67
71 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penentuan Lokasi 5.1.1. Location Quotient (LQ) Salah satu upaya menuju efisiensi ekonomi pembangunan sektor pertanian dalam arti luas, dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Sedangkan dari sisi permintaan, komoditas unggulan dicirikan oleh kuatnya permintaan di pasar baik pasar domestik maupun internasional (Syafaat dan Supena, 2000 dalam Hendayana, 2003). Kondisi sosial ekonomi yang dimaksud mencakup penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur misalnya pasar dan kebiasaan petani setempat Superioritas tersebut harus dapat diukur secara kuantitatif dalam kaitannya dengan komoditas lain dalam wilayah yang lebih luas. Diperlukan cara atau metode dalam menentukan apakah suatu komoditas tersebut mempengaruhi perekonomian wilayah setempat. Salah satu teori yang banyak dipakai dalam menentukan sektor basis dalam wilayah adalah Location Quotient (LQ). Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan. Berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) yang menggunakan data luas areal komoditas kelapa pada 6 kecamatan di wilayah Pesisir Kabupaten Lampung Barat, diketahui bahwa kelapa merupakan komoditas yang memiliki pengaruh besar dalam perekonomian wilayah. Hal ini terlihat bahwa dari 6 kecamatan terdapat 43 dari 85 (51 persen) desa Pesisir yang memiliki nilai LQ > 1, sedangkan sisanya (49) memiliki nilai LQ<1. Adapun uraian hasil analisis sebagai berikut: pada Kecamatan Bengkunat terdapat 10 desa (50 persen) yang memiliki nilai LQ>1, Kecamatan Pesisir Selatan terdapat 3 desa (30 persen)

Sabut Kelapa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sabut Kelapa

71

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penentuan Lokasi

5.1.1. Location Quotient (LQ)

Salah satu upaya menuju efisiensi ekonomi pembangunan sektor

pertanian dalam arti luas, dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas

yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran

maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh

superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi

sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Sedangkan dari sisi permintaan,

komoditas unggulan dicirikan oleh kuatnya permintaan di pasar baik pasar

domestik maupun internasional (Syafaat dan Supena, 2000 dalam Hendayana,

2003). Kondisi sosial ekonomi yang dimaksud mencakup penguasaan teknologi,

kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur misalnya pasar dan kebiasaan

petani setempat

Superioritas tersebut harus dapat diukur secara kuantitatif dalam kaitannya

dengan komoditas lain dalam wilayah yang lebih luas. Diperlukan cara atau

metode dalam menentukan apakah suatu komoditas tersebut mempengaruhi

perekonomian wilayah setempat. Salah satu teori yang banyak dipakai dalam

menentukan sektor basis dalam wilayah adalah Location Quotient (LQ).

Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan

dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor

kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif

atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.

Berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) yang menggunakan

data luas areal komoditas kelapa pada 6 kecamatan di wilayah Pesisir Kabupaten

Lampung Barat, diketahui bahwa kelapa merupakan komoditas yang memiliki

pengaruh besar dalam perekonomian wilayah. Hal ini terlihat bahwa dari 6

kecamatan terdapat 43 dari 85 (51 persen) desa Pesisir yang memiliki nilai LQ >

1, sedangkan sisanya (49) memiliki nilai LQ<1. Adapun uraian hasil analisis

sebagai berikut: pada Kecamatan Bengkunat terdapat 10 desa (50 persen) yang

memiliki nilai LQ>1, Kecamatan Pesisir Selatan terdapat 3 desa (30 persen)

Page 2: Sabut Kelapa

72

dengan nilai LQ>1, selanjutnya Kecamatan Pesisir Tengah desa dengan nilai LQ.1

berjumlah 9 desa (45 persen), Kecamatan Karya Penggawa 6 desa (60 persen)

yang memiliki nilai LQ>1, Kecamatan Pesisir Utara terdapat 11 desa ( (68 persen)

yang memiliki LQ>1 dan 4 desa (36 persen) pada Kecamatan Lemong yang

memiliki nilai LQ kelapa>1.

Sebagai daerah dengan mata pencaharian pokok penduduk bertumpu pada

sektor pertanian, peranan komoditas perkebunan lainnya seperti Kopi, Cengkeh,

Lada dan Kelapa Sawit di wilayah pesisir cukup dominan. Hal ini ditunjukkan

dengan nilai LQ>1 pada beberapa desa. Di Kecamatan Bengkunat, terdapat 8

desa yang memiliki nilai LQ>1 untuk komoditas Kopi, 6 desa untuk komoditas

Cengkeh, 5 desa untuk komoditas Lada dan 7 desa memiliki nilai LQ> 1 untuk

komoditas Kelapa Sawit.

Keberadaan komoditas Kopi, Lada, dan Cengkeh merupakan bentuk pola

budidaya masyarakat pesisir yang menggunakan sistem budidaya kebun campuran

dengan tanaman Damar atau dikenal dengan istilah Repong Damar. Tanaman

tersebut merupakan bagian dari usaha budidaya Damar yang tumbuh dengan baik

pada pola kebun campuran Kopi, Lada, Cengkeh dan tanaman buah-buahan

lainnya. Sedangkan Kelapa Sawit di Kecamatan Bengkunat merupakan

perkebunan perusahaan swasta PT. Karya Canggih Mandirutama (PT. KCMU),

yang mengusahakan perkebunan Kelapa Sawit dengan Pola Perkebunan Inti

Rakyat (PIR).

Kecamatan Pesisir Selatan nilai LQ>1 tanaman kelapa hanya terdapat

pada 3 desa, sedangkan tanaman Kopi terdapat 7 desa yang memiliki nilai LQ>1,

3 desa untuk tanaman Cengkeh, dan 5 desa untuk komoditas Lada serta 2 desa

untuk Kelapa Sawit. Seperti halnya Kecamatan Bengkunat, di kecamatan ini pola

pengusahaan tanaman perkebunan dengan sistem Repong Damar.

Peranan sektor perkebunan tidak begitu besar di Kecamatan Pesisir

Tengah, hal ini terbukti dengan nilai LQ>1 hanya terdapat pada beberapa desa

yaitu kelapa 8 desa, Kopi terdapat pada 4 desa, Cengkeh 5 desa, dan 3 desa untuk

tanaman Lada. Sedangkan tanaman Kelapa Sawit belum ada di Kecamatan ini.

Rendahnya peranan sektor perkebunan karena Kecamatan Pesisir Tengah

merupakan wilayah yang relatif lebih maju dari kecamatan lain dalam wilayah

Page 3: Sabut Kelapa

73

pesisir Kabupaten Lampung Barat. Hal ini disebabkan aktifitas ekonomi lebih

bertumpu pada sektor perdagangan komoditas pertanian, kehutanan, dan jasa.

Sebagai kecamatan yang memiliki jumlah desa paling sedikit, Karya

Penggawa, merupakan wilayah penyangga dan pemasok hasil perkebunan untuk

wilayah Pesisir Tengah. Berdasarkan hasil analisis LQ diketahui bahwa desa-desa

yang memiliki nilai LQ>1 untuk komoditas Kelapa terdapat pada 6 desa, Kopi

terdapat 1 desa, Cengkeh 1 desa dan 3 desa untuk komoditas Lada, sedangkan

Kelapa Sawit tidak terdapat di wilayah ini. Rendahnya peranan sektor

perkebunan terutama komoditas Kopi, dan Cengkeh karena sebagian wilayah ini

berada pada daerah hutan Taman Nasional dan pantai.

Kecamatan Pesisir Utara merupakan daerah perbukitan, dimana usaha

budidaya pertanian berada di sekitar hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Budidaya pertanian di kecamatan ini merupakan campuran antara tanaman

perkebunan dan kehutanan yaitu Damar. Berdasarkan hasil analisis LQ diketahui

bahwa kontribusi beberapa komoditi antara lain: Kelapa dengan nilai LQ>1

terdapat pada 12 desa, kopi dengan 3 desa, Cengkeh terdapat pada 12 desa, dan

Lada terdapat pada 8 desa. Peranan sektor perkebunan sangat besar karena

terdapat satu pulau yaitu Pulau Pisang dimana mata pencaharian penduduk sangat

tergantung pada komoditas Kelapa dan Cengkeh serta perikanan tangkap.

Sedangkan wilayah pegunungan Kecamatan Pesisir Utara didominasi oleh

perkebunan campuran Cengkeh, Kopi dan Damar.

Kecamatan Lemong merupakan wilayah yang berada di sisi paling Utara

Pesisir Kabupaten Lampung Barat dan berbatasan langsung dengan Propinsi

Bengkulu. Wilayah pantai dengan bagian daratan berupa punggung Bukit Barisan

Selatan, maka mata pencaharian masyarakat bergantung pada sektor perkebunan.

Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa terdapat 4 desa dengan nilai LQ>1, 4 desa

untuk komoditas kopi, 5 desa untuk komoditas Cengkeh, dan 5 desa untuk

komoditas Lada. Sedangkan Kelapa Sawit belum diusahakan di wilayah ini. Pada

kecamatan Lemong dan Pesisir Utara produksi hasil perkebunan sulit terdata

secara detil karena banyak lahan yang merupakan kawasan hutan lindung dan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Page 4: Sabut Kelapa

74

Secara lengkap hasil analisis LQ komoditas kelapa berdasarkan indeks luas panen

dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini.

Tabel 19. Hasil analisis Location Quotient desa-desa pesisir Kabupaten Lampung

Barat. No NAMA DESA KELAPA KOPI CENGKEH LADA K. SAWIT

KECAMATAN BENGKUNAT

1 W H BELIMBING 1.01 1.47 - 2.10 -

2 BANDAR DALAM 4.43 1.33 1.00 0.80 -

3 KOTA JAWA 0.94 1.40 0.15 2.19 -

4 PENYANDINGAN 0.67 1.33 - 2.39 -

5 SUKAMARGA 0.01 0.97 - 1.62 0.82

6 KOTA BATU 4.08 0.74 11.07 0.40 -

7 PARDASUKA 0.52 0.78 0.30 0.62 1.59

8 RAJABASA 0.28 1.13 12.22 0.37 0.62

9 MULANG MAYA 0.59 2.95 2.20 0.32 0.01

10 NRATU NGARAS 2.94 0.79 13.62 0.48 -

11 G CAHYA KUNINGAN 0.92 0.72 0.27 0.18 1.83

12 N.R. NGAMBUR 1.40 0.14 0.04 0.13 2.18

13 PEKONMON 1.70 0.16 0.11 0.10 2.11

14 SUMBER AGUNG 6.56 0.36 - 0.18 0.66

15 PAGAR BUKIT 0.44 0.65 1.15 0.52 1.71

16 TANJUNG KEMALA 0.64 1.29 0.57 0.53 1.22

17 ULOK MUKTI 0.75 1.29 0.57 0.53 1.22

18 SUKA NEGARA 1.20 0.56 0.45 1.20 0.80

19 MUARA TEMBULIH 1.70 0.16 0.11 0.10 -

20 SUKA BANJAR 1.20 0.59 0.60 0.70 -

KECAMATAN PESISIR SELATAN

21 MARANG 0.50 0.22 0.49 0.47 1.57

22 WAY JAMBU 0.75 0.51 - 1.53 1.26

23 BIHA 1.54 0.71 0.25 0.81 0.77

24 TANJUNG SETIA 2.53 1.41 2.65 - -

25 PAGAR DALAM 0.00 4.44 - - -

26 TANJUNG JATI 0.41 6.27 - - -

27 SUMUR JAYA 1.23 2.21 - 8.42 -

28 PELITA JAYA 0.49 4.80 5.33 4.17 -

29 SUKARAME 0.80 3.60 - 6.84 -

30 N.R TENUMBANG 0.45 4.42 13.10 4.80 -

KECAMATAN PESISIR TENGAH

31 BALAI KENCANA 1.23 0.97 0.60 1.01 -

32 WAY SULUH 1.32 1.57 0.36 0.27 -

33 WAY NAPAL 1.65 - 0.43 - -

34 PADANG HALUAN 1.88 - - - -

35 LINTIK 0.01 0.28 0.53 0.71 -

36 WALUR 1.88 - - - -

37 PEMERIHAN 1.21 0.92 0.70 0.79 -

38 WAY REDAK 1.43 1.42 0.27 - -

39 SERAY 0.16 - 2.48 2.94 -

40 KAMPUNG JAWA 1.88 - - - -

Page 5: Sabut Kelapa

75

Tabel 19 (lanjutan)

41 RAWAS 0.15 - 2.32 3.74 -

42 PASAR KRUI - - - - -

43 SUKANEGARA 0.17 1.45 2.08 - -

44 PAHMUNGAN 0.14 1.93 2.43 - -

45 PAJAR BULAN - - - - -

46 BUMIWARAS - - - - -

47 PENGGAWA V ILIR - - - - -

48 BANJAR AGUNG 0.63 - 2.28 - -

49 ULU KRUI 1.21 0.92 0.70 0.79 -

50 GUNUNG KEMALA 0.13 6.25 0.48 1.44 -

KECAMATAN KARYA PENGGAWA

51 MENYANCANG 2.75 0.13 0.16 0.87 -

52 PENGGAWA V TENGAH 2.87 0.06 0.23 0.39 -

53 LAAY 2.14 0.45 0.62 0.14 -

54 PENGGAWA V ULU 1.97 0.60 0.32 1.46 -

55 PENENGAHAN 0.00 0.98 0.79 3.33 -

56 WAY NUKAK 1.82 0.25 0.91 1.40 -

57 KEBUAYAN 2.18 0.45 0.55 0.25 -

58 WAY SINDI 0.08 1.49 1.44 0.87 -

KECAMATAN PESISIR UTARA

59 WALUR 0.62 1.20 0.50 1.54 -

60 PADANG RINDU 3.61 0.03 0.41 0.46 -

61 KURIPAN 2.88 0.03 1.86 1.50 -

62 NEGERI RATU 2.74 0.16 1.34 1.70 -

63 KERBANG LANGGAR 0.00 1.24 1.23 2.52 -

64 KERBANG DALAM 0.41 0.52 4.28 3.55 -

65 BALAM 1.52 0.55 2.03 1.80 -

66 WAY NARTA 1.31 0.37 3.39 2.50 -

67 KOTA KARANG 2.17 0.29 2.34 1.03 -

68 BATURAJA 0.21 1.48 0.23 0.64 -

69 SUKAMARGA 1.97 - 5.08 - -

70 PEKON LOK 1.43 - 6.47 - -

71 BANDAR DALAM 1.54 - 6.18 - -

72 PASAR PULAU PISANG 1.31 - 6.77 - -

73 SUKADANA 1.40 - 6.53 - -

74 LABUHAN 1.31 - 6.77 - -

KECAMATAN LEMONG

75 PENENGAHAN 0.83 0.93 4.30 1.04 -

76 BANDAR PUGUNG 1.79 0.86 0.78 1.00 -

77 PAGAR DALAM 0.52 1.44 0.65 0.60 -

78 BAMBANG 0.93 0.61 1.13 1.48 -

79 MALAYA 0.00 0.61 1.16 1.58 -

80 CAHAYA NEGERI 0.17 1.26 0.26 0.90 -

81 LEMONG 0.80 1.14 0.60 0.88 -

82 WAY BATANG 5.32 0.49 0.47 0.66 -

83 TANJUNG SAKTI 3.77 0.58 1.08 0.88 -

84 TANJUNG JATI 3.11 0.61 1.39 0.98 -

85 RATA AGUNG 0.03 1.08 0.55 1.13 -

Page 6: Sabut Kelapa

76

Gambaran secara spasial desa-desa lokasi penelitian menunjukkan

kecenderungan pengelompokan (klaster) wilayah yang memiliki nilai LQ>1. Di

Kecamatan Bengkunat desa-desa yang memiliki nilai LQ>1 yaitu: Way Haru dan

Bandar Dalam merupakan desa yang bersebelahan. Desa-desa lain yang memiliki

nilai LQ>1 seperti Kota Batu, Negeri Ratu Ngaras, Negeri Ratu Ngambur, Pekon

Mon dan Sumber Agung juga merupakan lokasi yang secara geografis berada

dalam jarak yang berdekatan. Demikian juga dengan Sukanegara, Muara

Tembulih dan Suka Banjar merupakan desa-desa yang berdekatan.

Kecamatan Pesisir Selatan terdapat 3 desa yang memiliki nilai LQ>1

yaitu: Biha, Tanjung Setia dan Sumur Jaya, yang berdekatan secara geografis satu

sama lainnya. Kecamatan Pesisir Tengah, terdapat beberapa desa yang memiliki

nilai LQ>1 yaitu: Balai Kencana, Way Suluh, Way Napal, Padang Haluan, Walur,

Pemerihan, Way Redak, dan Kampung Jawa secara spasial merupakan desa-desa

yang berdekatan satu sama lain, sedangkan desa Ulu Krui berada pada lokasi yang

agak berjauhan dengan desa-desa lainnya. Pada Kecamatan Karya Penggawa 6

dari 8 desa yang memiliki nilai LQ>1, secara spasial berada dalam jarak yang

berdekatan.

Di lain pihak di Kecamatan Pesisir Utara, 3 desa yang merupakan sentra

Kelapa yaitu Balam, Kota Karang dan Way Narta secara geografis berdekatan

satu sama lain. Desa Kuripan, Negeri Ratu dan Kerbang Langgar juga memiliki

jarak yang saling berdekatan. Sedangkan 6 desa penghasil Kelapa lainnya yaitu:

Pekon Lok, Sukamarga, Labuhan, Pasar Pulau Pisang, Sukadana dan Bandar

Dalam adalah desa-desa di Pulau Pisang. Demikian juga dengan desa-desa di

Kecamatan Lemong yang memiliki nilai LQ>1, terdapat 3 desa yang berdekatan

yaitu: Way Batang, Tanjung Sakti dan Tanjung Jati, sedangkan Bandar Pungung

berada pada wilayah yang relatif agak jauh dengan ketiga desa di atas.

Pola penyebaran komoditas perkebunan, yang cenderung berdekatan

secara administratif disebabkan oleh perluasan areal komoditas sejenis banyak

diusahakan secara turun temurun. Secara lengkap tampilan spasial desa-desa

lokasi penelitian yang memiliki nilai LQ>1 disajikan pada gambar 5.

