Penggalian Potensi Pajak Melalui Bench Marking Produksi Kebun Sawit _v2a_ - Copy

Embed Size (px)

Citation preview

PENGGALIAN POTENSI PAJAK PENGHASILAN ATAS PERKEBUNAN KELAPA SAWIT MELALUI BENCHMARKING PRODUKSI DENGAN MEMANFAATKAN GPS DAN CITRA SATELIT Oleh : Moh. Luthfi A.M.i Abstrak Prospek usaha budidaya Kelapa Sawit yang semakin berkembang memerlukan upaya penggalian potensi penerimaan pajak yang lebih optimal atas bisnis tersebut. Untuk itu diperlukan suatu standar pola produksi kelapa sawit yang akurat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan atau pembanding (benchmark) yang obyektif baik oleh fiskus maupun stakeholder lainnya. Salah satu cara untuk mengumpulkan data tersebut adalah adalah melalui kegiatan pendataan dan penilaian objek pajak dengan bantuan teknologi GPS dan penginderaan jauh. Dengan adanya benchmark pola produksi yang didukung oleh data yang akurat diharapkan potensi penerimaan pajak dapat ditentukan secara wajar, terukur dan dapat diterima oleh semua pihak. Artikel ini hanya membahas tentang aspek produksi TBS (Tandan Buah Segar) dalam usaha budidaya Kelapa Sawit. I. Prospek dan Potensi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Ditengah maraknya isu pemanasan global dan meningkatnya kebutuhan energi dunia saat ini, memunculkan wacana penggunaan bahan bakar alternatif selain bahan bakar fosil. Hal tersebut disebabkan penggunaan bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan dianggap sebagai salah satu penyebab ketidakstabilan iklim. Beberapa ahli mengatakan bahwa biodiesel dapat digunakan sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil yang selama ini digunakan. Biodiesel tersebut tidak terlepas dari minyak nabati yang merupakan salah satu bahan baku penghasil biodiesel yang dapat diperbaharui melalui sektor perkebunan. Secara alami, minyak nabati mempunyai beberapa kelebihan dibanding minyak fosil, antara lain: a. Merupakan Bahan yang terbaharui dan tidak akan habis selamanya b. Ramah lingkungan dengan emisi CO2 rendah c. Daya dukung Iklim dan kualitas lahan di Indonesia sesuai untuk pengembangan agribisnis. Selama empat tahun terakhir (2008-2012), tingkat produksi dan konsumsi minyak sawit berada di urutan teratas dari tingkat produksi minyak nabati dunia, yaitu sebanyak 27,5% untuk produksi dan 22,5% untuk tingkat konsumsi. Apabila dilihat trend pertumbuhannya hingga beberapa tahun kedepan konsumsi minyak sawit akan terus menjadi yang terbesar diantara minyak nabati lainnya.

1

Tabel 1. Tingkat produksi dan konsumsi minyak nabati di dunia

Gejolak kenaikan harga Minyak Sawit Mentah (Crude Palm Oil CPO) dunia yang disertai dengan peningkatan permintaan biodiesel sebagai bahan bakar alternaif membangkitkan kembali industri sektor perkebunan khususnya industri kelapa sawit. Perkembangan industri perkebunan selalu dicirikan oleh peningkatan produksi CPO diseluruh dunia. Total Produksi CPO dunia pada tahun 2008 adalah 43,1 juta Ton, yaitu sebagian besar berasal dari Indonesia, Malaysia, Thailand dan Nigeria. Tabel 2. Tingkat ekspor CPO negara-negara penghasil

Pada tahun 2008 tersebut Indonesia menempati urutan teratas dengan tingkat produksi 44,4% dan diikuti oleh Malaysia sekitar 41,1%. Tingginya produksi tersebut diikuti dengan meningkatnya kuantitas ekspor CPO sebesar 4% - 5% per tahun (www.regionalinvestment.co.id). Fakta tersebut menunjukkan bahwa komoditas kelapa sawit produksi Indonesia dan hasil olahannya merupakan primadona di banyak negara. Selain itu peningkatan jumlah kredit perbankan yang disalurkan untuk para debitor yang bergerak di usaha perkebunan kelapa sawit juga menunjukkan bahwa bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan bisnis yang 2

