33
PENATALAKSANAAN PADA CHEST TRAUMA Oleh: Muhammad Thoriq A 0610710077 Nofi Nurina Ramadhani 0910710019 Pembimbing: dr. Djudjuk R. Basuki, Sp.An, KAKV LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR

Penatalaksanaan Chest Trauma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat anesthesiologi dan terapi intensif

Citation preview

PENATALAKSANAAN PADA CHEST TRAUMA

Oleh:Muhammad Thoriq A0610710077Nofi Nurina Ramadhani0910710019Pembimbing:dr. Djudjuk R. Basuki, Sp.An, KAKVLABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIFFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYARUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR

MALANG2015BAB IPENDAHULUAN1.1Latar Belakang

Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding dada dan atau organ di dalamnya, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam. Pada kejadian trauma toraks, resiko kematian dapat sangat tinggi, sehingga dibutuhkan penatalaksanaan yang cepat. Resiko tinggi ini disebabkan di dalam rongga dada terdapat berbagai organ vital, seperti jantung, paru-paru, dan pembuluh darah besar.

Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan bawah leher dapat diraba incisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu: m.latissimus dorsi,m.trapezius, m.rhomboideus mayor dan minor, m.serratus anterior, dan m.intercostalis. Tulang dinding dada terdiri dari sternum, vertebra torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak di dalam rongga thorax : paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf dan sistem limfatik.Diafragma sebagai pembatas rongga toraks dan rongga abdomen, memiliki bentuk seperti kubah dengan puncak menjorok ke superior, sehingga sebagian rongga abdomen sebenarnya terletak di dalam area toraks.1Akibat trauma daripada toraks, ada tiga komponen biomekanika yang dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres. Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan terjadi ketika jaringan kulit terpisah dan stres merupakan tempat benturan pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak bergerak. Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan komplikasi, pneumothorax, hemotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung.2Akibat kerusakan anatomi dinding thorax dan organ didalamnya dapat menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah.2

Kebanyakan trauma toraks disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Insiden dari trauma dada di Amerika adalah 12 orang bagi setiap 1000 orang penduduk tiap harinya, dan 20-25% kematian yang disebabkan oleh trauma adalah disebabkan oleh trauma thoraks. Trauma toraks diperkirakan bertanggung jawab atas kematian 16,000 kematian tiap tahunnya di Amerika. Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981 didapatkan 20% dari pasien trauma mengenai trauma toraks. Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan pemahaman tatalaksana yang lebih mendalam mengenai kasus ini.2,31.2. Rumusan masalah

1. Apa saja yang termasuk trauma toraks dan komplikasinya?

2. Bagaimana manajemen penatalaksanaan trauma toraks?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Meningkatkan pemahaman mengenai manifestasi klinis dan komplikasi trauma toraks.2. Meningkatkan pemahaman mengenai manajemen trauma toraks.BAB IITINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Epidemiologi

Trauma toraks didefinisikan sebagai trauma yang mengenai thoracic cage dan seluruh komponen isi didalamnya, meliputi paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, diafragma, tracheobronchial tree, serta esofagus. Trauma toraks secara umum merupakan hal yang sangat penting untuk dipelajari. Hal ini berkaitan dengan insidensi kejadian serta tingkat mortalitas yang tinggi4 Kejadian trauma toraks berkaitan erat dengan 20-30% trauma yang menyebabkan kematian5,6.Secara keseluruhan, mortalitas yang disebabkan oleh trauma toraks berkisar 10%, dan diestimasikan terjadi 16.000 kematian per tahunnya di Amerika Serikat. Kematian dapat terjadi secara dini dalam 30 menit hingga 3 jam karena adanya obstruksi jalan napas, hipoksemia, perdarahan, tamponade jantung, hemopneumo, dan aspirasi. Trauma toraks ini juga berkaitan erat dengan trauma kepala, wajah, abdomen, hingga trauma ekstremitas. Pada literatur lain, didapatkan dari 1485 pasien dengan trauma toraks, 71% di antaranya juga mengalami trauma multipel7.

Mayoritas kematian terjadi langsung di tempat kejadian yang disebabkan oleh trauma toraks yang berhubungan dengan Zeidler zone atau berasosiasi dengan lesi pada sistem saraf pusat. Pasien yang berhasil bertahan hidup dari trauma toraks awal dan berhasil sampai di rumah sakit, ternyata memiliki angka mortalitas sebanyak 15% dan hal ini ternyata bisa dicegah dengan menggunakan metode diagnosis dan terapi yang tepat. Kurang dari 10% trauma tumpul toraks dan 15-30% cedera toraks yang bersifat penetrating memerlukan tindakan thoracotomy4. Indikasi utama tindakan ini adalah hubungan cedera yang melibatkan jantung, pembuluh darah besar, parenkim paru dan pembuluh darah intercostalis6.

Cedera yang disebabkan oleh benturan langsung sangat jarang ditemui namun berefek lebih besar8. Hal ini karena adanya kombinasi gaya kinetik energi yang besar, beresultan terhadap parahnya derajat cedera dan menimbulkan tingkat mortalitas yang tinggi. Terdapat sedikit kasus pasien yang pernah dilaporkan dalam beberapa literatur yang mampu bertahan hidup setelah mengalami cedera ini tanpa adanya sequalae. Manajemen dari trauma toraks kompleks memerlukan perhatian khusus dari tenaga medis yang berpengalaman dan memiliki skill, sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat sejak dari crash site, intra-hospital care, hingga dilakukan tindakan definitif di trauma centre9,10.2.2Patofisiologi

2.2.1Penetrating

Luka penetrating atau luka tembus seperti gunshot dan luka tusuk dapat menyebabkan cedera langsung berbagai struktur, sehingga bisa terjadi fraktur costae, pneumo, hemo, atau cedera pada parenkim paru dan jantung. Sebaliknya, low-velocity penetrating trauma umumnya tidak menyebabkan kerusakan pada struktur sekitar yang terkena luka langsung7.