Page 7: Sabut Kelapa

77

Gambar 5. Hasil analisis Location Quotient (LQ)

Page 8: Sabut Kelapa

78

5.1.2. Analisis Skalogram

Analisis skalogram merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi

pusat pertumbuhan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya, dengan

demikian dapat ditentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas

pelayanan suatu wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan

pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang akan menjadi

daerah belakang (hinterland)

Lampung Barat merupakan salah satu daerah Kabupaten dalam wilayah

Propinsi Lampung yang berada di pantai barat. Keberadaan wilayah yang hampir

78 persen merupakan kawasan lindung ini menjadikan Kabupaten Lampung Barat

mengalami hambatan dalam pembangunan infrastruktur. Topografi yang berbukit

dengan kawasan hutan yang luas membuat banyak desa memiliki kekurangan

dalam hal sarana dan prasarana fisik.

Berdasarkan hasil analisis skalogram diketahui bahwa dari 85 desa di

wilayah Pesisir yang menjadi lokasi penelitian diketahui hanya terdapat 6 desa (7

persen) yang memiliki hirarki wilayah 1 atau berkembang. Adapun desa-desa

tersebut berada dalam wilayah Kecamatan Bengkunat 4 desa, Kecamatan Pesisir

Selatan 1 desa dan 1 desa berada di Kecamatan Pesisir Tengah. Sedangkan

Kecamatan lain seperti Karya Penggawa, Pesisir Utara dan Lemong, berdasarkan

hasil analisis tidak terdapat desa dengan hirarki 1.

Desa-desa yang memiliki hirarki 2 atau relatif berkembang berjumlah 26

desa (31 persen) antara lain di Kecamatan Bengkunat terdapat 7 desa, Pesisir

Selatan 3 desa, Pesisir Tengah 6 desa, Karya Penggawa 3 desa, Pesisir Utara 4

desa dan Kecamatan Lemong 2 desa. Sedangkan sisanya atau 53 desa (62,

persen) merupakan wilayah yang berhirarki 3 atau belum berkembang. Adapun

desa-desa yang memiliki hirarki 3 yaitu Kecamatan Bengkunat 9 desa, Pesisir

Selatan 6 desa, Pesisir Tengah 13 desa, Karya Penggawa 3 desa, Peisir Utara dan

Lemong masing-masing 12 dan 9 desa.

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa beberapa desa yang memiliki

hirarki 1 merupakan ibukota kecamatan, seperti halnya Biha yang merupakan

ibukota Kecamatan Pesisir Selatan, Pasar Krui adalah ibu kota Kecamatan Pesisir

Tengah dan Pardasuka yang merupakan ibukota Kecamatan Bengkunat.

Page 9: Sabut Kelapa

79

Sedangkan ibukota Kecamatan Karya Penggawa, Pesisir Utara dan Lemong

masing-masing memiliki hirarki 2.

Desa Pagar Bukit dan Sumber Agung di Kecamatan Bengkunat memiliki

hirarki 1, karena merupakan pusat aktifitas perdagangan dan adanya perusahaan

perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Bengkunat, sedangkan desa

Penyandingan memiliki hirarki 1 karena berbatasan langsung dengan Kabupaten

Tanggamus, dimana desa ini merupakan pusat perdagangan desa-desa sekitar

seperti Way Haru, Bandar Dalam, Sukamarga dan desa-desa dalam Kabupaten

Tanggamus yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lampung Barat.

Dengan demikian adalah wajar bila fasilitas tersedia karena aktifnya pergerakan

kegiatan perekonomian setempat.

Menurut Rustiadi et al. (2006), sarana penunjang sangat diperlukan karena

menyangkut lokasi produksi, ditribusi dan pemasaran produk atau komoditi. Pada

kenyataannya sarana penunjang tidak menyebar secara merata dalam satu sistem

ruang, tetapi penyebarnnya tergantung pada permintaan dan permintaan sangat

tergantung pada konsentrasi penduduk. Keadaan ini mengakibatkan timbulya

hirarki pusat-pusat pelayanan.

Hirarki dari pusat pelayanan yang lebih tinggi memiliki sarana pelayanan

yang lebih banyak dan lebih beragam dari pusat pelayanan yang berhirarki lebih

rendah (Rustiadi et al 2006). Hirarki tidak selalu sama dengan hirarki

administratif. Adanya hirarki secara teoritis mencerminkan adanya perbedaan

masa, dimana hirarki yang lebih tinggi mempunyai masa yang lebih besar

daripada yang berhirarki lebih rendah.

Keberadaan fasilitas pendukung dalan rencana lokasi industri sangat

penting karena merupakan kebutuhan primer masyarakat dan wajar harus tersedia,

demi menunjang aktifitas masyarakat sekitar lokasi industri. Satu hal yang

penting adalah bahwa masyarakat sekitar lokasi industri akan menanggung

dampak lingkungan dari aktifitas industri. Secara lengkap gambaran hirarki desa

dalam lokasi penelitian disajikan pada tabel 20 berikut ini.

Page 10: Sabut Kelapa

80

Tabel 20. Hasil analisis Skalogram desa-desa pesisir Kabupaten Lampung Barat.

No

Nama Desa

Jumlah

Penduduk

Luas

Desa (Ha)

Total

Fasilitas

Jumlah Jenis

Fasilitas

Hierarki

Wilayah

KECAMATAN BENGKUNAT

1 PENYANDINGAN 2213 960 81.00 26 1

2 PAGAR BUKIT 3711 11008 82.00 27 1

3 PARDA SUKA 2304 7570 84.00 27 1

4 SUMBER AGUNG 1640 7252 34.00 25 1

5 WAY HARU 2888 13550 39.00 18 2

6 BANDAR DALAM 3633 2626 39.00 16 2

7 TANJUNG KEMALA 2550 11550 67.00 20 2

8 G CAHYA KUNINGAN 4490 3215 42.00 21 2

9 N RATU NGAMBUR 2010 2041 64.00 24 2

10 ULOK MUKTI 2860 956 42.00 15 2

11 SUKA BANJAR 2442 1140 43.00 15 2

12 KOTA JAWA 3717 15160 66.00 14 3

13 SUKAMARGA 4105 14400 41.00 14 3

14 RAJA BASA 1201 5413 21.00 11 3

15 MULANG MAYA 772 9023 24.00 13 3

16 NEGERI RATU NGARAS 2337 13500 24.00 10 3

17 KOTA BATU 1520 7000 16.00 10 3

18 PEKON MON 3422 6676 39.00 14 3

19 SUKA NEGARA 1136 1264 29.00 13 3

20 MUARA TEMBULIH 727 1211 10.00 8 3

KECAMATAN PESISIR SELATAN

21 BIHA 4770 2526 117.00 31 1

22 MARANG 4468 4512 98.00 23 2

23 WAY JAMBU 3678 18590 72.00 22 2

24 SUMUR JAYA 1455 9313 42.00 17 2

25 TANJUNG SETIA 1364 6680 21.00 14 3

26 PAGAR DALAM 608 2165 13.00 8 3

27 TANJUNG JATI 332 2165 15.00 12 3

28 PELITA JAYA 1455 9313 31.00 10 3

29 SUKARAME 798 5052 10.00 9 3

30 NR. TENUMBANG 2125 15349 44.00 12 3

KECAMATAN PESISIR TENGAH

31 PASAR KRUI 8598 546 207.00 31 1

32 BALAI KENCANA 1720 984 32.00 18 2

33 WAY REDAK 797 393 23.00 16 2

34 SERAY 1300 492 27.00 16 2

35 KAMPUNG JAWA 2096 345 34.00 22 2

36 RAWAS 1193 464 30.00 15 2

37 ULU KRUI 2833 1803 33.00 22 2

38 WAY SULUH 1505 600 14.00 10 3

39 WAY NAPAL 860 508 17.00 11 3

40 PADANG HALUAN 665 264 19.00 13 3

41 LINTIK 1509 328 26.00 13 3

42 WALUR 526 437 37.00 11 3

Page 11: Sabut Kelapa

81

Tabel 20. (lanjutan)

43 PEMERIHAN 632 513 20.00 12 3

44 SUKANEGARA 840 328 18.00 10 3

45 PAHMUNGAN 976 923 29.00 12 3

46 PAJAR BULAN 380 219 15.00 9 3

47 BUMIWARAS 401 153 17.00 11 3

48 PENGGAWA V ILIR 1292 387 33.00 14 3

49 BANJAR AGUNG 441 164 19.00 9 3

50 GUNUNG KEMALA 2340 1327 53.00 14 3

KECAMATAN KARYA PENGGAWA

51 LAAY 1260 492 34.00 16 2

52 PENENGAHAN 2667 1530 53.00 15 2

53 KEBUAYAN 839 392.5 23.00 15 2

54 WAY SINDI 4409 1913 96.00 20 2

55 MENYANCANG 1160 333 21.00 13 3

56 P. LIMA TENGAH 1047 546 26.00 9 3

57 PENGGAWA LIMA ULU 1380 130.5 26.00 12 3

58 WAY NUKAK 1378 437 21.00 10 3

KECAMATAN PESISIR UTARA

59 KURIPAN 876 2923 42.00 22 2

60 NEGERI RATU 1058 3080 39.00 19 2

61 PASAR PULAU PISANG 849 447 28.00 18 2

62 LABUHAN 737 516 29.00 19 2

63 WALUR 921 4280 32.00 11 3

64 PADANG RINDU 800 2980 23.00 13 3

65 KERBANG LANGGAR 658 3040 20.00 12 3

66 KERBANG DALAM 650 2005 21.00 12 3

67 BALAM 788 2880 19.00 10 3

68 WAY NARTA 402 2615 11.00 7 3

69 KOTA KARANG 918 2704 30.00 17 3

70 BATURAJA 668 2713 20.00 11 3

71 SUKAMARGA 166 779 11.00 10 3

72 PEKON LOK 331 200 18.00 9 3

73 BANDAR DALAM 419 152 18.00 9 3

74 SUKADANA 473 156 15.00 10 3

KECAMATAN LEMONG

75 PENENGAHAN 2222 4561 39.00 17 2

76 LEMONG 3330 1287 42.00 15 2

77 BANDAR PUGUNG 706 2962 18.00 11 3

78 PAGAR DALAM 1176 3209 15.00 11 3

79 BAMBANG 729 2463 22.00 9 3

80 MELAYA 2221 3222 31.00 11 3

81 CAHYA NEGERI 960 7513 28.00 11 3

82 WAY BATANG 782 2556 16.00 8 3

83 TANJUNG SAKTI 213 2334 10.00 9 3

84 TANJUNG JATI 381 2773 12.00 9 3

85 RATA AGUNG 2026 1056 45.00 14 3

Jumlah fasilitas 139,022 292,578 2,926.00 1,206.00

Jumlah desa yang memiliki fasilitas 84.00 84.00

Page 12: Sabut Kelapa

82

Secara spasial sebaran desa-desa berdasarkan hirarki wilayah

menunjukkan bahwa desa-desa dengan hirarki 1 cenderung mengelompok. Pada

wilayah Kecamatan Bengkunat, desa-desa berhirarki 1 berada dalam wilayah yang

berdekatan yaitu yaitu Pagar Bukit dan Pardasuka, kecuali desa Penyandingan.

Namun demikian secara geografis desa Penyandingan berada dalam lokasi yang

tidak terlalu berjauhan dengan kedua desa lainnya.

Kecamatan Pesisir Selatan yang memiliki 1 desa berhirarki 1, yaitu Biha,

sedangkan di Wilayah Kecamatan Pesisir Tengah hanya terdapat 1 desa dengan

hirarki 1 yaitu desa Pasar Krui. Tersedianya fasilitas pendukung di desa-desa

yang berdekatan merupakan hal yang wajar sebagai akibat aktifitas ekonomi dan

pemerintahan lokal. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa desa yang memiliki

hirarki 1 merupakan ibukota kecamatan yang memiliki fasilitas lebih baik dari

desa lainnya. Ketersediaan fasilitas tersebut akan memicu pergerakan ekonomi

daerah sekitar sebagai akibat kegiatan ekonomi dalam hal ini pasar. Dampak

tersebut akan sangat dirasakan oleh desa-desa yang secara geografis berdekatan

dengan ibukota kecamatan. Menurut Rustiadi et al. (2006) aspek spasial adalah

fenomena yang alami. Adalah wajar bila perkembangan suatu wilayah lebih

dipengaruhi oleh wilayah sebelahnya atau lebih dekat dibandingkan wilayah yang

lebih berjauhan akibat adanya interaksi sosial ekonomi penduduk.

Kecamatan Karya Penggawa dan Pesisir Utara merupakan daerah

belakang (hinterland) yang menjadi pemasok produk hasil pertanian ke

Kecamatan Pesisir Tengah. Sebagian besar mata pencaharian pendudukdi ketiga

kecamatan tersebut tergantung pada sektor pertanian dan perikanan laut yang pada

umumnya bersifat tradisonal.

Desa Pasar Krui merupakan pusat aktifitas ekonomi dan Pemerintahan di

Kecamatan Pesisir Tengah, serta memiliki pelabuhan pendaratan ikan, jalur

transportasi laut masyarakat Pulau Pisang dan pusat perdagangan produk

pertanian dan kehutanan. Oleh karena itu sebagai desa dengan hirarki 1, Pasar

Krui menjadi pusat pelayanan bagi desa-desa disekitarnya termasuk desa-desa di

Kecamatan lainnya. Fasilitas pelabuhan, pasar dan sarana sosial lain tersedia di

ibukota Kecamatan Pesisir Tengah ini. Secara lengkap gambaran secara spasial

hasil analisis hirarki wilayah berdasarkan fasilitas disajikan pada gambar 6.

Page 13: Sabut Kelapa

83

Gambar 6. Hasil analisis Skalogram

Page 14: Sabut Kelapa

84

5.1.3. Analisis Kesesuaian Lahan

Dalam analisis kesesuaian lahan, prosedur penilaian kesesuaian lahan

dilakukan dengan pendekatan satuan lahan yang dikemukakan FAO (1976).

Penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan cara mencocokkan (matching)

karakteristik dan kualitas lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman tertentu.

Berdasarkan analisis kesesuaian lahan di wilayah Pesisir Kabupaten

Lampung Barat, diketahui bahwa luas areal yang sangat sesuai untuk tanaman

kelapa (S1) 72.231 ha, cukup sesuai (S2) 33.688 ha,sesuai marjinal (S3) 84.973

ha, dan tidak sesuai (N1) seluas 92.801 ha dan Tidak sesuai selamanya (N2)

10.3610 ha. Tabel 21 berikut menunjukkan hasil analisis kesesuaian lahan:

Tabel 21. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Tanaman Kelapa

Keterangan Luas (Ha) Persentase

Sangat Sesuai (S1) 72.231 24,78

Cukup Sesuai (S2) 33.688 11,40

Sesuai Marjinal (S3) 84.973 28,76

Tidak Sesuai Saat ini (N1) 92,801 31,40

Tidak Sesuai Untuk Selamanya (N2) 10.808. 3,66

Jumlah 294.502 100,00

Mengacu pada hasil analisis di atas, potensi lahan untuk tanaman kelapa

sangat luas, dimana wilayah yang sesuai (S1 dan S2) untuk tanaman kelapa

mencapai 105.919 ha. Sedangkan lahan yang sesuai marjinal 84.973 ha.

Berdasarkan data statistik Perkebunan Kabupaten Lampung Barat Tahun

2006, luas areal tanaman kelapa mencapai 6.809,6 ha, kondisi tersebut

menggambar potensi pengembangan areal perkebunan kelapa di wilayah pesisir

masih sangat besar. Potensi tersebut belum tergarap secara maksimal karena

banyak keterbatasan seperti: sarana produksi, sumberdaya manusia, preferensi

petani dan kebijakan pemerintah.

Menurut buku satuan lahan Lembaran Kota Agung Pusat Penelitian Tanah

Departemen Pertanian, dijelaskan bahwa di daerah pesisir Lampung Barat,

merupakan dataran rendah yang terletak pada ketinggian 0-20 meter dari

permukaan laut (m dpl), banyak dijumpai tanah jenis Entisol/Alluvial

(Tropopsamments) yang merupakan tanah belum berkembang dan cocok untuk

perkebunan kelapa. Selanjutnya dibagian Barat pesisir juga dijumpai Grup Teras

Marin yang terletak pada ketinggian 0-200 m dpl dengan jenis tanah utama

Page 15: Sabut Kelapa

85

Dystropepts/Eutropepts yang sangat baik untuk dikembangkan kegiatan pertanian

lahan kering baik semusim dan tahunan. Grup Marin dan Teras Marin ini

memanjang dari bagian selatan menuju arah Utara sampai dengan Kecamatan

Pesisir Utara.

Berdasarkan Peta Satuan Lahan Pusat Penelitian Tanah Departemen

Pertanian, di daerah bagian utara banyak dijumpai jenis tanah Dystropepts,

Hapludult dan Humitropepts. Pembatas kesesuaian lahan di daerah ini adalah

kelerengan yang berkisar antara 30-75 persen. Demikian juga di daerah Timur

Pesisir pembatas utama adalah kelerengan yang berkisar antara 16-30 persen dan

pegunungan yang memiliki kelerengan > 75 persen. Hasil analisis kesesuaian

lahan disajikan pada gambar 7.

5.1.4. Pemilihan Lokasi

Pemilihan lokasi rencana pusat agroindustri didasarkan pada beberapa

kriteria antara lain: dukungan sektor basis komoditas kelapa (LQ), sarana dan

prasarana (Skalogram) dan kesesuaian lokasi pengembangan kelapa. Disamping

itu perlu dipertimbangkan faktor-faktor lain seperti jumlah penduduk yang terkait

dengan tenaga kerja, jarak dan kebijakan pemerintah.

Dalam penelitian ini penentuan lokasi potensial didasarkan pada kriteria

kesesuaian lahan, LQ dan hasil analisis skalogram. Analisis dibatasi oleh kriteria

utama yaitu kesesuaian lahan aktual. Hal ini dasarkan pada beberapa

pertimbangan antara lain: faktor kesesuaian lahan aktual merupakan hal yang

alamiah (given), artinya keberadaanya sudah ada sejak secara alami tanpa adanya

campur tangan manusia. Kesesuaian lahan juga dalam proses evaluasinya

memerlukan persyaratan yang cukup kompleks menyangkut tanah, iklim,

kelerengan, drainase dan lain-lain.

