Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication ISSN 2721-1495
Corresponding author: Agatha Winda Setyarinata; e-mail: [email protected] Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication Volume 1 Issue 3 2020 © The Author(s) 2020. Published by Department of Communication Science Universitas Brawijaya. All right reserved. For permissions, please e-mail: [email protected]
ARTIKEL ORISINAL
Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood
pada Film Athirah
Sarah Yoshina Siauttaa, Anastasia Yuni Widyaningrumb, Agatha Winda Setyarinatac
abc Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya
Often times Indonesian films raise issues around women, especially about mothers, which is
linked to gender inequality between men and women. The films that depict women unfairly in a
disadvantageous position is a product of patriarchal culture. Women, especially mothers, often
have less dominant roles and positions in all fields; also women are rarely used as main
characters. The same is the case with the characterization of the mother in the film Athirah. In
this study, we discussed about how motherhood is shown in the film Athirah. This study employed
semiotic method proposed by Charles Sander Peirce. The results of this study indicate that
Athirah's motherhood revolves around her role as a wife and husband's companion, as a
household organizer and leader, and also as a child caregiver. The depiction of motherhood in
the film Athirah is still trapped in the classic depiction of a woman in an unequal gender
construction. This inequality is shown in the double burden carried by Athirah's figure.
Keywords: motherhood, mother’s role, semiotics, movie.
Film-film di Indonesia seringkali mengangkat isu seputar perempuan, khususnya ibu, yang
dikaitkan dengan ketidaksetaraan serta ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan.
Film dengan tema perempuan yang menempatkan perempuan dengan tidak adil ini adalah bentuk
dari budaya patriarki, yang secara tidak adil menempatkan perempuan dalam posisi yang
seringkali tidak menguntungkan. Perempuan, khususnya seorang ibu, seringkali mendapatkan
peran serta posisi yang kurang dominan dalam segala bidang dan jarang sekali perempuan
dijadikan sebagai tokoh utama. Sama halnya dengan penokohan ibu pada film Athirah. Dalam
penelitian ini, peneliti akan membahas bagaimana motherhood ditampilkan dalam film Athirah.
Penelitian ini menggunakan metode semiotika yang digagas oleh Charles Sander Peirce. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa motherhood atau sifat keibuan yang dimiliki oleh Athirah
berkisar pada peranannya sebagai istri dan pendamping suami, sebagai pengatur dan pemimpin
rumah tangga, dan juga sebagai pengasuh anak. Penggambaran motherhood dalam film Athirah
masih terjebak pada penggambaran klasik seorang perempuan dalam konstruksi gender yang
tidak setara. Ketidaksetaraan tersebut ditampilkan dalam beban ganda yang disandang sosok
Athirah.
Kata Kunci: motherhood, peran ibu, semiotika, film.
Film-film di Indonesia seringkali mengangkat isu seputar perempuan, khususnya ibu,
yang dikaitkan dengan ketidaksetaraan serta ketidakadilan gender antara laki-laki dan
perempuan. Misalnya film Air Mata Terakhir Bunda (2013) dan Opera Jawa (2006). Film
dengan tema perempuan yang menempatkan perempuan dengan tidak adil ini adalah bentuk
dari budaya patriarki, yang secara tidak adil menempatkan perempuan dalam posisi yang
seringkali tidak menguntungkan (Kirby, Riforgiate, Anderson, Lahman, & Lietzenmayer,
Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
166
2016). Dalam masyarakat pun, ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan juga
masih mengakar kuat.
Konstruksi sosial gender terjadi dalam proses evolusi yang panjang dan secara perlahan
mengubah dan memengaruhi kondisi biologis antara laki-laki dan perempuan (Fakih, 2013).
Anggapan bahwa laki-laki lebih kuat secara fisik dan perempuan lebih lemah, serta sifat-
sifat lain yang melekat pada keduanya merupakan proses konstruksi yang panjang dan bukan
kodrati. Karena evolusi memerlukan waktu yang sangat lama, maka konstruksi tersebut
secara perlahan juga dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Pada akhirnya, hal tersebut juga berimbas pada ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan
di ranah domestik dan publik. Ketidaksetaraan dalam lingkup domestik dapat terjadi saat
seorang ibu atau istri tidak bebas melakukan kegiatan-kegiatan yang ia inginkan karena
merasa memiliki tanggung jawab memelihara kehidupan anak dan suami. Keberadaan
seorang ibu secara universal disatukan oleh sifat motherhood (keibuan), yang merupakan
cara perempuan menjalankan peranannya sebagai seorang ibu (Sihombing, Sabana, &
Sunarto, 2015). Pengertian lain mengenai motherhood atau keibuan diungkapkan oleh
Asriani (2017). Menurutnya, konstruksi motherhood atau keibuan juga erat hubungannya
dengan pekerjaan rumah tangga dan pemeliharaan keluarga lainnya, termasuk dalam hal
tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya.
Realitas ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam konteks domestik ini
beresonansi dengan realitas pada film di Indonesia. Perempuan, khususnya seorang ibu,
seringkali mendapatkan peran serta posisi yang kurang dominan dalam segala bidang dan
jarang sekali perempuan dijadikan sebagai tokoh utama. Menurut Gardnier, Wagemann,
Suleeman, dan Sulastri (1996), peran perempuan dalam film hanya sebagai pelengkap saja.
Jika sebagai pemeran utama, peran tersebut pasti berkaitan dengan posisi perempuan yang
ada pada lingkup domestik; sebagai ibu, istri, kekasih, atau anak perempuan yang penurut.
Hal ini berbeda dengan laki-laki, yang selalu mendapat peranan yang lebih dominan
dibandingkan perempuan. Media selalu saja menampilkan eksistensi perempuan yang tidak
proporsional dibandingkan dengan kaum lelaki (Natha, 2017).
Artikel ini membahas bagaimana motherhood ditampilkan dalam film. Film sendiri
merupakan salah satu media massa yang memiliki kemampuan untuk menjangkau banyak
segmen sosial dan berpotensi untuk memengaruhi khalayak luas (Sobur, 2017). Sebab, film
merupakan media massa yang menggabungkan gambar dan audio visual. Tidak hanya itu
saja. Dalam film juga terdapat alur cerita dan tokoh yang semakin memperkuat penyampaian
pesan kepada khalayak luas.
Film-film yang mengangkat isu seputar perempuan seringkali menampilkan pola relasi
gender antara suami dan istri dalam sebuah keluarga, yang mana pola relasi gender tersebut
dilihat dari segi status dan kekuasaan, komunikasi non-verbal, hingga pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan. Namun, seiring berjalannya waktu, perempuan kini mulai
dijadikan pemeran utama dan digambarkan memiliki kesetaraan yang sama, bahkan melebihi
laki-laki. Perempuan yang seringkali digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tunduk
pada lelaki, kini berubah menjadi tokoh yang kuat dan dapat menginspirasi banyak orang
(Diansyah, 2018).
S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
167
Film berjudul Athirah (2016) merupakan salah satu film yang menjadikan perempuan
sebagai pemeran utama. Film garapan sutradara ternama Riri Riza ini bercerita tentang
kehidupan perempuan Bugis bernama Athirah. Film ini mengangkat kisah hidup ibunda
mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla. Dalam film ini, diceritakan potret
kehidupan seorang ibu yang harus menghadapi rasa sakit akibat perselingkuhan yang
dilakukan oleh suaminya. Sementara itu, ia harus berusaha keras untuk menjaga keutuhan
keluarga dan mempertahankan kehormatan keluarga. Athirah digambarkan sebagai ibu dan
istri yang tangguh, serta terlihat kuat secara emosional dalam menghadapi berbagai masalah
yang menimpa keluarganya, khususnya terkait perselingkuhan yang dilakukan oleh sang
suami. Tidak hanya itu saja. Bila dilihat dari segi finansial, Athirah juga hidup dari keluarga
berada. Bahkan, usaha sarung khas Bugis yang ia bangun sendiri mendatangkan keberhasilan
tanpa adanya campur tangan dari sang suami. Namun, ternyata tidak seluruh adegan yang
ada menampilkan ketangguhan sosok Athirah. Beberapa scene yang ada malah menunjukan
hal sebaliknya. Dalam film tersebut, Athirah masih diperlihatkan sebagai sosok ibu dan istri
yang tunduk pada suami.
