35
SEJARAH SINGKAT KEDUDUKAN ADVOKAT DI INDONESIA SEJARAH SINGKAT KEDUDUKAN ADVOKAT DI INDONESIA[[1] ] (Setudi tentang Kajian Historis Yuridis) Ditulis Oleh: GUNAWAN,S.H. A. Pendahuluan Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi sejarah kedudukan advokat di Indonesia, menguraikan perkembangan advokat secara yuridis di Indonesia dari masa pra kemerdekaan sampai lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Dalam prefektif sejarah, disadari bahwa perjalanan profesi advokat di Indonesia tidak bisa lepas dari keterkaitannya dengan perubahan sosial. Para advokat Indonesia terseret dalam arus perubahan tersebut. Pada masa pra kemerdekaan dan saat ini setelah Indonesia merdeka, secara individu banyak advokat terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, terutama perjuangan politik dan diplomasi. Kala itu, kaum intelektual dan pemimpin politik Indonesia memang terbatas pada mereka yang berasal dari kalangan advokat, dokter, insinyur dan pamong peraja. Mereka terdidik dalam alam romantisme liberal dan etika berpikir Eropa Barat termasuk Belanda. Karena kedudukan yang cukup terhormat

Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

SEJARAH SINGKAT KEDUDUKAN ADVOKAT DI INDONESIA

SEJARAH SINGKAT KEDUDUKAN ADVOKAT DI INDONESIA[[1]]

(Setudi tentang Kajian Historis Yuridis)

 

Ditulis Oleh: GUNAWAN,S.H.

 

A.   Pendahuluan

 

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi sejarah kedudukan advokat di Indonesia, menguraikan  perkembangan advokat secara yuridis di Indonesia dari masa pra kemerdekaan sampai lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

 

Dalam prefektif sejarah, disadari bahwa perjalanan profesi advokat di Indonesia tidak bisa

lepas dari keterkaitannya dengan perubahan sosial. Para advokat Indonesia terseret dalam arus

perubahan tersebut. Pada masa pra kemerdekaan dan saat ini setelah Indonesia merdeka,

secara individu banyak advokat terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, terutama perjuangan

politik dan diplomasi. Kala itu, kaum intelektual dan pemimpin politik Indonesia memang

terbatas pada mereka yang berasal dari kalangan advokat, dokter, insinyur dan pamong peraja.

Mereka terdidik dalam alam romantisme liberal dan etika berpikir Eropa Barat termasuk

Belanda. Karena kedudukan yang cukup terhormat itu, maka perannya cukup signifikan

dalam menentukan sikap politik para pemimpin Indonesia pada masanya, seperti ikut

merumuskan dasar-dasar konstitusi Indonesaia.[[2]]

Di era kemerdekaan, pada masa pemerintahan Sukarno dimana politik menjadi panglima, para

advokat diam tidak bisa ikut melakukan revolusi. Dimasa itu pula kita mencatat sejarah

peradilan yang relatif bersih dan berwibawa.

Bahkan dimasa pemerintahan Suharto yang represif menggunakan kekuatan militer, Persatuan

Advokat Indonesai (peradin) dengan berani dan terbuka membela secara probono para

Page 2: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

politikus komunis dan simpatisannya yang diadili dengan tuduhan makar tehadap Negara

Republik Indonesia, dihadapan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).

Dari sekilas sejarah (peran) para advokat tersebut, menunjukkan bahwa sumbangan pemikiran

para advokat berkualitas, yang menjadi pemimpin politik  dan sosial sejak 1923, adalah sangat

besar. Pada masa itu, advokat Indonesia pertama Mr. Besar Martokoesoemo, membuka kantor

advokat ditegal, selain pak Besar sendiri, ada Sartono, Alisastroamidjojo, Wilopa, Muh Roem,

Ko Tjang Sing, Muh Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, Ani

Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien, dan lain-lain dan generasi yang aktif sebelum dan sesudah

kemerdekaan sampai 1960-an dan beberapa diantaranya sampai 1980-an. [[3]]

Hanya saja, akibat ombang-ambing politik, sebagai profesi para advokat Indonesia mengalami

perubahan yang membingungkan. Kalau mereka bisa aktif dalam politik pada zaman

parlementer, dan dihormati oleh hakim dan jaksa sebagai unsur biasa dalam sistem peradilan.

Pada zaman  Demokrasi Terpinpin sebaliknya, Mereka mulai dijauhkan dari lembaga formal,

diisolasi sebagai unsur swasta, dan sering diperlakukan seperti musuh oleh hakim dan jaksa.

[[4]]

Pada permulaan 1960-an korupsi peradilan mulai menonjol yang dimulai dari kantor

kejaksaan, dari situ kepengadilan  dan pada akhirnya meluas pada advokat yang sulit membela

kliennya kecuali ikut main dalam sistem birokrasi peradilan yang korup. Kondisi demikian,

hingga pasca  lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat masih belum

berubah. Pada hal Pasal 5 undang-undang No. 18 Tahun 2003, ayat (1) menyatakan bahwa

Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang

dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. [[5]] Artinya

kedudukan advokat sama dengan penegak hukum lainnya yaitu polisi,

jaksa dan hakim atau yang disebut dengan catur wangsa.

