121
SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH DALAM JABATAN PUBLIK SEBAGAI PIDANA TAMBAHAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH : ANDI NURUL ASMI B111 14 106 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

SKRIPSI

ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH DALAM JABATAN PUBLIK SEBAGAI PIDANA TAMBAHAN

BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

OLEH :

ANDI NURUL ASMI

B111 14 106

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

Page 2: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

i

HALAMAN JUDUL

ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN

DIPILIH DALAM JABATAN PUBLIK SEBAGAI PIDANA TAMBAHAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

ANDI NURUL ASMI B111 14 106

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian

Studi Sarjana Pada Departemen Hukum Pidana

Program Studi Ilmu Hukum

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

Page 3: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

ii

Page 4: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi mahasiwa :

Nama : Andi Nurul Asmi

NIM : B 111 14 106

Bagian : Hukum Pidana

Judul : Analisis Normatif terhadap Pencabutan Hak

Memilih dan Dipilih dalam Jabatan Publik Sebagai

Pidana Tambahan Bagi Pelaku Tindak Pidana

Korupsi.

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan pada ujian skripsi.

Makassar, Januari 2018

Page 5: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

iv

Page 6: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

v

ABSTRAK

ANDI NURUL ASMI (B111 14 106), Analisis Normatif Terhadap Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih dalam Jabatan Publik Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi, dibawah bimbingan Bapak Andi Muhammad Sofyan selaku Pembimbing I dan Bapak Amir Ilyas selaku Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui regulasi dan implementasi hukum dari pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik sebagai pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Penelitian ini dilakukan di wilayah kota Makassar khususnya di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan dengan menggunakan referensi-referensi yang terkait dengan rumusan masalah.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) Penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik Djoko Susilo dan pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik Lutfhi Hasan Ishaaq telah terjadi kesewenang – wenangan, karena hakim tidak membatasi pencabutan hak tersebut dalam jangka waktu tertentu seperti yang telah diatur dalam pasal 38 KUHP. Hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik adalah salah satu dari HAM, mencabut, menghilangkan atau meniadakan hak warga negara secara utuh meskipun melalui vonis hakim adalah salah satu pelanggaran HAM. Selain itu, mengingat jenisnya sebagai pidana tambahan, maka penjatuhan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih bersifat fakultatif artinya, hakim bebas menjatuhkan atau tidak menjatuhkan pidana tersebut. Adapun parameter yang digunakan hakim untuk menentukan perlu atau tidaknya penjatuhan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih adalah melihat porsi atau kedudukan terdakwa saat melakukan tindak pidana korupsi, sifat kejahatan yang dilakukan, serta besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat. (2) Pasca keluarnya tiga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU/V/2007, Nomor 4/PUU/VII/2009, dan 42/PUU-XI II/2015, hak memilih dan dipilih mantan narapidana yang diancam pidana lima tahun atau lebih dalam undang – undang terkait yang diujikan , menghasilkan implikasi hukum bahwa seorang mantan narapidana yang sudah menjalani masa hukuman dan membuktikan kelakuan baiknya berdasarkan persyaratan yang ditentukan tidak berhak diberikan hukuman lagi. Akan tetapi apabila putusan pengadilan menyatakan bahwa seorang itu dihukum dengan pencabutan hak memilih dan dipilihnya, maka dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Maka akibat putusan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu kewajiban hukum karena berkaitan dengan pemenuhan hak – hak konstitusionalnya warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh Undang – Undang Negara Republik Indonesia 1945 sebagai hukum tertinggi Negara Indonesia.

Page 7: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

vi

ABSTRACK

ANDI NURUL ASMI (B111 14 106). Normative Analysis on the Elimination of the Right to Choose and Be Selected in Public Officials as Additional Criminal Procedure for Corruption Actors, under the guidence of Andi Muhammad Sofyan as the first guide and Amir Ilyas as second guide.

This study aims to determine the rules and implementation of the law from the revocation of suffrage and elected in public office as an additional criminal for perpetrators of corruption.

This research was conducted in Makassar, especially in Library of Law Faculty of Hasanuddin University. This study was held by conducting library study that used related references of research problem.

The objective of this study showed that, (1) The imposition of additional criminal of the right to elect and be chosen in public office, Djoko Susilo and the lifting of the right to be chosen in public office Lutfhi Hasan Ishaaq has happened despotism , because the judge does not limit the revocation of the right in a certain period of time as stipulated in article 38 of the Criminal Code. The right elect and be chosen in public office is one of the human rights, lift, eliminate or destroy one of the citizens ' rights as a whole although through sentencing judges is one of the human rights violations. In addition, given its kind for additional criminal, then the imposition of criminal the revocation of the right to elect and be chosen is facultative means, judges are free to drop or didn't drop criminal. As for the parameters used the judge to decide whether or not the imposition of criminal the revocation of the right to elect and be chosen is seen serving or the position of the time of committing criminal acts of corruption, the nature of a crime being committed, as well as the magnitude of the impacts on society. (2) After the release of three the Supreme Constitutional Court No. 14-17/PUU/V/2007, Number 4/PUU/VII/2009, and 42/PUU-XIII/2015, as well as the right to elect and be chosen former inmates threatened of five years or more in invited – invited to be tested, with implications of the law that a former inmates already serving a sentence and doing well based on the requirement is not entitled to be given penalties again, but if the court's decision said that a sentenced by the repeal of the right to pick and choose from, then with the court ruling that was binding. So as a result of the decision of the Constitutional Court is a duty of the law because it relates to the fulfillment of the – the constitutional rights of a country that was guaranteed and protected by Act – the State of the Republic of Indonesia 1945 as the law of State of Indonesia.

Page 8: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahir rahmaanir rahiim

Alhamdul lilaahi rabbil ‘aalamiin. Segala puji bagiAllah SWT, Tuhan

semesta alam yang tidak henti-hentinya melimpahkan nikmat dan karunia

yang telah diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Analisis Normatif Terhadap Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih

Dalam Jabatan Publik Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Tindak

Pidana Korupsi”. Tidak lupa pula shalawat dan salam terhaturkan untuk

Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sungguh

merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi Penulis. Namun

keberhasilan ini tidak diperoleh Penulis dengan sendirinya, melainkan pula

hasil dari beberapa pihak yang tidak henti-hentinya menyemangati Penulis

dalam menyelesaikan kuliah dan tugas akhir ini.

Oleh karena itu, Dalam kesempatan ini seyogyanya Penulis

menyampaikan terima kasih kepada beberapa sosok yang telah

mendampingi upaya Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Terkhusus kepada kedua orang tua Penulis Andi Khaeruddin,

S.E. dan Hj. Andi Sanno, S.Pd. yang telah membesarkan Penulis dengan

penuh kesabaran dan kasih sayang, yang dengan sabar mengurus,

menasihati, serta mengajarkan arti dari kerja keras dan tidak mengenal

Page 9: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

viii

putus asa. Begitu juga saudara Penulis Bripka Andi Dedi Khasram, S.H.

, Brikpol Andi Gusti , Andi Ana Kharisma, S.E. , dan Andi Nur Amalia

yang secara tidak langsung telah memberikan motivasi kepada Penulis

untuk terus bergerak maju menggapai cita-cita.

Pada kesempatan ini, Penulis juga menghaturkan rasa terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penelitian hingga

penulisan skripsi ini :

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA., selaku Rektor

Universitas Hasanuddin beserta staf dan jajarannya.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H., M.Hum. , selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Bapak Prof. Dr.

Ahmadi Miru, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I, Bapak Dr.

Syamsuddin Mucthar, S.H., M.H. , selaku Wakil Dekan II, serta

Bapak Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. , selaku Wakil Dekan

III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

3. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H., selaku

Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin.

4. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H., dan Bapak

Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H., selaku pembimbing Penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingannya semoga

suatu saat nanti Penulis dapat membalas jasa yang telah diberikan.

Page 10: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

ix

5. Bapak Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H., M.H., M.Si., Bapak Dr.

Abd. Asis, S.H., M.H., dan Ibu Dr. Hj. Haeranah, S.H., M.H.,

terima kasih atas kehadiran menguji Penulis, dan menerima skripsi

Penulis yang masih sangat jauh dari yang diharapkan.

6. Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H., selaku Penasihat

Akademik (PA) Penulis. Terima kasih atas kebaikan serta

kesediaannya setiap kali Penulis berkonsultasi Kartu Rencana

Studi (KRS).

7. Segenap Guru Besar dan Dosen Pengajar Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin, terima kasih untuk segala ilmu dan

bimbingan yang telah diberikan selama proses perkuliahan hingga

Penulis dapat menyelesaikan studi.

8. Pegawai/Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin atas bantuan dan keramahannya dalam membantu

kebutuhan Penulis selama perkuliahan hingga penulis

menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir.

9. Pengelola Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin, terima kasih telah memberikan waktu dan tempat

selama penelitian skripsi ini berlangsung.

10. “Cousin Squard” Andi Rina Indah Paramita, S.TP. , dr. Andi

Dewi Pratiwi, S.Ked, Andi Anisa Aprianti, S.Pd., Andi Ahmad

Fauzi Rafsanjani, Andi Muh. Ihsan, dan Andi Widya Irawati ,

terima kasih kepada para sepupu yang tidak henti – hentinya

Page 11: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

x

memberikan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

11. Keluarga Besar DIPLOMASI 2014 yang selalu kompak, semoga

kita menjadi penegak hukum yang dapat membangun bangsa lebih

baik kedepannya.

12. Teman - Teman Pengurus ALSA LC UNHAS Periode 2015-2016,

terima kasih atas kejasama, kepercayaan, kepedulian dan

kekeluargaannya.

13. Teman - Teman dan Kakanda Pengurus Mahkamah Keluarga

Mahasiswa (MKM) Periode 2016-2017, terima kasih atas ilmu dan

pengalaman berharga dalam setiap moment yang tidak

membutuhkan waktu yang panjang namun sangat berarti.

14. Keluarga Besar National Moot Court Competition (NMCC)

Universitas Hasanuddin khususnya kepada kakanda Muhammad

Fadhil, S.H., Zaldi, S.H., Iustika Puspa Sari, S.H., Nurdiansyah,

S.H., M.H., Jumardi, S.H., M.H., Andi Maulana Arif Nur, S.H.,

Andi Nurhidayar Putra, S.H., Muhammad Taufiq Akbar, S.H.,

Muh. Afdal Yanuar, S.H., Gusti Ngurah Rai, S.H., dan Indah

Wahyuni Dian Ratnasari, S.H. dan para senior yang tidak bisa

Penulis sebutkan satu persatu, terima kasih telah memberikan

banyak ilmu kepada Penulis dan tidak henti-hentinya memberikan

nasihat kepada Penulis.

Page 12: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

xi

15. Delegasi National Moot Court Competition (NMCC) Piala

Mahkamah Agung Republik Indonesia XVIII, terima kasih kepada

Muhammad Taufiq Akbar, Firman Nasrullah, Kartini, Resti

Gloria Pasomba, Novita Supardjo, Rifqi Ibsam, Arifatin, Gusti

Ngurah Rai, Indah Wahyuni Dian Ratnasari, Nidaul Hasanah,

Ade Apriani, Lisa Nursyahbani, Andi Muhammad Riski, Zul

Kurniawan Akbar, Muhammad Nugroho S, Billy Boby Putra,

Firda Febrianty Savaros, Ibrahim Arifin, dan Andi Srikandi

MPB, terimah kasih telah menjadi rumah teduh dan tempat

bersandar saat Penulis masih pemula menjajaki dunia perkuliahan

dan selalu menghujani Penulis dengan ketulusan dan kepedulian

yang tiada hentinya.

16. Delegasi National Moot Court Competition (NMCC) Piala

Mahkamah Agung Republik Indonesia XIX, terima kasih kembali

kepada Muhammad Taufiq Akbar, Arifatin, Rifqi Ibsam, Indah

Wahyuni Dian Ratnasari, Gusti Ngurah Rai, Ibrahim Arifin, dan

Andi Srikandi MPB, teman seperjuangan dari NMCC MA XVIII

yang kembali berjuang bersama Penulis demi meraih Juara Piala

Mahkamah Agung, juga terima kasih kepada Nelson Sirenden,

Eka Fitrianingsih, Irdayanti Amir, Nurfatimah, Yarni Nikita

Ahmady, Rhila Hasmita Ramadhani Amin, Nurfadly Hamka,

Ashar Asyari Zaenal, Indira Arum Puspitarani, Fadiel

Muhammad dan Sukardi, terima kasih sudah berjuang bersama

Page 13: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

xii

Penulis dan mengajarkan Penulis untuk tidak takut bermimpi serta

berjuang meraih mimpi dengan kerja ikhlas, kerja cerdas, dan kerja

keras.

17. Teman - Teman “DESA MICIN”, terima kasih kepada Takim,

Fadli, Rahmad, Faad, Bintang, Oji, Farid, Reza Murti, Dilla, Fika,

Izzah, Melly dan Anisa, terima kasih telah menjadi teman

seperjuangan yang selalu mengajarkan Penulis tentang keindahan

dalam memberi dan menerima dalam kehidupan memahami arti

dari kehidupan itu sendiri selama menjalani perkuliahan di Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin.

18. Saudara - Saudara yang mendampingi dan sekaligus Rekan

berjuang sejak masih berstatus MABA hingga sekarang, Andi

Srikandi MPB, Annisa Fadhillah Rosadi, HS. Tita Syamsuddin,

dan Nurfatimah, terima kasih untuk semua moment - moment

yang terekam baik dalam ingatan Penulis yang berukir selama kita

berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

19. Saudara lintas Universitas , sejak di bangku Sekolah Menengah

Atas hingga sekarang , Andi Rafiah S dan Frezka Ayu Wardhani,

S.Ked. terima kasih untuk selalu meluangkan waktu walau kadang

jarak dan waktu selalu menghalangi namun doa kalian selalu terasa

dekat sehingga Penulis selalu bersemangat hingga skripsi ini dapat

selesai.

Page 14: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

xiii

20. Rekan - Rekan kerja di Schomed Indonesia, Awal Safar, S.Ked.,

Muhammad Fahim Abqari, Dewi, Maya dan Zulfa , terima kasih

telah mengajarkan Penulis bagaimana rasa bekerja dengan tulus

dan ikhlas demi mewujudan visi mencerdaskan kehidupan bangsa

bersama Schomed.

21. Teman - Teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Angkatan 96 Universitas

Hasanuddin di Mahkamah Konstitusi (MK). Terima kasih kepada

Andi Srikandi MPB, Anugrah Edys, Kevin Bonaparte, Dirga

Utama Mahardika, Ahmad Nugraha, Jemmi, Dedi Chaidiryanto,

Ahmad Fauzi, Surya Dharma, Fathullah, Reski Amalia Safiin,

Muthia Amalia, Verha, Puteri Dwi Arini, Aulia Mashita, Aulia

Panangari, Amelia Rosa Lestari, Dewi Athira, dan

Muthmainnah, yang telah memberikan pengalaman yang tidak

akan pernah terlupakan dan penuh kesan selama berKKN di

Jakarta.

22. Terakhir, terima kasih kepada Muh. Hasrul Muin yang telah

membantu dan memberikan motivasi dengan sabar dan tulus yang

tiada henti-hentinya kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

Dengan segala keterbatasan dan kerendahan hati Penulis yang

sangat menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan, sebab dalam dunia ilmiah “tidak ada kebenaran absolut”.

Page 15: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

xiv

Maka dari itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat Penulis

harapkan demi kelayakan dan kesempurnaan kedepannya agar bisa

diterima secara penuh oleh khalayak umum yang berminat terhadap

skripsi ini.

Makassar, Januari 2018

Andi Nurul Asmi

Page 16: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

PENGESAHAN SKRIPSI .............................................................................. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI .............................................. iv

ABSTRAK ....................................................................................................... v

ABSTRACT .................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... .... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................... 15

C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 15

D. Kegunaan Penelitian ................................................................................ 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 17

A. Pencabutan Hak ....................................................................................... 17

B. Hak Asasi Manusia ................................................................................... 19

1. Pengertian Hak Asasi Manusia ............................................................ 19

2. Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia ............................................................ 20

Page 17: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

xvi

3. Hak Memilih dan Dipilih Sebagai Hak Asasi Manusia ......................... 22

C. Jabatan Publik .......................................................................................... 26

D. Pidana dan Pemidanaan .......................................................................... 29

1. Pengertian Pidana ................................................................................ 29

2. Jenis-Jenis Pemidanaan ...................................................................... 31

2.1 Jenis Pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) ............................................................................................ 31

2.2 Jenis – Jenis Pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) ....................... 36

E. Tindak Pidana Korupsi ............................................................................ 40

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ....................................................... 40

2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi...... ........................................... 43

3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi .............................................. 46

BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 54

A. Lokasi Penelitian ...................................................................................... 54

B. Jenis Dan Sumber Data ........................................................................... 54

C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 54

D. Analisis Data............................................................................................. 55

Page 18: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

xvii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 56

A. Regulasi Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih dalam Jabatan Publik

Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi jika

dikaitkan dengan penerapan Hak Asasi Manusia ..................................... 56

1. Regulasi pencabutan hak memilih dan dipilih dalam Kitab Undang-

Undang Hukum pidana dan 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ............................................... 56

2. Perlindungan Hak memilih dan dipilih dalam UUD 1945 ...................... 60

3. Penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih

dalam persfektif Hak Asasi Manusia .................................................... 65

B. Implementasi hukum terhadap pencabutan hak memilih dan dipilih

dalam jabatan publik sebagai pidana tambahan bagi pelaku tindak

pidana korupsi .......................................................................................... 74

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 95

A. Kesimpulan ............................................................................................... 95

B. Saran ........................................................................................................ 96

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 97

Page 19: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara hukum yang secara tegas tertuang

pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). “Negara Indonesia adalah Negara

Hukum“. Dalam negara, sistem kenegaraan diatur berdasarkan hukum

yang berlaku yang berkeadilan kemudian disusun dalam suatu konstitusi.