Gunshot dan shrapnel wounds bisa menyebabkan cedera langsung pada struktur yang berkaitan hingga cedera sekunder karena adanya blunt trauma-like shock wave yang disebabkan oleh peluru. Makin tinggi kecepatan peluru, makin besar potensi kerusakan internal pada struktur sekitarnya. Luas area luka internal tidak bisa ditentukan dari luas luka luar saja. Sehingga, luka ini terkadang memerlukan pendekatan yang terencana untuk dilakukan reeksplorasi 7, 11.

2.2.2Blunt

Blunt forces yang terjadi pada dinding dada menyebabkan cedera melalui tiga mekanisme: rapid deceleration, direct impact, dan compression. Rapid deceleration adalah gaya yang biasa terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor serya jatuh dari ketinggian tertentu. Derajat trauma eksternal tidak bisa memprediksikan tingkat keparahan cedera internal , sehingga tetap perlu dicurgai adanya keterlibatan cedera pembuluh darah besar, jantung, paru-paru. Direct impact oleh suatu benda tumpul bisa menyebabkan fraktur terlokalisasi pada tulang dinding dada disertai dengan adanya cedera parenkim paru, cedera tumpul jantung, pneumotoraks, dan/atau hemo. Compression pada dinding dada oleh suatu benda yang sangat berat akan menekan proses ventilasi dan bisa menyebabkan asfiksia traumatik karena terdapat peningkatan tekanan pada vena di rongga atas. Compression sering menyebabkan fraktur tulang dada yang parah7.

Gejala dari blunt chest injury antara lain: takipnea, nyeri, hilangnya suara napas, krepitasi atau emfisema subkutan, hemoptisis, tipe napas diskordansi, hipotensi, distensi vena jugularis. Jika ditemukan tanda-tanda di atas, maka perlu dipertimbangkan terjadinya12:

Tension pneumotoraks Pneumo terbuka

Flail chest/kontusio pulmonalis

Hemo masif

Tamponade kardiak

Kontusio kardiak

Ruptur diafragma

Ruptur tracheobronchial tree

Ruptur aorta torasika

Ruptur esofagus

Robekan myokard

Simpel pneumo

Patah tulang costae2.3Efek Respirasi dan Hemodinamik

Trauma dapat menyebabkan insuffisiensi respirasi, kolaps hemodinamik atau syok, disertai dengan adanya hipoksia, hiperkarbia serta asidosis. Hipoksia merupakan manifestasi klinis yang paling serius dari trauma . Insuffisiensi respirasi terjadi karena cedera dinding dada, terutama pada kasus fraktur tulang costae disertai flail chest, pneumo, kontusio pulmonal, aspirasi, cedera trakeal, dan hemo7.

Kolapsnya hemodinamik menyebabkan hipoksia dan asidosis metabolik, termasuk syok hemoragik yang disebabkan oleh hemo yang masif, syok kardiogenik, tamponade kardiak, dan gangguan yang parah dari venous return dan fungsi jantung yang diakibatkan oleh tension pneumothorax7. 2.4 Penilaian Perioperatif Trauma

Semua jenis cedera yang diakibatkan oleh suatu trauma perlu dicurigai sebagai cedera yang bersifat mematikan hingga terbukti sebaliknya. Pendekatan awal dalam upaya penilaian dan manajemen penanganan mengikuti prinsip protokol American College of Surgeons (ACS) Advanced Trauma Life Support (ATLS) untuk jenis cedera yang mengancam jiwa. Manajemen pasien dimulai dari primary survey dan pemeriksaan yang berkaitan seperti chest-xray (CXR), resusitasi fungsi vital, diikuti oleh secondary survey dan definitive care7.

Cedera yang bersifat mengancam jiwa perlu ditangani secepat mungkin dan sesimpel mungkin. Banyak trauma bisa ditangani awal dengan manajemen airway control dan/atau chest decompression baik dengan needle thoracocentesis atau tube thoracotomy. Intervensi awal meliputi pemberian oksigenasi, intubasi trakeal secara cepat, akses intravena yang besar, dan resusitasi cairan untuk mencegah atau mengoreksi keadaan hipoksia atau iskemia. Kerjasama antarbidang yakni tim bedah, perawat, dan spesialis critical care merupakan kunci utama untuk mencapai manajemen yang optimal pada penanganan trauma7.2.4.1 Masalah pada Airway