Sebagai organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-undang No. 18 Tahun 2003

tentang Advokat diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat, yang

kemudian lahir PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), namun dalam perkembangannya

di internal organisasi advokat itu sendiri (PERADI) malahan terjadi perpecahan, sehingga

Page 3: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

muncul lagi organisasi advokat lain yaitu KAI (Kongres Advokat Indonesia). Hal itu tentunya

sangat memprihatinkan dan patut menjadi bahan perenungan yang mendalam, meskipun ada

adagium yang sudah diketahui secara luas “Tegakkan hukum walaupun langit runtuh”

nampaknya harapan itu sangat jauh dari kenyataan yang dihadapi.

Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan kajian dari aspek historis yuridis perkembangan 

advokat di Indonesia dari  masa pra kemerdekaan sampai lahirnya undang-undang No. 18

Tahun 2003 Tentang Advokat, dari berbagai literatur serta analisa ringkas terhadap aspek-

aspek yang terkait dengan  obyek kajian ini.

B.  Kedudukan Advokat Pra Kemerdekaan

 

Jika ditilik sejarahnya, fungsi advokat sebenarnya tidak lahir secara

genuine dari kultur hukum masyarakat Indonesia. Fungsi ini baru muncul

sejalan dengan ditransplantasikannya sistem hukum dan peradilan formal

oleh pemerintah Hindia Belanda.

Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis peradilan yang

berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk orang Eropa meliputi

pengadilan tingkat pertama residentiegerecht yang menjadi wewenang

residen Belanda; pengadilan banding raad van justitie di ibukota dan

pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua,  pengadilan pemerintah

untuk orang bukan golongan eropa, pengadilan agama Islam, dan

pengadilan adat. [[6]]

Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga tingkatan

yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad. Landraad inilah

yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938,

putusan landraad dapat dibanding pada raad van justitie Sebagian besar

hakim landraad adalah orang Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an

beberapa orang ahli hukum Indonesia berpendidikan hukum diangkat

Page 4: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH Pidana dengan

hukum acara yang dikenal Herziene Inlandse Reglement (HIR).[[7]]

Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk bekerja

sebagai advokat. Pada 1909 pemerintah kolonial mendirikan Rechtsschool

di Batavia dan membuka kesempatan pendidikan hukum bagi orang

pribumi hingga tahun 1922, namun kesempatan hanya dimanfaatkan

kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan hampir 150

orang rechtskundigen (sarjana hukum). Namun mereka ini hanya menjadi

panitera, jaksa dan hakim tidak sebagai notaris dan advokat.

[[8]]                                                                                            

Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli

menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para advokat

Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai advokat.

Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum

di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi advokat sepulang

ke Indonesia.[[9]]

Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan advokat Indonesia

adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor

advokat yang besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan

kantor advokat  Mr. Iskak di Batavia. Bagi advokat Indonesia asli memulai

praktik adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena advokat Belanda

mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan. [[10]]

Sebenarnya transplantasi sistem peradilan Barat tidak otomatis

mengintrodusir fungsi advokat di dalamnya. Sebagai bukti, pemerintah

Hindia Belanda sengaja memberlakukan Herziene Indonesisch Reglement

(HIR) sebagai hukum acara bagi kalangan pribumi yang tidak mengenal

fungsi advokat, bukannya Reglement op de Strafvordering (SV) dan

Page 5: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

Reglement op de Rechtsvordering (RV) yang memang dikhususkan buat

masyarakat Eropa di Hindia Belanda. [[11]]

 

HIR (Herziene Indonesisch Reglement) dibentuk dengan cara pandang

yang "menggampangkan" permasalahan hukum masyarakat pribumi,

karena itu aturannya dibuat sangat sederhana. Semua proses beracara

juga dipusatkan pada kewenangan (diskresi) hakim. Sebab selain

berwenang mengadili, hakim dalam HIR juga diberi kewenangan

menyusun surat dakwaan (bukan jaksa), serta memberi nasehat hukum

kepada terdakwa atau pihak-pihak yang berperkara (bukan advokat atau

ahli hukum lain yang kompeten). Hal ini diperburuk oleh kualifikasi para

pelaku peradilan di HIR yang tidak ditentukan secara memadai. Hanya

hakim yang disyaratkan harus memiliki keahlian hukum tertentu,

sementara fungsi jaksa cukup dilakukan oleh pejabat pamong praja, dan

nasehat hukum (jika bukan hakim yang melaksanakan) bisa diberikan oleh

siapa saja selama disetujui pihak berperkara.[[12]]

 

Sebagai perbandingan, pemberlakuan SV dan RV didasarkan pada

penghargaan akan kultur hukum masyarakat Eropa yang sudah maju.

Kedua ketentuan hukum acara tersebut cukup gamblang menjabarkan

prinsip-prinsip peradilan yang baik. Hakim, jaksa, dan advokat harus

berasal dari mereka yang menyandang status sarjana hukum, serta

masing-masing diberi fungsi yang jelas untuk saling mengawasi dan saling

mengimbangi. [13]

 

Akibatnya profesi advokat berkembang maju di pengadilan-pengadilan

yang menyelesaikan sengketa hukum masyarakat Eropa (Raad van

Page 6: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

Justitie), dan secara kontras mengalami kemandegan di pengadilan-

pengadilan pribumi (Landraad). Jika bagi advokat Eropa dibuat pengaturan

lanjutan berupa Reglement op de Rechterlijk Organisatie (RO) yang

tujuannya mengintegrasikan fungsi advokat sebagai unsur penting dari

administrasi peradilan secara keseluruhan, maka orang-orang pribumi

yang memberikan nasehat hukum (lazim disebut "pokrol bambu") diatur

dengan ketentuan seperti Stbl. 1927-496. Dasar Stbl. 1927-496 adalah

pemikiran negatif tentang pokrol bambu dan bertujuan melindungi

masyarakat dari penipuan yang mungkin dilakukan pokrol bambu. [[14]]

