Upload
vuongmien
View
227
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PENYELESAIAN PEMBAGIAN GAJI PEGAWAI NEGERI
SIPIL TERHADAP BEKAS ISTRI YANG DISERAHKAN PADA
ATASAN ATAU INSTANSI TERKAIT PASCA PERCERAIAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh:
ISNATUN NIM: 042111052
JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2010
ii
iii
iv
M O T T O
���� ���� � ������ �� ������������� ���������� � ����!"�#�$ �%�� �&�!������' (��)� �*�+����� �%�� �&�!���, ��� �-�+����� ./+��'� �$01�� �� ����2��)/�45�' :788(
Artinya: Kewajiban ayah untuk memberikan belanja dan pakaian untuk
istrinya. Seseorang tidak dibebani kecuali semampunya, seorang
ibu tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya, dan seorang
ayah tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya. (Q.S. al-
Baqarah: 233).∗
∗Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta: Depag, 1978, hlm. 57
.
v
Persembahan
Penulis persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang telah memberi arti
dalam perjalanan hidup penulis, teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan
berharap keindahan-Nya khususnya buat:
Orang tua penulis tersayang(Bapak Imam Subkhi-Ibu Siti Suwarni dan
Bapak Chabibun-Ibu Siti Musyarofah) yang selalu memberi semangat dan
motivasi dalam menjalani hidup ini.
Suami penulis tersayang Mukhammad Burhanudin yang selalu menemani
penulis dalam suka dan duka, yang telah memotivasi dalam studi serta
dalam penulisan skripsi ini.
Putra penulis tercinta Muhammad Amilidin syifaul anam semoga menjadi
anak yang soleh.
Kakak penulis tersayang M.Sayidul Amin (Alm) beserta istri Siti Zumaroh
dan anak Berliana Putri Febrianti yang selalu memberikan motivasi dan
menghibur penulis dalam menyelesaikan skripsi.
Adik-adik penulis tersayang (Ahmad Muadim,Siti Fahma Indriyani,Lina
Khoirunnisa’,Ana mufidatul khusna) yang selalu memberikan semangat
kepada penulis.
Sahabat-sahabat penulis jurusan AS’04 FAKSYA yang selalu bersama-
sama dalam meraih cita dan asa
Penulis
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-
pemikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam daftar kepustakaan yang
dijadikan bahan rujukan.
Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka
penulis bersedia menerima sanksi berupa
pencabutan gelar menurut peraturan yang
berlaku.
Semarang, 10 Mei 2010
ISNATUN NIM: 042111052
vii
ABSTRAK Bagi pegawai negeri sipil (PNS), mengenai pembagian nafkah bagi
bekas istri pegawai negeri sipil (PNS)juga sudah diatur didalamnya yaitu pada
pasal 8 PP. No. 10 tahun 1983 Jo. No. 45 tahun 1990. Sedangkan di dalam PP.
No. 10 tahun 1983 Jo. PP No.45 tahun 1990, disitu tidak ditemukan suatu
penjelasan bahwa mengenai pembagian gaji yang mengatur adalah kepala atau
instansi PNS tersebut bekerja. Yang merijadi rumusan masalah adalah
bagaimana putusan Pengadilan Agama Semarang dan pertimbangan
hukumnya tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan
kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian? Bagaimana efektifitas
putusan Pengadilan Agama Semarang tentang pemberian gaji PNS terhadap
bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca
perceraian?
Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian metode
penelitian lapangan (fieldresearch) dan penelitian dokumentasi (document
research). Data Primer, yaitu putusan PA Semarang tentang penyelesaian
pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap bekas istri yang
diserahkan kepada instansi atau atasan. Sebagai data sekunder, yaitu data-data
yang diperoleh dari studi kepustakaan. Metode pengumpulan data dengan
Interview (wawancara). observasi, dan dokumentasi. Metode analisisnya
adalah analisis deskriptifkualitatif.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa majlis hakim Pengadilan
Agama Semarang yang memutus perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm., telah
mewajibkan kepada seorang suami memberi nafkah lampau 35 bulan =
Rp',500.000 = Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah). Isi
putusan ini sudah sesuai dengan peran suami sebagai kepala keluarga
berkewajiban memberi nafkah, karena nafkah mei-upakan bagian hak istri
yang harus dipenuhi seorang suami. Majlis hakim Pengadilan Agama
Semarang yang memutus perkara No. 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., telah
menetapkan kewajiban pada suami untuk memberi nafkah pada anak perbulan
minimal sebesar Rp.500.000,-(lima ratus ribu rupiah) dengan kenaikan 10%
setiap tahunnya sampai anak tersebut dewasa. Putusan ini sesuai dengan
kewajiban seorang ayah dalam memelihara anak. Majlis hakim Pengadilan
Agama Semarang yang memutus perkara No. 1203/Pdl.G/2007/PA.Sm., telah
menetapkan kepada suami untuk memberi mut 'ah sebesar Rp.20.000.000,-
(dua puluh juta rupiah). Dalam hukum Islam, apabila apabila suami
menceraikan istrinya, maka itu berarti inisiatif perceraian datangnya dari
suami yang kemudian disebut talaq. Karena perceraian itu atas kehendak
suami maka suami memberi mut'ah yaitu pemberian barang kenangan-
kenangan pada istri yang dicerai. Putusan Hakim Pengadilan Agama
Semarang yang memutus perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm, putusan
perkara No. 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., dan No.l203/Pdt.G/2007/PA.Sm., inti
pertimbangannya menyatakan bahwa majlis hakim berpendapat bahwa
masalah pembagian gaji tersebut adalah merupakan kewenangan instansi
dimana pemohon bekerja dan majlis menyerahkan sepenuhya masalah ini
kepada instansi tersebut untuk menyelesaikannya.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul: “PENYELESAIAN PEMBAGIAN GAJI PEGAWAI
NEGERI SIPIL TERHADAP BEKAS ISTRI YANG DISERAHKAN PADA
ATASAN ATAU INSTANSI TERKAIT PASCA PERCERAIAN” ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu
(S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Imam Yahya M.A selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Bapak Drs. H. Eman Sulaeman, M.H selaku Dosen Pembimbing I dan
Bapak Drs. Saekhu, M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan
layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,
beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan
5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para
pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................... 4
C. Tujuan Penelitian .................................................... 5
D. Telaah Pustaka .................................................... 5
E. Metode Penelitian .................................................... 7
F. Sistematika Penulisan .................................................... 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG NAFKAH AKIBAT
PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL
A. Tentang Nafkah .................................................... 13
1. Nafkah bagi Mantan Istri PNS ........................................... 13
2. Akibat Perceraian bagi PNS............................................... 23
B. Eksekusi .................................................... 27
1. Pengertian Eksekusi .................................................... 27
2. Pelaksanaan Eksekusi .................................................... 31
BAB III : GAMBARAN UMUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
SEMARANG TENTANG PENYELESAIAN PEMBAGIAN GAJI
PNS TERHADAP BEKAS ISTRI YANG DISERAHKAN PADA
INSTANSI ATAU ATASAN TERKAIT PASCA PERCERAIAN
A. Putusan Pengadilan Agama Semarang No.405/pdt.G/2005/
x
PA.Sm. ..................................... 35
1. Identitas Para Pihak ..................................... 35
2. Pertimbangan Hakim ..................................... 35
3. Putusan Hakim ..................................... 43
B. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor :
1135/Pdt.G/2007/PA.Sm ..................................... 44
1. Identitas Para Pihak ..................................... 44
2. Pertimbangan Hakim ..................................... 45
3. Putusan Hakim ..................................... 48
C. Putusan Pengadilan Agama Semarang
Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm ..................................... 48
1. Identitas Para Pihak ..................................... 48
2. Pertimbangan Hakim ..................................... 49
3. Keputusan Hakim ..................................... 51
BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG
TENTANG PEMBAGIAN GAJI TERHADAP BEKAS ISTRI
YANG DISERAHKAN PADA ATASAN ATAU INSTANSI
TERKAIT PASCA PERCERAIAN
A. Analisis terhadap Putusan PA tentang Pemberian Gaji PNS
terhadap Bekas Istri yang Diserahkan kepada Instansi
Atau Atasan terkait pasca perceraian ..................................... 53
1. Putusan Pengadilan Agama Semarang
No.405/pdt.G/2005/PA.Sm ..................................... 59
2. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor:
1135/Pdt.G/2007/PA.Sm ..................................... 65
3. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor
1203/Pdt.G/2007/PA.Sm ..................................... 68
B. Analisis Efektifitas Putusan Pengadilan Agama Semarang
tentang Pembagian Gaji PNS terhadap Bekas Istri yang
Diserahkan Kepada Instansi atau Atasan Terkait
Pasca Perceraian ..................................... 73
xi
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................... 80
B. Saran-saran .................................................... 81
C. Penutup .................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis
kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki, ada daya
saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama.1 Untuk meligitimasi
hidup bersama itu dibuat peraturan yang mengatur perihal perkawinan.
Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang
memberikan banyak hasil yang penting.2 Menurut Mahmud Yunus,
perkawinan ialah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajat jenisnya
menurut yang diatur oleh syariat.3 Sejalan dengan keterangan di atas,
Rasulullah bersabda:
����� �� ��� ���� �� ��� ������ ����� �� ��� !� " � �� : $
%� &'� ,����� �� :)� � $ *��� ,����� �� :$ )+���,-� ,.�/-
��� ���� �� ��� ������ 0�1��2- ": *��4� �56 �56 �+�� )�+� ��� ��
�,-� )+�� ,)� � *��� , "��- *�7�� �� 89: �;- <�=���� %� &'�
*��� .")���� @�7�(.4
1Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung,
1981, hlm. 7 2Ibrahim Amini, Principles of Marriage Family Ethics, terj. Alwiyah Abdurrahman,
"Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan, 1999, hlm. 17. 3Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, Cet.
12, 1990, hlm. 1. 4Imam Syaukani, Nail al–Autar, Juz IV, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, tth, hlm. 171.
2
Artinya : Dan Dari Anas, Sesungguhnya beberapa orang dari sahabat Nabi
SAW sebagian dari mereka ada yang mengatakan: “Aku tidak akan
menikah”. Sebagian dari mereka lagi mengatakan: “Aku akan selalu
shalat dan tidak tidur”. Dan sebagian dari mereka juga ada yang
mengatakan: “Aku akan selalu berpuasa dan tidak akan berbuka”.
Ketika hal itu di dengar oleh Nabi SAW beliau bersabda: apa
maunya orang-orang itu, mereka bilang begini dan begitu? Padahal
di samping berpuasa aku juga berbuka. Di samping sembahyang aku
juga tidur. Dan aku juga menikah dengan wanita. Barang siapa yang
tidak suka akan sunnahku, maka dia bukan termasuk dari
golonganku. (Muttafaqun A'laih)
Hadis di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak
menyukai seseorang yang berprinsip anti menikah. Perkawinan amat penting
dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan
perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara
terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.
Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan
rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil
perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan
kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.5
Dalam masalah perkawinan, pemerintah telah mengeluarkan UU No.1
tahun 1974 untuk mengatur pelaksanaan perkawinan bagi warga Negara
Indonesia. Sedangkan untuk operasionalnya dikeluarkan PP No.9 tahun 1975
tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974. Dengan adanya UU perkawinan
diharapkan akan terjaga hak-hak dan kewajiban suami istri dalam rumah
tangga bersama anak-anak mereka secara yuridis, pemerintah menganggap
bahwa warga Negara Indonesia yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS)
5Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 1.
3
mempunyai kekhususan dari warga Negara Indonesia lainnya, sehingga
diperlukan aturan tersendiri. Maka pada tanggal 21 April 1983 dikeluarkan PP
No. 10 tahun 1983 Jo. PP No.45 tahun 1990 yang mengatur secara khusus
tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil (PNS).
Dengan kata lain, peraturan ini merupakan pangecualian dari UU No. Tahun
1974 yang bersifat umum.
Pergaulan antara suami istri yang dipersatukan di dalam ikatan
perkawinan tidak selamanya berjalan mulus dan wajar. Hal ini bisa saja terjadi
dikarenakan oleh kondisi sosial, ekonomi, rendahnya kualitas pendidikan dan
lain-lain. Dari kenyataan ini kadang kala pihak suami atau istri tidak mampu
mengatasi dan menyelesaikan kesulitan-kesulitan tersebut sehingga
perkawinan yang didambakan terciptanya damai, sejahtera dan kekal tidak
tercapai dan diakhiri dengan perceraian.
Apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian, tidak begitu saja
selesai urusannya, Akan tetapi ada akibat-akibat hukum yang perlu
diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Begitu pula dengan tanggung
jawab nafkah bagi suami tidak hanya sewaktu si istri masih menjadi istri
sahnya saja dan terhadap anak-anak yang dilahirkan si istri, tetapi suami pun
tetap wajib menafkahinya bahkan pada saat perceraian.
Untuk menghindari kekacauan dan menciptakan kerukunan,
kedamaian serta kesejahteraan abadi, maka dalam keluarga harus saling bantu
membantu untuk menciptakan kebahagiaan bersama dan menuju kepada
4
kebaikan dan kesempurnaan diperlukan suatu tertib hukum atau undang-
undang.6
Sedangkan bagi pegawai negeri sipil (PNS) disamping berlaku
undang-undang yang telah penulis sebutkan sebelumnya, mengenai
pembagian nafkah bagi bekas istri pegawai negeri sipil (PNS) juga sudah
diatur didalamnya yaitu pada pasal 8 PP. No. 10 tahun 1983 Jo. No. 45 tahun
1990.
Sedangkan di dalam PP. No. 10 tahun 1983 Jo. PP No.45 tahun 1990,
disitu tidak ditemukan suatu penjelasan bahwa mengenai pembagian gaji yang
mengatur adalah kepala atau instansi PNS tersebut bekerja.
Berawal dari kasus-kasus diataslah penulis ingin menelusuri lebih jauh
dalam bentuk skripsi dengan judul “Penyelesaian Pembagian Gaji Pegawai
Negeri Sipil Terhadap Bekas Istri yang Diserahkan pada Atasan atau
Instansi Terkait Pasca Perceraian”.
B. Rumusan masalah
Dari uraian yang telah penulis paparkan diatas maka ada beberapa
permasalahan yang akan menjadi bahan penelitian yaitu:
1. Bagaimana putusan Pengadilan Agama Semarang dan pertimbangan
hukumnya tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang
diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian?
6Abduk Kadir Audah, Islam dan Perundang-Undangan, Jakarta: PT.Bulan Bintang tt,
hlm.25
5
2. Bagaimana efektifitas putusan Pengadilan Agama Semarang tentang
pembagian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi
atau atasan terkait pasca perceraian?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dari penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui putusan Pengadilan Agama Semarang dan
pertimbangan hukumnya tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri
yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian.
2. Untuk mengetahui efektifitas putusan Pengadilan Agama Semarang
tentang pembagian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada
instansi atau atasan terkait pasca perceraian
D. Telaah Pustaka
Telaah pustaka disini adalah meneliti skripsi orang lain yang telah
selesai dan ada kaitannya dengan pembahasan penulis, yaitu skripsi yang
membahas tentang nafkah bekas istri terutama yang berkaitan dengan pegawai
negeri sipil (PNS) dan skripsi yang membahas tentang perceraian.
Berikut ini adalah beberapa karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang
ada kaitannya dengan judul skripsi penulis, yaitu:
1. Tinjauan Hukum Islam terhadap pasal 8 (3) PP. No. 10 tahun 1983
tentang Kewajiban Memberikan Separoh Gaji kepada Bekas Istri bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) oleh Ghomroni, NIM. 2194003, yang
berkesimpulan bahwa kewajiban PNS pria untuk menyerahkan setengah
gajinya kepada bekas istrinya, dimana dalam perkawinan tidak dikaruniai
6
anak sebagaimana dinyatakan dalam pasal 8 ayat (3) PP No. 10 tahun
1983, sedangkan dipandang dari hukum Islam pemberian separoh gaji
kepada bekas istri adalah sah, apabila suami ada kerelaan dan tidak ada
unsur paksaan walaupun telah habis masa iddah ataupun istri telah
menikah lagi.
