sekuleris

Embed Size (px)

Citation preview

SEKULARISME. Istilah "sekularisme" bermakna "yang bukan agama". Kata ini berasal dari Dunia Latin saeculum, yang pada mulanya berarti "masa" atau "generasi" dalam arti waktu temporal. Kata ini kemudian menjadi bermakna segala hal yang berhubungan dengan dunia ini, yang dibedakan dengan hal spiritual yang ditujukan untuk mencapai surga. Kata Prancis, laicite, juga berarti sekularisme, tetapi makna aslinya menunjuk pada pengertian "masyarakat biasa", mereka yang bukan kelompok pendeta (Berkes, 1964, h. 5).Para sejarahwan mendefinisikan sifat atau batasan sekularisme dalam suatu masyarakat atau budaya sebagai hal yang mengindikasikan "penempatan" agama dalam masyarakat atau budaya tersebut (C. John Sommerville, The Secularization of Early Modern England, New York dan Oxford, 1992, h. 8): apakah otoritas yang berkuasa bersikap religius, apakah monarki-ketuhanan atau pejabat keagamaan mengatur hukum-hukum yang dianggap bersumber dari wahyu?; apakah negara berpenampakan sekular, diperintah oleh orang-orang di luar hierarki agama, tetapi masyarakat dan budayanya bersifat agamis, dengan otoritas negara diperkuat oleh hierarki tersebut (sebagaimana sering terjadi dalam Kristen Abad Pertengahan dan Spanyol sampai abad ke-20)?; atau apakah sanksi untuk pemerintah dan hukum-hukumnya diambil dari legitimasi nonagama, dengan agama hanya sebagai persoalan keimanan pribadi?Sekularisme atau proses sekularisasi berasal dari pengalaman sejarah Eropa. Hal ini berarti pemisahan secara bertahap "hampir semua aspek kehidupan dan pemikiran dari perkumpulan-perkumpulan keagamaan dan tujuan-tujuan kependetaan", suatu proses yang berkembang di Inggris pada abad keenam belas dengan peralihan kekuasaan politik dari arena keagamaan ke negara dan dalam kasus-kasus hukum dari kehakiman yang religius ke sekular (Sommerville, 1992, hh. 112117). Para sejarahwan mencatat bahwa sekularisasi praindustri mendapat dukungan dari Protestan, yang mereka definisikan sebagai "menyekularkan agama", yaitu sesuatu yang menyetujui pemisahan agama dari fungsi-fungsi kenegaraan dalam rangka memumikannya dengan cara memindahkannya dari wilayah korupsi duniawi. Hingga abad kesembilan belas, kata "sekular" tidak digunakan untuk mendeskripsikan proses ini.Dalam pengalaman seiarah Eropa vans sangat bervariasi, proses sekularisasi hidup bersamaan dengan intensifikasi keagamaan pada tingkat personal dan rakyat. Beberapa sosiolog berpendapat bahwa variasi-variasi ini mengidentifikasikan adanya mitologi sekularisme yang mengasumsikan adanya abad keagamaan klasik, yang kemudian ditransformasikan ke dalam abad sekular: mereka berpendapat bahwa aspek-aspek sekularisme dan religiusitas hidup berdampingan, dan masih tetap demikian hingga kini. Sekularisme tidak berarti merosotnya anti penting agama, balk pada masa praindustri maupun masa industri. Praktik dan kepercayaan agama sebagai iman, semakin tebal dan bukan semakin luntur selama sekularisasi negara dan kemudian-menyusul Revolusi Prancis dan Revolusi Industri-sekularisasi masyarakat tersebut. Agama berfungsi untuk menciptakan ikatan emosional, spiritual, dan sosial dalam menghadapi liberalisme barn yang dipandang sebagai tidak manusiawi, dan "untuk membangun institusi sosial dan kadangkadang pendidikan serta politik, maupun lingkungan (khususnya pedesaan, pinggir kota) yang tidak memberi apa-apa" (E.J. Hobsbawm, The Age of Revolution, 19891948, New York, 1962, h. 272). Agama kini hidup berdampingan dengan masyarakat industri atau sekular secara teknis dan telah mengintensifkan aktivitasnya di Amerika Serikat, yang dalam lingkungan resmi "agama dianggap suatu bagian penting dari bangsa Amerika" (Glasner, 1977, h. 115).Islam dan pengalaman Islam secara historis sangat berbeda dengan Kristen dan Barat. Kristen Romawi dan Protestan sama-sama mengakui, meskipun dengan interpretasi yang berlainan, pembedaan antara-gereja, dan negara, serta wilayah kekuasaan mereka yang berbeda. Islam tidak mengakui hal ini. Para teolog Islam membedakan antara urusan din (agama) dan urusan daulah (negara) dalam kaitannya dengan upaya untuk mencapai keselamatan [di akhirat] dan hal-hal yang hanya berkenaan dengan dunyd (kehidupan material di dunia ini). Meskipun demikian, Islam tidak pernah mendefinisikan persoalan keagamaan dan politik sebagai dua institusi yang berbeda. Islam juga tidak mempunyai institusi kependetaan yang dapat dipisahkan dari institusi politik. Kantor publik diselenggarakan untuk melayani kebutuhankebutuhan Islam, untuk menjaga ummah (masyarakat), dan untuk menjamin pelaksanaan syariat (hukum Islam). Konsen ini telah dihidupkan kembali secara sangat efektif pada era modem oleh Abu Al-A`la Maududi (w. 1979) seorang berkebangsaan Pakistan, yang tulisan-tulisanny, berpengaruh besar terhadap pemikiran fundamentals: Sunni di seluruh Dunia Muslim.Islam tidak mengalami reformasi yang analog dengar reformasi Protestan di dunia Kristen Barat. Gerakan reformis Islam, sebelum kedatangan pengaruh Barat, bertujuar memumikan Islam dari bid'ah dengan j clan memperkuai otoritas Islam atas masyarakat serta memastikar kepatnhan total terhadap hukum; hal ini berbeda dengar tujuan Protestan yang bermaksud memurnikan agamz dengan memisahkannya dari afiliasi negara. Perbedaar ini mencerminkan perkembangan historis. Kemuncular negara-bangsa di Eropa Barat mendorong kesetiaar kepada penguasa dan kebebasan sekular dari klairr kekuasaan gereja. Kesetiaan Muslim secara tradisiona adalah kepada ummah, suatu masyarakat yang didefinisi kan oleh ketundukan bersama pada keimanan, bukar oleh batas-batas politik atau etnik. Ide tentang negara bangsa belum muncul dalam pemikiran Muslim hinggE akhir abad kesembilan belas. Ini adalah evolusi politil yang diakibatkan oleh kehancuran Kesultanan Turk `Utsmaniyah setelah Perang Dunia I dan pemaksaan bata, wilayah oleh mandat Eropa agar sesuai dengan persyaratan-persyaratan kesultanan ini.Proses sekularisasi di Eropa berlangsung secara berangsur-angsur, berkembang bersamaan dengan perkem bangan sosial ekonomi. Sebaliknya, pengalaman Islan adalah berupa sekularisme yang berfungsi sebaga ideologi yang dipaksakan dari luar oleh para penjajah suatu produk impetialisme Eropa dan, kepanjangar budaya asing yang dimulai pada awal abad kesembilar belas.Dalam bahasa Arab, tidak terdapat kata yang persis sama untuk sekularisme. Kata dahriyah yang bernada peyoratif digunakan pada abad ke 19. Kata ini "materialis" atau "ateis", seseorang yang percaya keabadian dunia, dan tidak percaya pada pembalasan Tuhan serta kehidupan spiritual; akar kata dahr, merujuk pada abad atau generasi serupa dengan arti awal saeculum. Kini kata yang lebih umum digunakan dalarr bahasa Arab adalah `ilmaniyah, yang akar katany,merujuk pada sains dan ilmu pengetahuan serta yang katu turunnya paling dekat dengan makna "dunia" atat "persoalan duniawi".Masalah umat Islam pada era modern, dalam menghadapi imperialisme Eropa, terkait dengan upaya-upaya agar mampu bertahan hidup, serta menjaga kemerdekaan atau memperolehnya kembali pada penguasa-penguasa asing. Penguasaan budaya sekular Eropa, khususnya sains (sebagai dasar keahlian militer), dijadikan alat untuk mencapai modernisasi. Kontroversi mengenai pilihan ini, dan alternatif lain yang dipilih oleh berbagai masyarakat Muslim, masih