Upload
dwi-eva-yulita
View
114
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak jaman Babilonia dan
zaman Mesir kuno. Sebagai salah satu buktinya adalah diketemukan batu pada
kandung kemih seorang mumi. Penyakit ini dapat menyerang penduduk di
seluruh dunia dan tidak terkecuali penduduk di Indonesia. Angka kejadian
penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di negara-negara
berkembang, banyak dijumpai pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju
lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas. Hal ini karena
adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari. Di Amerika Serikat
5-10% penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia, rata-
rata terdapat 1-12% penduduk yang menderita batu saluran kemih. Penyakit ini
merupakan salah satu dari tiga penyakit terbanyak di bidang urologi disamping
infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna 1.
Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi
terbesar dari jumlah pasien di klinik urologi. Insidensi dan prevalensi yang pasti
dari penyakit ini di Indonesia belum dapat ditetapkan secara pasti. Dari data
dalam negeri yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan jumlah penderita
batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dari
tahun ke tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847 pasien pada
tahun 2002, peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai tersedianya alat
pemecah batu ginjal non-invasif ESWL (Extracorporeal shock wave lithotripsy)
yang secara total mencakup 86% dari seluruh tindakan (ESWL, PCNL, dan
operasi terbuka).1
Kekambuhan pembentukan batu merupakan masalah yang sering
muncul pada semua jenis batu dan oleh karena itu menjadi bagian penting
perawatan medis pada pasien dengan batu saluran kemih. Dengan
1
perkembangan teknologi kedokteran terdapat banyak pilihan tindakan yang
tersedia untuk pasien, namun pilihan ini dapat juga terbatas karena adanya
variabilitas dalam ketersediaan sarana di masing-masing rumah sakit maupun
daerah.2
B. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menguraikan hal-hal yang
berkenaan dengan batu saluran kemih serta penanggulangan dan
pencegahannya. Pembaca diharapkan dapat memahami dan mengetahui
penatalaksanaan batu saluran kemih, serta penanggulangan dan pencegahannya
sehingga diharapkan dapat melakukan usaha-usaha promosi, preventif, kuratif,
maupun rehabilitatif terutama di bidang bedah.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Nephrolithiasis merupakan keadaan yang ditandai dengan adanya batu
ginjal. Batu ginjal adalah massa keras seperti batu yang berada di ginjal dan
salurannya dan dapat menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran
kemih, atau infeksi.1
B. Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu
saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh
yang berasal dari lingkungan sekitarnya.
3
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
1. Herediter (keturunan)
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
2. Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.
3. Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien
perempuan.
Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya adalah:
1. Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih
yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagi daerah
stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hampir
tidak dijumpai penyakit batu sauran kemih.
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
4. Diet
Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit
batu saluran kemih.
5. Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk
atau kurang aktivitas atau sedentary life.
Selain itu etiologi batu saluran kemih secara umum yaitu:
1. Idiopatik
2. Gangguan aliran air kemih
a. Fimosis
b. Striktur meatus
c. Hipertrofi prostat
4
d. Refluks vesiko-uretral
e. Ureterokele
f. Konstriksi hubungan ureteropelvik
3. Gangguan metabolisme
a. Hiperparatiroidisme
b. Hiperuresemia
c. Hiperkalsiuria
4. Infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme berdaya membuat urease
(proteus mirabilis)
5. Dehidrasi (suhu tinggi, kurang minum)
6. Benda asing (fragmen kateter, telur sistoma)
7. Jaringan mati (nekrosis papil)
8. Multifactor
a. Anak di Negara berkembang
b. Penderita multitrauma1,3
C. Epidemiologi
Penelitian epidemiologik memberikan kesan seakan-akan penyakit
batu mempunyai hubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan
berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan suatu bangsa. Berdasarkan
pembandingan data penyakit batu saluran kemih di berbagai negara, dapat
disimpulkan bahwa di negara yang mulai berkembang terdapat banyak batu
saluran kemih bagian bawah, terutama terdapat di kalangan anak.4
Di negara yang sedang berkembang, insidensi batu saluran kemih
relatif rendah, baik dari batu saluran kemih bagian bawah maupun batu saluran
kemih bagian atas. Di negara yang telah berkembang, terdapat banyak batu
saluran kemih bagian atas, terutama di kalangan orang dewasa. Pada suku
bangsa tertentu, penyakit batu saluran kemih sangat jarang, misalnya suku
bangsa Bantu di Afrika Selatan.
