obat kortikosteroid

Embed Size (px)

Citation preview

Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon

adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku1. Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.

Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450. Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki kerja mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid.

2. Penggunaan Klinis

Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis, systemic lupus erythematosus, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya

ondansetron)2.

Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.

Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya diberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari

adrenokortikal. Keadaan insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom chusing, atau aldosteronisme.

Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom chusing. Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral pada jam 11 malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal, konsentrasi kortisol biasanya kurang dari 5 g/dl, sedangkan pada sindrom chusing kadarnya biasanya lebih besar daripada 10 g/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya pada keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.

Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu dengan pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat

menurunkan insiden sindrom gawat nafas pada bayi yang dilahirkan secara prematur.

Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses penyakitnya2.

3. Farmakodinamik kortikosteroid

Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan

berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.

Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi3.

4. Efek Samping Kortikosteroid

Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan menimbulkan gambaran klinik sindrom cushing iatrogenik.

Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi.

Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma, limfoma, dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen anti inflamasi.

Iatrogenic

Cushings

syndrome,

diinduksikan

dengan

pemberian

glukokortikoid atau steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat, bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushings syndrome terkait dengan dosis steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.

Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke dalam sel melewati membran s?l dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan uptake glukosa3.

Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies yaitu golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus dan kelinci.

Apabila

kortikosteroid

diberikan

kepada

golongan

resisten

akan

menyebabkan limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi limfosit-T daripada limfosit-B. Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi limfosit belum diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer. Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang normal menyebabkan limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-6 jam setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah 24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.

Pengaruh

kortikosteroid

yang

terpenting

pada

manusia

adalah

penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu

kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktorfaktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada membran makrofag.

Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar suprafarmakologik.

Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang menggunakan 3570 mg prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil. Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi. Di samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi. Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi dan

akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid pada makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada penggunaan kortikosteroid setiap hari2.

Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil terhadap pengaruh antiinflamasi kortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan kortikosteroid selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid mungkin juga mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit mempengaruhi stabilitas membran lisosom pada kadar farmakologik.

Kortikosteroid

mempunyai

pengaruh

terhadap

aktifitas

biologik

komplemen. Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN. Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini telah dibuktikan secara invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb. Intravena atau secara invivo dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.

Kepustakaan

lain

melaporkan

bahwa

kortikosteroid

topikal

juga

berpengaruh terhadap sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan mempermudah terjadinya infeksi oleh karena terjadi gangguan mekanisme pertahanan kulit. Beberapa efek samping lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus, osteoporosis, gangguan psikologik dan hipertensi.

Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada beberapa penderita4.

Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp

periodik pada penderita ini. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-anak.

Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.

5. Penanganan Efek Samping Kortikosteroid

Penanganan

yang

disarankan

untuk

saat

ini

pada

penderita

yang

mendapatkan efek samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan-lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin. Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya

penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan5.

DAFTAR PUSTAKA 1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta. 2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta. 3. Goodman & Gilman. (2006) The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed. McGraw-Hill, New York. 4. Werner, R. (2005). A massage therapists guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott Williams & Wilkins, Pennsylvania, USA. 5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta. Sumber : by benvie on Mar 21st, 2009 alamatnya http://doctorology.net/?p=61

Home

Portal

Gallery

Calendar FAQ Search Register Log in

Memberlist

Usergroups

Iluni-FK'83 :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN Share | Actions

Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dllAuthor gitahafas Moderator Goto page : 1 ... 16 ... 29, 30, 31 Message Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 6:55 am MISTERI SINDROM GUILAIN-BARRE TI Produksi | Selasa, 28 September 2010 | 04:02 WIB Jangan sepelekan penyakit flu yang tampaknya biasa. Demikian juga jika bagian tubuh tertentu kerap merasa kebas, kesemutan, atau nyeri. Bisa jadi itu tanda-tanda awal terjadinya sindrom Guillain-Barr, yaitu saat sistem kekebalan tubuh justru menjadi jahat dan menyerang tubuh. Sindrom Guillain-Barr atau SGB kerap juga disebut radang polineuropati demyelinasi akut (acute inflammatory demyelinating polyneuropathy/AIDP). Atau dengan bahasa lain, peradangan akut yang menyebabkan rusaknya sel saraf, yang tidak jelas penyebabnya. Penyakit itu dapat menyerang siapa saja. Belum ada yang bisa memprediksi kedatangannya, progresnya, hingga tingkat keparahannya. Pernah terjadi, dokter ahli saraf dan penyakit dalam pun meninggal karena sindrom ini. Georges Guillain, Jean-Alexandre Barr, dan Andr Strohl menemukan sindrom tersebut pada tahun 1916. Mereka mendiagnosis dua tentara yang menunjukkan keabnormalan pada peningkatan produksi spinal fluid protein. Saat ini diagnosis SGB dapat dilakukan dengan menganalisis cairan otak. Kenaikan jumlah sel darah putih pada cairan otak mengindikasikan terjadinya infeksi. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan electrodiagnostic, yaitu dengan memeriksa normal tidaknya konduksi sel-sel saraf. Kasus SGB terakhir terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Pasien RS Islam Sultan Agung, Semarang, bernama Susanti (28) akhirnya meninggal dunia karena sindrom ini. Serangan SGB yang diderita Susanti rupanya sudah parah hingga menyerang otot paru-parunya dan menyebabkan infeksi. Kondisinya terus menurun, dan Susanti tidak tertolong lagi. Angka kejadian SGB tergolong kecil, 1:100.000. Di RSUP dr Kariadi (RSDK) Semarang, setiap tahun rata-rata ditemukan sekitar lima sampai tujuh kasus. Dari sejumlah pasien itu, ada yang bisa sembuh, ada yang tidak. Tidak jelas

Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30

Spesialis saraf Amien Husni dari RSDK Semarang menjelaskan, hingga kini penyebab dari penyakit autoimun tersebut masih tidak diketahui. Demikian juga pemicunya. Lazimnya, ketika tubuh terinfeksi penyakit, virus, atau bakteri, tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan antigen (zat yang merusak tubuh). Pada kasus SGB, antibodi justru menjadi jahat dan menyerang sistem saraf tepi. Selaput myelin yang menyelubungi sel saraf dihancurkan (demyelinasi) sehingga sel sarafnya rusak. Kerusakan mulai dari pangkal ke tepi atau dari bawah ke atas. Kerusakan itu menyebabkan kelumpuhan motorik dan menimbulkan gangguan sensibilitas pada penderita. Jika kerusakan terjadi sampai pangkal saraf (radiks), dapat menyebabkan kelainan pada sumsum tulang belakang. Pada kasus Susanti, SGB ditemukan dua minggu setelah Susanti menjalani operasi usus buntu. Setelah itu serangan mulai dari kaki Susanti yang kemudian tidak dapat digerakkan. Kelumpuhan itu pun merambat hingga ke tangan dan anggota tubuh lain. Susanti juga tidak dapat berbicara. Pada penyakit autoimun yang lain, serangan yang terjadi serupa, tetapi pada lokasi yang berbeda. Meski demikian, mekanisme terjadinya juga tidak dapat dipahami: antibodi yang dihasilkan justru menyerang tubuh. Kasus multiple sclerosis, misalnya, demyelinasi terjadi pada saraf pusat. Adapun pada myasthenia, antibodi merusak hubungan antara saraf dan otot. Kelumpuhan pada SGB biasanya terjadi dari bagian tubuh bawah ke atas atau dari luar ke dalam secara bertahap. Kejadiannya pun tidak dapat diperkirakan. Pada beberapa kasus kelumpuhan terjadi sangat cepat dan pada kasus yang lain kejadiannya bisa lebih lambat. Pada kasus yang parah kerusakan selaput myelin mencapai paru-paru dan melemahkan otot-otot pernapasan. Paru-paru pun tidak dapat bekerja dan penderita harus dibantu dengan ventilator. Dengan kelemahan tersebut, sangat mungkin terjadi infeksi di dalam paru-paru karena kemampuan pertukaran gas dan kemampuan membersihkan saluran pernapasan berkurang. Itu yang menyebabkan kondisi penderita semakin parah. Gejala lain yang dirasakan penderita SGB adalah kehilangan sensitivitas, seperti rasa kesemutan, kebas (mati rasa), rasa terbakar, atau nyeri. Pola persebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Biasanya, kata Amien, penderita SGB sebelumnya menderita infeksi virus seperti influenza satu atau dua minggu sebelumnya. Bisa jadi hal itu didorong oleh virus influenza, atau reaksi imun terhadap virus influenza. Tidak terjadi infeksi Sindrom ini, seperti penyakit autoimun yang lain, termasuk self remittance disease. Sebenarnya penderita dapat sembuh dengan

