19
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication ISSN 2721-1495 Corresponding author: Agatha Winda Setyarinata; e-mail: [email protected] Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication Volume 1 Issue 3 2020 © The Author(s) 2020. Published by Department of Communication Science Universitas Brawijaya. All right reserved. For permissions, please e-mail: [email protected] ARTIKEL ORISINAL Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah Sarah Yoshina Siautta a , Anastasia Yuni Widyaningrum b , Agatha Winda Setyarinata c abc Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya Often times Indonesian films raise issues around women, especially about mothers, which is linked to gender inequality between men and women. The films that depict women unfairly in a disadvantageous position is a product of patriarchal culture. Women, especially mothers, often have less dominant roles and positions in all fields; also women are rarely used as main characters. The same is the case with the characterization of the mother in the film Athirah. In this study, we discussed about how motherhood is shown in the film Athirah. This study employed semiotic method proposed by Charles Sander Peirce. The results of this study indicate that Athirah's motherhood revolves around her role as a wife and husband's companion, as a household organizer and leader, and also as a child caregiver. The depiction of motherhood in the film Athirah is still trapped in the classic depiction of a woman in an unequal gender construction. This inequality is shown in the double burden carried by Athirah's figure. Keywords: motherhood, mother’s role, semiotics, movie. Film-film di Indonesia seringkali mengangkat isu seputar perempuan, khususnya ibu, yang dikaitkan dengan ketidaksetaraan serta ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Film dengan tema perempuan yang menempatkan perempuan dengan tidak adil ini adalah bentuk dari budaya patriarki, yang secara tidak adil menempatkan perempuan dalam posisi yang seringkali tidak menguntungkan. Perempuan, khususnya seorang ibu, seringkali mendapatkan peran serta posisi yang kurang dominan dalam segala bidang dan jarang sekali perempuan dijadikan sebagai tokoh utama. Sama halnya dengan penokohan ibu pada film Athirah. Dalam penelitian ini, peneliti akan membahas bagaimana motherhood ditampilkan dalam film Athirah. Penelitian ini menggunakan metode semiotika yang digagas oleh Charles Sander Peirce. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa motherhood atau sifat keibuan yang dimiliki oleh Athirah berkisar pada peranannya sebagai istri dan pendamping suami, sebagai pengatur dan pemimpin rumah tangga, dan juga sebagai pengasuh anak. Penggambaran motherhood dalam film Athirah masih terjebak pada penggambaran klasik seorang perempuan dalam konstruksi gender yang tidak setara. Ketidaksetaraan tersebut ditampilkan dalam beban ganda yang disandang sosok Athirah. Kata Kunci: motherhood, peran ibu, semiotika, film. Film-film di Indonesia seringkali mengangkat isu seputar perempuan, khususnya ibu, yang dikaitkan dengan ketidaksetaraan serta ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Misalnya film Air Mata Terakhir Bunda (2013) dan Opera Jawa (2006). Film dengan tema perempuan yang menempatkan perempuan dengan tidak adil ini adalah bentuk dari budaya patriarki, yang secara tidak adil menempatkan perempuan dalam posisi yang seringkali tidak menguntungkan (Kirby, Riforgiate, Anderson, Lahman, & Lietzenmayer,

Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication ISSN 2721-1495

Corresponding author: Agatha Winda Setyarinata; e-mail: [email protected] Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication Volume 1 Issue 3 2020 © The Author(s) 2020. Published by Department of Communication Science Universitas Brawijaya. All right reserved. For permissions, please e-mail: [email protected]

ARTIKEL ORISINAL

Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood

pada Film Athirah

Sarah Yoshina Siauttaa, Anastasia Yuni Widyaningrumb, Agatha Winda Setyarinatac

abc Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya

Often times Indonesian films raise issues around women, especially about mothers, which is

linked to gender inequality between men and women. The films that depict women unfairly in a

disadvantageous position is a product of patriarchal culture. Women, especially mothers, often

have less dominant roles and positions in all fields; also women are rarely used as main

characters. The same is the case with the characterization of the mother in the film Athirah. In

this study, we discussed about how motherhood is shown in the film Athirah. This study employed

semiotic method proposed by Charles Sander Peirce. The results of this study indicate that

Athirah's motherhood revolves around her role as a wife and husband's companion, as a

household organizer and leader, and also as a child caregiver. The depiction of motherhood in

the film Athirah is still trapped in the classic depiction of a woman in an unequal gender

construction. This inequality is shown in the double burden carried by Athirah's figure.

Keywords: motherhood, mother’s role, semiotics, movie.

Film-film di Indonesia seringkali mengangkat isu seputar perempuan, khususnya ibu, yang

dikaitkan dengan ketidaksetaraan serta ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan.

Film dengan tema perempuan yang menempatkan perempuan dengan tidak adil ini adalah bentuk

dari budaya patriarki, yang secara tidak adil menempatkan perempuan dalam posisi yang

seringkali tidak menguntungkan. Perempuan, khususnya seorang ibu, seringkali mendapatkan

peran serta posisi yang kurang dominan dalam segala bidang dan jarang sekali perempuan

dijadikan sebagai tokoh utama. Sama halnya dengan penokohan ibu pada film Athirah. Dalam

penelitian ini, peneliti akan membahas bagaimana motherhood ditampilkan dalam film Athirah.

Penelitian ini menggunakan metode semiotika yang digagas oleh Charles Sander Peirce. Hasil

dari penelitian ini menunjukkan bahwa motherhood atau sifat keibuan yang dimiliki oleh Athirah

berkisar pada peranannya sebagai istri dan pendamping suami, sebagai pengatur dan pemimpin

rumah tangga, dan juga sebagai pengasuh anak. Penggambaran motherhood dalam film Athirah

masih terjebak pada penggambaran klasik seorang perempuan dalam konstruksi gender yang

tidak setara. Ketidaksetaraan tersebut ditampilkan dalam beban ganda yang disandang sosok

Athirah.

Kata Kunci: motherhood, peran ibu, semiotika, film.

Film-film di Indonesia seringkali mengangkat isu seputar perempuan, khususnya ibu,

yang dikaitkan dengan ketidaksetaraan serta ketidakadilan gender antara laki-laki dan

perempuan. Misalnya film Air Mata Terakhir Bunda (2013) dan Opera Jawa (2006). Film

dengan tema perempuan yang menempatkan perempuan dengan tidak adil ini adalah bentuk

dari budaya patriarki, yang secara tidak adil menempatkan perempuan dalam posisi yang

seringkali tidak menguntungkan (Kirby, Riforgiate, Anderson, Lahman, & Lietzenmayer,

Page 2: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

166

2016). Dalam masyarakat pun, ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan juga

masih mengakar kuat.

Konstruksi sosial gender terjadi dalam proses evolusi yang panjang dan secara perlahan

mengubah dan memengaruhi kondisi biologis antara laki-laki dan perempuan (Fakih, 2013).

Anggapan bahwa laki-laki lebih kuat secara fisik dan perempuan lebih lemah, serta sifat-

sifat lain yang melekat pada keduanya merupakan proses konstruksi yang panjang dan bukan

kodrati. Karena evolusi memerlukan waktu yang sangat lama, maka konstruksi tersebut

secara perlahan juga dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Pada akhirnya, hal tersebut juga berimbas pada ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan

di ranah domestik dan publik. Ketidaksetaraan dalam lingkup domestik dapat terjadi saat

seorang ibu atau istri tidak bebas melakukan kegiatan-kegiatan yang ia inginkan karena

merasa memiliki tanggung jawab memelihara kehidupan anak dan suami. Keberadaan

seorang ibu secara universal disatukan oleh sifat motherhood (keibuan), yang merupakan

cara perempuan menjalankan peranannya sebagai seorang ibu (Sihombing, Sabana, &

Sunarto, 2015). Pengertian lain mengenai motherhood atau keibuan diungkapkan oleh

Asriani (2017). Menurutnya, konstruksi motherhood atau keibuan juga erat hubungannya

dengan pekerjaan rumah tangga dan pemeliharaan keluarga lainnya, termasuk dalam hal

tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya.