prospektif. Di dalam prospek usaha yang sangat baik tersebut mungkin saja tersimpan suatu potensi penerimaan pajak yang besar. Akan tetapi seberapa besar potensi tersebut dan bagaimana cara penentuannya bukanlah hal yang mudah untuk dijawab. II. Karakteristik Usaha Budidaya Kelapa Sawit Untuk membantu menganalisa besaran potensi yang obyektif diperlukan suatu standar pola produksi kelapa sawit yang obyektif sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan atau pembanding (benchmark) oleh kedua pihak dan seluruh stakeholder usaha perkebunan kelapa sawit. Mengingat usaha budi daya kelapa sawit memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan investasi perkebunan lainnya, maka sebelum membahas lebih jauh tentang bagaimana cara penentuan benchmark pola produksi perlu dipahami terlebih dahulu mengenai seluk beluk usaha budidaya kelapa sawit. Apabila dilihat dari jenis aset, usaha perkebunan kelapa sawit terdiri atas 2 (dua) kelompok aset: 1. Aset tanaman, yaitu tanaman kelapa sawit yang dibudidayakan secara komersial pada suatu lahan perkebunan tertentu dan dikelola berdasarkan teknis budidaya yang berlaku umum pada suatu tempat tertentu. 2. Aset non tanaman, yaitu sarana dan prasarana serta fasilitas lainnya yang merupakan bagian yang tidak terlepas dari suatu kesatuan asset tetap usaha perkebunan. Sarana dan prasarana meliputi bumi atau lahan, bangunan dan sarana pelengkap. Fasilitas penunjang meliputi mesin-mesin, dan peralatan pendukung aktifitas tanaman. Fasilitas lainnya termasuk juga perabotan dan peralatan kantor maupun perumahan serta kendaraan. Secara umum komoditi kelapa sawit memiliki karakteristik sebagai berikut:

Tanaman Kelapa Sawit berproduksi secara biologis sehingga masa produksi dan pola produksinya dapat diprediksi dengan baik. Pola produksi tanaman kelapa sawit tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagaimana dijelaskan satu per satu dalam pembahasan selanjutnya.

Sangat tergantung kepada kualitas lahan dan lingkungan di sekitarnya. Menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 376 / Kpts-II/1998 tentang Kriteria Penyediaan Areal Hutan untuk Perkebunan Budidaya Kelapa Sawit

3

disebutkan bahwa lahan yang cocok untuk perkebunan budidaya kelapa sawit adalah berdasar kriteria-kriteria sebagai berikut : a. Kelerengan maksimal 25 %. b. Ketinggian 0 300 m dpl. c. Curah hujan 1750 4000 mm/tahun dengan rata-rata bulan kering per tahun 0 3 bulan. d. Kedalaman efektif tanah untuk tanah mineral > 100 cm, untuk ketebalan tanah gambut < 200 cm. e. Temperatur rata-rata per tahun 24 29 C.

Periode dan jumlah panen yang tidak merata memiliki resiko ketidakseimbangan output tanaman dengan kapasitas pabrik. Umumnya komoditi perkebunan kelapa sawit memiliki pasar ekspor sehingga mekanisme penentuan harga tergantung harga pasar internasional, dengan demikian tingkat persaingan ditentukan oleh kemampuan usaha secara produktif dan efisien. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa budidaya Kelapa Sawit yang

memiliki karakteristik tanaman dan lingkungan yang sama mempunyai pola dan kuantitas produksi yang relatif sama, sehingga dapat dijadikan acuan atau benchmark untuk menentukan potensi produksi perkebunan Kelapa Sawit sejenis. Perbedaan kualitas produk Kelapa Sawit lebih dipengaruhi oleh perbedaaan efektifitas dan efisiensi tindakan dalam proses pembudidayaan Kelapa Sawit mulai dari penyiapan lahan hingga ekstraksi hasil produksi. III. Penggalian Potensi Pajak atas Komoditas Kelapa Sawit Untuk membantu menganalisa besaran potensi yang obyektif diperlukan suatu standar pola produksi kelapa sawit yang obyektif sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan atau pembanding (benchmark) oleh kedua pihak dan seluruh stakeholder usaha perkebunan kelapa sawit. Bagi para investor/pengelola perkebunan kelapa sawit, benchmark pola produksi tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya potensi hasil produksi dan tingkat keuntungan yang wajar selama jangka waktu tertentu, menentukan jangka waktu penanaman kembali (replanting) dan sebagai bahan pengambilan keputusan investasi lainnya. Sedangkan bagi fiskus, benchmark tersebut sangat bermanfaat untuk memperkirakan besarnya penghasilan yang mungkin diperoleh pengusaha, besarnya nilai aset tanaman dan non tanaman, dan estimasi nilainilai lain yang dapat digunakan untuk menghitung potensi penerimaan pajak. Begitu pula halnya 4

