Upload
ratih-novi-pratiwi
View
164
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
case bedah saraf
Citation preview
0
PRESENTASI KASUS
PERDARAHAN SUBARAKHNOID
PEMBIMBING
dr. Andre Susilo, Sp. BS
DISUSUN OLEH
Ratih Novi Pratiwi
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA
LAPORAN KASUS
1
I. IDENTITAS
Nama : Tn. J
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Cikijing, Kuningan
Tanggal masuk RS : 10 September 2012
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
Keluhan Tambahan : -
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD Gunung Jati pada tanggal 10 September pukul 14.00 dengan
penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan lalu lintas tertabrak motor ketika
menyebrang jalan yang terjadi pukul 08.00. Pasien tidak ingat kejadian, pasien
mengalami pingsan sesaat setelah kecelakaan dan muntah sebanyak tiga kali. Tidak ada
keluar darah dari hidung dan telinga, pasien tidak kejang. Setelah kejadian pasien dibawa
ke Puskesmas, kemudian dirujuk ke RSUD 45 dan dirujuk kembali ke RSUD Gunung
Jati.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Somnolen GCS: E4V5M6
Vital Sign : Tekanan Darah : 130/80
Nadi : 75 kali/menit
Respirasi : 24 kali/menit
2
Suhu : 37,1 0C
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Eksoftalmus (-/-)
THT : Kedua telinga lapang, tidak keluar cairan
Hidung simetris, rhinorrhea (-)
Tenggorokan tidak hiperemis
Leher : JVP tidak meningkat
Tidak ada pembesaran KGB, tidak ada pembesaran thyroid
Thoraks : Cor BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo vesikuler +/+, Wheezing -/-, Ronki -/-
Abdomen : Datar, Bising Usus (+)
Ekstremitas : Akral hangat
Edema (-) Sianosis (-)
Status Lokalis
a/r oksipital dekstra
Hematoma 2 x 2 cm
Luka terbuka (-)
Nyeri tekan (+)
a/r fasialis
multiple vulnus ekskoriasi
Status Neurologis
Kesadaran : Somnolen, GCS E4 V4 M6 = 15
Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk (-), Brudzinsky I/II (-/-), Kernig (-)
3
Pemeriksaan N.Cranialis
N I (N. Olfactorius) : (+)
N II (N. Opticus) : RCL (+/+) RCTL (+/+)
N III, IV, VI (N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abdusen)
Gerakan bola mata : Mata kanan dan kiri dalam batas normal
Pupil : Isokor diameter 3 mm
N V (N. Trigeminus)
Sensorik : Sensibilitas wajah baik
Motorik : Gerakan mengunyah baik
N VII ( N. Fasialis):
Mengangkat alis : (+/+)
Membuka mata : (+/+)
Lipatan nasolabial : (+/+)
N VIII ( N. Vestibulo-Cochlearis)
Tidak dilakukan
N IX, X ( N. Glossopharingeus, N. Vagus )
Gerakan menelan baik
Posisi uvula berada di tengah
N XI ( N. Accesorius)
Mengangkat bahu (+/+)
Menoleh kanan dan kiri (+/+)
4
N XII ( N. Hipoglossus )
Tidak ada deviasi lidah
Fungsi Motorik
Kekuatan otot : Ekstremitas superior (5/5)
Ekstremitas inferior (5/5)
Fungsi Sensorik
Raba : Ekstremitas superior (+/+)
Ekstremitas inferior (+/+)
Nyeri : Ekstremitas superior (+/+)
Ekstremitas inferior (+/+)
IV. DIAGNOSA SEMENTARA
MILD HEAD INJURY
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT Scan Kepala :
Mid line shift tidak bergeser
Ventrikel lateral menyempit
Sylvian fissure terbuka
Terdapat gambaran lesi salt and pepper a/r frontal dextra dan sinistra
Sulcus dan gyrus menyepit
Terdapat soft tissue sweeling pada regio fronto-tempero-parietal
Tidak terdapat diskontuinitas tulang
5
Kesan :
Perdarahan Subarachnoid
Konstusio cerebri a/r frontalis dextra et sinistra
Edema serebri
6
7
Lab darah rutin (10 September 2012)
Leukosit : 21.700/mm3
Hemoglobin : 12.0 mg/dL
Hematokrit : 41.0 %
Trombosit : 285. 000/mm3
GDS : 187 mg/dL
Ureum : 18.9 mg/dL
Kreatinin : 1.13 mg/dL
8
SGOT : 57
SGPT : 59
VI. RESUME
Pasien datang dengan penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan lalu lintas
tertabrak sepeda motor saat menyebrang jalan. Pasien tidak ingat kejadian dan mengalami
pingsan serta muntah sebanyak tiga kali. Kesadaran somnolen GCS E4M6V5. Status
lokalis terdapat hematoma a/r oksipitalis dextra dan multiple vulnus ekskoriasi a/r
facialis. Pada pemeriksaan CT scan kepala terdapat perdarahan subarachnoid dan
kontusio serebri a/r frontalis dekstra. Pemeriksaan darah, leukosit 21.700/mm3.