berlangsung hingga sekarang.Banyak wilayah Dunia Islam menyaksikan intensifikasi keimanan dalam beragama menyertai sekularisme di Eropa. Proses intensifikasi ini memunculkan gerakangerakan rakyat yang sering bersikap mandiri dari hierarki keagamaan resmi. Tidak seperti gerakan-gerakan serupa di Barat, gerakan ini menginginkan peran kembali Islam atas negara atau sebagai negara, yang terakhir-ini telah sukses dilaksanakan di Iran pads 1979.Pertarungan antara sekularisme dan agama kini lebih hebat daripada sebelumnya. Dalam banyak kasus, posisiposisi ekstremnya adalah antara mereka yang sekular berusaha mendefinisikan Islam sebagai urusan kepercayaan personal dan mereka yang menganggap bahwa penguatan kembali syariat dan otoritas politik Islam adalah penting. Dalam kerangka ini, banyak terdapat keragaman. Walaupun pada masa lalu ideologi-ideologi sekular secara terbuka didukung di wilayah-wilayah tertentu di Dunia Islam, para pendukung sekularisme kini sering mendapati diri mereka berada dalam konflik yang berbahaya. Banyak yang berargumen dari dalam tradisi Islam guna melawan aplikasi syariat secara kaku, dan mereka mungkin lebih baik didefinisikan sebagai modernis Islam. Sebagaimana pada masa lalu, masalah mempertahankan hidup tetap menjadi isu kunci; kaum islamis berpendapat bahwa masyarakat Muslim memerlukan hukum-hukum dan prinsip-prinsip mereka sendiri apabila mereka ingin berkompetisi dengan negara-negara non-Muslim.Isu kunci mengenai sekularisasi dalam masyarakat Muslim adalah mengenai status wanita. Masyarakat Muslim yang sedang memodernisasi diri sejak akhir abad kesembilan belas telah menyaksikan pembelaan kebebasan yang lebih besar bagi wanita; dal-am hal ini, penolakan terhadap jilbab merupakan langkah yang paling nyata. Para pembela kebebasan yang lebih besar bagi kaum perempuan ini kebanyakan merupakan kaum intelektual yang tertarik pada idealitas Barat, mendapat tanggapan positif dari para wanita kelas menengah dan kelas atas terdidik, tetapi mendapat perlawanan keras dari masyarakat wanita yang lebih tradisional.Penggunaan pengalaman Barat untuk membenarkan penghapusan pembatasan wanita dilihat oleh kaum konservatif sebagai contoh pengaruh asing. Pada tahun-tahun belakangan, banyak wanita berpendidikan universitas, sering bekerja di pusat-pusat kota besar seperti Kairo, meninggalkan pakaian Barat, dan kembali pada pakaian Muslim dengan alasan yang beragam, dari kepercayaan agama hingga keinginan untuk menghindari kritik dan pelecehan oleh kaum Aria, baik diilhami oleh agama maupun tidak. Penempatan wanita dalam masyarakat Muslim kini sering merupakan standar ukur untuk mengevaluasi penempatan Islam di mata kelompok sekular/modernis dan konservatif. What Perempuan dan Reformasi Sosial.

Kesultanan Turki Utsmaniyah dan Peninggalannya. Turki `Ustmaniyah sebagai kekuasaan birokratis telah melembagakan otoritas sipil maupun agama dalam administrasi negara dan dalam pribadi penguasa, sultan atau khalifah. Selama abad kesembilan belas, gerakan modernisasi yang disponsori oleh negara menciptakan institusi sekular yang bertujuan memperkenalkan metode belajar, sistem hukum, dan teknik-teknik militer Barat. Institusi-institusi ini, dan para elit yang menjalankannya, tidak merusakkan organisasi-organisasi Muslim serupa sebagai pengganti mereka; yang terakhir, ini tetap hidup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penduduk Muslim. Proses reformasi ini-disebut Tanzimat atau proses reorganisasi-mendapat perlawanan keras sepanjang abad, sebagaimana Turki `Utsmaniyah berjuang menghadapi masalah keberlangsungan kesultanan dan bagaimana jalan terbaik untuk mencapainya. Bagi para pembarusekularis terbuka, seperti menteri pendidikan pada 1870an, Saffat Pasha, mempertahankan negara merupakan isunya, "... Jika Turki tidak... menerima peradaban Eropa secara utuh ... Turki tidak akan pernah memerdekakan dirinya sendiri dari intervensi dan pengawasan Eropa serta akan kehilangan harga dirinya, hak-haknya, dan bahkan kemerdekaannya." (Berkes, 1964, h. 185, dikutip dari sebuah surat yang ditulis pada 1879.)Setelah Perang Dunia I dan kekalahan serta terpecah belahnya Kesultanan Turki `Utsmaniyah negara baru Turki muncul di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal, kemudian dikenal sebagai Ataturk. Dia menghapus kesultanan yang bersifat politik dan kekhalifahan yang bersifat keagamaan. Bagi umumnya umat Islam, hal tersebut mengakhiri warisan Nabi Muhammad, otoritas politik dari lembaga dengan legitimasi keagamaan. Bagi Mustafa Kemal, hal tersebut membuka jalan bagi negara sipil yang menempatkan Islam hanya sebagai kepercayaan personal. Kalender Islam (kalender bulan) diganti dengan kalender matahari, tulisan Arab diganti dengan Latin, pemakaian jilbab dilarang.Sekularisasi dari atas ini menciptakan negara sekular, tetapi tidak dapat menghapus Islam sebagai agama yang diikuti oleh sejumlah besar rakyat. Intervensi militer pada 1960 dan setelahnya menimbulkan kesulitan politik terusmenerus di Turki mengenai batas pengalaman Islam dalam negara sekular. Pengalaman Turki menunjukkan bahwa sekularisasi yang disponsori oleh negara ini tidak dapat menciptakan budaya sekular massa dan bahwa pengenalan demokrasi Barat mendorong penguatan kembali Islam sebagai faktor politik.Kebanyakan politisi Turki menerima keseimbangan antaranegara sekular dan pelaksanaan Islam secara personal, tetapi 'aktivitas fundamentalis baru-baru ini mengecam menggerogoti keseimbangan ini. Pada Juli 1993, para Islamis Turki membakar sebuah hotel tempat diselenggarakan konferensi kaum intelektual sekular Turki, membunuh empat puluh orang, yang tampaknya merupakan aksi balas dendam atas komentar-komentar kritis terhadap Islam yang dilontarkan dalam konferensi tersebut. Pembunuhan-pembunuhan terhadap para intelektual sekular di Mesir dan Aljazair juga menunjukkan bahwa para pendukung sekular merupakan target pembunuhan dalam konflik yang semakin berkembang antara kekuatan sekularis dan fundamentalis.Dunia Arab.Berbagai bentuk pemerintahan berlangsung di Dunia Muslim Arab, berkisar dari Negara Arab Saudi yang berideologi Wahhabiyah hingga rezim sosialis sekular di Irak dan Suriah. Arab Saudi-karena hubungan yang sudah berlangsung dua abad antara keluarga Sa`ad dan gerakan reformasi Wahhabiyah, memproklamasikan diri sebagai negara Islam. Secara- teknis, penguasa penguasanya merupakan pejabat-pejabat sekular yang memerintah sesuai dengan syariat sebagaimana ditafsirkan oleh ulama. Islam melegitimasi negara yang didukung oleh syariat. Pemerintah Arab Saudi membi gerakan Islam di negara lain melawan pemerintah yang dianggap sekular; tujuan utamanya adalah menegakkan kembali syariat sebagai hukum yang mengatur negaranegara ini, mengembalikan negara-negara ini ke model yang dikenal pada abad-abad awal Islam. Meskipun demikian, keluarga penguasa Arab Saudi mendapat serangan dari kelompok yang lebih fundamentalis karena dianggap menyeleweng dari norma-norma Islam.Pada sisi yang berseberangan, terdapat negara-negara sosialis pesaing, yaitu Suriah dan Irak; masing-masing mengaku mewakili ideologi yang sebenamya dari Partai Bats. Walaupun Islam diakui sebagai agama resmi kedua negara tersebut, dalam kenyataannya Islam direduksi menjadi masalah keimanan personal. Wanita dinyatakan setara dengan pria dan 'banyak wanita