Upload
chicaygm
View
219
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
307
PENERAPAN HAZARD ANALYSIS AND CRITICAL CONTROL POINTS (HACCP) PADA PROSES PEMERAHAN SUSU SAPI
DI TINGKAT PETERNAK (KASUS KOPERASI SUSU SARWAMUKTI KEC. CISARUA KAB. BANDUNG
TAHUN 2005)
(Application of Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) on The Milking Process at The Farmer Level: A Case Study at The Milk
Cooperative Sarwamutki Cisarua District Bandung Regency During Year 2005)
WIDANINGRUM1, SRI USMIATI1 dan ABUBAKAR1
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114
ABSTRACT
Cow’s milk contain complete nutrients for human consumption, especially for children growth and elderly people to maintain their body health. The good nutrients condition in milk laso gives a good opportunity for bacteria to grow. A Case study at small scale milk enterprise (KUD) Sarwamukti in District Cisarua, Bandung Regency during year 2005 showed that the Total Plate Count (TPC) in milk collectors and KUD levels were more than 1 million CFU/ml. After HACCP had been done in milking process and the breeders had done good SOP (Standar Operational Procedure), a significant result has been obtained in reducing TPC in milk. TPC in milk are reduced from 4,62 x 106 CFU/ml and 4,27 x 106 CFU/ml to 1,60 x 106 CFU/ml and 1,58 x 106 CFU/ml. The arrangement of HACCP plan in small scale milk enterprise production is based on 7 principles and 12 steps of HACCP system guidelines. Result showed that critical control points at the milking process are at beginning stage of milking, milking operator preparation, cow’s udder cleaning, distance and time of milking, and cow’s nipple sterilization.
Key Words: HACCP, Milking Process, TPC, Cow’s Milk
ABSTRAK
Susu mengandung zat gizi yang lengkap untuk konsumsi manusia. Kondisi zat gizi yang baik pada susu memberi peluang yang baik bagi pertumbuhan mikroba terutama bakteri. Studi kasus di Koperasi Susu Sapi (KUD) Sarwamukti di Kec. Lembang Kab. Bandung pada tahun 2005 menunjukkan bahwa angka Total Plate Count (TPC) susu di tingkat pengumpul dan koperasi masih mencapai angka diatas satu juta CFU/ml. Setelah rancangan HACCP dan dilaksanakannya SOP (Standar Operational Procedure) secara benar oleh para peternak dalam kegiatan pemerahan dan penanganan susu, diperoleh hasil yang signifikan dalam penurunan jumlah TPC, yaitu dari 4,62 x 106 CFU/ml dan 4,27 x 106 CFU/ml menjadi 1,60 x 106 CFU/ml dan 1,58 x 106 CFU/ml. Penyusunan rancangan HACCP ini berdasarkan pada 7 prinsip dan 12 langkah dalam sistem panduan HACCP. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa titik kritis pada proses pemerahan susu sapi adalah pada tahap pemerahan awal, persiapan operator pemerah, pembersihan ambing, jarak dan waktu pemerahan, serta sucihama puting.
Kata Kunci: HACCP, Proses Pemerahan, TPC, Susu Sapi
PENDAHULUAN
Populasi sapi perah di Indonesia sebagian besar merupakan peternakan rakyat. Umumnya peternak hanya memiliki 3 – 4 ekor sapi/KK.
Pada tahun 2001, dari 521.000 ton susu dari peternakan rakyat disalurkan oleh koperasi susu ke IPS (Industri Pengolahan Susu) sebesar 95% dan 5% sisanya diserap oleh konsumen lokal dalam bentuk susu segar, susu
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
308
pasteurisasi, serta produk olahan susu seperti keju, es krim, yoghurt, karamel, dodol, kerupuk, dan sebagainya (ANONIMUS, 2005).
Susu sapi adalah hasil sekresi kelenjar ambing ternak sapi yang mengandung gizi yang lengkap seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin. Kondisi zat gizi yang baik ini memberi peluang bagi pertumbuhan mikroba seperti bakteri, kapang dan khamir. Pertumbuhan berbagai mikroba tersebut dapat merubah mutu susu yang ditandai dengan perubahan rasa, aroma, warna dan penampakan yang menyebabkan susu tersebut menjadi rusak (ANONIMUS, 2001).
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari berbagai literatur dan beberapa laporan penelitian, mutu susu di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini ditandai oleh berat jenis (BJ) yang rendah, serta kadar protein dan lemak kurang dari 3%. Standar SNI dan Codex menetapkan BJ susu minimal 1,0280 dan kadar lemak serta kadar protein lebih besar dari 3%. Diinformasikan pula bahwa nilai TPC (Total Plate Count = jumlah total bakteri) pada susu di tingkat koperasi susu Indonesia masih tinggi (lebih dari 1 juta CFU*/ml). Jumlah ini tidak sesuai dengan standar SNI dan Codex yang menetapkan batas maksimum TPC pada susu adalah 1 juta CFU/ml.
Menurut DONALDSON (1997), susu segar memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit kuku dan mulut (FMD = Foot and Mouth Disease) pada sapi, terutama apabila sapi tidak dipelihara kesehatannya, diantaranya sapi perah tidak divaksin secara rutin. TERBRUGGEN (1932) dalam DONALDSON (1997) menyebutkan bahwa hidup tidaknya virus penyakit kuku dan mulut yang terdapat pada susu segar tersebut tergantung pada suhu susu segar setelah diperah, jumlah bakteri yang terdapat pada susu, dan pH susu.
Di Indonesia sendiri, ditinjau dari jumlah total bakteri yang masih cukup tinggi, mutu dan keamanan susu yang rendah berdampak terhadap penurunan pendapatan peternak sapi karena kemungkinan ditolaknya susu rakyat oleh koperasi atau IPS. Penolakan ini disebabkan oleh susu yang pecah dan rusak serta tidak aman untuk dikonsumsi. Masalah ini memberatkan para peternak karena adanya peraturan IPS yang memberlakukan penolakan susu dari koperasi yang disebabkan tingginya
nilai TPC. Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi kualitas susu sapi antara lain jenis ternak, waktu pemerahan, urutan pemerahan, faktor musim, umur sapi, penyakit, pakan dan faktor pemalsuan susu, kegiatan bakteri, dan sebagainya.