Semua akan tunduk pada hukum, baik pemerintah maupun yang

diperintah, sehingga semua orang akan mendapatkan perlakuan yang

sama. Pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang dan tidak

boleh melanggar hak-hak rakyat yang harus diberikan. Rakyat diberikan

perlakuan sesuai dengan hak-haknya dan diberikan kesempatan untuk

berperan sercara demokratis.

Peranan hukum dalam Negara hukum adalah sebagai berikut; dalam

Negara hukum diperlukan pembatasan terhadap kekuasaan Negara politik

dengan jelas, yang tidak dapat dilanggar oleh siapapun. Dalam Negara

hukum, hukum memiliki peranan yang sangat penting dan berada di atas

kekuasaan Negara dan politik, kemudian muncul istilah pemerintah di

bawah hukum (government under the law).1

Atribut Negara Hukum yang disandang Negara Republik Indonesia

sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 adalah negara yang

1 Munir Fuady, 2011, Teori Negara Hukum Modern Rechtstaat, (PT.Refika Aditama, Bandung), hlm.1.

Page 20: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

2

berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka

(maachtstaat). Sebagai negara hukum, tindakan pemerintah maupun

rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan

sewenang-wenang dari pihak penguasa dan tindakan rakyat menurut

kehendaknya sendiri.2

Salah satu dari bentuk kesewenang-wenangan yang kita ketahui

adalah korupsi. Korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan

memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan

atau kedudukan yang dapat merugikan orang lain atau Negara. Masalah

korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) bagi negara-negara berkembang

ibarat penyakit AIDS yang sulit dihindarkan dan dicari obatnya. Kendati

menjadi tekad semua bangsa di dunia untuk melenyapkan atau

mengurangi tingkat intensitas, kualitas, dan kuantitasya dalam upaya

menciptakan pemerintahan yang bersih (clean government) dan

pemerintahan yang baik (good government), korupsi sulit diberantas.3

Akhir-akhir ini korupsi sering didengar oleh masyarakat terjadi

disektor publik yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasaan publik

atau pejabat pemerintahan sehingga sering disebut sebagai kejahatan

jabatan (occupational crime). Di sektor publik ini bentuk korupsi yang

marak terjadi adalah penyuapan dan penyalahgunaan kewenangan publik.

2 Occupational Crime atau kejahatan jabatan adalah pihak-pihak pemegang kekuasaan publik atau pejabat

pemerintah melakukan perbutan menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Llihat dalam Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014 hlm.

14. 3 M. Marwan & Jimmy P., Kamus Hukum, (Yogyakarta: Gama Press, 2009), hlm. 384.

Page 21: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

3

Pejabat yang mempunyai kewenangan tertentu disebut sebagai pejabat

publik.

Fenomena maraknya para pejabat publik dan tokoh politik yang

terjerat kasus Tindak Pidana Korupsi, sudah cukup menimbulkan beragam

upaya-upaya aparat penegak hukum untuk menghentikannya. Fenomena

tersebut menunjukkan telah terjadinya penghianatan-penghianatan

terhadap amanat rakyat. Oleh karena itu, diperlukan tindakan-tindakan

yang dapat menimbulkan efek jera pada para pelaku tindak pidana

korupsi. Langkah yang dilakukan dengan memperberat hukuman pidana

ternyata belum terlaksana dengan cukup efektif, karena korupsi yang

dilakukan pejabat publik dan tokoh politik juga belum juga menyurut.4

Pasal 10 angka 1 menyebutkan bahwa pidana tambahan dapat

berupa pencabutan hak-hak tertentu. Hak-hak tertentu yang dimaksud

disini adalah hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu

yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) angka 1 atau hak memlih dan dipilih

dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum seperti

yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP. Pencabutan hak

tertentu seperti hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik sejatinya bisa

menjadi alat penjeraan bagi terpidana Tindak Pidana Korupsi sekaligus

menimbulkan rasa takut bagi para pejabat publik dan tokoh politik agar

tidak menjadi calon pelaku Tindak Pidana Korupsi yang semakin

merajalela diberbagai institusi negara

4 Munir Fuady, log.cit.

Page 22: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

4

Berdasarkan data yang diperoleh dari anti corruption clearing house,

Per 30 Juni 2017, di tahun 2017 KPK melakukan penanganan tindak

pidana korupsi dengan rincian : penyidikan 48 perkara, penyidikan 51

perkara, penuntutan 41 perkara, inkracht 40 perkara, dan eksekusi 40

perkara. Dan total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun

2004-2017 adalah penyidikan 896 perkara, penyidikan 618 perkara,

penuntutan 506 perkara, inkracht 428 perkara, dan eksekusi 454 perkara.5

Tindak kejahatan korupsi menjadi permasalahan yang tidak ada

habis-habisnya di negeri ini. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan

keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan

ekonomi masyarakat, Masalah tindak pidana korupsi sangat berkaitan erat

dengan ruang gerak yang cukup luas, dari individu atau kelompok. Akan

tetapi, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi

problem yang saat ini terjadi seperti masalah penegakan hukum tindak

kejahatan korupsi. Menurut Makhrus Munajat, perbuatan dianggap

sebagai tindak kejahatan karena merugian tatanan masyarakat,

kepercayaan-kepercayaan, harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan

lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut norma harus dipelihara,

dihormati dan dilindungi. 6Dengan demikian, suatu sanksi diterapkan

kepada pelanggar norma salah satunya sebagai upaya represif.7

5 http://acch.kpk.go.id/statistik-tindak-pidana-korupsi diakses pada tanggal 21 Oktober 2017, pukul 19.15 WITA. 6 Moh.Hatta, Kebijakan Politik Kriminal Penegakan Hukum dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan ,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.63. 7 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm.5.

Page 23: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

5

Ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang,

kenyataannya korupsi telah menimbulkan kerugian negara sangat besar

yang berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.8 Memerangi

korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa reformasi.

Sangat sulit mereformasi suatu negara jika korupsi merajalela.9 Tindak

pidana korupsi tidak hanya menjalar ke wilayah birokrasi pemerintah,

tetapi juga dalam sistem peradilan di Indonesia.10

Sudah banyak langkah teoritis dan praktis dilakukan untuk

memberantas korupsi di negeri ini.11 Dengan berbagai inovasi dalam

modus operandinya, korupsi dalam hukum positif Indonesia masuk dalam

daftar extraordinary crime. Korupsi di Indonesia telah berkembang dalam

tiga tahap. Pada tahap yang pertama yaitu tahap etis, “korupsi masih

menjadi patologi social yang khas dilingkungan para elit/pejabat”. Pada

tahap kedua yaitu endemic, “korupsi mewabah menjangkau lapisan

masyarakat luas”. Kemudian di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi

sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa”.

Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini telah sampai tahap sistemik.12

Ada beberapa contoh mantan narapidana yang mengikuti pemilihan

calon kepala daerah diantaranya adalah:

8 Anggi Prayurisman, Penerapan Sanksi Pidana di Bawah Ancaman Minimum Khusus dalam Perkara Tindak

Pidana Korupsi, Tesis , Fakultas Hukum Program Pascasarjana, Universitas Andalas Padang, 2011. hlm. 23. 9 Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika,2011) hlm 175. 10 Ibid. 11 Ibid. 12 Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, (Jakarta:Sinar Grafika,2010), hlm.11.

Page 24: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

6

Pertama (Elly Engebert Lasut), dipenjara 7 Tahun di Lembaga

Pemasyarakatan (LP) Kelas I Sukamiskin, Bandung Dalam kasus korupsi

Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif 2006-2008. Selain itu, juga

terjerat kasus korupsi Gerakan Daerah Orang Tua Asuh (GDOTA)

Kabupaten Kepulauan Talaud pada 2008. Mantan Bupati Talaud ini bebas

pada November 2014 dan mencalonkan diri sebagai calon Gubernur

Sulawesi Utara. Pencalonannya diusung oleh Partai Golkar.

Kedua (Jimmy Rimba Rogi) mantan Walikota Manado ini pernah

tersangkut korupsi Anggran Pendapatan dan Belanja Daeah Manado

2006-2007. Saat itu Badan Pemerikasa Keuangan menemukan

penyimpangan dan APBD sekitar Rp 69 miliar. Ditahan 7 Tahun dan

bebas pada Maret 2015, lalu kembali mencalonkan sebagai Wali Kota

Manado Sulawesi Utara. Pencalonan diusung oleh Partai Golkar, Partai

Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Hanura.

Ketiga (Vonny Panambunan) seorang pengusaha sekaligus mantan

Bupati Minahasa Utara ini pernah ditahan selama 18 bulan karena korupsi

proyek studi kelayakan pembangunan bandara Loa Kulo Kutai

Kartanegara pada tahun 2008. Juga diwajibkan membayar denda Rp 100

juta subside 6 bulan dan denda tambahan Rp 4 miliar, Lalu, kembali

mencalonkan diri sebagai Bupati Minahasa Utara dan diusung oleh Partai

Gerindra.

Keempat (Soemarmo Hadi Saputro) mantan Bupati Semarang ini

kembali mencalonkan diri untuk jabatan yang sama pada pemilihan kepala

Page 25: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

7

daerah tahun 2015. Diusung Partai Keadilan Sejahtera dan Partai

Kebangkitan Bangsa, Padahal, pernah terjerat kasus suap Rancangan

Peraturan daerah mengenai APBD Kota Semarang pada tahun 2012,

dihukum penjara 1,5 tahun.

Kelima (Abu Bahar Akhmad) mantan Bupati Dompu, Nusa Tenggara

Barat ini kembali mencalonkan diri sebagai Bupati Dompu , diusung oleh

Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Bulan Bintang.

Setalah dinyatakan bebas bersyarat pada 2010 setelah dijatuhi hukuman

penjara akibat korupsi APBD Dompu 2006. Tindakannya merugikan

negara sebesar Rp 3,5 miliar.

Keenam (Usman Ikhsan) mantan Bupati Sidoarjo, Jawa Timur,

pernah ditahan 8 tahun penjara akibat korupsi SDM DPRD Sidoarjo.

Tindakannya merugikan negara sebesar Rp 21 miliar. Kini mencalonkan

lagi sebagai Bupati Sidoarjo, diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera dan

Partai Gerindra.

Ketujuh (Amjad Lawas) mantan sekertaris daerah Sulawesi Tengah

ini mencalonkan diri sebagai Bupati Poso. Diusung Partai Gerindra dan

Partai Amanat Nasional. Padahal pernah terjerat korupsi tukar guling

tanah di Poso pada tahun 2010,

Kedelapan (Azwar Chesputra, mencalonkan diri Bupati Limapuluh

Kota, Sumatera Barat). Pernah tersangkut korupsi alih fungsi hutan

lindung Pantai Air Talang, kabupaten Banyu Asin Sumatera Selatan.

Page 26: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

8

Pencalonan diusung Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai

Demokrat, Partai Hanura dan Partai Bulan Bintang.

Daftar mantan narapidana yang mengikuti pemilihan calon kepala

daerah di atas hanya sebagian saja. Daftar tersebut belum mencapai

seluruh data latar belakang calon kepala daerah yang telah terdaftar di

Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut informasi, masih banyak mantan

narapidana lain yang diusung oleh partai politik karena mereka unggul

dalam survey politik. Eletabilitas tersebut kebanyakan di sosial

masyarakat, meskipun itu dilakukan karena kekayaan yang berasal dari

praktek ilegal.13

Disamping itu penegakan hukum harus melindungi hak konstitusional

warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang

pasti. Sedangkan dalam bidang hukum pidana dimuat dalam pasal 1 ayat

(1) KUHP yang diterjemahkan sebagai asas legalitas. Dengan demikian,

maka setiap tindakan dalam proses hukum harus mengacu kepada suatu

perbuatan yang tertulis yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh

perundang-undangan.14

Lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-

Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dimaksudkan

untuk mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

13 Putri Adiyowati, https://nasional.tempo.co/read/.../ini-9-bekas-napi-yang-kini-jadi-calon-kepala-

daerah,diakses pada Tanggal 1 November 2017, pukul 16.45 WITA. 14 Chaeruddin.dkk., Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung:PT Refika

Aditma, 2008), hlm. 5.

Page 27: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

9

Adanya perubahan baik hukum materiil maupun hukum formal serta

ditingkatkannya ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan upaya pemerintah

untuk memusnahkan tindak pidana korupsi yang semakin bertambah.

Akan tetapi, usaha pemerintah memberantas tindak pidana korupsi di

Indonesia yang sudah mengakar ke berbagai lapisan, tidaklah semudah

membalikkan telapak tangan.15

Berkaitan dengan pelaksanaan putusan pidana, Pasal 10 KUHP

mengatur tentang jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa

tindak pidana korupsi yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana

pokok dalam Pasal tesebut terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana

kurungan dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari

pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan

pengumuman putusan pengadilan. Selain ketentuan pidana tambahan

yang terdapat dalam KUHP, jenis pidana tambahan juga dirumuskan

dalam Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 antara lain:

1. Perampasan barang bergerak atau tidak bergerak atau berwujud atau tidak berwujud yang diperoleh dari hasil korupsi.

2. Pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya. 3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling

lama 1 tahun. 4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau

penghapusan hak-hak tertentu.16

15 Murtir Jeddawi, Manifestasi Otonomi Daerah Arah Kebijakan Publik dan Relasasi Pelaksanaan Otonomi Sebagai Acuan Bagi Pemerintah Daerah,(Yogyakarta: Total Media, 2011), hlm. 185. 16 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi , (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 14.

Page 28: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

10

Pencabutan hak pilih (hak politik) narapidana korupsi adalah langkah

progresif yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung. Sehingga

putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi bagi hakim dan lembaga

peradilan dibawahnya untuk menjatuhkan hukuman yang sama. Langkah

ini sangat mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi. Namun,

harus ditegaskan mengenai limit waktu pencabutan hak pilih dan dipilih

tersebut, agar dapat memberikan rasa keadilan sebagaimana tujuan

hukum itu sendiri yang mengutamakan keadilan, kepastian hukum dan

juga kemanfaatan hukum itu terhadap masyarakat. Limit waktu sebagai

batas pencabutan hak pilih (hak politik) bagi koruptor diatur dalam Pasal

38 KUHP, ayat (1) menyebutkan :

Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:

1. Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup;

2. Dalam hal pidana penjara dalam waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;

3. Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.

Limit waktu sebagai batas pencabutan hak pilih bagi koruptor dalam

putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.4/PUU/VII/2009, “berlaku terbatas

jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai

menjalankan hukumannya” dengan syarat mantan terpidana jujur

mengakui sebagai mantan narapidana. Kemudian MK mengeluarkan lagi

putusan No. 42/PUU-XIII/2015 atas yudisial review terhadap Pasal 7 huruf

g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor

Page 29: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

11

1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, disebutkan

inkonstitusional bersyarat sepanjang narapidana yang bersangkutan jujur

di depan publik. MK juga menghapus penjelasan Pasal 7 huruf g yang

memuat 4 (empat) syarat bagi mantan narapidana agar bisa mencalonkan

diri sebagai kepala daerah sesuai dengan Putusan MK

No.4/PUU/VII/2009.

Dasar pertimbangan MK, bahwa pasal larangan mantan narapidana

yang diancam hukuman lima tahun atau lebih untuk mencalonkan diri

sebagai kepada daerah itu dinilai sewenang-wenang seolah-olah

pembentuk Undang-Undang menghukum seseorang tanpa batas.

Sehingga jelaslah berdasarkan kedua Putusan MK diatas menjelaskan

adanya batasan mengenai mantan narapidana untuk kembali mengikuti

pemilu sebagai calon legislatife atau kepala daerah.

Akan tetapi , Pertama putusan MA tidak mencantumkan limitasi

pencabutan hak pilih (hak politik) atas mantan Korp Lantas Inspektur

Jendarl Djoko Susilo, pencabutan hak pilih aktif dan pasif yang dijatuhkan

Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap Mantan

Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Susilo

dalam kasus korupsi simulator SIM. Djoko Susilo juga dijatuhi pidana

pokok 18 tahun penjara, denda 1 miliar rupiah serta pidana tambahan

berupa pembayaran uang pengganti sebesar 32 miliar rupiah. Kedua ,

putusan kasasi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih pasif atau

hak untuk dipilih dalam pemilihan umum yang dijatuhkan oleh Mahkamah

Page 30: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

12

Agung (MA) terhadap politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi

Hasan Ishaaq. Disini Luthfi Hasan Ishaaq masih memiliki hak untuk

memilih. Putusan tersebut dijatuhkan lantaran Luthfi terbukti telah

menerima suap dalam kasus impor daging sapi di Kementerian Pertanian.

Majelis Hakim yang juga memutus pidana kepada Djoko Susilo yang

terdiri atas Artidjo Alkostar, Moh. Askin, dan MS Lumme juga

memperberat hukuman pidana mantan presiden PKS tersebut yang

semula pidana pokok 16 tahun penjara menjadi pidana pokok 18 tahun

penjara serta denda 1 miliar rupiah dengan penjara pengganti (subsidair)

satu tahun penjara jika tidak membayar pidana denda.