dipekerjakan di pusat-pusatkota besar.Sebaliknya, muncul oposisi keagamaan yang kuat di Suriah melawan rezim Hafez Assad, disimbolkan oleh Ikhwan Al-Muslimin, yang seperti organisasi pusatnya di Mesir, bertujuan melahirkan negara Islam. Gerakan seperti ini telah ditumpas secara keji: pada 1982, Assad memerintahkan pengeboman terhadap Hama, yang diperkirakan menelan korban cedera sekitar dua puluh ribu orang, untuk merusakkan pusat Ikhwan Al-Muslimin yang anggota-anggotanya telah menyusup ke dalam jajaran kadet militer. Para pemimpin Sunni dan Syi'ah di Irak dipaksa untuk mengakomodasikan diri mereka sendiri dengan rezim Saddam Hussein. Pada akhir Perang Teluk 1991 dan pemberontakan Syi`ah melawan Saddam Hussein, sejumlah tentara Irak merusakkan makam suci di Karbala dan Najaf Tengah sebagai tempat ziarah kaum Syi'ah. Hal ini bisa menciptakan oposisi keagamaan melawan paham Bats, tetapi hal itu lebih karena oleh alasan-alasan politis daripada keagamaan. Upaya-upaya berkelanjutan untuk menciptakan negara-negara Islam dan menolak sekularisme terjadi di Mesir dan Aljazair, negara yang mempunyai bentuk modernisasi dan pembangunan nasional yang sangat berbeda.Pembentukan negara dan institusi-institusi hukum sekular di Mesir telah dimulai pada abad ke 19, didorong oleh Khedive Isma'il (1863-1879) dan diterapkan secara lebih intensif pada masa pendudukan Inggris pada 1882 dan seterusnya. Pada awal abad ke 20, muncul generasi intelektual Muslim yang menyuarakan sekularisasi, yang dihubungkan dengan Ahmad Luthfi Al-Sayyid dan surat kabarAl-Jaridah, yang menganjurkan penurunan derajat Islam hanya menjadi persoalan pribadi. Setelah Perang Dunia I, partai-partai nasionalis Mesir pada umumnya bersifat sekular, yang menyetujui keharusan penempatan institusi-institusi Islam, termasuk Masjid dan Universitas Al-Azhar, di bawah pengawasan negara dan penggantian syariat dengan undang-undang hukum Barat di semua wilayah kecuali dalam wilayah status personal.Para sekularis Muslim, seperti Muhammad Husain Haikal dan Thaha Husain, secara agresif menganjurkan ide-ide dan superioritas budaya Barat ini selama 1920 an. Pada 1925 All Abd Al-Raziq, seorang ulama, berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai prinsip-prinsip politik dan membolehkan kebebasan berpendapat serta demokrasi. Pernyatan-pernyataan ini menimbulkan reaksi tidak menyenangkan, yang mendorong terciptanya gerakan rakyat pada 1928. Ikhwan A1-Muslimin, yang mengecam para penganjur sekularisme maupun A1-Azhar karena dianggap tidak cakap melawan mereka. Pemimpin Ikhwan Al-Muslimin, Hasan Al-Banna', menyerukan dilakukannya pemulihan syariat dan pelaksanaan normanorma Islam, seperti zakat atau pajak sepuluh persen dari penghasilan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil; model Barat dikecam karena menciptakan ketidaksetaraan sosial-ekonomi, suatu argumentasi yang kini sangat bergema.Untuk menghindari hujatan politik dan membenarkan tujuan-tujuan sekular dari Islam, para sekularis sering mendasarkan pada studi-studi tertulis mengenai periode Islam awal. Haikal berpendapat bahwa prinsip-prinsip dasar Muslim mendukung kebebasan berpendapat dan demokrasi sesuai dengan ide-ide modem. Dia menekankan bahwa para Khulafa' Al-Rasyidin atau "khalifah yang mendapat petunjuk jalan yang lurus" tidak meninggalkan model organisasi bagi generasi sesudahnya, tetapi hanya memberi prinsip-prinsip yang pelaksanaan khususnya dapat berubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Argumen ini ditujukan untuk menolak ajakan kembali pada sistem Islam yang akan menerapkan syariat. Pada 1938, Thaha Husain, yang membedakan antara kesesuaian Islam bagi massa dan kebutuhan intelektual akan petunjuk Barat, menekankan bahwa Mesir benar-benar merupakan bagian dari kebudayaan Eropa Barat.Sejak 1930-an, ketegangan terus berlanjut di Mesir antara negara sekular dan gerakan keagamaan yang kuat, yang mengajak kembali kepada masyarakat Islam. Bentuk pemerintahan sekular mengalami pasang surut, dari pemerintahan parlementer di bawah monarki sampai 1952, hingga setengah-kediktatoran militer dari 1954 sampai dengan 1970 di bawah Gamal Abdel Nasser, ke otokrasi yang lebih liberal yang membuka pinto menuju partai-partai parlementer, yang dimulai sejak Anwar Sadat (berkuasa pada 1970-1981) dan ini terus berlanjut di bawah penggantinya, Hosni Mubarak. Selama periode ini budaya sekular terus meluas, sebagaimana pula pendidikan sekular, mengumandangkan ide sosialistik senada dengan Nasser, yang menumpas Ikhwan AlMuslimin. Namun, Ikwan Al-Muslimin tetap bertahan hidup dan mengintensifkan perjuangannya, seperti terlihat dalam tulisan-tulisan Sayyid Quthb (w 1966) yang mengecam "Atatiirkisme" sebagai kejahatan sekular yang mendasar dan mengajak kembali pada aturan-aturan syariat. Dalam upayanya memperoleh sekutu melawan faksi kiri, Sadat memperbolehkan kebangkitan Ikhwan Al-Muslimin dan membiarkannya mendeklarasikan tujuan-tujuannya kepada publik. Akan tetapi, keterbukaan ekonominya terhadap barat pada 1970, infitah menimbulkan semaldn banyak korupsi dan hujatan terbuka dari umat Islam terhadap sekularisme, yang ikut memberi sumbangan terhadap pembunuhan Sadat pada 1981.Dewasa ini dukungan terbuka terhadap kebudayaan sekular di Mesir merupakan hal yang berbahaya, sebagaimana terbukti oleh terbunuhnya jumaiis dan profesor Faraj Faudah pada 1992. Mereka menyerukan pembatasan Islam hanya pada masalah-masalah keimanan personal, menjalankan hal ini dari dalam konteks Islam, yang pada dasarnya kembali pada taktik intelektual pada 1930-an. Mereka membalas argumen kaum fundamentalis untuk menolak budaya Barat dengan menyatakan bahwa Baratlah yang mempunyai kontrol agama terhadap negara pada Abad Pertengahan, tidak seperti Islam Sunni, yang belum pernah mempunyai pemaksaan langsung akan otoritas agama terhadap negara; mereka memperjuangkan nilai-nilai Barat dari serangan anti-Barat yang bertubitubi (Imara, 1979, 1984). Perdebatan di Mesir antara kaum modernis dan fundamentalis Islam berlangsung di arena publik. Banyak kalangan modernis mengemukakan kembali tujuan-tujuan yang dilontarkan oleh para sekularis pada masa lalu, tetapi dengah rasa hormat yang lebih besar terhadap perasaan keagamaan. Ketahanan budaya agama yang terus berlanjut di Mesir membuktikan bahwa "usaha untuk mewujudkan fleksibilitas yang lebih besar dalam mendekati isu-isu keagamaan dan sosial harus datang dari dalam diri Islam, dan tidak melawannya ... [didefinisikan] dalam kerangka sejarah dan budaya ... ditetapkan oleh Islam sendiri" (Smith, 1983, h. 198).Pertanyaan mengenai keadilan dan tatanan sosial dibiarkan tidak terjawab oleh pendekatan ini. Negara sekular Mesir tidak mampu mengatasi krisis ekonomi, sedangkan kelompok agama, jauh Iebih terorganisasi pads tingkat lokal, menyediakan pelayanan sosial, termasuk pelayanan kejehatan, yang tampaknya tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah. Organisasi semacam itu, seperti yang ada di Eropa dan Amerika pada nasyarakat yang relatif tertutup pada abad kesembilan belas, menimbulkan ikatan kuat yang gagal diberikan oleh negara; pada masyarakat kontemporer, daerahdaerah terisolasi ini mungkin berada di pinggiran kota besar, bukan di daerah pedesaan.Mereka yang diserang di tengah konflik ini adalah para Muslim taat, banyak dan mereka berpendidikan