5
Satu dari 20 orang menderita batu ginjal. Pria:wanita = 3:1. Puncak
kejadian di usia 30-60 tahun atau 20-49 tahun. Prevalensi di USA sekitar 12%
untuk pria dan 7% untuk wanita. Batu struvite lebih sering ditemukan pada
wanita daripada pria. 5
INSIDENSI UROLITHIASIS
PEMBENTUK BATU India USA Japan UK
Calcium Oxalate Murni 86.1 33 17.4 39.4
Calcium Oxalate bercampur 4.9 34 50.8 20.2Phosphate
Magnesium Ammonium 2.7 15 17.4 15.4Phosphate (Struvite )
Asam Urat 1.2 8.0 4.4 8.0
Cystine 0.4 3.0 1.0 2.8
D. Patogenesis
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama
pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine),
yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis
seperti pada hyperplasia prostat benigna, stiktura, dan buli-buli neurogenik
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.6
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik
maupun anorganik yang terlarut dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap
berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada
keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal.
Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu
(nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan
lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar.7
6
Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan
belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat kristal
menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini
bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang
cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastabel dipengaruhi
oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urine, laju aliran urine di dalam
saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang
bertindak sebagai inti batu.7
Sumber : http://www.emedicine.com/med/topic1599.htm/nefrolitiasis
Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang
berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium
oksalat dan kalsium fosfat sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu
magnesium ammonium fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein dan batu
jenis lainnya.
7
Sumber : http://www.emedicine.com/med/topic1599.htm/nefrolitiasis
Batu struvit
Batu struvit, disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Batu dapat tumbuh menjadi
lebih besar membentuk batu staghorn dan mengisi seluruh pelvis dan kaliks
ginjal. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea atau
urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi
bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak, seperti pada reaksi:
CO(NH2)2+H2O2NH3+CO2.1
Sekitar 75% kasus batu staghorn, didapatkan komposisi batunya
adalah matriks struvit-karbonat-apatit atau disebut juga batu struvit atau batu
triple phosphate, batu fosfat, batu infeksi, atau batu urease, walaupun dapat pula
terbentuk dari campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat.1
Sumber : http://www.emedicine.com/med/topic1599.htm/nefrolitiasis
Suasana basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium,
ammonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amoniun fosfat
(MAP) atau (Mg NH4PO4.H2O) dan karbonat apatit (Ca10[PO4]6CO3. Karena
terdiri atas 3 kation Ca++ Mg++ dan NH4+) batu jenis ini dikenal dengan nama
batu triple-phosphate. Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea diantaranya
adalah Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobacter, Pseudomonas, dan
8
Stafilokokus. Meskipun E.coli banyak menyebabkan infeksi saluran kemih,
namun kuman ini bukan termasuk bakteri pemecah urea.1
Batu Kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaitu kurang lebih 70-80% dari
seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalium oksalat,
kalium fosfat, atau campuran dari kedua unsur tersebut
Factor terjadinya batu kalsium adalah:
1. hiperkalsiuri, yaitu kadar kalsium di dalam urin lebih
besar dari 250-300 mg/24 jam. Menurut Pak (1976) terdapat tiga macam
penyebab terjadinya hiperkalsiuri, antara lain:
a. hiperkalsiuri absortif yang terjadi karena adanya peningkatan absorbsi
kalsium melalui usus.
b. hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan kemampuan
reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal.
c. hiperkalsiuri resorbtif terjadi karena adanya peningkatan resorpsi
kalsium tulang yang banyak terjadi pada hiperparatiroidisme primer
atau tumor paratiroid.
