Upload
achmad-hariyanto
View
72
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pare (Momordica charantia)
Pare atau bitter gourd adalah tanaman
yang tumbuh di daerah tropis, yaitu daerah
Amazon (Amerika Selatan), Afrika Timur,
Asia, dan Karibia (Taylor 2002). Di
Indonesia tanaman pare hampir terdapat di
seluruh daerah, sehingga dikenal dengan
banyak nama lokal. Tanaman pare memiliki
dua varietas yang terkenal, yaitu charantia
dan muricata. Varietas charantia disebut
juga pare putih yang mempunyai ciri-ciri
buah lonjong besar, berwarna hijau muda dan
tidak begitu pahit. Varietas muricata lebih
kecil atau pendek dan pahit.
Menurut Rukmana (1997) tanaman ini
diklasifikasikan sebagai berikut: kerajaan
Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi
Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo
Curcubitales, famili Curcubitaceae, genus
Momordica, dan spesies Momordica
charantia L.
Rasa pahit pada daun dan buah
disebabkan oleh sejenis glikosida yang
disebut momordicin atau charantin. Buah
pare mempunyai kegunaan yang luas, di
antaranya untuk mengobati berbagai penyakit
seperti diabetes, wasir, kerusakan hati, diare,
sakit kuning, menambah produksi air susu
ibu, sariawan, batuk, dan obat luka sehingga
membuat pare digolongkan ke dalam obat-
obatan tradisional.
Selain sebagai sayuran, sebagian
masyarakat memanfaatkan pare untuk
pengobatan berbagai jenis penyakit. Di
Amerika, jus dari buah pare segar banyak
dimanfaatkan untuk terapi penderita human
immunodeficiency virus (HIV). Dari
beberapa penelitian telah berhasil diisolasi
suatu protein aktif dari biji pare yang
berfungsi sebagai inhibitor sintesis protein
yang dinamakan MAP 30.
Gambar 1 Buah pare
Kelompok protein ini disebut ribosom
inactivating protein atau RIP (Minami et al.
1992). Kondoe di dalam Budianto (2003)
juga mengatakan bahwa RIP juga terdapat
pada anggota famili Cucurbitaceae lainnya
yaitu Luffa cylindrica dan Trichosantes
kirilowii. Kelompok RIP ini merupakan
protein yang dapat dimanfaatkan baik dalam
bidang pertanian maupun kesehatan. Lin
Huang et al. (1999) melaporkan bahwa MAP
30 yang diisolasi dari biji pare adalah suatu
protein bioaktif yang dapat melawan sel
tumor. Jackson dan Jones di dalam Budianto
et al. (2003) menyebutkan bahwa bahan aktif
yang terkandung dalam buah pare, yaitu
momordikosida K dan L dapat berperan
dalam menghambat spermatogenesis dan
bersifat reversibel, sehingga dapat digunakan
sebagai kontrasepsi pada pria. Hal serupa
juga dilaporkan oleh Girini et al. (2005),
yakni kandungan glikosida triterpen dalam
buah pare dapat menghambat motilitas dan
viabilitas spermatozoa.
Tanaman pare diduga mengandung
senyawa bioaktif yang bersifat hipoglikemik
yaitu charantin (Taylor 2002). Senyawa ini
tergolong fitosterol atau glikosida kompleks.
Diduga ekstrak buah pare dapat
meningkatkan laju metabolisme sel melalui
peningkatan dan penggunaan glukosa oleh sel
target yang efeknya bersifat antidiabetik.
Selain charantin, buah pare juga
mengandung hydroxytryptamine, vitamin A,
B, dan C. Sedangkan bijinya mengandung
momordisin. Buah pare juga dikatakan
mengandung saponin, flavonoid, polifenol
serta glikosida cucurbitacin.
Buah pare yang dianggap baik sebagai
sayuran maupun buah secara tradisional telah
digunakan sebagai herbal anti-diabetes dan
jus buahnya atau buah mentahnya secara
ilmiah telah terbukti dapat menurunkan kadar
glukosa darah pada uji dengan hewan
percobaan maupun uji klinis pada manusia.