Adapun  pengaturan advokat dapat ditemukan diberbagai peraturan pada

masa pra kemerdekaan adalah sebagai berikut:

a.            Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor

57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de

justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192

mengatur tentang “advocaten en procureurs” yaitu penasehat hukum

yang bergelar sarjana hukum.

b.            Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de

Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad

van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang

advokat atau procureur.

c.            Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang

Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada

Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum

dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya

sebelum permulaan pemeriksaan.

d.            Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang

Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan

terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang

Page 7: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh

diperintah memberi bantuan.

e.            Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan

en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de

landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut

“zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.

f.               Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch

Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika

seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat

dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendak

menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilan oleh

seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam

persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh

pembela untuk mempertahankan dirinya.

g.            Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch

Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui),

menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara

untuk diwakili oleh orang lain.

Berbagai ketentuan hukum diatas mendasari profesi advokat pada masa

pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan advokat Belanda. Akan

tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari perkembangan

advokat Indonesia pada masa selanjutnya. [[15]]

                                     

 

C. Kedudukan Advokat Pasca Kemerdekaan

Perkembangan pengaturan profesi advokat di Indonesia dilanjutkan pada

masa pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan

perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU

Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor

Page 8: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini memuat

pengaturan tentang kedudukan advokat dan procureur dan orang-orang

yang memberikan bantuan hukum.

Pengaturan profesi advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai

ketentuan perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada

masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi advokat sejak

proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini

ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah advokat atau istilah lain

yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS

1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.

Memang pada pasca-kemerdekaan satu-persatu undang-undang organik

di bidang peradilan dan kekuasaan kehakiman diberlakukan, lengkap

dengan fluktuasinya. Kadang menunjukkan pergerakan positif, kadang

justru berbalik arah sesuai tarik-ulur kepentingan politik pemerintah di

dalamnya. Mulai dari UU No. 1 tahun 1950 tentang Susunan dan

Kekuasaan Jalannya Mahkamah Agung Indonesia yang mengakui hak

pemohon kasasi untuk mendapatkan bantuan hukum, hingga UU No. 13

tahun 1965 tentang hal sama yang membenarkan intervensi langsung

Presiden sebagai pemimpin besar revolusi ke dalam jalannya peradilan.

Padahal satu tahun sebelumnya, baru diberlakukan UU No. 19 tahun 1964

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang

mengintroduksi hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi masyarakat

walau dengan batasan-batasan tertentu.[[16]]

Namun yang jelas, materi pengaturan tentang bantuan hukum yang

berarti juga menyinggung fungsi advokat pada perundang-undangan di

atas, hanya dilekatkan secara simbolis, dan tidak pernah diturunkan

dalam ketentuan yang lebih operasional. Sehingga tidak keliru jika

dikatakan bahwa pada masa tersebut, tidak ada kebijakan yang pasti

Page 9: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

tentang bantuan hukum, maupun tentang profesi advokat yang bertugas

menyediakannya.

Sementara akibat sengketa hukumnya seringkali harus diselesaikan

secara formal lewat mekanisme peradilan, sesungguhnya masyarakat

mulai merasakan kebutuhan akan fungsi advokat. Kebutuhan ini

diindikasikan dengan meluasnya peran pokrol bambu yang makin terasa

akrab dan terjangkau oleh masyarakat. Pada prakteknya pun, profesi

advokat di Indonesia terus berkembang. Di banyak kota besar mulai

bermunculan kantor-kantor hukum advokat profesional, menggantikan

advokat-advokat Belanda yang semakin berkurang jumlahnya menjelang

dan sesudah pembebasan Irian Barat. Berbagai organisasi yang menaungi

para advokat (Balie van Advocaten) pun banyak berdiri, termasuk

Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) yang didirikan pada tahun 1963.

[[17]]

Guna mengisi kekosongan hukum saat itu, akibat tidak kunjung

diperjelasnya fungsi advokat dalam perundang-undangan di bidang

peradilan sementara praktek pemberian bantuan hukum secara empirik

terus dijalankan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehakiman

RI No. 1 tahun 1965 tentang Pokrol sebagai acuan awal. Pengaturan ini

kemudian diikuti oleh berbagai peraturan Mahkamah Agung dan

Pengadilan-pengadilan Tinggi di bawahnya tentang pendaftaran advokat

dan pengacara.[[18]]

Memasuki tahun 1970, sebenarnya ada sebuah titik terang bagi kejelasan

fungsi iadvokat. Lewat pemberlakuan UU No. 14 tahun 1970 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pemerintah membuka

lebih luas pintu bagi advokat untuk memasuki sistem kekuasaan

kehakiman. Selain menjamin hak setiap orang yang berperkara untuk

mendapatkan bantuan hukum, Pasal 38 UU tersebut juga mengamanatkan

diaturnya undang-undang tersendiri mengenai bantuan hukum. [[19]]

Page 10: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

Amanat UU itulah yang menjadi dasar dimulainya perjuangan advokat

Indonesia untuk menggolkan undang-undang khusus yang mengatur

profesinya. Pada kongres (Peradin) yang kedua tahun 1969, Peradin Jawa

Tengah mulai memperkenalkan naskah RUU Profesi Advokat.