Meskipun terpidana adalah orang yang secara hukum dinyatakan

bersalah dan harus menjalankan hukuman yang telah diputuskan

pengadilan, namun memiliki hak yang tetap harus dilindungi oleh negara

sebagai eksekutor pidana. Terutama berkaitan dengan hak asasi manusia

yang melekat dalam diri manusia dan tidak dapat dihapuskan, serta

merupakan hak kodrati karena bermahzab pada hukum kodrati, sehingga

hak asasi bersifat juga hak alami, Untuk membedakan antara hak alami

(natural law right) dan hak hukum (legal right) adalah bahwa hak hukum

lebih menekankan sisi legalitas formal sedangkan hak alami menegakkan

sisi alamiah manusia (natural human being) yang tidak terpisahkan

dengan dimensi kehidupan manusia (inalienable rights). Hak asasi

manusia adalah hak yang melekat pada manusia sebagai manusia. Hak

ini bersifat fundamental, Universal, dan tidak dapat dipisahkan dari

Page 31: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

13

manusia. Selain itu bersifat umum, sering berhadapan dengan kedaulatan

negara dan bersifat internasional. Kedudukan negara berkaitan dengan

konstitusi yang didalamnya berisi jaminan HAM. Hal ini sesuai dengan

Deklarasi Hak Asasi Manusia yaitu hak asasi manusia merupakan

prasyarat yang harus ada dalam kehidupan manusia untuk dapat hidup

sesuai dengan fitrah kemanusiaannya.17

Menurut Undang-Undang International HAM (International Bill Of

Rights). Hak sipil dan politik yang dapat direstriksi/dibatasi adalah hak

mempunyai pendapat, hak kebebasan berserikat. Restriksi didasarkan

pada kepentingan keamanan nasional dan kesesuaian umum atau

perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain.18

Pada dasarnya hak asasi manusia dapat dibatasi berdasarkan

undang-undang, namun dalam pembatasannya tersebut secara tegas

disebutkan secara limitatif waktu pencabutannya agar tidak terjadi

pelanggaran terhadap hak asasi manusia pihak terpidana. Jika ini tidak

dilakukan maka dapat berakibat terjadinya faktor kriminogen terhadap

terpidana yang dilakuan oleh negara melalui perlengkapannya. Akibatnya

terjadi pelanggaran HAM oleh negara yaitu terpidana menjadi korban

pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim sebagai pejabat negara melalui

putusannya.19

17 Waih Anjari, Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, diakses pada

jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/37 Tanggal 1 November 2017pukul 16.32 WITA.hlm. 25. 18 Ibid. 19 Ibid. hlm.26.

Page 32: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

14

Dalam sistem pemidanaan penjatuhan pidana terhadap terpidana

merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana baik secara

khusus maupun secara umum, serta memiliki efek deterrence baik special

maupun general. Sehingga akibat dari pemidanaan yang dijatuhkan harus

dapat bermanfaat baik bagi terpidana maupun masyarakat. Penerapan

pidana merupakan bagian dari penegakan hukum pidana, dipengaruhi

oleh profesionalitas penegak hukum. Menurut Soekanto terdapat lima

faktor yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu :

1. Faktor hukum dan Undang-Undang 2. Faktor penegak hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas 4. Faktor masyarakat dan 5. Faktor kebudayaan20

Dengan demikian dapat diprediksikan keefektifannya di masa depan.

Kemudian yang melatar belakangi penulis sebenarnya adalah tumpang

tindih limitasi pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik

tersebut menimbulkan konflik norma dasar yuridis limitasi pencabutan hak

memilih dan dipilih dalam jabatan publik bagi pelaku tindak pidana korupsi

dan bagaimana kemudian HAM memandang kedudukan pencabutan Hak

politik ini, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam penulisan

dengan tema “Pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik

sebagai pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana korupsi”.

20 Ibid. hlm. 28.

Page 33: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

15

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah regulasi pencabutan hak memilih dan dipilih dalam

jabatan publik sebagai pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana

korupsi jika dikaitkan dengan penerapaan hak asasi manusia ?

2. Bagaimanakah implementasi hukum terhadap pencabutan hak

memilih dan dipilih dalam jabatan publik sebagai pidana tambahan

bagi pelaku tindak pidana korupsi ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan memahami regulasi pencabutan hak memilih

dan dipilih dalam jabatan publik sebagai pidana tambahan bagi

pelaku tindak pidana korupsi jika dikaitkan dengan penerapan hak

asasi manusia.

2. Untuk mengetahui dan memahami implementasi hukum terhadap

pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik sebagai

pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana korupsi.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan secara Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu hukum, khususnya untuk memperluas

pengetahuan dan menambah referensi khususnya tentang hal-hal

yang berkaitan dengan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam

Page 34: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

16

jabatan publik sebagai pidana tambahan dalam tindak pidana

korupsi.

2. Kegunaan secara Praktis

Dalam penegakan hukum diharapkan dapat sebagai sumbangan

pemikiran yang dapat dipakai para pengambil kebijakan para

penegak hukum khususnya dalam mengenai masalah pencabutan

hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik sebagai tindak pidana

tambahan dalam tindak pidana korupsi.

Page 35: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pencabutan Hak

Dalam konstruksi hukum pidana, pencabutan hak tertentu

merupakan salah satu pidana tambahan. Kata “tertentu dalam pencabutan

hak mengandung makna bahwa pencabutan tidak dapat dilakukan

terhadap semua hak. Hanya hak-hak tertentu saja yang boleh dicabut.

Apabila semua hak dicabut , akan membawa konsekuensi terpidana

kehilangan semua haknya termasuk kesempatan untuk hidup.21

Pencabutan hak-hak tertentu hanya untuk tindak pidana yang tegas

ditentukan oleh Undang-Undang bahwa tindak pidana tersebut diancam

oleh pidana tambahan. Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak

tertentu bukan berarti hak-hak terpidana dapat dicabut semuanya.

Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak hidup, hak sipil

(perdata), dan hak ketatanegaraan. Terdapat dua hal tentang pencabutan

hak-hak tertentu, yaitu :22

1. Tidak bersifat otomatis, harus diterapkan dengan putusan hakim. 2. Tidak berlaku seumur hidup, ada jangka waktu tertentu menurut

peraturan perUndang-Undangan yang berlaku dengan suatu putusan hakim.

21https://media.neliti.com/media/publications/35620-ID-urgensi-pencabutan-hak-menduduki-jabatan-publik-bagi-pelaku-tindak-pidana-korups.pdf diakses, 2 November 2017.pukul 15.29 WITA. 22 Evi Hartanti, Op.cit., hlm 65.

Page 36: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

18

Apabila mengamati kembali dengan seksama pada Pasal 10 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka ada beberapa jenis pidana

tambahan terdiri atas :23

1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim.

Pencabutan hak-hak tertentu diatur lebih lanjut sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 35 KUPH, yaitu :24

a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; b. Hak memasuki angkatan bersenjata; c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan

berdasarkan aturan-aturan umum; d. Hak menjadi penasehat (roadmans), atau pengurus menurut

hukum (gerechtelijk bewindvperder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, terhadap orang yang bukan anaknya sendiri;

e. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.

Selanjutnya, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi menyebutkan selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan

adalah :25

a. Perampasan baik yang berwujud maupun tidak terhadap suatu barang dari hasil kejahatan berupa korupsi, termasuk tempat dia melakukan perbuatan korupsi misalnya perusahaan, dan barang yang bisa menggantikan barang dari hasil tindak pidana korupsi;

b. Pelunasan dengan membayar berupa sejumlah uang sebagai penganti dengan yang diperoleh dari hasil kejahatan korupsi;

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

23 Lihat pasal 10 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana , Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 24 Lihat pasal 35 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana , Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 25 Lihat pasal 18 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 37: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

19

d. Pemberian hukuman lain berupa hak-hak tertentu yang di cabut atau keseluruhan keuntungan atau sebagian atau diberikan oleh pemerintah kepada terdakwa baik yang sudah ataupun tidak.

B. Hak Asasi Manusia

1. Pengertian Hak Asasi Manusia

Istialah “hak asasi manusia” merupakan terjemahan dari drois de

I’homme (bahasa Prancis) yang memiliki arti sama. Etimologi kata “hak

asasi manusia” dapat dipecah menjadi tiga kata yaitu “hak”, “asasi”, dan

“manusia”.26

1. Etimologi “hak” berasal dari bahasa Arab Haqq yang merupakan bentuk tunggal dari kata Huqq. Istilah haqq, diambil dari kata Haqqa, Yahiqqu, haqqaan yang berarti “ benar”, “nyata”, “pasti”, “tetap”, dan “wajib”.

2. Etimologi “asasi” berasal dari bahasa Arab asasy yang merupakan bentuk tuggal usus yang berasal dari akar kata assa, yaussu, asasaan yang berarti “membangun”, “mendirikan”, dan “meletakkan”.

3. Etimologi “manusia” berasal dari bahasa Sansekerta manu yang berarti “manusia” dan bahasa Latin sens yang berarti “berpikir” atau “berakal budi”.

Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia, kodrati dan alami sebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Kuasa. Hak Asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah

diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya

didalam kehidupan masyarakat. 27Oleh Karena itu, wajib dihormati,

dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap

orang. Nilai-nilai persamaan, kebebasan, dan keadilan yang terkandung

26 Damang, S.H.,M.H.,http:// http://www.negarahukum.com/hukum/defenisi-hak-asasi-manusia.html, diakses tanggap 2 November 2017.pukul 16.40 WITA. 27 Mariam Budiarjo.Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.2008. hlm 120.

Page 38: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

20

dalam HAM dapat mendorong terciptanya masyarakat yang menjadi ciri

civil society28

Drs. C. S. T. Kansil, SH :

“Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak mutlak (absolute) yaitu hak yang memberikan wewenang kepada seseorang atau individu untuk melakukan sesuatu perbuatan, hak mana dapat dipertahankan siapapun juga. Dan sebaliknya setiap orang harus menghormati hak tersebut. Dengan demikian Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat (inheren) pada individu yang bersifat mutlak.”29

Pengertian Hak Asasi Manusia berdasarkan Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia adalah :30

“seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Hak Asasi Manusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2000 Tentang Peradilan HAM Pasal (1) adalah :31

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

2. Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia

D.F Scheltens dalam bukunya Men en Mensenrechten,

membedakan antara Mensenrechten (hak asasi manusia) dengan

28 El Muhtaj Madja. Dimensi-Dimensi HAM Menguraikan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. PT.Grafindo

Persada.2008.hlm.1. 29 Kansil CST, “Pengantar Ilmu Hukum Data Hukum Indonesia”, Jakarta, Balai Pustaka, 1986.Lihat Bambang

Heri Supriyanto, Penegakan Hukum Mengenai HAM Menurut Hukum Positif di Indonesia, Vol.2,2014, hlm. 153. 30 Lihat Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 31 Lihat pasal 1 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Page 39: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

21

Groundrechten (hak dasar manusia). Perbedaan keduanya menurut

Aswanto (1999:20) sebagai berikut :32

1. Hak Dasar, diambil dari terjemahan Grondrechten merupakan hak yang diperoleh seseorang, karena menjadi warga negara dari satu negara. Dasar dari hak dasar berasal dari negara, bersifat domestik dan tidak bersifat universal.

2. Hak asasi, berasal dari terjemahan Mensen Rechten ialah hak yang diperoleh seseorang karena dia manusia dan bersifat universal. Sedangkan di Indonesia antara hak dasar dan hak asasi tidak dibedakan dan disebut dengan hak asasi manusia”.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia, diatur mengenai hak asasi manusia yang bersifat mutlak (non

derogable), yaitu :33

- Hak untuk hidup; - Hak untuk tidak disiksa; - Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; - Hak beragama; - Hak untuk tidak diperbudak; - Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan

hukum; - Hak untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Sedangkan hak yang bersifat dapat ditangguhkan/dikurangi pelaksanaannya (derogable right) yaitu :

- Hak untuk bekerja; - Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik; - Hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi; - Hak mendapatkan pendidikan; - Hak berpartisipasi dan berbudaya (hak ekonomi, sosial dan

budaya).

Secara garis besarnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang mengatur Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia (Pasal 9 s/d 66), terdiri dari :34

a) Hak untuk hidup;

32 Aswanto,Hukum dan Kekuasaan,Rangkang Education, Yogyakarta,2012, hlm.105. 33 Walih Anjari, Op.cit., hlm.25. 34 Aswanto, Op.Cit.,106

Page 40: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

22

b) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; c) Hak mengembangkan diri; d) Hak memperoleh keadilan; e) Hak atas kebebasan pribadi; f) Hak atas rasa aman; g) Hak atas kesejahteraan; h) Hak turut serta dalam pemerintahan; i) Hak wanita j) Hak anak.

Selain pengelompikan HAM seperti tersebut di atas dikenal juga right to

self determination; women’s rights; non discrimination; protection of

children; protection of minorities, yang merupakan kelompok classical

rights, serta generasi baru dari HAM yaitu : hak membangun, hak

informasi serta hak lingkungan hidup.

3. Hak memilih dan Dipilih Sebagai Hak Asasi Manusia

Sejak lahirnya NRI tahun 1945 bangsa ini telah menjunjung tinggi

Hak Asasi Manusia (HAM). Sikap tersebut nampak dari Pancasila dan

UUD 1945, yang memuat beberapa ketentuan-ketentuan tentang

penghormatan HAM warga negara. Sehingga pada praktek

penyelenggaraan negara, perlindungan, atau penjaminan terhadap HAM

dan hak-hak warga negara (citizen’s rights) atau hak-hak constitusional

warga negara (the citizen’s constitutional rights) dapat terlaksana. Hak

memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar

(basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin

pemenuhannya oleh negara. Hak politik warga negara yang mencakup

hak untuk memilih dan dipilih, penjaminan hak dipilih secara tersurat

dalam UUD NKRI Tahun 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28,

Page 41: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

23

Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3);. Sementara hak memilih juga

diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A (1); Pasal 19 ayat

(1) dan Pasal 22C (1) UUD NRI Tahun 1945. Perumusan pada pasal-

pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminilasi

mengenai ras, kekayaan, agama, dan keturunan. Setiap warga negara

mempunyai hak yang sama dan implementasi hak dan kewajiban pun

harus bersama-sama. Ketentuan UUD NKRI Tahun 1945 atas

mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi

setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak politik warga

negara dan secara lebih khusus lagi berkaitan dengan hak pilih setiap

warga negara dalam pemilihan umum di Indonesia .

Dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia, Hak

politik warga Negara diatur dalam bab hak turut serta dalam pemerintah,

yakni diatur dalam Pasal 43 ayat (1), (2), dan (3) serta pasal 44 yang

berbunyi sebagai berikut :35

Pasal 43

(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintah dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perUndang-Undangan.

(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

35 Lihat pasal 43 dan 44 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Page 42: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

24

Pasal 44

Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efesien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari semua konsepsi perlindungan hak politik sebagaimana yang telah dibahas diatas, maka secara general, hak politik yang dilindungi instrument hukum internasional maupun hukum nasional Republik Indonesia mencakup hak-hak sebagai berikut :

1. Hak masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam pemelihan umum.

2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya.

3. Hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah baik dengan lisan maupun dengan tulisan.

4. Hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan publik dalam pemerintahan.

Hak pertama yakni untuk hak dipilih dan memilih dalam pemilihan

umum tercermin dalam bentuk partisipasi masyarakat untuk ikut dalam

memberikan suara dalam pemilu dan mencalonkan diri menjadi calon

pejabat publik dalam pemilihan umum. Khusus hak politik untuk dipilih

merupakan ranah politik praktis dimana jabatan-jabatan politik tersedia

antara lain : Jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang pemilihannya

berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 juncto Undang -

Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Presiden dan

Wakil Presiden. Jabatan Gubernur, Bupati, Wali Kota sebagaimana yang

diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Terakhir Jabatan

Anggota DPR, DPD dan DPRD yang pengaturannya diatur dalam

Page 43: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

25

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, Undang-Undang

mengatur pula tentang pembatasan atas hak-hak tersebut. Berdasarkan

ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dinyatakan bahwa :36

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945,

jelas menunjukkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya,

dimungkinkan adanya pembatasan. Pembatasan yang demikian ini

mengacu pada ketentuan pasal tersebut harus diatur dalam Undang -

Undang, artinya tanpa adanya pengaturan tentang pembatasan tersebut

maka tidak dimungkinkan adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak

dan kebebasaan yang melekat pada setiap orang dan warga negara

Indonesia. Kerangka hukum yang demikian ini perlu untuk dipahami

secara bersama-sama dalam rangka memaknai “hak” yang telah diakui

dan diatur secara hukum di Indonesia. Kondisi demikian tersebut diatas,

apabila mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang

36 Lihat pasal 28J ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 44: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

26

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menunjukkan adanya

bentuk pelanggaran hukum terhadap jaminan hak memilih dan dipilih yang

melekat pada warga negara Indonesia. Adanya ruang untuk melakukan

pembatasan tersebut sebagaimana yang telah dipaparkan diatas,

melahirkan pengaturan bahwa hak memilih dan dipilih tersebut

dimungkinkan untuk tidak melekat pada semua warga negara Indonesia.

Artinya, hak memilih tersebut diberikan pembatasan-pembatasan

sehingga warga negara yang diberikan jaminan memiliki hak dipilih dan

memilih tersebut benar-benar merupakan warga negara yang telah

memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.37

C. Jabatan Publik

Istilah Pejabat Publik akan mengundang berbagai pendapat atau

pandangan mengenai apa itu pengertian Pejabat Publik. Dari berbagai

pandangan tersebut, hanya akan dikemukakan pendapat dan pandangan

menurut prespektif hukum. Prespektif hukum yang dimaksudkan adalah

bagaimana para sarjana hukum, dan ketentutan hukum positif nasional

kita memberi pengertian tentang apa itu Pejabat Publik.