2. Hiperoksaluri
3. hiperurikosuri
4. hipositraturia
5. hipomagnesiuria
Batu asam urat
Batu asam urat merupakan 5-10 % dari seluruh batu saluran kemih. Di
antara 75-80 % asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya merupakan
campuran kalsium oksalat. Penyakit batu asam urat banyak diderita oleh
pasien-pasien penyakit gout, mieloproliferatif, pasien yang mendapatkan
terapi anti kanker, dan yang menggunakan obat urikosurik diantaranya
sulfinpirazone, thiazide, dan salisilat. Kegemukan, peminum alcohol, dan diet
9
tinggi protein mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan
penyakit ini. 8
Sumber asam urat berasal dari diet yang mengandung purin dan
metabolism endogen di dalam tubuh. Degradasi purin di dalam tubuh melalui
asam inosinat dirubah menjadi hipoxantin. Dengan bantuan enzim xanthin
oksidase, hipoxantin dirubah menjadi xanthin yang akhirnya dirubah menjadi
asam urat. Manusia tidak memiliki enzim urikase yang berfungsi mengubah
asam urat menjadi allantoin yang larut di air. Sehingga asam urat manusia
diekskresikan ke dalam urine dalam bentuk asam urat bebas dan garam urat
yang lebih sering berikatan dengan natrium membentuk natrium urat. Natrium
urat lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan asam urat bebas
sehingga tidak mungkin mengadakan kristalisasi di dalam urine. 1
Faktor yang mempermudah terbentuknya batu asam urat adalah urin
yang terlalu asam(pH urin < 6), volume urine yang sedikit (< 2 liter/hari) dan
hiperurikosuria.hingga ukuran besar sehingga membentuk batu staghorn yang
mengisi seluruh pelvikalises ginjal. Batu asam urat bentuknya halus dan bulat
sehingga seringkali keluar spontan. Batu asam urat murni bersifat radiolusen,
sehingga pada pemeriksaan PIV tamoak sebagai bayangan filling defect pada
saluran kemih sehingga seringkali harus dibedakan dengan bekuan darah,
bentukan papilla ginjal yang nekrosis, tumor, atau bezoar jamur. Pada USG
memberikan gambaran akustik shadow. 9
Untuk mencegah timbulnya kembali batu asam urat setelah terapi
adalah minum banyak, alkalinisasi urin dengan mempertahankan pH diantara
6,5-7 dan menjaga jangan terjadi hiperurikosuria dengan mencegah terjadinya
hiperurisemia. Setiap pagi pasien dianjurkan untuk memeriksa pH urin dengan
kertas nitrazin, dan dijaga supaya produksi urin tidak kurang dari 1500-2000
ml setiap hari. Dilakukan pemeriksaan kadar asam urat secara berkala, bila
terjadi hiperurisemia harus diterapi dengan obat-obatan inhibitor xanthin
oksidase yaitu allopurinol.
Batu jenis lain
10
Batu sistin, batu xanthin, batu triamtheren dan batu silikat sangat jarang
dijumpai. Batu sistin didapatkan karena kelainan metabolism sistin yaitu
kelainan dalam absorbs sistin di mukosa usus. Demikian batu xanthin terbentuk
karena penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xanthin oksidase yang
mengkatalisis perubahan hipoxanthin menjadi xanthin dan xanthin menjadi
asam urat. Pemakaian antasida yang mengandung silikat (magnesium silikat
atau aluminometilsalisilat) yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang
lamadapat menyebabkan timbulnya silikat.
