Upload
tsani-ajah
View
113
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
stroke non hemoragik
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Menurut kriteria WHO stroke secara klinis didefinisikan sebagai gangguan
fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik
fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan
kematian disebabkan oleh gangguan peredaran darah.
Stroke adalah gangguan fungsional otak yang bersifat lokal atau global
terjadi secara akut berlangsung selama 24 jam atau lebih yang disebabkan oleh
gangguan aliran darah otak.
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif
cepat, berupa deficit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan
gangguan darah otak non traumatik.
B. ANATOMI
Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri
karotis interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah
memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak
melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan
arteri oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri
serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi darah
bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis.
Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang
berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis
tranversalis di kolumna vertebralis servikal, masuk rongga kranium melalui
foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli
inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris,
dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon,
arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang
melayani darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis.
1
Ke-3 pasang arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan
otak, dan beranastomosis satu bagian lainnya. Cabang-cabang yang lebih kecil
menembus ke dalam jaringan otak dan juga saling berhubungan dengan cabang-
cabang arteri serebri lainya. Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada
sekurang-kurangnya 3 sistem kolateral antara sistem karotis dan sitem vertebral,
yaitu:
1. Sirkulus Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri
serebri media kanan dan kiri, arteri komunikans anterior (yang
menghubungkan kedua arteri serebri anterior), sepasang arteri serebri media
posterior dan arteri komunikans posterior (yang menghubungkan arteri
serebri media dan posterior) kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak di
dasar otak.
2. Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah
orbita, masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke arteri
maksilaris eksterna.
3. Hubungan antara sitem vertebral dengan arteri karotis ekterna (pembuluh
darah ekstrakranial).
2
Selain itu masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri
tersebut, sehingga menurut Buskrik tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam
jaringan otak.
Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna,
yang mengumpulkan darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena
eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke
sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis laterales, dan seterusnya melalui
vena-vena jugularis dicurahkan menuju ke jantung.
C. FISIOLOGI
Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem
vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian
posterior hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor.
Dua faktor yang paling penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem
arteri-kapiler ke sistem vena, dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor
ketiga, adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas darah dan koagulobilitasnya
(kemampuan untuk membeku).
Dari faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (faktor
jantung, darah, pembuluh darah, dll), dan faktor kemampuan khusus pembuluh
3
darah otak (arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan
berdilatasi bila tekanan darah sistemik menurun. Daya akomodasi sistem arteriol
otak ini disebut daya otoregulasi pembuluh darah otak (yang berfungsi normal
bila tekanan sistolik antara 50-150 mmHg).
Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di
antaranya seperti kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap
diameter arteriol. Kadar/tekanan parsial CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta
suasana jaringan yang asam (pH rendah), menyebabkan vasodilatasi, sebaliknya
bila tekanan darah parsial CO2 turun, PO2 naik, atau suasana pH tinggi, maka
terjadi vasokonstriksi.
Viskositas/kekentalan darah yang tinggi mengurangi ADO. Sedangkan
koagulobilitas yang besar juga memudahkan terjadinya trombosis, aliran darah
lambat, akibat ADO menurun.
D. KLASIFIKASI
KLASIFIKASI MODIFIKASI MARSHALL
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
1. Stroke iskemik
a. Trombosis serebri
b. Embolia serebri
c. Hipoperfusi sistemik
2. Stroke hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan subarachnoid
II. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
2. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
3. Stroke in Evolution (SIE) / Progressing Stroke
4. Completed stroke
III. Berdasarkan system pembuluh darah
1. Sistem karotis
2. Sistem vertebro-basilar
4
E. EPIDEMIOLOGI
Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor
dua di dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan
semakin penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara
yang sedang berkembang.
Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta
jiwa di dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta
telah meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi
menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia.
Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama
yang menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan
kanker. Di negeri Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus
stroke. Sebanyak 500.000 diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan
200.000 kasus lainnya berupa stroke berulang. Sebanyak 75 persen penderita
stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan.
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan
kanker. Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya
menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat
sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.
F. ETIOLOGI
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering
disebabkan oleh emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke
5
non hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada
tingkatan seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah menuju otak
menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya kematian
neuron dan infark serebri.
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan
tetapi dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.
a. Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal
dari “plaque athersclerotique” yang berulserasi atau dari trombus yang
melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
b. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
1) Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian kanan
dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;
2) Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan
gangguan pada katup mitralis;
3) Fibralisi atrium;
4) Infarksio kordis akut;
5) Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
6) Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung
miksomatosus sistemik;
c. Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
1) Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.
2) Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
3) Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit “caisson”).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-
sided circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik
adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan),
trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung
kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3 persen stroke emboli diakibatkan
oleh infark miokard dan 85 persen di antaranya terjadi pada bulan pertama setelah
terjadinya infark miokard.
6
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering
adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri
karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis
(ulserasi plak), dan perlengketan platelet.
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisitemia, anemia sickle sel,
defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan
vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang
menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke
trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).
3. Aterosklerosis
7
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya aterosklerosis
(terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan
bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:
a. Menyempatkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran
darah.
b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau peredaran
darah aterom.
c. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.
d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek.
G. PATOFISIOLOGI
1. Patogenesis Infark Otak
Dua pertiga depan kedua belahan otak dan struktur subkortikal mendapat
darah dari sepasang a.carotis interna, sedangkan 1/3 bagian posterior yang
meliputi cerebellum, korteks occipital bagian posterior dan batang otak,
memperoleh darah dari sepasang a.vertebralis (a.basilaris). Jumlah aliran darah
otak dikenal dengan Cerebral Blood Flow (CBF) dengan satuan cc/menit/100
gram otak. Yang ditentukan oleh tekanan perfusi otak (Cerebral Perfusion
Pressure) dan resistensi cerebrovascular (Cerebrovascular Resistance)
CBF = CPP = MABP – ICP
CVR CVR
Komponen CVR ditentukan oleh :
1. Tonus pembuluh darah otak
2. Struktur dinding pembuluh darah
3. Viskositas darah yang melewati pembuluh darah otak
Dalam keadaan normal dan sehat, rata-rata aliran darah otak adalah 50-60
cc/100 gram otak/menit.
Dari percobaan pada hewan maupun manusia, ternyata derajat ambang batas
aliran darah otak yang secara langsung berhubungan dengan fungsi otak, yaitu:
a. Ambang fungsional
8
Batas aliran darah otak, + 50-60 cc/100 gram/menit, yang bila tidak
terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi neuronal, tetapi integritas sel-sel
saraf masih utuh
b. Ambang aktivitas listrik otak
Batas aliran darah otak, + 15 cc/100 gram/menit, yang bila tidak tercapai
akan menyebabkan aktivitas listrik neuronal terhenti, berarti sebagian struktur
intrasel telah berada dalam proses desintergrasi
c. Ambang kematian sel
Batas aliran darah otak otak, < 15 cc/100 gram/menit, yang bila tidak
terpenuhi akan menyebabkan kerusakan total sel-sel otak.
Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan atau sebab lain
akan menyebabkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di daerah
sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi,
memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini:
a. Pada sumbatan kecil terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat dapat
dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara
klinis gejala yang timbul dapat berupa hemiparesis sepintas atau amnesia
umum sepintas, yaitu selama ≤24 jam.
b. Bila sumbatan agak besar,daerah ismkemia lebih luas. Penurunan CBF
regional lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu
memulihkan fungsi neurologic dalam waktu beberapa hari sampai dengan 2
minggu. Mungkin pada pemeriksaan klinik ada sedikit gangguan. Keadaan ini
secara klinis disebut RIND ( Reversible Ischemic Neurologic Deficit).
c. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas sehingga
mekanisme kolateral dan kompensasi tak dapat mengatasinya. Dalam keadaan
ini timbul deficit neurologic yang berlanjut.
Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogeny akibat
perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari lapisan/area yang berbeda:
a. Lapisan inti yang sangat iskemik (ischemic core) terlihat sangat pucat karena
CBF paling rendah. Tampak degenerasi neuron-neuron, pelebaran pembuluh
9
darah tanpa adanya aliran darah. Kadar asam laktat di daerah ini tinggi
dengan PO2 yang rendah. Daerah ini akan mengalami nekrosis.
b. Daerah di sekitar ischemic core yang CBFnya juga rendah tetapi masih lebih
tinggi daripada CBF di daerah ischemic core. Walaupun sel-sel neuron tidak
sampai mati, fungsi sel terhenti, dan terjadi functional paralysis. Pada daerah
ini PO2 rendah, PCO2 tinggi dan asam laktat meningkat. Tentu saja terdapat
kerusakan neuron dalam berbagai tingkat, edema jaringan akibat bendungan
dengan dilatasi pembuluh darah dan jaringan berwarna pucat (ischemic
penumbra). Daerah ini masih dapat mungkin diselamatkan dengan resusitasi
dan manajemen yang tepat.
c. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan edema.
Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan PO2 tinggi dan
kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat meninggi sehingga disebut
sebagai daerah dengan perfusi berlebihan.
2. Patofisiologi Stroke Iskemik
a. Trombosis serebri
Trombosis ditemukan pada 40% kasus stroke yang dibuktikan oleh ahli
patologi. Biasanya ada kerusakan lokal pembuluh darah akibat aterosklerosis.
Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada tunika intima arteri besar.
Plak cenderung terbentuk pada percabangan atau tempat yang melengkung.
Pembuluh darah yang mempunyai resiko adalah arteri karotis interna, arteri
vertebralis bagian atas. Hilangnya tunika intima membuat jaringan ikat terpapar.
Trombosit akan menempel pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan
10
dinding menjadi kasar. Trombosit akan melepaskan enzim adenosine difosfat
yang mengawali proses koagulasi.
Adesi trombosit (platelet) dapat dipicu oleh produk toksik yang dilepaskan
makrofag dan kerusakan moderat pada permukaan intima. Trombosit juga
melepaskan growth factor yang menstimulasi migrasi dan proliferasi sel otot
polos dan juga berperan pada pembentukan lesi fibrointimal pada subendotelial.
b. Emboli serebri
Embolisme serebri biasanya terjadi pada orang yang lebih muda,
kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu thrombus di jantung sehingga
masalah yang dihadapi sesungguhnya adalah perwujudan penyakit jantung.
