Upload
volien
View
238
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
TERHADAP PELAKU ANAK
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg)
SKRIPSI
Oleh:
IRMA RAHMAHWATI
E1A009132
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
TERHADAP PELAKU ANAK
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg)
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Oleh:
IRMA RAHMAHWATI
E1A009132
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
ii
iii
iv
MOTTO
Ketahuilah Oleh mu..
Jika kau merasa lelah dan tak berdaya dari usaha yang sepertinya sia-sia... Allah SWT tahu betapa keras engkau sudah berusaha.
Ketika kau sudah menangis sekian lama dan hatimu masih terasa pedih.. Allah SWT sudah menghitung air matamu.
Ketika kau fikir bahwa hidupmu sedang menunggu sesuatu dan waktu serasa berjalan begitu saja.. Allah SWT sedang menunggu bersamamu.
Ketika kau berfikir bahwa kau sudah mencoba segalanya dan tidak tahu hendak berbuat apa lagi... Allah SWT sudah punya jawabannya.
Ketika segala sesuatu menjadi tidak masuk akal dan kau merasa tertekan.. Allah SWT dapat menenangkanmu.
Ketika kau merasa sendirian dan teman-temanmu terlalu sibuk untuk menelpon.. Allah SWT selalu berada disampingmu.
Ketika kau mendambakan sebuah cinta sejati yang tak kunjung datang... Allah SWT mempunyai Cinta dan Kasih yang lebih besar dari segalanya dan
Dia telah menciptakan seseorang yang akan menjadi pasangan hidupmu kelak. Ketika kau merasa bahwa kau mencintai seseorang, namun kau tahu cintamu tak terbalas..
Allah SWT tahu apa yang ada di depanmu dan Dia sedang mempersiapkan segala yang terbaik untukmu. Ketika kau merasa telah dikhianati dan dikecewakan..
Allah SWT dapat menyembuhkan lukamu dan membuatmu tersenyum. Jika tiba-tiba kau dapat melihat jejak -jejak harapan.
Allah SWT sedang berbisik kepadamu. Ketika segala sesuatu berjalan lancar dan kau merasa ingin mengucap syukur..
Allah SWT telah memberkatimu. Ketika sesuatu yang indah terjadi dan kau dipenuhi ketakjuban..
Allah SWT telah tersenyum padamu. Ketika kau memiliki tujuan untuk dipenuhi dan mimpi untuk digenapi.. Allah SWT sudah membuka matamu dan memanggilmu dengan namamu.
Ingat dimanapun kau atau kemanapun kau menghadap.. Allah SWT tahu..
Jika kau merasa diberkati dengan kata-kata ini, sampaikanlah kepada orang yang kamu sayangi!
Dari Abdullah bin ‘Amr r.a, Rasulullah s.a.w bersabda, “Sampaikanlah pesanku biarpun satu ayat..”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
ALLOH SWT yang telah memberikan saia banyak kenikmatan yang tiada henti-hentinya,,, yang telah memberikan rasa sabar kepada saia,, yang selalu mempermudah jalan saia ,,, yang selalu memberikan keajaiban dan keberuntungan kepada saia... yang selalu memberik an apa yang terbaik untuk saia..
Nabi Muhammad SAW ,,, yang selalu mengingat umatnya, yang selalu memperdulikan umatnya,,, yang selalu memikirkan umatnya,,, yang selalu menginginkan yang terbaik untuk umatnya.............
Mamah saia yang selalu mendoakan anak terakhirnya ini menjadi orang yang sukses,,, yang selalu memberikan saia semangat,, yang selalu mendengar semua keluh kesah saia,, yang selalu sabar sama anak bungsunya yang keras kepala ini,,,,
Babeh saia yang telah memberikan dukungan ,, yang selalu berusaha memberikan kebutuhan kuliah saia,, dan yang pastinya selalu menginginkan anaknya sukses...
kakak saia mba Rahayu,, yang selalu mendukung saia ,,, memberikan dorongan agar saia menjadi orang yang sukses ,,, menjadi orang yang pintar melebihinya,,,, selalu memberikan kebutuhan kuliah saia juga,, tapi maaf mba,, otak saia masih dibawah mba... kakak saia satu lagi mba Ida,, yang juga selalu mendukung saia, abah Naufal, kedua keponakan saia Naufal dan Havid... dan om Heri yang selalu memberikan dukungan sera Almarhum Mbah saia yang selalu menginginkan cucu-cucunya menjadi orang yang sukses,,, dan seluruh keluarga besar Ahmad Suhemi terima kasih semuanya....
Ebink,,,, yang menjadi penyemangat saia,,, dan karenamu saia percaya diri untuk jalani hidup yang penuh rintangan ini,, terimakasih telah hadir dalam hidup saia,,, I Miss you ☺
Bongkrekan : Ian ,, yang selalu memberikan semangat pada saia agar saia bisa wisuda September (tapi ngga tercapai), yang selalu saia curhati,, yang selalu saia repotkan ... yang udah nemenin saia ketempat dosen, dan bikin malu.. ha ha ha... . Haniii,,, yang selalu menemani saia refreshing biar ngga jadi orang stresss,, . Luluk,, yang selalu memberikan nasehat-nasehat kepada saia,,, nasehatmu selalu berguna bu
vi
guru,,. Fifit,, yang selalu menyemangati saia ,, yang memberikan solusi agar saia tidak stres dalam mengerjakan skripsi,,. Tanti,, Ruy,, Andes,, Annas,, Candra yang telah memberikan semangat dan mendorong saia agar cepat lulus.... kangen gila-gilaan bareng kalian,, kangen lutisan,, kangen karokean,,, kangen kalian semua.. saia tidak menganggap kalian sebagai teman, tapi lebih dari itu karena kalian adalah SAHABAT saia ☺ ..dan untuk seluruh keluarga besar SEGANDOG..... SEGANDOG maregiiiii,,, oouugghhhhh...............................................................................
Kosan Nikotin : Ipat,, Anti,, Asry,, Erna,,, yang selalu memberikan semangat kepada saia,,, yang selalu mendengarkan curhatan saia,, yang selalu saia repotkan,,, yang selalu kamarnya saia berantakin,, yang kamarnya saia pakai buat nginep,, yang selalu nolongin saia kalau saia sakit... makasih buat semuanya... ☺
Teman-teman kampus merah,,,, adik saia Gilang, yang selalu memberikan semangat,, udah bantuin translitin abstrak ke bahasa inggris.. Brian dan Syaikhu , yang telah memberikan masukan-masukan untuk skripsi saia,,, geng selalu senang Acca, Indah, Melda terimakasih buat semangatnya, yang selalu mendengar keluh kesah saia, yang selalu saia repoti, Yolanda teman seperjuangan saia, kanan kiri bareng, yang suka beliin jajan, he he he, ,, Nanda,, yang sering saia repoti juga,, he he he,,Azi, yang memberikan nasehat tentang hidup,, Capung, Mukti, Gendut, Deda, Yanuar, Denni, Putri, Agatha, Rety, Rizka, Danang, Subkhan... seluruh teman-teman saia di kampus merah yang tak bisa saia sebutkan samuanya... ☺
TIM KKN Posdaya Unsoed Periode Januari-Februari 2013 Desa Pekiringan 1 Kec Karangmoncol Kab Purbalingga,,, Annis, Anjar, Sam, Rara, Niken, Reza, David... terimakasih untuk suka dan duka selama 35 hari bersama .. terimakasih atas kerjasamanya,,, maaf kalau saia selalu merepotkan kalian...... ☺
Terimakasih untuk semuanya,,, maafkan saia yang selama ini memiliki banyak salah ,, saia yang keras kepala,,, saia yang egois,,, saia yang merepotkan,, saia yang cerewet,,, maafkan atas semua kekurangan saia...
“saia bukanlah siapapun, dan saia tak ingin menjadi siapapun,
karena diri saia adalah saia ....”
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala yang
senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya serta atas izin-Nya skripsi ini
dapat penulis selesaikan. Sholawat dan Salam tak lupa penulis curahkan kepada
Junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Pembuktian Dalam
Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Pelaku Anak (Tinjauan Yuridis terhadap
Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg)”.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tidak
terhingga atas motivasi, dukungan, dan pengalaman yang diperoleh, yaitu kepada
yang terhormat dan tercinta:
1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan seluruh
jajarannya;
2. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala bantuan,
arahan, bimbingan, kesabaran, dan masukan yang telah diberikan selama
penulisan skripsi ini;
3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas
segala bantuan, arahan, bimbingan, dan masukan yang telah diberikan selama
penulisan skripsi ini;
4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi atas
segala bantuan, arahan, dan masukan dalam skripsi ini;
viii
5. Hj. Setiadjeng Kadarsih, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik
atas segala arahan dan masukan yang telah diberikan selama menempuh studi
di fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto;
6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto;
7. Kedua orang tuaku dan seluruh keluargaku, terima kasih atas segala yang telah
diberikan baik dukungan moril maupun materiil;
8. Semua sahabat bongkrek, segandog, kosan nikotin, kampus merah, kkn,
terima kasih atas dukungan dan motivasinya, terima kasih atas suka dan duka
dalam kebersamaan kita. Dan untuk Ebink, terima kasih sudah jadi motivasi
saya agar dapat sukses sepertimu.
Penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun dan bermanfaat. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna
bagi setiap pembacanya. Terima kasih.
Purwokerto, 23 Oktober 2013
Penulis
ix
ABSTRAK
Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan bagian yang sangat
penting dan memegang peranan yang strategis dalam proses pemeriksaan sidang
pengadilan. Membuktikan mengandung maksud dan tujuan untuk menyatakan
kebenaran atas suatu peristiwa. Banyak perkara termasuk perkara anak nakal di
pengadilan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan sehingga terkesan
setiap perbuatan anak nakal dapat dipastikan selalu diproses melalui jalur hukum.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik menuyusun skripsi dengan
mengambil judul penelitian “PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA
PENGANIAYAAN TERHADAP PELAKU ANAK (Tinjauan Yuridis Terhadap
Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg)”
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang
pertama, mengapa anak nakal diproses dalam persidangan pada Putusan No.
05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg ? Kedua, bagaimana pembuktian dalam tindak pidana
penganiayaan terhadap pelaku anak pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg ?
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa alasan anak nakal
diproses dalam persidangan karena usianya sudah 16 tahun, tidak adanya upaya
perdamaian, diduga melakukan tinda k pidana penganiayaan, dan adanya
pelimpahan berkas perkara, surat dakwaan serta barang bukti oleh penuntut umum
ke Pengadilan Negeri. Pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap
pelaku anak yaitu adanya keterangan saksi ya ng saling bersesuaian dengan
keterangan terdakwa dan dihubungkan dengan alat bukti surat serta barang bukti
yang diajukan dipersidangan maka syarat pembuktian telah terpenuhi, serta unsur-
unsur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP telah terpenuhi sehingga hasil putusan
menyatakan bahwa terdakwa HA Bin Sm terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan.
Kata Kunc i : Pembuktian, Tindak Pidana Penganiayaan, Anak.
x
ABSTRACT
Verification in the Code of Criminal Procedure is a very important part
and hold strategic role on court investigation process. Verifying has meaning and
purpose to assert the truth from certain incident. Many cases included
mischievous children can be certainly processed by law mechanism. Based on that
description, writer was interested to arrange a thesis entitled “VERIFICATION
ON VIOLENCE CRIME BY CONVICTED CHILDREN (Juridical Observation
Towards Court Verdict No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg).
Based on the description above, so the first problem can be formulated,
why mischievous child was processed by court on verdict no.
05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg? Second, how was the verification on violence crime by
convicted children on verdict no. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg?
Based on the research result, is gotten conlusiom that the reason
mischievous child was processed in the court is because his age was 16 already,
no reconciliation effort, accused did violence crime, and there was transfering file,
accusation letter also evidence by attorney to the State Court. Verification on
violence crime by convicted children was there were witnesses explanation that
was correlated with convicted’s explanation and it was related with evidences that
proposed in court process thus the verification requirements were fulfilled, also
the elements on article 351 section (1) KUHP have fulfilled so the verdict result
stated that the accused HA Bin Sm was legally proven and convinced guilty did
the violence crime.
Keywords : Verification, Violence crime, Children.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN........................................................................... iii
HALAMAN MOTTO........................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ v
KATA PENGANTAR........................................................................................ vii
ABSTRAK.......................................................................................................... ix
ABSTRACT........................................................................................................ x
DAFTAR ISI...................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah................................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian..................................................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian................................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 7
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana............................. 7
1. Pengertian Hukum Acara Pidana....................................................... 7
xii
2. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana.......................................... 8
B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana............................................................. 11
C. Pembuktian.............................................................................................. 21
1. Pengertian Pembuktian. ..................................................................... 21
2. Sistem Pembuktian............................................................................ 23
3. Alat Bukti Menurut KUHAP............................................................. 28
D. Anak......................................................................................................... 39
1. Pengertian Anak................................................................................. 39
2. Kenakalan Anak................................................................................. 41
3. Proses Peradilan Pidana Anak........................................................... 43
E. Tindak Pidana Penganiayaan................................................................... 54
1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan........................................... 54
2. Jenis-Jenis Penganiayaan................................................................... 55
BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 61
A. Metode Pendekatan.................................................................................. 61
B. Spesifikasi Penelitian............................................................................... 61
C. Jenis da n Sumber Data............................................................................. 62
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum...................................................... 62
E. Metode Penyajian Bahan Hukum............................................................ 63
F. Metode Analisis Bahan Hukum............................................................... 63
G. Perbedaan Penelitian Penulis Dengan Penelitian Terdahulu................... 63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................. 66
A. Hasil Penelitian........................................................................................ 66
xiii
B. Pembahasan.............................................................................................. 88
BAB V PENUTUP............................................................................................. 136
A. Simpulan.................................................................................................. 136
B. Saran........................................................................................................ 137
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan Negara Republik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indonesia merupakan
negara hukum, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 yang merumuskan bahwa “Negara Republik Indonesia adalah
Negara Hukum”. Indonesia sebagai negara hukum memberikan perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Setiap warga negara berhak dan wajib
diberlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang
lain, begitu pula mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan
pemerintah.
Anak merupakan suatu anugerah dan amanah dari Tuhan Yang Maha
Esa yang memiliki hak untuk dilindungi harkat dan martabatnya oleh undang-
undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Secara umum perlindungan dan hak-hak anak dijamin
oleh Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28 D ayat (2) yang merumuskan:
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
2
Situasi dan kondisi sosial sangat berpengaruh terhadap kejiwaan dan
perilaku seorang anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh berbagai faktor antara lain
adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus
globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua, telah
membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang
sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang
kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan dan bimbingan dan
pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku penyesuaian diri, serta
pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret
dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan
merugikan perkembangan pribadinya. Dalam situasi dan kondisi yang
abnormal serta pengaruh dari keadaan sekitarnya maka tidak jarang anak yang
melakukan tindak pidana.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
memberikan perlindungan hukum kepada anak yang melakukan perbuatan
pidana, sehingga anak yang melakukan perbuatan pidana mendapat
penanganan secara khusus, sedangkan peradilan yang dijalani anak tersebut
pun diatur dengan mengingat kekhususan pada anak. Tujuan pidana tidak
semata -mata menghukum anak yang sedang bersalah, akan tetapi membina
dan menyadarkan kembali anak yang telah melakukan kekeliruan atau telah
melakukan perbuatan menyimpang. Hal ini penting mengingat bahwa apa
3
yang telah dilakukannya perbuatan salah yang melanggar hukum. Untuk itu
penjatuhan pidana bukanlah satu-satunya upaya untuk memproses anak yang
telah melakukan tindak pidana.
Proses peradilan pidana yang bertumpu pada hukum pidana dan
hukum acara pidana, negara melalui organ-organnya mempunyai hak atau
kewenangan untuk menjatuhkan pidana. Tujuan dari hukum acara pidana
adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang sebenar-
benarnya. Hakim harus mencari dan mendapatkan kebenaran materiil yang
diperoleh dari alat bukti sebelum mengambil suatu putusan. Dalam Pasal 183
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurut Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang sah ialah :
1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa.
Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan bagian yang sangat
penting dan memegang peranan yang sangat strategis dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Membuktikan mengandung maksud dan
tujuan untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa. Menurut Pasal 183
4
KUHAP sistem pembuktian yang digunakan di Indonesia adalah sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Pembuktian sangat penting dalam membuktikan kesalahan seseorang,
apalagi saat ini kejahatan semakin berkembang dengan pesat. Barda Nawawi
Arief sebagaimana dikutip Moh. Hatta 1 mengungkapkan pendapatnya tentang
kejahatan bahwa kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak hanya
dihadapi oleh Indonesia atau masyarakat dan negara tertentu, tetapi
merupakan suatu universal phenomena, tidak hanya jumlahnya saja yang
meningkat tetapi juga kwalitasnya dipandang serius di banding masa-masa
lalu. Kejahatan timbul bukan sekedar karena niat, juga bukan pula tumbuh
karena kesempatan, tetapi kejahatan hadir karena memang semua orang lebih
‘aman dan tentram’ dengan berbuat jahat.2
Di masyarakat sering terjadi kejahatan terhadap tubuh atau yang biasa
kita kenal dengan penganiayaan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) juga menggunakan istilah penganiayaan untuk tindak pidana terhadap
tubuh, tetapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak
memuat arti penganiayaan tersebut.
Pengertian penganiayaan menurut Soenarto Soerodibroto3 bahwa
menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka, kesengajaan
ini harus dituduhkan dalam surat tuduhan. Tindak pidana penganiayaan telah
1Moh. Hatta, 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum Dan Pidana Khusus , Yogyakarta : Liberty, hlm 33. 2Eko Prasetyo, 2010, Keadilan Tidak Untuk Yang Miskin, Yogyakarta : Resist Book, hlm 85. 3Soenarto Soerodibroto, 2007, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm 214.
5
menyebabkan keresahan dalam masyarakat, sehingga untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat perlu adanya perlindungan hukum. Tindak pidana
penganiayaan ini diatur dalam KUHP buku II bab XX.
Peradilan pidana anak bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak yang
pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial. Peradilan
pidana anak juga bertujuan untuk dapat mengungkap suatu perkara seperti
dalam Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg mengenai tindak pidana
penganiayaan yang dilakukan oleh anak nakal. Anak nakal melakukan tindak
pidana penganiayaan terhadap seorang tukang ojek, hal itu dilakukannya
karena anak nakal tersebut tidak memiliki uang untuk membayar ongkos ojek.
Anak nakal dilaporkan tukang ojek tersebut sehingga ditetapkan sebagai
tersangka dan dilimpahkan perkaranya ke Pengadilan. Setelah melalui proses
persidangan, anak nakal dijatuhi pidana penjara selama tujuh bulan.
Berdasarkan lata r belakang yang diuraikan di atas , penulis menyusun
skripsi dengan mengambil judul penelitian “PEMBUKTIAN DALAM
TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP PELAKU ANAK
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg)”.
B. Perumusan Masalah
1. Mengapa anak nakal diproses dalam persidangan pada Putusan
No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg ?
2. Bagaimana pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap
pelaku anak pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg ?
6
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan anak nakal diproses dalam persidangan pada
Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg.
2. Untuk mengetahui pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan
terhadap pelaku anak pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pengajaran
menambah materi perkuliahan khususnya dalam mata kuliah
hukum acara pidana.
b. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat pada pengembangan teori
dalam hukum acara pidana khususnya mengenai pembuktian
dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak.
2. Kegunaan Praktis
a. Dapat memberikan jawaban dan masukan bagi penulis mengenai
permasalahan yang ada dalam penelitian ini dengan menerapkan
hukum acara pidana.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembaca dan bagi mereka yang berminat dibidang hukum.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum pidana merupakan hukum pidana materiil sedangkan
hukum acara pidana merupakan hukum pidana formil. Hukum formil
menurut A. Chainur Arrasjid4 adalah hukum yang mengatur cara
mempertahankan atau menjalankan peraturan-peraturan hukum materiil.
Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan
hukum materiil melalui suatu proses dengan berpedomankan kepada
peraturan yang dicantumkan dalam hukum acara. 5 Apabila ada
pelanggaran terhadap hukum pidana materiil, maka aparat kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan / kehakiman tanpa diminta oleh korban
kejahatan, harus sanggup melaksanakan tugas kewajibannya untuk
melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan, penuntutan, mengadili dan
mengeksekusi pelaku kejahatan. Dengan demikian, berarti hukum acara
pidana adalah bersifat memaksa (dwangenrecht).6 Tidak mungkin sanksi-
sanksi yang diancamkan oleh hukum pidana materiil dapat langsung
dikenakan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana dan telah
4A. Chainur Arrasjid, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 110. 5R. Abdoel Djamali, 2010, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, hlm 193.
