13

PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan
Page 2: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

PemerintaH pemerintahan

Refleksi pada Era Reformasi

dan

DaeraHMembaca

Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia“

Insight IndonesiaProjectP U B L I S H I N G

Page 3: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH: REFLEKSI PADA ERA REFORMASI

(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

Penulis:Yuzuru Shimada,

Bhima Yudhistira Adhinegara, dkk

Editor: Budy Sugandi & Ali Rif’an

Desain Cover & LayoutTeam Aura Creative

PenerbitAURA

CV. Anugrah Utama Raharja Anggota IKAPI

No.003/LPU/2013

xviii+ 159 hal : 15.5 x 23.5 cmCetakan, Juli 2018

ISBN: 978-602-5636-85-1

AlamatJl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro, Komplek Unila

Gedongmeneng Bandar LampungHP. 081281430268

E-mail : [email protected] Website : www.aura-publishing.com

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Page 4: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. Makalah,Seminar dengan Tema Desentralisasi Asimteris di Indonesia,Lembaga Administrasi Negara, bandung, 27 September 2012.

Lay, C. (2010). Desentralisasi Asimetris Bagi Indonesia. Makalah,Seminar Nasional Menata Ulang Desentralisasi dari Perspektif Daerah, Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik FisipolUGM, Yogyakarta, 25 Januari 2010.

Lembaga Ketahanan Nasional. (2012). Penataan Pengamanan WilayahMaritim Guna Memelihara Stabilitas Keamanan dalam RangkaMenjaga Kedaulatan NKRI. Jurnal Kajian Lemhannas RI, Edisi 14, Desember 2012.

Litvack, J. (1998). Rethinking Decentralization in Developing Countries.Washington DC: The World Bank.

Lubis, M. S. (1983). Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undanganMengenai Pemerintah Daerah. Bandung: Alumni.

Nasution, A. B., et al. (2000). Federalisme Untuk Indonesia. Jakarta:Kompas.

Rumokoy, P. O. (2013). Politik Hukum Desentralisasi Fiskal di EraOtonomi Daerah. Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi, Vol.XXI, No. 33, April-Juni 2013.

Syaukani, et al. (2007). Otonomi Daerah dalam Kerangka NegaraKesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Sebelum Amandemen.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 3037).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

Utomo, Tri. W. W. (2009). Balancing Decentralization andDeconcentration: Emerging Need for Asymmetric Decentralizationin the Unitary States. Graduate School of International Development, Nagoya.

Wasistiono, S. (2004). Kajian Hubungan Antara Pemerintah Pusatdengan Pemerintah Daerah (Tinjauan dari Sudut PandangManajemen Pemerintahan). Jurnal Administrasi PemerintahanDaerah, Vol. 1, Edisi Kedua, 2004.

REFORMASI HUKUM DAN POLITIK

Page 5: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

90

Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Pan Mohamad Faiz Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI

I. PENDAHULUAN Pada medio 2016, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mencabut dan merevisi sebanyak 3.143 Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Kepala Daerah (Perkada), dan Peraturan Mendagri (Kemendagri, 2016). Umumnya, Perda dan Perkada yang dicabut atau direvisi tersebut berkaitan dengan investasi, retribusi, dan pajak. Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perda dan Perkada tersebut karena telah diberikan wewenang berdasarkan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda). Alasan utama Pemerintah untuk melakukan deregulasi Perda dan Perkada tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 250 UU Pemda, karena dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, khususnya telah menyebabkan terganggunya akses terhadap pelayanan publik dan/atau terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Langkah Pemerintah melakukan deregulasi ribuan Perda dan Perkada ini sangat mengejutkan banyak kalangan, termasuk para Kepala Daerah dan DPRD di banyak wilayah Indonesia. Namun, langkah Pemerintah kini terhenti untuk dapat kembali membatalkan Perda. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan dua Putusan yang mencabut wewenang Mendagri dan Gubernur untuk membatalkan Peraturan Daerah di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi, yakni Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016. Kedua Putusan MK ini juga menghentikan polemik terhadap dualisme mekanisme pengujian Perda, yaitu: Pertama, Perda dapat dibatalkan oleh pemerintah berdasarkan UU

