Upload
patria-ardian
View
51
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
paper bedah saraf
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB
dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang.
Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian
karena kehamilan, persalinan dan nifas.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia
meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utama
meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah Kemiskinan pada berbagai
kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara yang sedang berkembang,
kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya
komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB
(kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar,
obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar, dan sebagainya),tidak memadainya tatalaksana kasus
(diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang
telah didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG,
Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat, perubahan demografik karena
meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan.
Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak
yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan
dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi
hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan
dunia (global emergency).
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi
dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat
yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug
resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil
disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya
epidemi TB yang sulit ditangani.
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien
TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina
dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia.
Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian
101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000
penduduk.
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai
tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan
Peru pada tahun 1779.1 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang
belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi
terutama oleh penyebaran melalui hematogen.1 Secara epidemiologi tuberkulosis
merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor satu di dunia, 95% kasus berada di
negara berkembang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000
memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia
meninggal oleh karena TB.2,3 Insiden spondilitis TB masih sulit ditetapkan,
sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8%
dari total kasus TB.2 Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas
yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis dapat
timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena
perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan
debris.3
Meningitis adalah sebuah inflamasi dari membran pelindung yang menutupi otak
dan medula spinalis yang dikenal sebagai meninges (1). Inflamasi dari meningen
dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau mikroorganisme lain dan
penyebab paling jarang adalah karena obat-obatan (2). Meningitis dapat
mengancam jiwa dan merupakan sebuah kondisi kegawatdaruratan (1,3).
Klasifikasi meningitis dibuat berdasarkan agen penyebabnya, yaitu meningitis
bakterial, meningitis viral, meningitis jamur, meningitis parasitik dan meningitis
non infeksius.
Meningitis bakterial merupakan meningitis yang disebabkan infeksi bakteri dan
merupakan kondisi yang serius yang dapat jika tidak segera ditangani akan
menyebabkan kerusakan otak dan bahkan kematian (1,3). Berdasarkan penelitian
epidemiologi mengenai infeksi sistem saraf pusat di Asia, pada daerah Asia
Tenggara, meningitis yang paling sering dijumpai adalah meningitis tuberkulosis
(4).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas mengenai definisi,
patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan dari spondilitis tuberkulosis dan
meningitis tuberkulosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Spondilitis TB
2.1.1 Definisi
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai
tulang belakang.
2.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun.
Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan
China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB
menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun.1,3 Kejadian
TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang
paling sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari
kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi.1,4 Tuberkulosis
ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang
dan sendi terjadi pada 5%-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi
dalam 1 tahun, namun dapat juga 2-3 tahun kemudian.
2.1.3 Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran
bakteri sangat kecil 1-5 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan
kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman
TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.5
Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).3,6
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular.6,7 Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk hipersensitivitas
terhadap protein tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks
primer terbentuk, imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem
imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.4,6
Setelah imunitas selular terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar tersebut.7
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya
oleh imunitas selular, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus tersebut
umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk
menjadi fokus reaktivasi, disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian,
bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus Simon ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB
tulang dan lain-lain.2,3,7
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan
pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.6
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas
paru. Bagian pada tulang belakang yang sering terserang adalah8 peridiskal terjadi
pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan
penyebaran melalui ligamentum longitudinal. Anterior terjadi sekitar 2,1% kasus
spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior
longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral
terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah
dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolap vertebra yang
menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas selular
yang akan membatasi pertumbuhan.6,7
2.1.3 Manifestasi Klinis
Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami keadaan
sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab
yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe
superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare berulang yang
tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai benjolan/masa di abdomen dan
tanda-tanda cairan di abdomen.1-4,7,8
Manifestasi klinis pada spondilitis TB tidak ditemukan pada bayi di bawah 1
tahun. Penyakit ini baru muncul setelah anak belajar berjalan atau melompat.
Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang yang
disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan
menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan menolak
jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai. Nyeri
tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang
belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu
punggung yang membungkuk dan membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak
stabil serta dapat berkembang secara progresif. Terdapat 2 tipe klinis kiposis yaitu
mobile dan rigid. Pada 80% kasus, terjadi kiposis 100, 20% kasus memiliki
kiposis lebih dari 100 dan hanya 4% kasus lebih dari 300. Kelainan yang sudah
berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun tanpa paraplegia. Abses
dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada bagian
bawah atau ke bawah ligamen inguinal.1,9,10
Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal
dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada
stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada
pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah
penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat.11
2.1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya infeksi
Mycobacterium tuberculosis adalah dengan menggunakan uji tuberkulin
(Mantoux tes). Uji tuberkulin merupakan tes yang dapat mendeteksi adanya
infeksi tanpa adanya menifestasi penyakit, dapat menjadi negatif oleh karena
anergi yang berat atau kekurangan energi protein. Uji tuberkulin ini tidak dapat
untuk menentukan adanya TB aktif. Pemeriksaan laju endap darah (LED)
dilakukan dan LED yang meningkat dengan hasil >100 mm/jam. Pemeriksaan
radiologi pada tulang belakang sangat mutlak dilaksanakan untuk melihat
kolumna vertebralis yang terinfeksi pada 25%-60% kasus. Vertebra lumbal I
paling sering terinfeksi. Pemeriksaan radiologi dapat ditemukan fokus infeksi
pada bagian anterior korpus vertebre dan menyebar ke lapisan subkondral tulang.
Pada beberapa kasus infeksi terjadi di bagian anterior dari badan vertebrae sampai
ke diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate. Elemen
posterior biasanya juga terkena. Penyebaran ke diskus intervertebrae terjadi secara
langsung sehingga menampakkan erosi pada badan vertebra anterior yang
disebabkan oleh abses jaringan lunak. Ketersediaan computerized tomography
scan (CT scan) yang tersebar luas dan magnetic resonance scan (MR scan) telah
meningkat penggunaannya pada manajemen TB tulang belakang. CT scan
dikerjakan untuk dapat menjelaskan sklerosis tulang belakang dan destruksi pada
badan vertebrae sehingga dapat menentukan kerusakan dan perluasan ekstensi
posterior jaringan yang mengalami radang, material tulang, dan untuk
mendiagnosis keterlibatan spinal posterior serta keterlibatan sacroiliac join dan
sacrum. Hal tersebut dapat membantu memandu biopsi dan intervensi
perencanaan pembedahan. Pemeriksaan CT scan diindikasikan bila pemeriksaan
radiologi hasilnya meragukan. Gambaran CT scan pada spondilitis TB tampak
kalsifikasi pada psoas disertai dengan adanya kalsifikasi periperal.9 Magnetic
resonance imaging (MRI) dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan,
appendicular TB, luas penyakit, dan penyebaran subligamentous dari debris
tuberculous.9
Biopsi tulang juga dapat bermanfaat pada kasus yang sulit, namun memerlukan
tingkat pengerjaan dan pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan histologi yang
baik. Pada pemeriksaan histologi akan ditemukan nekrosis kaseosa dan formasi
sel raksasa, sedangkan bakteri tahan asam tidak ditemukan dan biakan sering
memberikan hasil yang negatif.11
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis secara
lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi, gejala
klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray, CT
scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis
spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium
tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti.10,11
2.1.6 Diagnosis banding
Spondilitis TB dapat dibedakan dengan infeksi piogenik yang menunjukkan gejala
nyeri di daerah infeksi yang lebih berat. Selain itu juga terdapat gejala bengkak,
kemerahan dan pasien akan tampak lebih toksis dengan perjalanan yang lebih
singkat dan mengenai lebih dari 1 tingkat vertebrae. Tetapi gambaran yang
spesifik tidak ada sehingga spondilitis TB sulit dibedakan dengan infeksi piogenik
secara klinis.12 Selain itu spondilitis TB juga dapat dibedakan dengan tumor,
yang menunjukkan gejala tidak spesifik.
2.1.7 Tata laksana
Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan dengan
pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi menggunakan
korset.11,12 Pengobatan non-operatif dengan menggunakan kombinasi paling
tidak 4 jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan dengan
informasi kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin harus
diberikan selama seluruh pengobatan.6,12
Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid dan
etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun beberapa penelitian
mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin yang
dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya
berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik pasien.13
Pemberian obat bila dikombinasikan antara INH dan rifampisin maka dosis dari
INH tidak boleh lebih dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin tidak boleh lebih
dari 15 mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh diracik dalam satu puyer
tetapi pada saat minum obat dapat bersamaan. Sebagai tambahan terapi, anti
inflamasi non steroid kemungkinan digunakan lebih awal pada penyakit dengan
inflamasi superfisial membran yang non spesifik untuk menghambat atau efek
minimalisasi destruksi tulang dari prostaglandin.10-11,14
Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus dilakukan.
Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan Potts paraplegi. Menurut Boswots
Compos (dikutip dari 10) pengobatan yang paling penting adalah imobilisasi dan
artrodesis posterior awal. Dikatakan bahwa 80% pasien yang terdeteksi lebih awal
akan terdeteksi lebih awal; akan pulih setelah arthrodesis. Menurut pendapatnya,
dekompresi anterior diindikasikan hanya pada beberapa pasien yang tidak pulih
setelah menjalani artrodesis. Bila pengobatan ini tidak memberikan perbaikan dan
pemulihan, akan terjadi dekompresi batang otak. Pada umumnya artrodesis
dilakukan pada spinal hanya setelah terjadi pemulihan lengkap.15,16,17
Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan menunjukkan hasil
yang meningkat pada setengah jumlah pasien dan pada stadium akhir terjadi pada
seperempat jumlah pasien pasien. Jika terjadi Pott’s paraplegia maka pembedahan
harus dilakukan. Indikasi pembedahan antara lain,18,19,20,21
A. Indikasi absolut
Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia
memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan
kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah dilakukan
pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol
oleh karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya
risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat dengan
onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan
mekanis atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis vaskular tetapi hal
ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid, paraplegia
dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau gangguan kekuatan
motoris selama lebih dari 6 bulan.
B. Indikasi relatif
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal sering
tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang
diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi
seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing.
Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami
paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan
laminektomi.
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena
kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami
destruksi sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia
pada ekstremitas inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia.20,21
2.1.9 Prognosis
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi.
Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan meningitis TB, dapat
terjadi sekuele antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan
bergerak dan lain-lain. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat
dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia kurang dari 5
tahun sampai 30%.6,16,17
2.3 Meningitis Tuberkulosis
2.3.1 Definisi
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosis
merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium
tuberculosis dari infeksi primer pada paru (5).
Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal Fluid
(CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis purulenta
dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan
meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan
gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga
diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal
ini berkaitan dengan penanganan selanjutnya yang disesuaikan dengan
etiologinya. Untuk meningitis tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik
dikarenakan penyebabnya bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan
antibiotik spektrum luas. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009
menyatakan meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi
primer tuberkulosis, 83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru
(10).
2.3.2 Epidemiologi
Meningitis tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang paling sering ditemukan
di negara yang sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia, dimana
insidensi tuberkulosis lebih tinggi terutama bagi Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) (18,19,20). Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang
mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai
30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB memiliki gangguan neurologis
walaupun telah di berikan antibiotik yang adekuat. Diagnosis awal dan
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi resiko gangguan
neurologis yang mungkin dapat bertambah parah jika tidak ditangani (20,21,22).
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan
mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB
terjadi setiap 300 kasus TB primer yang tidak diobati. Centers for Disease Control
(CDC) melaporkan pada tahun 1990 morbiditas meningitis TB 6,2% dari seluruh
kasus TB ekstrapulmonal. Insiden meningitis TB sebanding dengan TB primer,
umumnya bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur,
status gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang. Faktor
predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan
kortikosteroid, keganasan, cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus.
Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih sering dibanding
dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan. Jarang ditemukan pada
usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak pernah ditemukan pada usia dibawah 3
bulan (6).
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga
bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering
ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis
tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis
tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1:100 dari semua kasus
tuberkulosis (8). Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan
karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat
menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah
yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan
sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan,
hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak
diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%.
Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali
normal secara neurologis dan intelektual (9). Angka kejadian TB paru di
Indonesia dilaporkan terus meningkat setiap tahun dan sejauh ini menjadi negara
dengan urutan ketiga dengan kasus TB paru terbanyak, pada tahun 2001,
dilaporkan perubahan dari tahun sebelumnya, penderita TB paru dari 21 orang
menjadi 43 oreng per 100.000 penduduk, dan pasien BTA aktif didapatkan 83
orang per 100.000 penduduk (11).
Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5%
dari seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai
frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila
meningitis tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya
dalam kurun waktu tiga sampai lima minggu. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa (12,13,14).