Skalogram merupakan output dari aktifitas budaya manusia dan sifatnya

dapat berubah tergantung kondisi suatu wilayah. LQ lebih menggambarkan

kondisi kegiatan masyarakat yang hasilnya baik berupa barang atau jasa

diperuntukkan bagi masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi

Page 16: Sabut Kelapa

86

Gambar 7. Hasil analisis Kesesuaian Lahan

Page 17: Sabut Kelapa

87

masyarakat tersebut. Konsep swasembada, mandiri, kesejahteraan dan kualitas

hidup sangat menentukan dalam kegiatan non basis ini.

Kriteria potensi lokasi disusun sebagaimana tabel berikut:

Tabel 22. Kriteria Potensi Lokasi

Kriteria Kesesuaian

Lahan

Location

Quotient

Hirarki

(Skalogram)

Potensial 1 S1, S2 LQ>1 I dan II

Potensial 2 S2, S3 LQ<1 III

Potensial 3 S2, S3 LQ<1 III

Tidak Potensial N1, N2 LQ<1 III

Adapun pengertian dari masing-masing adalah sebagai berikut:

Potensial 1 : Pada wilayah tersebut memiliki kesesuaian lahan yang baik untuk

pengembangan kelapa, dimana salah satu indikatornya adalah tanah. Dalam teori

lokasi istilah tanah mengandung pengertian keadaan topografi dan keadaan cuaca

yang terdapat di wilayah tersebut, kesemuanya ini juga akan mempengaruhi lokasi

penempatan suatu industri. Dari struktur ekonomi basis, wilayah potensial 1

merupakan basis komoditas kelapa, dengan kata lain daerah tersebut mampu

mengekspor kelapa ke daerah lain. Dari struktur hirarki, wilayah dengan potensial

1 merupakan daerah yang sudah maju atau berkembang, dimana fasilitas

infrastruktur sudah tersedia.

Potensial 2 : Pada wilayah tersebut memiliki kesesuaian lahan yang baik untuk

pengembangan kelapa, dengan salah satu indikatornya adalah tanah. Dalam teori

lokasi istilah tanah mengandung pengertian keadaan topografi dan keadaan cuaca

yang terdapat di wilayah tersebut, kesemuanya ini juga akan mempengaruhi lokasi

penempatan suatu industri. Dari struktur ekonomi basis, wilayah potensial 2

bukan merupakan basis komoditas kelapa, daerah tersebut belum swasembada

kelapa atau terdapat komoditas lain yang lebih potensial dari komoditas kelapa.

Dari struktur hirarki, wilayah dengan potensial 3 merupakan daerah yang belum

maju atau berkembang, dimana fasilitas infrastruktur belum tersedia. Daerah

potensial 3 masih cocok untuk pengembangan lokasi suatu agroindustri.

Page 18: Sabut Kelapa

88

Potensial 3 : Pada wilayah tersebut memiliki kesesuaian lahan yang baik untuk

pengembangan kelapa, dimana salah satu indikatornya adalah tanah. Dalam teori

lokasi istilah tanah mengandung pengertian keadaan topografi dan keadaan cuaca

yang terdapat di wilayah tersebut, kesemuanya ini juga akan mempengaruhi lokasi

penempatan suatu industri. Dari struktur ekonomi basis, wilayah potensial 3

merupakan non basis komoditas kelapa, daerah tersebut belum mampu

mengekspor kelapa ke daerah lainnya. Dari struktur hirarki, wilayah dengan

potensial 3 merupakan daerah yang masih belum berkembang, yang dicirikan

dengan belum tersedia/kurangnya infrastruktur yang memadai.

Tidak Potensial : Wilayah ini tidak memiliki kesesuaian lahan untuk komoditas

kelapa baik dalam jangka pendek atau bersifat permanen. Dari struktur ekonomi

basis belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat wilayah tersebut akan

komoditas kelapa. Sedangkan dari hirarki wilayah merupakan daerah dengan

infrastruktur yang belum memadai atau belum berkembang. Daerah ini tidak

cocok untuk pengembangan lokasi industri, akibat keterbatasan sarana dan

prasarana pendukung.

Gambaran spasial hasil overlay LQ, Skalogram dan Kesesuaian Lahan yang

menunjukkan alternatif disajikan pada gambar 8.

Berdasarkan hasil overlay peta LQ, Skalogram, dan Kesesuaian lahan

diketahui desa-desa yang memiliki kesesuaian lokasi (Potensial 1) untuk kawasan

Usaha Agro Terpadu meliputi: Desa Biha, Way Jambu, dan Marang Kecamatan

Pesisir Selatan, Sumber Agung dan Negeri Ratu Ngambur Kecamatan

Bengkunat dan Desa Way Redak Kecamatan Pesisir Tengah.

Page 19: Sabut Kelapa

89

Gambar. 8. Hasil Penentuan Lokasi Berdasarkan Over Lay LQ, Skalogram dan

Kesesuaian Lahan

Page 20: Sabut Kelapa

90

Tabel berikut menyajikan hasil pemilihan calon lokasi Kawasan Usaha Agro

Terpadu (KUAT):

Tabel 23. Hasil Analisis Lokasi Potensial

Potensi Nama Desa Jumlah

Potensial 1 NR. Ngambur, Sumber Agung, Marang, Biha, Way

Redak

5

Potensial 2 Pagar Bukit, Penyandingan, Pardasuka,

Sukanegara, Way Jambu, Tanjung Setia, Sumur

Jaya, Kp. Jawa, Seray, Walur, Pasar Krui, Balai

Kencana, Way Napal, Laay, Penengahan, Way

Sindi

16

Potensial 3 GC Kuningan, Pekonmon, Bd Dalam, Kota Jawa,

Sukamarga, Tanjung Kemala, Rajabasa, Mulang

Maya, Sukabanjar, Muara Tembulih, Ulok Mukti,

Pelita Jaya, Tanjung Jati, Pagar Dalam, Sukarame,

NR. Tenumbang, Way Suluh, Pemerihan, Lintik,

Rawas, Sukanegara, Bumiwaras, Pajar Bulan,

Padang Haluan, Penggawa V Tgh, Menyancang,

Penggawa V Ulu, Way Nukak, Kebuayan, Walur,

Kuripan, NR. Ratu, Pdg Rindu, Kerbang Langgar,

Kota Karang, Kerbang Dalam, Penengahan, Bandar

Pugung, Lemong, Way Batang, Tanjung Sakti

40

Tidak

Potensial

NR. Ngaras, Kota Batu, Way Haru, PenggawaV

Ilir, Banjar Agung, Pamungan, Ulu Krui, Way

Narta, Baturaja, Sukamarga, Pekonlok, Bandar

Dalam, Pasar Pulau Pisang, Sukadana, Labuhan,

Balam, Bambang, Pagar Dalam Malaya, Cahaya

Negeri, Tanjung Jati, Rata Agung.

19

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa kesesuaian lokasi untuk

kawasan usaha agro terpadu di Kabupaten Lampung Barat terdapat beberapa

alternatif berdasarkan pengelompokan lokasi:

Alternatif Pertama : Kelompok Desa Biha, Marang, Sumber Agung, dan Negeri

Ratu Ngambur. Beberapa hal pendukung alternatif tersebut antara lain: secara

geografis wilayah tersebut saling berdekatan, sehingga dalam pengembangan

dapat dibentuk suatu klaster agroindustri. Dengan kata lain beberapa persyaratan

lokasi sudah sangat memadai.

Diantara pilihan tersebut terdapat Desa Way Jambu yang berada di

antara Biha dan Marang, lokasi ini budidaya kelapa banyak ditumpangsari dengan

Page 21: Sabut Kelapa

91

melinjo. Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa alternatif pertama bisa

dijadikan pilihan.

Dari aspek dukungan bahan baku, infrastruktur dan kesesuaian untuk

pengembangan lokasi tersebut sangat memadai karena secara geografis beberapa

wilayah berdekatan satu sama lain. Artinya pemilihan satu lokasi dapat

memberikan Multiplier Effect kepada daerah sekitarnya. Menurut Handoko (2000)

beberapa alasan dalam memilih lokasi oleh industri antara lain: fasilitas dan biaya

transportasi, kedekatan dengan bahan baku, tenaga kerja, kedekatan dengan pasar,

dan lingkungan masyarakat.

Alternatif Kedua : Kelompok Desa Way Redak, Kampung Jawa, Pasar Krui,

Seray, dan Walur. Pada wilayah ini terdapat beberapa hal yang mendukung,

antara lain: daerah tersebut secara administratif berada dalam satu Kecamatan

yaitu Pesisir Tengah. Dari sudut infrastruktur wilayah merupakan daerah yang

relatif lebih dekat dengan ibukota Kabupaten Lampung Barat (35 km) sehingga

memudahkan dalam hal koordinasi. Kota Krui sudah sangat dikenal masyarakat

sebagai kota pelabuhan yang berfungsi sebagai jalur perdagangan pada era tahun

70 an, dimana transportasi laut merupakan jalur utama dalam hal keluar

masuknya barang. Jalur Keberadaan Krui sebagai pusat perdagangan komoditas

pertanian dan kehutanan menjadi salah satu pedukung pemilihan lokasi ini.

Alternatif Ketiga : Pardasuka, Pagar Bukit dan Sukanegara. Pada wilayah ini

secara geografis sangat jauh dari ibukota kabupaten, namun relatif lebih dekat

dengan Bandar Lampung Bila melewati Kabupaten Tanggamus. Secara hirarki

wilayah alternatif ini agak sulit untuk dipilih karena dukungan fasilitas masih

sangat minim.

Pemilihan alternatif lokasi suatu kawasan tidak terlepas dari kesesuaian

secara teknis, ekonomi, sosial dan kebijakan pemerintah. Menurut Djojodipuro

(1992) pemerintah dapat menentukan lokasi industri. Kebijaksanaan ini dapat

mendorong, menghambat, atau melarang kegiatan industri pada lokasi tertentu.

Kebijaksanaan pengaturan yang didasarkan atas pembagian daerah atau zoning

terkait dengan perencanaan pengembangan suatu wilayah.

Selain itu alternatif di atas harus disesuaikan dengan Rencana Tata

Ruang Wilayah Kabupaten Lampung Barat. Berdasarkan Rencana Tata Ruang

Page 22: Sabut Kelapa

92

Wilayah Kabupaten Lampung Barat, Kecamatan Pesisir Tengah dan Pesisir

Selatan diarahkan sebagai sentra pengembangan aneka industri seperti pengolahan

tambang, hasil perikanan dan kerajinan rakyat. Pada wilayah pesisir juga

didukung oleh keberadaan jalur Lintas Barat dalam jangka panjang dapat

mendorong percepatan pengembangan wilayah. Pada dasarnya pilihan atas

alternatif di atas tergantung pada kepentingan Pemerintah Daerah Kabupaten

Lampung Barat selaku pemilik program. Lokasi alternatif berdasarkan hasil

analisis disajikan pada gambar 9 berikut ini.

Gambar. 9. Alternatif Lokasi Kawasan Usaha Agro Terpadu

Page 23: Sabut Kelapa

93

5.2. Analisis Preferensi Masyarakat

Pemilihan produk potensial dalam penelitian ini menggunakan metode

Analytical Hierarchy Process (AHP). Struktur AHP dibangun menggunakan

beberapa kriteria yang menjadi tolok ukur apakah suatu produk layak untuk

dikembangkan.

Dalam menentukan produk agroindustri yang memiliki nilai jual ada

beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu aspek pasar dan pemasarannya, aspek

teknis dan teknologis, aspek manajemen dan aspek ekonomi. Beberapa

pertimbangan yang diperlukan menurut Sutojo (1996) adalah: peluang pasar,

teknologi yang digunakan, lokasi pabrik yang strategis, ketersediaan tenaga kerja

dan modal.

Dalam penelitian ini kriteria-kriteria yang dipertimbangkan didasarkan

pada studi literatur dan konsultasi dengan para pakar, maka terdapat 7 kriteria

yang dipilih yaitu: Peluang Pasar (PP), Kebijakan Pemerintah (KP), Nilai Tambah

(NT), Dampak Lingkungan (DL), Penyerapan Tenaga Kerja (PTK), Kualifikasi

SDM (KS), dan Teknologi Yang digunakan (TEK).

Sedangkan produk-produk agroindustri kelapa yang dipilih berdasarkan

hasil studi literatur dan konsultasi dengan para pakar. Produk-produk tersebut

adalah: Dessicated Coconut/Kelapa Parut Kering (DC), Minyak Kelapa (MK),

Arang Aktif (AA), Santan Kelapa (SK), Coco Fiber (CF), Nata De Coco (NDC)

dan Coco Peat (CP).

Menurut Turban (1993) penyusunan hirarki adalah langkah pendefinisian

masalah yang kompleks sehingga menjadi lebih jelas dan rinci. Hirarki keputusan

disusun berdasarkan pandangan pihak-pihak yang memiliki keahlian dan

pengetahuan di bidang yang bersangkutan. Keputusan yang diambil sebagai

tujuan dijabarkan menjadi elemen-elemen yang lebih rinci hingga menjadi suatu

tahapan yang terstruktur. Hirarki permasalahan akan mempermudah pengambil

keputusan untuk menganalisis dan menarik kesimpulan terhadap permasalahan

tersebut.

Adapun Struktur Hierarki penentuan produk prospektif dalam penelitian

ini digambarkan sebagai berikut:

Page 24: Sabut Kelapa

94

Gambar 10 Struktur Hirarki Pemilihan Produk Propektif

Penilaian urutan kriteria didapat dari pendapat para pakar yang berasal dari

instansi pemerintah Kabupaten Lampung Barat, peneliti agroindustri kelapa, dan

pelaku industri berbasis kelapa.

Pakar-pakar tersebut adalah:

1. Ir. Eric Enrico, MT. pakar yang mewakili Dinas Perindustrian, Perdagangan

dan Pasar kabupaten Lampung Barat

2. Ir. Karyo Kardono, M.Si. pakar yang mewakili Badan Perencanaan Daerah

Kabupaten Lampung Barat

3. Ir. Ahliansyah. Pakar yang mewakili Dinas perkebunan Kabupaten Lampung

Barat

4. Ir. Slameto, M.Si. Pakar yang mewakili Peneiliti Agroindustri Kelapa dari

Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung

5. Ir. Sugiarto pakar yang berasal dari PT. Sari Segar Husada industri pembuatan

Dessicated Coconut dan Santan Kelapa

6. Drs. Yusrizal Roni pakar yang berasal dari PT. Sinar Laut industri yang

menghasilkan Minyak Goreng.

Berdasarkan pendapat para pakar yang didapat melalui wawancara tertulis

dengan metode AHP, dimana penilaian pendapat dilakukan dengan pembobotan

pada tujuh kriteria tersebut, maka didapatkan hasil urutan kriteria yang menjadi

Pemilihan Produk Potensial Dalam

KUAT

PP NT KP DL KS PTK TEK

DC AA MK SK CP CF NDC DC

PRODUK-PRODUK

AGROINDUSTRI KELAPA

PROSPEKTIF

Page 25: Sabut Kelapa

95

penentu pemilihan produk prospektif, sebagaimana ditunjukkan pada tabel

berikut ini:

Tabel 24. Urutan prioritas faktor kriteria penentu pemilihan produk unggulan

Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT)

Kriteria Deskripsi Bobot Urutan

Peluang Pasar Prospek permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar

negeri, semakin tinggi peluang pasar, semakin prospektif

untuk dikembangkan.

0.23

1

Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung

pengembangan dan pemasaran produk agroindustri

0.17

2

Nilai Tambah Besarnya keuntungan yang akan diperoleh jika produk

tersebut dikembangkan.

0.16

3

Dampak Lingkungan Dampak lingkungan yang dihasilkan bila suatu produk

dikembangkan.

0.12

4

Penyerapan Tenaga

Kerja

Indikator yang menunjukkan jumlah tenaga kerja yang

terserap oleh agroindustri penghasil produk kelapa yang

prospektif

0.11

5

Kualifikasi SDM Tingkat kemampuan/keahlian teknik dari SDM yang ada di

Kabupaten Lampung Barat dalam agroindustri kelapa

0.10

6

Teknologi Yang

digunakan

Kriteria ini menunjukkan kemampuan teknologi yang

tersedia dalam menghasilkan produk prospektif, apakah

sudah operasional atau baru tingkat uji laboratorium

0.10

6

Dari Tabel tersebut terlihat bahwa faktor penentu yang dimiliki oleh

Peluang Pasar sebesar 0,23, diikuti oleh Kebijakan Pemerintah dengan nilai 0,17,

dan Nilai Tambah dengan bobot 0,16. Selanjutnya pada urutan ke empat kriteria

yang dipilih pakar adalah Dampak Lingkungan dengan skor 0,12, Penyerapan

Tenaga Kerja sebesar 0,11, Kualifikasi SDM dengan nilai 0,10 dan diikuti kriteria

Teknologi yang digunakan dengan bobot 0,10.

Pengembangan suatu produk agroindustri harus memperhatikan prospek

pasar karena semakin besar peluang pasar suatu produk, maka hal ini akan

memberikan gambaran bahwa produk tersbut semakin prospektif untuk

dikembangkan. Selain itu peluang pasar sangat penting karena akan menunjukkan

prospek kebutuhan produk agroindustri kelapa yang akan dikembangkan untuk

keperluan pasar dalam negeri maupun ekspor. Faktor peluang pasar sangat

penting untuk mendukung pengembangan sektor agroindustri kelapa, karena

kualitas dan kuantitas yang memadai tidak cukup membantu bila peluang pasar

suatu produk sangat rendah. Selain itu peluang pasar akan dapat meningkatkan

kinerja ekspor dan penambahan devisa negara, serta mendukung pengembangan

agroindustri itu sendiri. Berdasarkan pendapat para pakar, kriteria peluang pasar

mendapat nilai 0,23

Page 26: Sabut Kelapa

96

Kebijakan pemerintah yang mendukung program pengembangan

agroindustri kelapa merupakan salah satu kriteria yang dipakai dalam menentukan

produk prospektif dalam KUAT. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam

mengembangkan agroindustri berbasis kelapa sangat tidak diragukan. Hal ini

terlihat dari rencana pengembangan program KUAT.