Patensi airway dan ventilasi dinilai dengan mengecek respon verbal pasien (jika memungkinkan), serta mendengarkan suara udara melalui hidung pasien, mulut, dan paru-paru. Monitor end-tidal CO2 perlu dilakukan untuk mendokumentasikan ventilasi, dan pemasangan pulse oximetry secara kontinu digunakan untuk mengevaluasi saturasi secara berkala. Manuver airway perlu dilakukan dengan cervical-spine immobilisation hingga dugaan cedera C-spine mampu disingkirkan. Advanced airway management dan rapid sequence intubation (RSI) seringkali perlu dilakukan. Tetapi, jika terdapat cedera langsung pada jalan napas (termasuk robekan parsial, hematoma yang meluas, dll), maka ventilasi spontan perlu dipertahankan, dan seringkali direkomendasikan teknik intubasi pada pasien yang sadar (umumnya menggunakan bronkoskopi dengan fiber-optik atau FOB). Posisi endotracheal tube (ETT) yang tepat perlu dikonfirmasi dan efikasi ventilasi dapat dievaluasi secara berkala dengan mengevaluasi end-tidal volume karbondioksida, observasi pergerakan dinding dada, auskultasi suara napas, dan menggunakan FOB untuk membantu menvisualisasikan tracheal rings setelah mengeluarkan ETT. Foto paska intubasi diperlukan untuk mendokumentasikan posisi tube. Awalnya, cedera yang kadang terlewatkan saat proses diagnosis awal seperti simpel pneumo atau robekan trakeobronkial bisa makin mudah terlihat manifestasinya setelah dilakukan intubasi, dan perlu segera disingkirkan. Indikasi untuk tindakan intubasi pada trauma disebutkan pada tabel di bawah berikut12:

2.4.2 Masalah pada Breathing

Penilaian breathing pada trauma dapat dilakukan melalui observasi dan palpasi pergerakan dinding dada serta auskultasi suara napas. Tanda gagal nafas setelah adanya cedera dada meliputi peningkatan laju pernapasan serta perubahan pola napas, yakni menjadi cepat dan dangkal. Analisis gas darah (BGA), pemasangan pulse oximetry, dan monitor end-tidal CO2 sangat berguna untuk mendiagnosis adanya insuffisiensi pernapasan. Sianosis merupakan manifestasi akhir setelah terjadi progres hipoksia dari adanya trauma karena pada kondisi pasien yang mengalami syok akan terjadi penurunan aliran darah ke perifer dan tampak anemis. Sehingga, gangguan proses breathing pada trauma perlu penanganan yang cepat dan tepat12.

2.4.3Masalah pada Circulation

Keadaan sirkulasi pada trauma dievaluasi melalui nadi pasien (radialis, carotis, femoralis), tekanan darah, dan sirkulasi perifer. Pada kejadian syok hipovolemik, nadi radialis teraba lemah dan menghilang saat tekanan darah sistolik mencapai di bawah 70 mmHg. Pada trauma, sangat penting untuk mengevaluasi vena di leher, yang seringkali ditemui tampak flat karena hipovolemik atau tampak distensi pada kejadian tamponade jantung atau tension pneumo. Tetapi, distensi vena ini akan sulit terlihat jika tamponade jantung atau tension pneumo ini diikuti dengan kondisi syok hipovolemik, dan akan benar-benar flat pada saat cardiac arrest. Pemasangan elektrokardiogram (EKG) dan pulse oximetry perlu dilakukan sejak awal sehingga bisa membantu diagnosis disritmia. Saat terjadi pulseless electrical activity (PEA), USG tidak diperlukan. Justru perlu segera dilakukan Focused Abdominal Sonography for Trauma (FAST) untuk mengevaluasi pericardium maupun rongga abdomen. PEA bisa terjadi pada tamponade jantung, hipotermia, tension pneumo, hipovolemik, hipoksia, asidosis, hingga overdosis obat. FAST bisa segera mendiagnosis adanya tamponade dan perdarahan abdominal. Jika hasil FAST tetap inkonklusif, maka perlu dilakukan transthoracic echo (TTE) jika tidak terdapat kecurigaan cedera pada esofagus12.

Penatalaksanaan syok hemoragik yang berhubungan dengan trauma memerlukan administrasi kristaloid dan darah menggunakan fluid warmer untuk mencegah terjadinya hipotermia iatrogenik. Namun, infus darah atau kristaloid secara cepat sebelum penanganan definitif dari trauma vaskuler pada dapat meningkatkan tekanan darah sehingga adanya protective clot bisa mengalami pelepasan dari lokasi awalnya. Sehingga, jika tidak terdapat adanya trauma kepala, prinsip moderate hypotension (tekanan darah sistolik ~ 90 mmHg) bisa dilaksanakan pada kecurigaan adanya cedera pembuluh darah besar12. Es2.5 Jenis Trauma Toraks dan Manajemennya2.5.1 Esophageal Rupture

Ruptur esofagus terjadi melalui mekanisme adanya crush atau remuk pada dinding dada, atau terdapat luka yang bersifat penetrating sehingga menimbulkan ruptur. Kasus ini bisa didiagnosis melalui:a) Adanya gambaran udara di mediastinum dari foto toraks.b) Adanya sputum atau isi usus dari chest tube.c) Konfirmasi dengan esofagoscopy atau gastrography swallow (disarankan)7.Pada kasus ruptur esofagus, proses perbaikan secara klinis akan ditentukan melalui proses terjadinya cedera dan interval waktu diagnosis. Jika termasuk dalam cedera ringan, maka proses perbaikan primer akan melibatkan struktur pleura, otot interkostal, atau omentum; pada cedera kompleks, perlu dilakukan pembedahan untuk rekonstruksi struktur yang terlibat tetapi harus dilindungi dengan cervical esofagostomy proksimal dan G-tube. Secara umum, pada semua kasus ruptur esofagus, mediastinum harus didrainase dengan chest tube multiple7. 2.5.2 Tracheobronchial injury

Ruptur intratorakal pada trakea atau bronkus utama disebabkan oleh gaya yang besar, menyebabkan shearing selama terjadinya rapid deceleration pada distal bronkus yang lebih mudah mengalami mobilisasi dibandingkan struktur proksimal. Terlebih lagi, trakea servikal dilindungi oleh mandibula dan sternum pada bagian anterior serta vertebrae di posterior. Lebih dari 80% ruptur bronkus berada dalam 2,5 cm dari carina. Cedera-cedera ini termasuk cedera yang serius dengan estimasi tingkat mortalitas sebesar 30%12.