Gambar 1. Adegan Athirah menyiapkan makan untuk suaminya, Puang Ajji
Sumber: Athirah, 2016
Scene yang menggambarkan kondisi tersebut adalah ketika Athirah masih menyiapkan
makanan serta perlengkapan makan milik suami yang telah berselingkuh darinya. Dalam
scene tersebut, diperlihatkan Athirah yang tengah mempersiapkan makan malam untuk sang
suami, Puang Ajji. Anak-anak juga tidak boleh makan terlebih dahulu hingga sang suami
pulang. Adegan tersebut memunculkan permasalahan pada posisi perempuan di film melalui
konsep motherhood atau keibuan dalam diri Athirah. Walaupun Athirah ditampilkan sebagai
sosok yang memiliki daya dalam hal finansial dan emosional, ia tetap harus menjalankan
peranannya sebagai seorang ibu dan istri yang tetap melayani suami dan anak-anaknya.
Berdasarkan latar belakang di atas, artikel ini berupaya mengungkap makna pada tanda-
tanda yang menggambarkan motherhood dalam film Athirah dengan menggunakan kajian
teori analisis semiotika Charles Sander Pierce. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai, dalam hal ini,
tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa objek-
Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
168
objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2017).
Menurut Budianto (dalam Sobur, 2015), tanda sendiri merupakan representasi dari gejala
yang memiliki sejumlah kriteria seperti: nama, peran, fungsi, tujuan, dan keinginan. Oleh
karena itu, tanda-tanda tersebut (yang berada pada sistem tanda) sangat akrab dan melekat
pada kehidupan manusia yang penuh makna, seperti yang teraktualisasikan pada bahasa,
religi, seni, sejarah, dan ilmu pengetahuan.
Artikel ini menganalisa film Athirah dengan berfokus pada penggambaran motherhood
tokoh perempuan bernama Athirah. Untuk mengetahui posisi perempuan dalam film
tersebut, model triadik semiotika Charles Sander Peirce digunakan untuk
menginterpretasikan tanda melalui relasi antara tiga aspek: sign, object, dan interpretant
(Kriyantono, 2016). Kategori tanda yang dianalisa berupa dialog (audio) serta visual atau
potongan-potongan scene yang terdapat dalam film Athirah. Langkah awal yang akan
peneliti lakukan adalah menetapkan potongan-potongan scene dan mencatat dialog dalam
scene tersebut. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi tanda-tanda yang ada pada
scene yang telah dipilih. Peneliti kemudian mengelompokannya dalam kateogori sesuai
triangle of meaning, yaitu sign, object, dan interpretant. Setelah tahap ini selesai, analisis
dilakukan guna memahami sistem tanda dan menginterpretasi tanda yang ditemukan dalam
potongan scene. Temuan akan ditulis dalam tema-tema yang muncul dari analisis.
Konsep Motherhood dalam Media
Masyarakat umumnya menggambarkan sosok ibu sebagai sosok yang penuh dengan
keceriaan, penyabar, berhati lembut, tulus, luhur, serba bisa, kadang bisa marah, dan juga
penuh dengan pengorbanan. Keberadaan seorang ibu secara universal disatukan oleh sifat
motherhood (keibuan), yang merupakan cara perempuan menjalankan peranannya sebagai
seorang ibu. Bila dilihat dari konteks biologis, seorang perempuan disebut sebagai “ibu”
karena ia telah mengandung dan melahirkan seorang anak. Tetapi, jika dilihat dari konteks
sosial, pemahaman keibuan ada karena perannya dalam perawatan dan juga pengasuhan
anak (Sihombing, Sabana, & Sunarto, 2015).
Asriani (2017) mengungkapkan bahwa menurut gagasan dari ibuisme, motherhood
didefinisikan sebagai perempuan pelengkap dan teman bagi suami mereka, sebagai
penasehat bangsa, dan juga sebagai ibu serta pendidik dari anak-anak mereka. Asriani
kemudian menambahkan bahwa konstruksi keibuan atau motherhood juga erat hubungannya
dengan pekerjaan rumah tangga dan pemeliharaan keluarga lainnya, termasuk dalam hal
tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya.
Dalam istilah ibuisme negara yang dikemukakan oleh Suryakusuma (2011), perempuan
diharuskan untuk melayani suami, anak-anak, masyarakat, serta negara. Dalam lingkup
rumah tangga, perempuan harus menyerahkan seluruh tenaga kerjanya secara cuma-cuma
tanpa mengharapkan prestise ataupun kekuasaan apapun. Seorang ibu tentunya memiliki
beberapa peranan dalam keluarga yang harus ia kerjakan, di antaranya: memenuhi kebutuhan
fisiologi dan kebutuhan psikis; merawat serta mengurus keluarga dengan sabar, mesra, dan
juga konsisten; sebagai pendidik yang mampu untuk mengendalikan dan mengatur anak;
S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
169
sebagai contoh serta teladan bagi keluarga; sebagai manajer yang bijaksana; serta dapat
memberi rangsangan dan pembelajaran yang baik (Maulati, 2017). Dari sini dapat dilihat
bahwa cinta kasih seorang ibu nampaknya sering dibarengi oleh adanya perasaan dedikasi
atau membaktikan diri serta pengorbanan sebesar-besarnya (Kartono, 2007).
Bila dilihat dari pernyataan-pernyataan yang telah dipaparkan mengenai motherhood,
peneliti dapat menyimpulkan bahwa motherhood adalah sifat keibuan yang ada dalam diri
seorang ibu, yang pada akhirnya menuntun seorang ibu untuk melakukan peranannya
sebagai seorang ibu secara sukarela. Hal ini selaras dengan paparan Kartono (2007) yang
menjabarkan mengenai peranan seorang ibu, di antaranya: sebagai seorang istri, sebagai
partner seks, sebagai pendidik bagi anak-anak, dan sebagai pengatur rumah tangga. Dengan
demikian, sifat keibuan identik dengan perannya seputar ranah domestik saja.
Dalam sejarah masyarakat industri, hubungan antara media massa dan perempuan
memiliki peranan yang cukup penting. Polemik yang merujuk pada pergeseran makna
terhadap kaum perempuan dalam kehidupan sosial membawa keterlibatan media massa yang
semakin luas juga erat. Namun, keterlibatan tersebut justru tidak membawa perempuan
dalam situasi yang adil dan demokratis. Munculnya penampilan kaum perempuan dalam
berbagai media massa, seperti media cetak, visual, dan elektronik, tidak seluruhnya
menggambarkan ruang yang lebih besar untuk melihat secara lebih kritis kedudukan kaum
perempuan dalam masyarakat (Baria, 2005).
Menurut Natha (2017), perempuan selalu saja digambarkan sebagai ibu rumah tangga,
menjadi pengasuh bagi anak, hidupnya selalu bergantung pada laki-laki, tidak dapat
membuat keputusan yang penting, sebagai objek kekerasan dan pelecehan, sebagai objek
dan simbol seksual, dan masih banyak lagi. Sama halnya dalam film Athirah. Walaupun
Athirah ditampilkan sebagai pemeran utama dan menjadi seorang ibu yang tangguh, kuat,
serta penuh pengorbanan, namun ia tetap saja ditampilkan sebagai sosok yang tunduk dan
bergantung pada suami.