sendirinya dalam jangka waktu sekitar enam bulan. Dengan catatan, tidak terjadi infeksi pada tubuh penderita. Yang menyebabkan kematian biasanya karena terjadi gagal napas dan infeksi yang timbul. Namun, itu juga tidak dapat dipastikan, kata Amien. Penanganan pada penderita SGB biasanya dilakukan dengan plasma exchange, tindakan yang mirip cuci darah, dengan mengganti plasma darah menggunakan alat bernama plasmaferesis. Hal itu dapat menolong penderita untuk bertahan atau mencapai kondisi yang lebih baik. Namun, tidak semua rumah sakit memiliki alat ini. Alternatif lain adalah dengan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi selama lima hari untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Namun, obat ini tidak murah, bahkan tergolong sangat mahal, dan tak semua pasien mampu membeli. Ada satu cara lagi yang dimungkinkan, yaitu dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Kortikosteroid biasanya diberikan sebagai antiradang. Walaupun dalam banyak literatur disebutkan pemberian kortikosteroid tidak dapat memberi pengaruh yang berarti, pada beberapa kasus, kata Amien, ternyata dapat membantu. Harga kortikosteroid pun jauh lebih murah dari pada immunoglobulin. Dengan demikian, pasien yang tidak mampu biasanya diberikan terapi ini dan pada beberapa kasus ternyata berhasil. Bagi mereka yang berhasil sembuh, SGB tetap menyisakan kelemahan fungsi tubuh. Sebab, sel saraf merupakan jaringan yang paling bodoh sehingga ketika rusak tidak bisa lagi kembali normal dengan sendirinya. Penderita yang pulih dari SGB harus menjalani terapi dan latihan secara teratur untuk dapat menggerakkan kembali anggota tubuhnya, seperti berjalan, makan, berbicara, atau menulis. Setelah satu tahun atau lebih, 85 persen penderita bisa kembali normal. Penyakit yang bisa sedemikian jahat ini pun tidak dapat dicegah. Akan tetapi, Amien mengatakan, jika dapat terdeteksi sedini mungkin dan mendapat penanganan lebih cepat, kemungkinan sembuhnya bisa lebih besar. Oleh karena itu, berhati-hatilah dan cermati setiap gejala yang muncul. Sebab, sindrom ini termasuk dalam acute inflammatory, terjadi secara mendadak dan meradang dalam waktu yang sangat cepat. gitahafas Moderator Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 11:07 am JIKA LUMPUH LAYUH TIBA TIBA Lusia Kus Anna | Selasa, 2 Agustus 2011 | 07:22 WIB Hari-hari ini, media massa ramai memberitakan kasus penyakit yang diderita Azka, bocah berusia 4 tahun yang dirawat di Bogor, serta Shafa, bocah seusia Azka, yang dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Keduanya menderita sindrom Guillain-Barre sehingga

Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30

lumpuh, termasuk otot pernapasannya. Tak kurang Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih pun tergerak untuk mengunjungi mereka. Sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre Syndrome/GBS), menurut dokter ahli saraf Merdias Almatsier, adalah gangguan autoimun. Yakni, kekebalan tubuh menyerang tubuh sendiri, dalam hal ini menyerang sistem saraf tepi, sehingga menyebabkan kelemahan otot, bahkan kelumpuhan. Gangguan ini bisa menyerang perempuan dan laki-laki di segala usia. Akan tetapi, umumnya mereka yang berusia 30-50 tahun. Situs Mayoclinic menyebutkan, GBS diderita 1-2 orang per 100.000. Sebagai gambaran, Merdias menyatakan bahwa berdasarkan data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ada 46 kasus GBS pada pasien dewasa di tahun 2010. Itu belum terhitung pasien anak-anak serta pasien yang dirawat di rumah sakit lain. Pemicu GBS belum diketahui secara pasti. Menurut Merdias, bisa karena virus ataupun nonvirus. Dalam MedlinePlus, situs milik Lembaga Kesehatan Nasional Amerika Serikat, dinyatakan, GBS biasanya terjadi setelah ada infeksi, misalnya flu, radang paru, atau infeksi perut. Bisa juga disebabkan virus Epstein-Barr, infeksi Campylobacter, yaitu bakteri yang terdapat pada produk unggas yang dimasak kurang matang. GBS juga bisa terjadi bersama AIDS, herpes simpleks, mononukleosis, lupus, penyakit Hodgkin, serta bisa terjadi seusai operasi. GBS umumnya terjadi pada pelindung saraf (myelin sheath). Kerusakan itu disebut demyelination. Hal itu menyebabkan penyampaian sinyal saraf menjadi lamban. Kelemahan otot bahkan kelumpuhan terjadi pada kedua sisi tubuh secara simetris. Berbeda dengan gejala polio atau stroke yang umumnya menyerang satu sisi anggota tubuh, kata Merdias. Dari bawah ke atas Umumnya, kelemahan otot berawal dari kaki, kemudian menyebar ke bagian tubuh atas, termasuk tangan. Dalam beberapa kasus bisa terjadi kelumpuhan berawal dari lengan turun ke bawah. Dalam hal ini penderita merasa kesemutan, nyeri kaki, dan tangan seperti ditusuktusuk, serta kelemahan tangan dan kaki sehingga tak mampu menggenggam sesuatu. Jika peradangan menyerang saraf diafragma dan dada, akibatnya bisa fatal. Penderita memerlukan alat bantu pernapasan. Gejala lain yaitu kehilangan refleks kaki dan tangan, gerak anggota tubuh tak terkontrol, tekanan darah naik turun, mati rasa, serta kejang otot. Selain itu, pandangan kabur, sulit menggerakkan otot wajah, sulit bicara, dan berdebar-debar. Jika penderita mengalami kesulitan bernapas, kesulitan menelan, keluar air liur tak terkontrol, berkunang-kunang dan pingsan, harus segera mendapatkan pertolongan medis. Gejala GBS sampai pada kondisi penderita menjadi lumpuh bisa berlangsung beberapa hari. Akan tetapi, ada pula yang memburuk dengan cepat. Hanya dalam beberapa jam menjadi lumpuh. Karena itu perlu diwaspadai gejala-gejala tersebut di

atas. Untuk memastikan, dokter akan melakukan pemeriksaan, antara lain dengan mengambil contoh cairan sumsum tulang belakang, elektromyografi, elektrokardiografi, dan tes fungsi paru. Terapi Sejauh ini belum ada obat untuk GBS. Meskipun demikian, ada terapi untuk mengurangi gejala, mengobati komplikasi, dan mempercepat pemulihan. Pada tahap awal, terapi untuk menghambat antibodi yang menyerang sel saraf bisa mengurangi keparahan GBS. Salah satunya, plasmaferesis, yaitu mengeluarkan darah dari tubuh, biasanya dari tangan, dipompa ke mesin untuk menghilangkan antibodi, kemudian memasukkan darah kembali ke tubuh. Metode lain adalah menghambat antibodi dengan terapi imunoglobulin dosis tinggi. Adapun rasa nyeri diobati dengan obat antiradang serta kortikosteroid. Jika segera ditangani, demikian Merdias, dalam 3 minggu sampai 1 bulan, sebanyak 90 persen penderita bisa pulih. Meski demikian, data Lembaga Gangguan Saraf dan Stroke Nasional AS menunjukkan, sekitar 30 persen penderita masih mengalami kelemahan otot dalam tiga tahun, bahkan kelemahan otot ringan bisa bertahan dalam waktu lama. gitahafas Moderator Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 5:30 pm PENYAKIT GUILLAIN-BARRE on: 04 February 2010, 16:57 http://forum.um.ac.id/ GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barr (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan. Apa gejala GBS? Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat atau

Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30

memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll) Gejalagejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa. Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya: kaki susah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan telah hilang fungsi. Apa penyebab GBS? Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang terserang Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan menngeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan. Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya. Bagaimana GBS dapat ter-diagnosa? Diagnosa GBS didapat dari riwayat dan hasil test kesehatan baik secara fisik maupun test laboratorium. Dari riwayat penyakit, obat2an yang biasa diminum, pecandu alcohol, infeksi2 yang pernah diderita, gigitan kutu maka Dokter akan menyimpulkan apakah pasien masuk dalam daftar pasien GBS. Tidak lupa juga riwayat penyakit yang pernah diderita pasien maupun keluarga pasien misalnya diabetes mellitus, diet yang dilakukan, semuanya akan diteliti dengan seksama hingga dokter bisa membuat vonis apakah anda terkena GBS atau penyakit lainnya. Pasien yang diduga mengidap GBS di haruskan melakukan test: 1. Darah lengkap 2. Lumbar Puncture 3. EMG (electromvogram) Sesuai urutannya, test pertama akan dilakukan kemudian test ke dua apabila test pertama tidak terdeteksi adanya GBS, dan selanjutnya. Apa yang akan terjadi setelah test dilakukan? Tanda-tanda melemahnya syaraf akan nampak semakin parah dalam waktu 4 sampai 6 minggu. Beberapa pasien melemah dalam waktu relative singkat hingga pada titik lumpuh total dalam hitungan hari, tapi situasi ini amat langka. Pasien kemudian memasuki tahap tidak berdaya dalam beberapa hari. Pada masa ini biasanya pasien dianjurkan untuk ber-istirahat total di rumah sakit. Meskipun kondisi dalam keadaan lemah sangat dianjurkan pasien untuk selalu menggerakkan bagianbagian tubuh yang terserang untuk menghindari kaku otot. Ahli Fisioterapy biasanya akan sangat dibutuhkan untuk melatih pasien

dengan terapi-terapi khusus dan akan memberikan pengarahanpengarahan kepada keluarga adan teman pasien cara-cara melatih pasien GBS. Apakah GBS menyakitkan? Ya dan tidak. Pasien biasanya merasakan sakit yang akut pada saat GBS. Terutama didaerah tulang belakang dan lengan dan kaki. Namun ada juga pasien yang tidak mengeluhkan rasa sakit yang berarti meskipun mereka mengalami kelumpuhan parah. Rasa sakit muncul dari pembengkakan dari syaraf yang terserang, atau dari otot yang sementara kehilangan suplai energy, atau dari posisi duduk atau tidur si Pasien yang mengalami kesulitan untuk bergerak atau memutar tubuhnya ke posisi nyaman. Untuk melawan rasa sakit dokter akan memberikan obat penghilang rasa sakit dan perawat akan memberikan terapi-terapi untuk me-relokasi bagian-bagian tubuh yang terserang dengan terapi-terapi khusus. Rasa sakit dapat datang dan pergi dan itu amat normal bagi penderita GBS. Apakah pasien GBS membutuhkan perawatan khusus? Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari itu perawatan intensive sangat diperlukan di tahap-tahap dimana GBS mulai terdeteksi. Sesuai dengan tahap dan tingkat kelumpuihan pasien maka dokter akan menentukan apa pasien memrlukan perawatan di ruang ICU atau tidak. Sekitar 25% pasien GBS akan mengalami kesulitan di: 1. Bernafas 2. Kemampuan menelan 3. Susah batuk Dalam kondisi tersebut diatas, biasanya pasien akan diberikan bantuan alat ventilator untuk membantu pernafasan. Berapa lama pasien dapat sembuh? Setelah beberapa waktu, kondisi mati rasa akan berangsur membaik. Pasien harus tetap wapada karena hanya 80% pasien yang dapat sembuh total, tergantung parahnya pasien bisa berjalan dalam waktu hitungan minggu atau tahun. Namun statistic membuktikan bahwa rata-rata pasien akan membaik dalam waktu 3 sampai 6 bulan. Pasien parah akan menyisakan cacat dibagian yang terserang paling parah, perlu terapi yang cukup lama untuk mengembalikan fungsi-fungsi otot yang layu akibat GBS. Bisanya memakan waktu maksimal 4 tahun. Adakah obat untuk penyakit ini? Obat nya hanya ada 1 macam yaitu GAMAMUNE ( Imuno globuline ) yang harganya 4jt - 4,5 jt rupiah /botol biasanya obat ini diinfuskan kepasien dg jumlah yang dihitung dari berat badan,