Meskipun sulit mendiagnosis terjadinya cedera pada trakeobronkial, gejala berikut bisa mendukung penegakkan diagnosis: (1) hemoptisis, (2) dispnea, (3) emfisema mediastinal dan subkutan, serta (4) hipoksia. Sianosis terjadi pada stadium akhir. Pneumo yang bersifat luas bisa terjadi jika terdapat large communication antara ruptur tracheobronchial tree dengan rongga pleura (bronkopleural fistula). Tube thoracotomy jika terpasang akan menunjukkan gelembung udara pada water seal, dan suction akan gagal untuk mengekspansikan paru-paru. Gambaran foto menunjukkan pneumo, efusi pleura, pneumomediastinum, atau udara di subkutan. Secara keseluruhan, 90% pasien akan menunjukkan gambaran udara ekstraanatomi pada foto. Modalitas pemeriksaan dengan CT-Scan helical akan membantu penegakkan diagnosis12.

Fiber-optic broncoscopy (FOB) merupakan modalitas yang paling reliabel untuk mendiagnosis dan membantu staging cedera trakeobronkial. Pemeriksaan dengan FOB harus dilakukan dengan tepat setiap ada kecurigaan ruptur trakeobronkial. Manajemen airway pada pasien dengan cedera trakeobronkial terkadang memerlukan double-lumen endobronchial tube atau bronchial blocker7.

Tindakan pembedahan thoracotomy merupakan manajemen definitif pada cedera trakeobronkial dan perlu dilakukan sesegera untuk meminimalisasi terjadinya infeksi paru-paru berulang, stenosis bronkial yang parah, atau mediastinitis. Resusitasi dan tindakan anestesi lebih difokuskan pada kontrol airway, ventilasi paru yang adekuat, serta manajemen blood loss7. 2.5.3 Tension pneumothorax

Tension pneumotoraks akan terjadi ketika udara memasuki rongga pleura dari paru-paru atau dinding dada melalui celah one way-valve-like yang menyebabkan masuknya udara tanpa dapat keluar kembali. Peningkatan tekanan intratorakal yang bersifat progresif pada hemi tertentu akan menyebabkan kolapsnya parenkim paru, pergeseran mediastinum menuju sisi kontralateral, dan gangguan venous return yang parah. Selain terjadinya kolaps parenkim paru, kompresi paru-paru kontralateral akan mengganggu kapasitas ventilasi, menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia. Penurunan venous return dengan adanya peningkatan tekanan intratorakal akan menyebabkan terjadinya hipotensi dan cardiac arrest jika tidak segera ditangani12.

Secara klinis, tanda dari tension pneumotoraks antara lain: nyeri dada, dispnea, takikardia, hipotensi, deviasi trakea kontralateral, dan hipersonor pada paru ipsilateral disertai hilangnya suara napas. Gambaran foto menunjukkan adanya pelebaran celah interkostalis, penurunan diafragma pada sisi ipsilateral, serta deviasi trakea dan mediastinum menuju sisi kontralateral cedera. Kasus ini merupakan kegawatan yang mengancam jiwa dan memerlukan tindakan sesegera mungkin tanpa menunggu hasil radiologis terlebih dahulu12.

Penatalaksanaan awal pada tension pneumotoraks terdiri dari: dekompresi dengan jarum atau tube thoracotomy. Thoracotomy dengan jarum merupakan tindakan sementara untuk mengubah tension pneumotoraks menjadi simpel pneumotoraks yang tidak bersifat mengancam jiwa. Pemasangan jarum diletakkan pada celah interkostalis kedua pada garis mid-klavikular sisi dada yang mengalami cedera. Terapi definitif untuk cedera jenis ini adalah pemasangan tube thoracotomy, yakni dipasang pada celah intercostalis kelima pada garis anterior hingga mid-aksila sisi dada yang mengalami cedera. Jika paru-paru tak kunjung mengalami ekspansi meskipun sudah dilakukan terapi di atas, kemungkinan ada air leak yang terus terjadi dan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk kecurigaan adanya lesi pada jalan napas dengan menggunakan bronkoskopi. Tetapi, mayoritas kasus sudah bisa ditangani dengan pemasangan chest tube tersebut7,12. 2.5.4 Open pneumothorax

Pneumotoraks terbuka disebabkan oleh adanya defek pada dinding dada yang berukuran besar, biasanya disebabkan adanya luka yang menimbulkan adanya hubungan antara rongga pleura dengan lingkungan eksternal. Jika ukuran defek dinding dada ini mendekati 2/3 diameter trakea, maka udara akan lebih memilih untuk mengalir pada jalur respirasi yang mengalami cedera daripada jalan napas yang normal karena resistensinya lebih rendah. Hal ini akan menimbulkan fenomena open atau sucking wound pada dinding dada, terjadi gangguan tekanan atmosfer antara paru-paru dengan lingkungan luar. Jika dibiarkan, parenkim paru akan kolaps dan terjadi pergeseran mediastinum menuju sisi kontralateral. Selain itu, venoarterial shunting juga terjadi pada kedua paru-paru sehingga terjadi mismatch ventilasi-perfusi. Gangguan oksigenasi dan ventilasi yang terus menerus akan menimbulkan hipoksia dan hiperkarbia, sehingga mengancam jiwa12.