Misalnya, uji ekstrak air,methanol, dan
kloroform buah mentah pare pada tikus
percobaan dengan dosis 20 mg/kg berat
badan dapat menurunkan kadar glukosa darah
puasa sebesar 48%, sebanding dengan
penggunaan obat antidiabetika oral sintetik
glibenklamida. Uji toksisitas yang dilakukan
juga membuktikan bahwa ekstrak buah pare
tersebut aman untuk dikonsumsi (Subroto
2006).
Buah pare yang mengandung senyawa
aktif charantin, vicine, dan polipeptida-p
(protein mirip insulin) memiliki mekanisme 3
meningkatkan sekresi insulin, asupan glukosa
jaringan, sintesis glikogen otot hati, oksidasi
glukosa, dan menurunkan glukoneogenesis
hati. Dalam percobaan dengan hewan pare
terbukti memiliki mekanisme mirip dengan
insulin dalam menurunkan kadar gula darah.
Penelitian menunjukkan bahwa buah muda
pare mengandung peptida aktif yang
dinamakan MC6 yang berukuran 10 kD.
Peptida tersebut terdiri dari 3 peptida aktif
(MC6.1, MC6.2, dan MC6.3) yang terbukti
memiliki aktivitas hipoglikemik (Subroto
2006).
Dosis yang direkomendasikan untuk
buah pare tergantung pada sediaannya. Dosis
untuk tingtur berkisar antara 5 mL hingga 50
mL tiga kali sehari. Namun demikian, karena
rasanya pahit maka sediaan pare dapat juga
berbentuk tablet atau kapsul. Dosis untuk
kapsul yang berisi bubuk kering berkisar
antara 3-15 g/hari atau bila dalam bentuk
ekstrak kering setara dengan 100-200 mg, 3
kali sehari.
Paten terbaru tentang pare di Kantor
Paten Amerika Serikat yang diberikan kepada
Pushpa Khanna dari India dengan no.
US6,831,162 B2 lebih mengungkap khasiat
biji buah pare sebagai antidiabetes. Paten
tersebut mengungkap tentang isolasi senyawa
yang dinamakan polipeptida-K dari biji buah
pare. Senyawa dalam bentuk bubuk amorf
tersebut diformulasikan dalam berbagai
bentuk seperti tablet dan produk-produk
edible seperti biskuit dan permen karet yang
tidak ditelan dengan segera.
Uji klinis yang dilakukan terhadap lebih
dari 500 pasien diabetes menunjukkan bahwa
sediaan yang mengandung 12 mg hingga 70
mg polipeptida-K tersebut cukup efektif
dalam mengaktifkan insulin yang sudah non-
aktif dan dapat meremajakan pankreas
tergantung dari kekronisan kondisi patologi
dari masing-masing individu pasien. Selain
dapat menurunkan kadar gula darah,
polipeptida-K juga mengendalikan hipertensi
dengan cara mengendalikan total kolesterol,
HDL, LDL, VLDL, dan trigliserida.
Radikal bebas, Antioksidan, dan Lipid
Peroksida
Radikal bebas adalah suatu atom atau
molekul yang memiliki satu atau lebih
elektron tidak berpasangan dan sangat reaktif
(Muhilal 1991). Radikal bebas, disimbolkan
dengan tanda (•), dapat terbentuk secara
endogen sebagai hasil proses metabolisme
tubuh, atau secara eksogen misalnya melalui
proses adsorpsi radiasi (UV, sinar tampak,
panas) dan melalui reaksi redoks (Gitawati
1995). Salah satu peluang terbentuknya
radikal bebas secara endogen yaitu pada
peristiwa reduksi oksigen di dalam rantai
transpor elektron. Proses reduksi oksigen ini
menghasilkan radikal superoksida (O2
-
•),
hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal
hidroksil (OH•) sebagai zat perantara.