Realitas ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam konteks domestik ini

beresonansi dengan realitas pada film di Indonesia. Perempuan, khususnya seorang ibu,

seringkali mendapatkan peran serta posisi yang kurang dominan dalam segala bidang dan

jarang sekali perempuan dijadikan sebagai tokoh utama. Menurut Gardnier, Wagemann,

Suleeman, dan Sulastri (1996), peran perempuan dalam film hanya sebagai pelengkap saja.

Jika sebagai pemeran utama, peran tersebut pasti berkaitan dengan posisi perempuan yang

ada pada lingkup domestik; sebagai ibu, istri, kekasih, atau anak perempuan yang penurut.

Hal ini berbeda dengan laki-laki, yang selalu mendapat peranan yang lebih dominan

dibandingkan perempuan. Media selalu saja menampilkan eksistensi perempuan yang tidak

proporsional dibandingkan dengan kaum lelaki (Natha, 2017).

Artikel ini membahas bagaimana motherhood ditampilkan dalam film. Film sendiri

merupakan salah satu media massa yang memiliki kemampuan untuk menjangkau banyak

segmen sosial dan berpotensi untuk memengaruhi khalayak luas (Sobur, 2017). Sebab, film

merupakan media massa yang menggabungkan gambar dan audio visual. Tidak hanya itu

saja. Dalam film juga terdapat alur cerita dan tokoh yang semakin memperkuat penyampaian

pesan kepada khalayak luas.

Film-film yang mengangkat isu seputar perempuan seringkali menampilkan pola relasi

gender antara suami dan istri dalam sebuah keluarga, yang mana pola relasi gender tersebut

dilihat dari segi status dan kekuasaan, komunikasi non-verbal, hingga pembagian kerja

antara laki-laki dan perempuan. Namun, seiring berjalannya waktu, perempuan kini mulai

dijadikan pemeran utama dan digambarkan memiliki kesetaraan yang sama, bahkan melebihi

laki-laki. Perempuan yang seringkali digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tunduk

pada lelaki, kini berubah menjadi tokoh yang kuat dan dapat menginspirasi banyak orang

(Diansyah, 2018).

Page 3: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

167

Film berjudul Athirah (2016) merupakan salah satu film yang menjadikan perempuan

sebagai pemeran utama. Film garapan sutradara ternama Riri Riza ini bercerita tentang

kehidupan perempuan Bugis bernama Athirah. Film ini mengangkat kisah hidup ibunda

mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla. Dalam film ini, diceritakan potret

kehidupan seorang ibu yang harus menghadapi rasa sakit akibat perselingkuhan yang

dilakukan oleh suaminya. Sementara itu, ia harus berusaha keras untuk menjaga keutuhan

keluarga dan mempertahankan kehormatan keluarga. Athirah digambarkan sebagai ibu dan

istri yang tangguh, serta terlihat kuat secara emosional dalam menghadapi berbagai masalah

yang menimpa keluarganya, khususnya terkait perselingkuhan yang dilakukan oleh sang

suami. Tidak hanya itu saja. Bila dilihat dari segi finansial, Athirah juga hidup dari keluarga

berada. Bahkan, usaha sarung khas Bugis yang ia bangun sendiri mendatangkan keberhasilan

tanpa adanya campur tangan dari sang suami. Namun, ternyata tidak seluruh adegan yang

ada menampilkan ketangguhan sosok Athirah. Beberapa scene yang ada malah menunjukan

hal sebaliknya. Dalam film tersebut, Athirah masih diperlihatkan sebagai sosok ibu dan istri

yang tunduk pada suami.

Gambar 1. Adegan Athirah menyiapkan makan untuk suaminya, Puang Ajji

Sumber: Athirah, 2016

Scene yang menggambarkan kondisi tersebut adalah ketika Athirah masih menyiapkan

makanan serta perlengkapan makan milik suami yang telah berselingkuh darinya. Dalam

scene tersebut, diperlihatkan Athirah yang tengah mempersiapkan makan malam untuk sang

suami, Puang Ajji. Anak-anak juga tidak boleh makan terlebih dahulu hingga sang suami

pulang. Adegan tersebut memunculkan permasalahan pada posisi perempuan di film melalui

konsep motherhood atau keibuan dalam diri Athirah. Walaupun Athirah ditampilkan sebagai

sosok yang memiliki daya dalam hal finansial dan emosional, ia tetap harus menjalankan

peranannya sebagai seorang ibu dan istri yang tetap melayani suami dan anak-anaknya.

Berdasarkan latar belakang di atas, artikel ini berupaya mengungkap makna pada tanda-

tanda yang menggambarkan motherhood dalam film Athirah dengan menggunakan kajian

teori analisis semiotika Charles Sander Pierce. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari

bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai, dalam hal ini,

tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa objek-

Page 4: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

168

objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak

berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2017).

Menurut Budianto (dalam Sobur, 2015), tanda sendiri merupakan representasi dari gejala

yang memiliki sejumlah kriteria seperti: nama, peran, fungsi, tujuan, dan keinginan. Oleh

karena itu, tanda-tanda tersebut (yang berada pada sistem tanda) sangat akrab dan melekat

pada kehidupan manusia yang penuh makna, seperti yang teraktualisasikan pada bahasa,

religi, seni, sejarah, dan ilmu pengetahuan.

Artikel ini menganalisa film Athirah dengan berfokus pada penggambaran motherhood

tokoh perempuan bernama Athirah. Untuk mengetahui posisi perempuan dalam film

tersebut, model triadik semiotika Charles Sander Peirce digunakan untuk

menginterpretasikan tanda melalui relasi antara tiga aspek: sign, object, dan interpretant

(Kriyantono, 2016). Kategori tanda yang dianalisa berupa dialog (audio) serta visual atau

potongan-potongan scene yang terdapat dalam film Athirah. Langkah awal yang akan

peneliti lakukan adalah menetapkan potongan-potongan scene dan mencatat dialog dalam

scene tersebut. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi tanda-tanda yang ada pada

scene yang telah dipilih. Peneliti kemudian mengelompokannya dalam kateogori sesuai

triangle of meaning, yaitu sign, object, dan interpretant. Setelah tahap ini selesai, analisis

dilakukan guna memahami sistem tanda dan menginterpretasi tanda yang ditemukan dalam

potongan scene. Temuan akan ditulis dalam tema-tema yang muncul dari analisis.

Konsep Motherhood dalam Media

Masyarakat umumnya menggambarkan sosok ibu sebagai sosok yang penuh dengan

keceriaan, penyabar, berhati lembut, tulus, luhur, serba bisa, kadang bisa marah, dan juga

penuh dengan pengorbanan. Keberadaan seorang ibu secara universal disatukan oleh sifat

motherhood (keibuan), yang merupakan cara perempuan menjalankan peranannya sebagai

seorang ibu. Bila dilihat dari konteks biologis, seorang perempuan disebut sebagai “ibu”

karena ia telah mengandung dan melahirkan seorang anak. Tetapi, jika dilihat dari konteks

sosial, pemahaman keibuan ada karena perannya dalam perawatan dan juga pengasuhan

anak (Sihombing, Sabana, & Sunarto, 2015).

Asriani (2017) mengungkapkan bahwa menurut gagasan dari ibuisme, motherhood

didefinisikan sebagai perempuan pelengkap dan teman bagi suami mereka, sebagai

penasehat bangsa, dan juga sebagai ibu serta pendidik dari anak-anak mereka. Asriani

kemudian menambahkan bahwa konstruksi keibuan atau motherhood juga erat hubungannya

dengan pekerjaan rumah tangga dan pemeliharaan keluarga lainnya, termasuk dalam hal

tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya.

Dalam istilah ibuisme negara yang dikemukakan oleh Suryakusuma (2011), perempuan

diharuskan untuk melayani suami, anak-anak, masyarakat, serta negara. Dalam lingkup

rumah tangga, perempuan harus menyerahkan seluruh tenaga kerjanya secara cuma-cuma

tanpa mengharapkan prestise ataupun kekuasaan apapun. Seorang ibu tentunya memiliki

beberapa peranan dalam keluarga yang harus ia kerjakan, di antaranya: memenuhi kebutuhan

fisiologi dan kebutuhan psikis; merawat serta mengurus keluarga dengan sabar, mesra, dan

juga konsisten; sebagai pendidik yang mampu untuk mengendalikan dan mengatur anak;

Page 5: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

169

sebagai contoh serta teladan bagi keluarga; sebagai manajer yang bijaksana; serta dapat

memberi rangsangan dan pembelajaran yang baik (Maulati, 2017). Dari sini dapat dilihat

bahwa cinta kasih seorang ibu nampaknya sering dibarengi oleh adanya perasaan dedikasi

atau membaktikan diri serta pengorbanan sebesar-besarnya (Kartono, 2007).