Pada pasien yang diventilasi secara kontinu, open pneumotoraks awalnya perlu ditangai dengan pemasangan sterile-occlusive dressing untuk menutupi luka pada dinding dada dengan vaselin gauze dan ditutup pada tiga sisi saja. Fungsinya adalah sebagai one-way valve sehingga udara bisa keluar dari rongga pleura namun tidak akan masuk lagi. Penutupan pada semua sisi dari one-way valve merupakan kontraindikasi karena justru akan menyebabkan akumulasi uadra pada rongga parenkim paru dan berkembang menjadi tension pneumotoraks7,12.

Tube thoracotomy perlu dilakukan sesegera mungkin pada lokasi yang jauh dari luka dinding dada. Jika luka pada dinding dada berukuran kecil, umumnya pleura akan lambat laun menutup dan tidak diperlukan intervensi eksternal lagi. Pada pasien dengan gangguan airway atau breathing, perlu dilakukan intubasi awal dan pemberian ventilasi tekanan positif. Jika luka dinding dada berukuran relatif besar, surgical debridement untuk jaringan nekrosis dan perbaikan luka perlu dilakukan dengan bantuan anestesi umum12. 2.5.5 Massive hemothorax

Hemotoraks masif adalah akumulasi progresif hingga lebih dari 1500 cm3 darah pada rongga pleura. Perdarahan yang masif ini biasanya mengindikasikan adanya laserasi parenkim, laserasi pembuluh darah besar atau intercostalis pulmonalis. Satu hemi bisa mencakup 50-60% total volume darah tubuh. Hemotoraks yang masif dapat mengganggu stabilitas hemodinamik melalui proses penurunan volume intravaskuler dan venous return disertai peningkatan tekanan intratorakal dan pergeseran mediastinum. Hemotoraks juga akan menyebabkan kompromis respirasi karena adanya kompresi parenkim paru karena akumulasi darah12.

Mekanisme umum terjadinya hemotoraks adalah cedera yang bersifat penetrating. Namun, aorta torakalis desenden, arteri innominata, vena pulmonalis, dan vena cava justru lebih cenderung mudah ruptur oleh blunt trauma. Insiden hemotoraks pada pasien dewasa di kamar operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan emergensi dilaporkan mencapai 26% kasus. Perdarahan berasal dari paru-paru, pembuluh darah intercostalis, arteri torasika interna (mamaria interna), arteri thorakoakromial, arteri torasika lateralis, sistem azigos, pembuluh darah besar mediastinum, jantung, hingga struktur abdomen (hepar, lien) jika diafragma mengalami ruptur juga. Perdarahan secara persisten biasanya terjadi oleh cedera pada arteri intercostalis atau arteri torasika interna, sementara jarang didapatkan dari pembuluh darah besar hilus. Perdarahan oleh karena cedera parenkim paru umumnya akan berhenti setelah beberapa menit ekspansi paru, meskipun pada awalnya akan terjadi profuse bleeding12.

Penegakkan diagnosis untuk hemo dapat dievaluasi dari manifestasi klinis sebagai berikut: pasien trauma dengan keadaan syok disertai dengan penurunan hingga hilangnya suara napas pada salah satu hemi, suara redup pada perkusi salah satu hemi. Tidak perlu menunggu konfirmasi gambaran foto toraks jika klinis mendukung adanya hemotoraks7.

Manajemen dalam penanganan hemotoraks meliputi: resusitasi volume darah serta dekompresi rongga dada secara simultan. Dekompresi dilakukan dengan menggunakan chest tube berukuran besar (36-40 French). Transfusi darah juga disarankan dilakukan jika terjadi masif hemotoraks. Untuk moderate hemotoraks (kurang dari 1500 cc) yang mampu berhenti mengalami perdarahan setelah dilakukan tube thoracotomy bisa diatasi dengan closed-drainage saja. Mayoritas kasus hemotoraks bisa diatasi secara adekuat dengan pemasangan tube thoracotomy dan restorasi volume darah. Urgent thoracotomy perlu dilakukan jika pada output chest tube awal melebihi 1500 cc atau adanya perdarahan yang bersifat kontinu, yakni 250cc/jam hingga lebih dari 3 jam berturut-turut, atau pada pasien yang memerlukan transfusi darah terus-menerus12. 2.5.6 Flail Chest

Fisiologi terjadinya flail chest antara lain: (1) trauma tumpul pada dada; (2) fraktur costae multipel pada banyak tempat yang menimbulkan ketidakstabilan sebagian dinding dada; (3) nyeri hebat; (4) kontusio pulmonal pada area yang terkena sehingga terjadi perdarahan dan edema alveolar sehingga mengurangi pengisian alveolar7.