Radikal bebas dalam upaya menstabilkan
dirinya akan mencari pasangan elektron dari
molekul lain. Di dalam tubuh, radikal bebas
ini akan menarik elektron dari makromolekul
di sekitarnya seperti protein, karbohidrat,
lipid, maupun DNA yang merupakan bagian
dari sel. Jika terjadi kerusakan pada unsur-
unsur tersebut, pada akhirnya akan mengarah
pada kerusakan sel (Halliwel&Gutteridge
1985).
Lipid peroksida adalah suatu molekul
yang terbentuk dari peroksidasi lipid.
Peroksidasi lipid adalah reaksi yang terjadi
antara radikal bebas dengan PUFA yang
mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap
(Halliwell & Gutteridge 1985). Reaksi
peroksidasi lipid diawali oleh pengambilan
sebuah atom hidrogen dari gugus metilena (-
CH2) pada PUFA oleh radikal bebas. Pada
tahap ini terjadi pembentukan radikal bebas
karbon (-CH-•) yang disebabkan adanya
ikatan rangkap pada asam lemak yang dapat
melemahkan ikatan antara atom C dan H
yang berdekatan dengan ikatan rangkap,
sehingga atom H mudah diambil oleh radikal
bebas. Tahap selanjutnya yaitu penstabilan
radikal bebas karbon melalui penataan ulang
ikatan rangkap, sehingga terbentuk diena
terkonjugasi. Apabila diena terkonjugasi
bereaksi dengan O2, maka akan terbentuk
radikal lipid peroksida (ROO•). Hadirnya
radikal peroksida ini dapat memudahkan
pengambilan atom hidrogen dari molekul
lipid lain, sehingga tahap ini disebut sebagai
tahap propagasi. Radikal peroksida
selanjutnya dapat bergabung dengan atom H
yang lain membentuk lipid hidroperoksida
dan radikal bebas yang baru. Jalur lain yang
ditempuh oleh radikal peroksida yaitu dengan
membentuk peroksida siklik yang disebut
dengan enderoperoksida. Tahap terminasi
terjadi bila radikal lipid peroksida bereaksi
dengan antioksidan atau senyawa biologi
seperti protein (Tabel 1).
Lipid peroksida atau lipid hidroperoksida
merupakan suatu molekul yang stabil pada
suhu fisiologis atau suhu tubuh. Namun ion-
ion logam transisi yang terdapat di dalam 4
Tabel 1 Tahapan reaksi pembentukan radikal
bebas
Tahapan Reaksi
1. Inisiasi RH + OH
2.
Propagasi
R•
+ O2
ROO•
+ RH → ROOH + R•
3.
Terminasi
ROO•
+ ROO•
→ ROOR + O2
ROO•
+ R•
→ ROOR
R•
+ R•
tubuh seperti besi (Fe) dan tembaga (Cu)
dapat mengkatalisis penguraian lipid
hidroperoksida hingga membentuk produk
yang berbahaya seperti epoksida, keton,
asam, dan aldehida. Beberapa contoh
aldehida yang dihasilkan dari peruraian
peroksida adalah malondialdehida (MDA)
dan 4-hidroksinonenal. Kedua produk
aldehida tersebut dapat menyerang protein
terutama pada gugus thiol (-SH) dan gugus
amino (-NH2), sehingga enzim-enzim yang
membutuhkan senyawa-senyawa tersebut
untuk aktivitasnya akan terhambat bila
peroksidasi lipid sedang berlangsung
(Sulistyo 1998).
Konsentrasi lipid peroksida yang
berlebih pada darah maupun organ dapat
mengakibatkan berbagai penyakit
degeneratif. Menurut Yagi (1994) bila kadar
lipid peroksida di hati meningkat, maka lipid
peroksida ini dapat keluar dan akan merusak
organ atau jaringan lain. Pada manusia, lipid
peroksida dalam darah akan meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, tetapi
jumlahnya tidak boleh melebihi konsentrasi
normalnya, yaitu 4 nmol/mL.