6Umar Said Sugiarto, 2013, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 333.
8
memenuhi unsur-unsurnya tanpa mekanisme peradilan yang benar, yaitu
hukum acara pidana. 7
Hukum Acara Pidana adalah hukum pidana yang mengatur tata
cara menegakkan hukum pidana materiil. Artinya, apabila terjadi
pelanggaran hukum pidana materiil, maka penegakannya menggunakan
hukum pidana formal. Istilah yang lazim hukum digunakan untuk hukum
ini adalah ‘Hukum Acara Pidana’, yakni hukum yang mengatur tentang
bagaimana para penegak hukum serta masyarakat (yang terpaksa
berurusan pidana) beracara di muka pengadilan pidana.8 Menurut Wirjono
Prodjodikoro yang dikutip oleh Yulies Tiena Masriani9, Hukum Acara
Pidana adalah peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara alat- alat
perlengkapan pemerintah melaksanakan tuntutan, memperoleh Keputusan
Pengadilan, oleh siapa Keputusan Pengadilan itu harus dilaksanakan, jika
ada seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan pidana.
Dari beberapa pengertian hukum acara pidana menurut para ahli
hukum di atas, dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana adalah hukum
pidana yang mengatur tata cara negara untuk mempertahankan hukum
pidana materiil melalui melalui alat pelengkapnya.
2. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana itu berfungsi untuk melaksanakan hukum
pidana materiil, yakni memberikan peraturan cara bagaimana negara
7Zulkarnain, 2008, Praktik Peradilan Pidana (Panduan Praktis Kemahiran Hukum Acara Pidana), Malang : In-Trans Publishing, hlm 12. 8Ilham Bisri, 2004, Sistem Hukum Indonesia (Prinsip -Prinsip Dan Implementasi Hukum Di Indonesia), Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm 46. 9Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia , Jakarta: Sinar Grafika, hlm 82.
9
dengan mempergunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya
untuk memidana atau membebaskan pidana. 10 Menurut Yulies Tiena
Masriani11, fungsi hukum acara pidana adalah mendapatkan kebenaran
materiil, putusan hakim dan pelaksanaan keputusan hakim.
Fungsi hukum acara pidana dikemukakan secara umum dengan
membagi fungsi hukum acara pidana yaitu fungsi preventif dan fungsi
represif. Fungsi preventif yaitu fungsi mencegah dan mengurangi tingkat
kejahatan. Fungsi ini dapat dilihat ketika sistem peradilan pidana dapat
berjalan dengan baik dan ada kepastian hukumnya, maka orang akan
berhitung atau berfikir kalau akan melakukan tindak pidana. Fungsi
represif yaitu, fungsi hukum acara pidana adalah melaksanakan dan
menegakkan hukum pidana. Artinya jika ada perbuatan yang tergolong
sebagai perbuatan pidana maka perbuatan tersebut harus diproses agar
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam hukum pidana dapat
diterapkan. 12
Hukum acara pidana tidak hanya memiliki fungsi, namun hukum
acara pidana juga memiliki tujuan. Tujuan Hukum Acara Pidana sangat
erat hubungannya dengan tujuan Hukum Pidana yaitu menciptakan
ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan
masyarakat. Hukum Acara Pidana mengatur bagaimana proses yang harus
10Ishaq, 2009, Dasar -Dasar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 157. 11Yulies Tiena Masriani, Op.Cit. , hlm 83. 12http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/28/hukum-di-indonesia-hukum-acara-pidana/, diakses pada tanggal 10 Mei 2013.
10
dilalui oleh aparat penegak hukum dalam rangka mempertahankan hukum
pidana materiil terhadap pelanggarnya.13
Adapun tujuan hukum acara pidana antara lain telah dijelaskan
dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukan Acara Pidana
sebagaimana dikutip oleh Ishaq, yaitu:
“Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” 14 Tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah
merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu
ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam
masyarakat.15
Fungsi dan tujuan hukum acara pidana dari beberapa penjelasan di
atas secara singkat dapat dikatakan bahwa fungsi dan tujuan hukum acara
pidana yaitu:
1. Mencari dan mendapatkan kebenaran materiil.
2. Mencapai suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan,
dan kesejahteraan dalam masyarakat.
3. Putusan hakim dan pelaksanaan keputusan hakim.
13Yulias Tiena Masriani, Loc.Cit. 14Ishaq, Op.Cit., hlm 157-158. 15Andi Hamzah, 2011, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 9.
11
4. Mencegah dan mengurangi tingkat kejahatan.
5. Melaksanakan dan menegakkan hukum pidana.
B. Asas -Asas Hukum Acara Pidana
Asas merupakan sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau
berpendapat. Asas -asas hukum harus ada dalam setiap aturan hukum. Jika
asas-asas hukum tidak ada dalam sebuah aturan hukum maka aturan
tersebut tidak dapat dimengerti. Hukum acara pidana juga memiliki asas-
asas hukum acara pidana agar hukum acara pidana dapat dimengerti. Asas-
asas hukum acara pidana yaitu:
1. Asas Legalitas
Legalitas berasal dari kata legal (latin), aslinya legalis, artinya
sah menurut undang-undang. Asas legalitas ini dikenal sebagai asas
dalam hukum acara pidana, bahwa setiap perkara pidana harus
diajukan ke depan hakim. Dalam KUHAP, konsideran huruf a
mengatakan, “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”.16
Asas ini te rcantum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merumuskan bahwa :
16Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2010, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek , Bogor : Ghalia Indonesia, hlm 2.
12
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Sebagaimana dikatakan oleh Hibnu Nogroho17 bahwa Dalam
KUHAP Indonesia dikenal suatu asas yang sangat fundamental yaitu
Asas Legalitas. Dalam bahasa latin asas ini berbunyi nullum dellictum,
nulla poena, sine praevie lege poenali. Asas ini diatur dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP ya ng pada intinya menyatakan, tiada akan dijatuhkan
pidana kecuali telah ada aturan pidana yang telah mengatur perbuatan
tersebut sebelum perbuatan dilakukan. Asas ini oleh ahli hukum
dipandang sebagai asas yang vital. Prof. Oemar Senoaji pada waktu
menjadi Menteri Kehakiman bahkan menyatakan, asas legalitas
walaupun bukan asas yang tercantum dalam UUD namun pembentuk
undang-undang tidak boleh dengan gegabah menyimpanginya, sebab
asas ini merupakan asas fundamental bagi suatu negara hukum.
2. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocence)
Asas ini disebut dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman dan juga dalam
Penjelasan Umum butir 3c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang K itab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
dirumuskan :
”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
17Hibnu Nugroho, 2012, Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hlm 8-9.
13
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Meskipun seorang terdakwa telah diperiksa di muka sidang
pengadilan bukan berarti ia telah salah melakukan tindak pidana, di
dalam sidang pengadilan tindak pidana yang didakwakan tersebut
masih harus dibuktikan, apakah betul ia melakukan tindak pidana dan
dapat dinyatakan salah sampai keputusannya mempunyai kekuatan
yang tetap.
Apabila terdakwa belum dapat dibuktikan bahwa ia salah masih
banyak kemungkinan terdakwa tidak salah. Untuk itu tidak boleh
orang cepat-cepat mengatakan bahwa orang yang diperiksa di muka
sidang pengadilan itu sudah salah. Dalam Pasal 158 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) merumuskan :
“Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terda kwa”.
3. Asas Perlakuan yang Sama atas Diri Setiap Orang di Muka
Hukum (Equality Before the Law)
Asas yang umum dianut di negara -negara yang berdasarkan
hukum ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda -bedakan orang.”
14
Asas ini juga terdapat dalam penjelasan umum butir 3a
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan:
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.”
Asas perlakuan yang sama di muka hukum dimaksudkan agar
setiap orang di muka peradilan mendapatkan perlakuan yang sama,
bahwa hukum tidak membeda-bedakan status sosial dari setiap orang
baik orang itu warga negara asing ataupun warga negara Republik
Indonesia mereka mendapatkan perlakuan yang sama di muka
hukum.18
4. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
Asas ini terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman yang merumuskan:
“(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.”
18Suharto RM, 2006, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 129.
15
Asas ini juga terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3d
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan:
“Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukum administrasi.”
5. Asas Oportunitas
Asas Oportunitas merupakan suatu asas yang bertentangan
dengan asas legalitas. Asas oportunitas yaitu asas yang tidak
mewajibkan penuntut umum untuk menuntut seseorang jika karena
penuntutannya dapat merugikan kepentingan umum. Sebagaimana
dikemukakan oleh A.Z. Abidin Farid dalam Andi Hamzah19 bahwa
asas oportunitas yaitu asas hukum yang memberikan wewenang
kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan
tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik
demi kepentingan umum. Asas oportunitas ini lebih mengedepankan
kepentingan umum sedangkan asas legalitas mengedepankan
kepentingan hukum.
Hibnu Nugroho20 mengatakan bahwa asas ini hanya dimilik
oleh Jaksa Agung. Berdasarkan asas opportunitas maka jaksa agung
19Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 17. 20Hibnu Nugroho, Op.Cit., hlm 79-80.
16
dapat mengesampingkan perkara (populer dengan sebutan
deponering). Deponering perkara dapat dilakukan oleh jaksa agung
dengan syarat bahwa sekalipun perkara tersebut merupakan perkara
pidana dan dapat dilakukan penuntutan di muka persidangan karena
bukti yang ada telah cukup namun apabila penuntutan dilakukan maka
kepentingan umum menjadi terganggu. Konsekuensi dari deponering
adalah bahwa kasus tersebut tidak dapat lagi untuk diajukan ke muka
sidang pengadilan. Mengeluarkan deponering memang tidak menutup
kemungkinan untuk timbulnya polemik, dan sampai sekarangpun
tampaknya Kejagung belum pernah menerapkan asas tersebut. Karena
keberadaan asas opportunitas ini ada yang menganggapnya sebagai
pengingkaran terhadap asas equality before the law, diskriminatif
dengan bertameng demi kepentingan umum.
6. Asas Peradilan cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Asas ini tercantum dalam dalam Penjelasan Umum butir 3e
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan :
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.”
Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasan Kehakiman merumuskan :
“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
17
Asas ini adalah untuk menjamin kehendak dan cita -cita
masyarakat dalam mencari keadilan maka pengadilan harus memenuhi
harapan dari para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya ringan. Pengadilan tidak perlu memeriksa dengan
acara yang berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses sampai
bertahun-tahun, bahkan kadang-kadang harus dilanjutkan oleh para
ahli warisnya. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mungkin
sehingga dapat dipikul oleh masyarakat tanpa mengorbankan ketelitian
untuk mencari kebenaran dan keadilan.
7. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam Pasal 64 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan sebagai berikut:
“Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.”
Asas ini juga terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang dirumuskan:
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakw anya anak-anak”.
Kekecualian terhadap kesusilaan dan anak-anak alasannya
karena kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak
patut untuk mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka dimuka
18
umum. Begitu juga dengan anak-anak, melakukan kejahatan karena
kenakalan.
Maksud asas terbuka untuk umum dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan ialah bahwa setiap orang yang mempunyai
kehendak mengikuti jalannya sidang pengadilan dapat hadir di ruang
sidang untuk mendengarkan jalannya pemeriksaan. Pada saat hakim
ketua membuka sidang peradilan harus sidang dinyatakan terbuka
untuk umum, kecuali pemeriksaan perkara khusus yang oleh undang-
undang ditentukan bahwa sidang peradilan dilaksanakan dengan pintu
tertutup, yang berarti umum tidak boleh menghadirinya jalannya
sidang peradilan. 21
Pelanggaran atas asas tersebut mengakibatkan batalnya
putusan hakim. Menurut Pasal 153 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) merumuskan:
“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”.
8. Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas ini dimaksudkan bahwa untuk mendapatkan penasihat
hukum, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat
hukumnya yang dianggap menguntungkan dirinya. Untuk menghindari
penyalahgunaan wewenang dari para pejabat khususnya bagi mereka
yang tidak tahu hukum, Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
21Suharto RM, Op.Cit ., hlm 125.
19
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merumuskan sebagai berikut :
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) diatur tentang bantuan hukum tersebut dimana tersangka
atau terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu
antara lain sebagi berikut:
1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan.
2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
3. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
4. Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara.
5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan.
6. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/terdakwa.22
9. Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Hadirnya
Terdakwa
Asas ini tercantum dalam dalam Penjelasan Umum butir 3h
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan :
22Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 23.
20
“Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa”
Dilihat dari segi hak-hak asasi manusia, pemeriksaan di
persidangan tanpa kehadiran terdakwa seolah-olah tidak memberi
kesempatan pada terdakwa untuk membela diri sehingga terasa kurang
adil.
Yang dipandang pengecualian dari asas ini ialah kemungkinan
putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau
in absentia . Tetapi ini hanya merupakan pengecualian, yaitu dalam
acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. 23
10. Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan
Tetap
Asas ini berarti bahwa pengambilan keputusan untuk
menyatakan salah atau tidaknya perbuatan terdakwa dilakukan oleh
hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Istilah tetap yang
dimaksud adalah bahwa hakim yang bertugas untuk memeriksa dan
memutuskan perkara adalah hakim-hakim yang diangkat oleh Kepala
Negara sebagai hakim. Sistem ini berbeda dengan sistem juri, Andi
Hamzah24 mengatakan bahwa sistem juri yang menentukan salah
tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili golongan-
golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka awam terhadap
ilmu hukum.
23Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 9. 24Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 22.
21
C. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian memiliki peranan dalam proses pemeriksaan sidang
pengadilan. Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud
dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga
dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian
mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya. Melalui pembuktian akan ditentukan nasib
terdakwa.
Tahap pembuktian dalam persidangan merupakan “jantungnya”
sebuah proses peradilan guna menemukan kebenaran materiil, sebagai
tujuan adanya hukum acara pidana. Kebenaran materiil diartikan sebagai
suatu kebenaran yang diupayakan mendekati kebenaran sesungguhnya atas
tindak pidana yang telah terjadi.25 Adanya asas praduga tak bersalah dalam
hukum acara pidana untuk mengetahui apakah seseorang bersalah atau
tidak bersalah dapat diketahui dengan proses pembuktian. Sebagaimana
dikemukakan oleh Leden Marpaung yang menyatakan bahwa:
“Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence). Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti”dimaksud untuk menentukan “kebenaran”. 26
25Hibnu Nugroho, Op.Cit., hlm 27. 26Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan Dan Penyidikan), Jakarta : Sinar Grafika, hlm 22-23.
22
Menurut Suharto RM27, Pembuktian di muka sidang pengadilan
adalah suatu usaha penuntut umum dalam mengajukan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang di muka sidang pengadilan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa.
Pengertian pembuktian juga dikemukakan oleh M. Yahya Harahap,
yang mengatakan bahwa:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.” 28
Terbukti atau tidaknya seseorang dalam melakukan tindak pidana
tergantung dari pembuktian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
Untuk menilai seseorang bersalah atau tidak diperlukan suatu alat bukti,
dari alat bukti ini menunjukan bahwa salah atau tidaknya seseorang di
sidang pengadilan. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesala han terdakwa,
terdakwa dibebaskan dari hukumannya. Sebaliknya, apabila kesalahan
terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti, terdakwa dinyatakan
bersalah dan dikenakan hukuman kepadanya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Taufik Makarao dan
Suhasril yang menyatakan bahwa :
27Suharto RM, Op.Cit., hlm 135. 28M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta : Sinar Grafika, hlm 273.
23
“Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan yang didakwakan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdakwa harus dinyatakan bersalah.” 29
2. Sistem Pembuktian
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa
ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu
dan tempat. Sehingga di setiap negara memiliki sistem pembuktian yang
berbeda-beda.
Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana terbagi ke dalam
beberapa sistem, yaitu:
1. Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim Semata
(Conviction-in time).
Sistem pembuktian ini didasarkan kepada keyakinan hakim
semata -mata, tidak peduli dari mana keyakinan hakim tersebut yang
penting yang dipakai adalah keyakinan hakim. Sebagaimana
diungkapkan oleh M. Yahya harahap yang menyatakan bahwa:
“Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata -mata ditentukan dengan penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi
29Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 102-103.
24
masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya di dalam sidang pengadilan. Sistem ini mengandung kelemahan yaitu hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata -mata atas dasar “keyakinan” belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup.” 30
Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim semata atau
dapat juga disebut sistem pembuktian keyakinan hakim melulu
memiliki kelemahan yaitu dalam menjalankan tugasnya hakim tidak
dibatasi oleh apapun, sehingga hakim memiliki kebebasan yang terlalu
besar dan hal ini dapat mengakibatkan ketidakadilan maupun
kesewenang-wenangan. Menurut A. Minkenhof dalam Andi Hamzah,
mengatakan bahwa:
“Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawas i. Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Praktik peradilan juri di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh.” 31
2. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas
Dasar Keyakinan L ogis (Conviction Raisonce).
Sistem pembuktian ini merupakan sistem pembuktian yang
didasarkan pada keyakinan hakim menggunakan alasan yang dapat
diterima atau secara logis. Menurut M. Yahya Harahap32 bahwa dalam
sistem ini pun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang
peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, 30 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 277. 31 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 252-253. 32M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 277.
25
akan tetapi di dalam sistem pembuktian ini faktor keyakinan hakim
dibatasi. Jika di dalam convictio -in time peran keyakinan hakim leluasa
tanpa batas maka pada sistem conviction raisonce keyakinan hakim
harus didukung alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan
dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas
kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar
alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal.
Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas dasar
keyakinan logis juga dijelaskan oleh Andi Hamzah33 yang menyatakan
bahwa menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang
berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi,
putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.
Sistem pembuktian ini menurut keyakinan hakim secara logis
yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-
ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut
pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia
akan pergunakan.
3. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
Sistem pembuktian ini dikatakan secara positif karena hanya
mendasarkan pada undang-undang saja tidak berdasarkan atas
33Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 253.
26
keyakinan hakim, yang artinya dalam sistem ini keyakinan hakim tidak
memiliki peranan. Hal tersebut juga dikemukan oleh Andi Hamzah34
yang mengatakan bahwa pembuktian yang didasarkan melulu ke pada
alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau
teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief
wettelijk bewijstheorie ). Dikatakan secara positif, karena hanya
didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti
suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh
undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.
Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele
bewijstheorie).
Ajaran ini didasarkan kepada kemurnian undang-undang
seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP ) yang merumuskan sebagai berikut :
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.
Artinya hakim dalam memutuskan perkara harus berdasarkan
undang-undang, yang berarti tugas hakim hanya sebagai pelaksana
undang-undang belaka. 35 Sehingga dalam ajaran tersebut memberi
kesempatan bagi orang melakukan perbuatan yang pada hakikatnya ia
melakukan kejahatan tetapi karena tidak diatur dalam undang-undang
sebagai tindak pidana ia le pas dari tuntutan pidana.
34Ibid, hlm 251. 35Suharto RM, Op.Cit., hlm 132.
27
4. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif
(Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian ini mendasarkan pada dua unsur yaitu
adanya unsur alat bukti yang ada dalam undang-undang dan unsur
keyakinan hakim. Sehingga dapat dikatakan bahw a sistem pembuktian
ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian berdasar undang-
undang secara positif dan sistem pembuktian berdasar keyakinan
hakim semata. M. Yahya Harahap36 mengatakan bahwa pembuktian
menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem
pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.
Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai
sistem pembuktian hukum acara pidana Indonesia yaitu sebagai berikut :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurut Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut hukum acara
pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif yaitu menggunakan alat bukti yang telah ditentukan undang-
undang dan dengan keyakinan hakim demi tegaknya keadilan, kebenaran
dan kepastian hukum. Membuktikan mengandung maksud dan tujuan
36M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 278.
28
untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima
oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
Salah satu keuntungan dari dianutnya sistem pembuktian menurut
undang-undang yang bersifat negatif, seperti yang dianut oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita dewasa ini adalah, bahwa
menurut sistem pembuktian ini hakim dipaksa menjelaskan alasan atau
atas dasar apa ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana itu
benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan
tindak pidana tersebut. Menurut sistem pembuktian yang dianut oleh
KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang
diajukan ke depan sidang pengadilan oleh penuntut umum, sepenuhnya
diserahkan kepada majelis hakim. 37
3. Alat Bukti Menurut KUHAP
Alat bukti sah yang diajukan bertujuan untuk memberikan
kepastian pada hakim tentang perbuatan-perbuatan terdakwa. Karena
tujuan pemeriksaan pengadilan di persidangan adalah untuk mencari
kebenaran materiil. Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana diatur
dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang terdiri dari :
1. Keterangan Saksi
37P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 409.