Selain itu, emboli juga dapat berasal dari plak ateroma karotikus atau arteri
karotis interna. Setiap bagian otak dapat mengalami emboli, tempat yang paling
sering adalah arteri serebri media bagian atas.
c. Hipoperfusi Sistemik
11
Hipoperfusi sistemik adalah penurunan aliran darah ke seluruh bagian
tubuh. Hal ini paling sering disebabkan kegagalan pompa jantung dari serangan
jantung atau aritmia, atau dari output jantung berkurang sebagai akibat dari
infark miokard, emboli paru, efusi perikardial, atau perdarahan. Hipoksemia
(darah kandungan oksigen rendah) dapat memicu hipoperfusi tersebut. Karena
pengurangan aliran darah global, semua bagian otak mungkin akan terpengaruh,
terutama "aliran sungai" daerah - daerah zona perbatasan yang diberikan oleh
arteri serebral utama. Aliran darah ke daerah-daerah tidak selalu berhenti, tapi
malah mungkin mengurangi ke titik di mana kerusakan otak dapat terjadi.
Fenomena ini juga disebut sebagai "padang rumput terakhir" untuk menunjuk ke
fakta bahwa dalam irigasi padang rumput terakhir menerima sedikitnya jumlah
air.
12
H. FAKTOR RESIKO STROKE
Secara garis besar faktor resiko dibagi atas faktor resiko yang dapat
dimodifikasi (modifable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable).
Faktor resiko stroke yang dapat dimodifikasi di antaranya adalah hipertensi,
penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes melitus, merokok, konsumsi alkohol,
hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan faktor
resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan
faktor genetik.
Menurut The seventh report of the joint national commite on prevention,
detection, evaluation, and treatment of high blood pressure (JNC 7), klasifikasi
tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,
prahipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.
Diabetes melitus juga merupakan faktor yang signifikan dan terjadi pada
10% pasien stroke. Keadaan ini dihubungkan dengan terjadinya atherosklerosis
intrakranial.
I. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala pada stroke non hemoragik didasari pada 4 hal, yaitu
kejadian, tingkat kesadaran, CSF pungsi lumbal, serta faktor penyebab. Pada
stroke non hemoragik baik yang diakibatkan tromboli ataupun emboli, biasanya
pasien dalam keadaan sadar penuh, serta bila dilakukan pungsi lumbal tidak
didapatkan darah dalam CSF. Perbedaannya, pada emboli biasanya onsetnya cepat
dan tiba-tiba, selain itu pasien mempunyai riwayat sakit jantung. Sedangkan pada
tromboli biasanya onsetnya lebih lama serta riwayat hipertensi pada pasien.
Perbedaan Stroke Hemoragik dan non-Hemoragik
Gejala klinis PIS PSA Non hemoragik
Defisit fokal Berat Ringan Berat ringan
Onset Menit/ jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan
Muntah pada Sering Sering Tidak, kecuali
13
awalnya lesi di batang
otak
Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering kali
Penurunan
kesadaran
Ada Ada Tidak ada
Kaku kuduk Jarang Ada Tidak ada
Hemiparesis Sering dari
awal
Permulaan
tidak ada
Sering dari awal
Gangguan bicara Bisa ada Jarang Sering
Likuor Berdarah Berdarah Jernih
Paresis/
gangguan N III
Tidak ada Bisa ada Tidak ada
Hemoragik Tromboli Emboli
Kejadian Saat aktifitas,
tiba-tiba, siang
hari
Siang hari, tidak
tiba-tiba
Siang hari, tiba-
tiba
Tingkat
Kesadaran
Koma/stupor Compos mentis Compos mentis
CSF Ada darah Normal Normal
Faktor Penyebab Hipertensi dan
kerusakan
pembuluh darah
Hipertensi,
aterosklerosis
Penyakit
Jantung
J. DIAGNOSTIK
1. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit
neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran.
Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan
non hemoragik meskipun gejala seperti mual muntah, sakit kepala dan 14
perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik.
Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese,
monoparese, atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler,
diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba.
Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul
secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga
penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik.
Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejala atau onset stroke
seperti:
1) Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan
hingga pasien bangun (wake up stroke).
2) Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari
pertolongan.
3) Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
4) Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang,
infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan
hiponatremia.
b. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke,
dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik
harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma,
infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler
penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli,
perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri
karotis, radial, dan femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus
dipastikan mampu untuk menjaga jalan napasnya sendiri.
c. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala stroke,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke,
dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi.
15
Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status
mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan
sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan
tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus
dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s
palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.
d. Sistem skor untuk membedakan jenis stroke:
1) Skor Siriraj
(2,5xderajat kesadaran)+(2xnyeri kepala)+(2xvomitus)+(10%xdiastol) – (3 x
petanda ateroma) – 12
Keterangan :
SS > 1 : Stroke Hemoragik
SS < -1 : Stroke Non Hemoragik
-1 < SS < 1 : Perlu konfirmasi CT Scan
Penilaian derajat kesadaran : Sadar penuh (0), Somnolen (1), Koma (2)
Nyeri kepala : Tidak ada (0), Ada (1)
Vomitus : Tidak ada (0), Ada (1)
Ateroma : Tidak terdapat penyakit jantung, DM (0), Terdapat penyakit
jantung, DM (1)
2) Algoritma Gadjah Mada
16
3) Skor Stroke Djoenadi
Gejala klinis Onset Nilai
1. TIA sebelum serangan 1
2. permulaan serangan Sangat mendadak(1-2 menit) 6,5
Mendadak (menit- 1 jam) 6,5
Pelan-pelan (beberapa jam) 1
3. waktu serangan Bekerja (aktivitas) 6,5
Istirahat/duduk/tidur 1
Bangun tidur 1
4. sakit kepala Sangat hebat 10
Hebat 7,5
Ringan 1
Tidak ada 0
5. muntah Langsung sehabis serangan 10
Mendadak (menit-jam) 7,5
17
Pelan-pelan (1 hari / >) 1
Tidak ada 0
6. kesadaran Menurun langsung waktu serangan 10
Menurun mendadak (menit-jam) 10
Menurun pelan-pelan (1 hari/ >) 1
Menurun sementara lalu sadar lagi 1
Tidak ada gangguan 0
7. tekanan darah sistolik Waktu serangan sangat tinggi (>200/110) 7,5
Waktu MRS sangat tinggi (>200/110) 7,5
Waktu serangan tinggi (>140/100) 1
Waktu MRS tinggi (>140/100) 1
8.tanda rangsangan selaput otak Kaku kuduk hebat 10
Kaku kuduk ringan 5
Kaku kuduk tidak ada 0
9. pupil Isokor 5
Anisokor 10
Pinpoint kanan/kiri 10
Medriasis kanan/kiri 10
Kecil dan reaksi lambat 10
Kecil dan reaktif 10
10. fundus okuli Perdarahan subhialoid 10
Perdarahan retina(flame shaped) 7,5
Normal 0
TOTAL SKOR : > 20 Stroke Hemoragik
< 20 Stroke Non hemoragik
2. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan
mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis,
trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan
kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.
18
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang
memiliki gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula
menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati
pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi
trombolitik dan antikoagulan.
3. Gambaran Radiologi
a. CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan
stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik
memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan
ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan
mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan
stroke (hematoma, neoplasma, abses).
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami.
Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang
menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah
hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai
waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah
adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus,
dan hilangnya perberdaan gray-white matter.
b. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray
Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis
atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis.
USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler
proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial,
dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada
semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli
kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta
thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi
19
trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi
kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.
K. PENATALAKSANAAN
Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan
pasien dan menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya
pencitraan dan pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah
pasien tiba. Keputusan penting pada manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya
intubasi, pengontrolan tekanan darah, dan menentukan resiko atau keuntungan
dari pemberian terapi trombolitik.
1. Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau
paten memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek
samping dari intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya herniasi otak
besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan
manitol intravena untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus mendapatkan
bantuan oksigen jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah
menunjukkan terjadinya hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
hipoksia pada stroke non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial,
hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD.
b. Circulation
Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena
dan pengawasan jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami
aritmia jantung dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi
juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan
prognosis yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien
dengan normoglikemik tidak boleh diberikan cairan intravena yang mengandung
glukosa dalam jumlah besar karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan
20
memicu iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula darah harus dilakukan
secara ketat dengan pemberian insulin. Target gula darah yang harus dicapai
adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan
hingga pasien pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat
pemberian insulin.
d. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih
maksimal jika pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak
dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan
telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat.
e. Pengontrolan tekanan darah
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan
rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluaran
neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai
Guidelines (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan
tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati
dengan memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.
1) Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%-20%
(sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila
tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau tekanan darah diastolic > 120
mmHg.
2) Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberikan terapi trombolitik
(rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS < 185 mmHg dan TDD <110
mmHg. Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS<180 mmHg
dan TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat
antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid,
nikardipin, atau diltiazem intravena.
21
f. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena
hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan
trauma neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa
hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai neuroprotektor.
g. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik
dan mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi
dan pemberian manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial
dengan cepat.
Manitol merupakan 6-karbon alkohol, yang tergolong sebagai obat
diuretikosmotik.(1) Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan
pembentukan urine dengan peningkatan pengeluaran natrium dan diiuresis.
Tempat kerja utama manitol adalah: (1) tubuli proksimal, yaitu dengan
menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya; (2) ansa
henle, yaitu dengan penghambatan reabsorpsi natrium dan air oleh karena
hipertonisitas daerah medula menurun; (3) duktus koligentes, yaitu dengan
penghambatan reabsorpi natrium dan air akibat adanya papillary wash out,
kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.
Manitol dapat menurunkan tekanan maupun volume intra okuler maupun
serebrospinal dengan meninggikan tekanan osmotik plasma sehingga air dari
kedua macam cairan tersebut akan berdifusi kembali ke dalam plasma dan ke
dalam ruang ekstra sel. Di dalam sirkulasi cairan akan dikeluarkan dari tubuh
dengan mekanisme kerja manitol pada ginjal.
