24
PERAN ASUPAN SUKROSA TINGGI TERHADAP KADAR SGPT DAN SGOT TIKUS GALUR WISTAR SEBAGAI INDIKATOR FUNGSI HATI PAWITRA LINTANG ANDAYANI DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

PERAN ASUPAN SUKROSA TINGGI TERHADAP KADAR … · monosakarida yaitu satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa dihubungkan oleh ikatan glikosida (Rahman et al. 2004). Hidrolisis

  • Upload
    buianh

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PERAN ASUPAN SUKROSA TINGGI TERHADAP KADAR

SGPT DAN SGOT TIKUS GALUR WISTAR SEBAGAI

INDIKATOR FUNGSI HATI

PAWITRA LINTANG ANDAYANI

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Asupan Sukrosa

Tinggi Terhadap Kadar SGPT dan SGOT Tikus Galur Wistar Sebagai Indikator

Fungsi Hati adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Pawitra Lintang Andayani

NIM B04100158

ABSTRAK

PAWITRA LINTANG ANDAYANI. Peran Asupan Sukrosa Tinggi Terhadap

Kadar SGPT dan SGOT Tikus Galur Wistar Sebagai Indikator Fungsi Hati.

Dibimbing oleh KOEKOEH SANTOSO dan ATIN SUPIYANI.

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan hubungan antara pemberian

sukrosa sebagai pakan tambahan dengan berbagai variasi dosis pemberian

terhadap kadar SGPT dan SGOT pada tikus Wistar. Kadar SGPT dan SGOT

dalam serum darah dijadikan indikator untuk mengetahui fungsi hati. Dua belas

ekor tikus jantan galur Wistar berusia tiga bulan dikelompokkan berdasarkan

dosis pemberian (20%, 40%, 60% total energi pakan yang diberikan, serta

kelompok kontrol). Sukrosa diberikan secara per oral sehari sekali selama 70 hari

dengan dosis yang sudah ditentukan dengan cara pencekokan. Analisa dan

penghitungan kadar SGPT dan SGOT dilakukan menggunakan spektofotometer.

Hasil penelitian menunjukan bahwa asupan sukrosa meningkatkan secara nyata

konsentrasi SGPT dan SGOT dalam serum darah.

Kata kunci: hati, SGOT, SGPT, sukrosa, tikus Wistar

ABSTRACT

PAWITRA LINTANG ANDAYANI. Role of High Sucrose Intake to SGPT and

SGOT Concentration in Wistar Rats As Indicator of Liver Function. Supervised

by KOEKOEH SANTOSO dan ATIN SUPIYANI.

The aim of the study was to determine the correlation between sucrose

intake at various administration doses to SGPT and SGOT level in Wistar rats.

SGPT and SGOT level in blood serum were used as parameter of liver function.

Twelve rats were grouped according to administration doses (20%, 40%, 60% of

given feed total energy and control group). Sucrose was administered orally once

a day for 70 days at given doses by force feeding. SGPT dan SGOT level were

analyzed and measured by spectrophotometer. The result indicated that sucrose

intake caused a significant increase of SGPT and SGOT level in blood serum.

Keywords: liver, SGOT, SGPT, sucrose, Wistar rats

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi

PERAN ASUPAN SUKROSA TINGGI TERHADAP KADAR

SGPT DAN SGOT TIKUS PUTIH GALUR WISTAR SEBAGAI

INDIKATOR FUNGSI HATI

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

PAWITRA LINTANG ANDAYANI

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Koekoeh Santoso, MS

selaku pembimbing pertama dan Ibu Drh Atin Supiyani, M.Si dari Universitas

Negeri Jakarta selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan tugas

akhir ini. Atas bantuan dan bimbingannya juga saya sampaikan terima kasih

kepada Ibu Ida dan Ibu Sri yang selalu siap memberi arahan dan bantuan dalam

setiap kegiatan laboratorium. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada

keluarga tercinta (Ibu, Bapak, Mbak Gayatri, Mbak Sita, Demon, serta seluruh

keluarga besar) yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tiada hentinya.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Arja, Ita, dan Yanuar sebagai teman

satu penelitian yang bersama-sama melakukan penelitian ini dan terus memberi

semangat dan dorongan. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Tasha,

Talita, Mariska, dan Nadia atas semangat, dukungan, dan hiburan yang diberikan,

serta kepada seluruh teman-teman Acromion 47 yang telah berjuang bersama.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan semua

pihak yang berkepentingan.

