Upload
hoangdang
View
241
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
63
POTENSI USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI: ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN
FARMING SYSTEM POTENTIAL ON DEGRADED PEATLAND: SOCIAL ECONOMIC AND ENVIRONMENTAL ANALYSES
Mamat H.S.1, Neneng L. Nurida2, Irawan2, Sukarman1, Anny Mulyani1, Meli Fitriani1, Arsil Saleh1, Irsal Las1
1 Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114.
2 Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114.
Abstrak. Saat ini terdapat 3,7 juta ha lahan gambut yang belum
dimanfaatkan dan dikategorikan sebagai lahan terdegradasi. Sebagian besar
dari lahan tersebut sesuai untuk penggunaan pertanian, tetapi harus dikelola
secara lestari dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Teknologi
ramah lingkungan yang layak secara sosial ekonomi perlu dikembangkan
sehingga lahan gambut tersebut tetap bermanfaat untuk generasi
mendatang. Analisis sosial ekonomi dan lingkungan dilakukan untuk
menilai kelayakan dan keberlanjutan dari aplikasi model usahatani seperti
yang dirakit oleh program Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)
di lahan gambut terdegradasi. Metode penelitian melalui survei terstruktur
terhadap petani responden di Kalteng, Riau, Jambi, dan Kalbar, yang
bertujuan untuk mendapatkan data usahatani dan indeks keberlanjutan
model demplot ICCTF. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa dalam
satu tahun pengamatan (2013), pendapatan bersih yang diperoleh dari
usahatani karet dan kelapa sawit ditambah tanaman sela nenas dan
pemberian amelioransekitar Rp. 9,4 juta/ha/th hingga minus Rp 500
ribu/ha/th. Biaya variabel yang diperlukan untuk menurunkan emisi 1 t
CO2/ha/th sangat bervariasi antara Rp 338.891–Rp 6.234.809. Nilai
opportunity cost semua model pengelolaan berkisar antara 12 sampai 332
$US/t CO2 yang berarti bahwa untuk setiap upaya penurunan emisi 1 ton
CO2 akan menghilangkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan
sebesar US$ 12-332. Nilai tertinggi opportunity cost diperoleh dari pola
usahatani karet+nenas yang diberi Pugam di Kalimantan Tengah. Indeks
keberlanjutan model usahatani di Kalteng, Jambi, dan Kalbar tergolong
cukup yaitu masing-masing 66,69; 60,41; dan 57,40, sedangkan model
usahatani di Riau tergolong kurang berkelanjutan dengan nilai indeks
45,61. Berdasarkan analisis kepekaan (leverage analysis) diketahui bahwa
faktor yang sensitif terhadap keberlanjutan model usahatani adalah
intensitas penyuluhan, cara membuka lahan/mengolah tanah, potensi
penerapan teknologi kelestarian lingkungan, persepsi masyarakat terhadap
pengelolaan gambut, kebersamaan kelompok tani (dimensi sosial),
kestabilan harga hasil petani pada saat panen, usahatani yang berorientasi
profit, tingkat keuntungan usahatani (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air
4
Mamat H.S. et al.
64
di lahan petani, dan perubahan tingkat dekomposisi gambut (dimensi
lingkungan/ekologi).
Kata kunci: Gambut, indeks berkelanjutan, opportunity cost, faktor sensitif
Abstract. Currently there is about 3.7 million ha of abandoned peatland
and is categorized as degraded land. Most of the lands are suitable for
agricultural uses. However, they must be managed in a sustainable manner
by taking into account the environmental aspect. It is required to develop
environmentally friendly technologies that are socio-economically feasible
so that the peatlands remain useful for the next generations. Socio-
economic and environmental analyses were conducted to assess the feasible
and sustainable application of degraded peatland farming models such as
those developed by the Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)
programme. Research, through a structured survey on respondent farmers
in Central Kalimantan, Riau, Jambi, and West Kalimantan, was to obtain
data on farm activities and assess their sustainability indices. The analysis
indicated that in one year observation (2013), net income from farming of
rubber and oil palm, intercropped with pineapple and with ameliorants
application, ranged from around Rp9.4 million/ha/yr to minus Rp 500
thousand/ha/yr. Variable costs required to reduce emissions of 1 ton
CO2/ha/yr varied between Rp 338,891 to Rp6,234,809. The opportunity
costs of all management models ranged from US$ 12 to 332 per ton CO2
meaning that the forgone benefits for reduction of every 1 ton CO2 ranged
from US$ 12 to 332. The highest value of opportunity cost was obtained
from rubber intercropped with pineapple with ‘peat fertilizer’ application
in Central Kalimantan. Sustainability indices of farming models in Central
Kalimantan, Jambi, and West Kalimantan locations were ‘satisfactory’
with the values of 66.69, 60.41, and 57.40, respectively, while the farm
model in Riau location was unsatisfactory with the value of 45.61. Based on
the sensitivity analysis (leverage analysis), the sensitive factors to the
sustainability of the farm model were social dimension (i.e. extension
intensity, method of land clearing and tillage, the potential for
implementation of environmental management technologies, public
perception on peat management, togetherness of farmers’ groups),
economic dimension (i.e. price stability at harvest time, profit-oriented
farms, the level of farm profit), and environment/ecology dimension (i.e.
fluctuations of water discharge on farmers' fields, and changes in peat
decomposition rate).
Key words: Peatland, sustainability index, opportunity cost, sensitive factor
PENDAHULUAN
Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya pertanian dikhawatirkan akan menimbulkan
dampak negatif, antara lain : mengganggu potensi karbon yang sangat tinggi tersimpan
dalam gambut, kemampuan gambut dalam menimbun karbon (carbon sink),
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
65
keanekaragaman hayati gambut, serta adanya kekhawatiran bahwa perubahan penggunaan
lahan gambut tersebut akan mengemisikan gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar.