universitas, yang lebih memilih negara dan budaya sekular daripada agama, karena hal itu menjanjikan demokrasi dan kebebasan berekspresi. Di Tunisia dan di Mesir, toleransi terhadap penyelewengan pemerintahan sekular serta harapan bagi kebebasan politik yang lebih besar mungkin lebih kuat daripada keinginan terhadap negara dan budaya keagamaan yang penuh. Namun, penumpasan pemerintah terhadap kelompok-kelompok Islam tanpa mengindahkan keadilan hokum memperbesar simpati terhadap kaum fundamentalis.Bagi banyak kaum fundamentalis, kebebasan berpendapat hanya ada dalam parameter wacana Islam. Dalam pandangan mereka, konsep Barat mengenai kebebasan mendorong korupsi moral dan sosial. Beberapa pendukung Islamis, seperti Ikhwan Al-Muslimin di Mesir dan Yordania, merasa sensitif terhadap masalah ini dan menerima pendekatan secara berangsur-angsur terhadap kekuasaan, ketika pemerintahan parlementer muncul kembali dan pendapat yang berbeda ditoleransi. Akan tetapi, gerakan Islamis terbesar di Alja7.air, Front Penyelamat Islam (FIS), berupaya merebut kekuasaan melalui proses parlementer antara 1990 dan 1992, tetapi diragukan apakah toleransi pemerintahan parlementer terhadap pendapat nonagama akan terns berlanjut.Pengalaman Aljazair menggambarkan bagaimana pemerintahan sekular, dalam kasus ini sosialis, sambil menghorniati nilai-nilai Islam, dapat kehilangan kesetiaan warga negaranya yang miskin dan menganggur, yang memperlihatkan argumentasi bahwa keadilan sosialekonomi yang sebenarnya adalah didasarkan atas restorasi negara agama dan penolakan terhadap nilai-nilai asing. Lebih penting lagi bahwa Negara Aljazair sekulai membawa warisan perlawanan utama kaum nasionalis terhadap pendudukan Prancis, suatu simbol perhatuan yang kini tampak tidak berarti lagi bagi kebanyakan rakyat Aljazair.Walaupun sebagai sebuah provinsi'Iiirki `Utsmaniyah; seperti Mesir, Aljazair tidak pernah dikuasai atau dipersatukan wilayahnya, tidak juga ada penguasa Islam terpusat yang diakui oleh semua pihak sebagaimana yang terjadi pada Al-Azhar di Mesir. Otoritas hukum ulama Aljazair hidup bersamaan dengan marabout (pemuka agama-peny.) dan Syaikh Sufi yang mempunyai pengaruh besar terhadap penduduk. Di samping itu, pengalaman kolonial Aljazair berbeda jauh dengan pengalaman kolonial Mesir. Pembentukan negara sekular Mesir telah dimulai sejakpemerintahan Muhammad Ali (1805-1849) sebelum pendudukan Inggris pads 1882. Bahkan, kemudian pemerintahan Mesir ada dalam nama dan bentuknya, sedangkan penguasa Inggris menjalankannya melalui pemerintahan bayangan dan bukan pemerintahan langsung.Sebaliknya, Prancis menduduki Aljazair pada 1831. Walaupun penguasaan mereka atas wilayah padang pasu memerlukan waktu hampir lima puluh tahun. Prancis menciptakan kesatuan politik yang tidak mampu bertahan sampai kini dan memerintah langsung. Tidak seperti daerah jajahan lain, Prancis menjadikan Aljazair sebagai provinsi Prancis dan mendorong kolonisasi serta pendudukan orang-orang Eropa dengan tujuan memerintah wilayah ini selamanya. Mesir tidak pernah mengalami pemerintahan langsung dan kolonisasi semacam ini.Ketiadaan institusi politik Aljazair dan keragaman masyarakatnya, dipadukan dengan penguasaan Prancis secara langsung, memiliki arti bahwa nasionalisme Aljazair yang dibangun pads periode setelah Perang Dunia I berada di luar wilayah partai politik dan mewakili konsep-konsep yang diambil dari pengalaman sosialtyang jauh berbeda. Para intelektual sekular Aljazair berbahasa Prancis, seperti Ferhat Abbas, mendefinisil an identitas sosio-kultural Aljazair berdasarkan wilayah dengan identitas politik Prancis. Sebaliknya, Abd Al-Hamid ibn Badis dan yang lain membentuk gerakan reformasi Islam yang agak modernis dalam tujuannya, tetapi juga memperhatikan upaya kembali ke masa awal Islam untuk memurnikan agama, tidak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dari Mesir (w. 1905) yang telah memberi pengaruh besar terhadap Luthfi Al-Sayyid dan para intelektual Mesir yang berikutnya. Di luar wilayah ini, Ibn Badis dan teman-temannya adalah orang pertama yang menegaskan gagasan tentang bangsa Aljazair. Walaupun demikian, pengaruh gerakan reformasi bersifat terbatas, dan gerakan ini masih tetap merupakan gerakan para pekerja Aljazair yang dipindahkan ke Prancis, yang menemskan gerakan nasional pertama yang benar-benar memperjuangkan kemerdekaan Aljazair, yakni Etoile Nord-Africaine. Survei singkat ini menggambarkan kompleksitas gerakan nasional Aljazair sebelum fase revolusi yang akan dipimpin oleh Front Pembebasan Nasional (FLN), persekutuan kelompok-kelompok nasionalis yang menggabungkan kecenderungan intelektual Islam, sosialis, dan liberal. Dengan terjadinya kemerdekaan pada 1962, FLN, terdiri dari faksi-faksi yang beragam, menerima kepemimpinan nasional. Massa rakyat, masih orang-orang pedesaan, tetap Muslim taat meskipun mereka pindah ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan. Pada 1963, kondisi politik dimasukkan dalam Konstitusi Aljazair, yang menyatakan bahwa Aljazair menjadi negara sosialis dengan Islam sebagai agama resmi. Aljazair, seperti Mesir, merupakan negara sekular dengan budaya sekular bagi para elit dan intelektual kota, tetapi budaya lain, yaitu Islam, mendominasi wilayah pedesaan dan semakin berkembang di pinggiran kota. Dengan kegagalan sosialisme FLN dan otoritarianisme pada 1980-an, muncul keinginan untuk demokrasi yang lebih besar dan munculnya gerakan massa Islam, FIS, yang menyebabkan ketidakpuasan dan terus menunjukkan-ketidakcakapan pemerintah.FIS dan organisasi Islam saingannya menyerukandibentuknya negara Islam yang didasarkan pada syariat. Mereka adalah anti-Barat, mengecam budaya sekularnya sebagai korup dan meminggirkan, bertolak belakang dengan corak masyarakat yang diinginkan Islam. Sekularisme, sebagai ideologi, diserang secara khusus sebagai antiagama, dan mereka yang mendukungnya dipandang mengidentifikasikan diri dengan nasionalisme Aljazair atas nama Islam. Pemimpin-pemimpinnya, Abbasi Madam dan All Bel Hajj, juga mengecam sosialisme dan komunisme, sebagai paham yang berbeda dengan sekularisme, sebagai impor asing. Posisi Madani mengenai demokrasi adalah moderat, sedangkan pandanganpandangan Bel _Hajj adalah lebih konfrontatif. Lebih penting lagi, ada banyak sektor masyarakat, khususnya kota, yang menolak gerakan Islam; mereka adalah para pekerja, intelektual kota, dan birokrat, serta para wanita kelas menengah dan atas, meskipun banyak dari wanita ini memakai pakaian Islam. Di Aljazair terjadi konflik antara pendukung sekular dan pendukung Islam, serta serangan polisi terhadap para pendukung Islam. Secara khusus, dalam pandangan seorang penulis Aijazair "karakteristik terpenting dari konfrontasi ini [sebelum .1992] adalah bahwa secara prinsipal hal ini telah disalurkan melalui subjek status dan peran wanita dalam masyarakatAljazair" (Cheriet, 1992, h. 203). Kewanitaan independen dipandang sebagai suatu penghinaan terhadap masyarakat Islam dan nilai-nilai Islam.Tekanan pemerintah Aljazair terhadap gerakan Islam secara umum dan FIS khususnya menyusul pembatalan proses Pemilihan Umum 1992 telah menciptakan situasi yang beberapa kali mendekati perang sipil. Militer telah mengintervensi sebagai pembela Revolusi Aljazair, berusaha menekan jika tidak menghancurkan FIS. PengalamanAljazair