VII. DIAGNOSA KERJA
Perdarahan Subarachnoid
Konstusio cerebri a/r frontalis dextra
VIII. THERAPY
Head up 300
IVFD NaCl 0,9 %
Cefepime 2x1 ampul
Ketorolac 2x1 ampul
CT scan kembali 4 hari kemudian
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
9
TINJAUAN PUSTAKA
PERDARAHAN SUBARAKHNOID
DEFINISI
Perdarahan subaracnoid adalah keadaan yang akut, karena terjadi perdarahan ke dalam
ruangan subarachnoid. Biasanya disebabkan oleh aneurisma yang pecah (50%), pecahnya
malformasi arteriovena (5%), asalnya primer dari perdarahan intraserebral (20%) dan cedera
kepala.
Gambar 3.1Stoke Hemoragik
10
Gambar 3.2Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subaraknoid non-trauma adalah masalah neurologik darurat akibat
ekstravasasi darah ke ruang yang menutupi sistem saraf pusat yang terisi oleh cairan
serebrospinal. Penyebab utama perdarahan subaraknoid non-trauma ini adalah rupturnya
aneurisma intrakranial yang merupakan 80% kasus dan memiliki tingkat kematian dan
komplikasi yang tinggi. Perdarahan subaraknoid non-aneurismal, termasuk perdarahan
subaraknoid perimesensefali terisolasi, terjadi sekitar 20% kasus dan memiliki prognosis baik
dengan komplikasi neurologik yang tidak umum.
Epidemiologi
Sebanyak 46% pasien yang bertahan terhadap perdarahan subaraknoid menderita
gangguan kognitif jangka panjang yang mempengaruhi fungsi dan kualitas hidup pasien.
Perdarahan subaraknoid memiliki karakter demografi, faktor resiko dan terapi yang berbeda-
beda. Perdarahan ini menyumbangkan 2-5% kasus stroke baru dan mempengaruhi 21.000 s/d
33.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat. Insidensi perdarahan subaraknoid ini tetap
stabil selama 30 tahun terakhir dan meskipun bervariasi antar daerah, insidensi di dunia secara
keseluruhan adalah sekitar 10,5 kasus per 100.000 orang per tahun. Insidensi meningkat dalam
hal usia, yaitu rata-rata muncul pada usia 55 tahun. Resiko terjadi pada perempuan 1,6 kali lebih
banyak dibandingkan laki-laki, dan resiko untuk orang kulit hitam 2,1 kali lebih banyak
11
dibandingkan orang kulit putih. Rata-rata case fatality rate (CFR) atau tingkat kematian
perdarahan subaraknoid adalah 51% dengan setidaknya ⅓ pasien yang bertahan hidup
memerlukan perawatan seumur hidup. Kebanyakan kematian terjadi dalam 2 minggu setelah
iktus dengan 10% terjadi sebelum pasien mendapat pengobatan medis dan 25% dalam 24 jam
setelahnya. Secara keseluruhan, perdarahan subaraknoid menyumbang 5% kematian akibat
stroke tetapi 27% dari tahun-tahun pasca-stroke berpotensi adanya kematian sebelum usia 65
tahun.