Page 6: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 91

Perubahan Politik Hukum Pengujian PeraturanDaerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Pan Mohamad FaizPusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI

I. PENDAHULUANPada medio 2016, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negerimencabut dan merevisi sebanyak 3.143 Peraturan Daerah (Perda),Peraturan Kepala Daerah (Perkada), dan Peraturan Mendagri(Kemendagri, 2016). Umumnya, Perda dan Perkada yang dicabut ataudirevisi tersebut berkaitan dengan investasi, retribusi, dan pajak.Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusatdapat membatalkan Perda dan Perkada tersebut karena telahdiberikan wewenang berdasarkan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UUNomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnyadisebut UU Pemda). Alasan utama Pemerintah untuk melakukanderegulasi Perda dan Perkada tersebut, sebagaimana diatur dalamPasal 250 UU Pemda, karena dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentinganumum, khususnya telah menyebabkan terganggunya akses terhadappelayanan publik dan/atau terganggunya kegiatan ekonomi untukmeningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Langkah Pemerintah melakukan deregulasi ribuan Perda dan Perkada ini sangat mengejutkan banyak kalangan, termasuk paraKepala Daerah dan DPRD di banyak wilayah Indonesia. Namun, langkah Pemerintah kini terhenti untuk dapat kembali membatalkanPerda. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan dua Putusan yang mencabut wewenang Mendagri dan Gubernur untukmembatalkan Peraturan Daerah di tingkat Kabupaten/Kota danProvinsi, yakni Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan PutusanNomor 56/PUU-XIV/2016. Kedua Putusan MK ini juga menghentikanpolemik terhadap dualisme mekanisme pengujian Perda, yaitu:Pertama, Perda dapat dibatalkan oleh pemerintah berdasarkan UU

Pemda; Kedua, Perda juga dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) berdasarkan UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman.

Dengan dihapuskannya mekanisme pembatalan Perda oleh pemerintah, maka satu-satunya mekanisme pembatalan Perda saat ini harus dilakukan melalui MA. Tulisan ini akan membahas mengenai perubahan politik hukum penggujian peraturan daerah pasca dijatuhkanya Putusan MK beserta implikasinya. Adapun pisau analisis politik hukum yang digunakan merujuk pada pembuatan legal policy dari lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum dan alat untuk menilai serta mengkritisi apakah sebuah hukum atau produk perundang-undangan yang dibuat sudah sesuai dengan kerangka pikir legal policy tersebut atau tidak (Mahfud MD, 2011).

II. PEMBAHASANDalam sistem ketatanegaraan dan ilmu perundang-undangan,

terdapat jenis peninjauan atau pengujian suatu produk perundang-undangan yang dapat dilakukan oleh tiga cabang kekuasaan negara yang berbeda (Asshiddiqie, 2006). Pertama, apabila suatu produk perundang-undangan diuji oleh badan legislatif, dalam hal ini undang-undang, maka seringkali disebut sebagai legislative review; Kedua, seandainya suatu produk perundang-undangan diuji oleh pemerintah, dalam hal ini misalnya oleh Menteri atau Gubernur, maka dikategorikan sebagai tindakan executive review; dan Ketiga, manakala suatu produk perundang-undangan diuji melalui lembaga peradilan, maka dapat dikatakan sebagai mekanisme judicial review.