Industri pengolahan susu (IPS) sebagai pasar utama susu rakyat sejauh ini masih menjadi andalan peternak dalam pemasaran susu. Adanya SKB 3 Menteri tahun 1982 dan dikukuhkan melalui Inpres No. 2 tahun 1985 tentang kebijakan rasio susu yang mengharuskan IPS menampung susu rakyat dari koperasi memberikan kekuatan bagi peternak. Namun adanya masalah mutu dan keamanan pangan susu serta pencabutan SKB 3 Menteri melalui Inpres No. 4 tahun 1988 membawa susu rakyat pada masalah pemasaran susu. Saat ini, IPS masih mengandalkan bahan baku susu sapi impor dari luar negeri, dan bersedia menerima susu rakyat atas dasar kemitraan, bukan lagi merupakan suatu keharusan (ANONIMUS, 2001). Hal ini meresahkan koperasi susu, terutama peternakan rakyat (KOMPAS, 2004 dalam ANONIMUS, 2005).
Pada tahun 2004 telah dilakukan penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian dalam mengkaji mutu susu rakyat di koperasi susu Sarwamukti-Lembang Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu susu yang dianalisa dari sampel yang diperoleh dari para peternak di koperasi tersebut rata-rata memiliki nilai yang masih memenuhi syarat mutu yang diajukan oleh IPS, SNI tahun 1998 dan 2000 maupun Codex, kecuali nilai TPC yang masih tinggi (lebih dari 10 juta CFU/ml susu).
Berdasarkan data tersebut, dipandang perlu untuk memonitor sejauh mana SOP pemerahan susu di tingkat peternak telah dilakukan dengan baik oleh para peternak. Selain itu, dipandang perlu juga untuk menetapkan titik-titik kritis apa saja yang perlu dikontrol yang terdapat dalam tahap pemerahan sehingga dapat diketahui bagian mana saja dalam SOP pemerahan yang seringkali diabaikan oleh para peternak dan perlunya disosialisasikan kembali SOP tersebut kepada para peternak agar dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga susu sapi yang dihasilkan dapat benar-benar aman ditinjau dari kandungan TPC-nya.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
309
Penetapan titik-titik kritis dilakukan berdasarkan konsep Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) yang telah banyak dilakukan di berbagai negara dan telah menjadi salah satu alat pengawasan yang berdasarkan prinsip pencegahan. Konsep ini telah banyak diterapkan pada industri pangan. Konsep ini didasarkan atas kesadaran dan pengertian bahwa bahaya akan timbul pada berbagai titik/tahapan produksi, namun upaya pengendalian dapat dilakukan untuk mengontrol bahaya tersebut. Melalui Badan Standarisasi Nasional (BSN) pemerintah Indonesia juga telah mengadaptasi konsep HACCP menjadi SNI 01-4852-1998 beserta pedoman penerapannya untuk diaplikasikan pada berbagai industri pangan di Indonesia.
Menurut SNI 01-4852-1998, HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points) adalah piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir (end product testing) atau suatu sistem pencegahan untuk keamanan pangan. HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipandu oleh bukti secara ilmiah terhadap resiko kesehatan manusia. Sistem HACCP bukan merupakan suatu jaminan keamanan pangan yang zero-risk (tanpa resiko), tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan pangan. Pada tahun 1985 HACCP dicobakan dalam inspeksi daging dan ternak.
Untuk memperoleh susu yang bermutu tinggi di tingkat peternak diperlukan manajemen yang baik disamping sanitasi alat-alat operasional pemerahan, sanitasi lingkungan (pakan, kandang dan operator), kebersihan dan kesehatan ternak, serta kebersihan sumber air. Penerapan HACCP pada keseluruhan tahap proses pemerahan susu merupakan usaha perbaikan manajemen penanganan susu sehingga diharapkan langkah-langkah tersebut secara perlahan dapat memperbaiki mutu dan keamanan susu di tingkat peternak lokal yang dapat berkontribusi maksimal terhadap produksi susu nasional. Tabel 1 menunjukkan persyaratan mutu susu berdasarkan SNI dan Direktorat Jenderal Peternakan atas nilai TPC dan cemaran mikrobiologis patogen.
Tabel 1. Syarat mutu susu
Komponen Syarata Syaratb
Cemaran mikroba, maksimum:
Total kuman Salmonella E. coli (patogen) Coliform Streptococcus Group B Staphylococcus aureus
3 juta CFU/ml - - - - -
1 juta CFU/ml Negatif Negatif 20 CFU/ml Negatif 1 x 102
CFU/ml Kuman patogen dan benda asing
Negatif Negatif
Jumlah sel radang maksimum
- 4 x 105 CFU/ml
a Direktorat Jenderal Peternakan No. 17/KPTS/PJP/DEPTAN/93
b SNI 01-3141-1998
DAWSON (1970) dalam DONALDSON (1997) memperoleh bukti bahwa pendistribusian susu segar pertama kali (dari peternak ke pengumpul/kolektor) selama terjadi kejadian berjangkitnya penyakit kuku dan mulut di Inggris pada periode tahun 1967 – 1968 (dan menjadi epidemik saat itu) merupakan penyebab utama penyebaran berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang terdapat pada susu apabila susu segar yang baru diperah sudah terinfeksi virus. Susu segar yang sudah terinfeksi virus tersebut dengan mudah menularkannya kepada susu-susu lain yang sehat ketika dikumpulkan bersama-sama di tempat pengumpulan. Oleh karena itulah, penanganan susu segar pertama kali yang dimulai dari tahap persiapan pemerahan dan pemerahan itu sendiri menjadi tahap yang paling penting. Hal yang demikian berlaku pula di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Tujuan penelitian adalah mendapatkan titik-titik kritis dalam 3 (tiga) tahapan kegiatan pemerahan susu (sebelum, saat dan sesudah) dengan melihat kondisi lingkungan sekitar sapi perah (kandang, kebersihan air dan alat-alat pendukung pemerahan) sebagai dasar dalam pelaksanaan SOP (Standar Operational Procedure) secara benar sehingga nilai TPC susu dapat menurun.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
310
MATERI DAN METODE
Rancangan HACCP disusun dalam kegiatan pemerahan susu, agar dihasilkan mutu dan keamanan pangan susu yang baik. Penetapan titik-titik kritis ini dilakukan dengan asumsi sapi perah dalam keadaan sehat, sumber air bersih, kualitas pakan baik/tidak tercemar, lingkungan di luar kandang bersih, serta operator dalam keadaan sehat sehingga keamanan susu hanya dipengaruhi oleh proses pemerahan dan kebersihan lingkungan di dalam kandang serta alat-alat yang digunakan dalam proses pemerahan.