Pejabat Publik terdiri dari dua suku kata, yaitu Pejabat dan Publik.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) memberi pengertian Pejabat

dengan pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur

37 https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-sarana-pelaksanaan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu diakses Tanggal 2 November 2017pukul 12.46 WITA.

Page 45: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

27

pimpinan). Sementara, istilah Publik diartikan dengan orang banyak

(umum). Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa Pejabat Publik adalah

pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting sebagai pempinan

yang demikian, seseorang dapat dikatakan sebagai Pejabat Publik apabila

memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: (i) bahwa dia adalah pegawai pemerintah;

(ii) menjabat sebagai pimpinan; dan (iii) bahwa tugasnya adalah

mengurusi kepentingan orang banyak.

Dalam kaitannya dengan hukum tata negara dan hukum administrasi

negara, istilah “Pejabat Publik” memiliki makna yang semilar (sama)

dengan istilah “Pejabat Tata Usaha Negara”. Oleh karenanya, perlu

dikemukakan pendapat Hans Kelsen sebagaimana dikemukakan oleh

Jimly Asshiddiqie, bahwa setiap jabatan yang menjalankan fungsi-fungsi

law creating function and law applying function adalah pejabat tata usaha

negara. Artinya, bahwa setiap jabatan yang melaksanakan fungsi-fungsi

pembuatan dan pelaksanaan norma hukum negara dapat disebut sebagai

pejabat tata usaha negara atau pejabat publik.

Pandangan Hans Kelsen tersebut juga mensyaratkan 3 (tiga) hal,

yaitu : (i) adanya jabatan; (ii) adanya fungsi pembentukan norma hukum

negara yang melekat pada jabatan tersebut; dan (iii) selain fungsi

pembuatan norma hukum negara, juga melekat fungsi pelaksanaan norma

hukum negara pada jabatan tersebut. Pengertian jabatan disini barangkali

dapat dirujuk sebagaimana dikemukakan di atas.

Page 46: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

28

Dalam menggali pengertian yang lebih mendalam tentang Pejabat

Publik, dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara, perlu dikemukakan

bagaimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang -

Undang Nomor 9 Tahun 2004 (UU No.5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun

2004) tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor

14 Tahun 2008 (UU No. 8 Tahun 2008) tentang Keterbukaan Informasi

Publik.

UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004, pada Pasal 1 angka

2 menyatakan : Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan

atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan

peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Badan yang dimaksudkan

disini adalah institusi atau organ, sementara pejabat adalah orang

perorangan yang menduduki jabatan tertentu. Jika dicermati bunyi

ketentuan tersebut, bahwa Pejabat Tata Usaha Negara itu bukan hanya

pegawai pemerintah saja, akan tetapi siapapun, institusi atau orang per

orang, yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan atas amanat dari

peraturan perUndang-Undangan, dapat disebut sebagai Pejabat Tata

Usaha Negara.

UU No. 8 Tahun 2008 memberi peristilahan yang lebih tegas dan

jelas, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 8 : Pejabat

Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki

posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sementara, yang

dimaksud badan publik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3

Page 47: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

29

Undang-Undang yang sama : Badan Publik adalah lembaga eksekutif,

legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya

berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh

dananya bersumber dari Anggaran Pendapat dan Belanja Negara

dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi

nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar

negeri.

Dari berbagai pandangan yang dipaparkan mengenai pengertian

Pejabat Publik, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan

“Pejabat Publik” adalah orang yang menduduki jabatan pada organ

pemerintahan atau nonpemerintahan, yang tugas dan fungsi pokoknya

berkaitan dengan penyelenggara negara, dimana untuk menjalankan

tugas dan fungsi tersebut digunakan dana yang bersumber dari keuangan

negara (APBN dan/atau APBD), apakah sebagian atau seluruhnya.

D. Pidana dan Pemidanaan

1. Pengertian Pidana

Pidana berasal dari kata straf (bahasa belanda), yang adakalanya

disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah

hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.

Page 48: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

30

Menurut Adami Chazawi,38 pidana lebih tepat didefinisikan sebagai :

Suatu perbuatan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara kepada

seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya

atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara

khusus larangan hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana

(strafbaar feit).

Menurut Soedarto,39 pidana adalah nestapa yang diberikan oleh

negara kepada seseorang yang melakukan palanggaran terhadap

ketentuan Undang-Undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan

sebagai nestapa.

Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan

kepada seseorang pelanggar ketentuan Undang-Undang tidak lain

dimasukkan agar orang itu menjadi jerah. Sanksi yang tajam dalam

hukum pidana inilah yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum

lain. Ini sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai

sarana terakhir apabila sanksi dan upaya-upaya pada bidang hukum yang

lain tidak memadai.

38 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian1. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 2008 hlm.56 39 Nini Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Sistem Pemidanaan. Sinar Grafika.

2007:Jakarta. Hlm 11.

Page 49: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

31

2. Jenis-Jenis Pemidanaan

2.1. Jenis Pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP)

Hukum Pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana,

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yakni :40

a. Pidana Mati

Di dalam Negara Indonesia tindak pidana yang diancam pidana mati

semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111

ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal

340 KUHP, Pasal 365 ayat 4 KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.

Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan

akan dilaksanakan setelah mendapatkan fiat eksekusi dari Presiden

(Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun seandainya terpidana

tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian untuk pelaksanaan

pidana mati tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa

ketentuan yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No.

3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.

b. Pidana Penjara

Menurut Andi Hamzah, menegaskan bahwa “Pidana penjara

merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan.” Pidana

40 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, 2012:

Yogyakarta. Hlm. 107.

Page 50: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

32

penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam

bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.

Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam Pasal 12 KUHP yang berbunyi :41

1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu. 2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu

hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. 3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua

puluh tahun berturut-turut dalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih antara Pidana Mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antara pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), penggulangan (residive) atau karena yang telah ditentukan dalam Pasal 52.

4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.

c. Kurungan

Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan

pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat

ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP

yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama hukuman

pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama

satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP bahwa:

“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali -kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”.

41 Lihat pasal 12 Kitab Undang –Undang Hukum Pidana Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946.

Page 51: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

33

d. Pidana Denda

Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari

pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah

kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh

Hakim/Pegadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karena ia

melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

Oleh karena itu pula pidana denda dapat dipikul oleh orang lain

selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi,

tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh atas nama

terpidana.

2. Pidana Tambahan

a. Pencabutan Hak – Hak tertentu

Pada dasarnya para penyusun Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana kita telah menolak lembaga pencabutan hak-hak , melainkan

mereka hanya menginginkan agar jenis-jenis hak yang dapat dicabut itu

hanyalah hak-hak, yang menurut sifat dan tindak pidana yang telah

dilakukan oleh seseorang itu, ternyata telah disalahgunakan oleh orang

tersebut. Menurut pendapat mereka, orang seperti tidak pantas untuk

diberikan hak yang ternyata telah digunakannya secara salah.42

42 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang,Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, 2010:Jakarta . hlm. 87.

Page 52: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

34

Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat

dicabut oleh hakim dengan suatu putusan adalah :43

1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; 2) Hak untuk memasuki angkatan bersenjata; 3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan

berdasarkan aturan-aturan umum; 4) Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan

pengadilan, hak menjadi wali, wali atas orang yang bukan anaknya sendiri;

5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau pengampuan atas anaknya sendiri;

6) Hak menjalankan mata pencarian tertentu.

Dalam hal dilakukan pencabutan hak, pasal 38 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak sebagai berikut :44

1) Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka

lamanya pencabutan adalah seumur hidup. 2) Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana

kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lama dari pidana pokoknya.

3) Dalam hal pidana denda, lamanya pidana pencabutan sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.

Pencabutan hak tersebut mulai berlaku pada hari putusan hakim

dapat dijalankan . Dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat seorang

pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan

penguasa lain untuk pemecatan itu.

43 Lihat pasal 35 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 44 Lihat pasal 38 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946.

Page 53: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

35

b. Perampasan barang-barang tertentu

Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti hanya pidana denda. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu : 45

1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang disengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;

2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hak-hak yang telah ditentukan dalam Undang-Undang;

3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

Perampasan atas barang-barang yang tidak disita sebelumnya

diganti menjadi pidana kurungan apabila barang-barang itu tidak

diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak

dibayar. Kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama

enam bulan. Kurungan pengganti ini juga dihapus jika barang-barang

yang dirampas diserahkan.

c. Pengumuman Putusan Hakim

Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang mengatur bahwa:46

“apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab Undang-Undang ini atau aturan umum yang lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh Undang -undang”.

45 Lihat pasal 39 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 46 Lihat pasal 43 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946.

Page 54: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

36

Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini dimaksudkan

terutama untuk pencegahan agar masyarakat terhindar dari kelihaian

busuk atau kesembronoan seorang pelaku. Pidana tambahan ini hanya

dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal -

pasal tindak pidana tertentu.

2.2. Jenis – Jenis Pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK)

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang PTPK, jenis penjatuhan

pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana

korupsi adalah sebagai berikut :47

a. Pidana Mati

Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) Undang -

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan dalam

“keadaan tertentu”. Adapun yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”

adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak

pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya

47 Evi Hartanti, Op.cit. hlm.12.

Page 55: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

37

sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana

alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada

saat negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).

b. Pidana Penjara

Dalam hukum pidana korupsi terdapat 2 (dua) jenis pidana pokok

yang dijatuhkan bersamaan, yakni pidana penjara dan pidana denda.

Dalam penerapannya sistem penjatuhan pidana pokok tersebut terbagi 2

(dua) macam, yakni penjatuhan 2 (dua) macam, yakni penjatuhan 2 (dua)

jenis pidana pokok yang bersifat imperatif, dimana antara pidana penjara

dan pidana denda wajib dijatuhkan secara serentak. Sistem imperatif -

kumulatif ini diancam pada tindak pidana korupsi yang paling berat.

Adapun yang kedua yaitu penjatuhan 2 (dua) jenis pidana pokok yang

bersifat imperatif dan fakultatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana

denda. Diantara 2 (dua) jenis pokok ini wajib dijatuhkan ialah pidana

penjara (imperatif), namun dapat pula dijatuhkan secara kumulatif dengan

pidana denda (fakultatif) bersama-sama (kumulatif) dengan pidana

penjara. Mengenai sifat fakultatif ini, jika dibandingkan dengan KUHP, sifat

penjatuhan pidana fakultatif ini hanya ada pada jenis-jenis pidana

tambahan. Sistem penjatuhan pemidanaan imperatif-fakultatif ini

dirumuskan pada Pasal 3, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 13,

Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU PTPK.

Page 56: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

38

Selanjutnya mengenai ancaman minimum dan maksimum, dalam UU

PTPK, pemidanaan pada tindak pidana korupsi menetapkan ancaman

minimum dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara maupun

pidana denda. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang ada dalam KUHP

dimana dalam pemidananya hanya diatur ancaman pidana maksimum

umum dan minimum umum.

c. Pidana Tambahan

Pidana tambahan diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi :48

1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak

berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang -barang tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak -banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

48 Lihat pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 57: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

39

hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dapat dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

3) Dalam hal terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar yang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan dalam Undang-Undang ini dan lamanya pidana tersubut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

d. Gugatan Perdata kepada Ahli Warisnya

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan

pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada

kerugian negara, maka penuntut umum segara menyerahkan salinan

berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau

diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan

perdata kepada ahli warisanya.

e. Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh atau Atas

Nama Suatu Korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan

ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini

melalui prosedural ketentuan Pasal 20 (Ayat 1-6) Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 58: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

40

E. Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni Corruptio

atau Corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya disalin dalam

bahasa Inggris menjadi corrution atau corrupt dalam bahasa Prancis

menjadi istilah corruptie (korrutie). Agaknya dari bahasa Belanda itulah

lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia.49 Corruptie yang juga disalin

menjadi corruptíën dalam bahasa Belanda itu mengandung arti perbuatan

korup, penyuapan. 50Secara harfiah istilah tersebut berarti segala macam

perbuatan yang tidak baik, seperti yang dikatakan Andi Hamzah sebagai

kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak

bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang

menghina atau memfitnah.51

Dalam Black’s Law Dictionary,

“korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakter untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain.”52

Selama ini istilah korupsi mengacu pada berbagai aktivitas/tindakan

secara tersembunyi dan ilegal untuk mendapatkan keuntungan demi

kepentingan pribadi atau golongan. Dalam perkembangannya terdapat

penekanan bahwa korupsi adalah tindakan penyalagunaan kekuasaan

49 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Sinar Grafika , 1991:Jakarta.hlm.7. 50 S. Wojowasito,Kamus Umum Belanda Indonesia, PT Ichtiar baru, 1999 : Jakarta. hlm. 128 51 Ibid. 52 Chaeruddin dkk, Op.cit. hlm.2.

Page 59: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

41

(abuse of power) atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi.

Huntington menyebutkan bahwa :

“korupsi adalah perilaku menyimpang dari publik official atau para pengawai dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.”53

Dalam arti sosial tampaknya masyarakat memang mengasosiasikan

korupsi sebagai penggelapan uang (milik negara atau kantor) dan

menerima suap dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan,

walaupun dari sudut hukum tidak sama persis. Mengingat dari sudut

hukum banyak syarat/unsur yang harus dipenuhi bagi suatu tingkat laku

agar dapat dikualifikasikan sebagai salah satu dari tindak pidana korupsi

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.54

Definisi lain dari korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari

tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau

uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok

sendiri), atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah

laku pribadi.55 Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

mendifinisikan :

“korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.”56

53 Ibid 54 Adami Chazawi, Op.cit. hlm.2. 55 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia,2001 : Jakarta. hlm 31. 56 Rohim,Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi,Pena Mukti Media,2008 : Depok.hlm.2.

Page 60: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

42

Lubis dan Scott dalam pandangannya tentang korupsi disebutkan

bahwa dalam arti hukum,:

“korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemeritah dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela.”57

Vito Tanzi mengumukakan bahwa :

“korupsi adalah perilaku yang tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh perorangan disektor swasta atau pejabat publik, keputusan ini dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga akan menimbulkan korupsi, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.”

Dalam hal ini, Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan

menyebutkan benang menyebutkan barang mewah yang menjelujuri

dalam aktivitas korupsi, yaitu subornasi kepentingan umum di bawah

kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-

norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan,

pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan

akibat-akibat yang diderita oleh masyarakat. Menurutnya,:

“corruption is the abuse of trust in the inferest of private gain”, penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.58

S.H. Alatas mendefinisikan :

“korupsi dari sudut pandang sosiologis dengan “apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi.”59

57 I.G.M. Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi”Prespektif Tegaknya Keadilan Melawan

Mafiah Hukum”, Pustaka Pelajar, 2010: Yogyakarta, hlm.16. 58 Chaeruddin et al,. Op.cit, hlm 3. 59 S.H. Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjajah Dengan Data Kontemporer, LP3ES, 1986 : Jakarta,hlm.11.

Page 61: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

43

2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi

Definisi tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggelompokkan 7 (tujuh) jenis

tindak pidana korupsi yaitu :60

1) Korupsi yang merugikan keuangan Negara

Perbuatan yang merugikan negara dalam UU PTPK terbagi atas 2

(dua) bagian yaitu mencari keuntungan dengan cara melawan hukum dan

merugikan negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU

PTPK yang berbunyi :

“ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan 61memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan yang paling lama 20 (tahun) dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

Selanjutnya yang kedua yaitu menyalahgunakan jabatan untuk

mencari keuntungan dan merugikan negara, sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 3 UU PTPK, yang berbunyi:62

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau perekonomian negara, di pidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

60 Surahim da Suhandi Cahaya,Strategi dan Teknik Korupsi,Sinar Grafika, 2011 :Jakarta ,hlm.16-17. 61 Lihat pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 62 Lihap pasal 3 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 62: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

44

2) Korupsi yang berhubungan dengan suap menyuap

Perbuatan suap-menyuap yaitu suatu tindakan pemberian uang atau

menerima uang atau hadiah yang dilakukan oleh pejabat pemerintah

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan

dengan kewajibannya. Korupsi jenis ini telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1,

Pasal 5 ayat (1) hurufb, Pasal 5 ayat (2), Pasal 13, Pasal 12 huruf a, Pasal

12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6

ayat (2), Pasal 12 huruf c, dan Pasal 12 huruf d UU PTPK.

3) Korupsi yang berhubungan dengan penyalahguaan jabatan

Dalam hal ini yang diaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah

seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya

melakukan penggelapan laporan keuangan, melahilangkan barang bukti

atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan

untuk menguntunkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara hal ini

sebagaimana rumusan Pasal 8 UU PTPK.

Selain undang-undang tersebut diatas terdapat juga ketentuan pasal-

pasal lain yang mengatur tentang penyalahgunaan jabatan, yaitu Pasal 9,

Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c UU PTPK.

Page 63: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

45

4) Korupsi yang berhubungan dengan pemerasan

Dalam UU PTPK, pemerasan dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian

yaitu pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kepada orang

lain atau kepada masyarakat sebagaimana yang telah tercantum pada

Pasal 12 huruf e UU PTPK, kemudian yang kedua yaitu Pemerasan yang

di lakukan oleh pegawai negeri kepada pegawai negeri yang lain. Korupsi

jenis ini di atur dalam Pasal 12 UU PTPK.