Kondisi aktual di lapangan saat ini memperlihatkan bahwa deforestasi sudah cukup luas
terjadi dan selanjutnya dibuka untuk kegiatan pertanian. Sekitar 56 % (8,3 juta ha dari
14,9 juta ha) luas lahan gambut Indonesia masih tertutup oleh hutan alami dan primer, dan
15% (2,2 juta ha) lahan gambut sudah dimanfaatkan untuk pertanian, yakni untuk kelapa
sawit (1,5 juta ha) dan pertanian tanaman pangan dan hortikultura (0,7 juta ha). Lahan
gambut lainnya (seluas 3,7 juta ha atau 25 %) saat ini berupa lahan gambut terdegradasi
yang ditumbuhi semak belukar, dan 0,6 juta ha berupa lahan bekas tambang (Wahyunto et
al., 2014). Sebagian dari 3,7 juta ha lahan gambut terdegradasi masih terregistrasi sebagai
areal hutan walaupun saat ini hanya ditumbuhi semak belukar. Daripada dibiarkan
terlantar, pada umumnya lahan tersebut secara biofisik dapat digunakan untuk lahan
pertanian, yang dapat memberikan manfaat lebih baik. Namun demikian, pemanfaatan
lahan gambut terdegradasi untuk penggunaan pertanian harus memperhatikan kaidah-
kaidah kelestarian lingkungan mengingat lahan gambut bersifat sangat fragile (mudah
rusak). Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi pemanfaatan lahan gambut untuk
usaha pertanian di tingkat global.
Usahatani berkelanjutan di lahan gambut merupakan salah satu model pertanian
yang berbasis kelestarian lingkungan. Usahatani akan berkelanjutan jika (dalam jangka
panjang bahkan sampai generasi yang akan datang) menguntungkan (aspek ekonomi),
kondisi gambut lestari atau kualitasnya tidak menurun (aspek lingkungan), dan model
yang dikembangkan dapat diterima atau diadopsi oleh berbagai pihak (aspek sosial).
Keraf (2002) mengemukakan bahwa pengelolaan lahan akan berkelanjutan jika dalam
implementasinya mengintegrasikan dan memberikan bobot yang sama pada aspek
ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Dengan mempertimbangan hal-hal tersebut di atas, maka sejak tahun 2010
BBSDLP telah mengaplikasikan model usahatani berkelanjutan pada lahan gambut
terdegradasi di 4 lokasi, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau, dan Jambi.
Penelitian ini bertujuan: (1) melakukan analisis usahatani terhadap efisiensi aplikasi
ameliorasi dan opportunity cost, (2)mengetahui indeks dan faktor sensitif yang
mempengaruhi keberlanjutan model usahatani ICCTF, dan (3) menyusun implikasi
kebijakan.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di lokasi demplot ICCTF di Desa Jabireun, Kab. Pulangpisau,
Kalimantan Tengah; Desa Rasau Jaya 2, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat; Desa Lubuk
Mamat H.S. et al.
66
Ogong, Kab. Pelalawan, Riau; dan Desa Arang-arang, Kab. Muara Jambi, Jambi pada
tahun 2012-2014. Data primer (mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan)
dikumpulkan melalui survei terstruktur yang dipandu dengan kuisioner. Data sosial
ekonomi dikumpulkan pada bulan Mei - Juni tahun 2013 (awal kegiatan ICCTF tahap 2)
dan pada bulan Mei – Juni 2014 (akhir kegiatan). Khusus data dimensi lingkungan,
sebagian besar diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran para peneliti bidang
terkait.
Jumlah responden sebanyak 30 orang petani yang terdiri atas petani kooperator dan
non-kooperator di masing-masing lokasi demplot ICCTF. Petani kooperator adalah petani
pemilik lahan yang dijadikan demplot ICCTF dan petani non-kooperator adalah petani di
sekitar lokasi demplot ICCTF yang berinteraksi/berkomunikasi dengan petani kooperator
atau petani yang berlokasi satu dusun/desa dengan lokasi demplot ICCTF.
Kerangka Analisis
Analisis usahatani mengkaji pendapatan usahatani jangka pendek, efisiensi biaya
aplikasi teknologi jangka pendek, dan nilai opportunity cost. Pendapatan bersih jangka
pendek dianalisis dengan cara menghitung input dan output selama periode 2013. Pada
analisis ini diasumsikan bahwa tipe penggunaan lahan awal berupa pola kebiasaan petani,
yakni tidak mengembangkan tanaman sela di antara tanaman pokok dan tidak
menggunakan bahan amelioran. Efisiensi biaya aplikasi teknologi dianalisis dengan cara
menghitung biaya variabel (unit cost) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di
lokasi demplot pada periode 2013, yakni membandingkan biaya variable (setelah
dikurangi pendapatan bersih) dengan penurunan tingkat emisi CO2 setiap perlakuan pada
sebelum dan sesudah atau secara matematis dirumuskan sebagai berikut:
TVC – NB
Unit cost per satuan emisi = -------------
E1 – E2
dimana :
TVC = total variabel cost (Rp)
NB =net benefit (Rp)
E1 = tingkat emisi CO2 sebelum perlakuan (t CO2/ha/th)
E2 = tingkat emisi CO2 setelah perlakuan (t CO2/ha/th)
Opportunity cost (Herman et al., 2011) adalah suatu pendekatan untuk menilai
tingkat emisi yang terjadi akibat perubahan penggunaan lahan atau inovasi teknologi
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
67
dibandingkan dengan pendapatan bersih jangka panjang (NPV), atau secara matematis
sebagai berikut:
n
t 0ti)(1
CtBtNPV
dimana:
NPV = Net Present Value(US $/t CO2/ha/th),
Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t (US$/ha/th)
Ct = biaya pada tahun t (US$/ha/th)
i = tingkat diskonto atau bunga bank yang berlaku (%),
n = umur ekonomis proyek tanaman (th)
Analisis keberlanjutan dilakukan dengan pendekatan multi dimentional scaling
(MDS) terhadap model usahatani demplot ICCTF. Data MDS diolah dengan software
rapfish (Fisheries Communication, 1999) untuk mendapatkan dua indikator penting, yaitu
nilai indeks keberlanjutan (Ikb) dan leverage analysis. Nilai Ikb (skala nilai 0–100) dibagi
menjadi 4 kelompok nilai : 0–25 = buruk, >25–50 = kurang, >50–75 = cukup, dan >75–
100 = baik. Leverage analysis menunjukkan atribut atau parameter yang sensitif dapat
mempengaruhi tingkat keberlanjutan atau adopsi model usahatani ICCTF.
