Referat Gangguan Mental Dan Faktornya

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Psikiatri

Citation preview

  • REFERAT

    GANGGUAN MENTAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

    MEMPENGARUHINYA

    Di susun oleh:

    Novi Italiana

    R.Annisa Citra Permadi

    Pembimbing:

    dr. Bagus Sulistyo Budhi, SpKJ, Mkes

    DEPARTEMEN KESEHATAN JIWA RSPAD GATOT SOEBROTO JAKARTA

    2014

  • LEMBAR PENGESAHAN

    Referat yang berjudul Gangguan Mental Serta Faktor-Faktor Yang

    Mempengaruhinya ini diajukan sebagai syarat untuk mengikuti Kepaniteraan SMF

    Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta, periode

    21 April 2014-24 Mei 2014 dan dinyatakan telah mendapat persetujuan sebagai referat.

    Jakarta, Mei 2014

    Disetujui oleh,

    dr. Bagus Sulistyo Budhi, SpKJ, Mkes

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Karunia dan

    Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul

    GANGGUAN MENTAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

    MEMPENGARUHINYA

    Tujuan pembuatan Referat ini sebagai salah satu tugas dalam menjalani

    Kepaniteraan Ilmu Kesehatan di RSPAD Gatot Soebroto untuk periode 21 April 2014

    24 Mei 2014.

    Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

    1. Dr. Bagus Sulistyo Budhi, SpKJ, Mkes selaku pembimbing referat.

    2. Seluruh tenaga kesehatan yang terkait di SMF IKJ RSPAD. Gatot Soebroto,

    Jakarta.

    3. Seluruh Rekan Sejawat yang telah memberikan motivasi dan kerjasama

    sehingga tersusunnya referat ini.

    Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat

    ini. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun sebagai

    perbaikan bagi penulis.

    Wassalamualaikum Wr.Wb.

    Jakarta, Mei 2014

    Penulis

  • ABSTRAK

    Sehat Mental serta sehat jasmani senantiasa dikaitkan keduanya dalam pepatah

    kuno Men Sana In Corpore Sano yang berarti jiwa yang sehat ada didalam badan yang

    sehat. Namun hal ini tidak selalu diperhatikan dalam aspek kesehatan. Selain itu

    banyaknya gangguan mental yang tidak disadari oleh masyarakat luas baik dari sisi gejala

    dan faktor resiko juga menyebabkan interventsi dini terhadap kasus gangguan mental

    terhalang.

    Permasalahan pada kejadian ini salah satunya diakibatkan karena tidak diketahui

    secara pasti faktor yang paling mempengaruhi gangguan mental. Menurut teori, faktor-

    faktor yang mempengaruhi gangguan mental dipercayai merupakan kombinasi dari faktor

    genetic dan faktor lingkungan. Namun belum dari kedua faktor masih banyak perdebatan

    antara faktor manakah yang berperan lebih besar dibanding faktor lainnya. Perlu

    dilakukan pembahasan lebih lanjut mengenai hal tersebut agar pelayanan kesehatan dapat

    menelaah orang dengan faktor resiko tinggi dan melakukan intervensi awal sehingga

    dapat tercapai Tri Bina Upaya Jiwa dan menurunnya prevalensi gangguan mental.

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar belakang Kesehatan menurut Undang-Undang adalah situasi sejahtera dari tubuh,

    jiwa, serta sosial yang sangat mungkin tiap-tiap orang hidup produktif dengan

    cara sosial serta ekonomis. Menurut World Health Organization (WHO)

    terdapat empat usur kesehatan yang di dalamnya termasuk sehat jasmani, sehat

    mental atau jiwa, kesejahteraan social, dan sehat spiritual. Sehat mental menurut

    WHO merupakan status kesejahteraan dimana setiap orang dapat menyadari

    secara sadar terkait kemampuan dirinya, kemudian dapat mengatasi berbagai

    tekanan dalam kehidupannya, dan dapat bekerja secara produktif yang berimbas

    pada kemampuan dirinya dalam memberikan kontribusi pada lingkungan sekitar.

    Akibatnya menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Kementerian Kesehatan

    tahun 2007 pun menunjukkan lebih dari 1 juta penduduk berada dalam resiko

    yang sangat tinggi menderita sakit mental yang berat, namun hanya 3,5% (sekitar

    35.000) penderita yang mendapatkan perawatan di rumah sakit jiwa. Sedangkan

    menurut WHO, sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan mental itu tidak

    mendapatkan perawatan.

    Kesehatan mental bukanlah suatu hal yang sederhana karena jika kondisi

    mental seseorang mengalami gangguan maka akan mengalami dampak yang

    buruk bagi dirinya dan sekitarnya. Sudah banyak sekali peristiwa-peristiwa yang

    terjadinya akibat dari adanya gangguan mental. WHO pada tahun 2004 telah

    mengingatkan Indonesia agar memperhatikan kesehatan mental masyarakatnya

    dikarenakan tahun 2015 kesehatan mental masyarakat Indonesia dalam kondisi

    mengkhawatirkan, jika tidak segera diatasi maka akan seperti kasus narkoba dan

    HIV/AIDS yang merajarela.

  • Selain di Indonesia, kasus rendahnya kondisi kesehatan mental terjadi di

    negara-negara berkembang. Prevalensi gangguan mental pada populasi penduduk

    dunia menurut WHO pada tahun 2000 memperoleh data gangguan mental sebesar

    12%, tahun 2001 meningkat menjadi 13% dan diprediksi pada tahun 2015

    menjadi 15%. Sedangkan pada negara-negara berkembang prevalensinya lebih

    tinggi, prevalensi gangguan mental di negara Amerika Serikat(6%-9%), Brazil

    (22.7%), Chili (26.7%), Pakistan (28.8%). Sedangkan di Indonesia hasil laporan

    Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, yang menggunakan SRQ untuk menilai

    kesehatan jiwa penduduk, prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk

    Indonesia yang berumur lebih dari 15 tahun sebesar 11.6%.

    B. Tujuan Adapun tujuan dari pembahasan terkait adalah untuk mengetahui faktor-

    faktor resiko apa saja yang menjadi penyebab gangguan mental dan peranan

    faktor yang paling besar dalam menyebabkan gangguan mental.

    C. Manfaat Dengan mengetahui faktor-faktor resiko terjadinya gangguan mental maka

    diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang gangguan mental dan berupaya

    untuk mencegah sekaligus menanggulangi adanya gangguan jiwa tersebut serta

    memicu diadakannya penelitian lebih lanjut berkaitan dengan pembahasan ini.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kesehatan Mental

    1. Definisi Kesehatan Mental Menurut World Health Organizations (WHO) kesehatan mental status

    kesejahteraan dimana setiap orang dapat menyadari secara sadar terkait

    kemampuan dirinya, kemudian dapat mengatasi berbagai tekanan dalam

    kehidupannya, dan dapat bekerja secara produktif yang berimbas pada

    kemampuan dirinya dalam memberikan kontribusi pada lingkungan sekitar. Hal

    ini dijabarkan lebih lanjut oleh Pieper dan Uden (2006), kesehatan mental adalah

    adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah

    terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri

    dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi

    masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya,

    serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya. Dilain sisi, Notosoedirjo dan

    Latipun (2005) mengatakan bahwa terdapat banyak cara dalam mendefenisikan

    kesehatan mental yaitu tidak mengalami gangguan mental, tidak jatuh sakit akibat

    stessor, sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya, dan

    tumbuh dan berkembang secara positif. Sementara itu, Federasi Kesehatan

    Mental Dunia (World Federation for Mental Health) merumuskan pengertian

    kesehatan mental yaitu suatu kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan

    yang optimal baik secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai

    dengan keadaan orang lain.

    2. Dimensi Kesehatan Mental

    Maslow dan Mittlemenn (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005)

    menguraikan pandangannya mengenai prinsip-prinsip kesehatan mental, yang

    menyebutnya dengan manifestation of psychological health. Dimensi kesehatan

    mental menurut Maslow dan Mittlemenn, yaitu:

  • a. Adequate feeling of securityRasa aman yang memadai dari keluarga,

    masyarakat disekitarnya, dan berbagai aktivitasnya.

    b. Adequate self evaluationKemampuan menilai diri sendiri yang memadai,

    mencakup memiliki harga diri yang memadai dan merasa ada nilai yang

    sebanding antara keadaan diri yang sebenarnya (potensi diri) dengan

    prestasinya.

    c. Adequate spontaneity and emotionalityMemiliki spontanitas dan perasaan

    yang memadai dengan orang lain, yaitu membentuk ikatan emosional secara

    kuat dengan orang lain, memiliki kemampuan memahami dan membagi

    perasaan kepada orang lain, dan lain-lain.

    d. Efficient contact with realityMempunyai kontak yang efisien dengan

    realitas, dimana kontak ini memiliki tiga aspek yaitu fisik, sosial, dan diri

    sendiri. Dalam hal ini seseorang memiliki kemampuan untuk menghadapi

    peristiwa-peristiwa sulit dalam hidup.

    e. Adequate bodily desires and ability to gratify themmemiliki keinginan-

    keinginan jasmani yang memadai dan mempunyai kemampuan untuk

    memuaskannya, yaitu kemampuan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan

    dari dunia fisik dalam kehidupan seperti makan, tidur, dan melakukan

    aktivitas lagi.

    f. Adequate self knowledgemempunyai pengetahuan yang wajar seperti

    mengetahui tentang kelebihan dan kekurangan diri sendiri.

    g. Integration and consistency of personalitykepribadian yang utuh dan

    konsisten dimana mampu untuk berkonsentrasi dan melakukan perkembangan

    diri yang baik.

    h. Adequate of life goalmemiliki tujuan hidup yang wajar.

    i. Ability to learn from experiencememiliki kemampuan untuk belajar dari

    pengalaman hidupnya maupun oranglain sehingga mempunyai kemahiran

    dalam mengerjakan sesuatu berdasarkan dari pengalaman yang ia dapat.

    j. Ability to satisfy to requirements of the groupdapat memenuhi tuntutan

    kelompok dan mampu menyesuaikan diri dengan anggota kelompok lain

    tanpa kehilangan identitas pribadi.

  • k. Adequate emancipation from the group or culturemempunyai emansipasi

    yang memadai dari kelompok atau budaya seperti mampu menghargai

    perbedaan budaya.

    B. GANGGUAN MENTAL

    1. Definisi Gangguan Mental Gangguan mental adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang

    karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang

    kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri (Djamaludin, 2001).

    Dilain sisi, gangguan mental adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive),

    kemauan (volition),emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007).

    Gangguan mental menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada

    fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang

    menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam

    melaksanakan peran sosial. Menurut Townsend (1996), mental illness adalah

    respon maladaptive terhadap stressor dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan

    dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma

    lokal dan kultural dan mengganggu fungsi sosial, kerja, dan fisik individu.

    2. Klasifikasi Gangguan Mental Gangguan mental atau yang lebih dikenal dengan gangguan jiwa menurut

    WHO dikelompokan ke dalam blok-blok tertentu secara hierarki berdasarkan

    adanya persamaan deskriptif, baik etiologi atau gejala dasar. Gangguan-

    gangguan jiwa yang terletak dalam urutan atas mempunyai lebih banyak unsur

    (gejala) dari gangguan jiwa yang terletak dalam blok di bawahnya. Sebagai

    contohnya, meskipun pada blok F0 dapat ditemukan gejala psikotik, mood,

    atau cemas, namun blok tersebut memiliki kelebihan berupa etiologi

    organik/medis. Sedangkan blok F1 etiologinya hanya zat psikoaktif, walau

    gejalanya mirip dengan gejala pada blok F0.

  • Pada blok F2, gangguana atau gejala dasarnya hanya gejala psikotik tanpa

    etiologi organic and medis. Dalam blok F3 gangguan dasarnya adalah

    gangguan perasaan atau mood tanpa etiologi organic atau medis. Etiologi

    medic merupaka kondisi patologis yang ditemukan dengan pemeriksaan fisik

    dan laboratorium yang konvensional. Dengan begitu, makin ke atas hierarki,

    biasanya makin berat tingkat keparahan atau kedaruratannya, khususunya

    yang bersangkutan dalam F0, F1, F2, dan F3. Untuk memastikan diagnosis,

    harus dipastikan dulu gejala-gejala itu tidak merupakan gejala dari ganguan

    jiwa yang terletak dalam hierarki di atasnya.

    Penggolongan gangguan jiwa dalam PPDGJ III berdasarkan blok serta ciri

    khas pada masing-masing blok gangguan jiwa adalah sebagai berikut :

    a. Blok F0 : Gangguan mental organic atau simpatomatik

    Gangguan kejiwaannya disebabkan oleh penyakit atau gangguan fisik atau

    kondisi medic yang secra primer atau secara sekunder (sistemik)

    mempengaruhi otak secara fisiologis sehingga terjadi disfungsi otak.

    Demensia merupakan salah satu kelainan yang paling mendapatkan

    perhatian. Diperlukan bukti riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan

    pemeriksaan penunjang untuk menyokong hal tersebut.

    b. Blok F1 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif

    Gejala gangguan jiwa dalam blok ini tidak disebabkan oleh seperti pada

    F0. Terdapat riwayat penggunaan zat psikoaktif yang secara fisiologis

    mempengaruhi otak dan menimbulkan gangguan mental dan perilaku.

    Namun, tidak semua orang yang menggunakan zat psikoaktif menunjukan

    gejala gangguan jiwa. Diperlukan dosis tertentu dalam darah untuk

    menimbulkan gangguan ini.

    c. Blok F2 : Skizofrenia, Gangguan Skizotipal, Gangguan Waham, dan

    Gangguan PSikotik Lainnya (gangguan psikotik nonorganic). Ciri dari

    gangguan ini adalah disingkirkannya kemungkinan blok F0 dan F1,

    terutama berdasarkan etiologinya, Gejala yang muncul berupa gejala

    psikotik yaitu halusinasi, waham, perilaku katatonik, perilaku kacau,

    pembicaraan kacau (tidak selalu), disertai tilikan yang buruk. Namun, ada

  • pula gangguan mental dalam blok ini yang tidak disertai gejala psikotik

    yaitu gangguan skizotipal. Meskipun begitu, secara genetic, gangguan

    tersebut tergabung dalam keluarga skizofrenia.

    d. Blok F3 : Gangguan suasa perasaan (mood/afektif). Untuk memasukan ke

    dalam blok ini, blok F0,F1, dan F2 harus disingkirkan. Gejala dasarnya

    berupa gangguan suasana perasaan atau modd (depresi atau manik) yang

    umumnya bersifat episodic. Kadang-kadang ditemukan juga gejala

    psikotik, tetapi jangka waktunya lebih pendek daripada episode gangguan

    mood yang mendasarinya.

    e. Blok F4 : Gangguan neurotic, Gangguan Somatoform, dan Gangguan

    yang berkaitan dengan stress. Blok F0, F1, F2, dan F3 harus terlebih

    dahulu disingkirkan. Gejala dasarnya bergantung kepada kelompok dalam

    blok F4 tersebut. Pada kelompok gangguan cemas dan fobik, gejala

    utamanya berupa kecemasan yang bersifat kronis (missal gangguan cemas

    menyeluruh) atau episodic (missal gangguan panik) atau kecemasan

    timbul bila dihadapkan dengan situasi atau objek fobik atau bila melawan

    pikiran obsesif.

    Terdapat dua macam stressor pada kelompok gangguan yang berkaitan

    engan stress, yaitu stressor yang sering timbul dan lazim dalam kehidupan

    sehari-hari serta stressor berat yang memang luar biasa sulit dan tidak lazim

    dialami orang dalam kehidupan sehari-hari. Penderita gangguan ini tidak bisa

    atau sukar mengadakan adaptasi yang disebut sebagai gangguan penyseuaian

    (pada stress lazim) dan gangguan stress pasca trauma (pada stress yang tidak

    lazim)

    Kelompok gangguan disosiatif (konversi) memiliki gejala utama

    berupa hilangnya sebagian atau menyeluruh integrasi normal antara ingatan

    masa lalu, kesadaran dientitas dan sensasi langsung dan kendali terhadap

    gerakan tubuh.

  • Kelompok gangguan somatoform memiliki gejala utama berupa

    keluhan preokupasi dengan rasa sakit atau menderita penyakit tertentu

    walaupun tidak ada dasar gangguan medic ataau fisik yang mendasarinya.

    Keluhan muncul berulang walaupun terbukti tidak ada dasar medik.

    f. Blok F5 : Sindrom tingkah laku yang berhubungan dengan faktor

    fisiologis dan faktor fisik

    Perlu menyingkirkan Blok F0-F4 terlebih dahulu. Jenis-jenis yang

    termasuk dalam blok ini di antaranya adalah :

    - Gangguan makan

    - Gangguan tidur non organik

    - Disfungsi seksual bukan disebabkan gangguan atau penyakit

    organic

    - Gangguan perilaku yang berhubungan dengan masa nifas yang

    tidak diklasifikasikan di tempat lain (YTK)

    - Fkator psikologis yang berhubungan dengan gangguan atau

    penyakit YDK (yang diklasifikasikan di tempat lain)

    g. Blok F6 : Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa

    Gangguan blok F6 adalah gangguan kepribadian dan F61 adalah

    gangguan kepribadian campuran dan lainnya dicatat dalam aksis II.

    Sementara itu, gangguan jiwa lain dalam blok F6 dimasukan dalam

    aksis I.

    Ciri khas dari blok ini adalah keadaan dan pola perilaku yang secara

    klinis bermakna yang cenderung menetap dan merupakan ekspresi

    dari gaya hidup yang khas dari seseorang serta cara berhubungan

    dengan diri sendiri serta orang lain.

  • Pola ini bisa muncul sejak dini saat masa pertumbuhan maupun

    perkembangan sebagai hasil faktor genetic, constitutional, maupun

    pengalaman social. Bisa juga didapat pada masa kehidupan

    selanjutnya.

    Jenis-jenis yang masuk dalam kriteria ini adalah :

    - Gangguan kepribadian khas

    - Gangguan kepribadian campuran lainnya

    - Gangguan kepribadian yang berlangsung lama yang tidak

    disebabkan kerusakan atau penyakit otak

    - Gangguan kebiasaan dan impuls

    - Gangguan identitas jenis kelamin

    - Gangguan preferebsu seksual

    - Gangguan psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan

    perkembangan dan orientasi seksual

    - Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa lainnya

    Orientasi seksual tidak termasuk dalam kategori gangguan jiwa dan

    dicantumkan sebagai bagian dari identitas diri seseorang. Namun,

    apabila penderita merasa terus menerus dan nyata merasa terganggu

    dengan hal tersebut, hal tersebut dapat diklasifikasikan sebagai

    gangguan seksual yang tidak dapat diklasifikasikan.

    Blok F7, F8, dan F9 tidak disusun berdasarkan urutan hierarki,

    melainkan merupakan kelompok gangguan jiwa yang sering

    terdapat dan berawitan dalam masa kanan dan remaja. Namun, pada

    beberapa kondisi, sebenernya gangguan F0-F6 bisa saja terjadi

    dalam masa kanak-kanak dan remaja.

    h. Blok F7 : Retardasi Mental

    Ciri khas dari blok ini adalah tingkat intelegensi (IQ) dibawah 70,

    semua aspek perkembangan terlambat atau terhenti sehingga

    menimbulkan disfungsi dan berawitan di bawah usia 18 tahun.

  • Apabila seseorang dengan IQ di bawah 70 awitannya baru timbul

    setelah 18 tahun disebut dementia.

    Jenis retardasi mental :

    - Ringan yaitu dengan IQ 50-69

    - Sedang yaitu dengan IQ 35-49

    - Berat yaitu dengan IQ 20-34

    - Sangat berat yaity dengan IQ di bawah 20

    i. Blok F8 : Gangguan Perkembangan Psikologis

    Jenis dari blok ini ada dua, yaitu:

    Gangguan perkembangan khas (F80-F83), ciri khasnya adalah pada

    kasus murni, IQ normal dan biasanya hanya satu aspek dari fungsi

    individu yang terganggu. Gejala dimulai dari masa bayi atau kanak-

    kanak.

    Gangguan perkembangan pervasif, ciri khasnya adalah gangguan

    dasar berupa abnormalitas kualitatif dalam interaksi timbal balik

    dengan orang lain, sehignga pada kasus berat dapat terjadi retardasi

    mental. Masa awitannya dalam masa bayi atau di bawah usi 5 tahun.

    j. Blok F9 : Gangguan Perilaku dan Emosional dengan Awitan

    Biasanya pada Masa Kanak dan Remaja

  • C. FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA GANGGUAN MENTAL

    Menurut pendapat Sigmund Freud gangguan jiwa terjadi karena tidak

    dapat dimainkan tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual) dengan

    tuntutan super ego (tuntutan normal sosial). Seseorang ingin melakukan sesuatu

    hal namun hal tersebut tidak dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya dengan

    baik sehingga menyebabkan terjadinya konflik antara diri sendiri dengan tuntutan

    masyarakatnya dan mengakibatkan orang tersebut mengalami gangguan mental.

    Teori ini menjelaskan adanya faktor lingkungan

    Pada perkembangan teori selanjutnya, gangguan jiwa dapat terjadi karena

    dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor genetic dan faktor lingkungan. Faktor

    lingkungan itu kembali dibagi menjadi beberapa komponen yaitu faktor

    intrauterine dan faktor ekstrauterine. Faktor intrauterine dipengaruhi oleh keadaan

    janin dalam kandungan sehingga dipengaruhi juga oleh kesehatan maternal,

    keadaan selama kehamilan, serta komplikasi obstetric lainnya. Faktor

    ekstrauterine dijabarkan menjadi faktor yang berasal dari lingkungan yang

    dialami oleh seorang anak dalam masa perkembangannya dan kehidupan

    selanjutnya. Hal ini terdiri dari psikososial dan budaya setempat seseorang

    tinggal. Berikut merupakan pengelompokan lebih lanjut mengenai faktor resiko

    yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan mental :

    1. Faktor-faktor somatik atau organobiologis. Yang termasuk kedalam

    kelompok ini adalah:

    a.Genetika / keturunan.

    Menurut Cloninger dalam Yosep ( 2007 ) gangguan jiwa, terutama gangguan

    persepsi sensori dan gangguan psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan

    faktor genetik termasuk di dalamnya saudara kembar, individu yang memiliki

    anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan lebih

    tinggi di banding dengan orang yang tidak memiliki faktor herediter.

  • Individu yang memiliki hubungan sebagai ayah, ibu, saudara atau anak dari

    klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 10 % sedangkan

    keponakan atau cucu kejadian 2- 4 %. Individu yang memiliki hubungan sebagai

    kembar identik dengan klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki

    kecenderungan 46 48 %, sedangkan kembar dizygot memiliki kecenderungan

    14-17%. Faktor genetik tersebut sangat ditunjang dengan pola asuh yang

    diwariskan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh anggota keluarga klien

    yang mengalami gangguan jiwa.

    b. Cacat kongenital

    Cacat kongenital atau sejak lahir dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak,

    terlebih yang berat, seperti retardasi mental yang berat. Akan tetapi umumnya

    pengaruh cacat ini timbulnya gangguan jiwa terutama tergantung pada individu

    itu, bagaimana ia menilai dan menyesuaikan diri terhadap keadaan hidupnya yang

    cacat. Orang tua dapat mempersulit penyesuaian ini dengan perlindungan yang

    berlebihan ( proteksi berlebihan ). Penolakan atau tuntutan yang sudah diluar

    kemampuan anak.

    c. Faktor jasmaniah

    Beberapa peneliti berpendapat bentuk tubuh seseorang berhubungan dengan

    gangguan jiwa tertentu. Misalnya yang bertubuh gemuk/endoformcenderung

    mengalami gangguan jiwa, begitu juga dengan yang bertubuh

    kurus/ectoform, tinggi badan yang terlalu tinggi atau yang terlalu pendek dan

    sebagainya.

    d. Jenis kelamin

    Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat depresi jauh lebih tinggi di antara

    wanita dengan sedikit kontrol atas kehidupan mereka yaitu wanita yang tidak

    bekerja dan wanita yang menikah. Dilain sisi, depresi yang dirasakan oleh kaum

    pria umumnya dikarenakan memiliki daya kontrol lebih sedikit dibandingkan

    dengan istri yang mereka lakukan, memiliki sedikit kontrol atas pekerjaan

  • mereka, atau kehilangan pekerjaan. Pria secara konsisten menampilkan tingkat

    yang lebih tinggi dalam masalah gangguan kepribadian (kondisi yang ditandai

    dengan kronis, ciri-ciri kepribadian maladaptif, seperti perjudian kompulsif atau

    kecenderungan antisosial), sedangkan wanita secara konsisten menampilkan

    tingkat lebih tinggi gangguan kecemasan dan depresi (Kessler et R. al., 2005a).

    Demikian pula, banyak sosiolog malakukan hipotesis bahwa hasil depresi ketika

    peran perempuan tradisional menyebabkan stres kronis dengan mengurangi

    kontrol perempuan atas kehidupan mereka (Horwitz, 2002: 173-179). Dalam

    masyarakat negara berkembang, perempuan menanggung beban dari kemalangan

    yang terkait dengan kemiskinan: sedikit akses ke sekolah, kekerasan fisik dari

    suami, pernikahan paksa, perdagangan seksual, kesempatan kerja lebih sedikit

    dan, dalam beberapa masyarakat, keterbatasan partisipasi mereka dalam kegiatan

    di luar rumah.

    e. Deprivasi

    Deprivasi atau kehilangan fisik, baik yang dibawa sejak lahir ataupun yang di

    dapat, misalnya karena kecelakaan hingga anggota gerak ( kaki dan tangan ) ada

    yang harus diamputasi (Baihaqi, 2005).

    f. Temperamen/Proses-proses emosi yang berlebihan

    Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mempunyai masalah kejiwaan dan

    ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa. Dan proses

    emosi yang terjadi secara terus-menerus dengan koping yang tidak efektif akan

    mendukung timbulnya gejala psikotik (Yosep, 2007).

    h. Penyalahgunaan obat-obatan

    Koping yang maladaftif yang digunakan individu untuk menghadapi stressor

    melalui obat-obatan yang memiliki sifat adiksi (efek ketergantungan) seperti

    cocaine, amphetamine menyebabkan gangguan persefsi, gangguan proses

    berpikir, gangguan motorik dan sebagainya.

  • g.Patologi otak

    Termasuk disini adalah, trauma, lesi, infeksi, perdarahan, tumor, toksin,

    gangguan metabolisme dan atrofi otak.

    h.Penyakit dan cedera tubuh.

    Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker, dan sebagaimana,

    mungkin menyebabkan merasa murung dan sedih. Demikian pula cedera / cacat

    tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa rendah diri (Yosep, 2007).

    2. Faktor Faktor Psikologik ( Psikogenik ) atau Psikoedukatif a.Trauma di masa kanak-kanak

    Deprivasi dini biologi maupun psikologik yang terjadi pada masa bayi, anak-anak.

    Misalnya anak yang ditolak (rejected child) akan menimbulkan rasa tidak nyaman

    dan ia akan mengembangkan cara penyesuaian yang salah (Baihaqi, 2005).

    b. Deprivasi parental

    Deprivasi parental atau kehilangan asuhan ibu dirumah sendiri, terpisah dengan

    ibu atau ayah kandung, tinggal di asrama, dapat menimbulkan perkembangan

    yang abnormal.

    c. Hubungan keluarga yang patogenik

    Dalam masa kanak-kanak keluarga memegang peranan yang penting dalam

    pembentukan kepribadian. Hubungan orang tua-anak yang salah atau

    interaksi yang patogenik dalam keluarga merupakan sumber gangguan

    penyesuaian diri. Kadang orang tua terlalu banyak berbuat untuk anak dan tidak

    member kesempatan anak itu berkembang sendiri, adakalanya orang tua berbuat

    terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan

    anjuran yang dibutuhkan.

    Beberapa jenis hubungan keluarga yang sering melatarbelakangi adanya

    gangguan jiwa, umpamanya penolakan, perlindungan berlebihan, manja

    berlebihan, tuntutan perfeksionistik, disiplin yang salah, dan persaingan antara

    saudara yang tidak sehat. (Yosep, 2007).

  • d. Struktur keluarga yang patogenik

    Struktur keluarga inti kecil atau besar mempengaruhi terhadap perkembangan

    jiwa anak, apalagi bila terjadi ketidak sesuaian perkawinan dan problem rumah

    tangga yang berantakan (Baihaqi, 2005). Anak tidak mendapat kasih sayang, tidak

    dapat mengahayati displin, tidak ada panutan, pertengkaran dan keributan yang

    membingungkan dan menimbulkan rasa cemas serta rasa tidak aman. Hal tersebut

    merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya tuntunan tingkah laku dan gangguan

    kepribadian pada anak dikemudian hari (Yosep, 2007).

    Kejadian kekerasan dalam rumah tangga memungkinkan anak anak untuk

    menyaksikan pertengkaran orang tuanya ( kekerasan terhadap ibunya) mengalami

    kekerasan seperti yang di alami ibunya, bahkan menjadi sasaran kekerasan (

    pelampiasan emosi ) oleh ibunya.

    Anak korban KDRT tergantung usianya dapat mengalami berbagai bentuk

    gangguan kejiwaan sebagai dampak dari pristiwa traumatik yang dialaminya.

    Pada anak prasekolah dapat berupa perilaku menarik diri, mengompol, gelisah,

    ketakutan, silit tidur, mimpi buruk, dan teror tidur ( mendadak terbangun teriak

    histeris ), dan bicara gagap (Dharmono, 2008).

    e. Kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan

    Kematian, kecelakaan, sakit berat, perceraian, perpindahan yang mendadak,

    kekecewaan yang berlarut-larut, dan sebagainya, akan mempengaruhi

    perkembangan kepribadian, tapi juga tergantung pada keadaan sekitarnya (orang,

    lingkungan atau suasana saat itu) apakah mendukung atau mendorong dan juga

    tergantung pada pengalamannya dalam menghadapi masalah tersebut (Yosep,

    2007).

    f. Stress berat

    Tekanan stress yang timbul bersamaan dan atau berturut-turut, bisa menyebabkan

    berkurangnya/hilangnya daya tahan terhadap stress. Contohnya kasus seseorang

    yang baru saja mengalami perceraian kemudian harus juga kehilangan anak, baik

    karena anaknya meninggal atau diputus secara paksa, mengakibatkan daya tahan

    dirinya dalam menghadapi masalah menjadi lebih rentan (Baihaqi, 2005).

  • 3. Sebab Sosial Kultral

    Kebudayaan secara teknis adalah idea tau tingkah laku yang dapat dilihat maupun

    yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung timbulnya

    gangguan jiwa. Biasanya terbatas menentukan warna gejala gejala disamping

    mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya

    melalui atauran aturan kebiasaanya yang berlaku dalam kebudayaan

    tersebut. Beberapa faktor faktor kebudayaan tersebut yaitu :

    a. Cara cara membesarkan anak

    Cara cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter, hubungan orang tua anak

    menjadi kaku dan tidak hangat. Anak anak setelah dewasa mungkin bersifat

    sangat agresif atau pendiam dan tidak suka tergaul atau justru menjadi penurut

    yang berlebihan.

    b. Pendidikan

    Pendidikan adalah proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh

    lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehingga mereka dapat memperoleh

    kemampuan sosial dan perkembangan sosial yang optimal (Idris: 1987).

    Pendidikan serta pengalaman yang diberikan dengan baik bahkan telah

    ditanamkan sejak kecil akan menjadikan mental yang sehat. Pendidikan dalam

    hubungannya dengan kesehatan mental bukanlah pendidikan yang disengaja, yang

    ditujukan kepada objek yang didik, melainkan lebih daripada itu adalah keadaan,

    suasana, hubungan satu dengan yang lainnya dan sikap atau perilaku yang

    ditunjukkan. Tugas sekolah dalam menciptakan mental yang sehat bagi si anak,

    tidaklah ringan. Guru harus dapat menjamin kebutuhan-kebutuhan jiwa si anak.

    Anak yang kelihatan bodoh, pemalas, suka mengganggu kawan-kawannya, tidak

    mau tunduk kepada peraturan-peraturan disekolah dan sebagainya, janganlah

    dimarahi atau dihukum, tetapi usahakan untuk memahaminya dan menolongnya

    untuk menyesuaikan diri, serta menyelidiki apa yang terjadi dirumahnya (Zakiah:

    2001).

  • c. Sistem nilai Perbedaan sistem nilai, moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan yang

    lain sering menimbulkan masalah kejiwaan.

    d. Kepincangan antarkeinginan dengan kenyataan Iklan-iklan di radio, televisi, surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan

    bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan modern yang mungkin

    jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Akibat rasa kecewa yang timbul, seseorang

    mencoba mengatasinya dengan khayalan atau melakukan kegiatan yang

    merugikan masyarakat.

    e. Ketegangan akibat faktor ekonomi Dalam masyarakat modern kebutuhan makin meningkat dan persaingan makin

    meningkat dan makin ketat untuk meningkatkan ekonomi hasil-hasil teknologi

    modern. Faktor-faktor gaji yang rendah, perumahan yang buruk, waktu istirahat

    dan berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan sebagainya merupakan

    sebagian hal yang mengakibatkan perkembangan kepribadian yang abnormal.

    Dari perspektif epidemiologi, kemiskinan berarti status sosial ekonomi rendah

    (diukur dengan kelas sosial atau pendapatan), pengangguran dan tingkat

    pendidikan yang rendah. Kemiskinan mungkin akan berhubungan dengan

    malnutrisi, kurangnya akses ke air bersih, hidup di lingkungan tercemar,

    perumahan tidak memadai, kecelakaan sering dan faktor risiko lain yang terkait

    dengan kesehatan fisik yang buruk. Masalah kesehatan mental dan fisik

    menyebabkan peningkatan biaya perawatan kesehatan dan memburuknya

    kemiskinan.

    Penyelidikan epidemiologis di negara-negara berkembang banyak

    menghubungkan tingginya tingkat gangguan mental dengan faktor-faktor seperti

    diskriminasi, pengangguran dan hidup melalui periode perubahan sosial yang

    cepat dan tak terduga. Penyidik di India yang baru-baru ini dilakukan sebuah studi

    komunitas gangguan mental di daerah pedesaan, 20 tahun setelah penelitian

    serupa di daerah yang sama, menemukan bahwa tingkat keseluruhan gangguan

    mental tidak berubah. Namun, tingkat kategori diagnostik tertentu telah berubah

  • sehingga tingkat depresi meningkat dari 4,9% menjadi 7.3% (P
  • D. HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI GANGGUAN

    MENTAL

    Gangguan jiwa merupakan gangguan yang bersifat heterogenus baik secara klinis

    dan genetik. Masing-masing penderita gangguan jiwa mengalami gejala klinis yang

    berbeda-beda dan sangat luas. Gejala klinis yang beraneka ragam ini memiliki fenotip

    yang berbeda-beda pula satu dan lainnya. Seperti yang kita ketahui bahwa fenotip

    merupakan manifestasi klinis dari gen. Terdapat berbagai macam gen yang ditemukan

    !

    Risk!Factors!of!Schizoprenia!Organobiologis!

    Genetic! Closer!relative!degree! !Risk Physical! Congenital!Abnormality!Obese!!Disability!!

    !confidence!>!stress!Hormone! !Estrogen!(in!women)!

    !Risk !Estrogen!(in!men)!Risk Temperament!

    !Harm!Avoidance!!G worrying!G pessimism!G shyness!G fearful!G doubtful!

    !Drug!Abuse!!Risk

    Neuropathology!G Larger!Brain!Ventricles!G Cortical!Atrophy!>!prefrontal!G !Grey!and!White!matter!!!Disease!>!!!Stress!!

    Environment! Parenting!Deviance!Communication!

    Parents!Deprivation:!Dead,!raised!by!others,!seperation!

    Sexual!Probrlems!:!Sexual!abuse!!Bullied!Violent!victim!Stressful!Event! Social,Culture!&!Values! Family!Problem!

    !demand!from!culture!&!social!>!wants!!demands!!Stress!+!Poor!Stress!Buffer! !Risk

    BRAIN&MAP&FAKTOR&RESIKO&GANGGUAN&MENTAL&

  • dan berkaitan dengan perkembangan gangguan mental. Namun teori faktor gentik ini

    tidak cukup kuat untuk menjadi satu-satu nya etiologi perkembangan gangguan mental.

    Munculah teori genetic-environmental sebagai etiologi perkembangan ganguan mental,

    yaitu teori gabungan yang menyatakan bahwa antara faktor genetik dan faktor lingkungan

    berpengaruh satu sama lain dalam menyebabkan gangguan jiwa.

    Pada teori faktor genetik, penelitian menunjukan adanya pengaruh faktor genetic

    pada perkembangan seorang anak mengalami gangguan mental. Seorang anak yang

    memeliki riwayat gangguan mental pada keluarganya cenderung berada pada resiko yang

    lebih tinggi untuk memiliki gangguan mental dibanding dengan anak yang tidak memiliki

    riwayat gangguan mental pada keluarganya. Semakin dekat hubungan darah seseorang

    dengan keluarga atau relatif nya yang memiliki gangguan mental maka semakin tinggi

    resiko seseorang tersebut mengalami gangguan mental kemudian hari. Hal ini disebabkan

    oleh antar keluarga biologis terjadi pembagian gen (genetic sharing) yang menimbulkan

    kecocokan genetik (Gottesman, 1991).

    Kecocokan genetic antar sepupu menunjukan adanya 12.5% genetic sharing, dan

    menunjukan resiko sebesar 2% untuk berkembang menjadi gangguan mental bila salah

    satu diantaranya memiliki gangguan mental. Demikian pula pada hubungan kakak-adik

    biologis, dan kembar dizigotik (DZ) memiliki kecocokan gen sebesar 50% dari gennya

    dan menunjukan resiko mengalami gangguan mental sebesar 9%. Sedangkan kembar

    monozigot (MZ) memiliki kecocokan genetic 100% sehingga resiko mengalami

    gangguan mental meningkat menjadi 50%. Pada sebuah penelitian juga disebutkan bahwa

    kembar MZ dengan salah satunya mengalami gangguan mental dan memiliki kedua

    orang tua yang juga penderiga gangguan mental, maka kembarannya memiiki resiko

    lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental dibandingkan dengan kembar DZ. Hal

    diatas menunjukan bahwa adanya pengaruh besar dari gen yang diturunkan dalam

    perkembangan gangguan mental. Namun pada studi yang lain menunjukan bahwa resiko

    pada kembar MZ yang kembarannya mengalami gangguan mental dengan kedua orang

    tua adalah penderita gangguan mental, tidak mencapai 100%. Hal ini menunjukan bahwa

    faktor genetic tidak bisa menjadi etiologi tunggal penyebab sebuah gangguan mental.

    Sehingga studi ini meyakinkan kita akan ada peranan faktor lain yang diyakinin dapat

  • menjadi pencetus gangguan mental yang dalam hal ini adalah faktor lingkungan.

    Faktor lingkungan dalam konteks memiliki beberapa komponen diantaranya

    adalah komponen lingkungan intrauterine dan lingkungan ekstrauterine. Komponen

    lingkungan intrauterine sendiri memiliki peran yang penting dalam perkembangan sebuah

    gangguan mental. Pada teori neurodevelopmental dijelaskan bahwa adanya predisposisi

    genetic yang didukung oleh stressor intrauterine dapat menimbulkan abnormalitas

    perkembangan neuron pada otak (neurodevelopmental brain abnormalities) yang

    bermanifestasi pada gangguan mental. Hal ini diperkuat dengan adanya perubahan

    patologis pada otak saat otopsi yang konsisten terhadap hipotesis neurodevelopment.

    Abnormalitas ini dapat berupa abnormalitas formasi sel-sel pada hippocampus, cingulate

    gyrus dan prefrotal cortex, dan sulcal-gyral patterns pada lobus temporal pada banyak

    pasien yang mengalami gangguan jiwa (contohnya adalah pada skizofrenia). Penemuan

    ini mengarahkan kita pada adanya abnormalitas pada masa kehamilan terutama trimester

    dua dan tiga. Dengan demikian, telah ditemukan abnormalitas pada pasien dengan

    gangguan jiwa jauh sebelum onset dari gangguan terjadi yang diduga akibat komplikasi

    masa kehamilan (Jones & Cannon, 1998).

    Menurut Lewis & Murray, pasien yang mengalami gangguan mental memiliki

    riwayat komplikasi obstretri yang lebih besar dari pada kontrol grup (Lewis & Murray,

    1987; Geddes & Lawrie, 1995; Jablensky, 1995; Tsuang & Faraone, 1995). Komplikasi

    ini dapat berupa pre-eklampsia pada ibu yang mengakibatkan fetal hipoksia dan

    meningkatkan resiko sembilan kali terjadinya gangguan mental (Kendell, et al, 1996).

    Studi yang sejenis juga membuktikan bahwa anak dari ibu yang mengalami komplikasi

    obstetrik mengalami deficit pada nerupsikologikal saat berusia 7 tahun. Dengan adanya

    penelitian seperti diatas mengarahkan kita pada analisis berikutnya untuk menentukan

    bagaimana interkasi antara komplikasi obstetrik dan riwayat gangguan mental pada

    keluarga dapat berpengaruh terhadap perkembangan gangguan mental.

    Komponen lainnya pada faktor lingkungan adalah faktor psikososial yang dialami

    anak setelah lahir dan saat masa perkembangannya. Sebuah studi menyatakan bahwa

    apabila kembar MZ dari ibu penderita gangguan mental dalam hal ini skizofrenia, bila

  • dipisahkan dan dibesarkan pada lingkungan yang berbeda, dimana satu diantaranya

    diadopsi oleh ibu non-skizofrenia dengan deviasi komunikasi yang tinggi cenderung

    mengalami Thought Disorder Index (TDI) (Johnston & Holzman, 1979) dibandingkan

    dengan kembarannya yang diadopsi oleh ibu non-skizofrenia dengan deviasi komunikasi

    yang lebih rendah (Tienari, 1991; Tienari et al, 1994; Wahlberg et al, 1997). Sehingga

    dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor genetic saja tidak cukup untuk menimbulkan suatu

    gangguan mental, sehingga perlu dimediasi oleh faktor lingkungan khususnya komponen

    psikososial, walaupun esarnya pengaruh heritabilitas ini mencapai 70% berdasarkan

    penelitian Kendler & Diehl (Kendler & Diehl, 1993).

  • BAB III

    PENUTUP

    Dari berbagai banyak factor yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa untuk

    dapat terjadinya gangguan jiwa tidak mungkin hanya dipengaruhi oleh satu atau dua

    factor saja. Begitu banyak fakor yang saling mempengaruhi satu sama lain. Namun

    urutan petama dan kedua yang diketahui paling berpengarh adalah factor genetic dan

    lingkungan intrauterine. Dengan demikian kita dapat melaukan suatu upaya pencegahan

    untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya suatu gangguan mental.

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. Sadock BJ, Sadock VA (2007). Psychosomatic medicine. In Kaplan and Sadock's

    Synopsis of Psychiatry, 10th ed., pp. 813838. Philadelphia: Lippincott Williams

    and Wilkins.

    2.American Psychiatric Association (1994) Diagnostic and Statistical Manual of

    Mental Disorders (4th edn) (DSM-IV). Washington, DC: APA

    3. Cannon, T.D., Zorrilla, L. E., Shtasel, D., et al (1994) Neuropsychological

    functioning in siblings discordant for schizophrenia and healthy volunteers.

    Archives of General Psychiatry, 51, 651 -661

    4. Cannon, T.D., Kaprio, J., Lonnqvist, J., et al (1998) The genetic epidemiology of

    schizophrenia in a Finnish twin cohort. A population-base modeling study.

    5. Johnston, M. H. & Holzman, P. S. (1979) Assessing Schizophrenic Thinking: A

    Clinical and Research Instrument for Measuring Thought Disorder. San Francisco,

    CA: Jossey-Bass

    6. Jones, P. & Cannon, M. (1998) The new epidemiology of schizophrenia.

    Psychiatric Clinics of North America, 21, 1 -25

    7.Kendler, K. S. & Diehl, S. R. (1993) The genetics of schizophrenia: a current

    genetic-epidemiologic perspective. Schizophrenia Bulletin, 19, 261 -285.

    8. Seidman, L. J., Buka, S. L., Goldstein, J. M., et al (2000) The relationship of

    prenatal and perinatal complications to cognitive functioning at age 7 in the New

    England Cohorts of the National Collaborative Perinatal Project.