Diagnosis pada flail chest dapat ditegakkan jika terdapat manifestasi klinis sebagai berikut:

d) Pergerakan dinding dada yang paradoks.e) Nyeri berat bila bernapas atau palpasi pada area yang terkena.

f) Gangguan pernafasan

g) Hemoptisis

h) Chest x-ray menunjukkan adanya kontusio, tetapi tidak akan Nampak dalam beberapa jam.Manajemen penatalaksanaan flail chest antara lain: (1) kontrol nyeri: epidural, PCA, drip morfin; (2) toilet pulmonalis, monitor kapasitas vital; (3) intubasi pada perburukan kapasitas, gangguan pernafasan atau hipoksemia; (4) menjaga normovolemia, tidak diperlukan pembatasan cairan tetapi diberikan dengan jumlah tertentu7.2.5.7 Pulmonary Contusion

Cedera penetrating dan blunt dapat menyebabkan kontusio pulmonal, hal ini terjadi karena hilangnya integritas pembuluh darah dan berlanjut pada terjadinya perdarahan intraparenkim dan alveolar. Kemudian, kondisi ini bisa berkembang menuju kerusakan endotel yang parah pada membran alveolar-kapiler. Besar luasnya kontusio pulmonal tergantung dari tingkat keparahan cedera yang terjadi. Puncak terjadinya perdarahan alveolar dan kerusakan parenkim adalah 24 jam setelah cedera terjadi dan biasanya membaik setelah 7 hari kemudian. Estimasi insiden kontusio pulmonal pada pasien dewasa yang mengalami pembedahan setelah diterima di IGD berkisar 65% . Kontusio pulmonal kemudian akan menurunkan komplians paru dan meningkatkan fraksi shunt intrapulmonal12.

Tanda dan gejala kontusio pulmonal adalah dispnea, hipoksemia, sianosis, takikardia, dan penurunan hingga hilangnya suara napas. Kontusio pulmonal sering berhubungan dengan kasus fraktur kosta. Perdarahan, edema, dan mikroatelektasis adalah akibat dari kontusio pulmonal. Proses diagnosis yang tepat adalah faktor utama dalam manajemen awal dan menentukan tindakan manakah yang efektif dilakukan. Diagnosis awal dicurigai setelah adanya riwayat trauma. Foto toraks merupakan hal yang penting dilakukan, apalagi jika terdapat gambaran patchy, dengan densitas yang bervariasi, atau konsolidasi yang homogen. Pada kontusio pulmonal, foto toraks yang diamati akan cenderung lebih tertinggal dibandingkan kondisi klinis nyata pada pasien dan hasil labnya. Serta, luasnya cedera paru umumnya lebih luas dibandingkan gambaran radiologi paru yang terlihat. CT-Scan paru justru akan memberikan gambaran dengan sensitivitas yang lebih detail untuk lesi paru. Distres napas disertai dengan hipoksemia dan hiperkarbia akan terjadi puncaknya pada tiga hari post-trauma. Pneumonia dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) dapat terjadi disertai dengan disabilitas yang bersifat long-term12.

Pasien yang mengalami kontusio pulmonal disertai dengan kompromis respirasi seringkali memerlukan intubasi trakeal dan support ventilasi mekanik. Terapi antibiotik dapat diindikasikan untuk menangani pneumonia dan infeksi lainnya. Penggunaan continue positive airway pressure (CPAP) akan memperbaiki terjadinya V/Q mismatch, FRC, komplians paru, serta meningkatkan efisiensi pertukaran udara dan ventilasi spontan. Pernapasan spontan dan tekanan udara positif intermitern secara bifasik akan menghasilkan oksigenasi dan ventilasi yang lebih efisien dibandingkan dengan ventilasi mekanik yang terkontrol. Pressure-controlled ventilation meminimalisasi puncak dan plateau dari tekanan jalan napas dan bisa mencegah terjadinya barotrauma. Kontusio pulmonal umumnya akn mulai mengalami resolusi dalam 2 hingga 5 hari jika tidak terdapat komplikasi lainnya. Meskipun PEEP dan peningkatan FiO2 biasanya diperlukan, strategi dalam membatasi tekanan peak dan plateau serta menggunakan volum tidal sehingga mencegah overdistensi selama ventilasi mekanik tetap diperlukan. Implementasi strategi ini ternyata mampu meningkatkan tingkat survival rate hingga 28 hari, peningkatan weaning ventilasi mekanik, dan tingkat barotrauma yang lebih rendah pada pasien nontrauma dengan ARDS awal. Tetapi, belum ada penelitian prospektif yang dilakukan untuk mengevaluasi konsep ini pada pasien dengan kontusio pulmonal. Tingginya kejadian metabolik asidosis pada saat pasien diterima di RS akan meningkatkan probabilitas terjadinya acute lung injury setelah trauma12. 2.5.8 Air Embolism

Pada pasien dengan trauma paru yang penetrasi hingga hilus paru, cedera vena pulmonalis, serta peningkatan tekanan jalan napas (hingga lebih dari 40 mmHg) bisa menyebabkan fistula vena bronkial-pulmonal dan kacaunya sistem embolisme udara arterial. Manifestasi klinis yang timbul antara lain hemoptisis, disfungsi serebral dan jantung sesaat setelah ventilasi tekanan positif, adanya udara di pembuluh darah retina, udara pada pemeriksaan analisis gas darah12.

