Upload
ivan-madridista
View
11
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
penggunaan salbutamol
Citation preview
PENGGUNAAN SALBUTAMOL (ALBUTEROL) DALAM TERAPI ASMA
Kata asma berasal dari bahasa Yunani “asthma” yang berarti sukar bernafas. Asma termasuk salah
satu penyakit yang memiliki angka kejadian yang relatif tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, kata
”asma” tentu sudah tidak terdengar asing lagi bagi sebagian besar masyarakat. Penyakit asma bisa
bisa muncul kapan saja dan bisa diderita oleh siapa saja tanpa pandang bulu, mulai dari anak-anak
sampai orang dewasa, baik wanita maupun laki-laki. Saat kambuh, panderita akan mengalami sesak
nafas sehingga aktivitas sehari-hari, seperti sekolah maupun kerja, bisa terganggu. Selain
mengganggu aktivitas, penyakit ini bahkan bisa menyebabkan kematian bila tidak ditangani secara
cepat dan tepat. Namun jika penyakit ini dikendalikan, kematian dapat dicegah dan penderita asma tak
perlu mengalami serangan lagi atau gejalanya berkurang. Untuk dapat mengetahui bagaimana cara
pencegahan dan pengobatan yang tepat untuk asma, maka penderita perlu mengenal lebih jauh tentang
asma terlebih dahulu.
Asma adalah penyakit yang disebabkan karena adanya inflamasi (peradangan) kronis pada
saluran pernafasan, yang belum diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa faktor yang dapat
memicu terjadinya asma antara lain adalah: infeksi saluran pernafasan, alergen (debu, bulu hewan,
serbuk sari, dll), kondisi lingkungan (udara dingin, asap rokok), stress, olahraga berat, obat (aspirin,
NSAIDs, β-blocker). Adanya peradangan membuat saluran pernafasan menjadi sangat sensitif
terhadap rangsangan dan mudah mengalami penyempitan. Penyempitan ini menyebabkan udara yang
masuk dan keluar saluran pernafasan terhalang sehingga penderita menjadi sesak. Selain itu, serangan
asma juga sering disertai dengan serangan batuk, nafas pendek, rasa sesak di dada. Pada asma yang
sudah parah biasanya juga ditandai dengan wheezing atau “mengi”, terutama pada malam hari.
Penyempitan saluran nafas pada asma bersifat reversible dan serangan biasanya berlangsung beberapa
menit sampai beberapa jam.
Kelainan utama penyakit asma adalah peradangan saluran nafas, sehingga
pengelolaan/pengobatannya bukan hanya ditujukan untuk menghilangkan gejala sesak nafas semata,
tetapi juga berbagai tujuan berikut yaitu, agar penderita mempunyai fungsi paru mendekati normal
dan gejala asmanya menghilang atau minimal. Tujuan lainnya adalah agar serangan asma minimal,
pemakaian obat untuk serangan sesak berkurang, dan tidak ditemukan efek samping obat.
Secara umum, ada 2 cara untuk mengatasi asma yaitu dengan terapi non-farmakologis (tanpa
obat) dan terapi farmakologis (dengan obat). Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan
menghindari faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan asma serta dengan melakukan olahraga
ringan seperti renang.
Adapun untuk terapi farmakologis, ada dua jenis obat yang biasa digunakan yaitu quick-
relief dan long-term control. Kedua jenis obat tersebut memiliki cara kerja yang berbeda. Obat-
obatquick-relief, misal bronkodilator, bekerja dengan merelaksasi otot-otot di saluran nafas sehingga
saluran nafas yang semula menyempit akan melebar kembali dan penderita mampu bernafas dengan
lega. Dengan demikian, obat-obat ini lebih efektif digunakan saat serangan asma terjadi. Adapun
obat-obat long-term relieversdigunakan untuk mencegah timbulnya serangan asma dengan mengatasi
peradangan di saluran pernafasan agar tidak semakin memburuk, antara lain dengan mengurangi
udem. Contoh obat yang termasuk long-term relievers ini adalah kortikosteroid.
Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman dan paling efektif. Tidak
salah jika obat ini banyak digunakan untuk pengobatan asma. Selain untuk membuka saluran
pernafasan yang menyempit, obat ini juga efektif untuk mencegah timbulnyaexercise-induced
broncospasm (penyempitan saluran pernafasan akibat olahraga). Saat ini, salbutamol telah banyak
beredar di pasaran dengan berbagai merk dagang, antara lain: Asmacare, Bronchosal, Buventol
Easyhaler, Glisend, Ventolin, Venasma, Volmax, dll. Selain itu, salbutamol juga telah tersedia dalam
berbagai bentuk sediaan mulai dari sediaan oral (tablet, sirup, kapsul), inhalasi aerosol, inhalasi cair
sampai injeksi. Adapun dosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
Sediaan oral
Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari
Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari
Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4 kali sehari
Dewasa : 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1 kali minum sebesar 8 mg
Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif sebesar 2 mg
Inhalasi aerosol
Anak : 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200 mcg (2 hisapan) bila perlu.
