Upload
donga
View
216
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA
DI KOTA MAGELANG
(Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL)
SKRIPSI
Disusun guna memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh :
ADITYA DWI PAMUNGKAS
E1A008056
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
4
ABSTRAK
PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA
DI KOTA MAGELANG
(Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL)
Oleh :
Aditya Dwi Pamungkas
E1A008056
Menurut ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan, pencatatan perkawinan diperuntukan
pula kepada perkawinan yang dilangsungkan antar umat yang berbeda agama
dimana syarat untuk dapat dicatatkannya perkawinan beda agama adalah adanya
salinan penetapan pengadilan yang memberikan izin untuk itu. Adapun yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah alasan substansial hakim dalam
menetapkan untuk memberi izin dilangsungkan dan dicatatkannya perkawinan
beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil pada Penetapan
Nomor 04/PDT.P/2012/PN.MGL serta pelaksanaan pencatatan perkawinan beda
agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang.
Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis
normatif dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan
pendekatan kasus. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa :
1. Alasan substansial hakim dalam Penetapan Nomor
04/PDT.P/2012/PN.MGL adalah telah terjadi kekosongan hukum dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hakim
menetapkan perkawinan beda agama dengan alasan bahwa perkawinan
beda agama merupakan hak konstitusi dan hak azasi manusia yang
dimiliki setiap warga negara Indonesia, serta merupakan suatu kenyataan
yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
2. Pencatatan perkawinan beda agama yang dilaksanakan oleh pejabat
pencatatan sipil di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Magelang tidak berlandaskan hukum.
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka dapat diajukan saran bahwa
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu diperbarui agar dapat memenuhi hak
konstitusi dan hak azasi manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara
Indonesia.
Kata Kunci : Perkawinan, beda agama.
5
ABSTRACT
THE IMPLEMENTATION OF INTERFAITH MARRIAGE
REGISTRATION IN MAGELANG
(The Juridical Review of Case Number : 04/PDT.P/2012/PN.MGL)
By :
Aditya Dwi Pamungkas
E1A008056
Based on article 35 point a of statute number 23 of 2006 about demographic
administration said that interfaith marriage registration is important to do, but it
should be completed with copy of court order. Therefore, the research problem are
why does the judge issue local regulation about the interfaith marriage registration
and how does the Demographic and Civilian Registration Department of
Magelang City implement it. Moreover, the juridical-normative research method
with cases and statute approach is used in this research. Based on the result
research could be concluded that :
1. The judge substansial reason at case number 04/Pdt.P/2012/PN.MGL is
no regulation about interfaith marriage, especially in Statute Number 1 of
1974 about marriage. Therefore, the judge set a interfaith marriage,
because marriage is constitution right and human right for every
Indonesian citizen, as well as the reality in Indonesia.
2. The registration interfaith marriage in Demographic and Civilian
Registration Department of Magelang City is not based in law.
Based on these conclusions can be suggested, that the Statute Number 1 of
1974 about marriage must be updated to be able to fulfill the constitution right and
human right for every Indonesian Citizen.
Keywords : marriage, religious differences.
7
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohim,
Assalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatu.
Puji syukur kehadirat Tuhan semesta alam, atas rahmat, hidayah, inayah
dan ridhoNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan
lancar. Tidak ada sesuatu yang istimewa dan berguna dari sebuah ilmu jika tidak
memberikan kontribusi dan tidak bisa berbuat apa-apa dihadapan realitas. Sampai
detik ini kita masih melihat bahwa hukum di Indonesia masih terlalu jauh dari
langit. Bahkan terpuruk hingga dasar bumi. Begitu juga dengan karya tulis ini,
penulis merasa masih terlalu jauh untuk menjadi jawaban atas problematika yang
melanda hukum di negara kita tercinta ini. Terlepas dari semua itu penulis
bersyukur akhirnya dapat menyelesaikan tanggungjawab ini, walaupun tidak
sempurna tetapi setidaknya memberikan wacana dan harapan baru bagi kita
semua.
Penelitian skripsi ini mengambil permasalahan tentang bagaimana
pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di kota Magelang sehingga judul
yang dipilih adalah PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA
AGAMA DI KOTA MAGELANG (Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor
04/Pdt.P/2012/PN.MGL), atas tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu seperti :
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
8
2. Bapak Satrio Saptohadi, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Akademik,
yang telah memberi banyak bimbingan, arahan, masukan, dan kritikan
selama masa studi.
3. Bapak Trusto Subekti, S.H., M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing
Skripsi I yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta masukan
demi terselesaikannya skripsi ini.
4. Ibu Haedah Faradz, S.H., M.H. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II
atas segala bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan masukan yang
telah diberikan selama penulisan skripsi ini.
5. Bapak Bambang Heryanto, S.H., M.H. sebagai Penguji yang telah
membuka tabir kesalahan dan kekurangan penulis.
6. Seluruh dosen dan staf akademik di Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
7. Bapak Arif Prasetyo dan Ibu Suwarti selaku Pejabat Pencatatan Sipil di
Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang,
terima kasih atas bantuannya.
8. Bapak Murino dan Ibu Pratiwi Utari, terima kasih banyak atas kasih
sayang, doa, dukungan, nasihat, semangat, dorongan dan
kepeduliannya selama 23 tahun penulis hidup.
9. Bapak Irianto, terima kasih atas dukungannya baik moril maupun
materiil terhadap keluarga penulis serta nasehatnya setiap penulis
sedang mengalami masalah dalam hidup, thank’s a lot.
9
10. Saudara-saudara saya dalam keluarga besar M. Yusuf I Made Segare
dan keluarga besar Almarhum Ny. Nisah, terima kasih atas
dukungannya, doanya, semangatnya, serta kepeduliannya.
11. Dwi Aditya Nugroho, terima kasih sudah menjadi sahabat setia penulis
selama ini.
12. Johan Ari Purnomo (Jondel), terima kasih atas pinjaman printernya
dan sudah bersedia direpotkan selama ini, Suwun banget mas.
13. Yogi Prayitno, Widya Riyatmaja (Djimboen), dan seluruh keluarga
besar KIMCULERS HUKUM 08, terima kasih atas semua dukungan
yang telah kalian berikan kepada penulis, we love you all guy’s.
Akhirnya, ibarat pepatah mengatakan tiada karya cipta yang sempurna
kecuali ciptaan-Nya, begitu juga dengan penyusunan penelitian ini tentunya masih
jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap semoga hasil karya
penulis ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Wassalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatu.
Purwokerto, 18 Mei 2013
Penulis
Aditya Dwi Pamungkas
10
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
SURAT PERNYATAAN.................................................................................... iii
ABSTRAKSI ..................................................................................................... iv
ABSTRACT ........................................................................................................ v
MOTTO .............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Perumusan Masalah ................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian ................................................................... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 8
1. Tentang Perkawinan ................................................................... 8
a. Pengertian Perkawinan ........................................................... 8
b. Tujuan Perkawinan ................................................................. 11
c. Sahnya Perkawinan ................................................................ 15
d. Syarat-Syarat Perkawinan ...................................................... 16
e. Azas-Azas Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ........................................... 21
11
f. Pencatatan Perkawinan .......................................................... 25
2. Perkawinan Beda Agama ........................................................... 29
3. Administrasi Kependudukan ....................................................... 34
BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................. 43
1. Metode Pendekatan ..................................................................... 42
2. Spesifikasi Penelitian .................................................................. 43
3. Lokasi Penelitian ........................................................................ 44
4. Sumber Bahan Hukum ................................................................ 44
5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ......................................... 45
6. Metode Penyajian Bahan Hukum ................................................ 46
7. Metode Analisis Bahan Hukum................................................... 46
8. Masalah dan Solusi yang Dihadapi Selama Penelitian ............... 47
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 48
1. Hasil Penelitian ........................................................................... 48
2. Pembahasan ................................................................................ 61
BAB V. PENUTUP ......................................................................................... 80
1. Simpulan ..................................................................................... 80
2. Saran ........................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan perkawinan telah menjadi persoalan yang selalu aktual dan
selalu menarik untuk dibicarakan, ini dikarenakan perkawinan merupakan
salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia
dibelahan dunia manapun, selain itu persoalan ini juga tidak hanya
menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia saja, tetapi juga menyentuh suatu
lembaga yang luhur, yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini
merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai
kehidupan yang luhur.
Perkawinan tidak hanya berkaitan dengan hubungan pribadi dari
pasangan yang melangsungkan perkawinan saja, perkawinan berkaitan juga
dengan permasalahan agama, permasalahan sosial dan permasalahan hukum.
Permasalahan agama yang menyangkut perkawinan, dapat kita lihat bahwa
dalam setiap agama tentunya mempunyai ketentuan-ketentuan yang mengatur
masalah perkawinan, sehingga pada prinsipnya diatur dan tunduk pada
ketentuan-ketentuan dari agama yang dianut oleh pasangan yang akan
melangsungkan perkawinan. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan
perkawinan, adalah cara pandang masyarakat mengenai pelaksanaan
perkawinan yang akan membawa dampak tertentu pada pasangan yang akan
melangsungkan perkawinan dalam lingkungan masyarakatnya. Perkawinan
13
menjadi permasalahan hukum karena perkawinan terjadi disebabkan oleh
adanya hubungan antar manusia, dari hubungan antar manusia untuk
membentuk suatu ikatan pekawinan inilah yang akan menyebabkan
timbulnya suatu perbuatan hukum.
Sejak tanggal 2 Januari 1974 di Indonesia masalah perkawinan telah
diatur tersendiri di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Undang-undang tersebut berlaku efektif sejak peraturan
pelaksanaanya dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober 1975, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, memberikan
pengertian tentang perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan
Yang Maha Esa. Perkawinan yang didasari ikatan lahir bathin dapat dikatakan
sah jika telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yang menyebutkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945, dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan mutlak harus
14
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.1
Setiap orang pada umumnya menginginkan pasangan hidup yang
seagama, bukan sengaja membeda-bedakan atau mendirikan dinding pemisah
antara agama yang satu dengan agama yang lain, namun diharapkan
membangun keluarga berdasarkan satu prinsip tentunya diharapkan akan
lebih mudah dan permasalahan perbedaan agama tidak perlu muncul dalam
rumah tangga, namun realita adanya pergaulan antar manusia yang begitu
bebas dan seakan tiada batasnya karena pengaruh perkembangan budaya dan
tekhnologi komunikasi membuka kemungkinan adanya pasangan yang akan
melangsungkan perkawinan dengan perbedaan agamanya, karena semakin
eratnya hubungan antar pemeluk agama dalam pergaulan masyarakat.
Indonesia merupakan negara yang mempunyai bangsa yang plural,
bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas dibidang agama
terwujud dengan banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, selain
Islam, ada agama Hindu, Budha, Kristen, Khatolik dan satu aliran
kepercayaan yaitu konghuchu. Kenyataan bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang multikultural dan multiagama tidak menutup kemungkinan
untuk adanya calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dengan
perbedaan agamanya. Fenomena perkawinan beda agama banyak dijumpai di
lingkungan masyarakat kita, para pemirsa infotainment juga seringkali
disuguhi berita tentang pasangan artis yang melangsungkan perkawinan beda
1 Wantjik K Shaleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 16.
15
agama, contohnya perkawinan yang dilakukan Clift Andro Nathalia atau
sering dipanggil Clift Sangra, duda yang ditinggal mati Suzanna Martha
Frederika Van Osh atau yang akrab dipanggil Suzanna aktris film horor
Indonesia. Clift Sangra, seorang lelaki beragama Katholik menikahi wanita
muslim yang bernama Nana Mahliana Hasan, mereka menikah pada 9
Agustus 2009 dan baru dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil 2 bulan kemudian setelah mendapatkan pengesahan dari
pengadilan negeri kota Magelang pada 17 September 2009.2
Permasalahan mengenai perkawinan yang dilakukan antar umat yang
berbeda agama yang selanjutnya akan disebut perkawinan beda agama sudah
lama menjadi bahan perbincangan yang selalu menarik, perkawinan yang
dilakukan oleh Clift dan Nana ini secara implisit bertentangan dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, sebab agama Nana yaitu Islam secara jelas melarang wanita Islam
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam,
ketentuan tentang larangan ini disebutkan secara jelas dalam Pasal 44
Kompilasi Hukum Islam. Melihat ketentuan tersebut bisa kita katakan bahwa
perkawinan antara Clift dan Nana itu tidaklah sah menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, namun perkawinan tersebut telah dicatatkan di Kantor
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang.
2Banyumasnews.com, Clift Sangra resmi nikahi gadis belia,
http://banyumasnews.com/2009/11/11/clift-sangra-resmi-nikahi-gadis-belia/, diakses pada tanggal 20
Oktober 2012, Pukul 23:28 WIB.
16
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa perkawinan yang sah harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Wantjik K. Saleh mengatakan bahwa:
Perbuatan pencatatan itu tidaklah menentukan sahnya suatu
perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan
terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif3.
Pengaturan mengenai perkawinan beda agama bisa dicatatkan ini ada
pada ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa :
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
berlaku pula bagi:
a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia
atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 35 huruf (a) disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan "Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah
perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan
penjelasannya inilah yang menjadi dasar bagi Kantor Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kota Magelang untuk mencatatkan perkawinan Clift
Sangra dan Nana. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Magelang, Drs. Sugiharto mengatakan :
Pencatatan perkawinan beda agama pasangan suami isteri ke lembaran
catatan sipil diperbolehkan secara hukum asal sudah mendapat
pengesahan dari pengadilan. Sebelumnya, pasangan Clift dan Nana
3 Wantjik K Shaleh, Op. Cit., hal. 17.
17
telah mendapat pengesahan dari Pengadilan Negeri Kota Magelang
dan telah disyahkan pada 17 September silam.4
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “PELAKSANAAN
PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI KOTA MAGELANG
(Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah
diatas, penulis menemukan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan untuk
memberikan ijin dicatatkannya perkawinan beda agama di Kantor
Pencatatan Sipil Kota Magelang dalam Penetapan Nomor :
04/PDT.P/2012/PN.MGL?