stakeholder yang lain, benchmark pola produksi tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan pengambilan keputusan yang obyektif terkait dengan perkebunan kelapa sawit. Secara umum Kelapa Sawit berproduksi dalam satu siklus dan pola produksi yang sama sehingga potensi produksinya dapat diestimasikan secara jelas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan benchmark pola produksi kelapa sawit antara lain luas areal perkebunan, umur tanaman, jumlah tegakan/kerapatan tanaman, kesesuaian lahan, jenis varitas dan jenis produksi. 1. Luas Areal Perkebunan Areal perkebunan kelapa sawit terbagi atas beberapa jenis penggunaan: a. Areal Kebun adalah areal yang sudah diolah (land clearing) dan ditanami dengan komoditas perkebunan, baik yang telah menghasilkan (TM) maupun belum menghasilkan (BM). b. Areal Emplasemen adalah areal yang diatasnya terdapat bangunan dan/atau pekarangan. c. Areal Lainnya adalah areal selain areal kebun dan emplasemen, yang berupa areal belum diolah, rawa, cadas, jurang atau tanah lainnya yang tidak dapat dimanfaatkan untuk perkebunan. Areal kebun, termasuk didalamnya blok-blok tanam, merupakan basis produksi perkebunan Kelapa Sawit. Luas areal kebun sangat berhubungan erat dengan tinggi rendahnya tingkat produksi. Dalam kondisi ideal, semakin luas areal kebun yang menghasilkan maka semakin tinggi tingkat produksinya. 2. Umur tanam/siklus produksi Umur Tanaman adalah masa waktu tanaman dapat dibudidayakan dimulai dari penanaman hingga akhir masa produktif. Sedangkan umur produktif tanaman disebut juga umur ekonomis tanaman yang dihitung mulai tanaman berproduksi hingga akhir masa produktif tanaman. Umur produktif atau umur ekonomis tanaman dapat disebut periode tanaman menghasilkan (TM) sedangkan selisih umur tanaman terhadap umur tanaman produktif atau ekonomis disebut periode tanam belum menghasilkan (TBM). Secara umum umur tanaman Kelapa Sawit dapat mencapai 25 tahun. Tanaman Kelapa Sawit mulai berproduksi pada umur 4 tahun dan terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada umur 13-15 tahun, dan kemudian menurun hingga akhir umur produktif (25 tahun)

5

akan/ kerapa per blo tanam atan ok 3. Jumlah tega Perkebunan kelap sawit pada umumnya menerapkan pola tanam segitiga sama sisi pa m dengan jarak tanam 9 m sebagaima Gambar 1. Dengan pola tanam y ana p yang teratur tersebut maka banya aknya tegaka Kelapa Sa dalam s blok tana dapat dik an awit satu am ketahui seca tepat. ara Jumlah tega akan dalam 1 hektar blo tanam rata ok a-rata seban nyak 130 - 14 pohon ter 43 rgantung jenis varietas yang ditana s am.

Gambar 2 Pola Tanam Kelapa Saw 2. m wit Sum mber: PUSPIC (2006) CS

Tingkat kera apatan tanam sangat berpengaruh terhadap tingkat produ tanaman Kelapa man h uksi n Sawit. Jarak tanaman yang terlalu rapat dap mengura u pat angi penyera apan makan dan nan at enghambat k kemampuan produksi tana aman menghamba pertumbuhan tanaman sehingga me 4. Jenis variet tas Secara garis besa bibit Kela Sawit y a ar, apa yang ditanam di Indones dapat dibedakan m sia menjadi 3 (tiiga) jenis, ya Dura, Pis aitu sifera, dan Tenera. Saat ini dari hasil persilangan varietas Dura dan Pisifera terseb dihasilkan sekitar 19 (sembilan belas) varietas bibit baru. Masingbut n tas a si yang berbeda a-beda, sepe pada erti masing varit tersebut memiliki pola dan potens produksi y Tabel 3.