Semiotika Charles Sanders Pierce
Semiotika sendiri merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda. Sebuah
studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan tanda-tanda lain, pengirimannya,
dan penerimaannya oleh khalayak yang menggunakannya. Semiotik mempelajari sistem-
sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
memiliki arti. Analisis semiotik berusaha untuk menemukan tanda-tanda, termasuk pada hal
yang tersembunyi dibalik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Sebab, sistem tanda bersifat amat
kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda
merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut
berada (Kriyantono, 2016).
Sobur (2017) juga mengemukakan pendapat serupa. I mengatakan bahwa mempelajari
semiotika berarti sama dengan mempelajari sebuah tanda. Bagaimana cara berpakaian kita,
apa yang kita makan, dan bagaimana cara kita bersosialisasi, sebenarnya juga
mengkomunikasikan hal-hal mengenai diri kita, sehingga dapat kita pelajari sebagai tanda.
Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
170
Tanda-tanda sendiri adalah suatu perangkat yang kita gunakan dalam upaya mencari dan
menemukan jalan di tengah-tengah manusia dan bersama-sama dengan manusia.
Menurut Peirce, semiotika berangkat dari tiga elemen yang biasa disebut dengan model
triadik dan juga konsep trikotominya (Kriyantono, 2016).
a) Sign: Sign atau tanda merupakan sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap
oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk atau
merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Acuan dari tanda itu sendiri disebut
sebagai objek.
b) Object: Acuan tanda merupakan konteks sosial yang menjadi suatu referensi dari tanda
atau sesuatu yang dirujuk tanda.
c) Interpretant: Interpretant atau pengguna tanda merupakan suatu pemikiran dari
seseorang yang menggunakan tanda, yang kemudian menurunkannya pada makna
tertentu atau makna yang ada pada benak seseorang tentang objek yang dirujuk pada
sebuah tanda.
Ibu Sebagai Istri dan Pendamping bagi Suami
Scene pada Tabel 1 menunjukkan gambaran sepasang suami dan istri, dilihat dari bagaimana
Athirah yang tersenyum menatap Puang Ajji sambil merangkul lengannya. Dalam scene
tersebut, Athirah bersama Puang Ajji bertemu dengan pemilik bangunan yang menjual
tempat yang akan dijadikan sebagai ladang bisnis mereka nantinya. Dalam gambar tersebut,
diperlihatkan sosok Athirah sebagai seorang istri yang setia mendampingi Puang Ajji ketika
mereka tiba di tempat tersebut untuk membangun bisnis mereka bersama-sama. Hal tersebut
dilihat dari bagaimana Athirah menatap mata Puang Ajji sambil tersenyum serta merangkul
lengan Puang Ajji. Gambaran di atas jelas memperlihatkan bagaimana Athirah sebagai
seorang istri yang melakukan peranannya sebagai pendamping suami yang setia. Kesetian
yang dilakukan oleh Athirah merupakan kesetiaan yang ia lakukan dalam keluarga.
Kesetiaan keluarga adalah keteguhan hati seorang suami/istri untuk tetap hidup bersama
membangun keluarga dalam suka maupun duka (Ratnasari, 2015). Yang dilakukan oleh
Athirah adalah suatu bentuk kesetiaan. Sebab, Athirah rela ikut serta pindah bersama dengan
suami, membangun keluarga, dan membuka bisnis bersama-sama dengan suami.
Tabel 1. Scene Peran Ibu Sebagai Istri dan Pendamping Suami
Sign Object Interpretant
Dalam scene tersebut,
diceritakan Athirah dan Puang
Ajji yang bertemu dengan
pemilik bangunan yang
nantinya akan menjadi tempat
bisnis mereka. Laki-laki
tersebut mengatakan bahwa
tempat tersebut “hoki”, yang
artinya membawa
keberuntungan bagi mereka
berdua. Kemudian Athirah
merangkul lengan Puang Ajji di
Potongan scene di samping
memperlihatkan sang istri yang
menjalankan peranannya
sebagai pendamping setia sang
suami dalam kondisi apapun.
Dalam scene tersebut, Athirah
terlihat sebagai pendamping
setia yang mendukung sang
suami, bahkan Athirah turut
serta dalam menjalankan bisnis
bersama sang suami. Ini
menandakan bahwa selain
S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
171
sebelahnya sambil tersenyum
menatapnya. Puang Ajji pun
juga melakukan hal yang sama.
Tangan kiri Puang Ajji terlihat
menggenggam tangan Athirah
yang sedang merangkulnya.
perannya sebagai pendamping
suami, Athirah juga memiliki
peranan di ruang publik dengan
bekerja bersama dengan sang
suami.
Sumber: Olahan Peneliti
Dalam suku Bugis, ketika laki-laki dan perempuan telah menikah, pernikahan tersebut
memiliki arti siala atau saling mengambil satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa
perkawinan merupakan sebuah ikatan timbal balik antara suami dan istri. Ketika mereka
menikah, mereka merupakan mitra dalam keluarga (Pelras, 2006). Dalam kehidupan
berumah tangga, seperti masyarakat pada umumnya, seorang suami dan istri memegang serta
memiliki peranannya masing-masing dalam keluarga dengan tujuan agar kehidupan
keluarga berjalan dengan baik dan lancar. Seperti keluarga pada umumnya, laki-laki sebagai
seorang suami dikatakan sebagai tulang punggung keluarga yang bertugas mencari nafkah
guna menghidupi keluarganya. Sedangkan perempuan memiliki peranan sebagai seorang
istri dan ibu rumah tangga yang pekerjaan utamanya kebanyakan dilakukan di dalam rumah.
Namun, dalam film ini, Athirah tidak hanya melakukan kegiatan di lingkup domestik
saja. Di sinilah kemudian Athirah sebagai istri dan Puang Ajji sebagai suami bekerja sama
sebagai mitra keluarga. Athirah tidak hanya mendampingi suami dalam lingkup domestik.
Bentuk dukungan seorang istri juga bisa dilakukan dengan meringankan tugas dan pekerjaan
yang diemban oleh sang suami di luar rumah. Hal ini terbukti dengan bagaimana Athirah
ikut andil dalam membangun bisnis baru bersama dengan sang suami, bahkan ikut
membantu pekerjaan sang suami yang merupakan pengusaha.
Gambar 2. Athirah yang Membantu Pekerjaan Puang Ajji
Sumber: Athirah, 2016
Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
172
Gambar di atas menceritakan bagaimana Puang Ajji membebaskan dan tidak mengekang
Athirah untuk ikut serta dalam bisnis mereka. Puang Ajji tidak memberikan batasan kepada
Athirah untuk melakukan pekerjaan di ranah publik bersama dengannya. Tidak seperti yang
umumnya terjadi. Laki-laki selalu dianggap memiliki kontrol serta andil yang lebih besar di
masyarakat, sedangkan perempuan tidak memiliki hak yang sama di segala bidang.
Gagasan yang ditawarkan oleh film Athirah, seperti tertulis di atas, jelas bertolak
belakang dengan yang dikatakan oleh Siswati (2014). Ia mengatakan bahwa peranan
perempuan biasanya digambarkan sebagai seorang istri dan ibu yang tempatnya adalah di
rumah, dapur, bahkan di ruang cuci. Perempuan seringkali tidak diperlihatkan sebagai sosok
yang cerdas, tetapi ditampilkan sebagai sosok yang tunduk dan patuh pada laki-laki. Sama
seperti pernyataan Kartono (2007), apabila laki-laki dan perempuan berjalan bersama, maka
perempuan diharuskan untuk berjalan di belakang laki-laki tersebut dan mengikutinya. Oleh
karena itu, perempuan kerap disebut sebagai kanca wingking atau teman yang tugasnya
hanya berada di belakang laki-laki. Dalam lingkup keluarga, perempuan, khususnya seorang
ibu, biasanya menempati bidang domestik dan tidak memiliki peranan yang terlalu penting
dalam keluarga. Sebab, yang memiliki peranan penting serta yang lebih banyak
mendominasi adalah kaum laki-laki.