E. Manifestasi Klinis
Batu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai berat
karena distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis renalis, dapat
bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala batu
saluran kemih merupakan akibat obstruksi aliran kemih dan infeksi. Keluhan
yang disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu,
dan penyulit yang telah terjadi.4
Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada
pinggang. Nyeri ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik ataupun bukan kolik.
Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun
ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih.
Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat
sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri.
Nyeri ini disebabkan oleh karena adanya batu yang menyumbat
saluran kemih, biasanya pada pertemuan pelvis ren dengan ureter (ureteropelvic
junction), dan ureter. Nyeri bersifat tajam dan episodik di daerah pinggang
(flank) yang sering menjalar ke perut, atau lipat paha, bahkan pada batu ureter
distal sering ke kemaluan. Mual dan muntah sering menyertai keadaan ini.4
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atau infeksi pada ginjal. Pada pemeriksaan fisik mungkin
didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi sakit
11
akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine, dan jika
disertai infeksi didapatkan demam-menggigil.4
F. Diagnosis
Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan jasmani untuk menegakkan
diagnosis, penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan radiologik,
laboratorium dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya
obstruksi saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal. Secara radiologik,
batu dapat radioopak atau radiolusen. Sifat radioopak ini berbeda untuk
berbagai jenis batu sehingga dari sifat ini dapat diduga jenis batu yang
dihadapi.5
Batu kalsium akan memberikan bayangan opak, batu magnesium
amonium fosfat akan memberikan bayangan semiopak, sedangkan batu asam
urat murni akan memberikan bayangan radiolusen. Batu staghorn dapat
diidentifikasi dengan foto polos abdomen karena komposisinya yang berupa
magnesium ammonium sulfat atau campuran antara kalsium oksalat dan
kalsium fosfat sehingga akan nampak bayangan radioopak.5
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih
yang dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal,
dan menentukan sebab terjadinya batu.
Pemeriksaan renogram berguna untuk menentukan faal kedua ginjal
secara terpisah pada batu ginjal bilateral atau bila kedua ureter tersumbat total.
Cara ini dipakai untuk memastikan ginjal yang masih mempunyai sisa faal yang
cukup sebagai dasar untuk melakukan tindak bedah pada ginjal yang sakit.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat untuk melihat semua jenis batu, menentukan
ruang dan lumen saluran kemih, serta dapat digunakan untuk menentukan posisi
batu selama tindakan pembedahan untuk mencegah tertingggalnya batu.6
G. Diagnosis Banding
Kolik ginjal dan ureter dapat disertai dengan akibat yang lebih lanjut,
misalnya distensi usus dan pionefrosis dengan demam. Oleh karena itu, jika
12
dicurigai terjadi kolik ureter maupun ginjal, khususnya yang kanan, perlu
dipertimbangkan kemungkinan kolik saluran cerna, kandung empedu, atau
apendisitis akut. Selain itu pada perempuan perlu juga dipertimbangkan
adneksitis.6
Bila terjadi hematuria, perlu dipertimbangkan kemungkinan keganasan
apalagi bila hematuria terjadi tanpa nyeri. Selain itu, perlu juga diingat bahwa
batu saluran kemih yang bertahun-tahun dapat menyebabkan terjadinya tumor
yang umumnya karsinoma epidermoid, akibat rangsangan dan inflamasi. Pada
batu ginjal dengan hidronefrosis, perlu dipertimbangkan kemungkinan tumor
ginjal mulai dari jenis ginjal polikistik hingga tumor Grawitz.6
H. PENYULIT
Komplikasi batu saluran kemih biasanya obstruksi, infeksi sekunder,
dan iritasi yang berkepanjangan pada urotellium yang dapat menyebabkan
tumbuhnya keganasan yang sering berupa karsinoma epidermoid. Bila terjadi
obstruksi pada ginjal atau ureter akan menyebabkan hidronephrosis kemudian
berlanjut dengan atau tanpa pionefrosis yang berakhir dengan kegagalan fungsi
ginjal yang terkena, bila terkena dua ginjal akan menyebabkan uremia karena
gagal ginjal total.