Bila dilihat dari pernyataan-pernyataan yang telah dipaparkan mengenai motherhood,

peneliti dapat menyimpulkan bahwa motherhood adalah sifat keibuan yang ada dalam diri

seorang ibu, yang pada akhirnya menuntun seorang ibu untuk melakukan peranannya

sebagai seorang ibu secara sukarela. Hal ini selaras dengan paparan Kartono (2007) yang

menjabarkan mengenai peranan seorang ibu, di antaranya: sebagai seorang istri, sebagai

partner seks, sebagai pendidik bagi anak-anak, dan sebagai pengatur rumah tangga. Dengan

demikian, sifat keibuan identik dengan perannya seputar ranah domestik saja.

Dalam sejarah masyarakat industri, hubungan antara media massa dan perempuan

memiliki peranan yang cukup penting. Polemik yang merujuk pada pergeseran makna

terhadap kaum perempuan dalam kehidupan sosial membawa keterlibatan media massa yang

semakin luas juga erat. Namun, keterlibatan tersebut justru tidak membawa perempuan

dalam situasi yang adil dan demokratis. Munculnya penampilan kaum perempuan dalam

berbagai media massa, seperti media cetak, visual, dan elektronik, tidak seluruhnya

menggambarkan ruang yang lebih besar untuk melihat secara lebih kritis kedudukan kaum

perempuan dalam masyarakat (Baria, 2005).

Menurut Natha (2017), perempuan selalu saja digambarkan sebagai ibu rumah tangga,

menjadi pengasuh bagi anak, hidupnya selalu bergantung pada laki-laki, tidak dapat

membuat keputusan yang penting, sebagai objek kekerasan dan pelecehan, sebagai objek

dan simbol seksual, dan masih banyak lagi. Sama halnya dalam film Athirah. Walaupun

Athirah ditampilkan sebagai pemeran utama dan menjadi seorang ibu yang tangguh, kuat,

serta penuh pengorbanan, namun ia tetap saja ditampilkan sebagai sosok yang tunduk dan

bergantung pada suami.

Semiotika Charles Sanders Pierce

Semiotika sendiri merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda. Sebuah

studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan tanda-tanda lain, pengirimannya,

dan penerimaannya oleh khalayak yang menggunakannya. Semiotik mempelajari sistem-

sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut

memiliki arti. Analisis semiotik berusaha untuk menemukan tanda-tanda, termasuk pada hal

yang tersembunyi dibalik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Sebab, sistem tanda bersifat amat

kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda

merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut

berada (Kriyantono, 2016).

Sobur (2017) juga mengemukakan pendapat serupa. I mengatakan bahwa mempelajari

semiotika berarti sama dengan mempelajari sebuah tanda. Bagaimana cara berpakaian kita,

apa yang kita makan, dan bagaimana cara kita bersosialisasi, sebenarnya juga

mengkomunikasikan hal-hal mengenai diri kita, sehingga dapat kita pelajari sebagai tanda.

Page 6: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

170

Tanda-tanda sendiri adalah suatu perangkat yang kita gunakan dalam upaya mencari dan

menemukan jalan di tengah-tengah manusia dan bersama-sama dengan manusia.

Menurut Peirce, semiotika berangkat dari tiga elemen yang biasa disebut dengan model

triadik dan juga konsep trikotominya (Kriyantono, 2016).

a) Sign: Sign atau tanda merupakan sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap

oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk atau

merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Acuan dari tanda itu sendiri disebut

sebagai objek.

b) Object: Acuan tanda merupakan konteks sosial yang menjadi suatu referensi dari tanda

atau sesuatu yang dirujuk tanda.

c) Interpretant: Interpretant atau pengguna tanda merupakan suatu pemikiran dari

seseorang yang menggunakan tanda, yang kemudian menurunkannya pada makna

tertentu atau makna yang ada pada benak seseorang tentang objek yang dirujuk pada

sebuah tanda.

Ibu Sebagai Istri dan Pendamping bagi Suami

Scene pada Tabel 1 menunjukkan gambaran sepasang suami dan istri, dilihat dari bagaimana

Athirah yang tersenyum menatap Puang Ajji sambil merangkul lengannya. Dalam scene

tersebut, Athirah bersama Puang Ajji bertemu dengan pemilik bangunan yang menjual

tempat yang akan dijadikan sebagai ladang bisnis mereka nantinya. Dalam gambar tersebut,

diperlihatkan sosok Athirah sebagai seorang istri yang setia mendampingi Puang Ajji ketika

mereka tiba di tempat tersebut untuk membangun bisnis mereka bersama-sama. Hal tersebut

dilihat dari bagaimana Athirah menatap mata Puang Ajji sambil tersenyum serta merangkul

lengan Puang Ajji. Gambaran di atas jelas memperlihatkan bagaimana Athirah sebagai

seorang istri yang melakukan peranannya sebagai pendamping suami yang setia. Kesetian

yang dilakukan oleh Athirah merupakan kesetiaan yang ia lakukan dalam keluarga.

Kesetiaan keluarga adalah keteguhan hati seorang suami/istri untuk tetap hidup bersama

membangun keluarga dalam suka maupun duka (Ratnasari, 2015). Yang dilakukan oleh

Athirah adalah suatu bentuk kesetiaan. Sebab, Athirah rela ikut serta pindah bersama dengan

suami, membangun keluarga, dan membuka bisnis bersama-sama dengan suami.

Tabel 1. Scene Peran Ibu Sebagai Istri dan Pendamping Suami

Sign Object Interpretant

Dalam scene tersebut,

diceritakan Athirah dan Puang

Ajji yang bertemu dengan

pemilik bangunan yang

nantinya akan menjadi tempat

bisnis mereka. Laki-laki

tersebut mengatakan bahwa

tempat tersebut “hoki”, yang

artinya membawa

keberuntungan bagi mereka

berdua. Kemudian Athirah

merangkul lengan Puang Ajji di

Potongan scene di samping

memperlihatkan sang istri yang

menjalankan peranannya

sebagai pendamping setia sang

suami dalam kondisi apapun.

Dalam scene tersebut, Athirah

terlihat sebagai pendamping

setia yang mendukung sang

suami, bahkan Athirah turut

serta dalam menjalankan bisnis

bersama sang suami. Ini

menandakan bahwa selain

Page 7: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

171

sebelahnya sambil tersenyum

menatapnya. Puang Ajji pun

juga melakukan hal yang sama.

Tangan kiri Puang Ajji terlihat

menggenggam tangan Athirah

yang sedang merangkulnya.

perannya sebagai pendamping

suami, Athirah juga memiliki

peranan di ruang publik dengan

bekerja bersama dengan sang

suami.

Sumber: Olahan Peneliti

Dalam suku Bugis, ketika laki-laki dan perempuan telah menikah, pernikahan tersebut

memiliki arti siala atau saling mengambil satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa

perkawinan merupakan sebuah ikatan timbal balik antara suami dan istri. Ketika mereka

menikah, mereka merupakan mitra dalam keluarga (Pelras, 2006). Dalam kehidupan

berumah tangga, seperti masyarakat pada umumnya, seorang suami dan istri memegang serta

memiliki peranannya masing-masing dalam keluarga dengan tujuan agar kehidupan

keluarga berjalan dengan baik dan lancar. Seperti keluarga pada umumnya, laki-laki sebagai

seorang suami dikatakan sebagai tulang punggung keluarga yang bertugas mencari nafkah

guna menghidupi keluarganya. Sedangkan perempuan memiliki peranan sebagai seorang

istri dan ibu rumah tangga yang pekerjaan utamanya kebanyakan dilakukan di dalam rumah.