Anatomi
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea
dan piamater.
12
Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu
lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi
otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk
menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara
lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara
bagian-bagian otak.
Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium
subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman
padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara relative
sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut menjadi
13
jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna
arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini
berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid
umum.
Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan otak
dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak.
Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di
tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung
dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus
choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel
keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.
Etiologi
Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma
(85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan dari
pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar kemungkinannya
bisa pecah. Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic
hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara
umum. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang
mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh darah pada sum-sum tulang belakang dan
perdarahan berbagai jenis tumor.
PSA primer dapat muncul dari ruptur tipe kesatuan patologis berikut ini (2 yang pertama
adalah yang tersering):
Aneurisma sakular
MAV
Ruptur aneurisma mikotik
Angioma
Neoplasma
14
Trombosis kortikal
PSA dapat mencerminkan diseksi sekunder darah dari hematom intraparenkim (misal
perdarahan dari hipertensi atau neoplasma)
2/3 kasus PSA non-traumatik disebabkan ruptur aneurisma sakular
Penyebab kongenital mungkin bertanggung jawab untuk PSA
o Kejadian familial sesekali
o Frekuensi aneurisma multipel
o Hubungan aneurisma dengan penyakit sistemik tertentu termasuk sindroma Ehlers-
Danlos, sindroma Marfan, coarctatio aorta, dan penyakit ginjal polikistik
Faktor lingkungan yang dihubungkan dengan defek dinding pembuluh darah dapatan
termasuk usia, hipertensi, merokok dan artrosklerosis.
Patofisiologi
Aneurisma Hampir selalu terletak dipercabangan arteri, aneurisma itu manifestasi akibat
suatu gangguan perkembangan embrional, sehingga dinamakan juga aneurisma sakular
(berbentuk seperti saku) kongenital. Aneurisma berkembang dari dinding arteri yang mempunyai
kelemahan pada tunika medianya. Tempat ini merupakan tempat dengan daya ketahanan yang
lemah (lokus minoris resaistensiae), yang karena beban tekanan darah tinggi dapat
menggembung dan terbentuklah aneurisma. Aneurismna dapat juga berkembang akibat trauma,
yang biasanya langsung bersambung dengan vena, sehingga membentuk ”shunt” arterivenous .
Apabila oleh lonjakan tekanan darah atau karena lonjakan intraabdominal, aneurisma
intraserebral itu pecah, maka terjadilah perdarahan yang menimbulkan gambaran penyakit yang
menyerupai perdarahan intraserebral akibat pecahnya aneurisma Charcot-Bouchard. Pada
umumnya faktur presipitasi tidak jelas, oleh karena tidak teringat oleh penderita.
15
lokasi aneurisma
AVM
16
Gejala klinis
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada perdarahan subaracnoid yaitu:
1. Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis, berlangsung dalam 1
– 2 detik sampai 1 menit. Kurang lebih 25% penderita didahului nyeri kepala hebat.
2. Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan kejang.
3. Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit sampai
beberapa jam.
4. Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
5. Fundus Okuli : 10% penderita mengalami edema papil beberapa jam setelah perdrahan.
Perdarahan retina berupa perdarahan subhialoid (10%), merupakan gejala karakteristik
perdarahan subarakhnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior atau
arteri karotis interna.
6. Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau hipertensi, banyak
keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan.
Perdarahan subaraknoid harus selalu dicurigai pada pasien-pasien dengan gambaran
tipikal termasuk onset tiba-tiba sakit kepala berat (seringkali diakui pasien sebagai “sakit kepala
terburuk yang pernah dirasakan”) disertai mual, muntah, nyeri leher, fotofobia dan hilang
kesadaran. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya perdarahan retinal, meningismus,
kesadaran menurun dan tanda neurologik terlokalisir. Penemuan berikutnya biasanya berupa
kelumpuhan nervus III (aneurisma komunikans posterior), kelumpuhan nervus VI (peningkatan
tekanan intrakranial), kelemahan ekstremitas bawah bilateral atau abulia (aneurisma komunikans
anterior) serta kombinasi hemiparesis dan afasia atau visuospatial neglect (aneurisma arteri
serebri intermedia). Perdarahan retinal harus dibedakan dengan perdarahan pre-retinal pada
sindroma Terson yang mengindikasikan atas adanya peningkatan drastis tekanan intrakranial dan
hal ini dapat meningkatkan mortalitas.