Program KUAT merupakan sinergi pemerintah pusat melalui Departemen

Perindustrian Republik Indonesia dengan Pemerintah Daerah dalam

mengembangkan klaster agroindustri di luar pulau Jawa. Semakin besar

dukungan pemerintah terhadap pengembangan dan pemasaran produk, semakin

prospektif produk tersebut untuk dikembangkan. Sebaliknya semakin rendah

dukungan pemerintah, maka produk tersebut semakin tidak prospektif. Para pakar

berpendapat dengan memberikan penilaian terhadap kriteria ini 0,17.

Nilai tambah menunjukkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh jika

produk tersebut dikembangkan. Dengan demikian akan muncul keyakinan

memperoleh keuntungan yang tinggi dari pelaksanaan kegiatan suatu usaha

dimana pada akhirnya meningkatkan motivasi para investor untuk menanamkan

modalnya. Semakin besar nilai tambah suatu produk, maka akan semakin besar

prospeknya untuk dikembangkan. Pada tabel di atas terlihat bahwa para pakar

memberikan penilaian terhadap kriteria ini dengan skor 0,16.

Salah satu faktor yang menjadi pembatas dalam dalam pengembangan

usaha adalah dampak terhadap lingkungan. Semakin besar dampak lingkungan

atas pengembangan suatu produk, maka semakin tidak prospektif produk tersebut

untuk dikembangkan. Pada penilaian para pakar atas kriteria pengembangan

produk prospektif, dampak terhadap lingkungan menempati urutan ke empat

dengan nilai 0,12.

Kriteria penyerapan tenaga kerja mengandung pengertian jumlah tenaga

kerja yang dapat terserap dengan pengembangan suatu produk. Pendirian usaha

agroindustri yang banyak menyerap tenaga kerja akan menguntungkan

masyarakat di sekitar lokasi program, juga akan membantu pemerintah dalam

mengurangi angka pengangguran. Berdasarkan penilaian para pakar terhadap

kriteria penyerapan tenaga kerja, tampak bahwa para pakar memilih kriteria ini

sebagai prioritas kelima dengan nilai 0,11.

Page 27: Sabut Kelapa

97

Berdasarkan pendapat para pakar, kriteria kualifikasi SDM mendapat nilai

0,10. Hal ini menunjukkan bahwa kualifikasi SDM agroindustri kelapa yang

meliputi tingkat kemampuan teknik dari SDM yang ada di Kabupaten Lampung

Barat bukan merupakan kriteria yang berpengaruh besar dalam menentukan

produk prospektif. Dengan kata lain agroindustri kelapa belum memerlukan

tenaga dengan kemampuan teknik yang spesisifk.

Kriteria terakhir adalah Teknologi yang digunakan, berdasarkan pendapat

para pakar kriteria ini mendapat nilai 0,10. Pada dasarnya kriteria teknologi yang

digunakan perlu dipertimbangkan dalam mendirikan suatu usaha agroindustri, hal

ini menunjukkan kemampuan teknologi proses sudah tersedia. Teknologi yang

digunakan akan mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, sehingga mampu

bersaing dengan produk sejenis di pasaran.

Hasil penilaian para pakar dalam memilih produk yang potensial untuk

dikembangkan pada Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT) di Kabupaten

Lampung Barat diketahui bahwa, minyak kelapa dan Dessicated Coconut

merupakan prioritas pertama dan kedua yang layak dikembangkan. Kedua produk

olahan kelapa tersebut memiliki nilai masing-masing 0,215 dan 0,170. Produk

berikutnya yang layak dikembangkan menurut para pakar adalah secara berturut-

turut yaitu arang aktif, santan kelapa, coco fiber, nata de coco dan coco peat

dengan nilai masing-masing yaitu: 0,112, 0,112, 0,105, 0,098, 0,096, dan 0,092.

Dipilihnya Minyak kelapa dan Dessicated Coconut sebagai produk yang

paling prospektif merupakan hal yang wajar karena minyak kelapa merupakan

salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako), artinya produk ini sangat

dibutuhkan oleh masyarakat untuk keperluan rumah tangga. Berdasarkan hasil

Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) oleh BPS diketahui bahwa

konsumsi rata-rata perkapita perminggu minyak kelapa di Indonesia tahun 2002

sebesar 0,197 liter, tahun 2005 sebesar 0,195 liter dan 0,198 liter pada tahun 2007.

Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat akan

minyak goreng sangat besar. Meskipun saat ini terdapat produk alternatif dari

kelapa sawit, namun peranan minyak kelapa sebagai bahan kebutuhan memasak

didapur masih cukup di kalangan masyarakat Indonesia.

Page 28: Sabut Kelapa

98

Dessicated Coconut/Kelapa Parut Kering dipilih oleh pakar sebagai salah

satu produk prospektif karena potensi pasar Dessicated Coconut sangat besar

mengingat produk ini merupakan bahan tambahan untuk produk biskuit.

Besarnya nilai ekspor sebagaimana dijelaskan oleh Asia Pacific Coconut

Community (AAPC), peningkatan nilai ekspor periode 2004-2006 sangat

signifikan. Pada tahun 2004 total ekspor Dessicated Coconut sebesar 30.780 ton

dengan nilai 21.245.000 US Dollar, tahun 2005 mencapai 51.025 ton dengan

nilai 35.939.000 US Dollar dan pada tahun 2006 mencapai 62.249 ton dengan

nilai 36.886.000 US Dollar.

Peningkatan nilai ekspor ini sangat dipengaruhi oleh besarnya permintaan

terutama oleh negara-negara Eropa dan Asia Pasifik. Sebagai produk yang

bernilai ekspor tinggi adalah wajar bila Dessicated Coconut menjadi pilihan dalam

pengembangan agroindustri berbasis kelapa. Menurut Palungkun (1998)

permintaan produk Dessicated Coconut merupakan indikasi cerahnya prospek

pasar, dan Indonesia memiliki potensi untuk merebut peluang yang ditawarkan.

Produk lain yang memiliki prospek untuk dikembangkan menurut para

pakar adalah Arang Aktif, dimana berdasarkan pendapat para pakar memiliki skor

0,112. Arang aktif banyak diperlukan untuk proses pemurnian dalam dunia

industri makanan dan kimia. Menurut APCC (2007) ekspor produk Arang Aktif

Indonesia tahun 2004-2006 terus mengalami peningkatan, dimana tahun 2004

total ekspor mencapai 15.624 ton dengan nilai12.387.000 US Dollar, pada tahun

2005 meningkat menjadi 25.670 ton dengan nilai 16.303.000 US Dollar namun

menurun menjadi 15.529 ton dengan nilai 17.577.000 US Dollar pada tahun 2006.

Pada dasarnya produk Arang dari tempurung kelapa sangat prospektif

untuk dikebangkan ditengah gencarnya isu menipisnya bahan bakar fosil, karena

arang tempurung berpotensi menjadi bahan bakar alternatif pengganti minyak

tanah. Saat ini pemanfaatan Arang Tempurung sebagai pengganti arang kayu dan

minyak tanah belum banyak dilakukan di kalangan masyarakat, sebagan besar

tempurung kelapa terbuang percuma. Oleh karena itu potensi pemanfaatan

produk tempurung kelapa masih sangat besar.

Produk Santan Kelapa adalah bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia

karena berfungsi sebagai bahan pelengkap makanan. Namun komersialisasi

Page 29: Sabut Kelapa

99

produk ini masih sangat kurang. Hal ini tidak terlepas dari belum banyak

tersedianya santan kelapa kemasan. Berdasarkan pendapat para pakar dalam

penelitian ini skor untuk Santan Kelapa 0,112. Produk ini sebenarnya sangat

prospektif untuk dikembangkan, berdasarkan data Statistical Year Book APCC

(2006) ekspor Indonesia pada tahun 2004-2006 terus meningkat. Pada tahun 2004

total ekspor mencapai20.240 ton dengan nilai 15.248.000 US Dollar, meningkat

menjadi 32.480 ton pada tahun 2005 dan mencapai 27.402 ton dengan nilai

21.928.000 US Dollar pada tahun 2006. Disisi lain bagai masyarakat perkotaan

keberadaan santan kelapa kemasan merupakan pilihan yang tepat sebagai

pelengkap masakan karena terbatasnya waktu dalam mengolah kelapa menjadi

santan.

Produk lainnya seperti Coco Fibre menurut para pakar mendapat skor

0,105. Pada dasarnya produk ini sangat banyak diperlukan oleh rumah tangga dan

industri, namun belum difahaminya peluang pasar dan nilai tambahnya, maka

sabut kelapa sampai saat ini masih menjadi limbah di kalangan masyarakat

terutama di wilayah Kabupaten Lampung Barat. Menurut APCC (2007) ekspor

Coco Fibre Indonesia pada periode 2004-2006 sebesar 1.180 ton, 3.550 ton dan

3450 ton.

VCO, Nata De Coco, dan Coco Peat menurut para pakar berada pada

urutan belakang dengan skor 0,098, 0,096, dan 0,092. Produk ini baik untuk

dikembangkan, namun dalam skala industri kelapa terpadu seperti KUAT, ketiga

produk dapat dikembangkan dalam jangka panjang, artinya dalam jangka pendek

pengembangan produk ini belum dapat dilaksanakan. Ke depan melalui

pemberdayaan masyarakat, produk-produk ini dapat dilaksanakan melalui skala

rumah tangga dengan kata lain melalui Usaha Kecil dan Menengah atau industri

rumah tangga.

Program KUAT merupakan upaya Pemerintah Daerah Kabupaten

Lampung Barat melaksanakan percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah dengan

motor utama sektor Industri. Selama ini belum terdapat usaha agroindustri yang

berskala menengah dan besar di wilayah ini. Namun demikian terkait dengan

Program KUAT dengan komoditas utama Kelapa, pengembangan produk harus

bersifat terpadu. Dengan kata lain meskipun berdasarkan analisis para pakar

Page 30: Sabut Kelapa

100

cenderung untuk memilih produk Minyak Kelapa dan Dessicated Coconut,

pembangunan agroindustri kelapa harus bersifat terpadu. Bila konsep terpadu

tidak dilaksanakan, maka sasaran dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sulit

tercapai.

Pengembangan agroindustri kelapa dengan produk yang terbatas

menjadikan kelayakan ekonomis sangat sulit tercapai, hal ini disebabkan harga

produk kelapa segar cenderung terus meningkat, terutama dalam 2 tahun terakhir.

Oleh karena itu langkah peningkatan peranan ekonomi rakyat melalui komoditas

kelapa harus dilakukan secara terpadu. Bagaimana peranan pemerintah,

masyarakat dan swasta harus disinergikan sehingga produk kelapa yang

dikembangkan dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak, sesuai dengan

ketersediaan teknologi dan sumberdaya yang ada.

Hasil Pemilihan produk prospektif yang akan dikembangkan dalam

Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT), berdasarkan pendapat para ahli disajikan

pada Tabel berikut ini:

Tabel 25. Urutan Prioritas Pemilihan Produk Kawasan Usaha Agro Terpadu

(KUAT) Kabupaten Lampung Barat

Kriteria Penentu Pemilihan Produk

Produk Peluang

Pasar

Kualifika

si SDM

Nilai

Tambah

Penyrp

Tenaga

Kerja

Tekno

logi

Yang

Diguna

kan

Kebija

kan

Peme

rintah

Dampak

Ling

kungan

Agre

gasi

Hasil

Urutan

Prio

ritas

Minyak

Kelapa

0.27 0.16 0.20 0.24 0.17 0.26 0.21 0.215 1

Dessicated

Coconut

0.16 0.20 0.14 0.17 0.22 0.17 0.12 0.170 2

Arang Aktif 0.10 0.07 0.10 0.10 0.07 0.16 0.18 0.112 3

Santan

Kelapa

0.09 0.14 0.11 0.12 0.1 0.1 0.09 0.112 3

Coco Fiber 0.11 0.10 0.16 0.08 0.09 0.10 0.10 0.105 4

VCO 0.09 0.12 0.12 0.08 0.11 0.07 0.09 0.098 5

Nata De

Coco

0.09 0.11 0.08 0.12 0.11 0.06 0.10 0.096 6

Coco Peat 0.09 0.10 0.09 0.09 0.09 0.08 0.10 0.092 7

Page 31: Sabut Kelapa

101

Dari hasil analisis di atas diketahui bahwa Minyak Kelapa dan Dessicated

Coconut merupakan produk unggulan pertama dan kedua dengan nilai masing-

masing 0,215 dan 0,170. Jenis lain yang berpotensi untuk dikembangkan yaitu

Arang Aktif ,Santan Kelapa dan Coco Fiber dengan skor 0,112 , 0,112 dan 0,105.

Terlepas dari hasil analisis di atas terdapat 2 hal yang berbeda yaitu produk

Minyak Kelapa dan Dessicated Coconut dan Santan memiliki bahan baku yang

berasal dari daging buah. Sebaliknya Arang Aktif dan Coco Fiber berasal dari

tempurung dan sabut kelapa. Hal ni menjelaskan bahwa untuk efisiensi

produktifitas pembangunan agroindustri berbasis komoditas kelapa harus

dilakukan secara simultan dan terpadu.

Sebagai sebuah program pembangunan klaster industri yang diharapkan

menjadi trigger (pemicu) pergerakan perekonomian wilayah, maka harus dipilih

produk yang akan dikembangkan sesuai dengan ketersediaan sumberdaya yang

ada. Pemerintah Daerah tidak mungkin akan membangun agroindustri terpadu

secara serentak karena keterbatasan dana. Sedangkan keberadaan masyarakat di

sekitar lokasi program harus dilibatkan dalam proses pembangunan. Oleh karena

itu beberapa pilihan alternatif dalam membangun keterpaduan dapat ditempuh

dengan memberdayakan kelmbagaan masyarakat.

Produk-produk agroindustri yang membutuhkan modal, teknologi dan

sumberdaya manusia yang tinggi dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan atau

swasta. Produk-produk tersebut antara lain: Dessicated Coconut, Minyak Kelapa

dan Santan Kelapa. Hal ini penting karena produk tersebut memerlukan Quality

Control dan persyaratan mutu, tingkat higienis yang tinggi. Sedangkan produk

dengan teknologi sederhana dan Quality Cntrol yang kurang ketat, seperti Arang

Aktif, Coco Fiber, Nata De Coco dan Coco Peat dapat dilaksanakan melalui

lembaga masyarakat atau kelompok tani.

Menurut Allolerung dan Lay (1998), pengolahan kelapa skala industri

besar dewasa ini telah mengolah hampir seluruh komponen buah kelapa baik

secara terpadu maupun parsial yang menghasilkan produk bernilai ekonomi dan

pasaran yang luas antara lain: minyak kelapa, Dessicated Coconut (Kelapa Parut),

Santan, Bungkil Tepung Tempurung, Arang Aktif, Serat Sabut dan Nata De Coco.

Pengembangan aneka ragam produk menghasilkan nilai tambah besar, namun

Page 32: Sabut Kelapa

102

tidak berpengaruh terhadap perbaikan pendapatan petani. Hal ini disebabkan

posisi petani hanya sebagai penyedia bahan baku industri. Oleh karena itu

pelibatan petani diharapkan agar mereka apat menikmati nilai tambah tersebut.

Pengembangan pengolahan kelapa terpadu skala pedesaan adalah alternatif

yang memadai untuk dirintis karena ketersediaan bahan baku, sumberdaya

manusia dan teknologi di Kabupaten Lampung Barat. Produk-produk dengan

batasan mutu dan teknologi yang rendah dapat dilaksanakan oleh masyarakat.

Dengan demikian pembangunan kawasan agro usaha terpadu dapat berjalan

efektif dengan biaya yang relatif lebih murah serta melibatkan partisipasi

masyarakat.

Formulasi kerjasama pengolahan kelapa terpadu dengan partisipasi

masyarakat perlu dirumuskan sehingga dapat diperjelas peranan dan

tanggungjawab masing-masing pihak.

5.3. Persepsi Masyarakat Tentang Program KUAT

Berdasarkan hasil wawancara menyangkut rencana program KUAT, dari

30 responden yang terdiri dari 20 orang petani dan 10 pedagang pengumpul pada

6 kecamatan dalam wilayah pesisir diketahui bahwa petani di Kecamatan

Bengkunat, Pesisir Selatan dan Pesisir Tengah dan Karya Penggawa sudah

mengetahui tentang rencana Program KUAT. Sebaliknya responden di

Kecamatan Pesisir Utara dan Lemong cenderung belum mengetahui rencana

tersebut. Pengetahuan petani tentang rencana pemerintah meliputi komoditas

yang akan dikembangkan dan produk yang dipilih yaitu minyak kelapa. Produk

selain minyak kelapa tidak diketahui oleh masyarakat. Menurut pendapat

masyarakat pemerintah akan mengembangkan pabrik minyak kelapa.

Kekurangtahuan masyarakat Pesisir Utara dan Lemong tidak terlepas dari

jarak yang jauh, dan lokasi sentra kelapa berada pada kecamatan Karya

Penggawa, Bengkunat, Pesisir Selatan dan Pesisir Tengah.

Menurut para pedagang pengumpul, pada hampir seluruh kecamatan

mengetahui tentang rencana program KUAT. Hal ini tidak terlepas dari lancarnya

arus informasi di kalangan pedagang pengumpul. Atas dasar tersebut dapat

Page 33: Sabut Kelapa

103

dijelaskan bahwa sosialisasi program berjalan cukup efektif. Hasil analisis

pendapat masyarakat disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 26. Persentase pemahaman petani dan pedagang menyangkut program

KUAT Petani Pedagang Pengumpul

Rencana

Program

Produk Rencana

Program

Produk

Kecamatan

Tahu

(%)

Tidak

Tahu

(%)

Tahu

(%)

Tidak

Tahu

(%)

Tahu

(%)

Tidak

Tahu

(%)

Tahu

(%)

Tidak

Tahu

(%)

Bengkunat 74 26 60 40 80 20 80 20

Pesisir Selatan 86 14 63 37 90 10 80 20

Pesisir Tengah 89 11 63 37 80 20 60 40

Karya Penggawa 67 33 52 48 40 60 50 50

Pesisir Utara 27 73 20 80 40 60 40 60

Lemong 24 76 21 79 40 60 30 70

Persepsi masyarakat diperlukan dalam upaya pelaksanaan suatu program.