Indikasi penggunaan manitol untuk menurunkan tekanan intracranial yang
tinggi karena edema cerebri, meningkatkan dieresis pada pencegahan dan / atau
pengobatan oliguria yang disebabkan oleh gagal ginjal, meniurunkan tekanan
intaokular, meningkatkan ekskresi uriner senyawa toksik, sebagai larutan irigasi
genitouriner pada operasi prostat atau operasi transurethral. Kontraindikasi
manitol pada penderita payah jantung, karena volume darah yang beredar
meningkat sehingga memperberat kerja jantung yang telah gagal. Pemberian
22
manitol juga dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria, kongesti
atau udem paru yang berat, dehidrasi hebat, dan perdarahan intra kranial, kecuali
bila akan dilakukan kraniotomi, serta pada pasien yang hipersensitivitas terhadap
manitol.
Manitol tersedia dalam berbagai kemasan dan konsentrasi, yaitu: Manitol
10% dalam kemasan plabottle 250 ml (25 gr) dan 500 ml (50 gr). Manitol 20%
dalam kemasan plabottle 250 ml (50 gr) dan 500 ml (100 gr). Dosis awal manitol
20% 1-1,5 g/kgBB IV bolus, diikuti dengan 0,25- 0,5 g/kgBB IV bolus tiap 4-6
jam. Efek mak-simum terjadi setelah 20 menit pemberian dan durasi kerjanya 4
jam. Pernberian manitol ini harus disertai pemantauan kadar osmolalitas serum.
Osmolalitas darah yang terlalu tinggi akan meningkatkan risiko gagal ginjal
(terutama pada pasien yang sebelumnya sudah mengalami vollyrfg depletion).
Kadar osmolalitas serum tidak boleh lebih dan 320 mOsmol/L.
h. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset.
Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel
kejang dengan menggunakan preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Rekomendasi pengobatan stroke didasarkan pada perbedaaan antara
keuntungan dan kerugian dalam tatalaksana yang diberikan. Fibrinolitik dengan
rtPA secara umum memberikan keuntungan reperfusi dari lisisnya thrombus dan
perbaikan sel serbral yang bermakna. Pemberian fibrinolitik merupakan
rekomendasi yang kuat diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis stroke
iskemik akut ditegakkan (awitan 3 jam pada pemberian intravena dan 6 jam
pemberian intrarterial).
1) kriteria inklusi
a) usia ≥ 18 tahun
b) diagnosis klinis stroke dengan deficit neurologis yang jelas
c) Awitan dapat ditentukan secara jelas (<3 jam)
d) tidak ada bukti perdarahan intracranial dari CT scan
23
e) pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan dan risiko yang
mungkin timbul dan harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau
keluarga untuk dilakukan terapi rtPA.
2) kriteria ekslusi
a) usia > 80 tahun
b) deficit neurologis yang ringan dan cepat membaik atau perburukan deficit
neurologis yang berat
c) gambaran perdarahan intracranial pada CT scan
d) riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir.
e) infark multilobular
f) kejang pada saat onset stroke
g) tekanan darah sistolik >185 mmHg, diastolic >110 mmHg
h) glukosa darah <50 mg/dl atau >400 mg/dl
i) gejala perdarahan subaraknoid
j) jumlah platelet <100.000/mm3
k) wanita hamil
3) Rekomendasi
a) pemberian IV rtPA dosis 0,9 mg/kgBB(maksimum 90mg), 10% dari dosis
total diberikan sebagai bolus inisial, dan sisanya diberikan sebagai infus
selama 60 menit, terapi tersebut harus diberikan dalam rentang waktu 3 jam
dari onset.
b) Disamping komplikasi perdarahan, efek samping lain yang mungkin terjadi,
yaitu angioedema yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas parsial,
harus diperhatikan.
c) pasien dengan hipertensi yang tekanan darahnya dapat diturunkan dengan
obat antihipertensi secara aman, harus dijaga kestabilan tekanan darah
sebelum memulai rtPA.
b. Antikoagulan
Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke ulang
awal, menghentikan perburukan neurologi, atau memperbaiki keluaran setelah
24
stroke iskemik akut tidak direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien
dengan stroke iskemik akut
c. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
Aspirin
Pemberian aspirin dengan dosis awal 325mg dalam 24-48 jam setelah
awitan stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut. Aspirin tidak boleh
digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada stroke, seperti
pemberian rtPA intravena. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin
jangan diberikan. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam
setelah pemberian obat trombolitik tidak direkomendasikan.
Penggunaan klopidogrel saja atau dengan kombinasi dengan aspirin, pada
stroke iskemik akut, tidak dianjurkan kecuali pada pasien dengan indikasi
spesifik, misalnya angina pectoris tak stabil.
d. Terapi Neuroprotektif
Terapi obat-obatan neuroprotektan antara lain:
1) Citicoline
Mekanisme kerja dengan meningkatkan pembentukan choline dan
menghambat phospholidase, pada metabolism neuron meningkatkan ambilan
glukosa, menurunkan pembentukan asam laktat, mempercepat pembentukan
asetilkolin dan menghambat radikalisasi asam lemak dalam keadaan iskemia,
dan merangsang pembentukan glutation merupakan antioksidan endogen otak
terhadap radikal bebas hydrogen peroksida dan lipid peroksida. Pada level
vascular, citicolin meningkatkan aliran darah otak, meningkatkan konsumsi
oksigen dan menurunkan resistensi vaskuler. Pada stroke iskemik diberikan
dosis 250-1000 mg/hari IV terbagi dalam 2-3 kali/hari. Untuk stroke hemoragik
150-200 mg/hari IV terbagi dalam 2-3 kali/hari. Pemberian citicolin selama 2-14
hari.
2) Piracetam
Mekanisme kerja piracetam pada level neuronal yaitu memperbaiki fluiditas
membrane sel serta memperbaiki neurotransmisi. Pada level vascular
meningkatkan deformabilitas eritrosit, maka aliran darah otak meningkat,
25
mengurangi hiperagregasi platelet, dan memperbaiki mikrosirkulasi. Dosis dan
cara pemberian piracetam dengan pemberian pertama 12 gram perinfus habis
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan 3 gram bolus IV per 6 jam atau 12 gram/21
jam dengan drip kontinu sampai dengan hari ke 4. Hari ke 5 sampai dengan
akhir minggu ke 4 diberikan 4,8 gram 3x/hari per oral. Minggu ke 5-12
diberikan 2,4 gram 2x/hari peroral.
L. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi
edema serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun
agak jarang (10-20%).
Edema serebri atau edema otak adalah keadaan patologis terjadinya
akumulasi cairan di dalam jaringan otak sehingga meningkatkan volume otak.
Dapat terjadi peningkatan volume intraseluler (lebih banyak di daerah substansia
grisea) maupun ekstraseluler (daerah substansia alba), yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.
2. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan.
Post-stroke iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa
pasien yang mengalami serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure
disorders. Kejang sekunder dari stroke iskemik harus dikelola dengan cara yang
sama seperti gangguan kejang lain yang timbul sebagai akibat neurologis injury.
M. TERAPI REHABILITASI MEDIK PASCA STROKE
Rehabilitasi membantu pasien stroke dalam keterampilan yang hilang ketika
bagian dari otak sudah rusak. Misalnya, keterampilan ini dapat termasuk
koordinasi gerakan kaki untuk berjalan kaki atau melakukan langkah-langkah
yang terlibat dalam kegiatan kompleks. Rehabilitasi pada pasien ini juga
mengajarkan cara-cara baru dalam melakukan kegiatan untuk menghindari
terjadinya sisa cacat. Pasien mungkin perlu mempelajari cara mandi dan
berpakaian hanya menggunakan satu tangan, atau cara berkomunikasi secara
efektif ketika kemampuan mereka untuk menggunakan bahasa yang telah
dikompromi. Terdapat rehabilitasi yang lebih baik sesuai konsensus di antara para
26
ahli bahwa unsur paling penting dalam setiap program rehabilitasi diarahkan
secara seksama, terfokus baik, dilakukan berulang – dengan jenis latihan yang
sama oleh semua orang ketika mereka belajar keterampilan baru, seperti bermain
piano sebagai contohnya.
Tahap rehabilitasi / terapi dimulai secepatnya sejaak perawatan di rumah
sakit setelah kondisi kesehatan pasien telah stabil, sering dilakukan dalam waktu
24 hingga 48 jam setelah stroke. Langkah pertama; mengajarkan & melibatkan
gerakan mandiri / independen karena banyak pasien yang lumpuh atau melemah
secara serius. Pasien akan diminta untuk sering mengubah posisi saat berbaring di
tempat tidur dan untuk terlibat aktif atau pasif dalam range of motion, untuk
memperkuat gerakan yang baik. Gerakan latihan range-of-motion pasif adalah
mereka (pelatih / therapist) yang aktif membantu pasien memindahkan dahan
berulang kali, sedangkan latihan "aktif" adalah latihan yang dilakukan oleh pasien
tanpa bantuan fisik dari perawat / therapist.) Dapat dimulai dari Pasien berpindah
dari atas dan duduk, pindah antara tempat tidur dan kursi untuk berdiri, dan
berjalan, dengan atau tanpa bantuan.
Pelaksana rehabilitasi / perawat membantu apabila pasien melakukan latihan
yang lebih progresif / lebih rumit dan membutuhkan perawat untuk membantu;
misalkan mandi, saus, dan menggunakan toilet, dan mendorong pasien mulai
menggunakan alat bantu dalam latihan stroke. Mulai dari latihan kemampuan
untuk melaksanakan kebutuhan dasar aktivitas hidup sehari-hari merupakan tahap
pertama kembali kemampuan fungsional (stroke survivor's).
Untuk beberapa pasien stroke, rehabilitasi akan menjadi proses untuk
memelihara dan memperbaiki kemampuan seseorang dalam tahap pemulihan
setelah stroke.
Hal yang dapat mengakibatkan cacat dari stroke:
Jenis dan tingkat kecacatan yang mengikuti stroke tergantung daerah mana
otak yang sudah rusak. Secara umum, stroke dapat menyebabkan lima jenis cacat
yaitu: kelumpuhan atau masalah pengendalian gerakan; indrawi gangguan
termasuk rasa sakit, atau masalah dengan pengertian bahasa; masalah dengan
pikiran dan memori, dan gangguan emosi.
27
1. Kelumpuhan atau masalah pengendalian gerakan (motor control)
Kelumpuhan adalah salah satu yang paling umum cacat akibat stroke.
