Upload
gladys-hartono
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Penyakit Kulit Impetigo Krustosa Pada BayiReynaldo
10.2011.197Jl. Mandala Tengah no. 25 Tomang
[email protected] KEDOKTERAN UKRIDA 2013
I. Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari banyak ditemukan penyakit-penyakit yang dapat
menyerang tubuh manusia. Salah satu yang akan dibahas adalah penyakit kulit.
Bermacam-macam jenis penyakit kulit, mulai yang ringan seperti panu sampai yang
berat seperti kanker kulit. Sebagai pertahahanan tubuh pertama dari serangan virus
dan bakteri, kulit juga memiliki fungsi untuk menjaga suhu tubuh tetap stabil dan
merupakan alat untuk mengeluarkan kotoran-kotoran. Gangguan yang terjadi pada
kulit bisa sangat merepotkan dan menghambat kegiatan kita. Gangguan ini pun bisa
terjadi karena berbagai sebab seperti cuaca, kebiasaan hidup yang kurang sehat,
lingkungan tempat kita tinggal, dan alergi.
Tujuan dari pembuatan makalah ini agar dapat lebih mengerti dan mendalami
penyakit kulit dari impetigo krustosa, antara lain penyebabnya, gejala klinis,
patofisiologi dan penatalaksaannya.
Manfaat yang diharapkan adalah agar lebih mengerti mengenai penyakit kulit
impetigo krustosa yang sesuai dengan skenario yang diberikan mengenai
penyebabnya, patofisiologi, dan terutama penatalaksaannya.
II. Isi
Istilah impetigo berasal dari bahasa Latin yang berarti serangan, dan telah digunakan
untuk menjelaskan gambaran seperti letusan berkeropeng yang biasa nampak pada
daerah permukaan kulit. Ada dua tipe impetigo, yaitu impetigo bullosa dan impetigo
non-bullosa. Impetigo non-bullosa disebut juga impetigo krustosa atau impetigo
kontagiosa.
Impetigo krustosa (impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, impetigo Tillbury Fox)
merupakan infeksi kulit yang mudah menular dan terutama mengenai anak-anak yang
1
belum sekolah ( antara umur 2-5 tahun). Frekuensi antara laki-laki dan perempuan
sama besar, dapat mengenai semua bangsa dan lebih sering pada daerah tropis. Infeksi
bisa menular melalui kontak langsung dan tidak langsung dengan faktor predisposisi,
yaitu kebersihan yang kurang, higiene yang jelek (anemia dan malnutrisi), tempat
tinggal yang padat penduduk, panas dan terdapatnya penyakit kulit (terutama yang
disebabkan oleh parasit).1
Tempat predileksinya terdapat pada muka (terutama lubang hidung dan mulut),
daerah tubuh yang sering terbuka (tungkai dan lengan, kecuali telapak tangan dan
kaki), daerah belakang telinga, leher dan badan (dada bagian atas).1
Anamnesa
Anamnesis perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan informasi tentang
riwayat kesehatan seorang pasien. Informasi ini digunakan dalam proses membuat
keputusan klinik untuk menentukan diagnosis dan mengembangkan rencana asuhan
atau perawatan yang sesuai.
Pada kasus skenario yang diberikan anamnesis yang perlu dilakukan adalah sebagai
berikut:
sejak kapan pertama kali lesi disekitar hidung dan mulut muncul?
Apakah lesi tersebut terasa gatal?
Ada vesikel atau tidak?
Sudah minum obat apa saja? Dan bagaimana reaksinya?
Bagaimana kondisi lingkungan tempat tinggal?
Etiologi
Impetigo krustosa umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan jarang
disebabkan oleh grup A streptococcus tapi untuk negara berkembang, impetigo
krustosa umumnya disebabkan oleh Streptococcus ß hemolyticus grup A
(Streptococcus pyogenes).2
Sebuah penelitian di Jepang menyatakan peningkatan insiden impetigo yang
disebabkan oleh kuman Streptococcus grup A sebesar 71% dari kasus, dan 72% dari
kasus tersebut ditemukan pula Staphylococcus aureus pada saat isolasi kuman.