2.3.3 Diagnosis
Diagnosis ataupun suspek meningitis TB memerlukan gejala dan tanda meningitis
yang disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa dan pada hasil foto
rontgen toraks serta cairan serebrospinalis menunjukkan infeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2
tahapan. Tahap pertama adalah ketika basil My-cobacterium tuberculosis masuk
melalui inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan
penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan
meningen atau parenkim otak membentuk lesi metastatik kaseosa focisub-
ependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran rich
foci sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarachnoid dan mengakibatkan
meningitis (29).
Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal dan
menimbulkan gejala sisa yang permanen, oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis
dan terapi yang segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner
kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus
tuberkulosis ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala
klinis saat akut adalah defisit saraf kranial, nyeri kepala, meningismus, dan
perubahan status mental. Gejala prodromal yang dapat dijumpai adalah nyeri
kepala, muntah, fotofobia, dan demam (29).
Pada meningitis TB, sering ditemukan glukosa pada cairan serebrospinalis di
bawah 5 mg/dl dengan warna yang jernih, hitung jenis sel darah putih
menunjukkan peningkatan limfosit sebesar 50% atau lebih pada 50 sampai 500
per μL sel darah putih di dalam cairan serebrospinalis. Kandungan protein di atas
1 g/L dan glukosa kurang dari 2.2 mmol/L. Namun pada beberapa kasus bisa
ditemukan hasil penemuan laboratorium yang berbeda. Untuk meyakinkan
diagnosis meningitis TB, tes cairan serebrospinalis lain baru-baru ini telah
dikembangkan. Salah satunya adalah evaluasi adenosine deaminase activity
(ADA), pengukuran interferon-gamma (IFN-ɣ) yang dikeluarkan oleh limfosit,
deteksi antigen dan antibodi bakteri M.tuberculosis dan immunocytochemical
staining of mycobacterial antigens (ISMA) pada sitoplasma makrofag CSF (20).
Tes aktivitas ADA merupakan rapid test yang menampilkan proliferasi dan
diferensiasi limfosit sebagai hasil dari aktivasi imunitas yang diperantarai sel
(cell-mediated immunity) terhadap infeksi bakteri M.tuberculosis (23,24).
Aktivitas ADA tidak dapat membedakan meningitis TB dengan meningitis
bakterial lainnya, tapi aktivitas dari ADA dapat menjadi informasi tambahan yang
berguna untuk menyingkirkan diagnosis meningitis yang diakibatkan selain
bakteri. Nilai ADA dari 1 sampai 4 U/L (sensitivitas >93% dan spesifitas <80%)
dapat membantu eksklusi diagnosis meningitis TB. Nilai >8 U/L (sensitivitas 59%
dan spesifitas >96%) dapat membantu menegakkan diagnosis meningitis TB
(p<0.001). Namun, nilai diantara 4 dan 8 U/L insufisien untuk mengonfirmasi
atau mengeksklusi diagnosis meningitis TB (p=0.07) (23). Hasil positif palsu juga
bisa ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV (24).
Pengukuran IFN-ɣ yang dikeluarkan oleh limfosit yang terstimulasi oleh antigen
bakteri M.tuberculosis telah diakui lebih akurat dibandingkan dengan skin-testing
untuk mendiagnosis infeksi TB laten dan sangat berguna untuk mendiagnosis TB
ekstrapulmoner. Namun, sensitivitas dan spesifitas tes bervariasi menurut asal
atau sumber infeksi primernya (25). Telah dilaporkan kegagalan tes pengukuran
IFN-ɣ ini diakibatkan oleh kematian limfosit yang cepat ketika distimulasi dengan
antigen M.tuberculosis ex vivo sehingga hasil tes dapat ditemukan negatif
meskipun sesungguhnya telah terdapat infeksi TB (26).
Penggunaan tes ISMA pada sitoplasma makrofag CSF berdasarkan asumsi bahwa
pada stase inisial infeksi terjadi fagositosis basil TB oleh makrofag dan pada stase
selanjutnya basil TB tersebut berkembang dan bertambah di dalam makrofag (27).
Hasil tes yang positif mengindikasikan bahwa terdapat isolat bakteri TB di dalam
CSF. Pada studi terbaru di dapatkan sensitivitas 73.5% dan spesifitas 90.7%
dengan nilai prediksi positif dan negatif sebesar 52.9% dan 96% berturut-turut
(28).
Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat hanya setelah dilakukan pungsi
lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di sistem saraf pusat (defisit
neurologis), basil tahan asam positif dan atau atau M.tuberculosis terdeteksi
menggunakan metode molekular dan atau atau setelah dilakukan kultur cairan
serebrospinal (CSF) (20). Namun segala metode untuk memastikan sebuah
diagnosis meningitis TB ini memiliki resiko memperlambat terapi inisiasi. Kultur
memerlukan 2 sampai 3 minggu untuk mendapatkan hasil. Deteksi mikroskopik
untuk basil tahan asam dan isolasi kultur memiliki sensitivitas rendah. Metode
molekular yang paling baru juga memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah
namun dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang berada di CSF
sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi respon terapi (20).
2.3.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meningitis TB berdasarkan tiga komponen berbeda: administrasi
obat anti TB, modulasi respon imun dan manajemen atau penatalaksanaan tekanan
intrakranial yang meningkat.
Sebuah studi oleh Thwaites dkk. dilakukan secara acak pada 61 pasien dewasa
(usia >14 tahun) meningitis tuberkulosis. Pasien mendapat terapi antituberkulosis
standar saja atau kombinasi terapi antituberkulosis dengan ciprofloxacin 750 mg
tiap 12 jam (n=16), levofloxacin 500 mg tiap 12 jam (n=15), atau gatifloxacin 400
mg tiap 24 jam (n=15) selama 60 hari pertama. Penetrasi levofloxacin dalam
cairan serebrospinal lebih besar dibandingkan gatifloxacin dan ciprofloxacin,
dengan nilai p < 0,001.
Simpulan studi ini adalah pasien meningitis tuberkulosis besar kemungkinan
mendapatkan manfaat dari terapi fluoroquinolone yang terlihat dari kaitan
pajanan-respons yang berkaitan dengan perbaikan outcome. Fluoroquinolone
menambah aktivitas antituberkulosis pada terapi standar, tetapi harus dimulai
sesegera mungkin sebelum terjadi koma untuk mendapatkan outcome lebih baik.
Meningitis tuberkulosa merupakan penyakit tuberkulosis ekstrapulmoner yang
sifatnya fatal dan harus segera didiagnosis dan diterapi. Kemungkinan besar
pasien meningitis tuberkulosa mendapatkan manfaat dari terapi fluoroquinolone
(29).
Fixed-dose drug combination (FDC) adalah obat yang mengandung dua atau lebih
jenis obat di dalam satu tablet atau kapsul. Keuntungan dari penggunaan FDC
adalah menurunkan resiko pembentukan resistensi terhadap obat dan medication
errors yang lebih sedikit sebab hanya sedikit obat yang perlu diresepkan (31).
Anak-anak di atas usia 8 tahun dengan berat badan lebih dari 30 kg dapat
diberikan standard four-drug FDC atau FDC yang memiliki kandungan 4 jenis
obat TB standar yang digunakan pada pasien dewasa selama fase intensif (dua
bulan) terapi (32).
Ethambutol susah masuk ke dalam cairan serebrospinalis sehingga untuk regimen
meningitis TB biasanya diganti dengan ethionamide atau streptomycin. Isoniazid
15-20 mg/kg/day (dosis harian maksimum 400 mg). Rifampicin 15-20 mg/kg/day
(dosis harian maksimum 600 mg). Ethionamide 15-20 mg/kg/day (dosis harian
maksimum 1 g). Pyrazinamide 30-40 mg/kg/day (dosis harian maksimum 2 g).
Meningitis TB juga merupakan indikasi penggunaan kortikosteroid, biasanya
yang digunakan adalah prednisone oral yang diberikan dosis 2 mg/kg/hari
(maksimum 60 mg per hari) selama empat minggu sebagai tambahan obat TB dan
dilakukan tapering off setelah dua minggu (total penggunaan kortikosteroid 6
minggu) (32).
1. Susana Cha´vez-Bueno, MD, George H. McCracken, Jr, MD. Bacterial
Meningitis in Children. Department of Pediatrics, Division of Pediatric Infectious
Diseases, University of Texas Southwestern Medical Center of Dallas. Pediatr
Clin N Am 2005; 52: 795–810.
2. Ginsberg L. Difficult and recurrent meningitis. Journal of Neurology,
Neurosurgery and Psychiatry. 2004; 75: 16-21
3. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL et al. Practice guidelines for the
management of bacterial meningitis. Clinical Infectious Diseases 2004; 39: (9)
1267-84
4. T Ducomble, K Tolksdorf, I Karagiannis, B Hauer, B Brodhun, W Haas, L
Fiebig. The burden of extrapulmonary and meningitis tuberculosis: an
investigation of national surveillance data, Germany 2002 to 2009. Euro Surveill.