2. Analisis Hukum Islam terhadap pasal 3 PP. No. 10 tahun 1983 tentang
Keharusan Izin Cerai Kepada Pejabat Bagi Perceraian Pegawai Negeri
Sipil, oleh Nasiruddin, NIM. 2193049. Dalam penelitian ini Nasiruddin
lebih menitik beratkan kepada kajian maqasidul tasyri’ dan maslahat dari
peraturan pemerintah (PP) tersebut dalam pandangan hukum Islam untuk
mendapatkan solusi yang terkait demi kemaslahatan dan kepentingan
masyarakat terutama para Pegawai Negeri Sipil (PNS).
3. Penyelesaian Perkara di Pengadilan Agama (Analisis Putusan Hakim
Nomor 71/pdt.G/2007/PA.Pwd. tentang Pembagian Gaji PNS Pasca
Perceraian di PA Purwodadi), oleh Muhammad Taufiq , NIM. 2103044.
Dalam penelitian ini Muhamad Taufiq menitik beratkan pada tuntutan
pembagian gaji PNS kepada bekas istri yaitu sepertiga untuk istri dan
sepertiga untuk anak akan tetapi hakim tidak mengabulkan tuntutan
tersebut hakim menyerahkan sepenuhnya pada instansi.
Dalam skripsi ini pembahasannya lebih berbeda, karena spesifik
pembahasannya tentang apa yang menjadi pertimbangan majlis hakim tentang
sistem pembagian gaji PNS terhadap bekas isteri yang diserahkan kepada
atasan atau instansi terkait dan apakah putusan pengadilan agama dalam
7
sistem pembagian gaji PNS terhadap bekas isteri yang diserahkan kepada
atasan atau instansi terkait itu sesuai dengan hukum yang berlaku. Disamping
itu penulis akan membahas seberapa besar bagian bekas istri kalau si istri
adalah sama-sama pegawai negeri sipil dan si istri adalah sebagai ibu rumah
tangga atau tidak bekerja.
E. Metode Penelitian
Metode penulisan skripsi merupakan suatu pendekatan yang dipakai
sebagai metodologi dan mencari penjelasan terhadap permasalahan.
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian
lapangan (Fieldresearch)7.Yaitu guna memperoleh informasi terhadap
masalah-masalah yang dibahas, karena penulis langsung terjun kelapangan
yaitu meneliti terhadap pelaksanaan putusan PA Kendal tentang
pelaksanaan pembagian gaji pegawai negeri sipil terhadap bekas istri yang
diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian, maka dari
itu penulis langsung terjun ke instansi tersebut guna mengetahui jawaban
dari permasalahan.
Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan jenis penelitian
dokumentasi (document research), karena permasalahannya berupa
menganalisis terhadap putusan di Pengadilan Agama Kendal yaitu tentang
penyelesaian pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil ( PNS) terhadap bekas
istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian.
7Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet.IV, Bandung: Remaja Rosda
Karya, hlm. 153
8
Adapun sebagai sampelnya yaitu tiga putusan Pengadilan Agama
Semarang tentang penyelesaian pembagian gaji PNS terhadap bekas istri
yang diserahkan pada instansi atau atasan terkait pasca perceraian. Putusan
yang dimaksud yaitu perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm, putusan perkara
No.1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., dan No.1203/Pdt.G/2007/PA.Sm. Alasan
mengambil tiga putusan tersebut adalah pertama, tiga putusan tersebut
telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Kedua, putusan tersebut
memiliki pertimbangan hukum relatif sama. Ketiga, karena keterbatasan
penulis baik dalam aspek waktu maupun dana.
2. Sumber Data
Sumber Data yang dimaksud dalam penelitian adalah subjek dari
mana data diperoleh8. Sumber data penelitian ini terdiri dari dua, yaitu:
sumber data primer dan sumber data sekunder.
a Sumber Data Primer
Yaitu Sumber data utama yang digunakan penulis sebagai
rujukan dalam penelitian skripsi ini, merupakan sejumlah keterangan
atau fakta yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama yaitu
putusan PA Kendal tentang penyelesaian pembagian gaji Pegawai
Negeri Sipil (PNS) terhadap bekas istri yang diserahkan kepada
instansi atau atasan terkait pasca perceraian.
Sumber data primer ini meliputi putusan PA Kendal,
keterangan dari atasan dan para pihak yang bersangkutan.
8Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka
Cipta, 1998, hlm.115
9
b Sumber Data Sekunder
Yaitu data-data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Dalam
hal ini penulis gunakan untuk melengkapi sumber data primer.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode atau teknik pengumpulan data adalah bagian instrument
pengumpulan data yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu
penelitian, dimana kesalahan dalam penggunaan metode pengumpulan
data berakibat fatal terhadap hasil penelitian. Mengumpulkan data
merupakan langkah yang tidak dapat dihindari dalam kegiatan penelitian
dengan pendekatan apapun, karena desain penelitiannya dapat
dimodifikasi setiap saat, pengumpulan data menjadi satu fase yang
strategis bagi dihasilkannya penelitian yang bermutu.
Dalam penelitian akan menggunakan beberapa instrument
pengumpulan data, antara lain:
a. Interview (wawancara)
Wawancara adalah salah satu cara memperoleh informasi
dengan jalan bertanya langsung kepada pihak yang diwawancarai atau
dipihak kedua. Dalam wawancara ini penulis lakukan di Pengadilan
Agama Kendal dengan para responden hakim atau panitera. Disamping
itu wawancara penulis lakukan di instansi terkait dengan responden
yang terdiri dari pihak-pihak yang berperkara, staf kantor, dan atasan
instansi
10
b. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis
terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.9 Metode observasi
digunakan untuk mendapatkan data hasil pengamatan. Pengamatan
bisa dilakukan terhadap suatu benda, kondisi, situasi, keadaan,
kegiatan, proses atau penampilan tingkah laku seseorang.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, agenda,
undang- undang serta peraturan perudang-uandangan yang lain.10
Dokumentasi ini berupa putusan pengadilan Agama Kendal
tentang penyelesaian pembagian gaji pegawai negeri sipil (PNS)
terhadap bekas istri yang diserahkan pada instansi atau atasan terkait
pasca perceraian
4. Metode Analisis Data
Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan analisis deskriptif
kualitatif yaitu data diperoleh, dipilih dan disusun secara sistematis
kemudian dianalisis secara kualitatif. Dalam arti lain yaitu analisis yang
bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai subjek penelitian
berdasarkan data dari kelompok subjek yang diteliti, yakni secara
sistematis tekstual dan akurat.11
9Ibid., hal. 234
10Ibid, hal. 131
11Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: CV. Rajawali, 1999, hlm.42
11
Yang diteliti dan dipelajari adalah objek penelitian yang utuh,
sepanjang hal itu mengenai manusia, maka hal tersebut menyangkut
sejarah hidup manusia. Dengan demikian, maka dengan mempergunakan
metode kualitatif, seorang peneliti dapat memahami atau mengerti gejala
yang diteliti.12
F. Sistematika penulisan
Untuk mempermudah menyusun skripsi ini, dalam penyusunannya
dibagi dalam beberapa bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB 1 Dalam bab ini menguraikan tentang, latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian,
sistimatika penelitian
BAB II Dalam bab ini penulis uraikan berbagai hal yang merupakan
tinjauan umum tentang nafkah akibat perceraian bagi pegawai
negeri sipil yang meliputi tentang nafkah (nafkah bagi mantan
istri PNS, akibat perceraian bagi PNS), eksekusi (pengertian
eksekusi, pelaksanaan eksekusi).
BAB III Merupakan penjelasan gambaran umum putusan pengadilan
agama Semarang tentang penyelesaian pembagian gaji PNS
terhadap bekas istri yang diserahkan pada instansi atau atasan
terkait pasca perceraian yang meliputi putusan Pengadilan
Agama Semarang No.405/pdt.G/2005/PA.Sm. (identitas para
pihak, pertimbangan hakim, putusan hakim), putusan Pengadilan
12Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:UI Press, 1982, hlm.32
12
Agama Semarang Nomor : 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm (identitas
para pihak, pertimbangan hakim, putusan hakim), putusan
Pengadilan Agama Semarang Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm
(identitas para pihak, pertimbangan hakim, keputusan hakim).
BAB IV Dalam Bab ini diuraikan tentang analisis putusan Pengadilan
Agama Semarang tentang pembagian gaji terhadap bekas istri
yang diserahkan pada atasan atau instansi terkait pasca perceraian
yang meliputi analisis terhadap putusan pa tentang pemberian
Gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi
atau atasan (putusan Pengadilan Agama Semarang
No.405/pdt.G/2005/PA.Sm, putusan Pengadilan Agama
Semarang Nomor: 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm, putusan Pengadilan
Agama Semarang Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm), analisis
efektifitas putusan pengadilan agama Semarang tentang
pembagian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada
instansi atau atasan terkait pasca perceraian.
BAB V Merupakan bab penutup Sebagai akhir pembahasan dalam skripsi
ini, maka akan penulis simpulkan beberapa pokok masalah
sebagaimana yang terdapat dalam pendahuluan. Dalam bab ini
penulis juga akan berusaha mengemukakan saran-saran. Pada
akhirnya penulis akan tutup dengan beberapa harapan yang
tertuang dalam sub bab penutup.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG NAFKAH AKIBAT PERCERAIAN BAGI
PEGAWAI NEGERI SIPIL
A. Tentang Nafkah
1. Nafkah bagi Mantan Istri PNS
Menurut bahasa, nafkah berasal dari isim mufrad ���� (nafaqah), yang
jamaknya adalah ت���� (nafaqâh) yang artinya barang-barang yang
dibelanjakan seperti duit.1 Demikian pula dalam Kamus Al-Munawwir, ����ّا
yang artinya biaya, belanja.2 Dalam Kamus al-Munjid,
3 yang tertera yaitu:
�������– . � ���� � ���� � ��� �� ���� �� ��� Menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi,
4 dan Syekh
Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, kata nafaqah berarti mengeluarkan.5
Sedang secara terminologi terdapat beberapa rumusan di antaranya:
1. Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, nafkah adalah apa saja yang
diberikan kepada Istri, seperti makanan, pakaian, uang dan lainnya.6
1Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973, hlm. 463. 2Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1449. 3Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Beirut Libanon: Dâr al-Masyriq, 1986,
hlm. 828 4Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, Fath al-Qarîb al-Mujîb, Indonesia: Dâr al-Ihya
al-Kitab al-Arabiah, tth, hlm. 51 5Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, Fath al-Mu’în, Maktabah wa Matbaah,
Semarang: Toha Putera , tth, hlm. 119 6Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar
Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 459
14
2. Menurut Zakiah Daradjat, nafkah berarti belanja, maksudnya ialah sesuatu
yang diberikan oleh seseorang kepada istri, kerabat, dan miliknya sebagai
keperluan pokok bagi mereka, seperti makanan, pakaian dan tempat
tinggal.7
3. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, nafkah adalah pengeluaran yang
biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau
dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.8
4. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud nafkah yaitu memenuhi kebutuhan
makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan istri jika ia
seorang kaya.9
Dari beberapa rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa nafkah
adalah suatu pemberian dari seorang suami kepada istrinya. Dengan
demikian, nafkah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami
terhadap istrinya dalam masa perkawinannya.
Apabila telah sah dan sempurna suatu akad perkawinan antara
seorang. laki-laki dan seorang perempuan, maka sejak itu menjadi tetaplah
kedudukan laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai isteri, dan
sejak itu pula suami memperoleh hak-hak tertentu beserta kewajiban-
kewajiban tertentu pula, sebaliknya isteri memperoleh hak-hak tertentu
beserta kewajiban-kewajiban tertentu pula.
7Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 141. 8Abdual Aziz Dahlan, et. al, (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1281. 9Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 2, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, hlm. 228.
15
Hak yang diperoleh suami seimbang dengan kewajiban yang
dipikulkan di pundaknya, sebaliknya hak yang diperoleh istri seimbang
pula dengan kewajiban yang dipikulkan di pundaknya. Suami wajib
mempergunakan haknya secara hak dan dilarang menyalahgunakan
haknya, di samping itu ia wajib menunaikan kewajibannya dengan sebaik-
baiknya, demikian juga isteri, ia wajib mempergunakan haknya secara hak
dan dilarang menyalahgunakan haknya, di samping itu ia wajib
menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.
Jika suami mempergunakan haknya secara tidak menyalahgunakan
haknya serta menunaikan kewajibannya dengan baik, begitu pula istri
mempergunakan haknya secara tidak menyalahgunakan haknya serta
menunaikan kewajibannya dengan baik, maka menjadi sempurnalah
terwujudnya sarana-sarana ke arah ketenteraman hidup dan ketenangan
jiwa masing-masing, terjelmalah kesejahteraan dan kebahagiaan bersama
lahir batin. Apa yang menjadi kewajiban bagi suami adalah menjadi hak
bagi isteri, sebaliknya apa yang menjadi kewajiban isteri adalah menjadi
hak bagi suami.10
Hubungan perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami
untuk istri dan anak-anaknya. Dalam hubungan ini Q.S. Al-Baqarah: 233
mengajarkan bahwa suami yang telah menjadi ayah berkewajiban
memberi nafkah kepada ibu anak-anak (istri yang telah menjadi ibu)
10Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 55.
16
dengan cara ma’ruf.11
Itulah sebabnya Mahmud Yunus menandaskan
bahwa suami wajib memberi nafkah untuk istrinya dan anak-anaknya,
baik istrinya itu kaya atau miskin, maupun muslim atau Nasrani/Yahudi.12
Bahkan kaum muslimin sepakat bahwa perkawinan merupakan salah satu
sebab yang mewajibkan pemberian nafkah, seperti halnya dengan
kekerabatan.13
Dengan demikian, hukum membayar nafkah untuk istri, baik
dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan
disebabkan oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah
tangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat
kepada keadaan istri. Bahkan di antara ulama Syi'ah menetapkan bahwa
meskipun istri orang kaya dan tidak memerlukan bantuan biasa dari
suami, namun suami tetap wajib membayar nafkah. Dasar kewajibannya
terdapat dalam Al-Qur'an maupun dalam hadis Nabi. Dalil dalam bentuk
al-Qur'an terdapat dalam beberapa ayat.
Di antara ayat Al-Qur'an yang menyatakan kewajiban perbelanjaan
terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233:
���� ������� !"�� #�$% � &'�( )*"� � �+&$�,�- �' �.��/�0 !"� �1 2��3�- ��4�5 � 2��3�6�7�8 �9�:�� ��1 ��&� )������ � �' � ;�:�� ��1 <= :��� � 28> ?�- �' 3 0����)=/�A�� :CDD(
Artinya: Kewajiban ayah untuk memberikan belanja dan pakaian untuk
istrinya. Seseorang tidak dibebani kecuali semampunya, seorang
11Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Pers, 1999, hlm. 108. 12Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990,
hlm. 101. 13Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,
Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 400.