5) Korupsi yang berhubungan dengan kecurangan

Korupsi jenis ini yaitu kecurangan yang dilakukan oleh pemborong,

pegawas proyek, rekanan TNI / Polri, pegawas TNI / Polri, yang

melakukan kecurangan dalam pengadaan atau pemberian barang yang

mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau terhadap keuangan negara

atau yang dapat membahayakan keselamatan negara pada saat perang.

Selain itu pegawai negeri yang menyerobot tanah negara yang

mendatangkan kerugian bagi orang lain juga termasuk dalam jenis korupsi

ini.

Adapun ketentuan yang mengatur tentang korupsi ini yaitu Pasal 7

ayat 1 huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c dan d ,

Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h UU PTPK.

Page 64: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

46

6) Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan

Korupsi yang berkaitan dengan pengadaan diatur dalam Pasal 12

huruf i UU PTPK sebagai berikut :63

“Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau seluruh atau sebagian di tugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.”

7) Korupsi yang berhubungan dengan gratifikasi

Yang dimaksud dengan korupsi jenis ini adalah pemberian hadiah

yang diterima oleh pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dan tidak

dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya

gratifikasi. Korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12 b dan Pasal 12 c UU

PTPK.

3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Subjek hukum tindak pidana dalam hukum pidana korupsi Indonesia

pada dasarnya adalah orang pribadi sama seperti hukum pidana umum.

Hal ini tidak mungkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang

dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat

dalam Pasal 20 jo. Pasal 1 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.64

63 Lihat pasal 12 huruf i Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 64 Adami Chazawi, Op.cit, hlm.317.

Page 65: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

47

a) Subjek Hukum Orang

Subjek hukum tindak pidana korupsi tidak dapat terlepas pada

sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana yang dianut dalam

hukum pidana umum (KUHP) adalah pribadi orang. Hanya orang yang

dapat menjadi subjek hukum pidana, sedangkan badan atau korporasi

tidak. Pertanggungjawaban bersifat pribadi, artinya orang yang dibebani

tanggungjawab pidana dan dipidana hanyalah orang atau pribadi si

pembuatnya. Pertanggungjawaban pribadi tidak dapat dibebankan pada

orang yang tidak berbuat atau subjek hukum yang lain (vicarious liability).

Hukum pidana Indonesia menganut asas concordantie dari hukum

pidana Belanda menganut sistem pertanggungjawaban pribadi. Sangat

jelas dari setiap rumusan tindak pidana dalam KUHP yang dimulai dengan

frasa “barang siapa” (hij die), 65yang dalam hukum pidana khusus

adakalanya menggunakan frasa “setiap orang” yang maksudnya adalah

orang pribadi. Misalnya Pasal 5 Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi atau Pasal 3, 4, 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010

tentang Pencucian Uang.

Sistem pertanggungjawaban pribadi sangat sesuai dengan kodrat

manusia, sebab hanya manusia yang berfikir dan berakal. Dari

kemampuan pikir dan akal serta perasaan seseorang menetapkan

kehendak untuk berbuat yang kemudian diwujudkan. Apabila wujud

65 Jan Remmelink,Hukum Pidana Komentar atas Paal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, PT Gramedia Pustaka, 2003 : Jakarta, hlm 97.

Page 66: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

48

perbuatan itu berupa perbuatan yang bersifat tercela atau bertentangan

dengan hukum, maka orang itulah yang dipersalahkan dan bertanggung

jawab atas perbuatannya. Kemampuan pikir dan kemampuan

menggunakan akal dalam menetapkan kehendak untuk berbuat hanya

dimiliki oleh orang dan dijadikan dasar untuk menetapkan orang sebagai

subjek hukum tindak pidana.66

Sedangkan binatang dan badan tidak memiliki kemampuan berfikir

dan kemampuan akal yang dapat digunakan untuk membentuk kehendak

untuk melakukan suatu perbuatan. Oleh karena itu, binatang dan badan

tidak digunakan dan harus dibuang jauh-jauh. Alasan itupun yang dipakai

oleh Pemerintah Netherlands untuk mengesampingkan konsep Von

Savigny dengan teori fiksinya (fiction theory) yang mencoba memasukkan

pertanggungjawaban dalam hukum perdata ke dalam hukum pidana.

Disana dinyatakan bahwa badan atau korporasi dianggap dan

diperlakukan seolah-olah manusia menjadi subjek hak dan kewajiban

hukum. Badan tersebut dapat dipersalahkan seperti mempersalahkan

orang atas perbuatan yang dilakukannya.67

Dalam hukum pidana korupsi yang bersumber pada Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001, subjek hukum orang ini ditentukan melalui dua cara, yaitu :

66 Adami Chazawi, Op.cit, hm.318. 67 Ibid.

Page 67: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

49

1) Cara pertama disebutkan sebagai subjek hukum orang pada umumnya, artinya tidak ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam kalimat rumusan tindak pidana yang menggambarkan atau menyebutkan subjek hukum tindak pidana orang pada umumnya, yang in casu tindak pidana korupsi disebutkan dengan perkataan “setiap orang” (misalnya Pasal 2, 3, 21, 22), tetapi juga subjek hukum tindak pidana juga diletakkan di tengah rumusan (misalnya Pasal 5, dan 6).

2) Sedangkan cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum orang tersebut, yang in casu ada banyak kausalitas pembuatnya seperti : pegawai negeri atau penyelenggara negara (Pasal 8, 9, 10, 11, 12 huruf a, b, e, f, g, h, i,); pemborong ahli bangunan (Pasal 7 ayat 1 huruf a); hakim (Pasal 12 huruf c); advokat (Pasal 12 huruf d); saksi (Pasal 24); bahkan tersangka bisa menjadi objek subjek hukum (Pasal 22 jo. Pasal 28).

b) Subjek Hukum Korporasi

Dalam hukum pidana khusus (hukum pidana di luar KUHP), yang

sifatnya melengkapi hukum pidana umum, sudah tidak berpegang teguh

pada prinsip pertanggungjawaban pidana secara pribadi yang dianut dan

dipertahankan sejak dibentuknya Wetbook Van Strafrecht (WvS) Belanda

1881 (diberlakukan 1886). Dalam beberapa peraturan perundang-

undangan tampaknya kita telah menganut sistem pertanggungjawaban

strict liability (pembebanan tanggung jawab pidana tanpa melihat

kesalahan) dan vicarious liability (pembebanan tanggung jawab pidana

pada selain si pembuat) dengan menarik badan atau korporasi ke dalam

pertanggungjawaban pidana. Sebagai contoh, terdapat pada peraturan

perundang-undangan yang memuat hukum pidana khusus berikut :

Page 68: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

50

1) Pasal 15 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Darurat Nomor

7 Tahun 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan

Tindak Pidana Ekonomi.

2) Pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

3) Pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan (4) Peraturan Presiden Nomor 11

Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (telah

dicabut melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999).

4) Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib

Daftar Perusahaan.

5) Pasal 78 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika.

6) Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

7) Pasal 70 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika.

8) Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 69: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

51

9) Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

10) Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang.

Dengan mengikuti apa yang disampaikan oleh Mardjono Reksodiputro68,bahwa dalam perkembangan hukum pidana Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana :

1) Jika pengurus korporasi sebagai pembuat, maka pengurus korporasi yang bertanggungjawab;

2) Jika korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;

3) Jika korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang bertanggung jawab.

Model-model pertanggungjawaban pidana korporasi yang

dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro tersebut sama dengan yang dikemukakan oleh Muladi dan Dwidja Priyanto, yaitu :69

1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;

2) Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab;

3) Korporasi sebagai pembuat dan juga yang bertanggung jawab.

Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi juga dapat dibaca pada Pasal 20 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirumuskan sebagai berikut :70

68 Mardjono Reksodiputro,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, Makalah

Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, 23-24 November 1989, FH Undip, Semarang hlm.9. 69 Muladi dan Dwidja Prayitno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,Kencana Prenada Media Group, 2012 :

Jakarta,hlm.86. 70 Lihat pasal 20 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 70: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

52

1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Walaupun dari ketentuan itu tidak banyak yang dapat diketahui

karena sumirnya rumusan, tetapi Pasal 20 Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini memuat beberapa ketentuan.

Setidaknya ada tiga hal yang benar-benar harus dipahami oleh para

praktisi hukum dalam menetapkan subjek hukum korporasi yang

melakukan tindak pidana korupsi, yakni :

1) Indikator kapan telah terjadi tindak pidana korupsi oleh korporasi;

2) Secara sumir mengatur hukum acaranya; dan

3) Mengenai pembebanan tanggung jawab pidananya.

Page 71: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

53

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Dalam melakukan penelitian penulis memilih lokasi penelitian di Kota

Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, dengan lokasi penelitian di beberapa

perpustakaan terlebih Perpustakaan di Universitas Hasanuddin dan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Sebagai lokasi penelitian untuk

mempermudah memperoleh data dan informasi yang akurat dan relevan

terkait dengan permasalahan yang dibahas.

B. Jenis dan Sumber Data

Oleh karena penelitian yang dilakukan oleh Penulis adalah Penelitian

Normatif, maka jenis data yang paling utama yang digunakan oleh penulis

adalah Data Sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Adapun

data sekunder mencakup :

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat seperti peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri dari

bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung

penelitian, seperti buku-buku hukum, artikel, tulisan-tulisan,

karya ilmiah, internet, dan sebagainya.

Page 72: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

54

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks

kumulatif dan sebagainya.

Sedangkan sumber data dari penelitian ini adalah penelitian pustaka

(library reserch), yaitu menelaah berbagai buku kepustakaan, korban

karya ilmiah yang memiliki hubungan dengan objek penelitian.

C. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam enelitian ini

adalah :

1. Studi Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan

cara mencatat dokumen-dokumen (arsip) yang berkaitan

dengan permasalahan yang akan dikaji.

2. Wawancara , yaitu teknik pengumpulan data dengan cara tanya

jawab baik secara langsung maupun tidak langsung dengan

Akademisi, Praktisi, dan masyarakat kaitannya dengan judul

yang akan penulis teliti.

Page 73: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

55

D. Analisis Data

Data yang diperoleh Penulis, akan diolah dan di analisis berdasarkan

rumusan masalah yang telah diterapkan sehingga diharapkan dapat

diperoleh gambaran yang jelas. Analisis data yang digunakan adalah

analisis data yang berupaya memberikan gambaran secara jelas dan

konkrit terhadap objek yang dibahas secara kualitatif dan selanjutnya data

tersebut disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan dan

menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya

dengan penelitian ini.

Page 74: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

56

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Regulasi Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih dalam Jabatan

Publik Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Tindak Pidana

Korupsi jika dikaitkan dengan penerapaan Hak Asasi Manusia

1. Regulasi pencabutan hak memilih dan dipilih dalam Kitab

Undang-Undang Hukum pidana dan 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Sebagaimana telah disebutkan di atas, seseorang bisa tercabut hak-

hak sipil dan politiknya dalam kondisi – kondisi tertentu salah satunya

ketika ia ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang memiliki

kekuatan hukum tetap. Pencabutan demikian memang dimungkinkan dan

tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Salah satu kondisi

pencabutan itu memang dimungkinkan bagi pelaku tindak kejahatan

politik. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku,

terdapat aturan mengenai pencabutan hak bagi mantan narapidana. Salah

satunya mengenai pencabutan hak memilih dan dipilih serta bisa juga

ditemui dalam hal menduduki jabatan publik.

Page 75: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

57

Pencabutan hak-hak tertentu berada di ranah kehormatan yang

membedakannya dari pidana hilang kemerdekaan. Pertama, pencabutan

hak tertentu tidak otomatis karena harus ditetapkan lewat putusan hakim.

Kedua, tidak berlaku seumur hidup tetapi menurut jangka waktu menurut

undang-undang dengan suatu putusan hakim.

Seperti yang termuat dalam beberapa aturan perundang-undangan

yang mengatur tentang pencabutan hak pada Pasal 10 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP), maka ada beberapa jenis Pidana

tambahan terdiri atas :71

1. Pencabutan hak-hak tertentu, 2. Perampasan barang-barang tertentu, 3. Pengumuman putusan hakim.

Pencabutan hak – hak tertentu juga di atur sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 35 KUHP, yaitu :72

a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu b. Hak memasuki angkatan bersenjata c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan

berdasarkan aturan-aturan umum d. Hak menjadi penasehat (roadmans), atau pengurus menurut

hukum (gerechtelijk bewindvperder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, terhadap orang yang bukan anaknya sendiri

e. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.

Di luar ketentuan Buku II KUHP dimungkinkan mencabut hak

memegang jabatan dalam hal ada kejahatan jabatan atau dalam hal orang

dalam melakukan tindak pidana melanggar kewajiban jabatan khusus atau

mempergunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana, yang diberikan

71 Lihat pasal 10 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 72 Lihat pasal 35 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946

Page 76: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

58

kepadanya melalui jabatan itu. 73Hak memilih dan dipilih yang dapat

dicabut adalah hak berdasarkan undang-undang, misalnya untuk menjadi

anggota DPR atau mengisi jabatan publik lainnya.

Andi Hamzah mengingatkan dalam hal pencabutan hak memilih dan

dipilih meliputi hak pilih aktif dan pasif. Ada perbedaan KUHP Indonesia

dengan WvS Belanda. Dalam KUHP Indonesia kata ‘pemilihan’ lebih luas

pengertiannya karena merujuk pada peraturan umum. Tidak dikatakan

pemilihan menurut ketentuan Undang-Undang.74

Wetboek Van Starfrecht (Wvs) Tahun1915 yang kemudian menjadi

KUHP Indonesia menggunakan frasa ‘krachtens algeemene

verordeningen gehouden verkiezingen’, sedangkan Wvs Belanda memuat

kalimat ‘krachtens wettelijk voorschrift uitgeschreven verkiezingen’. di

Indonesia bukan mengenai apakah hak pilih aktif dan hak pilih pasif itu

ditentukan dalam suatu peraturan umum yang dibuat pemerintah

pusat/daerah, residen, atau hukum adat. jika pemilihan itu didasarkan

pada suatu peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah pusat.75

Kemudian kembali dalam aturan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana , pencabutan hak-hak tertentu yang diatur mengenai jenis-jenis

hak apa saja yang dapat dicabut dalam Pasa 35 di atas , aturan lebih

73 Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia.Bandung : Eresco,1989, hlm 175. 74 Ibid. 75 E. Utrecht.Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II.Surabaya: Pustaka Tinta Mas. 1999. Hlm 371.

Page 77: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

59

lanjut termuat dalam Pasal 38 KUHP mengenai limitasi waktu pencabutan

hak tersebut , yaitu :76

a. Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.

b. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lamanya dari pidana pokoknya.

c. Dalam hal pidana denda, lamanya pidana pencabutan sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.

Kata tertentu dalam pencabutan hak berarti pencabutan itu tidak

dapat dilakukan terhadap semua hak, hanya berlaku untuk hak-hak

tertentu saja yang bisa dicabut. Apabila semua hak dicabut, tentunya akan

membawa implikasi terpidana kehilangan semua haknya termasuk

kesempatan untuk hidup.

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Tipikor menyebutkan selain

pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :77

a. Perampasan baik yang berwujud maupun tidak terhadap suatu barang dari hasil kejahatan berupa korupsi, termasuk tempat dia melakukan perbuatan korupsi misalnya perusahaan, dan barang yang bisa menggantikan barang dari hasil tindak pidana korupsi.

b. Pelunasan dengan membayar berupa sejumlah uang sebagai penganti dengan yang diperoleh dari hasil kejahatan korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

d. Pemberian hukuman lain berupa hak-hak tertentu yang dicabut atau keseluruhan keuntungan atau sebagian atau diberikan oleh pemerintah kepada terdakwa baik yang sudah ataupun tidak.

76 Lihat pasal 38 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 77 Lihat pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 78: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

60

2. Perlindungan Hak memilih dan dipilih dalam UUD 1945.

Hak seorang warga negara merupakan kehadiran kewajiban di pihak

negara yang direpresentasikan oleh penyelenggara negara, maka menjadi

jelas bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak – hak warga

negaranya. Melihat ruang lingkup konsepsi politik yang oleh Mirriam

Budiatdjo 78yang dipahami sebagai segala kegiatan yang menyangkut

kegiatan – kegiatan pokok politik menyangkut :

“(1) negara; (2) kekuasaan (power); (3) pengambilan keputusan (decisionmaking); (4) kebijakan (policy neleid); (5) pembagian distrinution) atau alokasi (allocation).”

Maka berangkat dari konsep itu, dapatlah penulis mengambil garis

pemahaman yang sederhana bahwa hak memilih dan dipilih secara

sederhana bisa diartikan sebagai segala sesuatu hal yang menyangkut

politik yang dapat dituntut oleh warga negara kepada negara untuk

memenuhinya. Dengan begitu bisa dipahami bahwa hak (entittlement)

dalam konteks hak memilih dan dipilih, adalah menyangkut segala bidang

politik yang menjadi hak warga negara dimana negara berkewajban

memenuhinya.

Perjuangan hak asasi manusia sebagaimana telah diterangkan di

atas, membuahkan banyak perbaikan. Demi menjaga perjuangan itu agar

tetap berlaku abadi, para pejuang hak asasi manusia saat itu memutuskan

untuk menetapkan komitmen jaminan hak asasi manusia itu dalam

sebuah dokumen perjanjian. Tujuannya adalah sebagai bukti tertulis

78 Mariam Budiardjo, Op.cit. hlm 8.

Page 79: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

61

komitmen para pihak (penguasa dan rakyat) waktu itu untuk memastikan

jaminan perlindungan hak asasi manusia itu benar – benar dijalankan.