dilihat secara hati-hati oleh gerakangerakan Islam dan pendukung sekular di berbagai tempat karena penolakan FIS terhadap demokrasi jika terpilih bertentangan dengan pendekatan gradual dari Ikhwan Al-Muslimin di Mesir dan Yordania yang secara resmi memasukkan toleransi terhadap pendapat yang berbeda sejauh sesuai dengan negara Islam. Meskipun, apakah hal tersebut akan dapat dilaksanakan jika tujuan-tujuan persaudaraan dicapai dengan penerapan syariat "dalam bidang-bidang pendidikan, media, politik, ekonomi, dan sosial" tetap perlu dilihat (Voll, 1991, jil. 1, h. 387).Iran. Satu-satunya masyarakat Muslim yang kini diperintah oleh petugas-petugas agama dan hukum Islam adalah Iran; Sudan secara prinsip adalah negara Islam, dan ada banyak oposisi terhadap pelaksanaan syariat. Pengalaman Iran menunjukkan kelemahan konsep negara-nasional sekular dalam suatu masyarakat yang penguasa-penguasa tradisional telah pernah melaksanakan kontrol langsung terhadap seluruh negara. Sejak 1500, Iran telah menjadi masyarakat Muslim Syi'ah. Para penguasa dilegitimasi dengan imbalan perlindungan mereka terhadap Islam Syi`ah. Para penguasa dilegitimasi dengan proteksi mereka terhadap Islam Syi'ah sebagaimana yang diinterpretasikan oleh para ulama Syi'ah. Dinasti Qajar (1794-1925) memerintah Iran sebagai para Muslim Syi'ah bertindak atas nama masyarakat keagamaan. Iran tidak pernah dijajah oleh kekuatan Eropa, tetapi kehidupan ekonominya secara berangsur-angsur jatuh di bawah kontrol Eropa pada akhir abad ke-19. Hal ini menimbulkan Revolusi Konstitusi pada 1906 yang berlangsung singkat, yang dipelopori oleh aliansi para mullah, pedagang, dan liberal sekular Syi`ah yang semuanya berusaha membatasi kekuasaan Syi'ah; suatu ketetapan dalam konstitusi mengajak suatu komite mullah untuk memandang ulang semua perundang-undangan untuk memastikan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip Islam.Bagi kebanyakan rakyat Iran, nasionalisme Iran mempunyai nuansa keagamaan. Kegagalan Revolusi 1906 karena intrik Inggris-Rusia dan Syah, tidak menghapuskan ingatan ide-ide tersebut. Kemunculan. Dinasti Pahlavi pada 1925 dibentuk oleh Kolonel Reza Syah yang berusaha menyamai Mustafa Kemal Ataturk dan menciptakan negara sekular dariatas tidak juga dapat menghapuskan ide-ide tersebut. Periode Dinasti Pahlavi (1925-1979) merupakan periode sekular ketika upaya-upaya untuk memaksakan tatanan modernisasi negara pada akhirnya menyulut perlawanan massa yang dimotori oleh tokohtokoh agama Syi`ah yang otoritasnya belum pernah secara penuh ditumpas. Sekularisme sebagai suatu yang diimpor lari asing dihubungkan dengan pengaruh Amerika yang Derlangsung secara gradual terhadap Iran dan terhadap penguasa kedua Pahlavi, Muhammad Reza Syah.Revolusi Iran pada 1979 mempersatukan para mullah, )edagang, dan banyak nasionalis Iran sekular termasuk )ara wanita terdidik yang semuanya berusaha menggulingkan Syah, tetapi bukan dengan mengharapkan adanya pemerintahan yang dipimpin mullah. Prinsip-prinsip sekularisme, seperti yang dikembangkan oleh Atatiirk, dicela oleh Iran sekarang ini sebagaimana jugs dikecam oleh Ikhwan Al-Muslimin Mesir. Debat yang berkaitan dengan masalah ideologis dibatasi hanya dalam bidang pemikiran Islam, walaupun tetap ada perbedaan-perbedaan terpendam yang mendasar mengenai hal ini, khususnya yang berkaitan dengan ide-ide Ali Syarl'ati (w. 1977) yang menentang negara sekular otoriter yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Syah dan menentang otoritas para mullah. Di Iran, All Syarl'ati dianggap sebagai hambatan dan tekanan. Dia menganjurkan pendekatan bare terhadap Islam, yaitu memperbolehkan penerapan prinsip-prinsip ijtihad yang akan dapat mempersatukan masyarakat Iran dengan bimbingan para intelektual yang mendapatkan inspirasi dari ide; ide modern, tetapi agamis. Walaupun Syari`ati mempunyai daya tank bagi kebanyakan generasi yang lebih muda di Iran, para pengikutnya tidak terorganisasi secara efektif dan dengan' mudah dapat dikalahkan oleh para mullah. Asia Selatan dan Tenggara. Mayoritas penduduk Muslim dunia tinggal di Asia Selatan dan Tenggara, terbentang dari Pakistan sampai Indonesia. Wilayah ini mempunyai kondisi geografis dan politik yang sangat beragam serta adanya kelompok-kelompok agama dan etnis lain yang harus diakomodasi oleh umat Islam sendiri. Hal ini khususnya terjadi di India dan Malaysia yang telah memilih untuk mengintensifkan identitas-identitas nasional keagamaan sebagai lawan terhadap ideologi sekular, terutama di India, tempat gerakan sempalan Hindu telah meningkatkan tekanannya pada tahun-tahun terakhir ini.Setelah kemerdekaannya pada 1947, India memproklamasikan diri sebagai negara demokratis sekular dengan identitas keagamaan tersembunyi dalam ikatanbersama nasionalisme India. Partai Kongres yang dominan telah lama mengklaim mengayomi seluruh kelompok etnis dan keagamaan di India. Walaupun masih sebagai negara sekular, India menjadi korban gerakan sektarian Sikh dan Hindu. Kebangkitan Hindu terfokus pada keinginan untuk menghapus masa lalu Islam di India. Sektarianisme Hindu, didorong oleh kemiskinan dan buta huruf, kini menjadi kekuatan politik yang semakin mengancam dasar-dasar nasionalisme India (Sen, 1993). Pendu.duk Muslim India diperkirakan berjumlah 100. juta. Jumlah ini hanyalah merupakan 12 persen dari keseluruhan jumlah penduduk. Keteganganketegangan ini mempertajam persaingan yang telah berlangsung cukup lama antara India dan Pakistan yang berakar dari pemisahan Pakistan dari India.Kemerdekaan India membawa-serta pembentukan Negara Muslim Pakistan-hasil perjuangan Mohammad Ali Jinnah dan Liga Muslim untuk menjaga identitas Muslim secara terpisah. Tahapan selanjutnya adalah pertarungan mengenai tipe Negara Muslim Pakistan yang akan datang. Pertarungan ini bukanlah antara pendukung sekularis dan Islamis, melainkan antara modernis Islam dan fundamentalis Islam. Pihak modernis mengampanyekan demokrasi, pluralisme, dan pelaksanaan prinsip-prinsip dasar sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan modern; negara akan menjadi sekular. .dan terbuka terhadap praktik-praktik Barat, sedangkan para fundamentalis, berpusat di sekeliling Maududi dan organisasi yang dikenal dengan Jama`at-i Islami, menyerukan sebuah Pakistan yang demokratis yang diperintah oleh syariat.Dalam prinsipnya, Pakistan merupakan Republik Islam. Namun, dalam kenyataannya, Pakistan pernah diperintah selama bertahun-tahun sebagai negara sekular meskipun dalam Undang-Undang Resolusi Objektif 1949 dinyatakan bahwa "kedaulatan seluruh alam adalah milik Tuhan Yang Mahakuasa sendiri dan otoritas-Nya yang telah didelegasikan kepada Negara Pakistan melalui masyarakatnya untuk dilaksanakan dalam lingkup yang telah digariskan-Nya merupakan suatu kepercayaan suci" (Ahmad, 1991, h. 470). Pengakuan akan kedaulatan Tuhan berarti bahwa syariat harus diaplikasikan sebagai hukum negara. Meskipun demikian, kelompok modernis masih menang karena pengakuan diberikan pada "prinsip-prinsip demokrasi, kemerdekaan, persamaan, toleransi, dan keadilan sosial sebagaimana yang digariskan oleh Islam..." (Ahmad, 1991, h. 470). Sejalan dengan itu, meskipun kepatuhan diberikan pada pemikiran Islam sebagai tuntunannya, Konstitusi 1956 tidaklah terikat pada statuta-statuta Islam. Konstitusi ini berisi hukumhukum