Bogor, September 2015

Pawitra Lintang Andayani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

METODE 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 11

RIWAYAT HIDUP 14

DAFTAR TABEL

1 Bobot hati tikus pada berbagai variasi dosis pemberian sukrosa 6

2 Rata-rata konsentrasi SGPT tikus pada berbagai variasi dosis pemberian

sukrosa 7

3 Rata-rata konsentrasi SGOT tikus pada berbagai variasi dosis pemberian

sukrosa 8

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur molekul sukrosa 2

2 Metabolisme sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa 4

3 Konsentrasi SGPT serum darah terhadap dosis sukrosa 7

4 Kurva regresi linier antara dosis pemberian sukrosa dengan

konsentrasi SGPT serum darah 8

5 Konsentrasi SGOT serum darah terhadap dosis sukrosa 9

6 Kurva regresi linier antara dosis pemberian sukrosa dengan

konsentrasi SGOT serum darah 9

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Makanan merupakan hal penting bagi kehidupan suatu makhluk hidup

karena makanan adalah kebutuhan pokok bagi makhluk hidup. Makanan tidak

hanya berfungsi sebagai sumber energi bagi tubuh, namun juga membantu proses

pertumbuhan atau perkembangan, mengganti jaringan tubuh yang rusak, mengatur

metabolisme dan berbagai keseimbangan air, mineral, dan cairan tubuh lain, juga

berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit

(Notoatmodjo 2003).

Semakin berkembangnya masyarakat turut mengubah tren dan pola makan

masyarakat. Perubahan pola makan masyarakat kepada fast food, makanan dan

minuman dengan kadar gula tinggi, kini semakin wajar terjadi di semua lapisan

masyarakat. Hal ini menjadi salah satu faktor utama penyebab timbulnya penyakit

degeneratif dan metabolis, yang telah menggeser posisi penyakit infeksi sebagai

penyakit dengan kejadian tertinggi di dunia. Penyakit-penyakit degeneratif

tersebut antara lain adalah penyakit kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah)

termasuk hipertensi, diabetes melitus, dan kanker (Brunner dan Suddarth 2002).

Sukrosa dan fruktosa telah banyak dijadikan bahan penelitian untuk dilihat

dampak yang akan terjadi pada hati apabila terus-menerus dikonsumsi. Konsumsi

fruktosa dan sukrosa yang tinggi dapat meningkatkan kejadian obesitas dan

diabetes, penyakit metabolis, dan penyakit kardiovaskular (Rippe dan

Angelopoulos 2013). Asupan pakan yang mengandung sukrosa tinggi pada

rodensia akan menyebabkan perkembangan yang mengarah ke obesitas, resistensi

insulin, diabetes, dislipidemia, hati yang berlemak, dan tekanan darah tinggi

(Bizeau dan Pangliassotti 2005), sedangkan pada manusia dapat mengarahkan

kepada kondisi dislipidemia dan penyakit jantung koroner.

Hati sebagai tempat metabolisme berbagai senyawa yang masuk ke dalam

tubuh menjadi organ tubuh yang paling rentan terhadap pengaruh berbagai zat

atau senyawa kimia. Indikator kerusakan hati salah satunya dilihat melalui

peningkatan enzim-enzim hati seperti Serum Glutamic Pyruvic Transaminase

(SGPT) dan Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) (Panjaitan et al.

2007). Peningkatan kedua kadar enzim ini terjadi bila ada pelepasan enzim secara

intraseluler ke dalam darah yang disebabkan nekrosis sel-sel hati atau adanya

kerusakan hati secara akut (Wallace 1989).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian sukrosa dalam

berbagai variasi dosis terhadap fungsi hati dengan menggunakan kadar SGPT dan

SGOT pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar sebagai indikator.

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai dampak

asupan sukrosa yang tinggi terhadap fungsi hati melalui pengamatan kadar SGPT

dan SGOT dalam serum darah.

TINJAUAN PUSTAKA

Sukrosa

Sukrosa, atau yang umum disebut gula, merupakan disakarida dengan

rumus kimia C12H22O11 (ß-D-fructofuranosyl-α-D-glucopyranoside) yang

mempunyai berat molekul 342.3 kDa (Fessenden dan Fessenden 1986). Sukrosa

merupakan salah satu disakarida yang ditemukan dalam bentuk bebas (tidak

berikatan dengan senyawa lain) di dalam tanaman. Sukrosa umumnya diperoleh

dari tanaman tebu (Saccharum officinarum) yang merupakan tanaman daerah

tropis, serta tanaman bit (Beta vulgaris). Sukrosa menjadi pemanis yang umum

digunakan dalam industri pangan. Sukrosa tersusun dari dua molekul

monosakarida yaitu satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa dihubungkan

oleh ikatan glikosida (Rahman et al. 2004). Hidrolisis sukrosa menjadi glukosa

dan fruktosa terjadi dalam usus halus oleh enzim sukrase atau invertase (Poedjiadi

dan Supriyanti 2005). Konsumsi sukrosa tinggi akan menyebabkan peningkatan

glukosa darah secara cepat dan drastis. Sehingga dibutuhkan respon cepat pula

oleh tubuh untuk mengembalikan konsentrasi glukosa darah menjadi normal.