Nilai indeks keberlanjutan (Ikb) merupakan fungsi dari dimensi ekonomi (DE),
dimensi sosial (DS), dan dimensi lingkungan (DL), dan secara sederhana dapat
diformulasi menjadi :
Ikb = f(DE, DS, DL)
Dimensi ekonomi berisi 11 atribut usahatani yang terdiri atas : 1. potensi tenaga
kerja, 2. kecukupan tenaga keluarga, 3. penguasaan lahan dan intensitas pengelolaan, 4.
minat berusahatani, 5. tujuan berusahatani, 6. keuntungan, 7. kestabilan harga hasil
produksi petani, 8. kemudahan pemasaran, 9. ketersediaan material lokal sebagai input,
10. kontribusi terhadap pendapatan petani total, dan 11. produktivitas lahan/keuntungan
finansial (R/C ratio). Dimensi sosial berisi 12 atribut usahatani yang terdiri atas : 1. status
lahan usaha, 2. pengetahuan dan pengalaman masyarakat tentang perubahan iklim dan
lahan gambut, 3. persepsi masyarakat terhadap pengelolaan gambut, 4. intensitas dan
efektivitas penyuluhan, 5. eksistensi kelompok tani, 6. kebersamaan kelompok tani, 7.
langkah petani yang berindikasi melestarikan gambut, 8. cara membuka lahan, 9.
potensial menerapkan teknologi melestarikan lahan gambut, 10. kearifan lokal terkait
dengan pertanian berkelanjutan, 11 kebijakan pemerintah dalam pengelolaan gambut, dan
Mamat H.S. et al.
68
12. keikutsertaan tenaga kerja wanita dalam pengelolaan usahatani. Dimensi lingkungan
berisi 11 atribut pada awal dan akhir observasi yang terdiri atas : 1. perkembangan tingkat
emisi GRK di lahan observasi, 2. tingkat subsiden lahan observasi, 3. cadangan karbon
lahan observasi, 4. elevasi muka air tanah, 5. fluktuasi debit air di lahan observasi, 6. pH
tanah lahan observasi, 7. pH air di lahan observasi, 8. perubahan tingkat dekomposisi, 9.
keberadaan tanaman cover crop di areal pertanaman, 10. kejadian kebakaran, dan 11.
dominasi vegetasi di lahan demplot. Data ini sebagian besar dikumpulkan dari hasil
kegiatan penelitian sebelum dan sesudah perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Usahatani
Model usahatani yang diaplikasikan di empat lokasi demplot adalah pengembangan
tanaman sela nenas di antara tanaman karet (Kalimantan Tengah), tanaman nenas di antara
tanaman kelapa sawit (Riau dan Jambi), dan usahatani tanaman semusim (Kalimantan
Barat) yang disertai aplikasi beberapa amelioran pada masing-masing lokasi. Amelioran
yang diaplikasikan adalah : pupuk gambut (Pugam), pupuk kandang (Pukan), tandan buah
kosong (Tankos) sawit, tanah mineral, dan dolomit.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa pendapatan bersih usahatani kelapa sawit di Jambi
masih relatif rendah dan bahkan ada yang negatif/rugi (amelioran tankos) karena tanaman
kelapa sawit baru mulai berproduksi. Model usahatani di Kalimantan Tengah, Riau, dan
Kalimantan Barat memberikan pendapatan bersih relatif cukup besar, dan penggunaan
pugam pada lahan gambut di lokasi ICCTF Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat
memberikan pendapatan bersih usahatani yang cukup tinggi (> Rp 5 juta/ha). Fakta
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pugam pada lahan gambut bersifat spesifik
lokasi dan berkaitan dengan kondisi gambut dan jenis komoditas yang dikembangkan.
Penggunaan pukan sangat menguntungkan, terutama di lokasi ICCTF Riau (Rp 9,489
juta/ha) dan Kalimantan Tengah (Rp 5,756 juta/ha), namun penelitian di lokasi ICCTF
Jambi dan Kalimantan Barat menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Penggunaan
dolomit sebagai amelioran pada lahan gambut di Kalimantan Barat memberikan hasil
yang beragam atau masih belum stabil yang terlihat dari nilai simpangan baku (standard
deviation - SD). Penggunaan amelioran lainnya (seperti tankos) masih belum
memberikan hasil yang memuaskan di mana pendapatan bersih usahataninya masih
kurang dari Rp 1 juta/ha.
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
69
Tabel 1. Pendapatan usahatani jangka pendek (Rp/ha) pada demplot ICCTF, tahun 2013
Perlakuan Kalimantan Tengah Riau Jambi Kalimantan Barat
Rataan SD Rataan SD Rataan SD Rataan SD
------------------------------------------------- Rp / ha ---------------------------------------------
Pugam 6.332.252 619.865 3.418.429 884.140 677.572 123.617 5.210.797 1.937.486
Pukan 5.756.321 1.018.808 9.489.593 898.226 509.990 375.171 755.855 3.056.087
Tanah
mineral 308.201 401.648 - - - - - -
Tankos - - 513.414 507.302 (500.499) 209.341 - -
Dolomit - - - - - - 4.190.700 3.827.722
Kontrol
tanpa
dolomite
- - - - - - 5.280.730 2.091.886
Kontrol
cara petani - - - - - - 3.487.269 3.491.110
Kontrol 6.834.853 619.865 7.297.795 880.976 (1.720.27) 296.437 - -
SD = simpangan baku (standard deviation)
Efisiensi Aplikasi Teknologi Jangka Pendek
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa biaya yang diperlukan untuk menurunkan 1 ton
emisi CO2 bervariasi berkisar antara Rp. 338.891 sampai Rp. 6.234.809. Berdasarkan
data tersebut maka model yang paling efisien adalah pola usahatani kelapa sawit di Riau
dengan tanaman sela nenas dan aplikasi ameliorasi pupuk kandang. Sedangkan aplikasi
amelioran di Jambi ternyata tidak dapat menurunkan emisi CO2.