Tanpa adanya keluhan dan tanda klinis klasik, perdarahan subaraknoid dapat salah
didiagnosis (misdiagnosis). Frekuensi misdiagnosis dapat sampai 50% dari pasien-pasien yang
datang pertama kali ke dokter. Kesalahan diagnosis yang umum terjadi adalah migrain dan
tension-type headache. Kegagalan pengambilan foto radiologik yang benar menyumbangkan
73% kasus salah diagnosis dan kegagalan melakukan interpretasi yang benar atas hasil punksi
lumbal menyumbangkan 23%-nya. Pasien yang salah didiagnosis cenderung tampak sakit ringan
17
dan memiliki hasil pemeriksaan neurologik yang normal. Namun demikian, dalam kasus
tersebut, dapat terjadi komplikasi neurologik sebanyak 50% pasien dan pasien-pasien ini
dihubungkan dengan resiko yang lebih tinggi terhadap kematian dan kecacatan. Sakit kepala
mungkin hanya mewakili 40% keluhan pasien dan dapat hilang dalam beberapa menit atau jam,
hal ini disebut sentinel headache atau thunderclap headache atau “warning leaks” (peringatan
kemungkinan kebocoran pembuluh darah).
Evaluasi darurat atas sentinel headache diperlukan karena pasien mungkin telah memiliki
perdarahan subaraknoid dalam 3 minggu. Dalam praktiknya, tidak ada gambaran klinis yang
reliabel untuk membedakan sentinel headache dari benign headache. Beberapa pasien mungkin
tidak memiliki sakit kepala berat, bahkan keluhan lain seperti kejang atau kebingungan mungkin
lebih menonjol. Setiap pasien dengan sakit kepala berat atau pertama kali harus diduga akan
adanya perdarahan subaraknoid dan perlu direncanakan CT-scan kepala.
Grading
18
19
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis perdarahan subarachnoid dapat digunakan cara
pemeriksaan sebagai berikut :
1. Anamnesis (mulainya) akut, nyeri kepala hebat satu sisi, mual, muntah dapat disusul
gangguan kesadaran dan kejang.
2. Pemeriksaan klinis neurologis
3. Pemeriksaan tambahan
a. Funduskopi : cari subhyaloid bleeding
b. CT scan kepala : aneurisma dengan ukuran 7 mm tidak terlihat, dengan menggunakan
kontras , dapat terlihat aneurisma maupun MAV.
CT Scan perdarahan Subarachnoid
c. Lumbal punksi : dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT Scan kepala tidak dapat
dikerjakan atau gambaran CT scan kepala normal, sedangkan klinis sangat mencurigakan
suatu perdarahan subaraknoid dan tidak ada kontraindikasi lumbal punksi.
d. MRI tidak dapat dilakukan untuk mendiagnosis SAH
e. Angiongrafi sebagai persiapan operasi
4. Likuor : hampir 100% berdarah, dengan eritrosit 150.000/mm3. Warna xantokrom timbul
dalam 4 jam hingga 20-30 hari. Eritrosit lisis dalam 7 hari, kecuali adanya perdarahan baru.
20
CT-scan kepala harus dilakukan pertama kali pada setiap pasien dengan suspek
perdarahan subaraknoid. Karakteristik tampilan darah yang ekstravasasi adalah hiperdens.
Karena darah dalam jumlah kecil dapat saja terlewat, setiap scan harus dilakukan dengan irisan
tipis melalui basis otak. Kualitas CT-scan kepala yang baik dapat memperlihatkan perdarahan
subaraknoid pada 100% kasus dalam 12 jam setelah onset keluhan dan pada 93% kasus dalam
24 jam.