Dalam hal tersebut dibutuhkan pelepasan insulin dalam jumlah besar (Linder

2010).

Sukrosa atau gula berfungsi untuk memberikan rasa manis dan kelembutan

yang mempunyai daya larut tinggi, mempunyai kemampuan menurunkan aktivitas

air (aw) dan mengikat air (Hidayat dan Ikariztiana 2004). Gula akan mengalami

karamelisasi apabila dipanaskan, serta sering mengalami kristalisasi. Pada suhu

20oC hanya 66.7 % sukrosa murni yang dapat larut. Bila larutan sukrosa 80%

dimasak hingga 109.6oC dan kemudian didinginkan hingga 20oC, 66.7% sukrosa

akan terlarut, dan 13.3% akan terdispersi. Bagian terdispersi inilah yang akan

menyebabkan kristalisasi pada hasil pemanasan sukrosa.

Gambar 1 Struktur molekul sukrosa (NCIB 2004)

3

Metabolisme Energi di Hati

Hati merupakan organ terbesar dalam sistem pencernaan. Hati memiliki

peran sangat penting dan kompleks dalam metabolisme energi tubuh. Fungsi hati

dalam hal metabolisme energi meliputi metabolisme karbohidrat, lemak, dan

protein (Raff dan Levitzy 2011). Pada proses metabolisme karbohidrat, bila

senyawa yang ditemukan dalam tubuh berupa sukrosa, laktosa, dan maltosa maka

senyawa tersebut akan dipecah menjadi senyawa monosakarida. Monosakarida

yang dibentuk dapat berupa glukosa, galaktosa, atau fruktosa. Namun bentuk

karbohidrat yang paling penting bagi tubuh adalah glukosa karena semua jenis

karbohidrat (monosakarida, disakarida, dan polisakarida) pada akhirnya akan

diubah menjadi glukosa sebelum digunakan oleh tubuh. Molekul glukosa akan

mengalami proses metabolisme yang disebut glikolisis untuk dapat menghasilkan

energi (Vander et al. 2011). Proses glikolisis dapat terjadi melalui proses

anaerobik dan proses aerobik. Proses metabolisme secara anaerobik akan

berlangsung dalam sitoplasma sel, sedangkan proses metabolisme secara aerobik

akan berjalan menggunakan enzim sebagai katalis di dalam mitokondria.

Proses glikolisis atau proses metabolisme glukosa menjadi energi

berlangsung dibantu oleh kerja sepuluh jenis enzim yang berfungsi sebagai katalis

dalam sitoplasma sel. Inti dari proses glikolisis adalah pemecahan glukosa 6-

karbon menjadi dua molekul piruvat 3-karbon. Proses glikolisis akan

menghasilkan molekul ATP dan molekul NADH. Molekul ATP yang terbentuk

ini yang akan menjadi sumber energi bagi sel. Dalam kondisi aerobik hasil akhir

proses glikolisis, yaitu piruvat, akan teroksidasi menjadi produk akhir berupa H2O

dan CO2 pada tahapan yang disebut respirasi seluler. Proses respirasi seluler ini

dibagi menjadi tiga tahap yaitu produksi asetil koenzim-A, siklus asam sitrat, dan

rantai transport elektron.

Glukosa dan monosakarida lain yang telah dipecah dari berbagai macam

bentuk karbohidrat akan berpindah dari membran sel epitel usus halus menuju

darah. Apabila kadar glukosa dalam darah tinggi maka hati akan menjalankan

fungsinya sebagai buffer glukosa darah (Guyton dan Hall 2008), yaitu mengubah

sebagian glukosa menjadi glikogen dan disimpan di hati atau otot melalui proses

glikogenesis. Bila kadar glukosa dalam tubuh masih tinggi maka akan diubah

menjadi lemak oleh jaringan adiposa. Sebaliknya apabila kadar glukosa dalam

darah dianggap rendah, maka hati akan menjalankan proses glikogenolisis yaitu

pemecahan senyawa glikogen menjadi glukosa (Raff dan Levitzy 2011). Fruktosa

yang masuk ke dalam tubuh hampir semua akan dikonversi oleh hati menjadi

produk antara dalam lintasan glikolisis berupa piruvat atau α-gliserofosfat.

Sehingga apabila fruktosa memasuki organ hati bersama dengan glukosa, maka

akan menjadi sumber karbon secara langsung untuk pembentukan asam lemak dan

trigliserida (Linder 2010).