Tetapi upaya para advokat di Peradin tersebut tidak “sepenuhnya”

berhasil. Dikatakan tidak sepenuhnya berhasil karena, walau RUU Profesi

Advokat yang muatannya mengusung isu kemandirian dan kejelasan

fungsi profesi tidak kunjung diakomodasikan oleh pemerintah dan DPR,

namun lewat pemberlakuan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981), sebagian

materi bantuan hukum diatur secara cukup komprehensif. Di dalamnya

dimuat antara lain: hak advokat (penasehat hukum) untuk menghubungi

tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat

pemeriksaan; hak untuk menghubungi dan berbicara dengan tersangka

pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu dalam rangka

pembelaan perkara; serta hak untuk mengirimkan dan menerima surat

dari tersangka setiap kali dikehendaki.[[20]]

Sayangnya, tidak begitu lama advokat menikmati dampak positif dari

ketentuan KUHAP, khususnya di lingkungan peradilan pidana, beberapa

undang-undang yang diberlakukan kemudian ternyata memberi pukulan

telak bagi kemandirian advokat secara lembaga. UU No. 14 tahun 1985

tentang Mahkamah Agung misalnya, semakin menguatkan fungsi

pembinaan dan pengawasan terhadap advokat oleh Mahkamah Agung dan

pemerintah. Ditambah dengan UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi

Kemasyarakatan yang menundukkan organisasi-organisasi advokat yang

ada saat itu ke dalam wilayah pembinaan pemerintah, sehingga setiap

saat dapat dibekukan jika dinilai oleh penguasa telah “melakukan kegiatan

yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum.” Akibatnya Peradin

yang pernah menandai masa kejayaan advokat di Indonesia terus

dilemahkan, sampai akhirnya tenggelam sama sekali.[[21]]

Page 11: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

Prosedur pengawasan terhadap advokat sendiri kemudian dirinci dalam

UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Bahkan materi

pengaturannya diperluas hingga ke tingkat penindakan dengan

melibatkan para Ketua Pengadilan Negeri yang melaksanakan

pengawasan secara operasional. Materi pengaturan inilah yang kemudian

menimbulkan tidak sedikit benturan antara advokat dengan hakim di

lapangan. Salah satunya benturan antara advokat Adnan Buyung Nasution

dengan majelis hakim dalam perkara HR Dharsono. Kejadian tersebut

memicu lahirnya SKB Ketua Mahkamah Agung RI No.

KMA/005/SKB/VII/1987, No. M.03-PR.08.95 tahun 1987 tentang Tata Cara

Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasehat Hukum, yang

secara signifikan mereduksi kemandirian advokat dengan mensub-

ordinatkan advokat berikut organisasinya terhadap pengadilan dan

pemerintah. Malah SKB tersebut secara sepihak dijadikan salah satu

pranata hukum bagi contempt of court di Indonesia. [[22]]

Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir berikutnya, relatif

tidak membawa perubahan penting bagi kebutuhan advokat. UU No. 5

tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama, UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan UU No. 4 tahun 1998

tentang Kepailitan, kesemuanya secara sporadis menyinggung fungsi

advokat. Berbeda dengan UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang

berkontribusi penting dalam menguatkan pelembagaan profesi advokat di

bidang non-litigasi.

Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur

secara khusus profesi advokat sebagaimana profesi hukum lainnya,

padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum. Akibatnya

menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran menyangkut

profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum (authority of

Page 12: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum ini

juga terbawa arus kemerosotan.

Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan yang

mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai

berikut :

a.  UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan

Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau

wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela

atau penasehat hukum.

b.     UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42

memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.

c.   UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara

Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat

ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.

d.     UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman

yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970,

menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak

memperoleh bantuan hukum.

e.     UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan

UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum

adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat

hukum yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.

f.        UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan

69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk

mendapatkan penasehat hukum dan tata cara penasehat hukum

berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.

Page 13: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

g.     UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui

keberadaan penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum

kepada tersangka atau terdakwa.

h.     Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan

Menteri Kehakiman, dan sebagainya.

Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 197[23], telah

mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU tersendiri.

Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya

tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi

advokat. Setelah 33 tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU

Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. [[24]]

 

D.   Lahirnya Undang-undang Advokat (Undang-undang No.18 Tahun 2003)

 

Lahirnya undang-undang advokat, merupakan hasil perjuangan yang panjang sejak dulu,

selama ini advokat selalu menjadi “anak bawang” dalam sistem hukum dan sistem peradilan.

Hampir seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat tentang peradilan tidak

mengakui secara tegas fungsi advokat di dalamnya. Bahkan sebagian produk perundang-

undangan tersebut justru mendatangkan intervensi eksternal atas advokat oleh pemerintah

dan birokrasi peradilan. Penghargaan terhadap fungsi advokat dalam undang-undang

mengenai peradilan biasanya baru datang bersamaan dengan diintrodusirnya prinsip-prinsip

peradilan yang baik, seperti ketika dibentuknya UU Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP

(yang umumnya lebih kuat disebabkan oleh desakan internasional). Namun karena diatur

secara simbolis, maka permasalahan tentang fungsi advokat tidak secara nyata diselesaikan,

sebagaimana tidak nyatanya penyelesaian masalah-masalah yang menghambat terciptanya

fair trial. Oleh sebab itulah upaya mempertegas pengakuan negara terhadap fungsi advokat

dalam sistem peradilan harus sejalan dengan upaya mengakomodasikan sebesar-besarnya

kepentingan publik dalam pelaksanaan peradilan.