Namun, dalam film ini, Athirah tidak hanya melakukan kegiatan di lingkup domestik

saja. Di sinilah kemudian Athirah sebagai istri dan Puang Ajji sebagai suami bekerja sama

sebagai mitra keluarga. Athirah tidak hanya mendampingi suami dalam lingkup domestik.

Bentuk dukungan seorang istri juga bisa dilakukan dengan meringankan tugas dan pekerjaan

yang diemban oleh sang suami di luar rumah. Hal ini terbukti dengan bagaimana Athirah

ikut andil dalam membangun bisnis baru bersama dengan sang suami, bahkan ikut

membantu pekerjaan sang suami yang merupakan pengusaha.

Gambar 2. Athirah yang Membantu Pekerjaan Puang Ajji

Sumber: Athirah, 2016

Page 8: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

172

Gambar di atas menceritakan bagaimana Puang Ajji membebaskan dan tidak mengekang

Athirah untuk ikut serta dalam bisnis mereka. Puang Ajji tidak memberikan batasan kepada

Athirah untuk melakukan pekerjaan di ranah publik bersama dengannya. Tidak seperti yang

umumnya terjadi. Laki-laki selalu dianggap memiliki kontrol serta andil yang lebih besar di

masyarakat, sedangkan perempuan tidak memiliki hak yang sama di segala bidang.

Gagasan yang ditawarkan oleh film Athirah, seperti tertulis di atas, jelas bertolak

belakang dengan yang dikatakan oleh Siswati (2014). Ia mengatakan bahwa peranan

perempuan biasanya digambarkan sebagai seorang istri dan ibu yang tempatnya adalah di

rumah, dapur, bahkan di ruang cuci. Perempuan seringkali tidak diperlihatkan sebagai sosok

yang cerdas, tetapi ditampilkan sebagai sosok yang tunduk dan patuh pada laki-laki. Sama

seperti pernyataan Kartono (2007), apabila laki-laki dan perempuan berjalan bersama, maka

perempuan diharuskan untuk berjalan di belakang laki-laki tersebut dan mengikutinya. Oleh

karena itu, perempuan kerap disebut sebagai kanca wingking atau teman yang tugasnya

hanya berada di belakang laki-laki. Dalam lingkup keluarga, perempuan, khususnya seorang

ibu, biasanya menempati bidang domestik dan tidak memiliki peranan yang terlalu penting

dalam keluarga. Sebab, yang memiliki peranan penting serta yang lebih banyak

mendominasi adalah kaum laki-laki.

Meskipun dalam masyarakat Bugis perempuan dan laki-laki memiliki wilayah aktivitas

masing-masing, sejatinya masyarakat Bugis tidak menganggap perempuan atau laki-laki

lebih dominan antara satu dengan yang lain. Dalam masyarakat Bugis, laki-laki dan

perempuan adalah setara dalam keluarga (Dahlan, 2016). Hal ini jelas seperti yang ada pada

film Athirah. Dalam film tersebut, Athirah, selain berperan sebagai pendamping suami, ia

juga memiliki peranan yang besar dalam membangun usaha bersama dengan suaminya.

Tidak ada yang lebih dominan antara Puang Ajji dan Athirah. Maka dari itu, Athirah pun

juga diperkenankan untuk masuk pada ranah publik dengan ikut serta membangun bisnis

mereka. Di mana yang pada umumnya keterlibatan perempuan di ruang publik masih

mendapatkan pertentangan dan tidak sepenuhnya diterima oleh laki-laki. Seperti menurut

Abdullah (2006), laki-laki masih menilai bahwa perempuan adalah ibu/istri dan bukan

pekerja profesional. Namun, dalam film ini, Athirah diberi kebebasan oleh Puang Ajji untuk

ikut serta mengelola usaha yang mereka bangun bersama-sama.

Film ini ingin menunjukkan bahwa sekalipun seorang istri dan ibu cenderung memiliki

tanggung jawab di dalam rumah, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa seorang istri dan

ibu mampu meringankan beban suami dengan ikut bekerja untuk pemenuhan kebutuhan

keluarga mereka. Di sini dapat dikatakan bahwa Athirah tidak hanya berperan sebagai istri

dan pendamping suami di dalam lingkup domestik saja. Namun, Athirah mampu menjadi

istri dan pendamping suami di sektor publik. Hal tersebut bertentangan dengan pernyataan

bahwa istri seringkali hanya dianggap sebagai pendorong serta penyemangat demi kemajuan

sang suami di bidang pekerjaannya (Putri & Lestari, 2015). Pada umumnya, seorang istri

cenderung mencurahkan tenaga dan kemampuan yang ia miliki di rumah, sehingga

pekerjaan di luar rumah dipercayakan kepada kaum lelaki. Seorang istri biasanya cenderung

tidak terlalu banyak ikut campur dalam urusan pekerjaan sang suami.

Penjelasan tersebut menekankan bahwa seorang istri dan seorang ibu, yang pada

umumnya selalu dikaitkan dengan kegiatan domestik, nyatanya mampu bekerja secara

Page 9: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

173

totalitas di luar ranah domestik. Memang suami dan istri memiliki tugas dan peranannya

masing-masing ketika mereka telah berumah tangga. Namun, dari film ini dapat dilihat

bahwa suami dan istri dapat saling menopang perekonomian keluarga dengan cara bekerja

sama membangun usaha. Suami bukanlah pihak utama yang serta merta selalu menjadi

tulang punggung keluarga, dan juga seorang istri tidak selalu menjadi pihak yang mengurus

hal-hal yang ada di dalam rumah. Nyatanya, seorang istri bisa ikut membantu suami bekerja

dalam sektor publik demi kesejahteraan rumah tangganya.

Ibu Sebagai Manajer Keluarga

Dalam sebuah keluarga, ibu merupakan sosok utama dan penting dalam memegang peranan

di lingkup rumah tangga. Ibu dapat melakukan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan

seluruh anggota keluarganya, termasuk di dalamnya adalah memasak, mendidik dan

mengasuh anak, dan lain-lain. Seorang ibu juga dapat dikatakan sebagai manajer keluarga,

yang mana memiliki kemampuan sebagai pemersatu anggota keluarga, sebagai penengah

ketika terdapat masalah, dan mampu mengatur segala kebutuhan yang ada pada keluarga.

Tabel 2. Peran Ibu Sebagai Manajer Keluarga

Sign Object Interpretant

Dalam gambar tersebut

diperlihatkan sosok Athirah yang

tengah membagikan makanannya

kepada salah satu anak dari

keluarganya terlebih dahulu.

Gambar tersebut memperlihatkan

ekspresi wajah Athirah yang

tengah tersenyum sembari

membagikan makanan kepada

anak-anaknya. Bila dilihat dari

gambar tersebut, Athirah lebih

ditonjolkan daripada Puang Ajji.

Scene ini memperlihatkan

bagaimana Athirah memiliki

peranan sebagai manajer dalam

rumah tangga.

Sumber: Olahan Peneliti

Maulati (2017) mengatakan bahwa seorang ibu tentunya memiliki beberapa peranan

dalam keluarga yang harus ia kerjakan, di antaranya: memenuhi kebutuhan fisiologi dan

kebutuhan psikis; merawat serta mengurus keluarga dengan sabar, mesra, dan juga

konsisten; sebagai pendidik yang mampu mengendalikan dan mengatur anak; sebagai contoh

serta teladan bagi keluarga; sebagai manajer yang bijaksana; dan dapat memberi rangsangan

dan pembelajaran yang baik. Dari pernyataan ini, peneliti kemudian berpendapat bahwa dari

kegiatan-kegiatan tersebutlah seorang ibu kemudian mampu mendalami peranannya sebagai

pengatur dalam rumah tangga. Karena seorang ibu yang mengurus hampir seluruh pekerjaan

rumah, sehingga ia lebih mampu memahami kondisi serta keadaan rumah tangganya.

Peranan seorang ibu pada umumnya adalah memasak, menyiapkan makanan untuk

keluarga, dan juga mengurus seluruh kebutuhan keluarga. Seperti pada tabel di atas yang

memperlihatkan bagaimana Athirah menyiapkan makanan untuk kebutuhan keluarganya.