Hal ini terkait dengan kesuksesan pelaksanaan di lapangan. Menurut Handoko

(2000), kesediaan masyarakat suatu daerah menerima segala konsekuensi baik

positif mapupun negatif didirikannya suatu pabrik merupakan suatu syarat

penting. Perusahaan perlu memperhatikan nilai-nilai lingkungan dan ekologi

dimana perusahaan berlokasi. Di lain pihak masyarakat memerlukan industri

sebagai penyedia lapangan kerja dan uang yang dibawa industri ke masyarakat.

5.4. Prospek Pasar Produk Kelapa

5.4.1. Rantai Tata Niaga

Tata niaga Kelapa di Kabupaten Lampung Barat identik dengan

pemasaran produk pertanian yang umumnya bertingkat, yaitu mulai dari petani

sebagai produsen, pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul

kecamatan sampai dengan konsumen dan industri. Pola pemasaran yang panjang

tersebut sangat tidak menguntungkan pihak petani karena semakin panjang rantai

tata niaga, maka marjin yang diterima petani semakin kecil.

Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian di Kabupaten lampung

Barat, diketahui bahwa terdapat tiga tingkatan pedagang pengumpul yang

berperan dalam tata niaga kelapa sebelum sampai pada konsumen akhir atau

industri. Perdagangan kelapa pada umumnya dimulai dengan transaksi langsung

Page 34: Sabut Kelapa

104

antara petani dengan pedagang desa, dengan sistem harga borongan berupa kelapa

utuh belum di kupas.

Selanjutnya pedagang desa menjual kepada pedagang kecamatan yang

akan membeli dengan cara datang langsung ke pedagang desa. Sistem pembelian

dilakukan dengan cara borongan tanpa memperhatikan ukuran biji kelapa.

Pedagang Kecamatan selanjutnya menjual kepada pedagang kabupaten di Liwa

atau Pasar Fajar Bulan di Kecamatan Way Tenong, yang kemudian dijual kepada

pedagang pengecer. Pedagang pengecer membeli kelapa untuk dipasarkan

langsung ke konsumen. Pada tahapan pemasaran ke konsumen ukuran biji kelapa

menjadi dasar dalam menentukan harga.

Rantai tata niaga kelapa juga terjadi antara pedagang tingkat kecamatan

dengan pedagang pengirim yang akan membawa komoditas kelapa ke industri

berbahan baku kelapa di Bandar Lampung. Industri tersebut merupakan produsen

produk nata de coco, vco, santan kelapa dan desisicated coconut.

Kelapa pecah akan diapkir dan menjadi tanggungjawab pembeli yang

umumnya merupakan pedagang desa, pada tahapan ini kelapa apkir akan diolah

menjadi kopra. Pedagang pengumpul kopra berada di Kelurahan Pasar Krui,

dimana harga jual berkisar antara sebesar Rp. 3.000-3.500/kg tergantung pada

mutu kopra yang dijual. Harga tersebut cenderung tetap dari tahun ke tahun. Bila

kopra tersebut jumlahnya sudah memadai, maka akan dibawa ke Bandar

Lampung atau Kota Metro untuk dijual kepada Industri Minyak Goreng. Namun

seiring dengan harga kelapa yang cukup tinggi, produksi kopra menjadi berkurang

karena petani menjual dalam bentuk kelapa butiran. Sebaliknya bila harga kelapa

butiran rendah, maka petani akan mengolah kelapa menjadi kopra.

Berkurangnya produksi kopra karena secara ekonomi pengolahan kopra

tidak menguntungkan dimana untuk menghasilkan 1 Kg kopra dibutuhkan sekitar

4 butir kelapa, dengan harga jual Rp. 2.000 sampai dengan 3.750/kg. Sedangkan

bila dijual butiran maka harga kelapa Rp. 1.100/butir. Oleh karena itu merupakan

hal yang wajar bila petani tidak mengolah kelapa menjadi kopra di saat harga

kelapa cukup tinggi. Secara lengkap bagan rantai pemasaran kelapa di Kabupaten

Lampung Barat di sajikan pada gambar berikut ini:

Page 35: Sabut Kelapa

105

Gambar 11. Rantai Pemasaran Kelapa di Kabupaten Lampung Barat

5.4.2. Marjin Pemasaran

Berdasarkan hasil analisis biaya dan marjin tata niaga di Kabupaten

Lampung Barat diketahui bahwa biaya angkutan merupakan komponen terbesar

dalam biaya pemasaran. Menurut Damanik dan Sientje (1992) besarnya biaya

angkutan produk kelapa disebabkan bentuk fisik kelapa yang berifat kamba (rasio

volume dan bobot sangat besar). Secara geografis wilayah Kabupaten Lampung

Barat memiliki topografi datar sampai dengan berbukit. Besarnya komponen

biaya sesuai dengan jarak tempuh, dimana untuk pedagang desa, jarak tempuh

relatif dekat dengan kata lain masih dalam satu desa. Sedangkan pedagang

kecamatan harus mengangkut lebih jauh dengan jarak 30-80 km. Besarnya biaya

angkut untuk komponen industri disebabkan jarak angkut menuju lokasi industri

berkisar antara 260 km sampai 300 km.

Marjin tata niaga dipisahkan menjadi dua yaitu dari petani sampai dengan

konsumen dan dari petani ke industri. Pemisahan ini dilakukan karena terdapat

KONSUMEN

PEDAGANG

PENGECER

PEDAGANG

PENGUMPUL

DESA

PEDAGANG

PENGUMPUL

KECAMATAN

INDUSTRI

VCO,KELAPA

PARUT,NATA DE

COCO, DLL

KELAPA PECAH

/APKIR

KOPRA

KERING

PEDAGANG

PENGUMPUL

KOPRA

INDUSTRI

MINYAK KELAPA

PETANI

/PRODUSEN

PEDAGANG

PENGIRIM

Page 36: Sabut Kelapa

106

pedagang pengirim yang ikut dalam proses tata niaga. Pedagang pengirim

mengambil produk kelapa dari pedagang kecamatan. Peran pedagang pengirim

cukup besar, hal ini ditunjukkan dengan besarnya marjin.

Distribusi biaya pemasaran relatif merata kecuali biaya angkut dan harga

beli. Marjin keuntungan tertinggi berada pada level pedagang pengirim yang

mencapai Rp. 300/butir. Hal ini disebabkan besarnya resiko yang dihadapi,

disamping besarnya modal dalam mekanisme pemasaran. Sedangkan marjin

terendah berada pada tingkat pedagang pengumpul desa. Salah satu penyebabnya

adalah adanya biaya pengupasan kulit luar yang harus ditanggung sebelum

pembeli tingkat kecamatan datang. Selain itu dari sisi permodalan pedagang

pengumpul desa relatif memiliki modal yang kecil. Resiko pecah dan apkir juga

menjadi pembatas pedagang level ini untuk menigkatkan marjin keuntungan.

Marjin keuntungan setiap golongan pedagang lebih besar dibandingkan

biaya pemasaran sehingga harga di tingkat petani menjadi relatif rendah.

Damanik dan Sientje (1992) menyatakan bahwa pola tata niaga di atas merupakan

ciri dari pemasaran yang bersifat monopsoni. Harga ditentukan oleh beberapa

atau satu lembaga pemasaran yang dalam hal ini pemilik modal.

Dalam pemasaran kelapa, pedagang pengirim memegang peranan yang

sangat besar dalam menjalankan fungsi tata niaga kelapa, karena mereka inilah

yang menyediakan sebagian besar modal kerja dan menghadapi resiko paling

besar. Resiko inilah yang sering dijadikan alasan untuk menekan harga di tingkat

pedagang pengumpul maupun petani, sebagai akibatnya tata niaga kelapa di

daerah menjadi tidak efisien (Herman dan Saputro (1990) dalam Damanik dan

Sientje (1992).

Disisi lain posisi petani sebagai price taker (penerima harga) menjadikan

pedagang memiliki kekuasaan untuk menentukan harga, selain beberapa petani

telah menerima pembayaran awal harga kelapa sebelum panen. Pola pembayaran

awal banyak dilakukan pada kondisi petani memerlukan dana untuk biaya anak

sekolah atau biaya berobat. Kebutuhan tersebut mendorong petani kelapa

meminjam dana kepada pedagang dengan konsekuensi pembayaran dengan

produk kelapa pada saat panen. Hasil analisis marjin tata niaga kelapa menurut

golongan pedagang disajikan pada tabel berikut:

Page 37: Sabut Kelapa

107

Tabel 27. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Produk Kelapa di Kabupaten

Lampung Barat.

Harga Biaya Persentase Persentase No Uraian

(Rp/butir) (Rp/butir Konsumen Industri

1 Harga jual petani 1,100 - - -

2

Harga beli pedagang pengumpul

Desa 1,100 - 61.11 50.00

Biaya sortir dan membersihkan - 50 7.14 4.55

Biaya angkut/transportasi - 50 7.14 4.55

Keuntungan - 50 7.14 4.55

3 Harga beli pedagang kecamatan 1,250 - 69.44 56.82

Biaya bongkar muat - 50 7.14 4.55

Biaya Angkut/transportasi - 100 14.29 9.09

Keuntungan - 100 14.29 9.09

4 Harga Beli Pedagang Pengecer 1,500 - 83.33

Biaya bongkar muat 50 7.14

Biaya Angkut/transportasi 50 14.29

Keuntungan 200 28.57

5 Harga Beli Konsumen 1,800 - - -

Jumlah Marjin Konsumen 700

6 Harga Beli Pedagang Pengirim 1,250 - - 64.10

Biaya bongkar muat - 100 - 9.09

Biaya Angkut/transportasi - 300 - 27.27

Keuntungan - 300 - 27.27

Harga Beli Industri 1,950 - - -

Jumlah Marjin Industri - 1,100 107.14 100.00

Menurut data statistik Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat,

harga kelapa dan kopra pada tahun 2004-2006 rata-rata Rp. 700-1.500-/ butir dan

Rp.1.000- 3.150/kg. Harga tersebut cenderung meningkat terutama pada tahun

2005-2006. Peningkatan tersebut tidak lepas dari bertambahnya konsumsi kelapa

di kalangan masyarakat.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diketahui bahwa harga

kelapa di tingkat petani berada pada level di atas Rp. 1.000/butir sejak tahun 2005

sampai dengan sekarang. Bagi petani harga tersebut cukup memberikan gairah

untuk menjadikan kelapa sebagai salah satu alternatif pendapatan. Berikut ini

disajikan perkembangan harga komoditas kelapa di Kabupaten Lampung Barat

tahun 2004-2006.

Page 38: Sabut Kelapa

108

Tabel 28. Harga Pasar Produk Kelapa di Kabupaten Lampung Barat Tahun 2004-

2006 Tahun Produk Satuan Harga

Terendah

Harga

Tertinggi

Rata-rata

2004 Kopra Kg 1,000 1,000 1,000

Kelapa Segar Butir 700 1.000 875

2005 Kopra Kg 4,000 4,000 4,000

Kelapa Segar Butir 1.000 1.300 1.250

2006 Kopra Kg 3,200 4,000 3.150

Kelapa Segar Butir 1,200 1,500 1,230

Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat

5.5. Keragaan Perkebunan Kelapa di Kabupaten Lampung Barat

Fluktuasi harga yang tidak menentu menyebabkan petani kurang bergairah

untuk meningkatkan produksi tanaman kelapa melalui perawatan. Hal ini terlihat

dari hasil wawancara, seluruh responden menyatakan tidak pernah melakukan

pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Pada dasarnya petani

memahami perlunya perawatan, namun harga jual yang tidak menentu dan belum

adanya produk olahan, pertanaman kelapa menjadi penghasilan sampingan selain

usaha tani lainnnya.

Berikut ini disajikan keragaan perkebunan kelapa di Kabupaten Lampung Barat.

1. Perkebunan Kelapa di Kabupaten Lampung Barat seluruhnya merupakan

perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional turun temurun.

2. Luas kepemilikan lahan usaha tani kelapa berkisar antara 1−2 ha per kepala

keluarga, dengan populasi 100-143 pohon/ha. Luas tersebut cenderung akan

berkurang sebagai akibat fragmentasi lahan sejalan dengan sistem bagi waris

yang menjadi budaya.

3. Pola tanam sebagian besar dilakukan secara monokultur, kecuali di

Kecamatan Pesisir Selatan yang dilakukan tumpangsari dengan melinjo dan

kakao. Pola monokultur ini menjadikan pemanfaatan lahan kurang optimal

sehingga produktivitasnya rendah. Petani juga belum menerapkan teknologi

budi daya anjuran karena keterbatasan modal dan adanya keengganan untuk

merawat akibat ketidakpastian harga. Pemeliharaan tanaman masih terbatas

pada penyiangan dengan interval tidak teratur, tanpa pemupukan dan

pengendalian hama dan penyakit.

Page 39: Sabut Kelapa

109

Gambar 12. Perkebunan Kelapa Rakyat di Kabupaten Lampung Barat

4. Perkebunan kelapa petani di Kabupaten Lampung Barat pernah didukung oleh

Proyek Pengembangan dan Rehabilitasi Tanaman Ekspor (PRPTE).

5. Jenis kelapa yang diusahakan adalah kelapa dalam lokal dengan produktivitas

hanya 660-700 kg kopra/ha/tahun atau atau sekitar 2.600-3.000 butir kelapa

segar, jauh di bawah potensi produktivitas yang dimiliki sebesar 2,50 ton

kopra/ha/tahun.

6. Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar tanaman kelapa berumur tua

(lebih dari 20 tahun) dan kurang produktif lagi sebagai akibat belum

berjalannya program peremajaan tanaman. Usaha peremajaan terhambat oleh

ketersediaan dan mahalnya harga bibit yaitu berkisar Rp. 5.000 sampai dengan

Rp. 15.000/batang tergantung umur. Selain itu serangan hama babi hutan

pada pertanaman muda dan banyaknya sapi milik masyarakat yang tidak

dikandangkan menjadi hama tanaman kelapa muda.

Page 40: Sabut Kelapa

110

Gambar. 13. Proses Pengupasan Kelapa

7. Produk usaha tani yang dihasilkan masih bersifat terbatas pada kelapa butiran

dan kopra berkualitas rendah. Pemanfaatan hasil samping belum banyak

dilakukan oleh petani, sehingga banyak produk sampingan terbuang percuma

akibatnya nilai tambah dari usaha tani belum diperoleh secara optimal.

8. Pendapatan petani kelapa di Kabupaten Lampung Barat masih rendah dan

fluktuatif sehingga tidak mampu mendukung kehidupan keluarga secara layak.

Pendapatan dari usaha tani kelapa monokultur sebesar Rp2.700.000/ha/tahun

sampai dengan Rp. 3.100.000/ha/tahun atau Rp.225.000/ha/bulan sampai

dengan 258.000/ha/bulan. Hal ini menggambarkan bahwa usaha tani kelapa

belum mampu memberikan penghasilan yang layak. Kondisi ini semakin

mendorong petani utnuk tidak melakukan perawatan intensif karena besarnya

biaya perawatan terutama pupuk dan obat-obatan.

9. Dukungan kelembagaan seperti koperasi dan kelompok tani belum berjalan

dengan baik. Kondisi ini tampak dari ketiadaan koperasi pendukung usaha

tani kelapa dan kelompok tani berbasis kelapa yang aktif.

Namun demikian berdasarkan hasil pengamatan dilapangan saat ini telah

terdapat upaya pemerintah Kabupaten Lampung Barat dalam memberdayakan

Page 41: Sabut Kelapa

111

petani kelapa. Langkah-langkah pemerintah daerah tampak dalam beberapa tahun

terakhir dengan berjalannya program pembinaan antara lain:

1. Pemerintah Daerah telah menyusun Peta Jalan (Road Map) komoditas kelapa

sampai dengan tahun 2011. Road Map ini memberikan penjelasan bahwa

adanya upaya untuk meningkatkan produktiftas dan kesejahteraan petani

kelapa secara terencana.

2. Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat memberikan bantuan bibit

kelapa unggul lokal sebanyak 5.000 batang kepada petani pada tahun 2007

dan 10.000 batang pada tahun 2008. Bantuan bibit ini dilakukan untuk turut

membantu dalam meremajakan pertanaman kelapa mayarakat.

3. Adanya upaya perbaikan pola pengusahaan melalui pemberian bantuan bibit

kakao untuk tumpangsari dengan tanaman kelapa, disamping penguatan

kelembagaan kelompok. Tercatat sejak tahun 2002 telah diberdayakan 12

kelompok tani yang melaksanakan pembibitan sebanyak 250.000 batang bibit

kakao.

4. Pemerintah Daerah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan telah

memberikan bantuan alat pengolahan kelapa terpadu kepada beberapa

kelompok tani.

5. Perencanaan pembangunan Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT)

bekerjasama dengan Departemen Perindustrian, sebagai bentuk langkah

Pemerintah Daerah mendukung perekonomian wilayah pesisir melalui sektor

industri.

5.6. Analisis Pohon Industri

Analisis pohon industri didasarkan pada keragaman produk turunan dari

kelapa, karena itu tanaman ini dikenal sebagai tanaman serba guna dimana seluruh

bagiannya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan tanaman kelapa

mulai dari batang, daun, akar dan buah. Berbagai manfaat dari bagian-bagian

tersebut antara lain untuk keperluan: pangan, obat-obatan, mebel, kerajinan

tangan, sampai dengan bahan baku industri. Berikut ini disajikan diagram alir

pemanfaatan tanaman kelapa:

Page 42: Sabut Kelapa

112

5.6.1. Daun

Gambar 14. Pohon Industri Daun Kelapa

5.6.2. Batang

Pemanfaatan batang kelapa sebagai produk kerajinan sudah sejak lama

dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Produk furniture, alat-alat dapur, peralatan

pertanian sampai dengan bahan bangunan merupakan hal yang umum di kalangan

masyarakat. Industri berbasis pohon kelapa masih dilakukan dalam skala kecil,

yaitu di tingkat perajin rumah tangga sampai dengan usaha-usaha kecil. Pada

gambar berikut disajikan pohon industri produk yang berasal dari batang kelapa.

Gambar. 15. Pohon Industri Batang Kelapa

5.6.3. Buah

Buah kelapa memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia terutama

untuk keperluan rumah tangga. Secara umum buah kelapa dibedakan menjadi:

sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa.