Meskipun dalam masyarakat Bugis perempuan dan laki-laki memiliki wilayah aktivitas
masing-masing, sejatinya masyarakat Bugis tidak menganggap perempuan atau laki-laki
lebih dominan antara satu dengan yang lain. Dalam masyarakat Bugis, laki-laki dan
perempuan adalah setara dalam keluarga (Dahlan, 2016). Hal ini jelas seperti yang ada pada
film Athirah. Dalam film tersebut, Athirah, selain berperan sebagai pendamping suami, ia
juga memiliki peranan yang besar dalam membangun usaha bersama dengan suaminya.
Tidak ada yang lebih dominan antara Puang Ajji dan Athirah. Maka dari itu, Athirah pun
juga diperkenankan untuk masuk pada ranah publik dengan ikut serta membangun bisnis
mereka. Di mana yang pada umumnya keterlibatan perempuan di ruang publik masih
mendapatkan pertentangan dan tidak sepenuhnya diterima oleh laki-laki. Seperti menurut
Abdullah (2006), laki-laki masih menilai bahwa perempuan adalah ibu/istri dan bukan
pekerja profesional. Namun, dalam film ini, Athirah diberi kebebasan oleh Puang Ajji untuk
ikut serta mengelola usaha yang mereka bangun bersama-sama.
Film ini ingin menunjukkan bahwa sekalipun seorang istri dan ibu cenderung memiliki
tanggung jawab di dalam rumah, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa seorang istri dan
ibu mampu meringankan beban suami dengan ikut bekerja untuk pemenuhan kebutuhan
keluarga mereka. Di sini dapat dikatakan bahwa Athirah tidak hanya berperan sebagai istri
dan pendamping suami di dalam lingkup domestik saja. Namun, Athirah mampu menjadi
istri dan pendamping suami di sektor publik. Hal tersebut bertentangan dengan pernyataan
bahwa istri seringkali hanya dianggap sebagai pendorong serta penyemangat demi kemajuan
sang suami di bidang pekerjaannya (Putri & Lestari, 2015). Pada umumnya, seorang istri
cenderung mencurahkan tenaga dan kemampuan yang ia miliki di rumah, sehingga
pekerjaan di luar rumah dipercayakan kepada kaum lelaki. Seorang istri biasanya cenderung
tidak terlalu banyak ikut campur dalam urusan pekerjaan sang suami.
Penjelasan tersebut menekankan bahwa seorang istri dan seorang ibu, yang pada
umumnya selalu dikaitkan dengan kegiatan domestik, nyatanya mampu bekerja secara
S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
173
totalitas di luar ranah domestik. Memang suami dan istri memiliki tugas dan peranannya
masing-masing ketika mereka telah berumah tangga. Namun, dari film ini dapat dilihat
bahwa suami dan istri dapat saling menopang perekonomian keluarga dengan cara bekerja
sama membangun usaha. Suami bukanlah pihak utama yang serta merta selalu menjadi
tulang punggung keluarga, dan juga seorang istri tidak selalu menjadi pihak yang mengurus
hal-hal yang ada di dalam rumah. Nyatanya, seorang istri bisa ikut membantu suami bekerja
dalam sektor publik demi kesejahteraan rumah tangganya.
Ibu Sebagai Manajer Keluarga
Dalam sebuah keluarga, ibu merupakan sosok utama dan penting dalam memegang peranan
di lingkup rumah tangga. Ibu dapat melakukan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan
seluruh anggota keluarganya, termasuk di dalamnya adalah memasak, mendidik dan
mengasuh anak, dan lain-lain. Seorang ibu juga dapat dikatakan sebagai manajer keluarga,
yang mana memiliki kemampuan sebagai pemersatu anggota keluarga, sebagai penengah
ketika terdapat masalah, dan mampu mengatur segala kebutuhan yang ada pada keluarga.
Tabel 2. Peran Ibu Sebagai Manajer Keluarga
Sign Object Interpretant
Dalam gambar tersebut
diperlihatkan sosok Athirah yang
tengah membagikan makanannya
kepada salah satu anak dari
keluarganya terlebih dahulu.
Gambar tersebut memperlihatkan
ekspresi wajah Athirah yang
tengah tersenyum sembari
membagikan makanan kepada
anak-anaknya. Bila dilihat dari
gambar tersebut, Athirah lebih
ditonjolkan daripada Puang Ajji.
Scene ini memperlihatkan
bagaimana Athirah memiliki
peranan sebagai manajer dalam
rumah tangga.
Sumber: Olahan Peneliti
Maulati (2017) mengatakan bahwa seorang ibu tentunya memiliki beberapa peranan
dalam keluarga yang harus ia kerjakan, di antaranya: memenuhi kebutuhan fisiologi dan
kebutuhan psikis; merawat serta mengurus keluarga dengan sabar, mesra, dan juga
konsisten; sebagai pendidik yang mampu mengendalikan dan mengatur anak; sebagai contoh
serta teladan bagi keluarga; sebagai manajer yang bijaksana; dan dapat memberi rangsangan
dan pembelajaran yang baik. Dari pernyataan ini, peneliti kemudian berpendapat bahwa dari
kegiatan-kegiatan tersebutlah seorang ibu kemudian mampu mendalami peranannya sebagai
pengatur dalam rumah tangga. Karena seorang ibu yang mengurus hampir seluruh pekerjaan
rumah, sehingga ia lebih mampu memahami kondisi serta keadaan rumah tangganya.
Peranan seorang ibu pada umumnya adalah memasak, menyiapkan makanan untuk
keluarga, dan juga mengurus seluruh kebutuhan keluarga. Seperti pada tabel di atas yang
memperlihatkan bagaimana Athirah menyiapkan makanan untuk kebutuhan keluarganya.
Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
174
Sosok Athirah pada scene ini terlihat sedang membagikan makanan yang ada kepada anak-
anaknya. Athirah sebagai seorang ibu dan sebagai seorang istri dalam film ini selalu
mengesampingkan dirinya dan mengutamakan suami serta anak-anaknya terlebih dahulu.
Sesuai dengan konsep motherhood yang sangat erat hubungannya dengan pekerjaan
perempuan dalam rumah tangga (Asriani, 2017).
Seperti Athirah yang selalu mengerjakan peranannya sebagai seorang ibu dan istri di
dalam rumah. Athirah sebagai seorang ibu yang sebisa mungkin memenuhi kebutuhan
keluarganya terlebih dahulu. Hal tersebut dilihat dari ekspresi Athirah yang tengah
tersenyum sambil membagikan makanan kepada anaknya. Tersenyum merupakan
komponen gerak wajah yang disebabkan oleh perasaan senang ataupun bahagia, yang mana
ketika sesuatu hal membuat orang merasa senang akan menghasilkan senyuman (Kraut &
Johnston, 1979). Ekspresi tersenyum nampak jelas pada gambar di atas. Peneliti berpendapat
bahwa Athirah merasa senang dan tidak ada perasaan tertekan serta terbebani ketika
mengatur urusan rumah tangga.
Kartono (2007) mengungkapkan salah satu peranan seorang ibu adalah menjadi pengatur
rumah tangga. Ibu memiliki kemampuan membagi waktu dan tenaganya untuk mengerjakan
berbagai macam tugas yang ada di rumah dari pagi hingga larut malam. Dalam lingkup
rumah tangga, perempuan, khususnya ibu, mengerahkan seluruh tenaga kerjanya secara
cuma-cuma tanpa mengharapkan prestise ataupun kekuasaan apapun (Suryakusuma, 2011).