6

Tabel 3. Sebagian Varietas Tanaman Kelapa Sawit yang ada di IndonesiaJenis Varietas

ItemDxP AVROS 30 24 27 7,8 5,5 7,0 23 26 0,54 130 0,6 0,8 DxP BAH JAMBI 32 22 24 7,4 5,7 6,2 23 26 0,62 130 0,65 0,85 DxP DOLOK SINUMBAH 31 24 27 7,7 6,06,75 23 25 0,56 130 0,65 0,85 DxP LA ME 36 26 27 7,9 5,9 7,0 23 26 0,60 143 0,55 0,70 DxP MARIHAT 31 24 25 7,9 6,0 6,3 23 25 0,54 143 0,6 0,7 DxP SEI PANCUR 1 32 25 28 7,6 6,5 7,3 23 26 0,49 143 0,4 0,55 DxP SEI PANCUR 2 30 24 27 7,5 6,2 6,8 23 25 0,51 143 0,65 0,85 DxP YANGAMBI 39 25 28 7,5 5,8 7,3 23 26 0,62 130 0,60 0,75

- Potensi Produksi (ton/ha/thn) - Produksi TBS rerata (ton/ha/thn) - Potensi hasil CPO (ton/ha/thn) - Produksi CPO rerata (ton/ha/thn) - Rendemen minyak (%) - Produksi PKO rerata (ton/ha/thn) - Kerapatan Tanaman (pohon/ha) - Pertumbuhan meninggi (m/thn)

Sumber : Razak dkk (2005)

5. Kesesuaian lahan (kelas tanah yaitu S1, S2, S3, dan Non S) Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menilai kesesuaian lahan antara lain dengan perkalian parameter, penjumlahan, atau menggunakan hukum minimum yaitu mencocokan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas lainnya yang dievaluasi, seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Kelapa SawitNo1 2 3 4 5 6 7

Karakteristik LahanCurah Hujan (mm) Bulan Kering (bln) Ketinggian dpl Bentuk wilayah/kemiringan lereng (%) Batuan di permukaan dan di dalam tanah (%-volume) Kedalaman efektif (cm) Tekstur tanah

Tidak Ada1.750 3.000 3 > 400 Berbukit - Bergunung > 30 > 40 < 50 Liat berat; Pasir

8 9

Kelas Drainase Kemasaman Tanah (pH)

Cepat; Terhambat 3.5 4.0 6.5 7.0

Sangat cepat; Sangat terhambat; Tergenang < 3.5 > 7.0

Sumber : Razak dkk (2005)

Struktur klasifikasi kelas kesesuaian lahan menurut PPKS (2003) dapat dibedakan seperti pada Tabel 5. 7

Tabel 5 Klasifikasi Kesesuaian Lahan untuk tanaman kelapa sawitKELAS KESESUAIAN LAHAN KELAS S1 (SANGAT SESUAI) KELAS S2 (SESUAI) KELAS S3 (AGAK SESUAI) KELAS N1 (TIDAK SESUAI BERSYARAT) KELAS N2 (TIDAK SESUAI PERMANEN) Sumber : Razak dkk (2005) KRITERIA Unit Lahan yang memiliki tidak lebih dari satu pembatas ringan (optimal) Unit lahan yang memiliki lebih dari satu pembatas ringan dan/atau tidak memiliki lebih dari satu pembatas sedang Unit lahan yang memiliki lebih dari satu pembatas sedang dan/atau tidak memiliki lebih dari satu pembatas berat Unit lahan yang memiliki dua atau lebih pembatas berat yang masih dapat diperbaiki Unit lahan yang memiliki pembatas berat yang tidak dapat diperbaiki

Masing-masing kelas lahan tersebut memiliki potensi produksi yang berbeda-beda sesuai dengan jenis varietas Kelapa Sawit yang ditanam. Tanaman kelapa sawit dapat berproduksi secara optimal apabila ditanam di lahan yang paling sesuai (S1) dan sebaliknya kurang berproduksi optimal apabila ditanam di lahan yang tidak sesuai (N1 atau N2). Sebagai contoh, potensi produksi varietas DxP Marihat yang ditanam pada masing-masing kelas lahan dapat dilihat pada Tabel 6.Tabel 6. Rata-rata produksi menurut kelas kesesuaian lahan (ton TBS/ha/tahun)Umur tanaman 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 S1 9.0 15.0 18.0 21.1 26.0 30.0 31.0 31.0 31.0 31.0 31.0 30.0 S2 7.3 13.5 16.0 18.5 23.0 25.5 28.0 28.0 28.0 28.0 28.0 27.0 S3 6.8 12.0 14.5 17.0 22.0 24.5 26.0 26.0 26.0 26.0 26.0 25.0 Rata-rata Sumber : PUSPICS (2006) 24.0 22.0 20.1 Umur tanaman 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 S1 27.9 27.1 26.0 24.9 24.1 23.1 21.9 19.8 18.9 18.1 17.1 S2 26.0 25.5 24.5 23.5 22.5 21.5 21.0 19.0 18.0 17.0 16.0 S3 24.5 23.5 22.0 21.0 20.0 19.0 18.0 17.0 16.0 15.0 14.0

Sebagian besar perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada di kelas S3, sangat sedikit di kelas S1 dan cukup besar di kelas S2 dan N. Kebun kelapa sawit di lahan kelas S1 dan S2 8

hanya dijumpai di Sumatera khususnya Sumatera Utara sedang kebun diluar Sumatera Utara umumnya berada di kelas S3. 6. Jenis Produksi Bagian tanaman Kelapa Sawit yang dapat diolah dan dikomersialkan meliputi daging buah, biji, tandan kosong, dan batang, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.