Batang

Industri Kerajinan

Industri Kerajinan

Tangan

Hiasan Dinding,

Asbak

Furniture, gagang

Cangkul, dll

Bahan

Jembatan

Bahan-bahan

Bangunan

Pelepah

Helai

Daun

Lidi Daun

Industri Kerajinan

Tangan

Industri Kerajinan

Tangan

Industri Kerajinan

Tangan

Souvenir

Tas, Keranjang

Sapu Lidi, Tusuk

Sate

Hiasan, Ketupat,

Page 43: Sabut Kelapa

113

5.6.3.1. Sabut Kelapa

Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus

tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri atas

lapisan terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium). Endocarpium

mengandung serat-serat halus yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat tali,

karung, pulp, karpet, sikat, keset, isolator panas dan suara, filter, bahan pengisi

jok kursi/mobil/kasur dan papan hardboard. Satu butir buah kelapa menghasilkan

0,4 kg sabut yang mengandung 30% serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri

atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas, arang, ter, tannin, dan potasium .

Salah satu produk yang dapat diolah dari tanaman kelapa adalah serabut

kelapa. Namun saat ini pemanfaatan serabut kelapa masih sangat kurang di

kalangan masyarakat. Hal ini diakibatkan kurangnya pemahaman tentang nilai

ekonomi produk ini. Disisi lain teknologi dan informasi pasar tentang serabut

kelapa belum banyak diketahui oleh masyarakat.

Produk primer dari pengolahan sabut kelapa terdiri atas serat (serat

panjang), bristle (serat halus dan pendek), dan debu abut. Serat dapat diproses

menjadi serat berkaret, matras, geotextile, karpet, dan produk-produk

kerajinan/industri rumah tangga. Matras dan serat berkaret banyak digunakan

dalam industri jok, kasur, dan pelapis panas.

5.6.3.2. Coco Peat (Debu Sabut)

Debu sabut dapat diproses jadi kompos dan cocopeat, dan particle

board/hardboard. Coco peat digunakan sebagai substitusi gambut alam untuk

industri bunga dan pelapis lapangan golf. Di samping itu, bersama bristle dapat

diolah menjadi hardboard (Nur et al. 2003 dalam Mahmud dan Ferry, 2007).

Produksi yang dihasilkan adalah sabut kelapa dan debu (coco peat). Setiap 1 kg

sabut membutuhkan 5 butir kelapa, dan setiap 1 kg debu sabut membutuhkan 16

butir kelapa. Pada Gambar berikut ini disajikan pohon industri sabut kelapa.

Page 44: Sabut Kelapa

114

Gambar. 16 Pohon Industri Sabut Kelapa

5.6.3.3. Arang Aktif

Arang tempurung kelapa adalah produk yang diperoleh dari pembakaran

tidak sempurna terhadap tempurung kelapa. Sebagai bahan bakar, arang lebih

menguntungkan dibanding kayu bakar. Arang memberikan kalor pembakaran

yang lebih tinggi, dan asap yang lebih sedikit. Arang dapat ditumbuk, kemudian

dikempa menjadi briket dalam berbagai macam bentuk. Briket lebih praktis

penggunaannya dibanding kayu bakar. Arang dapat diolah lebih lanjut menjadi

arang aktif, dan sebagai bahan pengisi dan pewarna pada industri karet dan

plastik.

Tempurung kelapa yang dulu hanya digunakan sebagai bahan bakar,

sekarang sudah merupakan bahan baku industri cukup penting. Produk yang

dihasilkan dari pengolahan tempurung adalah arang, arang aktif, tepung

tempurung dan barang kerajinan. Arang aktif dari tempurung kelapa memiliki

daya saing yang kuat karena mutunya tinggi dan tergolong sumber daya yang

terbarukan. Pada gambar berikut disajikan pohon industri produk tempurung

kelapa (Mahmud dan Ferry, 2007).

Industri Kerajinan

Industri Kerajinan

Serat

Panjang

Serat

Pendek

Debu

Sabut

Sabut

Industri Kerajinan

Matras, Tambang

Sapu, Keset, sikat

Hard Board

Genteng

Kompos

Coco Peat/Media

Tanam

Page 45: Sabut Kelapa

115

Gambar. 17 Pohon Industri Tempurung Kelapa

Karbon aktif merupakan bahan baku olahan dari tempurung kelapa yang

banyak digunakan dalam berbagai industri antara lain obat-obatan, makanan,

minuman dan pengolahan air. Manfaat arang aktif secara kimiawi berguna untuk

proses pemurnian cairan, penjernihan air, dan penyaringan gas-gas kotor.

Pembuatan karbon aktif dilakukan melalui aktivasi dari arang tempurung.

Dalam pembuatannya arang tempurung dimasukkan ke dalam suatu tabung.

Produksi yang dihasilkan adalah arang tempurung. Setiap 1 kg arang tempurung

membutuhkan 24 butir tempurung kelapa.

5.6.3.4. Daging Buah

Daging buah kelapa merupakan produk primer yang banyak dimanfaatkan

dari kelapa. Saat ini ekspor produk kelapa Indonesia didominasi oleh hasil

industri yang memanfaatkan daging buah kelapa. Berikut ini disajikan gambar

pohon industri berbahan daging kelapa.

Tempurung

Asbak, peralatan

makan

Hiasan Dinding,

Tas, Ikat Pinggang

Industri Kimia

Industri Kerajinan

Tangan

Arang Aktif, Briket

Asap Cair

Page 46: Sabut Kelapa

116

Gambar. 18 Pohon Industri Daging Buah Kelapa

5.6.3.5. Air Kelapa

Volume air yang terdapat pada kelapa dalam sekitar 300 ml, kelapa

Hibrida 230 ml, dan kelapa Genjah 150 ml. Air kelapa dimanfaatkan untuk

pembuatan minuman ringan, jelly, ragi, alkohol, nata de coco, dextran, anggur,

cuka, ethyl acetat, dan sebagainya. Komposisi kimia air kelapa adalah; specific

grafity 1,02 %, bahan padat 4,71 %, gula 2,56 %, abu 0,46 %, minyak 0,74 %,

protein 0,55 %, dan senyawa khlorida 0,17%. Air kelapa yang dapat diolah untuk

menghasilkan beberapa produk bernilai ekonomi seperti minuman ringan, cuka,

dan nata de coco. Nata de coco sendiri selain sebagai makanan berserat, juga

dapat digunakan dalam industri akustik. Saat ini nata de coco telah berkembang

mulai dari skala industri rumah tangga hingga industri besar (Tenda et al. 1999

dalam Mahmud dan Ferry, 2007).

Gambar. 19. Pohon Industri Air Kelapa

Sabun Cuci,

Shampo

Minyak Goreng

Margarin

Industri

Kimia

Industri

Makanan

Campuran Biskuit,

Kue Kering

Biskuit, Kue Kering

Kelapa

Parut

Kopra

Santan

Daging

Buah

Minyak

Kelapa

Industri

Makanann

Industri

Makanann

Air Kelapa

Kecap,

Asam Cuka

Nata De Coco

Industri

Farmasi

Industri

Makanan

Dekstrosa

Obat Penurun

Panas

Page 47: Sabut Kelapa

117

Berdasarkan hasil kajian literatur dan diskusi dengan pakar kelapa, maka

didapat beberapa produk olahan yang berasal dari daging kelapa dan memiliki

nilai ekonomi, serta prospek pasar, baik domestik maupun ekspor. Adapun

produk tersebut adalah: Dessicated Coconut (Kelapa Parut), Minyak Kelapa, Nata

De Coco, Virgin Coconut Oil (VCO). Berikut ini disajikan deskripsi tentang

produk-produk tersebut:

5.6.4. Dessicated Coconut (Kelapa Parut)

Istilah Dessicated Coconut mungkin kurang akrab di telinga masyarakat

Indonesia. Sebenarnya produk ini sudah diproduksi oleh pengusaha Indonesia

sejak tahun 1960 an. Dessicated Coconut atau Kelapa Parut Kering adalah daging

buah kelapa yang dihaluskan, dikeringkan, dan diproses secara higienis. Produk

ini dikenal dalam empat ukuran yaitu; sangat halus, halus, sedang, kasar, dengan

bentuk potongan memanjang, keping, tipis dan parutan (Palungkun, 1992).

Pengolahan Dessicated Coconut meliputi beberapa tahap seperti seleksi

awal, pemisahan daging buah, pemotongan dan pencucian,sterilisasi,

penghancuran, pengeringan serta pengemasan. Berbagai manfaat dari dessicated

coconut antara lain: sebagai bahan tambahan pembuatan biskuit dan kue kering,

manisan kelapa, krim kelapa dan makanan ringan lain seperti coconut chips.

5.6.5. Minyak Kelapa

Minyak kelapa merupakan produk penting yang banyak dibutuhkan oleh

rumah tangga dan industri terutama industri makanan. Sebagai salah satu

komponen dari sembilan bahan pokok (sembako), saat ini keberadaannya sedang

banyak dibicarakan. Langkanya produk minyak goreng di pasaran telah

mendorong peningkatan harga. Manfaat minyak kelapa di kalangan masyarakat

Indonesia adalah sebagai media untuk memasak di dapur. Sebagai bahan untuk

menggoreng minyak kelapa merupakan elemen penting dalam pemenuhan

kebutuhan dasar manusia yaitu makan. Oleh karena itu manfaat minyak goreng

sangat besar. Selain itu minyak kelapa berguna sebagai bahan baku industri

kosmetik, sabun dan bahan kimia lainnya.

Page 48: Sabut Kelapa

118

5.6.6. Nata De Coco

Di Indonesia pemanfaatan air kelapa belum maksimal, karena banyak yang

terbuang percuma. Namun akhir-akhir ini sudah banyak upaya memanfaatkan air

kelapa untuk diolah menjadi produk yang bernilai tinggi yaitu Nata De Coco. Di

Philipina air kelapa sudah dimanfaatkan untuk pembuatan minuman ringan, jelly,

ragi alkohol, dekstran, anggur, cuka, ethyl acetat dan lain-lain (Palungkun, 1992).

Nata De Coco mempunyai arti krim yang berasal dari air kelapa. Krim ini

dibentuk oleh mikroorganisme Acetobacter xylinum melalui proses fermentasi.

Mikroorganisme membentuk gel pada permukaan larutan yang mengandung gula.

Pembentukan Nata De Coco terjadi karena proses pengambilan glukosa dari

larutan gula dalam air kelapa oleh Acetobacter xylinum. Nata De Coco sebenarnya

tidak mempunyai nilai gizi yang berarti bagi manusia, oleh sebab itu produk ini

hanya dipakai sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet.

5.6.7. Santan Kelapa

Penggunaan santan kelapa sebagai bahan masakan sudah merupakan hal

yang umum di kalangan masyarakat Indonesia. Santan kelapa dipergunakan

untuk bahan makanan, dan pelengkap pembuatan kue. Oleh karena itu

keberadaan santan kelapa sudah menjadi bagian dari budaya kuliner masyarakat

Indonesia. Dengan kata lain banyak bahan makanan dan kue terasa kurang

nikmat tanpa tambahan santan kelapa.

Teknik pembuatan santan kelapa terus berkembang, mulai dari manual

hingga kini menggunakan mesin. Namun cara-cara tersebut menghasilkan santan

yang tidak tahan lama karena hanya dalam beberapa jam saja, santan akan berbau

tengik. Untuk mengatasi masalah tersebut santan kelapa diawetkan dalam bentuk

pasta dan dikemas dalam kaleng atau botol. Di Lampung industri pembuatan

santan kelapa sudah berkembang sejak tahun 1990 an. Saat ini tercatat PT. Sari

Segar Husada sebagai produsen santan kelapa, dimana sebagian besar produknya

di ekspor.

Page 49: Sabut Kelapa

119

5.6.8. Virgin Coconut Oil (VCO)

Virgin Coconut Oil atau minyak kelapa murni terbuat dari daging kelapa

segar. Prosesnya semua dilakukan dalam suhu relatif rendah. Daging buah

diperas santannya. Santan ini diproses lebih lanjut melalui proses fermentasi,

pendinginan, tekanan mekanis atau sentrifugasi. Penambahan zat kimiawi

anorganis dan pelarut kimia tidak dipakai serta pemakaian suhu tinggi berlebihan

juga tidak diterapkan. Hasilnya berupa minyak kelapa murni yang rasanya lembut

dan bau khas kelapa yang unik. Apabila beku warnanya putih murni dan dalam

keadaan cair tidak berwarna atau bening (WWW.VCO BALIWAE.COM).

Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan salah satu produk diversifikasi

kelapa yang akhir-akhir ini sedang menjadi primadona karena beberapa

khasiatnya, disamping harganya yang tinggi cukup menggiurkan untuk

diusahakan. VCO lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan suplemen dan bahan

baku farmasi serta kosmetik daripada sebagai minyak goreng. Saat ini nilai

jualnya dapat meningkat lebih 500% dibanding minyak kelapa biasa yang

harganya Rp. 7000/liter (BPTP Lampung, 2006).

Berbagai macam penyakit dapat dicegah dengan mengkonsumsi VCO

karena adanya kandungan asam lemak rantai sedang seperti asam laurat dalam

VCO tersebut. Beberapa khasiat dari VCO adalah membunuh berbagai virus,

bakteri, jamur dan ragi penyebab berbagai penyakit, mencegah hipertensi,

diabetes, sakit jantung, kanker, lever dan mencegah pembesaran kelenjar prostat.

5.7. Analisis Permintaan (Demand)

Secara umum permintaan suatu komoditas pertanian dalam suatu negara

merupakan penjumlahan dari permintaan domestik (dalam negeri) dan permintaan

untuk ekspor (luar negeri). Bagi negara-negara maju umumnya mampu memenuhi

kebutuhan pangan penduduknya, sehingga kelebihan produksi dapat dialokasikan

untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri (ekspor). Sementara itu bagi

negara-negara berkembang termasuk Indonesia, permintaan terhadap komoditas

pertanian cenderung untuk memenuhi permintaan dalam negeri, bahkan untuk

beberapa komoditas pemenuhan kebutuhan dalam negeri masih harus didatangkan

dari luar negeri (impor). Dalam penelitian ini permintaan akan dibedakan menjadi

Page 50: Sabut Kelapa

120

dua yaitu permintaan domestik dan permintaan akan ekspor. Permintaan domestik

secara garis besar dibedakan menjadi permintaan langsung (konsumsi

rumahtangga) dan permintaan turunan (tidak langsung) yaitu permintaan untuk

bahan baku industri (Rachman, 2004).

Permintaan untuk konsumsi rumah tangga dihitung dari rata-rata konsumsi

per kapita pada tahun tertentu untuk komoditas kelapa dikalikan dengan jumlah

penduduk pada pertengahan tahun yang bersangkutan.

Gambar. 20. Diagram Alur Permintaan Produk Kelapa

5.7.1. Konsumsi Produk Kelapa

Permintaan produk kelapa untuk konsumsi rumah tangga merupakan hasil

perkalian antara konsumsi perkapita pertahun dengan jumlah penduduk pada

tahun yang bersangkutan. Dalam penelitian ini konsumsi produk kelapa dibagi

menjadi dua yaitu wilayah Kabupaten lampung Barat dan Propinsi Lampung,

sedangkan jenis produk yang dihitung yaitu minyak kelapa dan kelapa butiran.

Data jumlah penduduk dan jumlah konsumsi perkapita diperoleh dari badan Pusat

statistik. Berikut ini disajikan Perkembangan Permintaan Produk Kelapa Dalam

untuk Konsumsi Rumah Tangga di Kabupaten Lampung Barat.

Permintaan

Produk Kelapa Permintaan

Domestik

Permintaan

Ekspor

Permintaan Tidak

Langsung/Turunan

Permintaan Langsung

/Konsumsi Rumah

Tangga

Page 51: Sabut Kelapa

121

Tabel 29. Konsumsi Produk Kelapa Per Kapita Kabupaten Lampung Barat

Tahun Kelapa Butiran Minyak Kelapa

Σ Penduduk Butir/Kap Total Σ Penduduk Liter/Kap Total

2001 371,787 6.60 2,455,281 71,787 3.74 1,391,971

2002 377,298 8.79 3,315,695 377,298 4.58 1,726,516

2003 382,706 9.41 3,602,029 382,706 3.85 1,472,653

2004 388,113 11.28 4,379,467 388,113 4.00 1,554,004

2005 393,520 7.90 3,110,382 393,520 4.21 1,657,506

Sumber : BPS

Gambar. 21 dan 22 Grafik Konsumsi Kelapa Minyak Goreng di Kabupaten

Lampung Barat

Pengukuran konsumsi produk kelapa butiran dan minyak di Propinsi

Lampung dihitung berdasarkan jumlah penduduk dikalikan dengan tingkat

konsumsi per kapita per tahun. Data konsumsi diperoleh dari Survei sosial

ekonomi nasional (SUSENAS) 2007 Badan Pusat Statistik.

KONSUMSI KELAPA BUTIRAN DI KABUPATEN LAMPUNG

BARAT TAHUN 2001-2005

-

1,000,000

2,000,000

3,000,000

4,000,000

5,000,000

2001 2002 2003 2004 2005

TAHUN

VO

LUM

E (BUTIR

)

Σ Penduduk

Konsumsi

KONSUMSI MINYAK GORENG DI KABUPATEN LAMPUNG

BARAT TAHUN 2001-2005

-

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2001 2002 2003 2004 2005

TAHUN

VO

LUM

E (LIT

ER)

Σ Penduduk

Konsumsi

Page 52: Sabut Kelapa

122

KONSUMSI KELAPA BUTIRAN DI PROPINSI LAMPUNG

TAHUN 2001-2005

-

10,000,000

20,000,000

30,000,000

40,000,000

50,000,000

2001 2002 2003 2004 2005

TAHUN

VO

LU

ME

(B

UTIR

)

Σ Penduduk

Konsumsi

Perkembangan Permintaan Produk Kelapa Dalam untuk Konsumsi Rumah

Tangga di Propinsi Lampung. Tabel berikut ini menyajikan data perkembangan

tingkat konsumsi kelapa butiran dan minyak kelapa di Propinsi Lampung Tahun

2001-2005

Tabel. 30. Perkembangan Konsumsi Kelapa dan Minyak Kelapa di propinsi

Lampung Tahun 2001-2005. Tahun Kelapa Butiran Minyak Kelapa

Σ Penduduk Butir/Kap Total Σ Penduduk Liter/Kap Total

2001 3,465,901 6.60 22,888,810 3,465,901 3.74 12,976,333

2002 3,504,260 8.79 30,795,437 3,504,260 4.58 16,035,494

2003 3,534,975 9.41 33,271,185 3,534,975 3.85 13,602,584

2004 3,563,313 11.28 40,208,424 3,563,313 4.00 14,267,505

2005 3,596,432 7.90 28,426,199 3,596,432 4.21 15,148,172

Sumber : BPS

Konsumsi kelapa butiran di Propinsi Lampung berkisar antara 6,6 butir per

kapita per tahun sampai dengan 11,28 butir per kapita per tahun. Tingginya

konsumsi terjadi pada tahun 2004. Pada gambar berikut ditunjukkan

perkembangan tingkat konsumsi kelapa butiran di Propinsi Lampung Tahun

2001-2005.