2. Bagaimanakah pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di
Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1) Pertimbangan Hakim dalam penetapan untuk memberikan ijin
pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Pencatatan Sipil Kota
Magelang dalam Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL
2) Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Kantor
Pencatatan Sipil Kota Magelang.
4Banyumasnews.com. Op. Cit.
18
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritik
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan
untuk perkembangan dan menjadi referensi di bidang Hukum Perkawinan,
serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah
perkawinan.
2. Kegunaan praktis
Sebagai bahan kajian, referensi, pedoman, sumber informasi dan
sosialisasi bagi civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, masyarakat serta pihak-pihak terkait mengenai pelaksanaan
perkawinan beda agama.
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Arti kata perkawinan dalam Wikipedia Ensiklopedia bebas ialah:
Ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang
membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata
dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi
yang pada umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara
perkawinan dan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.5
Kemudian M. Idris Ramulyo juga berpendapat bahwa :
Kawin (nikah) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut
arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal
hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan
seorang wanita.6
Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan kodrati yang
dimiliki oleh setiap manusia, dimana kebutuhan manusia untuk melakukan
perkawinan, ini juga telah diakui sebagai salah satu hak azasi manusia yang
dijamin oleh negara untuk pelaksanaannya. Perkawinan juga merupakan
salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita,
sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut calon mempelai wanita dan
pria saja, tetapi orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan
keluarga mereka masing-masing.
5Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Perkawinan, http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, diakses
pada 25 September 2012, Pk. 18:33. 6M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-undang No.1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta, 1966, hal. 1.
20
Istilah perkawinan dalam agama dikatakan sebagai nikah, yang dalam
hal ini Soemiyati mengatakan bahwa :
Nikah adalah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan wanita untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan
dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan
suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
dan ketentraman dengan cara yang diridhoi oleh Allah.7
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memuat suatu ketentuan
arti atau definisi tentang perkawinan, namun pemahaman perkawinan dapat
dilihat dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam pasal
tersebut disebutkan bahwa undang-undang memandang perkawinan hanya
dari sudut perhubungannya dengan hukum perdata saja, lain dari itu adalah
tidak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih menjunjung tinggi
nilai-nilai perkawinan yang tata cara dan pelaksanaannya diserahkan kepada
adat masyarakat atau agama dan kepercayaan dari orang-orang yang
bersangkutan.8
Pemahaman tentang konsep perkawinan di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata berbeda dengan konsep perkawinan dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang mana pengertian perkawinan menurut
Pasal 1 adalah sebagai berikut :
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa.
7 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 1982, hal. 8 8 Asyari Abdul Ghofar, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam, Kristen Dan
Undang-Undang Perkawinan, CV. Gramada, Jakarta, 1992, Hal 16.
21
Perbedaan mengenai pengertian perkawinan pada Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan pengertian perkawinan yang terdapat
di dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ialah dimana
Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menganggap
perkawinan adalah sebuah ikatan lahiriah saja tanpa memperhatikan unsur
batiniah seperti perkawinan yang dimaksudkan oleh Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menganggap perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri,
maksud dari ikatan lahir bathin ialah bahwa ikatan tersebut tidak cukup
diwujudkan dengan ikatan lahir saja, tetapi harus terwujud pula ikatan
bathin yang mana akan mendasari ikatan lahir tersebut agar memiliki
kekuatan (tidak rapuh) atau hanya merupakan hubungan sesaat saja.
Rusli dan R. Tama mengatakan:
Definisi atau pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-
Undang Perkawinan dapat dimengerti bahwa dengan melakukan
perkawinan pada masing-masing pihak telah terkandung maksud
untuk hidup bersama secara abadi, dengan memenuhi hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara,
untuk mencapai keluarga bahagia.9
Sementara itu, Asyari Abdul Ghofar menyatakan bahwa:
Perkawinan itu merupakan peristiwa yang penting yang
mengakibatkan keluarnya warga lama di satu pihak dan lain pihak
berarti masuknya wargabaru dan serta merta mempunyai
tanggung jawab penuh terhadap masyarakat persekutuannya.10
9Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, Pionir Jaya, Bandung,
2000, hal. 11. 10
Asyhari Abdul Ghofar. Op. Cit., hal. 20.
22
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan
pengertian perkawinan merumuskan unsur-unsur dari perkawinan adalah
sebagai berikut :
a. Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria
denganseorang wanita.
b. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang kekal dan bahagia.
c. Perkawinan dilaksanakan berdasarkan keTuhanan Yang Maha
Esa.
b. Tujuan Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sakral, sesuatu yang amat penting
bagi kehidupan manusia termasuk kehidupan agama, dan dianggap bahwa
perkawinan itu adalah bagian dari ibadah. Tujuan sebuah perkawinan bagi
orang beragama harus merupakan suatu alat untuk menghindarkan diri dari
perbuatan buruk dan menjauhkan diri dari dosa. Dalam konteks inilah
pasangan yang baik dan cocok memegang peranan penting. Dua orang
beriman melalui perkawinan membentuk sebuah keluarga, dari hubungan
mereka akan memberikan keuntungan dalam memperkuat rasa saling
mencintai dan menyayangi yang ada dalam diri mereka, karena itulah tujuan
perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual.
M. Idris Ramulyo, menyatakan pendapatnya bahwa :
Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan
jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membetuk keluarga
dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalankan
hidupnya di dunia ini, juga untuk mencegah perzinaan, agar tercipta
23
ketenangan daan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan,
ketentraman keluarga dan masyarakat.11
Soemiyati mengatakan bahwa :
Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat
kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta
dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur.12
Pendapat Soemiyati tersebut oleh seorang filosof Islam Imam Ghazali
kemudian dibagi menjadi 5 tujuan perkawinan, yaitu :
1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan
keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis
pertama dari masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan
kasih sayang.
5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan
yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.13
Lebih jelasnya mengenai tujuan dan faedah perkawinan di atas maka akan
diuraikan satu persatu sebagai berikut:14
a. Untuk memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan
keturunan serta akan memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
Memperoleh keturunan dalam perkawinan bagi penghidupan manusia
mengandung pengertian dua segi yaitu:
1) Untuk kepentingan diri pribadi
Memperoleh keturunan merupakan dambaan setiap orang. Bisa
dirasakan bagaimana perasan sepasang suami istri yang hidup
berumah tangga tanpa seorang anak, tentu kehidupannya akan sepi
dan hampa. Disamping itu keinginan untuk memperoleh anak bisa
dipahami, karena anak-anak itulah yang nantinya bisa diharapkan
membantu orang tua dan keluarganya di kemudian hari.
11
M. Idris Ramulyo, Op. Cit, hal. 26. 12
Soemiyati, Op. Cit, hal. 12. 13
Loc. Cit 14
Loc. Cit
24
2) Untuk kepentingan yang bersifat umum atau universal
Dari aspek yang bersifat umum atau universal karena anak-anak
itulah yang menjadi penghubung atau penyambung keturunan
seseorang dan yang akan berkembang untuk meramalkan dan
memakmurkan dunia.
b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
Tuhan telah menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang berlainan
yaitu laki-laki dan perempuan. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa
antara laki-laki dan perempuan memiliki daya tarik. Daya tarik ini
adalah kebirahian atau seksual. Sifat ini yang merupakan tabiat
kemanusiaan. Dengan perkawinan pemenuhan tuntutan tabiat
kemanusiaan dapat disalurkan secara sah.
c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
Dengan perkawinan manusia akan selamat dari perbuatan amoral,
disamping akan merasa aman dari keretakan sosial. Bagi orang yang
memiliki pengertian dan pemahaman akan nampak jelas bahwa jika ada
kecenderungan lain jenis itu dipuaskan dengan perkawinan yang
disyari’atkan dengan hubungan yang halal. Maka manusia baik secara
individu maupun kelompok akan menikmati adab yang utama dan
ahklak yang baik. Dengan demikian masyarakat dapat melaksanakan
risalah dan memikul tanggung jawab yang dituntut oleh Allah.
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis utama dari
masyarakat yang besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir batin yang berupa asas cinta dan
kasih sayang merupakan salah satu alat untuk memperkukuh ikatan
perkawinan. Diatas rasa cinta dan kasih sayang inilah kedua belah pihak
yang melakukan ikatan perkawinan itu berusaha membentuk rumah
tangga yang bahagia. Dari rumah tangga inilah kemudian lahir anak-
anak, kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian
seterusnya sehingga tersusun masyarakat besar. Dengan demikian tanpa
adanya perkawinan, tidak mungkin ada keluarga dan dengan sendirinya
tidak ada pula unsur yang mempersatukan bangsa manusia dan
selanjutnya tidak ada peradaban. Hal ini sesuai dangan pendapat
Mohammad Ali yang dikutip oleh Soemiyati mengatakan bahwa:
“Keluarga yang merupakan kesatuan yang nyata dari bangsa-bangsa
manusia yang menyebabkan terciptanya peradaban hanyalah mungkin
diwujudkan dengan perkawinan”. Oleh sebab itu dengan perkawinan
akan terbentuk keluarga dan dengan keluarga itu akan tercipta
peradaban.
e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki kehidupan yang
halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Pada umumnya pemuda dan pemudi sebelum melaksanakan
perkawinan, tidak memikirkan soal penghidupan, karena tanggung
jawab mengenai kebutuhan kehidupan masih relatif kecil dan segala
keperluan masih ditanggung orangtua. Tetapi setelah mereka berumah
tangga mereka mulai menyadari akan tanggung jawabnya dalam
25
mengemudikan rumah tangga. Suami sebagai kepala keluarga mulai
memikirkan bagaimana mulai mencari rezeki yang halal untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Dengan keadaan yang demikian
akan menambah aktifitas kedua belah pihak, suami akan berusaha dan
bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah atau rezeki apalagi jika
mereka sudah memiliki anak.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dari rumusan
pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pokok perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami istri perlu saling
membantu agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material.
Soedharyo Soimin dalam hal ini mengatakan bahwa :
Tujuan material yang akan diperjuangkan oleh suatu perjanjian
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama,
sehingga bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur
batin atau rohani juga mempunyai peranan penting (Penjelasan
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Jadi
perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang,
dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita
dengan tujuan material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
sebagai asas pertama dalam Pancasila.15
Ketentuan undang-undang yang menyatakan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa mengartikan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan agama atau kerohanian, dalam hal perkawinan di setiap
agama pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan perkawinan tersebut
15
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 6.
26
diharapkan dapat membuat suatu ketenangan (sakinah) dalam hubungan
rumah tangga dengan dasar agama.
Berdasarkan uraian diatas maka tujuan perkawinan dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Melaksanakan ikatan perkawinan antara pria dan wanita yang
sudah dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga.
2. Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan
perempuan sesuai dengan ajaran dan firman Tuhan Yang Maha
Esa.
3. Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan
kemanusiaan dan selanjutnya memelihara pembinaan terhadap
anak-anak untuk masa depan.
4. Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan istri
dalam membina kehidupan keluarga.
5. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan
damai.16
c. Sahnya Perkawinan
Sahnya perkawinan diatur oleh ketentuan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan :
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaanya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
kemudian pada bagian Penjelasan pasal demi pasal, khususnya penjelasan
Pasal 2 tersebut disebutkan sebagai berikut :
“Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.”
dengan demikian dapat dikatakan konsep perkawinan menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah perkawinan yang sesuai ketentuan
16
Ibid, hal. 7
27
agama para pihak dan juga tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa :
Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, apabila perkawinan itu
dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan
maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berarti tidak sah menurut
perundang-undangan.17
Mengenai hal tersebut Trusto Subekti berpendapat bahwa :
Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum, yaitu peristiwa yang
akibatnya diatur oleh hukum, atau sebagai suatu peristiwa yang diberi
akibat hukum. Suatu perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum
apabila perkawinan tersebut merupakan peristiwa yang sah. Jadi suatu
perkawinan dikatakan sah menurut hukum adalah apabila suatu
perkawinan dilakukan menurut aturan hukum yang berlaku, yang
dalam hal ini adalah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, diakui
(kebenarannya), mengikat, dan juga memiliki akibat hukum serta
memperoleh perlindungan hukum.18
d. Syarat-Syarat Perkawinan
Menurut Trusto Subekti Syarat perkawinan adalah:
“Keadaan yang harus ada atau keadaan yang menghalangi untuk
dilakukanya suatu perkawinan, dan apabila syarat-syarat tersebut
dilanggar berarti proses perkawinan tidak bisa dilangsungkan”.19
Bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan, harus
memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perkawinan. Ikatan
antara seorang pria dan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami-
isteri, mana kala ikatan tersebut didasarkan pada adanya perkawinan yang
17
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Madju, Bandung, 1990,
hal. 26. 18
Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2009, hal. 26. 19
Ibid, hal. 43.
28
sah, untuk sahnya perkawinan harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang
telah ditentukan oleh undang-undang.
Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan telah diatur dalam
Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Syarat-syarat perkawinan ini telah ditentukan secara limitatif dan
dirumuskan dengan menggunakan kata “harus”, “hanya”, “larangan”, “tidak
boleh”, dan meliputi aspek persetujuan calon suami-isteri, izin dari orang
tua, umur kawin, larangan kawin, waktu tunggu, serta tatacara (formalitas).
Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
a. Syarat-Syarat Materiil
Syarat materiil adalah syarat mengenai orang-orang yang hendak
kawin dan ijin-ijin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal
yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat materiil ini terbagi
menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Syarat Materiil Mutlak
Syarat yang harus dipenuhi setiap orang yang akan melangsungkan
perkawinan yang terdiri dari:
a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon suami-
isteri (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)
b) Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan
ijin dari kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974)
c) Perkawinan diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)
d) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
(Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), yaitu :
1) Apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu
ditetapkan 130 hari.
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak berdatang bulan
ditetapkan 90 hari.
29
3) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan
hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.
4) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara
janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan
kelamin, maka tidak ada waktu tunggu.
2. Syarat Materiil Relatif
Syarat materiil relatif, adalah syarat-syarat bagi pihak yang hendak
dikawini, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak
diperbolehkan kawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang.
Dengan siapa ia hendak kawin, harus memenuhi syarat materiil relatif,
syarat-syarat tersebut adalah :
a) Perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke
atas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu
antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan
antara seseorang dengan saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu-
bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, bibi
susuan.