29
Pasal 1 angka (27) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
merumuskan sebagai berikut :
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya ini.”
Keterangan saksi agar dapat menjadi alat bukti yang sah harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji.
Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji agar
keterangannya dapat menjadi alat bukti yang sah. Pasal 160 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan:
“Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”
Jika saksi tidak mau mengucapkan sumpah maka akibat
hukumnya keterangan saksi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai
alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang
dapat menguatkan keyakinan hakim. Hal ini diatur dalam Pasal 185
ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
merumuskan:
30
“Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.”
b. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti.
Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti ialah
keterangan saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 27 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu keterangan yang saksi lihat
sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan saksi yang diberikan atas dasar hasil pemikiran
sendiri bukan merupakan keterangan saksi. Saksi juga tidak boleh
memberikan keterangan mengenai terjadinya suatu tindak pidana
yang ia dengar dari orang lain. Keterangan seperti di dalam ilmu
pengetahuan hukum pidana disebut sebagai suatu kesaksian de
auditu atau suatu testimonium de auditu, yang tidak mempunyai
nilai sebagai alat bukti.
c. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Saksi-saksi yang diajukan penuntut umum memberikan
keterangannya secara langsung di persidangan. Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang merumuskan:
31
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.”
d. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
Ketentuan ini sesuai dengan prinsip minimum pembuktian
yaitu untuk menyatakan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya sekurang-kurangnya
dengan dua alat bukti. Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) merumuskan:
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”
Hal ini mengandung suatu asas yang sangat penting untuk
diperhatikan, baik oleh penyidik, penuntut umum, hakim maupun
penasihat hukum, yakni asas unus testis nullus testis, atau yang di
dalam praktik juga sering disebut secara singkat dengan perkataan
satu saksi bukan saksi.
e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang
suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat
bukti yang sah apabila keterangan saksi itu saling berhubungan
satu dengan yang lain sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu. Jika keterangan beberapa saksi
tidak saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain maka
tidak akan dapat mewujudkan suatu kebenaran akan suatu kejadian
32
tertentu. Keterangan beberapa saksi yang seperti itu tidak dapat
membuktikan kesalahan terdakwa.
Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi:
a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas.
Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah
mempunyai kekuatan pembuktian bebas, tidak mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Taufik
Makarao dan Suhasril 38 yang mengatakan bahwa alat bukti
keterangan saksi mempunyai kekuatan bebas, tidak melekat
nilai pembuktian yang sempurna.
b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian
hakim.
Keterangan saksi sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim
tidak diharuskan untuk menerima kebenaran setiap
keterangan saksi. Hakim bisa saja mengesampingkan
keterangan saksi. Seperti yang dikatakan M. Yahya
Harahap39 bahwa tidak ada keharusan bagi hakim untuk
menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas
menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada
keterangan itu, dan dapat “menerima” atau
“menyingkirkannya”.
38Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 123. 39M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 295.
33
2. Keterangan Ahli
Pasal 1 angka (28) Unda ng-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merumuskan sebagai berikut :
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. ” Menurut Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
mengatur bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan
disidang pengadilan.
a. Sebelum memberikan keterangan ahli terlebih dahulu harus
disumpah.
b. Keterangan ahli harus merupakan keterangan yang diberikan
oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus tentang
sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang
sedang diperiksa.
c. Keterangan ahli diberikan oleh ahli menurut pengetahuan
dalam bidang keahliannya.
Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai
keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan
perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
34
Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti
keterangan ahli:
a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas.
Keterangan ahli sebagai alat bukti yang mempunyai nilai
kekuatan pembuktian bebas, tidak memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna dan menentukan, sehingga terserah
pada penilaian hakim.
b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian.
Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian, keterangan ahli
saja tanpa didukung oleh alat bukti yang la in, tidak cukup dan
tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa.
3. Surat
Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa:
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
35
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”
Surat dari rumusan pasal tersebut agar dapat dijadikan alat
bukti yang sah yaitu dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah.
Surat dapat digunakan sebagai alat bukti dan mempunyai nilai
pembuktian apabila surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang
diharuskan oleh undang-undang. Apabila surat sudah dibuat sesuai
dengan ketentuan undang-undang maka bukti surat mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat bagi hakim dengan
syarat :
1. Bentuk formil maupun materiil sudah sesuai dengan ketentuan
yang diatur oleh undang-undang.
2. Bahwa surat tersebut tidak ada cacat hukum.
3. Tidak ada orang lain yang mengajukan bukti bahwa yang dapat
melemahkan bukti surat tersebut.
Dalam menilai alat bukti surat, penyidik, penuntut umum maupun
hakim dalam meneliti alat bukti surat harus cermat, dan hanya alat
bukti surat tersebut di atas yang merupakan alat bukti yang mempunyai
kekuatan pembuktian dalam perkara pidana. 40
Bagaimanapun sempurnanya nilai pembuktian alat bukti surat,
kesempurnaan itu tidak merubah sifatnya menjadi alat bukti yang
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan
40Suharto RM, Op.Cit., hlm 154-155.
36
yang melekat pada kesempurnaannya tetap bersifat kekuatan
pembuktian “yang bebas”. Hakim bebas untuk menilai kekuatannya
dan kebenarannya. Kebenaran penilaian itu dapat ditinjau dari
beberapa alasan. Boleh dari segi asas kebenaran sejati, atas keyakinan
hakim maupun dari sudut batas minimum pembuktia n. Dan memang
pada prinsipnya, ajaran pembuktian yang dianut hukum acara pidana
pada dasarnya tidak mengenal alat bukti yang sempurna dan mengikat,
kecuali bagi negara yang menganut sistem pembuktian menurut
undang-undang “secara positif”.41
4. Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merumuskan bahwa :
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Pengertian petunjuk sebagaimana dikemukakan oleh M. Yahya
Harahapyaitu:
“Petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan di mana isyarat itu mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.” 42
41M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 312. 42Ibid, hlm 313.
37
Petunjuk dapat digunakan oleh hakim, apabila hakim sudah
memeriksa alat bukti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.
Hal ini diatur dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang merumuskan bahwa :
“Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa.
Hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk harus dengan
hati-hati dan cermat. Alat bukti petunjuk digunakan apabila alat bukti
yang lain belum mencukupi membuktikan kesalahan terdakwa. Jika
pembuktian dengan alat bukti yang lain sudah mencukupi, maka pada
dasarnya tidak lagi diperlukan alat bukti petunjuk.
Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk
serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain yaitu:
a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas.
Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang
diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas
menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya
pembuktian.
b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian.
Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian, alat bukti
petunjuk saja tanpa didukung oleh alat bukti yang lain, tidak
38
cukup dan tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh
karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-
kurangnya satu alat bukti yang lain.
5. Keterangan Terdakwa
Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merumuskan bahwa :
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. ”
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir
dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP ).
Sebagaimana dikemukakan oleh Leden Marpaung yang mengatakan
bahwa:
“Jika diperhatikan Pasal 184 KUHAP yang memuat urutan alat bukti sah, urutan pertama adalah keterangan saksi. Dengan demikian maka pemeriksaan terdakwa tidak dilakukan lebih dahulu, melainkan pada pemeriksaan terakhir. Pemeriksaan terdakwa sebenarnya sejak pemeriksaan saksi, telah dimulai karena setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim Ketua Sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapat terdakwa tentang keterangan saksi tersebut (Pasal 184 ayat (1) KUHAP).” 43
Istilah keterangan terdakwa adalah istilah baru sebagai alat
bukti yang terdapat dalam KUHAP. Sebelumnya dalam HIR istilah
43Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi), Jakarta : Sinar Grafika, hlm 116-117.
39
yang digunakan adalah pengakuan tertuduh. Dari segi bahasa, maka
antara keduanya kelihatan bahwa keterangan terdakwa lebih luas,
sebab keterangan terdakwa meliputi pengakuan dan pengingkaran.
Sedangkan pengakuan tertuduh hanya terbatas pada pernyataan
pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran. 44
Menurut M. Yahya Harahapnilai kekuatan pembuktian alat
bukti keterangan terdakwa adalah sebagai berikut :
a. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya.
b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian. Asas batas minimum pembuktian telah menegaskan, tidak seorang terdakwa pun dapat dijatuhi pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan kepadanya telah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
c. Harus memenuhi asas keyakinan hakim. Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan “keyakinan hakim”, bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 45
D. Anak
1. Pengertian Anak
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber
daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
memerlukan pembinaan perlindungan dalam rangka menjamin
44Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 130-131. 45M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 332-333.
40
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial secara utuh, serasi,
selaras dan seimbang. Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
keturunan yang kedua. 46
Pengertian Anak menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang merumuskan:
“Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 1 angka (2) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu:
“Anak adalah seseorang orang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah nikah.”
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak memberikan pengertian anak yaitu:
“A nak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.” Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
pengertian anak tidak dicantumkan, tetapi batasan anak (orang belum
dewasa) dalam Pasal 45 KUHP adalah orang yang umurnya belum 16
(enam belas) tahun.
Setiap peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang anak
memberikan pengertia n dan batasan yang berbeda tentang anak. Hal ini
dikarenakan mengingat dari setiap peraturan perundang-undangan tersebut
memiliki sudut pandang yang berbeda tentang anak. Berdasarkan beberapa
46Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, hlm 41.
41
pengertian tentang anak di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kalau
ditinjau dari segi usia menurut hukum, maka seseorang yang disebut
sebagai anak adalah berbeda -beda tergantung tempat, waktu dan
kepentingannya.
2. Kenakalan Anak
Keluarga mempunyai kedudukan yang sangat fundamental dalam
pembentukan pribadi anak. Lingkungan keluarga potensial membentuk
pribadi anak untuk hidup secara lebih bertanggungjawab. Bila usaha
pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan
kenakalan, yang dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di
lingkungan masyarakat tempat anak bergaul. Kenakalan anak merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. 47 Disamping itu,
terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai
kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun
sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik
sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan atau
perilaku yang dapat merugikan dirinya dan masyarakat.
Menurut Bismar Siregar yang dikutip oleh Maidin Gultom48,
kenakalan anak disebabkan oleh modernisasi, masyarakat belum siap
menerimanya. Rumah tangga terbengkalai, karena kedua orang tua saling
menunjang mencari nafkah rumah tangga, berakibat anak tersia -sia.
47Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, hlm 63. 48Ibid, hlm 58.
42
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Delinquency.
Juvenile (dalam bahasa Inggris) atau yang dalam bahasa Indonesia berarti
anak-anak; anak muda, sedangkan Delinquency artinya
terabaikan/mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal,
pelanggar peraturan dan lain-lain.49 Juvenile Delinquency adalah perilaku
anak yang merupakan perbuatan yang melanggar norma, yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa disebut sebagai kejahatan. 50 Juvenile
Delinquency juga merupakan suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran
norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh
anak-anak usia muda, pengertian tersebut cenderung sebagai kenakalan
anak daripada kejaha tan anak, karena rasanya terlalu ekstrim bila seorang
anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat.51
Sedangkan menurut Romli Atmasasmita yang dikutip oleh M. Nasir
Djamil52, Juvenile Delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku
seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan
pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat
membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.
Anak yang melakukan tindak pidana atau biasa disebut anak nakal
adalah suatu hal yang dapat dimungkinkan dalam keadaan yang di bawah
49M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum : Catatan Pembahasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Jakarta : Sinar Grafika, hlm 35. 50Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia , Jakarta : Rajawali Pers, hlm 29. 51Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, hlm 30. 52M. Nasir Djamil, Loc.Cit.
43
sadar. Hal ini dikarenakan sifat mental anak sangat rentan dengan
pengaruh lingkungannya. 53
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, tidak ada satu pasal pun yang memberikan batasan
tentang kenakalan anak, hanya saja batasan Anak Nakal dapat dilihat
dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yang menyatakan bahwa Anak Nakal adalah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak, baik menurut peraturan perundangan-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 dimaksudkan untuk lebih melindungi dan
mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depannya yang panjang.
Memberikan kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan
diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung
jawab, dan berguna bagi diri, masyarakat, bangsa, dan negara.54
3. Proses Peradilan Pidana Anak
Sistem peradilan pidana anak adalah suatu sistem penegakan
hukum pidana anak yang dilaksanakan secara terpadu oleh 4 (empat) sub-
sistem kekuasaan, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan,
53Muhammad Azil Maskur, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Nakal (Juvenile Delinquency) Dalam Proses Acara Pidana Indonesia, Pandecta Volume 7 Nomor 2 Juli 2012, hlm 172. 54Mugiman, 2010, Implementasi Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak ( Studi Terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum Dalam Tingkat Penyidikan Di Polres Purbalingga), Jurnal Dinamika Hukum Vol.10 Mei 2010, hlm 115.
44
kekuasaan mengadili atau menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi
atau pelaksanaan pidana, berdasar hukum pidana materii l anak, hukum
pidana formal anak, dan hukum pelaksanaan pidana anak, dan aktivitas
dalam penegakan hukum pidana anak ini lebih menekankan pada
kepentingan perlindungan anak dan tujuan kesejahteraan anak. 55
Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, mengatur bahwa “hukum acara yang berlaku
diterapkan pula dalam pengadilan anak, kecuali lain dalam undang-undang
ini”. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan dalam KUHAP berlaku pula
dalam acara pemeriksaan pengadilan anak.
Salah satu instrumen yang harus ada dalam setiap proses
pemeriksaan perkara pidana anak adalah adanya hasil penelitian
kemasyarakatan (litmas) yang dibuat oleh Petugas Pembimbing
Kemasyarakatan. Fungsi dari hasil litmas adalah memberikan masukan
bagi hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan hukuman dengan tidak
hanya mempertimbangkan dari segi yuridis tapi juga dari sudut nonyuridis
terkait dengan kondisi fisik maupun kejiwaan terdakwa anak beserta hal-
hal lainnya yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana
tersebut seperti kondisi lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya.56
Ada beberapa tahap proses peradilan pidana anak, yaitu terdiri dari:
1. Penyidikan
55 Setya Wahyudi, Op.Cit., hlm 37. 56Hari Widya Pramono, 2013, Upaya Perlindungan Terdakwa Anak Dalam Proses Persidangan Di Pengadilan, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVI No. 319 Juni 2013, hlm 85.
45
Tahap penyidikan ini diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pengertian penyidikan dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yaitu:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan tata cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi da n guna menemukan tersangkanya.”
Penyidikan merupakan salah satu dari tindakan pemeriksaan
pendahuluan menurut KUHAP. Penyidikan dalam perkara pidana anak
adalah kegiatan penyidik anak untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana yang
dilakukan anak.
Penyidik membuat laporan mengenai kasus anak, sebab-sebab
melakukan kenakalan, latar belakangnya, dengan cara wawancara
secara sabar dan halus. Harus dijauhkan tindakan kekerasan atau
penyiksaan, tindakan yang sifatnya sugestif dengan tekanan-tekanan.
Diciptakan suasana sedemikian rupa agar anak merasa aman, tidak
takut sehingga anak dengan lancar memberikan jawaban-jawaban,
mengerti dan menghayati yang telah dilakukan. Dalam proses
penyidikan anak, harus dihindarkan hal-hal yang dapat merugikan
anak. Dalam penyidikan, dihindarkan gertakan-gertakan, kekerasan
fisik dan sebagainya. Orang tuanya mendampingi dan ikut menginsyafi
46
kekurangan-kekurangan dalam melaksanakan kewajibannya kepada
anaknya dan dapat berjanji untuk memperbaikinya. 57
Pemberkasan perkara oleh penyidik anak berdasarkan
ketentuan KUHAP, karena dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak
mengatur sedikitpun tentang pemberkasan perkara. Setelah
pemberkasan selesai, selanjutnya penyidik anak menyerahkan berkas
perkara kepada penuntut umum.
2. Penangkapan dan Penahanan
Pasal 1 angka (20) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merumuskan bahwa:
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam unda ng-undang ini.”
Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat diketahui
bahwa tujuan penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan
penyelidikan dan untuk kepentingan penyidikan.
Adapun syarat-syarat untuk melakukan pena ngkapan adalah
sebagai berikut:
a. Syarat formil
57Maidin Gultom, Op.Cit ., hlm 105.
47
1) Dilakukan oleh penyidik POLRI atau oleh penyelidik atas
perintah penyidik.
2) Dilengkapi dengan Surat Perintah Penangkapan dari penyidik .
3) Menyerahkan surat perintah penangkapan kepada tersangka
dan tembusannya kepada keluarganya.
b. Syarat materiil
1) Ada bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP)
2) Penangkapan paling lama satu hari (Pasal 19 ayat (1) KUHAP)
Penangkapan yang tidak memenuhi syarat formil dan syarat materiil
adalah tidak sah, dan karenanya dapat diajukan ke praperadilan untuk
menyatakan ketidaksahannya dan sekaligus memintakan ganti
kerugian atas penangkapan itu.58
Dalam melakukan tindakan penangkapan, asas praduga tak
bersalah harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan
martabat anak. Anak juga harus dipahami sebagai orang yang belum
mampu memahami masalah hukum yang terjadi atas dirinya.
Melakukan tindakan penangkapan terhadap anak yang diduga
melakukan kenakalan, didasarkan pada bukti yang cukup dan jangka
waktunya terbatas dalam satu hari. Dalam melakukan penangkapan,
diperhatikan hak-hak anak sebagai tersangka, seperti hak mendapat
58Nashriana, Op.Cit., hlm 125-126.
48
bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara
yang ditentukan oleh undang-undang.59
Pasal 1 angka (21) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merumuskan bahwa:
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal ser ta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat
diketahui bahwa tujuan penahanan adalah untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan.
Setiap tersangka pelaku tindak pidana, ketika akan dilakukan
penahanan harus dilakukan dengan surat perintah penahanan, tidak
terkecuali bagi anak. Untuk menahan seorang anak, alasan
penahanannya harus mempertimbangkan kepentingan si anak dan
kepentingan masyarakat yang harus dinyatakan tegas dalam surat
perintah penahanan. 60
Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana
yang diancam pidana penjara lima tahun ke atas, atau tindak pidana-
tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal
ini, muncul persoalan dalam menentukan “diduga keras” dan “bukti
59 Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 97. 60Nashriana, Op.Cit., hlm 128.
49
permulaan”, sebab bisa saja penyidik salah duga atau menduga-duga
saja, hal ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Anak dapat
menjadi korban ketidakcermatan atau ketidaktelitian penyidik.61
Berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak untuk kepentingan penyidikan, penyidik
berwenang melakukan pena hanan terhadap anak yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Penyidik anak dapat melakukan penahanan paling lama 20 hari.
Apabila penyidik menganggap bahwa pemeriksaan yang dilakukan
terhadap anak tersebut belum selesai, penyidik dapat meminta
perpanjangan kepada Penuntut Umum untuk paling lama 10 hari.
Artinya terhadap anak dapat dilakukan penahana n oleh penyidik anak
selama 30 hari, dan apabila pemeriksaan belum selesai dila kukan,
maka anak harus dikeluarkan demi hukum. Penahanan anak yang
lebih sedikit waktunya dibandingkan dengan penahanan bagi orang
dewasa, semata-mata agar anak tidak terlalu lama dalam tahanan,
sehingga akan mengganggu perkembangan fis ik, mental, dan sosial
anak.
Terhadap anak nakal, Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa
penahanan terhadap anak dapat dilakukan setelah dengan sungguh-
sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepentingan
61 Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 98.
50
masyarakat. Penyidik yang melakukan penahanan harus
memperhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan
pekembangan anak secara fisik, mental, ataupun sosial anak.
3. Penuntutan
Pengertian penuntutan menurut Pasal 1 angka (7) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yaitu:
“Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
Berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, penuntutan terhadap anak nakal dilakukan
oleh penuntut umum yang memenuhi syarat telah berpengalaman
sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang
dewasa, mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami
masalah anak.
Setelah menerima berkas perkara yang dilimpahkan oleh
penyidik dan penuntut umum beranggapan bahwa hasil penyidikan
telah cukup dan dapat dilakukan penuntutan, maka berdasarkan Pasal
54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
maka wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai
dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara P idana. Surat
51
dakwaan merupakan dasar adanya suatu perkara pidana yang juga
merupakan dasar hakim melakukan pemeriksaan.