Studi HACCP pada proses pemerahan susu pada peternak menggunakan Panduan Penyusunan Rancana HACCP (BSN-Pedoman 1004 – 1999). Alat bantu yang digunakan adalah daftar bahan baku dan bahan penunjang, bagan alir proses produksi, tabel penentuan tingkat resiko dan CCP decision tree (pohon keputusan CCP). Sedangkan proses penyusunannya mengikuti tujuh prinsip sistem HACCP yang direkomendasikan oleh STANDAR NASIONAL INDONESIA (1998) yang dikeluarkan oleh BSN (1999), meliputi analisis bahaya dan pencegahannya, identifikasi Critical Control Points (CCPs) dalam proses, penetapan batas
P1. P2. P3. P4.
Gambar 1. CCP Decision Tree (diagram pohon keputusan CCP)
Sumber: WINARNO (2002)
Adakah tindakan pencegahan?
Ya Tidak
Apakah pencegahan pada tahap ini perlu untuk keamanan pangan?
Tidak
Apakah tahapan dirancang spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai level yang dapat diterima?
Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi tingkatan yang dapat diterima atau dapatkan ini meningkat sampai tingkatan yang tidak dapat diterima?
Ya Tidak Bukan CCP Berhenti
Akankah tahapan berikutnya menghilangkan atau mengurangi bahaya yang teridentifikasi sampai level yang dapat diterima?
Ya Tidak Tidak
Ya
Bukan CCP Berhenti
Ya
Lakukan modifikasi tahapan dalam proses atau produk?
Tidak
Bukan CCP Berhenti
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
311
kritis untuk setiap CCP, penetapan cara pemantauan CCP, penetapan tindakan koreksi, penyusunan prosedur verifikasi dan penetapan prosedur pencatatan (dokumentasi). Setiap bahan baku dan tahap proses ditentukan termasuk CCP atau tidak, atau hanya CP melalui pertimbangan tingkat resiko dan berdasarkan jawaban atas pertanyaan dari CCP decision tree (Gambar 1).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut WINARNO (2002), produk-produk kategori resiko tinggi ada tiga jenis, yaitu i) Produk-produk yang mengandung ikan, telur, sayur, serealia dan atau berkomposisi susu yang perlu didinginkan, ii) Daging segar, ikan mentah dan susu serta produk-produk olahan susu, serta iii) Produk-produk dengan nilai pH 4,6 atau lebih yang disterilisasi dalam wadah yang ditutup secara hermetis. Dalam hal ini, susu segar termasuk dalam kategori resiko tinggi sehingga keamanannya merupakan hal penting yang mutlak harus diperhatikan dengan ketat dan terjaga.
Analisis CCP bahan baku
Dalam proses pemerahan susu, hanya ada satu bahan baku yang dianalisis bahayanya, yaitu sapi perah (Tabel 2). Sapi perah mungkin mengandung bahaya fisik yang terlihat oleh mata yaitu debu atau tanah yang menempel pada permukaan tubuh sapi, dan bahaya mikrobiologi dari bakteri patogen atau pembusuk pada kotoran-kotoran tersebut. Oleh karena itu pada sapi perah yang pertama kali masuk ke peternakan atau yang akan diperlah, wajib untuk dilakukan pengecekan kondisi kesehatan dan kebersihan sapi yang bersangkutan dan diperiksa pula dokumen pendukung tentang asal-usul sapi, penyakit yang mungkin pernah diderita serta pakan yang biasa diberikan, apakah tercemar atau tidak, dan sebagainya.
Analisis proses pemerahan susu
Analisis bahaya pada proses pemerahan susu sapi dilakukan berurutan sesuai diagram alir proses pemerahan susu sapi (Gambar 2).
1. Kegiatan sebelum pemerahan
Menyediakan sarana pemerahan.........................................CP1 ↓
Membersihkan kandang…….................…........................CP2 ↓
Persiapan pemerah………............………………............CP3 ↓
Membersihkan ambing..…….......……………….......….CP4 ↓
Pemerahan awal…………...............................................CCP1
2. Pemerahan Atur: Jarak dan waktu pemerahan …………………………………….............CP5
3. Kegiatan setelah pemerahan Suci hama puting……..…………………CP6
↓ Mencatat produksi susu
↓ Menyaring susu................................................CCP2
↓ Menyimpan susu pada wadah yang diisi air dingin (Pendinginan)................CCP3
↓ Mengumpulkan susu ke TPS...................................CCP4
Gambar 2. Bagan alir proses pemerahan susu sapi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
312
Tahapan proses pemerahan susu sapi meliputi tiga kegiatan yaitu; (A) Kegiatan sebelum pemerahan, (B) Kegiatan saat pemerahan dan (C) Kegiatan setelah pemerahan. Kegiatan sebelum pemerahan meliputi menyediakan sarana pemerahan, membersihkan kandang, memandikan sapi, persiapan operator pemerah, membersihkan ambing dan pemerahan awal yaitu membuang 3 – 4 pancaran susu pertama yang keluar dari sapi yang potensial mengandung mikroorganisme dari sisa pemerahan sebelumnya. Analisis bahaya yang mungkin terjadi pada proses pemerahan susu sapi dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan pertimbangan tingkat resiko dan jawaban atas empat pertanyaan CCP decision tree (Gambar 1), pada tahap proses pemerahan ditetapkan 4 (empat) tahapan yang termasuk CCP dan 5 (lima) tahapan yang termasuk CP.