17
ibu tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya, dan seorang
ayah tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya. (Q.S. al-
Baqarah: 233).14
Di antara ayat yang mewajibkan perumahan adalah surat at-Thalaq
(65) ayat 6:
�� ����FG ?�H�� 2��;�I8 ?�- �� � ���5�:�J�� �F� ��H��, � �K�G L ���� 2��;����,��)�MN�� :O(
Artinya: Beri kediamanlah mereka (istri-istri) di mana kamu bertempat
tinggal sesuai dengan kemampuanmu. (Q.S. at-Thalaq: 6).15
Adapun dalam bentuk sunnah terdapat dalam beberapa hadis Nabi, di
antaranya:
�P�0�! � �Q �6 RP�1 �S ���1 FT�: % �� % �� A�0�U ��S2: L RV W�( X�1�� ���1 �Y �Z ��S2: L FX�A2��� �� % �P"$���[ FT�8 \���]"�� R���0�4 � X�1�� �� % 2T�8 \���]"�� :W�̂ W ��1 ��&$�� :�A %
�Q ���[ ���$�;�� #�$ % _����� � ���$�4�!"�� ̀ ������ ��a�( �Q �6 �&$ � � ���G�$ % �&$�� #&$ b FX�A2��� �� % _��6 : b ���� �P � �5 3�A�4 H�c W ��; �)T8 dA�� 9��8(16
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Adam bin Abi Iyas dari Syu'bah
dari 'Adiyin bin Tsabit berkata: aku telah mendengar Abdullah bin
Yazid al-Anshari dari Abu Mas'ud al-Ansari r.a., Rasulullah Saw.
bersabda: "Apabila seorang Muslim memberikan belanja kepada
keluarganya semata-mata karena mematuhi Allah, maka ia
mendapat pahala. (H.R. al-Bukhari)
14Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya::
DEPAG RI, 1978, hlm. 57. 15
Ibid., hlm. 228. 16Abu Abdillâh al-Bukhâry, Sahîh al-Bukharî, juz III, Beirut Libanon: Dâr al-Fikr, 1410
H/1990 M, hlm. 305
18
�K�G e"�� X�1�� �� % R:�W 7 ���1 �8���S �� % )f�� � ��S2: L �� % ̂ �6 ���1 # G�c W ��S2: L #�$ % X�% 24�� �&$ � � ���G�$ % �&$�� #&$ b IX�A2��� �Q �6 �Q �6 �= /�W /�; X�1�� �� %
�� ��&$�� �gG�A � X�[ �:�; h�!"� �5 �i�,�4�!"�� � ���$ ��8�]"�� ���j 2\�� �g�G&$�� ���j ��"�� �� 8 32���)T8 dA�� 9��8( 17
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Yahya bin Qoza'ah dari Malik
dari Syauri bin Yazid dari Abi al-Ghoisa dari Abu Hurairah r.a.,
Rasulullah saw. bersabda: "Siapa yang berusaha keras membantu
janda dan orang miskin, sama artinya dengan. berjuang di jalan
Allah atau selalu sembahyang sepanjang malam hari dan selalu
berpuasa di siang hari. (H.R. al-Bukhari).
�]"�� �� % �� �F̂ �� X�1�� �� % )f�� � X���S2: L �Q �6 �gG�% !���( ��S2: L �� % � /�%&k�� ��� % �&$�� X�l 8 �= /�W /�; X�1���&$�� #&$ b ��&$�� �Q��� 8 �Q �6 �&$ � � ���G�$ %
f�G�$ % �̀ ������ Y �Z ��1� W �̀ ������ ��&$�� �Q �6)T8 dA�� 9��8(18
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Ismail dari Malik dari Abi al-
Zanad dari al-A'raj dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw.
bersabda: "Allah berfirman: 'Hai Anak Adam, belanjakanlah
hartamu dijalan kebaikan, maka Aku akan membelanjaimu! (H.R.
al-Bukhari)
�0 � �� % �k G"��� � / A�m�� Rn�o�5 ���1 �:2! c�� ��S2: L �/�� % �� % �G�;� /�1�( ���1 �: ���G�$ % �&$�� #&$ b IX�A2��� �k �5 �Q �6 ��� % �&$�� X�l 8 R:�0 � �� % R:�0 � ���1 ��p$�5 X�� !�1 X�b��� <Q � X�� �P"$���[ ��&, !�1 )qW�/ � ��� � X������0 W �&$ � �
"$�6 �� �Q �6 �/"N2r� �[ �P"$�6 �� �Q �6 "k�� )n�o�5 �K�$so�� � �K�$so�� �Q �6 �K�$so� �[ �P X�[ V 2��� �k���&��, H W _��� % ���3 % : - "k�� ���� )/�G m tu G��"v�� f H�S 8 � w : - X�[ X�[ 3�0�[�/ - �� !"�s$�� #2H L <��6 : b f�� ��3�[ P"������� !�3 � � ���3W�:�W��
17
Ibid, hlm. 305. 18
Ibid,
19
� f�-�� /��� �k��/ mZ f�1 I/ ?�W � )V � f�1 �x�� H�� W f�0�[�/ W �&$�� &g 0��) 9��8T8 dA��(19
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Katsir dari
Syufyan dari Sa'ad bin Ibrahim dari 'Amir bin Sa'ad dari Sa'ad r.a.,
kutanya: Sewaktu saya sakit di Mekkah, Nabi saw. datang melihat
saya. Saya berkata: "Saya memiliki sejumlah harta. Saya akan
membuat wasiat (testament) untuk menyerahkan seluruh harta saya
itu." Jawab Rasul: "Tidak boleh'." "Setengah?" kataku. "Tidak,"
jawab Rasul. "Apakah boleh sepertiga?" tanyaku lagi. Rasul
menjawab: "Sepertiga boleh, tetapi masih terlalu banyak. Engkau
lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya,
daripada kamu tinggalkan mereka dalam keadaan melarat dan
menjadi beban dan orang lain. Semua pengeluaran yang kamu
belanjakan adalah sedekah dan berpahala bagimu. Bahkan sesuap
nasi yang engkau berikan kepada istrimu. Mudah-mudahan
janganlah Allah menjadikan engkau seorang yang berguna bagi
kelompok manusia, tetapi mendatangkan malapetaka bagi
kelompok lain. (H.R. al-Bukhari).
���1 �� !�L2/���:�A % X���S2: L �Q �6 �K�G&$�� X���S2: L �Q �6 R/�G���% ���1 �:G�0 � ��S2: L &k�� �= /�W /�; X�1�� �� % �y2G 4�!"�� ���1� �� % Rz 3�U ���1� �� % R/�[ 4�� ���1 �:�� m
�/�G m �Q �6 �&$ � � ���G�$ % �&$�� #&$ b ��&$�� �Q��� 8 �/�3�{ �� % �k �5 � ���6 :2\�� �Q��0 - �� !�1 "� :�1� � #|��v)T8 dA�� 9��8(20
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Sa'id bin Ghufair dari Lais dari
'Abdur Rahman bin Khalid bin Musafir dari ibnu Syihab dari ibnu
al-Musayyab dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda:
"Sedekah yang terbaik adalah yang dilakukan oleh orang yang
kaya. Mulailah memberikan sedekah dengan bersedekah kepada
orang yang menjadi tanggung-jawabmu! (H.R. al-Bukhari).
)y�G ;�� ��S2: L �gG�% !���( ���1 # ���� ��S2: L �� % ��G�1�� �� % )Y r�; � / A�m�� ���� X�� "g ; ��&$�� �Q��� 8 W �P"$�6 �� !�$ � FY�� �� % �� !�$ � X�1�� �P���1 y ��W 7
19
Ibid, hlm. 305 20
Ibid, hlm. 305
20
X�� 1 X�[ R/�J�� ��}�, ; ���3�H�5�8 H�1 �P�4�� � ���3�G�$ % ̀ ������ "k�� �� !�$ � X�1���6 2X�� 1 ���; !2��( ��}�, ; � ���3�G�$ % �P"������� � �/�J�� �f�� �� 0 � �Q ) 9��8
T8 dA��(21
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami, Musa bin Ismail dari Wuhaib
dari Hisyam dari bapaknya dari Zainab binti Abi Salamah dari
Ummu Salamah r.a., katanya; Saya berkata kepada Rasulullah
Saw.: "Ya Rasulullah, kalau saya membelanjai anak-anak Abu
Salamah dan saya tidak mau meninggalkan mereka dalam keadaan
terlantar, karena mereka adalah juga anak-anak saya, apakah saya
memperoleh pahala?" Rasul menjawab: "Benar, engkau akan
memperoleh pahala atas segala nafkah yang engkau belanjakan.
(H.R. al-Bukhari).
Dalam konteksnya dengan nafkah mantan istri PNS, bahwa pegawai
negeri sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat
diharapkan dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah
laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.22
Pegawai negeri sipil harus mentaati kewajiban tertentu dalam hal
hendak melangsungkan perkawinan beristri lebih dari satu, dan atau
bermaksud melakukan perceraian.
Sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat
pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugasnya diharapkan tidak
terganggu oleh urusan kehidupan rumah tangga atau keluarganya. Dalam
pelaksanaannya, beberapa ketentuan peraturan pemerintah nomor 10 tahun
1983 tidak jelas. Pegawai negeri sipil tertentu yang seharusnya terkena
21
Ibid, hlm. 306. 22Harmon Harun, Himpunan UU Kepegawaian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002-
2004, hlm 2-3
21
ketentuan peraturan pemerintah Nomor 10 tahun 1983 dapat menghindar,
baik secara sengaja maupun tidak, terhadap ketentuan tersebut.
Disamping itu adakalanya pula pejabat tidak dapat mengambil
tindakan yang tegas karena ketidak jelasan rumusan ketentuan peraturan
pemerintah Nomor 10 tahun 1983 itu sendiri, sehingga dapat memberi
peluang untuk melakukan penafsiran sendiri-sendiri.
Pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu
jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan
berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pejabat yang berwenang disini adalah pejabat yang mempunyai
kewenangan mengangkat dan atau memberhentikan pegawai negeri
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembagian Pegawai Negeri Sipil terdiri dari:
a. Pegawai negeri pusat
Yang di maksud Pegawai negeri pusat adalah pegawai negeri
sipil pusat yang gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan dan
belanja negara dan bekerja pada departemen, lembaga pemerintah non
departemen, kesekretariatan lembaga tertinggi/tinggi negara, instansi
vertikal di daerah-daerah, dan kepaniteraan pengadilan.
b. Pegawai negeri sipil daerah
22
Yang dimaksud dengan pegawai negeri sipil daerah adalah
pegawai negeri sipil daerah propinsi/kabupaten/kota yang gajinya
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah dan bekerja
pada pemerintah daerah, atau dipekerjakan diluar instansi induknya.23
Dalam hubungannya dengan perceraian PNS, bahwa apabila usaha
untuk merukunkan kembali tidak berhasil dan perceraian itu terjadi atas
kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib menyerahkan bagian
gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya. Pegawai Negeri
Sipil yang diwajibkan menyerahkan bagian gajinya untuk penghidupan
bekas istri dan anak-anaknya, wajib membuat pernyataan tertulis.24
Hak atas bagian gaji untuk bekas istri tidak diberikan, apabila
perceraian terjadi karena istri terbukti telah berzina dan atau istri terbukti
telah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun
batin terhadap suami dan atau istri terbukti menjadi pemabuk, pemadat,
dan penjudi yang sukar disembuhkan dan atau istri terbukti telah
meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin suami dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
Meskipun perceraian terjadi atas kehendak istri yang bersangkutan,
haknya atas bagian gaji untuk bekas istri tetap diberikan apabila ternyata
alasan istri mengajukan gugatan cerai karena dimadu, dan atau karena
suami terbukti telah berzina, dan atau suami terbukti telah melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri,
23
Ibid., hlm. 19. 24Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, hlm. 277
23
dan atau suami terbukti telah menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi
yang sukar disembuhkan dan atau suami terbukti telah meninggalkan istri
selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin istri dan tanpa alasan yang sah
atau karena hall lain di luar kemampuannya.
Yang dimaksud dengan gaji adalah penghasilan yang diterima oleh
suami dan tidak terbatas pada penghasilan suami pada waktu terjadinya
perceraian. Bendaharawan gaji wajib menyerahkan secara langsung
bagian gaji yang menjadi hak bekas istri dan anak-anaknya sebagai akibat
perceraian. Tanpa lebih dahulu menunggu pengambilan gaji dari Pegawai
Negeri Sipil bekas suami yang telah menceraikannya. Bekas istri dapat
mengambil bagian gaji yang menjadi haknya secara langsung dari
Bendaharawan gaji, atau dengan surat kuasa. atau dapat meminta untuk
dikirimkan kepadanya. Apabila ada gugatan perceraian yang diajukan oleh
pihak istri dan setelah dilakukan upaya merukunkan kembali oleh Pejabat
tidak berhasil, maka proses pemberian ijin agar diselesaikan secepatnya
mematuhi dan sesuai dengan ketentuan jangka waktu yang telah
ditentukan.25
2. Akibat Perceraian bagi PNS
Menurut Fuad Said, perceraian adalah putusnya hubungan
pernikahan antara suami istri.26
Menurut Zahry Hamid suatu pernikahan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dapat berakhir dalam
keadaan suami istri masih hidup dan dapat pula berakhir sebab
25 Ibid., hlm. 277-278. 26Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 1.
24
meninggalnya suami atau istri. Berakhirnya pernikahan dalam keadaan
suami dan istri masih hidup dapat terjadi atas kehendak suami, dapat
terjadi atas kehendak istri dan terjadi di luar kehendak suami istri. Menurut
hukum Islam, berakhirnya pernikahan atas inisiatif atau oleh sebab
kehendak suami dapat terjadi melalui apa yang disebut talak, dapat terjadi
melalui apa yang disebut ila' dan dapat pula terjadi melalui apa yang
disebut li'an, serta dapat terjadi melalui apa yang disebut zihar.27
Berakhirnya pernikahan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak istri
dapat terjadi melalui apa yang disebut khiyar aib, dapat terjadi melalui apa
yang disebut khulu' dan dapat terjadi melalui apa yang disebut rafa'
(pengaduan). Berakhirnya pernikahan di luar kehendak suami dapat terjadi
atas inisiatif atau oleh sebab kehendak hakam, dapat terjadi oleh sebab
kehendak hukum dan dapat pula terjadi oleh sebab matinya suami atau
istri.28
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa
perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian, dan c. atas
keputusan pengadilan. Undang-undang ini tidak memberi definisi tentang
arti perceraian. KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh
undang-undang perkawinan, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih
banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat
masalah putusnya perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113 KHI menyatakan:
perkawinan dapat putus karena: a. kematian; b. perceraian, dan; c. Atas
27Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan
di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 73. 28
Ibid., hlm. 73.
25
putusan pengadilan. Dalam Pasal 117 KHI ditegaskan bahwa talak adalah
ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 129, 130 dan 131.
Sejalan dengan prinsip perkawinan dalam Islam yang antara lain
disebutkan bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, tidak boleh dibatasi
dalam waktu tertentu, dalam masalah talak pun Islam memberikan pedoman
dasar sebagai berikut,
1. Pada dasarnya Islam mempersempit pintu perceraian. Dalam hubungan
ini hadis Nabi riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah mengajarkan, "Hal
yang halal, yang paling mudah mendatangkan murka Allah adalah
talak." Hadis Nabi riwayat Daruquthni mengajarkan, "Ciptaan Allah
yang paling mudah mendatangkan murka-Nya adalah talak." Al-
Qurthubi dalam kitab Tafsir Ayat-Ayat Hukum mengutip hadis Nabi
berasal dari Ali bin Abi Thalib yang mengajarkan, "Kawinlah kamu,
tetapi jangan suka talak sebab talak itu menggoncangkan arsy." Dari
banyak hadis Nabi mengenai talak itu, dapat kita peroleh ketentuan
bahwa aturan talak diadakan guna mengatasi hal-hal yang memang telah
amat mendesak dan terpaksa.
2. Apabila terjadi sikap membangkang/melalaikan kewajiban (nusyus) dari
salah satu suami atau istri, jangan segera melakukan pemutusan
perkawinan. Hendaklah diadakan penyelesaian yang sebaik-baiknya
antara suami dan istri sendiri. Apabila nusyus terjadi dari pihak istri,
26
suami supaya memberi nasihat dengan cara yang baik. Apabila nasihat
tidak membawakan perbaikan, hendaklah berpisah tidur dari istrinya.
Apabila berpisah tidur tidak juga membawa perbaikan, berilah pelajaran
dengan memukul, tetapi tidak boleh pada bagian muka, dan jangan
sampai mengakibatkan luka.