Gambar 3. Hasil Pengolahan Produk Perkebunan Kelapa Sawit Sumber: www.kemenperin.go.id (2007)

Pada Gambar tersebut dapat dilihat bahwa bagian daging buah dan biji sawit memiliki produk turunan yang paling banyak. Buah kelapa sawit atau tandan buah segar (TBS) sebagai salah satu hasil produksi Kelapa Sawit terdiri dari kulit (exocarp), serabut (mesocarp), cangkang (endocarp), dan inti (kernel). Bagian mesocarp pada TBS tersebut juga dapat diolah menjadi minyak sawit (Crude Palm Oil / CPO). Sedangkan bagian inti dari biji sawit dapat dioleh menjadi minyak inti sawit (Palm Kernel Oil / PKO). Rasio minyak sawit (CPO) terhadap berat TBS (disebut rendemen CPO) sekitar 20-25% dari total berat TBS, sedang rasio inti sawit terhadap berat TBS (rendemen inti) sekitar 4-7% dari total berat TBS. 7. Harga Produk Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa produk Kelapa Sawit dan hasil olahannya merupakan komoditi yang diperdagangkan di pasar Internasional, sehingga harga komoditi tersebut berfluktuasi sesuai kualitas produk dan tingkat permintaan. Sebagai contoh, setiap 9

siklus 10 tahun harga minyak sawit (CPO) akan mengalami puncak dan kemudian diikuti dengan penurunan. Untuk kepentingan regulasi di bidang perdagangan dan ekspor, Departemen Perdagangan secara rutin mnetapkan Harga Patokan Ekspor (HPE) dan harga produk TBS, PKO dan CPO di dalam negeri. Perkembangan harga minyak sawit selama periode tahun 1980 sampai dengan tahun 2005 ditampilkan pada Tabel 7.Tabel 7. Perkembangan harga CPO (US$/Ton) CIF Rotterdam, 1990-2005Tahun n 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Kwartal I 279 345 385 414 395 667 523 568 651 559 343 248 335 445 525 409 Kwartal II 272 315 398 372 476 623 539 549 676 456 336 247 376 418 496 419 Kwartal III 283 334 385 356 500 620 512 509 681 346 303 331 410 408 431 414 Kwartal IV 320 360 403 366 681 603 547 554 679 367 261 306 438 497 427 437 Rerata 289 339 393 377 513 628 530 545 672 432 311 283 390 442 470 420

Sumber: Oil World Monthly (diolah) seperti dikutip dalam www.ditjenbun.deptan.go.id

Apabila faktor-faktor tersebut dapat ditentukan secara tepat maka dapat diketahui pola produksi Kelapa Sawit sebagaimana disajikan pada Gambar 3.

Gambar 4. Contoh pola produksi Kelapa Sawit varitas DxP Marihat berdasarkan umur tanaman Sumber: PUSPICS (2006)