4

Gambar 2 Metabolisme sukrosa menjadi fruktosa

dan glukosa (Keurentjes et al. 2008)

Serum Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT)

SGPT dan SGOT merupakan enzim transaminase yang sering dijadikan

indikator kerusakan sel hati, sehingga sering dianggap sebagai parameter fungsi

hati (Husadha 1999). Serum glutamic piruvat transaminase (SGPT) atau alanine

aminotransferase (ALT) merupakan indikator yang lebih peka dibandingkan

SGOT karena hanya terdapat di hepatosit dan memiliki konsentrasi rendah pada

jaringan lain. SGPT berfungsi sebagai katalisator pemindahan satu gugus amino

dari alanin dan α-ketoglutarat. Kadar SPGT meningkat pada kasus kerusakan hati

akibat penggunaan obat atau zat kimia. Kadar SGPT dalam darah paling tinggi

ditemukan pada kasus dengan nekrosis yang meluas, sedangkan pada peningkatan

yang rendah dikaitkan dengan penyakit hati kronik difus atau lokal (Podolsky dan

Isselbacher 2002). Kadar SGPT yang mendadak turun dapat mengindikasikan

kerusakan yang parah sehingga sumber enzim yang tersisa habis.

Serum Glutamat Oksaloasetat Transminase (SGOT)

Serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) atau sering pula disebut

aspartate aminotransferase (AST) merupakan enzim di dalam mitokondria sel

parenkim hati, yang banyak ditemukan pula pada otot, jantung, ginjal, dan otak

(Widmann 1989). Sama seperti SGPT, bila jaringan dimana enzim ini berada

mengalami kerusakan, maka akan menyebabkan keluarnya enzim ini dari sel

menuju intraseluler, hingga ke dalam sirkulasi darah. SGOT meningkat lebih khas

pada kasus sirosis, kanker hati, dan hepatitis kronis (Willard dan Tvedten 2012).

Kadar SGPT dan SGOT meningkat pada hampir semua penyakit hati (Ganai et al.

2014).

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Februari 2014.

Penelitian dilaksanakan di kandang Unit Pengelola Hewan Laboratorium dan

Laboratorium Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

5

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus

berpenutup kawat kasa, timbangan analitik, sentrifuge Heraeus 400R,

spektrofotometer Hitachi U-2001, syringe 24 G, spoit 3 mL, kuvet, sonde

lambung, tabung reaksi, mikropipet, tabung eppendorf, alas bedah tikus, peralatan

bedah, freezer Sanyo MDF-192, test tube rotator, dan tisu. Bahan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pakan tikus berupa pellet, larutan sukrosa,

larutan eter, GOT dan GPT IFFC mod. liquiUV Humazym Test Kit (Human),

hewan coba yang digunakan adalah 12 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) galur

Wistar jantan berumur tiga bulan.

Hewan Coba

Hewan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih (Rattus

norvegicus) galur Wistar jantan berumur tiga bulan dengan bobot badan 200-250

gram. Tikus dipelihara di kandang Unit Pengelola Hewan Laboratorium, Fakultas

Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan dilakukan

menggunakan kandang plastik berukuran 30 x 40 cm, dengan tutup terbuat dari

kawat ram dan dialasi serbuk kayu. Tikus diberi pakan pellet standar dan minum

ad libitum. Lingkungan kandang dibuat tidak lembap dengan sirkulasi udara yang

baik, serta penyinaran yang cukup terang (±14 jam) dan gelap selama ±10 jam.

Prosedur Penelitian

Tikus sebanyak 12 ekor dibagi dalam empat kelompok yaitu kelompok

kontrol, kelompok sukrosa 20%, kelompok sukrosa 40%, serta kelompok sukrosa

60%. Presentase sukrosa dihitung dari total energi pakan harian yang diberikan.

Total energi pakan ditentukan setelah dilakukan observasi terhadap pola konsumsi

pakan tikus pada periode pra penelitian. Setelah dilakukannya observasi, didapat

bahwa jumlah konsumsi pakan adalah 15.6 g/ekor/hari. Setelah dikalikan dengan

nilai energi pakan (4 kkal/g), didapat bahwa total energi pakan harian adalah

62.56 kkal/ekor/hari. Sukrosa dicekok sebanyak sekali sehari, sementara

kelompok kontrol dicekok dengan air mineral. Pencekokan dilakukan selama 70

hari.

Pengambilan data yang dilakukan berupa pengukuran bobot organ hati dan

pengambilan serum darah untuk pengukuran kadar SGPT dan SGOT. Laparotomi

dilakukan untuk pengambilan darah secara intrakardial. Sebelum dilakukan

pembedahan dilakukan pembiusan secara perinhalasi menggunakan eter yang

dilanjutkan dengan dislokasi servikal. Sampel darah selanjutnya disentrifugasi

dengan kecepatan 2500 rpm selama 25 menit untuk didapatkan serum darah.

Setelah pengambilan darah, dilakukan pengambilan organ hati. Organ hati

ditimbang menggunakan timbangan analitik. Bobot yang diperoleh dinyatakan

dalam satuan gram.