Konsentrasi lipid peroksida dapat diukur
dengan metode asam tiobarbiturat (TBA)
yang akan mengukur adanya MDA
(malondialdehida) sebagai produk reaksi
peroksidasi lipid. Asam tiobarbiturat akan
bereaksi dengan gugus karbonil dari MDA,
yaitu satu molekul MDA akan berikatan
dengan dua molekul TBA. Reaksi ini akan
menghasilkan senyawa kompleks berwarna
merah yang serapannya dapat diukur secara
spektrofotometri (Gambar 2).
Gambar 2 Reaksi antara TBA dengan MDA
Sumber: Halliwel&Gutteridge (1985)
Untuk mengontrol radikal bebas, dapat
digunakan senyawa-senyawa yang berperan
sebagai penangkap radikal bebas atau dikenal
sebagai antioksidan. Antioksidan
didefinisikan sebagai senyawa yang dapat
memberikan elektron kepada radikal bebas.
Proses antioksidasi dapat terjadi pada enzim
yang berperan mengubah senyawa radikal
bebas menjadi senyawa yang lebih stabil.
Misalnya enzim superoksida dismutase
(SOD) yang mengubah radikal O2
-
menjadi
H2O2 dan O2.
O2
-
+ O2
-
+ H+
+ H+
SOD H2O2 + O2
Mekanisme kerja antioksidan pada
senyawa radikal bebas ada tiga macam, yaitu
(1) antioksidan primer yang berperan untuk
mengurangi pembentukan radikal bebas baru
dengan cara memutus reaksi berantai dan
mengubahnya menjadi produk yang lebih
stabil. Antioksidan primer ini terdiri atas
superoksida dismutase (SOD), katalase, dan
glutation peroksidase. Ketiga contoh
antioksidan tersebut dapat mengubah radikal
superoksida menjadi air. (2) antioksidan
sekunder yang berperan untuk mengikat
radikal bebas dan mencegah amplifikasi
senyawa radikal. Antioksidan sekunder
terdapat pada vitamin C, vitamin B, vitamin
E, betakaroten, dan senyawa-senyawa
fitokimia. (3) antioksidan tersier yang
berperan dalam mekanisme biomolekuler.
Antioksidan tersier terdiri atas enzim
perbaikan DNA dan metionin sulfoksida
reduktase (Kartikawati 1999)
Ada dua jenis antioksidan berdasarkan
asalnya, yakni antioksidan yang berasal dari
dalam tubuh (endogen) dan antioksidan yang
dikonsumsi dari luar tubuh (eksogen)
(Gitawati 1995). Antioksidan endogen
merupakan jenis antioksidan yang diproduksi
oleh tubuh atau secara alami terdapat dalam
tubuh. Beberapa contoh antioksidan endogen
adalah enzim-enzim seperti superoksida
dismutase, glutation peroksidase, glutation
reduktase, katalase, tioredoksin reduktase,
heme oksigenase, dan biliverdin reduktase.
Selain itu ada juga glutation dan koenzim-Q
yang merupakan antioksidan endogen bukan
dari golongan enzim. Antioksidan eksogen
merupakan jenis antioksidan yang diperoleh
dari diet atau asupan makanan. Antioksidan
ini diperoleh dengan cara mengkonsumsi
jenis-jenis makanan tertentu yang
mengandung komponen antioksidan seperti
vitamin C, vitamin E atau berbagai jenis 5
fitokimia. Fitokimia merupakan antioksidan
alami yang terdapat pada tanaman. Beberapa
contoh fitokimia, yaitu golongan karotenoid,
flavonoid, fitostrerol, dan polifenol.
Senyawa turunan fenol tersebar luas dalam
tumbuhan dan beberapa diantaranya lebih
efektif dibandingkan dengan senyawa
antioksidan sintetik (Muhilal 1991).
Fitokimia yang umum terdapat pada
tumbuhan tingkat tinggi antara lain asam
askorbat (vitamin C), karoten, flavonoid,
saponin, tanin, dan tokoferol. Zat antioksidan
alami lain adalah isoflavon. Isoflavon
termasuk golongan isoflavonoid yang
merupakan isomer flavon. Senyawa ini
banyak terkandung pada tanaman kacang-
kacangan, terutama kacang kedelai.