Alat diagnosis seperti transesofageal echo (TEE), Doppler, dan CT-scan dapat pula mendeteksi udara intrakardiak dan serebral. Dengan cara menghindari pemberian tekanan tinggi pada ventilasi mekanik bersamaan dengan resusitasi volume secara adekuat akan membantu meminimalisasi kondisi yang berpotensi fatal. Keadaan nonventilasi pada paru yang mengalami cedera12. 2.5.9 Cardiac Tamponade

Cardiac tamponade atau tamponade jantung terjadi apabila terdapat cedera traumatik pada atrium, ventrikel, atau vena cava intraperikardium menimbulkan kehilangan darah ke dalam saccus pericardium. Bila darah terakumulasi di saccus pericardial, maka akan menurunkan end-diastolic volume, yang akhirnya menurunkan cardiac output. Diagnosis tamponade jantung dapat ditegakkan jika terdapat7:a) Hipotensi dan distensi vena leher tanpa tension pneumotoraks.b) Suara jantung menjauh.c) Blue facies.d) Pemeriksaan FAST, Nampak akumulasi cairan pada pericardium.Manajemen terapi pada tamponade jantung meliputi:a) Awali dengan bolus cairan IV.b) Pericardiocentesis.c) Pericardial window. Bila positif, segera bawa ke kamar operasi untuk sternotomi median atau thoracotomy, tergantung lokasi cedera12.2.5.10 Blunt Cardiac Injury

Ketika cedera jantung tumpul atau blunt cardiac injury terjadi, maka akan mengakibatkan kontusio miokard yang dapat menimbilkan gangguan konduksi, sehingga terjadi penurunan kontraktilitas jantung. Umumnya, diagnosis ini dapat ditegakkan jika terdapat 7:

a) Riwayat trauma dada anterior berat dan EKG abnormal.b) Takikardia yang tidak dapat dijelaskan.c) RBBB.d) Perubahan gelombang ST-T nonspesifik yang tidak dapat dijelaskan.e) Gelombang Q baru.f) Arrhythmia (atrial fib/flutter, PVC, multifocal PAC).g) Bila dugaan kuat, periksa echocardiogram (disarankan TEE).h) Troponin serial hanya untuk menyingkirkan kemungkinan miokard infark.i) Kegagalan pompa miokard yang tidak dapat dijelaskan (eksklusi cedera katup).

Manajemen terapi pada cedera jantung tumpul terdiri dari:a) Monitor telemetri selama 24 jam di RS, tidak perlu rawat ICU bila tidak ada indikasi cedera lain.b) Tangani arrhythmia sesuai panduan ACLS.c) Bila arrhythmia atau EKG tidak kembali normal lakukan echocardiogram.d) Obati disfungsi jantung dengan inotropik.2.5.11 Diaphragmatic TraumaPada trauma diafragma atau diaphragmatic trauma, terjadi robekan pada diafragma yang dapat menimbulkan masuknya isi abdomen pada cavum toraks. Hal ini yang kemudian menimbulkan gangguan pernapasan. Proses ini dapat bertambah cepat dengan adanya ventilasi spontan7.Dalam mendiagnosis terjadinya trauma diafragma, perlu dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: Diafragma kiri:a. Foto toraks menunjukkan adanya organ abdomen di dada.b. Pasang NGT dan lihat apakah muncul di dada.c. Bila dibutuhkan, periksa dengan barium swallow, untuk mengetahui lokasi lambung.

Diafragma kanan:

a. Tonjolan abnormal pada diafragma lateral menunjukkan laserasi dan protrusi liver.b. Konfirmasi dengan CT atau thoracoscopy.c. Laparoskopi tidak terlalu reliabel karena liver seringkali menutupi pandangan robekan diafragma.

Manajemen terapi dalam menangani ruptur diafragma:

a. Pertimbangkan intubasi dini untuk mencegah migrasi lebih banyak isi abdomen.b. Perbaikan operatif melalui abdomen.c. Bila diagnosis terlambat (> 2 minggu), mungkin perlu dilakukan torakotomi7.2.6Agen Anestesi Spesifik

Penggunaan agen spesifik anestesi untuk induksi dan maintenans serta blok neuromuskuler tidak terlalu penting dibandingkan dengan prinsip farmakologi dan fisiologis pada pasien. Nitrous oksida umumnya dihindari pada trauma toraks karena adanya risiko peningkatan ruang udara. Amnesia merupakan tujuan utama pada pasien yang tidak sadar (ex: midazolam, 1 sampai 2 mg kenaikan, atau scopolamin, 0,4 mg), dengan anestetik dan analgesik yang masih ditoleransi. Preoksigenasi merupakan hal yang harus dilakukan sebelum induksi karena trauma toraks dapat menyebabkan distres napas dan hipoksia. Cardiac output yang menurun karena adanya cedera pada jantung dapat pula menurunkan kapasitas loading oksigen12.

Propofol dan tiopental bisa menyebabkan hipotensi karena adanya depresi miokard dan vasodilatasi, sehingga sebaiknya penggunaannya dihindari atau dikurangi untuk pasien dengan trauma toraks yang tidak stabil. Etomidate termasuk salah satu agen yang cenderung minimal efek depresi miokardnya serta terhadap sirkulasi dan tekanan darah. Sehingga, etomidate merupakan agen induksi pilihan untuk pasien dengan keadaan sirkulasinya kurang stabil. Ketamin secara teoritis bisa digunakan untuk menginduksi antestesi pada pasien dengan tamponade jantung karena mampu menyebabkan stimulasi sistem saraf simpatis (meningkatkan nadi, tekanan darah, dan cardiac output). Tetapi, pada keadaan stress maksimal (ex: tamponade jantung yang prolong) maka efek simpatomimetik ketamin tidak dapat berfungsi maksimal. Justru akan menimbulkan efek depresi miokard dan memperparah hipotensi12.

