50
LAPORAN KASUS NEFROLITIASIS oleh : Gabriella Nurahmani Putri 07120110071 Pembimbing: dr. Isdianto, SpU KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

NEFROLITIASIS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Case report on bilateral kidney stones

Citation preview

Page 1: NEFROLITIASIS

LAPORAN KASUS

NEFROLITIASIS

oleh :

Gabriella Nurahmani Putri 07120110071

Pembimbing:

dr. Isdianto, SpU

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

2015

BAB I

Page 2: NEFROLITIASIS

Laporan Kasus

I. Identitas Pasien

Nama : Ny. N

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 54 Tahun

Agama : Islam

Status : Menikah

Alamat : Kalibata Selatan

Penjamin : BPJS

Tgl Masuk : 27 Agustus 2015

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tgl 29 Agustus 2015

a. Keluhan Utama

Nyeri di perut bagian kanan dan kiri bawah sejak 10 hari yang lalu.

b. Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengeluh nyeri perut bagian kanan dan kiri bawah sejak 10 hari

yang lalu, nyeri bersifat terus menerus, tidak menjalar, dan berskala 8/10. Nyeri

tersebut sangat hebat sampai pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari.

Nyeri disertai rasa mual dan muntah, kurang lebih tiga hari sekali. Muntah berisi

air, tanpa darah ataupun lendir. Rasa mual membuat napsu makan dan minum

pasien berkurang. Sebelum nyeri perut, pasien merasakan nyeri di pinggang

kanan dan kiri sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul, dan tidak

terpaku pada waktu tertentu. Nyeri dirasakan seperti rasa pegal. Skala nyeri

yang dirasakan oleh pasien adalah 6/10. Pasien tidak mengeluh adanya masalah

buang air kecil, seperti nyeri saat berkemih, pipis berdarah, susah berkemih,

anyang-anyangan, atau susah lampias saat berkemih. Pasien juga tidak mengeluh

adanya masalah pada buang air besar atau adanya demam. Pasien sudah pernah

berobat ke rumah sakit lain, dimana pasien di USG dan ditemukan batu di ginjal

kiri pasien. Pasien kemudian dirujuk ke poli bedah RSMC.

Page 3: NEFROLITIASIS

c. Riwayat penyakit dahulu

Pasien tidak pernah memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Pasien

mempunyai riwayat penyakit asam urat dan kolesterol tinggi. Riwayat tekanan

darah tinggi, kencing manis, maag, disangkal.

d. Riwayat kebiasaan

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga sehingga sehari-hari akan terbiasa

melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Kebiasaan tersebut tidak

dilakukan semenjak pasien mulai mengeluh nyeri di lapang perut. Pasien juga

mempunyai kebiasaan makan makanan yang asam dan kacang-kacangan.

Kebiasaan merokok dan minum alkohol disangkal.

e. Riwayat penyakit keluarga

Adik pasien menderita hipertensi, namun anggota keluarga lainnya tidak

ada yang mengidap hipertensi ataupun gejala-gejala lainnya seperti asma,

diabetes, asam urat, dan kolesterol tinggi.

f. Riwayat pengobatan

Selama ini pasien mengkonsumsi obat Probenecid 500mg satu kali sehari untuk

asam uratnya. Pasien tidak minum obat apapun untuk kolesterol tinggi.

III. Pemeriksaan Fisik

Tanggal 28 Agustus 2015

a. Status Generalis

- Keadaan umum : Tampak sakit sedang

- Tingkat kesadaran : E4M6V5 (Compos Mentis)

- Tanda – tanda vital :

o Nadi : 84 kali / menit

o Tekanan darah: 120/80 mmHg

o Pernapasan : 24 kali / menit

o Suhu : 36 0C

Page 4: NEFROLITIASIS

b. Head to toe examination

Kepala

Normosefal, rambut berwarna hitam, wajah berbentuk oval dan tidak terdapat

kelainan bentuk, tidak terdapat luka / lesi.

Mata

Mata simetris, tidak ada edema palpebra, konjutiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

pupil isokor dengan diameter 3 mm / 3 mm, refleks cahaya langsung dan tidak

langsung (+/+)

Telinga

Bentuk telinga normal dan simetris, tidak terdapat deformitas, liang telinga tidak

terdapat sekret, nyeri tekan tidak ada, pendengaran normal

Hidung

Bentuk hidung normal dan simetris, tidak terdapat deviasi, tidak terdapat sekret atau

darah yang keluar dari hidung

Mulut dan tengggorok

Bentuk bibir simetris, bibir berwarna merah dan tidak ada tanda – tanda sianosis.

Lidah berbentuk normal, lembab dan tidak ada tremor. Uvula tidak deviasi dan tidak

hiperemis. Tonsil tidak membesar (T1/T1), faring tidak hiperemis.

Leher

Trakea berada di tengah dan tidak terdapat deviasi. Tidak terdapat pembesaran KGB.

Thoraks

Inspeksi

Bentuk dan pergerakan dada simetris, tidak terdapat retraksi dinding dada, iktus

kordis tidak terlihat.

Palpasi

Page 5: NEFROLITIASIS

Ichtus cordis tidak teraba. Tactile fremitus kanan dan kiri simetris.

Perkusi

Perkusi pada lapang paru terdengar sonor di seluruh lapang paru. Perkusi batas

jantung tidak menunjukkan adanya pembesaran jantung.

Auskultasi

Jantung: suara dasar SI dan SII normal, tunggal murni, irama reguler, murmur (-),

gallop (-)

Paru : suara napas vesikuler, ronchi (-/-),wheezing (-/-)

Abdomen

o Inspeksi

Dinding perut terlihat simetris, bentuk dinding perut cembung,

tidak terdapat kelainan pada kulit, pergerakan dinding perut

sesuai dengan irama pernapasan, Tidak terlihat spider naevi,

bekas operasi, ataupun dam contour.

o Auskultasi

Bising usus (+) normal, tidak menurun atau meningkat dengan

frekuensi : 8 kali / menit. Tidak terdengar adanya suara metalik.

o Palpasi

Dinding perut cembung, tidak terdapat distensi abdomen dan

perut papan, nyeri tekan (+) pada bagian kanan dan kiri (regio

lumbar dan iliaka), massa (-) pada palpasi dalam dan dangkal.

Pemeriksaan Hati : Tidak teraba adanya pembesaran hati.

Pemeriksaan Spleen : Tidak teraba adanya pembesaran limpa.

Pemeriksaan Balotemen: Ginjal kiri teraba.

o Perkusi

Page 6: NEFROLITIASIS

Timpani pada seluruh regio abdomen.

Ketok CVA positif pada bagian kiri.

Regio suprapubik

Inspeksi : warna kulit sama dengan sekitar, jejas (-), sikatriks (-) , tanda-

tanda radang (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), vesika urinaria teraba tidak penuh

Ekstremitas

Akral Hangat , tidak terlihat adanya deformitas ataupun massa.

Kulit

Kulit tampak sawo matang , tidak ada ruam-ruam merah ataupun tanda-tanda

petekiae.