Berdasarkan Tabel 4 pemerahan awal menjadi CCP, penting dilakukan untuk membersihkan residu susu kotor yang tidak terbuang dan kemungkinan besar telah terkontaminasi mikroorganisme. Batas kritis pada tahap ini adalah sempurnanya pembuangan 3 – 4 pancaran susu pertama awal pemerahan yang merupakan susu kotor sisa pemerahan sebelumnya. Penyaringan susu juga menjadi CCP karena bertujuan untuk menghilangkan kontaminasi terutama kontaminasi fisik benda asing, kotoran seperti batu kerikil kecil pada ember dan lain-lain dengan batas kritis susu yang bersih, bebas dari kontaminasi benda asing. Tahap selanjutnya menyimpan susu pada wadah yang diisi air dingin untuk mendinginkan atau menurunkan suhu susu. Tahap pendinginan merupakan CCP dilakukan untuk mencegah bakteri berkembang dengan cepat saat susu belum disetorkan ke pengumpul atau koperasi. Batas kritis tahap ini adalah susu yang bebas dari mikroba patogen, atau hanya mengandung sedikit mikroba pembusuk. Hal ini ditandai oleh BJ (Berat Jenis) susu yang tinggi dan kandungan alkohol yang negatif saat diperiksa di TPS (Tempat Penampungan Susu). Tahap pengumpulan susu ke TPS menjadi CCP selanjutnya pada proses pemerahan susu. Selang waktu antara selesainya proses pemerahan hingga susu sampai dikumpulkan di TPS menjadi faktor penentu mikroba berkembang biak dengan
cepat dan kemungkinan masuknya benda asing atau kotoran-kotoran yang tidak kasat mata pada susu. Batas kritis pada tahap ini adalah susu secepatnya harus dikumpulkan ke TPS setelah diperah, paling lama setengah jam setelah diperah, dengan mempertimbangkan faktor resiko. Bakteri yang dapat dengan cepat berkembang biak didalam susu antara lain yaitu Salmonella spp. sedangkan yang banyak terdapat dalam tangan operator yang tidak bersih adalah Staphylococcus aureus. Menurut PIERSON (1993), sumber bakteri Salmonella spp. adalah air, tanah, mamalia, burung, serangga, usus binatang, terutama pada unggas dan babi. Penyakit yang disebabkan oleh Salmonella adalah mual, muntah-muntah, diare, kram perut, demam dan sakit kepala. Inkubasi normal adalah dalam 6 sampai 48 jam. Staphylococcus banyak terdapat pada tangan manusia, tenggorokan, dan saluran pernafasan. Bakteri ini juga biasa terdapat pada kulit binatang. Penyakit yang dapat ditimbulkannya adalah mual-mual, muntah, diare, kejang perut, dan gangguan saraf. Gejala dapat terjadi secara akut. Secara normal serangan terjadi dalam jangka waktu 30 menit sampai 8 jam. Jangka waktu inkubasi biasanya terjadi dalam periode 24 sampai 48 jam setelah terinfeksi bakteri tersebut.
Titik-titik yang perlu dikontrol (CP = Control Points) (Tabel 5) merupakan titik yang tidak kritis, karena tidak menimbulkan bahaya baik bagi keselamatan maupun mutu. CP pada proses pemerahan susu sapi meliputi 6 (enam) tahap yaitu menyediakan sarana pemerahan, membersihkan kandang, persiapan pemerah, membersihkan ambing, mengatur jarak dan waktu pemerahan, serta suci hama puting setelah proses pemerahan selesai.
Berdasarkan informasi dari Tabel 6 tampak bahwa walaupun teknik pemerahan dan penanganan susu termasuk seragam ternyata rata-rata kondisi peternakan para peternak di Sarwamukti terutama untuk kebersihan kandang memiliki tingkat kebersihan yang rendah. Selain itu kegiatan fumigasi terhadap kandang dan peralatan pemerahan yang sebenarnya harus dilakukan secara rutin dengan desinfektan dalam kenyataan tidak dilakukan. Hal ini merupakan sumber tingginya nilai TPC susu.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
313
Tabel 2. Analisis bahaya bahan baku
Bahaya terhadap Penting tidaknya Bahan baku Bahaya
Keselamatan Mutu Penyebab bahaya Peluang
(T/S/R) Keparahan
(T/S/R) Penting/tidak
(T/S/R) Tindakan pengendalian
Sapi perah
Kimia: Residu pestisida dan logam berat dari pakan yang tercemar Fisik: Sapi kotor, karena tanah atau debu yang menempel pada tubuh sapi Mikrobiologi: Patogen dan pembusuk
√ √
Sapi yang masuk ke peternakan dalam keadaan tidak bersih/kotor, asal-usul sapi yang masuk ke peternakan tidak diketahui dengan jelas terutama penyakit apa yang pernah dideritanya, kontaminasi pada saat pemberian pakan
T S S
Sapi yang pertama kali masuk ke peternakan wajib dicek kondisinya dan diperiksa dokumen pendukung tentang asal-usul, penyakit yang mungkin pernah diderita dan jenis pakan yang biasa diberikan. Sapi harus dirawat dengan baik, pakan harus bebas cemaran
Tabel 3. Analisis bahaya proses pemerahan susu
Bahaya terhadap Penting tidaknya Kegiatan pemerahan Bahaya
Keselamatan Mutu Penyebab bahaya Peluang
(T/S/R) Keparahan
(T/S/R)
Penting/ Tidaknya (T/S/R)
Tindakan pengendalian
Menyediakan sarana pemerahan
-Mikrobiologi: Salmonella, Cl. Botulinum, Staphylococcus sp.