Gambar. 23. Grafik Konsumsi Kelapa di Propinsi Lampung

Perkembangan tingkat konsumsi minyak goreng di Propinsi Lampung

pada tahun 2001-2005 cenderung relatif konstan yaitu berkisar antara 12.976.333

liter sampai dengan 16.035.494 liter. Angka tertinggi terjadi pada tahun 2002

yaitu 16.035.494 liter. Tingginya konsumsi kelapa butiran di Propinsi Lampung

tidak terlepas dari sikap masyarakat Lampung khususnya daerah pesisir yang

Page 53: Sabut Kelapa

123

KONSUMSI MINYAK GORENG DI PROPINSI LAMPUNG TAHUN

2001-2005

-

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

2001 2002 2003 2004 2005

TAHUN

VO

LU

ME

(LIT

ER

)

Σ Penduduk

Konsumsi

selalu menggunakan santan sebagai bagian dari bumbu masakan penduduk.

Fenomena ini membuat tingkat konsumsi kelapa cenderung meningkat setiap

tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk. Pada gambar berikut disajikan

perkembangan konsumsi minyak goreng di Propinsi Lampung tahun 2001-2005.

Gambar. 24. Grafik Konsumsi Kelapa di Propinsi Lampung

5.7.2. Eskpor Produk Kelapa

Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil produk

pertanian di Indonesia. Produk pertanian sebagian diekspor dalam bentuk produk

non olahan, juga diekspor dalam bentuk hasil industri. Produk olahan kelapa yang

diekspor dari Propinsi Lampung adalah Dessicated Coconut, Nata De Coco,

Arang Tempurung, Coco Fiber, dan Santan Kelapa. Perkembangan ekspor

produk olahan kelapa di Propinsi Lampung disajikan pada Tabel berikut ini:

Tabel. 31. Ekspor Produk Kelapa Propinsi Lampung Tahun 2001-2006

VOLUME (TON) PRODUK KELAPA

2001 2002 2003 2004 2005 2006

Rata-Rata Pertumbu

han (%)

Oil Cake, and Other Solid Residue/Kopra A

21,016.00 10,050.00 18,252.83 - 10,280.13 26,902.24 18.23

Dessicated Coconut 2,180.49 2,898.44 1,544.15 258.47 2,220.90 5,031.28 5.90

Kelapa Butiran - - 24.49 - - - -

Coco Fiber - - - 10.79 - 38.22 -

Arang Tempurung 3,690.41 7,078.54 9,115.96 1,702.16 50.00 - (12.15)

Produk Kelapa Lain 12.25 69.00 168.20 314.76 115.00 3,434.96 716.24

Sumber Departemen Perdagangan (diolah)

Perkembangan ekspor tersebut dipengaruhi oleh terus tumbuhnya industri

pengolahan kelapa di Propinsi Lampung. Industri tersebut antara lain PT. Wong

Page 54: Sabut Kelapa

124

EKSPOR PRODUK KELAPA PROPINSI LAMPUNG

-

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

25,000,000

30,000,000

2001 2002 2003 2004 2005 2006

TAHUN

VO

LU

ME

(TO

N) COPRA COCONUT A

COCONUT DESSICATED

KELAPA BUTIRAN

PRODUK KELAPA LAIN

TEMPURUNG KELAPA

ARANG TEMPURUNG

Coco yang memproduksi Nata De Coco, PT. Sari Segar Husada yang

memproduksi Dessicated Coconut dan Santan Kelapa dan PT. Sinar Laut yang

memproduksi minyak kelapa. Berkembangnya industri tersebut semakin

meningkatkan aktifitas pengolahan kelapa, selain tumbuhnya usaha kecil yang

mengolah sabut kelapa, arang tempurung dan VCO. Pada gambar berikut

disajikan grafik perkembangan ekspor produk kelapa dari Propinsi Lampung pada

tahun 2001-2006.

Gambar. 25. Grafik Ekspor Produk Kelapa Propinsi Lampung

Ekspor produk kelapa Propinsi Lampung didominasi oleh kopra,

Dessicated Coconut, dan arang tempurung. Berdasarkan data di atas volume

ekspor cenderung tidak stabil. Salah satu hambatan ekspor kelapa di Propinsi

Lampung adalah kotinyuitas ketersediaan bahan baku. Kontinyuitas sangat

dipengaruhi oleh produksi di tingkat petani, karena sebagian besar produksi

kelapa berasal dari perkebunan rakyat. Kenyataan ini akan berpengaruh terhadap

Supply dan Demand produk kelapa oleh industri, disamping tingginya jumlah

konsumsi di kalangan masyarakat.

Dari data ekspor di atas terjadi penurunan tajam pada tahun 2004,

sebaliknya berdasarkan data konsumsi pada tahun yang sama terjadi peningkatan

yang besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa rendahnya nilai ekspor produk

kelapa seperti kopra dan dessicated coconut, karena meningkatnya konsumsi

kelapa di masyarakat (Tabel 29).

Perkembangan perdagangan produk kelapa tidak hanya bersifat lokal

propinsi Lampung tetapi juga dalam skala nasional. Berdasarkan data dari Asia

Page 55: Sabut Kelapa

125

Pacific Coconut Community (APCC) Indonesia merupakan salah satu produsen

kelapa dan produk olahan terbesar di dunia.

Negara-negara pengimpor produk kelapa Indonesia antara lain Eropa:

Bulgaria, Prancis, Jerman Georgia, Italia, Kazakhstan Latvia, Lithuania, Belanda

Protugal Rusia, Spanyol, Swedia, Ukraina dan lain-lain, Amerika antara lain:

Brazil, Meksiko, Nicaragua, Amerika Serkat. Negara-negara impotrir dari Afrika

adalah: Aljazair, Mesir, Maroko, Mozambik, Tanzania, Tunisia dan lain-lain, dan

negara-negara Importir dari Asia adalah: RRC, Australia, Timor Leste,

Hongkong, India Iran Jepang, Yordania Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru

Pakistan Papua Nugini, singapura, Sri Langka, Siria, Taiwan, Thailand, Vietnam

dan lain-lain.

Menurut APCC kontribusi sektor kelapa terhadap ekspor Indonesia

cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2001-2006 berkisar antara 0,33 sampai

dengan 0,65 persen dengan rata-rata pada periode tersebut yaitu sebesar 0,40

persen. Meskipun relatif kecil, namun kontribusi ini dapat terus meningkat

seiring dengan pertumbuhan agroindustri berbasis kelapa.

Data perkembangan ekspor produk minyak kelapa Indonesia tahun 2001 sampai

dengan 2006 adalah sebagai berikut:

Tabel. 32. Perkembangan Permintaan Ekspor Produk Kelapa Indonesia Tahun

2001-2006 Volume (Ton)

Produk Kelapa 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Rata-Rata Pertum

buhan (%)

Minyak Kelapa 385,140 434,972 321,535 443,762 745,742 519,556 12.52

Dessicated

Coconut

35,683 50,410 37,286 30,780 51,025 62,249 17.11

Karbon Aktif 12,104 11,544 12,157 15,624 25,670 15,529 10.80

Coco Fiber 73 78 281 1,067 3,550 3,450 155.34

Santan 10,500 24,100 20,340 20,240 32,480 27,402 31.65

Kelapa Segar 16,613 32,891 38,321 31,619 30,799 83,600 53.17

Kopra 23,884 40,045 25,107 36,139 3,550 3,450 (3.74)

Sumber: Statistical Year Book APCC (diolah)

Gambar berikut menyajikan perkembangan secara grafis ekspor produk

kelapa Indonesia tahun 2001-2006.

Page 56: Sabut Kelapa

126

PERKEMBANGAN EKSPOR PRODUK KELAPA INDONESIA

TAHUN 2001-2006

-

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

2001 2002 2003 2004 2005 2006

TAHUN

VO

LU

ME

(TO

N) Dessicated Coconut

Karbon Aktif

Coco Fiber

Santan

Kelapa Segar

Kopra

PERKEMBANGAN EKSPOR MINYAK KELAPA INDONESIA

TAHUN 2001-2006

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

2001 2002 2003 2004 2005 2006

TAHUN

VO

LU

ME

(TO

N)

Minyak Kelapa

Gambar. 26. Grafik Ekspor Produk Kelapa Indonesia

Gambar. 27. Grafik Ekspor Minyak Kelapa Indonesia

Trend permintaan terhadap ekspor produk kelapa Indonesia mengalami

fluktuasi, hal ini dipengaruhi oleh kondisi pasar dunia, negara-negara pesaing dan

produksi kelapa rakyat. Menurut Muslim (2006) Indonesia mengalami penurunan

ekspor sebagai akibat perubahan struktur impor negara tujuan (efek struktural)

dan menurunnya daya saing (efek kompetitif).

Berdasarkan data ekpor di atas, maka dapat dianalisis proyeksi permintaan

ekspor produk kelapa Indonesia di pasar internasional. Proyeksi menggunakan

pendekatan estimasi trend. Estimasi trend menggunakan metode Kuadrat Terkecil

(Least Squares). Pemilihan metode ini karena metode ini menggunakan apa yang

secara matematik digambarkan sebagai Line of Best Fit.

Page 57: Sabut Kelapa

127

Berdasarkan analisis trend dengan metode Kuadrat Terkecil, maka didapat

data proyeksi permintaan sebagaimana disajikan pada table berikut ini:

Tabel. 33. Hasil Analisis Trend Permintaan Ekspor Produk Kelapa Dengan

Metode Kuadrat Terkecil. Volume (Ton)

Produk Kelapa 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Rata-Rata

Pertum buhan (%)

Minyak Kelapa 529,338 532,147 534,957 537,766 540,575 543,385 0.53

Dessicated

Coconut

64,801 68,482 72,163 75,844 79,525 83,205 5.13

Karbon Aktif 24,936 26,631 28,325 30,020 31,715 33,410 6.03

Coco Fiber 5,083 5,726 6,368 7,011 7,653 8,295 10.30

Santan 40,886 44,265 47,644 51,022 54,401 57,780 7.16

Kelapa Segar 78,274 85,052 91,831 98,610 105,389 112,167 7.46

Kopra 82,309 89,042 95,775 102,509 109,242 115,975 7.10

Pada gambar 27 dan 28 berikut disajikan grafik proyeksi permintaan Minyak

Kelapa dan Produk Olahan Kelapa lainnya Tahun 2008-2013.

Gambar 27 dan 28. Grafik Proyeksi Permintaan Produk Kelapa Indonesia

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR MINYAK KELAPA

INDONESIA TAHUN 2008-2013

520,000

525,000

530,000

535,000

540,000

545,000

2008 2009 2010 2011 2012 2013

TAHUN

VO

LU

ME

(TO

N)

Minyak Kelapa

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR PRODUK KELAPA

INDONESIA TAHUN 2008-2013

-

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

140,000

2008 2009 2010 2011 2012 2013

TAHUN

VO

LU

ME

(TO

N) Dessicated Coconut

Karbon Aktif

Coco Fiber

Santan

Kelapa Segar

Kopra

Page 58: Sabut Kelapa

128

Berdasarkan data ekspor produk kelapa di atas terlihat bahwa trend

permintaan ekspor Indonesia cenderung meningkat, meskipun terdapat sedikit

penurunan pada beberapa tahun tertentu. Menurut Muslim (2006) pada dasarnya

ekspor produk kelapa Indonesia tidak terspesialisai pada produk tertentu, karena

permintaan impor dari suatu negara sangat ditentukan oleh kebutuhan industri di

negara tersebut. Dengan demikian peranan barang substitusi sangat berpengaruh

terhadap produk agroindustri berbasis kelapa yang digunakan sebagai bahan baku

di negara-negara maju.

Proyeksi permintaan ekspor produk kelapa Indonesia diperkirakan akan

terus mengalami peningkatan. Beberapa hal yang mendukung peningkatan

tersebut menurut Muslim (2006) antara lain:

1. Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia, trend produksi terus

meningkat, sedangkan negara-negara lain seperti, Malaysia, Meksiko dan

Srilanka mengalami penrunan.

2. Ekspor produk Dessicated Coconut, Crude Coconut Oil, Kopra, dan Arang

tempurung masih didominasi oleh Indonesia.

3. Dalam hal ekspor produk agroindustri berbasis kelapa, Indonesia memiliki

spesialisasi pada tujuan negara China (Kopra); Malaysia (Kelapa Segar dan

Arang Aktif), Rusia (Kopra) dan Singapura (Arang Kayu).

Hal-hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa walaupun trend ekspor

dipengaruhi oleh produksi dalam negeri, namun prospek pasar luar negeri masih

sangat besar. Semakin berkurangnya produksi kelapa di negera-negara anggota

Asian and Pacific Coconut Community merupakan peluang bagi Indonesia untuk

meningkatkan perolehan devisa dari komoditas kelapa.

Upaya ini harus didukung oleh kebijakan pengembangan agroindustri

berbasis kelapa, tanpa mengabaikan sisi On Farm yang memainkan peranan

penting dalam menunjang produksi agroindustri. Berdasarkan tabel 31-32 di atas

terlihat bahwa ekspor rata-rata produk kelapa Indonesia sangat bervariasi

(bahkan terdapat pertumbuhan negatif). Ekspor produk kelapa Lampung terlihat

pada tabel 31., produk yang cenderung stabil yaitu Oil Cake, and Other Solid

Residue/Kopra A dan Dessicated Coconut. Sedangkan secara nasional produk

Page 59: Sabut Kelapa

129

variabilitas pertumbuhan terdapat nilai negatif yaitu kopra (-3,74), sedangkan

Coco Fiber mencapai rata-rata 155,34 persen.

Berdasarkan hasil proyeksi perkembangan ekspor tahun 2008-2013

pertumbuhan terendah dicapai minyak kelapa yaitu 0,53 persen, dan tertinggi

terdapat pada produk Coco Fiber yaitu 10,30 persen (Tabel 33).

Ekspor produk agroindustri kelapa Indonesia memberikan sumbangan

yang cukup berarti terhadap ekspor nasional. Berdasarkan data APCC tahun 2006

selama kurun waktu 2002-2006, kontribusi sektor perkelapaan terhadap ekspor

nasional mencapai 2,08 persen dari ekspor nasional dengan rata-rata 0,42 persen

per tahun.

Pertumbuhan rata-rata permintaan ekspor produk kelapa Indonesia baik

lokal Propinsi Lampung maupun Nasional cenderung terus meningkat. Oleh sebab

itu Pemerintah Pusat dan Daerah seyogyanya dapat meningkatkan upaya

pemenuhan permintaan ekspor tersebut. Langkah ini dapat ditempuh dengan

merevitalisasi agroindustri berbasis kelapa. Di sisi lain penanganan sisi On Farm

juga harus dilakukan secara serius meliputi perbaikan kultur teknis budidaya sejak

pembibitan, perawatan dan penanganan pasca panen.

Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat, trend permintaan

ekspor yang besar tersebut merupakan peluang terkait dengan rencana

pembangunan Kawasan Usaha Agro Terpadu Berbasis Komoditas Kelapa ini.

Luas areal dan produktifitas kelapa rakyat di Kabupaten Lampung Barat Tahun

2005, yang mencapai 6.326 Ha dengan produksi mencapai 2.413,0 ton, dan

produktifitas 681 Kg/Ha/Tahun dalam bentuk Kopra, tergolong sangat rendah.

Produktifitas optimal kelapa dapat mencapai 1,5-2,0 ton kopra/ha/tahun atau

setara 7.000-10.000 butir /ha/tahun.

Berdasarkan analisis kesesuaian lahan kelapa diketahui bahwa di wilayah

pesisir Kabupaten Lampung Barat, lahan yang sesuai (S1-S3) mencapai 190.892

ha atau 64,94 persen dari luas wilayah pesisir. Luas areal eksisting perkebunan

kelapa rakyat di Kabupaten Lampung baru mencapai 6.326 ha. Dengan demikian

potensi pengembangan masih sangat besar. Hal ini menjadi peluang dari sisi

budidaya dalam rangka mendukung program KUAT. Menurut buku Road Map

komoditas kelapa di Kabupaten Lampung Barat proyeksi penambahan luas areal

Page 60: Sabut Kelapa

130

yaitu 5 persen per tahun sampai dengan tahun 2011. Pada Tahun 2011

diproyeksikan areal perkebunan kelapa akan bertambah sebesar 1,879.10 ha.

Dari angka tersebut 1,082.38 atau 57,6 persen diarahkan ke wilayah pesisir.

Angka tersebut relatif kecil, namun diharapkan dapat memberikan dampak

terhadap pengembangan areal dan wilayah setempat.

Oleh karena itu produk yang dianggap sebagian masyarakat sebagai pohon

kehidupan ini perlu mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Besarnya

pangsa ekspor harus dimanfaatkan dengan cepat oleh pemerintah dan masyarakat

perkelapaan, ditengah semakin lemahnya isu pengembangan kelapa terkait

dengan maraknya pengembangan kelapa sawit oleh perusahaan swasta.

Pemenuhan kebutuhan ekspor produk kelapa memerlukan kerja keras para

stakeholder usaha tani kelapa. Hal ini terkait dengan kontinyuitas produksi,

karena di Kabupaten Lampung Barat seluruh areal perkebunan kelapa merupakan

usaha tani rakyat, dengan skala kecil dan teknologi sederhana. Namun demikian

gairah petani kelapa akan semakin tinggi bila ada jaminan kepastian harga dan

kemudahan pemasaran produk.