Kelamin

Tidak terpasang kateter, tidak terlihat adanya luka ataupun darah

IV. Pemeriksaan Penunjang

a. Hasil lab tgl 20/8/2015

Pemeriksaan Hasil Nilai normalHemoglobin 9.9 13 – 17 gr/dlHematokrit 30 37 – 54%Leukosit 7.3 5 – 10 ribu /ulTrombosit 272 150 – 400 ribu /ulCT /masa pembekuan 5 2 – 6 menitBT / masa pendarahan 3 1 – 3 menitGlukosa darah sewaktu 86 <200 mg/dl

b. Foto Thorax

Page 7: NEFROLITIASIS

Hasil foto thorax menunjukkan kesan aortosklerotik

c. Foto BNO Abdomen

Page 8: NEFROLITIASIS

Foto BNO Abdomen menunjukkan bayangan-bayangan radiopaque

dengan ukuran terbesar 1x1, 5cm yang terproyeksi di sebelah kiri vertebra L2.

Gambaran tersebut dapat mengarah ke suspek batu multipel di ureter kiri.

d. USG Ginjal dan Buli

Page 9: NEFROLITIASIS
Page 10: NEFROLITIASIS

USG Ginjal dan Buli menunjukkan adanya batu di pelvis renalis kiri

berukuran 2.74cm, yang disertai dengan hidronefrosis sedang. Pada ginjal

kanan tampak nefrolitiasis berukuran 1.04cm di interpole. Tidak tampak

kelainan di buli.

V. ResumeSeorang pasien wanita berinisial Ny.N, berusia 52 tahun datang dengan

keluhan nyeri pada perut bagian kanan dan kiri bawah sejak 10 hari yang lalu.

Nyeri bersifat terus menerus, dengan skala nyeri 8/10. Nyeri disertai mual dan

muntah, sekitar 3 kali sehari, berisi air. Keluhan tersebut merupakan lanjutan

dari keluhan nyeri pinggang kanan dan kiri yang muncul 3 bulan yang lalu. Pada

saat itu nyeri masih bersifat hilang timbul dan tidak menjalar sampai lapang

abdomen. Buang air kecil dan buang air besar pasien tidak dikeluhkan. Buang air

kecil lancar, dengan urin yang tidak disertai darah ataupun pasir. Demam

disangkal oleh pasien.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal,

status generalis menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan abdomen

yakni palpasi balotemen yang teraba (ginjal kiri), nyeri tekan perut kanan dan

kiri bawah. Ginjal kiri yang teraba pada balotemen memiliki permukaan yang

halus, konsistensi keras, dengan nyeri tekan. Pada pemeriksaan ketok sudut

kostovertebral terdapat nyeri dibagian kiri. Status urologis yakni regio

suprapubik tidak terasa penuh atau nyeri saat ditekan, dan tidak tampak adanya

kelainan pada genitalia pasien.

VI. Diagnosis KerjaNefrolitiasis VII. Diagnosis BandingAneurisme Arteri RenalisTumor WilmsStriktur UrethraBPH

Page 11: NEFROLITIASIS

VIII. Tatalaksana

Medikamentosa Pre- Op (27 Agustus 2015) Injeksi Ceftriaxone 1g IV

Non medikamentosa Pre-Op Skin test Ceftriaxone Puasa 8 jam Konsul spesialis jantung dan anestesi

Medikamentosa Post-Op (28 Agustus 2015) Pasang IV Line RL: D5% (2:1) 30tpm Injeksi Ceftriaxone 2x1g IV Injeksi Tramadol 3x50mg IV Injeksi Ranitidin 2x50mg IV injeksi Kalnex 3x500mg IV

Non medikamentosa Post-Op Rawat inap Pemasangan kateter dan pemantauan urine output per 12 jam Puasa sampai bising usus normal kembali Pemantauan selang drainase

OperatifPyelolithotomy dan pemasangan internal ureteral stent

IX. Follow upTanggal 28/8/2015 (Monitor Post Op)S: Pasien masih setengah sadar, tetapi sudah mengeluh nyeri pada luka post op.

Tidak ada rasa mual ataupun pusing post op. Operasi berlangsung jam 16.00.

O : Ku/Kes : SS/E4M5V5Tanda vital:

TD : 110/70 mmHg; HR:84x/menit;

RR : 18 x/menit; Suhu : 36°C

Kepala : normosefali

Mata : CA +/+ ; SI -/-; RC+/+

Leher : pembesaran KGB (-)

Pulmo : Vesikuler, Rh (-/-); Wz (-/-)

Cor : S1, S2, regular; murmur(-); gallop (-)

Abd : supel, datar, BU(-) , NT (+) di luka post op (region lumbalis sinistra)

Ext : akral hangat, edema (-) CRT <2

Genitalia : terpasang DC ukuran 16

Page 12: NEFROLITIASIS

Status lokalis regio lumbalis sinistra: terdapat luka post op, tertutup verban,

berukuran sekitar 7cm, tidak terdapat rembesan darah, terdapat selang drainase,

nyeri tekan (+).

A :post op pyelolitotomi

P : IVFD : D5% = 2:1 30 tpm

Inj ceftriaxone 2 x 1g IV

Inj Ranitidin 2 x 50mg IV

Inj Kalnex 3 x 500mg IV

Non Medikamentosa: Pasien puasa sampai bising usus normalObservasi nyeri dan produksi urin pasienCek DR post op

Tanggal 29/8/2015S: Nyeri luka post op, sehingga mengganggu pergerakan pasien. Pasien masih

tirah baring dan mengeluh ingin minum air. Tidak ada keluhan pusing ataupun

mual post op. Tidak ada sesak atau batuk.

O : Ku/Kes : Tampak Sakit Sedang/ E4M6V5Tanda vital:

TD : 110/70 mmHg; HR:76x/menit

RR : 14 x/menit; Suhu : 36.3

Kepala : normosefali

Mata : CA +/+ ; SI -/-; RC+/+

Leher : pembesaran KGB (-)

Pulmo : Vesikuler, Rhonchi terdengar di bagian apex (+/+); Wheezing (-/-)

Cor : S1/S2, regular; murmur(-); gallop (-)

Abd : supel, datar, BU(-) , NT (+) di regio lumbalis kiri (bagian operasi)

Ekestremitas: akral hangat, edema (-) CRT <2

Genitalia : terpasang kateter ukuran 16

Status lokalis: Terdapat luka operasi di regio lumbalis kiri, tertutup verban,

berukuran sekitar 7cm, tidak terdapat rembesan darah, nyeri tekan (+),

terpasang selang drainase dengan isi cairan berwarna merah.

Urine output/12 jam: 400cc

Page 13: NEFROLITIASIS

Cairan drainase: 3cc

Hasil DR post op: (tanggal 28/8 jam 22.00)

Pemeriksaan Hasil Nilai normalHemoglobin 10.1 13 – 17 gr/dlHematokrit 28 37 – 54%Leukosit 13.7 5 – 10 ribu /ulTrombosit 247 150 – 400 ribu /ul

A : Post pyelolitotomi H1

P : IVFD : D5% = 2:1 20 tpm

Inj ceftriaxone 2 x 1g IV

Inj Ranitidin 2 x 50mg IV

Inj Kalnex 3 x 500mg IV

Tanggal 30/8/2015S: Pasien merasakan mual (+), nyeri pada luka post op, dan nyeri pada pinggang kiri.