Page 10: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

174

Sosok Athirah pada scene ini terlihat sedang membagikan makanan yang ada kepada anak-

anaknya. Athirah sebagai seorang ibu dan sebagai seorang istri dalam film ini selalu

mengesampingkan dirinya dan mengutamakan suami serta anak-anaknya terlebih dahulu.

Sesuai dengan konsep motherhood yang sangat erat hubungannya dengan pekerjaan

perempuan dalam rumah tangga (Asriani, 2017).

Seperti Athirah yang selalu mengerjakan peranannya sebagai seorang ibu dan istri di

dalam rumah. Athirah sebagai seorang ibu yang sebisa mungkin memenuhi kebutuhan

keluarganya terlebih dahulu. Hal tersebut dilihat dari ekspresi Athirah yang tengah

tersenyum sambil membagikan makanan kepada anaknya. Tersenyum merupakan

komponen gerak wajah yang disebabkan oleh perasaan senang ataupun bahagia, yang mana

ketika sesuatu hal membuat orang merasa senang akan menghasilkan senyuman (Kraut &

Johnston, 1979). Ekspresi tersenyum nampak jelas pada gambar di atas. Peneliti berpendapat

bahwa Athirah merasa senang dan tidak ada perasaan tertekan serta terbebani ketika

mengatur urusan rumah tangga.

Kartono (2007) mengungkapkan salah satu peranan seorang ibu adalah menjadi pengatur

rumah tangga. Ibu memiliki kemampuan membagi waktu dan tenaganya untuk mengerjakan

berbagai macam tugas yang ada di rumah dari pagi hingga larut malam. Dalam lingkup

rumah tangga, perempuan, khususnya ibu, mengerahkan seluruh tenaga kerjanya secara

cuma-cuma tanpa mengharapkan prestise ataupun kekuasaan apapun (Suryakusuma, 2011).

Dalam film ini, Athirah menjadi sosok ibu dan istri yang totalitas dalam mengurus dan

mengatur rumah tangganya. Sekalipun ia diselingkuhi oleh sang suami, ia dengan sabar tetap

mau memberikan yang terbaik bagi keluarganya.

Tidak hanya menjadi pengatur rumah tangga saja. Athirah praktis menjadi pemimpin

dalam rumah tangga setelah Puang Ajji memutuskan untuk meninggalkan Athirah beserta

anak-anaknya dan menetap bersama istri keduanya. Athirah menjadi pengatur rumah tangga

tunggal serta pemimpin keluarga yang bertugas untuk memastikan kehidupannya serta

kehidupan anak-anaknya berjalan dengan sebaik-baiknya.

Dalam film Athirah, Riri Riza selaku sutradara dalam film ini mengatakan bahwa pada

tahun 1950-an, fenomena laki-laki menikah dengan banyak wanita adalah hal yang lumrah

dan sudah biasa terjadi (Tondang, 2016). Biasanya, pihak istri pertama akan mengalah dan

memberi persetujuan kepada suami bila suami akan melakukan poligami. Selain itu, istri

akan merasa bahwa ketika sang suami melakukan perselingkuhan, berarti ada yang kurang

dari dalam dirinya. Misalnya ia akan merasa bahwa ia kurang bisa menjadi istri yang baik

bagi suami.

Seperti yang dikatakan oleh Gardnier (1996), perempuan secerdas dan sesukses apapun

tidak boleh terlalu mandiri bila telah menikah. Sebab, nantinya sang suami akan menoleh

kepada perempuan lain yang dianggap lebih membutuhkannya. Hal ini menunjukkan bahwa

perempuan akan tetap menjadi pihak yang disalahkan ketika suami memutuskan untuk

melakukan perselingkuhan. Namun, berbeda dengan Athirah. Ketika sang suami melakukan

poligami tanpa sepengetahuan Athirah, ia marah dan tetap tidak menyetujui poligami yang

dilakukan oleh Puang Ajji.

Page 11: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

175

Gambar 3. Athirah yang Mengusir Puang Ajji

Sumber: Athirah, 2016

Bentuk ketegasan Athirah diperlihatkan dengan Athirah yang berani mengusir Puang

Ajji dari rumah ketika ia mengetahui bahwa Puang Ajji telah melangsungkan pernikahan di

Jakarta bersama dengan istri keduanya tanpa sepengetahuan dirinya. Ini menunjukkan bahwa

Athirah memiliki power yang lebih dalam rumah tangganya, sehingga ia berani mengusir

Puang Ajji. Dalam film ini, Athirah juga yang paling banyak mengambil keputusan penting

dalam keluarganya. Hal ini kemudian membuktikan bahwa Athirah mampu menjadi

pemimpin dalam keluarganya. Athirah tetap menjalankan peranannya sebagai seorang ibu

yang bertanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan

ada atau tidaknya sosok Puang Ajji dalam rumah tangga mereka, Athirah tetap menjadi

manajer keluarga yang mengusahakan agar semuanya berjalan baik-baik saja dengan tidak

adanya suami. Ditambah lagi, Athirah pada saat itu memutuskan untuk membuat usaha

sendiri, yakni usaha sarung khas Makassar, yang pada akhirnya mendatangkan kesuksesan

bagi Athirah.

Hal lain yang membuktikan bahwa Athirah memiliki power serta pengaruh yang luar

biasa terhadap kehidupan rumah tangganya adalah ketika hiperinflasi melanda Indonesia

pada tahun 1963. Pada saat itu, banyak pengusaha-pengusaha yang gulung tikar dan salah

satunya adalah usaha awal yang Athirah dan Puang Ajji bangun. Di tengah-tengah

hiperinflasi yang melanda, justru usaha sarung milik Athirah masih tetap berdiri tanpa ada

kerugian apapun. Karena kesuksesan Athirah dalam mengembangkan usaha sarung khas

Makassar miliknya, Athirah tidak takut dengan adanya hiperinflasi pada saat itu. Ia justru

mengkhawatirkan usaha yang mereka bangun pada saat itu. Ketika Athirah mengetahui

bahwa bisnis sang suami terpaksa gulung tikar, Athirah kemudian menyuruh Ucu untuk

mengambil emas hasil dari usaha sarung miliknya.

Setelah itu, Athirah memberikan seluruh emas miliknya kepada Puang Ajji untuk

membantu Puang Ajji menyelesaikan permasalah ekonomi yang menimpa bisnisnya.

Gambar di bawah memperlihatkan kotak emas milik Athirah berada tepat di hadapan Puang

Ajji. Sementara Puang Ajji terlihat menunduk. Peneliti menilai bahwa gambar ini

memperlihatkan Athirah yang “menang” karena mampu bertahan hidup tanpa adanya Puang

Ajji. Sebaliknya, gambar tersebut memperlihatkan Puang Ajji yang tertunduk, yang

Page 12: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

176

menandakan bahwa ada rasa malu dalam dirinya karena gagal menjalankan perannya sebagai

seorang ayah dan suami yang baik bagi Athirah dan juga anak-anaknya.

Gambar 4. Athirah Memberi Emas Miliknya untuk Membantu Suami

Sumber: Athirah, 2016

Dari hal ini bisa dikatakan bahwa seorang istri yang biasanya dianggap sebagai kaum

lemah, dianggap sebagai kaum yang selalu dinomor duakan, nyatanya mampu menjadi

pemimpin dalam keluarga. Film Athirah merupakan salah satu contoh yang menunjukkan

bahwa perempuan memiliki kekuatan dan tidak selamanya berada di bawah kekuasaan kaum

laki-laki. Perempuan yang selalu dikatakan sebagai pihak yang selalu pasif bila

dibandingkan dengan laki-laki, justru menjadi pihak yang aktif dan mampu berdiri sendiri

tanpa bantuan dari kaum lelaki. Dari sini, peneliti melihat bahwa Athirah merupakan

representasi sosok keibuan yang patut dijadikan contoh bagi kaum perempuan. Karena

sosoknya yang luar biasa tegar dan tangguh dalam memikul beban serta aib keluarga yang

dilakukan oleh sang suami. Athirah menunjukkan kasih sayang yang tulus ketika ia harus

merawat dan menjaga keutuhan keluarganya. Selain itu, Atirah juga merupakan sosok ibu

pekerja keras yang pantang menyerah dalam menghadapi berbagai masalah. Keteguhan

Athirah pada akhirnya membuahkan hasil yang baik bagi dirinya dan keluarganya.