3. Apabila perselisihan suami istri telah sampai kepada tingkat syiqaq
(perselisihan yang mengkhawatirkan bercerai), hendaklah dicari
penyelesaian dengan jalan mengangkat hakam (wasit) dari keluarga
suami dan istri, yang akan mengusahakan dengan sekuat tenaga agar
kerukunan hidup suami istri dapat dipulihkan kembali.29
4. Apabila terpaksa perceraian tidak dapat dihindarkan dan talak benar-
benar terjadi, harus diadakan usaha agar mereka dapat rujuk kembali,
memulai hidup baru. Di sinilah letak pentingnya, mengapa Islam
mengatur bilangan talak sampai tiga kali.
5. Meskipun talak benar-benar terjadi, pemeliharaan hubungan dan sikap
baik antara bekas suami istri harus senantiasa dipupuk. Hal ini hanya
dapat tercapai, apabila talak terjadi bukan karena dorongan nafsu,
melainkan dengan pertimbangan untuk kebaikan hidup masing-
masing.30
Dalam konteksnya dengan perceraian PNS bahwa apabila perceraian
terjadi atas kehendak kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib
menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-
29Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UUI Press, Yogyakarta, 1999, hlm.
71-72. 30
Ibid., hlm. 72.
27
anaknya. Pembagian gaji tersebut sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria
yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk
anak atau anak-anaknya. Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak
maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria
kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya. Apabila perceraian
terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan
dari bekas suaminya. Ketentuan sebagaimana dimaksud tidak berlaku,
apabila isteri meminta cerai karena dimadu. Apabila bekas isteri Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi. maka haknya atas bagian gaji
dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi.31
B. Eksekusi
1. Pengertian Eksekusi
Eksekusi adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah
putusan pengadilan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak
untuk membayar sejumlah uang, atau menghukum pihak yang kalah untuk
membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan hakim yang
memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah
tidak mati melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan
upaya paksa dari pengadilan untuk melaksanakannya.32
Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang
31 Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan
P.erceraiann badi PNS yang kemudian diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 32Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta: Prenada Media, 2005. hlm. 313.
28
mempunyai kekuatan eksekutorial. Adapun yang memberikan kekuatan
eksekutorial pada putusan pengadilan terletak pada kepada putusan yang
berbunyi "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Di
samping itu. putusan pengadilan yang mempunyai titel eksekutorial adalah
putusan yang bersifat atau yang mengandung amar "condemnatoir,
sedangkan putusan pengadilan yang bersifat deklaratoir dan constitutif
tidak dilaksanakan eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam
menjalankannya. Menurut Sudikno Mertokusumo eksekusi pada
hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah
untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan
tersebut. Pihak yang menang dapat memohon eksekusi pada pengadilan
yang memutus perkara tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut
secara paksa (execution force).33
Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang harus
dipegangi oleh pihak pengadilan, yakni sebagai berikut:
a. Putusan pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap
Sifat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah tidak
ada lagi upaya hukum, dalam bentuk putusan tingkat pertama, bisa
juga dalam bentuk putusan tingkat banding dan kasasi. Sifat dan
putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah litis finiri
opperte, maksudnya tidak bisa lagi disengketakan oleh pihak-pihak
33Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1998,
hlm.201.
29
yang berperkara.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai
kekuatan mengikat para pihak-pihak yang berperkara dan ahli waris
serta pihak-pihak yang mengambil manfaat atau mendapat hak dan
mereka. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dipaksa
pemenuhannya melalui pengadilan jika pihak yang kalah tidak mau
melaksanakannya secara sukarela.
Pengecualian terhadap asas ini adalah: (1) pelaksanaan putusan
uit voerbaar hij voorraad sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) R.Bg, dan
Pasal 180 ayat (2) pelaksanaan putusan provisi sesuai dengan Pasal
180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) R.Bg dan Pasal 54 Rv. (3)
pelaksanaan putusan perdamaian. sesuai dengan Pasal- 130 ayat (2)
HIR dan Pasal 154 ayat (2) R.Bg, (4) eksekusi berdasarkan Grose akta
sesuai dengan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 R.Bg.
b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR dan Pasal 207 R.Bg,
maka ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan yaitu dengan
cara sukarela karena pihak yang kalah dengan sukarela melaksanakan
putusan tersebut. dan dengan cara paksa melalui proses eksekusi oleh
pengadilan.
Pelaksanaan putusan pengadilan secara paksa dilaksanakan
dengan bantuan pihak kepolisian sesuai dengan Pasal 200 ayat (1)
HIR.
30
c. Putusan mengandung amar Condemnatoir.
Putusan yang bersifat condemnatoir biasanya dilahirkan dari
perkara yang bersifat contensius dengan proses pemeriksaan secara
contradidoir. Para pihak yang berperkara terdiri dari para pihak
Penggugat dan Tergugat yang bersifat partai.
Adapun ciri putusan yang bersifat condemnatoir mengandung
salah satu dinar yang menyatakan:
(1) Menghukum atau memerintahkan untuk "menyerahkan".
(2) Menghukum atau memerintahkan untuk "pengosongan";
(3) Menghukum atau memerintahkan untuk "membagi".
(4) Menghukum atau memerintahkan untuk "melakukan sesuatu".
(5) Menghukum atau memerintahkan untuk "menghentikan".
(6) Menghukum atau memerintahkan untuk "membayar".
(7) Menghukum atau memerintahkan untuk "membongkar".
(8) Menghukum atau memerintahkan untuk "tidak melakukan sesuatu"
d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan
Menurut Pasal 195 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1) R.Bg.
yang berwenang melakukan eksekusi adalah pengadilan yang
memutus perkara yang di minta eksekusi tersebut sesuai dengan
kompetensi relatif. pengadilan tingkat banding tidak diperkenankan
melaksanakan eksekusi.
Sebelum melaksanakan eksekusi, Ketua Pengadilan Agama
terlebih dahulu mengeluarkan penetapan yang ditujukan kepada
31
Panitera/juru Sita untuk melaksanakan eksekusi dan pelaksanaan
eksekusi tersebut dilaksanakan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan
Agama.
2. Pelaksanaan Eksekusi
Dalam menjalankan eksekusi terhadap perkara-perkara yang
menjadi wewenang Pengadilan Agama .dapat ditempuh tahapan-tahapan
sebagai berikut:
a. Permohonan pihak yang menang
Jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan
Pengadilan Agama secara sukarela. maka pihak yang menang dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama yang
memutuskan perkara tersebut untuk dijalankan secara paksa hal-hal
yang telah disebutkan dalam amar putusan.
Permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua Pengadilan
Agama merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan oleh pihak
yang menang agar putusan tersebut dapat dijalankan secara paksa
sebagaimana tersebut dalam Pasal 207 ayat (1) R.Bg dan Pasal 196
HIR. Jika para pihak yang menang ingin putusan Pengadilan supaya
dijalankan secara paksa, maka ia harus membuat surat permohonan
yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang memutus
perkara, memohon agar putusan supaya dijalankan secara paksa karena
pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan tersebut. Tanpa
ada surat permohonan tersebut maka eksekusi tidak dapat
dilaksanakan.
32
b. Penaksiran biaya eksekusi
Jika Ketua Pengadilan Agama telah menerima permohonan
eksekusi dari pihak yang berkepentingan. maka segera memerintahkan
meja satu untuk menaksir biaya eksekusi yang diperlukan dalam
pelaksanaan eksekusi yang dilaksanakannya. Biaya yang diperlukan
meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biaya saksi-saksi, dan biaya
pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah biaya
eksekusi tersebut dibayar oleh pihak yang menghendaki eksekusi
kepada Panitera atau petugas yang ditunjuk untuk mengurus biaya
perkara, barulah permohonan eksekusi tersebut didaftarkan dalam
register eksekusi.34
c. Melaksanakan peringatan (Aan maning)
Aan maning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan
oleh Ketua Pengadilan Agama berupa teguran kepada pihak yang
kalah agar ia melaksanakan isi putusan secara sukarela. Aan maning
dilakukan dengan melakukan panggilan terhadap pihak yang kalah
dengan menentukan hari, tanggal, dan jam persidangan dalam surat
panggilan tersebut.
Memberikan peringatan (Aan maning) dengan cara: (1)
melakukan sidang insidental yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan
Agama, Panitera dan pihak yang kalah, (2) memberikan peringatan
atau teguran supaya ia menjalankan putusan hakim dalam waktu
34 Abdul Mannan, op.cit.. hlm. 317
33
delapan hari, (3) membuat berita acara Aan waning dengan mencatat
semua peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut sebagai bukti
autentik, bahwa Aan maning telah dilakukan dan berita acara ini
merupakan landasan bagi perintah eksekusi yang akan dilaksanakan
selanjutnya.
Apabila pihak yang kalah tidak hadir dalam sidang Aan
maning, dan ketidakhadirannya dapat dipertanggungjawabkan, maka
ketidakhadirannya itu dapat dibenarkan dan pihak yang kalah itu harus
dipanggil kembali untuk Aan maning yang kedua kalinya. Jika
ketidakhadiran pihak yang kalah setelah dipanggil secara resmi dan
patut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka gugur haknya untuk
dipanggil lagi, tidak perlu lagi proses sidang peringatan dan tidak ada
tenggang masa peringatan. Secara ex officio Ketua Pengadilan Agama
dapat langsung mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi
kepada Panitera/Juru Sita.35
d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi
Apabila waktu yang telah ditentukan dalam peringatan (Aan
maning) sudah lewat dan ternyata pihak yang kalah tidak menjalankan
putusan, dan tidak mau menghadiri panggilan sidang peringatan tanpa
alasan yang sah, maka Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan
perintah eksekusi dengan ketentuan: (1) perintah eksekusi itu berupa
penetapan, (2) perintah ditujukan kepada Panitera atau Juru Sita yang
35
Ibid.. hlm. 3 17.
34
namanya harus disebut dengan jelas. (3) harus menyebut dengan jelas
nomor perkara yang hendak dieksekusi dan objek barang yang hendak
dieksekusi, (4) perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang dan
tidak boleh di belakang meja, (5) isi perintah eksekusi supaya
dilaksanakan sesuai dengan amar putusan.
e. Pelaksanaan eksekusi nil.
Perintah eksekusi yang dibuat Ketua Pengadilan Agama,
Panitera atau apabila ia berhalangan dapat diwakilkan kepada Juru Sita
dengan ketentuan harus menyebut dengan jelas nama petugas dan
jabatannya yang bertugas melaksanakan eksekusi sebagaimana diatur
dalam Pasal 197 ayat (1) HIR dan Pasal 209 R.Bg. Dalam pelaksanaan
eksekusi tersebut, Panitera atau Juru Sita dibantu dua orang saksi
berumur 21 tahun, jujur dan dapat dipercaya yang berfungsi membantu
Panitera atau Juru Sita yang melaksanakan eksekusi, sebagaimana
diatur dalam Pasal 197 ayat (6) H'lR dan Pasal 210 R.Bg.
35
BAB III
GAMBARAN UMUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG
TENTANG PENYELESAIAN PEMBAGIAN GAJI PNS TERHADAP
BEKAS ISTRI YANG DISERAHKAN PADA INSTANSI ATAU ATASAN
TERKAIT PASCA PERCERAIAN
A. Putusan Pengadilan Agama Semarang No.405/pdt.G/2005/PA.Sm.
1. Identitas Para Pihak
Suami istri yang sah, yang telah menikah pada tanggal 27 juli 2001
dihadapan pejabat Kantor Urusan Agama Purworejo Pasuruan Jawa
Timur yaitu Wahyu Setyaji Ismaryanto bin Ismono, umur 27 tahun,
agama Islam, pekerjaan PNS ( kantor pajak ), tempat tinggal di jalan
tikung baru 7 RT.10 RW.VI kelurahan Bandarharjo kecamatan
Semarang Utara kota semarang, sebagai pemohon. Melawan Yulianti
Magdalena binti Salimin, umur 27, agama Islam, pekerjaan PNS (pajak),
tempat tinggal di jalan Suren Timur 1 No.85 Banyumanik, sebagai
termohon.
2. Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Permohonan Pemohon
adalah sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha dengan
sungguh-sungguh mendamaikan kedua belah pihak, namun tidak berhasil;
36
Menimbang, bahwa sesuai dengan bukti P,1 dapat dibuktikan
bahwa Pemohon dan Termohon terikat dalam pernikahannya yang sah
tanggal 27 Juli 2001;
Menimbang, bahwa Pemohon sebagai PNS telah mendapatkan ijin
untuk bercerai dari atasan Pemohon yakni Dirjen Pajak Wilayah Jateng
tanggal 12 Agustus 2004 No.Kep.13/WPJ.10/2004 sebagaimana bukti P.2
dan Termohon dengan bukti T.1 telah mendapatkan surat Keterangan dari
atasan yang bersangkutan maka Penggugat dan Tergugat telah memenuhi
ketentuan pasal 3 Peraturan.Pemerintah No. 10 tahun 1983 yang telah
dirubah dengan Peraturan Pemerintah No.45 tahun 1990;
Menimbang, bahwa berdasarkan jawab menjawab antara Pemohon
dengan Termohon dapat ditemukan pokok permasalahan dalam perkara ini
adalah sebagai berikut :
a. Bahwa retaknya hubungan suami isteri antara Pemohon dengan
Termohon sehingga keduanya sering terjadi pertengkaran terus
menerus penyebabnya adalah api cemburu yang telah berkobar dihati
keduanya, ditambah lagi keduanya bertempat tinggal berjauhan ,
Pemohon di Semarang sedangkan Termohon di Pasuruhan;
b. Bahwa ungkapan Termohon kepada Pemohon dengan mengatakan
kalau saya dilamar orang bagaimana? dimaksudkan memancing agar
Pemohon lebih memperhatikan Termohon sebagai isterinya akan
tetapi oleh Pemohon ditanggapi sebaliknya seolah-olah
37
kecemburuannya beralasan, sehingga hal ini sebagai puncak
perselisihan dan pertengkaran yang terjadi pada lebaran tahun 2002 ;
Menimbang, bahwa dalil Pemohon sebagian besar diakui
Termohon terlebih tentang telah terjadinya pertengkaran antara Pemohon
dengan Termohon telah diakui oleh Termohon, lagi pula pengakuan
tersebut telah dikuatkan oleh para saksi dari kedua belah pihak antara lain :
a. Indaryati menyatakan Pemohon dan Termohon bertengkar
dirumahnya, Termohon memegang pisau;
b. Aan Setiawan menyatakan sejak Termohon pindah ke Semarang
Pemohon dan Termohon tidak pernah tinggal serumah hingga
sekarang ;
c. Muh Saliman menyatakan bahwa Pemohon dan Termohon rumah
tangganya tidak harmonis, telah didamaikan tidak berhasil, dan ketiga
saksi tersebut tidak mengetahui sebab-sebab pertengkaran ;
Menimbang, bahwa berdasarkan Keterangan Pemohon pengakuan
Termohon yang dikuatkan para saksi tersebut dapat ditemukan fakta
sebagai berikut :
a. Bahwa Pemohon dan Termohon adalah sebagai suami isteri yang
belum dikaruniai anak
b. Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak harmonis , telah
terjadi pertengkaran yang tajam Termohon memegang pisau , sejak
akhir 2002 atau setidaknya sejak Termohon pindah di Semarang,
38
Pemohon dan Termohon sudah tidak serumah lagi dan telah
didamaikan tidak berhasil;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut Majelis Hakim
berpendapat bahwa telah terjadi pertengkaran tajam yang sulit untuk
didamaikan yang tidak ada harapan dapat disatukan dalam rumah tangga
dan rumah tangga yang demikian sebenarnya telah pecah tidak utuh lagi;
Menimbang, bahwa jika rumah tangga telah pecah maka tidak
perlu mencari siapa yang salah, akan tetapi Majelis akan menilai apakah
masih mungkin rumah tangga tersebut dapat disatukan kembali hal ini
sesuai Yurisprodensi MARI Reg No.38 K/AG/1990 tanggal 5 Oktober
1991;
Menimbang, 'bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, Majlis
berpendapat bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak
sesuai dengan tujuan perkawinan sebagaimana tercantum pada pasal 1
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 3 Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut dimuka, maka Permohonan Pemohon telah sesuai dan memenuhi
maksud pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 jo pasal
116 huruf f Kompilasi Hukum Islam harus dinyatakan terbukti menurut
hukum, oleh karena itu telah cukup alasan Majelis Hakim mengabulkan
Permohonan Pemohon ;
Menimbang, bahwa Pemohon mendalilkan Termohon Nuzus,
Termohon menolak dengan keras tuduhan tersebut maka sebelum Majelis
39
Hakim mempertimbangkan hal ini terlebih dahulu akan dikemukakan
batasan nuzus berdasarkan kitab mughi ibnu Qudumah Vl: 295 yang
selanjutnya telah diambil alih menjadi pendapat majelis bahwa nusuz ialah
: apabila si isteri tidak mau seketiduran atau keluar rumah tanpa ijin suami;
Menimbang, bahwa atas tuduhan Termohon nuzus di depan sidang
Termohon telah mengajukan bukti T.2 jenis surat keputusan mutasi atas
nama Termohon dari Kantor Pajak Pasuruhan ke Kantor Pajak Semarang
barat, hal ini telah menunjukkan adanya indikasi iktikat baik dari
Termohon untuk mengikuti Pemohon yang bekerja di Semarang;
Menimbang, bahwa Pemohon tidak cukup memiliki bukti atas
tuduhan tersebut sehingga dalil yang menyatakan Termohon nusuz harus
dinyatakan tidak terbukti dan harus dikesampingkan ;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 41 (c) Undang-
undang No.1/74 jo pasal 149 (b) Kompilasi Hukum Islam, Majelis Hakim
secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah yang harus dibayar
Pemohon terhadap Termohon yang besarnya akan dicantumkan dalam
amar putusan ini;
Dalam Rekonpensi
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan rekonpensi sebagai
tersebut di atas;
Menimbang, bahwa Penggugat mengajukan gugat rekonpensi
antara lain:
a. Nafkah lampau selama 49 bulan Rp.1.000.000,- = Rp.49.000.000,-;
40
b. Mut'ah sebesar = Rp.5.000.000,-;
c. Penggugat berhak % gaji dari Tergugat ;
d. Menetapkan harta tersebut yang terurai dalam gugatan rekonpensi
sebagai harta bersama;
e. Menghukum Tergugat menyerahkan y-i dari harta bersama tersebut
kepada penggugat ,
f. Menghukum Tergugat membayar biaya perkara ;
Menimbang, bahwa atas tuntutan Penggugat tersebut Majelis akan
mempertimbangkan sebagai berikut :
Tentang tuntutan Nafkah lampau untuk mengabulkan atau tidaknya
tuntutan tersebut maka terlebih dahulu apakah Penggugat sebagai isteri
nusuz atau tidak, dalam hal ini Majelis Hakim telah mempertimbangkan
dalam Konpensi bahwa Penggugat tidak terbukti nusuz oleh karena itu
tuntutan Penggugat patut dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa sesuai fakta yang telah terurai dalam
pertimbangan hukum dalam Konpensi Penggugat dan Tergugat mulai
berpisah dan Penggugat tidak memberi nafkah sejak lebaran 2002 atau
setidaknya sejak bulan Desember 2002 hingga kini ( Nopember 2005) =
36 bulan, oleh karena tuntutan Penggugat patut dikabulkan yang
jumlahnya akan dipertimbangkan dengan keadaan Tergugat maupun
Penggugat yang mana Penggugat juga sebagai PNS;
41
Menimbang, bahwa tentang tuntutan mut'ah, Majelis Hakim
menilai bahwa tuntutan Penggugat tersebut tidak berlebihan sehingga
patut;
Menimbang, bahwa tuntutan Penggugat yang berkaitan dengan
pembagian gaji, gaji Tergugat sebagai PNS dalam hal ini Majelis Hakim
berpendapat bahwa Peraturan Perundang-undangan yang mengatur hal
tersebut adalah sebagai aturan Disiplin PNS, oleh karena itu sudah
sepatutnya tentang tuntutan yang berkaitan dengan gaji tersebut diserahkan
pelaksanaannya kepada atasan PNS ditempat Tergugat bekerja ;
Menimbang, bahwa tentang tuntutan harta yang berupa sebidang
tanah dan sebuah bangunan rumah di atasnya sebagaimana tertuang dalam
bukti Penggugat dan pemeriksaan setempat tanggal 17 Oktober 2006 oleh
karena harta tersebut pengadaannya dalam masa perkawinan Penggugat
dengan Tergugat maka harta tersebut sebagai harta bersama antara
Penggugat dengan Tergugat sesuai pasal 35 (a) Undang-undang No.1
tahun 1974 dan masing-masing Penggugat dan Tergugat mendapatkan 1/2
bagian dari harta bersama tersebut sesuai pasal 97 Kompilasi Hukum
Islam, oleh karena itu tuntutan tersebut patut dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa terhadap bukti-bukti yang diajukan oleh kedua
belah pihak yang tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dianggap
tidak relevan dan hams dikesampingkan ;
42
Menimbang, bahwa oleh karena tidak seluruhnya dalil gugatan
Penggugat terbukti maka gugatan Penggugat hams dinyatakan dikabulkan
sebagian dan menolak selain dan selebihnya ;
Dalam Konpensi Dan Rekonpensi
Menimbang, bahwa sesuai pasal 89 (1) Undang-undang No.7 tahun 1989
maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada
Pemohon Konpensi /Tergugat rekonpensi;
Dasar Hukum Majlis Hakim
Menimbang bahwa atas tuntutan penggugat tersebut majlis hakim akan
mempertimbangkan sebagai berikut:
a. Tentang tuntutan nafkah lampau untuk mengabulkan atau tidaknya
tuntutan tersebut maka terlebih dahulu apakah penggugat sebagai istri
nusuz atau tidak, dalam hal ini majlis hakim telah mempertimbangkan
dalam konpensi bahwa penggugat tidak terbukti nusuz oleh karena itu
tuntutan penggugat patut di pertimbangkan
b. Menimbang bahwa sesuai fakta yang telah terurai dalam pertimbangan
hukum dalam konferensi penggugat dan tergugat mulai berpisah dan
penggugat tidak memberi nafkah sejak lebaran 2002 atau sejak bulan
desember 2002 hingga kini (November 2005) = 36 bulan, oleh karena
tuntutan penggugat patut dikabulkan yang jumlahnya akan di
pertimbangkan dengan keadaan tergugat maupun penggugat yang
mana penggugat juga sebagai PNS
43
c. Menimbang bahwa tentang tuntutan mu'tah majlis hakim menilai
bahwa tuntutan penggugat terse4but tidak berlebihan sehingga patut
dikabulkan
d. Menimbang bahwa tuntutan penggugat yang berkaitan dengan
pembagian gaji, tergugat sebagai PNS dalam hal ini majlis hakim
berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur hal
tersebut adalah sebagai aturan disiplin PNS oleh karena itu sudah
sepatutnya tentang tuntutan yang berkaitan dengan gaji tersebut
diserahkan pelaksanaannya kepada atasan PNS di tempat tergugat
bekerja
3. Putusan Hakim
a. Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya;
b. Memberi ijin kepada Pemohon (Wahyu Setyaji Ismaryanto bin
Ismono) untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon (Yulianti
Magdalena binti Salimin) dihadapan sidang Pengadilan Agama
c. Menghukum kepada Pemohon untuk membayar nafkah iddah
sebesar Rp. 1,500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah);
Dalam Rekonpensi
d. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
e. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat berupa :
f. Nafkah Lampau 35 bulan = Rp.500.000 = Rp. 17.500.000,- (tujuh
belas juta lima ratus ribu rupiah) ;
g. Uang Mut'ah sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) ;
44
h. Menetapkan sebidang tanah dan bangunan rumah diatasnya yang
terletak di Perum Pudak Payung Permai Asri Blok D No.76 Pudak
Payung Semarang dengan batas-batas:
- Sebelah Timur ; Jl. Paving Perumahan;
- Sebelah Selatan : Jalan Paving Perumahan;
- Sebelah Barat : Tanah kosong PT Wahyu Multi Prakasa
- Sebelah Utara : Tanah Kosong PT Wahyu Multi Prakarsa
Adalah sebagai harta bersama Penggugat dengan Tergugat ;
i. Menetapkan bagian masing-masing Penggugat dan Tergugat
separo bagian dari harta tersebut;
j. Menghukum kepada Penggugat dan Tergugat atau siapa saja yang
menguasai harta tersebut untuk menyerahkan kepada yang berhak
yakni Penggugat dan Tergugat, apabila tidak dapat dibagi secara
natura maka akan dijual secara pelelangan umum ;
k. Menolak selain dan selebihnya ;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi
Membebankan kepada Pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi untuk
membayar biaya perkara yang hingga kini diperhitungkan sebesar
Rp.671.000,- (enam ratus tujuh puluh satu ribu rupiah );
B. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor : 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm.
l. Identitas Para Pihak
Drs. Prasetyo bin Abdurrochim umur 43 tahun, agama Islam,
pekerjaan PNS, tempat tinggal di jl Sadewa III no 7, Kelurahan Pandrikan
45
Kidul kecamatan semarang tengah, kota semarang sebagai pemohon.
Melawan Maudy Schepper binti J.N.Schepper umur 46 tahun, agama
Islam, pekerjaan tidak ada, tempat tinggal di jalan Sadewa III No.21,
kelurahan Pandrikan Kidul, kecamatan Semarang Tengah, kota Semarang
termohon
2. Pertimbangan Hakim
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok perkaranya
terlebih dahulu dipertimbangkan tentang status pemohon sebagai Pegawai
Negeri Sipil yang menurut pasal 3 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10
tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri
sipil yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990,
untuk melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih dulu dari pejabat
Menimbang bahwa berdasarkan keterangan pemohon yang diakui
kebenarannya oleh termohon dan dikuatkan dengan kutipan akta nikah
nomor 566/13/III/1994 yang merupakan akta otentik, maka harus
dinyatakan terbukti menurut hukum bahwa pemohon dengan termohon telah
terikat dalam perkawinan yang sah sebagai suami istri sejak 26 Maret1994
Menimbang bahwa oleh karena dalil-dalil permohonan pemohon
yang berkaitan dengan alas an perceraian telah di bantah kebenarannya oleh
termohon maka sudah seharusnya pemohon dibebani untuk membuktikan
kebenaran dalil-dalil permohonannya, demikian pula sebaliknya termohon
harus dibebani untuk membuktikan kebenaran dalili-dalil bantahannya,
karena barang siapa yang mengatakan ia mempunyai suatu hak atau
46
mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk
membantah hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak itu atau
adanya perbuatan itu (pasal 163 HIR)
Menimbang bahwa oleh karena alasan-alasan tersebut antara
penggugat dan tergugat saling membantah, maka kedua belah pihak telah
mengajukan saksi-saksi yang telah memberi keterangan di bawah sumpah
Menimbang bahwa oleh karena keterangan saksi-saksi permohonan
tersebut didasarkan atas pengetahuan mereka sendiri dan keterangan mereka
saling bersesuaian serta saling mendukung satu sama lain maka keterangan
tersebut dapat dipercaya kebenarannya dan dapat dipertimbangkan
Dasar Hukum Majlis Hakim
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan majlis
hakim berpendapat bahwa rumah tangga pemohon dengan termohon telah
benar-benar pecah sehingga karenanya majlis hakim berkesimpulan bahwa
sudah cukup alasan untuk dapat mengabulkan permohonan pemohon dengan
memberikan izin kepada pemohon untuk ikrar menjatuhkan talak terhadap
termohon. Hal ini sesuai dengan pasal 19 huruf f peraturan pemerintah
nomor 9tahun 1975 Jo pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam
Menimbang bahwa nafkah iddah merupakan kewajiban yang harus
di penuhi oleh suami yang menceraikan istrinya dengan talak roj’i dan oleh
karena tidak ternyata termohon sebagai istri nusyuz, maka sudah sepatutnya
apabila pemohon dihukum untuk memberikan nafkah kepada termohon. Hal
47
ini sesuai dengan pasal 41 huruf b undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan jo.pasal 149 huruf b Kompilasi Hukum Islam.
Menimbang bahwa selain nafkah iddah sudah sepatutnya pemohon
di hukum pula untuk memberikan mut’ah kepada termohon karena
pemberian mut’ah juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
suami yang menceraikan istrinya kecuali bekas istri qobla dukhul. Hal ini
sesuai pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 149
huruf a Kompilasi Hukum Islam
Menimbang bahwa sesuai penghasilan pemohon sebagai Pegawai
Negeri Sipil golongan III/c serta batas-batas kewajaran maka majlis
berpendapat adalah layak apabila pemohon diwajibkan memberikan nafkah
iddah kepada termohon yang di perhitungkan selama 3 bulan sebesar
Rp.5.000.000,-(lima juta rupiah)
Menimbang bahwa mengenai mut’ah yang harus dibayarkan
pemohon kepada termohon, majlis hakim berpendapat bahwa kewajiban
pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menceraikan istrinya
untuk memberikan sebagian gajinya kepada istri yang telah diceraikannya
sebagaimana dimaksud pasal Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 jo.
Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 merupakan kewenangan instansi
terkait .
Menimbang bahwa oleh karena dalam perkawinan pemohon dengan
termohon telah mengangkat seorang anak perempuan yang sekarang berada
di dalam asuhan termohon, maka untuk keperluan kehidupan dan
48
pendidikan anak kepada pemohon patut pula dibebani untuk memberikan
nafkah anak kepada termohon yang diperhitungkan sekurang-kurangnya
perbulan sebesar Rp.500.000,-(lima ratus ribu rupih) dengan kenaikan 10%
pertahun sampai anakitu dewasa.
3. Putusan Hakim
a. mengabulkan permohonan pemohon
b. menetapkan memberoi izin kepada pemohon (DRS. PRASETYO bin
ABDURROCHIM) untuk ikrar menjatuhkan talak terhadap termohon
( MAUDY SCHEPPER binti J.N. SCHEPPER) dihadapan siding
pengadilan agama semarang
c. menghukum pemohon untuk memberikan kepada termohon
o nafkah iddah sebesar: Rp.5000.000,-(lima juta rupiah)
o mut’ah sebesar : Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah)
o nafkah anak perbulan minimal sebesar Rp.500.000,-(lima ratus ribu
rupiah) dengan kenaikan 10% setiap tahunnya sampai anak
tersebut dewasa
d. membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar 126.000,-(seratus dua puluh enam ribu rupiah)
C. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm
1. Identitas Para Pihak
Drs. al Zunaidi, MSI bin Achmad Saroni, pekerjaan PNS, agama
Islam, alamat jln.Tirtoyoso tengah No.41 Semarang, selanjutnya disebut
sebagai pemohon. Melawan Sri Lestari binti Parto Sudarmo, umur 45
49
tahun, pekerjaan wiraswasta, agama Islam, alamat jln.penun bukit
manyaran asri blok k 31 rt.05 rw.08, Kelurahan Manyaran, Kecamatan
Semarang Barat Kota Semarang, selanjutnya disebut sebagai termohon.