-Kimia: Sabun cuci, peralatan desinfektan
√ √ Peralatan susu yang tidak bersih, sabun dan desinfektan masih menempel pada peralatan pemerahan
S S S Peralatan susu harus bersih dan memenuhi persyaratan, kain dan lap untuk menyaring susu harus bersih dan kering
Membersihkan kandang
-Mikrobiologi: Patogen -Fisik: Kotoran sapi
√ √
Kandang yang kotor dan kemngkinan besar mengandung banyak mikroorganisme penyebab patogen
T T T
Lantai kandang mutlak harus dibersihkan sebelum dilakukan pemerahan baik sore maupun pagi hari
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
314
Lanjutan Tabel 3. Analisis bahaya proses pemerahan susu
Bahaya terhadap Penting tidaknya Kegiatan
pemerahan Bahaya Keselamatan Mutu
Penyebab bahaya Peluang (T/S/R)
Keparahan (T/S/R)
Penting/ Tidaknya (T/S/R)
Tindakan pengendalian
Persiapan operator pemerah
-Mikrobiologi: Kuman-kuman dari tangan pemerah
- √ Pemerah yang sakit, kuku pemerah yang panjang S R S
Pemerah harus dalam keadaan sehat, mencuci tangan dengan sabun setiap akan atau selesai memerah
Membersihkan ambing
-Kimia: Residu desinfektan √ √ Pembersihan desinfektan
yang tidak sempurna R R R Bersihkan ambing dengan air hangat dan lap bersih yang kering
Pemerahan awal
-Mikrobiologi: Residu susu kotor yang tidak terbuang
√ √
Pengeluaran 3 – 4 pancaran susu dari masing-masing puting sapi tidak sempurna
T T T
Keluarkan susu yang kotor; Cek ke dalam strip cup apakah susu sudah pecah (yang menandakan sapi terkena mastitis). Susu dari sapi yang mastitis harus dibuang.
Pemerahan susu selama 6 – 7 menit
-Fisik: Puting sapi tercakar apabila memerah dengan cara yang tidak benar -Kimia: Residu vaselin
- - Bila dilakukan pemerahan dengan cara yang tidak dianjurkan
T T T
Lakukan pemerahan dengan cara yang benar (mengikuti SOP pemerahan yang benar), jangan menggunakan vaselin pada puting sapi
Sucihama puting
-Kimia: Residu desinfektan pada puting yang memungkinkan bahaya pada susu yang akan diperah kemudian
- √ Perendaman (dipping) dalam larutan desinfektan yang terlalu lama
S T T Bersihkan puting dengan air hangat, dilap dengan lap kering
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
315
Lanjutan Tabel 3. Analisis bahaya proses pemerahan susu
Bahaya terhadap Penting tidaknya Kegiatan pemerahan Bahaya
Keselamatan Mutu Penyebab bahaya Peluang
(T/S/R) Keparahan
(T/S/R)
Penting/ Tidaknya (T/S/R)
Tindakan pengendalian
Mencatat produksi susu
Tidak teridentifikasi bahaya
Menyaring susu -Fisik: Kontaminasi kotoran - √
Penyaringan dengan menggunakan kain saring yang sudah bolong-bolong, dll.
S S S
Lakukan penyaringan dengan menggunakan kain blacu/tetra yang berwarna putih, bersih berukuran 60x60 cm
Menyimpan susu pada wadah yang diisi air dingin (Pendinginan)
-Mikrobiologi: Patogen √ √
Wadah berisi air yang kurang dingin, dalam waktu lama sehingga memungkinkan m.o. berkembang biak
T T T
Sebaiknya wadah berisi air dingin dan disimpan dalam jangka waktu tidak terlalu lama sampai dikumpulkan ke pengumpul susu
Mengumpulkan susu ke TPS
-Mikrobiologi: Patogen dan pembusuk berkembang biak dengan cepat
√ √
Delay yang terlalu lama, susu tidak disimpan di cooling unit sewaktu menunggu pengumpulan, atau tidak menggunakan ember/milk can yang bertutup
T T T Susu yang sudah rusak tidak dapat dikonsumsi
√ = Cek list T = Tinggi S = Sedang R = Rendah
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
316
Tabel 4. Matriks CCP (Critical Control Points) pada proses pemerahan susu
Monitoring Tahap CCP No. Jenis bahaya Batas kritis
Metode Frekuensi Tindakan koreksi
Pemerahan awal 1 Mikrobiologi 3 – 4 pancaran susu sapi pertama dibuang
Disiplin membuang 3 – 4 pancaran susu sapi pertama
Setiap dimulai proses pemerahan
Buang susu sapi pada pemerahan pertama, lakukan hal yang benar pada pemerahan kedua, dst.