Kelumpuhan yang biasanya terjadi pada tubuh dengan arah berlawanan dengan
bagian otak yang rusak oleh stroke secara menyamping, dan dapat mempengaruhi
wajah, satu tangan, satu kaki, atau seluruh samping tubuh. Satu sisi kelumpuhan
ini disebut hemiplegia (satu sisi kelemahan disebut hemiparesis). Pasien stroke
dengan hemiparesis atau hemiplegia mungkin kesulitan dengan kegiatan sehari-
hari seperti berjalan kaki atau menuju objek. Beberapa pasien stroke ada masalah
dengan menelan (swallowing), disebut dysphagia, karena kerusakan pada bagian
otak yang mengendalikan otot untuk swallowing. Kerusakan yang lebih rendah
bagian dari otak, dapat mempengaruhi kemampuan tubuh untuk
mengkoordinasikan gerakan, yang disebut cacat ataxia, yang mengarah ke
masalah dengan sikap tubuh, berjalan kaki, dan keseimbangan.
2. Gangguan Sensory & Nyeri
Pasien stroke kehilangan kemampuan untuk merasakan sentuhan, rasa sakit,
suhu, atau posisi. Defisit sensory juga dapat mengganggu kemampuan untuk
mengenali obyek yang akan dipegang pasien dan bahkan bisa cukup parah akan
menyebabkan hilangnya pengakuan dari salah satu anggota tubuh sendiri.
Beberapa pasien stroke mengalami sakit, atau rasa yang aneh sensations geli atau
dalam lumpuh atau melemah, suatu kondisi yang dikenal sebagai paresthesia.
Pasien stroke sering ada berbagai syndromes sakit kronis akibat induced-
stroke kerusakan pada sistem saraf (neuropathic). Pasien yang memiliki
kelemahan / kelumpuhan lengan umumnya sedang mengalami sakit parah ke
radiates yang terbentang dari bahu. Paling sering sakit terjadi adalah immobilisasi
karena kurangnya gerakan dan tendons dan ligaments sekitar. Hal ini biasa disebut
"beku" bersama; "pasif" gerakan bersama di dalam lumpuh sayap sangat penting
untuk mencegah sakit "beku" dan memungkinkan gerakan mudah jika dan ketika
kembali kekuatan motorik. Pada beberapa pasien stroke, jalur untuk sensasi di
otak yang rusak, menyebabkan transmisi sinyal palsu yang menyebabkan rasa
sakit di dahan atau samping tubuh yang memiliki defisit indrawi.
28
Hilangnya keinginan berkemih setelah stroke, penurunan sensori dan deficit
motorik. Pasien stroke kehilangan kemampuan untuk kebutuhan kencing atau
kemampuan untuk kontrol otot pada kandung kemih. Beberapa kejadian
kurangnya mobilitas untuk mencapai toilet dalam waktu tertentu. Bahkan
hilangnya kontrol pada kandung kencing pada pasien stroke.
3. Masalah dengan dengan bahasa (aphasia)
Setidaknya satu dari empat pasien stroke mengalami gangguan bahasa,
melibatkan kemampuan untuk berbicara, menulis, dan mengerti bahasa yang
diucapkan dan ditulis. Hal ini diakibatkan adanya cedera atas otak bahasa-pusat
kontrol yang dapat mengganggu komunikasi lisan. Kerusakan pada pusat bahasa
terletak di bagian samping dominan otak, yang dikenal sebagai area Broca,
menyebabkan aphasia ekspresif. Orang dengan jenis aphasia ada kesulitan
menyampaikan pemikiran mereka melalui kata atau menulis. Mereka kehilangan
kemampuan untuk berbicara dengan kata-kata mereka dan berpikir untuk
menempatkan kata bersama dalam koheren, kalimat grammatically yang benar.
Sebaliknya, kerusakan bahasa yang terletak di pusat bagian belakang otak, yang
disebut area Wernicke, dalam menerima hasil aphasia. Orang dengan kondisi ini
mengalami kesulitan memahami bahasa yang diucapkan atau ditulis dan sering
bicara kacau. Meskipun mereka dapat menyusun gramatically bentuk kalimat,
mereka sering mengucapkan tanpa makna. Yang paling parah bentuk aphasia,
aphasia global, disebabkan oleh kerusakan meluas ke beberapa daerah yang
terlibat dalam fungsi bahasa. Orang dengan global aphasia kehilangan hampir
semua kemampuan bahasa mereka, mereka tidak dapat mengerti bahasa dan
menggunakannya untuk menyampaikan sesuai pikiran. Bentuk aphasia yang tidak
terlalu parah, disebut anomic atau amnesic aphasia, terjadi ketika hanya ada
minimal jumlah kerusakan otak; dampaknya seringkali agak halus. Orang tersebut
sering terjadi anomic aphasia dengan ciri lupa kata-kata, seperti nama-nama dari
orang-orang tertentu atau jenis benda.
29
4. Masalah dengan pikiran dan memori
Stroke dapat menyebabkan kerusakan pada bagian otak yang bertanggung
jawab untuk memori, pembelajaran, dan kesadaran. Pasien stroke mungkin secara
tiba –tiba mengalami penurunan perhatian atau mungkin mengalami deficit
memory dalam jangka pendek memori. Individu juga kehilangan kemampuan
untuk membuat rencana, memahami makna, mempelajari tugas baru, atau terlibat
dalam kegiatan mental yang kompleks. Terdapat dua kejadian dalam dengan
defisit akibat stroke yang anosognosia, ketidakmampuan untuk mengakui
kenyataan yang impairments fisik akibat stroke, dan terabaikan, hilangnya
kemampuan untuk menanggapi obyek atau stimuli indrawi terletak di satu sisi
tubuh. Stroke yang dapat diselamatkan dapat mencegah terjadinya apraxia /
kehilangan kemampuan mereka untuk merencanakan langkah-langkah yang
terlibat dalam tugas yang rumit dan untuk melaksanakan langkah-langkah dalam
urutan yang benar. Pasien dengan stroke apraxia mungkin juga ada masalah, lain
dan Apraxia nampaknya disebabkan oleh gangguan yang halus yang ada
kaitannya antara pemikiran dan tindakan.
5. Gangguan emosi
Banyak orang yang hidup dengan stroke yang merasa takut, gelisah,
kekecewaan, amarah, kesedihan, dan rasa duka mereka terhadap fisik dan mental.
Perasaan ini terjadi karenapermasalahn terhadap trauma psikologis stroke.
Beberapa gangguan emosi dan kepribadian adalah perubahan fisik yang
disebabkan oleh efek dari kerusakan otak. Depresi klinis, yang merupakan rasa
keputusasaan yang mengganggu kemampuan individu untuk berfungsi,
nampaknya emosional disorder paling sering dialami oleh pasien stroke. Tanda-
tanda klinis depresi meliputi gangguan tidur, perubahan radikal dalam pola makan
yang dapat mengakibatkan berat badan atau tiba-tiba mendapat, kelesuan,
penarikan sosial, lekas marah, kelelahan, kebencian. Depresi Pasca stroke dapat
diobati dengan obat antidepressant psikologis dan konseling.
Terapy Fisik
Mereka dilatih dalam semua aspek anatomi dan fisiologi yang berhubungan
dengan fungsi normal, dengan penekanan pada gerakan. Mereka menilai kekuatan
30
stroke, daya tahan, berbagai gerakan, kiprah abnormalities, dan defisit indrawi
individual untuk merancang program-program rehabilitasi yang bertujuan untuk
mengembalikan fungsi kontrol atas motor.
Terapi fisik membantu korban kembali kondisi yang lebih baik, mengajar
sbg strategi untuk mengurangi efek dari sisa defisit, dan terus-menerus membuat
program latihan untuk membantu mereka tetap belajar keterampilan baru.
Strategi yang digunakan oleh therapists fisik untuk mendorong penggunaan
limbah diburukkan termasuk selektif indrawi stimulasi seperti penyadapan atau
stroking, aktif dan pasif latihan,rentang gerak dan pengendalian yang sehat pada
latihan mobilitas sambil mempraktekkan tugas. Beberapa terapi fisik mungkin
menggunakan teknologi baru, transcutaneous (stimulasi listrik saraf), yang
mendorong reorganisasi otak dan pemulihan fungsi. Melibatkan menggunakan
puluhan satelit kecil yang menghasilkan listrik yang saat ini untuk merangsang
syaraf dalam kegiatan-stroke.
Secara umum, terapi fisik menekankan practicing gerakan terkecil, berulang
kali berubah dari satu jenis ke gerakan lain, dan gerakan rehearsing kompleks
yang memerlukan banyak koordinasi dan keseimbangan, seperti berjalan kaki ke
atas atau bawah tangga atau memindahkan aman antara hambatan. Orang yang
terlalu lemah untuk melakukan latihan sendiri dilakukan dengan praktek repetitif
pergerakan selama hidroterapi (dalam air yang memberikan stimulasi indrawi
serta dukungan berat). Sebuah kecenderungan dalam terapi fisik menekankan
efektivitas terlibat dalam tujuan diarahkan pada kegiatan seperti permainan, untuk
meningkatkan koordinasi. Terapi fisik sering melakukan latihan stimulasi indrawi
yang selektif untuk mendorong penggunaan yang lebih buruk, untuk membantu
korban dengan meningkatkan kembali kesadaran pada stimuli yang ada pada
tubuh.
Home-based rehabilitation programs
Rehabilitasi rumah memungkinkan fleksibilitas untuk pasien sehingga
mereka dapat menyesuaikan program rehabilitasi dan mengikuti jadwal individu.
Pasien stroke dapat berpartisipasi dalam tingkat terapi yang intensif beberapa jam
per minggu atau kurang mengikuti kebutuhan hidup. Manajemen ini sering cocok
31
untuk orang-orang yang kekurangan transportasi, atau memerlukan perawatan
hanya oleh satu jenis rehabilitasi therapist. Pasien bergantung pada cakupan
Medicare untuk rehabilitasi mereka yang harus memenuhi Medicare's
"homebound" persyaratan untuk memenuhi syarat layanan seperti itu, saat ini
kekurangan transportasi tidak menjadi alasan untuk terapi rumah. Kekurangan
yang besar dari rumah berbasis program rehabilitasi adalah kurangnya peralatan
khusus. Namun, menjalani perawatan di rumah orang yang memberikan
keuntungan dari melatih keterampilan dan pengembangan sbg strategi dalam
konteks lingkungan hidup mereka sendiri.