Page 14: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

 

Memang secara garis besar, perjuangan advokat Indonesia untuk menggolkan undang-

undang tentang profesi advokat dilatari oleh faktor bahwa advokat dalam prakteknya sering

mendapatkan perlakuan tidak seimbang dari unsur peradilan formal (hakim, jaksa, polisi,

panitera) saat menjalankan profesinya. Namun ternyata dalam perkembangannya, bukan itu

faktor utama. Ketidakjelasan fungsi, ketidakpastian kebijakan baik tentang rekrutmen,

pengawasan, sampai ke penindakan, belakangan malah menjadi tambang emas bagi sebagian

advokat. Sebab sekalipun SKB tahun 1987 (yang sering dijadikan simbol intervensi

pemerintah dan peradilan terhadap urusan profesi) secara formal, pada realisasinya para

hakim di pengadilan-pengadilan tidak cukup waktu (sebagian barangkali "tidak cukup

moral") untuk menegakkan ketentuan SKB tersebut. Hasilnya, advokat dapat leluasa

menjalankan praktek profesinya dengan cara-cara tidak etis, bahkan kadang melanggar

kaedah hukum, tanpa pengawasan yang berarti.[[25]]

 

Agaknya faktor yang paling menentukan perjuangan mendapatkan undang-undang Advokat,

adalah polarisasi di kalangan advokat yang semakin kuat. Konflik internal di tubuh

organisasi advokat menyeruak silih berganti, bersamaan dengan terus bermainnya

kepentingan pemerintah untuk melemahkan organisasi advokat. Sehingga komunitas profesi

yang kuat yang mampu meletakkan fungsi profesi dalam kerangka sistem peradilan tidak

pernah terwujud di Indonesia. Dan akhirnya mereka mulai mencari bantuan pihak luar untuk

ikut menyelesaikan persoalannya, dalam hal ini pilihan jatuh pada negara.[[26]]

 

Berawal dari Kongres Peradin tahun 1969, perjuangan advokat untuk mengupayakan

undang-undang profesinya terangkat kembali ke permukaan pada Kongres Peradin tahun

1973. RUU Pokok Advokat yang dibicarakan dalam Kongres tersebut merupakan hasil

godokan Peradin-Peradin di Jawa Tengah, dengan membandingkan undang-undang sejenis

yang ada di negara-negara lain seperti India, Jepang, RRC, dan Muangthai, termasuk juga

Belanda. Namun upaya ini terhenti sejalan dengan melemahnya Peradin di tahun-tahun

Page 15: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

berikutnya. Apalagi saat itu tidak sedikit pimpinan dan anggota Peradin yang menolak usulan

tersebut. Diwakili oleh Yap Thiam Hien, mereka percaya bahwa keberadaan undang-undang

advokat malah potensial semakin membahayakan kemandirian advokat sendiri.[[27]]

 

Setelah terbentuknya Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) pada tahun 1985, upaya mengusung

RUU Advokat kembali dilakukan. Namun kala itu political will pemerintah tidak cukup

memadai untuk membawa gagasan tersebut secara resmi dalam proses legislasi. RUU

Advokat bahkan sempat beberapa kali berubah, baik nama maupun konsep pengaturannya.

Hingga akhirnya pada tahun 2000, satu klausul dalam Letter of Intent antara pemerintah RI

dengan International Monetary Fund (IMF) menyerukan perlunya diajukan RUU tentang

Profesi Advokat ke DPR-RI, agar seluruh advokat yang berpraktek di Pengadilan disyaratkan

untuk memiliki izin praktek, dan mentaati ketentuan kode etik profesi yang seragam.[[28]]

 

Dalam rangka melaksanakan klausul tersebut, pemerintah akhirnya membentuk tim perumus

RUU tentang Profesi Advokat yang dipimpin oleh HAS Natabaya (mantan Kepala Badan

Pembinaan Hukum Nasional) sebagai ketua dan Adnan Buyung Nasution sebagai wakil

ketua, dengan merangkul perwakilan dari beberapa organisasi advokat yang ada, seperti

Ikadin, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), dan

Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Tim tersebut berhasil menyelesaikan

tugasnya pada bulan September 2000, dengan mengajukan RUU yang dibuat kepada

pimpinan DPR RI melalui surat No. R.19/PU/9/2000.[[29]]

     

Sebenarnya sampai saat ini pun belum pernah dicapai kesepakatan bulat dan tuntas di antara

para advokat mengenai perlu tidaknya profesi mereka diatur dalam undang-undang

tersendiri. Selalu terdapat dua pandangan yang saling berseberangan. Pandangan pertama,

sebagai pandangan mayoritas di kalangan advokat, menyatakan bahwa undang-undang

profesi advokat mutlak diperlukan untuk menyetarakan status antara profesi advokat dengan

Page 16: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

unsur-unsur peradilan lainnya (seperti polisi, jaksa, dan hakim). Tanpa status yang setara,

advokat akan terus menjadi "anak bawang" dalam proses peradilan, dan selalu dipandang

sama swastanya dengan klien yang diwakili. Akibatnya, advokat tidak dapat menjalankan

perannya secara optimal karena rentan terhadap tindak diskriminasi, intervensi, dan represi

baik dari polisi, jaksa, maupun hakim.[[30]]