6

Prosedur Pengujian SGPT dan SGOT

Pengujian dilakukan menggunakan GOT dan GPT IFCC mod.liquiUV Test

Kit oleh Human. Kadar SGOT dan SGPT ditentukan dengan menggunakan

spektrofotometer. Pengambilan darah tikus dilakukan secara intrakardial dengan

menggunakan syringe. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi tanpa

antikoagulan dan disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 25 menit.

Serum yang telah terpisah diambil menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam

tabung eppendorf. Kemudian dilakukan pengukuran kadar SGPT dan SGOT

menggunakan test kit. Dalam tabung reaksi yang telah disiapkan, dicampurkan

200 µl sampel atau serum darah dengan 1000 µl larutan buffer. Setelah tercampur,

larutan tersebut diinkubasi selama lima menit pada suhu 30ºC. Pada tabung reaksi

yang sama kemudian ditambahkan 250 µl substrat dan diinkubasi kembali selama

lima menit pada suhu yang sama. Optical density (OD) diukur menggunakan

spektrofotometer dengan panjang gelombang 340 nm. Pembacaan optical density

diulang sebanyak tiga kali dengan interval waktu satu menit. Delta absorben per

menit yang didapatkan dikalikan dengan faktor konversi sebesar 952 untuk

didapatkan kadar SGOT dan SGPT dalam serum darah.

Analisis Data

Pengujian statistika yang dilakukan terhadap nilai kadar SGPT dan SGOT

yakni one-way analysis of variance (ANOVA) yang kemudian dilanjutkan ke uji

Duncan apabila diperoleh hasil berbeda nyata, serta uji korelasi. Piranti lunak

SPSS 17.0 digunakan untuk membuat grafik regresi linier, one-way ANOVA, dan

uji korelasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata bobot hati tikus yang diperoleh pada penelitian dicantumkan

pada Tabel 1.

Tabel 1 Rata-rata bobot hati tikus pada berbagai variasi dosis pemberian sukrosa

Dosis sukrosa Bobot hati (g)

Kontrol 6.67 ± 1.155

20% total energi 6.67 ± 1.155

40% total energi 9.00 ± 1.000

60% total energi 8.00 ± 2.646

Rata-rata bobot hati tikus yang dicatat tidak berbeda nyata antar dosis

pemberian sukrosa (sig.˃0.05) dan dosis pemberian sukrosa memiliki hubungan

korelasi sedang dengan bobot hati (R = 0.428). Teel dan Peters (2003)

menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara bobot hati tikus

7

yang diberi asupan tambahan sukrosa (65% total energi pakan) dengan tikus

kelompok kontrol.

Rata-rata konsentrasi SGPT dalam serum darah yang diperoleh pada

penelitian dicantumkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rata-rata konsentrasi SGPT tikus pada berbagai variasi dosis pemberian

sukrosa

Dosis sukrosa Konsentrasi SGPT (IU/L)

Kontrol 5.87 ± 0.714 a

20% total energi 10.63 ± 1.800b

40% total energi 15.23 ± 1.118c

60% total energi 13.65 ± 1.535c Huruf superscript (a,b,c) yang berbeda dalam kolom dan baris yang sama menyatakan

berbeda nyata (p<0.05).

Konsentrasi SGPT yang diobservasi memiliki perbedaan yang nyata antara

kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (sig.<0.05). Hasil uji regresi

pertambahan dosis pemberian sukrosa terhadap konsentrasi SGPT serum darah

berupa persamaan y = 7.151 + 0.140x yang bermakna terjadi kenaikan konsentrasi

SGPT sebesar 0.140 IU/L pada setiap kenaikan dosis pemberian sukrosa. Terdapat

hubungan positif yang sangat kuat antara dosis pemberian sukrosa dengan

konsentrasi SGPT serum darah (R = 0.836) dengan 70.0% kenaikan konsentrasi

SGPT serum darah dipengaruhi oleh kenaikan dosis pemberian sukrosa (R2 =

0.700).

Gambar 3 Konsentrasi SGPT serum darah terhadap dosis sukrosa

8

Gambar 4 Kurva regresi linier antara dosis pemberian sukrosa

dengan konsentrasi SGPT serum darah

Rata-rata konsentrasi SGOT dalam serum darah yang diperoleh pada

penelitian dicantumkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata konsentrasi SGOT tikus pada berbagai variasi dosis pemberian

sukrosa

Dosis sukrosa Konsentrasi SGOT (IU/L)

Kontrol 9.22 ± 0.894a

20% total energi 12.38 ± 2.919b

40% total energi 16.50 ± 1.989c

60% total energi 38.71 ± 4.884c Huruf superscript (a,b,c) yang berbeda dalam kolom dan baris yang sama menyatakan

berbeda nyata (p<0.05).