Tahap-tahap Rehabilitasi :
a) Tahap akut
Rehabilitasi harus segera dimulai begitu penderita masuk rumah sakit. Pada
saat penderita jatuh koma/ ada renjatan, tatalaksana yang menonjol adalah upaya
yang bersifat live-saving. Bagaimanapun hal-hal sebagai berikut harus tetap
diperhatikan : upaya pencegahan terjadinya kontraktur dan dekubitus, serta tetap
melakukan pemeriksaan fisik untuk dapat mengikuti perkembangan penderita
secara menyeluruh. Hal yang dapat dilakukan adalah bed-positioning atau ubah
baring, bertujuan sebagai pencegahan terjadiya kontraktur dan dekubitus.
b) Tahap subakut
Apabila penderita sudah sadar kembali dan atau sudah melewati tahap akut,
maka tingkat ketidakmampuan dan kemampuan yang tersisa harus segera
dievaluasi.
1) Latihan aktif dan pasif
Pada awalnya rehabilitasi aktif dimulai dengan program mobilisasi yang
terdiri dari menggerakkan semua sendi pada anggota tubuh yang lumpuh,
apabila dipandang mempunyai cukup kekuatan untuk menggerakkan sendi
sampai terjadi range of motion secara penuh. Bila terjadi paralisis maka
diperlukan latihan gerak sendi secara pasif sampai penderita mampu
menggerakkan sendinya.
32
2) Aktivitas elevasi
Untuk penderita yang terbaring lebih dari satu minggu maka ambulasi
terhadapnya harus dilakukan secara bertahap. Latihan dimulai dengan
meninggikan letak kepala secara bertahap untuk kemudian dicapai posisi
setengah duduk hingga duduk. Latihan duduk secara aktif seringkali
memerlukan alat bantu. Apabila penderita sudah mampu duduk sendiri maka
upaya berikutnya adalah latihan duduk dengan tungkai menjuntai di sisi tempat
tidur, sisi mana yang sesuai dengan anggota gerak yang tidak lumpuh.
3) Latihan berdiri
Apabila penderita sudah dapat duduk sendiri secara aktif segera dimulai
latihan berdiri; tekanan darah terlebih dahulu diukur secara seksama dalam
posisi berbaring dan duduk tegak untuk memastikan apakah terdapat hipotensi
postural.
4) Latihan berjalan
Segera setelah penderita mampu berdiri maka penderita dilatih untuk
berjalan, dengan melatih distribusi berat badan pada kedua tungkai sekaligus
melatih keseimbangan dalam berbagai posisi. Latihan ini dibantu oleh
fisioterapis ataupun oleh keluarga penderita.
5) Fisioterapi
Pada awalnya dilakukan latihan penguat otot anggota yang sehat, yang
terdiri dari progresive resistance exercises terutama untuk otot-otot yang
diperlukan untuk berdiri dan berjalan. Otot-otot antara lain depresor bahu,
ekstensor siku, fleksor dan ekstensor pergelangan tangan, ekstensor dan
abduktor sendi paha, dan ekstensor lutut. Pada anggota yang lumpuh juga
dikerjakan latihan penguatan otot untuk keperluan fungsional.
6) Terapi okupasional
Mengadakan evaluasi perawatan diri, dari hal yang sederhana, misalnya
kemampuan bergerak ditempat tidur sampai kepada aktivitas yang komplek
misalnya berjalan, mengendarai mobil.
33
7) Petugas Sosial
Mengadakan evaluasi sosial, keadaan rumahnya, pekerjaannya,
pendidikannya, keadaan ekonomi, penyesuaian diri dengan masyarakat dan
sebagainya.
8) Orthotis-Prostetis
Mengadakan evaluasi pengadaan alat-alat ortotik (alat bantu) dan prostetik
(alat palsu) bersama dokter sesuai dengan keadaan cacatnya.
9) Terapi Wicara
Melakukan pemeriksaan atau tes-tes pembicaraan dan pendengaran
10) Psikolog
Melakukan evaluasi psikologis, misalnya reaksi terhadap keadaan cacatnya,
kapasitas intelek, penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya.
11) Perawat Rehabilitasi
Mengadakan evaluasi tentang perawatan yang diperlukan bagi penderita.
c) Tahap Lanjut (Kronik)
Dimana terapi ini biasanya dimulai pada akhir stadium subakut. Keluarga
penderita lebih banyak dilibatkan, PSM (Pekerja Social Medik) dan psikolog
harus lebih aktif. Apabila penderita sudah dapat berjalan, maka kepada penderita
segera diperkenalkan program ADL (Activity of Daily Living), yaitu melakukan
kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain, misalnya berpakaian, makan dan
hygiene.
Program Rehabilitasi
Perlu dipisahkan dengan baik perbedaan antara program rehabilitasi dan
program mobilisasi . Program mobilisasi merupakan salah satu bagian program
rehabilitasi . Program rehabilitsi medik dimulai sejak penderita dikonsultasikan,
meskipun misalnya masih dalam keadaan tidak sadar. Tetapi mobilisasi harus
menunggu, yang secara garis besar dapat mengikuti pola sebagai berikut :
Pada penderita stroke oleh karena trombose dan emboli, jika tidak ada
komplikasi lain, mobilisasi dapat dimulai 2-3 hari setelah serangan. Dengan
perdarahan subarachnoid, dimulai setelah 2 minggu.
Stroke oleh karena trombosis atau emboli pada penderita dengan infark
34
miokardium tanpa komplikasi , program dimulai setelah minggu ke-3. Tetapi
jika penderita segera menjadi stabil, tidak didapatkan aritmia, mobilisasi yang
berhati-hati dapat dimulai pada hari ke-10.
Pada “progressing stroke” lebih aman menunggu sampai tercapai “Complete
stroke” baru program latihan, meskipun pasif, diberikan. Jika proses dicurigai
berasal dari sistem a. Carotis, tunggu 18-24 jam, jika dari sistem
vertebrobasilar, tunggu sampai 72jam sebelum memastikan tidak ada
“Progression” lagi.
Program Latihan
1. Program latihan di tempat tidur.
Penderita post stroke, umumnya memberikan gejala hemiplegia, sedangkan
tetraplegi (double hemiplegia) ataupun monoplegia amat jarang. Latihan di
tempat tidur dimulai dengan pengaturan posisi baring (positioning) : penderita
diletakan dalam posisi yang melawan pola spastisitas yang nantinya timbul.
2. Latihan duduk.
Harus melalui latihan “rolling” dulu, yaitu terlentang-tengkurap- terlentang.
3. Latihan berdiri dan jalan.Melalui jalur : Lying (baring)-roling-sitting-standing
(berdiri). Terkadanerli dilewati jalur lain yang lebih panjang : Lying- propping
(tengkurap) dengan badan disangga, mula-mula oleh kedua siku, kemudian
oleh ke empat ekstrimitas/ quadripedal – berdiri.
Terapi Rehabilitasi Medik Untuk Gangguan Fungsi Luhur Pada Stroke :
1. Kemampuan berbahasa
Sejak awal Speech Terapist atau terapi wicara sudah diikutsertakan untuk
melatih otot-otot menelan yang biasanya mengganggu pada stadium akut apalagi
kalau ada kesulitan bicara. Penderita diminta untuk menyebut nama benda
didalam ruangan misalnya dasi, meja, baju, lampu ; atau bagian dari tubuh
misalnya hidung, dagu, bahu ; mengikuti perintah/aba-aba misalnya menunjuk
pintu, meja atau mengulang ungkapan.
35
2. Daya ingatan/memori
Dua unsur yang harus diteliti yaitu ingatan jangka panjang dan jangka
pendek. Untuk ingatan jangka pendek, penderita diminta untuk mengulangi
angka-angka atau kata-kata yang diucapkan oleh si pemeriksa, sedangkan untuk
ingatan jangka panjang dengan bertanya pada pasien misalnya tahun lulus SD,
SMP, SMA atau Universitas ; hari ulang tahun sendiri, anak, istri/suami, orang
tua.
3. Emosi/kepribadian
Status emosi dapat dilihat dari reaksi penderita terhadap pertanyaan dokter,
tindak-tanduknya terhadap orang disekelilingnya atau terhadap perasaan dan
keadaan dirinya sendiri. Emosi akan lebih nyata. Karena lesi organik yang difus
menganggu otak maka keuletan dalam fungsi mental berkurang atau tidak ada lagi
sehingga pertimbangan untuk melakukan sesuatu dengan baik tidak ada lagi
akibatnya kontrol emosi menurun seperti mudah tersinggung, mudah marah,
ketakutan, cemas, tegang, depresi, sikap bermusuhan atau dikenal sebagai labilitas
emosional.
4. Kemampuan kognisi
Kemampuan kognisi ini juga perlu bantuan psikolog. Dengan melakukan
Mini Mental State Examination (MMSE) yang meliputi 30 pertanyaan sederhana
untuk memperkirakan kognisi utama pada orang-orang tua, dilakukan dalam
waktu 10-15 menit, dapat dikerjakan oleh dokter, perawat, atau pekerja social
tanpa memerlukan latiahan khusus. Skor MMSE berkisar antara 0-30. Orang
lanjut usia, normal menunjukkan skor 24-30. Depresi dengan gangguan kognisi
mempunyai skor 9-27. Penderita dengan skor 24 atau kurang, benar-benar
menunjukkan gangguan kognisi.
N. PROGNOSIS
Prognosis pada stroke perdarahan pada umumnya lebih baik dari pada
stroke non perdarahan. Tetapi juga tergantung dari seberapa besar perdarahan
yang terjadi. Dan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor :
1. Tingkat kesadaran : sadar 16% meninggal, somnolen 39% meninggal, stupor
meninggal 71%, dan koma meninggal 100%.
36
2. Usia : Pada usia 70 tahun atau lebih, angka kematian meningkat tajam.
3. Jenis kelamin : laki-laki lebih banyak 61% yang meninggal daripada
perempuan 41%.