5) Berhubungan saudara dengan isteri, dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari 1 (satu) orang.
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku sekarang (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974).
b) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat
(2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 9
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
c) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan
yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara
mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang
bahwa masing-masing agamanya dan kepercayaannya dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974).
b. Syarat-Syarat Formal
Syarat-syarat formal terdiri dari formalitas-formalitas yang
mendahului perkawinan. Syarat-syarat formil tersebut terdiri dari 3 (tiga)
tahap, yaitu :
1) Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.
2) Penelitian syarat-syarat perkawinan
Penelitian syarat-syarat perkawinan dilakukan setelah ada
pemberitahuan akan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Penelitian syarat-syarat perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat
30
perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan
perkawinan menurut undang-undang.
3) Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan
perkawinan.
Tujuan diadakan pengumuman ini, yaitu untuk memberi kesempatan
kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan
terhadap dilangsungkannya perkawinan. Pengumuman tersebut
ditanda tangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan memuat hal
ihwal orang yang akan melangsungkan perkawinan, yang memuat
kapan dan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan.20
Maksud dari persetujuan seperti yang tertulis dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah persetujuan dari kedua belah
pihak calon pasangan suami isteri untuk melangsungkan perkawinan yang
diberikan dalam keadaan bebas, yaitu dengan tidak adanya paksaan,
penipuan maupun kekhilafan. Persetujuan tersebut menjadi landasan untuk
membina hubungan suatu rumah tangga bagi pasangan yang akan
melangsungkan perkawinan. Pasangan yang belum memenuhi umur yang
telah ditentukan harus mendapatkan ijin dari kedua orang tua masing-
masing calon suami isteri hal ini dikarenakan perkawinan bukan semata-
mata hubungan antara calon suami istri saja tetapi juga mempunyai
hubungan antar keluarga.
Mengingat banyak hal yang mungkin timbul dikemudian hari setelah
adanya suatu perkawinan, baik dari pasangan suami-istri itu sendiri maupun
dari keluarga termasuk dari orang tua diharapkan tidak adanya perpecahan
dalam perkawinan tersebut yang disebabkan oleh ketidakcocokan atau tidak
adanya persesuaian sebelumnya dikarenakan pelaksanaan perkawinan
20
Zakiyah Alatas, Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Kabupaten Semarang, Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hal. 11-15.
31
tersebut bukan kemauan dari salah satu pihak saja, baik hanya kemauan dari
pasangan itu sendiri atau kemauan dari keluarga ataupun orang tua semata.
Adanya persetujuan perkawinan dari semua pihak terkait akan membuat
risiko dan tanggungjawab dari perkawinan tersebut dipikul secara bersama-
sama.
Penentuan batasan umur untuk melangsungkan perkawinan seperti
yang diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
sangat penting artinya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Wirjono Projodikoro, bahwa :
“Suatu perkawinan disamping menghendaki kematangan biologis,
menghendaki juga adanya kematangan psikologis.”21
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tersebut dapat disimpangi apabila ternyata dari pasangan yang akan
melangsungkan pernikahan ada yang belum memenuhi persyaratan tentang
batasan umur, yaitu dengan pengajuan dispensasi ke pengadilan atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria sebagai calon suami
maupun pihak wanita sebagai calon isteri.
Waktu tunggu bagi wanita yang akan menikah lagi juga diatur dalam
Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal tersebut
menyebutkan waktu tunggu bagi wanita yang akan melakukan perkawinan
lagi dibedakan menjadi 3 (tiga) macam menurut sebab putusnya
perkawinan, yaitu :
21
Wiryono Projodikoro,Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1984,
hal. 41.
32
1) Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus karena
kematian maka waktu tunggu ditetapkan selama 130 (seratus tiga
puluh) hari dihitung sejak kematian suami.
2) Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus karena cerai
maka waktu tunggu ditetapkan selama 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak
berdatang bulan ditetapkan selama 90 (sembilan puluh) hari
dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
3) Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus baik karena
perceraian ataupun kematian dan dalam keadaan sedang hamil
maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Pengaturan waktu tunggu bagi seorang janda dimaksudkan untuk
menghindari adanya percampuran darah dari anak yang sedang dikandung.
e. Azas-Azas Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Menurut Abdul Manan, asas-asas perkawinan menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
a. Asas Sukarela
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar
perkawinan terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang
dilaksanakan itu haruslah didasarkan dengan persetujuan kedua
33
mempelai agar suami istri dapat membentuk keluarga bahagia, sejahtera
dan kekal, maka diwajibkan bagi calon mempelai untuk saling
mengenal terlebih dahulu. Perkenalan yang dimaksud dalam hal ini
adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma
agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya
untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihan orang tua, melainkan
diharapkan dapat membimbing dan menuntun anak-anaknya untuk
memilih pasangan hidup yang serasi bagi mereka yang sesuai dengan
anjuran agama. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin
paksa sangat dilarang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini.
Selain itu asas sukarela ini juga dibuktikan dengan adanya batas umur
yang dikehendaki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu
minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki.
Penyimpangan dari batas umur yang ditentukan dalam undang-undang
ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan.
Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon
mempelai yang belum mencapai batas umur minimal yang telah
ditentukan tersebut. Antara kedua mempelai harus ada kerelaan yang
mutlak untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan kesadaran dan
keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan
hukum agama dan kepercayaannya.
b. Asas Partisipasi Keluarga
Meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan
hidupnya berdasarkan asas sukarela, tetapi karena perkawinan itu
merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang,
Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut calon mempelai wanita
dan pria saja, tetapi orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya,
bahkan keluarga mereka masing-masing, maka dari itu partisipasi
keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan
tersebut. Pihak keluarga masing-masing diharapkan memberikan restu
perkawinan kepada kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan sifat dan
kepribadian bangsa Indonesia yang penuh dengan etika sopan, santun
dan religius. Sehubungan dengan hal tersebut diatas bagi para mempelai
yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin terlebih
dahulu dari orang tuanya sebelum melaksanakan perkawinannya.
Dalam keadaan orang tuanya tidak ada atau tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin tersebut dapat diperoleh dari walinya, atau
keluarga dalam garis lurus ke atas. Seandainya pihak-pihak tersebut
keberatan, maka izin untuk melangsungkan perkawinan tersebut dapat
diperoleh dari Pengadilan Umum bagi orang-orang non-muslim dan
Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam (Pasal 6 ayat (4) dan (5)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Partisipasi keluarga
diharapkan dalam peminangan dan dalam hal pelaksanaan perkawinan,
dengan demikian diharapkan dapat terjalin hubungan silahturahmi
antara pihak keluarga kedua mempelai, dan dengan harapan agar dapat
34
membimbing pasangan yang baru menikah itu menciptakan rumah
tangga yang baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
c. Perceraian Dipersulit
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berusaha menekan angka
perceraian pada titik yang paling rendah. Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa perceraian yang dilakukan tanpa kendali dan
sewenang-wenang dapat mengakibatkan kehancuran bukan hanya pada
pasangan suami-istri tersebut, juga kepada anak-anak mereka yang
seharusnya diasuh dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu,
pasangan suami-istri yang telah menikah secara sah harus bertanggung
jawab dalam membina keluarga agar perkawinan yang telah
dilangsungkan itu dapat utuh sampai maut memisahkan. Banyak
sosiolog menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya dalam membina
masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan yang
merupakan salah satu faktor diantara beberapa faktor yang lain.
Kegagalan membina rumah tangga bukan hanya membahayakan rumah
tangga itu sendiri, tetapi juga berpengaruh bagi kehidupan masyarakat.
Sebagian kenakalan remaja yang terjadi di beberapa Negara disebabkan
oleh keluarga yang berantakan. Penggunaan hak cerai dengan
sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu adalah hak suami
harus segera dihilangkan. Pemikiran yang keliru itu harus segera
diperbaiki. Hal cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi istri juga
dapat menggugat cerai suaminya apabila ada hal-hal yang menurut
keyakinan rumah tangga yang telah dibina tersebut sudah tidak dapat
dipertahankan dan diteruskan. Untuk itu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 merumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan di
depan pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di luar pengadilan
dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian tidak
diakui kebenarannya di mata hukum. Pengadilan berusaha semaksimal
mungkin untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk rukun kembali.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak melarang perceraian tetapi
mempersulit pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan perceraian
jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, dan
harus dilakukan secara baik-baik di depan sidang pengadilan.
Perceraian yang demikian merupakan hal yang baru dalam masyarakat
Indonesia, yang sebelumnya hak cerai sepenuhnya berada di tangan
suami yang pelaksanaannya dapat dilakukan semaunya yang sama
sekali tidak memperhatikan hak-hak istri dan anak-anaknya.
d. Poligami Dibatasi dengan Ketat
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah
bersifat monogami, namun demikian mempunyai istri lebih dari satu
orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum
agama yang dianutnya, serta memenuhi alasan dan persyaratan tertentu
yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu
beristri lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari
istrinya dan baru dapat dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan
35
Agama terlebih dahulu. Dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud
kawin lebih dari satu orang harus dengan alasan bahwa istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, istri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat
melahirkan keturunan. Dalam hal ini tidak dijelaskan secara rinci
apakah ketentuan tersebut bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena
itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada Hakim.22
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan prinsip-prinsip
perkawinan yang pengaturannya terdapat dalam penjelasan umum dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Azas-azas perkawinan ada 6 macam
sebagaimana termuat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, yaitu :
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi,
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang
bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih
dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan
lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-
pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
4. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu
harus telah matang jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang
baik dan sehat.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut
prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk
22
Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2006, hal. 6-9.
36
memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta
harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban
suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam
keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami
istri.
Perkawinan yang dilangsungkan tanpa didasari oleh agama atau
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat dipandang sebagai
perkawinan yang tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Bagi
pasangan yang tetap hidup bersama seatap dengan tidak didasari oleh
perkawinan yang sah maka tak ubahnya pasangan tersebut sebagai pasangan
“kumpul kebo” yang tidak mempunyai perlindungan hukum baik bagi
mereka ataupun bagi anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan yang tidak
sah tersebut.
f. Pencatatan Perkawinan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan
bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Penjelasan umum undang-undang tersebut menyebutkan
bahwa pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-
peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian
yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga
dimuat dalam daftar pencatatan. Menurut Djoko Prakoso dan I Ketut
Murtika:
Pencatatan perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya
suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa
37
perkawinan itu memang ada dan terjadi, hal ini hanya semata-mata
bersifat administratif.23
Pencatatan perkawinan dijelaskan pada Bab II Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan yang
menyebutkan bahwa bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut
agama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatatat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari
mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, menggunakan dasar
hukum Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
dilakukan di Kantor Pencatatan Sipil.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan
bahwa setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan harus
memberitahukan kehendaknya itu, baik secara lisan maupun tertulis kepada
pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka
waktu sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan. Kehendak melangsungkan perkawinan harus memuat :
a) Nama
b) Umur
c) Agama atau Kepercayaan
d) Pekerjaan
e) Tempat kediaman calon mempelai
23
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta., 1987, hal. 22.
38
f) Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga
nama istri atau nama suami terdahulu.
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan,
bahwa pegawai pencatat selain meneliti tentang apakah syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan
menurut undang-undang, juga mempunyai tugas untuk meneliti :
a) Kutipan akta kelahiran calon mempelai
b) Keterangan mengenai nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan
tempat tinggal kedua orang tua calon mempelai
c) Izin tertulis atau izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
d) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974
e) Dispensasi pengadilan atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
f) Surat kematian istri atau suami atau surat keterangan perceraian bagi
perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih
g) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai
pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak
dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting sehingga
diwakilkan kepada orang lain.
Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan, serta
tidak ada halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan
39
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
di kantor pencatatan perkawinan pada tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum. Sepuluh hari setelah pengumuman perkawinan
tersebut, dan selama pengumuman tadi tidak ada pencegahan perkawinan,
maka perkawinan bisa dilaksanakan. Menurut Trusto Subekti:
Saat pencatatan perkawinan adalah sesaat sesudah dilangsungkannya
perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu, agar peristiwa pencatatan perkawinan itu dapat
menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang atau
masyarakat lainnya, perkawinan dicatatkan dalam surat yang bersifat
resmi yang berupa akta dan sewaktu-waktu dapat dipergunakan bila
diperlukan, terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik.24
Pendapat beliau sejalan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa dengan
penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan tercatat secara resmi.
Menurut Sudikno Mertokusumo :25
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-
peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan, dan dibuat
sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Menurut Wahyono Darmabrata :26
Akta perkawinan adalah suatu alat bukti yang membuktikan
kebenaran tentang terjadinya peristiwa hukum yang berupa peristiwa
perkawinan tersebut.
24
Trusto Subekti, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012, hal. 13. 25
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1976,
hal. 106. 26
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, Rizkita, Jakarta, 2002, hal. 39-40.
40
Pencatatan menjadi hal yang sangat penting dalam suatu perkawinan,
menurut Saidus Syahar pentingnya pendaftaran dan pencatatan perkawinan
adalah :27
1) Agar ada kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi
yang berkepentingan mengenai perkawinannya, sehingga
memudahkannya dalam melakukan hubungan dengan pihak ketiga.
2) Agar lebih menjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan
kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi
oleh masyrakat dan negara.
3) Agar ketentuan undang-undang yang bertujuan membina perbaikan
sosial lebih efektif.
4) Agar nilai-nilai dan norma keagamaan dan kepentingan umum lainnya
sesuai dengan dasar negara Pancasila lebih ditegakan.
2. Tinjauan tentang Perkawinan beda agama
Sebagai negara yang besar Indonesia mempunyai beragam etnis, suku
bangsa, budaya serta agama. Agama yang diakui secara resmi di Indonesia
adalah Islam, Kristen, Katholik, Budha dan Hindu. Konstitusi menjamin setiap
pemeluk agama bebas menjalankan dan mengamalkan agamanya masing-
masing dengan seluas-luasnya.
Setiap agama mengajarkan kebaikan kepada pemeluknya, meskipun
prinsip-prinsip dasarnya berbeda-beda. Kebaikan yang diajarkan agama
mempunyai dimensi yang universal, sehingga antara pemeluk agama
diharuskan untuk mengamalkan ajaran agamanya agar tercipta keharmonisan
secara internal diantara umat beragama itu sendiri dan keharmonisan eksternal
antar pemeluk agama yang berbeda.
27
Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau Dari
Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1981, hal. 108.
41
Keharmonisan diantara pemeluk agama yang berbeda sudah pasti
membawa nilai-nilai yang positif tersendiri bagi masyarakat, tetapi terkadang
juga menimbulkan permasalahan tersendiri, sebagai contoh adalah ketika dua
insan manusia yang berbeda jenis kelamin dan saling menyayangi, saling
mengasihi, mereka hendak mengikat tali janji untuk melakukan perkawinan,
sementara agama mereka berbeda dan mereka tetap berprinsip pada keyakinan
agamanya masing-masing. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan
tersendiri, karena hukum perkawinan di Indonesia menentukan bahwa
perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaanya itu, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tidak
ada agama yang memperbolehkan umatnya melangsungkan perkawinan
dengan umat agama lain.
Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh
sepasang calon suami istri yang menganut agama berbeda pada saat
melangsungkan perkawinannya. Menurut Rusli dan R. Tama Perkawinan beda
agama berarti:
Perkawinan yang dilangsungkan antara pasangan yang berbeda agama
satu sama lain. Selain itu istilah lain dari perkawinan beda agama ialah
perkawinan antar agama yang diartikan sebagai ikatan lahir dan bathin
antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena berbeda agama,
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai
syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan
hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.28
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun peraturan pelaksananya
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak menyebutkan secara
28
Rusli dan R. Tama.Op. Cit., hal. 17.
42
tertulis/tekstual/eksplisit (expressis verbis) mengenai pengertian maupun
definisi perkawinan beda agama ini. Sampai saat ini belum ada kesamaan
pendapat diantara para pakar hukum mengenai pengaturan perkawinan beda
agama. Ada tiga pandangan tentang perkawinan beda agama di Indonesia
terkait dengan pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu :
1. Perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang perkawinan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu, oleh karena
itu perkawinan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum.
2. Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah, oleh sebab itu
dapat dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam
perkawinan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57
tentang perkawinan campuran terletak pada dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, oleh karena itu pasal
tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang
memiliki kewarganegaraan yang berbeda tapi juga mengatur
perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat
ini pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata cara
yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang masalah
perkawinan beda agama, oleh karena itu dengan merujuk pada
ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka
peraturan-peraturan lama selama Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
belum mengaturnya dapat diberlakukan, dengan demikian masalah
perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan
perkawinan campuran. Sehubungan dengan pandangan kelompok
ketiga ini, menarik untuk dicatat bahwa Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia dalam suratnya Nomor : KMA/72/IV/1981 tanggal
20 April 1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri secara tegas menyatakan:
1) Merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia
yang serba majemuk ini yang terdiri dari berbagai macam golongan
suku, adalah pemeluk agama dan penganut Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda satu dengan lainnya.
2) Adalah suatu kenyataan pula bahwa antara mereka itu ada yang
menjalin suatu hubungan dalam membentuk suatu keluarga yang
bahagia dan kekal melalui proses perkawinan, dimana Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum mengatur
perihal perkawinan campuran.
43
3) Meskipun demikian dapat dicatat bahwa Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 memungkinkan S. 1898 No. 158 diberlakukan
untuk mereka sepanjang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
belum mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan
campuran yang dimaksud.29
Adanya ketiga pemahaman itulah yang membuat perkawinan beda agama
semakin tidak jelas pengaturannya, apakah diperbolehkan ataukah dilarang.
Praktik perkawinan beda agama di Indonesia, memang masih
memunculkan permasalahan diantara keluarga yang hendak melakukan
perkawinan maupun dalam pengesahan dan pencatatan perkawinan mereka.
Adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengikutsertakan hukum
agama sebagai syarat sahnya perkawinan seakan menjadi penghalang bagi
mereka yang akan melakukan perkawinan beda agama, ini merupakan suatu
permasalahan yang cukup penting untuk di carikan jalan keluarnya, karena
secara sosiologis fakta perkawinan beda agama kerap terjadi di masyarakat
Indonesia sebagai konsekuensi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dan
adanya pergaulan antar manusia yang sangat terbuka dan bebas.
Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Wahyono
Darmabrata, menjabarkan bahwa penyelundupan hukum sering dilakukan oleh
para pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu
dengan 4 cara yang populer berikut ini :
1. Meminta penetapan pengadilan
Meminta penetapan pengadilan untuk dapat mencatatkan perkawinannya
di Kantor Catatan Sipil adalah cara yang dilakukan pertama kali oleh
Andi Vony Gani seorang perempuan Islam dan Pasangannya Andrianus
seorang lelaki bergama Kristen pada tahun 1989. Perbuatan Andi Vony
29
Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia,
http://hakimmuhibuddin.blogspot.com/2008/08/Tafsir-Baru-Perkawinan-Beda-Agama-di-
Indonesia.html, di akses pada 26 November 2012, Pk. 22:24 WIB.
44
ini menimbulkan reaksi pro dan kontra di masyarakat hingga
mengundang campur tangan Mahkamah Agung yang akhirnya
mengeluarkan Putusan Nomor 1400/Pdt.P/1986 yang intinya menyatakan
bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil,
maka Andi Vony telah memilih untuk perkawinannya tidak
dilangsungkan menurut agama Islam melainkan memilih untuk
mengikuti agama Andrianus, maka Kantor Catatan Sipil harus
melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut.
2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama
Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain
dari pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah
sesuai dengan agama perempuan. Tapi masalah yang timbul adalah
perkawinan mana yang sah, terhadap cara ini, Wahyono Darmabrata
menyatakan perlu penelitian lebih jauh lagi.
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama
Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama mempelai mungkin
lebih sering digunakan. Dalam agama Islam, diperbolehkan laki-laki
Islam menikahi wanita non-Islam, yang termasuk ahli kitab. Ayat Al-
Quran inilah yang dipraktekan sungguh oleh lembaga-lembaga seperti
Paramadina, Wahid Institute, dan Indonesian Conference on Religion
and Peace (ICRP),bahkan diperluas jadi memperbolehkan kawin beda
agama bagi wanita muslim. Kasus yang cukup terkenal adalah
perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina, pada awal 2005 lalu.
Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang
dikenal sebagai tokoh yayasan Paramadina.
4. Menikah di luar negeri
Banyak artis yang lari keluar negeri seperti Singapura dan Australia
untuk melakukan perkawinan beda agama. Ia menjelaskan jika
melakukan perkawinan di luar negeri, berarti tunduk pada hukum di luar
negeri. Pasangan tersebut mendapat akta dari negara yang bersangkutan,
kemudian akta dibawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak
memperoleh akta lagi dari negara. Menurut Wahyono Darmabrata,
perkawinan seperti itu tetap tidak sah karena belum memenuhi ketentuan
yang diatur oleh agama.30
Cara-cara penyelundupan hukum yang tersebut diatas timbul akibat dari
resistensi birokrasi dalam hal pelaksanaan perkawinan beda agama, namun
dapat kita ketahui bahwa cara-cara tersebut dapat menimbulkan masalah
dikemudian hari menyangkut keabsahan perkawinannya.
30
Hukumonline.com, Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama,
http://hukumonline.com/Berita/Empat-Cara-Penyelundupan-Hukum-Bagi-Pasangan-Beda-
Agama.html, diakses pada 25 November 2012, Pk. 13.18 WIB.
45
Perkawinan beda agama yang ada dan banyak timbul dimasyarakat
Indonesia yang multikultural dan multiagama semata-mata hanyalah faktor
pilihan hukum, apakah mau menggunakan hukum agama calon mempelai pria,
ataukah hukum agama calon mempelai wanita. Ketika kedua calon mempelai
sama-sama berkeras hati untuk menggunakan hukum agamanya masing-
masing maka akan timbul perbenturan, namun ketika ada yang mau mengalah
dan mengikuti hukum agama calon pengantinya maka tidak akan timbul
masalah.
3. Tinjauan tentang Administrasi Kependudukan
Administrasi Kependudukan, terdiri atas dua suku kata yaitu
Administrasi dan Kependudukan. Kata Administrasi dalam Wikipedia
Ensiklopedia bebas :
Apabila diartikan secara sempit berasal dari kata Administratie (bahasa
Belanda), yang meliputi kegiatan catat-mencatat, surat-menyurat,
pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda dan sebagainya, yang
bersifat teknis ketatausahaan (clerical work), Kemudian apabila
diartikan secara luas berasal dari kata Administration (bahasa Inggris),
yakni rangkaian kegiatan atauproses kegiatan usaha kerja sama
sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu secara efisien.31
Menurut Leonard D. White :
Administrasi merupakan suatu proses yang biasanya terdapat pada
semua usaha kelompok, baik usaha Pemerintah maupun swasta, sipil
maupun militer baik secara besar-besaran maupun kecil-kecilan.32
31
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Administrasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi,
diakses pada 25 November 2012, Pk. 18:33. 32
Dinas Pendidikan dan Pelatihan, Materi Kuliah by DISPEN,
http://dispenmaterikuliah.blogspot.com/2011/08/makalah-kependudukan.html,diakses pada
tanggal 25 November 2012, Pk. 14.35 WIB.
46
Mengenai hal tersebut, Sondang P. Siagian juga berpendapat bahwa :
Administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua orang
manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.33
Jadi dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
administrasi adalah keseluruhan proses rangkaian pelaksanaan kegiatan yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih yang terlibat dalam suatu bentuk usaha
bersama demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kemudian mengenai kata Kependudukan yang mempunyai kata dasar
penduduk yang artinya yaitu orang yang tinggal di daerah tersebut atau orang
yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut atau dengan kata lain
orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ seperti Kartu Tanda
Penduduk misalnya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kependudukan
adalah hal-hal atau sifat-sifat sebagai penduduk, serta urusan-urusan mengenai
penduduk. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan menyebutkan bahwa :
Kependudukan adalah hal yang berkaitan dengan jumlah, pertumbuhan,
persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, kondisi kesejahteraan, yang
menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, agama serta lingkungan.
Definisi Administrasi Kependudukan menurut ketentuan umum
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah :
Rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan
dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk,
Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan
serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain.
33
Loc. Cit.
47
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 merupakan pengaturan hukum
nasional Indonesia terhadap pencatatan sipil di Indonesia yang telah
diundangkan pada Desember tahun 2006 silam. Pertimbangan dibentuknya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
adalah :
1. Bahwa Negara Kesaturan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan
pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas
setiap peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia yang
berada di dalam dan/ atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi
dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting
yang dialami oleh penduduk Indonesia dan warga negara Indonesia
yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu
dilakukan pengaturan tentang Administrasi Kependudukan.
3. Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana
apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan
kesadaran penduduk, termasuk warga negara Indonesia yang berada di
luar negeri.
4. Peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan
yang ada tidak sesuai lagi dengan tuntunan pelayanan Administrasi
48
Kependudukan yang tertib dan tidak diskriminatif sehingga diperlukan
pengaturan secara menyeluruh untuk menjadi pegangan bagi semua
penyelenggara negara yang berhubungan dengan Kependudukan.
Tujuan dibenahinya administrasi kependudukan dengan dibentuknya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah agar dapat memberikan
pemenuhan hak administratif seperti pelayanan publik serta perlindungan yang
berkaitan dengan dokumen kependudukan tanpa adanya perlakuan yang
diskriminatif. Hakikat administrasi kependudukan adalah pengakuan Negara
terhadap hak publik (domisili, pindah dan datang) dan hak sipil penduduk
dibidang administrasi kependudukan. Administrasi Kependudukan diarahkan
untuk memenuhi hak azasi setiap orang di bidang administrasi kependudukan
tanpa diskriminasi melalui pelayanan publik yang profesional. Pendaftaran
penduduk dilakukan dengan pencatatan biodata penduduk, pencatatan atas
pelaporan peristiwa kependudukan dan pendataan penduduk serta penerbitan
dokumen kependudukan.
Administrasi Kependudukan bila berjalan sesuai dengan ketentuan,
dimulai dari kelengkapan biodata penduduk, pencatatan kelahiran, kematian,
perkawinan, pindah dan datang, yang pada akhirnya akan mempermudah
berbagai urusan yang diperlukan masyarakat berupa pelayanan publik dan
pendayagunaan untuk penetapan kebijakan pembangunan.
Pada hakekatnya upaya tertib dokumen kependudukan atau tertib
administrasi kependudukan, tidak sekedar pengawasan terhadap pengadaan
blangko-blangko yang dipersyaratkan dalam penerbitan dokumen, tapi
49
hendaknya harus tersistem, konkrit dan pragmatis, artinya mudah difahami
oleh penduduk dan diyakini bermakna secara hukum berfungsi melindungi,
mengakui/mengesahkan status kependudukan atau peristiwa penting (vital
event) yang dialami penduduk, sehingga dibutuhkan oleh penduduk karena
dapat memudahkan atau melancarkan urusannya dalam kehidupan sehari-hari,
dimana upaya tersebut merupakan tugas negara atau pemerintah sebagai
pelayan publik, dan menjadi urusan wajib pemerintah.
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV menjamin setiap orang
berhak untuk membentuk keluarga dan berketurunan melalui perkawinan yang
sah pada ketentuan Pasal 28B. Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen IV menyebutkan bahwa, negara menjamin tiap-tiap warga negara
untuk menjalankan agama dan kepercayaanya secara bebas. Berdasarkan hal
tersebut, jelas bahwa perkawinan adalah salah satu hak asasi manusia yang
dilindungi Undang-Undang Dasar dan bersifat tanpa diskriminasi.
Ada yang menganggap bahwa tidak diakomodirnya perkawinan beda
agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah tidak sesuai
dengan penegakan hak asasi manusia, apalagi kenyataan membuktikan bahwa
negara yang rakyatnya sangat heterogen seperti Indonesia, sering terjadi
perkawinan beda agama, meskipun jika dilaksanakan itu tidak sah menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Berkaitan dengan perwujudan adanya tertib dokumen dan tertib
administrasi kependudukan dimana peristiwa-peristiwa penting yang terjadi
dimasyarakat harus dicatat kedalam register kependudukan agar peristiwa
50
penting tersebut diyakini bermakna secara hukum, sah dan diakui serta
mendapatkan perlindungan dari negara, perkawinan sebagai salah satu
peristiwa penting dalam masyarakat yang menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 haruslah dicatatkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian Pasal 34 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 juga menyebutkan bahwa Perkawinan yang sah
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh
penduduk kepada Instansi Pelaksana (Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil) di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam
puluh) hari sejak tanggal perkawinan untuk dilakukan pencatatan tentang
perkawinan tersebut ke dalam Register Akta Perkawinan oleh pejabat
Pencatatan Sipil. Ketentuan Pasal 34 Nomor 23 Tahun 2006 yang mewajibkan
adanya pencatatan terhadap perkawinan, oleh Pasal 35 huruf (a) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 diperuntukan juga untuk perkawinan yang telah
ditetapkan oleh pengadilan, yang dalam Penjelasan Pasal 35 huruf (a) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang
dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
memperkenalkan adanya tugas baru kepada Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil, yaitu tugas untuk mencatat perkawinan beda agama, selain itu
melalui ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006,
hukum positif di Indonesia membuka kemungkinan pengakuan terhadap
51
perkawinan beda agama di Indonesia, dengan cara memohon penetapan
pengadilan yang menjadi dasar dapat dicatatkannya perkawinan beda agama di
Kantor Pencatatan Sipil. Penetapan pengadilan yang dimaksud dalam hal ini
adalah penetapan pengadilan yang amarnya berupa penetapan pemberian izin
untuk dilakukannya pencatatan perkawinan beda agama dicatatkan oleh pejabat
yang berwenang dalam hal itu kedalam buku register pencatatan yang
diperuntukan untuk itu. Jadi dalam hal pelaksanaan pencatatan perkawinan
beda agama, penetapan dari pengadilan berfungsi sebagai izin untuk
mencatatkan perkawinan tersebut.
Kata izin artinya adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang) atau
suatu persetujuan yang memperbolehkan sesuatu.34
Kamus istilah hukum
menjelaskan izin sebagai :
Perkenaan dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan
pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya
memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah
dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.35
Mengenai hal yang sama, Ateng Syafrudin mengatakan bahwa :
Izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang
menjadi boleh, atau Als opheffing van een algemene verbodsregel in het
conrete geval (sebagai peniadaan ketentuan larangan umum dalam
peristiwa konkret).36
Moh. Mahfud MD., mengenai kata izin tersebut ia juga menyatakan
pendapatnya, yaitu :
34
Lihat Artikata.com, Izin, http://www.artikata.com/arti-331222-izin.html, diakses pada
tanggal 29 November 2012, Pk. 23.22 WIB. 35
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2007,
hal. 207. 36
Loc. Cit.
52
Apabila pembuat peraturan, secara umum tidak melarang sesuatu
perbuatan, asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku. Perbuatan Administrasi Negara yang memperkenankan
perbuatan tersebut bersifat suatu izin.37
Selain dua pendapat tersebut, pengertian izin pada dasarnya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1) Dalam arti luas, izin adalah suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah lain untuk
dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan
undang-undang.
2) Dalam arti sempit, izin adalah suatu tindakan dilarang kecuali
diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan yang dikaitkan
dapat diberi batas-batas tertentu, dengan demikian yang pokok
adalah suatu tindakan dapat dilakukan dengan cara-cara tertentu.38
Berdasarkan pemaparan dari para pakar tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa izin ialah tidak lain merupakan sesuatu yang dibutuhkan
untuk kita melakukan sesuatu yang pada umumnya dilarang atau dihalangi
untuk dilakukan. Jadi dalam hal pengadilan menetapkan izin dilakukannya
pencatatan terhadap perkawinan beda agama, maka sama halnya pengadilan
tidak melarang atau memperbolehkan perkawinan beda agama tersebut untuk
dicatatkan. Dapat dikatakan Keabsahan perkawinan akan dinilai oleh hakim
pengadilan negeri dimana permohonan diajukan.
37
SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta, 2000, hal. 95. 38
Kartono dan Setiadjeng Kadarsih, Buku Ajar Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2004, hal. 5.
53
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang
mempunyai langkah-langkah sistematis. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Ronny Hanintijo, mengatakan
bahwa :
Metode yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan
konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan
norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau
pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif
yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang
nyata serta menganggap bahwa norma-norma lain bukan sebagai hukum.39
1. Metode Pendekatan
Pendekatan yang penulis gunakan adalah Pendekatan Undang-Undang
(Statute Approach). Pendekatan undang-undang (Statute Approach)
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian
untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka
kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau
antara undang-undang dengan undang-undang dasar atau antara regulasi
dengan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen
untuk memecahkan isu yang dihadapi.
39
Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia,
1988. hal. 13-14.
54
Selain pendekatan undang-undang, dalam penelitian ini penulis juga
menggunakan pendekatan kasus (Case Approach) yaitu mempelajari
penerapan norma-norma dan kaidah hukum yang digunakan dalam praktik
hukum untuk mendapat gambaran seperti apa penerapan norma-norma
tersebut dalam realita di masyarakat seperti penetapan dan putusan
pengadilan.
Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus digunakan
karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum dan realisasi
penerapan aturan tersebut dalam penetapan pengadilan yang menjadi fokus
sekaligus tema sentral dalam penelitian ini.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi
penelitian preskriptif. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang
preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.
Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa:
“Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu
hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan
hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu
terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan,
rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.”40
40
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya, Kencana Perdana Media Group,
2007, hal. 22.
55
3. Lokasi Penelitian
Peneliti menggunakan lokasi penelitian di wilayah Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang, dalam penelitian ini
diperoleh data berdasarkan telaah dokumen melalui pengambilan data dan
dokumen lain yang relevan ke instansi yang menjadi lokasi penelitian.
4. Sumber Bahan Hukum
Sumber Bahan Hukum diperoleh dari : Bahan Hukum Primer, yaitu
bahan-bahan hukum yang mengikat.41
Bahan hukum primer tersebut
kemudian ditelaah agar dapat menjadi jelas menggunakan bahan hukum
skunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer.42
Untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer penulis juga menggunakan bahan hukum tersier yang semata-mata
dilakukan untuk mendapatkan penjelesan atas bahan hukum primer yang
digunakan.
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan bahan hukum yang terdiri
dari :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan yang isinya mengikat,
dikeluarkan oleh penguasa pembentuk peraturan perundang-
undangan, terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
41
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, 2004, hal. 31. 42
Ibid, hal. 32.
56
c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
f. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang
Diterbitkan Oleh Negara Lain.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, digunakan
untuk menganalisa dan memahami bahan hukum primer, yang
antara lain terdiri dari : pustaka dibidang ilmu hukum, hasil
penelitian dibidang ilmu hukum, dan artikel-artikel ilmiah baik dari
koran maupun dari internet.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan
informasi maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, antara lain: kamus dan ensiklopedia.
5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan data yaitu dengan menginventarisir peraturan
perundang-undangan untuk dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh dan
57
dengan studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah dan studi
dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar.
Metode pengumpulan data menggunakan Studi Kepustakaan yaitu teknik
mengumpulkan data dengan jalan membaca dan mempelajari buku-buku
literatur yang berkaitan dengan materi penelitian, kemudian menyusunnya
sebagai sajian data. Metode dokumentasi adalah salah satu cara pengumpulan
data yang digunakan penulis dengan cara menelaah dokumen-dokumen
pemerintah maupun non pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini.
6. Metode Penyajian Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang
disusun secara sistematis, logis dan rasional, yang dalam arti keseluruhan
bahan hukum yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya
disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan
suatu kesatuan yang utuh.
7. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara normatif-
kualitatif tentang pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama oleh Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang. Normatif karena
penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma
hukum positif. Kualitatif karena data yang diperoleh, kemudian disusun
secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif, untuk
mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.43
43
Ibid, hal. 98.
58
8. Masalah dan Solusi yang Dihadapi Selama Penelitian
Pada latar belakang masalah pada proposal penelitian (Skripsi)
peristiwa hukum yang menjadi obyek penelitian adalah peristiwa hukum
perkawinan beda agama yang dilakukan oleh Clift Sangra dan Nana
Mahliana Hasan, namun setelah dilakukan penelitian di lapangan ternyata
pihak Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil enggan
memberikan berkas-berkas terkait pencatatan perkawinan beda agama yang
dilakukan Clift Sangra dan Nana Mahliana Hasan, dengan alasan Clift
Sangra adalah orang populer dan dikhawatirkan menjadi pelanggaran
privasi dirinya. Untuk itu obyek penelitiannya dicarikan gantinya yaitu
peristiwa pencatatan perkawinan beda agama antara Yudi Kristanto, lahir
di Magelang pada tanggal 30 Mei 1981, beragama Islam, pekerjaan swasta,
bertempat tinggal di Jalan Jagoan 1 RT 06 RW 05, Jurangombo Utara
Magelang dengan Yeni Aryono yang lahir di Magelang pada tanggal 9 Mei
1978 dan telah ada Penetapan Pengadilan Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL
tanggal 9 Januari 2012 dengan persyaratan dan kualifikasi obyek penelitian
yang sama.
59
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
a. Duduk Perkara
Kasus ini berawal karena adanya keinginan pemohon untuk
melaksanakan dan mencatatkan perkawinannya di Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Magelang dengan izin Pengadilan
Negeri. Pada tanggal 4 Januari 2012 pemohon mengajukan surat
permohonan dengan perihal izin menikah pada Pengadilan Negeri Magelang
dibawah Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL tanggal 9 Januari 2012.
Pengadilan Negeri Magelang yang memeriksa dan mengadili perkara-
perkara Perdata pada tingkat pertama yang dilangsungkan dalam Gedung
Pengadilan Negeri Magelang telah memberikan Penetapan seperti tersebut
dibawah ini dalam permohonan atas nama :
Yudi Kristanto, lahir di Magelang pada tanggal 30 Mei 1981, beragama
Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Jalan Jagoan 1 RT 06 RW
05, Jurangombo Utara Magelang, yang selanjutnya disebut sebagai
PEMOHON.
Dalam surat yang diajukan pemohon tersebut kepada Pengadilan
Negeri Magelang telah mengemukakan hal-hal yang menjadi dasar dan
alasan diajukannya permohonan, yaitu :
1. Bahwa Pemohon lahir di Magelang pada tanggal 30 Mei 1981 anak
dari seorang Ibu : SULIBAH;
60
2. Bahwa saat ini pemohon akan melangsungkan perkawinan dengan
seorang perempuan yang bernama YENI ARYONO yang lahir di
Magelang pada tanggal 9 Mei 1978 anak dari pasangan suami isteri
ARYO JOKO SOEWITO dengan HENI SRIJATUN;
3. Bahwa pemohon akan segera melaksanakan perkawinan dan sudah
mendaftarkan di Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang untuk
dilakukan perkawinan, namun oleh karena pemohon dan calon
isterinya berbeda agama, dalam hal ini pemohon beragama ISLAM
dan calon isteri pemohon beragama KATHOLIK, maka Kantor
Pencatatan Sipil Kota Magelang tidak bisa melaksanakan dan
mencatat perkawinan tersebut dan Kantor Pencatatan Sipil Kota
Magelang bisa melaksanakan dan mencatat perkawinan apabila ada
Surat Penetapan dari Pengadilan Negeri Magelang yang memberikan
ijin kepada pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama;
4. Bahwa atas akan dilaksanakannya perkawinan antara pemohon YUDI
KRISTANTO dan YENI ARYONO yang berbeda agama dan akan
dilaksanakan di Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang, telah
mendapat restu dari orang tua calon isteri dan orang tua calon isteri
juga tidak keberatan;
5. Bahwa menurut pemohon untuk melangsungkan perkawinan yang
beda agama diharuskan ada penetapan dari Pengadilan Negeri yang
menyatakan tentang hal tersebut;
6. Bahwa dikarenakan pemohon berdomisili di Kota Magelang, maka
sepantasnyalah pemohon mengajukan permohonan ini di Pengadilan
Negeri Magelang;
61
Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan tersebut di atas
kiranya permohonan pemohon beralasan serta berdasarkan hukum.
Selain alasan-alasan yang telah disebutkan oleh pemohon tersebut,
untuk menguatkan permohonannya, pemohon mengajukan bukti-bukti surat
baik asli maupun berupa foto copy yang telah dicocokan dengan aslinya,
bukti-bukti mana telah diberi bea materai sebagaimana mestinya berupa :
1. Surat Keterangan/ Pengantar Nomor : 470/05/I-12/535 tertanggal 5
Januari 2012 atas nama YUDI KRISTANTO, yang dikeluarkan oleh
Kepala Kelurahan Jurangombo Utara, selanjutnya diberi tanda P-1;
2. Foto copy Kartu Tanda Penduduk dengan N.I.K 3371013005810001
atas nama YUDI KRISTANTO, yang berlaku hingga 30 Mei 2015,
selanjutnya diberi tanda P-2;
3. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 188/DIS/2006 atas nama
YUDI KRISTANTO tertanggal 19 April 2006, selanjutnya diberi
tanda P-3;
4. Foto copy Kartu Keluarga Nomor : 3371012309110004 atas nama
Kepala Keluarga SULIBAH, yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Magelang, tertanggal 23-09-
2011, selanjutnya diberi tanda P-4;
5. Surat Pernyataan tertanggal 4 Januari 2012, yang dibuat dan
ditandatangani oleh Sulibah selaku orang tua YUDI KRISTANTO,
selanjutnya diberi tanda P-5;
6. Surat Pernyataan tertanggal 5 Januari 2012, yang dibuat dan
ditandatangani oleh YUDI KRISTANTO, selanjutnya diberi tanda P-
6;
62
7. Foto copy Surat Keterangan Kesehatan Calon Pengantin atas nama
YUDI KRISTANTO, tertanggal 7 September 2011 yang
ditandatangani dr. ERAWATI, dokter Puskesmas Magelang Selatan,
selanjutnya diberi tanda P-7;
8. Surat Keterangan Nomor : 017/2010/I/2012 tertanggal 5 Januari 2012
atas nama YENI ARYONO yang ditandatangani oleh Kepala Desa
Mertoyudan, HERU JOKO SUSENO, S. Sos, selanjutnya diberi tanda
P-8;
9. Foto copy Kartu Tanda Penduduk dengan N.I.K : 3308104905780002
atas nama YENI ARYONO, yang berlaku hingga 09-05-2015,
selanjutnya diberi tanda P-9;
10. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 5771/DSP/1988 atas
nama YENI ARYONO tertanggal 10 Febuari 1989, selanjutnya diberi
tanda P-10;
11. Foto copy Kartu Keluarga Nomor : 3308102602075089 atas nama
Kepala Keluarga ARYO DJOKO SOEWITO, tertanggal 08-10-2011,
selanjutnya diberi tanda P-11;
12. Surat Pernyataan yang dibuat dan ditandatangani ARYO DJOKO
SOEWITO dan SRIJATUN tertanggal 4 Januari 2012, selanjutnya
diberi tanda P-12;
13. Surat Pernyataan yang dibuat dan ditandatangani oleh YENI
ARYONO tertanggal 5 Januari 2012, selanjutnya diberi tanda P-13;
14. Foto copy Surat Keterangan Kesehatan Calon Pengantin atas nama
YENI ARYONO tertanggal 7 September 2012, yang ditandatangani
63
oleh dr. ERAWATI, dokter Puskesmas Magelang Selatan, selanjutnya
diberi tanda P-14;
15. Surat Perkawinan atas nama YUDI KRISTANTO dan FLORENTINA
YENI ARYONO tertanggal 20 Oktober 2011 yang dikeluarkan oleh
Paroki St. Ignatius Magelang dan ditandatangani oleh Rama Paroki
FRANCISCUS XAVERIUS KRISNO HANDOYO Pr., selanjutnya
diberi tanda P-15;
Setelah mengajukan bukti-bukti surat tersebut diatas, pemohon juga
mengajukan 4 (empat) orang saksi yaitu saksi BOEDIJONO OERIP, saksi
PITOYO, saksi SULIBAH, dan saksi HENI SRIJATUN yang memberikan
keterangan dibawah sumpah, dan keterangannya tersebut satu sama lain
saling bersesuaian yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :
1. Saksi BOEDIJONO OERIP :
a) Bahwa saksi kenal dengan pemohon;
b) Bahwa saksi menjabat sebagai Ketua RW 05 Kelurahan
Jurangombo Utara, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang,
sekaligus Ketua Lingkungan Yohanes I Warga Katholik, dan
pemohon adalah warga saksi;
c) Bahwa tugas saksi selaku Ketua Lingkungan warga Katholik antara
lain adalah membina dan mengkordinir warga untuk kegiatan-
kegiatan di gereja termasuk diantaranya perkawinan;
d) Bahwa pemohon yang bergama Islam pernah datang kerumah
saksi, namun waktunya saksi sudah tidak ingat lagi, dalam rangka
melapor akan melangsungkan perkawinan dengan seorang
perempuan bergama Katholik bernama YENI ARYONO;
64
e) Bahwa atas laporan pemohon tersebut kemudian saksi
mengeluarkan surat pengantar dari Lingkungan Yohanes I untuk
diserahkan kebagian sekretariat di gereja St. Ignatius, Magelang;
f) Bahwa perkawinan antara pemohon dengan YENI ARYONO telah
terlaksana di Gereja St. Ignatius Magelang, pada sekitar bulan
Oktober tahun 2011, dimana dilangsungkan dihadapan Pastur
Romo FX. Krisno Handoyo, Pr dan sebagai saksi dari pernikahan
tersebut adalah saksi sendiri dan Pak Kusrin, serta dihadiri oleh
keluarga kedua mempelai;
g) Bahwa atas perkawinan tersebut kemudian pihak gereja
mengeluarkan surat perkawinan (Testimonium Matrimoni);
2. Saksi PITOYO :
a) Bahwa saksi kenal dengan pemohon, karena sering bertemu dengan
pemohon ketika pemohon berkunjung kerumah YENI ARYONO
anak dari Sdr. ARYO DJOKO SOEWITO yang tinggal satu
lingkungan dengan saksi di Salakan, Kabupaten Magelang;
b) Bahwa pada bulan-bulan menjelang akhir tahun 2011, saksi
dimintai bantuan oleh Sdr. ARYO DJOKO SOEWITO
menguruskan surat-surat untuk persyaratan perkawinan antara
pemohon dengan YENI ARYONO;
c) Bahwa surat-surat N1 sampai dengan N5 tersebut berhasil diurus
oleh saksi;
d) Bahwa perkawinan antara pemohon dan YENI ARYONO telah
berlangsung di gereja, kapan tepatnya saksi tidak ingat, akan tetapi
65
saksi hadir pada selamatan sehari sebelum perkawinan di gereja
tersebut dilaksanakan;
3. Saksi SULIBAH :
a) Bahwa saksi adalah ibu kandung pemohon YUDI KRISTANTO;
b) Bahwa pemohon adalah anak pertama saksi;
c) Bahwa pemohon beragama Islam, dan telah melaksanakan
perkawinan secara agama Katholik di gereja St. Ignatius,
Magelang, dengan seorang perempuan bernama YENI ARYONO,
pada tanggal 20 Oktober 2011;
d) Bahwa perkawinan secara agama (dikenal dengan sebutan
pemberkatan perkawinan) tersebut berlangsung lancar dengan
dihadiri oleh keluarga kedua mempelai;
4. Saksi HENI SRIJATUN :
a) Bahwa saksi kenal dengan pemohon, karena pemohon sudah
berpacaran dengan YENI ARYONO anak kedua saksi selama
sebelas tahun, dan kini keduanya telah menikah secara Katholik di
Gereja St. Ignatius, Magelang;
b) Bahwa perkawinan secara agama tersebut, atau dikenal sebagai
pemberkatan pernikahan, dilangsungkan pada tanggal 20 Oktober
2011 dengan dihadiri keluarga kedua mempelai, setelah
sebelumnya mengikuti pelajaran perkawinan yang diselenggarakan
oleh gereja selama 3 (tiga) hari;
c) Bahwa sejak awal saksi mengetahui bahwa pemohon beragama
Islam sementara anak saksi YENI ARYONO beragama Katholik,
namun demikian sebagai orang tua dari anak-anak yang sudah
66
dewasa saksi menganggap mereka bisa menentukan sikap dan
memilih yang terbaik bagi diri mereka sendiri;
Selanjutnya untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas, YENI
ARYONO sebagai isteri pemohon juga memberikan keterangan dalam
persidangan yang keterangannya sebagai berikut :
a) Bahwa YENI ARYONO telah kenal lama dengan pemohon,
berpacaran selama sebelas tahun, dan kini telah menikah secara
agama dengan pemohon;
b) Bahwa yang bersangkutan beragama Katholik sedangkan pemohon
beragama Islam;
c) Bahwa perkawinan tersebut dilangsungkan di Gereja St. Ignatius,
Magelang pada tanggal 20 Oktober 2011, dengan direstui seluruh
keluarga, dihadapan Pastur Romo FX. Krisno Handoyo Pr.;
d) Bahwa yang bersangkutan merasa yakin akan berbahagia dengan
perkawinan beda agama ini, dan bertekad untuk saling menghargai
dalam menjalankan agama masing-masing;
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka pemohon mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Negeri Magelang, sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan pemohon;
2. Memberikan izin kepada YUDI KRISTANTO yang lahir di
Magelang pada tanggal 30 Mei 1981 anak dari seorang Ibu
SULIBAH untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor
Catatan Sipil Kota Magelang dengan YENI ARYONO yang lahir di
Magelang pada tanggal 9 Mei 1978 anak dari pasangan suami isteri
ARYO JOKO SOEWITO dan HENI SRIJATUN;
67
3. Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Magelang setelah salinan Penetapan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap ini ditunjukan kepadanya untuk
melaksanakan perkawinan antara YUDI KRISTANTO dan YENI
ARYONO dan mencatat didalam daftar yang diperuntukan untuk hal
itu;
4. Membebankan biaya yang timbul sehubungan dengan Permohonan
ini kepada pemohon;
b. Pertimbangan Hukum
Adapun yang menjadi pertimbangan hukum hakim adalah :
1. Adanya fakta pemohon adalah laki-laki beragama Islam yang telang
melangsungkan perkawinan dengan wanita beragama Khatolik di
gereja St. Ignatius Magelang pada 20 Oktober 2011.
2. Menimbang, bahwa perkawinan di Indonesia diatur oleh Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; adapun tujuan
dari undang-undang tersebut adalah sebagai unifikasi atau
penyeragaman hukum perkawinan yang sebelumnya sangat beragam
mengingat keberagaman masyarakat Indonesia;
3. Menimbang, bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974, diatur mengenai penegasan peran keagamaan dari
suatu perkawinan, dimana disebutkan bahwa perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya;
4. Menimbang, bahwa selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menyatakan bahwa tiap-tiap
68
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, bagi yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh Kantor
Urusan Agama (KUA) dan bagi yang beragama selain Islam
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan
Sipil, sekarang Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
5. Menimbang, bahwa Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur bahwa
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat mencatatkan
perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan; Selanjutnya
didalam penjelasan dari pasal tersebut telah ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan
adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama;
6. Menimbang, bahwa senafas dengan peraturan tersebut, yaitu termuat
dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1400/K/Pdt/1986 tanggal
20 Januari 1989 yang menyatakan bahwa adalah keliru apabila Pasal
60 Undang-Undang tentang Perkawinan ditunjuk oleh Kepala KUA
dan Pegawai Luar Biasa Pencatatan Sipil DKI Jakarta untuk menolak
perkawinan beda agama;
7. Bahwa benar perkawinan beda agama tidak diatur secara tegas di
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi keadaan
tersebut adalah suatu kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan
sudah merupakan kebutuhan sosial yang harus dicarikan jalan
keluarnya menurut hukum agar tidak menimbulkan dampak negatif
dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama; sementara itu
undang-undang tersebut juga tidak melarang secara tegas tentang
69
perkawinan beda agama tersebut sehingga terjadilah kekosongan
hukum;
8. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV Pasal 27
menentukan bahwa seluruh warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum, tercakup didalamnya kesamaan hak asasi untuk
melangsungkan perkawinan dengan sesama warga negara sekalipun
berlainan agama, sedangkan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen IV mengatur bahwa negara menjamin kemerdekaan
warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing;
9. Menimbang, bahwa selain itu di dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, di dalam Pasal 10 ayat (1),
(2) dan Pasal 16 ayat (1) pada pokoknya mengatur bahwa setiap
orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta
melanjutkan keturunan yang dilangsungkan atas kehendak bebas
sesuai dengan ketentuan undang-undang;
10. Menimbang, bahwa terlepas dari adanya pro dan kontra dari
berbagai pihak, pernikahan antarumat beragama ini haruslah dapat
diterima sebagai suatu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat;
dalam kehidupan bermasyarakat ini tidak dapat dipungkiri adanya
praktek budaya yang dilakukan oleh masyarakat, tanpa sekat-sekat
perbedaan agama maupun kebiasaan-kebiasaan hidup; praktek
budaya tersebut termasuk diantaranya adalah pernikahan beda agama
sebagai salah satu mekanisme masyarakat membangun sikap
solidaritas dan rasa toleransi.
70
11. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka perkawinan
antarumat bergama yang dilakukan pemohon dan akan dicatatkan ini
merupakan suatu fenomena yang banyak terjadi dalam masyarakat
Indonesia yang pluralistis;
12. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah diajukan,
terbukti bahwa perkawinan pemohon dengan YENI ARYONO telah
memenuhi persyaratan dan sungguh-sungguh dilakukan dengan
tujuan yang baik bukan dengan tujuan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
13. Menimbang, bahwa berdasarkan uraian-uraian pertimbangan
tersebut diatas maka Pengadilan Negeri Magelang, berpendapat
bahwa permohonan pemohon cukup beralasan dan berdasarkan
hukum, oleh karenanya permohonan pemohon dapat dikabulkan
untuk seluruhnya;
14. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan pemohon dikabulkan
maka pemohon patut dibebani untuk membayar biaya perkara ini;
Mengingat, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Azasi Manusia, serta ketentuan perundang-undangan lainnya
yang bersangkutan;
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, hakim
akhirnya menetapkan :
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
71
2. Memberikan ijin kepada YUDI KRISTANTO yang lahir di
Magelang pada tanggal 30 Mei 1981 anak dari seorang ibu
SULIBAH untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor
Catatan Sipil Kota Magelang pada tanggal 9 Mei 1987 anak dari
pasangan suami isteri HENI SRIJATUN dan ARYO DJOKO
SOEWITO;
3. Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Magelang, setelah salinan penetapan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ini ditunjukan kepadanya
untuk melaksanakan perkawinan antara YUDI KRISTANTO dengan
YENI ARYONO dan mencatat didalam daftar yang diperuntukan
untuk hal itu;
4. Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada
pemohon sebesar Rp. 159.000,- (seratus lima puluh sembilan ribu
rupiah);
c. Narasumber
Untuk memperjelas interpretasi mengenai pelaksanaan pencatatan
perkawinan beda agama dalam penelitian ini perlu disajikan keterangan dari
Sdr. Arief Prasetyo dan Sdr. Suwarti selaku pejabat Pencatatan Sipil Kota
Magelang, disebutkan bahwa :
1. Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang
memang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pencatatan
perkawinan beda agama, ini didasarkan pada ketentuan Pasal 35 huruf
(a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 beserta penjelasan
pasalnya.
72
2. Perkawinan beda agama yang telah dicatatkan oleh Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang, perkawinannya
sudah dilakukan terlebih dahulu baru dimohonkan penetapan ke
Pengadilan Negeri Magelang.
3. Pihak Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Magelang tidak melangsungkan perkawinan beda agama namun hanya
mencatatkan peristiwa perkawinan tersebut ke dalam lembaran
Pencatatan Sipil yang diperuntukan untuk itu.
4. Syarat untuk dilakukannya pencatatan terhadap perkawinan beda
agama adalah adanya penetapan dari pengadilan yang amarnya
mengizinkan perkawinan tersebut dicatatkan.
5. Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama dilakukan menurut
pada ketentuan Pasal 10 dan 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan
Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain.
2. PEMBAHASAN
a. Alasan substansial hakim dalam Penetapan Nomor :
04/Pdt.P/2012/PN.MGL
1. Pertimbangan Hakim
Data dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab permasalahan
pertama yang difokuskan pada pertimbangan hakim pada bagian Tentang
Hukumnya. Pertimbangan hakim pada bagian Tentang Hukumnya
merupakan konstruksi hukum yang menjadi dasar pemikiran hakim dalam
mengambil keputusan untuk menetapkan diberikannya ijin kepada Pemohon
73
inkasu dan memerintahkan kepada Pegawai kantor Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan inkasu dan mencatat
di dalam daftar yang diperuntukkan untuk hal itu. Dari hasil penelitian
diperoleh data bahwa terdapat 15 hal yang dipertimbangkan oleh hakim,
dengan sistimatika sebagai berikut:
1) Pada pertimbangan pertama telah dipertimbangkan mengenai fakta
hukumnya, yaitu:
- Pemohon adalah seorang laki-laki dewasa beragama Islam;
- Pemohon telah melangsungkan perkawinan secara agama Katolik
di Gereja Katolik St. Ignatius Magelang pada tanggal 20 Oktober
2011, dengan seorang perempuan yang beragama katolik;
- Perkawinan tersebut direstui keluarga kedua mempelai;
- Pemohon (dan pasangannya) telah mantab untuk menjalani
perkawinan dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal sepanjang hayat.
2) Pada pertimbangan kedua sampai ke sepuluh (ada 8 pertimbangan
hakim) telah mempertimbangkan mengenai landasan hukum yang
dipergunakan, sebagai berikut:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah bertujuan unifikasi
hukum;
- Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
ketentuan mengenai sahnya perkawinan;
74
- Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
ketentuan mengenai pencatatan setiap perkawinan;
- Inkasu adalah perkawinan antara pemohon (laki-laki) yang
beragama Islam dengan pasangannya (perempuan) yang beragama
katolik;
- Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
mengenai pencatatan perkawinan yang telah ditetapkan oleh
Pengadilan, yang dimaksud disini adalah perkawinan beda agama;
- Putusan Mahkamah Agung RI No. 1400/K/P/PDT/1966 tanggal 20
Januari 1989 yang menyatakan bahwa adalah keliru apabila Pasal
60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditunjuk oleh Kepala
KUA dan Pegawai Luar Biasa Pencatatan Sipil DKI Jakarta untuk
menolak perkawinan beda agama;
- Perkawinan beda agama tidak diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan tidak melarang secara tegas maka terjadi
kekosongan hukum, tetapi merupakan suatu kenyataan yang terjadi
dalam masyarakat dan sudah merupakan kebutuhan sosial yang
harus dicarikan jalan keluarnya menurut hukum agar tidak
menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat dan
beragama;
- Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV mengatur
kesamaan kedudukan dalam hukum bagi setiap warga negara dan
Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV mengatur
75
mengenai negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk
memeluk agamanya masing-masing;
- Pasal 10 ayat (1), (2) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; yang pada pokoknya
setiap orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
3) Dasar pemikiran hakim untuk mengabulkan permohonan untuk
pencatatan perkawinan beda agama inkasu, tersaji pada pertimbangan
hakim ke lima, ke sebelas sampai ke lima belas, sebagai berikut:
- Pemohon adalah seorang laki-laki beragama Islam yang hendak
melangsungkan perkawinan dan hendak mencatatkan
perkawinannya dengan seorang perempuan beragama katolik;
- Perkawinan antar umat beragama merupakan suatu kenyataan
dalam kehidupan bermasyarakat, merupakan praktek budaya
dengan tanpa sekat-sekat perbedaan agama atau kebiasaan-
kebiasaan hidup, sebagai salah satu mekanisme membangun sikap
solidaritas dan rasa toleransi;
- Perkawinan antar umat berbeda agama dan akan dicatatkan
merupakan fenomena yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia;
- Penilaian hakim mengenai bukti-bukti dan dinyatakan sebagai telah
terbukti;
- Pendapat hakim mengenai permohonan Pemohon cukup beralasan
dan berdasarkan hukum, maka permohonan dikabulkan;
76
Alasan substansial dari pertimbangan hakim dalam penetapannya
untuk mengabulkan permohonan Pemohon melangsungkan perkawinan dan
untuk mencatatkan perkawinannya pada intinya didasarkan pada
pertimbangan hakim yang menyatakan adanya kekosongan hukum karena
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur dan tidak secara
tegas melarang perkawinan beda agama, dan adanya ketentuan Pasal 35
huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 mengenai pencatatan
perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan, yang dimaksud disini
adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Hakim
kemudian mencari landasan pemikiran untuk mengisi kekosongan hukum
yang dimaksud dengan merujuk pada:
1) Ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:
(a) Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV;
(b) Pasal 10 ayat (1), (2) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999;
(c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang bertujuan unifikasi
hukum, dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
serta Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
(d) Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006;
Dengan penjelasan bahwa setiap orang berhak untuk menikah dan
membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan (Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999) dan hal ini merupakan hak yang dijamin
konstitusi (Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945
77
Amandemen IV), dengan demikian perkawinan merupakan hak
konstitusi setiap warga negara Indonesia yang harus dijamin oleh hukum
dalam negara hukum Republik Indonesia, yang dalam hal ini terdapat
ketidak jelasan atau kekosongan hukum bagi warga negara Indonesia
yang menganut agama yang berbeda untuk dapat melangsungkan
perkawinan, karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai
sahnya perkawinan secara tegas menyebutkan bahwa Perkawinan sah
apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-
masing (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974),
sehingga hakim berpendapat bahwa perkawinan beda agama tidak diatur
dan tidak secara tegas dilarang, yang artinya telah terjadi kekosongan
hukum.
2) Fenomena yang terjadi dimasyarakat, yaitu:
(a) Pemohon adalah seorang laki-laki beragama Islam yang hendak
mencatatkan perkawinannya dengan seorang perempuan beragama
katolik; dan perkawinan antar umat beragama sebagai suatu
kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, merupakan praktek
budaya dengan tanpa sekat-sekat perbedaan agama atau kebiasaan-
kebiasaan hidup, sebagai salah satu mekanisme membangun sikap
solidaritas dan rasa toleransi44
;
(b) Perkawinan beda agama dan akan dicatatkan merupakan fenomena
yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia.
44
NU Studies, Pergolakan Pemikiran Fundamentalisme Islam, A. Baso, hal. 469.
78
Hakim dengan berdasar atas prinsip bahwa Hakim tidak boleh
menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada
hukumnya atau tidak jelas peraturan hukumnya, mendalilkan bahwa telah
terjadi kekosongan hukum mengenai perkawinan beda agama, maka dengan
bersumber dan berdasar atas Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar
1945 Amandemen IV serta ketentuan Pasal 10 ayat (1), (2) dan Pasal 16
ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyimpulkan bahwa
perkawinan beda agama merupakan hak konstitusi dan hak asasi manusia
yang dimiliki setiap warga negara Indonesia dan perkawinan beda agama
juga merupakan suatu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat,
merupakan praktek budaya dengan tanpa sekat-sekat perbedaan agama atau
kebiasaan-kebiasaan hidup, sebagai salah satu mekanisme membangun
sikap solidaritas dan rasa toleransi, maka menurut hukum perlu diberikan
jalan keluar agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan
masyarakat dan beragama. Selanjutnya perkawinan dimaksud yang akan
dicatatkan juga merupakan fenomena yang terjadi dalam masyarakat di
Indonesia. Alasan tersebutlah yang mendasari hakim mengambil keputusan
untuk menetapkan diberikannya ijin kepada Pemohon inkasu dan
memerintahkan kepada Pejabat Pencatatan Sipil pada Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan
inkasu dan mencatat di dalam daftar yang diperuntukkan untuk hal itu.
79
2. Analisa Yuridis Untuk Mengkritisi Pertimbangan Hakim
Perlu dijelaskan terlebih dulu mengenai interpretasi hakim yang
menyatakan bahwa dalam perkara inkasu telah terdapat kekosongan hukum
karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur dan tidak
secara tegas melarang perkawinan antar umat yang berbeda agama.
Hukum merupakan suatu sistem, demikian juga mengenai hukum
perkawinan juga merupakan suatu sistem, artinya hukum perkawinan harus
dipahami sebagai suatu kesatuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perkawinan. Dalam hal ini interpretasinya merujuk pada
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai
sahnya perkawinan dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
mengenai Tatacara Perkawinan jo. Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Data yang diperoleh menyebutkan bahwa Pemohon seorang laki-laki
yang beragama Islam akan melangsungkan perkawinannya dengan seorang
perempuan yang beragama Katolik di Gereja Katolik inkasu, dan kemudian
akan dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan setempat; untuk itu
diperlukan penetapan Hakim terlebih dulu.
Berangkat dari pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa telah
terjadi kekosongan hukum sebagaimana argumentasi Hakim di atas, perlu
dipahami terlebih mendalam mengenai ketentuan sahnya perkawinan yang
dirumuskan bahwa Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
agama dan kepercayaannya masing-masing (Pasal 2 ayat (1) Undang-
80
Undang Nomor 1 Tahun 1974), selanjutnya apabila rumusan kalimat
tersebut dikaitkan dengan bagian penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang intinya menyatakan bahwa tidak ada
Perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan
hukum masing-masing agamanya dan kepereayaannya itu termasuk
ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
dalam undang-undang ini. Sebenarnya dapat diperoleh pemahaman maksud
dari pembentuk undang-undang bahwa sahnya perkawinan sepenuhnya
merujuk pada ketentuan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Artinya hanya menyebut 2 (dua) aspek saja yaitu
menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaannya, dengan
demikian perkawinan di luar kedua aspek hukum tersebut tidak
diperbolehkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, oleh karena
itu dapat dipertegas disini dapat dibaca bahwa perkawinan beda agama
apabila mau melangsungkan perkawinan harus melakukan pemilihan hukum
memakai hukum agama yang mana diantara calon suami dan calon isteri
dengan sendirinya mengikuti tata cara perkawinan menurut hukum agama
yang dipilihnya. Solusi lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan
perkawinan di luar negeri dengan menggunakan hukum luar negeri, dengan
berdasar atas ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 perkawinan tersebut dipandang sebagai perkawinan yang sah, dan
81
dalam tempo 1 (satu) tahun dapat dicatatkan perkawinannya di Indonesia
(Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Sebetulnya
pertimbangan Hakim dimaksud yang menyatakan telah ada kekosongan
hukum memang dimaksudkan hendak memberi solusi untuk perkawinan
beda agama pelaksanaan perkawinannya tidak menggunakan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai jalan keluar mengantisipasi
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat; dengan mengisyaratkan dapat
diberlakukannya ketentuan hukum yang lama, dengan pengertian tidak
melanggar ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
bahwa perkawinan antar umat yang berbeda agama tidak termasuk dalam
kalimat “......... sejauh sudah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan
tidak berlaku ...”45
, namun memberlakukan ketentuan hukum yang lama
justru telah memunculkan persoalan lain, yaitu siapa yang bertugas
melangsungkan perkawinan bagi perkawinan beda agama, yang semula
kewenangan itu ada dan diatur dalam BS (Burgerlijk Stand) dan
pelaksanaannya dilakukan oleh Catatan Sipil; tetapi sejak dikeluarkannya
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 kewenangan tersebut telah
dicabut dan Catatan Sipil hanya melayani pencatatan sipil meliputi
pencatatan perkawinan saja, tidak lagi melayani administrasi untuk
melangsungkan perkawinan.46
Terlebih lagi secara kelembagaan sekarang
ini tidak ada lagi pegawai Catatan Sipil yang mendapat tugas (Tupoksi)
45
Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia,
http://hakimmuhibuddin.blogspot.com/2008/08/Tafsir-Baru-Perkawinan-Beda-Agama-di-
Indonesia.html, di akses pada 26 November 2012, Pk. 22:24 WIB. 46
Fauzan Arrasyid, Catatan Sipil (BS/Burgerlijk stand), http://my.opera.com/mid-
as/blog/2011/01/22/catatan-sipil-bs-burgerlijk-stand, diakses pada 20 April 2013, Pk. 15.15 WIB.
82
untuk melangsungkan perkawinan. Jadi secara normatif maupun secara
empiris perkawinan beda agama tidak bisa dilangsungkan perkawinannya.
Hakim dalam penetapannya telah memerintahkan kepada Pegawai
Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melaksanakan
perkawinan inkasu menjadi tidak bisa dilaksanakan karena secara normatif
dan empiris Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tidak lagi
memiliki kewenangan untuk itu dan sudah tidak ada lagi Petugas yang
memiliki kompetensi untuk melaksanakan perkawinan beda agama.
b. Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Kota Magelang
Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama, dalam hal ini kata
pelaksanaan diartikan sebagai kegiatan melaksanakan pencatatan
perkawinan beda agama yang prosedur dan tata caranya telah diatur oleh
peraturan perundang-undangan.
Pencatatan perkawinan beda agama merupakan hal baru yang telah
diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Pasal 35 huruf
(a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 beserta penjelasannya memberi
peluang untuk perkawinan beda agama dapat dicatatkan, dan yang diberi
kewenangan untuk melakukan pencatatan perkawinan beda agama adalah
Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 beserta penjelasannya, pencatatan perkawinan yang dimaksud
oleh Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 berlaku pula bagi
perkawinan beda agama. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dalam hal
83
ini membutuhkan peraturan pelaksana agar dapat berlaku efektif seperti
halnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku efektif dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Peraturan pelaksanaan untuk
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Keperndudukan, namun Peraturan
Pemerintah ini tidaklah lengkap dalam mengatur semua ketentuan yang ada
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Pada Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 2007 tidak ada ketentuan mengenai pelaksanaan
pencatatan perkawinan beda agama yang dimaksud oleh Pasal 35 huruf (a)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Pemerintah seolah-olah
memperbolehkan adanya perkawinan beda agama namun juga menghalangi
dengan tidak menjelaskan pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut.
Mengenai hal ini Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan
Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain, dalam
peraturan menteri ini kita dapat menemukan ketentuan tentang pelaksanaan
pencatatan perkawinan beda agama, yaitu pada Pasal 10 dan 11.
Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 diatur pada ketentuan Pasal
10 dan 11 yang isinya yaitu:
Pasal 10
1) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b, dilaporkan oleh penduduk kepada Dinas Kependudukan
84
dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil tempat diterbitkannya penetapan pengadilan.
2) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dengan memenuhi syarat berupa:
a. Salinan Penetapan Pengadilan yang dilegalisir;
b. KTP suami dan isteri;
c. Pas foto suami dan isteri;
d. Kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri; dan
e. Paspor bagi suami atau isteri Orang Asing.
Pasal 11
Tata cara pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10, dilakukan sebagai berikut:
a. Pasangan suami dan isteri mengisi formulir pencatatan
perkawinan dengan melampirkan persyaratan;
b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi kebenaran
data;
c. Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan
menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan;
d. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf c
diberikan kepada masing-masing suami dan isteri.
Ketentuan Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun
2010 menyebutkan bahwa pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama
dilakukan setelah pemenuhan beberapa persyaratan yang salah satunya
adalah adanya salinan penetapan pengadilan yang telah dilegalisir.
Menurut pendapat dari Arif Prasetyo selaku Pejabat Pencatatan Sipil
yang ada di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Magelang, pencatatan perkawinan beda agama yang pernah dan telah
dicatatkan di kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang semuanya adalah
perkawinan beda agama yang telah dilakukan perkawinannya, jadi pelaku
85
perkawinan tersebut sudah melangsungkan perkawinan dan datang ke
Kantor Pencatatan Sipil hanya untuk mencatatkan perkawinannya saja.
Berbeda dengan pencatatan perkawinan pada umumnya yang harus melalui
mekanisme pengumuman tentang adanya kehendak melangsungkan
perkawinan, pencatatan perkawinan beda agama hanya membutuhkan
adanya salinan penetapan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
sebagai syarat untuk dapat dicatatkannya perkawinan tersebut.47
Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Kota Magelang
dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :
1. Pemohon yang hendak mencatatkan perkawinannya mengisi
formulir pencatatan perkawinan yang telah disediakan oleh Kantor
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
2. Formulir yang telah diisi kemudian diserahkan kepada pejabat
pencatatan sipil disertai persyaratan yaitu :
a) Salinan penetapan pengadilan yang telah dilegalisir;
b) KTP suami dan KTP istri;
c) Pas Foto suami dan istri;
d) Kutipan Akta kelahiran suami dan istri; dan
e) Paspor bagi suami istri orang asing.
3. Setelah menerima formulir dan persyaratan telah dipenuhi oleh
pemohon, pejabat pencatatan sipil di Kantor Dinas Kependudukan
47
Kutipan dari Bapak Arif Suyono selaku Pejabat Pencatatan Sipil pada Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Magelang.
86
dan Catatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi kebenaran data
pemohon.
4. Setelah verifikasi dan validasi data dilakukan, pejabat pencatatan
sipil mencatatkan perkawinan pemohon pada Register Akta
Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua
persyaratan.
5. Kutipan Akta kemudian diserahkan kepada masing-masing suami
dan istri.
Mengenai adanya persyaratan perkawinan beda agama dalam
pelaksanaan pencatatan perkawinan harus disertai dengan penetapan
pengadilan yang amarnya memberi izin dan memerintahkan kepada pejabat
pencatatan sipil untuk melaksanakan pencatatan terhadap perkawinan
tersebut, menurut penulis penetapan pengadilan tersebut tak ubahnya seperti
surat izin untuk kita mencatatkan perkawinan beda agama. Dikatakan tak
ubahnya seperti surat izin karena dalam hal ini Ridwan HR. berpendapat
bahwa izin adalah Perkenaan dari pemerintah berdasarkan undang-undang
atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada
umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya
tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.48
Pencatatan terhadap perkawinan beda agama inkasu dilaksanakan
berdasarkan perintah dari pengadilan melalui Penetapan Nomor:
48
Ridwan H.R., Op. Cit, hal. 207.
87
04/PDT.P/2012/PN.MGL yang amarnya mengizinkan pemohon untuk
melangsungkan perkawinan beda agama dan menyuruh pihak pencatatan
sipil untuk melangsungkan perkawinan tersebut serta mencatatkan
perkawinan tersebut kelembar pencatatan perkawinan yang diperuntukan
untuk itu, namun pihak pencatatan sipil kota magelang tidak melangsungkan
perkawinan beda agama seperti yang diperintahkan hakim dalam
penetapannya, tetapi pihak pencatatan sipil hanya melakukan pencatatan
perkawinanya saja karena pihak pencatatan sipil tidaklah mempunyai
kewenangan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.49
Hakim dalam penetapannya setelah memerintahkan kepada Pegawai
Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melaksanakan
perkawinan inkasu, kemudian memerintahkan kepada Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mencatat perkawinan dimaksud
ke dalam daftar yang diperuntukkan untuk hal itu.
Adapun ketentuan sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006 lebih berorientasi pada aspek pencatatan perkawinan sebagai
implementasi dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974. Untuk inipun harus dipahami bahwa pencatatan perkawinan
adalah merupakan tindakan dilapangan administrasi negara yang mencatat
suatu peristiwa hukum perkawinan, artinya perkawinan yang dicatat adalah
peristiwa perkawinan yang telah dilakukan sesuai hukum yang berlaku.
Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, apabila perkawinan itu
49
Arif Prasetyo, Op. Cit.
88
dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka
perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 berarti tidak sah menurut perundang-undangan50
.
Suatu perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum apabila perkawinan
tersebut merupakan peristiwa yang sah, jadi suatu perkawinan dikatakan sah
menurut hukum adalah apabila suatu perkawinan dilakukan menurut aturan
hukum yang berlaku, yang dalam hal ini adalah menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
diakui (kebenarannya), megikat, dan juga memiliki akibat hukum serta
memperoleh perlindungan hukum51
.
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
mengharuskan setiap perkawinan harus dilakukan pencatatan, namun
pencatatan perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya suatu
perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu
memang ada dan terjadi, hal ini hanya semata-mata bersifat administratif.52
Persoalan pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut pada Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sebagai aturan pelaksanaan dari
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
tatacara perkawinan sebagai pelaksanaan dari Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Uraian di atas telah menjelaskan bahwa untuk sahnya perkawinan
berkaitan dengan persoalan dipenuhi apa tidaknya hal yang berkaitan
50Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal. 26.
51Trusto Subekti, Op. Cit, 2009, hal. 26.
52Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op. Cit, hal. 22.
89
dengan tatacara perkawinan, dan untuk aspek administrasinya diatur lebih
rinci mengenai tatacara pencatatannya; dengan demikian tujuan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijaga dengan adanya pengawasan
terhadap terpenuhinya syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur pada
Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
karena syarat perkawinan adalah keadaan yang harus ada atau keadaan yang
menghalangi untuk dilakukanya suatu perkawinan, dan apabila syarat-syarat
tersebut dilanggar berarti proses perkawinan tidak bisa dilangsungkan.
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 pada Pasal 35 huruf (a) diatur mengenai perkawinan yang telah
ditetapkan oleh Pengadilan, dan pada bagian penjelasannya yang dimaksud
disini adalah perkawinan bagi umat yang berbeda agama, yang selanjutnya
diatur lebih lanjut mengenai tatacara pencatatan perkawinannya dalam
Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010.
Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil memiliki kewajiban
untuk mencatat setiap peristiwa hukum perkawinan yang pelaksanaannya
telah mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya
kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tidak akan melakukan
pencatatan perkawinan yang perkawinannya tidak dilaksanakan sesuai
hukum yang berlaku. Sehubungan dengan itu penetapan Hakim yang
memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
untuk melakukan pencatatan perkawinan dimaksud dalam kasus ini, secara
normatif menjadi tidak mempunyai landasan hukum untuk melaksanakan
90
perintah pengadilan tersebut. Apabila Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil dengan berdasar atas perintah hakim dimaksud tetap
melakukan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama
dimaksud, menjadi semakin membingungkan karena yang dicatat
perkawinan yang mana, karena dalam permohonannya telah secara tersurat
disebutkan bahwa Pemohon akan melangsungkan perkawinan dengan
pasangannya di Gereja Katolik di Magelang, berarti belum terjadi
perkawinan, dan Hakim memerintahkan kepada Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan
inkasu yang ternyata secara normatif dan empiris tidak dapat dilaksanakan.
Uraian di atas telah memperlihatkan suatu kenyataan bahwa Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak memenuhi kebutuhan perkawinan dari
sebagian warga negara Republik Indonesia, maka sebaiknya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu ditinjau kembali dan bila perlu
dilakukan revisi agar dapat memenuhi aspirasi dan hak konstitusi serta Hak
Asasi Manusia yang pada pokoknya setiap orang berhak untuk menikah dan
membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah bagi seluruh warga negara Republik Indonesia.
91
BAB V
PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil
simpulan bahwa :
a) Pertimbangan hakim dalam Penetapan Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL
adalah telah terjadi kekosongan hukum dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur dan
tidak secara jelas melarang perkawinan beda agama, maka hakim
menetapkan perkawinan beda agama dengan berlandaskan bahwa
perkawinan beda agama merupakan hak konstitusi dan asasi yang dimiliki
setiap warga negara Indonesia (Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang
Dasar 1945 Amandemen IV serta Pasal 10 dan 16 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999) dan dengan mempertimbangkan fakta bahwa perkawinan
beda agama merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam masyarakat
Indonesia yang memang sangat beragam adat, agama, dan budayanya.
b) Pencatatan perkawinan beda agama yang dilaksanakan oleh pejabat
pencatatan sipil di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Magelang tidak berlandaskan hukum.
92
2. Saran
Berdasar atas hasil pembahasan di atas dan simpulan penelitian ini dapat
diajukan saran bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu ditinjau
kembali dan bila perlu dilakukan revisi agar dapat memenuhi aspirasi dan hak
konstitusi serta Hak Asasi Manusia yang pada pokoknya setiap orang berhak
untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah. Kemudian bagi Hakim, dalam memeriksa serta
memutus perkara hendaklah lebih teliti ketika mencari peraturan-peraturan
sebagai rujukan dan pertimbangan.
93
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Ashofa, B., Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Darmabrata, W. dan Surini A. S., Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, Rizkita, Jakarta, 2002.
Ghofar, Asyhari Abdul, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama
Islam, Kristen Dan Undang-Undang Perkawinan, CV. Gramada,
Jakarta, 1992.
Hadikusuma, H., Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Madju, Bandung,
1990;
Hanintijo, R. S., Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1988.
HR., Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2007.
Kadarsih, S., dan Kartono, Buku Ajar Kapita Selekta Hukum Administrasi
Negara, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2004.
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-
undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi
Aksara, Jakarta, 1966.
Manan, A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2006.
Marbun, SF., dan Mahfud MD., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Liberty, Yogyakarta, 2000.
Marzuki, M. P., Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Surabaya,
2007.
Mertokusumo, S., Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1976.
94
NU Studies, Pergolakan Pemikiran Fundamentalisme Islam, A. Baso
Prakoso, D. dan I Ketut M., Azas-Azas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta, 1987.
Prodjodikoro, W., Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta,
1984.
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, Pionir
Jaya, Bandung, 2000.
Saragih, D., Himpunan Peraturan-Peraturan Dan Perundang-Undangan Di
Bidang Perkawinan Indonesia, Tarsito, Bandung, 1980.
Shaleh, W. K., Hukum Perkawinan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1982.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
Liberty, Yogyakarta, 1982.
Soimin, S., Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.
Subekti, Trusto, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan,
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2009.
Subekti, Trusto, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012.
Syahar, S., Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya
Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1981.
Z., Alatas, Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di
Kabupaten Semarang, Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro, Semarang, 2007.
Zuhdi, M., Masail Fiqhiyah, CV Haji Masaung, Jakarta, 1993.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
95
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang Diterbitkan Oleh
Negara Lain.
Website:
Artikata.com, Izin, http://www.artikata.com/arti-331222-izin.html, diunduh
pada tanggal 29 November 2012, Pk. 23.22 WIB.
Banyumasnews.com, Clift Sangra resmi nikahi gadis belia,
http://banyumasnews.com/2009/11/11/clift-sangra-resmi-nikahi-
gadis-belia/ , diunduh pada tanggal 20 Oktober 2012, Pukul 23:28
WIB.
Dinas Pendidikan dan Pelatihan, Materi Kuliah by DISPEN,
http://dispenmaterikuliah.blogspot.com/2011/08/makalah-
kependudukan.html, diunduh pada tanggal 25 November 2012, Pk.
14.35 WIB.
Fauzan Arrasyid, Catatan Sipil (BS/Burgerlijk stand),
http://my.opera.com/mid-as/blog/2011/01/22/catatan-sipil-bs-
burgerlijk-stand, diakses pada 20 April 2013, Pk. 15.15 WIB.
Hukumonline.com, Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda
Agama, http://hukumonline.com/Berita/Empat-Cara-
Penyelundupan-Hukum-Bagi-Pasangan-Beda-Agama.html, diakses
pada 25 November 2012, Pk. 13.18 WIB.
Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia,
http://hakimmuhibuddin.blogspot.com/2008/08/Tafsir-Baru-
Perkawinan-Beda-Agama-di-Indonesia.html, di unduh pada 26
November 2012, Pk. 22:24 WIB.
96
Nikah Beda Agama, http://Nikahbedaagama.wordpress.com/2011/04/05/nikah-
beda-agama-dalam-perspektif-katolik/more, diakses pada 23 Januari
2013, Pk. 20.12 WIB.
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Administrasi,
http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi, diunduh pada 25
November 2012, Pk. 18:33.
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Demografi,
http://id.wikipedia.org/wiki/Demografi, diunduh pada 25 November
2012, Pk. 18:53.
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Perkawinan http://id.wikipedia.org-
/wiki/Perkawinan, diunduh pada 25 September 2012, Pk. 18:33.