1.    Kronologi Lahirnya Undang-undang Advokat (Undang-undang No.18 Tahun

2003)

 

Berikut ini kami sajikan kronologis perjalanan Undang-undang

No.18/2003 tentang Advokat. Untuk mengetahui lebih jauh sikap

masing-masing fraksi mengenai pembahasan undang-undang ini saat

dibahas pada September 2000, sebagai berikut: 

 

28 September 2000, Presiden Abdurrahman Wahid, lewat surat

bernomor R.19/Pu/9/2000, menyampaikan RUU tentang Profesi

Advokat ke DPR. Isinya berjumlah 35 pasal; 

 

28 Oktober 2000 , Pemerintah, lewat Menteri Kehakiman Moh.

Machfud MD, menyampaikan keterangan pemerintah atas RUU Profesi

Advokat di depan Rapat Paripurna DPR; 

 

15 November 2000, Fraksi-fraksi yang ada di DPR menyampaikan

pemandangan umum terhadap usulan Pemerintah 

 

Page 17: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

21 November 2000, Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum

Fraksi-Fraksi terhadap RUU Profesi Advokat. Saat itu Pemerintah

sudah diwakili Menteri Kehakiman baru Prof. Yusril Ihza Mahendra. 

 

27 Februari 2001, Badan Musyawarah DPR menugaskan Komisi II

untuk membahas RUU tentang Profesi Advokat. 

 

05 Februari 2002, Rapat Kerja Komisi II dengan Menteri Kehakiman

dan HAM membahas materi RUU secara umum. 

 

25-26 Februari 2002, Panja memulai pembahasan Daftar

Inventarisasi Masalah (DIM).  

 

27 Februari 2002, Panja mengundang organisasi advokat yang

tergabung dalam KKAI untuk membahas organisasi profesi dan kode

etik advokat. 

 

23 Mei 2002, Tujuh organisasi advokat (Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI,

AKHI, HKHPM) menetapkan Kode Etik dan ketentuan tentang Dewan

Kehormatan Profesi Advokat. 

 

17 Februari 2003, Rapat Panja memutuskan untuk membentuk dan

menugaskan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi untuk merumuskan

Page 18: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

substansi RUU Profesi Advokat yang sebelumnya sudah disepakati

Panja. Tim langsung dipimpin oleh Ketua Komisi II DPR Agustin Teras

Narang. 

 

20-21 Februari 2003, Pembahasan di Tim Perumus. 

 

25 Februari 2003, Laporan Tim Sinkronisasi RUU Advokat dalam

Rapat Panja Komisi II DPR 

 

05 Maret 2003, Rapat kerja kembali dengan Menteri Kehakiman

untuk mendengarkan laporan Panja dan kemudian disempurnakan

untuk dibawa ke pembicaraan tingkat dua. 

 

06 Maret 2003, Laporan Komisi II yang kemudian dilanjutkan

pendapat akhir Fraksi-fraksi. Pada hari yang sama Rapat Paripurna

DPR menyetujui RUU Profesi Advokat untuk disahkan menjadi

Undang-Undang.  

 

05 April 2003, RUU Profesi Advokat diundangkan Mensesneg ke

dalam Lembaran Negara, tanpa tanda tangan Presiden

Megawati. [[31]]

 

2.      Uji Materil Undang-undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi

Page 19: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

 

Menurut Ketua Mahkama Konstitusi saat itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie

SH, dapat disimpulkan bahwa undang-undang Advokat bermasalah,

baik itu dari segi isi maupun proses pembentukannya

(hukumonline.com, 1/12/06). Meski sejauh ini hanya satu permohonan

pengujian undang-undang Advokat yang dikabulkan Mahkamah

Konstitusi.

 

Pada 2006 silam, ada tiga permohonan pengujian undang-undang

Advokat ke Mahkamah Konstitusi, sedang sisanya di tahun 2004 dan

2003. Satu-satunya permohonan judicial review undang-undang

Advokat yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi pada 9 Desember

2004 adalah yang diajukan oleh Tongat dkk yang berakhir dengan

Pasal 31 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (No.

006/PUU-II/2004). Putusan ini tergolong berat bagi profesi advokat

karena Pasal 31 adalah satu-satunya ketentuan pidana dalam

undang-undang Advokat yang diharapkan dapat melindungi publik

dari praktik advokat gadungan.[[32]]

 

Meski pada akhirnya Mahkamah Konstitusi  menolak permohonan-

permohonan tersebut di atas, namun Mahkamah Konstitusi membuat

sejumlah pendapat yang penting dalam sebagian putusan atas

perkara-perkara tersebut. Dalam perkara Sudjono cs misalnya,

Mahkamah Konstitusi menyatakan kedelapan organisasi pendiri

PERADI tetap eksis namun kewenangannya sebagai organisasi profesi

advokat, yaitu dalam hal kewenangan membuat kode etik, menguji,

mengawasi, dan memberhentikan Advokat, secara resmi kewenangan

tersebut telah menjadi kewenangan PERADI.[[33]]

Page 20: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

 

Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa kedelapan Organisasi

Advokat pendiri PERADI tetap memiliki kewenangan selain

kewenangan yang telah menjadi kewenangan PERADI, sehingga tidak

dapat dikatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat meniadakan

eksistensi kedelapan organisasi, yang karenanya melanggar prinsip

kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur UUD 1945.