CT-scan kepala juga dapat memperlihatkan adanya hematom intraparenkimal,
hidrosefalus dan edem serebri serta dapat membantu memprediksikan sisi ruptur aneurisma,
terutama pada pasien dengan aneurisma pada arteri serebri anterior atau arteri komunikans
Gambaran klinis tipikalSakit kepala berat + mual + muntahMeningismusKesadaran menurunTanda neurologik telokalisir
Gambaran klinis atipikal“Thunderclap” headacheKejangKebingunganTrauma kepala yang berhubungan
CT-scan kepala tanpa kontras
Perdarahan Subaraknoid (+)
Perdarahan Subaraknoid (-)
Punksi Lumbal
CT atau cerebral angiografi
Abnormal unequivocal (xanthochromia, hitung eritrosit meningkat tidak berubah dari tabung 1 ke 4)
Abnormal equivocal (tanpa xanthochromia, hitung eritrosit meningkat dari tabung 1 saja)
Aneurisma
Normal
Terapi awal
Ulang CT angio 1-3 mggImaging otak, batang otak dan batang spinal
CT atau cerebral angiografi
Aneurisma
Terapi awal
Stop
Normal
Stop
Normal
21
anterior. CT-scan kepala juga tes paling reliabel untuk memprediksi vasospasme serebral dan
hasil pengobatan yang buruk. Karena pembersihan cepat oleh darah, CT-scan yang tertunda
dapat normal meskipun terdapat riwayat yang mendukung dan sensitifitasnya jatuh menjadi 50%
setelah tujuh hari.
Punksi lumbal harus dilakukan pada setiap pasien dengan suspek perdarahan
subaraknoid dan hasil negatif atau equivocal pada CT-scan kepala. Cairan serebrospinal harus
dikumpulkan di dalam 4 tabung konsekutif, hitung eritrosit ditentukan dari tabung 1 dan 4.
Penemuan yang konsisten dengan perdarahan subaraknoid termasuk elevated opening pressure,
peningkatan hitung eritrosit yang tidak berkurang dari tabung 1 dan 4 serta xanthochromia
(dideteksi dengan spektrofotometri) yang memerlukan lebih dari 12 jam untuk berkembang. Pada
pasien dengan punksi lumbal diagnostik atau equivocal, foto radiologik, seperti CT angiografi
pada kepala atau angiografi serebral, harus dilakukan. Digital- subtraction cerebral angiography
merupakan gold standard untuk deteksi aneurisma serebral tetapi CT angiografi lebih populer
dan sering digunakan karena non-invasif serta sensitifitas dan spesifisitas dapat dibandingkan
dengan yang menggunakan angiografi serebral.
Dalam praktik, evaluasi yang teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan
karena sekitar 15% pasien akan memiliki aneurisma multipel. Pasien dengan foto radiologik
negatif harus dilakukan pengulangan 7-14 hari setelah kemunculan gejala yang pertama. Jika
evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, magnetic resonance imaging (MRI) harus
dilakukan untuk menutup kemungkinan malformasi vaskular pada otak, batang otak atau batang
spinal. Teknik rediologik lainnya yang dapat digunakan termasuk MRI kepada untuk
menentukan ukuran aneurisma (terutama pada kasus trombosis parsial aneurisma) dan three-
dimensional digital-subtraction cerebral angiography (yang membantu melihat morfologi
aneurisma) (Gambar 2C). Selain itu, perkembangan terbaru pada three-dimensional CT
angiography dapat mengurangi kebutuhan akan angiografi serebral yang invasif dan mengurangi
resiko karenanya.
Penatalaksanaan
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline Stroke
2007:
1. Pedoman Tatalaksana
22
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):
Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Bed rest total dengan posisi kepala
ditinggikan 30 dalam ruangan dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila
perlu diberikan O2 2-3 L/menit.
Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-kelainan
neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih intensif:
Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang gawat
darurat.
Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang nafas yang
adekuat.
Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
Hindari pemakaian sedatif yang berlebihan karena akan menyulitkan penilaian
status neurologi.
2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA
a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi saja tidak
direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua
hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA.
b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan
klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau
memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda.
c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.
3. Operasi pada aneurisma yang rupture
a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah
rupture aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah PSA, banyak
penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan
operasi yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang
23
lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi
yang segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.
c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk perdarahan
ulang.