untuk lebih jelas nya tanya ke dokter, contoh kasus yang dialami Deya dg berat badan pada saat sakit waktu itu 58 KG deya menghabiskan obat ini sebanyak 20 botol, ( 5 botol / hari). Tips perawatan diri Karena penyebab pasti GBS tidak dapat menunjuk, tidak ada cara yang diketahui untuk mencegahnya. However, it's important to seek immediate medical treatment for any symptoms of muscle weakness and loss of reflexes. Namun, penting untuk segera mencari perawatan medis untuk setiap gejala kelemahan otot dan hilangnya refleks. Early treatment improves the outlook for recovery. Perawatan dini meningkatkan prospek untuk pemulihan. gitahafas Moderator Subject: Re: Allergi, Penyakit Autoimun, Penyakit Genetik, Sel Punca, Bayi Tabung, dll Wed Aug 03, 2011 5:43 pm KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS GBS (GUILLAIN-BARRE SYNDROME) Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut, Polio Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam kelompok penyakit neuropati perifer Komplikasi Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps. Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara lain sebagai berikut: - Paralisis otot persisten - Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik - Aspirasi - Retensi urin - Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas

Number of posts: 11541 Age: 53 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30

- Nefropati, pada penderita anak - Hipo ataupun hipertensi - Tromboemboli, pneumonia, ulkus - Aritmia jantung - Ileus Prognosis Prognosis buruk dihubungkan dengan perburukan gejala yang sangat cepat, usia tua, penggunaan ventilator jangka panjang (lebih dari 1 bulan), dan berkurangnya potensial aksi pada pemeriksaan neuromuskuler. Sebuah laporan menyebutkan kesembuhan sempurna pada 50-95% kasus. Peningkatan jumlah protein enolase spesifik pada pemeriksaan cairan serebrospinal dihubungkan dengan durasi penyakit yang lebih panjang. Meningkatnya IgM anti-GM1 memprediksikan lambatnya penyembuhan. Sekuelae neurologis dilaporkan pada 10-40% kasus; yang paling buruk adalah tetraplegia yang muncul dalam 24 jam dengan masa penyembuhan yang tidak sempurna setelah 18 bulan atau lebih. Sekuelae paling ringan adalah kesulitan berjalan derajat ringan, dengan penyembuhan dalam beberapa minggu. Namun yang paling sering didapat adalah puncak gejala dalam 10-14 hari dengan masa penyembuhan dalam hitungan minggu hingga bulan. Rata-rata masa perawatan dalam ventilator adalah 50 hari. Angka mortalitas bervariasi dari 5 hingga 10%; sebagian besar akibat instabilitas otonomik ataupun akibat komplikasi intubasi lama, paralisis,2 dan aritmia.17 Sekitar 10% penderita tidak sembuh sempurna dan tergantung pada kursi roda, ataupun hidup dengan kelemahan atau kesemutan permanen.17 Tabel 1 di bawah ini merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan hasil keluaran pada penderita GBS. Prognosis favorable dihubungkan dengan 90% kemungkinan dapat berjalan secara mandiri dalam waktu 6 bulan, sementara prognosis unfavorable dihubungkan dengan kemungkinan kemampuan berjalan mandiri kurang dari 20% kasus setelah 6 bulan gejala. ---------------------------------------------------------- Favorable----------------- Unfavorable Usia (tahun)Alat bantu nafas (ventilator) Defisit maksimum dalam waktu