2013; 18(12) 20436.
5. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. Nicola Principi*,
Susanna Esposito. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Università
degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale Maggiore
Policlinico, Via Commenda 9, 20122 Milan, Italyen
6. Nofareni. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU. 2003;
1-13.
7. Yayan A. Israr. Meningitis. Faculty of Medicine – University of Riau, Arifin
Achmad General Hospital of Pekanbaru. 2008; 1-6.
8. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, 2005, Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak, Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI, Jakarta, halaman 54-56.
9. Hardiono D. Pusponegoro et al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
IDAI. 2004
10. Meningitis tuberculosis. http://www.mayoclinic.com/health/tuberculosis
Accessed September, 25th 2013.
11. Epidemiologi tbc Indonesia. http://www.tbindonesia.or.id. Accessed
September, 25th 2013.
12. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier
saunders; 2005. h. 106-13.
13. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2.
Jakarta: Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
14. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid 1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.
h. 189-96.
15. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for
Technical Assistance, 2009.
16. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal
medicine. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2012
17. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi oportunistik pada aids. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005
18. Bidstrup C, Andersen PH, Skinhøj P, Andersen AB. Tuberculous meningitis
in a country with a low incidence of tuberculosis: still a serious disease and a
diagnostic challenge.Scand J Infect Dis 2002;34:811e4.
19. Keane J. TNF-blocking agents and tuberculosis: new drugs illuminate an old
topic.Rheumatology (Oxford)2005;44:714e20
20. Nicola Principi, Susanna Esposito. Diagnosis and therapy of tuberculous
meningitis in children. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Università
degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale Maggiore
Policlinico. Via Commenda 9, 20122 Milan, Italy. Tuberculosis 2012: 92; 377-
383
21. Farinha NJ, Razali KA, Holzel H, Morgan G, Novelli VM. Tuberculosis of the
central nervous system in children: a 20-year survey.J Infect 2000;41:61e8
22. Saitoh A, Pong A, Waecker Jr NJ, Leake JA, Nespeca MP, Bradley JS.
Prediction of neurologic sequelae in childhood tuberculous meningitis: a review
of 20 cases and proposal of a novel scoring system.Pediatr Infect Dis
J2005;24:207e12.
23. Tuon FF, Higashino HR, Lopes MI, Litvoc MN, Atomiya AN, Antonangelo
L, et al. Adenosine deaminase andtuberculous meningitisea systematic review
with meta-analysis.Scand J Infect Dis2010;42:98e207.
24. Corral I, Quereda C, Navas E, Martín-Dávila P, Pérez-Elías MJ, Casado JL, et
al.Adenosine deaminase activity in cerebrospinalfluid of HIV-infected patients:
limited value for diagnosis of tuberculous meningitis.Eur J Clin Microbiol
InfectDis2004;23:471e6
25. Liao CH, Chou CH, Lai CC, Huang YT, Tan CK, Hsu HL, et al. Diagnostic
perfor-mance of an enzyme-linked immunospot assay for interferon-gamma in
extrapulmonary tuberculosis varies between different sites of disease.J Infect
2009;59:402e8
26. Simmons CP, Thwaites GE, Quyen NT, Chau TT, Mai PP, Dung NT, et al.
The clinical benefit of adjunctive dexamethasone in tuberculous meningitis is not
associated with measurable attenuation of peripheral or local immune responses.J
Immunol 2005;175:579e90
27. Sumi MG, Mathai A, Reuben S, Sarada C, Radhakrishnan VV. Immunocyto-
chemical method for early laboratory diagnosis of tuberculous meningitis.Clin
Diagn Lab Immunol2002;9:344e7
28. Shao Y, Xia P, Zhu T, Zhou J, Yuan Y, Zhang H, et al. Sensitivity and
specificity of immunocytochemical staining of mycobacterial antigens in the
cytoplasm of cerebrospinalfluid macrophages for diagnosing tuberculous
meningitis.J ClinMicrobiol2011;49:3388e91
29. Thwaites GE, Bhavnani SM, Chau TTH, Hammel JP, Torok ME, Wart SAV,
et. al. A randomized pharmaco-kinetic and pharmacodynamic comparison of fl
uo-roquinolones for tuberculous meningitis. Antimicrob Agents Chemother 2011;
doi:10.1128/AAC.00064-11.