sekular yang menciptakan demokrasi parlementer dengan model Inggris dengan hak parlemen untuk mengawasi agar tidak ada hukum yang melecehkanprinsip-prinsip hukum Islam. Namun, dalam konstitusi ini tidak ada pemyataan bahwa Islam adalah agama negara.Keinginan untuk mengikuti prinsip-prinsip hukum Islam bukan penerapan ketat hukum Islam adalah posisi yang diambil oleh para modernis klasik. Hal ini_ secara esensial memperbolehkan eksistensi negara sekular dan toleransi terhadap budaya sekular kota dalam sebuah masyarakat yang kerangka konstitusional dan budaya populernya tetap islami. Hal ini telah ditolak secara defensif oleh para modernis Mesir. Akan tetapi, pendapat tersebut kini menjadi dasar Negara Pakistan.Secara mengejutkan, Maudfidi dan Jama`at-i Islami menerima Konstitusi 1956 sebagai bagian dari tujuan gandanya untuk memajukan Islam dan demokrasi, meskipun dalam kenyataannya, seruan Maududi mengenai konstitusi Islam ini secara penuh belum terealisasikan. Maududi tidaklah memaksakan pelaksanaan syariat secara komplit sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh pengikut-pengikutnya di Dunia Arab. Pakistan mestinya terus menerapkan kondisi ini bila tidak ada kudeta militer yang membawa Jenderal Ayub Khan ke tampuk kekuasaan pada 1958. Dia membatalkan Konstitusi 1956 dan menekankan pembangunan negara industri yang lebih modem. Dengan memproklamasikan diri sendiri sebagai pembela Islam modem, dia memperkenalkan undang-undang yang bertujuan mempraktikkan Islam tradisional. Dia memperbarui hukum-hokum untuk membatasi poligami, mengontrol prosedur perceraian dengan lebih ketat, dan menjaga hak-hak kepemilikan wanita; dia juga mengambil alih kepengurusan wakaf yang semula dikuasai oleh para petugas keagamaan yang memiliki hubungan dengan pemilik-pemilik tanah yang kuat. Langkah-langkah ini, mempengaruhi kedudukan para wanita dan sumber ekonomi utama dari lembagalembaga keagamaan penting berakibat seperti yang dialami oleh Muhammad Reza Syah di Iran yang malah memperkuat posisi kaum Muslim Syi'ah untuk menjatuhkannya.Di Pakistan, kebijakan-kebijakan Ayub Khan menyebabkan Maudfidi dan Jama`at-i Islami menarik dukungan nya pada Ayub untuk menjadi oposisi terbuka. Oposisi ini semakin kuat ketika Zulfikar Ali Bhutto menjadi perdana menteri pada 1970. Pada awalnya, Bhutto secara umum memperjuangkan sosialisme termasuk nasionalisasi kepemilikan pribadi. Dengan demikian, dia mengabaikan prinsip-prinsip Islam atas hak kepemilikan pribadi atas nama'ideologi sosialis yang menentang fondasi Islam Pakistan. Pada masa rezim Bhutto (1970-1977) inilah titik batik sejarah Pakistan muncul. Bhutto memicu oposisi yang semakin kuat yang dapat memaksanya berkompromi dengan kelompok-kelompok Islam. Konstitusi 1973, suatu konsesi untuk mereka, berisi pengakuan terhadap Islam yang lebih terbuka daripada Konstitusi 1956; semua referensi yang ada dipertahankan, Islam diakui sebagai agama negara dan konstitusi ini menyatakan bahwa presiden dan perdana menteri haruslah seorang nasser Muslim. Sosialismenya, seperti sosialisme di Mesir selama 1960-an, menjadi "sosialisme Islam" dalam usaha untuk menarik opini publik.Namun, kemenangan Jama`at-i Islami dalam manuver parlemen ini tidak berarti bahwa organisasi ini mengadakan pendekatan dengan Bhutto atau komitmen terusmenerus pada demokrasi parlemen. Pemilu terbuka yang dilaksanakan pada 1970 telah menyebabkan kekalahan kembali partai ini sehingga kepercayaan Maududi pada Islam dan demokrasi goyah. Dia dan partai tersebut cukup berkeinginan untuk memilih antara altematif-altematif ini ketika Jenderal Zia ul-Haq melakukan kudeta militer pada 1977, dua tahun sebelum kematian Maududi pada 1979. Zia ul-Haq mulai memaksakan suatu program Islam termasuk hukum matt Islam. Bhutto kemudian dibunuh sebagai hukuman karena melakukan korupsi uang negara.Sejarah Pakistan sekarang ini mencerminkan ketegangan yang tersembunyi pada pertentangan masa lalu antara demokrasi dan pemaksaan negara akan sistem Islam, serta antara visi-visi Islam yang bertentangan. Meskipun Jama`at-i Islami melakukan aktivitas politik, organisasi ini gagal meraih lebih dari sebuah fraksi dukungan pemilihan rakyat. Meskipun pada mulanya mendukung demokrasi, organisasi ini mau mendukung otokrasi Zia ul-Haq, tetapi kemudian beralih menjadi oposisi pada 1988, tidak lama sebelum kematian Zia, dan mencela tirani dan korupsi negara; partai ini kemudian memutuskan mendukung putri Bhutto, Benazir. Meskipun terkenal luas di luar Pakistan, Jama`at-i Islami, sebagai gerakan rakyat, telah gagal menggantikan kelompok-kelompok terdiri dari ulama atau menggoyang kepatuhan tradisional terhadap Islam rakyat di desa-desa,sebagaimana tecermin dari sedikitnya jumlah suara pada pemilihan-pemilihan umum.Peraturan yang paling mencolok dari Jama`at-i Islami terletak pada tulisan-tulisan pendirinya, Maududi, yang seruannya untuk negara Islam sebagai satu-satunya jawaban terhadap zaman modem adalah selalu melampaui batas-batas negara, dan menurut pandangannya, dapat diterapkan di seantero Dunia Islam. hlisan-tulisannya telah dibaca secara luas oleh anggota-anggota Ikhwan Al-Muslimin Mesir dan FIS Aljazair. Ironisnya, Maududi mungkin lebih banyak dirujuk oleh orang-orang di luar Pakistan daripada di dalam negeri.Di Pakistan sendiri, pertentangan antara modemisme dan tradisionalisme Islam terus berlanjut, didorong oleh faktor luar, seperti perlawanan bangsa Afghanistan terhadap pendudukan Soviet, yang menjadi tujuan Muslim dan memperkuat Islam tradisionalis serta fundamentalis selama 1980-an. Di Pakistan, seperti Mesir, kepentingan sekular dan moderns harus diekspresikan dalam kerangka Islam; tidak seperti Mesir, kerangka tersebut telah dijamin oleh pengakuan resmi di Pakistan melalui Konstitusi 1956, membuka pintu untuk kemungkinan kompromi pada masa depan.Dalam perbedaan yang mencolok pada aktivisme politik Jama`at-i Islami dan implikasi politik tulisantulisan Maududi, terdapat gerakan reformasi Muslim individual yang menjauhkan aktivisme politik. Ini adalah Jama`ah Tabligh, didirikan pada 1926 di India. Organisasi ini merupakan sebuah gerakan revivalis Islam berdasarkan dakwah personal dan ajakan untuk kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Seperti Protestan, organisasi ini melihat politik sebagai korup dan "sebagaimana Nonkonformis Evangelis Inggris pada abad ke-18, instrumen utama para pekerja Jama`ah Tabligh adalah berpindah-pindah" (Ahmad, 1991, h. 515). Dengan didorong oleh para dai individual, organisasi ini menyebar ke segenap Dunia Arab, Asia, dan Afrika, mencari kebangkitan moralitas personal melalui kembali ke nilai-nilai dasar Islam dan memperkuat ikatan komunal dan pelayanan untuk menjaga masyarakat Islam di antara anggota masyarakat tersebut.Gerakan semacam ini menoleransi pemerintahan atau negara sekular untuk mewujudkan tatanan sosial Islam lepas dari dukungan negara. Dengan demikian, memusatkan diri pada keselamatan personal. Secara bertolak belakang, pendekatan ini meningkatkan keberlangsungan masyarakat sekular secara lebih luas dengan menolak aktivisme politik, khususnya pendirian yang menguntungkan di antara India Muslim, tetapi cukup menarik di Eropa dan Amerika Utara. Dalam lingkup yang lebih luas, praktik-praktik tablig mendepolitisasi aktivis-aktivis keagamaan dan telah berfungsi