Penuntut umum anak yang diberi tugas untuk melakukan
penuntutan terhadap tersangka anak nakal, selanjutnya melimpahkan
berkas perkara ke pengadilan negeri disertai dengan surat dakwaan.
Pelimpahan berkas perkara pidana dilakukan penuntut umum dengan
surat pelimpahan perkara dengan permintaan agar Pengadilan Negeri
segera mengadili perkara tersebut. Dalam pelimpahan itu penutut
umum juga menyerahkan barang bukti ke pengadilan. Setelah perkara
dilimpahkan, penuntut umum menunggu penetapan hakim tentang hari
sidang perkara tersebut yang segera akan dikirim ke pengadilan. 62
4. Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan
Pemeriksaan sidang anak pada dasarnya dilakukan de ngan
hakim tunggal ( Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak) dengan sidang tertutup. Dengan hakim
tunggal, bertujuan agar sidang anak dapat diselesaikan dengan cepat.
Memang pada prinsipnya penyelesaian perkara anak da pat dilakukan
dengan waktu singkat atau cepat agar anak tidak berlama-lama
mendapat perlakuan terkait pemberian sanksi terhadap kenakalan yang
telah dilakukannya. Perkara anak yang disidangkan dengan hakim
tunggal adalah perkara-perkara pidana yang ancaman hukumannya
lima tahun atau ke bawah dan pembuktiannya mudah atau tidak sulit.
62Nashriana, Op.Cit., hlm 138.
52
Apabila tindak pidananya diancam dengan hukuman penjara diatas
lima tahun dan pembuktiannya sulit, maka berdasarkan Pasal 11 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
perkara tersebut diperiksa dengan Hakim Majelis.63
Sesuai Pasal 56 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, sebelum sidang dibuka, hakim memerintahkan agar
Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitia n
kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan. Setelah laporan
penelitian kemasyarakatan disampaikan oleh pembimbing
kemasyarakatan, hakim membuka sidang dan dinyatakan tertutup
untuk umum. Persidangan perkara anak bersifat tertutup agar tercipta
suasana tenang dan penuh dengan kekeluargaan, sehingga anak dapat
mengutarakan segala peristiwa dan perasaannya secara terbuka dan
jujur selama sidang berjalan.
Setelah sidang dibuka, terdakwa dipanggil masuk ke ruang
sidang bersama orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat hukum,
dan pembimbing kemasyarakatan. Penasihat hukum mempunyai fungsi
membela kepentingan hukum terdakwa di persidangan, ia berperan
aktif dalam rangka mengungkap kebenaran materiil terhadap perkara
yang sedang dihadapi oleh terdakwa. Sedangkan orang tua, wali atau
63Ibid , hlm 141.
53
orang tua asuh dan pembimbing kemasyarakatan lebih banyak bersikap
pasif, hanya pemerhati jalannya persidangan. 64
Dalam mengambil putusan, hakim wajib mempertimbangkan
laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan,
hal ini didasarkan pada Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Putusan harus diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum, dimaksudkan untuk mengedepankan
sikap objektif dari suatu peradilan. Putusan yang tidak diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum adalah batal demi hukum.
Bila tidak ada pilihan lain kecuali menjatuhkan pidana terhadap
anak, patut diperhatikan pidana yang tepat. Untuk memperhatikan hal
tersebut, patut dikemukakan sifat kejahatan yang dilakuka n,
perkembangan jiwa anak, tempat menjalankan hukuman. 65
Banyaknya kasus anak yang diputus pidana penjara saat ini,
menandakan hakim belum dapat mengefektifkan sanksi tindakan
terhadap anak. Penegak hukum peradilan pidana anak saat ini masih
dominan pada penekanan aspek yuridis (aspek melihat pertimbangan
peraturan saja), sehingga aspek kepentingan perlindungan anak
cenderung diabaikan. Oleh karena itu putusan pidana penjara atau
kurungan bagi anak nakal selalu saja muncul. 66
64Ibid , hlm 146. 65Maidin Gultom, Op.Cit ., hlm 120. 66Setya Wahyudi, 2009, Penegakan Peradilan Pidana Anak Dengan Pendekatan Hukum Progresif Dalam Rangka Perlindungan Anak , Jurnal Dinamika Hukum Vol.9 Januari 2009, hlm 30.
54
E. Tindak Pidana Penganiayaan
1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
Penganiayaan adalah istilah yang digunakan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk kejahatan terhadap tubuh, namun
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak
memuat pengertian dari penganiayaan tersebut. Tindak pidana
penganiayaan ini diatur dalam KUHP buku II bab XX.
Pengertian penganiayaan menurut Soenarto Soerodibroto67 bahwa
menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka,
kesengajaan ini harus dituduhkan dalam surat tuduhan. Penganiayaan tidak
menunjuk kepada perbuatan tertentu, misalnya kata mengambil dari
pencurian, penganiayaan berarti berbuat sesuatu dengan tujuan untuk
mengakibatkan rasa sakit.68
Penganiayaan bisa berupa pemukulan, penjebakan, pengirisan,
membiarkan anak kelaparan, memberikan zat, luka,dan cacat. Adapun
penganiayaan berarti menyebabkan cidera atau luka pada badan orang. 69
Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perlakuan
yang sewenang-wenang.70 Pengertian ini adalah pengertian dalam arti luas
yang menyangkut perasaan atau batiniah. Penganiayaan yang dimaksud
dalam ilmu hukum pidana adalah yang menyangkut tubuh manusia.
67Soenarto Soerodibroto, Loc.Cit. 68 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, hlm 68. 69 Andi Hamzah, 2009, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) Di Dalam KUHP, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 70. 70 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., hlm 53.
55
Menurut penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan
Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain :
1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain; atau
2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain. 71
Dengan demikian, untuk menyebut seseorang telah melakukan
penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai
suatu kesenga jaan untuk:
a. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain.
b. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau
c. Merugikan kesehatan orang lain .
2. Jenis-Jenis Penganiayaan
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut “penganiayaan”. Tindak pidana
penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana
(KUHP) buku II bab XX terdiri dari:
1. Penganiayaan Biasa Berdasarkan Pasal 351 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
merumuskan bahwa:
“(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
71Leden Marpaung, 2005, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh , Jakarta: Sinar Grafika, hlm 6.
56
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.” Berdasarkan rumusan Pasal 351 KUHP tersebut tidak
memberikan kejelasan tentang jenis penganiayaan hanya merumuskan
kualifikasinya dan pidana yang diancamkan sehingga dalam Pasal 351
KUHP hanya disebut penganiayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Andi Hamzah72 bahwa rumusan delik ini tidak berdiri atas bagian inti
hanya disebut “penganiayaan” (mishandeling) karena sangat sulit
membuat rumusan atau definisi mengenai penganiayaan karena ribuan
cara untuk menganiaya orang.
Menurut Leden Marpaung, mengamati Pasal 351 KUHP maka
ada 3 (tiga) penganiayaan biasa yakni:
a. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang;
b. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat; c. Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang. 73
Di ayat (4) diberi pengertian tentang apa yang dimaksud
dengan penganiayaan, yaitu “dengan sengaja merusak kesehatan
orang”. Kalau demikian, maka penganiayaan itu tidak mesti berarti
72Andi Hamzah, Op.Cit. , hlm 69. 73Leden Marpaung, Op.Cit., hlm 52.
57
melukai orang. Membuat orang tidak bisa bicara, membuat orang
lumpuh termasuk dalam pengertian ini.74
2. Penganiayaan Ringan yang Diatur oleh Pasal 352 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
merumuskan bahwa:
“(1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan panyakit atu halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. P idana dapat ditambah sepertiga bagi orang ya ng melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.” Rumusan Pasal 352 KUHP di atas dapat diketahui bahwa
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian disebut sebagai
penganiayaan ringan. Apabila akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan
itu hanya berupa rasa sakit atau luka pada tubuh, luka tersebut
merupakan luka yang menghalangi untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencarian meski hanya sementara.
3. Penganiayaan Berencana yang Diatur oleh Pasal 353 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
merumuskan bahwa:
74Andi Hamzah, Loc.Cit.
58
“(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir dengan
tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berfikir sebentar saja
sebelum atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan , sehingga ia
menya dari apa yang dilakukannya. Tidak diperlukan suatu jangka
waktu yang lama, antara saat perencanaaan itu timbul dengan saat
perbuatan dilakukan. Hal ini dapat disimpulkan dari sifat dan cara
perbuatan itu dilakukan serta alat yang digunakan untuk melaksanakan
perbuatan itu. 75
4. Penganiayaan Berat yang Diatur oleh Pasal 354 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
merumuskan bahwa:
“(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.”
75http://pendidikan-hukum.blogspot.com/2011/10/delik-penganiayaan-dan-pembunuhan_24.html, diakses pada tanggal 6 Juni 2013.
59
Dari rumusan Pasal 354 KUHP akibat luka berat merupakan
maksud dan tujuan dari si pelaku yaitu bahwa pelaku memang
menghendaki terjadinya luka berat pada korban. Sehingga pelaku
hanya menghendaki timbulnya luka berat.
Kesengajaan di sini ditujukan kepada melukai berat orang. Jadi,
di sini ada bentuk khusus penganiayaan dengan kesengajaan ditujukan
untuk melukai berat orang dan tidak termasuk mencederai. Bukan
berarti terjadinya nyeri, tetapi luka berat.76
Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
memperluas pengertian luka berat sebagai berikut :
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak akan memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
b. Tidak mampu untuk terus -menerus menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.
c. Kehilangan salah satu panca indera. d. Mendapat cacat berat. e. Menderita lumpuh. f. Terganggu daya pikirnya selama empat minggu atau lebih. g. Gugur atau matinya kandungan seseorang perempuan.
5. Penganiayaan Berat dan Berencana yang Diatur Pasal 355
Kitab Und ang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
merumuskan bahwa:
“(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
76Andi Hamzah, Op.Cit. , hlm 74
60
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Penganiayaan berat dan berencana ini merupakan bentuk
gabungan antara penganiayaan berat dengan penganiayaan berencana,
kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara bersama-sama.
Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik
unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.
Selain daripada itu, diatur pula pada Bab XX (Penganiayaan) oleh
Pasal 358 KUHP, orang-orang yang turut pada perkelahian/
penyerbuan/penyerangan yang dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini
sangat mirip dengan Pasal 170 KUHP sebab perkelahian pada umumnya
penggunaan kekerasan di muka umum.77
77Leden Marpaung, Op.Cit. , hlm 50.
61
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan yang
menggunakan konsepsi legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum lebih
identik dengan norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau
pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini memandang hukum sebagai
sistem normatif yang bersifat otonom tertulis dan terlepas dari kehidupan
masyarakat.78
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian Preskriptif yaitu menurut
Peter Mahmud Marzuki79 menyatakan bahwa ilmu hukum mempunyai
karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu
yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, valid itas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
hukum. Sebagai ilmu terapan , ilmu hukum menciptakan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
78 Ronny Hanitio Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Ju rimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm 13. 79Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum , Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, hlm 22.
62
C. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder
terdiri dari tiga bahan hukum :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer dari penelitian ini diperoleh dari Putusan
Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 05/Pid.B/A/2011/PN. Pbg.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang,
hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan
seterusnya.80
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder.
D. Metode Peng umpulan Bahan Hukum
Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka
terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur dan dokumen-
dokumen yang berhubungan dengan obyek atau masalah yang akan diteliti dan
membuat catatan.
80Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, hlm 13.
63
E. Metode Penyajian Bahan Hukum
Metode penyajian data dalam penyusunan penelitian ini akan disajikan
dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional.
Dalam arti keseluruhan bahan hukum yang diperoleh akan dihubungkan satu
sama lain disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh didasarkan pada norma hukum atau
kaidah-kaidah hukum serta doktrin hukum yang relevan dengan pokok
permasalaha n.
F. Metode Analisis Bahan Hukum
Seluruh data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode
normatif kualitatif yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang
diperoleh berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah-kaidah, teori-teori,
pengertian-pengertian hukum dan doktrin-doktrin yang terdapat dalam ilmu
hukum, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
G. Perbedaan Penelitian Penulis Dengan Penelitian Terdahulu
Penelitian Penulis :
No. Nama Judul Penelitian Tujuan Penelitian
1 Irma Rahmahwati
Pembuktian Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Pelaku anak (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN. Pbg)
a. Untuk mengetahui alasan anak nakal diproses dalam persidangan pada putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg.
b. Untuk mengetahui pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak dalam putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg.
64
Penelitian Terdahulu :
No. Nama Judul Penelitian Tujuan Penelitian
1 Indra Gunawan Pembuktian Dalam Tindak Pidana Penganiayaan (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Kebumen No. 234/Pid.B/2006/PN. Kbm)
a. Untuk mengetahui penerapan sistem pembuktian tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka dan sakit pada orang lain dalam putusan No.234/Pid.B/2006/PN.Kbm.
b. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian keterangan ahli dalam putusan No.234/Pid.B/2006/PN.Kbm.
2 Arya Pradana Pembuktian Dalam Tindak Pidana Pencurian Disertai Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Anak (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 1256/Pid.B/2008/PN.Bks)
a. Untuk mengetahui upaya pembuktian tindak pidana pencurian yang disertai pembunuhan yang dilakukan anak dalam putusan No.1256/Pid.B/2008/PN.Bks.
b. Untuk mengetahui yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana pada perkara No.1256/Pid.B/2008/PN.Bks.
3 Satrio Aji Nugroho
Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Matinya Orang (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pidana No. 23/Pid.B/2006/PN. Pwt)
a. Untuk mengetahui hakim dalam membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain dengan putusan No. 23/Pid.B/2006/PN.Pwt.
b. Untuk mengetahui pidana yang dijatuhkan majelis hakim selama 5 tahun kepada terdakwa sudah memenuhi rasa keadilan.
4 Sylvie Sulastri Pembuktian Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Anak (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor : 16/Pid.Sus/2011/PN.Pwt)
a. Untuk mengetahui pembuktian dalam tindak pidana pencabulan yang dilakukan anak dalam putusan no. 16/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
b. Untuk mengetahui hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap anak dalam putusan No.16/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
65
Penelitian penulis berbeda dengan penelitian terdahulu karena setiap
perkara pidana dalam proses pembuktiannya, alat-alat bukti yang diajukan
maupun alat bukti yang memenuhi syarat untuk dijadikan alat bukti yang sah
untuk dijadikan dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan tidak selalu
sama. Selain itu tindak pidana yang menjadi fokus penelitian penulis
merupakan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak. Penelitian
penulis juga bertujuan untuk mengetahui alasan anak nakal diproses dalam
persidangan pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg , dan untuk
mengetahui pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku
anak pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg.
66
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap Putusan Nomor:
05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, maka diperoleh data-data identitas terdakwa sebagai
berikut:
Nama Lengkap : HA Bin Sm
Tempat lahir : Purbalingga
Umur/Tanggal lahir : 16 tahun/ 16 April 1994
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Kabupaten Purbalingga
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta.
1. Duduk Perkara
Pada awalnya terdakwa hendak pulang dari rumah saudaranya di Kab.
Banyumas menuju ke rumah terdakwa di Purbalingga, ketika terdakwa sedang
jalan kaki menuju pertigaan pasar Sumpiyuh pada saat itu terdakwa ditawari
oleh tukang ojek yaitu saksi korban lalu pada waktu itu terjadi tawar menawar
ongkosnya dan akhirnya disepakati ongkosnya sebesar Rp. 100.000,- (seratus
67
ribu rupiah) selanjutnya terdakwa dibonceng oleh saksi korban menuju Desa
Selakambang.
Ketika diperjalanan pada waktu itu terdakwa merasa kebingungan
karena tidak punya uang untuk membayar ongkos ojek tersebut lalu timbul
niat dari terdakwa untuk melakukan penganiayaan, kemudian pada saat
melewati jalan yang sepi tepatnya di Desa Selakambang terdakwa mengatakan
kepada saksi korban supaya terdakwa minta turun dulu karena jalannya
berlumpur mendengar permintaan terdakwa tersebut kemudian saksi korban
berhenti dan terdakwa turun dari sepeda motor. Setelah turun dari sepeda
motor kemudian pada saat itu juga terdakwa mengambil satu buah batu yang
berada dipinggir jalan denga n tangan kanan lalu memukulkannya ke badan
saksi korban mengenai punggung sebelah atas sebanyak dua kali, setelah
memukul saksi korban kemudian terdakwa melarikan diri menuju ke
rumahnya.
Namun tidak lama setelah berada di rumah terdakwa dapat ditangkap
oleh petugas polisi Polsek Kaligondang untuk diproses hukum yang berlaku.
Akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi korban SM Als. Sl Bin Sr
mengalami luka memar dipunggung sebelah kiri dengan ukuran 3 milimeter
kali 6 cm dan punggung sebelah kanan luka memar 3 milimeter kali 6,5 cm
sesuai dengan Visum et Repertum dari Rumah Sakit Ibu dan Anak tanggal 13
Desember 2010 yang ditanda tangani oleh dr. Mulyadi Yanto dengan
kesimpulan terdapat 2 luka memar di punggung kiri dan kanan, disebabkan
68
persentuhan dengan benda keras, tumpul, tidak bisa dikesampingkan sebagai
penyebabnya.
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terdakwa diduga melakukan
tindak pidana penganiayaan sebagaimana didakwa oleh Penuntut Umum
dengan dakwaan tunggal yaitu :
Bahwa terdakwa HA Bin Sm pada hari Kamis tanggal 9 Desember
2010 sekitar jam 19.00 WIB atau setidaktidaknya pada waktu lain dalam bulan
Desember 2010 bertempat di Desa Selakambang Kec. Kaligondang Kab.
Purbalingga atau setidak tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk
dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Purbalingga, dengan sengaja telah
menganiaya saksi korban SM Als. Sl Bin Sr yang mengakibatkan sakit atau
luka. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3. Pembuktian
Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang
bukti dalam persidangan, yaitu :
a. Alat Bukti Keterangan Saksi
1) Saksi HK Bin SS di bawah sumpah menerangkan sebagai berikut :
Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan saksi
tersebut didepan penyidik adalah benar. Saksi kenal dengan
terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga sedarah ataupun
semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Pada
69
hari Kamis tanggal 09 Desember 2010 19.00 wib di Jalan masuk
Desa Selakambang, Kec. Kaligondang Kab. Purbalingga, telah
terjadi penganiayaan. Yang telah melakukan penganiayaan tersebut
adalah terdakwa dan korbannya SM A ls. Sl Bin Sr tukang ojek asal
Sumpyuh, Banyumas. Saksi mengetahui kejadian tersebut karena
mendengar teriakan orang minta tolong sehingga kemudian dirinya
mencari asal teriakan dimaksud dari jarak sekira 100 meter dari
rumahnya saksi bertemu dengan seorang laki laki sedang
mengendarai sepeda motor pelan-pelan sambil berteriak minta
pertolongan karena dirinya baru saja dianiaya seseorang dan orang
tersebut melarikan diri. Selanjutnya saksi berusaha mencari pelaku
penganiayaan dan mengajak laki-laki korban penganiayaan
tersebut untuk istirahat dan kemudian saksi panggil Ketua Rt. Pada
waktu itu korban sendirian, saksi melihat dipunggung Sdr. SM Als.
Sl Bin Sr terdapat luka memar (tidak ada darah) sebanyak dua buah
yakni dibagian kanan dan kirinya. Menurut keterangan dari korban
karena terdakwa minta diantar ke Purbalingga Desa Selakambang
dan sepakat ongkosnya Rp. 100.000,- namun sampai di jalan licin
terdakwa minta turun, setelah turun tahu-tahu terdakwa langsung
mengambil batu dan dipukulkan kepada korban. Saksi tidak
mengantar ke rumah sakit, terdakwa tidak mempunyai pe kerjaan
yang jelas sehingga kemampuan untuk membayar ongkos ojek
sampai seratus ribu rupiah tidak mungkin, ya dua hari sebelumnya
70
juga terjadi kejadian yang sama sampai akhirnya diketahui kalau
pelakunya adalah terdakwa. Pada waktu saksi mendatangi ke lokasi
korban, korban dalam keadaan memegangi sepeda motornya dan
sepeda motor masih dalam keadaan hidup, pada waktu itu korban
tidak tergeletak. Terhadap barang bukti yang diajukan
dipersidangan berupa 1(satu) buah batu sungai seberat 2(dua)
kilogram, saksi tidak tahu.