30. European Medicines Agency. Anti-tuberculosis medicinal products containing
isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol, rifabutin: posology in children.
2012; EMA/227191/2012.
31. Guidelines for Tuberculosis Control in New Zealand 2010 Chapter 3:
Treatment of Tuberculosis Disease. 2010; Wellington: Ministry of Health.
32. DP Moore, HS Schaaf, J Nuttall, BJ Marais. Childhood tuberculosis
guidelines of the Southern African Society for Paediatric Infectious Diseases.
South Afr J Epidemiol Infect. 2009;24(3).
1. Hidalgo A. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari http://
www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Diakses tanggal 9 Maret 2005.
2. Herchline T. Tuberculosis. Didapat dari http://
www.emedicine.com/med/topic2324.htm. Diakses tanggal 9 Maret 2005.
3. Batra V. Tuberculosis. Didapat dari http://
www.emedicine.com/ped/topic2321.htm. Diakses tanggal 9 Maret 2005.
4. Salim Samuel S, Hsu L. Tuberculous spondylitis. Didapat dari: URL:
http://www.gentili.net/frame. asp?ID= 823& URLID =313541. Diakses tanggal 9
Maret 2005
5. Utji R, Harun H. Kuman tahan asam. Dalam: Syarurahman A, Chatim A,
Soebandrio AWK. penyunting. Buku ajar mikrobiologi Kedokteran. Edisi revisi.
Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. h. 191-9.
6. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS. Pedoman nasional TB anak. Edisi ke 1.
Jakarta: UKK Pulmunologi PP IDAI; 2005. h. 17-28.
7. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis. Dalam: Berhman, RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-17. Philadelphia:
WB Saunders Company; 2004. h. 958-72.
8. Harisinghani MG, McLoud TC, Shepard JO, Ko JP. Tuberculosis from head to
toe1. Radiographics: 2000; 20:449-70.
9. Anonim. Tuberculosis. Didapat dari
http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculosis. Diakses tanggal 9 Maret
2005.
10. Anonim. Tuberculous arthritis. Didapat dari
http://www.pennhealth.com/ency/article/000417.htm. Diakses tanggal 9 Maret
2005.
11. Anonim. Tuberculous spondylitis, Didapat dari
http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculous spondylitis. Diakses tanggal 9
Maret 2005.
12. Vali ·P, Chaloupka R. Management of tuberculous spondylitis. Scripta Medica
(Brno) 2000;3:165–8
13. Müller I. Mistakes in the diagnosis and treatment of tuberculous spondylitis. A
case study. Scripta Medica (Brno) 2000; 3:157 –60.
14. Rahajoe NN. Berbagai masalah diagnosis dan tatalaksana tuberculosis anak.
Dalam: Rahajoe N, Rahajoe NN, Boediman I, Said M, Wirjodiardjo M, Supriatno
B. Penyunting. Perkembangan dan masalah pulmunologi anak saat ini. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XXXIII. FKUI; Jakarta:
BP FKUI, 1994.
15. Crofton J, Horne N, Fred M. Tuberkulosis pada anak. Dalam: Tuberkulosis
klinis. Harun N, penyunting. Edisi ke 2. Jakarta: Widya Medika; 2002. h. 31-79.
16. Anil K, Jail MS. Treatment of tuberculosis of the spine with neurologic
complication. Clinical orthopaedics and related research 2002; 398:75-84.
17. Mankin H. The back. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S.
Penyunting. System of orthopaedics and fractures. Edisi ke 8. New York: Oxford
University Press; 2001.h.371-404.
18. Wood GW. Infection of spine. Dalam: Crenshaw AH, penyunting.
Champbell’s operative orthopaedics. Edisi ke 7. New York: Mosby Company;
1987. h. 3323-42.
19. Resnick D. Osteomyelitis, septic arthritis, and soft tissue infection: organism.
Dalam: Chaterin F, penyunting. Bone and joint imaging. Edisi ke 2. Philadelphia:
WB Saunders; 1996. h. 684-716.
20. Banerjee A, Tow DE. Tuberculous spondylitis Didapat dari http://www.med.
harvard.edu /JPNM/BoneTF /Case14/WriteUp14.html. Diakses tanggal 27 April
2005).
21. Moon MS. Tuberculosis of the spine. Controversies and a new challenge.
Spine: 1997; 15: 1791-7.