Dalam film ini, Athirah menjadi sosok ibu dan istri yang totalitas dalam mengurus dan
mengatur rumah tangganya. Sekalipun ia diselingkuhi oleh sang suami, ia dengan sabar tetap
mau memberikan yang terbaik bagi keluarganya.
Tidak hanya menjadi pengatur rumah tangga saja. Athirah praktis menjadi pemimpin
dalam rumah tangga setelah Puang Ajji memutuskan untuk meninggalkan Athirah beserta
anak-anaknya dan menetap bersama istri keduanya. Athirah menjadi pengatur rumah tangga
tunggal serta pemimpin keluarga yang bertugas untuk memastikan kehidupannya serta
kehidupan anak-anaknya berjalan dengan sebaik-baiknya.
Dalam film Athirah, Riri Riza selaku sutradara dalam film ini mengatakan bahwa pada
tahun 1950-an, fenomena laki-laki menikah dengan banyak wanita adalah hal yang lumrah
dan sudah biasa terjadi (Tondang, 2016). Biasanya, pihak istri pertama akan mengalah dan
memberi persetujuan kepada suami bila suami akan melakukan poligami. Selain itu, istri
akan merasa bahwa ketika sang suami melakukan perselingkuhan, berarti ada yang kurang
dari dalam dirinya. Misalnya ia akan merasa bahwa ia kurang bisa menjadi istri yang baik
bagi suami.
Seperti yang dikatakan oleh Gardnier (1996), perempuan secerdas dan sesukses apapun
tidak boleh terlalu mandiri bila telah menikah. Sebab, nantinya sang suami akan menoleh
kepada perempuan lain yang dianggap lebih membutuhkannya. Hal ini menunjukkan bahwa
perempuan akan tetap menjadi pihak yang disalahkan ketika suami memutuskan untuk
melakukan perselingkuhan. Namun, berbeda dengan Athirah. Ketika sang suami melakukan
poligami tanpa sepengetahuan Athirah, ia marah dan tetap tidak menyetujui poligami yang
dilakukan oleh Puang Ajji.
S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
175
Gambar 3. Athirah yang Mengusir Puang Ajji
Sumber: Athirah, 2016
Bentuk ketegasan Athirah diperlihatkan dengan Athirah yang berani mengusir Puang
Ajji dari rumah ketika ia mengetahui bahwa Puang Ajji telah melangsungkan pernikahan di
Jakarta bersama dengan istri keduanya tanpa sepengetahuan dirinya. Ini menunjukkan bahwa
Athirah memiliki power yang lebih dalam rumah tangganya, sehingga ia berani mengusir
Puang Ajji. Dalam film ini, Athirah juga yang paling banyak mengambil keputusan penting
dalam keluarganya. Hal ini kemudian membuktikan bahwa Athirah mampu menjadi
pemimpin dalam keluarganya. Athirah tetap menjalankan peranannya sebagai seorang ibu
yang bertanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
ada atau tidaknya sosok Puang Ajji dalam rumah tangga mereka, Athirah tetap menjadi
manajer keluarga yang mengusahakan agar semuanya berjalan baik-baik saja dengan tidak
adanya suami. Ditambah lagi, Athirah pada saat itu memutuskan untuk membuat usaha
sendiri, yakni usaha sarung khas Makassar, yang pada akhirnya mendatangkan kesuksesan
bagi Athirah.
Hal lain yang membuktikan bahwa Athirah memiliki power serta pengaruh yang luar
biasa terhadap kehidupan rumah tangganya adalah ketika hiperinflasi melanda Indonesia
pada tahun 1963. Pada saat itu, banyak pengusaha-pengusaha yang gulung tikar dan salah
satunya adalah usaha awal yang Athirah dan Puang Ajji bangun. Di tengah-tengah
hiperinflasi yang melanda, justru usaha sarung milik Athirah masih tetap berdiri tanpa ada
kerugian apapun. Karena kesuksesan Athirah dalam mengembangkan usaha sarung khas
Makassar miliknya, Athirah tidak takut dengan adanya hiperinflasi pada saat itu. Ia justru
mengkhawatirkan usaha yang mereka bangun pada saat itu. Ketika Athirah mengetahui
bahwa bisnis sang suami terpaksa gulung tikar, Athirah kemudian menyuruh Ucu untuk
mengambil emas hasil dari usaha sarung miliknya.
Setelah itu, Athirah memberikan seluruh emas miliknya kepada Puang Ajji untuk
membantu Puang Ajji menyelesaikan permasalah ekonomi yang menimpa bisnisnya.
Gambar di bawah memperlihatkan kotak emas milik Athirah berada tepat di hadapan Puang
Ajji. Sementara Puang Ajji terlihat menunduk. Peneliti menilai bahwa gambar ini
memperlihatkan Athirah yang “menang” karena mampu bertahan hidup tanpa adanya Puang
Ajji. Sebaliknya, gambar tersebut memperlihatkan Puang Ajji yang tertunduk, yang
Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
176
menandakan bahwa ada rasa malu dalam dirinya karena gagal menjalankan perannya sebagai
seorang ayah dan suami yang baik bagi Athirah dan juga anak-anaknya.
Gambar 4. Athirah Memberi Emas Miliknya untuk Membantu Suami
Sumber: Athirah, 2016
Dari hal ini bisa dikatakan bahwa seorang istri yang biasanya dianggap sebagai kaum
lemah, dianggap sebagai kaum yang selalu dinomor duakan, nyatanya mampu menjadi
pemimpin dalam keluarga. Film Athirah merupakan salah satu contoh yang menunjukkan
bahwa perempuan memiliki kekuatan dan tidak selamanya berada di bawah kekuasaan kaum
laki-laki. Perempuan yang selalu dikatakan sebagai pihak yang selalu pasif bila
dibandingkan dengan laki-laki, justru menjadi pihak yang aktif dan mampu berdiri sendiri
tanpa bantuan dari kaum lelaki. Dari sini, peneliti melihat bahwa Athirah merupakan
representasi sosok keibuan yang patut dijadikan contoh bagi kaum perempuan. Karena
sosoknya yang luar biasa tegar dan tangguh dalam memikul beban serta aib keluarga yang
dilakukan oleh sang suami. Athirah menunjukkan kasih sayang yang tulus ketika ia harus
merawat dan menjaga keutuhan keluarganya. Selain itu, Atirah juga merupakan sosok ibu
pekerja keras yang pantang menyerah dalam menghadapi berbagai masalah. Keteguhan
Athirah pada akhirnya membuahkan hasil yang baik bagi dirinya dan keluarganya.
Peneliti kemudian menarik kesimpulan bahwa Athirah dalam film ini digambarkan
sebagai sosok ibu yang merupakan manajer keluarga yang memiliki peranan penting dalam
kehidupan keluarga. Athirah digambarkan mampu memimpin dan mengatur kehidupan
rumah tangganya dengan baik tanpa bantuan sang suami. Tidak hanya kuat secara emosi,
Athirah juga diperlihatkan kuat secara finansial karena usaha sarung khas Makassar yang ia
bangun sendiri. Pada akhirnya, usaha tersebut menjadi mata pencaharian utama bagi Athirah
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kekuatannya sebagai seorang ibu itulah yang
kemudian memberikan rasa tanggung jawab kepada Athirah untuk mengatur dan memimpin
kehidupan dirinya dan keluarganya.
Ibu Sebagai Pengasuh Anak
Rumah merupakan tempat pertama bagi anak-anak untuk mendapatkan ilmu. Di rumah, anak
mendapatkan banyak ilmu-ilmu dasar sebagai fondasi untuk menjalankan hidupnya di masa
S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
177
depan. Di sini, orang tua memiliki peranan untuk membagikan ilmu-ilmu dasar tersebut.