Konsentrasi SGOT yang dicatat berbeda nyata antara kelompok perlakuan

dengan kelompok kontrol (sig.<0.05). Terlihat pula peningkatan konsentrasi

SGOT serum darah seiring peningkatan dosis pemberian sukrosa. Hasil uji regresi

pertambahan dosis pemberian sukrosa terhadap konsentrasi SGOT serum darah

berupa persamaan y = 5.310 + 0.463x yang bermakna terjadi kenaikan konsentrasi

SGOT sebesar 0.463 IU/L pada setiap kenaikan dosis pemberian sukrosa.

Terdapat hubungan positif yang sangat kuat antara dosis pemberian sukrosa

dengan konsentrasi SGOT serum darah (R = 0.876) dengan 76.7% kenaikan

konsentrasi SGOT serum darah dipengaruhi oleh kenaikan dosis pemberian

sukrosa (R2 = 0.767).

9

Gambar 5 Konsentrasi SGOT serum darah terhadap dosis sukrosa

Gambar 6 Kurva regresi linier antara dosis pemberian sukrosa dengan

konsentrasi SGOT serum darah

Peningkatan konsentrasi SGPT dan SGOT juga terjadi pada tikus yang

diberi asupan tambahan fruktosa pada penelitian Botezelli et al. (2012).

10

Peningkatan konsentrasi SGPT dan SGOT disebabkan oleh kerusakan

hepatoseluler yang dapat terjadi akibat berbagai macam penyakit (Willard dan

Tvedten 2012). Apabila hati dipaksa untuk bekerja berlebihan seperti tingginya

aktivitas metabolisme dalam hati, dapat menyebabkan meningkatnya kerja

mitokondria dalam menghasilkan energi bagi sel. Hal ini kemudian merangsang

terjadinya reaksi oksidatif stres, dimana sel mengalami apoptosis dan

mengeluarkan enzim aminotransferase yang terdapat dalam sel tersebut (Guyton

dan Hall 2008). Selain itu, kedua enzim aminotransferase dalam sel hati akan

lebih mudah masuk ke dalam peredaran darah karena terjadi perubahan

permeabilitas membran sel sehingga kadar enzim tersebut akan meningkat dalam

darah (Murray et al. 2006). Konsentrasi SGPT dan SGOT dapat meningkat pula

akibat kegiatan fisik yang berlebihan, myopati, dan kondisi hipertiroid (Giboney

2005). Sel darah merah dan otot lurik mengandung sedikit SGPT sehingga apabila

mengalami kerusakan akan menyebabkan kenaikan konsentrasi yang relatif kecil,

yaitu sekitar dua sampai tiga kali jumlah normal. Peningkatan konsentrasi yang

tinggi sebanyak tiga kali atau lebih jumlah normal dapat mengindikasikan

kebocoran enzim SGPT pada sel hati, namun tidak selalu menggambarkan

kerusakan hati yang parah. Peningkatan konsentrasi SGPT sebanyak tiga kali

jumlah normal umumnya disebabkan oleh trauma operasi, hepatitis kronis, sirosis,

cholangitis, dan cholangiohepatitis (Willard dan Tvedten 2012). Namun dalam

beberapa kasus penyakit hati dapat terjadi tanpa diikuti peningkatan konsentrasi

SGPT dan SGOT.

Beberapa penelitian seperti yang disampaikan oleh Sanchez-Lozada et al.

(2009) menunjukkan bahwa konsumsi sukrosa yang tinggi menginduksi terjadinya

peradangan ringan pada jaringan hati khususnya daerah periportal. Kejadian yang

sama juga dilaporkan oleh Fu et al. (2010), yaitu terjadi peradangan dan steatosis

ringan pada daerah periportal tikus yang diberi pakan tambahan sukrosa. Selain

itu disebutkan pula konsumsi sukrosa yang tinggi dapat menyebabkan fatty liver,

peningkatan asam urea dan trigliserida dalam hati, serta peningkatan jumlah

monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) dan tumor necrosis factor-alpha

(TNF-α). Bahkan SGPT, bersama dengan GGT, telah sering dijadikan salah satu

penanda terjadinya fatty liver (Targher 2009; Schindhlem et al. 2006; Vernon et

al. 2011). Pada manusia dilaporkan pula bahwa asupan sukrosa secara kronis

dapat meningkatkan trigeliserida dan enzim transaminase hati (Porikos dan Van

Itallie 1983). Penyakit lain seperti resistensi insulin dapat terjadi dengan

pemberian asupan sukrosa sekitar 18% dari total energi pada tikus setelah empat

bulan pemberian (Bizeau dan Pangliassotti 2005).