4. Tatalaksana pencegahan vasospasme
a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau secara
oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki
deficit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang
diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H yaitu
hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan mempertahankan “cerebral
perfusion pressure” sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat
vasospasme. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien
yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasien-pasien
yang gagal dengan terapi konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
Pencegahan vasospasme:
Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
Jaga keseimbangan cairan.
Delayed vasospasm:
Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14
mmHg.
Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.
24
5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering
dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid
dengan dosis 6-12 g/hari.
6. Antihipertensi
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah sistolik (TDS)
tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum tindakan
operasi aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih dari 90
mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit sampai
mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit.
Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan
memberikan efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan vasopressors,
dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang mungkin terjadi akibat
vasospasme.
7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu diberikan
NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam
dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama. Ada yang menambahkan
fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2
kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena menyebabkan hiponatremi.
Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan hiponatremi.
8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak
direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin
timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media,
kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan ulang
yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis. Dapat dipakai
25
fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV
3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi.
Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang. Penggunaan
antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang tidak kejang dan
harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-faktor
risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri
media.
9. Hidrosefalus
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama. Kejadiannya
kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase eksternal
ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara temporer atau
permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.
10. Terapi Tambahan
a. Laksansia (pencahar) diperlukan untuk melembekkan feses secara regular. Mencegah
trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic compression devices.
b. Analgesik:
Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
Tylanol dengan kodein.
Hindari asetosal.
Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
Propofol 3-10 mg/kg/jam.
Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
Antagonis H2
Antasida
26
Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari.
Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.
Komplikasi
Hidrosefalus dapat terbentuk dalam 24 jam pertama karena obstruksi aliran CSS dalam
sistem ventrikular oleh gumpalan darah.
Perdarahan ulang pada PSA muncul pada 20% pasien dalam 2 minggu pertama. Puncak
insidennya muncul sehari setelah PSA. Ini mungkin berasal dari lisis gumpalan aneurisma.
Vasospasme dari kontraksi otot polos arteri merupakan simtomatis pada 36% pasien.
Defisit neurologis dari puncak iskemik serebral pada hari 4-12.
Disfungsi hipotalamus menyebabkan stimulasi simpatetik berlebihan, yang dapat
menyebabkan iskemik miokard atau menurunkan tekanan darah labil.
Hiponatremia dapat muncul sebagai hasil pembuangan garam serebral.
Aspirasi pneumonia dan komplikasi lainnya dapat muncul.
Disfungsi sistole ventrikel kiri: disfungsi sistole ventrikel kiri pada orang dengan PSA
dihubungkan dengan perfusi miokard normal dan inervasi/persarafan simpatetik abnormal.
Temuan ini dijelaskan oleh pelepasan berlebihan norepinefrin dari nervus simpatetik
miokard, yang dapat merusak miosit dan ujung saraf.
Prognosis
Munculnya defisit kognitif, bahkan pada kebanyakan pasien yang dianggap memiliki hasil
akhir yang baik.
Lebih dari 1/3 yang selamat dari PSA memiliki defisit neurologis mayor.
Faktor yang mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas adalah sebagai berikut:
o Beratnya perdarahan
o Derajat vasospasme serebral
o Muculnya perdarahan ulang
o Lokasi perdarahan
o Usia dan kesehatan keseluruhan pasien
o Kemunculan kondisi komorbid dan sumber dari rumah sakit (misal infeksi, infark
miokard)
27
o Angka ketahanan hidup dihubungkan dengan tingkatan PSA saat munculnya. Laporan
menggambarkan angka ketahanan hidup 70% untuk grade I, 60% untuk grade II, 50%
untuk grade III, 40% untuk grade IV dan 10% untuk grade V.
DAFTAR PUSTAKA
Satyanegara, dkk. 2012. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Jakarta: Gramedia.
Soemitro, Daryo W, dkk. 2011. Synopsis Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: FKUI.
Iskandar, J. Cedera Kepala. Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer.
Lumbantobing. 2011. Neurologi Klinik Pemeriksaam Fisik dan Mental. Jakarta: FKUI.