O : Ku/Kes : Tampak Sakit Sedang/ E4M6V5Tanda vital:

TD : 130/80 mmHg; HR:80x/menit

RR : 20x/menit; Suhu : 36°C

Kepala : normosefali

Mata : CA +/+ ; SI -/-; RC+/+

THT: T1-T1, faring tidak hiperemis

Leher : pembesaran KGB (-)

Pulmo : Vesikuler, Rhonchi (-/-); Wheezing (-/-), suara napas vesicular/vesikular

Cor : S1/S2, regular; murmur(-); gallop (-)

Abd : supel, datar, BU(+) , NT (+) di regio lumbalis kiri (bagian operasi) dan di

suprapubis, CVA -/+

Ekestremitas: akral hangat, edema (-) CRT <2

Genitalia : terpasang kateter ukuran 16

Page 14: NEFROLITIASIS

Status lokalis: Terdapat luka operasi di regio lumbalis kiri, tertutup verban,

berukuran sekitar 7cm, tidak terdapat rembesan darah, nyeri tekan (+),

terpasang selang drainase dengan isi cairan berwarna merah.

Urine output/12 jam: 400 cc

Cairan drainase: 3 cc

A : Post pyelolitotomi H2

P : IVFD : D5% = 2:1 20 tpm

Inj ceftriaxone 2 x 1g IV

Inj. Tramadol 3x50mg IV

Inj Ranitidin 2 x 50mg IV

Inj Kalnex 3 x 500mg IV

Tanggal 31/8/2015S: Pasien tidak mempunyai napsu makan karena mulut terasa pahit. Mual,

muntah, pusing, disangkal. Pasien susah BAB dan flatus. Makan hanya sedikit,

namun minum banyak. Pasien masih mengeluh nyeri di bagian operasi, di regio

suprapubik. Harus mulai mobilisasi.

O : Ku/Kes : Tampak Sakit Sedang/ E4M6V5Tanda vital:

TD : 110/80 mmHg; HR:88x/menit

RR : 24x/menit; Suhu : 36°C

Kepala : normosefali

Mata : CA -/- ; SI -/-; RC+/+

THT: T1-T1, faring tidak hiperemis

Leher : pembesaran KGB (-)

Pulmo : Vesikuler, Rhonchi (-/-); Wheezing (-/-), suara napas vesicular/vesikular

Cor : S1/S2, regular; murmur(-); gallop (-)

Abd : supel, datar, BU(+) , NT (+) di regio lumbalis kiri (bagian operasi) dan di

suprapubis, CVA -/+

Ekestremitas: akral hangat, edema (-) CRT <2

Genitalia : terpasang kateter ukuran 16

Page 15: NEFROLITIASIS

Status lokalis: Terdapat luka operasi di regio lumbalis kiri, tertutup verban,

berukuran sekitar 7cm, tidak terdapat rembesan darah, nyeri tekan (+),

terpasang selang drainase dengan isi cairan berwarna merah.

A : Post pyelolitotomi H3

Anemia

P : IVFD : D5% = 2:1 20 tpm

Inj ceftriaxone 2 x 1g IV

Inj. Tramadol 3x50mg IV

Inj Ranitidin 2 x 50mg IV

Inj Kalnex 3 x 500mg IV

Batu Ginjal Post- Pyelolitotomi

Page 16: NEFROLITIASIS

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Latar Belakang

Nefrolitiasis adalah kalkuli renalis, atau lebih dikenal sebagai batu ginjal. Batu

ginjal itu sendiri (nefroliths) merupakan agregasi dari mineral-mineral yang

terkandung dalam urin. Agregasi tersebut terjadi karena adanya abnormalitas pada isi

urin, yakni tingginya konsentrasi mineral-mineral tersebut karena kurangnya

konsumsi air sehingga proses kristalisasi terjadi, membentuk batu. Maka dari itu,

dehidrasi merupakan faktor resiko terbesar pembentukan batu ginjal. Faktor resiko

lainnya adalah asam urat, konsumsi vitamin C berlebih, riwayat batu ginjal dalam

keluarga, resistensi insulin, hiperparatiroidisme primer, dan menopause.

Insidens batu ginjal bukanlah sesuatu yang jarang dilihat. Pada tahun 2002,

prevalensi batu ginjal di Indonesia adalah 13% untuk laki-laki dan 7% untuk

perempuan, pada penduduk berumur 30-40 tahun. Jumlah pasien yang dirawat adalah

19.018 orang, dengan mortalitas sebanyak 378 orang.1 Pada tahun 2013, prevalensi

batu ginjal dapat dilihat di tabel berikut.

Page 17: NEFROLITIASIS

Jika diklasifikasikan menurut umur, batu ginjal terjadi pada pasien berumur

umur 55-64 tahun (1,3%), menurun sedikit pada kelompok umur 65-74 tahun (1,2%)

dan umur ≥75 tahun (1,1%). Prevalensi lebih tinggi pada penduduk yang tidak

bersekolah dan tidak tamat SD (0.8%), penduduk wiraswasta (0.8%), dan penduduk

menengah bawah sampai menengah atas (0.6%)2

.

Page 18: NEFROLITIASIS

II. Etiologi &Klasifikasi3, 4

Ada dua etiologi utama pembentukan batu ginjal, yakni volume rendah dari urin yang

terbentuk di renal dan meningkatnya konsentrasi mineral-mineral yang terkandung

dalam urin tersebut. Etiologi lainnya adalah stasis urin, gangguan metabolik, infeksi

saluran kemih, dan idiopatik. Faktor resiko pembentukan batu ginjal dibagi menjadi

dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

Faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang berasal dari tubuh pasien sendiri. Faktor

intrinsik berupa herediter (batu ginjal sebagai penyakit turunan), umur (30-50 tahun),

dan jenis kelamin (pria beresiko memiliki batu ginjal tiga kali lipat dibandingkan

wanita).

Faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor yang berasal dari lingkungan pasien. Faktor

ekstrinsik berupa geografi (insidens batu ginjal di suatu daerah dapat lebih tinggi

dibandingkan dengan daerah lainnya- daerah stone belt), iklim, suhu, asupan air dan

tingginya kadar kalsium dalam air yang diminum (semakin banyak air semakin baik,

semakin tinggi kadar kalsium dalam air semakin buruk), diet (diet tinggi purin,

oksalat, dan kalsium dapat mencetuskan pembentukan batu ginjal), dan pekerjaan

(pekerjaan yang tidak melibatkan banyak aktivitas fisik meningkatkan resiko batu

ginjal).

Mineral-mineral yang terkandung dalam urin berupa kalsium, magnesium,

ammonium, sulfat, asam urat, dan cystine. Peningkatan kadar kalsium dalam urin

dapat menghasilkan batu kalsium, yang merupakan tipe batu ginjal yang paling sering

ditemukan (60-80%).

a. Batu Kalsium

Batu kalsium yang terbentuk di ginjal dapat berupa kalsium oksalat, kalsium fosfat,

dan kalsium urat. Batu kalsium adalah tipe batu ginjal yang paling sering ditemukan,

yakni 70-80% dari total insidens batu ginjal. Kondisi-kondisi yang menyebabkan

peningkatan kadar kalsium dalam darah adalah hiperparatiroidisme, hipomagnesuria,

hiperkalsiuria, hiperoksaluri, hipositraturia, dan hiperurikosuria. Kadar pH urin yang

Page 19: NEFROLITIASIS

basa akan meningkatkan resiko pembentukan batu ini.