Dalam konteks ini, peninjauan atau pengujian oleh Pemerintah yang dapat berujung pada pembatalan suatu Perda merupakan salah satu bentuk pengawasan kepada daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya terkait dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh daerah. Sebab, dengan diberlakukannya prinsip otonomi yang membagi kewenangan antara pusat dan daerah, Pemerintah Daerah kerap membuat dan mengeluarkan berbagai peraturan untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing berdasarkan ketentuan yang tertuang di dalam UU Pemda. Oleh karenanya, sering terjadi tumpeng tindih peraturan perundang-undangan dan ketidakselarasan dengan peraturan di atasnya. Namun demikian, pengawasan pemerintah terhadap Perda, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, dalam bentuk pemberian

Page 7: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

92

kewenangan untuk melakukan executive review telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Melalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 bertanggal 5 April

2017, MK menyatakan frasa “Perda Kabupaten/Kota dan” dalam Pasal 251 ayat (2) dan ayat (4); frasa “Perda Kabupaten/Kota dan/atau” dalam Pasal 251 ayat (3); frasa “penyelenggara Pemerintah Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan”; dan frasa “Perda Kabupaten/Kota atau” dalam Pasal 251 ayat (8) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian, MK melengkapi Putusan tersebut dengan mengeluarkan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 bertanggal 30 Mei 2017 yang menyatakan frasa “Perda Provinsi dan” dalam pasal 251 ayat (1) dan ayat (4); frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (7); dan Pasal 251 ayat (5) UU Pemda juga bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam Putusan tersebut, MK memberikan beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, Perda merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dengan hierarki di bawah Undang-Undang. Oleh karenanya, pengujiannya hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA), bukan oleh lembaga lain sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Kedua, alasan untuk membatalkan Perda bedasarkan UU Pemda, yaitu karena melanggar kepentingan umum dan/atau kesusilaan, merupakan ranah MA untuk menerapkan tolak ukurnya. Pembatalan Perda Kabupaten/Kota hanya melalui keputusan gubernur dinilai oleh MK juga tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab, Perda Kabupaten/Kota sebagai produk hukum yang berbentuk peraturan (regeling) tidak dapat dibatalkan dengan keputusan gubernur sebagai produk hukum yang berbentuk keputusan (beschikking). Ketiga, adanya potensi dualisme putusan pengadilan antara putusan PTUN yang memeriksa legalitas keputusan gubernur atau Menteri dan putusan pengujian Perda oleh MA terhadap substansi perkara yang sama, namun berbeda produk hukum, menurut MK akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Page 8: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 93

kewenangan untuk melakukan executive review telah dicabut olehMahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah KonstitusiMelalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 bertanggal 5 April

2017, MK menyatakan frasa “Perda Kabupaten/Kota dan” dalam Pasal251 ayat (2) dan ayat (4); frasa “Perda Kabupaten/Kota dan/atau”dalam Pasal 251 ayat (3); frasa “penyelenggara Pemerintah Daerahkabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan PerdaKabupaten/Kota dan”; dan frasa “Perda Kabupaten/Kota atau” dalamPasal 251 ayat (8) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 sertatidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian, MKmelengkapi Putusan tersebut dengan mengeluarkan Putusan Nomor56/PUU-XIV/2016 bertanggal 30 Mei 2017 yang menyatakan frasa“Perda Provinsi dan” dalam pasal 251 ayat (1) dan ayat (4); frasa“Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (7); dan Pasal 251 ayat (5)UU Pemda juga bertentangan dengan UUD 1945 serta tidakmempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam Putusan tersebut, MK memberikan beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, Perda merupakan salah satubentuk peraturan perundang-undangan dengan hierarki di bawahUndang-Undang. Oleh karenanya, pengujiannya hanya dapat dilakukanoleh Mahkamah Agung (MA), bukan oleh lembaga lain sebagaimanadiatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Kedua, alasan untukmembatalkan Perda bedasarkan UU Pemda, yaitu karena melanggarkepentingan umum dan/atau kesusilaan, merupakan ranah MA untukmenerapkan tolak ukurnya. Pembatalan Perda Kabupaten/Kota hanyamelalui keputusan gubernur dinilai oleh MK juga tidak sesuai denganrezim peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab, PerdaKabupaten/Kota sebagai produk hukum yang berbentuk peraturan (regeling) tidak dapat dibatalkan dengan keputusan gubernur sebagaiproduk hukum yang berbentuk keputusan (beschikking). Ketiga,adanya potensi dualisme putusan pengadilan antara putusan PTUNyang memeriksa legalitas keputusan gubernur atau Menteri danputusan pengujian Perda oleh MA terhadap substansi perkara yangsama, namun berbeda produk hukum, menurut MK akan menimbulkanketidakpastian hukum yang melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Namun demikian, Putusan MK tersebut tidak diputus secara bulat. Terdapat 4 (empat) Hakim Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinions) dengan alasan-alasan utama sebagai berikut. Pertama, kewenangan Kepala Daerah dan DPRD untuk membentuk Perda merupakan kewenangan atribusi (attributie van wetgevingsbevoegheid) yang hanya dapat diberikan dan diadakan oleh UUD 1945 dan UU Pemda. Jika pembentukan Perda dianggap sebagai peraturan delegasi, maka telah terjadi pelimpahan kewenangan secara tidak berjenjang dan melompati Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Kedua, Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi dan terakhir dari penyelenggaraan pemerintahan memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan terhadap produk hukum penyelenggara pemerintahan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Ketiga, materi muatan Perda merupakan materi yang bersubstansikan urusan pemerintahan yang menurut UU Pemda merupakan kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara.

