28
BAB I PENDAHULUAN Gangguan Stres Pascatraumatik merupakan gangguan mental pada seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya.Dalam suatu dekade terakhir ini kita sering mendengar terjadinya kasus-kasus yang terjadi pasca bencana, kekerasan, baik itu kekerasan rumah tangga maupun bentuk kekerasan lainnya, serta berbagai bentuk peristiwa traumatik lainnya. Dari penelitian terkini didapatkan bahwa dalam kehidupannya seorang individu minimal akan mengalami satu peristiwa traumatik, dan 25% dari mereka yang tetap bertahan hidup dikatakan akan mengalami gangguan stres pasca trauma. Supaya pasien dapat diklasifikasikan sebagai penderita gangguan stres pascatraumatik, mereka harus mengalami suatu stres emosional yang besar yang akan traumatik bagi setiap orang. Gangguan stres pascatraumatik terdiri dari : Pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan ( waking thought ). 1

Pendahuluan Ptsd

Embed Size (px)

DESCRIPTION

1

Citation preview

Page 1: Pendahuluan Ptsd

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan Stres Pascatraumatik merupakan gangguan mental pada

seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam

kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya.Dalam

suatu dekade terakhir ini kita sering mendengar terjadinya kasus-kasus yang

terjadi pasca bencana, kekerasan, baik itu kekerasan rumah tangga maupun bentuk

kekerasan lainnya, serta berbagai bentuk peristiwa traumatik lainnya. Dari

penelitian terkini didapatkan bahwa dalam kehidupannya seorang individu

minimal akan mengalami satu peristiwa traumatik, dan 25% dari mereka yang

tetap bertahan hidup dikatakan akan mengalami gangguan stres pasca trauma.

Supaya pasien dapat diklasifikasikan sebagai penderita gangguan stres

pascatraumatik, mereka harus mengalami suatu stres emosional yang besar yang

akan traumatik bagi setiap orang.

Gangguan stres pascatraumatik terdiri dari :

Pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang

membangunkan ( waking thought ).

Penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan

penumpukan responsivitas pada penderita tersebut.

Kesadaran berlebihan ( hyperararousal ) yang persisten.

Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma

untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Gangguan

sangat mungkin terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami

gangguan ekonomi atau menarik diri secara sosial. Gangguan Stres Pasca Trauma

termasuk dalam gangguan cemas. Gangguan cemas disebabkan oleh situasi atau

obyek yang sebenarnya tidak membahayakan yang mengakibatkan situasi atau

obyek tersebut dihindari secara khusus atau dihadapi dengan perasaan terancam.

1

Page 2: Pendahuluan Ptsd

Perasaan tersebut tidak berkurang walaupun mengetahui bahwa orang lain

menganggap tidak berbahaya atau mengancam.

Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang berlebihan,

ketakutan, penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi

dan berfikir, gejala-gejala somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat, sesak

napas, jantung berdebar, serta dapat pula ditemui gejala gangguan persepsi seperti

depersonalisasi, derealisasi dan mungkin terdapat gejala yang lain.

Produktivitas individu yang mengalami gangguan stres pasca trauma akan

menurun. Mereka sering kali absen hingga kehilangan pekerjaan, kapasitas

mereka sebagai pencari nafkah pun akan menurun. Mereka lebih banyak

mengunjungi fasilitas-fasilitas kesehatan dalam upaya untuk mengatasi keluhan

dan penderitaan yang dialami. Dengan demikian dampak dari gangguan stres

pasca trauma tidak hanya pada individu yang mengalami, melainkan juga

meningkatkan beban bagi keluarga dan juga masyarakat pada umumnya.

2

Page 3: Pendahuluan Ptsd

BAB II

GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA

Definisi

Gangguan stres pasca trauma (posttraumatic stress disorder – PTSD)

adalah suatu sindrom yang timbul setelah sesorang melihat, terlibat di dalam, atau

mendengar stresor traumatik yang ekstrem. Seseorang bereaksi terhadap

pengalaman tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, secara menetap

menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat

hal itu. Untuk menegakkan diagnosis, gejala harus bertahan lebih dari satu bulan

setelah peristiwa dan harus memengaruhi area penting kehidupan secara

signifikan, seperti keluarga dan pekerjaan.

Gangguan Stress Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari :

1. Pengalaman trauma yang muncul kembali dalam mimpi atau pikiran-pikiran

waktu terjaga.