Menyaring susu 2 Fisik Susu yang bersih, bebas dari kontaminan
Penyaringan menggunakan lap kering yang bersih dan berwarna putih
Setiap selesai memerah
Saring kembali susu yang telah diperah dengan saringan yang bersih, kering dan dari kain blacu/tetra yang berwarna putih
Menyimpan susu pada wadah yang diisi air dingin (Pendinginan)
3 Mikrobiologi
Susu yang bebas dari mikroba patogen, atau hanya mengandung sedikit mikroba pembusuk
Menyimpan susu pada wadah yang berisi air yang cukup dingin, waktu tidak terlalu lama
Setiap selesai memerah
Menguji kandungan TPC susu, apabila tinggi maka susu dibuang atau dipisahkan
Mengumpulkan susu ke TPS 4
Fisik Mikrobiologi:
Susu secepatnya dikumpulkan ke TPS setelah diperah, paling lambat 0,5 jam setelah diperah
Sarana transportasi pendukung memadai, disiplin waktu
Setiap kali pemerahan
Menguji kandungan TPC susu, apabila tinggi maka susu dibuang atau dipisahkan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
317
Tabel 5. Matriks CP (Control Points) pada proses pemerahan susu
Monitoring Tahap CP No. Jenis bahaya Batas kritis
Metode Frekuensi Tindakan koreksi
Menyediakan sarana pemerahan
1 Mikrobiologi Kimia
Peralatan susu (ember, strip cup, milk can) yang bersih, lap yang kering dan bersih
Pembersihan sarana/alat pemerahan
Setiap selesai proses untuk proses berikutnya
Bersihkan kembali sarana/alat pemerahan dengan kaporit 200 ppm dan keringkan dengan cara menaruh terbalik di atas rak
Membersihkan kandang 2
Mikrobiologi Fisik
Lantai kandang yang bersih dari kotoran sapi, dll. Pembersihan kandang setiap hari: 2x
sehari
Bersihkan kembali lantai kandang terutama dari kotoran sapi setiap sebelum mulai dilakukan pemerahan
Persiapan pemerah 3
Biologi Fisik
Pemerah dalam keadaan sehat dan tangannya bersih
Pemerah mandi dan mencuci tangan dengan sabun
Setiap proses Lakukan pembersihan pemerah: mandi dan cuci tangan dengan sabun
Membersihkan ambing 4
Biologi Kimia
Ambing yang bersih dan saniter sebelum dilakukan pemerahan
Membersihkan ambing dengan desinfektan sesuai SOP
Setiap proses
Cek TPC susu; apabila tinggi maka susu hasil pemerahan tersebut dibuang dan dilakukan pembersihan ambing kembali
Jarak dan waktu pemerahan 5 Mikrobiologi
Memerah dalam selang waktu ideal (12 dan 12 jam atau 9 dan 15 jam)
Memerah dalam selang waktu yang dianjurkan dan mengikuti SOP
Setiap proses pemerahan
Lakukan kembali pemerahan dalam selang waktu ideal menurut SOP dan lakukan pemerahan menurut cara yang dianjurkan
Suci hama puting 6 Kimia Puting yang kembali bersih
setelah diperah
Perendaman (Dipping) dalam desinfektan beberapa detik
Setiap selesai memerah
Bersihkan kembali puting dengan air hangat dan dilap dengan lap yang bersih dan kering
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
318
Tabel 6. Data kondisi lingkungan peternakan di peternak anggota koperasi Sarwamukti, Cisarua-Lembang (n = 10 peternak)
Kebersihan kandang
Sumber air bersih
Fumigasi kandang dan alat
pemerahan
Alat tampung
susu
Alat saring susu
Waktu setor susu ke
pengumpul
SOP penanganan
susu
Membersihkan ambing
Memandikan sapi
Jarak ke pengumpul (m atau km)
Nomor peternak
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 bersih mata air air dan sabut kelapa
ember plastik, buleng bertutup
kain saring dari koperasi
30 menit ada sebelum (air hangat), sesudah pemerahan (air dingin, lap)
sebelum pemerahan
1 km
2 kotor ada tidak dilakukan ember plastik dan buleng bertutup
kain saring dari koperasi
30 menit ada sebelum (air hangat dan lap basah)
sebelum pemerahan
50 m
3 kotor mata air dilakukan ember stainless, buleng bertutup
kain saring dari koperasi
15 menit - sebelum (air hangat), sesudah pemerahan (air hangat)
sebelum pemerahan
50 m
4 kotor pompa umum
tidak dilakukan ember plastik, buleng bertutup
kain saring dari koperasi
30 menit ada sebelum (air hangat dan lap), sesudah pemerahan (air dingin)
jarang, sebelum pemerahan
10 m
5 bersih ada, PAM tidak dilakukan ember plastik, buleng bertutup
kain saring dari koperasi
30 menit tidak ada sebelum (air hangat, lap kering), sesudah pemerahan (air dingin, lap)
sebelum pemerahan
10 m
6 kotor ada, PAM tidak dilakukan ember plastik, buleng bertutup
kain saring dari koperasi
30 menit ada sebelum (air hangat, lap kering), sesudah pemerahan (air hangat)
sebelum pemerahan
5 m
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
319
Tabel 6. Data kondisi lingkungan peternakan di peternak anggota koperasi Sarwamukti, Cisarua-Lembang (n=10 peternak)
Kebersihan kandang
Sumber air bersih
Fumigasi kandang dan alat
pemerahan
Alat tampung susu
Alat saring susu
Waktu setor susu ke
pengumpul
SOP penanganan
susu
Membersihkan ambing
Memandikan sapi
Jarak ke pengumpul (m atau km)
Nomor peternak
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
7 kotor tidak ada jarang Ember plastik, buleng bertutup
kain kaos 30 menit ada sebelum (air dingin, lap), sesudah pemerahan (air hangat)
jarang 110 m
8 bersih ada tidak dilakukan ember plastik, buleng bertutup
kain saring dari koperasi
30 menit tidak ada sebelum (air hangat, lap kering), sesudah pemerahan (air dingin, air garam/sabun)
sebelum pemerahan
10 m
9 bersih ada pompa listrik
dilakukan ember plastik, buleng bertutup
kain saring dari koperasi
30 menit ada sebelum (air hangat, lap kering), sesudah pemerahan (air hangat, lap kering)
sebelum pemerahan
10 m
10 kotor ada, PAM dilakukan pakai sabun
ember, buleng bertutup
kain kasa 30 menit tidak ada sebelum (air hangat, lap kering, vaselin), sesudah pemerahan (air hangat, lap kering)
sebelum pemerahan
100 m
Pengumpul - ada, pompa listrik
masing-masing peternak
buleng bertutup kap. 15 l
kain saring dari koperasi
5 menit ada - - 2 km
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
320
Tindakan peternak yang memandikan sapi sebelum pemerahan merupakan tindakan yang menyimpang dari SOP. Hal ini akan menimbulkan kontaminasi mikroorganisme dari tubuh ternak yang masih basah ada kemungkinan air dari tubuh ternak menetes ke dalam penampungan susu. Dalam SOP yang diberlakukan kepada peternak dalam kegiatan operasional pemerahan susu dianjurkan sapi dimandikan setelah diperah. Sapi hanya dibersihkan terlebih dahulu pada ambingnya dengan menggunakan air hangat dan lap kering yang bersih sebelum pemerahan.