10

Dalam rangka memperkirakan besarnya pajak penghasilan terutang atas usaha perkebunan Kelapa Sawit, fiskus memerlukan informasi mengenai Pendapatan Bersih Produksi CPO dan PKO sebagai Dasar Pengenaan Pajak dimaksud. Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Jenderal Pajak, Pendapatan Bersih Produksi CPO dan PKO tersebut berkisar antara 30% hingga 50% dari Pendapatan Kotor Produksi CPO dan PKO (Ditjen Pajak, 2007). Sedangkan besarnya Pendapatan Kotor Produksi CPO dan PKO dapat diestimasikan berdasarkan potensi produksi Tandan Buah Segar Kelapa sawit (TBS) sebagai berikut: Potensi Produksi TBS = [ Luas Areal Kebun Telah Menghasilkan (ha) x Standar Produksi TBS(ton/ha) ] Keterangan: - Luas Areal Kebun Telah Menghasilkan adalah luas areal produktif yang telah menghasilkan, diperoleh dari hasil pengukuran atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) - Standar Produksi TBS per jenis tanaman per umur tanaman sesuai Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan potensi produksi TBS tersebut selanjutnya dapat dihitung besarnya pendapatan kotor dari hasil produksi CPO dan PKO, sebagai berikut: Pendapatan Kotor Produksi CPO = [ Potensi Produksi TBS (ton) x %Rendemen CPO ] x Harga Satuan Produksi CPO Keterangan: - % Rendemen CPO berkisar antara 20% - 25 % atau rata-rata 22% dari berat TBS - Harga Produksi CPO ditetapkan oleh Oil World Monthly atau didasarkan pada Harga Patokan Ekspor (HPE) yang ditetapkan oleh Kemenperindag RI Pendapatan Kotor Produksi PKO = [ Potensi Produksi TBS (ton) x %Rendemen PKO ] x Harga Satuan Produksi PKO Keterangan: - % Rendemen PKO berkisar antara 4% - 7% atau rata-rata 5% dari berat TBS - Harga Produksi CPO ditetapkan oleh Oil World Monthly atau didasarkan pada Harga Patokan Ekspor (HPE) yang ditetapkan oleh Kemendag RI Pada formula di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor penting yang diperlukan dalam penghitungan potensi pajak penghasilan atas usaha perkebunan dan pengolahan Kelapa Sawit adalah luas areal produktif. Penentuan pola produksi suatu Kelapa Sawit dapat dilakukan dengan 11

baik apabila didukung oleh data luas areal yang akurat dan dapat diakuisisi secara cepat sebagai bahan pengambilan keputusan. IV. Bagaimana cara untuk memperoleh data luas areal secara cepat dan akurat ? Data budidaya Kelapa Sawit tersebut dapat diperoleh dari beberapa sumber data, yaitu: 1. Sumber data internal, yaitu diperoleh dari basis data objek pajak perkebunan Kelapa Sawit yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak; 2. Sumber data eksternal, yaitu instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak seperti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, dan lainnya. Basis data objek pajak perkebunan kelapa sawit dapat diperoleh dari hasil laporan wajib pajak maupun kegiatan pendataan aktif atas objek pajak. Dalam formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan dokumen lainnya yang dilaporkan oleh wajib pajak diperoleh rincian luas lahan yang dimiliki/dikuasai/dimanfaatkan oleh wajib pajak, baik yang ditanami maupun lahan lainnya. Untuk mengecek keakuratan dokumen yang dilaporkan wajib pajak tersebut, secara periodik Direktorat Jenderal Pajak perlu melakukan kegiatan verifikasi data objek/subjek pajak yang ditindaklanjuti dengan penilaian objek pajak. Mengingat pada umumnya areal perkebunan tersebut sangat luas dan terletak di lokasi yang sulit ditempuh, maka untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan tersebut diperlukan bantuan teknologi pengukuran dan penginderaan jauh. Dewasa ini alat pengukuran yang paling mutakhir adalah Global Positioning System (GPS). Global Positioning System (GPS) merupakan sistem navigasi dan penentuan posisi berbasis satelit yang digunakan untuk menentukan posisi suatu objek dalam koordinat 3 (tiga) dimensi yang teliti. Berdasarkan hasil penelitian, GPS ini dapat digunakan untuk menentukan secara akurat batas dan luas lahan (Basuki, 2006) termasuk lahan perkebunan Kelapa Sawit baik secara keseluruhan maupun per blok tanam.

12

Satelit GP PS

Mo onitor sta ation

Pengam GPS mat

Gamb 5. Mekanis kerja pe bar sme engukuran de engan GPS Su umber: Abidin (2002) n

mbantu identifikasi fisik t tanaman per blok diguna r akan teknolog pengindera jauh gi aan Untuk mem basis satelit. Melalui hasil pengama atan gambar r/citra satelit yang beres t solusi tinggi (seperti berb Land dsat, IKONO dan Quic OS ckbird) yang diolah deng software tertentu dan dipadukan dengan gan n n hasil pengukuran GPS dapat diperoleh be n t eberapa informasi fisik pe erkebunan se eperti: uas anaman Meng ghasilkan (TM) dan Tana aman Belum Menghasilka (TBM) an Batas dan Lu Areal Ta GPS dapat d digunakan untuk menent tukan secara tepat koord a dinat batas areal perkebu unan dan luasnya. Sedangkan pos batas te sisi ersebut di lap pangan dapa diketahui melalui pengamatan at dap elit asi d. visual terhad citra sate untuk loka dimaksud

Gambar 6. Penggunaan Citra Satelit IKONOS unt menentuk n tuk kan ba salah sat areal perke atas tu ebunan di Su umatera Sum mber: PUSPIC (2006) CS