Peneliti kemudian menarik kesimpulan bahwa Athirah dalam film ini digambarkan

sebagai sosok ibu yang merupakan manajer keluarga yang memiliki peranan penting dalam

kehidupan keluarga. Athirah digambarkan mampu memimpin dan mengatur kehidupan

rumah tangganya dengan baik tanpa bantuan sang suami. Tidak hanya kuat secara emosi,

Athirah juga diperlihatkan kuat secara finansial karena usaha sarung khas Makassar yang ia

bangun sendiri. Pada akhirnya, usaha tersebut menjadi mata pencaharian utama bagi Athirah

untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kekuatannya sebagai seorang ibu itulah yang

kemudian memberikan rasa tanggung jawab kepada Athirah untuk mengatur dan memimpin

kehidupan dirinya dan keluarganya.

Ibu Sebagai Pengasuh Anak

Rumah merupakan tempat pertama bagi anak-anak untuk mendapatkan ilmu. Di rumah, anak

mendapatkan banyak ilmu-ilmu dasar sebagai fondasi untuk menjalankan hidupnya di masa

Page 13: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

177

depan. Di sini, orang tua memiliki peranan untuk membagikan ilmu-ilmu dasar tersebut.

Ilmu-ilmu dasar tersebut biasanya berkaitan dengan pengenalan nilai-nilai dan juga norma-

norma yang berlaku di masayarakat luas. Oleh sebab itu, orang tua dituntut untuk

mengajarkan hal-hal mendasar yang baik kepada anaknya agar kehidupan sang anak menjadi

lebih terarah. Orang tua memiliki tanggung jawab penuh terhadap kehidupan anak-anaknya.

Untuk itu, pekerjaan seperti mengasuh, mendidik, dan mendampingi anak, menjadi tugas

utama bagi orang tua agar anak dapat menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya.

Tabel 3. Scene Peran Ibu Sebagai Pengasuh Anak

Sign Object Interpretant

Latar dalam gambar di atas adalah

gazebo yang berada di belakang

rumah. Dalam gambar tersebut,

tampak perempuan paruh baya

sedang duduk bersama seorang

anak laki-laki. Pada gambar

tersebut menceritakan perempuan

tersebut memberikan songkok

keturunan dari raja Bone kepada

anak laki-laki tersebut. Sang ibu

terlihat sedang berbincang dengan

anak laki-laki tersebut. Dengan

adanya songkok milik keturunan

raja Bone tersebut, sang ibu

memiliki harapan agar anak laki-

lakinya kelak akan menjadi orang

besar.

Scene ini memperlihatkan

salah satu cara Athirah dalam

mengasuh anaknya dengan

memberikan motivasi serta

keyakinan pada anaknya

bahwa kelak ia akan menjadi

orang yang memiliki pengaruh

besar bagi negaranya.

Sumber: Olahan Peneliti

Salah satu peranan yang dilakukan oleh orang tua, khususnya seorang ibu, pada

umumnya adalah sebagai pengasuh bagi anak. Selain membesarkan, merawat, dan menjaga

anak, mengasuh juga merupakan tugas penting yang dilakukan oleh seorang ibu. Ibu yang

memiliki banyak waktu di rumah tentu saja akan memiliki lebih banyak waktu untuk

berinteraksi dengan anak-anaknya. Ibu dan anak dapat mengkomunikasikan banyak hal

ketika berada di rumah, sehingga menjadi hal yang lumrah ketika ibu lebih banyak

mengetahui kondisi serta perkembangan sang anak. Dapat dikatakan bahwa seorang ibu

memiliki posisi yang sangat strategis dalam mengasuh kehidupan anak-anaknya. Berbeda

dengan suami yang umumnya lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah untuk bekerja

mencari nafkah bagi keluarga. Agar kehidupan sang anak terara, tentunya diperlukan pola

asuh yang benar agar meminimalisir penyimpangan yang dilakukan oleh sang anak.

Kohn dalam Agustiawati (2014) menuturkan bahwa pola asuh orang tua adalah

bagaimana sikap orang tua kepada anak. Sikap di sini dapat dilihat dari berbagai sisi, di

antaranya: bagaimana cara orang tua memberi pengaturan kepada anak-anaknya, bagaimana

cara orang tua dalam memberi hadiah atau hukuman kepada anak, dan bagaimana cara orang

tua memberi perhatian kepada anak. Orang tua tentunya memiliki cara tersendiri untuk

Page 14: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

178

mengasuh anak-anaknya. Tiap-tiap cara yang digunakan oleh orang tua dalam mendidik

anak tentunya diharapkan dapat membawa dampak yang positif bagi sang anak.

Kartono (2007) mengatakan bahwa seorang ibu harus mampu membangun iklim psikis

yang bahagia, gembira, serta penuh kasih sayang, kesabaran, ketenangan, dan kehangatan di

dalam rumah, sehingga dapat merangsang anak untuk mencapai kedewasaan. Ketika seorang

ibu mampu membangun iklim psikis yang menyenangkan, tentu ke depannya hubungannya

dengan sang anak akan berjalan baik-baik saja. Memang sebelumnya kehidupan rumah

tangga Athirah tidak berjalan mulus. Banyak kesedihan yang terjadi di dalam rumahnya.

Anak-anak Athirah juga menyaksikan secara langsung bagaimana Athirah berusaha bangkit

dari keterpurukan agar tidak berimbas pada kehidupan anak-anaknya. Namun, seiring

berjalannya waktu, kehidupan keluarga Athirah pun akhirnya menjadi jauh lebih baik.

Sedikit demi sedikit kesedihan yang ada pada keluarga Athirah menghilang. Sehingga

Athirah mampu membangun iklim psikis yang lebih positif untuk anak-anaknya.

Kartono (2007) kembali mengatakan bahwa selain pemeliharaan fisik, seorang ibu juga

harus turun langsung dan melibatkan dirinya dalam menjamin kesejahteraan psikis sang

anak. Seorang ibu dituntut untuk mampu mengendalikan sang anak agar kelak sang anak

tumbuh menjadi manusia yang beradab. Sebab, jika seorang anak terlalu dibebaskan, ia akan

menjadi pribadi yang tidak terkendali dan juga tidak disiplin. Hal tersebut justru akan

membahayakan dirinya dan akan menjerumuskannya pada hal-hal negatif. Pernyataan

tersebut menggambarkan scene yang ada pada tabel di atas. Menurut peneliti, scene tersebut

merupakan cara pola asuh Athirah kepada Ucu, anaknya yang masih remaja.

Mengasuh anak remaja bukanlah hal yang mudah, terutama bagi seorang ibu tunggal.

Hal yang biasa terjadi ketika ibu dan ayah tidak lagi bersama adalah kondisi psikis anak yang

tidak stabil karena kurangnya kasih sayang atau perhatian dari salah satu orang tuanya.

Ditambah lagi bila sang anak berada pada masa remaja. Masa tersebut merupakan masa-

masa anak mengalami transisi menuju dewasa. Pada saat seperti itu memungkinkan

terjadinya penyimpangan bila orang tua salah memberikan pola asuh dan salah memberi

didikan. Pada usia remaja, biasanya anak akan mulai menyampaikan kebebasan dan

menuntut hak-haknya, sehingga tak jarang memunculkan ketegangan dengan orang tua.

Selain itu, bebasnya pergaulan juga menjadi salah satu faktor yang terkadang membuat

pengaruh orang tua melemah.

Namun, dalam film ini, Athirah sebagai orang tua tunggal mampu mengasuh anak-

anaknya dengan baik. Seperti penjelasan pada tabel di atas, bahwa Athirah memberi hadiah

kepada Ucu berupa songkok Bone yang Athirah dapatkan dari salah satu keturunan raja

Bone. Dalam film tersebut, Athirah sangat membangga-banggakan songkok tersebut kepada

Aisyah, sepupunya. Menurut Athirah, songkok tersebut akan mendatangkan keberuntungan

bagi anaknya. Selama masa kesusahan Athirah, Ucu selalu berada di sampingnya dan ikut

menguatkan Athirah. Ucu merasa memiliki tanggung jawab untuk membahagiakan ibunya

dan juga menjadi teladan yang baik bagi adik-adiknya. Padahal di satu sisi Ucu juga

merasakan kekecewaan terhadap perbuatan sang ayah. Sebab, dalam film tersebut, Ucu

sangat menghormati dan mengagumi sosok Puang Ajji.