Tabel 2. Biaya variable yang diperlukan untuk menurunkan 1 ton CO2
Lokasi
Biaya yang diperlukan untuk menurunkan emisi pada setiap perlakuan
Pugam Pukan Tankos Tanah
mineral Kontrol Dolomit
Cara
petani
---------------------------------------------- Rp / ton CO2 ----------------------------------------------
Kalteng 761.102 843.005 - 624.502 195.296 - -
Riau 1.215.274 338.891 1.583.481 - Emisi naik
(32,04- 33,31)
- -
Jambi Emisi naik
6,15-12,22 @)
Emisi naik
6,15-19,35 @)
Emisi naik
6,1517,83 @) - Emisi naik
6,15– 6,06 @)
Kalbar 3.486.141 6.234.809 1.444.898 2.823.599 2.797.761
Keterangan : @) adalah emisi sebelum perlakuan dan setelah perlakuan di lokasi Jambi.
Mamat H.S. et al.
70
Opportunity Cost
Opportunity cost adalah kerugian atau kehilangan kesempatan mendapatkan
keuntungan ekonomi dari suatu lahan akibat petani terhambat oleh suatu ketentuan atau
peraturan. Opportunity cost didekati dengan perhitungan nilai bersih terkini (net present
value, NPV) atau dapat pula disajikan dalam kehilangan mendapatkan keuntungan per
penurunan emisi CO2-e. Hasil analisis opportunity cost untuk semua pola usahatani lokasi
demplot ICCTF yaitu berkisar antara 12 sampai 332 US$/ton CO2 (Tabel 3). Nilai
opportunity cost tersebut mengandung arti bahwa untuk setiap upaya penurunan emisi 1
ton CO2 akan menghilangkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan sebesar US$ 12-
332. Semakin tinggi nilai opportunity cost maka semakin besar kehilangan kesempatan
pendapatan dari lahan gambut bila emisi diturunkan 1 tCO2. Nilai opportunity cost
tertinggi diperoleh pada aplikasi Pugam pada usahatani karet+nenas di Kalimantan
Tengah (yaitu sebesar US$ 332 /ton CO2), sedangkan nilai terrendah diperoleh dari Jambi
pada usahatani kelapa sawit tanpa amelioran. Di Kalimantan Barat, usahatani tanaman
jagung memberikan nilai opportunity cost yang masih relatif tinggi, yaitu nilai 218 untuk
kontrol cara petani, 175 untuk ameliorasi pupuk gambut, dan 159 untuk pemberian
dolomit.
Tabel 3. Nilai Opportunity Cost pada demplot ICCTF di 4 provinsi
Lokasi Perlakuan Net present value a)
Emisi b) Nilai Opportunity cost
Rp 000/ha/th US$/ha/th t CO2/ha/th US$/t CO2
Kalteng
Pugam 69.452 6.314 19,0 332
Pukan 67.333 6.121 22,0 278
Tnh mineral 17.266 1.570 19,0 83
Kontrol 58.165 5.288 20,0 264
Riau
Pugam 50.069 4.552 31,0 147
Pukan 25.855 2.350 25,0 94
Tankos 18.092 1.645 17,0 97
Kontrol 22.166 2.015 28,0 72
Jambi
Pugam 9.837 894 19,0 47
Pukan 22.106 2.010 17,0 118
Tankos 8.885 808 12,0 67
Kontrol 2.193 199 16,0 12
Kalbar
Pugam 5.211 474 2,7 175
Pukan 756 69 2,4 29
Dolomit 4.191 381 2,4 159
Kontrol 5.281 480 2,2 218
Cara petani 3.487 317 2,2 144
Sumber :a)diolah dari data primer; b)Setyanto et al. (2014)
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
71
Faktor Sensitif yang Mempengaruhi Keberlanjutan
Dimensi Sosial
Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di Kalimantan Tengah menunjukkan
bahwa intensitas penyuluhan kepada masyarakat mengenai pengelolaan gambut
merupakan faktor yang sangat sensitif mempengaruhi keberlanjutan model usahatani
demplot, yang ditunjukkan oleh skala > 5 pada Tabel 4. Selain itu cara pembukaan
lahan/pengolahan tanah dan langkah petani yang potensial melestarikan usahatani lahan
gambut tergolong atribut yang cukup sensitif (skala > 3). Sedangkan untuk Riau, hasil
leverage analysis menunjukkan bahwa cara membuka lahan atau mengolah tanah dan
potensi menerapkan teknologi untuk melestarikan lingkungan merupakan faktor yang
sangat sensitif (skala >5) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani demplot.
Membuka lahan atau mengolah tanah dengan cara tidak membakar menjadi faktor penting
dalam menjaga kelestarian lahan gambut terdegradasi, terutama terkait dengan tingkat
emisi gas rumah kaca dan hilangnya biodiversitas akibat membakar lahan. Demikian juga
respon petani untuk mengadopsi teknologi yang diaplikasikan di demplot usahatani
ICCTF berpotensi terhadap keberlanjutan usahatani. Selain itu ada beberapa atribut yang
tergolong cukup sensitif (skala >3) mempengaruhi tingkat keberlanjutan model usahatani,
yakni kebersamaan kelompok tani, eksistensi kelompok tani, langkah petani yang
mengindikasikan melestarikan lahan gambut (kearifan lokal), persepsi masyarakat
terhadap pengelolaan lahan gambut, dan penyuluhan tentang pengelolaan lahan gambut
berkelanjutan.