Atas keterangan saksi tersebut terdakwa menyatakan benar
dan tidak keberatan.
2) Saksi Mm Bin Sd di bawah sumpah menerangkan sebagai berikut:
Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan saksi
tersebut didepan penyidik adalah benar. Saksi kenal dengan
terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga sedarah ataupun
semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Pada
hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekira jam 19.10 Wib di jalan
raya masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang
Kabupaten Purbalingga, telah terjadi penganiayaan. Yang menjadi
korban penganiayaan tersebut adalah seorang laki-laki yang
mengaku bernama SM Als. Sl Bin Sr, (Tukang ojek) warga
Sumpyuh Banyumas. Saksi mengetahui saat korban sudah berada
di rumah Pak HK Bin SS, saksi datang kesitu. Saat kejadian saksi
sedang sholat isya mendengar ada orang ramai-ramai, dan setelah
selesai sholat saksi datang ke lokasi. Yang saksi lihat di lokasi
71
kejadian adalah korban (tukang ojek) yang telah dipukul oleh
terdakwa pakai batu sebanyak 2 kali, kemudian korban dibawa
kerumah Sdr. HK Bin SS. Korban katanya dipukul dibagian
punggung kanan dan kiri sebanyak 2 kali. Penyebab penganiayaan
tersebut, katanya terdakwa naik ojek dari sumpyuh ke
Selakambang Purbalingga, korban minta ongkos Rp. 100.000,-.
Terdakwa tidak menawar ongkos Rp.50.000,-, saksi tidak
mengantar ke rumah sakit, dan sepeda motor milik korban yang
dipakai untuk ngojek Honda Supra. Terhadap barang bukti yang
diajukan dipersidangan berupa 1(satu) buah batu sungai seberat
2(dua) kilogram, saksi tidak tahu.
Atas keterangan saksi terdakwa menyatakan ada yang
salah, yang benar adalah tidak ada tawar menawar Rp.50.000,- .
Dan atas sanggahan terdakwa tersebut saksi menyatakan tetap pada
keterangan semula.
3) Saksi Mr Bin Sm di bawah sumpah menerangkan sebagai berikut:
Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan saksi
tersebut didepan penyidik adalah benar. Saksi kenal dengan
terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga sedarah ataupun
semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Pada
hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekira jam 19.10 Wib di jalan
raya masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang
Kabupaten Purbalingga, telah terjadi penganiayaan. Saksi
72
mengetahui kejadian penganiayaan tersebut, waktu itu saksi habis
setor dari arah gunung terdengar ada teriakan minta tolong. Waktu
itu saksi datang kerumah Pak HK Bin SS karena korban sudah
dibawa kerumah Pak HK Bin SS. Korban penganiayaan tersebut
adalah seorang laki-laki yang mengaku bernama SM Als. Sl Bin
Sr, (Tukang ojek) warga Sumpyuh Banyumas. Yang menyebabkan
penganiayaan tersebut adalah katanya HA Bin Sm (Terdakwa)
sedang ngojek minta turun di jalan licin tapi tiba-tiba memukul
korban pakai batu sampai 2 kali. Tidak ada tawar menawar untuk
ongkos naik ojek, korban minta ongkos Rp.100.000,-. Waktu itu
terdakwa habis dari rumah Liliknya di Banyumas, dan HA Bin Sm
(terdakwa) tersebut adalah anaknya Sm Bin Jm. Pak Sm Bin Jm
datang ke rumah Pak HK Bin SS, dan bertanya apakah terdakwa
sudah pulang, dijawabnya belum. Pak Sm Bin Jm waktu itu
menyuruh korban supaya istirahat, saksi tidak tahu apakah Pak Sm
Bin Jm membawa korban ke rumah sakit ataukah tidak. Saksi tidak
tahu apakah sudah ada perdamaian antara terdakwa dengan korban,
dan saksi tidak mengetahui perkembangan saksi korban. Waktu itu
saksi lihat baju korban tidak robek dan waktu itu korban memakai
jaket.
Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan.
73
4) Saksi Sm Bin Jm
Saksi adalah Bapak kandung terdakwa, berdasar dan
berpedoman pada Pasal 168 KUHAP telah mengundurkan diri
sebagai saksi. Atas pengunduran saksi tersebut terdakwa tidak
keberatan.
5) Saksi SM Als. Sl Bin Sr di bawah sumpah menerangkan sebagai
berikut:
Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan saksi
tersebut didepan penyidik adalah benar. Saksi tidak kenal dengan
terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga sedarah ataupun
semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Pada
hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekira jam 19.00 Wib di
sebuah jalan Desa masuk Desa Selakambang Kecamatan
Kaligondang Kabupaten Purbalingga, saksi telah menjadi korban
pemukulan yang dilakukan oleh terdakwa. Waktu itu terdakwa naik
ojek dengan saksi dari Sumpyuh dengan tujuan Purbalingga Desa
Selakambang, setelah perjalanan sampai di Desa Selakambang
terdakwa minta turun ditempat jalan licin, lalu tiba -tiba terdakwa
memukul punggung saksi sebanyak 2 kali dengan menggunakan
batu. Terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi mengenai
bagian punggung saksi sebelah kanan dan kiri masing-masing 1
kali. Akibat pemukulan yang dilakukan terdakwa saksi mengalami
sakit (pegel) dibagian punggung selama seminggu, dan berobat ke
74
rumah sakit dengan biaya sendiri sebesar Rp.50.000,-. Saksi waktu
itu minta ongkos ojek Rp. 100.000,- untuk ongkos mengantar
terdakwa dari Sumpyuh sampai ke Desa Selakambang, dan
terdakwa sempat menawar sehingga terjadi harga kesepatakan
Rp.100.000,-. Untuk tarif ke Purbalingga minimal Rp. 100.000,-
dan melihat-lihat orangnya, pernah juga saksi dikasih Rp.
150.000,- untuk mengantar ke Purbalingga, dan saksi sudah 3 kali
mengantar ke Purbalingga dan keempatnya untuk kejadian ini.
Pada saat saksi dipukul terdakwa sempat mengadakan pengejaran
namun tidak berhasil. Saksi mengantar terdakwa baru sekali ini,
waktu itu terdakwa bilang ” Pak aku jujugna meng Purbalingga ”
(Pak saya antar ke Purbalingga) lalu saksi jawab ” Ya nek Rp.
100.000,- tak antar ” ( Ya kalau Rp. 100.000,- saya antar). Yang
melaporkan kejadian pemukulan tersebut kepada Polisi adalah
saksi sendiri, dari keluarga terdakwa be lum pernah menemui saksi
dan belum memberikan santunan untuk pengobatan saksi. Atas
kejadian tersebut saksi merasa dirugikan sebesar Rp.100.000,- dan
tidak akan memaafkan kelakuan terdakwa. Barang bukti yang
diajukan dipersidangan berupa 1 (satu) buah batu sungai seberat
2(dua) kilogram, adalah yang dipergunakan terdakwa untuk
memukul saksi.
Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan.
75
b. Alat Bukti Surat
Dalam perkara ini terdapat bukti surat berupa Visum et Repertum
atas nama SM Als. Sl Bin Sr tanggal 13 Desember 2010, yang dibuat dan
ditandatangani oleh dr. Mulyadi Yanto dokter pemeriksa pada Rumah
Sakit Ibu dan Anak Purbalingga yang menerangkan bahwa terdapat 2 luka
memar yaitu dipunggung sebelah kiri dengan ukuran 3 milimeter kali 6
cm, dan punggung sebelah kanan dengan ukuran 3 milimeter kali 6,5 cm..
c. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Di persidangan telah pula didengar keterangan terdakwa yang pada
pokoknya sebagai berikut :
Terdakwa pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan
terdakwa tersebut didepan penyidik adalah benar. Pada hari Kamis,
tanggal 9 Desember 2010 sekira pukul 19.00 Wib di jalan Desa masuk
Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga,
terdakwa telah melakukan pemukulan terhadap seorang tukang ojek.
Terdakwa melakukan penganiayaan dengan cara saksi korban dipukul
dengan batu kepunggung korban bagia n kanan dan kiri masing-masing
sebanyak 1 kali. Sebab terdakwa melakukan pemukulan, awalnya
terdakwa mau pulang ke Purbalingga dari Sumpyuh naik ojek, dan
terdakwa diminta bayar Rp. 100.000,- akan tetapi terdakwa tidak
punya uang Rp. 100.000,- yang untuk membayar ongkos tersebut.
Tempat terdakwa melakukan pemukulan sepi, dan mengambil batu
yang untuk memukul korban, terdakwa ambil disitu dan saat itu juga.
76
Alasan terdakwa memukul korban karena tidak bisa membayar ongkos
dan mau dibayar dirumah terdakwa juga berpikiran dirumah bapak
juga tidak punya uang sebanyak itu. Waktu itu terdakwa membawa
uang Rp.10.000,-, terdakwa minta turun karena jalan sedang
diperbaiki. Setelah terdakwa memukul korban terus lari kearah kebun
singkong meninggalkan korban. Waktu itu terdakwa setelah turun
langsung ambil batu dan langsung memukul korban dan waktu itu
posisi korban masih diatas sepeda motornya. Waktu terdakwa pulang
dan sampai dirumah, waktu itu orang tua (bapak) terdakwa baru pulang
dari Polsek, terdakwa sudah tidak sekolah dan sudah bekerja di Batam.
Pada waktu terdakwa memukul korban terdakwa tidak kepikiran mau
memukul sebelah mana, dan terdakwa memukul korban agar supaya
korban tidak meminta bayaran. Terdakwa baru sekali melakukan
kejahatan, ke Banyumas seminggu dalam rangka main, terdakwa
merasa kasihan dengan orang tua terdakwa. Terdakwa kerja di Batam
sebulan dibayar Rp. 600.000,-, dan orang tua terdakwa bekerja cabutan
tiap hari dapat penghasilan sekitar Rp. 20.000,-. Terdakwa pulang dari
Batam karena kehendak orang tua karena terdakwa kerja di Batam
terlalu jauh dengan orang tua sedangkan terdakwa masih anak-anak.
Barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa 1(satu) buah batu
sungai seberat 2(dua) kilogram, adalah batu yang dipergunakan
terdakwa untuk memukul saksi.
77
d. Barang Bukti
Penuntut Umum mengajukan barang bukti berupa : 1 (satu) buah
batu sungai seberat 2 (dua) kilogram, di mana terhadap barang bukti
tersebut te lah disita sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga dapat
dipergunakan untuk memperkuat pembuktian dalam perkara ini.
4. Tuntutan Penuntut Umum
Setelah mendengar keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa,
dan memperhatikan bukti surat berupa Visum et Repertum serta barang
bukti yang diajukan di persidangan, maka Jaksa Penuntut Umum
mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1) Menyatakan bahwa terdakwa HA Bin Sm terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penganiayaan yang
mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam pasal 351 ayat (1)
KUHP dalam Dakwaan Tunggal;
2) Menjatuhka n pidana terhadap terdakwa HA Bin Sm dengan pidana
penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangan selama terdakwa berada
dalam tahanan, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan;
3) Menyatakan barang bukti berupa:
a) 1 (satu) buah batu sungai seberat sekitar 2 kg, dirampas untuk
dimusnahkan;
4) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000,-
(seribu rupiah).
78
5. Putusan Pengadilan Negeri
a. Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi, keterangan
terdakwa, bukti surat berupa Visum et Repertum dan barang bukti yang
diajukan dipersidangan, dapatlah disusun fakta yuridis sebagai berikut;
1) Bahwa pada hari Kamis, tanggal 9 Desember 2010 sekira pukul
19.00 Wib di jalan Desa masuk Desa Selakambang Kecamatan
Kaligondang Kabupaten Purbalingga, terdakwa telah melakukan
pemukulan terhadap SM Als. Sl Bin Sr yang pekerjaannya sebagai
tukang ojek;
2) Bahwa terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi korban SM
Als. Sl Bin Sr karena tidak mempunyai ongkos ojek yang
disepakati sebesar Rp.100.000,- dari Sumpyuh ke Purbalingga
dengan naik ojek saksi korban;
3) Bahwa terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi korban
dengan cara korban dipukul dengan batu kepunggung korban
bagiam kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali;
4) Bahwa akibat pemukulan yang dilakukan terdakwa, saksi korban
mengalami sakit selama seminggu, sebagaimana yang diterangkan
dalam Visum et Repertum tanggal 13 Desember 2010, yang dibuat
dan ditandatangani oleh dr. Mulyadi Yanto dokter pemeriksa pada
Rumah Sakit Ibu dan Anak Purbalingga.
79
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini,maka
dengan menunjuk segala sesuatu yang tercantum di dalam berita acara
sidang haruslah dianggap telah termuat seluruhnya dan merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
Menimbang, bahwa sampailah kini hakim pada pembahasan secara
yuridis, apakah berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan
dapat menjadikan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan kepadanya, dan apakah terdakwa dapat dipidana
atas perbuatan dimaksud;
Menimbang, bahwa para terdakwa diajukan oleh Penuntut Umum
dengan dakwaan tunggal yaitu pasal 351 ayat (1) KUHP, yang unsur-
unsurnya sebagai berikut;
Unsur “Barangsiapa” ;
Unsur “Dengan Sengaja”;
Unsur “Melakukan Penganiayaan” ;
ad. Unsur “Barangsiapa” ;
Menimbang bahwa, yang dimaksud dengan Unsur
“Barangsiapa”, yaitu siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban
(subyek hukum) yang dapat di pertanggungjawabkan atas perbuatan
pidana yang telah dilakukannya, yang dalam perkara ini telah
diperhadapkan di persidangan terdakwa HA Bin Sm, yang identitasnya
sesuai dengan identitas terdakwa dalam dakwaan Penuntut Umum dan
telah dibenarkan dalam persidangan;
80
Menimbang bahwa, berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,
maka unsur “Barangsiapa” telah terpenuhi;
ad. Unsur “Dengan Sengaja” ;
Menimbang, bahwa menurut ilmu hukum yang dimaksud
dengan “sengaja”, adalah dikehendaki dan diketahui atau diinsyafi
akibat dari perbuatan tersebut;
Menimbang, bahwa “Dengan Sengaja” dalam kaitannya dengan
perkara ini, terdakwa mengetahui kalau sebuah batu yang merupakan
benda keras bila dipukulkan terhadap manusia akan berakibat
kesakitan terhadap yang dipukul, dalam perkara ini terdakwa telah
memukulkan batu kepunggung korban bagian kanan dan kiri masing-
masing sebanyak 1 kali kepada SM Als. Sl Bin Sr, sehingga kesakitan;
Menimbang bahwa, berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,
maka unsur “Dengan Sengaja” telah terpenuhi;
ad. Unsur “Melakukan Penganiayaan” ;
Menimbang, bahwa menurut yurispr udensi, yang dimaksud
dengan penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja yang
menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka;
Menimbang bahwa, berdasarkan keterangan saksi-saksi
keterangan terdakwa, dikaitkan dengan bukti surat berupa Visum et
Repertum dan barang bukti yang diajukan dipersidangan telah ternyata,
pada hari Kamis, tanggal 9 Desember 2010 sekira pukul 19.00 Wib di
jalan Desa masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang
81
Kabupaten Purbalingga, terdakwa telah melakukan pemukulan
terhadap SM Als. Sl Bin Sr yang pekerjaannya sebagai tukang ojek
dengan cara korban dipukul dengan batu kepunggung korban bagiam
kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali yang mengakibatkan
saksi korban mengalami sakit sebagaimana diterangkan dalam Visum
et Repertum tanggal 13 Desember 2010, yang dibuat dan
ditandatangani oleh dr. Mulyadi Yanto dokter pemeriksa pada Rumah
Sakit Ibu dan Anak Purbalingga;
Menimbang bahwa, berdasarkan pertimbangan tersebutdiatas,
maka unsur “Melakukan Penganiayaan” telah terpenuhi ;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur pasal 351 ayat (1)
KUHP telah terpenuhi, maka Pengadilan Negeri berpendapat bahwa
terdakwa telah terbukti sacara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum
tersebut;
Menimbang, bahwa Hakim sependapat dengan dakwaan Jaksa
Penuntut Umum, namun tidak sependapat dengan besarnya hukuman
pidana yang dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum;
Menimbang, bahwa karena hal-hal diatas maka berdasar pasal 193
KUHAP kepadanya haruslah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana
sesuai dengan perbuatannya, serta berdasar pasal 222 KUHAP kepadanya
dibebani membayar biaya pe rkara;
82
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa ditahan maka masa
penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa akan dikurangi sepenuhnya
dari pidana penjara yang dijatuhkan, dan terhadap pidana yang akan
dijatuhkan dianggap telah sesuai dengan rasa keadilan pada diri terdakwa
serta yang ada dan berkembang dalam masyarakat;
Menimbang, bahwa pengamatan Hakim selama persidangan
berlangsung, terdakwa sehat jiwa dan akalnya, serta tidak dijumpai alasan
pemaaf dan penghapus pidana pada diri terdakwa, maka kepadanya dapat
dipertanggungjawabka n atas perbuatannya;
Menimbang, bahwa, perilaku menyimpang yang dilakukan anak ini
disebabkan oleh beberapa faktor internal maupun eksternal dari si anak, di
antaranya adalah perkembangan fisik dan jiwanya (emosinya) yang belum
stabil, mudah tersinggung dan peka terhadap kritikan, serta karena
disebabkan pengaruh lingkungan sosial di mana anak itu berada. (Gatot
Supramono, 2000:4), Perilaku menyimpang anak-anak tersebut (atau yang
disebut juga dengan deliquency) tidak dapat dipandang mutlak sama
dengan perbuatan menyimpang yang dilakukan orang dewasa. Meskipun
pada prinsipnya jenis perbuatannya sama, namun tingkat kematangan fisik
dan emosi anak masih rendah, dan masa depan anak seharusnya dapat
menjadi pertimbangan dalam hal menentukan perlakuan yang tepat
terhadap mereka. Terhadap anak yang melakukan perbuatan yang
menyimpang, sikap yang ditunjukkan masyarakat dan pemerintah
seringkali kurang arif. Anggapan atau stigma sebagai anak nakal atau
83
penjahat seringkali diberikan kepada mereka, bahkan dalam proses
peradilan, mereka kerapkali diperlakukan tidak adil. Sehingga yang terjadi
adalah anak-anak pelaku kejahatan tersebut menjadi korban struktural dari
para penegak hukum;
Menimbang, bahwa terhadap barang bukti yang diajukan
dipersidangan berupa: 1 (satu) buah batu sungai seberat 2 (dua) kilogram,
dikarenakan terhadap barang bukti tersebut digunakan terdakwa untuk
melakukan kejahatan, maka berdasar serta berpedoman pada pasal 194
ayat (1) KUHAP terhadap barang bukti tersebut dirampas untuk
dimusnahkan;
Menimbang, bahwa karena menurut hukum terdakwa masih
tergolong anak-anak, maka berdasarkan pasal 1 ayat 2 huruf a Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 termasuk anak nakal, maka berdasarkan
pasal 22 jo pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Hakim
mempunyai alternatif yaitu dapat memilih menjatuhkan pidana atau
tindakan terhadap terdakwa, namun berdasarkan fakta-fakta yang
terungkap dipersidangan dan hasil penelitian kemasyarakatan terhadap
terdakwa, Hakim berpendapat lebih tepat dan adil apabila terhadap
terdakwa dijatuhi pidana penjara;
Menimbang, bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa
tidak dimaksudkan untuk balas dendam ataupun merendahkan harkat
martabatnya ataupun untuk memisahkan terdakwa dengan orang tuanya,
melainkan untuk menyadarkan terdakwa dalam kesalahannya dan untuk
84
pembinaan baginya agar sebagai generasi muda penerus bangsa yang
mempunyai peranan strategis bagi kehidupan bangsa dikemudian hari akan
diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri,
bertanggungjawab, mental dan jiwanya akan tumbuh dan berkembang
secara sehat dan wajar, berguna bagi dirinya, keluarga dan masyarakat,
bangsa dan Negara sekaligus diharapkan mampu menjadi daya tangkal
baginya untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum
namun harus seimbang dengan rasa keadilan yang hidup ditengah
masyarakat;
Menimbang, bahwa sebelum Hakim menjatuhkan putusan maka
berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP akan
dipertimbangkan hal-hal yang dapat dijadikan untuk menentukan berat
ringannya hukuman yang akan dijatuhkan atas diri terdakwa :
Hal-hal yang memberatkan :
1) Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat ;
2) Perbuatan terdakwa mengakiba tkan saksi korban SM Als. Sl Bin Sr
mengalami luka-luka;
Hal-hal yang meringanka n :
1) Terdakwa berlaku sopan dipersidangan, mengaku terus terang ;
2) Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya ;
3) Terdakwa masih anak-anak sehingga masih memerlukan bimbingan
orang tuanya, dengan demikian diharapkan dapat memperbaiki mental
dan prilakunya ;
85
4) Terdakwa belum pernah dihukum;
Menimbang, bahwa disamping hal-hal tersebut diatas Hakim juga
mendasar pada laporan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) atas nama
terdakwa HA Bin Sm, Nomor : 16/Pid.A/XiI/2010, tanggal 21 Desember
2010, yang dibuat dan ditandatangani ole h SUSWANTO, NIP.19590524
19803 1 002, pembimbing kemasyarakatan pada BAPAS Purwokerto;
b. Amar Putusan Pengadilan
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim di atas dalam
perkara Nomor: 05/Pid.B/A/2011/Pn.Pbg, maka hakim memutuskan:
1) Menyatakan terdakwa HA Bin Sm, terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“PENGANIAYAAN”;
2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan;
3) Menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangi
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tersebut;
4) Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5) Menetapkan agar barang bukti, berupa :
a) 1 (satu) buah batu sungai seberat 2 (dua) kilogram ;
Dirampas untuk dimusnahkan;
b) Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah);
86
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan No:
05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, maka dapat dilakukan suatu pembahasan sebagai
berikut:
1. Alasan Anak Nakal diproses dalam persidangan pada Putusan
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg.
Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai penerus cita -cita
perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
Anak juga memiliki hak untuk dilindungi harkat dan martabatnya oleh
undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka mewujudkan sumber daya
manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan dan perlindungan
untuk menjamin kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental dan sosial anak.
Pasal 1 (angka 1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak memberikan pengertian anak yaitu :
“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”
Berdasarkan pengertian tersebut maka terdakwa HA Bin Sm termasuk
dalam kategori anak nakal karena HA Bin Sm baru berumur 16 tahun saat
melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap seorang tukang ojek.
Situasi dan kondisi sosial sangat berpengaruh terhadap kejiwaan dan
perilaku seorang anak. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dalam
87
masyarakat, kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan
anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan
melanggar hukum tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Disamping itu,
terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai
kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial.
Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun
tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan atau perilaku yang dapat
merugikan dirinya dan atau masyarakat.
Keluarga memiliki peran yang strategis dalam membentuk pribadi
anak untuk hidup secara lebih bertanggungjawab. Anak harus dipersiapkan
untuk menghadapi kehidupan pribadi dalam masyarakat. Jika dalam sebuah
keluarga usaha untuk membentuk pribadi anak menjadi baik itu gagal, maka
anak cenderung melakukan kenakalan. Kenakalan tersebut dapat terjadi di
lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat anak bergaul.
Kenakalan anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia serta salah satu bentuk perilaku menyimpang yang tidak terlepas dari
masyarakat.
Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah
anak yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar
hukum, dan memerlukan perlindungan. Dapat juga disebut anak yang harus
mengikuti prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi
dapat dikatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang
melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak
88
(Juvenile Delinquency). Juvenile (dalam bahasa Inggris) atau yang dalam
bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan Delinquency
artinya terabaikan/mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat,
kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Sedangkan menurut Romli
Atmasasmita yang dikutip oleh M. Nasir Djamil81, Juvenile Delinquency
adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18
tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma -norma
hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak
yang bersangkutan.
Kenakalan anak merupakan suatu ancaman terhadap norma -norma
sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial yang dapat
menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial
dan merupakan ancaman bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Kenakalan
anak disamping merupakan masalah kemanusian juga merupakan masalah
sosial, sehingga penanganan kenakalan anak merupakan tanggung jawab
bersama anggota masyarakat. 82 Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh
anak-anak merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud
merugikan orang lain seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan
kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) di mana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya itu serta
pelaku mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut. Dengan
81 M. Nasir Djamil, Op.Cit., hlm 35. 82 Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 61.
89
demikian, maka kurang pas apabila kenakalan anak dianggap sebuah
kejahatan murni.83
Latar belakang anak melakukan kenakalan, tentu tidak sama dengan
latar belakang orang dewasa dalam melakukan kejahatan. Mencari latar
belakang atau sebab anak melakukan kenakalan sebagai lingkup dari
kriminologi akan sangat membantu dalam memberi masukan tentang apa yang
sebaiknya diberikan terhadap anak yang telah melakukan kenakalan. Artinya,
berbicara tentang kenakalan anak, tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong
atau motivasi sehingga seorang anak melakukan kenakalan. 84
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
memberikan perlindungan hukum kepada anak yang melakukan kenakalan,
sehingga anak yang melakukan kenakalan mendapat penanganan secara
khusus, sedangkan peradilan yang dijalani anak tersebut pun diatur dengan
mengingat kekhususan pada anak. Demi pertumbuhan dan perkembangan
mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acara
dan ancaman pidananya. Undang-undang ini juga mengatur tentang
pemeriksaan terhadap anak nakal harus dilaksanakan dalam suasana
kekeluargaan.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, tidak ada satu pasal pun yang memberikan batasan tentang kenakalan
anak, hanya saja batasan Anak Nakal dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (2)
83M. Nasir Djamil, Op.Cit., hlm 34. 84 Nashriana, Op.Cit. , hlm 35.
90
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang
menyatakan bahwa Anak Nakal adalah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
anak, baik menurut peraturan perundangan-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa:
“Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.” Di sini tampak bahwa pembentuk undang-undang mempunyai
ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di bawah umur
sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan
yang khusus bagi kepentingan psikologi anak. 85 Adapun latar belakang
pembentuk undang-undang menentukan batas umur minimum dan maksimum
(minimum ages and maximum ages floor), oleh karena pada umur tersebut
secara psikologis dan pedagogis anak dapat dianggap sudah mempunyai rasa
tanggung jawab. 86
Pada Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga
No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, HA Bin Sm termasuk dalam kategori anak nakal
yang melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini HA Bin Sm dapat
diajukan ke sidang anak karena usianya yang sudah 16 tahun.
85Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, hlm 26. 86Nashriana, Op.Cit., hlm 67.
91
Pengelompokan anak berdasarkan pertimbangan umur sangatlah
penting, mengingat pada tiap tingkatan usia anak berbeda pula tingkat
kematangan anak dalam berpikir sehingga akan berbeda cara memperlakukan
anak tersebut. Batasan dari segi usia akan sangat berpengaruh pada
kepentingan hukum anak yang bersangkutan. Perta nggungjawaban pidana
anak diukur dari tingkat kesesuaian antara kematangan moral dan kejiwaan
anak dengan kenakalan yang dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental
dan sosial anak menjadi perhatian. 87
Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Sehingga sebelum
adanya suatu proses peradilan pidana anak perlu adanya upaya penyelesaian
melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justic e). Sebagaimana
dikemukakan oleh M. Nasir Djamil 88 bahwa pemidanaan atau penjaraan
sebagai upaya yang paling akhir terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum, sehingga untuk anak yang berhadapan dengan hukum diperlakukan
prinsip-prinsip Restorative Justice System di mana membangun perdamaian
dan kedamaian dalam masyarakat merupakan suatu hal yang utama.
Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan
pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan
87Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 33. 88M. Nasir Djamil, Op.Cit., hlm 119.
92
pembalasan. Pengetian keadilan restoratif ini terdapat dalam Pasal 1 angka (6)
Undang-Undang Nomor 11 ahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Keadilan restoratif juga mendorong pada perbaikan kesejahteraan
masyarakat melalui cara-cara menghadapkan pelaku anak pada
pertanggungjawaban atas perilakunya, korban yang biasanya dihalangi ikut
berperan serta dalam proses peradilan kini diberi kesempatan untuk berperan
serta di dalam proses penyelesaian. Tujuan akhir dari keadilan restoratif
diharapkan berkurangnya jumlah anak-anak yang ditangkap, ditahan, dan
dipenjara, mengembalikan anak menjadi manusia yang diharapkan dapat
berguna kelak di kemudian hari. Anak nakal dapat menyadari kesalahannya,
sehingga tidak mengulangi perbuatannya dan tidak menimbulkan rasa dendam
karena pela ku telah dimaafkan oleh korban. Apabila pihak-pihak tidak
menghendaki penyelesaian melalui keadilan restoratif , maka proses peradilan
baru dilaksanakan oleh para penegak hukum.
Polisi menyatakan dalam mena ngani perkara anak dimungkinkan
terjadi perdamaian, dengan tujuan menghindari stigmatisasi pada anak dan
mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana. Tetapi di sisi lain, harus
dilihat dari sudut pandang korban. Bisa saja kasus itu ringan tetapi bila
menurut korban berat, maka polisi tidak bisa memaksakan upaya perdamaian.
Akibatnya perkaranya akan diproses lebih lanjut ke persidangan.89
89Noeke Sri Wardhani, 2009, Penerapan Pidana Alternatif Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Di Pengadilan Negeri Bengkulu, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol V No. II Agustus 2009, hlm 50.
93
Pada Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, antara pelaku, korban, keluarga korban atau
keluarga pelaku tidak pernah melakukan upaya perdamaian. Hal ini
berdasarkan keterangan saksi korban SM Als. Sl Bin Sr yang menyatakan
bahwa keluarga HA Bin Sm belum pernah menemui saksi dan belum
memberikan santunan untuk pengobatan saksi, sehingga saksi melaporkan
kejadian pemukulan tersebut kepada polisi.
Kelemahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak tidak mengatur adanya pendekatan keadilan restoratif. Sehingga
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat Indonesia saat ini. Karena itu, Undang-Undang tersebut diganti
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang akan berlaku dua tahun terhitung sejak tanggal
diundangkan. Tujuan utama Undang-undang ini adalah menciptakan keadilan
restoratif bagi anak yang berhadapan atau berkonflik dengan hukum.
Hal yang baru dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak batas bawah usia anak yang bisa dimintai
pertanggungjawaban hukum adalah 12 (dua belas) tahun. Sebelumnya, anak
yang berusia 8 (delapan) sampai 18 (delapan belas) tahun diberikan
tanggungjawab pidana sesuai dengan Pasal 1 angka (1), Pasal 4 ayat (1), dan
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Anak umur 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan
94
emosional, mental dan intelektual yang stabil. Batas umur 12 tahun lebih
menjamin hak anak untuk tumbuh be rkembang dan mendapatkan
perlindungan hukum sebagaimana dijamin Pasal 28 D ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945.
Aparat penegak hukum lebih mengutamakan sistem peradilan pidana
yang ada sebagai jalan dalam penyelesaian kasus anak. Sistem Peradilan
Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan
pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Sistem
peradilan pidana anak pada dasarnya tidak berbeda dengan prosedur yang
dijalankan pada sistem peradilan orang dewasa. Perbedaan hanya terletak pada
masa penahanan dan lama hukuman yang lebih singkat dari orang dewasa dan
seharusnya petugas yang menangani kasus anak adalah yang memiliki
pengetahuan tentang anak.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam
pasal-pasalnya menganut beberapa asas yang membedakannya dengan sidang
perkara pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai
berikut:
1. Pembatasan Umur (Pasal 1 angka (1) jo Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997);
Orang yang dapat disidangkan dalam acara pengadilan anak ditentukan
secara limitatif, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan
maksimum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Ruang Lingkup Masalah Dibatasi;
95
Masalah yang diperiksa di sidang Pengadilan Anak hanyalah
menyangkut perkara anak nakal saja. Sidang anak hanya berwenang
memeriksa perkara pidana, jadi masalah-masalah lain di luar pidana
bukan wewenang Pengadilan Anak. Sidang Pengadilan Anak hanya
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesa ikan perkara Anak
Nakal (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997).
3. Ditangani Pejabat Khusus;
Perkara anak nakal ditangani pejabat khusus yaitu penyidik anak,
penuntut umum anak, dan hakim anak.
4. Peran Pembimbing Kemasyarakatan;
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 mengakui Peran Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, dan Pekerja Sosial Relawan.
5. Suasana Pemeriksaan dan Kekeluargaan;
Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakukan dalam suasana
kekeluargaan, karena itu hakim, penuntut umum, penyidik, dan
penasihat hukum tidak memakai toga.
6. Keharusan Splitsing;
Anak tidak boleh disidangkan atau diadili bersama orang dewasa baik
yang berstatus sipil maupun militer.
7. Acara Pemeriksaan Tertutup;
Acara pemeriksaan di Pengadilan Anak dilakukan secara tertutup dan
putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 153 ayat
96
(3) KUHAP dan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997).
8. Diperiksa Oleh Hakim Tunggal;
Hakim yang memeriksa perkara di Pengadilan Anak, baik di tingkat
pertama, banding atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal. Apabila
tindak pidananya diancam dengan pidana penjara di atas 5 (lima) tahun
dan pembuktiannya sulit, maka berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 perkara diperiksa dengan hakim majelis.
9. Masa Penahanan Lebih Singkat;
Masa penahanan terhadap anak lebih singkat yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dibandingkan dengan masa
penahanan yang diatur dalam KUHAP. Hal ini memberikan
perlindungan terhadap anak, sebab dengan penahanan yang tidak
begitu lama tidak akan berpengaruh besar terhadap perkembangan
fisik, mental dan sosial anak.
10. Hukuman Lebih Ringan;
Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal (Pasal 22 jo Pasal 23
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997), lebih ringan dari ketentuan
yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal terhadap anak nakal
adalah 10 (sepuluh) tahun. Hakim pengadilan anak harus dengan jeli
mempertimbangkan dan memahami bahwa penjatuhan pidana terhadap
anak merupakan upaya terakhir (ultimum remedium).90
90Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 87-88.
97
Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, mengatur bahwa “hukum acara yang berlaku diterapkan
pula dalam pengadilan anak, kecuali lain dalam undang-undang ini”. Hal ini
berarti ketentuan-ketentuan dalam KUHAP berlaku pula dalam acara
pemeriksaan pengadilan anak.
Banyak perkara termasuk perkara anak nakal di pengadilan dari tahun
ke tahun menunjukkan peningkatan sehingga terkesan setiap perbuatan anak
nakal dapat dipastika n selalu diproses melalui jalur hukum. Proses
persidangan merupakan proses yang menghasilkan sebuah putusan yang
menyatakan terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Dalam proses persidangan
tersebut akan dilakukan pembuktian untuk membuktikan apakah terdakwa
bersalah atau tidak bersalah yang dilakukan dengan memeriksa alat-alat bukti
dan barang bukti yang ada.
Proses peradilan pidana anak terdiri dari beberapa tahap. Tahap
penyidikan diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Penyidik membuat laporan mengenai
kasus anak, sebab-sebab melakukan kenakalan, latar belakangnya, dengan cara
wawancara secara sabar dan halus.
Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak merumuskan bahwa “Penyidik wajib memeriksa tersangka
dalam suasana kekeluargaan”. Dalam penjelasan pasal dirumuskan bahwa
suasana kekeluargaan antara lain pada waktu memeriksa tersangka, penyidik
tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif dan
98
simpatik. Efektif dapat diartikan bahwa pemeriksaannya tidak memakan
waktu lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak
dan dapat mengajak tersangka untuk memberikan keterangan yang sejelas-
jelasnya, sedangkan simpatik dapat diartikan bahwa pada waktu pemeriksaan
penyidik bersikap sopan dan ramah serta tidak membuat takut si tersangka
anak.91
Pasal 1 angka (29) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mendefinisikan keterangan anak
yaitu:
“Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat diketahui bahwa tujuan
penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan penyelidikan dan untuk
kepentingan penyidikan. Dalam melakukan tindakan penangkapan, asas
praduga tak bersalah harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan
harkat dan martabat anak.
Anak juga harus dipahami sebagai orang yang belum mampu
memahami masalah hukum yang terjadi atas dirinya. Melakukan tindakan
penangkapan terhadap anak yang diduga melakukan kenakalan, didasarkan
pada bukti yang cukup dan jangka waktunya terbatas dalam satu hari. Dalam
melakukan penangkapan, diperhatikan hak-hak anak sebagai tersangka, seperti
91Nashriana, Op.Cit., hlm 119.
99
hak mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata
cara yang ditentukan oleh undang-undang. 92
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak merumuskan bahwa :
“(1) Penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari.”
Berdasarkan duduk perkara pada Putusan Pengadilan Negeri
Purbalingga No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg bahwa HA Bin Sm pada hari Kamis
tanggal 9 Desember 2010 sekitar jam 19.00 WIB bertempat di jalan desa
masuk Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga
telah melakukan pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr seorang
tukang ojek. HA Bin Sm melakukan pemukulan terhada p korban SM Als. Sl
Bin Sr karena tidak mempunyai ongkos ojek yang disepakati sebesar Rp
100.000,-. HA Bin Sm melakukan pemukulan tersebut dengan cara korban
dipukul menggunakan batu pada bagian punggung korban bagian kanan dan
kiri masing-masing sebanyak 1 kali sehingga mengakibatkan sakit atau luka.
Berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, untuk kepentingan pemeriksaan maka dilakukan
penangkapan terhadap HA Bin Sm.
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak merumuskan bahwa:
92 Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 97.
100
“Untuk kepentingan penyidikan, penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.” Penyidik anak dapat melakukan penahanan paling lama 20 hari.
Apabila penyidik menganggap bahwa pemeriksaan yang dilakukan terhadap
anak tersebut belum selesai, penyidik dapat meminta perpanjangan kepada
Penuntut Umum untuk paling lama 10 hari. Artinya terhadap anak dapat
dilakukan penahanan oleh penyidik anak selama 30 hari, dan apabila
pemeriksaan belum selesai dilakukan, maka anak harus dikeluar kan demi
hukum. Penahanan anak yang lebih sedikit waktunya dibandingkan dengan
penahanan bagi orang dewasa, semata-mata agar anak tidak terlalu lama dalam
tahanan, sehingga akan mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial
anak.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, dengan bukti permulaan yang cukup HA Bin
Sm diduga telah melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap SM Als. Sl
Bin Sr, maka penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap HA Bin Sm
untuk kepentingan penyidikan.
Pemberkasan perkara oleh penyidik anak berdasarkan ketentuan
KUHAP, karena dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak mengatur sedikitpun tentang
pemberkasan perkara. Setelah pemberkasan selesai, selanjutnya penyidik anak
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
101
Penuntutan dalam acara pidana anak mengandung pengertian tindakan
penuntut umum anak untuk melimpahkan perkara anak ke pengadilan anak
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim anak dalam
persidangan anak.93
Tugas penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari
penyidik anak, harus segera mempelajari dan menelitinya, dan dalam tempo 7
(tujuh) hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan
yang dilakukan telah cukup ataukah tidak. Jika ternyata hasil penyidikan
belum lengkap, maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada
penyidik anak dengan disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan
untuk dilengkapi. 94
Setelah menerima berkas perkara yang dilimpahkan oleh penyidik dan
penuntut umum beranggapan bahwa hasil penyidikan telah cukup dan dapat
dilakukan penuntutan, maka wajib dalam waktu secepatnya penuntut umum
membuat surat dakwaan.95 Hal ini sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang merumuskan:
“Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka ia wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.”
Surat dakwaan merupakan dasar adanya suatu perkara pidana yang juga
merupakan dasar hakim melakukan pemeriksaan.
93M. Nasir Djamil, Op.Cit ., hlm 159. 94Nashriana, Op.Cit., hlm 132. 95Ibid , hlm 134.
102
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, penuntut umum membuat surat dakwaan atas
tindak pidana yang disangkakan kepada HA Bin Sm. Kemudia n penuntut
umum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Purbalingga disertai
dengan surat dakwaan untuk diproses dalam persidangan anak. Dalam
pelimpahan tersebut penuntut umum juga menyerahkan barang bukti berupa 1
(satu) buah batu sungai seberat 2 (dua) kilogram ke pengadilan negeri.
Berkaitan dengan penelitian terhadap ketentuan-ketentuan di atas maka
alasan anak nakal diproses dalam persidangan pada Putusan No.
