Upload
cerfi-rizki-handisa
View
56
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah ditulis maka rumusan masalah yang kami bahas
adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan proses komunikasi ?
2. Bagaimana proses komunikasi dapat terjadi ?
3. Bagaimanakah bentuk-bentuk komunikasi ?
4. Apa yang dimaksud dengan perubahan perilaku ?
5. Teori-teori apakah yang berkaitan dengan perubahan perilaku ?
6. Apa strategi yang digunakan dalam perubahan perilaku ?
1.3 TUJUAN
1.4 MANFAAT
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses Komunikasi
Komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan. Proses komunikasi dapat diartikan juga bagaimana komunikator menyampaikan
pesan kepada komunikannya, sehingga dapat menciptakan suatu persamaan makna antara
komunikan dengan komunikatornya. Proses komunikasi tersebut bertujuan untuk menciptakan
komunikasi yang efektif (sesuai dengan tujuan komunikasi pada umumnya). Proses komunikasi
dapat terjadi apabila ada interaksi antar manusia dan ada penyampaian pesan untuk mewujudkan
motif komunikasi.
Proses komunikasi di kategorikan dengan peninjauan dari dua perspektif.
2.1.1 Proses komunikasi dalam Perspektif Psikologis
Proses komikasi perspektif ini terjadi pada diri komunikator dan komunikan. Pada saat
komunikator akan menyampaikan suatu pesan kepada komunikan maka dalam dirinya terjadi
suatu proses. Pesan komuniaksi terdiri dari dua aspek, yakni isi pesan dan lambang. Isi pesan
umumnya adalah pikiran, sedangkan lambang adalah bahasa. Walter Lippman menyebut isi pesan
itu “picture n our head”, sedangkan Walter Hagemen menamakannya “das Bewustseininhalte”.
Proses “mengemas” atau “membungkus” pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator itu
dalam bahasa komunikasi disebut encoding. Hasil encoding berupa pesan yang ditransmisikan
atau dikirimkan kepada komunikan.
Pada saat komunikan terlibat dalam proses komuniaksi intrapersonal. Proses dalam diri
komunikan disebut decoding. Proses decoding adalah suatu proses membuka atau membungkus
pesan yang diterima dari komunikator. Isi dari pesan yang diterima oleh komunikan adalah sebuah
pikiran komunikator. Jika komunikan mengisi pesan atau pikiran komunikator maka komunikasi
dapat terjadi, tetapi jika komunikan tidak mengerti pesan atau pikiran komunikator maka
komunikasi tidak terjadi.
2.1.2 Proses Komunikasi dalam Perspektif Mekaniste.
Proses ini berlangsung ketika komunikator mengoperkan atau “melemparkan” dengan
bibir jika lisan atau tangan jika tulisan pesannya sampai ditangkap oleh komunikan. Penangkapan
pesan dari komunikator oleh komunikan itu dapat dilakukan dengan indera telinga (pendengaran)
atau indera mata (penglihatan) atau indera-indera lainnya.
Proses komunikasi dalam perspektif ini kompleks atau rumit. Sebab bersifat situasional,
tergantung pada situasi ketika komunikasi itu berlangsung. Jika jumlah komunikannya satu orang
atau seorang, maka komunikasi dalam situasi seperti itu dinamakan komunikasi interpersonal atau
komunikasi antarpribadi. Jika komunikannya sekelompok orang maka komunikasi dalam situasi
seperti itu disebut komunikasi kelompok, seringkali pula komunikannya tersebar dalam jumlah
yang relatif amat banyak sehingga untuk menjangkaunya diperlukan suatu media atau sarana.
Maka komunikasi dalam situasi seperti itu dinamakan komunikasi massa.
Oleh karena jenis-jenis komunikasi yang termasuk komunikasi dalam perspektif
mekanistis ini seringkali menimbulkan permasalahan. Untuk lebih jelasnya proses komunikasi
dalam perspektif mekanistis dapat diklasifikasikan menjadi proses komunikasi secara primer dan
secara sekunder.
2.1.2.1 Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer (primary process) adalah proses penyampaian pikiran
oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu lambang (symbol) sebagai
media atau saluran. Lambang ini umumnya disebut bahasa. Tetapi dalam situasi-situasi
komunikasi tertentu lambang-lambang yang dipergunakan dapat berupa kial (gesture), yakni gerak
anggota tubuh, gambar, warna dan lain sebagainya.