[[34]]

 

Dalam putusan perkara No.014/PUU-IV/2006 itu, secara tegas

menyatakan PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat

pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat

mandiri yang juga melaksanakan fungsi negara. Fungsi negara yang

dimaksud oleh Mahkamah Konstitusi , dengan merujuk pada putusan

atas perkara No. 006/PUU-II/2004, adalah kewajiban para advokat

pada umumnya untuk memberikan akses pada keadilan bagi semua

orang. [[35]]

 

“…akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain

negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat

diakses oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui

dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum.

Jika seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki

akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya

juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru

menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33).”

Page 21: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

Demikian bunyi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi  dalam

perkara No. 006/PUU-II/2004.[[36]]

 

Maraknya judicial review yang mendera undang-undang Advokat

tidak sepenuhnya mencerminkan seluruh kritik yang ada terhadap

undang-undang Advokat. Advokat secara umum memiliki kritik

tersendiri terhadap isi undang-undang Advokat maupun

pelaksanaannya. Dalam berbagai kesempatan misalnya, PERADI

kerap mengeluhkan belum adanya pengakuan yang tulus akan status

advokat sebagai penegak hukum dari unsur penegak hukum lain.

Peran advokat hingga kini cenderung masih dianggap berada di luar

sistem penegakan hukum. [[37]]

 

E.    Wadah Tunggal Advokat di Indonesia

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan

kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the

law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa

setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum.

Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan

bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi

penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan,

Page 22: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk

kepentingan  masyarakat  pencari  keadilan,  termasuk  usaha memberdayakan masyarakat

dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu

unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan

hak asasi manusia. [[38]]

Sebagai organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-undang No. 18 Tahun 2003

diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat, yang kemudian lahir

PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia).

Namun dalam perkembangannya di internal organisasi advokat itu sendiri (PERADI)

malahan terjadi perpecahan, sehingga muncul lagi organisasi advokat yaitu KAI (Kongres

Advokat Indonesia). Hal itu tentunya sangat memprihatinkan dan patut menjadi bahan

perenungan yang mendalam.

Sebenarnya pada dua dasawarsa 1980 hingga 1990,  justru  sudah timbul berbagai macam

pergeseran di kalangan intern organisasi advokat. Fenomena yang dapat diajukan adalah 

munculnya asosiasi pengacara baru sesudah era PERADIN antara lain IKADIN Ikatan

Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia ( AAI), Serikat

Pengacara Indonesia (SPI) ,Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI),  Asosiasi

Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar

Modal (HKHPM), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) dan

Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara No.014/PUU-IV/2006 itu,

secara tegas menyatakan PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi

Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang

bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi negara. Fungsi negara

yang dimaksud oleh MK, dengan merujuk pada putusan atas perkara No.

006/PUU-II/2004, adalah kewajiban para advokat pada umumnya untuk

memberikan akses pada keadilan bagi semua orang.

 

Page 23: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

MK juga menyatakan bahwa kedelapan Organisasi Advokat pendiri

PERADI tetap memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah

menjadi kewenangan PERADI, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa

Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat meniadakan eksistensi kedelapan

organisasi, yang karenanya melanggar prinsip kebebasan berserikat dan

berkumpul sebagaimana diatur UUD 1945.

 

Namun dalam perjalanannya organisasi advokat PERADI terpecah oleh

karena adanya ketidak puasan dari anggota PERADI itu sendiri yang

menganggap pendirian organisasi advokat Peradi sebagai wadah tunggal

organisasi advokat sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang

Advokat tidak demokratis sehingga muncul gagasan untuk membentuk

organsasi advokat yang baru yang lebih demokratis yaitu KAI (Kongres

Advokat Indonesia), setelah sempat diwarnai beberapa interupsi, advokat

senior Adnan Buyung Nasution akhirnya menengahi dengan

memunculkan nama KAI (Kongres Advokat Indonesia).

 Akhirnya muncul perseteruan diantara kedua organsasi advokat tersebut. Reaksi PERADI

menilai KAI merupakan upaya beberapa advokat yang ingin menciderai, menentang dan

atau menolak eksistensi PERADI. Padahal, masih menurut iklan itu, para advokat yang

dimaksud adalah anggota PERADI. Sebagian diantaranya bahkan menjadi bidan lahirnya

PERADI dan sekarang duduk di kepengurusan.

 

PERADI mengklaim KAI tidak sah karena bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2003

tentang Advokat. KAI dinilai akan merugikan dan menafikan eksistensi sekitar 19.000

advokat yang terdaftar sebagai anggota PERADI. Soal keabsahan, PERADI menegaskan

merekalah organisasi profesi advokat yang diamanatkan UU Advokat. Pendiriannya pun

sudah sesuai mekanisme, delapan organisasi yang disebut UU Advokat bersepakat

mendirikan PERADI. [[39]]

Page 24: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

 

F.     Penutup

 

Dari sekilas uraian sejarah para advokat tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu  dicatat

yaitu sebagai berikut:

 

Pertanama, pada awalnya secara perorangan para advokat pernah menjadi bagian yang

sangat penting dalam pembentukan negara ini, baik pembentukan institusi, politik hukum,

maupun etika profesi para penegak hukum;