05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg dapat diketahui, yaitu:
a. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak bahwa batas umur Anak Nakal yang dapat
diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin. Nashriana96 mengatakan pasal tersebut menunjukkan
bahwa yang disebut sebagai anak yang dapat diperkarakan ke sidang
anak hanyalah anak yang berumur antara 8 tahun sampai 18 tahun dan
belum pernah kawin. Terhadap anak yang walaupun belum mencapai
18 tahun tetapi telah menikah, tidak dapat diajukan ke sidang anak,
tetapi ke sidang orang dewasa berdasarkan KUHP dan KUHAP. HA
Bin Sm termasuk dalam kategori anak nakal yang melakukan tindak
96Ibid , hlm 77.
103
pidana, sehingga dalam hal ini HA Bin Sm dapat diajukan ke sidang
anak karena usianya yang sudah 16 tahun.
b. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Menurut
Wagiati Soetodjo 97, penahanan hanya merupakan upaya terakhir dalam
menyelesaikan suatu perkara setelah sebelumnya diselesaikan dengan
cara lain tidak mendapat jalan keluarnya. Sehingga sebelum adanya
suatu proses peradilan pidana anak perlu adanya upaya perdamaian.
Namun antara pelaku, korban, keluarga korban atau keluarga pelaku
tidak pernah melakukan upaya perdamaian. Hal ini berdasarkan
keterangan saksi korban SM Als. Sl Bin Sr yang menyatakan bahwa
keluarga HA Bin Sm belum pernah menemui saksi dan belum
memberikan santunan untuk pengobatan saksi, sehingga saksi
melaporkan kejadian pemukulan tersebut kepada polisi.
c. Berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, untuk kepentingan pemeriksaan maka dilakukan
penangkapan terhadap HA Bin Sm. Dengan bukti permulaan yang
cukup HA Bin Sm diduga telah melakukan tindak pidana
penganiayaan terhadap SM Als. Sl Bin Sr, maka penyidik berwenang
melakukan penahanan terhadap HA Bin Sm untuk kepentingan
penyidikan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Menurut
97Wagiati Soetodjo, Op.Cit., hlm 42.
104
Maidin Gultom 98, dasar diperkenankan suatu penahanan anak, adalah
adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup, bahwa anak
melakukan tindak pidana (kenakalan).
d. Penuntut umum beranggapan bahwa hasil penyidikan telah cukup dan
dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut umum membuat surat
dakwaan atas tindak pidana yang disangkakan kepada HA Bin Sm, hal
ini berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Kemudian penuntut umum melimpahkan
berkas perkara ke Pengadilan Negeri Purbalingga disertai dengan surat
dakwaan untuk diproses dalam persidangan anak. Sebagaimana
dikemukakan oleh Nashriana99 bahwa Penuntut umum anak yang
diberi tugas untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka anak
nakal, selanjutnya melimpahkan berkas perkara ke pengadilan negeri
disertai dengan surat dakwaan. Pelimpahan berkas perkara pidana
dilakukan penuntut umum dengan surat pelimpahan perkara dengan
permintaan agar Pengadila n Negeri segera mengadili perkara tersebut.
Dalam pelimpahan itu penuntut umum juga menyerahkan barang bukti
ke pengadilan.
2. Pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku
anak pada Putusan No: 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg.
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran
materiil atau kebenaran yang sebenar -benarnya. Hakim harus mencari dan
98Maidin Gultom, Op.Cit., hlm 98. 99Nashriana, Op.Cit., hlm 138.
105
mendapatkan kebenaran materiil yang diperoleh dari alat bukti sebelum
mengambil suatu putusan. Upaya mencari kebenaran mate riil ini menjadi
salah satu perbedaan antara hukum acara pidana dengan hukum acara perdata.
Tujuan hukum acara perdata adalah mencari kebenaran formil, sehingga
hakim tidak diwajibkan untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.
Hukum acara pidana mengenal asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence) untuk mengetahui apakah seseorang bersalah atau tidak bersalah
dapat diketahui dengan proses pembuktian. Pembuktian dalam hukum acara
pidana merupakan bagian yang sangat penting dan memegang peranan yang
sangat strategis dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Membuktikan
mengandung maksud dan tujuan untuk menyatakan kebenaran atas suatu
peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa
tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembuktian berarti
merupakan suatu perbuatan membuktikan. Sedangkan membuktikan dapat
diartikan memperlihatkan bukti, menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti,
ataupun meyakinkan dengan bukti.100 Jika dikaitkan dengan hukum acara
pidana yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran materiil, maka
membuktikan berarti memperlihatkan, menyatakan kebenaran ataupun
meyakinkan dengan menggunakan alat bukti serta barang bukti.
Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
100Pusat Bahasa Depart emen Pendidikan Nasional, Op.Cit., hlm 172.
106
mempertanggungjawabkannya. Melalui pembuktian akan ditentukan nasib
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat
bukti yang dibenarkan undang-undang. Apabila hasil pembuktian dengan alat-
alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari
hukumannya. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan
dengan alat-alat bukti, terdakwa dinyatakan bersalah dan dikenakan hukuman
kepadanya.
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum
kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. 101 Sedangkan pengertian
pembuktian menurut M. Yahya Harahap, yang mengatakan bahwa:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kete ntuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.” 102 Tujuan pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran
materiil, bukan untuk mencari kesalahan seseorang. Oleh karena itu para
hakim harus hati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan
mempertimbangkan masalah pembuktian. Tujuan pembuktian dalam hukum
acara pidana berbeda dengan hukum acara perdata. Tujuan pembuktian dalam
hukum acara pidana yaitu untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran
101http://lawfile.blogspot.com/2011/06/pengertian-pembuktian.html, diakses pada tanggal 4 Juni 2013. 102M. Yahya Harahap, Op.Cit ., hlm 273.
107
yang hakiki mengenai suatu tindak pidana dan pelaku yang sesungguhnya dari
tindak pidana tersebut. Tujuan pembuktian pada hukum acara perdata adalah
mencari kebenaran formil, sehingga hakim tidak diwajibkan untuk mencari
kebenaran yang sesungguhnya dari perkara yang diperiksanya.
Ditinjau dari segi hukum acara pidana, pembuktian merupakan
ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan
mempertahankan kebenaran, hakim, penuntut umum, terdakwa, maupun
penasihat hukum masing-masing terikat pada ketentuan tata cara penilaian alat
bukti yang ditentukan undang-undang artinya bahwa dalam mempergunakan
dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti hakim,
jaksa, terdakwa, maupun penasihat hukum harus melaksanakannya dalam
batas-batas yang dibenarkan undang-undang. Sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai oleh KUHAP yaitu untuk menentukan kebenaran materiil,
maka di dalam acara pembuktian jaksa penuntut umum harus dapat
menunjukkan bukti-bukti yang sah menurut KUHAP yang pada akhirnya
dapat memberikan keyakikan pada hakim bahwa terdakwalah yang bersalah
telah melakukan suatu tindak pidana.
Dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurut Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-U ndang Hukum Acara Pidana tersebut hukum acara pidana
108
Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif yaitu menggunakan alat bukti yang telah ditentukan undang-undang
dan dengan keyakinan hakim. Berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hakim
dalam menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk
menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Hakim membuktikan kesalahan terdakwa dengan memeriksa
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
2. Hakim memperoleh keyakinan atas pembuktian dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut bahwa telah terjadi
tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dalam proses pembuktian perkara di pengadilan diperlukan alat bukti
dan barang bukti yang benar -benar dapat membuat terang suatu tindak pidana
yang disangkakannya yang akhirnya akan digunakan sebagai bahan
pembuktian. Alat bukti sah yang diajukan bertujuan untuk memberikan
kepastian pada hakim tentang perbuata n-perbuatan terdakwa sebagaimana
yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam surat dakwaan. Karena
tujuan pemeriksaan pengadilan di persidangan adalah untuk mencari
kebenaran materiil. Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana diatur
dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang terdiri dari :
1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk;
109
5. Keterangan terdakwa. Mengenai alat bukti dalam pembuktian pada praktek pemeriksaan
perkara pidana dipersidangan alat bukti yang paling sering dan paling banyak
dipergunakan untuk pembuktian adalah keterangan saksi dan keterangan
terdakwa. Keterangan saksi dan keterangan terdakwa mempunyai kedudukan
yang sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Purbalingga
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, alat bukti yang digunakan oleh Hakim
Pengadilan Negeri Purbalingga adalah:
1. Alat Bukti Keterangan Saksi
Salah satu alat bukti yang digunakan dalam pembuktian yaitu
keterangan saksi yang merupakan alat bukti paling utama dalam
perkara pidana. Sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang memuat urutan alat bukti sah, urutan pertama adalah
keterangan saksi. Pada dasarnya alat bukti keterangan saksi merupakan
alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Dapat dikatakan
tidak ada perkara pidana yang luput dari alat bukti keterangan saksi.
Jika suatu tindak pidana sudah dibuktikan dengan alat bukti yang lain,
sekurang-kurangnya masih tetap diperlukan pembuktian dengan alat
bukti keterangan saksi. Karena tanpa kehadiran saksi dipersidangan
penuntut umum tidak akan dapat membuktikan kesalahan terdakwa.
110
Pasal 1 angka (27) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana , merumuskan
sebagai berikut :
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya ini.”
Alat bukti keterangan saksi adalah alat bukti yang paling
utama. Hal ini disebabkan karena alat bukti keterangan saksi
merupakan alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam sidang
pengadilan dan memegang peranan yang penting dalam menentukan
bersalah atau tidaknya terdakwa. Dengan kata lain alat bukti
keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan dalam
pembuktian selain alat-alat bukti yang lain, meskipun terkadang dalam
memberikan keterangannya saksi memberikan keterangan yang tidak
sebenarnya untuk meringankan atau memberatkan dakwaan yang
didakwakan kepada terdakwa.
Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti ialah keterangan
saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-U ndang Hukum Acara Pidana yaitu
keterangan yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan saksi yang diberikan atas dasar hasil pemikiran
sendiri bukan merupakan keterangan saksi. Saksi tidak boleh
111
memberikan keterangan mengenai terjadinya suatu tindak yang ia
dengar dari orang lain. Keterangan seperti di dalam ilmu pengetahuan
hukum pidana disebut sebagai suatu kesaksian de auditu atau suatu
testimonium de auditu , yang tidak mempunyai kekuatan hukum
sebagai suatu kesaksian. 103
Keterangan saksi HK Bin SS, saksi Mm Bin Sd, saksi Mr Bin
Sm, serta saksi korban SM Als. Sl Bin Sr pada Putusan
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg yang diberikan di bawah sumpah di
dalam persidangan, isi keterangannya sesuai dengan sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1 angka (27) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Keterangan tersebut yaitu apa yang ia dengar, ia lihat dan ia alami
sendiri, sehingga keterangan tersebut dapat bernilai sebagai alat bukti.
Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji agar
keterangannya dapat menjadi alat bukti yang sah. Pasal 160 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana merumuskan:
“Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.” Ada beberapa saksi yang dapat memberikan keterangannya
tanpa harus mengucapkan sumpah terlebih dahulu yakni sebagaimana
dinyatakan dalam ketentuan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8
103P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit., hlm 419.
112
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
merumuskan bahwa:
“Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan
belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-
kadang ingatannya baik kembali.”
Dari ketentuan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas maka
dapat diketahui bahwa anak yang belum berumur 15 (lima belas) tahun
dan belum pernah kawin serta orang yang sakit jiwa dapat memberikan
keterangan di muka persidangan mengenai peristiwa tindak pidana
yang ia dengar, ia lihat, serta ia alami sendiri tanpa harus disumpah
terlebih dahulu. Oleh karena itu maka dapat diketahui bahwa alat bukti
keterangan saksi tanpa mengangkat sumpah ini memiliki kekuatan
pembuktian yang berbeda dengan nilai kekuatan pembuktian
keterangan saksi dibawah sumpah, dimana nilai kekuatan pembuktian
keterangan saksi dibawah umur atau tanpa diangkat sumpah hanya
dijadikan petunjuk bagi hakim untuk menilai benar tidaknya kesalahan
terdakwa dan fungsinya untuk menambah keyakinan hakim dalam
memutuskan suatu tindak pidana. Sebagaimana dinyatakan dalam
penjelasan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa:
“Mengingat bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dlaam ilmu
113
penyakit jiwa disebut Psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpahatau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.”
Pada Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, saksi HK Bin SS,
saksi Mm Bin Sd, saksi Mr Bin Sm, serta saksi korban SM Als. Sl Bin
Sr telah disumpah terlebih dahulu sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing sebelum memberikan keterangannya.
Keterangan saksi-saksi tersebut merupakan alat bukti yang sah karena
sebelum memberikan keterangan para saksi disumpah terlebih dahulu.
Jika saksi tidak mau mengucapkan sumpah maka akibat
hukumnya keterangan saksi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat
bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat
menguatkan keyakinan hakim.
Sumpah yang diucapkan sebelum memberi keterangan di muka
sidang pengadilan dengan alasan :
1. Saksi akan terpengaruh oleh sumpah atau janji yang diucapkan.
2. Saksi akan mengurangi niat untuk mengingkari janji.
3. Bahwa keterangan yang diucapkan akan mempunyai kekuatan
pembuktian. 104
Saksi-saksi yang diajukan penuntut umum memberikan
keterangannya secara langsung di persidanga n. Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
104Suharto RM, Op.Cit., hlm 142.
114
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
merumuskan:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Berdasarkan Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, saksi HK
Bin SS, saksi Mm Bin Sd, saksi Mr Bin Sm, serta saksi korban SM
Als. Sl Bin Sr memberikan keterangannya secara langsung di
persidangan.
Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, hal ini
berdasarkan Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
merumuskan:
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”
Hal ini mengandung suatu asas yang sangat penting untuk
diperhatikan, baik oleh penyidik, penuntut umum, hakim maupun
penasihat hukum, yakni asas unus testis nullus testis, atau yang di
dalam praktik juga sering disebut dengan perkataan satu saksi bukan
saksi.
Berdasarkan Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, saksi yang
yang dihadirkan sebanyak 5 orang. Namun 1 orang saksi yaitu saksi
Sm Bin Jm yang merupakan Bapak kandung terdakwa, berdasar dan
berpedoman pada Pasal 168 KUHAP telah mengundurkan diri sebagai
115
saksi. Pasal 168 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan bahwa:
“Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas
atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.”
Sehingga saksi yang memberikan keterangannya hanyalah 4 orang
yaitu saksi HK Bin SS, saksi Mm Bin Sd, saksi Mr Bin Sm, serta saksi
korban SM Als. Sl Bin Sr.
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang
sah apabila keterangan saksi itu saling berhubungan satu dengan yang
lain sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan
tertentu. Jika keterangan beberapa saksi tidak saling berhubungan
antara yang satu dengan yang lain maka tidak akan dapat mewujudkan
suatu kebenaran akan suatu kejadian tertentu. Keterangan beberapa
saksi yang seperti itu tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa.
Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merumuskan:
“Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
116
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk
memberi keterangan yang tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang
pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.”
Berdasarkan Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg saksi HK
Bin SS, saksi Mm Bin Sd, saksi Mr Bin Sm, serta saksi korban SM
Als. Sl Bin Sr memberikan keterangan yang saling berhubungan dan
saling bersesuaian satu dengan yang lain yang menerangkan bahwa
HA Bin Sm pada hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekitar jam
19.00 WIB bertempat di jalan desa masuk Desa Selakambang
Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga telah melakukan
pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr seorang tukang ojek.
HA Bin Sm melakukan pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr
karena tidak mempunyai ongkos ojek yang disepakati sebesar Rp
100.000,-. HA Bin Sm melakukan pemukulan tersebut dengan cara
korban dipukul menggunakan batu pada bagian punggung korban
bagian kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1 kali sehingga
mengakibatkan sakit atau luka.
2. Alat Bukti Surat
Pengertian surat tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
tetapi bisa didapatkan dari para ahli. Pengertian surat menurut Asser-
117
Anema dalam Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril105, surat ialah
segala sesuatu yang mengandung tanda baca yang dapat dimengerti,
dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.
Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa:
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, diliha t atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”
Surat yang dimaksud pada Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat resmi yang berbentuk berita
acara, akte, surat keterangan atau surat lain yang mempunyai hubungan
dengan perkara yang sedang diadili. Surat dari rumusan pasal tersebut
agar dapat dijadikan alat bukti yang sah yaitu dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Permintaan untuk
105Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 127.
118
mendapatkan suatu surat keterangan ahli dapat dipandang sebagai
suatu permintaan yang resmi, apabila permintaan tersebut diminta oleh
pejabat-pejabat tertentu yang disebutkan dalam KUHAP dalam
kualitas mereka sebagai penyidik, penuntut umum dan hakim, dan
dimaksud untuk membuat terang suatu perkara pidana dalam
pemeriksaan, baik oleh penyidik, oleh penuntut umum maupun oleh
majelis hakim.
Sepucuk surat itu walaupun di dalamnya tertulis hal-hal yang
sangat penting, tidak dengan sendirinya ia merupakan suatu alat bukti
yang sah menurut undang-undang. Akan tetapi, isi surat tersebut dapat
digunakan sebagai dasar pembuktian, apabila ada saksi yang dapat
memberikan keterangan di bawah sumpah mengenai asal-usul dari
surat itu dan mengenai apa yang dituliskan dalam surat itu sendiri. 106
Ahli yang menyatakan keterangannya pada waktu diperiksa
oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk
laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu menerima
jabatan atau pekerjaan, maka dapat berupa Visum et Repertum. Visum
et Repertum memiliki arti penting untuk menjamin kepastian hukum
dan memudahkan penegak hukum atau pihak lain dalam proses
peradilan perkara pidana dalam mengetahui, mempelajari, dan menilai
hal-hal nyata sebagai hasil pemeriksaan yang tertuang di dalamnya.
Visum et Repertum termasuk alat bukti yang sah bagi hakim untuk
106P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit., hlm 426.
119
memeriksa kasus -kasus tindak pidana. Visum et Repertum
diklasifikasikan sebagai “surat keterangan” yang dibuat berdasarkan
hasil pemeriksaan seorang ahli pada tubuh korban, yang diduga akibat
tindak pidana. Seorang ahli dapat memberikan keterangannya dalam
bentuk tertulis sehingga dapat dijadikan alat bukti yaitu alat bukti
surat.
Polisi sebagai penyidik dalam tindak pidana, sudah lazim untuk
pertama sekali mengetahui suatu tindak pidana , maka untuk keperluan
penyidikan, polisi berdasarkan wewenangnya yaitu Pasal 133 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana mengirim korban penganiayaan kepada dokter
kehakiman untuk meminta Visum et Repertum sebagai pengganti alat
bukti, kemudian dokter kehakiman memeriksa korban penganiayaan,
dan dari hasil pemeriksaannya dibuat dalam bentuk Visum et Repertum
dan dengan secepatnya diserahkan kepada penyidik untuk melakukan
pemeriksaan pendahuluan.
Visum et Repertum sendiri berasal dari bahasa latin yaitu visum
– something seem, appearance (sesuatu yang dilihat), et – and (dan),
repertum – invention, find out (ditemukan). Jadi pengertian Visum et
Repertum adalah apa yang dilihat dan ditemukan pada korban.
120
Menurut R. Soeparmono107 pengertian mengenai Visum et Repertum
adalah sebagai berikut:
“Visum et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan atas bukti hidup, mayat, atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik -baiknya. Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan, yang juga merupakan pendapat dari seorang ahli maupun kesaksian (ahli) secara tertulis sebagaimana yang tertuang dalam bagan pemberitaan (hasil pemeriksaan). Oleh karena itu Visum et Repertum semata-mata hanya dibuat agar perkara pidana menjadi jelas dan hanya berguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan serta diperuntukan bagi kepentingan peradilan.”
Dapat dikatakan Visum et Repertum adalah keterangan tertulis dari
seorang dokter atas sumpah jabatan dengan permintaan tertulis dari
pihak berwenang mengenai apa yang dilihat dan / atau yang ditemukan
pada barang bukti baik orang hidup atau mati untuk kepentingan
peradilan.
Visum et Repertum juga berperan dalam menentukan tindak
pidana yang terjadi. Selain itu hakim juga dapat membuktikan tindak
pidana yang terjadi, yaitu dengan melihat niat dan tujuan yang ingin
dituju oleh pelaku. Dalam tindak pidana penganiayaan pada Putusan
No.05/Pid.B /A/2011/PN.Pbg, tujuan pelaku adalah dengan sengaja
menimbulkan rasa sakit atau luka tubuh pada korban. Sehingga tindak
pidana yang dilakukan oleh HA Bin Sm merupakan tindak pidana
107R. Soeparmono, 2002, Ahli dan Visum et Repertum Dalam Praktek Hukum Acara Pidana, Semarang: Setia Wacana, hlm 98.