Kedua Putusan MK ini disambut berbeda oleh para kepala daerah dan pemerintah pusat. Sebagai para Pemohon, para Bupati dan Walikota yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) menyambut dengan baik Putusan tersebut. Sebaliknya, Kementerian Dalam Negeri menyayangkan keluarnya Putusan MK ini, meskipun pada akhirnya dapat menerima dan melaksanakan Putusan dengan beberapa implikasinya.

Implikasi Putusan MK Sebagaimana telah diuraikan sekilas, pengujian yang dapat

berujung pada pembatalan suatu Perda merupakan bentuk pengawasan internal pemerintah. Pengawasan semacam ini sering juga diistilahkan sebagai pengawasan secara a-posteriori atau executive review. Artinya, pengawasan yang bersifat represif ini dilakukan dengan cara berupa pembatalan setelah suatu peraturan perundang-undangan disahkan dan dijalankan (Lewis, 2000). Namun demikian, terdapat model pengawasan lainnya yang disebut sebagai pengawasan secara a-priori atau executive preview (Huda, 2010). Bentuk pengawasan ini dilakukan terhadap suatu peraturan perundang-undangan sebelum disahkan. Artinya, pemerintah akan memeriksa

Page 9: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

94

rancangan peraturan perundang-undangan untuk disetujui atau tidak disetujui. Kedua model pengawasan internal ini awalnya diberlakukan berdasarkan politik hukum yang terkandung di dalam UU Pemda.

Akan tetapi, Putusan MK membawa implikasi terhadap perubahan politik hukum pengawasan internal pemerintah terhadap Perda. Kini, pemerintah hanya dapat melakukan pengawasan melalui a-priori review. Model pengawasan ini lebih menekankan pada sifat preventif sebelum rancangan Perda disahkan dan berlaku mengikat untuk umum dengan maksud agar tercapai tujuan dari kemanfaatan (utility), keabsahan (legality), dan kepastian (certainty), serta tidak bertentangan juga dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih tinggi kedudukannya dari Perda. Oleh karenanya, upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah, khususnya Kemendagri dan gubernur, yaitu menata ulang mekanisme penilaian dan pengawasan preventif terhadap rancangan Perda yang akan diterbitkan agar mekanismenya menjadi lebih efektif dan efisien.

Implikasi lain yang timbul dari Putusan MK di atas yakni adanya kekhawatiran meningkatnya potensi perkara permohonan keberatan terhadap Perda yang akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan data jumlah penerimaan perkara judicial review di MA sejak 2012 s.d. 2016, terdapat 332 perkara judicial review yang dimohonkan. Artinya, rata-rata perkara terkait hak uji materiil di MA setiap tahunnya sebanyak 66 perkara atau hanya sejumlah 6 perkara setiap bulannya (Mahkamah Agung, 2006). Bandingkan dengan proses pencabutan dan revisi yang dilakukan oleh Pemerintah melalui executive review pada Juni 2016 lalu, yaitu sebanyak 3.143 Perda/Perkada dan Peraturan Mendagri. Sementara itu, jumlah Perda yang dibuat di seluruh wilayah Indonesia, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dapat mencapai ribuan Perda setiap tahunnya.