Hiperkalsiuria adalah kadar kalsium yang tinggi dalam urin (>250-300mg/24

jam). Hiperkalsiuria terjadi karena adanya peningkatan absorbsi kalsium

dalam usus, adanya gangguan reabsorbsi kalsium dalam tubulus renal, dan

karena adanya pengingkatan penyerapan kalsium dari tulang ke darah

(hiperparatiroidisme atau karena tumor paratiroid).

Hiperoksaluria adalah oksalat yang berlebih dalam urin (>45g/24 jam). Hal ini

akan ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi makanan dan minuman yang

mengandung banyak oksalat, seperti teh, kopi instan, minuman bersoda,

coklat, stroberi, jeruk, dan bayam. Selain itu hiperoksaluria juga dapat

ditemukan pada pasien yang telah menjalani pembedahan usus.

Hiperurikosuria adalah kadar asam urat yang berlebih dalam urin (>850mg/24

jam). Hal ini dapat ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi makanan yang

bayak mengandung purin, seperti kacang-kacangan dan daging.

Hipositraturia adalah kadar sitrat yang sedikit dalam urin. Telah dijelaskan

bahwa sitrat merupakan salah satu inhibitor pembentukan batu ginjal, maka

kadarnya yang sedikit akan menghasilkan banyak kalsium oksalat atau

kalsium fosfat. Hipositraturia dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit

ginjal kronik (karena adanya renal tubular acidosis), dan pada pasien yang

menggunakan thiazide dalam jangka waktu lama.

Hipomagnesuria adalah kadar magnesium yang sedikit dalam urin.

Magnesium juga merupakan salah satu penghambat pembentukan batu ginjal,

namun jika terjadi hipomagnesuria maka kadar kalsium oksalat akan

meningkat. Hipomagnesuria dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit

inflamasi usus.

Selain konsentrasi mineral yang meningkat, kristalisasi batu juga dapat dipengaruhi

oleh infeksi nanobakteri (biasanya post infeksi Helicobacter pylori). Nanobakteri

tersebut akan membentuk cangkang yang terbuat dari kalsium fosfat. Penumpukan

kalsium fosfat dapat membesar membentuk kalkuli renal, dan pembesarannya

dipengaruhi oleh konsentrasi kalsium dari diet sehari-hari, volume urin, dan

Page 20: NEFROLITIASIS

berkurangnya inhibitor kalkuli (sitrat, pyrofosfat, dan glikoprotein).

b. Batu Struvit

Peningkatan konsentrasi ammonium, magnesium, dan fosfat akan membentuk batu

struvite (10-15%). Batu struvite paling sering terbentuk sebagai hasil dari infeksi

saluran kemih oleh bakteri berbentuk batang gram negatif, karena bakteri tersebut

akan memecah urea menjadi ammonium. Penumpukan ammonium akan membuat pH

urin menjadi basa, sehingga dapat menarik magnesium dan fosfat, membentuk batu

struvite. Bakteri-bakteri tersebut biasanya berupa Proteus sp., Klebsiella sp., Serratia,

Enterobakter, Stafilokokus, atau Pseudomonas sp.

c. Batu Asam Urat

Batu asam urat juga merupakan salah satu tipe batu ginjal yang paling sering

ditemukan (5-10%) pada pasien walaupun tidak sesering batu kalsium oksalat dan

batu struvite. Faktor resiko untuk batu asam urat adalah konsumsi purin yang

berlebihan (daging, kacang-kacangan, ikan), mempunyai penyakit asam urat, penyakit

mieloproliferatif, mendapatkan terapi antikanker, dan banyak menggunakan

sulfipirazone, thiazide, dan salisilat, konsumsi alkohol, dan obesitas. Diet tinggi purin

dapat menyebabkan asam urat tinggi karena degradasi purin oleh asam inosinat

menghasilkan hipoxantin, yang kemudian diubah menjadi xantin oleh xanthin

oksidase. Xanthin kemudian akan dimetabolisir menjadi asam urat. Asam urat akan

diekskresikan melalui urin. Seperti mineral lainnya, asam urat akan kristalisasi apabila

volume urin sedikit, tetapi lain dari itu kadar asam urat harus tinggi dan pH urin asam.

Diagnosis yang mengarah pada batu asam urat adalah pH urin yang kurang dari 5.5,

dan pada pemeriksaan kreatinin dan asam urat dalam urin atau serum didapatkan

peningkatan. Ukuran batu asam urat bervariasi dari kecil sampai besar sekali, namun

bentuknya pasti halus dan bulat sehingga bisa keluar secara spontan.

d. Lainnya

Batu Cystine merupakan tipe batu ginjal yang paling jarang (1%). Batu Cystine

terbentuk karena adanya defek reabsorpsi Cystine, Ornithine, Lysine, Arginine di

Page 21: NEFROLITIASIS

mukosa usus. Batu lainnya adalah batu xanthine, yang sangat jarang ditemukan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kristalisasi komposisi urin adalah suhu, pH,

konsentrasi solut dalam urin, laju aliran urin dalam saluran kemih, dan adanya korpus

alienum dalam saluran kemih yang memicu pengendapan solute di urin.

e. Lokasi

Selain dari komposisi batu, batu ginjal juga diklasifikasikan melalui lokasi batu.

Lokasi batu dibagi menjadi dua tempat utama, yaitu batu ginjal dan batu ureter. Batu

ginjal terbentuk di tubulus ginjal dan kemudian akan bergerak ke pelvis ginjal, kaliks

ginjal, infundibulum ginjal, atau bahkan pelvis dan kaliks ginjal.

Batu ureter terjadi ketika batu di pelvikaliks didorong kebawah oleh gerakan

peristalsis. Ureter kemudian akan menggunakan gerakan peristalsis untuk mendorong

batu ke buli-buli. Batu dapat dibedakan lokasinya melalui gejala klinis pasien.

IV. Patofisiologi

Batu dapat terjadi di semua bagian traktus urinarius yang biasa mengalami stasis urin,

seperti kalises ginjal dan buli-buli. Selain dari itu, kondisi-kondisi yang

memungkinkan adanya stasis urin seperti divertikel, obstruksi infravesika kronis

(hyperplasia prostat benigna), striktur urethra, dan buli-buli neurogenik memudahkan

terjadinya pembentukan batu karena stasis urin yang dihasilkannya.

Batu terbentuk karena adanya kristalisasi dari komposisi urin, yakni bahan organik

dan anorganik. Bahan-bahan tersebut akan tetap terlarut dalam urin (dikenal sebagai

kondisi metastable) apabila tidak ada faktor-faktor resiko yang menyebabkan

presipitasi kristal di urin. Ketika bahan organic dan anorganik dalam urin sudah

presipitasi, maka mereka akan agregasi sekaligus menarik komposisi urin lainnya

sehingga kristal tersebut makin lama makin besar. Setelah agregasi, kristal tersebut

masih belum dapat menyumbat saluran berkemih. Maka bagaimana cara kristal

tersebut menghambat proses berkemih? Kristal yang sudah membesar tersebut akan

menempel pada sel epitel saluran berkemih, mengalami proses pengendapan sehingga

kristal akan membesar lagi sampai menyumbat traktus urinarius.