Dalam komunikasi, bahasa disebut lambang verbal (verbal symbol). Sedangkan lambang-lambang
lainnya yang bukan bahasa dinamakan lambang niverbal (non verbal symbol).
a. Lambang verbal
Dalam proses komunikasi bahasa sebagai lambang verbal paling banyak dan paling sering
digunakan oleh karena hanya bahasa yang mampu mengungkapkan pikiran komunikator
mengenai hal atau peristiwa. Baik yang konkret maupun yang abstrak, yang terjadi masa kini,
masa lalu dan masa yang akan datang. Kita dapat menelaah pikiran Socrates dan Aristoteles yang
hidup ratusan tahun sebelum masehi dari buku-buku berkat kemampuan bahasa. Hanya dengan
bahasa pula kita dapat mengungkapkan rencana kita untuk minggu depan, bulan depan atau tahun
depan yang tidak mungkin dapat dijelaskan dengan lambang-lambang lain.
Bagaimana pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia dipaparkan oleh Kong Hu Chu
ketika ia ditanya orang apa yang pertama-tama akan dilakukan manakala diberi kesempatan
mengurus negara. Kong Hu Chu menegaskan bahwa yang pertama-tama akan ia lakukan adalah
membina bahasa, sebab apabila bahasa tidak tepat apa yang dikatakan bukan yang dimaksudkan.
Jika yang dikatakan bukan yang dimaksudkan, maka yang mestinya dikerjakan , tidak dilakukan.
Jikalau yang harus dilakukan terus-menerus tidak dilaksanakan, seni dan moral menjadi mundur.
Bila seni dan moral mundur, keadilan menjadi kabur akibatnya rakyat menjadi bingung dan
kehilangan pegangan. Demikian pula Kong Hu Chu.
Masalah bagaimana seharusnya ketepatan bahasa untuk mengungkapkan suatu maksud
tertentu dijumpai ketika terjadinya Perang Dunia II yang lalu. Ketika Jepang diminta oleh sekutu
(Amerika Serikat) agar menyerah menjawab dengan menggunakan perkataan “mokusatsu”.
Maksudnya adalah “tidak memberikan komentar sampai keputusan diambil (with holding
comment until a decision has been made) tetapi kata mokusatsu oleh Kantor Berita Domei
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “ignore” yang berarti “tidak peduli”.
Miskomunikasi inilah antara lain yang menyebabkan Hiroshima dibom atom dalam Perang Dunia
tersebut. “Kata-kata dapat menjadi dinamit” kata Scott M. Cutlip dan Allen H. Center dalam
bukuny “Effective Public Relations”.
Contoh di atas menunjukkan betapa pentingnya bahasa dalam proses komunikasi. Bahasa
mempunyai dua jenis pengertian yang perlu dipahami oleh para komunikator. Yang pertama
adalah pengertian denotatif dan yang kedua adalah pengertian konotatif. Perkataan yang denotatif
adalah yang mengandung makna sebagaimana tercantum dalam kamus (dictionary meaning) dan
diterima secara umum oleh kebanyakan orang yang sama kebudayaan dan bahasanya. Perkataan
yang denotatif tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda pada komunikan ketika diterpa
pesan-pesan komunikasi. Sebaliknya apabila komunikator menggunakan kata-kata konotatif.
Kata-kata konotatif mengandung pengertian emosional atau evaluatif. Oleh karena itu dapat
menimbulkan interpretasi yang berbeda pada komunikan.
Kebebasan mimbar merupakan ungkapan yang konotatif, demikian pula kebebasan pers.
Begitu juga perkataan demokrasi. Secara etimologis, demokrasi berasal dari kata “demos” dan
“cratein” yang berarti pemerintahan rakyat, tetapi bagi orang Amerika, Korea, Kuba, Indonesia
dan beberapa negara lain, istilah demokrasi tadi bersifat konotatif, sebab masing-masing bangsa
yang mengaku negaranya demokratis, penilaiannya berbeda; maka sistem pemerintahannya pun
berbeda.
Sehubungan dengan itu ketika berkomunikasi komunikator harus menggunakan kalimat-
kalimat dengan kata-kata denotatif. Apabila kata konotatif tidak dapat dihindarkan, maka kata-
kata bersangkutan harus diberi penjelasan agar tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda
antara dia dengan komunikan.
Khusus dalam komunikan lisan, para pakar komunikator harus memperhatikan apa yang
disebut oleh Casagrande: para-languange yang barangkali dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi parabahasa. Yang dimaksudkan dengan para-bahasa ini adalah berbagai hal
yang mengiringi pengucapan kata-kata ketika seseorang berbicara atau berpidato, misalnya gaya
bicara, tekanan nada, volume suara, logat dan sebagainya. Andaikata anda berada di suatu
ruangan, lalu anda mendengar suara orng yang sedang bercakap-cakap. Walaupun anda tidak
melihatnya, anda akan dapat menerka suara itu dari seorang wanita atau laki-laki, anak atau
dewasa, terpelajar atau tidak, Jawa atau Batak atau suku-suku lain dan sebagainya.