Tentunya terdapat perbedaan mendasar antara proses executive review dengan judicial review. Dalam konteks executive review, Pemerintah dapat langsung menguji Perda tanpa menunggu adanya permintaan dari pihak lain, sedangkan MA tidak akan memeriksa perkara tanpa adanya permohonan keberatan dari para pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing), yaitu perorangan warga negara Indonesia, masyarakat hukum adat, dan badan hukum publik ataupun privat. Dalam konteks terjadinya perubahan politik hukum

Page 10: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 95

rancangan peraturan perundang-undangan untuk disetujui atau tidakdisetujui. Kedua model pengawasan internal ini awalnya diberlakukanberdasarkan politik hukum yang terkandung di dalam UU Pemda.

Akan tetapi, Putusan MK membawa implikasi terhadap perubahan politik hukum pengawasan internal pemerintah terhadapPerda. Kini, pemerintah hanya dapat melakukan pengawasan melaluia-priori review. Model pengawasan ini lebih menekankan pada sifat preventif sebelum rancangan Perda disahkan dan berlaku mengikatuntuk umum dengan maksud agar tercapai tujuan dari kemanfaatan(utility), keabsahan (legality), dan kepastian (certainty), serta tidakbertentangan juga dengan peraturan perundang-undangan yang secarahierarki lebih tinggi kedudukannya dari Perda. Oleh karenanya, upayayang bisa dilakukan oleh pemerintah, khususnya Kemendagri dangubernur, yaitu menata ulang mekanisme penilaian dan pengawasanpreventif terhadap rancangan Perda yang akan diterbitkan agarmekanismenya menjadi lebih efektif dan efisien.

Implikasi lain yang timbul dari Putusan MK di atas yakni adanyakekhawatiran meningkatnya potensi perkara permohonan keberatanterhadap Perda yang akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA).Berdasarkan data jumlah penerimaan perkara judicial review di MAsejak 2012 s.d. 2016, terdapat 332 perkara judicial review yangdimohonkan. Artinya, rata-rata perkara terkait hak uji materiil di MAsetiap tahunnya sebanyak 66 perkara atau hanya sejumlah 6 perkarasetiap bulannya (Mahkamah Agung, 2006). Bandingkan dengan prosespencabutan dan revisi yang dilakukan oleh Pemerintah melaluiexecutive review pada Juni 2016 lalu, yaitu sebanyak 3.143Perda/Perkada dan Peraturan Mendagri. Sementara itu, jumlah Perdayang dibuat di seluruh wilayah Indonesia, baik di tingkat provinsimaupun kabupaten/kota, dapat mencapai ribuan Perda setiaptahunnya.

Tentunya terdapat perbedaan mendasar antara proses executivereview dengan judicial review. Dalam konteks executive review,Pemerintah dapat langsung menguji Perda tanpa menunggu adanyapermintaan dari pihak lain, sedangkan MA tidak akan memeriksaperkara tanpa adanya permohonan keberatan dari para pihak yangmemiliki kedudukan hukum (legal standing), yaitu perorangan warganegara Indonesia, masyarakat hukum adat, dan badan hukum publikataupun privat. Dalam konteks terjadinya perubahan politik hukum

pengujian terhadap Perda, apabila Pemerintah masih ingin diberikan ruang untuk menguji Perda melalui mekanisme judicial review maka kedudukan hukum dalam pengajuan keberatan di MA harus diperluas dengan juga memberikan kedudukan hukum kepada Pemerintah sebagai pemohonnya. Namun di sisi lain, potensi perkara yang akan diajukan oleh Pemerintah tentunya tidak akan kalah banyak dengan apa yang selama ini dilakukan Pemerintah melalui executive review. Perbedaannya, jikalau melalui judicial review maka keputusan akhir untuk membatalkan atau tidak membatalkan suatu Perda bukan berada di tangan Pemerintah, melainkan berada di tangan MA.