121
penganiayaan sesuai dengan niat dan tujuannya yaitu menimbulkan
rasa sakit atau luka tubuh pada korban.
Berdasarkan Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg terdapat alat
bukti surat berupa Visum et Repertum atas nama saksi korban SM Als.
Sl Bin Sr tanggal 13 Desember 2010, yang dibuat dan ditandatangani
oleh dr. Mulyadi Yanto dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Ibu dan
Anak Purbalingga yang menerangkan bahwa terdapat 2 luka memar
yaitu dipunggung sebelah kiri dengan ukuran 3 milimeter kali 6 cm,
dan punggung sebelah kanan dengan ukuran 3 milimeter kali 6,5 cm.
3. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir
dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dapat
dijadikan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang
dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan
terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi.
Makna keterangan terdakwa ditempatkan pada urutan terakhir
dimaksudkan agar terdakwa dapat mendengarkan dan memperhatikan
keterangan alat bukti yang lain, sehingga ia akan dapat merenungkan
dengan tenang apabila nanti mendapat pertanyaan yang diajukan oleh
hakim, penuntut umum maupun dari penasihat hukumnya.
122
Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merumuskan
bahwa :
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. ” Istilah keterangan terdakwa adalah istilah baru sebagai alat
bukti yang terdapat dalam KUHAP. Sebelumnya dalam HIR istilah
yang digunakan adalah pengakuan tertuduh. Dari segi bahasa, maka
antara keduanya kelihatan bahwa keterangan terdakwa lebih luas,
sebab keterangan terdakwa meliputi pengakuan dan pengingkaran.
Sedangkan pengakuan tertuduh hanya terbatas pada pernyataan
pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran. 108
Istilah keterangan terdakwa adalah lebih cocok karena sesuai
dengan asas yang dianut KUHAP ialah asas praduga tidak bersalah,
sebab apabila menggunakan istilah pengakuan tertuduh berarti sudah
melanggar hak asasi terdakwa dan tidak sesuai dengan asas praduga
tidak bersalah, karena dengan istilah tertuduh sudah dianggap bersalah
dan dalam pemeriksaan hanya tinggal mengusahakan pengakuan saja.
Memeriksa terdakwa adalah tidak semudah yang diperkirakan, karena
terdakwa mempunyai hak ingkar, dan dapat mengaku yang bukan
108Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm 130-131.
123
sebenarnya lebih-lebih apabila sudah ada rencana antara terdakwa dan
para saksi, tanpa kearipan hakim keputusan akan menjadi fatal.109
Dengan digunakannya perkataan keterangan terdakwa di dalam
KUHAP mempunyai arti, bahwa untuk menyatakan terbuktinya tindak
pidana yang didakwakan kepada terdakwa, hakim tidak perlu
mendasarkan hal tersebut semata -mata pada adanya pengakuan dari
terdakwa, melainkan ia juga dapat mendasarkan pernyataan tentang
terbuktinya terdakwa melakukan tindak pidana seperti yang telah
didakwakan oleh penuntut umum kepadanya, pada lain-la in alat bukti
yang telah dibicarakan di atas, misalnya pada keterangan saksi,
keterangan ahli, surat atau pada petunjuk-petunjuk.
Terdakwa memiliki hak untuk memberikan keterangan secara
bebas kepada hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, agar
pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada
yang sebenarnya maka terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut
sehingga perlu dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap
terdakwa. Keterangan terdakwa diberikan tanpa harus mengucapkan
sumpah terlebih dahulu, hal itu yang sering membuat keterangan
terdakwa seringkali diabaikan oleh hakim. Selain itu keterangan
terdakwa seringkali diabaikan karena ada kecenderungan seseorang
untuk mengelak melakukan kejahatan yang dilakukannya yang
109Suharto RM, Op.Cit., hlm 158 -159.
124
disebabkan faktor psikologis. Andi Hamzah110 mengatakan bahwa
psikologi memegang peranan penting. Pada umumnya manusia takut
menerima pidana. Dan walaupun dalam hatinya terbenih keinginan
menerangkan yang sebenarnya, kadang-kadang takut menerima pidana
itu akhirnya yang menang, sehingga pada umumnya terdakwa
mengkhianati hati nuraninya sendiri.
Keterangan terdakwa meskipun demikian, seharusnya hakim
jangan selalu mengabaikan keterangan terdakwa karena keterangan
terdakwa merupakan alat bukti yang sah di dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Keterangan terdakwa memang ditempatkan di posisi terakhir
di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hal ini salah
satu alasan agar dalam pemeriksaan terdakwa memberikan
keterangannya paling akhir agar terdakwa dapat secara jelas mengerti
tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Keterangan terdakwa sebenarnya memiliki sifat yang sama
dengan keterangan saksi. Menurut Andi Hamzah111 yang mengatakan
bahwa perubahan alat pembuktian dari pengakuan terdakwa menjadi
keterangan terdakwa sangat penting dan membawa akibat jauh, bahwa
keterangan terdakwa itu mempunyai sifat yang sama dengan
keterangan saksi.
110Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 281. 111 Ibid, hlm 280.
125
Pembuktian harus tetap dilaksanakan meskipun terdakwa telah
memberikan pengakuan bahwa ia yang bersalah. Pengakuan tersebut
tidak boleh dianggap dan dinilai sebagai alat bukti yang sempurna dan
mengikat. Hal itu juga ditegaskan M. Yahya Harahap112 yang
mengatakan bahwa seperti yang telah diungkapkan, seribu kalipun
terdakwa memberikan pernyataan pengakuan sebagai pelaku dan yang
bersalah tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengakuan itu
tidak boleh dianggap dan dinilai sebagai alat bukti yang sempurna,
menentukan dan mengikat.
Sudah tentu tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai
alat bukti yang sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan
terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-
undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara
lain :
1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan.
2. Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan, ketahui, atau alami
sendiri. Pernyataan terdakwa meliputi :
a. Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan sendiri.
b. Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa.
c. Tentang apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.
112M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 331.
126
d. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap
dirinya sendiri. 113
Berdasarkan Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, di
persidangan terdakwa HA Bin Sm telah memberikan keterangan yang
menerangkan bahwa terdakwa HA Bin Sm pada hari Kamis tanggal 9
Desember 2010 sekitar jam 19.00 WIB bertempat di jalan desa masuk
Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga
telah melakukan pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr
seorang tukang ojek. HA Bin Sm melakukan pemukulan terhadap
korban SM Als. Sl Bin Sr karena tidak mempunyai ongkos ojek yang
disepakati sebesar Rp 100.000,-. HA Bin Sm melakukan pemukulan
tersebut dengan cara korban dipukul menggunakan batu pada bagian
punggung korban bagian kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1
kali sehingga mengakibatkan sakit atau luka .
Berdasarkan Putusan No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg selain alat bukti
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, penuntut umum juga
mengajukan barang bukti. Barang bukti sendiri tidak diatur secara khusus
seperti halnya alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 184 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana . Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara
jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun, dalam Pasal 39
113Ibid, hlm 320.
127
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang merumuskan :
“Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.”
Dapat dikatakan benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat disebut sebagai barang bukti.
Pengertian barang bukti menurut Nikolas Simanjuntak yang
mengatakan bahwa:
“Barang bukti adalah benda-benda, kertas, surat, uang, alat yang dipakai, materi, zat, warna, dan sebagainya, baik sebagai data maupun sebagai benda itu sendiri apa adanya untuk menjadi bahan terhadap data dan keterangan yang telah dibuat ke dalam berita acara. Barang atau benda itu sendiri bukan alat bukti, tetapi segala surat dan keterangan yang menjelaskan tentang apa dan bagaimana barang itulah yang menjadi alat-alat bukti hukum.”114
Pengertian barang bukti yang tidak dijelaskan oleh Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana merumuskan :
114Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 266-267.
128
“Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.”
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana memberikan penjelasan bahwa penyidik
mempunyai keluasan dalam hal tertangkap tangan dapat menyita selain benda
yang diduga atau patut diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana
tetapi juga benda-benda lain untuk dipakai sebagai barang bukti. Dari pasal
tersebut dapat dikatakan bahwa barang bukti adalah benda yang diduga atau
patut diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana, dan juga benda -benda
lain dapat dipakai sebagai barang bukti dalam hal tertangkap tangan.
Pada putusan Pengadilan Negeri Purbalingga
No.05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, Penuntut Umum mengajukan barang bukti
berupa 1 (satu) buah batu sungai seberat 2 (dua) kilogram, di mana terhadap
barang bukti tersebut telah disita sesuai dengan peraturan yang berlaku
sehingga dapat dipergunakan untuk memperkuat pembuktian dalam perkara
ini.
Setelah syarat-syarat dalam Pasal 183 jo Pasal 184 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
telah terpenuhi, maka untuk dapat melihat apakah tindak pidana penganiayaan
tersebut benar -benar terjadi harus melihat unsur-unsur dalam tindak pidana
tersebut. Penganiayaan adalah istilah yang digunakan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) untuk kejahatan terhadap tubuh, namun dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak memuat pengertian dari
129
penganiayaan tersebut. Pengertian penganiayaan menurut Soenarto
Soerodibroto115 bahwa menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan sakit
atau luka, kesengajaan ini harus dituduhkan dalam surat tuduhan.
Menurut penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan
Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain :
1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain; atau
2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain. 116
Dengan de mikian, untuk menyebut seseorang telah melakukan
penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai
suatu kesengajaan untuk:
a. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain.
b. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau
c. Merugikan kesehatan orang lain.
Oleh karena dakwaan penuntut umum merupakan dakwaan tunggal,
maka hakim akan mempertimbangkan dakwaan dengan fakta-fakta hukum
yang terungkap di persidangan, yaitu perbuatan terdakwa sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yang unsur -unsurnya
seba gai berikut:
1. Unsur “Barangsiapa” ;
2. Unsur “Dengan Sengaja”;
3. Unsur “Melakukan Penganiayaan” ;
115Soenarto Soerodibroto, Loc.Cit. 116Leden Marpaung, 2005, Op.Cit., hlm 6.
130
ad. 1. Unsur “Barangsiapa” ;
Yang dimaksud dengan Unsur “Barangsiapa”, yaitu siapa saja
sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum) yang dapat di
pertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya,
yang dalam perkara ini telah diperhadapkan di persidangan terdakwa
HA Bin Sm, yang identitasnya sesuai dengan identitas terdakwa dalam
dakwaan Penuntut Umum dan telahdibenarkan dalam persidangan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka unsur
“Barangsiapa” telah terpenuhi;
ad. 2. Unsur “Dengan Sengaja” ;
Menurut ilmu hukum yang dimaksud dengan “sengaja”, adalah
dikehendaki dan diketahui atau diinsyafi akibat dari perbuatan tersebut.
Bahwa “Dengan Sengaja” dalam kaitannya dengan perkara ini,
terdakwa mengetahui kalau sebuah batu yang merupakan benda keras
bila dipukulkan terhadap manusia akan berakibat kesakitan terhadap
yang dipukul, dalam perkara ini terdakwa telah memukulkan batu
kepunggung korban bagian kanan dan kiri masing-masing sebanyak 1
kali kepada saksi korban SM Als. Sl Bin Sr, sehingga kesakitan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka unsur
“Dengan Sengaja” telah terpenuhi;
ad. Unsur “Melakukan Penganiayaan” ;
131
Menurut yurisprudensi, yang dimaksud dengan penganiayaan
adalah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak,
rasa sakit atau luka .
Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa,
dikaitkan dengan bukti surat berupa Visum et Repertum dan barang
bukti yang diajukan dipersidangan telah ternyata, pada hari Kamis,
tanggal 9 Desember 2010 sekira pukul 19.00 Wib di jalan Desa masuk
Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga,
terdakwa telah melakukan pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin
Sr yang pekerjaannya sebagai tukang ojek dengan cara korban dipukul
dengan batu kepunggung korban bagiam kanan dan kiri masing-
masing sebanyak 1 kali yang mengakibatkan saksi korban mengalami
sakit sebagaimana diterangkan dalam Visum et Repertum tanggal 13
Desember 2010, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Mulyadi
Yanto dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Ibu dan Anak Purbalingga.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka unsur
“Melakukan Penganiayaan” telah terpenuhi.
Melihat unsur-unsur di atas bahwa semua unsur Pasal 351 ayat (1)
KUHP telah terpenuhi, maka Pengadilan Negeri berpendapat bahwa terdakwa
telah terbukti sacara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut.
132
Berkaitan dengan penelitian terhadap ketentuan-ketentuan di atas,
maka pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak
pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg dapat diketahui yaitu :
a. Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang diberikan di bawah sumpah
di persidangan yang saling bersesuaian dengan keterangan terdakwa
yang diberikan di persidangan yang menyatakan bahwa HA Bin Sm
pada hari Kamis tanggal 9 Desember 2010 sekitar jam 19.00 WIB
bertempat di jalan desa masuk Desa Selakambang Kecamatan
Kaligondang Kabupaten Purbalingga telah melakukan pemukulan
terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr seorang tukang ojek. HA Bin Sm
melakukan pemukulan terhadap korban SM Als. Sl Bin Sr karena tidak
mempunyai ongkos ojek yang disepakati sebesar Rp 100.000,-. HA
Bin Sm melakukan pemukulan tersebut dengan cara korban dipukul
menggunakan batu pada bagian punggung korban bagian kanan dan
kiri masing-masing sebanyak 1 kali sehingga mengakibatkan sakit atau
luka. Kemudian dihubungkan dengan alat bukti surat berupa Visum et
Repertum atas nama saksi korban SM Als. Sl Bin Sr tanggal 13
Desember 2010, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Mulyadi
Yanto dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Ibu dan Anak Purbalingga
yang menerangkan bahwa terdapat 2 luka memar yaitu dipunggung
sebelah kiri dengan ukuran 3 milimeter kali 6 cm, dan punggung
sebelah kanan dengan ukuran 3 milimeter kali 6,5 cm, serta barang
bukti berupa 1 (satu) buah batu sungai seberat 2 (dua) kilogram yang
133
diajukan di persidangan. Sehingga syarat pembuktian sebagaimana
diatur dalam Pasal 183 jo Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah
terpenuhi.
b. Berdasarkan unsur-unsur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yaitu unsur
barang siapa , unsur dengan sengaja , dan unsur melakukan
penganiayaan, bahwa semua unsur telah terpenuhi, sehingga hasil
putusan menyatakan bahwa terdakwa HA Bin Sm terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana telah
didakwakan oleh penuntut umum.
134
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Purbalingga No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Alasan anak nakal diproses dalam persidangan pada Putusan No.
05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg karena :
a. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak bahwa HA Bin Sm dapat diajukan
ke sidang anak karena usianya yang sudah 16 tahun.
b. Sebelum adanya suatu proses peradilan pidana anak perlu adanya
upaya perdamaian. Namun antara pelaku, korban, keluarga korban
atau keluarga pelaku tidak pernah melakukan upaya perdamaian.
c. Adanya bukti permulaan yang cukup HA Bin Sm diduga telah
melakukan tindak pidana penganiayaan, sehingga untuk
kepentingan pemeriksaan penyidik berwenang melakukan
penangkapan dan penahanan.
d. Penuntut umum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri
disertai dengan surat dakwaan dan barang bukti untuk diproses
dalam persidangan anak.
135
2. Pembuktian dalam tindak pidana penganiayaan terhadap pelaku anak
pada Putusan No. 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg yaitu :
a. Adanya keterangan saksi-saksi yang saling bersesuaian dengan
keterangan terdakwa dan dihubungkan dengan alat bukti surat serta
barang bukti yang diajukan di persidangan, maka syarat
pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 jo Pasal 184
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana telah terpenuhi.
b. Adanya unsur-uns ur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yang telah
terpenuhi, sehingga hasil putusan menyatakan bahwa terdakwa HA
Bin Sm terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana telah didakwakan oleh penuntut umum.
B. Saran
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian dapat diberikan saran,
bahwa sebelum adanya suatu proses peradilan pidana anak perlu adanya upaya
perdamaian antara pelaku, korban, keluarga pelaku atau keluarga korban
sehingga tidak mempengaruhi perkembangan fisik, mental dan sosial anak,
serta agar tidak semua anak nakal diproses dalam peradilan pidana anak.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Arrasjid, A. Chainur. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Bisri, Ilham. 2004. Sistem Hukum Indonesia (Prinsip -Prinsip Dan
Implementasi Hukum Di Indonesia ). Jakarta : Raja Grafindo Persada. Djamali, R. Abdoel. 2010. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Rajawali
Pers. Djamil, M. Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum : Catatan Pembahasan
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA). Jakarta : Sinar Grafika.
Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia . Bandung : Refika Aditama. Hamzah, Andi. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia . Jakarta : Sinar Grafika.
-------------------. 2009. Delik -Delik Tertentu (Speciale Delicten) Di Dalam KUHP. Jakarta : Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta : Sinar Grafika.
Hatta, Moh. 2009. Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum Dan
Pidana Khusus. Yogyakarta : Liberty. Ishaq. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut
Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana Dan Yurisprudensi. Jakarta : Sinar Grafika.
Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana
Dalam Teori Dan Praktek . Bogor : Ghalia Indonesia.
Marpaung, Leden. 2005. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh . Jakarta: Sinar Grafika.
-----------------------. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan Dan Penyidikan). Jakarta : Sinar Grafika.
-----------------------. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan
dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi). Jakarta : Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Masriani, Yulias Tiena. 2004. Pengantar Hukum Indonesia . Jakarta: Sinar Grafika.
Nashriana. 2011. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia .
Jakarta : Rajawali Pers. Nugroho, Hibnu. 2012. Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia.
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Prasetyo, Eko. 2010. Keadilan Tidak Untuk Yang Miskin . Yogyakarta : Resist Book.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia .
Bandung : Refika Aditama.
RM, Suharto. 2006. Penuntutan Dalam Praktek Peradilan . Jakarta : Sinar Grafika.
Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum.
Jakarta: Ghalia Indonesia. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta : Rajawali Pers.
Soemitro, Ronny Hanitio. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Soeparmono, R. 2002. Ahli dan Visum et Repertum Dalam Praktek Hukum
Acara Pidana. Semarang: Setia Wacana. Soerodibroto, Soenarto. 2007. KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad . Jakarta : Raja Grafindo Persada. Soetodjo, Wagiati. 2006. Hukum Pidana Anak . Bandung : Refika Aditama.
Sugiarto, Umar Said. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia . Yogyakarta : Genta Publishing.
Zulkarnain. 2008. Praktik Peradilan Pidana (Panduan P raktis Kemahiran Hukum Acara Pidana). Malang : In-Trans Publishing.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
-------------, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
--------------, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
--------------, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
--------------, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
--------------, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
--------------, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak. --------------, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
C. Internet
http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/28/hukum-di-indonesia -hukum-acara-pidana/, diakses pada tanggal 10 Mei 2013.
http://lawfile.blogspot.com/2011/06/pengertian-pembuktian.html, diakses
pada tanggal 4 Juni 2013. http://pendidikan-hukum.blogspot.com/2011/10/delik-penganiayaan-dan-
pembunuhan_24.html, diakses pada tanggal 6 Juni 2013.
D. Sumber Lain
Maskur, Muhammad Azil. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Nakal (Juvenile Delinquency) Dalam Proses Acara Pidana Indonesia. Pandecta Volume 7 Nomor 2 Juli 2012.
Mugiman. 2010. Implementasi Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak ( Studi Terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum Dalam Tingkat Penyidikan Di Polres Purbalingga). Jurnal Dinamika Hukum Vol.10 Mei 2010.
Wahyudi, Setya. 2009. Penegakan Peradilan Pidana Anak Dengan Pendekatan
Hukum Progresif Dalam Rangka Perlindungan Anak. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 Januari 2009.
Wardhani, Noeke Sri. 2009. Penerapan Pidana Alternatif Bagi Anak Pelaku
Tindak Pidana Di Pengadilan Negeri Bengkulu. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol V No. II Agustus 2009.
Pramono, Hari Widya. 2013. Upaya Perlindungan Terdakwa Anak Dalam
Proses Persidangan Di Pengadilan. Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVI No. 319 Juni 2013.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa
Indonesia . Jakarta : Balai Pustaka.
Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 05/Pid.B/A/2011/PN.Pbg