“Saya beli ini. Songkoknya Puang Atta, keturunan raja Bone. Dia butuh uang. Siapa tau

nanti anakku jadi orang besar”. Dari kata-kata Athirah tersebut, menunjukkan betapa

Page 15: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

179

berharganya songkok yang ia beli yang nantinya akan diberikan kepada Ucu, anak

pertamanya. Sama seperti dialog yang tertera pada tabel di atas, ketika Athirah menyuruh

Ucu mengenakan songkok tersebut, Athirah mengatakan bahwa Ucu terlihat gagah ketika

mengenakannya dan Ucu bisa menjadi seorang gubernur. Ini menandakan bahwa songkok

tersebut sangat berarti bagi Athirah. Songkok tersebut memiliki makna yang mendalam

sehingga Athirah dengan penuh semangat akan memberikannya kepada Ucu.

Gambar 5. Athirah Membeli Songkok dari Keturunan Raja Bone untuk Ucu

Sumber: Athirah, 2016

Songkok to Bone memang merupakan salah satu produk kopiah tradisional yang sangat

memiliki makna dalam bagi penggunanya, khususnya para lelaki. Songkok merupakan

penutup kepala yang melambangkan kehormatan bagi kaum lelaki yang menggunakannya.

Tidak hanya itu saja. Songkok to Bone juga melambangkan kegagahan bagi lelaki yang

mengenakannya (Indonesia.go.id, 2019). Karena sangat berharganya songkok tersebut,

Athirah memberikannya pada Ucu, anak sulungnya, karena ia merasa bahwa Ucu sangat

cocok mengenakan sokong tersebut. Selain itu, Athirah berharap bahwa sokong yang ia

berikan kepada Ucu, kelak akan membawa Ucu pada kesuksesan. Athirah berharap bahwa

Ucu akan menjadi orang besar dan memiliki andil yang besar untuk negaranya. Athirah

dengan penuh kepercayaan meyakinkan Ucu bahwa kelak ia akan menjadi orang besar.

Athirah memberi kepercayaan penuh pada Ucu yang merupakan anak sulung laki-laki yang

ada di keluarganya. Seperti yang Kartono katakan bahwa membangun psikis yang bahagia,

penuh kasih sayang, kesabaran dan kehangatan juga merupakan cara bagaimana seorang ibu

mendidik anaknya. Sama seperti Athirah yang dengan rasa kasih sayang yang besar terhadap

Ucu dan penuh kehangatan memberi semangat dan meyakinkan anaknya bahwa kelak Ucu

akan menjadi salah satu orang yang berpengaruh di Indonesia.

Ketika seorang ibu menerapkan pola asuh serta didikan yang baik bagi anak-anaknya,

dari situlah seorang ibu akan menghasilkan manusia-manusia susila yang mampu

membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk kehidupannya, serta tentunya dapat

mengemban tugas-tugas moril dalam melaksanakan kehidupannya di dunia (Kartono,

2007:24). Dalam film ini, Athirah sebagai ibu yang mengasuh kelima anaknya dengan sangat

baik. Kehidupan Athirah bersama dengan anak-anaknya berlangsung sangat baik tanpa

adanya sosok Puang Ajji bersama dengan mereka. Walaupun pada awalnya mereka sama-

Page 16: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

180

sama merasakan kesedihan dan malu akibat ulah sang ayah, namun keteguhan hati Athirah

dalam menjaga.

Gambar 6. Hubungan Athirah dan Anak-Anaknya Semakin Erat

Sumber: Athirah, 2016

Buktinya, hubungan Athirah dan anak-anaknya semakin erat. Athirah mampu

mengendalikan dan terus menunjukkan ketegaran di depan anak-anaknya. Konflik keluarga

yang menimpa mereka justru semakin menguatkan mereka dengan saling menopang dan

saling menguatkan satu sama lain. Athirah sebagai seorang ibu berhasil memberikan

pengajaran yang baik bagi anak-anaknya. Dengan kesabaran, semuanya akan berakhir baik-

baik saja. Pekerjaan mengasuh anak yang dilakukan oleh seorang ibu dapat menjadi

pekerjaan rumah tangga, serta pengalaman yang sangat berharga. Seorang ibu pasti memiliki

harapan-harapan baik ketika ia mengasuh anaknya. Dan ketika harapan-harapan tersebut

menjadi kenyataan, tentunya akan menjadi kebanggan bagi seorang ibu yang selama

hidupnya telah mengasuh anak-anaknya. Pola asuhan yang dilakukan Athirah tentunya

benar-benar membawa dampak positif bagi anak-anaknya. Harapan Athirah agar Ucu kelak

menjadi orang yang memiliki pengaruh besar bagi masyarakat pun tercapai.

Ucu, yang dalam film tersebut digambarkan tidak banyak bicara, kini menjadi seseorang

mantan Wakil Presiden Republik Indonesia. Peneliti menilai hal tersebut dapat tercapai

karena selama hidupnya, Athirah sebagai seorang ibu mampu memupuk nilai-nilai

kehidupan yang baik bagi Jusuf Kalla. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki Athirah

selama hidupnya, baik itu pengalaman yang menyedihkan ataupun menyenangkan, banyak

memberikan pelajaran berharga bagi Jusuf Kalla di masa mudanya.

Athirah mengajarkan bagaimana bentuk tanggung jawab, mengajarkan bagaimana

panjang sabar, mengajarkan bagaimana cara bertahan hidup di tengah-tengah permasalahan

yang menerpa, dan mengajarkan bahwa konflik yang melanda kehidupan manusia

merupakan suatu proses menuju kekuatan dan keteguhan . Dari ajaran serta didikan yang

diberikan oleh Athirah kepada anak-anaknya, pada akhirnya membuahkan hasil yang baik.

Keluarga mereka berhasil melewati masa-masa kelam dan menjadi lebih sejahtera.

Banyak nilai positif yang terkandung dalam film Athirah ini. Film ini mengajarkan

banyak hal dan dapat menjadi contoh yang baik bagi seluruh perempuan, khususnya bagi

seorang ibu. Peneliti melihat bahwa mengasuh anak idealnya memang dilakukan oleh ayah

Page 17: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

181

dan ibu. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa seorang ibu tunggal juga mampu

mengasuh anak-anaknya dengan baik.

Seorang ibu biasanya dianggap sebagai pihak yang terlalu emosional dan kurang panjang

akal, sehingga terkadang dianggap remeh dan tidak akan mampu menghadapi masalah-

masalah berat dalam kehidupan rumah tangganya. Seorang ibu biasanya dianggap sebagai

pihak yang selalu bergantung pada laki-laki dan tidak mampu menentukan langkah hidupnya

sendiri, sehingga ia membutuhkan pria yang mampu mengambil keputusan dalam hidupnya.

Namun, berbeda dengan Athirah. Dalam film ini, ia digambarkan sebagai ibu yang menjadi

pioneer untuk anak-anaknya. Sebagai ibu yang harus memberikan contoh baik bagi anak-

anaknya. Emosi dan perasaan sedih memang lumrah terjadi ketika terdapat masalah. Namun,

Athirah membuktikan bahwa berlarut-larut dalam kesedihan tidak akan membuahkan hasil

yang baik. Berlarut-larut dalam kesedihan tentu akan berdampak buruk bagi psikis dan juga

pertumbuhan anak-anaknya. Sebisa mungkin Athirah menunjukkan bahwa ia adalah ibu

yang kuat, ia adalah ibu yang dapat diandalkan. Sikap seperti inilah yang ditunjukan Athirah

kepada anak-anaknya.

Orang tya, khususnya ibu, tentu tidak ingin melihat anak-anaknya hidup dalam kesulitan.