Penyakit yang paling sering terjadi pada sapi perah ialah mastitis. Mastitis merupakan peradangan pada ambing bagian dalam. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus sp., Staphylococcus sp., Coliform, Corynebacterium, Pseudomonas sp., dan lain-lain serta kapang dan khamir.
Mastitis sangat merugikan karena dapat mengakibatkan produksi susu menjadi turun 25 – 30% atau berhenti sama sekali, kualitas susu menjadi turun sehingga tidak dapat dijual atau tidak dapat dikonsumsi, biaya perawatan menjadi meningkat serta sapi perah diafkir lebih awal (ANONIMUS, 2005).
Berdasarkan gejalanya dapat dibedakan antara mastitis klinis dan subklinis. Gejala mastitis klinis (bentuk akut) dapat dilihat atau diraba oleh panca indera seperti:
(a) Kondisi umum: sapi tidak mau makan
(b) Tanda-tanda peradangan pada ambing: ambing membengkak, panas, kemerahan, nyeri bila diraba dan perubahan fungsi
(c) Perubahan pada susu:
- Susu memancar tidak normal, bening atau encer
- Kental, menggumpal atau berbentuk seperti mie
- Warna berubah menjadi semu kuning, kecokelatan, kehijauan, kemerahan atau ada bercak-bercak merah
Sedangkan mastitis subklinis merupakan peradangan pada ambing tanpa ditemukan gejala klinis pada ambing dan air susu:
(a) Sapi terlihat seperti sehat: nafsu makan biasa dan suhu tubuh normal
(b) Ambing normal
(c) Susu tidak menggumpal dan warna tidak berubah.
Tetapi melalui pemeriksaan akan didapatkan:
(a) Jumlah sel radang meningkat
(b) Ditemukan kuman-kuman penyebab penyakit
(c) Susu menjadi pecah (terbentuk butiran-butiran halus atau gumpalan)
Pemeriksaan mastitis subklinis dapat dilakukan dengan cara pemeriksaa mikroba patogen dan penghitungan jumlah sel radang (metode Breed atau California Mastitis Test (CMT), dll). Apabila peternak belum mampu untuk melakukan serangkain pemeriksaan ini, seyogyanya pemeriksaan yang rutin misalnya setiap 3 – 4 bulan sekali dilakukan oleh pihak yang berkompeten misalnya Dinas Kesehatan setempat.
Peternak juga masih menggunakan vaselin sebagai pelicin selama pemerahan karena peternak menggunakan teknik pemerahan dengan cara stripping yaitu pemerahan yang dilakukan dengan menggunakan jari tangan menarik puting dari dasar puting menuju ujung puting. Akibat pemerahan cara ini puting sapi lama kelamaan akan memanjang, namun peternak lebih menyukainya karena proses pemerahan dapat berlangsung cepat. Cara pemerahan stripping tidak dianjurkan, dalam SOP cara yang dianjurkan adalah full hand yaitu jari-jari menggenggam puting dan bergerak dinamis menekan puting sampai air susu keluar dari sisterna (lubang puting susu). Cara ini menurut peternak sulit dilakukan karena proses pemerahan berjalan lambat. Namun sebenarnya dengan cara full hand, bentuk puting tidak akan berubah, susu relatif lebih bersih dan sapi tidak merasa kesakitan.
Setelah disusun rancangan HACCP untuk mendeteksi titik kritis dan SOP dilaksanakan dengan baik oleh peternak, diperoleh hasil bahwa TPC pada susu sapi menurun seperti terlihat pada Tabel 7 dan 8.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
321
Tabel 7. Jumlah TPC susu pada pemerahan pagi dan sore di peternak koperasi Sarwamukti-Lembang (n = 10) sebelum perancangan HACCP untuk pelaksanaan SOP
Populasi bakteri (CFU/ml)
Pagi Sore Peternak
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2
1 3,55 x 105 2,70 x 106 2,63 x 106 3,32 x 106
2 1,12 x 106 6,28 x 106 1,27 x 107 3,02 x 106
3 7,25 x 105 1,13 x 107 1,32 x 107 4,55 x 106
4 4,18 x 105 6,31 x 106 8,65 x 106 3,22 x 106
5 3,60 x 105 2,33 x 106 2,15 x 106 3,00 x 105
6 5,65 x 105 5,68 x 106 1,37 x 106 2,69 x 106
7 2,45 x 106 1,85 x 106 2,85 x 106 4,33 x 106
8 6,41 x 106 2,58 x106 3,05 x 106 4,43 x 105
9 4,50 x 106 2,29 x 107 3,25 x 106 3,08 x 106
10 2,50 x 105 5,33 x 106 2,90 x 106 7,80 x 106
Rataan 10 peternak 1,71 x 106 6,73 x 106 5,27 x 106 3,27 x 106
Rataan 10 peternak ul-1 dan 2 4,22 x 106 4,27 x 106
Tabel 8. Jumlah TPC susu pada pemerahan pagi dan sore di peternak koperasi Sarwamukti-Cisarua Lembang (n = 10) sesudah perancangan HACCP untuk pelaksanaan SOP
Populasi bakteri (CFU/ml)
Pagi Sore Peternak
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2
1 2,95 x 105 7,95 x 105 4,83 x 105 1,75 x 105
2 1,77 x 106 3,17 x 106 3,93 x 106 4,15 x 106
3 2,35 x 105 3,07 x 105 2,64 x 106 9,00 x 105
4 6,10 x 105 4,08 x 105 2,64 x 105 2,73 x 105
5 1,53 x 105 5,15 x 105 7,23 x 105 2,05 x 106
6 3,80 x 106 4,74 x 106 1,64 x 106 3,48 x 105
7 2,10 x 106 2,09 x 106 4,81 x 106 1,90 x 106
8 1,29 x 106 3,94 x 106 5,50 x105 1,20 x 106
9 3,23 x 105 4,50 x105 2,07 x 106 3,35 x 105
10 3,09 x 106 1,86 x 106 2,55 x 106 6,08 x 105
Rataan 10 peternak 1,37 x 106 1,83 x 106 1,97 x 106 1,19 x 106
Rataan 10 peternak ul-1 dan 2 1,60 x 106 1,58 x 106
Berdasarkan data pada Tabel 7 tampak bahwa rata-rata nilai TPC susu dari sepuluh peternak di Sarwamukti sebelum dilaksanakan SOP dengan baik masing-masing memiliki angka TPC pemerahan pagi 4.220.000 CFU/ml dan pemerahan sore 4.270.000 CFU/ml. Nilai
ini masih lebih besar dari 106 CFU/ml seperti yang dipersyaratkan oleh SNI 01-4852-1998 ataupun Codex.