4. Tekanan darah tinggi prognosis jelek
5. Lain-lain : cepat dan tepatnya pertolongan.
Sedangkan prognosis stroke perdarahan subaraknoidal bergantung pada :
1. Etiologi : lebih buruk pada aneurisma
2. Lesi tunggal/multiple : aneurisma multiple lebih buruk
3. Lokasi aneurisma/lesi : pada a. komunikans anterior dan a. serebri anterior
lebih buruk karena sering perdarahan masuk ke intraserebral atau ke ventrikel
(perdarahan ventrikel).
4. Umur : prognosis jelek pada usia lanjut.
5. Kesadaran : bila koma lebih dari 24 jam, buruk hasil akhirnya.
6. Gejala : bila kejang, memperburuk keadaan atau prognosis.
37
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 68 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : Sarjana muda
Pekerjaan : Pensiunan dari RSP Ngawen
Status : Sudah menikah
Bangsa/suku : Indonesia/jawa
Alamat : Jl. Brigjen Sugiyanto 99/2 No. 8 Kalicacing
Masuk RS : 10 Januari 2013 pukul 15.35 WIB
Konsul RM : 15 Januari 2013
Tanggal BLPL : 20 Januari 2013
No. RM : 08-09-127331
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Tangan kiri dan kaki kiri terasa lemas sulit digerakkan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan terasa lemas dan
sulit digerakkan pada bagian tangan kiri dan kaki kiri, kesemutan (-), terasa
pusing, mual (-), muntah (-), berbicara pelo (-). Keluhan dirasakan sejak pagi
hari SMRS. Awalnya saat pagi hari SMRS, ketika pasien bangun tidur, pasien
merasakan tiba-tiba tangan kiri dan kaki kirinya agak lemas. Kemudian pasien
juga mengalami kesulitan berjalan setelah bangun tidur. Padahal sebelumnya
pasien masih kuat untuk berjalan dan tidak pernah mengalami kelemahan gerak
bagian tangan maupun kaki. Keluhan tersebut dirasakan makin lama makin
memberat dan akhirnya sore hari dibawa ke IGD. Beberapa hari sebelum
keluhan muncul, pasien tidak mempunyai riwayat jatuh.
Pemeriksaan terakhir (15 Januari 2013), pasien tetap merasakan tangan kiri
dan kaki kirinya terasa lemes, susah untuk bergerak sama seperti awal masuk
38
RS, berbicara pelo (-), makan dan minum (+) tidak tersedak, mual (-), muntah
(-), BAB (-), BAK (+).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Mengalami penyakit yang sama sebelumnya disangkal, Hipertensi (-),
Diabetes Melitus tidak tahu, penyakit jantung disangkal, trauma kepala
disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (+) kakak pasien, hipertensi
disangkal, penyakit jantung disangkal, diabetes mellitus seluruh saudara
kandung pasien mempunya riwayat DM
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien adalah seorang pensiunan yang tinggal bersama suaminya yang
juga seorang pensiunan. Pasien memiliki 4 orang anak dan sudah menikah
semua. Keempat anaknya tinggal dirumah masing-masing. Pasien
menggunakan jaminan kesehatan sosial untuk berobat ke rumah sakit.
6. Anamnesis Sistem
Neurologi : Panas (-), pusing (-), kesadaran menurun (-),
kelemahan anggota gerak kiri (+), kejang (-)
Respirasi : Batuk (-), pilek (-), sesak napas (-)
Kardiovaskular : Pucat (-), debar-debar (-),
Gastrointestinal : Muntah (-), nyeri perut (-), BAB (-) sejak masuk
rumah sakit, perut kembung(-), sakit pada anus (-)
Urogenital : BAK (+), nyeri BAK (-)
Muskuloskeletal: lemah anggota gerak kiri (+)
Integumentum : sianosis (-)
C. DATA OBYEKTIF (15 Januari 2013)
Vital Sign
Denyut nadi : 70 x/menit
Tekanan darah : 180/90 mmHg
Pernapasan : 22 x/menit
39
Kepala : Mesochepal, simetris, CA (-/-), SI (-/-)
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar limpa, kaku kuduk (-).
Thorak :
Paru
Inspeksi : simetris
Palpasi: vokal fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi: iktus kordis teraba di SIC V linea midclavicularis kiri
Perkusi : redup
Batas Jantung :
Kiri Atas : SIC II linea parasternalis kiri
Kana Atas : SIC II linea parasternalis kanan
Kiri bawah : SIC V 2cm caudolateral dari linea midclavicula
Kanan Bawah : SIC IV linea parasternalis kanan
Auskultasi : murmur (-), gallop (-)
Abdomen: Inspeksi : Permukaan datar
Palpasi : Nyeri tekan (-), supel, hepar dan lien tidak teraba
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Ekstremitas
Atas : tangan kiri lemah (+), edema (-), akral hangat
Bawah : kaki kiri lemah (+), edema (-), akral hangat
Status psikis : dalam batas normal
Status Neurologis
Keadaan Umum :Baik
Kesadaran :Composmentis; GCS : E 4V5M6
Orientasi :Orang(baik),Waktu(baik),Tempat(baik),Situasi(baik).
Daya Ingat :Baru (baik), Lama (kurang baik)
40
Pemeriksaan Anggota Gerak
PemeriksaanEkstremitas
Superior (D/S)
Ekstremitas
Inferior (D/S)
Gerakan Bebas/ Terbatas Bebas/ Terbatas
Sensibilitas + N / +N +N / +N
Kekuatan 5-/3 5-/3
Tonus N/ ↑ N/ ↑
Klonus -/- -/-
Trofi Eutrofi Eutrofi
Reflek fisiologis
Refleks Dextra/Sinistra
Biseps + N / N
Triseps + N / N
Brachioradialis + N / N
Patella + N / N
Achiles + N / N
Reflek Patologis
Refleks Ekstremitas Dextra Ekstremitas Sinistra
Babinski - -
Chaddock - -
Openheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Gonda - -
Pemeriksaan Syaraf Kranialis
N I. OLFAKTORIUS
Daya pembau : kanan simetris dengan kiri
41
N II. OPTIKUS
Daya penglihatan : Normal, kanan dan kiri simetris
Pengenalan warna : Normal, kanan dan kiri simetris
Medan penglihatan : Normal
Arteri/ vena : Normal
Perdarahan : Tidak ditemukan
N III. OKULOMOTORIUS
Ptosis : Tidak ditemukan
Gerak mata
Medial : Positif
Atas : Positif
Bawah : Positif
Ukuran pupil : 3 mm
Bentuk pupil : Bulat
Refleks cahaya langsung : Positif, simetris kanan dan kiri
Refleks cahaya tak langsung : Positif, simetris kanan dan kiri
Strabismus difergen : Negatif
Diplopia : Negatif
N IV. TROKLEARIS
Gerak mata ke lateral bawah : Positif
Strabismus konvergen : Negatif
Diplopia : Negatif
N V. TRIGEMINUS
Menggigit : Positif
Membuka mulut : Positif
Sensibilitas
Atas : Positif
Tengah : Positif
Bawah : Positif
Refleks kornea : Positif
Refleks bersin : Tidak dilakukan
42
Refleks maseter : Tidak dilakukan
Refleks zigomatikus : Tidak dilakukan
N VI. ABDUSEN
Gerakan mata ke lateral : Positif
Strabismus konvergen : Negatif
Diplopia : Negatif
N VII. FASIALIS
Kerutan kulit dahi : Positif, simetris antara kanan dan kiri
Kedipan mata : Positif, simetris antara kanan dan kiri
Lipatan naso labial : Simetris
Sudut mulut : Simetris
Mengerutkan dahi : Positif, simetris antara kanan dan kiri
Mengerutkan alis : Positif, simetris antara kanan dan kiri
Menutup mata : Positif, simetris antara kanan dan kiri
Meringis : Simetris
Mengembangkan pipi : Simetris
Tiks fasial : Negatif
Lakrimasi : Negatif
Daya kecap lidah 2/3 depan : Tidak dilakukan
Refleks glabella : Tidak dilakukan
Tanda myerson : Tidak dilakukan
Tanda chyostek : Tidak dilakukan
Bersiul : Tidak dilakukan
N VIII. AKUSTIKUS
Mendengar suara bebisik : Positif, simetris antara kanan dan kiri
Mendengar detik arloji : Positif, simetris antara kanan dan kiri.
Tes rinne : Tidak dilakukan
Tes weber : Tidak dilakukan
Tes schwabach : Tidak dilakukan
N IX. GLOSOFARINGEUS
Arkus faring : Asimetris
43
Daya kecap lidah 1/3 belakang: Tidak dilakukan
Refleks muntah : Tidak dilakukan
Tersedak : Tidak dilakukan
N X. VAGUS
Denyut nadi : 70 x/menit, teratur
Arkus faring : Arkus faring
Bersuara : + kurang jelas
Menelan : Positif
N XI. AKSESORIUS
Memalingkan kepala : Positif
Sikap bahu : Positif
Mengangkat bahu : Bahu kiri tidak kuat angkat
Trofi otot bahu : Normal
N XII. HIPOGLOSUS
Sikap lidah : Lidah mencong ke kiri
Artikulasi : Tidak Jelas
Tremor lidah : Tidak ditemukan
Menjulurkan lidah : Mencong ke kiri
Kekuatan lidah : Kurang
Trofi otot bahu : Normal
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG (LABORATORIUM)
Tanggal 15 Januari 2013 (Pemeriksaan Kimia Klinik)
Hasil Px Nilai Normal
GDS 171 mg/dL <110
Ureum 57 mg/dL 10-50
Creatinin 0,9 mg/dL P <1,1
SGOT 18 u/e <37
SGPT 12 u/e <42
Natrium 141 mmol/C135-155
Kalium 3,8 mmol/C3,6-5,5
44
Chlorida 105 mmol/C95-108
Calsium 8,1 mg/dl 8,1-10,4
Tanggal 16 Januari 2013
Gula Darah Puasa 109 mg/dL
Gula darah 2 jam PP 131 mg/dL
Pemeriksaan Darah Rutin (15 Januari 2013)
AL : 6,2 x 103/μL (4,5 – 11 x 103/μL)
AE : 5,98 x 103/μL (4,5 – 5,5 x 103/μL)
Hb : 12,5 g/dL (14 – 18 g/dl)
HT : 35,3 % (40 – 54%)
MCV : 88,7 FL (85 – 100 FL)
MCH : 31,4 Pg (28 – 31 Pg)
MCHC : 35,4 g/dl (30 – 35 g/dl)
AT : 221 x 103/μL (150 – 450 x 103/μL)
Pemeriksaan CT Scan :
Tampak lesi hipodens di daerah Capsula Interna Crus Anterior dextra
dengan HU 21,2
Tak tampak kalsifikasi di daerah Ganglion Basalis
Sulcus dan Gyrus DBN
Falk Cerebri dan Fissura Sylvii Dextra/ Sinistra DBN
Tak tampak midline shifting
Pons dan Cerebelum DBN
Kesan: Gambaran SNH di daerah Capsula Interna Crus Anterior Dextra
E. DIAGNOSA
Diagnosa klinis : - Hemiparesis sinistra et causa SNH
- Hipertensi grade II
- Uremia
- Anemia
- Parese N. XI dan XII kiri
Diagnosa topik : tromboli pada hemisferium dextra
Diagnosa etiologi : Stroke non hemoragik
45
F. HASIL FOLLOW UP
16 Januari 2013
S: pasien masih merasakan lemes, tapi tangan dan kaki merasa lebih enak
daripada kemarin, pusing (+)
O : Compos mentis E4V5M6
TD : 160/90 mmHg pupil isokor 3/3 mm
Refleks fisiologis
Refleks patologis
Kekuatan Otot
Ass: SNH
18 Januari 2013
S: tangan kanan dan kiri terasa lebih ringan, tapi pasien merasa belum kuat,
badan terasa pegel-pegel, pusing (+)
O : Compos Mentis pupil isokor
TD : 150/80 mmHg Suhu : 36,5°
Nadi : 84x/ menit Nafas : 32x/ menit
Refleks fisiologis
Refleks patologis
Kekuatan Otot
Ass : Susp. SNH
19 Januari 2013
46
+ +
+ +
- -
- -
5 3+
5 3+
+ +
+ +
+ +
+ +
5 3+
5 3+
S: pusing (+) kadang, tangan dan kaki mulai ada kekuatan, untuk duduk
lebih kuat daripada sebelumnya.