memperlemah usahausaha keagamaan yang terinspirasi secara institusional dan politik di Malaysia serta di Pakistan. Seperti yang telah ditunjukkan oleh Mumtaz Ahmad, Jama`ah Tabligh merupakan gerakan Islam internasional yang autentik, mengedepankan otoritas dai di atas pejabat agama, dalam kasus ini direprensentasikan oleh ulama, tetapi tidak ceperti respons Protestan Evangelik terhadap sekularisme. Pengalaman Asia Selatan telah memberi dua jawaban terhadap pertanyaan mengenai posisi Islam dalam masyarakat dan negara, Jama`at-i Islami dan Jama`ah Tabligh. Filosofi dan strategi mereka secara diametris bertolak belakang antara satu dan yang lain. Pada tingkatan organisasi, Jama`at-i Islami yang arif secara politis telah berhasil mempengaruhi reformasi Islam di Pakistan, tetapi gagal dalam memperoleh dukungan dalam pemilu; Jama`ah Tabligh menolak aktivisme politik dan memilih dakwah -individual dan reformasi moral. Pada tingkat ideologi, kedua gerakan telah menyebar dalam: skala internasional. Tulisan-tulisan Maududi telah berfungsi sebagai sumber dasar inspirasi untuk Ikhwan Al-Muslimin kontemporer dan khususnya untuk fundamentalis revolusioner, seperti Sayid Quthb dari Mesir, yang memperluas ajakan Maududi untuk pemerintahan Islam untuk memasukkan menaklukkan dunia nonMuslim. Gerakan Jama`ah Tabligh telah mengirim para dai pada masyarakat luas dan masyarakat Muslim di Amerika Utara dan Eropa, serta di Afrika dan Asia.Dalam esensinya, gerakan-gerakan ini mencerminkan dua kutub dakwah Islam. Yang pertama menyerukan pada persatuan agama dan negara serta berjuang untuk menciptakan kembali sistem Islam dalam bentuk modem yang dipercaya pernah ada pada permulaan Islam; yang kedua menolak politik dengan, alasan nilai-nilai dan prinsipprinsip moral-bagi para anggota Tabligh, esensi Islam terdapat pada masa Rasulullah-dalam arti mengajukan pemisahan agama dan negara. Organisasi ini menolak sekularisme secara keseluruhan, aspek lain dari manifestasi politiknya sebagai kejahatan yang bisa ditoleransi untuk memenuhi tujuan-tujuan keagamaan personal. Keduanya kembali ke sumber yang sama, Islam awal, untuk solusi mereka, sebagaimana yang ada pada sekularis Mesir, modemis Islam, dan Ikhwan Al-Muslimin.Perbandingan yang berbeda muncul dalam dua pendekatan yang sangat berbeda terhadap Islam dan sekularisme terdapat di Malaysia dan Indonesia yang disebabkan oleh sejarah dan pengalaman kolonial mereka yang berbeda. Sebagaimana yang telah diamati oleh Manning Nash, Malaysia dan Indonesia merupakan "bangsa Islam, tetapi negara sekular". Akan tetapi, konsep kebangsaan mereka sendiri adalah cukup berbeda.Kepulauan yang luas_disebut Indonesia terdiri dari, lebih 160 juta (lebih dari 200 juta kini) penduduk yang hampir 85 persennya Muslim. Negara ini merupakan negara Muslim terbesar di dunia, tetapi pemerintahannya secara resmi sekular dan melaksanakan berbagai macam ajaran Islam. Baik sistem pendid kan sekular maupun Islam disponsori oleh negara dan pengadilan sekular dalam Islam juga eksis berdampingan. Namun, dualitas ini tidak berarti bahwa hasil pendidikan sekular merupakan antiagama. Kebanyakan, seperti saudara-saudara di Afrika Utara, merupakan Muslim taat yang menerima negara sekular sebagai pilihan daripada pemerintahan agama, selama negara tidak mencampuri urusan pribadi. Pelanggaran dapat mendorong oposisi kuat, sebagaimana terjadi pada pertengahan 1970-an ketika pemerintah dipaksa untuk menarik suatu rencana sttus1 e1uarga/hukum pe-rkawirtan yang_memperbolehkan wanita Muslim menikah dengan lelaki non-Muslim dan memberi otoritas final pada peradilan sipil dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan perceraian dan poligami. Oposisi kuat dari publik menyebabkan diberlakukannya kembali status Muslim dan otoritas hukum dalam kasus-kasus tersebut dan melarang perkawinan antaragama untuk wanita Muslim (Johns, 1987, hh. 21719). Toleransi dan pluralisme Indonesia mengenai manifestasi Islam dapat dengan mudah berubah jika negara dilihat sebagai upaya memodernisasi dengan mengorbankan Islam, sebagaimana terjadi pada rezim Ayub Khan di Pakistan.Malaysia merupakan 45 persen Muslim. Tidak seperti Indonesia, Islam diakui sebagai agama resmi pemerintah. Islam berfungsi sebagai identitas nasional bagi bangsa Malaysia dalam negara yang memiliki penduduk minoritas etnis Cina dan India masing-masing 37 dan 11 persen. Meskipun demikian, Islam Malaysia sendiri terpecah belah. Meskipun ada pemerintahan nasional dan Islam resmi, terdapat juga tiga belas negara, sebelas di antaranya memiliki biro, pegawai-pegawai pengadilan, dan peradilan keagamaan sendiri.Dengan perpecahan resmi semacam itu, revivalisme Islam telah mengakar dalam gerakan dakwah. Gerakan ini terorganisasi secara menyebar dan personal maupun komunal. Gerakan ini utamanya menarik kaum urban, banyak di antaranya pemuda terdidik di universitas yang menolak budaya Barat dan nilai-nilai sekularnya sebagai korup-misalnya, cukup sama dengan daya tank Islam bagi kebanyakan orang di Mesit: Karena frustrasi terhadap kelompok-kelompok Muslim yang beragam dalam negara federasi, kebanyakan pemuda Malaysia dari dakwah ini menginginkan negara Islam. Mereka cukup dekat aspirasinya dengan Ikhwan Al-Muslimin. Keberhasilan tujuantujuan akan dapat mengakhiri negara sekular Malaysia kini jika tidak adajaminan eksplisit bagi eksistensi minoritas-minoritas etnis.Gerakan ini berarti tidak senang dengan Islam resmi dan pemimpin-pemimpin Malaysia. Sebagai kelompok penyeru yang berusaha mengisolasikan diri dari masyarakat dan korupsinya, mereka menyerupai anggotaanggota Jama'ah Tabligh, tetapi tujuan utama merekanegara Islam dan penolakan resmi terhadap sekularisme-bertolak belakang dengan pandangan Tabligh. Namun, ada jugs dakwah Tabligh di Malaysia yang menghindari tujuan-tujuan politik. Perbedaan-perbedaan ini membuka peluang. bagi partai politik sekular dan pemerintah untuk menoleransi aktivitas mereka untuk masa kini, tetapi penyebaran militansi Islam yang diekspresikan secara politik dan sosial melalui bentuk pakaian sebagai simbol frustrasi dengan nilai-nilai moderndapat mengancam sistem politik Islam kini.Hubungan historis antara sekularisme dan Islam telah melalui beberapa tahapan yang bervariasi sesuai dengan masyarakat Islam tertentu yang dipelajari. Elit-elit Muslim yang memerintah sering tertarik pada nilai-nilai sekular Barat pada abad ke-19 karena budaya Barat telah terbukti unggul secara militer. Adopsi terhadap hasil-hasil ilmu pengetahuan dari budaya tersebut dapat menjadi alatuntuk menolak dominasi politik Barat. Pada awal abad ke-20, generasi barn terdidik sering di sekolah-sekolah Barat lebih siap dan positif berpaling ke nilai-nilai sekular Barat sebagai alternatif dari Islam untuk masyarakat mereka. Mereka menganggap Islam sebagai terbelakang dan penghalang modernitas. Di balik sikap ini ada yang lain, tetapi hal yang telah dijalankan oleh generasi birokrat terdahulu dan pemerintahan Turki `Utsmaniyah bahwa isunya merupakan mempertahankan diri, meraih kemerdekaan dari kontrol asing, dan meraih status sederajat dengan Barat.Selalu ada oposisi Muslim terhadap pendukung sekularisme, baik berpusat di institusi-institusi Muslim besar, seperti Al-Azhar di Mesir, atau di kelompok-kelompok nasionalis yang sering lebih bersemangat untuk mengusir penjajahan asing