penunjang histopatologik, toksikologi, serologic dan
sebagainya.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. Prosedur Medikolegal
Pada kasus ini, surat permintaan visum sudah sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2) yaitu secara tertulis dengan
komponen-komponen sebagai berikut :
1. Institusi pengirim :Kepolisian Negara Republik Indonesia SEKTOR
Metro Cengkareng
2. Nomor surat : 385/VER/XII/2012/SC
3. Tujuan surat :KA. RS. Cipto Mangunkusumo
4. Identitas :nama , tempat/tanggal lahir, umur , jenis kelamin, agama,
pekerjaan, kewarganegaraan, dan alamat
5. Dengan dugaan :-
6. Permintaan penyidik :Pemeriksaan dan Pembuatan Visum et Repertum
Permintaan penyidik dalam surat permintaan visum , pada surat ini
dicantumkan dengan jelas bahwa penyidik meminta pemeriksaan luar dan
pemeriksaan bedah jenazah.
7. Jabatan pengirim :Atas Nama KAPOLSEK Cengkareng
B. Pemeriksaan Luar Mayat
Mayat diantarkan ke RSCM oleh polisi pada tanggal 6 Desember 2012
dengan identitas tidak diketahui. Pemeriksaan luar mayat dilakukan pada
tanggal 6 Desember 2012 pukul 09.12 WIB.
Pada pemeriksaan luar, lebam mayat tidak dapat dinilai. Lebam mayat timbul
karena eritrosit akan menempati tempat terbawah , akibat gaya gravitasi ,
mengisi vena dan venula , membentuk bercak berwarna merah ungu pada
bagian terbawah tubuh kecuali pada bagian yang tertekan alat / benda yang
keras.Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh bertimbunnya sel darah
merah yang cukup banyak sehingga sulit berpindah ditambah dengan
kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah akan ikut mempersulit
perpindahan sel darah merah.
Kaku mayat tidak ditemukan pada pemeriksaan. Berdasarkan teori kaku mayat
mulai tampak kira – kira 2 jam setelah kematian dan dimulai dari bagian luar
tubuh (otot –otot kecil) kearah dalam (sentripental). Setelah mati klinis 12 jam
, kaku mayat akan menjadi lengkap dan dipertahankan 12 jam , kemudian akan
menghilang dalam urutan yang sama. Antara 2 hingga 8 – 12 jam setelah
kematian , kaku mayat yang timbul masih mudah dilawan, sedangkan 12-24
jam setelah kematian kaku mayat akan menetap dan sulit dilawan.
Pada mayat ditemukan tanda-tanda pembusukkan, kulit berwarna hijau
kemerahan pada bagian perut, dada, kedua paha, dan kedua lengan atas
tampak pelebaran pembuluh darah warna hijau kehitaman yang memberikan
gambaran seperti kelereng (marbling).
Pada pemeriksaan kornea mata korban atau selaput bening mata kanan dan kiri
didapatkan keruh, dimana menurut teori akan menjadi keruh yang menetap
setelah 6 jam pasca kematian klinis.
Pada pemeriksaan luar ditemukan seluruh tubuh tampak membengkak, berbau
busuk, lidah terjulur, mulut mencucu dan mata mencolok keluar. Kulit ari pada
seluruh tubuh tampak sudah terlepas. Seluruh tubuh tampak basah dan
berlumpur.
C. Pemeriksaan Dalam Mayat
Pemeriksaan bedah mayat ditemukan pasir pada saluran nafas dan cerna
serta adanya diatom pada getah paru. Sebab mati korban ini adalah tenggelam.
D. Kesimpulan
Pada pemeriksaan mayat laki-laki dengan usia sekitar tiga puluh
sampai lima puluh tahun, tinggi badan seratus enam puluh sentimeter, ras
mongoloid, berperawakan sedang dan dalam kondisi busuk lanjut ini tidak
ditemukan luka-luka atau tanda-tanda kekerasan lainnya.
Pada pemeriksaan dalam, ditemukan pasir pada saluran nafas dan cerna
serta adanya diatom pada getah paru. Sebab mati korban ini adalah tenggelam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto A, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran
Forensik FKUI ; 1997
2. Peraturan perundang-undangan Bidang Kedokteran. Jakarta : Bagian
Kedokteran Forensik FKUI, cetakan ke II ; 1994.
3. Staf pengajar FKUI.Teknik Autopsi Forensik.Bagian Ilmu kedokteran
Forensik.FKUI.Ed. I ,Cetakan III,;2000