Demikianlah masalah bahasa sebagai lambang verbal penyandang pikiran komunikator
ketika ia menyampaikan pesannya kepada komunikan dalam proses komunikasi secara primer.
b. Lambang niverbal
Lambang niverbal adalah lambang yang dipergunakan dalam komunikasi yang bukan
bahasa, misalnya isyarat dengan anggota komunikasi tubuh, antara lain kepala, mata, bibir, tangan
dan jari. Ray L. Birdwhistell dalam bukunya “Introduction to Kinesics” telah melakukan analisis
mengenai body communication. Dia mencoba untuk memberi rangka kepada “comprehensive
cocing scheme” bagi gerakan badan, seperti seorang linguist melakukannya untuk bahasa lisan.
Jika linguist menampilkan “phone” sebagai suara maka Birdwhistell mengetengahkan “kine”
sebagai gerakan. Apabila linguist mengemukakan “phoneme”, yakni sekelompok bunyi yang
berubah-rubah. Maka Birdwhistell mengemukakan “kinime, yaitu sebuah set gerakan yang
berubah-ubah. Kalau inguist mencari “morpheme” yang mengandung pengertian “Birdwhistell”
menyelidiki “Kinemort” serangkaian gerakan yang mengandung pengertian dalam konteks suatu
pola yang lebih besar.
Tahap seperti disebutkan di atas adalah microkinesicks. Lebih luas daripada itu adalah
macrokinesics atau disebut juga social kinesics, di mana sebuah gerakan (act), yaitu pola yang
menyangkut lebih dari suatu area akan bersangkutan dengan kerangka komunikasi yang lebih
luas.
Body communication atau non-verbal communication dalam bentuk gerak gerik seperti
disebutkan di atas telah banyak diteliti oleh para ahli. Ternyata banyak sekali gerakan yang sama
mengandung arti yang berlainan di antara bangsa yang satu dengan bahasa yang lain. Sebagai
contoh orang Toda di India Selatan sebagai tanda hormat menekankan ibu jarinya pada batang
hidungnya, lalu melambaikan keempat jari lainnya ke depan. Gerakan seperti itu bagi bangsa lain,
termasuk bangsa Indonesia. Lain sekali artinya, yakni mengejek atau memperolok-olok.
Termasuk komunikasi niverbal ianlah isyarat dengan menggunakan alat. Seperti
contohnya saja bedug yang digunakan sebagai alat komunikasi kaum muslimin di Indonesia atau
asap oleh orang Indian dan sebagainya. Para Ustadz dilanggar-langgar sejak dahulu sampai zaman
modern seperti sekarang ini menggunakan bedug untuk memberitahukan kepada kaum muslimin,
bahwa saat untuk sembahyang sudah tiba. Para kelasi sudah terbiasa menggunakan bendera untuk
memberikan isyarat atau dengan alat telegrafi untuk jarak jauh atas dasar sistem Morse. Orang
Indian sudah terbiasa pula melakukan komunikasi dengan menggunakan asap untuk
memberitahukan sesuatu kepada teman-temannya yang berada di tempat jauh.
Pada zaman modern seperti sekarang ini, alat untuk berkomunikasi dengan isyarat bersifat
modern pula. Seorang pengendara mobil yang akan belok tidak perlu menjulurkan tangannya,
cukup menghidupkan schakelaar lampu richtingnya maka dengan berkedip-kedipnya lampu merah
di depan dan di belakang mobilnya, orang tahu bahwa ia akan berbelok. Demikian pula polisi lalu
lintas tidak perlu berdiri di bawah terik matahari tepat di perepatan jalan dengan menggunakan
lampu setopan dengan warna merah, kuning dan hijau. Para pemakai jalan dapat mengetahui
kapan ia harus berhenti, kapan harus bersiap-siap dan kapan boleh berjalan lagi.
Gambar adalah lambang lain yang dipergunakan dalam berkomunikasi niverbal. Gambar
dapat dipergunakan untuk menyatakan suatu pikiran atau perasaan. Dalam hal tertentu gambar
bisa lebih efektif daripada bahasa. Tidak mengherankan ada motto Tionghoa yang menyatakan
bahwa gambar bisa memberi informasi yang sama dengan apabila diuraikan dengan seribu
perkataan.
Lambang gambar dalam proses komunikasi mengalami perkembangan sesuai dengan
pertumbuhan masyarakat dan kemajuan teknologi. Jika dahulu gambar itu, kemudian dicetak, kini
dengan kamera foto bisa dipotret bahkan dengan kamera film atau kamera video dapat diatur
menjadi gambar hidup. Pada akhirnya, apabila gambar itu merupakan lambang untuk proses
komunikasi secara primer menjadi lambang komunikasi secara sekunder.
Demikian sekaligus mengenai lambang verbal dan niverbal dalam proses komunikasi
secara primer yang untuk efektifnya komunikasi acapkali oleh para komunikator dipadukan,
misalnya dalam kuliah atau ceramah disajikan gambar, bagan, tabel dan lain-lain sebagai ilustrasi
untuk memperjelas.
2.1.2.2 Proses Komunikasi Secara Sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator
kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai
lambang sebagai media pertama.
Komunikator mengguanakan media kedua ini karena komunikan yang dijadikan sasaran
komunikasinya tempatnya jauh atau banyak. Kalau komunikan jauh, dgunakanlah surat atau
telepon, jika banyak dipakailah perangkat pengeras suara, apabila jauh dan banyak, dipergunakan
surat kabar, radio, atau televisi. Komunikasi dalam proses secara sekunder ini semakin lama
semakin efektif dan efisien karena didukung oleh teknologi komunikasi yang semakin canggih,
yang ditopang pula oleh teknologi-teknologi lainnya yang bukan teknologi komunikasi.
a. Surat
Sebagai media komunikasi sekunder yang pada mulanya terbatas sekali jangkauan
sasarannya, dengan didukung pesawat terbang jet, dapat dapat mencapai komunikan di mana saja
di seluruh dunia. Demikian pula media telepon, jika pada waktu ditemukan mengguanakan kawat
yang oleh sebab itu terbatas sekali wilayah jangkauannya, kini dengan radio telepon dapat
mencapai sasaran di kota lain, Negara lain, dan benua lain.
b. Televisi
Siaran saat ini yang dipadu dengan komputer, menjadi semakin mempesona, baik dalam
segi visualnya maupun audialnya, selain jangkauan semakin jauh dan luas berkat inovasi satelit
komunikasi dan antenna parabola.
2.1.2.3 Proses Komunikasi Secara Linear
Istilah linear mengandung makna lurus. Jadi proses linear berarti perjalanan dan satu titik
ke titik lain secara lurus. Dalam konteks komunikasi, proses secara linear adalah proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal. Komunikasi
linear ini berlangsung baik dalam situasi komunikasi tatap muka (face-to-face communication)
maupun situasi komunikasi bermedia (mediated communication). Komunikasi tatap muka, baik
komunikasi antar pribadi (interpersonal communication) maupun komunikasi kelompok (group
communication) meskipun memungkinkan terjadinya dialog, tetapi adakalanya berlangsung
linear. Contoh untuk ini, seorang ayah yang sedang memberikan nasehat kepada anaknya pada
waktu mana si anak diam seribu bahasa, atau direktur perusahaan yang sedang memarahi anak
buahnya atau jaksa sedang membacakan tuduhan terhadap terdakwa di gedung pengfadilan.
Proses komunikasi secara linear umumnya berlangsung pada komunikasi bermedia,
kecuali komunikasi melalui media telepon. Komunikasi melalui telepon hampir tidak pernah
berlangsung linear, melainkan dialogis, Tanya jawab dalam bentuk percakapan. Oleh karena
komunikasi bermedia, khususnya media massa, yakni surat kabar, radio siaran, televisi siaran, dan
film teatrikal, bersifat linear maka komunikator media massa, seperti wartawan, penyiar radio,
reporter telivisi, dan sutradara film, menunjukkan perhatiannya yang sangat besar terhadap
masalah ini. Dengan perencanaan komunikasi (communication planning) yang seksama mereka
berupaya agar pesan-pesan komunikasinya oleh khalayak sebagai komunikannya diterima secara
inderawi (received) dan diterima secara rohani (accepted) dalam sekali penyiaran. Hal ini
disebabkan para komunikator tidak mengetahui tanggapan komunikan terhadap pesan-pesan
komunikasi yang diterimanya itu.
2.1.2.4 Proses Komunikasi Secara Sirkular
Sirkular sebagai terjemahan dari perkataan “circular” secara harfiah berarti bulat, bundar
atau keliling sebagai lawan dari perkataan linear tadi yang bermakna lurus. Dalam konteks
komunikasi yang dimaksud dengan proses secara sirkular itu adalah terjadinya feedback atau
umpan balik, yaitu terjadinya arus dari komunikan ke komunikator. Oleh karena itu ada kalanya
feedback tersebut mengalir dari komunikan ke komunikator itu adalah “response” atau tanggapan
komunikan terhadap pesan yang ia terima dari komunikator.
Konsep umpan balik ini dalam proses komunikasi amat penting, karena dengan terjadinya
umpan balik komunikator mengetahui apakah komunikasinya itu berhasil atau gagal, dengan lain
perkataan apakah umpan baliknya itu positif atau negative. Bila positif ia patut gembira,
sebaliknya bila negative menjadi permasalahan, sehingga ia harus mengulagi lagi dengan
perbaikan gaya komunikasinya sampai menimbulkan umpan balik positif. Dalam situasi
komunikasi tatap muka komunikator akan mengetahui mengapa komunikan pada saat ia sedang
melontarkan pesannya. Umpan balik jenis ini dinamakan immediate feedback (umpan balik
seketika atau umpan balik langsung). Jika sedang berpidato, yakni berkomunikasi tatap muka, di
saat itu pula dapat mengetahui tanggapan komunikan terhadap gaya pidato yang diampaikan dan
pesan yang telah dibahas. Apabila komunikan asyik mendengarkan dan sekali-kali ada yang
mengajukan pertanyaan, bertepuk tangan atau tertawa di kala ada yang mengesankan, itu pertanda
umpan balik positif. Sebaliknya, di saat komunikator berpidato, sedangkan kominukan asyik
mengobrol atau di antaranya tidak sedikit yang tertidur, itu pertanda umpan balik negative.
Umpan balik negative ini bila tidak diwaspadai dapat menimbulkan akibat fatal, misalnya
melempar anda dengan kotak minum-minuman atau meneriaki anda agar turun dari mimbar.
Situasi komunikan yang brutal seperti itu dalam “bahasa” komunikasi dinamakan bahasa Prancis
contagion mentale yang berarti wabah mental. Jika seorang saja tepuk tangan orang-orang lain
mengikuti tepuk tangan. Jika seorang saja berteriak : “turuuun!!!”, orang-orang lainnya mengikuti
berteriak seperti itu. Situasi komunikasi seperti itu komunikator benar-benar dipermalukan.
Kehormatan dilecehkan, kewibawaan tidak dihargai. Oleh karena itu seseorang yang akan muncul
sebagai komunikator dalam situasi komunikasi apapun, lebih-lebih dalam bentuk pidato di
hadapan khalayak massa agar melakukan perencanaan yang matang dalam rangka mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki yang sering kali tidak diduga sebelumnya.
2.2 Perubahan Perilaku
Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari
manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas,
mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal
(internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk
kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh
organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung. Perilaku dan
gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi baik oleh faktor
genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan
lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia.
Secara garis besar perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek yakni :
aspek fisik
aspek psikis
aspek social.
Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan,
keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi sikap dan sebagainya. Gejala kejiwaan ditentukan
oleh berbagai factor diantaranya :
factor prngalaman
keyakinan
sarana fisik
sosio budaya masyarakat.
Asumsi Determinan Perilaku Manusia
(1.Sumber gambar : Soekidjo Notoatmodjo,2003)
Pengalaman
Keyakinan
Fasilitas
Sosio-budaya
Pengalaman
Keyakinan
Fasilitas
Sosio-budaya
Pengetahuan
Persepsi
Sikap
Keinginan
Kehendak
Motivasi
Niat
Pengetahuan
Persepsi
Sikap
Keinginan
Kehendak
Motivasi
Niat
PerilakuPerilaku
2.2 Teori-Teori yang Berkaitan dengan Perubahan Perilaku
a. Model Antecedents, Behaviour dan Consequences (ABC) untuk Perubahan
Perilaku
Model ABC atas perubahan perilaku merupakan gabungan dari 3 (tiga) elemen, yaitu
antecedents, behaviour dan consequences (ABC). Menurut para pendukung model tersebut,
perilaku sebetulnya dapat diubah dengan melalui 2 (dua) cara, yaitu berdasarkan apa yang
mempengaruhi perilaku sebelum terjadi (ex-ante) dan apa yang mempengaruhi perilaku setelah
terjadi (ex-post). Ketika kita mencoba mempengaruhi perilaku sebelum perilaku itu terbentuk
berarti kita telah menggunakan antecedents. Sementara itu, ketika kita berusaha mempengaruhi
perilaku dengan melakukan sesuatu setelah perilaku itu terbentuk berarti kita menggunakan
consequences. Jadi sebuah antecedents mendorong terbentuknya perilaku yang selanjutnya akan
diikuti oleh sebuah consequences. Pemahaman terhadap ketiga elemen ini berinteraksi sangat
bermanfaat bagi para manajer untuk menganalisis permasalahan kinerja, menentukan ukuran-
ukuran korektif, dan mendesain lingkungan kerja dan sistem manajemen yang mempunyai kinerja
tinggi.
1. Antecedents
Antecedents dapat diartikan sebagai orang, tempat, sesuatu, atau kejadian yang datang
sebelum perilaku terbentuk yang dapat mendorong kita untuk melakukan sesuatu atau berkelakuan
tertentu. Antecedents ini keberadaanya tidak dapat dikendalikan. Karakteristik utama dari
antecedents adalah sebagai berikut (Isaac, 2000):
a. Selalu ada sebelum perilaku terbentuk
b. Menyediakan informasi tertentu.
c. Selalu berpasangan dengan consequences
d. Consequences yang muncul bisa jadi merupakan antecedents
e. Antecedents tanpa diikuti consequences mempunyai dampak jangka pendek.
Beberapa contoh variabel yang dikategorikan sebagai antecedents antara lain tujuan,
sasaran, insentif, deskripsi jabatan (job description), kebijakan, prosedur, standar, kaidah-kaidah
formal, regulasi, hasil rapat, peralatan, bahan mentah, kondisi kerja, pengarahan dan instruksi.
Antecedents ini mempengaruhi perilaku dan kinerja seseorang, tetapi tidak menjamin bahwa
output yang dihasilkan benar-benar bisa terjadi. Sistem insentif, pelatihan, dan pengembangan
kemungkinan merupakan antecedents yang efektif untuk mengubah perilaku dan meningkatkan
kinerja, namun tidak semuanya bisa menghasilkan output sebagaimana dikehendaki.
Perilaku seseorang yang “dominan” di organisasi juga merupakan antecedents. Tindakan seorang
pimpinan atau pegawai yang sangat berprestasi, maka akan mempengaruhi para pegawai yang
lain. Jika seorang pimpinan datang ke kantor lebih awal dan pulang lebih akhir maka para
bawahan dan pegawai lain akan melakukan tindakan yang sama dengan pimpinannya. Jadi
seseorang akan meniru apa yang telah dilakukan oleh orang lain yang dianggap mempunyai
pengaruh besar di dalam organisasi.
2. Behaviour
Behaviour (perilaku) merupakan segala apa yang kita lihat pada saat kita mengamati
seseorang melakukan aktivitas/pekerjaan (Ayers dalam Issaac, 2000). Suatu pinpoint adalah
deskripsi khusus dari kinerja yang mengacu pada tindakan (proses) dari seseorang atau outcome
yang dihasilkan (Daniels dalam Issaac, 2000). Jadi jika sebuah organisasi tidak merumuskan
pinpoint ini dengan jelas maka tidak mungkin bisa menetapkan ukuran kinerja secara obyektif dan
melakukan perubahan perilaku secara tepat.
Teori motivasi menjelaskan bagaiamana individu-individu dapat dipengaruhi untuk bisa
menyesuaikan diri pada perilaku yang baru. Sebagian besar strategi organisasi adalah
mensyaratkan terjadinya perubahan perilaku di tempat kerja. Dalam hal ini sebenarnya yang
terjadi adalah proses penyesuaian diri pada perilaku baru yang akan dibentuk tersebut oleh
individu dan organisasi. Dalam hal ini akan terjadi proses pembelajaran baik bagi individu
maupun organisasi tentang perilaku mana yang sukses dan mana yang gagal. Jadi, model
pengukuran kinerja diharapkan mampu menjadikan entitas menjadi sebuah organisasi
pembelajaran (learning organisation).
3. Consequences
Consequences adalah kejadian-kejadian yang mengikuti perilaku dan mengubah adanya
kemungkinan perilaku akan terjadi kembali di masa datang. Consequences mempengaruhi
perilaku dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan meningkatkan perilaku dan mengurangi perilaku
tertentu. Terdapat 4 (empat) consequences keperilakuan, dua meningkatkan perilaku tertentu dan
dua lainnya menguranginya (Daniels, 1989):
1. Consequences yang meningkatkan perilaku tertentu:
a. Positive reinforcement (R+), misalnya memperoleh sesuatu yang kita inginkan.
b. Negative reinforcement (R-), misalnya melepaskan diri atau menghindari segala sesuatu yang
tidak kita inginkan.
2. Consequences yang menurunkan perilaku tertentu:
a. Mendapatkan segala sesuatu yang tidak kita inginkan (P+), misalnya hukuman.
b. Gagal untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan (P-), misalnya adanya punahnya
(extinction) peluang.
b. Teori Laurence Green
Green menganalisis prilaku manusia dari tingkat kesehatan. Menurut Green kesehatan
individu maupun masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu :
1. Factor perilaku (behaviour cause)
Prilaku dibentuk oleh 3 faktor antara lain :
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
Faktor-faktor pendukung ( enebling factors), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan,
misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.
Faktor-faktor pendorong (renforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi
dari perilaku masyarakat.
Model ini dapat digambar sebagai berikut :
B = f (PF,EF,RF)
Dimana : B = behaviour, PF = predisposing factors, EF = enebling factors, RF = reinforcing
factors, f = fungsi
c. Teori Snehandu B. Kar
Kar menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan
fungsi dari :
Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau
perawatan kesehatannya (behaviour intention)
Dukungan social dari masyarakat sekitarnya (social-support)
Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas
kesehatan ( accessibility of information)
Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil
tindakan atau keputusan (personal autonomy)
Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak
(action situation).
Uraian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
B = f (BI, SS, AL, PA, AS)
Dimana : B = behaviour, f = fungsi, BI = behaviour intention, SS = social support, AI =
accessibility of information, PA = personal autonomy, AS = action situation.
d. Teori WHO
Tim kerja dari WHO mengenalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berprilaku
tertentu karena adanya 4 alasan pokok. yaitu :
1. Sikap akan terwujud didalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.
2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada pengalaman
orang lain.
3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau
sedikitnya pengalaman seseorang.
4. Nilai (value).
Pemikiran dan perasaan (thoughts and felling), yakni dalambentuk pengetahuan, persepsi,
sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini
adalah objek kesehatan).
1. Pengetahuan
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Seorang anak
memperoleh pengetahuan bahwa api itu panas setelah memperoleh pengetahuan bahwa api itu
panas setelah memperoleh pengalaman, tangan atau kakinya kena api. Seorang ibu akan
mengimunisasikan anaknya setelah melihat anak tetangganya kena penyakit polio sehingga cacat,
karena anak tetangganya tersebut belum pernah memperoleh imunisasi polio.
2. Kepercayaan
Kepercayaan sering di peroleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima
kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Misalnya
wanita hamil tidak boleh makan telur agar tidak kesulitan waktu melahirkan.
3. Sikap
Sikap mengambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering
diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang
mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan
tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan yang nyata. Hal ini disebabkan oleh beberapa
4. Orang penting sebagai referensi
Perilaku orang lebih-lebih prilaku anak kecil, lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang
yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau
perbuatan cenderung untuk dicontoh. Untuk anak-anak sekolah misalnya, maka gurulah yang
menjadi panutan perilaku mereka. Orang-orang yang dianggap penting ini sering disebut
kelompok referensi (reference group), antara lain guru, para ulama, kepala adapt (suku), kepala
desa, dan sebagainya.
5. Sumber-sumber daya (resource)
Sumber daya disini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Semua itu
berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat. Pengaruh sumber daya
terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negative. Misalnya pelayanan puskesmas, dapat
berpengaruh positif terhadap perilaku penggunaan puskesmas tetapi juga dapat berpengaruh
sebaliknya.
6. Perilaku normal,
kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber didalam suatu masyarakat akan
menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan.
Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat
bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban umat
manusia. Kebudayaan atau pola hidup masyarakatdi sini merupakan kombinasi dari semua yang
telah disebutkan diatas. Perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan, dan
selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini. Perilaku yang
sama diantara beberapa orang dapat disebabkan oleh sebab atau latarbelakang yang berbeda-beda.
Misalnya, alasan masyarakat tidak mau berobat kepuskesmas. Mungkin karena tidak percaya
terhadap puskesmas, mungkin takut pada dokternya, mungkin tidak tahu fungsinya puskesmas,
dan lain sebagainya.
Secara sederhana dapat diilustrasikan sebagai berikut :
B = f (TF, PR, R, C)
Di mana : B = behaviour, f = fungsi, TF = thoughts and feeling, PR = personal reference, R =
resources, C = culture
e. Teori S-O-R:
Perubahan perilaku didasari oleh: Stimulus – Organisme — Respons. Perubahan
perilaku terjadi dgn cara meningkatkan atau memperbanyak rangsangan (stimulus). Oleh sebab itu
perubahan perilaku terjadi melalui proses pembelajaran (learning process). Materi pembelajaran
adalah stimulus. Proses perubahan perilaku menurut teori S-O-R.:
a. Adanya stimulus (rangsangan): Diterima atau ditolak
b. Apabila diterima (adanya perhatian) mengerti (memahami) stimulus.
c. Subyek (organisme) mengolah stimulus, dan hasilnya:
Kesediaan untuk bertindak terhadap stimulus (attitude)
Bertindak (berperilaku) apabila ada dukungan fasilitas (practice)
f. Teori “Dissonance” : Festinger
Perilaku seseorang pada saat tertentu karena adanya keseimbangan antara sebab atau
alasan dan akibat atau keputusan yang diambil (conssonance). Apabila terjadi stimulus dari luar
yang lebih kuat, maka dalam diri orang tersebut akan terjadi ketidak seimbangan (dissonance).
Kalau akhirnya stilmulus tersebut direspons positif (menerimanya dan melakukannya) maka
berarti terjadi perilaku baru (hasil perubahan), dan akhirnya kembali terjadi keseimbangan lagi
(conssonance). Rumus perubahan perilaku menurut Festinger: Terjadinya perubahan perilaku
karena adanya perbedaan elemen kognitif yang seimbang dengan elemen tidak seimbang. Contoh:
Seorang ibu hamil memeriksakan kehamilannya terjadi karena ketidak seimbangan antara
keuntungan dan kerugian stimulus (anjuran periksa hamil).
g. Teori fungsi: Katz
Perubahan perilaku terjadi karena adanya kebutuhan. Oleh sebab itu stimulus atau obyek
perilaku harus sesuai dengan kebutuhan orang (subyek). Prinsip teori fungsi:
a) Perilaku merupakan fungsi instrumental (memenuhi kebutuhan subyek)
b) Perilaku merupakan pertahanan diri dalam menghadapi lingkungan (bila
hujan, panas)
c) Perilaku sebagai penerima obyek dan pemberi arti obyek (respons terhadap
gejala sosial)
d) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dalam menjawab situasi (marah,
senang)
h. Teori “Driving forces”: Kurt Lewin
Perilaku adalah merupakan keseimbangan antara kekuatan pendorong (driving forces) dan
kekuatan penahan (restraining forces).Perubahan perilaku terjadi apabila ada ketidak seimbangan
antara kedua kekuatan tersebut. Kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan perilaku:
a. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatanpenahan tetap.
b. Kekuatan pendorong tetap, kekuatan penahan menurun.
c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun.