Sehingga muncullah dokumen – dokumen bersejarah seperti Magna

Charta dan Bill of Rights di Inggris, Declaration of Independence di

Amerika, Declaration of Rights of Man and of the Citizen di Prancis dan

terakhir berpuncak pada peristiwa penandatanganan naskah Universl

Declaration of Human Rights pada tahun 1948.

Secara nasional, perlindungan hak asasi manusia itu muncul dalam

dokumen hukum positif negara bersangkutan, baik tercantum dalam

konstitusi tertulis ataupun dalam undang – undang yang lebih mengatur

khusus.

Jaminan hak memilih dan dipilih warga negara dalam hukum

nasional berpuncak kepada konstitusi tertulis Republik Indonesia yakni

Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sejarah perlindungan hak politik

warga negara Indonesia mengalami pasang surut semenjak orde lama,

orde baru dan kembali bangkit ketika memasuki masa orde reformasi.

Perlindungan hak memilih dan dipilih dalam UUD NRI Tahun 1945 pasca

Amandeman diatur dalam pasal 27 ayat (1), padal 28, pasal 28D ayat (3),

pasal 28E ayat (3) dan pasal 28J ayat (2) sebagaimana termuat sebagai

berikut :79

79 Lihat pasal 27 ayat (1), 28,28D,28E dan pasal pasal 28J ayat (2), Undang – Undang Dasar 1945.

Page 80: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

62

Pertama, pasal 27 ayat (1). Pasal ini menyatakan bahwa :

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Muatan pasal 27 ayat (1) di atas menegaskan bahwa segala warga

negara dijamin kesetaraan kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan dengan tanpa terkecuali. Rumusan tersebut dengan jelas

menyatakan bahwa konstitusi kita mengakui prinsip equality before the

law atau persamaan kedudukan warga negara dihadapan hukum.

Implikasi yurudis dari pasal 27 ini tidak hanya menempatkan kedudukan

warga negara dalam hak yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan,

tetapi juga mengemban kewajiban yang setara untuk menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan sebaik-baiknya.

Kedua, pasal 28 UUD Tahun 1945. Pasal 28 menyatakan bahwa :

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, diterapkan dengan undang-undang.”

Muatan pasal 28 UUD Tahun 1945 ini sepintas terlihat bahwa

kebebasan berserikat dan berkumpul dijamin secara eksplisit dalam

undang-undang. Akan tetapi pendapat Jimly Asshiddiqie adalah pasal 28

ini sama sekali bukanlah jaminan hak asasi manusia seperti yang

seharusnya menjadi muatan konstitusi negara demokrasi.

Akhir muatan pasal 28 menyatakan bahwa hak berserikat itu

diterapkan dengan undang-undang. Berarti dengan demikian, bisa

Page 81: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

63

diartikan bahwa jaminan itu baru akan ada setelah ditetapkan dengan

undang-undang. Karena itu, sebenarnya ketentuan asli pasal 28 UUD

Tahun 1945 itu bukanlah rumusan hak asasi manusia seperti umumnya

dipahami.

Ketiga, pasal 28D ayat (3) yang menyatakan bahwa :

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Muatan pasal ini menyatakan dengan tegas bahwa akses publik

kepada pemerintah adalah hak setiap warga negara Indonesia. Dengan

ketentuan pasal 28D ayat (3) ini setiap hak untuk menduduki jabatan

publik dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-

undang.

Keempat, pasal 28E ayat (3) yang menyataka bahwa :

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”

Sepintas kalimat pasal ini sama dengan rumusan pasal 28 yang

menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul,

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya,

ditetapkan dengan undang-undang. Muatan pasal 28 ini sebagaimana

dijelaskan Jimly Asshiddiqie bukanlah jaminan hak asasi manusia dalam

konstitusi, karena perlindungannya ditentukan lebih lanjut dalam undang-

undang. Sedangkan muatan pasal 28E ayat (3) dengan tegas menjamin

hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat itu.

Page 82: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

64

Dengan demikian, menurut Jimly Asshiddiqie perlindungan hak

berserikat dan berkumpul telah ditetapkan menjadi hak asasi yang

dilindungi oleh pasal 28E ayat (3). Semestiya pasal 28 diharuskan karena

bertentangan dengan pasal 28E ayat (3). Dengan demikian konsepsi hak

berserikat warga negara yang diatur dalam Bab X UUD NRI Tahun 1945

amandemen, haruslah dipahami dalam kerangka pasal 28E ayat (3) dan

bukan dalam kerangka 28. Hal ini karena kemerdekaan berserikat,

berkumpul dan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan dan tulisan,

memang telah dijamin oleh UUD 1945, meskipun ketentuan

pelaksanaannya memang diatur lebih lanjut dalam undang-undang.

Terakhir, pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 memuat :

“dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang – Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai – nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalan suatu masyarakat demokratis”

Berdasarkan ketentuan pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,

jelas menunjukkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebaannya,

dimungkinkan adanya pembatasan. Pembatasan yang demikian mengacu

pada ketentuan pasal tersebut harus diatur dalam Undang – Undang,

artinya tanpa adanya pengaturan tentang pembatasan tersebut maka

tidak dimungkinkan adanya pembataan terhadap pelaksanaan hak dan

kebebasan yang melekat pada setiap orang dan warga negara Indonesia.

Page 83: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

65

Adanya ruang untuk melakukan pembatasan tersebut sebagaimana

yang telah dipaparkan di atas, melahirkan pengaturan bahwa hak memilih

dan dipilih tersebut dimungkinkan untuk tidak melekat pada semua warga

negara Indonesia. Artinya, hak memilih dan dipilih tersebut diberikan

pembatasan – pembatasan sehingga warga negara yang diberikan

jaminan memiliki hak memilih dan dipilih tersebut benar – benar

merupakan warga negara yang telah memenuhi persyaratan yang telah

ditentukan.80

3. Penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan

dipilih dalam persfektif Hak Asasi Manusia.

Sebagai Negara Hukum maka Indonesia selalu menjunjung tinggi

hak asasi manusia. Selalu menjamin segala hak warga bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dengan tidak ada

kecualinya81. Dalam perkara korupsi terutama yang dituntut KPK hak

terdakwa untuk diperlakukan secara fair untuk memperoleh keadilan

sangat tidak penting.

Meninjau ciri negara hukum yang dikemukakan Julius Stahl, bahwa

negara hukum itu memiliki ciri-ciri antara lain :

(1) Perlindungan terhadap hak asasi manusia, (2) Pemisahan kekuasaan, (3) Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan

undang-undang,

80 https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-saranapelaksanaan- kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu diakses pada 11 Januari2018 pukul 10.05 WITA. 81 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan. Cet Ke-2. Jakarta:Sinar Grafika 2004. Hlm. 33.

Page 84: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

66

(4) Adanya perasilan Administrasi yang berdiri sendiri. 82

Sedangkan di sisi lain sarjana hukum Anglo Amerika A.V Dicey yang

mempopulerkan istilah negara hukum dengan sebutan the of law

menyatakan bahwa negara hukum meliputi tiga unsur yakni : 83

(1) Supremasi dari hukum (supremacy of law), (2) Persamaan dalam kedudukan hukum (equality before the law), (3) Due Process of law.

Pencabutan hak mengingatkan kembali adanya hukuman-hukuman

yang merendahkan martabat manusia (onterende straffen). Kesepakatan-

kesepakatan internasional sudah menegaskan penghapusan terhadap

hukuman yang merendahkan martabat manusia. Meniadakan atau

mengurangi hak asasi terpidana kasus korupsi merupakan tindakan

diskriminasi yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan prinsip

keadilan manusia.84

Menurut Saldi Isra salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi

“Hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang dan Konvensi Internasional, sehingga pembatasan penyimpangan dan peniadaan serta penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.”85

82 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme,Jakarta :Konstitusi Press.hlm 122. 83 Ibid.hlm 122. 84 Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturab Hak Asasi Manusia di Indonesua,Bandung: Penerbit

PT.ALUMNI.hlm. 5. 85 Saldi Isra, sebagai saksi ahli dalam persidangan sengketa pemilu presiden tahun 2014, di Mahkamah Konstitusi 19 Agustus 2014.

Page 85: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

67

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D

ayat (3) memuat :

“setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah”86

Dengan jaminan hak memperoleh kesempatan dalam pemerintahan,

maka menurut penulis penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak

memilih dan dipilih dalam jabatan publik pada kasus Djoko Susilo dan

Lutfhi Hasan Ishaaq bertentangan dengan konstitusi yang mengatur

mengenai jaminan hak asasi manusia yang di atur dalam pasal 28D ayat

(3) UUD 1945 seperti yang telah diuraikan di atas.

Hal tersebut di atas menjadi sebuah pelanggaran hak asasi manusia

apabila penerapan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih

dalam jabatan publik tersebut pada kasus Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan

Ishaaq yang merupakan terpidana korupsi yang lamanya pencabutan hak

memilih dan dipilih tersebut tidak dicantumkan batas waktunya, hal

tersebut berarti telah menghapus atau meniadakan hak memilih dan dipilih

dalam jabatan publik tersebut menjadi bertolak belakang dengan HAM.

Penerapan pidana tambahan tersebut juga melanggar HAM,

dianggap melanggar HAM sebab dalam vonis tersebut tidak dicantumkan

mengenai sampai kapan batas waktu pencabutan hak tersebut. Ini berarti

hakim telah mencabut salah satu hak warga negara secara utuh yang

seharusnya hanya bisa dibatasi. Karena hak untuk turut serta dalam

86 Lihat pasal 28D ayat (3) Undang – Undang Dasar 1945.

Page 86: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

68

pemerintahan dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 43 :87

1). Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam pemungutan suara yang langsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang– undangan.

2). Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan.

3). Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Selain dalam UUD 1945 dan UU HAM, Undang – Undang Nomor 12

Tahun 2005 Tentang Pegesahan Konvensi hak – hak sipil dan politik juga

menjamin hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik warga negara

dalam Pasal 25 :88

Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk :

1) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;

2) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih;

3) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan dalam arti umum.

Hak – hak yang bisa dicabut hanya hak dalam bidang tertentu saja,

berlakunya juga dibatasi termasuk pencabutan hak memilih dan dipilih

dalam jabatan publik. Artinya jika perkara pidana putusan telah berakhir

dan kemudian haknya dicabut artinya hak-haknya tidak penuh. Maka

87 Lihat paal 43 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 88 Lihat pasal 25 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Page 87: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

69

terhadap Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan yang dihukum dengan

pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik seumur hidup

bertentangan dengan konstitusi, terutama HAM yang dimuat dengan

konstitusi. Karenanya hak tidak boleh dirampas untuk seumur hidup hanya

boleh dibatasi waktunya maksimum 5 (lima) tahun.

Dalam vonis Djoko Susilo ini adalah majelis hakim tidak

mencantumkan berapa lama hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik

tersebut dicabut, ini berarti hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik

Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan Ishaaq dicabut selamanya yang

seharusnya mendapatkan batasan seperti yang diatur dalam pasal 38

KUHP, dan UU HAM yang hanya mengenai pembatasan. Jadi bukan

dicabut seutuhnya, dihilangkan atau ditiadakan, melainkan hanya

mengurangi atau membatasinya. Akibatnya terjadilah pelanggaran HAM

dalam vonis pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik

tersebut.

Undang–undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

pasal 73 :

“hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”

Yang menjadi fokus dalam pasal ini adalah pembatasan berdasarkan

undang-undang, yang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan

penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang

Page 88: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

70

lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Bukan

dicabut dengan tujuan untuk memberi efek jera terhadap para koruptor.

Selanjutya dalam pasal 74 UU HAM :

“tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapus hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini.”89

Dengan berdasarkan pasal tersebut menurut penulis pencabutan hak

yang diterapkan pada Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan Ishaaq yang tidak

mencantumkan lama hak tersebut dicabut tidak dapat dibenarkan. Karena

telah mencabut salah satu bagian dari hak asasi manusia yang diatur

dalam UU HAM, meskipun pencabutan tersebut melalui vonis hakim.

Seharusnya dalam vonis penjatuhan pidana tambahan pencabutan

hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik jangan sampai mengurangi

atau merampas harkat dan martabat seseorang sebagai manusia seperti

yang termuat dalam TAP MPR No.XVII Tahun 1998 Tentang HAM yang

memuat :

“setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh.”90

89 Lihat pasal 73 dan 74 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 90 Lihat bagian pemahaman Hak Asasi Manusia bagi bangsa Indonesia pada TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM.

Page 89: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

71

Jadi seharusnya tidak ada perbedaan dari status orang sebagai

narapidana koruptor atau bukan dalam menjalankan hak konstitusionalnya

untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.

Perlu diketahui bahwa pencabutan segala hak yang dimiliki atau

diperoleh seseorang sebagai warga negara yang dapat menyebabkan

kematian perdata (burgelijke daat) tidak diperkenankan oleh undang-

undang. Hal ini diatur dalam pasal 3 BW dan pasal 15 ayat (2) Konstitusi

Republik Indonesia Serikat (KRIS) yang berbunyi “

“Tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak-hak kewarganegaraan.”

Hak sipil megakui dan melindungi hak-hak yang paling fundamental

dari seorang manusia berkaitan dengan martabatnya sebagai makhluk

pribadi, sedangkan hak politik berkaitan dengan kehidupan publik.91

Beberapa kalangan yang kontra atau tidak setuju terhadap

dijatuhkannya pencabutan hak memilih dan dipilih kepada terpidana

korupsi, bagi mereka pencabutan hak memilih dan dipilih adalah

pelanggaran HAM yang telah diatur secara konstitusional. Hal itu masih

dapat terbantahkan, sebab setiap hukuman atau pemidanaan pada

dasarnya memang adalah pelanggaran HAM, tetapi pelanggarannya

diperbolehkan, sepanjang berdasarkan undang-undang. Sebagai contoh

pada Penyelidik dan Penyidik yang melakukan penangkapan, penahanan,

91 Bagir Manan.Op.cit.hlm 101.

Page 90: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

72

dan perampasan harta benda yang berhubungan dengan perbuatan

pidana yang digunakan sebagai bukti untuk mengungkap suatu kasus

adalah pelanggaran HAM, namun karena alasan tertentu yang dibenarkan

berdasarkan KUHAP, maka hal itu bukan lagi terklasifikasi dalam

pengurangan atau pelanggaran HAM.

Pencabutan hak memilih dan dipilih bagi pelaku tindak pidana

korupsi tidak melangar hak asasi manusia karena termasuk dalam

kategori derogable rights atau hak yang bisa dilanggar penegak hukum,

dalam hal ini hakim yang memutuskan, dalam rangka penegakan hukum

dan rasa keadilan masyarakat. Pada masa lalu, hukuman tambahan

tersebut bisa berupa kematian perdata (mort civiel) bagi pelaku kejahatan

berat, namun sekarang umumnya tidak diberlakukan. Hukuman pidana

tambahan lebih dimaksudkan untuk mencegah terpidana

menyalahgunakan hak tersebut agar kejahatan serupa tidak terulang

kembali.

Menurut pengertian di atas, status pejabat publik yang melakukan

tindak pidana korupsi, tidak serta merta di cabut haknya sebelum ada

putusan hakim. Putusan hakim tersebut dalam amar putusannya harus

mencantumkan dengan jelas bahwa selain pidana pokok, juga diberikan

pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dengan

menyebutkan batas waktu lamanya pencabutan hak. Disini diperlukan

peran aktif hakim, untuk segera memberikan pidana tambahan dalam

Page 91: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

73

setiap putusannya terutama kepada para pelaku tindak pidana korupsi,

mengingat korupsi itu sangat berbahaya dan dapat mengancam

kehidupan bangsa dan negara.

Pada dasarnya penulis setuju bila pelaku tindak pidana korupsi harus

dihukum berat namun jangan sampai berlebihan apalagi sampai

melanggar hak asasi manusia. Pencegahan tindak pidana korupsi harus

lebih diutamakan pada orang yang belum pernah terjerat dengan kasus

korupsi, sedangkan yang sudah pernah terjerat kasus korupsi mereka

harus diberi bekal mental dan pembangunan karakter kembali karena

setiap orang berhak untuk menjadi lebih baik. Dalam hal ini bukan dengan

cara pencegahan melalui pencabutan hak memilih dan dipilih dalam

jabatan publik agar pelaku tindak pidana korupsi tidak memiliki cela atau

akan berpikir kembali untuk mengulangi kejahatannya.

Page 92: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

74

B. Implementasi hukum terhadap pencabutan hak memilih dan

dipilih dalam jabatan publik sebagai pidana tambahan bagi

pelaku tindak pidana korupsi

Undang – Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Republik

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat). Idealnya

sebagai negara hukum, atau supremasi hukum yaitu hukum mempunyai

kekuasaan yang tertinggi di dalam negara. 92Dalam hal ini, putusan

pengadilan merupakan tonggak yang penting bagi cerminan keadilan,

termasuk putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana dan

pemidanaan. Lahirnya penjatuhan pidana dan pemidanaan bukan muncul

begitu saja, melainkan melalui proses peradilan. 93

Seperti yang dikutip oleh Bambang Waluyo, G.P. Hoefnageles :

“Sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undang – undang dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim.”94

Penjatuhan pidana dan pemidanaan dapat dikatakan cerminan

peradilan kita. Apabila proses peradilan yang misalnya berakhir dengan

penjatuhan pidana itu berjalan sesuai asas peradilan, niscaya peradilan

kita dinilai baik. Akan tetapi apabila sebaliknya, tentu dinilai sebaliknya

pula. Bahkan dapat dicap sebagai suatu kemerosotan hukum. Jika Hakim

92 Bambang Waluyo.Op.Cit.hlm.33. 93 Ibid. hlm 33-34. 94 Teguh Prasetyo.Kriminalisasi dalam Hukum Pidana.Nusa Media:Bandung.2010.hlm 79.