Beberapa penelitian mengggambarkan bahwa diet tinggi sukrosa dapat

mengarahkan tubuh ke dalam kondisi metabolic syndrome. Metabolic syndrome

yang terjadi dapat berupa resistensi insulin atau Non Alcoholic Fatty Liver

Disease (NAFLD). Menurut penelitian Ouyang et al (2008), konsumsi fruktosa

dalam jangka lama dapat menyebabkan terjadinya NAFLD pada manusia. Hal

yang sama terjadi pada tikus dimana konsumsi fruktosa akan menaikkan sintesis

dan penyimpanan trigliserida di dalam hati sehingga menyebabkan kondisi hati

berlemak (Ackerman et al 2005). Pada penelitian Nakagawa et al (2006), tikus

yang diberi asupan fruktosa mencapai 60% total energi selama empat minggu,

mengalami kondisi hyperuricemia, hypertriglyceridemia, dan hyperinsulinemia.

11

Menurut Blakely et al. (1981), konsumsi fruktosa 14% dari total energi pada tikus

menyebabkan resistensi insulin dalam waktu sembilan bulan.

Carl (2006) menyebutkan bahwa pada kerusakan hati yang semakin besar

kadar SGOT dan SGPT umumnya tidak memperlihatkan peningkatan. Bahkan

kadar kedua enzim tersebut justru menurun akibat kerusakan sel-sel hepatosit

yang semakin meluas, sehingga produksi enzim tidak bertambah. Hal yang serupa

juga disampaikan oleh Panjaitan et al. (2007) dimana pada tingkat kerusakan yang

luas dan parah, ketersediaan kedua enzim tersebut menjadi rendah akibat

kemampuan sel hati mensintesis enzim tersebut sudah berkurang.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian asupan sukrosa pada tikus galur Wistar sebagai pakan tambahan

tidak memengaruhi bobot hati tikus. Asupan sukrosa meningkatkan secara nyata

konsentrasi SGPT dan SGOT dalam serum darah.

Saran

Peran asupan sukrosa yang tinggi terhadap organ hati dapat dilanjutkan

dengan pengamatan secara histopatologi serta melalui parameter kerusakan hati

lainnya. Serta dapat dikaji lebih lanjut efek asupan sukrosa tinggi dengan lama

pencekokan di atas 70 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman Z, Oron-Herman M, Grozovski M, Rosenthal T, Pappo O, Link G, Sela

BA. 2005. Fructose-induced fatty liver disease: hepatic effects of blood

pressure and plasma triglyceride reduction. Hypertension 45(5): 1012-1018.

Botezelli JD, Cambri LT, Ghezzi AC, Dalia RA, Voltarelli, de Mello MAR. 2012.

Fructose-rich diet leads to reduced aerobic capacity and to liver injury in rats.

Lipids Health Dis 11:78.

Bizeau ME, Pangliassotti MJ. 2005. Hepatic adaptions to sucrose and fructose.

Met Clin Exp 54:1189-1201. doi: 10.106/j.metabol.2005.04.004.

Blakely SR, Hallfrisch j, Reiser S, Prather ES. 1981. Long-term effects of

moderate fructose feeding on glucose tolerance parameters in rats. J Nutr

111(2): 307-314.

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta (ID):

EGC.

Carl A, Edward R, David E. 2006. Clinical Chemistry an Molecular Diagnostic

II. Philadelphia (US): Elsevier.

Fessenden RJ, Fessenden JS. 1986. Kimia Organik. Jakarta (ID): Erlangga.

Fu J, Sun H, Wang Y, Zheng W, Wang Q, Shi Z. 2010. The effects of fat and

sugar-enriched diet and chronic stress on nonalcoholic fatty liver disease in

male wistar rats. Dig Dis Sci 55:2227-2236. doi: 10.1007/s10620-009-1019-6.

12

Ganai AA, Jahan S, Ahad A, Abdin MZ, Farooqi H. 2014. Glycine propionyl l-

carnitine attenuates d-Galactosamine induced fulminant hepatic failure in

wistar rats. Elsavier 214: 33-40. doi: 10.1016/j.cbi.2014.02.2006.

Giboney PT. 2005. Mildly elevated liver transminase levels in the asymptomatic

patient. AM Fam Phy 71(6): 1105-1110.

Guyton AC, Hall JE. 2008. Textbook of Medical Physiology. Jakarta (ID): EGC.

Hidayat, Ikariztiana. 2004. Membuat Permen Jelly. Surabaya (ID): Trubus

Agrisarana.

Husadha Y. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta (ID): Gaya Baru.

Keurentjes JB, Sulpice R, Yves Gibon, Steinhauser M, Fu J, Koorneef M, Stitt M,

Vreugdenhil D. 2008. Integrative analyses of genetic variation in enzyme

activities of primary carbohydrate metabolism reveal distinct modes of

regulation in. Gen Biol 9:129. dio: 10.1186/gb-2008-9-8-r129.

Linder MC. 2010. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme: Dengan Pemakaian Secara

Klinis. Jakarta (ID): UI-Press.

Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. 2006. Harper’s Illustrated Biochemistry.

Ed ke-27. Jakarta (ID): EGC.