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan
diagnosis dan rencana terapi antara lain:
1. Foto Polos AbdomenPembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radio opak di saluran kemih. Batu-batu jenis
kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio opak dan paling sering dijumpai diantara batu lain, sedangkan batu asam urat
bersifat non opak (radio lusen). Urutan radioopasitas beberapa batu saluran kemih seperti pada tabel 1. 10
Jenis Batu Radioopasitas
Kalsium Opak
MAP Semiopak
13
Urat/Sistin Non opak
Tabel 1. Urutan Radioopasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih3
2. Pielografi Intra Vena (PIV)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal.
Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non
opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Jika PIV belum
dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan
fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi
retrograd.
3. Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV,
yaitu pada keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal
yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG
dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan
sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan
ginjal.
4. Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan Kristal.
5. Renogram, dapat diindikasikan pada batu staghorn untuk menilai fungsi
ginjal.
6. Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.
7. Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.
8. DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein, fosfatase
alkali serum.3
J. Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih
secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih
berat. Indikasi untuk melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih
adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil
karena suatu indikasi sosial. Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah
14
menimbulkan hidroureter atau hidronefrosis dan batu yang sudah menimbulkan
infeksi saluran kemih, harus segera dikeluarkan.8
Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti
diatas, namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya (misalkan batu
yang diderita oleh seorang pilot pesawat terbang) memiliki resiko tinggi dapat
menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang
menjalankan profesinya dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran
kemih. Pilihan terapi antara lain :
1. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti
disebutkan sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi
bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan
pemberian diuretikum, berupa :
b. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
c. α - blocker
d. NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu
syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada
tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK
menyebabkan observasi bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan
adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal
tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi
terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi. 10
15
Sumber :
http://atanidayrus.wordpress.com/about/IGedeSuryadinata/Algoritm
a Penatalaksanaan Batu Saluran Kemih
2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
16
Berbagai tipe mesin ESWL bisa didapatkan saat ini. Walau
prinsip kerjanya semua sama, terdapat perbedaan yang nyata antara mesin
generasi lama dan baru, dalam terapi batu ureter. Pada generasi baru titik
fokusnya lebih sempit dan sudah dilengkapi dengan flouroskopi, sehingga
memudahkan dalam pengaturan target/posisi tembak untuk batu ureter.
Hal ini yang tidak terdapat pada mesin generasi lama, sehingga
pemanfaatannya untuk terapi batu ureter sangat terbatas. Meskipun
demikian mesin generasi baru ini juga punya kelemahan yaitu kekuatan
tembaknya tidak sekuat yang lama, sehingga untuk batu yang keras perlu
beberapa kali tindakan.9
(http://piogama.ugm.ac.id/index.php/2009/02/gelombang-kejut-penghancur-batu-ginjal/)
Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya
diberi obat penangkal nyeri. Pasien akan berbaring di suatu alat dan akan
dikenakan gelombang kejut untuk memecahkan batunya Bahkan pada
ESWL generasi terakhir pasien bisa dioperasi dari ruangan terpisah. Jadi,
begitu lokasi ginjal sudah ditemukan, dokter hanya menekan tombol dan
ESWL di ruang operasi akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang
atau telungkup sesuai posisi batu ginjal. Batu ginjal yang sudah pecah
akan keluar bersama air seni. Biasanya pasien tidak perlu dirawat dan
dapat langsung pulang.
ESWL ditemukan di Jerman dan dikembangkan di Perancis.