Page 93: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

75

menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran,

keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Jika bukan hanya balas

dendam ataupun bersifat formalitas akan hukum.95

Dasar hukum yang digunakan KPK menuntut pencabutan hak

memilih dan dipilih kepada Djoko Susilo dan Luthfi Hasan Ishaaq adalah

pasal 18 ayat (1) huruf d sebagaimana tersebut di atas dan hakim pun

mengabulkannya. Hal ini merupakan sebuah terobosan hukum dalam

pembaharuan hukum pidana Indonesia. Mengingat kejahatan korupsi

adalah extra ordinari crime.

Ketentuan pasal 18 ayat (1) UU Tipikor, ditambahkan ketentuan

pidana tambahan 96yakni jika terpidana tidak membayar uang pengganti

paling lama dalam jangka waktu satu bulan setelah putusan pengadilan

yang memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya itu dapat

disita dan dalam hal terpidana tidak memiliki harta benda yang cukup

untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara yang lamanya

tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai

dengan ketentuan UU Tipikor dan lamanya pidana telah ditetapkan dalam

putusan pengadilan.

Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu bukan berarti

hak-hak terpidana dapat dicabut semuanya. Pencabutan tersebut tidak

meliputi pencabutan hak hidup, hak sipil (perdata), dan hak

95 Ibid.hlm.34 96 Evi Hartanti.Op.cit. hlm.65.

Page 94: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

76

ketatanegaraan. Terdapat dua hal tentang pencabutan hak – hak tertentu,

yaitu :97

1. Tidak bersifat otomatis, harus ditetapkan dengan putusan hakim

2. Tidak berlaku seumur hidup, ada jangka waktu tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan suatu putusan hakim.

Salah satu Kasus Penulis Mengangkat kasus pengadaan Driving

Simulator Uji Klinik SIM Djoko Susilo putusan pengadilan tingkat pertama

yang tidak menjatuhkan hukuman pidana tambahan pencabutan hak

memilih dan dipilih dalam jabatan publik dan kemudian pada pengadilan

tingkat banding membatalkan putusan tersebut dan memperberat

hukuman Djoko Susilo menjadi sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut

umum Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemudian diperkuat oleh

putusan kasasi amar putusan dengan Nomor 537K/Pid.Sus/2014 sebagai

berikut :98

1. Menyatakan Terdakwa Inspektur Jendral Polisi Drs. Djoko Susilo, S.H., M.Si. telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama dan gabungan beberapa kejahatan sebagaimana diatur dan diancam dalam Dakwaan Kedua Pertama dan Dakwaan Ketiga;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan tersebut tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 1 (satu) tahun;

97 Ibid.hlm.58-59. 98 Lihat amar putusan perkara nomor 53/K/Pid.Sus/2014.

Page 95: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

77

3. Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 32.000.000.000,00 (tiga puluh dua miliar rupiah), dan apabila Terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Apabila harta bendanya tidak mencukupi, maka dijatuhi pidana penjara selama 5 tahun;

4. Menghukm Terdakwa degan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik;

5. Menetapkan agar masa penahanan yang telah dijalankan, dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

6. Memerintahkan agar Terdakwa Inspektur Djoko Susilo, S.H., M.Si. tetap berada dalam tahanan;

7. Menetapkan agar seluruh barang bukti berupa...;

8. Membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat Kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);

Selain Djoko Susilo juga ada kasus Lutfhi Hasan Ishaaq yang mana

orang tersebut dijatuhkan vonis pencabutan hak politik namun sedikit

berbeda dalam Kasus Lutfhi Hasan pencabutan hak yang dikenakan

adalah hak dipilih saja.

Lutfhi Hasan Ishaaq yang melakukan tindak pidana korupsi suap

pada proyek impor daging sapi. Ketertiban Lutfhi Hasan Ishaaq diketahui

melalui keterangan pada Ahmad Fathanah yang telah ditangkap terlebih

dahulu yang diketahui sebagai kurir dalam kasus suap ini. Saat tertangkap

tangan, KPK menduga uang sebesar Rp. 1 miliar yang ditemukan di

dalam mobil Ahmad Fathanah itu untuk diserahkan kepada Lutfhi Hasan

Ishaaq. Lutfhi Hasan Ishaaq telah melanggar pasal 12 huruf a dan b dan

Page 96: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

78

atau pasal 5 ayat (2) dan pasal 11 UU Tipikor. Majelis Kasasi yang

menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih pasif

terhadap Lutfhi Hasan Ishaaq yang tertuang dalam Putusan

1195K/Pid.Sus/2014.

Dalam kasus Lutfhi Hasan Ishaaq , pada tingkat pertama tidak

diputus dengan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih,

kemudian pada tingkat banding memperkuat putusan tingkat pertama,

nanti pada tingkat kasasi barulah hukuman Lutfhi Hasan Ishaaq diperberat

dan dijatuhi hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih

atau hak pilih pasif. Berikut adalah amar putusan dengan Nomor

1195K/Pid.Sus/2014 :99

1. Menyatakan terdakwa Lutfhi Hasan Ishaaq terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan secara bersama – sama;

2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti degan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;

3. Menetapkan mencabut hak terdakwa untuk dipilih dalam jabatan publik;

4. Menetapkan masa penahanan yang dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

5. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan;

6. Menetapkan barang bukti dalam perkara korupsi ini...;

7. Membebankan terdakwa agar membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

99 Lihat amar putusan perkara nomor 1195/K/Pid.Sus/2014.

Page 97: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

79

Berdasarkan amar putusan di atas, tidak mencantumkan batas waktu

sampai kapan pidana pencabutan hak tertentu yaitu hak memilih dan

dipilih dalam jabatan publik yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana

korupsi. Kondisi ini tidak sesuai dengan ketentuan pasal 38 KUHP ke-2 ,

dimana dalam pasal tersebut mengaharuskan adanya batas waktu

pencabutan hak tertentu selama dua tahun atau maksimum lima tahun

lebih lama dari pidana penjara yang dijatuhkan.

Putusan Pengadilan Tinggi untuk terpidana Djoko Susilo tercantum

dalam Putusan Nomor 36/PID/TPK/2013/PT.DKI yang diputus pada

tanggal 16 Desember 2013. Putusan Pengadilan Negeri untuk terpidana

Djoko Susilo diterapkan dalam Putusan Nomor

20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST yang diputus pada tanggal 27

Agustus 2013, yang menyebutkan :100

1. Menyatakan terdakwa Djoko Susilo telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama – sama dan gabungan beberapa kejahatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan kesatu primer Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP; Dakwaan kedua pertama Pasal 3 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP; Dakwaan ketifa Pasal 3 ayat (1) hurud c Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsideir 6 (enam) bulan kurungan;

100 Lihat amar putusan perkara nomor 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST.

Page 98: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

80

3. Menetapkan agar masa penahanan yang telah dijalankan dikurangkan seluruhnya dengan pidana penjara yang dijatuhkan;

4. Memerintah agar terdakwa tetap dalam tahanan;

5. Menetapkan barang bukti dalam perkara kurupsi ini berupa...;

6. Membebankan terdakwa agar membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

Putusan Pengadilan Tinggi untuk terpidana Lutfhi Hasan Ishaaq ditetapkan dalam putusan Nomor 14/PID/TPR/2014/PT.DKI yang diputuskan pada tanggal 15 April 2014. Putusan Pengadilan Negeri untuk terpidana Lutfhi Hasan Ishaaq tercantum dalam Putusan Nomor 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST yang diputus pada tanggal 5 Desember 2013, yang menyebutkan :101

1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan secara bersama-sama;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana pernjara selama 16 (enam belas) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun;

3. Menetapkan agar masa tahanan yang telah dijalani dikurangkan seluruhnya dari penjara yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5. Memerintahkan tentang barang bukti dalam perkara korupsi ini berupa...;

6. Memerintahkan terdakwa memebayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah);

101 Lihat amar putusan perkara nomor 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST.

Page 99: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

81

Putusan di atas tidak dijatuhkan pidana tambahan pencabutan hak

memilih dan dipilih bagi terpidana korupsi Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan

Ishaaq. Pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa

pencabutan hak memilih dan dipilih bagi kedua terpidana (terdakwa saat

putusan dijatuhkan) karena pidana pencabutan hak memilih dan dipilih

dianggap berlebihan, mengingat terpidana yang telah dijatuhi pidana

dengan jenis pidana penjara yang relatif cukup lama maka dengan

sendirinya akan terseleksi oleh syarat-syarat yang ada di dalam organisasi

yang bersangkutan apabila terpidana akan menggunakan hak

konstitusinya. Hal ini tercantum dalam pertimbangan putusan baik Djoko

Susilo maupun Lutfhi Hasan Ishaaq.

Terhadap Lutfhi Hasan Ishaaq, ditegaskan bahwa perbuatan pidana

yang dilakukan selaku anggota DPR-RI telah meruntuhkan kepercayaan

masyarakat terhadap lembaga perwakilan rakyat; selaku Presiden PKS

memberikan citra buruk terhadap pilar demokrasi melalui lembaga parpol;

sebagai penyelenggara negara dan petinggi partai politik seharusnya

menjadi tauladan bagi masyarakat untuk berprilaku jujur dalam

melaporkan harta kekayaannya kepada LHKPN (Laporan Harta Kekayaan

Penyelenggara Negara), akan tetapi itu tidak dilakukan sehingga

bertentangan dengan cita – cita mewujudkan penyelenggara negara yang

bersih dan bebas dari kolusi,korupsi dan nepotisme.

Page 100: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

82

Penjatuhan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih dalam

jabatan publik terhadap terpidana korupsi dimaksudkan masyarakat agar

terhindar korupsi dimaksudkan masyarakat agar terhindar dari pemimpin

yang korupsi. Hal ini mengingat terpidana adalah pemegang jabatan

publik dan aktif di politik.Di samping itu tindak pidana korupsi merupakan

jenis tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime, sehingga

penegakannya juga harus bersifat luar biasa extra ordinary enforcement).

Penegakan terhadap tindak pidana korupsi dengan menjatuhkan pidana

tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih merupakan

implementasi penerapan pidana yang bersifat extra ordinary enforcement,

namun karena jenis pidana tambahan ini merupakan bagian dari HAM,

maka penerapannya harus tetap mengedepankan prinsip – prinsip HAM

dan tidak bertentangan dengan hukum pidana positif.

Dalam perkembangannya HAM merupakan bagian dari hukum alam

(natural rights). Hak ini menekankan pada kebebasan individu yang

mencakup antara lain hak menyatakan pendapat, hak secara bebas

mendirikan atau memasuki organisasi yang diinginkan. Hak ini merupakan

bagian utama dari penegakan demokrasi. Hak memilih dan dipilih pada

hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi individu dari penyalahgunaan

kekuasaan oleh pihak penguasa. 102Berdasarkan Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 terdapat sepuluh klasifikasi HAM, yaitu hak untuk hidup,

hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri,

102 Budiardjo.M.Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2009.hlm 78.

Page 101: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

83

hak memperoleh rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta

dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. Hak bebas memilih atas

dasar keyakinan politiknya merupakan hak atas kebebasan pribadi (pasal

23 UU HAM), dan hak memilih dan dipilih merupakan bagian dari hak turut

serta dalam pemerintahan (pasal 43 UU HAM). Hal ini diperkuat dengan

diintrodusirnya hak politik ke dalam turut serta dalam pemerintahan,

sebagai contoh hak politik seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan

pribadi, dan hak untuk memilih. 103

Menurut Jhon Locke ,104

Hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and property).

Dengan demikian hak politik yang di dalamnya tercakup hak untuk

memilih dan dipilih dalam jabatan publik merupakan bagian dari HAM, dan

merupakan bagian dari demokrasi yang harus ditegakkan. Oleh karena itu

pencabutan hak memilih dan dipilih merupakan pelanggaran dari

demokrasi jika straf soot (tujuan pidana) tidak dipertimbangkan dan straf

maart (cara pemjatuhan pidana ) tidak dibatasi.

Prinsip hukum progresif merupakan pertimbangan hakim dalam

menetapkan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam

jabatan publik terhadap Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan Ishaaq. Hukum

103 Merdenis.Kontemplasi dan analisis terhadap klasifikasi dan politik hukum penegak ham di Indonesia.Jurnal

Rechtsvinding,2(3),437-451.2013.hlm446. 104 Bidiardjo.Op.cit. 80.

Page 102: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

84

progresif memandang hukum adalah institusi yang secara terus menerus

membangun dan mengubah dirinya menuju pada tingkat kesempurnaan

yang lebih baik, di mana kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasi ke

dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian terhadap rakyat,

dan lainnya. Sehingga hukum selalu dalam proses menjadi (law as

process, law in the making), hukum tidak untuk meghukum sendiri tetapi

untuk manusia. Putusan penjatuhan pidana pencabutan hak memilih dan

dipilih,Tujuannya untuk kepentingan konstituen terpidana yang merupakan

wakil rakyat, agar di masa mendatang terhindar dari pimpinan yang

korupsi.

Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pidana tambahan

berupa pencabutan hak pilih pasif pada terpidana Lutfhi Hasan Ishaaq

dalam putusan, dalam wawancara yang dilakukan oleh salah satu surat

kabar yaitu majalah Forum, dengan hakim yang memutus perkara

tersebut yaitu Artidjo Alkostar, menyatakan bahwa hakim menilai dalam

aspek sosiologis bahwa perbuatan terpidana menjadi ironi demokrasi,

karena tidak melindungi nasib para petani peternak sapi nasional.

Hubungan transaksional antara Lutfhi Hasan Ishaaq dengan Maria

Elizabeth Liman merupakan korupsi politik sehingga merupakan kejahatan

yang serius (serious crime). Pecabutan hak memilih dan dipilih merupakan

konsekuensi logis dari seorang yang memiliki jabatan politik atau

kekuasaan politik.

Page 103: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

85

Untuk kasus Djoko Susilo,tercantum dalam Putusan Nomor

20/Pid.Sus/2013/PN.JKT.PST.jo.PutusanNomor 30/Pid/TPK/2013/PT.DKI.

jo. Putusan Nomor 537/K/Pid.Sus/2014. Putusan kasasi terhadap

terdakwa Djoko Susilo memperkuat putusan tingkat pengadilan tinggi, di

mana pada pengadilan tersebut terdakwa dijatuhi pidana berupa

pencabutan hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.

Pertimbangan pengadilan tinggi adalah perbuatan terdakwa

dianggap merusak sendi-sendi kehidupan, berbangsa, dan bernegara.

Negara akan hancur dan tidak berwibawa bila aparaturnya tidak amanah,

kerusakan serta perekonomian rakyat akan terganggu, dan keuangan

negara sangat terkuras oleh para pelaku tindak pidana korupsi sehingga

menggangu kelangsungan dan pembangunan negara ini.

Pertimbangan sebagai landasan untuk menjatuhkan pidana

pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana Djoko Susilo

menerapkan konsep hukum progresif. Konsep ini nampak pada terjadinya

penerapan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih yang

sebelumnya tidak pernah dijatuhkan oleh hakim khususnya untuk

memidana pelaku kejahatan korupsi sebagai penyelenggara negara.

Penerapan pidana tambahan ini kepada pelaku tindak pidana korupsi

sebagai penyelenggara negara untuk melindungi kepentingan masyarakat

agar tidak mendapatkan pemimpin yang korupsi maupun pemimpin yang

didukung oleh konstituen yang korupsi.

Page 104: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

86

Dimana mendatang diharapkan pemimpin yang melakukan tindak

pidana korupsi tidak akan dipilih dan tidak berhak memilih. Sehingga

penjatuhan pidana ini mengembalikan situasi yang rusak akibat dari tindak

pidana yang dilakukan tetap menitikberatkan terciptanya keadilan dan

keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban, serta masyarakat.

Namun sejalan dengan penerapan pidana tambahan pencabutan

pidana tambahan berupa hak memilih dan dipilih, Mahkamah Konstitusi

telah mengeluarkan 3 (tiga) Putusan terkait hak memilih dan dipilih dalam

jabatan publik dimana kita ketahui bahwa kewenangan dari Mahkamah

Konstitusi itu sendiri salah satunya adalah untuk menguji formiil maupun

materi undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Dimana hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik ini termaksud dalam

kategori hak hukum (legal rights) serta di lindungi dan dijamin oleh

Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator mempunyai

kewenangan untuk membatalkan atau menghapus suatu aturan, sehingga

setiap putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum yang

mempengaruhi aturan hukum yang berlaku terhadap pihak-pihak yang

dikenai perkara tetapi juga berlaku untuk seluruh warga negara yang

tunduk dalam konstitusi. Hal ini karena sifat norma undang-undang yang

diujikan bersifat umum (erga omnes), sehingga sejak putusan tersebut

Page 105: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

87

dikeluarkan maka putusan tersebut bersifat mengikat kepada seluruh

warga negara Indonesia.105

Ketiga Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji Undang –

Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut

diantaranya :

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007, pada

perkara Pengujian Undang-Undang yang di ujikan pada perkara nomor

14-17/PUU-V/2007, perkara ini pada awalnya berasal dari dua pemohon

yang berbeda yang masing-masing memiliki nomor perkara 14/PUU-

V/2007 dan nomor 17/PUU-V/2007. Lantaran objek yang diperkarakan

adalah sama, maka putusan dua pemohon itu disatukan dalam satu

putusan bernomor 14-17/PUU-V/2007

Adapun peraturan perundang-undangan yang diujikan antara lain :

oleh pemohon pertama undang-undang uang diujikan adalah undang-

undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah . Sedangkan

oleh pemohon dua, undang-undang yang diujikan adalah undang-undang

nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan presiden dan Wakil Presiden,

undang-undang 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, undang-

undang nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan undang-

undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemerika Keuangan.