S.aureus memproduksi racun bakteriotoksin pada streptococcus. Bakteriotoksin inilah
yang menjadi alasan mengapa hanya S.aureus yang terisolasi pada lesi tersebut
walaupun disebabkan oleh bakteri Streptococcus.
2
Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua kuman ditemukan
bersamaan, maka infeksi streptococcus merupakan infeksi penyerta. Kuman S.
pyogenes menular ke individu yang sehat melalui kulit, lalu kemudian menyebar ke
mukosa saluran napas. Berbeda dengan S. aureus, yang berawal dengan kolonisasi
kuman pada mukosa nasal dan baru dapat ditemukan pada isolasi kuman di kulit pada
sekitar 11 hari kemudian.2
Gambar 1 Staphylococcus aureus
Gambar 2 Streptococcus pyogenes
Epidemiologi
Impetigo krustosa adalah infeksi kulit yang mudah menular dan terutama
3
mengenai anak-anak yang belum sekolah (antara umur 2-5 tahun). Penyakit ini
mengenai kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, sama banyak. Selain itu
dapat mengenai semua bangsa. Lebih sering pada daerah tropis. Biasanya
Streptokokus tumbuh dalam suasana yang hangat dan lembab, maka paling sering
ditemukan saat musim panas. Impetigo merupakan penyakit yang sangat menular.
Penyakit ini bisa tertular secara kontak langsung dengan kulit yang terinfeksi atau
kontak dengan benda-benda yang sudah terinfeksi. Selain itu juga, dapat ditularkan
melalui nafas penderita. Masa inkubasi 1-3 hari. Streptokokus kering yang terdapat di
udara tidak menginfeksi kulit yang normal. Tetapi dengan gesekan dapat
memperberat lesi.3
Pada orang dewasa, impetigo ini sering terdapat pada mereka yang tinggal
bersama-sama dalam satu kelompok, seperti asrama dan penjara. Faktor predisposisi
terjadinya ialah kebersihan yang kurang, higiene yang jelek (anemia dan malnutrisi),
tempat tinggal yang padat penduduk, panas dan terdapatnya penyakit kulit (terutama
yang disebabkan oleh parasit). Bakteri Stafilokokus dan Streptokokus dapat melalui
pertahanan kulit yang utuh jika kulit rusak, seperti robek (terpotong), gigitan, atau
penyakit cacar air (chickenpox). Selain itu, dapat juga terjadi melalui kontak tidak
langsung melalui handuk, selimut, atau pakaian pasien impetigo; cuaca panas maupun
kondisi lingkungan yang lembab; kegiatan/olahraga dengan kontak langsung antar
kulit seperti rugby, gulat, dll. pasien dengan dermatitis, terutama dermatitis atopik.3
Gejala Klinis
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak dan timbul saat bakteri
tersebut digaruk dan gigitan serangga. Impetigo sering muncul pada musim panas.
Kelainan kulit didahului warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul
(penonjolan padat dengan diameter < 0.5 cm) yang berukuran 2-5 mm. Kemudian
segera terbentuk vesikel atau pustul (papul yang berwarna keruh/mengandung
nanah/pus) berdinding tipis yang mudah pecah dan menjadi papul dengan
krusta/keropeng/koreng berwarna kuning madu, lembut tetapi tebal dan lengket yang
berukuran <2 cm (honey colored) dengan kulit di sekitar dan di bawah krusta
berwarna kemerahan dan basah, biasanya disertai lesi satelit.4
Jika krusta dilepas tampak erosi di bawahnya. Sering krusta menyebar ke
perifer dan sembuh di bagian tengah. Walaupun tidak jarang terlihat, lesi paling dini
ditandai vesikel dengan halo eritematus. Lesi tersebut akan bergabung membentuk
4
daerah krustasi yang lebar. Eksudat dengan mudah menyebar ke daerah sekitarnya
dengan sendirinya secara autoinokulasi.
Biasanya mengenai anak yang belum sekolah. Gatal dan rasa tidak nyaman
dapat terjadi, tetapi tidak disertai gejala konstitusi (demam, malaise, mual), kecuali
bila kelainan kulitnya berat.