2. Pertimbangan Hakim
Menimbang bahwa majlis hakim telah berusaha mendamaikan
kepada pemohon dan termohon agar mau rukun lagi dalam satu rumah
tangga dan membina rumah tangganya menuju yang lebih baik lagi namun
tidak berhasil
Menimbang bahwa pemohon dan termohon telah mengajukan
bukti-bukti dipersidangan, selanjutnya setelah diteliti dan didengar
keteranganya majlis hakim telah menilai bahwa bukti-bukti tersebut telah
memenuhi syarat formil dan syarat minimal sehingga dapat diterima
sebagai alat bukti yang sah
Menimbang berdasarkan bukti tertulis dan keterangan saksi-saksi
dipersidangan telah ditemuka fakta-fakta yang pada pokoknya adalah
sebagai berikut:
a. Bahwa berdasarkan bukti kutipan akta nikah pemohon dan termohon
adalah pasangan suami istri sah yang menikah tahun 1997 dan kini
dikaruniai 2 (dua) orang anak
b. Bahwa pemohon dan termohon sejak kelahiran anak kedua telah
terjadi konflik dalam rumah tangga dan akhirnya terjadi pisah rumah
selama dua tahunsejak bulan januari 2006 sampai sekarang
50
Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut membuktikan
bahwa rumah tangga pemohon dan termohon telah pecah dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam satu rumah tangga, oleh karena itu
permohonan pemohon telah memenuhi alasan perceraian pasal 19 huruf f
PP No.9 tahun 1975 dan psal 116 huruf f Kompilasi Hokum Islam
Menimbang bahwa berdasarkan pertiimbangan-pertimbangan
tersebut diatas pemohon telah dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil
permohonanya sedangkan permohonan pemohon cukup beralasan dan
tidak melawan hokum oleh karena permohonan pemohon dapat
dikabulkan
Dalam Rekonpensi
Menimbang bahwa termohon pada dasarnya keberatan atas
permohonan cerai pemohon namun termohon menyadari bahwa memang
di dalam kehidupan rumah tangganya telah tidak harmonisdan tidak
mungkin dapat dipertahankan dan akhirnya termohon bersedia diseraikan
oleh pemohon dengan mengajukan beberapa tuntutan yang harus dipenuhi
oleh pemohon yaitu termohon menuntut 2/3 gaji pemohon agar diberikan
kepada kedua anaknya dan tuntutan materiil 100.000.000,-(seratus juta
rupiah ).
Dalam Konpensi dan Rekonpensi
Menimbang bahwa pemohon konpensi menuntut agar biaya yang
timbul akibat adanya perkara ini dibebankan kepada termohon konpensi
Dasar Hukum Majlis Hakim
51
Menimbang bahwa pemohon dalam mengajukan perkara ini
kedudukan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) terikat dengan peraturan
pemerintah No.10 tahun 1983 dan peraturan pemerintah No.45 tahun 1990
dan pemohon telah dapat menunjukkan surat izin untuk melakukan
perceraian dari gubernur jawa tengah dengan suratnya No.474.2/83/2007
tanggal 27 september 2007 dengan demikian pemohon telah memenuhi
aturan-aturan sebagaimana yang telah ditentukan dalam PP No.10/1983
dan PP No.45/1990
Menimbang bahwa terhadap tuntutan tersebut majlis hakim
berpendapat bahwa sesuai pasal 89 ayat (1) UU No.7 tahun 1989 yang
telah diubah dengan UU No.3 tahun 2006 tentang peradilan agama, maka
biaya perkara ini dibebankan kepada pemohon konpensi, oleh karena itu
tuntutan pemohon konpensi tersebut harus dinyatakan ditolak
Menimbang bahwa tergugat dalam jawabannya mengenai
rekonpensi telah menanggapinya yang pada pokoknya bahwa pemohon
akan memberikan 1/3gaji untuk anaknya sampai kedua anaknya menikah
Menimbang bahwa terhadap tuntutan 2/3 gaji untuk anaknya,
majlis hakim berpendapat bahwa masalah pembagian gaji tersebut adalah
merupakan kewenangan instansi dimana pemohon bekerja dan majlis
menyerahkan sepenuhya masalah ini kepada instansi tersebut untuk
menyelesaikannya.
3. Keputusan Hakim
a. mengabulkan permohonan pemohon sebagian
52
b. memberi izin kepada pemohon (DRS. AL ZUNAEDI, MSI bin
ACHMAD SARONI) untuk menjatuhkan talak satu roj’I kepada
termohon (SRI LESTARI binti PARTO SUDARMO) didepan sidang
pengadilan agama semarang.
c. Menghukum pemohon untuk memberikan kepada termohon berupa:
1) Mut’ah sebesar Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah)
2) Nafkah iddah selama 3 bulan sebesar Rp.1.800.000,-(satu juta
delapan ratus ribu rupiah)
3) Nafkah kedua orang anak setiap bulan sebesar Rp.1.000.000,-(satu
juta rupiah) sampai kedua anak itu dewasa atau mandiri.
Dalam Rekonpensi
Menolak gugatan penggugat
Dalam Konpensi dan Rekonpensi
Membebankan kepada pemohon konpensi untuk membayar biaya
perkara ini sebesar Rp.186.000,-(seratus delapan puluh enam ribu
rupiah)
53
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG TENTANG
PEMBAGIAN GAJI TERHADAP BEKAS ISTRI YANG DISERAHKAN
PADA ATASAN ATAU INSTANSI TERKAIT PASCA PERCERAIAN
Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh
putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap, artinya suatu putusan hakim
yang tidak dapat diubah lagi. Dengan putusan ini, hubungan antara kedua belah
pihak yang beperkara ditetapkan untuk selama-lamanya dengan maksud supaya,
apabila tidak ditaati secara sukarela, dipaksakan dengan bantuan alat-alat negara
(dengan kekuatan umum).1
Berdasarkan keterangan tersebut, penulis membagi dalam tiga bahasan,
pertama: Analisis terhadap putusan PA Semarang dan pertimbangan hukumnya
tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi
atau atasan, kedua: Analisis efektifitas putusan Pengadilan Agama Semarang
tentang pembagian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi
atau atasan pertimbangan hukum tentang pembagian gaji yang diserahkan kepada
instansi atau atasan.
A. Analisis terhadap Putusan PA tentang Pemberian Gaji PNS terhadap
Bekas Istri yang Diserahkan kepada Instansi Atau Atasan Terkait Pasca
Perceraian
Dari hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa
1R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta, 1982, hlm. 124.
54
yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri sengketa
atau perkaranya. Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang
dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan
hukumnya hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah
peristiwanya. Ada kemungkinannya terjadi suatu peristiwa, yang meskipun
sudah ada peraturan hukumnya, justru lain penyelesaiannya. Contohnya:
sebuah mobil tabrakan, dengan sepeda motor. Pengendara mobil dan sepeda
motor saling menyalahkan. "Saudara tidak menurut peraturan" kata yang satu.
Yang lain menjawab: "Mungkin, tetapi saya tidak dapat menurut
peraturannya. Karena perbuatan saudara saya terpaksa berbuat apa yang telah
saya lakukan". Hakim akhirnya akan menemukan kesalahan dengan menilai
peristiwa itu keseluruhannya. Di dalam peristiwa itu sendiri tersimpul
hukumnya.
Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau
sengketa setepat-tepatnya hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara
obyektif tentang duduknya perkara sebenarnya sebagai dasar putusannya dan
bukan secara a priori menemukan putusannya sedang pertimbangannya baru
kemudian dikonstruir. Peristiwa yang sebenarnya akan diketahui hakim dari
pembuktian. Jadi bukannya .putusan itu lahir dalam proses secara a priori dan
kemudian baru dikonstruksi atau direka pertimbangan pembuktiannya, tetapi
harus dipertimbangkan lebih dulu tentang terbukti tidaknya baru kemudian
sampai pada putusan.
Setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa
55
yang berarti bahwa hakim telah dapat mengconstatir peristiwa yang menjadi
sengketa, maka hakim harus menentukan peraturan hukum apakah yang
menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Ia harus menemukan
hukumnya: ia harus mengkualifisir peristiwa yang dianggapnya terbukti.
Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Soal
menemukan hukumnya adalah urusan hakim dan bukan soalnya kedua belah
pihak. Maka oleh karena itu hakim dalam mempertimbangkan putusannya
wajib karena jabatannya melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak
dikemukakan oleh para pihak (ps. 178 ayat 1 HIR, 189 ayat I Rbg).
Putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh
pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan perkara mereka dengan
sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan pengadilan tersebut, pihak-pihak yang
berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam
berperkara yang mereka hadapi.2
Di dalam pasal 28 (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman menyatakan : ” bahwasannya hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”.
Tahapan–tahapan dalam penetapan persidangan untuk diambilnya
suatu keputusan adalah sebagai berikut:
1. Tahap sidang pertama sampai anjuran untuk perdamaian
2. Tahap jawab menjawab dalam bahasa hukum disebut dengan replik duplik
2Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1998,
hlm. 191
56
3. Tahap pembuktian
4. Tahap penyusunan konklusi
5. Musyawaroh majlis hakim
6. Pengucapan keputusan hakim3
Setelah penulis meneliti dengan seksama bahwasannya putusan
perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm majlis hakim telah melakukan beberapa
tahapan dalam menangani masalah tersebut mulai dari memperdamaikan
antara kedua belah pihak yang berperkara sampai memutuskan perkara atau
putusnya perkara tersebut.
Dalam hal ini majlis hakim memutuskan perkara tentang pembagian
gaji terhadap bekas istri diserahkan pada instansi dianggap lebih baik atau
lebih efektif antara pemohon dan termohon karena yang namanya seorang
Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus disiplin hukum, maka setiap orang yang
menyandang posisi PNS tidak bisa melakukan hal seenaknya sendiri, dalam
putusan PA semarang majlis hakim tetap berpedoman pada undang-undang
yang ada yang mengatur hal tersebut.
Begitu juga dalam putusan perkara No.1135/Pdt.G/2007/PA.Sm,
putusan perkara No.1203/Pdt.G/2007/PA.Sm. majlis hakim memutuskan
perkara yang sama dan upaya hukum yang dilakukanpun juga sama.
Peranan majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus
perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm, putusan perkara
No.1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., dan No.1203/Pdt.G/2007/PA.Sm., sebagai
3Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, hlm.
129-133
57
aparat kekuasaan kehakiman pasca-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, pada prinsipnya tidak lain daripada melaksanakan
fungsi Peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dalam
menjalankan fungsi peradilan ini, majlis hakim Pengadilan Agama Semarang
yang memutus perkara tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang
diserahkan kepada instansi atau atasan menyadari sepenuhnya bahwa tugas
pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan. Sehubungan dengan
hal tersebut, dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam
mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang
sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zwachmatigheit),
dan kepastian (rechtsecherheit). Ketiga hal telah mendapat perhatian yang
seimbang secara profesional dari majlis hakim Pengadilan Agama Semarang
yang memutus perkara tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang
diserahkan kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian.
Hakim harus berusaha semaksimal mungkin agar setiap putusan yang
dijatuhkan itu mengandung asas tersebut di atas. Jangan sampai ada putusan
hakim yang justru menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam kehidupan
masyarakat, terutama bagi pencari keadilan.
Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan
kepadanya, ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Putusan itu
harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, guna mengakhiri
sengketa yang diperiksanya. Putusan hakim tersebut disusun apabila
pemeriksaan sudah selesai dan pihak-pihak yang berperkara tidak lagi
58
menyampaikan sesuatu hal kepada hakim yang memeriksa perkaranya.
Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah
dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis
maupun lisan.
Putusan itu adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara
yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang
terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara pihak yang berperkara. Dapat juga dikatakan bahwa putusan
adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi
wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa
antara pihak-pihak yang beperkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
Setiap putusan Pengadilan Agama harus dibuat oleh hakim dalam
bentuk tertulis dan ditandatangani oleh Hakim Ketua dan Hakim Anggota
yang ikut memeriksa perkara sesuai dengan penetapan Majelis Hakim yang
dibuat oleh Ketua Pengadilan Agama, serta ditandatangani pula oleh Panitera
Pengganti yang ikut sidang sesuai penetapan panitera. Apa yang diucapkan
oleh hakim dalam sidang haruslah benar-benar sama dengan apa yang tertulis,
dan apa yang dituliskan haruslah benar-benar sama dengan apa yang
diucapkan dalam sidang pengadilan.
Dalam putusan yang bersifat perdata, Pasal 178 ayat (2) HIR dan Pasal
189 ayat (2) R.Bg mewajibkan para hakim untuk mengadili semua tuntutan
sebagaimana tersebut dalam surat gugatan. Hakim dilarang menjatuhkan
59
putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut sebagaimana tersebut dalam
Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) R.Bg. Kecuali apabila hal-hal
yang tidak dituntut itu disebutkan dalam .peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sebagaimana tersebut dalam Pasal 4 Ic Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 jo. Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975dan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam.
1. Putusan Pengadilan Agama Semarang No.405/pdt.G/2005/PA.Sm,.
berisi:
a. Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya;
b. Memberi ijin kepada Pemohon (Wahyu Setyaji Ismaryanto bin
Ismono) untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon (Yulianti
Magdalena binti Salimin) dihadapan sidang Pengadilan Agama
c. Menghukum kepada Pemohon untuk membayar nafkah iddah sebesar
Rp. 1,500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah);
Dalam Rekonpensi
d. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
e. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat berupa :
f. Nafkah Lampau 35 bulan = Rp.500.000 = Rp. 17.500.000,- (tujuh
belas juta lima ratus ribu rupiah) ;
g. Uang Mut'ah sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) ;
h. Menetapkan sebidang tanah dan bangunan rumah diatasnya yang
terletak di Perum Pudak Payung Permai Asri Blok D No.76 Pudak
Payung Semarang dengan batas-batas:
- Sebelah Timur ; Jl. Paving Perumahan;
- Sebelah Selatan : Jalan Paving Perumahan;
- Sebelah Barat : Tanah kosong PT Wahyu Multi Prakasa
- Sebelah Utara : Tanah Kosong PT Wahyu Multi Prakarsa
Adalah sebagai harta bersama Penggugat dengan Tergugat ;
i. Menetapkan bagian masing-masing Penggugat dan Tergugat separo
bagian dari harta tersebut;
j. Menghukum kepada Penggugat dan Tergugat atau siapa saja yang
menguasai harta tersebut untuk menyerahkan kepada yang berhak
yakni Penggugat dan Tergugat, apabila tidak dapat dibagi secara
natura maka akan dijual secara pelelangan umum ;
k. Menolak selain dan selebihnya ;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi
60
Membebankan kepada Pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi
untuk membayar biaya perkara yang hingga kini diperhitungkan sebesar
Rp.671.000,- (enam ratus tujuh puluh satu ribu rupiah);
Majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No,
405/Pdt.G/2005/PA.Sm., telah mewajibkan kepada seorang suami memberi
nafkah lampau 35 bulan = Rp.500.000 = Rp. 17.500.000,- (tujuh belas juta
lima ratus ribu rupiah). Isi putusan ini sudah sesuai dengan peran suami.
Syari’at mewajibkan suami untuk menafkahi isterinya, karena dengan
adanya ikatan perkawinan yang sah itu seorang isteri menjadi terikat semata-
mata kepada suaminya, dan tertahan sebagai miliknya. Karena itu ia berhak
menikmatinya secara terus-menerus. Isteri wajib taat kepada suami, tinggal di
rumahnya, mengatur rumah tangganya, memelihara dan mendidik anak-
anaknya. Sebaliknya bagi suami berkewajiban memenuhi kebutuhannya, dan
memberi belanja kepadanya, selama ikatan suami isteri masih berjalan, dan
isteri tidak durhaka atau karena ada hal-hal lain yang menghalangi penerimaan
belanja.4 Oleh karena itu, apabila terjadi perceraian, suami tidak boleh
menarik kembali pemberian yang telah diberikan kepada istrinya.
Al-Qur'an dan hadis tidak menyebutkan dengan tegas kadar atau
jumlah nafkah, baik minimal atau maksimal, yang wajib diberikan suami
kepada isterinya. Hanya saja dalam al-Qur'an surat al-Thalaq:6-7 dijelaskan:
�������� � ��������� ����������� ���� ���������� ��� ��� �!" �#��$ ���� ���� � �!�"�% ��&'���% ()�*�+ ������,$ ��&�- .��$ �������� � ���/0�1�+ 23�,$ �4�����% ���� )�5� �6�� �7�'�8��9�+ �����8"�&� )�5� 2:��8�&,�; ��! ��; ���8�,�(%� ����� ���% ���� ��<�+ ���!��
4Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turast, tth, hlm. 229.