Penggunaan anestesi untuk maintenans bisa menggunakakan agen inhalasi atau obat-obatan IV seperti propofol dengan tambahan opioid. Nitrous oksida dihindari karena meningkatkan risiko akumulasi gas dan ekspansi pneumotoraks. Seluruh agen volatil selain bersifat dose-dependent juga akan menurunkan fungsi jantung. Isoflurane dosis rendah (0,4%) yang digunakan bersama opioid seperti fentanyl umumnya masih bisa ditoleransi pada kondisi setelah syok dan diresusitasi. Sementara, obat-obatan blokade neuromuskular dapat digunakan untuk memfasilitasi intubasi trakea dan relaksan untuk tindakan pembedahan12.2.6 Komplikasi Intraoperatif pada Trauma Toraks

Ada beberapa jenis komplikasi pada trauma toraks selama pembedahan, seperti hipoksemia dan hipotensi. Perawatan tepat dan penilaian yang detail agar mampu mendiagnosis serta menangani komplikasi yang mengancam jiwa pada kasus trauma toraks sangat diperlukan. Berikut adalah contoh manajemen dalam penanganan komplikasi intraoperatif pada kasus trauma tumpul toraks12:

BAB IIIPENUTUP

3.1Kesimpulan dan Saran

Trauma toraks didefinisikan sebagai trauma yang mengenai thoracic cage dan seluruh komponen isi didalamnya, meliputi paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, diafragma, tracheobronchial tree, serta esofagus. Trauma toraks secara umum merupakan hal yang sangat penting untuk dipelajari. Hal ini berkaitan dengan insidensi kejadian serta tingkat mortalitas yang tinggi. Sementara, jenis-jenis cedera yang termasuk dalam trauma toraks antara lain: ruptur esofagus, cedera trakeoefofageal, tension pneumotoraks, pneumotoraks terbuka, hemotoraks masif, flail chest, kontusio pulmonal, emboli udara, tamponade jantung, trauma tumpul jantung, trauma diafragma.

Penatalaksanaan dalam manajemen trauma toraks kompleks dan bergantung pada jenis cedera dan struktur organ yang terlibat di dalamnya. Namun, prinsip manajemen untuk penilaian awal tetap diutamakan berdasarkan airway, breathing, circulation sehingga penanganan tetap dapat ditangani secara terstruktur, simultan, dan komprehensif

Prinsip manajemen nyeri atau anestesi dalam tindakan untuk menangani trauma toraks juga merupakan hal yang perlu diperhatikan dengan hati-hati. Hal ini berkaitan dengan aspek farmakologi dari agen anestesi yang digunakan serta kondisi klinis pasien. Sehingga, perlu dikaji kembali penggunaan anestesi pada kondisi trauma toraks tertentu dan pemilihan agen anestesi dengan efek terapetik yang baik dan efek samping yang minimal.DAFTAR PUSTAKA1. Soltanian, Hooman. 2014. Chest Wall Anatomy. http://emedicine.medscape.com/ article/2151800-overview. Diakses pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 10.00 WIB.2. Sitepu, Christman Emsipindo. 2012. Perbandingan Pola Kuman Pada Chest Tube Dengan Lama Pemakaian Kurang Dan Lebih Dari 7 Hari Pada Penderita Trauma Tumpul Thorax Di RSUP H. Adam Malik Medan.3. Veysi, Veysi T., et al. "Prevalence of chest trauma, associated injuries and mortality: a level I trauma centre experience." International orthopaedics 33.5 (2009): 1425-1433.

4. Emircan S, Ozg H, Akkse Aydn S, et al. 2011. Factors affecting mortality in patients with thorax trauma. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg 17(4):329333

5. Bernardin B, Troquet JM (2012) Initial management and resuscitation of severe chest trauma. Emerg Med Clin North Am 30(2):377400, viiiix

6. Damian LC, Quazi FRCS, Kriban R et al (2011) Emergency operation for penetrating thoracic trauma in a metropolitan surgical service in South Africa. J Thoracic Cardiovasc Surg 142(3):563568.

7. Duan, Y., Smith, C.E., Como, J.J. 2000. Cardiothoracic Trauma on Trauma: Emergency Resuscitation, Perioperative Anesthesia, Surgical Management. Informa Healthcare (1): 469-486.

8. Eder F, Meyer F, Hurth C et al. 2011. Penetrating abdominothoracic injuries: report of four impressive, spectacular and representative cases as well as their challenging surgical management. Pol Przegl Chir 83(3):117122.9. Shikata H, Tsuchishima S, Sakamoto S et al. 2001. Recovery of an impalement and transfixion chest injury by a reinforcer steel bar. Ann Thorac Cardiovasc Surg 7(5):304306.10. Ruano, R.M., Pereira, B.M., Biazzoto, G., Bortoto, J.B., Fraga, G.P. 2013. Management of Severe Thoracic Impalement Trauma Against Two-Whelled Horse Carriage: A Case Report and Literature Review. Indian J Surg.

11. Ivatury RR. The injured heart. In: Mattox KL, Feliciano DV, Moore EE, eds. Trauma. 4th ed. New York: McGraw-Hill, 2000:545558.12. Upstate University Hospital. 2013. Trauma Guideline Manual. Upstate Medical University Trauma Center: 55-66.