O: Compos mentis E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
Refleks fisiologis
Refleks patologis
Kekuatan otot
Ass : Susp. SNH
20 Januari 2013
S: pusing (-) kadang, tangan dan kaki lebih kuat dari kemarin.
O: Compos mentis E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
Refleks fisiologis
Refleks patologis
Kekuatan otot
Ass : Susp. SNH
G. PENATALAKSANAAN
Terapi Umum
Monitor keadaan umum dengan 5 B
o Breath : oksigenasi, pemberian oksigen dari luar
o Blood : usahakan aliran darah ke otak semaksimal mungkin dan
pengontrolan tekanan darah pasien
47
+ +
+ +
+ +
+ +
5 4-
5 4-
+ +
+ +
+ +
+ +
5 4
5 4
o Brain : menurunkan tekanan intrakranial dan menurunkan edema serebri
o Bladder : dengan pemasangan kateter kontrol keseimbangan cairan.
o Bowel : kontrol defekasi, beri asupan nutrisi yang memadai.
Terapi Khusus
Farmakologi
Infus RL 20 tpm
Infus Manitol 6 x 50 cc
Inj. Piracetam 2 x 3 gr
Inj. Sohobion 3x1
Inj. Ranitidine 2x1
MAD 2x1
Non Farmakologi
Pasien diberikan edukasi seputar penyakitnya, diantaranya:
o Motivasi penderita untuk tetap rajin kontrol post stroke dan latihan rutin
agar dapat beraktivitas sehari-hari seperti biasanya.
o Menjelaskan tentang faktor resiko stroke dan bagaimana pecegahannya
o Motivasi menjaga asupan makanan rendah garam agar hipertensi
terkontrol.
o Menjelaskan pentingnya program rehabilitasi medik untuk
mengoptimalkan fungsi ekstremitas dan mencapai kesembuhan yang optimal
o Motivasi keluarga pasien agar selalu memberi dukungan dan semangat
psikologis pada pasien untuk membantu proses penyembuhan.
Program Rehabilitasi Medik :
- Kelemahan anggota gerak kiri
- Kelemahan pada N XII
- Kesulitan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) / ADL
- Status gizi kurang.
- Pasien merasa cemas dengan penyakitnya dan biaya yang ditangung untuk
mengobati penyakitnya
- Kurangnya perhatian dari anak-anaknya
48
a. Fisioterapi :
Problem : kelemahan sistem muskuloskeletal pada ekstremitas atas dan
bawah tubuh bagian kiri.
Program :
o Memelihara atau menambah kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah
tubuh bagian kiri dengan exercise.
o Memelihara ROM sendi lengan dan tungkai
o Mengurangi spastisitas dan mencegah kontraktur
o Infra Red
b. Speech terapist
Problem : adanya kelemahan pada N.XII seperti lidah mengarah ke arah yang
sakit
Program :
o Latihan senam lidah kearah kanan dan kiri
o Latihan a, i, u, e, o supaya artikulatio bertambah jelas.
c. Terapi Okupasi
Problem : tidak dapat melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan sendiri.
Program :
o Melatih pasien untuk latihan bekerja, seperti apa yang biasanya dilakukan
sendiri, melatih kekuatan duduk, berdiri dan berjalan.
o Melakukan kegiatan sehari-hari sendiri tanpa bantuan orang lain, misalnya
berpakaian, makan, dan kebersihan pribadi.
o AKS/ADL secara luas berkaitan dengan aspek psikologis, komunikasi, dan
sosial.
d. Social Worker
Problem : pasien merupakan seorang pensiunan yang tinggal bersama
suaminya, semua anaknya tidak tinggal bersama, status gizi pasien cukup
Program :
o Motivasi penderita untuk tetap rajin latihan rutin agar dapat beraktivitas
sehari-hari seperti biasanya.
49
o Motivasi menjaga asupan makanan untuk membantu proses penyembuhan.
o Motivasi keluarga pasien agar selalu memberi dukungan dan semangat
kepada pasien serta membantu program latihan pasien bila sudah dirumah
nanti.
e. Psikologi
Problem : Pasien merasa cemas dengan penyakitnya dan biaya yang harus
ditanggung untuk mengobati penyakitnya.
Assessment : pasien merasa cemas dengan penyakitnya.
Program :
o kontrol psikoterapi.
o motivasi untuk rajin latihan.
o penjelasan pada penderita dan keluarga tentang penyakitnya dan hal yang
boleh atau tidak boleh dilakukan.
o Memotivasi keluarga untuk mendukung kesembuhan pasien.
H. PROGNOSIS
Sanam : Dubia ad malam
Vitam : Dubia ad malam
Fungsionam : Dubia ad malam
50
PEMBAHASAN
Pada saat pagi hari bangun dari tidur sebelum masuk rumah sakit, pasien
mengeluhkan terasa lemas dan sulit digerakkan pada bagian tangan kiri dan kaki
kiri. Selain itu pasien juga mengalami kesulitan berjalan setelah bangun tidur.
Padahal sebelumnya pasien masih kuat untuk berjalan dan tidak pernah
mengalami kelemahan gerak bagian tangan maupun kaki. Pasien mengalami
pusing, mual (-), muntah (-). Beberapa hari sebelum keluhan muncul, pasien tidak
mempunyai riwayat jatuh. Pasien mempunyai riwayat hipertensi namun pasien
tidak rutin memeriksakan tekanan darahnya dan jarang mengonsumsi obat
antihipertensi.
Vital Sign :
Denyut nadi 70x/menit (datang) 88x/menit
Tekanan Darah 180/90mmHg (datang) 150/90mmHg
Pernafasan 22x/menit (datang) 20x/menit
Suhu afebris (datang) afebris
PemeriksaanEkstremitas
Superior (D/S)
Ekstremitas
Inferior (D/S)
Gerakan Bebas/ Terbatas Bebas/ Terbatas
Sensibilitas + N / +N +N / +N
Kekuatan 5-/3 5-/3
Tonus N/ ↑ N/ ↑
Klonus -/- -/-
Trofi Eutrofi Eutrofi
Reflek Fisiologis +/+ +/+
Reflek Patologis -/- -/-
Pemeriksaan N XI : bahu kiri tidak dapat diangkat
N XII : untuk menjulurkan lidah mencong ke kiri
Skor siriraj pada pasien :
= (2,5 x derajat kesadaran) + (2 x nyeri kepala) + (2 x vomitus) + (10% x diastole)
– (3 x petanda ateroma) – 1251
= (2,5 x 0) + (2 x 1) + (2 x 0) + (10% x 90) – (3 x 0) – 12
= 0 + 2 + 0 + 9 – 0 - 12
= -1 (perlu dilakukan CT Scan)
Algoritma gadjah mada :
1. Penurunan kesadaran (-)
2. Nyeri kepala (+)
3. Refleks Babinsky (-)
Skor Junaedi : 10,5 SNH
Pemeriksaan Penunjang :
GDS 171 mg/dL Ureum 57 mg/dL Creatinin 0,9 mg/dL SGOT 18 u/e SGPT 12 u/e Natrium 141 mmol/C Kalium 3,8 mmol/C Chlorida 105 mmol/C Calsium 8,1 mg/dl Gula Darah Puasa 109 mg/dL Gula darah 2 jam PP 131 mg/dLCT Scan : SNH di daerah Capsula Interna Crus Anterior Dextra
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka
dapat ditegakkan diagnosis :
o Hemiparese Sinistra et causa SNH
o Hipertensi grade II
o Anemia
o Uremia
o Parese N XI dan XII kiri
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi pada pasien diantaranya adalah adanya
riwayat penyakit hipertensi, adanya penyakit jantung, dan kurangnya aktivitas
fisik. Sedangkan pada faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia
serta adanya faktor genetika.
52
PISPIS
Pengobatan yang diberikan pada pasien ini antara lain:
Terapi Umum
Monitor keadaan umum dengan 5 B
o Breath : oksigenasi, pemberian oksigen dari luar
o Blood : usahakan aliran darah ke otak semaksimal mungkin dan
pengontrolan tekanan darah pasien
o Brain : menurunkan tekanan intrakranial dan menurunkan edema serebri
o Bladder : dengan pemasangan kateter kontrol keseimbangan cairan.
o Bowel : kontrol defekasi, beri asupan nutrisi yang memadai.