Page 22: NEFROLITIASIS

Pembentukan batu pada urin dipengaruhi dengan seimbang atau tidaknya inhibitor

batu dan zat-zat pembentuk batu. Inhibitor batu adalah zat-zat yang menghambat

pembentukan batu, yakni dengan cara reabsorpsi kalsium dalam usus, menghambat

agregasi dan retensi kristal. Salah satu inhibitor batu adalah ion magnesium, yang jika

berikatan dengan oksalat akan membentuk magnesium oksalat. Ini akan

mengakibatkan jumlah oksalat yang akan berikatan dengan kalsium untuk membentuk

batu kalsium oksalat akan menurun. Inhibitor lain adalah sitrat, yang cara kerjanya

sama seperti magnesium. Sitrat akan berikatan dengan kalsium sehingga jumlah

kalsium yang akan berikatan dengan oksalat untuk membentuk batu kalsium oksalat

akan berkurang. Inhibitor-inhibitor batu lainnya adalah glikosaminoglikan, Tamm

Horsfall protein, uromukoid, nefrokalsin, osteopontin.

V. Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang sangat khas untuk nefrolitiasis adalah nyeri pinggang unilateral

(pada sisi ginjal yang sakit). Nyeri dapat berupa kolik atau non-kolik. Nyeri kolik

adalah nyeri yang hilang timbul, dan pada kasus batu ginjal nyeri kolik muncul karena

gerakan peristaltik ureter atau otot kalises yang meningkat dengan tujuan

mengeluarkan batu dari traktus urinarius. Gerakan peristaltik tersebut meningkatkan

tekanan intraluminal dan meregangkan terminal saraf, menghasilkan rangsangan

nyeri. Nyeri non kolik disebabkan oleh hidronefrosis atau infeksi ginjal yang

menyebabkan peregangan kapsul ginjal. Disuria akan dirasakan apabila batu terletak

di ujung ureter. Pasien juga akan merasakan frekuensi berkemih meningkat, seringkali

dikeluhkan sebagai ‘anyang-anyangan’. Hematuria juga seringkali dikeluhkan oleh

pasien. Hematuria terjadi karena iritasi mukosa saluran kemih karena gesekan batu.

Adanya gejala demam akan ada jika batu ginjal sudah menimbulkan urosepsis. Pasien

dengan urosepsis harus diobati segera karena merupakan kasus gawat darurat.

Dari gejala-gejala klinis diatas, pada pemeriksaan fisik akan didapatkan nyeri ketok

pada sudut kostovertebra (di sisi yang sakit), balotemen positif pada sisi yang sakit

(karena sudah hidronefrosis), retensi urin, dan demam dan menggigil apabila infeksi.

Page 23: NEFROLITIASIS

VI. Pemeriksaan Penunjang5

Selain menggunakan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendiagnosa

nefrolitiasis, pemeriksaan penunjang juga dilakukan untuk mendukung suspek

diagnosis pasien. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto polos abdomen,

pielografi intra vena, dan ultrasonografi.

Foto polos abdomen dapat dilakukan untuk melihat batu radio opak di saluran kemih.

Batu radio-opak umumnya berupa batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, dibedakan

dengan batu asam urat yang radiolusen dan batu struvite yang semiopak.

Pielografi intra vena (IVU) digunakan untuk melihat adanya kelainan dalam fungsi

ginjal dengan cara menggunakan kontras dan melihat apabila ada sumbatan pada

saluran kemih. Apabila terdapat sumbatan, maka cairan kontras akan berkumpul di

bagian proksimal dari lokasi sumbatan tersebut. Selain itu, IVU juga dapat digunakan

untuk identifikasi apabila batu yang menyumbat opak, semi opak, atau tidak opak

sama sekali. Jika IVU belum dapat memastikan diagnosis maka pielogram retrograde

dapat digunakan. Pielogram retrograde memiliki konsep yang sama seperti IVU tetapi

kali ini berlawanan arah, dalam arti kontras akan dimasukkan dari ureter- kontras

akan mengalir dari distal ke proksimal saluran kemih. Pielogram retrograde akan

dilakukan bersamaan dengan sistoskopi, dimana endoskopi akan dimasukkan dari

kelamin untuk visualisasi saluran kemih dan menentukan kapan cairan kontras dapat

dimasukkan.

Ultrasonografi juga dapat dilakukan, khususnya pada pasien dengan kontraindikasi

IVU, yakni alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan wanita

hamil. Gambaran yang terlihat di USG adalah gambaran hyperechoic (batu) dengan

echoic shadow dibawahnya, hidronefrosis (dinding ginjal yang menebal), dan

pengerutan ginjal.

VII. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari nefrolitiasis adalah keganasan (Tumor Wilms’), aneurisme

arteri renalis, striktur urethra, dan Hiperplasia Prostat Benigna (BPH).

Tumor Wilms’ adalah suatu keganasan ginjal yang seringkali terlihat pada anak

Page 24: NEFROLITIASIS

berusia 3.5 tahun. Tumor Wilms’ mempunyai gejala yang dapat dikelirukan dengan

nefrolitiasis, yakni teraba massa di abdomen, demam, dan nyeri abdomen. Gejala

lainnya adalah adanya hematuria, infeksi saluran kemih, hipertensi, dan gejala

respiratorik (metastasis ke paru). 6

Aneurisme arteri renalis adalah dilatasi berlebih pada arteri renalis yang disebabkan

oleh trauma tumpul pada abdomen, dan tindakan diseksi arteri renalis. Dari etiologi

sendiri sudah dapat dibedakan dengan nefrolitiasis karena pasien dengan aneurisme

arteri renalis akan mempunyai riwayat trauma dan tindakan diseksi. Gejalanya yang

mirip dengan nefrolitiasis adalah nyeri abdomen, retensi cairan, dan nyeri pinggang

(terutama karena diseksi). Gejala lainnya adalah hipertensi (karena renal iskemia yang

dicetuskan oleh thromboemboli distal dari aneurisme). Seringkali aneurisme arteri

renalis bersifat asimptomatik dan hanya diketahui setelah CT Scan, angiografi, atau

MRI. 7

Striktur urethra adalah salah satu kelainan yang sering ditemukan di poli bedah

dengan gejala yang sangat mirip dengna nefrolitiasis. Striktur urethra mempunyai

gejala obstruktif seperti frequency (“anyang-anyangan”), urgency (sulit menahan

buang air kecil), hesitancy (susah memulai aliran urin), dribbling (urin menetes-netes

ketika berkemih), dan retensi urin. Pada nefrolitiasis yang dapat juga terjadi gejala

obstruktif apabila batu sudah bergerak sampai urerthra. Retensi urin bisa mencetuskan

infeksi saluran kemih sehingga dapat terlihat demam dan disuria. Pada striktur urethra

pasien akan mempunyai riwayat trauma atau urethritis. 8

Diagnosis banding lainnya adalah Hiperplasia Prostat Benigna (BPH). BPH hanya

terjadi pada pria, dan akan terlihat gejala-gejala obstruktif juga. BPH di diagnosa

menggunakan skor IPSS (International Prostate Symptom Score), dimana terdapat

kriteria yang harus dipenuhi seperti miksi tidak tuntas, frekuensi, intermitten, urgensi,

pancaran lemah,mengejan, dan nokturia. Masing-masing kriteria mempunyai skor

tertentu tergantung dari munculnya gejala saat miksi. Skor IPSS ditunjukkan di tabel

berikut.