Dengan mengacu pada data dalam Tabel 8 tampak bahwa setelah dilaksanakannya SOP dengan baik, nilai TPC susu peternak di
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
322
Sarwamukti mengalami penurunan masing-masing yaitu pagi 1,6 x 106 CFU/ml dan sore 1,58 x 106 CFU/ml walaupun masih lebih dari 1 juta seperti yang ditetapkan oleh SNI 01-3141-1998 maupun yang diminta oleh industri pengolahan susu (IPS). Namun hal ini menunjukkan bahwa peternak mulai peduli akan mutu dan keamanan pangan susu berdasarkan nilai TPC karena hal ini penting untuk mendapat nilai bonus harga susu yang lebih tinggi, artinya peternak mulai merubah perilakunya yang selama ini kurang tepat. Dengan hasil tersebut, SOP yang dilaksanakan dengan baik perlu dilakukan secara kontinyu, sehingga peternak akan selalu diingatkan untuk selalu menerapkan teknik penanganan susu yang lebih baik dan aman.
Terbukti bahwa rancangan HACCP sebagai alat untuk menentukan titik kritis pada proses pemerahan susu sapi, dapat lebih membantu menjelaskan kepada para peternak mengenai perlunya SOP pemerahan susu sapi dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya menurunkan nilai TPC susu, membuat susu lebih aman serta dapat meningkatkan harga jual susu kepada IPS.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada studi HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) proses pemerahan susu di tingkat peternak ini ditetapkan bahan baku yang termasuk CCP (Critical Control Points) yaitu sapi perah. Pada proses pemerahan, terdapat 4 (empat) tahap yang termasuk CCP yaitu pemerahan awal, penyaringan susu, penyimpanan susu pada wadah yang diisi air dingin (pendinginan), dan pengumpulan susu ke Tempat Penampungan susu (TPS). Sedangkan yang termasuk CP (Control Points) ialah tahap persiapan (penyediaan) sarana pemerahan, pembersihan kandang, persiapan operator pemerah, pembersihan ambing, jarak dan waktu pemerahan, dan suci hama puting. Sebelum perancangan HACCP dalam pelaksanaan Standar Operational Procedure (SOP), rata-rata TPC susu hasil pemerahan pagi hari adalah 4,22 x 106 CFU/ml dan susu hasil pemerahan sore hari mengandung TPC 4,27 x 106 CFU/ml, sedangkan setelah perancangan
HACCP dalam pelaksanaan SOP secara benar dan dilaksanakan dengan baik oleh peternak, terjadi penurunan yang nyata dalam jumlah TPC pada susu yaitu menjadi 1,60 x 106 CFU/ml pada susu yang diperah pagi hari dan 1,58 x 106 CFU/ml pada susu yang diperah sore hari.
Sebagai saran, setiap unit pemerahan dan pengolahan susu di manapun berada hendaknya melaksanakan HACCP dan SOP dengan baik, benar, dan dikontrol oleh Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian setempat secara berkala (minimum setiap empat bulan sekali) sehingga produksi susu yang aman dan berkualitas dapat dihasilkan secara kontinyu dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan peternak sapi.
DAFTAR PUSTAKA
ANONIMUS. 2001. Susuku Sehat, Susuku Selamat, Penghasilanku Meningkat. Laporan dari Lokakarya Kesehatan Hewan pada tanggal 21 April 2001 di Malang. Lacto media. Produksi: GKSI Pusat, Jakarta. hlm. 12 – 13.
ANONIMUS. 2005. Penelitian Perbaikan Mutu dan Keamanan Pangan Susu di Tingkat Peternak dan Koperasi Susu. Laporan Akhir tahun 2005. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
BADAN STANDARISASI NASIONAL. 1998. SNI 01-2782-1998, Metoda pengujian susu segar.
DIRJEN PETERNAKAN. 2002. Buku Statistik Peternakan. Dirjen Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
DONALDSON, A.I. 1997. Contamination of animal products: prevention and risks for animal health. Revue Scientifique et Technique Off int Epiz. Paris, France. 16(1): 117 – 124.
PIERSON, M. and D.A. CORLETT, JR. 1993. HACCP Principles and Applications. An AVI Book Published by Van Nostrand Reinhold. New York.
SNI No. 01-6366-2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Standar Nasional Indonesia.
WINARNO, G. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. Clt 2. MBRIO Press, Bogor.