Pada Tahun 1971, Haeusler dan Kiefer memulai uji coba secara in-vitro
penghancuran batu ginjal menggunakan gelombang kejut. Tahun 1974,
17
secara resmi pemerintah Jerman memulai proyek penelitian dan aplikasi
ESWL. Kemudian pada awal tahun 1980, pasien pertama batu ginjal
diterapi dengan ESWL di kota Munich menggunakan mesin Dornier
Lithotripter HMI. Kemudian berbagai penelitian lanjutan dilakukan secara
intensif dengan in-vivo maupun in-vitro. Barulah mulai tahun 1983,
ESWL secara resmi diterapkan di Rumah Sakit di Jerman. Di Indonesia,
sejarah ESWL dimulai tahun 1987 oleh Prof.Djoko Raharjo di Rumah
Sakit Pertamina, Jakarta. Sekarang, alat generasi terbaru Perancis ini
sudah dimiliki beberapa rumah sakit besar di Indonesia seperti Rumah
Sakit Advent Bandung dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Pembangkit (generator) gelombang kejut dalam ESWL ada tiga
jenis yaitu elektrohidrolik, piezoelektrik dan elektromagnetik. Masing-
masing generator mempunyai cara kerja yang berbeda, tapi sama-sama
menggunakan air atau gelatin sebagai medium untuk merambatkan
gelombang kejut. Air dan gelatin mempunyai sifat akustik paling
mendekati sifat akustik tubuh sehingga tidak akan menimbulkan rasa sakit
pada saat gelombang kejut masuk tubuh.
ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan
menggunakan gelombang kejut antara 15-22 kilowatt. Meskipun hampir
semua jenis dan ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL, masih
harus ditinjau efektivitas dan efisiensi dari alat ini. ESWL hanya sesuai
untuk menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta
terletak di ginjal atau saluran kemih antara ginjal dan kandung kemih
(kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Hal laim yang perlu
diperhatikan adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau
tidak. Batu yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah
dan perlu beberapa kali tindakan. ESWL tidak boleh digunakan oleh
penderita darah tinggi, kencing manis, gangguan pembekuan darah dan
fungsi ginjal, wanita hamil dan anak-anak, serta berat badan berlebih
(obesitas).
18
Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita
dan anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada
kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium. Meskipun belum ada data
yang valid, untuk wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan
sejelas-jelasnya
3. Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan
kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang
dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan
melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses
pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi
hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.10
Beberapa tindakan endourologi antara lain:
a. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu
yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat
endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu
kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi
fragmen-fragmen kecil.8
PNL yang berkembang sejak dekade 1980-an secara
teoritis dapat digunakan sebagai terapi semua batu ureter. Tapi
dalam prakteknya sebagian besar telah diambil alih oleh URS dan
ESWL. Meskipun demikian untuk batu ureter proksimal yang
besar dan melekat masih ada tempat untuk PNL. Prinsip dari PNL
adalah membuat akses ke kalik atau pielum secara perkutan.
Kemudian melalui akses tersebut kita masukkan nefroskop rigid
atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter
diambil secara utuh atau dipecah dulu.8
19
Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti
dapat diambil atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua
karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Prosesnya berlangsung
cepat dan dengan segera dapat diketahui berhasil atau tidak.
Kelemahannya adalah PNL perlu keterampilan khusus bagi ahli
urologi. Sebagian besar pusat pendidikan lebih banyak
menekankan pada URS dan ESWL dibanding PNL.8
b. Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan
memasukkan alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli),
c. ureteroskopi atau uretero-renoskopi. Keterbatasan URS adalah
tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar,
sehingga perlu alat pemecah batu seperti yang disebutkan di atas.
Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu tertentu,
tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan
ketersediaan alat tersebut.8
d. ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya
melalui alat keranjang Dormia).
Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah
secara dramatis terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan
pemecah batu ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam
memecah batu ureter. Juga batu ureter dapat diekstraksi langsung dengan
tuntunan URS. Dikembangkannya semirigid URS dan fleksibel URS telah
menambah cakupan penggunaan URS untuk terapi batu ureter.8
4. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai
untuk tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL,
pengambilan batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka itu antara lain adalah: pielolitotomi atau
nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal, dan
ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien harus menjalani
20
tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak
berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis,
atau mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang
menimbulkan obstruksi atau infeksi yang menahun.11
Beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin
masih dilakukan. Tergantung pada anatomi dan posisi batu,
ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior.