Page 25: NEFROLITIASIS

Skor 1-7 berarti BPH ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 BPH berat. Seperti nefrolitiasis,

pada BPH dapat terjadi hidronefrosis dan hidroureter, termanifestasi sebagai nyeri

Page 26: NEFROLITIASIS

pinggang. Bedanya adalah pada BPH biasanya terjadi bersamaan dengan hernia

inguinalis dan hemorrhoid karena seringnya mengejan ketika berkemih. Pada

pemeriksaan rektal pun terdapat pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.

VIII. Tatalaksana9,10

Tatalaksana definitif untuk batu ginjal adalah tindakan operasi, namun tidak semua

kasus batu ginjal akan diterapi secara invasif. Indikasi tindakan operasi adalah jika

batu telah menimbulkan gejala-gejala obstruktif, infeksi, atau karena masalah sosial

(seperti profesi yang tidak memungkinkan pasien untuk selalu ke kamar kecil atau

minum banyak air). Tindakan operasi yang dilakukan berupa endourologi,

laparoskopi, atau laparotomi.

1 S, M. Azhary Rully. Batu Staghorn Pada Wanita: Faktor Resiko dan Tatalaksananya. JIMKI-2010, Januari; Vol I (01); 52.

2 Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. RISKESDAS-2013, Desember; 94-95

3 Purnomo, Basuki B. Dasar-Dasar Urologi, Edisi 3. Malang: Sagung Seto, 2014.

4 Parmar, Malvinder S., Kidney Stones. BMJ- 2004, Jun 12: 328 (7453); 1420-1424

5 Johns Hopkins Unversity. USA. Johns Hopkins University, 2013. Dapat dilihat di: http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/urology/retrograde_pyelogram_92,P07713/

6 Paulino, Arnld C., Wilms Tumor. Arizona, Medscape, Nov 09 2014. Dapat dilihat dari: http://emedicine.medscape.com/article/989398-overview

7 Zhang LJ, Yang GF, Qi J, Shen W. Renal artery aneurysm: diagnosis and surveillance with multidetector-row computed tomography. Acta Radiol. 2007 Apr. 48(3):274-9.

8 Broghammer, Joshua A., Urethral Strictures, Illinois, Medscape. May 09 2013. Dapat dilihat dari: http://emedicine.medscape.com/article/450903-overview#a10

9 Gaol, H.L., Mochtar C.A., Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV. Jakarta, Media Aesclapius, 2014.

10 American urological Association. Report on the Management of STaghorn Claculi. Nephrolithiasis Clinical Guidelines Panel. 1994: 9-21

Page 27: NEFROLITIASIS

Tatalaksana non-invasif adalah dengan cara medikamentosa atau ESWL. Terapi

medikamentosa diberikan apabila batu berukuran kurang dari 5mm, berada di ureter

distal, dan tidak terjadi obstruksi total, dengan harapan batu dapat keluar dengan

spontan. Obat yang diberikan adalah tamsulosin 0.8mg PO 1x1 (alpha blocker sebagai

vasodilator), Asam Mefenamat sebagai analgetik (antiprostaglandin), dan anjurkan

pasien untuk minum banyak air (2L per hari) agar batu dapat terdorong keluar dari

saluran kemih. NSAID supositoria dapat memberikan efek yang lebih cepat.

Pemantauan setiap 2 minggu selama 6 minggu dilakukan untuk memantau posisi batu

dan derajat hidronefrosis. Khusus untuk kasus batu asam urat, terapi pelarutan dapat

dilakukan. Terapi pelarutan adalah dimana batu dihancurkan dengan cara dilarutkan

melalui konsumsi makanan yang bersifat alkalis, pemberian natrium bikarbonat, dan

pemebrian allopurinol. Batu struvite tidak dapat dilarutkan, tetapi hanya bisa dicegah

pembesarannya melalui pemberian antiurease.

Terapi ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) adalah tindakan pemecahan

batu yang tidak meliputi suatu proses invasive, pasien bahkan tidak akan dibius. Alat

ESWL diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980, dan alat tersebut dapat memecah

batu ginjal, batu ureter proksimal, dan batu buli. Alat ESWL dapat memberikan suatu

pancaran shockwave pada suatu titik tertentu di tubuh. Shockwave kemudian akan

propagasi melewati jaringan-jaringan tubuh sampai mencapai tempat batu berada, dan

energi dari shockwave tersebut dapat memecah batu menjadi fragmen-fragmen kecil

yang bisa kemudian bisa keluar sendiri melalui urin. Fragmen yang akan dikeluarkan

masih dapat menyebabkan nyeri kolik dan hematuria.

Page 28: NEFROLITIASIS

Tindakan invasif minimal endourologi ditujukan untuk memecah batu, dan pecahan-

pecahannya kemudian akan diambil menggunakan alat yang dimasukkan ke saluran

kemih. Alat dapat dimasukkan secara perkutan atau langsung melalui uretra.

Pemecahan batu dilakukan menggunakan energi hidraulik, energi gelombang suara

(soundwave), atau dengan laser. Endourologi dibagi lagi menjadi berbagai tindakan

yang memakai alat yang berbeda-beda, namun konsepnya sama. Tindakan-tindakan

endourologi adalah sebagai berikut.

a. Ureteroskopi adalah dimana alat ureteroskopi dimasukkan melalui uretra

untuk melihat keadaan sistem pielokaliks ginjal dan ureter. Adanya batu di

saluran kemih akan dihancurkan dengan bantuan manipulasi ureteroskopi

tersebut.

b. Litotripsi adalah tindakan dimana alat litotriptor yang berfungsi untuk

memecah batu buli atau uretra dimasukkan ke buli, dan pecahan akan

dikeluarkan menggunakan evakuator Ellik.

c. Percutaneous Nephro Litholapaxy adalah dimana alat endoskopi dimasukkan

ke sistem kalises secara perkutan. Batu kemudian dipecah dan fragmen

dikeluarkan.

d. Ekstraksi Dormia adalah tindakan dimana batu ureter dikeluarkan

menggunakan alat keranjang Dormia (batu akan dijaring kemudian

dikeluarkan, tanpa dipecah terlebih dahulu).

Tindakan invasif laparotomi (pembedahan terbuka) seringkali menjadi pilihan

untuk mengeluarkan batu ginjal, karena sudah sangat sering dilakukan dan

alat-alat invasive minimal biayanya sangat mahal. Tindakan-tindakan

pembedahan terbuka adalah pielolitotomi, nefrolitotomi, dan ureterolitotomi.

Pielolitotomi adalah pengambilan batu di kaliks renal, sedangkan

nefrolitotomi terfokus pada ginjal, dan ureterolitotomi pada ureter. Nefrektomi

adalah tindakan pengambilan ginjal secara keseluruhan, yang dilakukan

apabila ginjalnya sudah tidak berfungsi, bernanah, atau ginjal sudah berkerut.

Bedah laparoskopi jarang dilakukan karena prosedur ini sedang berkembang.

Page 29: NEFROLITIASIS

Menurut American Urological Association (2014), batu pada sistem pelviokalises

dapat ditatalaksana mengikuti algoritme sebagai berikut.