Tabel 4. Hasil analisis sensitivitas dimensi sosial di 4 lokasi demplot ICCTF
No. Atribut Kalteng Riau Jambi Kalbar
1 Keikutsertaan tenaga kerja wanita dalam pengelolaan usahatani
2,20 1,67 0,51 0,98
2 Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan gambut 2,64 1,80 1,68 0,62
3 Kearifan lokal terkait dengan pertanian berkelanjutan 2,89 2,54 1,84 0,42
4 Potensial menerapkan teknologi melestarikan gambut 1,37 5,67 0,38 0,23
5 Cara membuka lahan/mengolah tanah 3,11 6,49 0,70 2,33
6 Langkah petani yang berindikasi melestarikan
usahatani lahan gambut 3,12 4,04 0,74 0,17
7 Kebersamaan kelompok tani 2,28 4,42 2,44 0,05
8 Eksistensi kelompok tani 2,69 4,22 0,65 2,30
9 Intensitas dan efektifitas penyuluhan kepada masyarakat tentang pengelolaan gambut
5,11 3,50 1,63 0,21
10 Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan gambut 2,24 3,51 2,72 1,85
11 Pengetahuan dan pengalaman petani tentang
perubahan iklim 2,48 1,73 0,91 0,39
12 Status lahan usahatani 2,52 1,22 1,24 1,14
Mamat H.S. et al.
72
Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di lokasi Jambi menunjukkan bahwa
tidak ada atribut atau faktor yang mempunyai nilai sensitifitas >5 dalam mempengaruhi
keberlanjutan model usahatani demplot, tetapi ada dua atribut yang paling sensitif (skala
nilai >2) yaitu persepsi masyarakat terhadap pengelolaan lahan dan kebersamaan
kelompok tani. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden ternyata persepsi
masyarakat terhadap pengelolaan lahan gambut sangat menentukan tingkat keberlanjutan
usahatani di lahan gambut terdegradasi. Persepsi dimaksud adalah pemahaman
masyarakat bahwa lahan gambut adalah satu-satunya andalan untuk bertani dan jika lahan
tersebut tidak dikelola dengan mengutamakan kelestarian lingkungan maka lahan tersebut
akan rusak dan tidak bisa menopang kehidupan untuk jangka panjang. Demikian juga
kebersamaan petani dalam kelompok tani menjadi penting dalam keberlanjutan usahatani,
mengingat lahan petani berada dalam satu hamparan atau satu kawasan sehingga
kebersamaan kelompok untuk menangani dan mengelola lahan gambut dapat lebih efektif
dan efisien. Kebersamaan petani dalam kelompok tani tersebut terutama terkait dengan
pemasaran hasil dan penyediaan input untuk usahatani, seperti pupuk yang didatangkan
dan dibeli bersama-sama dari luar wilayah akan lebih efisien daripada membeli pupuk
secara sendiri-sendiri.
Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di lokasi Kalimantan Barat
menunjukkan bahwa tidak ada atribut atau faktor dimensi sosial yang bernilai > 5, namun
ada dua atribut yang paling dominan (dengan skala nilai >2) mempengaruhi keberlanjutan
model usahatani demplot, yaitu cara mengolah tanah tanpa bakar dan keberadaan
kelompok tani.
Dimensi Ekonomi
Hasil leverage analysis di lokasi Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa
kestabilan harga hasil produksi petani pada saat panen dan usahatani yang berorientasi
profit merupakan dua atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan usahatani (Tabel
5). Pengamatan di lapangan menunjukkan harga jual produk petani sangat fluktuatif dan
cenderung merugikan petani karena nilai tukarnya yang rendah terutama pada saat panen.
Selain itu, petani yang berorientasi profit (bukan subsisten) pada umumnya berpikir
bagaimana agar usahatani yang dilakukannya dapat menopang kehidupan keluarganya
untuk jauh ke depan dan tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saat ini.
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
73
Tabel 5. Hasil analisis sensitivitas dimensi ekonomi di 4 lokasi demplot ICCTF
No. Atribut Kalteng Riau Jambi Kalbar
1 Produktivitas lahan/keuntungan finansial (RC ratio) usahatani
1,52 1,36 3,01 3,22
2 Kontribusi petani terhadap pendapatan total petani
2,32 1,24 1,51 2,38
3 Ketersediaan material lokal sebagai input usahatani
3,58 3,27 2,43 1,19
4 Kemudahan pemasaran hasil produksi usahatani 4,05 4,17 2,59 0,87
5 Kestabilan harga hasil produksi petani pada saat
periode panen 7,37 1,39 8,58 0,79
6 Keuntungan dari usahatani 2,73 5,85 4,63 2,71
7 Orientasi/tujuan berusahatani 6,43 4,04 2,74
8 Minat untuk berusahatani 4,22 1,56 2,75
9 Penguasaan lahan dan intensitas pengelolaan 3,67 3,55 2,31 2,84
10 Kecukupan tenaga kerja keluarga untuk usahatani
2,46 2,19
11 Potensi tenaga kerja keluarga dalam usahatani 1,09 1,12 1,53 2,81
Untuk lokasi Riau, hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) menunjukkan
bahwa faktor yang sangat sensitif (skala nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan model
usahatani yaitu tingkat keuntungan usahatani. Tingkat keuntungan usahatani menjadi
faktor yang memotivasi petani untuk berkonsentarsi atau tidak dalam usahatani. Jika
tingkat keuntungan usahatani tinggi, maka petani cenderung lebih berkonsentrasi
memelihara lahan usahataninya secara intensif mengingat bertani adalah andalan
kehidupan untuk masa depan. Selain itu, terdapat beberapa atribut lain yang cukup sensitif
(skala nilai >3) mempengaruhi tingkat keberlanjutan model usahatani, yakni kemudahan
pemasaran hasil usahatani, orientasi berusahatani, penguasaan lahan dan intensitas
pengelolaan, dan ketersediaan material lokal sebagai input usahatani.
Hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di lokasi Jambi menunjukkan bahwa
kestabilan harga pada saat panen merupakan faktor yang sangat sensitif (skala nilai >5)
mempengaruhi keberlanjutan usahatani. Hasil wawancara dengan responden menjelaskan
bahwa kestabilan harga dan nilai tukar yang tinggi menjadi faktor penting yang
memotivasi petani untuk mengelola lahan gambut dengan intensif. Selama ini petani
bekerja juga pada perusahaan sawit yang menjadi perusahaan inti. Namun demikian,
harga hasil usahatani yang stabil dan nilai tukar petani yang tinggi akan dapat mendorong
petani agar lebih berkonsentrasi mengelola lahan usahataninya dibanding menjadi buruh
pada perusahaan inti.
Hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di Kalimantan Barat menunjukkan
bahwa tidak ada atribut atau faktor dimensi ekonomi yang berskala > 5, namun
ketersediaan alat mekanisasi untuk pertanian (skala nilai 4,31) merupakan faktor yang
paling peka di antara 11 atribut. Atribut tersebut sangat penting dalam dimensi ekonomi,
Mamat H.S. et al.
74
khususnya terkait dengan aspek intensitas pengelolaan lahan usahatani pada kondisi
tenaga kerja yang sangat terbatas. Oleh karena itu perlu dicari penanggulangan masalah
tenaga kerja yang terbatas tersebut melalui mekanisasi pertanian yang adaptif pada
kondisi gambut.
Dimensi Lingkungan
Berdasarkan hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di Kalimantan Tengah,
Riau, dan Kalimantan Barat terlihat bahwa fluktuasi debit air di lahan petani dan
perubahan tingkat dekomposisi sebagai dua atribut atau faktor yang sangat sensitif (skala
nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani (Tabel 6). Kedua faktor tersebut
sangat mempengaruhi kelestarian lingkungan, khsususnya terkait dengan emisi gas rumah
kaca. Selain itu, di Kalteng dan Riau masih terdapat beberapa atribut lain yang tergolong
cukup sensitif (skala nilai >3) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani, yakni
cadangan karbon, keberadaan tanaman penutup tanah, dan elevasi muka air tanah.
Hasil analisis di lokasi Jambi menunjukkan bahwa tidak ada atribut atau faktor
yang sangat peka (skala nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan usahatani. Akan tetapi
perubahan tingkat dekomposisi merupakan faktor yang paling sensitif (skala nilai > 4) di
antara 11 atribut yang dianalisis.
Tabel 6. Hasil analisis sensitivitas dimensi lingkungan di 4 lokasi demplot ICCTF
No Atribut Kalteng Riau Jambi Kalbar
1 Dominansi vegetasi 1,07 1,07 0,06 1,53
2 Kejadian kebakaran 2,74 2,74 1,36 2,24
3 Keberadaan cover crop di areal pertanaman
4,08 4,08 2,92 4,01
4 Perubahan tingkat dekomposisi 6,27 6,27 4,18 5,19
5 pH air lahan observasi pada awal dan
akhir pengamatan 0,04 0,04 0,69 0,64
6 pH tanah lahan observasi pada awal
dan akhir pengamatan 0,80 0,8 1,05 1,19
7 Fluktuasi debit air lahan observasi
pada awal dan akhir pengamatan 6,71 6,71 1,19 5,25
8 Elevasi muka air tanah pada awal dan
akhir pengamatan 3,75 3,75 1,10 1,31
9 Cadangan karbon lahan observasi
pada awal dan akhir pengamatan 4,22 4,22 0,84 3,7
10 Tingkat subsiden lahan observasi pada
awal dan akhir pengamatan 0,49 0,49 0,53 1,04
11 Perkembangan tingkat emisi GRK demplot E1-E2 pada sebelum dan
sesudah pengamatan
0,16 0,16 0,17 1,36
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
75
Potensi Keberlanjutan
Analisis potensi keberlanjutan merupakan analisis tentang peluang apakah suatu
model usahatani yang dikembangkan akan berkelanjutan atau akan diadopsi oleh petani
sekitarnya, seberapa besar tingkat keberlanjutan dari model tersebut. Tingkat
keberlanjutan dimaksud dapat dijadikan indikator, apakah model usahatani yang
dikembangkan di lokasi demplot akan diadopsi oleh petani sekitarnya. Nilai indeks
keberlanjutan tersebut merupakan integrasi dari skala nilai dimensi sosial, ekonomi, dan
dimensi lingkungan/ekologi.
Hasil analisis multidimensi (menggunakan software rapfhis), yang terdiri atas
dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan sebanyak 34 atribut atribut atau
parameternya, menghasilkan nilai indeks keberlanjutan 66,69 atau dalam skala nilai
(rapfhis) tergolong cukup berkelanjutan. Nilai keberlanjutan multidimensi tersebut
merupakan kontribusi dari tiga dimensi, yaitu dimensi sosial (72,65), dimensi ekonomi
(68,11), dan dimensi ekologi (57,25). Berdasarkan hasil analisis di atas, model usahatani
yang dikembangkan di lokasi Kalimantan Tengah berpeluang untuk diadopsi oleh petani
sekitar, dengan memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, dan aspek sosial (Tabel 7).
Tabel 7. Indeks Keberlanjutan Usahatani Setiap Dimensi
Lokasi Indeks Keberlanjutan Usahatani
Multi Dimensi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Dimensi Lingkungan
Kalimantan Tengah 68,11 72,65 57,25 66,69
Riau 65,74 27,81 57,25 45,65
Jambi 80,36 54,27 53,71 60,41
Kalimantan Barat 72,17 53,49 54,94 57,40
Analisis multidimensi terhadap usahatani di lokasi Riau menghasilkan nilai indeks
keberlanjutan 45,61 atau tergolong kurang berkelanjutan. Kontribusi dimensi sosial,
dimensi ekonomi, dan dimensi ekologi terhadap nilai keberlanjutan multidimensi masing-
masing sebesar 27,81; 65,74; dan 57,25. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
keberlanjutan atau peluang petani sekitar untuk mengadopsi model usahatani yang
dikembangkan di lokasi Pelalawan Riau tergolong kurang, terutama kontribusi dimensi
sosial yang relatif paling rendah (yakni 27,81).
Hasil analisis multidimensi terhadap usahatani di lokasi Jambi menunjukkan bahwa
nilai indeks keberlanjutan sebesar 60,41 atau tergolong cukup berkelanjutan. Nilai
keberlanjutan multidimensi tersebut merupakan kontribusi dari dimensi sosial, dimensi
ekonomi, dan dimensi ekologi masing-masing sebesar 54,27; 80,36; dan 53,71. Dimensi
ekonomi memberikan kontribusi tertinggi (yakni sebesar 80,36) terhadap indeks
keberlanjutan model usahatani di Muaro Jambi.
Mamat H.S. et al.
76
Analisis multidimensi terhadap model usahatani yang dikembangkan di
Kalimantan Barat menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 57,40 atau tergolong
cukup berkelanjutan. Nilai keberlanjutan multidimensi tersebut merupakan kontribusi
dari dimensi sosial, dimensi ekonomi, dan dimensi ekologi masing-masing sebesar 53,49;
72,17; dan 54,94.
Implikasi Kebijakan
Luas lahan gambut di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Papua) sekitar
14,9 juta ha, di mana sekitar 8,3 juta ha masih berupa hutan primer dan hutan alami.
Sisanya seluas 6,6 juta ha merupakan lahan yang sudah dibuka dan terdiri atas 1,5 juta ha
sudah dimanfaatkan untuk perkebunan, 0,7 juta ha untuk pertanian tanaman pangan dan
hortikultura, 3,7 juta ha merupakan lahan gambut terdegradasi yang ditumbuhi semak
belukar, serta 0,6 juta ha lahan bekas tambang. Dengan kondisi lahan gambut seperti
tersebut di atas, perlu dibuat kebijakan untuk masing-masing penggunaan lahan. Lahan
gambut yang masih berupa hutan primer perlu dipertahankan sebagai hutan dimanapun
keberadaannya, baik di kawasan hutan maupun di kawasan non hutan (areal penggunaan
lain). Sebaliknya, lahan yang sudah terdegradasi berupa semak belukar dan secara biofisik
sesuai untuk pengembangan pertanian, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
pertanian di masa yang akan datang, dengan pengelolaan lahan yang berkelanjutan (Las,
2014). Terkait dengan hal tersebut, tim peneliti telah melakukan penelitian sosial ekonomi
dan lingkungan untuk melihat keberlanjutan dari kegiatan model usahatani ICCTF dalam
pemanfaatan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, dan Kalimantan
Barat. Pendekatan multi dimentional scaling (MDS) digunakan untuk memperoleh
informasi tentang nilai keberlanjutan usahatani seperti disajikan pada Tabel 7, sedangkan
faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan usahatani di lahan gambut
disajikan pada Tabel 8.
Hasil analisis menunjukkan bahwa urutan tingkat keberlanjutan usahatani dari
paling tinggi sampai terrendah adalah di lokasi Provinsi Kalimantan Tengah, diikuti oleh
Provinsi Jambi, Kalimantan Barat, dan Riau dengan nilai keberlanjutan berturut-turut
66,69; 60,41; 57,40; dan 45,65. Tingkat keberlanjutan model usahatani di Provinsi
Kalimantan Tengah dipengaruhi oleh dimensi sosial dan ekonomi di mana faktor yang
paling sensitif mempengaruhinya adalah intensitas penyuluhan dan stabilitas harga.
Artinya tingkat penyuluhan yang intensif serta adanya stabilitas harga untuk komoditas
yang diusahakan menjadi titik ungkit dalam keberlanjutan model usahatani dalam
pemanfaatan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah. Sebaliknya Provinsi Riau dan
Kalbar mempunyai nilai keberlanjutan paling rendah yang dipengaruhi oleh dimensi
sosial, terutama kebiasaan petani membakar hutan dalam pembukaan lahan. Artinya,
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
77
masyarakat di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat sudah terbiasa membakar hutan untuk
pengembangan lahannya, padahal dari aspek lingkungan pembakaran hutan ini tidak
dikehendaki. Oleh karena itu, penyuluhan secara intensif sangat diperlukan untuk
mengubah kebiasaan petani dalam membuka lahan tanpa membakar hutan gambut.
Namun disadari, sampai saat ini belum ada cara membuka lahan yang paling praktis selain
dengan cara membakar, apalagi kedua provinsi tersebut mempunyai keterbatasan tenaga
kerja. Oleh karena itu, ke depan diperlukan inovasi teknologi dan alat mekanisasi
pertanian yang cocok untuk pembukaan lahan gambut, sehingga pembakaran hutan
gambut dapat dihindari.
Tabel 8. Faktor Sensitif yang Mempengaruhi Tingkat Keberlanjutan
Lokasi Faktor yang paling sensitif mempengaruhi kelanjutan
Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Dimensi Lingkungan
Kalimantan Tengah Stabilitas harga + Penyuluhan + Fluktuasi debit air +
Riau Keuntungan usahatani + Kebiasaan membakar
hutan - Fluktuasi debit air +
Jambi Stabilitas harga +
Persepsi terhadap
pengelolaan lahan gambut +
Perubahan tingkat dekomposisi
Kalimantan Barat Ketersediaan alat
mekanisasi +
Kebiasaan membakar hutan & keberadaan
kelompok tani
Penggunaan Pugam pada lahan gambut, khususnya di lokasi ICCTF Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Barat, memberikan pendapatan bersih usahatani dalam jangka
pendek dan nilai opportunity cost yang cukup tinggi, sedangkan di Riau dalam jangka
pendek nilai tertinggi diperoleh dari pemberian amelioran pupuk kandang dan opportunity
cost amelioran pugam, walaupun nilai tersebut jauh di bawah Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Barat. Fakta di atas menunjukkan bahwa penggunaan Pugam pada lahan
gambut bersifat spesifik lokasi, sesuai dengan kondisi tanah gambut dan jenis komoditas
yang dikembangkan.
Penggunaan pupuk kandang sebagai amelioran pada lahan gambut sangat
menguntungkan, terutama di lokasi ICCTF Riau dan Kalimantan Tengah. Sebaliknya
penggunaan pupuk kandang di lokasi ICCTF Jambi dan Kalimantan Barat tampak tidak
konsisten dengan nilai simpangan baku yang tinggi dan rata-rata pendapatan bersih
usahatani yang relatif rendah. Penggunaan dolomit sebagai amelioran pada lahan gambut
di Kalimantan Barat masih belum konsisten atau beragam dimana nilai standar deviasi
pendapatan bersih usahataninya mencapai 90% lebih tinggi daripada nilai rata-rata.
Penggunaan amelioran lainnya, seperti kompos tankos masih belum memberikan hasil
yang memuaskan di mana pendapatan bersih usahataninya kurang dari Rp 1 juta/ha.
Mamat H.S. et al.
78
Jika penggunaan amelioran dan pupuk kandang dalam jangka panjang dapat
menghasilkan nilai opportunity cost yang tinggi berarti amelioran tersebut memberikan
nilai pendapatan yang baik dibandingkan dengan emisi CO2 yang terjadi. Untuk itu
teknologi ini perlu dikembangkan pada tingkat lokal agar dapat memperoleh bahan
tersebut dengan mudah dan murah. Untuk kebutuhan pupuk kandang disarankan
pengembangan peternakan ayam dan pelatihan pembuatan pupuk kandang. Untuk pupuk
gambut disarankan lisensor teknologi pupuk gambut tersebut mengembangkan pabrik
pembuatannya di sentra-sentra gambut.
KESIMPULAN
Analisis usahatani terkait aplikasi amelioran menunjukkan bahwa pupuk kandang
dan pupuk gambut merupakan amelioran dengan nilai pendapatan bersih tertinggi.Dalam
upaya menurunkan emisi ternyata semua aplikasi amelioran di Jambi tidak bisa
menurunkan emisi, bahkan emsisi CO2 menjadi naik.Sedangkan perlakuan amelioran di
Riau menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kandang yang paling efisien menurunkan
emisi.Disamping itu aplikasi amelioran di Riau relatif baik dalam menurunkan emisi.Hasil
analisis opportunity cost untuk semua model pengelolaan berkisar antara 12-332$US/t
CO2. Nilai tertinggi (332) yaitu pola usahatani tanaman karet dengan tanaman sela di
Kalimantan Tengah pada perlakuan pupuk gambut, artinya setiap kenaikan emisi 1 ton
CO2 akan menghasilkan pendapatan sebesar 332$US, dan seterusnya diikuti oleh
perlakuan pupuk kandang. Demikian juga di lokasi lain menunjukkan hasil yang beragam
berdasarkan pola usahatani maupun aplikasi ameliorasi. Khusus untuk lokasi Kalimantan
Barat dengan mengusahakan tanaman musiman yaitu jagung menunjukkan bahwa
perubahan tingkat emisi sebelum dan sesudah perlakuan relatif kecil, yaitu dari sekitar
3,94 ton CO2/ha/th menjadi 2,18 – 2,71 ton CO2/ha/th. Dengan emisi yang relatif rendah
tersebut, maka menghasilkan nilai opportunity cost yang relatif tinggi, yaitu masing-
masing 218, 175, dan 159 untuk kontrol cara petani, ameliorasi pupuk gambut, dan
dolomit.
Potensi usahatani berkelanjutan di lahan gambut terdegradasi yang didasarkan pada
nilai indeks keberlanjutan MDS di lokasi demplot menunjukkan bahwa lokasi Kalteng
cukup berkelanjutan (nilai indeks 66,69) dengan kontribusi 72,65; 68,11; dan 57,25
masing-masing untuk dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan/ekologi. Lokasi Riau
kurang berkelanjutan (nilai indeks 45,61) dengan kontribusi 27,81;65,74; dan 57,25
masing-masing untuk dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Lokasi Jambi cukup
berkelanjutan (nilai indeks 60,41) dengan kontribusi 54,27;80,36; dan 53,71 masing-
masing untuk dimensi social, ekonomi, dan lingkungan/ekologi. Lokasi Kalbar cukup
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
79
berkelanjutan (nilai indeks 57,40) dengan kontribusi 53,49;72,17; dan 54,94 masing-
masing untuk dimensi social, ekonomi, dan lingkungan.
Di lokasi demplot Kalteng, terdapat beberapa faktor yang sensitif mempengaruhi
indeks keberlanjutan usahatani di lahan gambut terdegradasi, yaitu intensitas penyuluhan
(dimensi sosial), kestabilan harga hasil petani pada saat panen, usahatani yang berorientasi
profit (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air di lahan petani, perubahan tingkat
dekomposisi (dimensi lingkungan/ekologi). Lokasi Riau : cara membuka lahan/mengolah
tanah, potensi menerapkan teknologi pelestarian (dimensi sosial), tingkat keuntungan
usahatani (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air, perubahan tingkat dekomposisi (dimensi
lingkungan/ekologi).Sedangkan untuk lokasi Jambi adalah persepsi masyarakat terhadap
pengelolaan gambut, kebersamaan kelompok tani (dimensi sosial), kestabilan harga jual
hasil petani pada saat panen (ekonomi).Agar model demplot yang diaplikasikan di lokasi
ICCTF diadopsi oleh petani sekitar lokasi demplot, maka atribut atau faktor yang sensitif
mempengaruhi keberlanjutan usahatani di lahan gambut terdegradasi harus direspon
dengan upaya-upaya yang diperlukan.
Terdapat beberapa opsi untuk memanfaatkan lahan gambut terdegradasi, dengan
mempertimbangkan manfaat ekonomi, dampak lingkungan khususnya emisi GRK,
pengaruh terhadap keanekaragaman hayati, manfaat sosial, pengaruh terhadap terjadinya
kebakaran, biaya investasi yang diperlukan serta jangka waktu yang diperlukan untuk
setiap opsi tersebut. Salah satu opsi tersebutadalah mengembangkan lahan gambut
terdegradasi menjadi lahan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Herman, F. Agus, I G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, dan I. Las.2011. Analisis Keragaan
Usahatani dan Opportunity Cost Emisi CO2 Pertanian Lahan Gambut Kabupaten
Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Las, I. 2014. Rekomendasi Kebijakan Umum Pemanfaatan Lahan Gambut Terdegradasi.
Laporan Kerjasama Balitbangtan – ICCTF (Unpublished).
Setyanto, P., A. Wihardjaka, T. Soepiawati, T.A. Adriyani, A. Pramono, A. Hervani, dan
S. Wahyuni. 2014. Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut dan
Pemberian Amelioran. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian.
Wahyunto dan K. Nugroho. 2014. Gambaran Umum Lahan Gambut di Indonesia.
Makalah Kebijakan ICCTF. BBSDLP, Bogor (Unpublished).