Sebisa mungkin seorang ibu mengusahakan yang terbaik bagi anak-anaknya. Seperti Athirah

yang ingin anak-anaknya meraih kesuksesan, agar kehidupan anak-anaknya kelak jauh lebih

baik daripada kehidupan mereka sebelumnya. Ini merupakan salah satu kontribusi yang baik

bagi seorang ibu dalam lingkup sosial. Karena dengan pola pengasuhan yang baik, seorang

ibu pada akhirnya dapat menyiapkan generasi-generasi yang unggul, yang tentunya akan

memberikan manfaat bagi kehidupan sosial dan juga bagi negara. Bila dilihat kontribusi

yang dilakukan oleh seorang ibu ini dapat dikatakan sangat sederhana karena hanya sebatas

pada mengasuh anak-anak saja. Namun, pada akhirnya akan memberikan manfaat yang

besar bagi kehidupan sosial dan memberikan sumbangsih yang besar bagi masyarakat luas.

Terbukti dari lika-liku kehidupan Athirah dalam mengasuh anak-anaknya yang pada

akhirnya membawa kesuksesan bagi anak-anaknya, terutama bagi Jusuf Kalla yang hingga

saat ini memiliki peranan penting bagi Indonesia.

Penutup

Penggambaran motherhood dalam film Athirah dapat ditemukan pada ibu sebagai istri dan

pendamping bagi suami, sebagai manajer keluarga, dan sebagai pengasuh anak. Temuan ini

menggarisbawahi bahwa penggambaran motherhood di film Athirah masih terjebak pada

penggambaran klasik seorang perempuan dalam konstruksi gender yang tidak setara.

Ketidaksetaraan tersebut ditampilkan dalam beban ganda yang disandang sosok Athirah.

Meskipun motherhood ditampilkan dalam bentuk kekuatan dan ketangguhan, Athirah

sebagai seorang ibu dan istri yang kemudian memampukannya menjalankan peranannya

sebagai sebagai istri dan pendamping suami, ibu sebagai pengatur dan pemimpin rumah

tangga, serta ibu sebagai pengasuh anak. Namun, film ini sebenarnya menguatkan konstruksi

gender seorang perempuan yang seolah wajib menyandang motherhood dalam dirinya, baik

dalam ranah domestik dan juga publik. Seorang ibu ternyata memiliki kemampuan untuk

mengerjakan banyak hal, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Selain bekerja pada

Page 18: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada Film Athirah

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

182

ranah domestik, seorang ibu nyatanya juga memiliki kemampuan dan juga memiliki hak

untuk bekerja di luar rumah, seperti yang dilakukan oleh Athirah. Selain itu, seorang ibu

nyatanya juga memiliki kemampuan sebagai seorang manajer dalam keluarga dan mampu

mengasuh anak-anaknya dengan baik tanpa adanya bantuan dari sang suami. Semua

dilakukan Athirah dengan penuh kekuatan serta keteguhan, sehingga ia mampu

melaksanakannya seorang diri.

Daftar Pustaka

Abdullah, I. (2006). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ardianto, E., Komala, L. & Karlinah. (2007). Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (rev. Ed.).

Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Asriani, D. (2017). Being Mother: Comparative Study of the Contested Motherhood between South

Korea and Indonesia. IJMESH, 1(1), 15-23.

Baria, L. (2005). Media Meneropong Perempuan. Surabaya: KSP.

Baran, S. (2012). Pengantar Komunikasi Massa: Literasi Media dan Budaya. Jakarta: Erlangga.

Dahlan. (2016). Prosesi Pemilihan Jodoh dalam Perkawinan: Perspektif Ajaran Islam dan Budaya

Lokal di Kabupaten Sinjai. Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 9(1), 131-

142.

Diani, A., Lestari, M.T., & Maulana, S. (2017). Representasi Feminisme dalam Film Maleficent.

ProTVF, 1(2), 139-150.

Diansyah, N.M., Belasunda, R., & Hendiawan. (2018). Konstruksi Relasi Gender Suku Bugis Pada

Karakter Emma dalam Film Athirah. Jurnal Penelitian Pendidikan, 18(3), 354-360.

Effendy, O. U. (2007). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Fakih, . (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fischer, L. (1996). Cinematernity: Film, Motherhood, and Genre. New Jersey: Priceton Academic

Press.

Gardnier, M., Wagemann, M., Suleeman, & Sulastri. (1996). Perempuan Indonesia Dulu dan Kini.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Go, P. (2013). Representasi Stereotipe Perempuan dalam Film Brave. Jurnal E-Komunikasi,1(2), 13-

24.

Han, M.I. (2018). Representasi Konflik Ibu Tunggal dan Anak dalam Film Susah Sinyal. Komunika,

12(2), 241-256.

Indonesia.do.id. (2019, 30 Mei). Dibalik Kilauan Songkok Recca, Indonesia.do.id. Diakses dari

https://indonesia.go.id/ragam/seni/seni/dibalik-kilauan-songkok-recca

Irawan, R.E. (2014). Representasi Perempuan Dalam Industri Sinema. Humaniora, 5(1), 1-8.

Kartono, K. (2007) Psikologi Wanita: Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek. Bandung: Mandar

Maju.

Kasih, A. (2016, 7 November). Athirah Jadi Film Terbaik, Begini Komentar Wapres JK, Tempo.co.

Diakses dari https://seleb.tempo.co/read/818486/athirah-jadi-film-terbaik-begini-komentar-

wapres-jk

Kirby, E. L., Riforgiate, S. E., Anderson, I. K., Lahman, M. P., & Lietzenmayer, A. M. (2016). Good

working mothers as jugglers: A critical look at two work–family balance films. Journal of

Family Communication, 16(1), 76-93.

Kraut, R.E and Johnston. (1979). Socoal and Emotional Messages of Smiling. Journal of Personality

and Social Psycology, 37(9), 1539-1553.

Kriyantono, R. (2016). Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.

Maulati, D. & Prasetio, A. (2017). Representasi Peran Ibu dalam Film Room. eProceeding of

Management, 4(2), 2109-2116.

Morissan, Wardhani, A. C. & Hamid. (2010). Teori Komunikasi Massa. Bogor: PT Ghalia Indonesia.

Natha, G. (2017). Representasi Stereotipe Perempuan dan Budaya Patriarki dalam Video Klip

Meghan Trainor “All About That Bass”. Jurnal E-Komunikasi, 5(2), 1-9.

Page 19: Selubung Ketidakadilan Peran Gender dalam Motherhood pada

S. Y. Siautta, A. Y. Widyaningrum, dan A. W. Setyarinata

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 165-183

183

Nadliroh, I. (2018, 14 November). Bagaimana Sebaiknya Mendidik Anak Usia Remaja?

Kompasiana. Diakses dari

https://www.kompasiana.com/iinnadliroh/5bec41d1677ffb5dc57efcb3/bagaimana-

sebaiknya-mendidik-anak-usia-remaja?page=all

Pelras, C. (2006). Manusia Bugis. Jakarta: Nalar.

Putri, D. & Lestari, S. (2015). Pembagian Peran Dalam Rumah Tangga Pada Pasutri Jawa. Jurnal

Penelitian Humanoria, 16(1), 72-85.

Rajab, B. (2009). Perempuan Dalam Modernisme dan Postmodernisme. Sosiohumanoria, 11(3), 1-

12.

Ratnasari, D. (2015). Perselingkuhan dan Kesetiaan dalam Sinetron Catatan Hati Seorang Istri (Suatu

Studi Analisis Komunikasi Keluarga dalam Perspektif Semiotika). Jurnal Ilmu Budaya, 3(2).

Retnowati, Y. (2008). Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak.

Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(3), 199-211.

Siswati, E. (2014). Representasi Domestika Perempuan Dalam Iklan. Jurnal Komunikasi, 11(2), 179-

193.

Sihombing, R.A., Sabana, S, & Sunarto. (2015). Mitos Representasi Ibu dari Masa ke Masa.

Sosiohumanika, 8(2), 171-184.

Sobur, A. (2015). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,

dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sobur, A. (2017). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Surahman, S. (2014). Representasi Perempuan Metropolitan Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita.

Jurnal Komunikasi, 3(1), 39-63.

Suryakusuma, J.(2011). Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Jakarta:

Erlangga.

Tondang, Y. (2016, 23 September). Athirah: Kisah Perempuan Bugis Yang Berjuang Demi Keutuhan

Keluarga, Rapler. Diakses dari https://www.rappler.com/indonesia/gaya-hidup/147121-

athirah-kisah-perempuan-bugis.