Ilmu-ilmu dasar tersebut biasanya berkaitan dengan pengenalan nilai-nilai dan juga norma-
norma yang berlaku di masayarakat luas. Oleh sebab itu, orang tua dituntut untuk
mengajarkan hal-hal mendasar yang baik kepada anaknya agar kehidupan sang anak menjadi
lebih terarah. Orang tua memiliki tanggung jawab penuh terhadap kehidupan anak-anaknya.
Untuk itu, pekerjaan seperti mengasuh, mendidik, dan mendampingi anak, menjadi tugas
utama bagi orang tua agar anak dapat menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya.
Tabel 3. Scene Peran Ibu Sebagai Pengasuh Anak
Sign Object Interpretant
Latar dalam gambar di atas adalah
gazebo yang berada di belakang
rumah. Dalam gambar tersebut,
tampak perempuan paruh baya
sedang duduk bersama seorang
anak laki-laki. Pada gambar
tersebut menceritakan perempuan
tersebut memberikan songkok
keturunan dari raja Bone kepada
anak laki-laki tersebut. Sang ibu
terlihat sedang berbincang dengan
anak laki-laki tersebut. Dengan
adanya songkok milik keturunan
raja Bone tersebut, sang ibu
memiliki harapan agar anak laki-
lakinya kelak akan menjadi orang
besar.
Scene ini memperlihatkan
salah satu cara Athirah dalam
mengasuh anaknya dengan
memberikan motivasi serta
keyakinan pada anaknya
bahwa kelak ia akan menjadi
orang yang memiliki pengaruh
besar bagi negaranya.
Sumber: Olahan Peneliti
Salah satu peranan yang dilakukan oleh orang tua, khususnya seorang ibu, pada
umumnya adalah sebagai pengasuh bagi anak. Selain membesarkan, merawat, dan menjaga
anak, mengasuh juga merupakan tugas penting yang dilakukan oleh seorang ibu. Ibu yang
memiliki banyak waktu di rumah tentu saja akan memiliki lebih banyak waktu untuk
berinteraksi dengan anak-anaknya. Ibu dan anak dapat mengkomunikasikan banyak hal
ketika berada di rumah, sehingga menjadi hal yang lumrah ketika ibu lebih banyak
mengetahui kondisi serta perkembangan sang anak. Dapat dikatakan bahwa seorang ibu
memiliki posisi yang sangat strategis dalam mengasuh kehidupan anak-anaknya. Berbeda
dengan suami yang umumnya lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah untuk bekerja
mencari nafkah bagi keluarga. Agar kehidupan sang anak terara, tentunya diperlukan pola
asuh yang benar agar meminimalisir penyimpangan yang dilakukan oleh sang anak.
Kohn dalam Agustiawati (2014) menuturkan bahwa pola asuh orang tua adalah
bagaimana sikap orang tua kepada anak. Sikap di sini dapat dilihat dari berbagai sisi, di
antaranya: bagaimana cara orang tua memberi pengaturan kepada anak-anaknya, bagaimana
cara orang tua dalam memberi hadiah atau hukuman kepada anak, dan bagaimana cara orang
tua memberi perhatian kepada anak. Orang tua tentunya memiliki cara tersendiri untuk
Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
178
mengasuh anak-anaknya. Tiap-tiap cara yang digunakan oleh orang tua dalam mendidik
anak tentunya diharapkan dapat membawa dampak yang positif bagi sang anak.
Kartono (2007) mengatakan bahwa seorang ibu harus mampu membangun iklim psikis
yang bahagia, gembira, serta penuh kasih sayang, kesabaran, ketenangan, dan kehangatan di
dalam rumah, sehingga dapat merangsang anak untuk mencapai kedewasaan. Ketika seorang
ibu mampu membangun iklim psikis yang menyenangkan, tentu ke depannya hubungannya
dengan sang anak akan berjalan baik-baik saja. Memang sebelumnya kehidupan rumah
tangga Athirah tidak berjalan mulus. Banyak kesedihan yang terjadi di dalam rumahnya.
Anak-anak Athirah juga menyaksikan secara langsung bagaimana Athirah berusaha bangkit
dari keterpurukan agar tidak berimbas pada kehidupan anak-anaknya. Namun, seiring
berjalannya waktu, kehidupan keluarga Athirah pun akhirnya menjadi jauh lebih baik.
Sedikit demi sedikit kesedihan yang ada pada keluarga Athirah menghilang. Sehingga
Athirah mampu membangun iklim psikis yang lebih positif untuk anak-anaknya.
Kartono (2007) kembali mengatakan bahwa selain pemeliharaan fisik, seorang ibu juga
harus turun langsung dan melibatkan dirinya dalam menjamin kesejahteraan psikis sang
anak. Seorang ibu dituntut untuk mampu mengendalikan sang anak agar kelak sang anak
tumbuh menjadi manusia yang beradab. Sebab, jika seorang anak terlalu dibebaskan, ia akan
menjadi pribadi yang tidak terkendali dan juga tidak disiplin. Hal tersebut justru akan
membahayakan dirinya dan akan menjerumuskannya pada hal-hal negatif. Pernyataan
tersebut menggambarkan scene yang ada pada tabel di atas. Menurut peneliti, scene tersebut
merupakan cara pola asuh Athirah kepada Ucu, anaknya yang masih remaja.
Mengasuh anak remaja bukanlah hal yang mudah, terutama bagi seorang ibu tunggal.
Hal yang biasa terjadi ketika ibu dan ayah tidak lagi bersama adalah kondisi psikis anak yang
tidak stabil karena kurangnya kasih sayang atau perhatian dari salah satu orang tuanya.
Ditambah lagi bila sang anak berada pada masa remaja. Masa tersebut merupakan masa-
masa anak mengalami transisi menuju dewasa. Pada saat seperti itu memungkinkan
terjadinya penyimpangan bila orang tua salah memberikan pola asuh dan salah memberi
didikan. Pada usia remaja, biasanya anak akan mulai menyampaikan kebebasan dan
menuntut hak-haknya, sehingga tak jarang memunculkan ketegangan dengan orang tua.
Selain itu, bebasnya pergaulan juga menjadi salah satu faktor yang terkadang membuat
pengaruh orang tua melemah.
Namun, dalam film ini, Athirah sebagai orang tua tunggal mampu mengasuh anak-
anaknya dengan baik. Seperti penjelasan pada tabel di atas, bahwa Athirah memberi hadiah
kepada Ucu berupa songkok Bone yang Athirah dapatkan dari salah satu keturunan raja
Bone. Dalam film tersebut, Athirah sangat membangga-banggakan songkok tersebut kepada
Aisyah, sepupunya. Menurut Athirah, songkok tersebut akan mendatangkan keberuntungan
bagi anaknya. Selama masa kesusahan Athirah, Ucu selalu berada di sampingnya dan ikut
menguatkan Athirah. Ucu merasa memiliki tanggung jawab untuk membahagiakan ibunya
dan juga menjadi teladan yang baik bagi adik-adiknya. Padahal di satu sisi Ucu juga
merasakan kekecewaan terhadap perbuatan sang ayah. Sebab, dalam film tersebut, Ucu
sangat menghormati dan mengagumi sosok Puang Ajji.
“Saya beli ini. Songkoknya Puang Atta, keturunan raja Bone. Dia butuh uang. Siapa tau
nanti anakku jadi orang besar”. Dari kata-kata Athirah tersebut, menunjukkan betapa
S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
179
berharganya songkok yang ia beli yang nantinya akan diberikan kepada Ucu, anak
pertamanya. Sama seperti dialog yang tertera pada tabel di atas, ketika Athirah menyuruh
Ucu mengenakan songkok tersebut, Athirah mengatakan bahwa Ucu terlihat gagah ketika
mengenakannya dan Ucu bisa menjadi seorang gubernur. Ini menandakan bahwa songkok
tersebut sangat berarti bagi Athirah. Songkok tersebut memiliki makna yang mendalam
sehingga Athirah dengan penuh semangat akan memberikannya kepada Ucu.