Meskipun demikian dewasa ini operasi terbuka pada batu ureter kurang
lebih tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan
kelainan anatomi atau ukuran batu ureter yang besar.11
5. Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter
terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam
penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai
tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter
yang melekat (impacted).11
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya
yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan.
Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang
lebih 50% dalam 10 tahun.11
K. Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur
yang menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada
umumnya pencegahan itu berupa :
1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi
urin 2-3 liter per hari.
2. Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu.
3. Aktivitas harian yang cukup.
4. Pemberian medikamentosa.
Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah:
21
1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan
menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.
2. Rendah oksalat.
3. Rendah garam, karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri.
4. Rendah purin.
Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang menderita
hiperkalsiuri tipe II.4
L. Komplikasi
Dibedakan komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang.
Komplikasi akut yang sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian,
kehilangan ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan intervensi sekunder yang
tidak direncanakan. Data kematian, kehilangan ginjal dan kebutuhan transfusi
pada tindakan batu ureter memiliki risiko sangat rendah. Komplikasi akut dapat
dibagi menjadi yang signifikan dan kurang signifikan. Yang termasuk
komplikasi signifikan adalah avulsi ureter, trauma organ pencernaan, sepsis,
trauma vaskuler, hidro atau pneumotorak, emboli paru dan urinoma. Sedang
yang termasuk kurang signifikan perforasi ureter, hematom perirenal, ileus,
stein strasse, infeksi luka operasi, ISK dan migrasi stent.3
Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak hanya
disebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi dari batu,
terutama yang melekat. Angka kejadian striktur kemungkinan lebih besar dari
yang ditemukan karena secara klinis tidak tampak dan sebagian besar penderita
tidak dilakukan evaluasi radiografi (IVP) pasca operasi. 10
Obstruksi adalah komplikasi dari batu ginjal yang dapat menyebabkan
terjadinya hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan atau tanpa pionefrosis
yang berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena. Komplikasi lainnya
dapat terjadi saat penanganan batu dilakukan. Infeksi, termasuk didalamnya
adalah pielonefritis dan sepsis yang dapat terjadi melalui pembedahan terbuka
maupun noninvasif seperti ESWL. Biasanya infeksi terjadi sesaat setelah
dilakukannya PNL, atau pada beberapa saat setelah dilakukannya ESWL saat
22
pecahan batu lewat dan obstruksi terjadi. Cidera pada organ-organ terdekat
seperti lien, hepar, kolon dan paru serta perforasi pelvis renalis juga dapat
terjadi saat dilakukan PNL, visualisasi yang adekuat, penanganan yang hati-
hati, irigasi serta drainase yang cukup dapat menurunkan resiko terjadinya
komplikasi ini. 1
Pada batu ginjal nonstaghorn, komplikasi berupa kehilangan darah,
demam, dan terapi nyeri yang diperlukan selama dan sesudah prosedur lebih
sedikit dan berbeda secara bermakna pada ESWL dibandingkan dengan PNL.