Lesi dapat muncul pada kulit yang normal atau kulit yang kena trauma
sebelumnya atau mengikuti kelainan kulit sebelumnya (skabies, varisela, dermatitis
atopi) dan dapat menyebar dengan cepat. Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat
menyebar terus karena tindakan diri sendiri (digaruk lalu tangan memegang tempat
lain sehingga menegenai tempat lain). Lalu dapat sembuh dengan sendirinya dalam
beberapa minggu tanpa jaringan parut. Kadang kelenjar getah bening dapat membesar
dan dapat nyeri pada wajah atau leher.
Tempat predileksi tersering pada impetigo krustosa adalah di muka, yakni di
sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut.
Tempat lain yang mungkin terkena, yaitu daerah tubuh yang sering terbuka (tungkai
dan lengan, kecuali telapak tangan dan kaki), daerah belakang telinga, leher dan
badan (dada bagian atas).4
Pemeriksaan Penunjang
1. Gram-stain
5
Bila diperlukan dapat memeriksa isi vesikel dengan pengecatan gram untuk
menyingkirkan diagnosa banding dengan gangguan infeksi gram negatif. Bisa
dilanjutkan dengan tes katalase dan koagulase untuk membedakan antara
Staphylokokus dan Streptokokus. Pada pewarnaan gram akan memperlihatkan
neutrofil dengan kuman gram-positif di dalam rantai atau kelompok.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada darah tepi terdapat leukositosis pada hampir 50% kasus impetigo,
terutama pada infeksi yang disebabkan streptokok. Level Anti DNAase
(Antideoksiribonuklease) B meningkat cukup signifikan pada pasien impetigo
streptokok. Urinalisis perlu dilakukan untuk mengevaluasi glomerulonefritis
poststreptokokus jika pada pasien timbul edema dan hipertensi. Hematuria,
proteinuria, cylindruria merupakan indikator terlibatnya ginjal.
Working diagnosis
Dari skenario yang diberikan dengan ciri-ciri bayi laki-laki 1 tahun dengan keluhan
kerak berwarna kuning kehijauan di sekitar mulut dan hidung, dapat diambil diagnosis
sementara bahwa bayi tersebut terkena impetigo krustosa. Dimana terdapat kesaman
dengan ciri-ciri dari impetigo krustosa, seperti tempat perdileksi dan warna vesikel
yang pecah.
Different Diagnosis
Untuk diagnosis banding, yang diambil adalah ektima. Ektima dan impetigo krustosa
memiliki persamaan yaitu krusta berwarna kuning. Tetapi perbedaannya, impetigo
krustosa terdapat pada anak, berlokasi di wajah dan dasarnya ialah erosi. Sebaliknya
ektima terdapat baik pada anak maupun dewasa, tempat predileksi di tungkai bawah
dan dasarnya ialah ulkus.5
Komplikasi
Infeksi dari penyakit ini dapt tersebar keseluruh tubuh utamanya pada anak-
anak. Jika tidak di obati secara teratur, maka penyakit ini dapat berlanjut menjadi
glomerulonefritis (2-5%) akut yang biasanya terjadi 10 hari setelah lesi impetigo
pertama muncul, namun bias juga terjadi setelah 1-5 minggu kemudian.
6
Penatalaksaan
Non medika
a. Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan
pasien, terutama apabila terkena luka
b. Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun
dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang sensitif)
c. Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek
dan bersih
d. Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita.
e. Jauhkan diri dari orang dengan impetigo.
f. Orang yang kontak dengan orang yang terkena impetigo segera mencuci tangan
dengan sabun dan air yang mengalir
g. Cuci pakaian, handuk, dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah
dari yang lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar
matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan
desinfektans
h. Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat
yang terinfeksi dan cuci tangan setelah itu.
i. Pada orang yang terinfeksi agar lukanya diperban dengan perban yang steril (kasa)
j. Penderita sebaiknya tinggal di dalam rumah/ruangan untuk beberapa hari
untuk menghindari masuknya bakteri ke dalam luka.
Medika
TERAPI LOKAL
Obat-obat topikal ini mempunyai potensi yang lebih rendah dibandingkan dengan
antibiotik sistemik atau obat oral, tapi obat topikal ini hanya digunakan pada kasus
dengan lesi yang kecil atau tidak terlalu banyak jumlahnya.