61
=8�>�%}@ { �B��C ��,�� �D�/ ��(�+ �6�E�F�� �6���� ����E ��� �6��&" ��� 2G&" ��H �D�/ ����� �I��5 J�9(/0 �6I�� �KL�!�- ��� �6I��J�8�9�- 28�9�� ��&; �6I�� �3&�M�" ����C �
Artinya: Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan mereka. Dan jika mereka itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika mereka menyusukan mu untukmu maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan
lain boleh menyusukan untuknya. Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.
Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (QS
al-Thalaq: 6 – 7).5
Ayat di atas memberikan gambaran umum, bahwa nafkah itu diberikan
kepada isteri menurut yang patut, dalam arti cukup untuk keperluan isteri dan
sesuai pula dengan penghasilan suami. Karena itu jumlah nafkah yang
diberikan hendaklah sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan suami,
apalagi menimbulkan mudarat baginya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
jumlah nafkah itu juga harus disesuaikan dengan kedudukan isteri.6
Karena itu kemudian timbul perbedaan pendapat tentang kriteria
nafkah wajib yang harus diberikan suami kepada istrinya. Imam Syafi'i
menetapkan bahwa setiap hari, suami yang mampu, wajib membayar nafkah
sebanyak 2 mudd (1.350 gram gandum/beras), suami yang kondisinya
5Depag RI, Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 946 6Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, jilid II, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Waqaf, 1995, hlm.
145.
62
menengah 1,5 mudd dan suami yang tidak mampu wajib membayarkan
sebanyak 1 mudd (1,5 kg gram).7
Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan
berdasarkan ketentuan syara, tetapi berdasarkan keadaan suami-istri kedua-
duanya, karena untuk menjaga kepentingan bersama, dan ini akan berbeda-
beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan.
Silang pendapat ini disebabkan karena ketidakjelasan nafkah, apakah
disamakan dengan pemberian makan dalam kafarat8 atau dengan pemberian
pakaian. Karena fuqaha sependapat bahwa pemberian pakaian itu tidak ada
batasnya, sedang pemberian makanan itu ada batasnya.9
UU Perkawinan secara khusus tidak membicarakan masalah nafkah,
namun apa yang dituntut ulama fiqh berkenaan dengan nafkah tersebut telah
diakomodir UU Perkawinan yang tercakup dalam hak dan kewajiban suami
istri. KHI juga tidak secara spesifik membicarakan nafkah. KHI secara
panjang lebar mengatur hak dan kewajiban suami istri yang menguatkan,
menegaskan, dan merinci apa yang dikehendaki oleh UU Perkawinan. Hampir
keseluruhan aturan dalam KHI itu yang termuat dalam Pasal 77 sampai
7Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Juz V, Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, tth, hlm. 95 8Kifarat adalah bentuk sighah mubalaghah dari kata al-kufru yang berarti al-sitru
(penutup). Yang dimaksud di sini adalah segala bentuk pekerjaan yang dapat mengampuni dan
menutupi dosa sehingga tidak meninggalkan pengaruh/bekas yang menyebabkan adanya sanksi di
dunia dan di akhirat. TM. Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan kifarat berarti menutup sesuatu, yang
dikeluarkan atau diberikan untuk menutup dosa, seperti memerdekakan budak dan lain-lain (Lihat
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
hlm. 507-508. Lihat juga TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1999, hlm 234). 9Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 41
63
dengan 82 mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang pada umumnya mengikuti
paham jumhur ulama khususnya al-Syafi'iyah secara lengkap sebagai berikut:
Bagian Kesatu
Umum:
Pasal 77
(1) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat
(2) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberikan bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.
(3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya, dan pendidikan agamanya.
(4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
(5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
Pasal 78
(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami
istri bersama.
Bagian Kedua
Kedudukan Suami Istri
Pasal79
(1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Bagian Ketiga
Kewajiban Suami
64
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami istri bersama.
(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan kesempatan
belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan
bangsa.
(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi anak
dan istri; dan
c. biaya pendidikan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada Ayat (4) huruf a
dan b di atas mulai berlaku sesudah adanya tamkin sempurna dari istrinya.
(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada Ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud Ayat (5) gugur apabila istri
nusyuz.
Bagian Keempat
Tempat Kediaman
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya
atau bekas istri yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama
dalam ikatan perkawinan atau dalam iddah talak atau wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dari mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya baik
berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
65
2. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor:
1135/Pdt.G/2007/PA.Sm
a. mengabulkan permohonan pemohon
b. menetapkan memberoi izin kepada pemohon (DRS. PRASETYO bin
ABDURROCHIM) untuk ikrar menjatuhkan talak terhadap termohon
( MAUDY SCHEPPER binti J.N. SCHEPPER) dihadapan siding
pengadilan agama semarang
c. menghukum pemohon untuk memberikan kepada termohon
o nafkah iddah sebesar: Rp.5000.000,-(lima juta rupiah)
o mut’ah sebesar : Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah)
o nafkah anak perbulan minimal sebesar Rp.500.000,-(lima ratus ribu
rupiah) dengan kenaikan 10% setiap tahunnya sampai anak
tersebut dewasa
d. membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar 126.000,-(seratus dua puluh enam ribu rupiah).
Majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara
No.1135/Pdt,G/2007/PA.Sm., telah menetapkan kewajiban pada suami untuk
memberi nafkah pada anak perbulan minimal sebesar Rp.500.000,-(lima ratus
ribu rupiah) dengan kenaikan 10% setiap tahunnya sampai anak tersebut
dewasa. Putusan ini sesuai dengan kewajiban seorang ayah dalam memelihara
anak.
Perceraian itu dibolehkan manakala ada alasan yang kuat dan
dibenarkan syara. Namun masalahnya jika suami istri yang bercerai memiliki
anak, siapakah yang berhak memelihara anak itu dan siapakah yang wajib
memberi nafkah pada anak itu serta adakah sanksi hukum bagi pihak yang
tidak memberi nafkah.
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan hadânah. Secara
etimologis, hadânah ini berarti di samping atau berada di bawah ketiak.
Sedangkan secara terminologisnya, hadânah merawat dan mendidik seseorang
66
yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka
tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.10
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya
adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan
perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk
membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat al-Baqarah (2) ayat
233:
�G��'�8�� �����- )�% N���% ��,�� ���������� ������� $ ����N�O���% ��&�'�8�- �4����� (��� ��&�"�� IO�5 PQ(/0 �KI�!�� �O �:��8�&,(���; ������ �9��� �����E�F�� �6�� �N ��� ,(�� .���
� � �O� ������ �; RS����� ��<��� �O ()�*�+ T���H �3(U�� �V��� (�� .��� �B���� �; �6I� PN �� )�% ����N��% ()�5� �,������ W� �� �X�+ 2����Y�� �,��� �� 2Z�8� �� JO�[�+ �N���%
,(���; ������C ��� ����,I" ��H�5 ���!���� W� �� �X�+ ����N�O���% (� �&�'�8��9� �:��8�& P\�[; �) �,�&� �,�; 6]�� I)�% (� �,����� 6]�� (� ������}^__{) S8�`�� :^__(
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan (QS. al-Baqarah: 233).11
10Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997, hlm. 415. 11Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Departemen Agama 1986, hlm. 57.
67
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku
selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga
berlanjut setelah terjadinya perceraian.12
Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadânah, mendidik dan
merawat anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah hadânah ini
menjadi hak orangtua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama mazhab Hanafi
dan Maliki misalnya berpendapat bahwa hak hadânah itu menjadi hak ibu
sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut jumhur ulama,
hadânah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut
Wahbah al-Zuhaily, hak hadanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan
anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau
kepentingan si anak.13
Hadânah yang dimaksud dalam diskursus ini adalah kewajiban orang
tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya.
Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu
yang menjadi kebutuhan pokok si anak.14
Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab
orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta
mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya,
tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta
pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut
12Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2006, hlm. 328. 13 Ibid., 14Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1977,
hlm. 235.
68
mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu
berdiri sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah kewajiban orang
tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak
tersebut menjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup
yang dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan
bakat anak tersebut yang akan dikembangkannya di tengah-tengah masyarakat
Indonesia sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah ia lepas dari
tanggung jawab orang tua.15
Dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan:
Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua
belas) tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayah.
Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak bagi ibu
untuk memeliharanya, sedangkan apabila anak tersebut sudah mumayyiz, ia
dapat memilih antara ayah atau ibunya untuk bertindak sebagai
pemeliharanya.
3. Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor
1203/Pdt.G/2007/PA.Sm
a. mengabulkan permohonan pemohon sebagian
b. memberi izin kepada pemohon (DRS. AL ZUNAEDI, MSI bin
ACHMAD SARONI) untuk menjatuhkan talak satu roj’i kepada
15Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 263.
69
termohon (SRI LESTARI binti PARTO SUDARMO) didepan sidang
pengadilan agama semarang.
c. Menghukum pemohon untuk memberikan kepada termohon berupa:
a. Mut’ah sebesar Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah)
b. Nafkah iddah selama 3 bulan sebesar Rp.1.800.000,-(satu juta
delapan ratus ribu rupiah)
c. Nafkah kedua orang anak setiap bulan sebesar Rp.1.000.000,-(satu
juta rupiah) sampai kedua anak itu dewasa atau mandiri.
Dalam Rekonpensi
Menolak gugatan penggugat
Dalam Konpensi dan Rekonpensi
Membebankan kepada pemohon konpensi untuk membayar biaya perkara
ini sebesar Rp.186.000,-(seratus delapan puluh enam ribu rupiah)
Majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara
Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm., telah menetapkan kepada suami untuk
memberi mut'ah sebesar RP. 20.000.000.,-(dua puluh juta rupiah).
Dalam hukum Islam, apabila apabila suami menceraikan istrinya,
maka itu berarti inisiatif perceraian datangnya dari suami yang kemudian
disebut talaq. Karena perceraian itu atas kehendak suami maka suami
memberi mut'ah yaitu pemberian barang kenangan-kenangan pada istri yang
dicerai.
Mengenai hukumnya mut'ah ini terdapat perbedaan pendapat. Jumhur
fuqaha berpendapat bahwa pemberian untuk menyenangkan hati istri (mut'ah)
tidak diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai. Fuqaha Zhahiri berpendapat
bahwa mut'ah wajib untuk setiap istri yang dicerai. Segolongan fuqaha
berpendapat bahwa mut'ah hanya disunatkan, tidak diwajibkan. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh Malik. Abu Hanifah berpendapat bahwa mut'ah
70
diwajibkan untuk setiap wanita yang dicerai sebelum digauli, sedang suami
belum menentukan maskawin untuknya.16
Imam Syafi'i berpendapat bahwa mut'ah diwajibkan untuk setiap istri
yang dicerai manakala pemutusan perkawinan datang dari pihak suami,
kecuali istri yang telah ditentukan maskawin untuknya dan dicerai sebelum
digauli. Jumhur ulama juga memegangi pendapat ini.17
Abu Hanifah beralasan
dengan firman Allah:
�̀�E ��� ���� �,��(�I�c ���d �4� ���e�,(�� �����f�!0 ��H�5 � � �C �-�gI�� ���-�% �- )�% �3 J�$�8" ���� �$�8"� ���� �&��,�+ ��0�����&� 2S���� ���� �������� ���!�� �,�+ ���� �9,�
JX��,�)i�j$k� :lm( Artinya: orang-orang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
menggaulinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut'ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya."
(QS. al-Ahzab: 49).18
Maka Allah mensyaratkan mut'ah diberikan pada istri yang belum di-
dukhul. Allah berfirman:
�� �K�[� �+ JG�-�8�+ ������ �����'8�+ ���E� ���� �9,� )�% �3�̀�E ��� ���� �,��(�I�c )�5� �����'8�+)S8�`�� :^_n(
Artinya: Jika kamu menceraikan istri-istri sebelum kamu menggauli mereka,
padahal kamu telah menentukan maskawin bagi mereka, maka
bayarlah separuh dari maskawin yang telah kamu tentukan itu." (QS.
al-Baqarah: 237).19
16 Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 73. 17 Ibid., hlm. 74. 18 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 672. 19 Ibid., hlm. 58.
71
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa istri tidak memperoleh mut'ah
apabila telah ada penentuan maskawin dan talak terjadi sebelum ada
pergaulan. Sebab, apabila pemberian maskawin untuk istri tidak wajib, tentu
pemberian mut'ah untuknya lebih tidak wajib lagi.
Menurut Ibnu Rusyd, pendapat ini sungguh membingungkan karena
apabila maskawin belum ditetapkan untuknya, maka ditetapkanlah mut'ah
sebagai penggantinya, dan apabila separuh maskawin dikembalikan dari
tangan istri, maka tidak ditetapkan sesuatu pun untuknya.20
Mengenai firman Allah:
�B�����E �8��(��,(�� .��� �B����E �7�" �,(�� .�� ���� �&����)S8�`�� :^_@( Artinya: Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula)." (QS. al-Baqarah: 236).21
Imam Syafi'i mengartikan perintah tentang mut'ah pada ayat ini
kepada keumuman orang perempuan yang ditalak, kecuali orang perempuan
yang telah ditetapkan maskawinnya dan diceraikan sebelum digauli.
Sedangkan fuqaha Zhahiri mengartikan perintah memberikan mut'ah itu
kepada keumumannya. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang perempuan
yang memperoleh khulu' tidak memperoleh mut'ah, karena kedudukannya
sebagai pihak yang memberi, seperti halnya wanita yang ditalak sebelum
digauli sesudah ada penentuan maskawin.
Dalam pada itu, fuqaha Zhahiri mengatakan bahwa khulu' adalah
aturan syara', itu bisa yang memperoleh dan bisa memberi. Dalam
20 Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 74. 21 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 58.
72
mengartikan perintah memberikan mut'ah itu "sunah". Malik beralasan dengan
firman Allah pada akhir ayat tersebut, yaitu:
o� �9�f�,(�� .�� J�]�$)S8�`�� :^_@(
Artinya: Yang demikian itu merupakan ketentuan (kewajiban) bagi orang-
orang yang berbuat kebajikan." (QS. al-Baqarah: 236).22
Yakni bagi orang yang bermurah hati dalam berbuat baik, dan sesuatu
hal yang termasuk dalam urusan kemurahan dan kebaikan hati tidak termasuk
perkara yang wajib.
Dalam Pasal 1 butir (i) Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditegaskan,
mut'ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang dijatuhi talaq berupa
benda atau uang dan lainnya. Dalam Pasal 158 KHI dinyatakan, Mut'ah wajib
diberikan oleh bekas suami dengan syarat: (a) belum ditetapkan mahar bagi
istri ba'da al-dukhul; (b) perceraian itu atas kehendak suami. Jika syarat ini
tidak dipenuhi maka mut'ah sunnat diberikan oleh bekas suami (Pasal 159
KHI). Besarnya mut'ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami
(Pasal 160 KHI).
Berdasarkan keterangan tersebut, maka perceraian dengan memberi
mut'ah ini tidak memberatkan suami karena disesuaikan dengan kemampuan
suami.
22 Ibid.,
73
B. Analisis Efektifitas Putusan Pengadilan Agama Semarang tentang
Pembagian Gaji PNS terhadap Bekas Istri yang Diserahkan Kepada
Instansi atau Atasan Terkait Pasca Perceraian
Sebagaimana penulis paparkan sebelumnya pertimbangan-
pertimbangan yang digunakan majlis hakim dalam menetapkan putusan
perkara tersebut diatas maka penulis akan memaparkan atau menganalisis
pertimbangan hakim yang digunakan majlis hakim tentang pembagian gaji
yang diserahkan pada instansi.