Demikian pula ESWL dapat dilakukan dengan rawat jalan atau perawatan yang
lebih singkat dibandingkan PNL.3
Komplikasi akut meliputi transfusi, kematian, dan komplikasi
keseluruhan. Dari meta-analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan kombinasi
terapi sama (< 20%). Kebutuhan transfusi pada ESWL sangat rendah kecuali
pada hematom perirenal yang besar. Kebutuhan transfusi pada operasi terbuka
mencapai 25-50%. Mortalitas akibat tindakan jarang, namun dapat dijumpai,
khususnya pada pasien dengan komorbiditas atau mengalami sepsis dan
komplikasi akut lainnya. Dari data yang ada di pusat urologi di Indonesia, risiko
kematian pada operasi terbuka kurang dari 1%.1
Komplikasi ESWL meliputi kolik renal (10,1%), demam (8,5%),
urosepsis (1,1%) dan steinstrasse (1,1%). Hematom ginjal terjadi akibat trauma
parietal dan viseral. Hasil studi pada hewan tidak menunjukkan adanya kelainan
lanjut yang berarti. Dalam evaluasi jangka pendek pada anak pasca ESWL,
dijumpai adanya perubahan fungsi tubular yang bersifat sementara yang
kembali normal setelah 15 hari. Belum ada data mengenai efek jangka panjang
pasca ESWL pada anak. 1
Komplikasi pasca PNL meliputi demam (46,8%) dan hematuria yang
memerlukan transfusi (21%). Konversi ke operasi terbuka pada 4,8% kasus
akibat perdarahan intraoperatif, dan 6,4% mengalami ekstravasasi urin. Pada
satu kasus dilaporkan terjadi hidrothoraks pasca PNL. Komplikasi operasi
terbuka meliputi leakage urin (9%), infeksi luka (6,1%), demam (24,1%), dan
23
perdarahan pascaoperasi (1,2%). Pedoman penatalaksanaan batu ginjal pada
anak adalah dengan ESWL monoterapi, PNL, atau operasi terbuka. 5
M. Prognosis
Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak
batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin
buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat
mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya
infeksi karena faktor obstruksi akan dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal.1
Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60%
dinyatakan bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang karena
masih ada sisa fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien yang
ditangani dengan PNL, 80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil yang baik
ditentukan pula oleh pengalaman operator.1
BAB III
KESIMPULAN
1. Batu saluran kemih adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang
saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran
kemih, atau infeksi.
24
2. Semua tipe batu saluran kemih memiliki potensi untuk membentuk batu.
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan
aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).
3. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis dan
rencana terapi antara lain Foto Polos Abdomen, Pielografi Intra Vena (PIV),
Ultrasonografi, pemeriksaan mikroskopik urin, Renogram, analisis batu, kultur
urin, DPL, ureum, kreatinin, elektrolit.
4. Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur yang
menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu.
5. Komplikasi batu pada saluran kemih adalah obstruksi dan infeksi sekunder,
serta komplikasi dari terapi, baik invasif maupun noninvasif.
6. Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu, dan
adanya infeksi serta obstruksi.
REFERAT
NEFROLITHIASIS
25
Disusun Oleh :
Dwi Eva Yulita
G1A209164
Pembimbing :
dr. Kamal Agung, Sp.B
SMF ILMU PENYAKIT BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2012
26
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui referat berjudul
Nefrolithiasis
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian
Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun oleh :
Dwi Eva Yulita
G1A209164
Pada tanggal : 2012
Mengetahui,
Dokter Pembimbing :
dr. Kamal Agung , Sp . B
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo, Basuki 2007. Dasar-dasar Urologi. edisi kedua. Sagung seto:
Jakarta.
2. Mange, Kevin C, Shreeram Aradhye dan Alan G. Wessertain. 2000.
Management and Prevention of Nephrolithiasis. Hospital Physician. 22-37.
3. Wim de Jong, R. Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi kedua.
EGC : Jakarta.
4. Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi keenam. EGC : Jakarta.
5. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi kedua.
EGC : Jakarta.
6. Sja’bani, Mochammad. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
keempat. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta.
7. Moe, Orson W. 2006. Kidney Stones : Pathophyshiology and Medical
Management. Thelancet. 367: 333-344.
8. Wessertain, Alan G. 2005. Nephrolithiasis. American Journal of Kidney
Disease. 45 : 422-428.
9. Rasad, Sjahriar. 2006. Radiologi Diagnostik. Edisi kedua. Gaya Baru :
Jakarta.
10. Renal Clinicians Group. 2005. Guideline on The Management and Evaluation
of Nephrolithiasis. NHS. I-4.
28