Dewasa : 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari
Inhalasi cair
Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg diberikan sampai 4 kali sehari atau 5 kali bila perlu.
Catatan : manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih diragukan.
Injeksi subkutan atau intramuscular
Dosis : 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu
Injeksi intravena lambat
Dosis : 250 mcg, diulang bila perlu
Sediaan inhalasi cair banyak digunakan di rumah sakit untuk mengatasi asma akut yang berat,
sedangkan injeksi digunakan untuk mengatasi penyempitan saluran nafas yang berat. Bentuk sediaan
lain, seperti tablet, sirup dan kapsul digunakan untuk penderita asma yang tidak dapat menggunakan
cara inhalasi. Dari berbagai bentuk sediaan yang ada, pemberian salbutamol dalam bentuk inhalasi
aerosol cenderung lebih disukai karena selain efeknya yang cepat, efek samping yang ditimbulkan
lebih kecil jika dibandingkan sediaan oral seperti tablet. Bentuk sediaan ini cukup efektif untuk
mengatasi serangan asma ringan sampai sedang, dan pada dosis yang dianjurkan, efeknya mampu
bertahan selama 3-5 jam. Beberapa keuntungan penggunaan salbutamol dalam bentuk inhalasi
aerosol, antara lain:
Efek obat akan lebih cepat terasa karena obat yang disemprotkan/dihisap langsung masuk ke saluran
nafas.
Karena langsung masuk ke saluran nafas, dosis obat yang dibutuhkan lebih kecil jika dibandingkan
dengan sediaan oral.
Efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan sediaan oral karena dosis yang digunakan
juga lebih kecil.
Namun demikian, penggunaan inhalasi aerosol ini juga memiliki kelemahan yaitu ada kemungkinan
obat tertinggal di mulut dan gigi sehingga dosis obat yang masuk ke saluran nafas menjadi lebih
sedikit dari dosis yang seharusnya. Untuk memperbaiki penyampaian obat ke saluran nafas, maka bisa
digunakan alat yang disebut spacer(penghubung ujung alat dengan mulut).
Sangat penting untuk mengetahui bagaimana cara penggunaan inhalasi aerosol yang benar.
Mengapa? Karena cara pakai yang salah bisa berakibat kegagalan terapi. Cara yang benar adalah
dengan menghisapnya secara perlahan dan menahan nafas selama 10 detik sesudahnya.
Interaksi obat-Beta blockersPasien dengan asma bisa menyebabkan bronkospasm hebat-DigoxinSalbutamol menurunkan level serum digoxin-DiuretikSalbutamol akan memperburuk kondisi penderita hipokalemia
a.Efek Samping
Tremor halus terutama tangan, ketegangan saraf, sakit kepala, vasodilatasi perifer, takikardi (jarang
pada pemberian aerosol), hipokalemia sesudah dosis tinggi, reaksi hipersensitif termasuk
bronkospasma paradoks, urtkaria, dan angio edema. Sedikit rasa sakit pada tempat injeksi
intramuskular
b.IndikasiSalbutamol merupakan agen beta adrenergik yang digunakan sebagai bronkodilator yang efektif untuk meringankan gejala asma akut dan bronkokonstriksi. Obat ini diindikasikan untuk penderita bronkospasm pada usia dewasa dan anak-anak. Di beberapa negara dikenal juga dengan nama albuterol.Mekanisme kerjanya melalui stimulasi reseptor B2 di bronki yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat perubahan adenosintrifosfat (ATP) yang kaya energi menjadi cAMP dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-proses dalam sel. Salbutamol digunakan untuk meringankan bronkospasm yang berhubungan dengan asma dan berbagai kelainan paru-paru.
c.Kontraindikasi
Kontraindikasi dari obat ini adalah untuk penderita yang hipersensitif terhadap salbutamol
maupun salah satu bahan yang terkandung di dalamnya. Adapun efek samping yang mungkin timbul
karena pamakaian salbutamol, antara lain: gangguan sistem saraf (gelisah, gemetar, pusing, sakit
kepala, kejang, insomnia); nyeri dada; mual, muntah; diare; anorexia; mulut kering; iritasi
tenggorokan; batuk; gatal; dan ruam pada kulit (skin rush). Untuk penderita asma yang disertai
dengan penyakit lainnya seperti: hipertiroidisme, diabetes mellitus, gangguan jantung termasuk
insufisiensi miokard maupun hipertensi, perlu adanya pengawasan yang lebih ketat karena
penggunaan salbutamol bisa memperparah keadaan dan meningkatkan resiko efek samping.