daripada para modernis sekular. Sejak 1920-an sampai kini bentuk-bentuk baru oposisi Muslim bermunculan, sering berakar pada gerakan-gerakan rakyat yang mengkritik Islam resmi sebagaimana yang diwakili oleh ulama bersamaan dengan para sekularis. Ikhwan Al-Muslimin dari Mesir adalah contoh yang paling nyata, tetapi gerakan reformis Syaikh Ibn Badis di Aljazair, dari kalangan ulama, dalam Jamaat-i Islami di Pakistan dan aktivitas-aktivitas dakwah setelah kemerdekaan, mencerminkan kecenderungan yang sama. Kebanyakan dari kelompok-kelompok ini bermula baik sebagai gerakan-gerakan Islam maupun nasionalis walaupun beberapa darinya telah berusaha membangkitkan tendensi Islam di sana-sini. Satu-satunya gerakan yang dipimpin oleh pejabat-pejabat keagamaan mengidentifikasikan diri dean nasionalisme dan reformasi Islam yang telah sukses adalah Iran.Seluruh gerakan ini melihat sekularisme, baik liberal maupun sosialis Barat, sebagai meningkatkan bukannya mengurangi kebergantungan pada kekuasaan asing. Dalam pandangan mereka, sekularisme, sebagai pertumbuhan kebudayaan Barat, juga telah memandang rendah nilai-nilai masyarakat asli sampai Islam dan-dalam bentuk nasionalis-sekular dari Zionisme dan Negara Israel-merampas wilayah yang telah menjadi Muslim selama berabad-abad. Bagi oposisi keagamaan, sekularisme sebagai dasar negara-negara baru merdeka setelah Perang Dunia II pada akhirnya menyetujui sepenuhnya bentuk baru kolonialisme, utamanya ekonomi, tetapi sering politik dan budaya. Isu, bagi lawan sekularisme,adalah jugs pertahanan diri yang dimotivasi oleh penganjurnya, tetapi pertahanan diri sering didefinisikan sekarang dalam istilah budaya daripada ilmu pengetahuan; teknologi dan ilmu pengetahuan Barat dapat diterima, tetapi bukan dehumanisasi yang diidentifikasikan dengan budaya sekular.Rasa dehumanisasi ini tidak dibatasi pada pandanganpandangan Muslim terhadap sekularisme. Rasa ini terdapat di antara semua gerakan fundamentalis yang berusaha menegakkan sabda lhhan sebagai dasar aksi sosial dan personal. Kandidat republikan untuk letnan gubernur dari Virginia pada 1993, anggota Moral Majority: secara paksa menganjurkan pendidikan di rumah daripada di sekolah-sekolah umum, yang is percayai diwarnai dengan "humanisme sekular", dan berharap mendirikan kebijakan umum yang dapat menyingkirkan buku-buku yang mencerminkan nilai-nilai semacam tersebut dari sekolah-sekolah umum (Vesti, 1993).Akan tetapi, usaha-usaha tersebut diambil dalam konteks demokrasi yang berusaha keras dicapai para modernis sekular dan Islam di masyarakat mereka dan bahwa gerakan Muslim fundamentalis sering beroposisi jika pandangan-pandangan Muslim ditoleransi. Dalam kebanyakan masyarakat Muslim, dukungan terbuka terhadap sekularisme sebagai nilai budaya menjadi tidak hanya jarang, tetapi juga berbahaya. Lebih sering terjadi adalah situasi ketika modernis Islam dan seperti bertolak belakang dengan sistem Islam. Sistem tersebut bagi mereka bukannya merupakan perbaikan, melainkan perusakan dari kondisi yang sudah sulit terdapat pada negaranegara sekular, otoriter yang sering tampak.

KEPUSTAKAANAdams, Charles J. "Maududi and the Islamic State" dalam Voices of Resurgent Islam, pent'. John L. Esposito, hh. 99-133. New York dan Oxford, 1983.Ahmad, Mumtaz. "Islamic Fundamentalism in South Asia: the Jamaat-i Islami and the Tablighi Jamaat of South Asia" dalam Fundamentalisms Observed, pent'. Martin E. Marry dan R. Scott Appleby, hh. 457-530. Chicago, 1991.Al-Ahnaf, Mustafa, Bernard Botiveau, dan Franck Fregosi. C Algerie par ses Islamistes. Paris, 1991.Ayubi, Kazih:, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. London, 1991.Berkes, Niyazi. The Development of Secularism in Turkey. Montreal,1964.Cheriet, Boutheina. "Islamism and Feminism: Algeria's `Rites of Passage' to Democracy" dalam State and Society in Algeria, peny. John P Entelis dan Philip C. Naylor, hh. 171-216. Boulder, 1991.Entelis, John P "Introduction: State and Society in Transtion" dalam State and Society in Algeria, peny. John P Entelis dan Philip C. Naylor, hh. 1-30. Boulder1991.Esposito, John L., pen. Islam and Development. Syracuse, 1980. Esposito, John L., peny. Islam in Asia: Religion, Politics, and Society. New York dan Oxford, 1987.Federspeil, Howard M. Muslim Intellectual and National Development in Indonesia. Commack, New York, 1992.Ferjani, Mohammed-Cherif, 1991. Islamisme, laicite, et droits de l'homme: Un siecle de debar sans casse reporte au sein de la pensee Arabe Contemporaine. Paris, 1991.Flores, Alexander. "Secularism, Integralisme, and Political Islam" dalam Middle East Report 23.4 (Juli-Agustus 1933): 32-38. Isu ini seluruhnya, berjudul Political Islam, berguna untuk dibaca, khususnya artikel oleh Gudrun Kramer yang disebut di bawah.Glasner, Peter E. The Sociology of Secularisation: A Critique of a Concept. London, 1977.Goldzihez, Ignacz. [A.M. Goichon]. "Dahriyya" dalam Encyclopedia of Islam, edisi baru, jil. 2, hh. 95-97. Leiden, 1960-.Haddad, Yvonne Yazbeck. "Sayyid Qutb: Ideologue of Islamic Revival" dalam Voices of Resurgent Islam, peny. John L. Esposito, hh.'6798. New York dan Oxford, 1983.`Imrarah, Muhammad. Al-Islam wa Al-Sulthah Al-Diniyah (Islam dan Otoritas Keagamaan). Kairo, 1979Imarah, Muhammad. Jamal Al-Din Al-Afghan% Al-Muftard 'alaihi (Jamal Al-Din Al-Afghani, the Slandered). Kairo, 1984."Johns, Anthony H. "Indonesia: Islam and Cultural Pluralism" dalam Islam in Asia, peny. John L. Esposito, hh. 202-229. New York dan Oxford, 1987.Kepel, Gilles. The Prophet and Pharaoh: Muslim Extremism in Egypt. London, 1985.Knauss, Peter R. "Algerian Women since Independence" dalam State and Society in Algeria, peny. John E Entelis dan Philip C. Naylor, hh. 151-170. Boulder, 1991.Krammer, Gudrun, "Islamist Notions of Democracy" dalam MiddleEast Report 23.4 (Juli Agustus 1993): 2-13.Mehmet, Ozay. Islamic Identity and Development: Studies of the Islamic Periphery [Turkey and Malaysia]. New York, 1990.Mitchell, Richard P The Society of the Muslim Brothers. London dan New York, 1969.Nash, Manning. "Islamic Resurgence in Malaysia and Indonesia" dalam Fundamentalisms Observed, peny. Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, Chicago, 1991.Roff, William R., peny. Islam and the Political Economy of Meaning. London, 1987.Ruedy, John. Modern Algeria: The Origins and Development of a Nation. Bloomington, 1992.Sanson, Henri. Laicite islamique en Algeria. Paris, 1983Sen, Amartya. 1993. "The Threats to Secular India" dalam The New York Review of Books 40.7 (8 April 1993): 26-32.Sivan, Emmanuel. Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics. New Haven, 1985. Smith, Charles D. Islam and the Search for Social Order in Modern Egypt. Albany, 1983.Smith, Charles D. "The Intellectual, Islam, and Modernization: Haikal and Syariati" dalam Comparing Muslim Societies, peny. Juan Cole, hh.163-192. Ann Arbor, 1992.Toprak, Binnaz. Islam and Political Development in Turkey. Leiden, 1981Vest, Jason. "Mike Farris, For God's Sake". Washington Pbst, 5 Agustus 1993, seksi C; hh. 1-2.Voll, John O. "Fundamentalism in the Sunni Arab World" dalam Fundamentalism Observed, peny. Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, hh. 345-402. Chicago, 1991.Voll, John O. Islam: Continuity and Change in the Modern World. Syracuse, 1994.

CHARLES D. SMITH