105 Jimly Assiddiqie,Pengantar Ilmu HukumTata Negara,Bandung: Rajawali Press.2012 hlm.364.

Page 106: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

88

Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 ini pada intinya

menguji ketentuan norma undang – undang yang menyatakan :106

“tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun atau lebih”

Ketentuan norma tersebut dirasakan berpotensi merugikan hak

konstitusional warga negara sehingga perlu diujikan konstitusionalnya di

Mahkamah Konstitusi. Atas permohonan kedua pemohon di atas,

Mahkamah kemudian memutuskan dengan menyatakan permohonan

pemohon I dan pemohon II ditolak.

Namun dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa

ketentuan pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU MK,

pasal 7 ayat (2) huruf d UU MA, pasal 58 huruf f UU Pemda dan pasal 13

huruf g UU BPK adalah “konstitusional bersyarat” (conditionally

constitutional). Adapun syarat yang dimaksud antara lain dijelaskan dalam

pertimbangan poin 3 huruf a dan b. Pertimbangan huruf a menyatakan

bahwa keenam pasal di atas tidak mencakup tindak pidana yang timbul

karena kealpaan ringan (culpa levis) meskipun ancaman pidananya 5

tahun atau lebih.

Dengam demikian putusan bernomor 14-17/PUU-V/2007 ini memang

menolak permohonan pemohon pada keseluruhannya. Akan tetapi,

106 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14-17/PUU-V/2007.

Page 107: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

89

putusan ini juga membawa akibat bahwa ketentuan persyaratan yang

melarang mantan narapidana menduduki publik sebagaimana disebutkan

dalam 6 (enam) undang – undang tersebut di atas adalah konstitusional

sepanjang memenuhi dua persyaratan yang telah disebutkan di atas.

Secara spesifik dalam pertimbangannya , dua syarat konstitusional

itu antara lain :

1. Syarat pertama , tidak mencakup tindak pidana yang timbul

karena kealpaan ringan (culpa levis) meskipun ancaman

pidananya 5 tahun atau lebih.

2. Syarat kedua , tidak mencakup kejahatan politik dalam pengertian

sebagaimana dijelaskan dalam pertimbangan poin ke dua.

Pertimbangan poin kedua yang dinyatakan dalam putusan

tersebut yakni : ... yang dimaksud kejahatan karena alasan politik

dalam hubungan ini terbatas pada perbuatan yang sesungguhnya

merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik (politieke

overtuiging) seorang yang dijamin dalam sebuah negara hukum

yang demokratis namun oleh hukum positif yang berlaku pada

saat itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata – mata karena

berbeda dengan pandangan politik yang dianut oleh rezim yang

sedang berkuasa.”

Dengan keluarnya putusan nomor 14-17/PUU-V/2007 di atas,

ketentuan pasal – pasal dalam ke-6 (enam) undang – undang yang

Page 108: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

90

diujikan tetap berlaku namun harus memenuhi dua syarat konstitusional

yang disebutkan Mahkamah dalam pertimbangan. Jadi putusan ini

membawa implikasi bahwa bagi setiap mantan narapidana yang pernah

dihukum karena kealpaan ringan (culpa levis) dan karena kejahatan

pemikiran politik tetap bisa mengikuti bursa pemilihan dalam jabatan

publik, sepanjang yang bersangkutan bisa membuktikan bahwa tindak

pidananya termasuk ke dalam dua tindak pidana yang dikecualikan oleh

Mahkamah melalui putusan nomor 14-17/PUU-V/2007 di atas.

2. 4/PUU/VII/2009 merupakan pengujian undang – undang nomor 10

tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan

undang – undang nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas

undang – undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Adapun norma pasal dalam undang – undang tersebut yang diujikan

pemohon dalam putusan ini adalah pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1)

UU Pemilu dan pasal 58 huruf f UU Pemda yang mengatur salah satu

persyaratan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan yang pada intinya

mensyaratkan :107

“tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”

107 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU-VII/2009.

Page 109: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

91

Atas permohonan yang diajukan oleh pemohon Robertus di atas,

Mahkamah lalu menjatuhkan amar putusan yang antara lain :

Pertama, menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk

sebagian.

Kedua, menyatakan pasal 12 huruf g, pasal 50ayat (1) huruf g UU

Pemilu dan pasal 58 huruf f UU Pemda adalah bertentangan dengan

undang – undang dasar secara bersyarat (coditionally unconstitutional).

Ketiga, menyatakan pasal 12 huruf g, pasal 50 ayat (1) huruf g UU

Pemilu dan pasal 58 huruf f UU Pemda tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat – syarat :

(1) Tidak berlaku untuk jabatan publik yang pilih (elected officials).

(2) Berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (ima) tahun

sejak terpidana selesai menjalani hukumannya.

(3) Dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan

jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan

adalah mantan terpindana.

(4) Bukan sebagai pelaku kejahatan berulang – ulang.

Mahkamah juga menolak permohonan selebihnya dan

memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik

Indonesia.

Page 110: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

92

3. 42 /PUU-XIII/2015 merupakan pengujian undang – undang nomor 1

tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang –

undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Guberbur, Bupati, dan

Walikota.

Adapun pasal yang diujikan dalam undang – undang nomor 1 tahun

2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagaimana

termuat dalam pasal 7 huruf g dan pasal 45 ayat (2) huruf k 108

Pasal 7 huruf g :

“tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”

Pasal 45 ayat (2) huruf k :

“surat keterangan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf g.”

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 42/PUU-XIII/2015

mengabulkan permohonan agar pasal 7 huruf g dan pasal 45 ayat (2)

huruf k tidak memiliki kekuatan hukum memikat dan bertentangan dengan

Undang – Undang Dasar 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai

“dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuta dan jujur

108 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 42/PUU-XIII/2015.

Page 111: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

93

mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan

terpidana”.

Namun di dalam implementasinya putusan Mahkaman Konstitusi ini

terdapat perbedaan penafsiran terhadap istilah mantan terpidana dan

mantan narapidana dikarenakan dalam pertimbangan keputusan oleh

Mahkamah Konstitusi tersebut banyak meninjau putusan Mahkamah

Konstitusi terdahulu nomor 4/PUU-VII/2009, yang dimana memberi ruang

kepada mantan narapidana untuk proses adaptasi dengan masyarakat

sekurang-kurangnya lima tahun setelah narapidana menjalani masa

hukumannya. Waktu lima tahun tersebut adalah waktu yang wajar sebagai

pembuktian dari mantan terpidana tersebut telah berkelakuan baik dan

tidak mengulang perbuatan pidana sebagaimana tujuan dari

permasyarakatan yang diatur dalam UU Pemasyarakatan.

Seorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau

lembaga permasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah

menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak

mengulangi perbuatannya lagi. Dengan demikian, seorang mantan

narapidana yang sudah bertaubat tersebut tidak tepat jika diberikan

hukuman lagi oleh undang-undang seperti yang ditentukan dala pasal 7

huruf g undang-undang nomor 1 tahun 2015. Akan tetapi apabila putusan

pengadilan menyatakan bahwa seseorang itu dihukum dengan

pencabutan hak memilih dan dipilih, maka dengan putusan pengadilan

Page 112: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

94

yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam perspektif Negara hukum

demokratis, maka akibat hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi

merupakan suatu kewajiban hukum karena berkaitan dengan pemenuhan

hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh UU

NRI 1945 sebagai hukum tertinggi Negara Indonesia.

Achmad Sodiki berpendapat dalam Putusan Mahkamah nomor

57/PHPU.DVI/2008 Hakim Konstitusi :109

“alangkah bijaksananya jika suatu putusan dapat penjangkau masa depan (futuristic) serta mencerminkan kearifan (wisdom). A person of justice must be a person of wisdom. Sekalipun pengetahuan (knowledge) penting, tetapi itu belum cukum, the judge must have wisdom/prudence yang diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan semua sumber daya (resources) menuju tujuan universal manusia ialah kebahagiaan atau happiness.” Putusan yang melihat masa depan berarti putusan yang memfasilitasi kehidupan manusia untuk memungkinkan menjadi manusia yang lebih baik bukan sebaliknya menjerat dalam pasal yang tidak memberikan harapan bagi kemanusiaan. Ia harus tetap menyuburkan hidupnya hukum yang adil, tetapi juga sekaligus beradab, sebagai cerminan Sila Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Inilah pesan moralitas yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun;

Seorang pembunuh saja yang tidak tertangkap, oleh sebab itu, ia tidak

pernah merasakan dipenjara, ia tidak bisa dituntut ke uka pengadilan

setelah melampaui waktu tertentu 18 (delapan belas) tahun, mengapa

seseorang yang telah selesai atau telah bebas menjalani hukuman

penjara dan lebih dari 15 (lima belas) tahun bermasyarakat dengan baik

masih diungkit kesalahannya ? sungguh sesuatu yang ironis.

109 Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki dalam Putusan perkara nomor 4/PUU-V/2009.hlm 14.

Page 113: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

95

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan

dipilih dalam jabatan publik Djoko Susilo dan pencabutan hak

dipilih dalam jabatan publik Lutfhi Hasan Ishaaq telah terjadi

kesewenang-wenangan, karena hakim tidak membatasi

pencabutan hak tersebut dalam jangka waktu tertentu seperti

yang telah diatur dalam pasal 38 KUHP. Hak memilih dan

dipilih dalam jabatan publik adalah salah satu dari HAM,

mencabut, menghilangkan atau meniadakan hak warga negara

secara utuh meskipun melalui vonis hakim adalah salah satu

pelanggaran HAM. Selain itu, mengingat jenisnya sebagai

pidana tambahan, maka penjatuhan pidana pencabutan hak

memilih dan dipilih bersifat fakultatif artinya, hakim bebas

menjatuhkan atau tidak menjatuhkan pidana tersebut. Adapun

parameter yang digunakan hakim untuk menentukan perlu atau

tidaknya penjatuhan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih

adalah melihat porsi atau kedudukan terdakwa saat melakukan

tindak pidana korupsi, sifat kejahatan yang dilakukan, serta

besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat.

Page 114: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

96

2. Pasca keluarnya tiga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-

17/PUU/V/2007, Nomor 4/PUU/VII/2009, dan 42/PUU-

XIII/2015, hak memilih dan dipilih mantan narapidana yang

diancam pidana lima tahun atau lebih dalam undang-undang

terkait yang diujikan , menghasilkan implikasi hukum bahwa

seorang mantan narapidana yang sudah menjalani masa

hukuman dan membuktikan kelakuan baiknya berdasarkan

persyaratan yang ditentukan tidak berhak diberikan hukuman

lagi. Akan tetapi apabila putusan pengadilan menyatakan

bahwa seorang itu dihukum dengan pencabutan hak memilih

dan dipilihnya, maka dengan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap. Maka akibat putusan Mahkamah

Konstitusi merupakan suatu kewajiban hukum karena berkaitan

dengan pemenuhan hak-hak konstitusionalnya warga negara

yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang Negara

Republik Indonesia 1945 sebagai hukum tertinggi Negara

Indonesia.

Page 115: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

97

B. Saran

1. Sebagai pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih

dalam jabatan publik agar tidak dipandang sebagai penjatuhan

pidana yang tidak sia – sia dan berlebihan, serta memberikan

efek jera khususnya bagi mereka yang dijatuhi pidana yang

diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, maka perlu

dilakukan revisi terhadap jangka waktu pencabutan hak

sebagaimana yang diatur dalam pasal 38 ayat (1) KUHP.

Terutama jangka waktu pencabutan hak bagi terpidana yang

dijatuhi pidana penjara waktu tertentu dan pidana denda,

kemudian para penegak hukum juga harus memiliki parameter

yang jelas dalam menerapkan pidana pencabutan hak memilih

dan dipilih terhadap terdakwa agar terjadi kepastian hukum di

masyarakat. Selain itu, penerapan pidana pencabutan hak

memilih dan dipilih dalam jabatan publik harus selalu berada

dalam koridor hukum terutama terkait pencantuman jangka

waktu pencabutan hak.

2. Mahkamah Konstitusi diharapkan melakukan penemuan hukum

yang lebih baik dengan mengkontruksi berdasarkan asas

keadilan dan asas kepastian hukum bagi seluruh rakyat

Indonesia. Selain itu ada harmonisasi hukum atau keselarasan

hukum dengan peraturan hukum lainnya agar tidak

Page 116: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

98

menimbulkan multi tafsir yang menimbulkan persoalan hukum

baru tapi idealnya putusan Mahkamah Konstitusi dapat

menghasilkan norma hukum baru yang lebih menegakkan dan

menjamin hak konstitusi warga negara.

Page 117: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

99

DAFTAR PUSTAKA

Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika,2011.

Anggi Prayurisman, Penerapan Sanksi Pidana di Bawah Ancaman Minimum Khusus dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Tesis , Fakultas Hukum Program Pascasarjana, Universitas Andalas Padang, 2011.

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian1. Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada. 2008.

Aswanto,Hukum dan Kekuasaan,Rangkang Education,

Yogyakarta,2012.

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education

Yogyakarta & PuKAP-Indonesia,Yogyakarta,2012.

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Sinar Grafika , Jakarta ,1991.

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan. Cet Ke-2. Jakarta:Sinar Grafika 2004.

Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturab Hak Asasi Manusia di Indonesua,Bandung: Penerbit PT.ALUMNI.

Budiardjo.M.Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2009.

Chaeruddin et al., Strategi Pencegahan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung,2008.

Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-

IV/2006,Jakarta:Sinar Grafika,2010.

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi , Jakarta: Sinar Grafika,2010.

Page 118: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

100

El Muhtaj Madja. Dimensi-Dimensi HAM Menguraikan Hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya. PT.Grafindo Persada.2008.

E. Utrecht.Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II.Surabaya:

Pustaka Tinta Mas. 1999.

I.G.M. Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten

Korupsi”Prespektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafiah Hukum”, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Jan Remmelink,Hukum Pidana Komentar atas Paal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme,Jakarta

:Konstitusi Press.

Jimly Assiddiqie,Pengantar Ilmu HukumTata Negara,Bandung:

Rajawali Press.2012

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern Rechtstaat,PT.Refika

Aditama, Bandung,2011.

M. Marwan & Jimmy P., Kamus Hukum,Yogyakarta: Gama Press,

2009.

Moh.Hatta, Kebijakan Politik Kriminal Penegakan Hukum dalam

Rangka Penanggulangan Kejahatan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam,Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.

Murtir Jeddawi, Manifestasi Otonomi Daerah Arah Kebijakan Publik dan Relasasi Pelaksanaan Otonomi Sebagai Acuan Bagi Pemerintah Daerah,Yogyakarta: Total Media, 2011.

Mariam Budiarjo.Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.2008.

Nini Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Sistem Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta, 2007.

Page 119: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

101

Mardjono Reksodiputro,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

dalam Tindak Pidana Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan

Korporasi, 23-24 November 1989, FH Undip, Semarang.

Muladi dan Dwidja Prayitno, Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012.

Merdenis.Kontemplasi dan analisis terhadap klasifikasi dan politik

hukum penegak ham di Indonesia.Jurnal Rechtsvinding,2(3),437-

451.2013.

Occupational Crime atau kejahatan jabatan adalah pihak-pihak pemegang kekuasaan publik atau pejabat pemerintah melakukan perbutan menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Lihat dalam Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang,Hukum Penitensier

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,2010 .

Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta ,2001.

Rohim,Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi,Pena Mukti Media, Depok ,2008.

S. Wojowasito,Kamus Umum Belanda Indonesia, PT Ichtiar baru, Jakarta ,1999 .

S.H. Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjajah Dengan Data Kontemporer, LP3ES, Jakarta ,1986.

Surahim da Suhandi Cahaya,Strategi dan Teknik Korupsi,Sinar

Grafika, Jakarta 2011.

Teguh Prasetyo.Kriminalisasi dalam Hukum Pidana.Nusa

Media:Bandung.2010.

Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di

Indonesia.Bandung : Eresco,1989.

Page 120: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

102

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 juncto Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak

Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 juncto Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2004 (UU No.5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun

2004) tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 (UU No. 8 Tahun 2008)

tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.

Putusan MK No. 14-17/PUU-V/2007

Putusan MK No.4/PUU/VII/2009.

Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015

Page 121: SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK …

103

Lain-Lain

http://acch.kpk.go.id/statistik-tindak-pidana-korupsi

Putri Adiyowati, https://nasional.tempo.co/read/.../ini-9-bekas-napi-yang-kini-jadi-calon-kepala-daerah.

Waih Anjari, Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam

Perspektif Hak Asasi Manusia,

jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/37

Kansil CST, “Pengantar Ilmu Hukum Data Hukum Indonesia”, Jakarta, Balai Pustaka, 1986.Lihat Bambang Heri Supriyanto, Penegakan Hukum Mengenai HAM Menurut Hukum Positif di Indonesia, Vol.2,2014,

https://media.neliti.com/media/publications/35620-ID-urgensi-pencabutan-hak-menduduki-jabatan-publik-bagi-pelaku-tindak-pidana-korups.pdf

Damang, S.H.,M.H.,http://www.negarahukum.com/hukum/defenisi-hak-asasi-manusia.html,

https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-

warga-negara-sebagai-sarana-pelaksanaan-kedaulatan-rakyat-

dalam-pemilu

https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-saranapelaksanaan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu