41
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laryngopharyngeal Reflux (LPR) terjadi ketika asam lambung dan enzim pepsin naik dari lambung menuju esofagus dan mengiritasi laring dan faring. Gejala dari LPR ini akan mengakibatkan perubahan suara, nyeri pada tenggorokan, batuk kering, susah menelan ataupun rasa penuh pada tenggorokan. Adanya kegagalan dari fungsi sfingter atas esofagus atau upper oesophagal sphincter (UOS) merupakan salah satu faktor untuk terjadinya LPR. 1,2 Laryngopharyngeal reflux termasuk dari salah satu manifestasi refluks ekstra esofagus yang berhubungan dengan gastroesophageal reflux (GERD), hanya saja kejadian GERD berhubungan dengan disfungsi dari sfingter bawah esofagus atau lower esophagal sphincter. Angka kejadian LPR cukup sering, diperkirakan LPR menyerang sekitar 20% dari populasi dewasa di Amerika Serikat dan pada beberapa studi dikatakan 50% yang mengalami suara serak menderita LPR. 3,4,5 Gejala dari LPR harus dibedakan dari gejala GERD. Kebanyakan pasien dengan LPR tidak mengeluhkan adanya rasa terbakar di dada. Tujuh puluh satu persen penderita mengeluhkan suara serak yang disertai rasa penuh di tenggorokan. Pada setiap penderita yang 1

Referat LPR

  • Upload
    dragon

  • View
    228

  • Download
    33

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pharingeal refluks

Citation preview

BAB 1

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) terjadi ketika asam lambung dan enzim pepsin naik dari lambung menuju esofagus dan mengiritasi laring dan faring. Gejala dari LPR ini akan mengakibatkan perubahan suara, nyeri pada tenggorokan, batuk kering, susah menelan ataupun rasa penuh pada tenggorokan. Adanya kegagalan dari fungsi sfingter atas esofagus atau upper oesophagal sphincter (UOS) merupakan salah satu faktor untuk terjadinya LPR.1,2

Laryngopharyngeal reflux termasuk dari salah satu manifestasi refluks ekstra esofagus yang berhubungan dengan gastroesophageal reflux (GERD), hanya saja kejadian GERD berhubungan dengan disfungsi dari sfingter bawah esofagus atau lower esophagal sphincter. Angka kejadian LPR cukup sering, diperkirakan LPR menyerang sekitar 20% dari populasi dewasa di Amerika Serikat dan pada beberapa studi dikatakan 50% yang mengalami suara serak menderita LPR.3,4,5

Gejala dari LPR harus dibedakan dari gejala GERD. Kebanyakan pasien dengan LPR tidak mengeluhkan adanya rasa terbakar di dada. Tujuh puluh satu persen penderita mengeluhkan suara serak yang disertai rasa penuh di tenggorokan. Pada setiap penderita yang dicurigai menderita LPR harus dilakukan 2 penilaian untuk melihat skor reflux. Penilaian tersebut adalah Reflux System Indtex (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS). Dua penilaian ini digunakan untuk menegakkan diagonosis dari LPR. 6,7

Penatalaksanaan LPR dibagi menjadi 3 yaitu perubahan pola hidup dan edukasi pasien, terapi medikamentosa dan terapi bedah. Hal yang perlu diperhatikan dari LPR adalah skreening untuk menilai adanya kanker esofagal dan esofagus Barret, karena LPR merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya esophageal adenocarcinoma (EAC).1,3,81.2 Tujuan PenulisanTujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang laryngopharyngeal reflux (LPR) yang berguna dalam pelaksanaan praktek kedokteran.

1.3 Metode PenulisanMetode penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan berbagai literatur sebagai sumber kepustakaan.1.4 Manfaat Penulisan1.4.1 Manfaat bagi Mahasiswa

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih dalam kepada mahasiswa laryngpharyngeal reflux.1.4.2 Manfaat bagi Masyarakat

Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan masyarakat mengenai penyakit laryngopharyngeal reflux.BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

2.1.1. Faring

Faring merupakan tabung muskular yang berukuran 12,5-14 cm yang merentang dari bagian dasar tulang tengkorak sampai esofagus. 9,10 Farinng adalah kontong fibrous yang membentuk seperti corong dimana kantong ini dimulai dari dasar tengkorang dan menyambung dengan esofagus setinggi vertebre servikal ke enam. Faring berhubungan dengan hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dibawahnya berhubungan dengan laring melalui aditus laring dan kebawahnya berhubungan dengan esofagus.10 Faring terbagi menjadi tiga, yaitu: 91. Nasofaring adalah bagian posterior rongga nasal yang membuka ke arah rongga nasal melalui dua naris internal (koana). Pada nasofaring terdapat dua tuba eustacius dan amandel faring (adenoid) adalah penumpukan jaringan limfatik yang terletak di dekat naris internal. Pembesaran adenoid dapat menghambat aliran udara.9 Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan beberapa struktur pentung yaitu adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut dengan fossa russenmuller, kantong rathke, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan akrtilsgo tuba eustacius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glossofaring, nervus vagus dan nervus asesirius spinal saraf kranial dan vena jugularis interba, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba eustachius. 102. Orofaring disebut juga mesofaring, dimana batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, batas depan rongga mulut, sedangkan ke belakang dengan vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga faring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior , uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum.103. Laringofaring mengelilingi mulut esofagus dan laring yang merupakan gerbang untuk sistem respiratorik selanjutnya(sloane). Batas superiornya adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring, batas inferior adalah esofagus, serta batas posterior adalah vertebre servikal. Pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung struktur pertama kali yang terlihat adalah valekula (pill pockets). Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral. Di bawah valekula terdapat terdapat epiglotis, epiglotis berfungsi juga untuk melindung (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada saat pemberian anestesi lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung. 10

Gambar 2.1. Anatomi Faring (Dikutip dari Grevers, 2006)Faring mendapatkan perdarahan dari cabang arteri carotis eksterna (cabang faring asenden dan fausial) serta dari cang arteri maksilaris interna yakni cabang dari arteri palatina superior. Persarafan faring terdiri dari sensorik dan motorik yang berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk dari cabang nervus vagus, cabang nervus glossofaringeal dan serabut saraf simpatis. Cabang farin dar nervus vagus berisi saraf motorik. Dari faring yang eksternsif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali muskulus stilofaring yang langsung dipersarafi oleh nervus glossofaringeal. 10

Gambar 2.2. Anatomi Otot Penyusun Faring (Dikutip dari Grevers, 2006)2.1.2. Laring

Laring merupakan suatu penghubung antara faring dan trakea. Laring berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago tiga berpasangan dan tiga tidak berpasangan.9 Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. Kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid dan beberapa tulang rawan. Tulang hiolid berbentuk huruf U, dimana bagian atasnya berhubungan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakan lidah. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kunikulata, kartilago tiroid. 12

Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid. Terdapat sepasang kartilago aritenoid yang terletak dekat permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata melekat pada kartilago aritenoid di daerah apex, sedangkan sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepiglotik.Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hioid (suprahioid), dan ada yang terletak di bawah tulang hioid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik yang suprahioid ialah m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan m.milohioid. Otot yang infrahioid ialah m.sternohioid, m.omohioid dan m.tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring ke atas. Otot-otot intrinsik laring ialah m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika,m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika, m.krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah m.aritenoid transversum, m.aritenoid oblik dan m.krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor (kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah) kecuali m.krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor (kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral. 12

Gambar 2.3. Anatomi Laring (Dikutip dari Hermani B & Hutaruk S, 2007)

Gambar 2.4. Otot penyusun Laring (Dikutip dari Hermani B & Hutaruk S, 2007)Pada laring terdapat pita suara asli ( plika vokalis ) dan pita suara palsu (plika ventrikularis). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima glotis, dan bidang antara plika ventrikularis kiri dan kanan disebut rima vestibuli. Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu : vestibulum laring/supraglotik (di atas plika ventrikularis), glotik, dan subglotik (di bawah plika vokalis). 12Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n. laringis superior dan n. laringis inferior. Nervus laringis superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak di atas m.konstriktor faring medial, di sebelah medial a.karotis interna dan eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang hioid, dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus. Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang dari n.vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan di bawahnya, sedangkan n.rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. 12Pendarahan laring terdiri dari 2 cabang, yaitu: 121. Arteri laringis superior, merupakan cabang dari arteri tiroid superior. Berjalan melewati bagian belakang membran tirohioid dan menembus membran ini untuk berjalan di submukosa dari dinding lateral dan lantai sinus piriformis untuk mendarahi mukosa dan otot-otot laring.

2. Arteri laringis inferior, merupakan cabang arteri tiroid inferior. Berjalan ke belakang sendi krikotiroid, lalu masuk laring melalui daerah pinggir bawah dari m. konstriktor faring inferior dan mendarahi mukosa dan otot laring.

Gambar 2.5. Anatomi Perdarahan dan Persarafan Laring (Dikutip dari Iro & Waldfahrer, 2006)

Gambar 2.6. Aliran darah dan Kelenjar Getah Bening Laring (Dikutip dari Hermani B & Hutaruk S, 2007)Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar dengan a. laringis superior dan inferior. Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vokal. Disini mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan vokal pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior. 122.1.3. Esofagus

Esofagus adalah tuba muskulara dengan panjang 9 sampai 10 inch, dengan diameter 1 inch, dimana esofagus berawal pada area terbawah laringofaring, melewati diafragma dan hiatus esofagus (lubang) pada torakal kesepuluh dan membuka ke arah lambung. 14 Esofagus adalah bagian daei saluran cerna yang menghubungkan hipofaring atau laringofaring dengan lambung yang mana bagian proksimalnya disebut introitus esofagus yang terletak setinggi batas bawah kaertilago krikoid dan setinggi vertebre servikal enam. Dalam perjalananya esofagus dari daerah servikal esofagus masuk ke dalam rongga torak, di dalam rongga torak, esofagus berada di mediastinum superior, antara trakea dan kolumna vertebrata, terus ke mediastinum posterior di belakang atrium kiri dan menembus diafragma setinggi vertebra torakal sepulu dengan jarak kurang lebih tiga sentimeter di depan vetrebra. Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen dan bersatu dengan lambung di daerah kardia setinggi vertebra torakal XI. 15

Gambar 2. 7 Anatomi Esofagus (Dikutip dari Grevers, 2006)Struktur dinding esofagus terdiri dari tiga lapis yang mana mukosa tersusun dari epitel skuamosa yang diatasnya dilapisi dengan lamina propria dan mukosa otot. Submukosa terbuat dari jaringan elastis dan fibrosa dan yang mana adalah lapisan terkuat dari dinding esofagus. Otot esofagus tersusun dari otot sirkuler pada sisi dalam dan otot longitudinal pada lapisan. Pada sepertiga tiga atas dari susunan otot esofagusterdiri dari otot luruik dan susuan dua pertiga bawah terdiri dari otot polos. Sfingter atas esofagus terbentuk dari otot krikofaringeus dengan muskulus konstriktor faring inferior dan serabur dari dinding esofagus. Sfingter esofagus bawah tidak terlalu jauh berbeda dengan struktur anatomi sfingter esofagus atas. Namun sfingter esofagus bawah tidak mempunyai lapisan serosa. 162.2. Definisi

Manifestasi dari penyakit refluks gastroesofagus di luar esofagus didefinisikan sebagai refluks ekstraesofagus (REE). Istilah Refluks lagringo Faring (RLF) adaalh REE yang menimbulkan manifestasi dari penyakit penyakit oral, faring, laring dan paru. Laryngopharyngeal reflux (LPR) atau refluks laringofaring adalah pergerakan retrograde dari isi lambung (asam dan enzim-enzim) ke laringofaring. (charles). Sehingga perlu diketahui adanya hubungan yang kompleks antara penyakit REE yang ditimbulkan oleh Penyakit refluks gastroesofagus, karena pasien REE sering di obati sebagia rinitis non alergi dengan sekret belakang hidung, rinofaringitis nonspesifik, sinusitis rekuren. Keluhan yang timbul akibat REE adalah keluhan tenggorokan terasa nyeri dan kering, panas di pipi, sensai ada rasa menyumbat (globulus sensation), kelainan laring dengan suara serak, batuk kronik, asma.82.3. Etiologi

Beberapa penyebab yang dapat menimbulkan LPR adalah sebagai berikut 8,17 : Retrograde refluks asam lambung atau bahan lainnya ( pepsin) atau keduanya ke esofagus proksimal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring dan laring.

Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang menyebabkan terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah, menyebabkan perubahan inflamasi pada laring dan faring. Defek pada enzim karbonat anhydrase isoenzyme III

2.4. Epidemiologi

Selama dekade terakhir ada peningkatan dan kepedulian terhadapat penyakit yang disebabkan oleh refluks asam yang terjadi secara retrograde ini. Pada penelitian yang di lakukan di amerika diperkirakan 75 juta penduduk diperkirakan menderita GERD, dimana 50% dari populasi ini menunjukan gejala LPR atau extraesophageal reflux (EER). 18Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi keluhan LPR. Kasus LPR 4-10% terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria, wanita, bayi, anak-anak hingga dewasa bisa mengalami LPR. LPR pada bayi dan anak sering terlewatkan. 5Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi keluhan LPR. Kasus LPR 4-10% terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria, wanita, bayi, anak-anak hingga dewasa bisa mengalami LPR. LPR pada bayi dan anak sering terlewatkan. 5Prevalensi variasi GERD dengan lokasi geografik menurut studi epidemiologi terhadpat lima belas penelitian didapatkan bahwa 8-27% pada populasi kelompok western mempunyai rasa terbakar pada ulu hati dan regurgitasi asam satu atau lebih perminggunya. Di asia sendiri di laporkan prevalensi cukup rendah yaitu 3-5 %. 172.5. Patofisiologi

Ada dua mekanisme yang dianggap sebagai penyebab terjadinya LPR akibar GERD, teori yang pertama mengatakan adanya kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan segmen esofagus atas yang berlanjut dengan kerusakan pada mukosa faring, laring, dan paru. Teori yang kedua mengenai pajanan asam esofagus distal yang merangsang reflek vagal, yang menyebabkan terjadinya batuk dan bronkospasme bronkus, batuk, sering meludah, sehingga menyebabkan perubahan inflamsi dari laring. 8Refluks laringofaring berbeda dengan Gastro esofageal reflux, dimana refluks laringofaring tidak menunjukkan gejala rasa terbakar di dada dan regurgitasi. Dimana ada beberapa agen yang bertanggung jawab menimbulkan munculnya gejala saluran nafas atas dan kelainan patologi pada laring yaitu HCL, pepsin, asam empedu dan tripsin. Hubungan dari masing-masing agen dalam patogenesis munculnya gejala tersebut saih dalam perdebatan. Pepsin yang dikobinasi kan dengan asam sering ditemukan dan menjadi agen yang paling banyak melukai dengan gejala yang spesifik pada lesi di laring. Pada penelitian yang dilakukan pada binatang dan secara invitro menunjukan secara bahwa pepsin dapat aktif dan menyebabkan kerusakan pada sel samapi Ph 6. Refluks dapat berupa gas, cairan atau gabungan keduanya. Paling banyak refluks faringeal adalah berupa gas dengan penurunan pH yang umum terjadi pada pasien LPR. 17Sebetulnya pada saluran cerna sendiri terdapat mekanisme atau barrier pelindung untuk melawan refluks. Terdapat empat penghalang fisiologis yang melindungi saluran jalan napas bagian atas dari trauma akibat refluks, yaitu: spingter esofagus bawah, pembersihan asam dengan motor esofagus, resistensi jaringan mukosa esofagus, dan spingter esofagus atas. Pengaktivasi produksi pompa bikarbonat pada ruangan ekstraseluler pada esofagus, tetapi tidak ada di dalam laring sehingga tidak dapat bertahan terhadap asam. Namun penelitian terbaru menemukan bahwa jaringan laring juga diproteksi dari kerusakan refluks oleh Karbonat anhidrase yang dihasilkan oleh mukosa laring posterior. Karbonat anhidrase mengkatalisis hidrasi karbon dioksida menghasilkan bikarbonat. Bikarbonat ini berfungsi untuk menetralkan asam yang terdapat pada cairan refluks. Enzim karbonik anhidrase diekskresikan tinggi oleh mukosa faring yang ditemukan pada biopsi spesimen pasien LPR. 17Ada dua mekanisme yang dianggap sebagai penyebab terjadinya LPR akibar GERD, teori yang pertama mengatakan adanya kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan segmen esofagus atas yang berlanjut dengan kerusakan pada mukosa faring, laring, dan paru. Teori yang kedua mengenai pajanan asam esofagus distal yang merangsang reflek vagal, yang menyebabkan terjadinya batuk dan bronkospasme bronkus, batuk, sering meludah, sehingga menyebabkan perubahan inflamsi dari laring. 8Pada kenyataan kedua teori tersebut memeran peranan penting dan berhubungan. Gejala yang muncul akibat dari kerusakan langsung pada mukosa yang disebabkan kerusakan pada silia yang menimbulkan stasis dari mukus, chronic throat clearing dan batuk. Namum biasanya gejala pada esofagus tidak muncul ini disebabkan karena epitel respirasi bersilia pada laring lebih sensitif terhadap asam. Namun waktu dan frekuensi untukmenimbulkan penyakit ini masih diperdebatkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Koufman dan kawan- kawan bahwa sekali episode dari refluks cukut untuk menyebabkan kerusakan pada mukosa hal ini dapat disimpulkan setelah percobaan yang dilakukan terhadap binatang dimana pada penelitian ini dia memberikan paparan asam dan pepsin sebanyak tiga kali seminggu pada bagian aritenoid dan itu cukup membuat kerusakan pada mukosanya. 172.6 Gejala Klinis

Gejala klinis dari LPR bervariasi, namun gejala yang paling sering di jumpai adalah suara serak. Selain suara serak, gejala lainnya merupakan disfonia, throat clearing, globus pharingeus, disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk kronik, sensasi penuh pada tenggorokan yang tidak hilang dengan menelan.19,20

Gambar 2.8 Manifestasi klinik laryngipharyngeal reflux (Dikutip dari: Tarafder et al, 2012)

Pada pemeriksaan laring pada LPR akan ditemukan gambaran eritema, edema serta gambaran cobblestone dengan adanya pseudosulkus vokalis dengan gambaran ulkus, nodul, polip, leukoplakia dan kerusakan ventrikular band.3

2.7 Diagnosis

Diagnosa LPR ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada sebuah survei internasional yang dilakukan oleh American Bronchoesophagological Association ditemukan dari anamesis pasien yang dicurigai mengalami LPR mengeluhkan suara serak (95%), throat clearing (98%), batuk-batuk kronik (97%) dan globus pharingeus (95%).5 Terdapat dua bentuk penilaian yang digunakan dalam menentukan diagnosis LPR, yaitu reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS). Penilaian skor RSI dikembangkan oleh Belafsky et al pada tahun 2002, sistem RSI ini didasarkan oleh 9 pertanyaan yang diberikan pada pasien, setiap pertanyaan memiliki skala dari 0 sampai 5. Nilai 0 menampilkan tidak ada masalah sedangkan nilai 5 diartikan sebagai masalah berat. Jumlah total dari RSI adalah 45 dan dikatakan sugestif LPR apabila skor RSI >13.7,20Tabel 2.1 Reflux Score Index

(Dikutip dari: Tarafder et al, 2012) Pada RFS, skor dinilai berdasarkan delapan temuan fisik yang berhubungan dengan gejala LPR. Penilaian diukur berdasarkan grading dengan jumlah total skor 26. Apabila skor yang ditemukan lebih dari 7 maka sugestif untuk terjadinya LPR.7,20 Tabel 2.2 Reflux Finding Score

(Dikutip dari: Tarafder et al, 2012)

2.8 Diagnosis Banding

Ada beberapa diagnosis banding dari LPR yaitu laringitis akut atau kronik, stenosis laring serta tumor ganas pada laring. Pada laringitis akut, terjadi infeksi pada laring yang tidak lebih dari 3 minggu dan biasanya dapat sembuh sendiri. Penyebab dari laringitis akut ini sendiri adalah infeksi yang biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas atas.3Tabel 2.3 Perbedaan gejala klinik LPR dan penyebab suara serak lainnya

(Dikutip dari : Ford, 2005)2.9 Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai LPR, yaitu:

1. Laringoskopi Pemeriksaan dengan laringoskopi untuk LPR terbagi menjadi dua yaitu laringoskopi indirek (indirect laryngoscopy/IL) dan laringoskopi fleksibel (flexible fibreobtic laryngoscopy). Pada pemeriksaan ini biasanya akan ditemukan hipertrofi dari komissura posterior, edema dan eritema pada plica vokalis dan kerusakan pada ventrikular band. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menilai Reflux Finding Score. Adanya edema dan eritema pada plika vokalis, walaupun bukan tanda patogmonis namun sudah dapat menguatkan adanya tanda peradangan pada laring. Temuan lain yang sering adalah granuloma, sekitar 65-75% pasien yang terkonfirmasi LPR dengan monitoring pH akan tampak granuloma pada pemeriksaan laringoskopi. Gambaran pseudokulkus juga merupakan salah temuan fisik lain yang sering, sekitar 90% pasien yang terkonfirmasi LPR memperlihatkan gambaran pseudokulkus.5,20

Gambar 2.9 Gambaran granuloma dan pseudoculcus (tanda panah) pada pemeriksaan laringoskopi (dikutip dari: Ford, 2005)

2. Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi biasanya tidak dilakukan saat awal, namun pemeriksaan ini dapat menilai derajat beratnya dari perubahan mukosa pada esofagus. Pada LPR hanya 30% temuan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi.8,21

3. 24-hour pH MonitoringPemeriksaan pH 24 jam ini atau Prolonged Ambulatory pH Monitoring berfungsi untuk menilai refluks yang terjadi pada kasus GERD maupun LPR. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan apabila pengobatan tidak memberikan respon yang baik dan gejala yang ditampilkan cukup berat. Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk LPR karena dapat membedakan refluks asam yang terjadi pada sfingter esofagus atas ataupun bawah.8,20,21Pemeriksaan ini menggunakan dua elektroda yang dapat memantau perubahan pH, elektroda pertama di pasang 5 cm di bawah sfingter esofagus bawah dan elektroda kedua di letakkan pada laringofaring (hipofaring). Elektroda tersebut tersambung pada komputer yang akan merekam setiap perubahan dari pH, setelah pemeriksaan selama 24 jam, hasil data tersebut akan di analisa.20

Gambar 2.10 Gambaran 24-hour pH Monitoring (dikutip dari: Tarafder et al, 2012)4. Pemeriksaan Videotoboskopi

Pemeriksaan videotoboskopi merupakan pemeriksaan dengan menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang di aktivasi oleh pergerakan pita suara, gambaran ini dapat dilihat dalam bentuk lambat. Pada hampir seluruh pasien yang mengeluhkan masalah pada suaranya saat diperiksan dengan pemeriksaan videotoboskopi ditemukan adanya tanda-tanda dari gejala LPR. Selain dalam kriteria diagnostik, pemeriksaan ini juga dapat memantau perkembangan penyakit LPR yang sedang dala pengobatan, fungsinya untuk menilai apakah terapi yang diberikan antireflux yang diberikan berhasil atau tidak.21,22

Gambar 2.11 Gambaran edema eritonoid pada pemeriksaan videostoboskopik (dikutip dari: Raghunandhan, 2011)

Gambar 2.12 Hipertrofi dan leukoplakia pada plika vokalis pada pemeriksaan videostroboskopik (dikutip dari: Raghunandhan, 2011)2.10 Tatalaksana

Terdapat algoritma penatalaksanaan LPR, namun penatalaksanaan LPR tidak lepas dari 3 kategori utama yaitu edukasi pasien dan perubahan pola hidup, terapi medikomentosa serta terapi bedah. Hal yang perlu diperhatikan bahwa penyakit ini merupakan penyakit dengan kondisi kronik yang berulang sehingga pengobatan yang diberikan tidak akan menghasilkan proses penyembuhan yang cepat.8,10

Gambar 2.13 Algoritma penatalaksanaan LPR (Dikutip dari: Ford, 2005) 1. Edukasi pasien dan Perubahan pola hidup

Pemeriksa harus menasehati pasien mengenai hal-hal yang dapat meningkatkan aliran refluks asam lambung. Pasien sebaiknya mengurangi atau hentikan merokok, kurangi berat badan, tidak makan 2-3 jam sebelum tidur, tidak memakai pakaian yang ketat atau ikat pinggang yang terlalu ketat serta meninggikan kepala tempat tidur. Pasien juga harus diingatkan untuk memodifikasi dietnya, seperti tidak memakan makanan yang dapat mengiritasi lambung dan esofagus seperti kopi, minuman berkarbonasi, coklat, jus citrus, alkohol, tomat ataupun makanan berlemak.8,20 2. Terapi Medikamentosa

Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI atau Proton-pump Inhibitor, obat-obat antagonis H2, obat-obat prokinetik dan obat-obat proteksi sel atau cytoprotective. Pengobatan dengan PPI dipertimbangkan sebagai pengobatan utama dalam terapi medikamentosa ini. PPI yang biasanya diberikan adalah Omeprazole dengan dosis 20mg perhari (terapi rumatan). Obat lain yang dapat dipilih seperti Lanzoprazole dengan dosis 30mg per hari. Pengobatan PPI ini diberikan selama 6 bulan sebelum di follow up kembali apakah pengobatan berhasil atau tidak.5,8Obat lain yang sering digunakan adalah ranitidin yang merupakan golongan antagonis reseptor H2 dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali sehari. Obat proteksi yang sering diberikan adalah antasid sedangkan obat prokinetik yang sering dipakai adalah metoclopramid dengan dosis 5-10 mg dan diminum 4 kali dalam sehari. Obat proteksi dapat menetralisasi refluks asam serta mengurangi kerusakan dari mukosa serta mencegah aktivitas pepsin.8 3. Terapi BedahApabila modifikasi gaya hidup serta terapi medikamentosa tidak bisa lagi mengobati LPR maka pilihan terakhir adalah terapi bedah. Ada beberapa operasi bedah yang dikenal seperti Nissen fundoplication (komplit) atau Toupet atau Bore (parsial). Tujuan dari operasi ini adalah untuk memperbaiki kompetensi dari sfingter esofagus bawah (SEB). Laparoscopic Nissen Fundoplication adalah terapi bedah standar yang aman dan efektif dalam pengobatan LPR. 5,82.11 Komplikasi

Pada anak-anak, komplikasi LPR sering mengakibatkan masalah pada saluran pernafasan seperti penyempitan di bawah pita suara atau subglotis stenosis, ulkus dan suara serak. LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba eustachius yang akan mengakibatkan otitis media akut dan otitis media efusi. Pada orang dewasa, LPR dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan mengakibatkan karsinoma esofagus.3,20

BAB 3

KesimpulanRefluks lagringo Faring (RLF) adalah REE yang menimbulkan manifestasi dari penyakit penyakit oral, faring, laring dan paru yang disebabkan oleh pergerakan retrograde dari isi lambung (asam dan enzim-enzim) ke laringofaring. Ada dua teori mengenai patogenesis, teori yang pertama mengatakan adanya kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan segmen esofagus atas yang berlanjut dengan kerusakan pada mukosa faring, laring, dan paru. Teori yang kedua mengenai pajanan asam esofagus distal yang merangsang reflek vagal, yang menyebabkan terjadinya batuk dan bronkospasme bronkus, batuk, sering meludah, sehingga menyebabkan perubahan inflamsi dari laring.

Gejala klinis yang dari LPR bervariasi, yaitu suara serak, disfonia, throat clearing, globus pharingeus, disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk kronik, sensasi penuh pada tenggorokan yang tidak hilang dengan menelan. Sehingga untuk menegakan diagnosis dari LPR harus berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Selain itu untuk menegakan diagnosis LPR dapat digunakan reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS). Pada pemeriksaan laring pada LPR akan ditemukan gambaran eritema, edema serta gambaran cobblestone dengan adanya pseudosulkus vokalis dengan gambaran ulkus.Penatalaksanaan LPR tidak lepas dari edukasi pasien dan perubahan pola hidup, terapi medikomentosa serta terapi bedah. Pada anak-anak, komplikasi LPR sering mengakibatkan masalah pada saluran pernafasan seperti penyempitan di bawah pita suara atau subglotis stenosis, ulkus dan suara serak. LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba eustachius yang akan mengakibatkan otitis media akut. Pada orang dewasa, LPR dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan mengakibatkan karsinoma esofagus.DAFTAR PUSTAKA1. Spencer M. Laryngopharyngeal Reflux and Singers: Diabolus in Gula. Journal of Singing. 2006: 63(2):177-812. Smith J, Houghton L. The Oesephagus and Cough: Laryngo-pharyngeal Reflux, Microaspiration and Vagal Reflexes. Smith and Houghton Cough Journal. 2013: 9(12): 1-43. Amirlak B. Reflux Laryngitis. 2014 [Diakses pada 6 Oktober 2014]. Didapat dari: http://emedicine.medscape.com/article/864864-overview 4. Rees L, et al. The Mucosal Immune Response to Laryngopharyngeal Reflux. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 2008: 177: 1187-88.5. Ford C. Evaluation and Management of Laryngipharyngeal Reflux. JAMA. 2005: 294 (12): 1534-39.6. Diamond L. Laryngopharyngeal Reflux-Its Not GERD. Blue Ridge ENT. 2005: 18 (8): 1-37. Mattoo O, Muzaffar R, Mir A, Yousuf A, Charag A, Ahmad A. Laryngipharyngeal Reflux: Prospective Study Analyzing Various Nonsurgical Treatment Modalities for LPR. Interntional Journal of Phonosurgery and Laryngology. 2012: 2 (1): 5-78. Yunizaf M, Iskandar M. Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R, Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2007:303-099. Sloane E. Sistem Pernafasan: Anatomi Fungsional Saluran Pernafasan. Dalam: Widayastuti P, Penyunting. Anatomi & Fisiologi untuk Pemula. Jakarta. EGC: 2003 : 267-68.10. Hermani B, Rusmarjono. Odinofagia. Dalam : Soepardi EA, dkk (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007; hal 212-5

11. Grevers G.Oral Cavity and Pharynx: Anatomy, Physiology and Immunology of the Pharynx and Esophagus. In Basic Otorhinolaringy. Thieme: 2006: 98-100.12. Sloane E. Sistem Pencernaan: Rongga Oral, Faring, Esofagus. Dalam: Widayastuti P, Penyunting. Anatomi & Fisiologi untuk Pemula. Jakarta. EGC: 2003 : 285.13. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung dan Telinga Kepala dan Leher, edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007; hal 312.14. Iro H, waldfahrer F. Larynx and Trachea: Embryology, Anatomy, and Physiology of the Larynx and Trachea. In Basic Otorhinolaringy. Thieme: 2006: 338-4415. Soepardi EA, Esofagoskopi. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung dan Telinga Kepala dan Leher, edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007; hal 231-6.16. Patti MG, Herbella FA, and Korn M. Benign & Malignant Disorders of the Esophagus Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck. Lange: 2008:486.17. Andersson O. Laryngopharyngeal reflux-development and refinement of diagnostic tools. Sweden: Intellecta DocuSys AB. V. Frolunda. 2009; hal 1-75 18. Jecker P, Orloff LA, Mann WJ. Extraesophageal Refl ux and Upper Aerodigestive Tract Diseases. ORL 2005;67:18519119. Barry D, Vaezi M. Laryngpharyngeal Reflux: More Questions than Answers. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2010: 77 (5): 327-3320. Tarafder K, Datta P, Amin A, Chowdhury M, Tariq A, Das P. Laryngopharyngeal Reflux A New Paradigm of Airway Disease. Science Journal of Medicine and Clinical Trials. 2012: 1-521. Irfandy D. Laryngophryngeal Reflux. [Diakses pada tanggal 6 Oktober 2014]. Di dapat dari: http://repository.unand.ac.id/17718/1/laryngopharingeal%20reflux.pdf 22. Raghunandhan S, Nagasundaram J, Natarajan K, Prashant S, Karneswaran M. Videostroboscopy in Laryngopharyngeal Reflux Disorder. International Journal of Phonosurgery and Laryngology. 2011: 1(2): 52-56

1