Terapi Khusus
Farmakologi
o Infus RL 20 tpm : Untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh, dan
sebagai jalur masuk obat
o Infus Manitol 6 x 50 cc : berguna untuk menyerap cairan untuk dibawa
keluar ( zat hiperosmolar ) dan menurunkan tekanan intrakranial
o Inj. Piracetam 2 x 3 gr : untuk melindungi jaringan otak dan melancarkan
peredaran darah mikrosirkuler otak.
Indikasi : pengobatan infark serebral
Kontraindikasi :
- Penderita dengan insufisiensi ginjal yang berat (bersihan kreatinin <
20mL/min)
- Penderita yang hipersensitif terhadap piracetam atau derivate pirolidon
lainnya, termasuk komponen obat.
- Penderita dengan cerebral haemorrhage.
o Inj. Sohobion 3x1 : sebagai neurotropik, vitamin.
Komposisi : vitamin B1, Vitamin B6 100mg dan Vitamin B12 5000 µg
Kemasan : Ampul 3 mL
Indikasi :
53
- Pengobatan dan pencegahan kekurangan vitamin B1, Vitamin B6 dan
Vitamin B12.
- Neuritis (radang saraf) dan polyneuritis (degenerasi saraf-saraf tepi secara
serentak dan simetris)
Vitamin B1 berperan sebagai koenzim pada dekarboksilasi asam feto-keto dan
berperan dalam metabolism karbohidrat.
Vitamin B6 di dalam tubuh berubah menjadi piridoksal fosfat dan
piridoksamin fosfat yang dapat membantu dalam metabolisme protein dan
asam amino.
Vitamin B12 berperan dalam sintesa asam nukleat.
Dosis : 1 ampul sehari secara intramuscular (IM)
o Inj. Ranitidine 2x1 : merupakan obat untuk mengurangi nyeri pada perut
Indikasi :
- Pengobatan jangka pendek tukak usus 12 jari aktif, tukak lambung aktif,
mengurangi gejala refluks esofagitis.
- Terapi pemeliharaan setelah penyembuhan tukak usus 12 jari, tukak
lambung.
- Pengobatan keadaan hipersekresi patologis
Kontraindikasi : hipersensitif terhadap ranitidine
Cara kerja : histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin
secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung.
Dosis :
Injeksi i.m.: 50 mg (tanpa pengenceran) tiap 6 – 8 jam.
Injeksi i.v. : intermittent 2ml 3-4x/hari
o MAD 2x1 :
Komposisi : Asam Mefenamat 300mg, Diazepam 0,1mg
Indikasi : analgesik
Kontraindikasi : hipersensitif
o Amlodipin 1x1:
Komposisi : tablet 5 mg
Indikasi : sebagai antihipertensi54
Kontraindikasi : pada pasien yang hipersensitif terhadap amlodipine dan
golongan dihidropiridin lainnya.
Cara Kerja : antagonis kalsium golongan dihidropiridin (antagonis ion
kalsium) yang menghambat influks (masuknya) ion kalsium melalui membran
ke dalam otot polos vaskular dan otot jantung sehingga mempengaruhi
kontraksi otot polos vaskular dan otot jantung. Amlodipine menghambat
influks ion kalsium secara selektif, di mana sebagian besar mempunyai efek
pada sel otot polos vaskular dibandingkan sel otot jantung.
Penatalaksanaan farmakologis yang diberikan pada pasien ini telah sesuai, akan
tetapi terdapat beberapa farmakologi yang perlu ditambahkan diantaranya :
o Aspilet 1x1 : digunakan sebagai trombolitik dimana pada pasien ini
dicurigai adanya rupturnya trombus pada usia tua.
Komposisi : Asam Asetilsalisilat 80 mg
Cara kerja obat :
Aspilet mengandung asam asetilsalisilat dengan buffer, bekerja dengan
mempengaruhi pusat pengatur suhu di hypothalamus sehingga dapat
menurunkan demam, dan menghambat pembentukan prostaglandin sehingga
dapat meringankan rasa sakit.
Indikasi : untuk menurunkan demam, meringankan sakit kepala, sakit gigi
dan nyeri otot
Kontraindikasi :
- Penderita yang hipersensitif (termasuk asma)
- Penderita tukak lambung (maag)
- Penderita yang pernah atau sering mengalami pendarahan di bawah kulit
(hematoma)
- Penderita hemophilia dan trombositopenia. Karena dapat meningkatkan
resiko terjadinya pendarahan.
- Penderita yang sedang diterapi dengan antikoagulan.
Efek samping : mual dan muntah. Pemakaian jangka panjang dapat terjadi
perdarahan lambung, tukak lambung.
55
o Citicoline 2x 250mg : digunakan sebagai neuroprotektan, dimana
pemberian citicoline dapat meningkatkan aliran darah otak, menghambat
radikal bebas sehingga aliran darah ke daerah infark lebih tercukupi dengan
penggunaan citicoline.
Citicolin adalah psychostimulant, merupakan zat kimia di otak yang terjadi
secara alamiah dalam tubuh.
Indikasi :
- untuk meningkatkan zat kimia otak (phosphatidylcholine), penting untuk
fungsi otak, mengurangi kerusakan jaringan otak ketika otak terluka.
Dosis : 250 – 500 mg/ hari melalui (intramuscular) atau melalui
pembuluh darah (intravenous), hingga 1 gr/ hari
Efek samping : stimulasi parasimpatetik, hipotensi
o Viliron 1x1 : sebagai memperbaiki pembentukan sel darah untuk
anemianya.
Komposisi : Vitamin B1 3 mg, Vitamin B2 2 mg, Vitamin B6 HCl 1mg,
Vitamin B12 2 mg, Vitamin C 25mg, Folic Acid 200mg, Ca Pantothenate
3mg, Niacinamide 20mg, Dessicated liver extr 15mg, Fe 15mg, Copper 300
mcg, Dioctyl Na Sulfosuccinate 20mg.
Indikasi : Hematinik.
Non Farmakologi
Pasien diberikan edukasi seputar penyakitnya, diantaranya:
o Motivasi penderita untuk tetap rajin kontrol post stroke dan latihan rutin
agar dapat beraktivitas sehari-hari seperti biasanya.
o Menjelaskan tentang faktor resiko stroke dan bagaimana pecegahannya
o Motivasi menjaga asupan makanan rendah garam agar hipertensi
terkontrol.
o Menjelaskan pentingnya program rehabilitasi medik untuk
mengoptimalkan fungsi ekstremitas dan mencapai kesembuhan yang optimal
o Motivasi keluarga pasien agar selalu memberi dukungan dan semangat
psikologis pada pasien untuk membantu proses penyembuhan.
56
Program Rehabilitasi Medik :
Problem :
- Kelemahan anggota gerak kiri
- Kelemahan pada N XII
- Kesulitan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) / ADL
- Status gizi kurang.
- Pasien merasa cemas dengan penyakitnya dan biaya yang ditangung untuk
mengobati penyakitnya
- Kurangnya perhatian dari anak-anaknya
a. Fisioterapi :
Problem : kelemahan sistem muskuloskeletal pada ekstremitas atas dan
bawah tubuh bagian kiri.
Program :
o Memelihara atau menambah kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah
tubuh bagian kiri dengan exercise.
o Memelihara ROM sendi lengan dan tungkai
o Mengurangi spastisitas dan mencegah kontraktur
o Infra Red
b. Speech terapist
Problem : adanya kelemahan pada N.XII seperti lidah mengarah ke arah yang
sakit
Program :
o Latihan senam lidah kearah kanan dan kiri
o Latihan a, i, u, e, o supaya artikulatio bertambah jelas.
c. Terapi Okupasi
Problem : tidak dapat melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan sendiri.
Program :
o Melatih pasien untuk latihan bekerja, seperti apa yang biasanya dilakukan
sendiri, melatih kekuatan duduk, berdiri dan berjalan.
57
o Melakukan kegiatan sehari-hari sendiri tanpa bantuan orang lain, misalnya
berpakaian, makan, dan kebersihan pribadi.
o AKS/ADL secara luas berkaitan dengan aspek psikologis, komunikasi, dan
sosial.
d. Social Worker
Problem : pasien merupakan seorang pensiunan yang tinggal bersama
suaminya, semua anaknya tidak tinggal bersama, status gizi pasien cukup
Program :
o Motivasi penderita untuk tetap rajin latihan rutin agar dapat beraktivitas
sehari-hari seperti biasanya.
o Motivasi menjaga asupan makanan untuk membantu proses penyembuhan.
o Motivasi keluarga pasien agar selalu memberi dukungan dan semangat
kepada pasien serta membantu program latihan pasien bila sudah dirumah
nanti.
e. Psikologi
Problem : Pasien merasa cemas dengan penyakitnya dan biaya yang harus
ditanggung untuk mengobati penyakitnya serta kurangnya perhaian dari anak-
anaknya.
Assessment : pasien merasa cemas dengan penyakitnya dan kurangnya
perhatian.
Program :
o kontrol psikoterapi.
o motivasi untuk rajin latihan.
o penjelasan pada penderita dan keluarga tentang penyakitnya dan hal yang
boleh atau tidak boleh dilakukan.
o Memotivasi keluarga untuk mendukung kesembuhan pasien dan memberi
nasehat supaya anak-anaknya lebih perhatian kepada kedua orangtuanya.
PROGNOSIS
Sanam : Dubia ad malam
Vitam : Dubia ad malam
58
Fungsionam : Dubia ad malam
59
DAFTAR PUSTAKA
Misbach, Jusuf. 1999. STROKE Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Penyakit Serebrovaskular dan Nyeri Kepala dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Lumbantobing, SM. 1981. Edema Otak dalam Kedaruratan dan Kegawatan
Medik. Jakarta: FKUI.
Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. 2007. Gambaran umum tentang
gangguan peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan
keenam editor Harsono. Yogyakarta: Gadjah Mada university press.
Feigin, Valery. 2006. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan
Pemulihan Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Mardjono, Mahar. 2006. Mekanisme gangguan vaskuler susunan saraf dalam
Neurologi klinis dasar edisi Kesebelas. Jakarta: Dian Rakyat.
Sunaryo R. Obat yang Mempengaruhi Air dan Elektrolit. Dalam: Ganiswara SG,
Setiabudy Rp, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, 1996. Ed.
Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Jakarta: Gaya Baru.
60