Streptozotosin
Streptozotosin (2-deoksi-2-(3-metil-3-
(nitrosoureido)-D-glukopiranosa) merupakan
senyawa hasil sintesis Streptomycetes
achromogenes dan digunakan untuk
menginduksi diabetes pada hewan coba,baik
diabetes melitus tergantung insulin (IDDM)
atau tidak tergantung insulin (NIDDM).
Struktur STZ dicirikan dengan adanya
metilnitrourea yang berikatan pada atom C
ke-2 glukosa (Gambar 3).
Menurut Ganda dalam tulisan Szkudelski
(2001) penggunaan dosis yang digunakan
pada tikus untuk menginduksi IDDM secara
intravena di antara 40 dan 60 mg/kg BB,
berhasil juga secara intraperitoneal dengan
dosis yang sama atau lebih tinggi, dan kurang
efektif di bawah 40 mg/kg BB, meskipun
juga tergantung spesiesnya. Dengan suntikan
STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intravena
pada tikus, kadar glukosa darah dapat
meningkat sampai sekitar 15mM (270
mg/dL) setelah 2 minggu).
Senyawa STZ masuk ke dalam sel-β
pankreas melalui glucose transporter 2
(GLUT 2). Ekspresi GLUT 2 yang tereduksi
akibat kerja STZ sebagai zat diabetogenik
Gambar 3 Struktur STZ
ditemukan oleh Schenedl dan Thulesen.
Metabolisme STZ dalam sel akan membentuk
komponen karbamoilasi seluler, karbamoilasi
intermolekular dan komponen seluler alkilasi.
Pada tahap awal, STZ akan diubah menjadi
senyawa isosianat dan melepaskan
metilnitrourea. Isosianat dapat membentuk
berbagai macam senyawa karbamoilasi
intramolekuler. Metilnitrourea yang
dilepaskan membentuk metildiazohidroksida
yang dapat menyisipkan gugus alkil pada
berbagai macam komponen seluler seperti
DNA, protein, atau bereaksi dengan H2O
membentuk metanol.
Sifat diabetogenik STZ diduga terjadi
karena kerusakan DNA dalam sel-sel B
pancreas. Elsner et al. (2000) melaporkan
bahwa penyebab kematian sel-sel B pankreas
hasil induksi STZ adalah alkilasi DNA. Di
samping itu kerusakan DNA pada sel B
diduga juga akibat aktivitas senyawa oksigen
reaktif dari nitrit oksida (NO). Senyawa
STZ adalah donor NO yang telah
ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel
pulau pankreas, dengan cara meningkatkan
aktivitas guanilil siklase. Dalam
mitokondria, NO juga akan meningkatkan
aktivitas xanthin oksidase dan menurunkan
oksigen yang berdampak pada penghambatan
siklus Krebs, sehingga terjadi pembatasan
produksi ATP dalam mitokondria yang
kemudian menyebabkan deplesi nukleotida
dalam sel β dan pada akhirnya
mengakibatkan kerusakan DNA (Szkudelski
2001). Dalam jumlah terbatas NO
memainkan peranan penting dalam tubuh
manusia, misalnya sebagai molekul sinyal,
membantu regulasi aliran darah, melawan
infeksi, dan mematikan sel tumor.
Sebaliknya, dalam jumlah berlebih NO
dapatmenjadi berbahaya misalnya memicu
inflamasi kronik, menggangu fungsi otak, dan
merestriksi aliran darah. Selain itu, apabila
NO bertemu dengan radikal superoksida, NO
akan menjadi radikal bebas yang lebih aktif
dan dapat merusak sistem antioksidan serta
protein dalam tubuh (Packer dan Colman
1999).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: sampel hati tikus
Sprague Dawley yang diperoleh dari Pusat
Studi Satwa Primata (PSSP). Bahan-bahan
untuk uji TBA antara lain: asam tiobarbiturat