Nakagawa T, Hu H, Zharikov S, Tuttle KR, Short RA, Glushakova O, Ouyang X,

Feig DI, Block ER, Herrera-Acosta J et al. 2006. A causal role for uric acid in

fructose-induced metabolic syndrome. Am J Physiol Renal Physiol 290(3):

625-631.

[NCIB]. National Center for Biotechnology Information. 2015. Sucrose. Tersedia

pada: https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/5988.

Notoadmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka

Cipta.

Ouyang X, Cirillo P, Sautin Y, McCall S, Bruchette JL, Diehl AM, Johnson RJ,

Abedelmalek MF. 2008. Fructose Consumption as a risk factor for non-

alcoholic fatty liver disease. J Hepatol 48(6): 993-999. doi:

10.1016/j.hep.2008.02.011.

Panjaitan et al. 2007. Pengaruh pemberian karbon tetraklorida terhadap fungsi hati

dan ginjal tikus. Makara Kesehatan 11(1): 11-16.

Podolsky W, Isslebacher. 2002. Tes Diagnostik pada Penyakit Hati. Dalam:

Harisson Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed ke-13. Jakarta (ID): EGC.

Poedjiadi A, Supriyanti T. 2005. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta (ID): UI-Press.

Porikos KP, Van Itallie TB. 1983. Diet-induced changes in serum transaminase

dan triglyceride levels in healthy adult men: role of sucrose and excess

calories. AM J Med 75(4): 624-630. doi:10.1016/0002-9343(83)90444-8.

Raff H, Levitzy M. 2011. Medical Physiology: A System Approach. New York

(US): McGraw Hill.

Rahman M, Palash KS, Fida MH, Sarnad MAM, Habibur MR. 2004. Purification

and characterization of invertase enzym from sugarcane. Pakist Jour Bio Sci

7:340-345.

Rippe JM, Angelopoulos TJ. 2013. Sucrose, high-fructose corn syrup, and

fructose, their metabolism and potential health effect: what do we really

know?. Adv Nutr 4: 236-245. doi: 10.3945/an. 112.002824.

Sanchez-Lozada LG, Mu W, Roncal C, Sautin YY, Abdelmalek M, Reungjui S,

Le M, Nakagawa T, Lan HY, Yu X et al. 2010. Comparison of free fructose

13

and glucose to sucrose in the ability to cause fatty liver. Eur J Nutr 49:1-9.

doi:10.1007/s00394-009-0042-x.

Schindhelm RK, Diamant M, Dekker JM. Tushuizen ME, Teerlink T, Heine RJ.

2006. Alanine aminotransferase as a marker of nonalcoholic fatty liver disease

in relation to type 2 diabetes mellitus and cardiovascular disease. Diabetes

Metab Res Rev 22:437-443.

Targher G. 2009. Elevated serum gamma-glutamyltransferaseactivity is associated

with increased risk of mortality, incident type 2 diabetes, cardiovascular

events, chronic kidney disease and cancer: a narrative review. Clin Chem Lab

Med 48:147-157.

Teel RW, Peters LP. 2003. Effects of high sucrose diet on body and liver weight

and hepatic enzyme content and activity in the rat. In Vivo 17(1): 61-65.

Vander A, Sherman, J, Luciano D. 2001. Human Physiology. New York (US):

McGraw Hill.

Vernon G, Baranova A, Younossi ZM. 2011. Systematic review: the

epidemiology and natural history of non-alcoholic fatty liver disease and non

alcoholic steatohepatitis in adults. Aliment Pharmacol Ther 34: 274-285.

Wallace AH. 1989. Principle and Methods of Toxicology. New York (US): Raven

Press.

Widmann FK. 1989. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Ed

ke-9. Siti BK, Ganda S, Latu J, penerjemah. Jakarta (ID): EGC.

Willard MD, Tvedten H. 2012. Small Animal Clinical Diagnosis by Laboratory

Methods. Missouri (US): Elsevier.

14

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Pawitra Lintang Andayani, dilahirkan di Paris

pada tanggal 24 Mei 1992. Penulis merupakan putri bungsu dari tiga bersaudara

dari pasangan Abed Wahyudi dan Noni Guardenia. Penulis menjalani pendidikan

dasar di SD Nasional KPS Balikpapan, sekolah menengah pertama SMP Nasional

KPS Balikpapan, sekolah menengah atas SMA Negeri 1 Balikpapan, kemudian

pindah dan menamatkan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 5

Bandung pada tahun 2010. Pada tahun yang sama, penulis berhasil diterima

menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui

Ujian Talenta Mandiri (UTM).

Selama melakukan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Pertanian Bogor penulis pernah menjabat sebagai Bendahara Komisi Literatur di

Persekutuan Mahasiswa Kristen pada tahun 2011/2012. Penulis juga aktif dan

sempat menjabat sebagai Ketua Divisi Hewan Kecil Himpunan Minat dan Profesi

(HIMPRO) Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) pada tahun

2012/2013.