Pengawasan juga perlu dilakukan pada penderita asma yang sedang hamil dan menyusui karena
salbutamol dapat menembus sawar plasenta. Untuk meminimalkan efek samping maka untuk wanita
hamil, sediaan inhalasi aeorosol bisa dijadikan pilihan pertama. Penggunaan salbutamol dalam bentuk
sediaan oral pada usia lanjut sebaiknya dihindari mengingat efek samping yang mungkin muncul.
Beberapa hal penting yang perlu diketahui oleh para pengguna salbutamol untuk mengatasi
asma, adalah sebagai berikut:
Sebaiknya tidak menggunakan obat ini jika memiliki riwayat alergi terhadap salbutamol atau bahan-
bahan lain yang terkandung di dalamnya.
Untuk sediaan oral, sebaiknya diminum 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan.
Telan tablet salbutamol dan jangan memecah maupun mengunyahnya.
Untuk sediaan inhalasi, kocok dulu sebelum digunakan dan buang 4 semprotan pertama jika
menggunakan inhaler baru atau inhaler yang sudah tidak terpakai selama lebih dari 2 minggu.
Sebaiknya berkumur setiap kali sehabis mengkonsumsi salbutamol supaya tenggorokan dan mulut
tidak kering.
Jika dibutuhkan lebih dari 1 hisapan dalam sekali pemakaian, maka beri jarak waktu minimal 1 menit
untuk setiap hisapan.
Simpan obat pada suhu kamar agar stabil (aerosol: 15-25o C; inhalasi cair: 2-25o C dan sirup: 2-30o C)
Jika ada dosis yang terlewat, segera minum salbutamol yang terlewat. Namun jika waktu yang ada
hampir mendekati waktu pengonsumsian selanjutnya, lewati pengonsumsian yang tertinggal
kemudian lanjutkan mengkonsumsi salbutamol seperti biasa. Jangan pernah mengkonsumsi 2 dosis
dalam sekali pemakaian.
Obat-obat golongan beta blocker, seperti: propanolol, metoprolol, atenolol, dll bisa menurunkan efek
salbutamol.
Penggunaan salbutamol dosis tinggi bersamaan dengan kortikosteroid dosis tinggi akan meningkatkan
resiko hipokalemia.
Asetazolamid, diuretik kuat dan thiazida dosis tinggi akan meningkatkan resiko hipokalemia jika
diberikan bersamaan dengan salbutamol dosis tinggi pula.
Penggunaan salbutamol bersama dengan obat golongan MAO-inhibitor (misal: isocarboxazid,
phenelzine) bisa menimbulkan reaksi yang serius. Hindari pemakaian obat-obat golongan ini 2
minggu sebelum, selama maupun sesudah konsumsi salbutamol.
Asma merupakan penyakit yang membutuhkan terapi jangka panjang sehingga perlu
dilakukan monitoring terhadap perkembangannya secara terus-menerus untuk melihat apakah obat
yang diberikan cocok atau tidak. Ada kalanya asma tidak cukup diatasi hanya dengan satu macam
obat saja, sehingga perlu penambahan obat (kombinasi obat). Maka dari itu, pengetahuan akan salah
satu jenis obat saja tidak cukup karena masih banyak obat selain salbutamol yang tentu saja memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Agar tujuan terapi tercapai, maka penderita asma dianjurkan tetap proaktif dan semangat
dalam mengatasi penyakitnya. Pengendalian asma yang tepat akan mampu meningkatkan kualitas
hidup penderita asma sehingga bisa menjalani hidupnya secara menyenangkan. Dan satu hal yang
perlu diingat: jangan biarkan asma mengendalikan hidup Anda, tetapi Andalah yang harus
mengendalikan asma.
Nama Generik Dan Dagang
Salbutamol, Astop, Bromosal, Lasal, Proventol, Respolin, Salbumax Turbuhaler, Ventolin, Volmax.
TANGGUNG JAWAB PERAWAT
Monitoring: pemberian salbutamol secara intravena pada penderita diabetes yang memiliki kadar gula
darah tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Anonim, 2006, MIMS Petunjuk Konsultasi, Ed. Ke-6, 70-76, PT. InfoMaster, Jakarta
Dipiro, J.T., 1997, Pharmacotherapy “A Pathophysiologyc Approach“, 3rd Ed., Appleton & Lange
Stamford, Connecticut
Katzung, B.G., 2001, Farmakologi Dasar & Klinik, Ed.I, Salemba Medika, Jakarta
Lacy, Charles F.; Armstrong, Lora I.; Goldman, Morton P., 2003, Drug Information Handbook,
11th Ed., 45-46, Lexi-Comp Inc., Canada
Paul, Les and Nagle, Becky, 2002, The Essential Medication Guidebook To Healthy Aging, 99-
104, Ballantine Books, New York