Luas Bangun dan Infra nan astruktur Lain nnya Seperti halnya tanah, luas dan batas bangunan juga dapat d diidentifikasi secara jelas melalui s pengamatan citra satelit dan hasil pengukuran GP n PS. 13

Usia tanam/siklus produksi Dalam prakteknya, usia tanaman Kelapa Sawit dapat diindikasikan oleh diameter tajuk pohonnya. Masing-masing varietas memiliki diameter tajuk yang berbeda-beda. Pada Tabel 8 ditampilkan contoh diameter tajuk tanaman untuk jenis varietas DxP Marihat.Tabel 8. Diameter Tajuk dan Estimasi Umur Tanaman Kelapa Umur 1 2 tahun Sawit Diameter Estimasi Umur (meter) (tahun) 3,0 0-1 4,0 0-1 Umur 4 - 5 tahun 4,5 1-2 Umur 3 4 tahun 5,0 1-2 5,5 2-3 6,0 3-4 6,5 4-5 7,0 >5 Gambar 7. Pemanfaatan Citra Satelit Ikonos7,5 8,0 >5 >5

8.0* >5 Sumber: PUSPICS (2006)

untuk menentukan umur tanaman kelapa sawit berdasarkan diameter tajuk Sumber: PUSPICS (2006)

Kondisi fisik tegakan kelapa sawit secara individual dapat diketahui melalui citra Quickbird. Diameter tajuk tegakan kelapa sawit dapat diukur pada citra. Perbedaan diameter tajuk merupakan faktor yang dapat digunakan untuk membedakan umur relatif tegakan kelapa sawit. Kondisi fisik tegakan berkaitan dengan produksi dan hal ini dapat digunakan untuk memperkirakan potensi produksi dan sekaligus potensi pendapatan pajak pada periodeperiode mendatang. Kerapatan tanaman dan jumlah tegakan Mengingat pola tanam Kelapa Sawit yang teratur maka jumlah tegakan kelapa sawit dapat diidentifikasi secara langsung karena luas lahan yang homogen dapat diidentifikasi melalui citra, demikian pula deliniasinya. Jumlah tegakan adalah luas lahan dibagi luas individual pola ditambah 2. Kelas tanah (S1, S2, S3, dan non S) Kelas tanah yang ditanami Kelapa Sawit dapat diidentifikasi melalui perbedaan gradasi warna tanah yang menunjukkan perbedaan struktur fisik tanah. Sebagai contoh, tanah padat pada 14

citra satelit digambarkan dengan warna yang lebih gelap dibandingkan dengan tanah keras. Informasi kelas tanah tersebut pada umumnya dicantumkan dalam dokumen Studi Kelayakan (Feasibility Study) sebelum kegiatan usaha budidaya tersebut dijalankan. Varietas kelapa sawit Jenis varietas Kelapa Sawit juga dapat diamati melalui perbedaan gradasi warna dan tekstur pohon pada citra satelit. V. Ketersediaan Sumber Daya Pendukung Kegiatan Pendataan dan Penilaian Sampai dengan kuartal I Tahun 2007, Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki alat penerima receiver GPS merk Leica tipe GS20 sebanyak 170 unit dan tipe SR20 sebanyak 76 unit yang tersebar di sebagian besar Kantor Pelayanan Pajak Pratama. Selain itu untuk menunjang kemampuan dan keakuratan penerimaan sinyal GPS tersebut Direktorat Jenderal Pajak juga telah membangun base station penerima di 9 (sembilan) lokasi yang meliputi Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Sedangkan citra satelit yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak terdiri atas Ikonos, Quickbird dan Landsat. Citra Landsat yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak sebanyak 68 scene (lembar) meliputi seluruh wilayah Sumatera dan Kalimantan serta sebagian wilayah Sulawesi (Propinsi Sulawesi Utara). Sedangkan untuk citra Quickbird dan Ikonos, mengingat keterbatasan dana yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka citra jenis ini hanya meliputi beberapa kota besar di Indonesia. Citra satelit tersebut secara umum masih dalam kondisi mentah (belum diolah), sehingga untuk menghasilkan informasi yang diinginkan perlu dilakukan pengolahan citra terlebih dahulu.Tabel 9. Daftar Sebaran Citra Satelit Se-IndonesiaNo 1 2 3 4 5. Lokasi Pulau Sumatera Pulau Jawa dan Madura Pulau Kalimantan Pulau Sulawesi Bali dan Nusa Tenggara Pulau Maluku dan Papua Jumlah Jenis Citra dan Jumlah Scene Ikonos Quickbird Landsat 2 29 28 5 95 1 5 32 1 9 8 12 1 5 10 155 68