2. Emosi yang tumpul dalam kehidupan atau hubungan interpersonal

3. Terdapat gejala-gejala otonom yang tidak stabil, depresi dan gangguan

kognitif (seperti kesukaran konsentrasi)

Gangguan tersebut timbul apabila mengalami stres emosional / trauma psikologik

yang besar yang berada di luar batas - batas pengalaman manusia yang lazim.

Epidemiologi

Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi

umum walaupun tambahan 5 hingga 15 persen dapat mengalami bentuk subklinis

gangguan ini. Diantara kelompok risiko tinggi yang anggotanya mengalami

peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur hidupnya berkisar 5 hingga 75

persen. Prevalensi seumur hidup pada perempuan berkisar sekitar 10 hingga 12

persen dan 5 hingga 6 persen pada laki-laki. Walaupun PTSD dapat timbul pada

usia berapapun, gangguan ini paling prevalen pada dewasa muda karena mereka

3

Page 4: Pendahuluan Ptsd

cenderung lebih terpajan dengan situasi penginduksi. Anak juga dapat mengalami

gangguan ini. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan tipe trauma yang

memajankan mereka dan kecendrungan untuk mengalami PTSD. Prevalensi

seumur hidup secara bermakna lebih tinggi pada perempuan dan proporsi

perempuan yang terus mengalami gangguan ini lebih tinggi. Berdasarkan sejarah,

trauma laki-laki biasanya berupa pengalaman berperang dan trauma perempuan

paling lazim adalah kekerasan dan perkosaan. Gangguan ini lebih cendrung

terjadi pada orang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau tingkat

sosioekonomi yang rendah. Meskipun demikian, faktor resiko paling penting

gangguan ini adalah keparahan, durasi dan kedekatan pajanan seseorang dengan

trauma sebenarnya. Tampaknya terdapat pola familial untuk gangguan ini dan

kerabat biologis derajat pertama orang dengan riwayat depresi memiliki

peningkatan resiko untuk timbulnya PTSD setelah peristiwa traumatik.

Etiologi

Stresor

Terjadinya gangguan stres pasca trauma didahului oleh adanya suatu

stresor berat yang melampaui kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan

penderitaan bagi setiap orang. Kondisi psikologis seseorang sebelum mengalami

peristiwa traumatik tersebut akan berdampak terhadap respon yang ditimbulkan

sebagai akibat peristiwa tersebut.

Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan

stres pasca trauma adalah :

Adanya gangguang psikiatri sebelum trauma baik pada individu yang

bersangkutan maupun keluarganya

Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual

Kecendrungan unuk mudah menjadi khawatir

Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial

Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial ; adanya

problem berupa kesulitan untuk menyesuaikan diri

4

Page 5: Pendahuluan Ptsd

Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna

Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa

sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh

individu yang bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang

menimbulkan penderitaan bagi dirinya.

BAGAN STRES DAN STRES PASCA TRAUMA

Faktor psikodinamika

Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah

mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan.

Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan

penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan

(undoing). Menurut Freud, pemecahan kesadaran terjadi pada pasien yang

melaporkan riwayat trauma seksual masa kanak-kanak. Konflik yang sebelumnya

telah ada secara simbolis dibangkitkan kembali oleh peristiwa traumatik yang

baru. Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan

menurunkan kecemasan. Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat

bertahan hidup dari trauma psikis yang parah telah menemukan aleksitimia, yaitu

5

Page 6: Pendahuluan Ptsd

ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau mengungkapakan keadaaan

perasaan sebagai ciri yang umum. Jika trauma psikis terjadi pada masa anak-

anak, biasanya dihasilkan perhentian perkembangan emosional. Jika trauma

terjadi pada masa dewasa, regresi emosional sering kali terjadi. Mereka tidak

mampu menenangkan dirinya jika dalam keadaan stres.

Faktor prilaku-kognitif

Model kognitif PTSD membuat postulat bahwa orang yang mengalaminya

tidak mampu memroses atau merasionalisasikan trauma yang mencetuskan

gangguan ini. Mereka terus mengalami stres dan berupaya menghindari

mengalami hal itu dengan teknik penghindaran. Konsisten dengan kemampuan

parsial mereka menghadapi peristiwa tersebut secara kognitif, orang tersebut

mengalami periode bergantian antara memahami dan memblok peristiwa. Upaya

otak untuk memproses jumlah informasi yang banyak yang dicetuskan trauma

dianggap menimbulkan periode bergantian antara memahami dan memblok

peristiwa.