Muporocin
mupirocin (dalam bentuk salap) merupakan salah satu antibiotik yang sudah
mulai digunakan sejak tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja dengan
menghambat sintesis RNA dan protein dari bakteri. Obat ini digunakan untuk
beberapa lesi yang kecil tanpa limfadenopati. Dan obat ini sudah dibuktikan
dimana lebih unggul dibandingkan polymiksin B dan neomisin topikal dan
keefektifannya sama dengan obat cephalexin (oral). Kombinasi mupirocin dan
7
obat cephalexin lebing unggul daripada bacitracin. Sayangnya, S.aureus dan
MRSA resisten terhadap mupirocin dengan penafsiran antara 5-10%.
Retamapulin
Retamapulin ini sudah terbukti pada US Food and Drug Administration (FDA)
tahun 2007 untuk digunakan sebagai pengobatan impetigo secara topikal pada
orang dewasa dan anak-anak (>9 bulan) yang disebabkan oleh S.aureus dan
methicillin-susceptible S aureus. Retamapulin mempunyai spektrum aktifitas
yang luas, jauh melebihi mupirocin. Obat ini digunakan untuk mencegah
kembalinya aktifitas bakteri dimana sudah resisten terhadap banyak obat
antibiotik, seperti metisilin, eritromisin, fusidic acid, mupirocin, azithromycin,
and levofloxacin. Pada penelitian yang dilakukan terhadap 1900 pasien,
retamapulin terbukti sama efektifnya dengan fusidic acid dan cephalexin oral,
dengan sedikit efek samping. Penelitian yang lain, retamapulin 1% (salap)
ternyata lebih efektif dibandingkan fusidic acid 2% (salap) untuk pengobatan
impetigo.
Retapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat
dengan peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein
sintesis dari bakteri. Obat ini merupakan kelas antibiotik baru yang pertama
kali disebut pleuromutilins. Indikasinya untuk impetigo yang disebabkan oleh
S.aureus atau S.pyogenes.6
TERAPI SISTEMIK
Pemberian antibiotik sistemik : antibiotik yang direkomendasikan antibiotik yang
resisten terhadap beta-laktamase seperti golongan cefalosporin, amoxicillin-
clavulanat, cloxacillin, dan dicloxacillin. Bila sudah terjadi Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) dapat menggunakan antibiotik alternatif seperti
vancomisin, trimetropim/sulfametoxason, dan klindamisin. Eritromisin dan
klindamisin juga dapat digunakan bila alergi terhadap penisilin.6
Prognosis
Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan pengobatan yang
teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti glomerulonefritis dan lain-
lain. Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari pengobatan.
8
Kesimpulan
Impetigo terbagi atas 2 bentuk yaitu impetigo krustosa dan impetigo bulosa. Impetigo
krustosa merupakan bentuk pioderma yang paling sederhana, menyerang epidermis
dengan gambaran yang dominan ialah krusta dan mengeluarkan cairan berwarna
kuning madu. Penularannya bisa melalui kontak secara langsung ataupun melalui alat-
alat yang terkontaminasi. Pencegahan yang dapat dilakukan juga bisa menjaga
kebersihan lingkungan tempat tinggal dan kebersihan diri.
Daftar Pustaka:
1. Harahap, M. Infeksi bakteri kulit stafilokok dan streptokok-ilmu penyakit
kulit. Jakarta; Hipokrates: 2000.h.46-9.
2. Atlas Penyakit Kulit & Kelamin, edisi kedua. Jakarta; Airlangga:2003.h.27-9.
3. Siregar Dr. Atlas berwarna saripati Penyakit Kulit, Edisi kedua. Jakarta;
Penerbit EGC: 2002.h.47-50
4. Jhon SC english, pyoderma in general dermatology, chapter 9, bacterial
infection.
5. Djuanda, A Hamzah M. 2007. Pioderma, in Djuanda A, hamzah M, in Ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi ke 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 57-59
6. W. Sterry, R. Paus, Pyoderma in Thieme clinical companious, hal 75-76.
9