Dari algoritme diatas dapat dilihat bahwa semakin besar ukuran batu maka tindakan

invasif semakin dianjurkan. Tindakan yang merupakan lini pertama adalah antara

ESWL atau PNL (Percutaneous Nephrolitholapaxy). Apabila batu terdapat di kaliks

maka dilihat apabila terdapat kontraindikasi ESWL yaitu bukan batu kalsium oksalat

monohidrat atau batu sistin, sudut pelvik-infundibulum tidak curam, infundibulum

>5mm dan kalik inferior pendek <10mm, hamil, infeksi saluran kemih yang tidak

terkontrol, obesitas berat, dan aneurisma arteri di sekitar batu. Apabila salah satu

kontraindikasi tersebut ada, maka endourologi dipilih sebagai pilihan pertama.

IX. Komplikasi 11, 12, 13

Apabila batu ginjal tidak segera diobati maka akan menimbulkan berbagai

komplikasi, dari komplikasi ringan sampai yang bersifat fatal. Komplikasi yang bisa

Pasien dengan batu ginjal

5-10mm

<5mmTerapi konservatif, medikamentosa, observasi

5-10mm 10-20mm >20mm

ESWL/Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS)PNL

Kaliks Inferior

Kaliks Superior/Medial

PNLSWL/RIRS

ESWLEndourologi

Page 30: NEFROLITIASIS

terjadi adalah overflow incontinence, gagal ginjal, abses perinefrik, hidronefrosis,

nefropati obstruktif, dan yang paling fatal berupa urosepsis.

Overflow incontinence adalah suatu kondisi dimana pasien tidak akan merasa lampias

setelah berkemih karena adanya obstruksi parsial dari saluran kemih. Overflow

incontinence ditandai dengan adanya urin yang menetes-netes setelah berkemih,

disebabkan oleh urin yang berusaha keluar dari obstruksi parsial tersebut. Teori lain

yang menjelaskan tentang overflow incontinence adalah bahwa obtruksi saluran

kemih (terutama di buli atau urethra) menyebabkan penumpukan urin di buli-buli.

Penumpukan urin menghasilkan distensi otot buli sehingga kontraksi tidak dapat

dilakukan oleh otot detrusor. Lama kelamaan distensi otot buli bertambah, otot

internal sphincter meregang, dan urin dapat keluar sedikit demi sedikit. Penumpukan

urin dapat menyebabkan refluks urin kembali ke ginjal, menyebabkan hidronefrosis,

dan apabila tidak diterapi secepatnya dapat menyebabkan kegagalan fungsi dan

11 Rule, Andrew D, et al. Kidney Stones and The Risk for Chronic Kidney Disease. CJASN-2009 Apr; 4 (4) 804-811

12 Bostwick, David G., et al. Urologic Surgial Pathology. 3rd edition. USA: Elsevier. 2014.

13 Joel Gustavo Gomez-Nunez, Ulises M. Alvarez, Francisco Fernandez, Jorge Gutierrez-Aceves, Luz Maria Lopez-Marin and Achim M. Loske (2011). Infected Urinary Stones, Endotoxins and Urosepsis, Clinical Management of Complicated Urinary Tract Infection, Dr. Ahmad Nikibakhsh (Ed.), ISBN: 978-953-307-393-4, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/clinical-management-of-complicated-urinary-tractinfection/infected-urinary-stones-endotoxins-and-urosepsis

Page 31: NEFROLITIASIS

kerusakan struktur ginjal yang permanen (nefropati obstruktif).

Komplikasi lainnya adalah abses perinefrik, yang merupakan abses di antara kapsul

ginjal dengan fascia Gerota. Abses perinefrik sendiri adalah tahap lanjut dari

pyonefrosis yang dicetuskan oleh batu ginjal. Batu ginjal akan diikuti oleh obstruksi

saluran kemih, menghasilkan kondisi stasis urin atau bahkan sampai hidronefrosis.

Stasis urin adalah suatu media yang ideal bagi bakteri-bakteri saluran kemih untuk

berkolonisasi. Bakteri yang biasanya berkembang biak pada saluran kemih (stasis

urin) adalah Escherichia coli., Enterococcus sp., Candida sp., Enterobacter sp., dan

lainnya. Infeksi akan mengaktivasi reaksi imun pada fokus infeksi. Pada pyonefrosis,

reaksi imun akan terlokalisasi sampai parenkim ginjal dan akan terlihat adanya

penumpukan sel darah putih yang membentuk nanah (pus). Apabila infeksi

penumpukan sel darah putih menyebar sampai kapsul ginjal maka dapat terbentuk

abses perinefrik. Pada kondisi ini pasien akan demam menggigil, dysuria, penurunan

berat badan, dan nyeri pinggang 1-2 minggu setelah infeksi terjadi, dan gejala akan

menetap lebih dari 5 hari. Nyeri pinggang dapat menjalar ke bagian selangkangan,

paha, atau lutut. Massa di pinggang (abses) dapat teraba.

Nefrolitiasis juga dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis, walaupun

mekanismenya belum jelas. Penelitian telah memberi hasil bahwa resiko pasien

mengidap penyakit ginjal kronis setelah mengidap batu ginjal adalah 50-67%, resiko

untuk memiliki peningkatan kreatinin serum adalah 26-46%, dan penurunan laju

filtrasi glomerulus adalah 22-42%.

Komplikasi nefrolitiasis yang paling fatal adalah urosepsis. Urosepsis adalah kondisi

sepsis yang disebabkan oleh infeksi saluran kemih. Sepsis sendiri adalah kondisi

sindrom respon inflamasi sistemik yang disertai dengan infeksi. Kriteria sepsis adalah

adanya bukti infeksi, suhu >38 atau <36, detak jantung >90x/menit, laju napas

>20x/menit, jumlah leukosit >12.000 atau <4.000. Urosepsis akan diawali dengan

batu ginjal yang terinfeksi. Bakteria akan menginfeksi saluran kemih secara asendens,

dan berkolonisasi di permukaan batu. Bakteria yang paling sering menyerang batu

ginjal adalah E.Coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa. Bakteri tersebut akan

melepas endotoksin (Lipopolisakarida) yang akan mengaktifkan Interleukin-1 dan

Page 32: NEFROLITIASIS

Tumor Necrosis Factor alpha, diikuti oleh stimulasi faktor-faktor komplemen. Faktor

komplemen kemudian akan memanggil sel-sel imun yang lebih banyak ke fokus

infeksi. Reaksi inflamasi yang sangat besar lah yang akan menimbulkan gejala-gejala

urosepsis.

Pemberian antibiotik pada awal infeksi tidak akan memberi perubahan besar karena

obat akan sulit mempenetrasi batu ginjal. Hal ini memungkinkan infeksi batu ginjal

untuk tetap memburuk walaupun sudah ada pemberian antibiotik. Hal tersebut

menjurus pada komplikasi urosepsis apabila tidak diterapi secara adekuat.

X. Prognosis14

Prognosis nefrolitiasis tergantung dari ukuran batu, waktu mulai tatalaksana, dan

adanya komplikasi. Semakin kecil ukuran batu (<5mm), maka prognosis akan

menjadi semakin baik karena batu dapat keluar sendiri bersamaan dengan urin.

Semakin cepat tatalaksana untuk batu ginjal maka semakin baik prognosisnya.