Model perilaku PTSD menekankan adanya dua fase didalam

perkembangannya. Pertama, trauma ( stimulus yang tidak dipelajari ), yang

menimbulkan respon akut, dipasangkan melalui pembelajaran klasik, dengan

stimulus yang dipelajari ( pengingat fisik atau mental terhadap trauma, seperti

penglihatan, bau, atau suara). Kedua, melalui pembelajaran instrumental, stimulus

yang dipelajari mencetuskan respon takut yang bebas dari stimulus asal yang tidak

dipelajari, dan orang mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang

dipelajari maupun stimulus yang tidak dipelajari.

Faktor Biologis

Gejala-gejala gangguan stres pasca trauma timbul sebagai akibat dari

respons biologik dan juga psikologik seorang individu, kondisi ini terjadi oleh

karena aktivasi dari beberapa sistim di otak yang berkaitan dengan timbulnya

perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang

traumatik akan menimbulkan respon takut sehingga otak dengan sendirinya akan

6

Page 7: Pendahuluan Ptsd

menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu

respon perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak

yang sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa

neurotransmiter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang

menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh

untuk menghadapi peristiwa tersebut. Dalam waktu beberapa milidetik setelah

mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan segera akan bereaksi dengan

memberikan stimulus berupa tanda darurat kepada :

1. Sistem saraf simpatis ( ketokolamin )

2. Sistem saraf parasimpatis

3. Aksis hipotalamus-hipofisi-kelenjer adrenal (aksis HPA)

Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah

mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung

dan tekanan darah. Kondisi ini disebut sebagai reaksi “ fight or flight reaction “.

Reaksi ini juga meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot

skeletal sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa

tersebut atau jika mugkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang

optimal. Reaksi sistem saraf parasimpatis berupa membatasi reaksi sistem saraf

simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respon ini bekerja secara bebas dan

tidak berkaitan dengan respon yang diberikan oleh sistem saraf simpatis. Aksis

HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang

berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarakan

Cortico Releasing Factor (CRF) dan beberapa neuropetida regulator lainnya,

sehingga kelenjer hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran

adenocorticotropic hormon (ACTH) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran

hormon kortisol dari kelenjer adrenal.

Jika sesorang mengalami tekanan, maka tubuh secara alamiah akan

meningkatkan pemgeluaran ketokolamin dan hormon kortisol, pengeluaran kedua

zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Ketokolamin

berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh

dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam

7

Page 8: Pendahuluan Ptsd

menghentikan aktivasi sistem saraf simpatis dan beberapa sistem tubuh yang

bersifat defensif yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh

individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses

terminasi dari respon tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon

kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.

Gambaran klinis dan Diagnosis

Gambaran klinis utama dari gangguan stres pascatraumatik adalah

pengalaman ulang peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan

kekakuan emosional dan kesadaran yang berlebihan yang hampir tetap. Gangguan

mungkin tidak berkembang sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah

peristiwa. Pemeriksaaan status mental seringkali mengungkapkan rasa bersalah,

penolakan dan penghinaan. Pasien mungkin juga menggambarkan keadaan

disosiatif dan serangan panik. Ilusi dan halusinasi mungkin ditemukan. Tes

kognitif mungkin mengungkapkan bahwa pasien memiliki gangguan daya ingat

dan perhatian.

Gejala penyerta dapat berupa agresi, kekerasan , pengendalian impuls yang

buruk dan depresi. Berbagai ciri anti sosial mungkin ditemukan termasuk

penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol dan obat, perasaan bersalah yang

menonjol, insomnia, ilusi dan halusinasi, disosiasi, serangan panik, agresi,

kekerasan dan gangguan daya ingat serta gangguan memusatkan perhatian

(konsentrasi).

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut DSM 5:

A. Terdapat pada kejadian yang mengancam nyawa, luka serius, atau korban

seksual, dengan cara :

1. Mengalami langsung kejadian yang membuat trauma

2. Saksi atas kejadian yang terjadi pada orang lain

8

Page 9: Pendahuluan Ptsd

3. Mempelajari trauma yang terjadi pada keluarga dekat atau teman

dekat, dalam kasus kematian keluarga atau teman dekat, kejadian

dalam kekerasan atau kecelakaan

4. Pengalaman berulang atau exspose ekstrim terhadap penghindaran

suatu detail traumatik

Seperti contoh : petugas polisi berulang kali terexspose terhadap detail

dari kekerasan pada anak

B. Adanya satu atau lebih gejala interusi yang berhubungan dengan kejadian

traumatik, dimulai setelah kejadian tersebut muncul

1. Recurent, involunter dan memori yang tiba-tiba yang menyakitkan dari

kejadian traumatik.