Gambar 5. Athirah Membeli Songkok dari Keturunan Raja Bone untuk Ucu
Sumber: Athirah, 2016
Songkok to Bone memang merupakan salah satu produk kopiah tradisional yang sangat
memiliki makna dalam bagi penggunanya, khususnya para lelaki. Songkok merupakan
penutup kepala yang melambangkan kehormatan bagi kaum lelaki yang menggunakannya.
Tidak hanya itu saja. Songkok to Bone juga melambangkan kegagahan bagi lelaki yang
mengenakannya (Indonesia.go.id, 2019). Karena sangat berharganya songkok tersebut,
Athirah memberikannya pada Ucu, anak sulungnya, karena ia merasa bahwa Ucu sangat
cocok mengenakan sokong tersebut. Selain itu, Athirah berharap bahwa sokong yang ia
berikan kepada Ucu, kelak akan membawa Ucu pada kesuksesan. Athirah berharap bahwa
Ucu akan menjadi orang besar dan memiliki andil yang besar untuk negaranya. Athirah
dengan penuh kepercayaan meyakinkan Ucu bahwa kelak ia akan menjadi orang besar.
Athirah memberi kepercayaan penuh pada Ucu yang merupakan anak sulung laki-laki yang
ada di keluarganya. Seperti yang Kartono katakan bahwa membangun psikis yang bahagia,
penuh kasih sayang, kesabaran dan kehangatan juga merupakan cara bagaimana seorang ibu
mendidik anaknya. Sama seperti Athirah yang dengan rasa kasih sayang yang besar terhadap
Ucu dan penuh kehangatan memberi semangat dan meyakinkan anaknya bahwa kelak Ucu
akan menjadi salah satu orang yang berpengaruh di Indonesia.
Ketika seorang ibu menerapkan pola asuh serta didikan yang baik bagi anak-anaknya,
dari situlah seorang ibu akan menghasilkan manusia-manusia susila yang mampu
membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk kehidupannya, serta tentunya dapat
mengemban tugas-tugas moril dalam melaksanakan kehidupannya di dunia (Kartono,
2007:24). Dalam film ini, Athirah sebagai ibu yang mengasuh kelima anaknya dengan sangat
baik. Kehidupan Athirah bersama dengan anak-anaknya berlangsung sangat baik tanpa
adanya sosok Puang Ajji bersama dengan mereka. Walaupun pada awalnya mereka sama-
Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
180
sama merasakan kesedihan dan malu akibat ulah sang ayah, namun keteguhan hati Athirah
dalam menjaga.
Gambar 6. Hubungan Athirah dan Anak-Anaknya Semakin Erat
Sumber: Athirah, 2016
Buktinya, hubungan Athirah dan anak-anaknya semakin erat. Athirah mampu
mengendalikan dan terus menunjukkan ketegaran di depan anak-anaknya. Konflik keluarga
yang menimpa mereka justru semakin menguatkan mereka dengan saling menopang dan
saling menguatkan satu sama lain. Athirah sebagai seorang ibu berhasil memberikan
pengajaran yang baik bagi anak-anaknya. Dengan kesabaran, semuanya akan berakhir baik-
baik saja. Pekerjaan mengasuh anak yang dilakukan oleh seorang ibu dapat menjadi
pekerjaan rumah tangga, serta pengalaman yang sangat berharga. Seorang ibu pasti memiliki
harapan-harapan baik ketika ia mengasuh anaknya. Dan ketika harapan-harapan tersebut
menjadi kenyataan, tentunya akan menjadi kebanggan bagi seorang ibu yang selama
hidupnya telah mengasuh anak-anaknya. Pola asuhan yang dilakukan Athirah tentunya
benar-benar membawa dampak positif bagi anak-anaknya. Harapan Athirah agar Ucu kelak
menjadi orang yang memiliki pengaruh besar bagi masyarakat pun tercapai.
Ucu, yang dalam film tersebut digambarkan tidak banyak bicara, kini menjadi seseorang
mantan Wakil Presiden Republik Indonesia. Peneliti menilai hal tersebut dapat tercapai
karena selama hidupnya, Athirah sebagai seorang ibu mampu memupuk nilai-nilai
kehidupan yang baik bagi Jusuf Kalla. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki Athirah
selama hidupnya, baik itu pengalaman yang menyedihkan ataupun menyenangkan, banyak
memberikan pelajaran berharga bagi Jusuf Kalla di masa mudanya.
Athirah mengajarkan bagaimana bentuk tanggung jawab, mengajarkan bagaimana
panjang sabar, mengajarkan bagaimana cara bertahan hidup di tengah-tengah permasalahan
yang menerpa, dan mengajarkan bahwa konflik yang melanda kehidupan manusia
merupakan suatu proses menuju kekuatan dan keteguhan . Dari ajaran serta didikan yang
diberikan oleh Athirah kepada anak-anaknya, pada akhirnya membuahkan hasil yang baik.
Keluarga mereka berhasil melewati masa-masa kelam dan menjadi lebih sejahtera.
Banyak nilai positif yang terkandung dalam film Athirah ini. Film ini mengajarkan
banyak hal dan dapat menjadi contoh yang baik bagi seluruh perempuan, khususnya bagi
seorang ibu. Peneliti melihat bahwa mengasuh anak idealnya memang dilakukan oleh ayah
S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
181
dan ibu. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa seorang ibu tunggal juga mampu
mengasuh anak-anaknya dengan baik.
Seorang ibu biasanya dianggap sebagai pihak yang terlalu emosional dan kurang panjang
akal, sehingga terkadang dianggap remeh dan tidak akan mampu menghadapi masalah-
masalah berat dalam kehidupan rumah tangganya. Seorang ibu biasanya dianggap sebagai
pihak yang selalu bergantung pada laki-laki dan tidak mampu menentukan langkah hidupnya
sendiri, sehingga ia membutuhkan pria yang mampu mengambil keputusan dalam hidupnya.
Namun, berbeda dengan Athirah. Dalam film ini, ia digambarkan sebagai ibu yang menjadi
pioneer untuk anak-anaknya. Sebagai ibu yang harus memberikan contoh baik bagi anak-
anaknya. Emosi dan perasaan sedih memang lumrah terjadi ketika terdapat masalah. Namun,
Athirah membuktikan bahwa berlarut-larut dalam kesedihan tidak akan membuahkan hasil
yang baik. Berlarut-larut dalam kesedihan tentu akan berdampak buruk bagi psikis dan juga
pertumbuhan anak-anaknya. Sebisa mungkin Athirah menunjukkan bahwa ia adalah ibu
yang kuat, ia adalah ibu yang dapat diandalkan. Sikap seperti inilah yang ditunjukan Athirah
kepada anak-anaknya.
Orang tya, khususnya ibu, tentu tidak ingin melihat anak-anaknya hidup dalam kesulitan.
Sebisa mungkin seorang ibu mengusahakan yang terbaik bagi anak-anaknya. Seperti Athirah
yang ingin anak-anaknya meraih kesuksesan, agar kehidupan anak-anaknya kelak jauh lebih
baik daripada kehidupan mereka sebelumnya. Ini merupakan salah satu kontribusi yang baik
bagi seorang ibu dalam lingkup sosial. Karena dengan pola pengasuhan yang baik, seorang
ibu pada akhirnya dapat menyiapkan generasi-generasi yang unggul, yang tentunya akan
memberikan manfaat bagi kehidupan sosial dan juga bagi negara. Bila dilihat kontribusi
yang dilakukan oleh seorang ibu ini dapat dikatakan sangat sederhana karena hanya sebatas
pada mengasuh anak-anak saja. Namun, pada akhirnya akan memberikan manfaat yang
besar bagi kehidupan sosial dan memberikan sumbangsih yang besar bagi masyarakat luas.