Sumber: Ditjen Pajak (diolah)

Selain beberapa jenis peralatan tersebut, untuk mendukung efektifitas dan efisiensi kegiatan pendataan dan penilaian objek pajak tersebut juga diperlukan ketersediaan sumber daya manusia 15

yang kompeten di bidang tersebut. Sampai dengan kuartal I Tahun 2007, Direktorat Jenderal Pajak memiliki sekitar 827 orang pegawai yang berkompeten untuk melaksanakan kegiatan pendataan dan penilaian objek pajak. Apabila dibandingkan dengan jumlah dan luas perkebunan kelapa sawit yang sangat besar maka jumlah SDM pendata dan penilai tersebut masih kurang memadai. Oleh karena itu keberadaan benchmark pola produksi sangat dibutuhkan untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan pendataan dan penilaian objek pajak perkebunan Kelapa sawit. VI. Penutup Benchmark pola produksi Kelapa Sawit tersebut hanya merupakan salah satu cara untuk menentukan pola produksi yang wajar dan terukur. Meskipun teknik tersebut tergolong sederhana akan tetapi dalam proses penentuannya diperlukan ketelitian dan keakuratan data yang digunakan. Data yang diperoleh dari hasil laporan wajib pajak perlu dikontrol keakuratannya melalui pengumpulan data di lapangan. Untuk membantu proses pengumpulan dan pemeliharaan data fisik objek pajak perkebunan Kelapa Sawit dapat digunakan bantuan teknologi GPS dan penginderaan jauh. Mengingat manfaatnya yang sedemikian besar, maka benchmark pola produksi Kelapa Sawit tersebut perlu diwujudkan dalam suatu standar resmi yang dapat diterima dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Apabila memungkinkan benchmark pola produksi komoditi lain di luar kelapa sawit yang memiliki pola produksi seragam juga perlu ditetapkan untuk membantu proses pengambilan keputusan. Pembahasan di atas hanya berkisar pada benchmark pola produksi TBS (Tandan Buah Segar) dalam usaha budidaya Kelapa Sawit. Untuk menambah wawasan pembaca perlu dikaji lebih lanjut mengenai aspek-aspek lainnya seperti aspek penanganan teknis kultur/produksi, pengolahan hasil produksi, keuangan dan manajemen budidaya Kelapa Sawit. VII. Daftar Pustaka

Abidin H. Z., 2000, Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya, PT Pradnya Paramita, Jakarta. Basuki, H. 2006. Pengkajian Hitungan Luas Objek Pajak Menggunakan Global Positioning System (GPS) SR20 PDM dengan metode Stop and Go dan Data Precise Ephemeris. Thesis Magister Geomatika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Direktorat Jenderal Pajak. 2007. Buku Panduan Program Intensifikasi Sektoral Sektor Industri Kelapa Sawit, Ditjen Pajak, Jakarta 16

Gunadi. 2007. Mengenal Liku-liku Penjualan Ekspor CPO. Berita Pajak Vol. XXXIX Nomor 1586 tanggal 1 Mei 2007. PUSPICS Universitas Gadjah Mada, 2006. Hasil penelitian Tentang Integrasi Teknik Penginderaan Jauh dan SIG untuk Estimasi Produksi Perkebunan Kelapa Sawit. Razak A, dkk. Karakteristik Bahan Tanaman Unggul PPKS dan Pola Pengelompokannya di Pembibitan. 2005. Buku Saku Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Jalan Brigjen Katamso Nomor 51 Medan 20158. Risza, S.1994. Kelapa Sawit, Upaya Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Sutiyono, A. P. 2009. Outlook Industri Perkebunan 2010. Asia Securities edisi tanggal 30 Nopember 2009. www.ditjenbun.deptan.go.id. Roadmap kelapa sawit Desember 2006, diakses pada tanggal 25 Mei 2007 pukul 15.00 WIB. www.kemenperin.go.id. 2007. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit, diakses pada tanggal 14 Nopember 2011. www.regionalinvestment.co.id. Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia, diakses pada tanggal 13 April 2007 pukul 10.55 WIB. www.sinarharapan.co.id. PNM Venture Tawarkan Kepemilikan Pabrik Kelapa Sawit Mini Bagi Petani., diakses pada tanggal 13 April 2007 pukul 10.55 WIB.

i

Penulis adalah Penilai PBB Muda pada Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian

17