2. Mimpi yang menyakitkan dan berulang dimana isinya dan atau afek

dari mimpi berhubungan dengan kejadian traumatik.

3. Reaksi disosiatif ( contoh : flasback) dimana individu merasa atau

bertingkah seperti saat kejadian traumatik muncul (reaksi ini dapat

muncul secara terus menerus dengan ekspresi paling ekstrem berupa

perasaan asing dengan lingkungan sekitar.

4. Stres psikis yang lama dan intens terhadap sinyal internal dan eksternal

yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek dari kejadian

traumatis.

5. Reaksi psikis khas terhadap sinyal internal dan eksternal yang

menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek dari kejadian traumatis

C. Penghindaran persisten terhadap stimulus yang berhubungan dengan

kejadian traumatis, dimulai setelah kejadian tersebut muncul ditandai satu

atau dua poin berikut :

1. Penghindaran atau usaha menghindari memori menyakitkan, pikiran

atau perasaan yang berhubungan atau mirip dengan kejadian traumatik

2. Penghindaran atau usaha menghindari faktor eksterna yang

mengingatkan ( orang, tempat, percakapan, aktivitas, benda, situasi )

yang membangkitkan memori pikiran atau perasaan yang berhubungan

atau mirip dengan kejadian traumatik

9

Page 10: Pendahuluan Ptsd

D. Perubahan negatif pada kognisi dan mood berhubungan dengan kejadian

traumatis dimulai atau memburuk setelah kejadian muncul ditandai dua

atau lebih dari poin berikut :

1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari kejadian

traumatis ( biasanya dikarenakan amnesia disosiatif dan bukan karena

faktor lain seperti trauma kepala, alkohol, atau obat-obatan)

2. Keyakinan negatif yang berlebihan dan persisten atau ekspetasi

mengenai diri sendiri, orang lain atau dunia (contohnya : “aku tidak

baik”, “semua orang tidak dapat dipercaya”, “dunia itu tempat yang

sangat berbahaya”, “sistem saraf ku sudah rusak permanen”

3. Kognisi kacau yang persisten mengenai sebab atau konsekuensi dari

kejadian traumatis yang menyebabkan individu menyalahkan dirinya

atau orang lain

4. Tingkatan emosi negatif yang persisten (takut, menyeramkan, marah,

merasa bersalah atau malu)

5. Kurangnya partisipasi yang mencolok pada berbagai aktivitas

6. Perasaan bergantung atau asing terhadap orang lain

7. Ketidakmampuan persisten untuk mengalami emosi positif

(ketidakmampuan untuk merasa bahagia, puas, atau dicintai)

E. Perubahan mencolok pada rangsangan dan reaktivitas yang berhubungan

dengan kejadian traumatis, dimulai atau memburuk setelah kejadian itu

muncul, ditandai dengan satu atau lebih poin berikut :

1. Perilaku iritabel dan kemarahan yang meluap (dengan sedikit atau

tanpa provokosi) biasanya diekspresikan secara verbal atau fisik

terhadap orang atau benda.

2. Prilaku ceroboh atau merugikan diri sendiri

3. Curiga berlebihan

4. Respon kaget berlebih

5. Susah konsentrasi

6. Gangguan tidur (susah untuk mulai atau mempertahan tidur)

F. Durasi dari gangguan kriteria B,C,D,E lebih dari satu bulan

10

Page 11: Pendahuluan Ptsd

G. Gangguan menyebabkan hendaya sosial okupasional atau area penting

lainnya

H. Gangguan bukan disebabkan karena keadaan medis atau alkohol

Perjalanan penyakit dan Prognosis

Gangguan stres pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu

setelah trauma, dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat

berfluktuasi dengan berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode

stres. Kira-kira 30% pasien piulih secara lengkap, 40% terus menderita gejala

ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau

menjadi buruk.

Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala

yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan

sosial yang kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan

zat lainnya.

Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih

banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam

usia pertengahan. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu

gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan

efek stresor tertentu.

Tersedinya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan,

keparahan dan durasi gangguan stres pasca traumatik. Pada umumnya, pasien

yang mendapat dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak mengalami

gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parah.

11

Page 12: Pendahuluan Ptsd

Diagnosis Banding

Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik

dengan kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma.

Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau

mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol dan

gangguan yang berhubungan dengan zat lainnya.

Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan

gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai

efek zat hilang.

Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis

sebagai gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat.

Klinisi harus mempertimbangkan gangguan stres pascatraumatik pada pasien yang

menderita gangguan nyeri (pain disorder), penyalahgunaan zat, gangguan

kecemasan lain, dan gangguan mood.

Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari

gangguan mental organik dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa

traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini.

Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan atau

berpura-pura juga harus dipertimbangkan.

Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dari gangguan

stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau

bahkan saling berhubungan sebab akibat.

Gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar,

kesadaran berlebih otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien

gangguan stres pascatraumatik.

Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stres

pascatraumatik dalam berita populer, klinisi harus juga mempertimbangkan

kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura – pura.

12

Page 13: Pendahuluan Ptsd

Penatalaksanaan

Ketika klinisi menghadapi pasien yang telah mengalami trauma bermakna,

pendekatan utamanya adalah dukungan, dorongan untuk mendiskusikan peristiwa

tersebut, dan edukasi mengenai berbagai mekanisme koping (contohnya

relaksasi). Penggunaan sedatif dan hipnotik juga dapat membantu. Ketika pasien

mengalami peristiwa traumatik di masa lalu dan sekarang memiliki PTSD,

penekanan harus pada edukasi mengenai gangguan dan terapinya, baik

farmakologis maupun psikoterapeutik. Klinisi juga harus bekerja untuk

menghilangkan stigma pada penyakit jiwa dan PTSD.

Farmakoterapi

Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), seperti sertralin (zoloft) dan

paroksetin (paxil) dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD

karena efektivitas, tolerabilitas, dan tingkat keamanannya. SSRI mengurangi

gejala semua kelompok gejala PTSD dan efektif dalam memperbaiki gejala PTSD

yang khas, tidak hanya gejala yang serupa dengan depresi atau gangguan ansietas

lain.

Efektivitas imipramin (Tofranil) dan amitriptilin (Elavil), dua obat

trisiklik, untuk terapi PTSD didukung oleh sejumlah percobaan klinis yang

terkontrol baik. Walaupun beberapa percobaan kedua obat tersebut memberikan

temuan negatif, sebagian besar percobaan ini memiliki kecacatan desain yang

serius, termasuk durasi yang terlalu sngkat. Dosis imipramin dan amitriptilin

harus sama dengan dosis yang digunakan untuk mengobati gangguan depresif,

dan lama minimum suatu percobaan yang adekuat adalah 8 minggu. Pasien yang

memberikan respon baik mungkin harus meneruskan farmakoterapi sedikitnya

satu tahun sebelum dicoba penghentian obat. Sejumlah studi menunjukkan bahwa

farmakoterapi lebih efektif dalam tatalaksana depresi, ansietas, dan hyperarousal,

dari pada tatalaksana penghindaran, penyangkalan, dan maupun emosional.

Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah monoamine

oxidase inhibitors (MAOI) (cth: fenelzin (Nardil), trazodon (Desyrel), dan

13

Page 14: Pendahuluan Ptsd

antikonvulsan (contohnya karbamazepin (Tegretol) dan valproat (depakene).

Sejumlah studi juga mengungkapkan perbaikan PTSD pada pasien yang diberikan

reversible monoamine oxidase inhibitors (RIMA) seperti brofaromin. Penggunaan

klonidin (Catapres) dan propanolol (Inderal), yang merupakan agen

antiadrenergik, diajukan oleh teori mengenai hiperaktivitas noradrenergik pada

gangguan ini. Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik

pada gangguan ini sehingga penggunaan obat ini contohnya haloperidol (Haldol)

harus dicadangkan untuk kontrol jangka pendek agresi dan agitasi berat.

Psikoterapi

Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien

ketakutan akan pengalaman ulang trauma. Rekosntruksi peristiwa traumatik

dengan abreaksi dan katarsis yang menyertai mungkin bersifat terapeutik.

Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik adalah

terapi perilaku, terapi kognitif dan hipnosis. Banyak klinisi menganjurkan

psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan

pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan. Sifat jangka

pendek dari psikoterapi menekan risiko ketergantungan dan kronisitas. Masalah

kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan seringkali merugikan kepatuhan. Ahli

terapi harus mengatasi penyangkalan pasien tentang peristiwa traumatik,

mendorong mereka untuk santai, dan mengeluarkan mereka dari sumber stress.

Pasien harus didorong untuk tidur, menggunakan medikasi jika dilakukan.