Tatalaksana yang cepat akan mengurangi kesempatan untuk timbulnya komplikasi

(abses atau urosepsis). Komplikasi yang fatal seperti urosepsis mempunyai prognosis

yang sangat buruk, sehingga membutuhkan penanganan invasif segera. Prognosis juga

akan lebih buruk apabila pasien memiliki batu multipel dan memiliki anggota

keluarga yang juga mengidap nefrolitiasis, karena faktor-faktor tersebut merupakan

petunjuk Apabila batu ginjal sudah ditangani, masih ada kesempatan bahwa batu

dapat terbentuk dan menyumbat saluran kemih lagi. Probabilitas rekurensi adalah

50% dalam waktu 5 tahun, dan 70% dalam waktu 10 tahun. bahwa ada kelainan

metabolik pada pasien.

X. Pembahasan Kasus

Secara kronologis, pasien mempunyai keluhan nyeri pinggang kanan dan kiri tiga

14 Wolf, Stuart. Nephrolithiasis. USA, Medscape, Apr 28, 2014. Dapat dilihat dari: http://emedicine.medscape.com/article/437096-overview

Page 33: NEFROLITIASIS

bulan sebelum masuk rumah sakit. Nyeri tersebut bersifat hilang timbul, dengan skala

6/10. Pasien menyangkal adanya keluhan buang air kecil seperti anyang-anyangan,

sulit berkemih, nyeri berkemih, ataupun adanya darah atau pasir dalam urin. Pasien

juga menyangkal adanya demam. Dari keluhan awal tersebut sudah dapat diketahui

bahwa pasien tidak memiliki gejala infeksi saluran kemih. Nyeri pinggang dapat

disebabkan oleh keluhan otot atau ginjal, namun sifat nyeri yang kolik lebih mengarah

ke patologi ginjal. Nyeri kolik adalah suatu manifestasi adanya obstruksi saluran

kemih, seringkali oleh kalkuli, dan nyeri timbul karena gerakan peristaltik ureter

dalam usaha untuk mendorong kalkuli ke saluran kemih bagian distal agar dapat

keluar bersamaan dengan urin. Gesekan batu dengan dinding ureter disertai hipoksia

yang timbul menyebabkan nyeri kolik. Lokasi nyeri adalah pinggang kiri dan kanan,

dapat diperkirakan bahwa terdapat kalkuli di pelvis ginjal kiri dan kanan.

Saat masuk rumah sakit, pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan dan kiri

bawah (bagian iliaka). Nyeri bersifat terus menerus dengan skala 8/10. Pasien juga

mengalami mual dan muntah. Demam dan keluhan berkemih tetap disangkal. Dari

keluhan terebut dapat dilihat bahwa nyeri telah menjalar ke bagian suprapubik dan

bersifat non kolik. Nyeri pada bagian suprapubik lebih menandakan bahwa nyeri

berasal dari batu yang berada di ureter. Dapat diperkirakan bahwa batu dari ginjal

sudah turun sampai ke ureter, dan karena nyeri bilateral maka kemungkinan batu

ureter berada di ureter kanan dan kiri. Mual dan muntah yang dialami pasien timbul

karena adanya stimulasi nervus vagal karena iritasi mukosa gastrointestinal oleh

hidronefrosis. Nyeri non kolik muncul ketika intensitas nyeri kolik sudah mencapai

Page 34: NEFROLITIASIS

maksimum, yaitu 1-2 jam setelah onset nyeri. Nyeri di inervasi oleh serat nyeri renal,

yaitu saraf preganglionic simpatetik T11-L2, melalui traktus spinothalamikus. Nyeri

di pinggang dan area lumbalis menandakan pusat nyeri di ureter proksimal, di

suprapubik berarti pusat di ureter media, dan nyeri di daerah selangkangan

menandakan nyeri terpusat di distal ureter. Pada pasien kemungkinan batu sudah

mencapai ureter media, dengan asal dari renal pelvis, lokasi bilateral.

Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya nyeri tekan abdomen pada bagian

suprapubik kanan dan kiri, tidak teraba adanya massa. Pada balotemen ginjal kiri

teraba, yang bisa menandakan hidronefrosis pada ginjal kiri. Ketok CVA positif pada

ginjal kiri, hal ini juga bisa menandakan hidronefrosis karena nyeri bisa muncul

karena ketokan mengiritasi ginjal yang telah membesar.

Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan kadar Hb 9.9 dan Ht 30, bisa disebabkan

oleh mikroskopik hematuria. Pada BNO polos abdomen, terdapat gambaran

radiopaque di level vertebra L2 sinistra, hal ini menandakan adanya batu di ureter

sinistra. Setelah pasien diperiksa USG terlihat ada batu di pelvis renalis kiri berukuran

2.74cm disertai hidronefrosis sedang, dan adanya nefrolitiasis di interpole ginjal

kanan. Dapat disimpulkan bahwa pasien memiliki batu ginjal di pelvis renalis kiri,

dan ada yang sudah turun sampai ureter (ditandai dengan nyeri kolik yang menjalar).

Pasien juga memiliki batu di ginjal kanan, dan tidak ada bukti bahwa batu tidak ada di

ureter kanan walaupun nyeri suprapubik juga dirasakan di sisi kanan.

Pasien di operasi pielitotomi 1 hari setelah masuk rumah sakit. Pielolitotomi adalah

operasi untuk mengeluarkan batu ginjal dari renal pelvis. Teknik ini dipilih apabila

diameter batu 1-2cm. Ketika operasi, pasien berada dalam posisi lateral decubitus dan

pada pasien insisi dilakukan secara posterior lumbotomi. Insisi dibuat sekitar 2.5cm

lateral dari otot erector spinae di costae 12 sampai batas superior krista iliaka. Insisi

dilakukan sampai jaringan aponeurotik di otot latissimus dorsi. Untuk mencapai renal

pelvis, maka insisi diteruskan sampai menemukan fascia gerota dan jaringan lemak

perirenal. Dari situ pelvis bisa ditemukan, kecuali batu terdapat di pelvis intrarenal.

Setelah menemukan renal pelvis maka batu dapat dikeluarkan melalui insisi. Pada

pasien setelah batu dikeluarkan selang drainase (menggunakan selang NGT) dipasang,

untuk drainase darah post op, selang drainase disambungkan ke botol berisi cairan

NaCl. Drainase dipasang sampai selang tidak berisi darah.

Page 35: NEFROLITIASIS

Batu yang dikeluarkan dari pasien bentuknya tidak beraturan, permukaan tidak halus,

berjumlah 4, dan berwarna kuning. Dari penampakannya batu tersebut bukanlah batu

asam urat yang bulat dan halus, namun lebih menyerupai batu kalsium oksalat. Faktor

resiko untuk pembentukan batu kalsium oksalat pada pasien belum jelas,

kemungkinan besar bisa didapatkan dari pola makannya sehari-hari.

Setelah operasi pasien diberikan injeksi Ceftriaxone 2x1g IV sebagai profilaksis

infeksi post op. Pasien diberikan injeksi Tramadol 3x50 mg IV sebagai obat anti

nyeri, injeksi Ranitidin 2x50mg untuk melindungi dari asam lambung berlebih

berhubung pasien belum boleh konsumsi apapun per oral sebelum bising usus

kembali normal. Pasien diberikan injeksi Kalnex 3x500mg IV yang merupakan asam

traneksamat untuk mengurangi resiko perdarahan, dan drip IV Ringer Lactate dan

D5% 2 banding 1, sebagai pengganti cairan isotonis dan D5% untuk menjaga

normoglikemia pasien ketika puasa pre dan post op.

XI. Daftar Pustaka