Kedua, dalam keterbatasan represi, para advokat secara perorangan organisasi masih mampu

berperan di dalam gerakan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia;

Ketiga, pada masa jatuhnya Orde Baru sampai sekarang ini, para advokat sebagai individu

maupun organisasi menjadi sangat dilemahkan, hingga tidak mampu menolong dirinya

sendiri untuk berperan dalam menentukan politik hukum dan reformasi hukum (termasuk

institusi hukum), penegakkan hukum dan keadilan, hak asasi manusia, serta pemberantasan

korupsi, yang menjadi agenda utama reformasi. Bahkan, ada beberapa memperlihatkan

indikasi yang jelas tentang keterlibatannya dalam praktek-praktek koruptif di badan

peradilan; Keempat, walaupun pada mulanya kedudukan advokat dipinggirkan baik oleh

pemerintah penjajahan maupan pemerintahan Indonesia setelah merdeka, namun dalam

perkembangannya karena peranan advokat sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat

pencari keadilan maka diberbagai perundang-undangan diatur tentang kedudukan advokat,

puncaknya pengaturan advokat diatur khusus dalam undang-undang yaitu undang-undang no

18 tahun 2003 tentang advokat. Namun sayangnya pasca lahirnya undang-undang no 18

tahun 2003 tentang advokat, terjadi perpecahan di internal organisasi advokat itu sendiri

yaitu PERADI dan KAI yang masing-masing mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi

advokat, hal itu sangat disayangkan karena advokat dianggap tidak dapat melaksanakan

amanah sebagaimana ketentuan pasal 28 undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat,

Page 25: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

dan pada akhirnya akan merugikan bagi kalangan profesi advokat itu sendiri dan juga

masyarakat pada umumnya.

 

 

 

Daftar Pustaka:

1.      Tanjung H.Khaerul, Istilah Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum &

Konsultan Hukum

2.      S.Lev Daniel, 2001, Kata Pengantar: Advokat Indonesia Mencari Legitimasi (PSHK)

3.      Kadafi Binziad, Ruu Tentang Profesi  Advokat  dan Sejarah Pengaturan

Advokat di Indonesia,  www.mappi.com

4.      Kronologis Perjalanan Undang-undang Advokat, [5/4/04], www.hukumonline.com,

5.      Hakim Amrie, Catatan Reflektif atas Pengujian-Pengujian UU Advokat,  [12/3/07], www.

Hukumonline.com

6.      Panas Menjelang Kongres Advokat Indonesia, [16/5/08],

www.hukumonline.com

7.   S.H, M.H Sujadi Suparjo, Kajian Singkat Terhadap Permasalahan Bantuan Hukum dan

Peranan Pengacara di Indonesia, www.mappi.com

8.      SH, MH, Maryono Didik, Pembentukan Organisasi Advokat ( Suatu Analisis

berdasarkan Undang-Undang Advokat ), 2006  www.Solusihukum.com,

9.      Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

 

Page 26: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

[1] .Makalah untuk  tugas mata kuliah Sejarah Hukum, dosen Dr.Agus Raharjo,SH.Mhum, MH Unsued, Purwokerto, 2008.[2] . Daniel S.Lev, Kata Pengantar, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi PSHK, 2001 [3] .Ibid[4] .Ibid[5] Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat[6] . Khaerul H. Tanjung, Istilah Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum & Konsultan Hukum, hal.1[7] . Ibid[8] . Ibid[9] . Ibid[10] . Ibid [11] . Binziad Hadfi, Ruu Tentang Provesi Advokat dan Sejarah Pengaturan Advokat di Indonesia, hal. 2[12] . Ibid[13] .Ibid[14] . Ibid

[15] . Khaerul H. Tanjung, Op. Cit., hal.3

 

[16] . Binziad Khadafi, Op.Cit.,hal.4

[17] . Binziad Khadafi, Ibid., hal.4[18] . Binziad Khadafi, Ibid.[19]. Binziad Khadafi, Ibid. [20] . Binziad Khadafi, Ibid.[21] . Binziad Khadafi, Ibid.[22] . Binziad Khadafi, Ibid. [24] . Khaerul H. Tanjung, Op. Cit.,hal.4[25] . Binzaid Khadafi, Op.Cit.,hal.4-6

 

[26] . Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6 [27]. Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6 [28]. Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6 [29] . Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6 [30] . Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6[31] .Kronologis Perjalanan UU Advokat, www.hukumonline.com, [5/4/04][32] . Amrie Hakim, Catatan Refleksi Atas Pengujian-pengujian UU Advokat, www.hukumonline.com [12/3/07] [33] . Amrie Hakim,Ibid. [34]. Amrie Hakim,Ibid. [35] . Amrie Hakim,Ibid.

Page 27: Sejarah Singkat Kedudukan Advokat Di Indonesia

[36] . Amrie Hakim,Ibid.[37]. Amrie Hakim, Catatan Refleksi Atas Pengujian-pengujian UU Advokat, www.hukumonline.com [12/3/07][38] . Didik Maryono, Kajian Singkat Terhadap Permasalahan Bantuan Hukum dan Peranan Pengacara di Indonesia, www.ssolusihukum.com, 20 mey 2006.

[39] . Panas Menjelang Kongres Advokat Indonesia, www.hukumonline.com, [16/5/08],

http://advokatgunawanrekan.blogspot.com/2009/02/sejarah-singkat-kedudukan-advokat-di.html