5.8. Arahan Pengembangan Kawasan Usaha Agro Terpadu

Pembangunan suatu kawasan agroindustri terpadu pada prinsipnya

merupakan langkah mempercepat pertumbuhan suatu wilayah dengan motor

penggerak ekonomi dari sektor industri. Konsep tersebut sangat tepat bila

dilaksanakan pada daerah dengan sumberdaya yang memadai untuk

kelangsungan proses produksi, disamping kebijakan pemerintah setempat.

Pembangunan klaster agroindustri membutuhkan biaya dan harapan yang

besar di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut arahan program pengembangan

kawasan perlu disusun sesuai dengan potensi dan kondisi yang ada. Melalui

Pembangunan Kawasan Agrousaha Terpadu diharapkan dapat menjadi salah satu

solusi dalam upaya peningkatan nilai tambah komoditas kelapa.

Arahan pembangunan klaster agro usaha terpadu di Kabupaten Lampung

Barat berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan berdasarkan : lokasi, produk

terpilih, pelaku kegiatan, dan prospek pemasaran. Secara rinci dapat dilihat pada

Tabel berikut ini:

Page 61: Sabut Kelapa

131

Tabel. 34. Arahan Pengembangan Kawasan Agro Usaha Terpadu

Uraian Pelaku Tujuan Arahan

Pembangunan Kawasan

Agrousaha Terpadu

Pemerintah Daerah Meningkatkan Nilai

Tambah Produk

Kelapa, Memacu

Pertumbuhan Eko

nomi Wilayah

Kawasan Agrousaha

Terpadu

Pemilihan Lokasi Pemerintah Daerah Memudahkan koordi

nasi, ketersediaan

bahan baku,

kedekatan dengan

lokasi pemasaran

Meningkatkan

Keuntungan Usaha

Alternatif 1: Desa

Biha, Marang

Sumber Agung dan

NR. Ngambur

Alternatif 2:

Desa Way Redak,

Kampung Jawa,

Pasar Krui, Seray,

dan Walur.

Pemilihan Produk Prospektif Pengelola KUAT Pemilihan Produk

yang memiliki nilai

tambah dan pasar

yang dapat dikelola

oleh manajemen

Kawasan

Produk dengan

Quality Contorl ketat

dilakukan oleh

manajemen Kawasan

seperti: Dessicated

Coconut, Minyak

Kelapa, Santan

Kelapa

Petani/UKM Pemanfaatan hasil

sampingan produk

kelapa dengan target

pasar lokal dan

ekspor, serta dapat

dilakukan oleh

petani/kelompok tani

Produk dengan

teknologi dan modal

yang tidak terlalu

besar seperti :Coco

Fiber, Arang Aktif,

Nata De Coco, Coco

Peat, VCO, dikelola

oleh UKM/

Masyarakat.

Prospek Pemasaran

- Rantai Tata Niaga Kelapa Pemerintah Daerah

UKM, Pengusaha

Swasta

Mengetahui sistem

pemasaran produk

kelapa, sehingga

dapat dilakukan

perbaikan sistem

yang tepat

Mengurangi rantai

tata niaga yang

panjang melalui

peningkatan nilai

tambah agar produk

dapat diolah.

- Identifikasi Permintaan Produk

Olahan Kelapa

Pemerintah Daerah

UKM, Pengusaha

Swasta

Pemilihan produk

yang bernilai jual

skala ekspor

berdasarkan data-data

statistic perdagangan

produk kelapa

Minyak Kelapa,

Dessicated Coconut,

Santan Kelapa,

Arang Aktif, Coco

Fiber, Kopra

Persepsi Masyarakat Pemerintah Daerah,

Lembaga Penelitian,

Petani

Mengupayakan

program dapat

diterima oleh

masyarakat secara

sosial dan budaya.

Melibatkan peran

serta masyarakat

dalam proses pem

bangunan penge

lolaan sampai dengan

pemanfaatan hasil

Kondisi Eksisting Perkebunan

Kelapa

Pemerintah Daerah

Lembaga Penelitian,

Petani

Mendapatkan

gambaran kondisi

eksisting perkebunan

kelapa rakyat,

sehingga pemilihan

program dapat

berjalan efektif

Melaksanakan pen

dekatan pada sisi On

Farm melalui per

baikan sistem budi

aya untuk men

dukung agroindustri

Page 62: Sabut Kelapa

132

Pemilihan lokasi untuk kawasan agroindustri kelapa merupakan

wewenang Pemerintah Daerah. Tanpa perencanaan lokasi yang tepat perusahaan

pengelola dapat terjebak pada persoalan biaya yang tinggi, kondisi sosial

masyarakat tidak kooperatif, jarak ke konsumen yang jauh dan kurangnya

kontinyuitas bahan baku yang berakibat tidak efisiennya proses produksi.

Berdasarkan hasil analisis alternatif lokasi yaitu Alternatif 1: Desa Biha, Marang

Sumber Agung dan NR. Ngambur, sedangkan Alternatif 2: Desa Way Redak,

Kampung Jawa, Pasar Krui, Seray, dan Walur. Namun keputusan final berada di

tangan pemerintah daerah yang akan memilih lokasi paling ekonomis dan secara

sosial dapat diterima masyarakat.

Pemilihan produk prospektif didasarkan pada pendapat para ahli dan

analisis permintaan produk olahan komoditas kelapa dalam. Dessicated Coconut,

Minyak Kelapa, dan Santan Kelapa merupakan hasil olahan yang banyak

dibutuhkan oleh pasar lokal maupun ekspor. Namun demikian produk-produk

tersebut memerlukan teknologi dan pengawasan mutu serta biaya produksi yang

besar. Oleh karena itu maka sebaiknya produksi dilakukan oleh perusahaan di

dalam kawasan.

Sebaliknya produk dengan teknologi dan modal yang tidak terlalu besar

seperti : Coco Fiber, Arang Aktif, Nata De Coco, Coco Peat, VCO, dikelola oleh

UKM/ Masyarakat. Keterlibatan pihak UKM dan masyarakat dapat mendorong

percepatan pemanfaatan hasil olahan komoditas kelapa, disamping dapat

meningkatkan misi sosial perusahaan. Produk-produk di atas sangat prospektif

karena memiliki pasar lokal dan ekspor, selain itu pengembangannya

memanfaatkan bagian lain dari daging buah kelapa, sehingga mendukung

keterpaduan pemanfaatan komoditas kelapa.

Peningkatan pemahaman dan persepsi masyarakat tentang program ini

penting dilakukan pemerintah, karena menyangkut komoditas dalam suatu

wilayah sehingga seharusnya dipahami oleh berbagai stakeholder. Sedangkan

keragaan perkebunan kelapa merupakan gambaran awal yang perlu diketahui

oleh Pemerintah Daerah dalam menyusun arahan guna mendukung program

pengembangan kawasan agroindustri terpadu berbasis komoditas kelapa.

Page 63: Sabut Kelapa

133

Rantai tata niaga kelapa di Kabupaten Lampung Barat yang bersifat

monopsoni, merupakan fenomena umum dalam sistem pamasaran produk

pertanian di Indonesia. Kondisi yang kurang menguntungkan pihak petani seperti

ini dapat dikurangi melalui peran aktif Pemerintah Daerah dalam

memberdayakan petani kelapa. Diharapkan melalui pembangunan kawasan agro

industri terpadu ini permasalahan tersebut secara perlahan dapat tertangani.

Menurut Soekartawi (2005), sebagai motor penggerak pembangunan

pertanian, agroindustri diharapkan akan dapat memainkan peranan penting dalam

kegiatan pembangunan daerah, baik sasaran pemerataan pembangunan,

petumbuhan ekonomi maupun stabilitas nasional. Banyak harapan telah

ditumpukkan pada agroindustri, namun harapan besar tersebut perlu melihat

potensi yang ada. Untuk mengubah potensi tersebut menjadi kenyataan, berbagai

apspek harus dikaji lebih mendalam apakah agroindustri yang dikembangkan

tersebut dapat menjalankan peranannya seperti yang diharapkan.

Pembangunan agroindustri kelapa selama ini belum memberikan pengaruh

pada peningkatan kesejahteraan petani, hal ini disebabkan petani hanya sebagai

pemasok bahan baku, dan belum terlibat dalam peningkatan nilai tambah. Disisi

lain keberadaan masyarakat di sekitar lokasi pabrik belum berpartisipasi secara

aktif, karena keberadaan industri merupakan milik swasta yang memerlukan

tenaga terampil. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses peningkatan nilai

tambah produk kelapa juga perlu dirumuskan dalam kawasan agrousaha terpadu

di Kabupaten Lampung Barat. Pembangunan klaster kelapa terpadu dengan

berbagai elemen yang dapat berperan dengan motor utama pengelola kawasan,

merupakan salah satu model pembangunan wilayah berbasis komoditas.

Kawasan industri seringkali juga dikenal dengan istilah klaster. Sementara

klaster dapat diartikan sebagai pusat perekonomian dalam suatu wilayah yang

merupakan kelompok perusahaan, yang ditandai oleh tumbuhnya pengusaha-

pengusaha yang menggunakan teknologi lebih maju, berkembang spesialisasi

proses produksi pada perusahaan-perusahaan dan kegiatan ekonominya saling

terkait dan saling mendukung.

Dalam klaster yang telah berkembang dengan baik, kelompok usaha yang

terdapat dalam kesatuan geografis bukan saja melibatkan usaha yang saling terkait

Page 64: Sabut Kelapa

134

mulai dari hulu sampai hilir, tetapi juga terdapat aktivitas-aktivitas jasa yang

menunjang seperti lembaga penelitian dan pengembangan yang menunjang

aktivitas usaha dalam klaster (Taufiq, 2004). Secara tersirat, klaster industri

menunjukkan bahwa kompetensi pelaku usaha menjadi syarat utama bagi

penciptaan keunggulan kompetitif. Kompetensi ini juga mencerminkan

pemahaman nilai-nilai dan perilaku usaha, pengalaman, pengetahuan dan

kapasitas usaha.

Faktor lokasi juga menentukan tingkat perkembangan klaster. Klaster

yang ada di daerah perdesaan umumnya mempunyai usaha produktif yang sangat

terbatas akibat kelangkaan sumberdaya manusia dan prasana.

Pihak-pihak yang dapat terlibat dalam proses peningkatan nilai tambah

kelapa secara terpadu antara lain: Pemerintah Daerah, Manajemen Pengelola

Kawasan, Lembaga Pendampingan Petani, Lembaga Penelitian dan

Pengembangan, Lembaga Sosial Perkelapaan, UKM, Lembaga Keuangan, dan

Kelompok Petani/Masyarakat Petani Kelapa.

Peranan masing-masing dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Pemerintah Daerah : sebagai pemilik program sekaligus regulator dalam

wilayah setempat, peranan pemerintah daerah lebih banyak sebagai

koordinator dan motivator pelaksanaan jalannya klaster agrousaha terpadu.

Semakin berkembang klaster, maka peranan Pemerintah Daerah akan semakin

berkurang.

2. Pengelola kawasan usaha agro terpadu : pengelola dan pelaksana produksi

kawasan berfungsi sebagai produsen produk berteknologi dan Quality Control

yang ketat. Pengelola kawasan dapat berbentuk badan usaha milik daerah

(BUMD). Selain untuk membantu proses produksi, menurut Dirdjojuwono

(2004) pengelola kawasan dapat memberikan jasa pelayanan kepada investor

dalam kawasan industri antara lain: 1) menjual tanah kavling siap bangun

dalam kawasan, 2) menyewakan kavling siap bangun, 3) menyewakan

bangunan untuk usaha industri, 4) menjual bangunan untuk usaha industri, dan

5) menyewakan lahan untuk material dan barang produksi jadi (stockyard).

3. Lembaga Pendamping Petani : merupakan organisasi non pemerintah yang

berfungsi membantu petani dalam produksi hasil olahan. Lembaga

Page 65: Sabut Kelapa

135

pendamping merupakan organisasi yang berlokasi di sekitar kawasan, dan

memahami kondisi sosial dan ekonomi petani/kelompok masyarakat yang

didampingi. Selain itu Lembaga Perguruan Tinggi setempat dapat berperan

sebagai pendamping masyarakat.

4. UKM (Usaha Kecil dan Menengah) : merupakan kelompok usaha individu

ataupun kelompok yang mengolah produk samping kelapa. Produk tersebut

berasal dari sabut kelapa, tempurung dan air kelapa.

5. Lembaga Keuangan : merupakan lembaga yang memberikan pinjaman

pembiayaan bagi proses produksi di tingkat kelompok tani/masyarakat petani

kelapa. Lembaga keuangan dapat berbentuk Koperasi, Bank atau penyedia

jasa keuangan yang ditunjuk pemerintah daerah.

6. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi : merupakan institusi yang

bertanggungjawab dalam pengembangan teknologi di bidang produk

perkelapaan. Lembaga ini dapat berupa Balai Pengkajian dan Teknologi

Pertanian (BPTP) yang bernaung di bawah Departemen Pertanian, atau Balai

Besar Industri Agro yang berada di bawah Departemen Perindustrian serta

Perguruan Tinggi yang ikut serta dalam melakukan penelitian di bidang

perkelapaan.

7. Lembaga Sosial Perkelapaan : merupakan organisasi masyarakat dan profesi

yang bergerak di bidang komoditas kelapa. Lembaga tersebut dapat berupa

Kelompok Tani Kelapa, Forum Kelapa Indonesia (FOKPI) dan APCC dapat

berperan dalam mendukung pemberdayaan petani kelapa. Dalam sistem ini

keberadaan lembaga ini diharapkan dapat membantu petani dalam

meningkatkan peranan kelembagaan.

8. Petani Kelapa : merupakan individu ataupun kelompok tani yang

membudidayakan kelapa. Petani berfungsi sebagai mitra dalam penyediaan

bahan baku, proses jual beli melalui kesepakatan harga antara kedua belah

pihak, dengan prinsip kesetaraan.

9. Sistem : merupakan hubungan antar pelaku dalam kawasan klaster

agroindustri yang saling menguntungkan, kooperatif dan saling membina.

Berjalannya sistem akan memberikan dampak pada keberlangsungan kegiatan

produksi di kawasan.

Page 66: Sabut Kelapa

136

Secara skematis keterpaduan pengembangan kawasan usaha agro terpadu

di Kabupaten Lampung Barat ditunjukkan pada gambar berikut ini:

Gambar 29. Bagan alir pengelolaan kawasan usaha agro terpadu.

Penjelasan gambar di atas adalah sebagai berikut: Pengelola kawasan

membeli produk kelapa bulat dari masyarakat. Kelapa selanjutnya dikupas untuk

diambil daging buahnya dan diolah menjadi Dessicated Coconut, Minyak Kelapa

atau Santan Kelapa. Air, tempurung dan sabut kelapa dikembalikan kepada

UKM untuk diolah menjadi produk Coco Fiber, Arang Aktif, Nata De Coco dan

Coco Peat, dengan standar mutu yang ditetapkan.

Pengelola

Kawasan

Usaha Agro

Terpadu

)

Lembaga

Keuangan

PEMERINTAH

DAERAH

Lembaga Litbang

Teknologi

PASAR NASIONAL /

INTERNASIONAL

PRODUK MINYAK

KELAPA, DESSICATED

COCONUT, SANTAN

KELAPA

SABUT KELAPA,

TEMPURUNG DAN

AIR KELAPA

PRODUK SERABUT,

ARANG, NATA DE

COCO, COCO PEAT

KELAPA BUTIRAN

Kelompok

Tani/Masyarakat

Petani Kelapa

Kelompok

Tani/Masyarakat

Petani Kelapa

UKM

LEMBAGA SOSIAL

PERKELAPAAN

PE

ND

AM

PIN

G P

ET

AN

I

Page 67: Sabut Kelapa

137

Penanganan produksi di tingkat UKM didampingi oleh Lembaga

Pendamping agar standar mutu yang ditetapkan oleh pengelola kawasan.

Pendampingan terhadap kelompok meliputi: manajemen, pengelolaan keuangan

dan pemberdayaan. Lembaga ini mendapatkan imbalan berupa Fee dari

kelompok yang didampinginya. Pengelola kawasan akan menampung produk

olehan dari UKM dan memasarkan pada pasar nasional ataupun ekspor.

Harga produk olahan UKM ditentukan oleh pengelola kawasan dengan

sistem terbuka tergantung kondisi pasar ekspor. Keterbukaan dilakukan dengan

secara transparan kepada UKM tentang kondisi pasar produk di tingkat dunia.

Hal ini berguna untuk menjamin kepercayaan di tingkat petani, kegagalan

kemitraan selama ini karena lemahnya keterbukaan terutama di tingkat

perusahaan.

Pemerintah daerah berperan mengawasi proses perjalanan kemitraan,

menjadi mediator bagi berbagai pihak serta mengkoordinir instansi teknis lainnya

dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat dalam mendukung program-program

guna keberlangsungan pembangunan klaster. Lembaga keuangan berfungsi

memberikan pinjaman kepada petani dan UKM. Pembiayaan dapat berupa

pinjaman berbunga lunak dengan jaminan dari pemerintah daerah. Melalui

pembiayaan ini, UKM mendapat kepastian permodalan tanpa harus terjerat pada

rentenir. Sedangkan lembaga penelitian berfungsi dalam mengkaji teknologi

terbarukan dalam kegiatan produksi.

Dalam proses pengembangan ke depan, pengelola kawasan akan

memainkan peranan yang lebih besar dalam melayani UKM dan para investor.

Melalui jenis pelayanan atau jasa yang akan dijual pengelola kawasan dapat

melakukan survei pasar, kira-kira jasa apa yang dapat dijual dalam kawasan usaha

agro terpadu di Kabupaten Lampung Barat. Dalam menentukan biaya pelayanan

(service charge), pengelola kawasan harus berkoordinasi dengan pemerintah

daerah dan investor sehingga harga yang ditetapkan dapat disepakati oleh

berbagai pihak. Pada prinsipnya pengelola kawasan akan menjadi fasilitator

dalam proses pemanfaatan untuk pengembangan dan investasi di dalam kawasan.

Arahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan optimalisasi pemanfaatan produk

primer dan ikutan tanaman kelapa.di wilayah Kabupaten Lampung Barat.