Mengingat bahwa seorang pegawai negeri sipil (PNS) apabila
melakukan perceraian dia sudah atau harus minta izin dengan atasan dimana
dia bekerja, dan apabila perceraian itu terjadi atas kehendak pegawai negeri
sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan
bekas istri dan anak-anaknya. Pembagian gaji yang dimaksud ialah sepertiga
untuk pria (suami), sepertiga untuk bekas istri dan sepertiga untuk anak kalau
memang mempunyai anak. Jika tidak memiliki anak maka istri mendapatkan
bagian setengah. Lain halnya apabila yang meminta cerai adalah dari pihak
istri, maka istri tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.
Akan tetapi apabila alasan istri meminta cerai karena tidak bersedia dimadu
maka istri bisa meminta bagian gaji dari suami.23
Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 yang
tersebut diatas maka pegawai negeri sipil tidak bisa seenaknya sendiri
misalnya dalam hal perceraian. Jadi pertimbangan majlis hakim dalam hal
pembagian gaji diserahkan pada instansi atau atasan karena yang lebih
23Wipress, Peraturan pemerintah tentang PNS,wacana intelektual,2007, hlm.336-337
74
berwenang adalah atasan atau instansi terkait pasca perceraian mengingat
sudah ada peraturannya sendiri bukan majlis hakim.
Putusan Hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara
No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm, putusan perkara No.l 135/Pdt.G/2007/PA.Sm.,
dan No.l203/Pdt.G/2007/PA.Sm., inti pertimbangannya menyatakan bahwa
majlis hakim berpendapat bahwa masalah pembagian gaji tersebut adalah
merupakan kewenangan instansi dimana pemohon bekerja dan majlis
menyerahkan sepenuhya masalah ini kepada instansi tersebut untuk
menyelesaikannya.
Pertimbangan ini menunjukkan bahwa majlis Hakim Pengadilan
Agama Semarang tidak bersifat sombong meskipun tahu akan hukumnya
namun majlis menyadari bahwa tentang penyelesaian pembagian gaji pegawai
negeri sipil terhadap bekas istri lebih tepat diserahkan pada atasan atau
instansi terkait. Dari sini tampak bahwa majlis hakim sungguh-sungguh
menghargai dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat.
Dalam pertimbangan hukum ini majlis hakim Pengadilan Agama
Semarang yang memutus perkara No. 405/Pdt.G/2005/PA.Sm, putusan
perkara No.l 135/Pdt.G/2007/PA.Sm, dan No.l203/Pdt.G/2007/PA.Sm.,
tampak telah mempertimbangkan dalil pemohon, bantahan, atau eksepsi dari
termohon, serta dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada. Dari
pertimbangan hukum hakim menarik kesimpulan tentang terbukti atau
tidaknya gugatan itu. Di sinilah argumentasi majlis Hakim Pengadilan Agama
75
Semarang dipertaruhkan dalam mengonstatir segala peristiwa yang terjadi
selama persidangan berlangsung.
Setelah hal-hal tersebut di atas dipertimbangkan satu per satu secara
kronologis, kemudian majlis Hakim Pengadilah Agama Semarang menulis
dalil-dalil hukum syara' yang menjadi sandaran pertimbangannya. Demikian
pula dalil yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadis, pendapat para ulama
yang termuat dalam kitab-kitab fiqh. Dalil-dalil tersebut disinkronkan satu
dengan yang lain sehingga ada hubungan hukum dengan perkara yang
disidangkan. Dalam pertimbangan hukum juga dimuat pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dari putusan itu.
Menurut keterangan Bapak Wahyu Setiaji Ismaryanto sebagai
pemohon perkara No.405/pdt.G/2005/PA.Sm., menyatakan: "Putusan
Pengadilan Agama Semarang yang menyerahkan pembagian gaji PNS
terhadap bekas istrinya kepada atasan/instansi terkait pasca perceraian itu
sudah tepat".24
Keterangan Bapak Wahyu Setiaji Ismaryanto di .atas menunjukkan
Pengadilan Agama Semarang telah membuat putusan yang sesuai dengan
keinginan pihak termohon dan pemohon. Dengan kata lain pemohon dan
termohon tidak merasa dirugikan khususnya dalam aspek pembagian gaji
Menurut Ibu Yulianti Magdalena sebagai termohon perkara
No.405/pdt.G/2005/PA.Sm., bahwa gaji suami PNS tersebut dipotong.25
24 Wawancara dengan Bapak Wahyu Setiaji Ismaryanto sebagai pemohon perkara
No.405/pdt.G/2005/PA.Sm 05/pdt.G/2005/PA.Sm., tgl 8 Januari 2009. 25 Wawancara dengan Ibu Yulianti Magdalena sebagai termohon perkara
No.405/pdt.G/2005/PA.Sm., tgl 9 Januari 2009
76
Pernyataan Ibu Yulianti Magdalena menganggap bahwa putusan
Pengadilan Agama Semarang dapat memberi kepastian hukum sehingga
termohon merasa dilindungi hukum terhadap hak-haknya sebagai mantan
seorang istri.
Keterangan dari bapak Drs. Prasetyo bin Abdurrochim sebagai
pemohon perkara Nomor : 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., menuturkan: "saya
sebagai PNS setuju dengan kebijakan instansi/atasan.26
Kebijakan instansi atau atasan yang bersifat adil dan tidak
memberatkan sebelah pihak telah ditempuh instansi atau atasan Dirjen Pajak
Jateng I, hal ini sebagaimana dikatakan salah seorang pegawai bagian Humas
Dirjen Pajak Jateng I bahwa instansi telah mengambil kebijakan yang
proposional dengan melihat dari berbagai aspek. Misalkan dilihat dari PNS
tersebut telah berani bercerai dengan istri padahal dia notabenenya sebagai
seorang PNS yang seharusnya dia disiplin hukum maka dia harus menerima
konskensinya yaitu sesuai dengan undang-undang no 10 tahun 1983 yaitu
tentang pembagian 1/3 gaji PNS terhadap bekas istri. Dengan adanya
peraturan tersebut hak-hak istri terlindungi.
Maudy Schepper binti J.N.Schepper sebagai termohon perkara Nomor:
1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., dalam penuturannya menyatakan bahwa mantan
suami saya sebagai PNS telah melaksanakan dengan baik pembagian gaji
terhadap bekas istrinya.27
Drs. al Zunaidi, MSI bin Achmad Saroni sebagai
26 Wawancara dengan bapak Drs. Prasetyo bin Abdurrochim sebagai pemohon
perkara Nomor: 1135/Pdt.G/2007/PA,Sm., tgl 10 Januari 2009 27Wawancara dengan Ibu Maudy Schepper binti J.N.Schepper sebagai termohon
perkara Nomor: 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm.,tgl 11 Januari 2009
77
pemohon perkara Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm menerangkan bahwa
"putusan Pengadilan Agama Semarang yang menyerahkan pembagian gaji
PNS terhadap bekas istrinya kepada atasan/instansi terkait itu sudah tepat".28
Sri Lestari binti Parto Sudarmo sebagai Termohon perkara Nomor
1203/Pdt.G/2007/PA.Sm.. i-nenjelaskan bahwa gaji suami PNS tersebut
dipotong.29
Apabila memperhatikan perkara sebagaimana yang telah disebutkan
diatas dalam hal ini putusan Pengadilan Agama Semarang dapat dijelaskan
bahwa Pengadilan Agama Semarang telah mengambil putusan yang bukan
saja mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum tetapi juga putusan itu
mencerminkan sikap arifdan bijaksana. Karena Pengadilan Agama Semarang
telah memberi dan melimpahakan masalah pembagian gaji kepada instansi
atau atasan PNS itu bekerja. Tidak adanya sikap arogansi Pengadilan Agama
Semarang mengandung arti majlis hakim menyadari akan wewenang dan
pengetahuannya di bidang masalah pembagian gaji.
Kenyataan menunjukkan tidak sedikit pengadilan yang merasa dirinya
memiliki wewenang yang luas apalagi ada semboyan "hakim tahu akan
hukumnya", sering kali pengadilan bersikap congkak dalam memutus perkara
dengan hanya bertumpu pada undang-undang dan bersifat kaku tanpa
memperdulikan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam
28Wawancara dengan Bapak Drs. al Zunaidi, MS1 bin Achmad Saroni sebagai
pemohon perkara Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm., tgl 12 Januari 2009 29 Wawancara dengan Ibu Sri Lestari binti Parto Sudarmo sebagai Termohon perkara
Nomor 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm., tgl 13 Januari 2009
78
masyarakat. Berdasarkan hal itu kearifan Majlis Hakim Pengadilan Agama
Semarang dapat dijadikan contoh atau setidaknya dapat dijadikan studi
banding oleh pengadilan lainnya guna mendapatkan apresiasi dari masyarakat
khususnya para pencari keadilan.
Berdasarkan uraian di atas jika dikaitkan dengan kaidah fiqh/ushul
fiqh, maka penyelesaian pembagian gaji pegawai negeri sipil terhadap bekas
istri lebih diserahkan pada atasan atau instansi terkait pasca perceraian
menjadi petunjuk bahwa majlis Hakim Pengadilan Agama Semarang sangat
menghargai adat kebiasaan yang berkembang antara instansi pemerintah.
Sedangkan adat kebiasaan itu boleh saja menjadi hukum, hal ini sesuai dengan
kaidah fiqh sebagai berikut:
RG,I!f�� �SN�&�� Artinya: Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
� �8�!� �- �O�G �!���1(��� �G ���Fpk(� �8��q��; �r��!�$�1(�� �8��q Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan
zaman dan tempat
��(�,�&�8���:�� �8J+�� �(��,�Y�8���st �8Jc� Artinya: Yang baik itu menjadi 'urf, sebagaimana yang disyaratkan itu
menjadi syarat
u�v� ���; �w��;�IU���� �:�8�&(���; �w�;�IU�� Artinya: Yang ditetapkan melalui 'urf sama dengan yang ditetapkan
melalui nash (ayat dan atau hadits).
79
�+ �6�� �x�;�' �O� �J��(y�� �z�8�Y(�� �6�; N�� �� {3�� .���� �6���+ �7���8- �Gq{�� .�+ �O� �6���:�8�&(��
Artinya: Setiap yang datang dengannya syara secara mutlak, dan tidak
ada ukurannya dalam syara 'maupun dalam bahasa, maka
dikembalikanlah kepada 'urf.
�:�8�&���8�>�1���� �)���N �D�;��9(�� �)������,(�� �� �,�0�� �|��/(��O� �6���� �3�,�f� =�gI��
Artinya: 'urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan
hukum) hanyalah yang datang beriringan atau mendahului
dan bukan yang datang kemudian.
Pertimbangan ini menunjukkan bahwa majlis Hakim Pengadilan
Agama Semarang tidak bersifat sombong meskipun tahu akan hukumnya
namun majlis menyadari bahwa tentang penyelesaian pembagian gaji pegawai
negeri sipil terhadap bekas istri lebih tepat diserahkan pada atasan atau
instansi terkait. Dari sini tampak bahwa majlis hakim sungguh-sungguh
menghargai dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, maka selanjutnya penulis akan
memberikan kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan dalam skripsi ini:
1. Majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No.
405/Pdt.G/2005/PA.Sm., telah mewajibkan kepada seorang, suami
memberi nafl<ah lampau 35 bulan = Rp.500.000 = Rp. 17.500.000,-
(tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah). Isi putusan ini sudah sesuai
dengan peran suami sebagai kepala keluarga berkewajiban memberi
nafkah, karena nafkah merupakan bagian hak istri yang harus dipenuhi
seorang suami. Majlis hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus
perkara No. 1135/Pdt.G/2007/PA.Sm., telah menetapkan kewajiban pada
suami untuk memberi nafkah pada anak perbulan minimal sebesar
Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dengan kenaikan 10% setiap
tahunnya sampai anak tersebut dewasa. Putusan ini sesuai dengan
kewajiban seorang ayah dalam memelihara anak. Majlis hakim Pengadilan
Agama Semarang yang memutus perkara No. 1203/Pdt.G/2007/PA.Sm.,
telah menetapkan kepada suami untuk memberi mut'ah sebesar
Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah). Dalam hukum Islam, apabila
apabila suami menceraikan istrinya, maka itu berarti inisiatif perceraian
datangnya dari suami yang kemudian disebut talaq. Karena perceraian itu
81
atas kehendak suami maka suami memberi mut'ah yaitu pemberian barang
kenangan-kenangan pada istri yang dicerai.
2. Putusan Hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutus perkara No.
405/Pdt.G/2005/PA.Sm, putusan perkara No.l 135/Pdt.G/2007/PA.Sm.,
dan No.l203/Pdt.G/2007/PA.Sm., inti pertimbangannya menyatakan
bahwa majlis hakim berpendapat bahwa masalah pembagian gaji tersebut
adalah merupakan kewenangan instansi dimana pemohon bekerja dan
majlis menyerahkan sepenuhya masalah ini kepada instansi tersebut,
untuk menyelesaikannya. Pertimbangan ini menunjukkan bahwa majlis
Hakim Pengadilan Agama Semarang tidak bersifat sombong meskipun
tahu akan hukumnya namun majlis menyadari bahwa tentang penyelesaian
pembagian gaji pegawai negeri sipil terhadap bekas istri lebih tepat
diserahkan pada atasan atau instansi terkait. Dari sini tampak bahwa
majlis hakim sungguh-sungguh menghargai dan menggali nilai-nilai
hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
B. Saran
Setelah penulis paparkan dari awal sampai akhir perkenankanlah penulis
menyampaikan saran-saran, yaitu sebagai berikut:
1. Seorang hakim harus mempunyai dasar dalam hal memutuskan perkara
2. Hakim harus mempunyai sifat netral agar antara kedua belah pihak merasa
tidak dirugikan
3. Dalam memutuskan perkara hakim harus benar-benar memahami
permasalahan yang ada
82
4. Apabila hakim dalam memutuskan perkara mengalami kebingungan, maka
hakim dianjurkan melakukan ijtihad atau musyawarah majlis hakim untuk
mengambil jalan yang terbaik.
C. Penutup
Syukur alkhamdulillah penulis panjatkan kehadirat allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayahnya kepada penulis
sehingga penulis bisa menyusun skripsi ini. Penulis sadar akan kekurangan
dan kelemahan dalam penyusunan skripsi tersebut maka penulis mohon kritik
dan saran pada pembaca yang budiman demi kesempurnaan skripsi tersebut.
Penulis berdo’a dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan pada pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, Ibrahim, Principles of Marriage Family Ethics, terj. Alwiyah
Abdurrahman, "Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri",
Bandung: al-Bayan, 1999.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
Rineka Cipta, 1998.
Audah, Abduk Kadir, Islam dan Perundang-Undangan, Jakarta: PT.Bulan
Bintang tt.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, UUI Press, Yogyakarta, 1999.
Bukhari, Imam, Sahih al-Bukhari, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.
Effendy, Pokok-Pokok Hukum Adat Jilid II, Semarang: Triadan jaya, 1994.
Hakim, Rahmat, Hukum Pernikahan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang
Pernikahan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978.
Harun, Harmon, Himpunan UU Kepegawaian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002-2004.
Hussaini, Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayah Al Akhyar,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth.
Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar
Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986.
Jaziri, Abdurrrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut:
Dar al-Fikr, 1972.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
1998.
Moloeng, Lexy j., Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet.IV, Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur
Bandung, 1981.
Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth.
Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994.
Saleh, K. Wancik, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982.
Santoso, Aman, Metode Penelitian Hukum Normative dan Sosiologis dengan
Analisa Kualitatif, Semarang: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945, 2003.
Soekanto, Soerjono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:UI Press, 1982.
Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta, 1982.
Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981.
Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: CV. Rajawali, 1999.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada
Media, 2006.
Syaukani, Imam, Nail al–Autar, Juz IV, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, tth.
Uwaidah, Syekh Kamil Muhammad, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul
Ghofar, " Fiqih Wanita", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.
Wipress, Peraturan pemerintah tentang PNS,wacana intelektual,2007.
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya
Agung, Cet. 12, 1990.
--------, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973.