Dukungan dari lingkungan (seperti teman-teman dan sanak saudara) harus

disediakan. Pasien harus didorong untuk mengingat dan melepaskan perasaan

emosional yang berhubungan dengan peristiwa traumatik dan merencanakan

pemulihan di masa depan.

Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti suatu model

intervensi krisis dengan dukungan, pendidikan, dan perkembangan mekanisme

mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika gangguan stress pascatraumatik telah

berkembang, dua pendekatan psikoterapetik utama dapat diambil. Pertama adalah

pemaparan dengan peristiwa traumatik melalui teknik pembayangan (imaginal

14

Page 15: Pendahuluan Ptsd

technique) atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti pada terapi

implosif, atau bertahap. Seperti pada desensitisasi sitematik. Pendekatan kedua

adalah mengajarkan pasien metoda penatalaksanaan kognitif untuk mengatasi

stres, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif. Beberapa data awal

menyatakan bahwa, walaupun teknik penatalaksanaan stress adalah efektif lebih

cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik pemaparan adalah lebih

lama.

Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga

telah dilaporkan efektif pada kasus gangguan stres pascatraumatik. Keuntungan

terapi kelompok adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik dan mendapatkan

dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok telah berhasil pada

veteran Vietnam. Terapi keluarga seringkali membantu mempertahankan suatu

perkawinan melalui periode gejala yang mengalami eksaserbasi. Perawatan di

rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala adalah cukup parah atau jika terdapat

risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya.

15

Page 16: Pendahuluan Ptsd

BAB III

KESIMPULAN

Gangguan Stres Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari :

1. Pengalaman tentang trauma melalui mimpi dan pikiran yang datang runtun

beruntun

2. penghindaran terhadap trauma dan

3. kesadaran berlebihan yang persisten sifatnya

Prevalensi gangguan stres pascatraumatik pada masyarakat umum yaitu

0,5% untuk pria dan 1,2% untuk wanita. Anak-anak dapat mengalami gangguan

tersebut.

Etiologi dari gangguan stres pascatraumatik antara lain :

1. Stresor

2. Faktor psikodinamik

3. Faktor biologis

4. Stresor merupakan penyebab utama dalam perkembangan gangguan stress

pascatrauma.

DSM-5 menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang, menghindar, dan

kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari satu bulan.

Bagi pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis

yang tepat adalah gangguan stress akut.

Kriteria diagnostik DSM-5 untuk gangguan stress pascatraumatik

memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika gejala

berlangsung kurang dari tiga bulan) atau kronis (lebih dari tiga bulan).

Manfaat Imipramin dan Amitriptilin, dua obat Trisiklik, dalam pengobatan

gangguan stress pascatraumatik didukung oleh sejumlah uji coba klinisi terkontrol

baik.

16

Page 17: Pendahuluan Ptsd

Obat lain yang mungkin berguna dalam pengobatan gangguan stress

pascatraumatik adalah Serotonin-Specific Reuptake Inhibitors (SSRI), Mono-

Amine Oxidase Inhibitors (MAOI), dan anti konvulsan (carbamazepin). Clonidin

dan Propanol dianjurkan.

Intervensi psikodinamika untuk gangguan stress pascatraumatik adalah

terapi perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan

psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan

pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan.

Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien

ketakutan akan pengalaman ulang trauma.

Psikoterapi setelah peristiwa traumatic harus mengikuti suatu model

intervensi krisis dengan dukungan pendidikan, dan perkembangan mekanisme

mengatasi dan penerimaan peristiwa.

Jika gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan

psikoterapi utama dapat diambil.

Pertama adalah pemaparan engan peristiwa traumatic melalui teknik

pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan invivo. Pemaparan dapat

menjadi kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap, seperti pada desentisasi

sistemik.

Pendekatan kedua adalah dengan cara mengajarkan kepada pasien metode

pelaksanaan stress, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk

mengatasi stress.

17

Page 18: Pendahuluan Ptsd

DAFTAR PUSTAKA

Andreasen. N.C and Black. D.W, 2001, “Introductory Textbook of Psychiatry. 3 rd

ed, British Libarry, USA: 335-342.

Elvira S, Hadisukanto G: Buku Ajar Psikiatri, Edisi 2, FKUI, Jakarta 2013

Ibrahim A. S : Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, PT. Dian Ariesta,Jakarta,

2003

Kaplan, Sadock : Buku Ajar Psikiatri Klinis, Edisi 2, EGC, Jakarta, 2010

Maslim R : Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, FK Unika Atma Jaya, jakarta,

2013

18