2.3 Bentuk-bentuk Perubahan Perilaku
(2.Sumber gambar : Soekidjo Notoatmodjo,2003)
Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh
para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku. Di bawah ini diuraikan bentuk-bentuk
perubahan perilaku menurut WHO. Menurut WHO, perubahan perilaku ini dikelompokkan
menjadi tiga.
1. Perubahan Alamiah (Natural Change)
Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena
kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan
fisik atau sosil budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat di dalamnya juga
akan mengalami perubahan. Misalnya, Bu Ani apabila sakit kepala (pusing) membuat
ramuan daun-daunan yang ada di kebunnya. Tetapi karena perubahan kebutuhan hidup,
maka daun-daunan untuk obat tersebut diganti dengan tanaman-tanaman untuk bahan
makanan. Maka ketika ia sakit, dengan tidak berpikir panjang lebar lagi Bu Ani berganti
minum jamu buatan pabrik yang dapat dibeli di warung.
2. Perubahan Terencana (Planned Change)
Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sediri oleh objek.
Misalnya, Pak Anwar adalah perokok berat. Karena pada suatu saat ia terserang batuk-
batuk yang sangat mengganggu, maka ia memutuskan untuk mengurangi rokok sedikit
demi sedikit dan akhirnya ia berhenti merokok sama sekali.
3. Kesediaan untuk Berubah (Readdiness to Change)
Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam
masyarakat maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima
inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilakunya) dan sebagian orang lagi sangat
lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang
mempunyai kesediaan untuk berubah (readdiness to change) yang berbeda-beda.
Setiap orang di dalam suatu masyarakat mempunyai kesediaan untuk berubah yang
berbeda-beda, meskipun kondisinya sama.
2.4 Strategi Perubahan Perilaku
Inforcement (Paksaan):
Perubahan perilaku dilakukan dengan paksaan, dan atau menggunakan peraturan atau
perundangan. Menghasilkan perubahan perilaku yang cepat, tetapi untuk sementara (tidak
langgeng)
Persuasi
Dapat dilakukan dengan persuasi melalui pesan, diskusi dan argumentasi. Melalui pesan
seperti jangan makan babi karna bisa menimbukkan penyakit H1N1. Melalui diskusi seperti,
diskusi tentang abortus yang membahayakan jika digunakan untuk alasan yang tidak baik
Fasilitasi
Strategi ini dengan penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung. Dengan
penyediaan sarana dan prasarana ini akan meningkatkan Knowledge (pengetahuan) Untuk
melakukan strategi ini mmeerlukan beberapa proses yakni kesediaan, identifikasi dan
internalisasi. Ketika ada rangsangan yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan keyakinan akan
menimbulkan aksi dan kemudian hal itu menjadikan perbahan perilaku.
Education :
Perubahan perilaku dilakukan melalui proses pembelajaran, mulai dari pemberian
informasi atau penyuluhan-penyuluhan. Menghasilkan perubahan perilaku yang langgeng, tetapi
makan waktu lama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada BAB II, Maka dapat disimpulkan bahwa Komunikasi pada hakikatnya
adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Proses komunikasi
tersebut mempunyai tujuan untuk menciptakan komunikasi yang efektif (sesuai dengan tujuan
komunikasi pada umumnya). Proses komunikasi itu dapat terjadi apabila ada interaksi antar
manusia dan ada penyampaian pesan untuk mewujudkan motif komunikasi. Proses komunikasi di
kategorikan dengan peninjauan dari dua perspektif yaitu Perspektif Psikologis dan Perspektif
Mekaniste.
Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri.
Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan,
berbicara, bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity)
seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Secara garis besar perilaku
manusia dapat dilihat dari 3 aspek yakni : aspek fisik, aspek psikis, aspek social. Gejala kejiwaan
ditentukan oleh berbagai factor diantaranya : factor prngalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio
budaya masyarakat. Bentuk perubahan perilaku antara lain Perubahan Alamiah (Natural Change),
Perubahan Terencana (Planned Change), Kesediaan untuk Berubah (Readdiness to Change).
Adapun strategi Perubahan Perilaku yaitu dengan Inforcement (Paksaan), Persuasi, Fasilitasi,
Education.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.bascommetro.com/2009/05/konsep-perilaku-kesehatan.html , Online 13 september 2012
adingpintar.files.wordpress.com/2012/03/perubahan-perilaku.pdf oleh Yetti Wira Citerawati SY, Online 12 september 2012
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta :
Rineka Cipta