Terbukti dari lika-liku kehidupan Athirah dalam mengasuh anak-anaknya yang pada
akhirnya membawa kesuksesan bagi anak-anaknya, terutama bagi Jusuf Kalla yang hingga
saat ini memiliki peranan penting bagi Indonesia.
Penutup
Penggambaran motherhood dalam film Athirah dapat ditemukan pada ibu sebagai istri dan
pendamping bagi suami, sebagai manajer keluarga, dan sebagai pengasuh anak. Temuan ini
menggarisbawahi bahwa penggambaran motherhood di film Athirah masih terjebak pada
penggambaran klasik seorang perempuan dalam konstruksi gender yang tidak setara.
Ketidaksetaraan tersebut ditampilkan dalam beban ganda yang disandang sosok Athirah.
Meskipun motherhood ditampilkan dalam bentuk kekuatan dan ketangguhan, Athirah
sebagai seorang ibu dan istri yang kemudian memampukannya menjalankan peranannya
sebagai sebagai istri dan pendamping suami, ibu sebagai pengatur dan pemimpin rumah
tangga, serta ibu sebagai pengasuh anak. Namun, film ini sebenarnya menguatkan konstruksi
gender seorang perempuan yang seolah wajib menyandang motherhood dalam dirinya, baik
dalam ranah domestik dan juga publik. Seorang ibu ternyata memiliki kemampuan untuk
mengerjakan banyak hal, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Selain bekerja pada
Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
182
ranah domestik, seorang ibu nyatanya juga memiliki kemampuan dan juga memiliki hak
untuk bekerja di luar rumah, seperti yang dilakukan oleh Athirah. Selain itu, seorang ibu
nyatanya juga memiliki kemampuan sebagai seorang manajer dalam keluarga dan mampu
mengasuh anak-anaknya dengan baik tanpa adanya bantuan dari sang suami. Semua
dilakukan Athirah dengan penuh kekuatan serta keteguhan, sehingga ia mampu
melaksanakannya seorang diri.
Daftar Pustaka
Abdullah, I. (2006). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ardianto, E., Komala, L. & Karlinah. (2007). Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (rev. Ed.).
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Asriani, D. (2017). Being Mother: Comparative Study of the Contested Motherhood between South
Korea and Indonesia. IJMESH, 1(1), 15-23.
Baria, L. (2005). Media Meneropong Perempuan. Surabaya: KSP.
Baran, S. (2012). Pengantar Komunikasi Massa: Literasi Media dan Budaya. Jakarta: Erlangga.
Dahlan. (2016). Prosesi Pemilihan Jodoh dalam Perkawinan: Perspektif Ajaran Islam dan Budaya
Lokal di Kabupaten Sinjai. Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 9(1), 131-
142.
Diani, A., Lestari, M.T., & Maulana, S. (2017). Representasi Feminisme dalam Film Maleficent.
ProTVF, 1(2), 139-150.
Diansyah, N.M., Belasunda, R., & Hendiawan. (2018). Konstruksi Relasi Gender Suku Bugis Pada
Karakter Emma dalam Film Athirah. Jurnal Penelitian Pendidikan, 18(3), 354-360.
Effendy, O. U. (2007). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Fakih, . (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fischer, L. (1996). Cinematernity: Film, Motherhood, and Genre. New Jersey: Priceton Academic
Press.
Gardnier, M., Wagemann, M., Suleeman, & Sulastri. (1996). Perempuan Indonesia Dulu dan Kini.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Go, P. (2013). Representasi Stereotipe Perempuan dalam Film Brave. Jurnal E-Komunikasi,1(2), 13-
24.
Han, M.I. (2018). Representasi Konflik Ibu Tunggal dan Anak dalam Film Susah Sinyal. Komunika,
12(2), 241-256.
Indonesia.do.id. (2019, 30 Mei). Dibalik Kilauan Songkok Recca, Indonesia.do.id. Diakses dari
https://indonesia.go.id/ragam/seni/seni/dibalik-kilauan-songkok-recca
Irawan, R.E. (2014). Representasi Perempuan Dalam Industri Sinema. Humaniora, 5(1), 1-8.
Kartono, K. (2007) Psikologi Wanita: Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek. Bandung: Mandar
Maju.
Kasih, A. (2016, 7 November). Athirah Jadi Film Terbaik, Begini Komentar Wapres JK, Tempo.co.
Diakses dari https://seleb.tempo.co/read/818486/athirah-jadi-film-terbaik-begini-komentar-
wapres-jk
Kirby, E. L., Riforgiate, S. E., Anderson, I. K., Lahman, M. P., & Lietzenmayer, A. M. (2016). Good
working mothers as jugglers: A critical look at two work–family balance films. Journal of
Family Communication, 16(1), 76-93.
Kraut, R.E and Johnston. (1979). Socoal and Emotional Messages of Smiling. Journal of Personality
and Social Psycology, 37(9), 1539-1553.
Kriyantono, R. (2016). Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Maulati, D. & Prasetio, A. (2017). Representasi Peran Ibu dalam Film Room. eProceeding of
Management, 4(2), 2109-2116.
Morissan, Wardhani, A. C. & Hamid. (2010). Teori Komunikasi Massa. Bogor: PT Ghalia Indonesia.
Natha, G. (2017). Representasi Stereotipe Perempuan dan Budaya Patriarki dalam Video Klip
Meghan Trainor “All About That Bass”. Jurnal E-Komunikasi, 5(2), 1-9.
S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183
183
Nadliroh, I. (2018, 14 November). Bagaimana Sebaiknya Mendidik Anak Usia Remaja?
Kompasiana. Diakses dari
https://www.kompasiana.com/iinnadliroh/5bec41d1677ffb5dc57efcb3/bagaimana-
sebaiknya-mendidik-anak-usia-remaja?page=all
Pelras, C. (2006). Manusia Bugis. Jakarta: Nalar.
Putri, D. & Lestari, S. (2015). Pembagian Peran Dalam Rumah Tangga Pada Pasutri Jawa. Jurnal
Penelitian Humanoria, 16(1), 72-85.
Rajab, B. (2009). Perempuan Dalam Modernisme dan Postmodernisme. Sosiohumanoria, 11(3), 1-
12.
Ratnasari, D. (2015). Perselingkuhan dan Kesetiaan dalam Sinetron Catatan Hati Seorang Istri (Suatu
Studi Analisis Komunikasi Keluarga dalam Perspektif Semiotika). Jurnal Ilmu Budaya, 3(2).
Retnowati, Y. (2008). Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak.
Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(3), 199-211.
Siswati, E. (2014). Representasi Domestika Perempuan Dalam Iklan. Jurnal Komunikasi, 11(2), 179-
193.
Sihombing, R.A., Sabana, S, & Sunarto. (2015). Mitos Representasi Ibu dari Masa ke Masa.
Sosiohumanika, 8(2), 171-184.
Sobur, A. (2015). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sobur, A. (2017). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Surahman, S. (2014). Representasi Perempuan Metropolitan Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita.
Jurnal Komunikasi, 3(1), 39-63.
Suryakusuma, J.(2011). Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Jakarta:
Erlangga.
Tondang, Y. (2016, 23 September). Athirah: Kisah Perempuan Bugis Yang Berjuang Demi Keutuhan
Keluarga, Rapler. Diakses dari https://www.rappler.com/indonesia/gaya-hidup/147121-
athirah-kisah-perempuan-bugis.