Untuk mengantisipasi masuknya permohonan hak uji materiil terhadap Perda di MA, maka MA seyogianya perlu untuk merevisi hukum acaranya dengan memperjelas proses dan tahapan persidangannya. Salah satu yang perlu dikaji kembali, misalnya, terkait dengan model persidangan hak uji materiil yang bersifat tertutup. MA beralasan bahwa sidang yang tertutup dan hanya memeriksa dokumen perkara ditempuh karena perkara hak uji materiil harus diputus cepat. Padahal, tertutupnya sidang hak uji materiil dapat mengabaikan prinsip persidangan yang transparan dan akuntabel, sehingga seringkali hal ini menimbulkan kritik dari para pemohon dan publik luas, termasuk menutup akses informasi bagi media massa. Sebab, mereka tidak dapat mengikuti perkembangan penanganan perkara dan para pihak yang berperkara tidak memperoleh kesempatan untuk menghadirkan ahli ataupun saksi guna didengar keterangannya di dalam persidangan.

Hal lain yang juga perlu dikaji mendalam berkaitan dengan jumlah Hakim Agung dalam kamar tata usaha negara sebanyak 7 (tujuh) orang yang akan memeriksa seluruh permohonan hak uji materiil. Apabila jumlah Hakim Agung yang ada dinilai kurang mencukupi jumlahnya untuk mengatasi banyaknya permohonan uji materiil yang akan masuk, maka di masa mendatang perlu dilakukan perubahan komposisi atau penambahan jumlah Hakim Agung dalam kamar tata usaha negara. Dengan demikian, selain tetap dapat memeriksa dan memutus perkara dengan cepat, sifat sidangnya pun dapat dilakukan secara terbuka, sebagaimana prinsip dasar persidangan, yaitu terbuka untuk umum, dengan pengecualian terhadap perkara-perkara tertentu, misalnya menyangkut masalah anak, kesusilaan, atau keamanan negara.

Page 11: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia)

96

III. KESIMPULANBerdasarkan UU Pemda, pada awalnya Pemerintah memiliki

kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah (Perda) yang bersifat represif melalui executive review dan pengawasan bersifat preventif melalui executive prereview. Selain itu, Perda dapat juga diuji secara materiil melalui judicial review di MA, sehingga terjadi dualisme kewenangan pengujian Perda sebagai salah satu produk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif dan yudikatif. Namun, Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016 telah mengubah politik hukum pengawasan internal pemerintah di dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia dengan dicabutnya kewenangan Pemerintah untuk melakukan pembatalan terhadap Perda melalui executive review. Putusan MK ini juga mengakhiri dualisme kewenangan menguji Perda, sehingga satu-satunya jalan pengujian secara materiil terhadap Perda hanya dapat dilakukan melalui permohonan keberatan hak uji materiil di MA.

Perubahan politik hukum ini mengharuskan Pemerintah untuk perlu segera mengoptimalkan fungsi pengawasan preventif terhadap rancangan peraturan-peraturan daerah sebelum disahkan dan dinyatakan berlaku mengikat. Sementara itu, MA perlu untuk mengkaji kembali hukum acara dalam perkara hak uji materiil, khususnya terkait sifat persidangannya yang masih tertutup, dan jumlah Hakim Agung yang akan menangani perkara hak uji materiil. Hal tersebut perlu dilakukan guna mengantisipasi melonjaknya permohonan keberatan terhadap Perda ke MA. Dengan adanya perubahan politik hukum pengujian Perda, maka perlu juga dikaji lebih lanjut mengenai kemungkinan diperluasnya kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara hak uji materiil bagi Pemerintah. Hal ini untuk mengantisipasi tidak adanya inisiatif permohonan dari pihak non-pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan mengenai terjadinya tumpang tindih dan pertentangan antara suatu Perda dengan peraturan perundang-undangan lainnya pada tingkatan yang lebih tinggi. Sebab, tanpa dimulainya proses untuk menguji legalitas suatu Perda melalui lembaga peradilan maka peraturan yang berlaku secara tumpang tindih dan dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi akan tetap dan terus berlaku, hingga adanya putusan pengadilan yang membatalkannya.

Page 12: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: Refleksi pada Era Reformasi(Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 97

III. KESIMPULANBerdasarkan UU Pemda, pada awalnya Pemerintah memiliki

kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap peraturandaerah (Perda) yang bersifat represif melalui executive review danpengawasan bersifat preventif melalui executive prereview. Selain itu,Perda dapat juga diuji secara materiil melalui judicial review di MA,sehingga terjadi dualisme kewenangan pengujian Perda sebagai salahsatu produk peraturan perundang-undangan yang dilakukan olehlembaga eksekutif dan yudikatif. Namun, Putusan MK Nomor137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016 telah mengubahpolitik hukum pengawasan internal pemerintah di dalam sistemketatanegaraan di Indonesia dengan dicabutnya kewenangan Pemerintah untuk melakukan pembatalan terhadap Perda melaluiexecutive review. Putusan MK ini juga mengakhiri dualisme kewenangan menguji Perda, sehingga satu-satunya jalan pengujiansecara materiil terhadap Perda hanya dapat dilakukan melaluipermohonan keberatan hak uji materiil di MA.

Perubahan politik hukum ini mengharuskan Pemerintah untukperlu segera mengoptimalkan fungsi pengawasan preventif terhadaprancangan peraturan-peraturan daerah sebelum disahkan dandinyatakan berlaku mengikat. Sementara itu, MA perlu untuk mengkajikembali hukum acara dalam perkara hak uji materiil, khususnyaterkait sifat persidangannya yang masih tertutup, dan jumlah HakimAgung yang akan menangani perkara hak uji materiil. Hal tersebutperlu dilakukan guna mengantisipasi melonjaknya permohonankeberatan terhadap Perda ke MA. Dengan adanya perubahan politikhukum pengujian Perda, maka perlu juga dikaji lebih lanjut mengenaikemungkinan diperluasnya kedudukan hukum (legal standing) dalamperkara hak uji materiil bagi Pemerintah. Hal ini untuk mengantisipasitidak adanya inisiatif permohonan dari pihak non-pemerintah untukmenyelesaikan permasalahan mengenai terjadinya tumpang tindih danpertentangan antara suatu Perda dengan peraturan perundang-undangan lainnya pada tingkatan yang lebih tinggi. Sebab, tanpadimulainya proses untuk menguji legalitas suatu Perda melaluilembaga peradilan maka peraturan yang berlaku secara tumpangtindih dan dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggiakan tetap dan terus berlaku, hingga adanya putusan pengadilan yangmembatalkannya.

Referensi: Asshiddiqie, J. (2006). Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.

Jakarta: Konstitusi Press. Huda, N. (2010). Problematika Pembatalan Peraturan Daerah.

Yogyakarta: FH UII Press. Kementerian Dalam Negeri (2016). Daftar Perda/Perkada dan

Peraturan Menteri Dalam Negeri yang Dibatalkan/Revisi [online]. Tersedia di: http://www.kemendagri. go.id/media/filemanager/2016/06/21/b/a/batal_perda_21_juni_2016.pdf [Diakses 20 April 2018].

Lewis, C.B. (2000). Judicial Remedies in Public Law. London: Sweet & Maxwell.

Mahfud MD., Moh. (2011). Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers.

Mahkamah Agung RI. (2017). Laporan Tahunan 2016 Mahkamah Agung Republik Indonesia [online]. Tersedia di: http://www.pembaruanperadilan.net/v2/content/publikasi/ LTMARI%20-%202016.pdf [Diakses 20 April 2017].

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertanggal 5 April 2017.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertanggal 14 Juni 2017.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Page 13: PemerintaH · Kurniadi, B. D. (2012). Desentralisasi Asimetris di Indonesia. ... (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia) 90 Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan