18
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 19 No. 2 Juli 2019: 191–208 p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280 191 “Tahukah kamu?”: Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) “Do You Know About This?”: Analysis of the Indonesian Socioeconomic Survey (Susenas) Data Meliyanni Johar a , Prastuti Soewondo a,b,* , Retno Pujisubekti a , Harsa Kunthara Satrio a , Ardi Adji a , & Iqbal Dawam Wibisono a a Kelompok Kerja Kebijakan Jaminan Kesehatan, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) b Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia [diterima: 23 Maret 2018 — disetujui: 11 Oktober 2018 — terbit daring: 26 September 2019] Abstract Susenas has been the backbone of many scientific research and public policies in Indonesia since 1960s. Nonetheless, some of its features have not been clearly conveyed and understood. We highlight two features that often lead to misinterpretation. First, the expenditure variable in Susenas does not measure private outlay but household’s consumption because it includes external assistance. Incomes of households which receive many assistances therefore are overestimated. Second, a sudden change in questionnaire since 2015 may disrupt trend analysis. Specifically for health items, this abrupt change coincides with any change stimulated by a new health initiative introduced by the Central Government. Keywords: survey data; Indonesia; health policy Abstrak Susenas telah menjadi dasar berbagai riset dan kebijakan di Indonesia sejak pertama kali dilaksanakan tahun 1963. Namun, ada fitur-fitur yang belum dipahami benar oleh para penggunanya. Artikel ini mengangkat dua fitur yang dapat menghasilkan inferensi kurang tepat. Yang pertama, variabel pengeluaran tidaklah mengukur pengeluaran pribadi, melainkan konsumsi, karena mencakup nilai bantuan ekonomi dari pihak lain. Implikasinya, variabel ini menafsirkan daya beli yang terlalu tinggi untuk rumah tangga yang menerima banyak subsidi. Yang kedua, adanya perubahan kuesioner pada Susenas 2015 yang berdampak pada analisis tren pengeluaran. Khususnya untuk pengeluaran kesehatan, pergerakan ini bisa disalahartikan sebagai dampak program baru pemerintah ditahun sebelumnya. Kata kunci: survei data; Indonesia; kebijakan kesehatan Kode Klasifikasi JEL: C80; I11 Pendahuluan Indonesia memiliki data kondisi sosioekonomi ru- mah tangga yang bersifat representasi nasional atau dikenal sebagai Survei Sosial Ekonomi Nasional (Su- senas). Data ini dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 1963. Data cross section dikumpulkan secara berulang setiap tahun atau * Alamat Korespondensi: Sekertariat TNP2K. Grand Kebon Sirih, Lantai 16 Menteng, Jakarta Pusat. E-mail: prastuti.s@gmail. com. dua tahun yang mencakup seluruh provinsi di In- donesia. Susenas seri pertama mencakup 14.670 rumah tangga, tetapi sejak tahun 2011 jumlah sam- pel diperbesar menjadi lebih dari 285.000 rumah tangga, yang mana tinggal 1.18 juta individu. Di tahun 2007, sebagian dari sampel Susenas (sekitar 27% rumah tangga) diikuti selama setahun untuk mendalami isu kemiskinan di tingkat kabupaten. Perkembangan dan perubahan pada struktur peng- ambilan data Susenas dalam 7 tahun terakhir (li- hat Tabel 1); Susenas 2017 baru saja dibuka untuk JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan IndonesiaVol. 19 No. 2 Juli 2019: 191–208

p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280 191

“Tahukah kamu?”: Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi Nasional(Susenas)

“Do You Know About This?”: Analysis of the Indonesian Socioeconomic Survey(Susenas) Data

Meliyanni Johara, Prastuti Soewondoa,b,∗, Retno Pujisubektia, Harsa Kunthara Satrioa, Ardi Adjia,& Iqbal Dawam Wibisonoa

aKelompok Kerja Kebijakan Jaminan Kesehatan, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)bDepartemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

[diterima: 23 Maret 2018 — disetujui: 11 Oktober 2018 — terbit daring: 26 September 2019]

Abstract

Susenas has been the backbone of many scientific research and public policies in Indonesia since 1960s. Nonetheless,some of its features have not been clearly conveyed and understood. We highlight two features that often lead tomisinterpretation. First, the expenditure variable in Susenas does not measure private outlay but household’s consumptionbecause it includes external assistance. Incomes of households which receive many assistances therefore are overestimated.Second, a sudden change in questionnaire since 2015 may disrupt trend analysis. Specifically for health items, thisabrupt change coincides with any change stimulated by a new health initiative introduced by the Central Government.Keywords: survey data; Indonesia; health policy

AbstrakSusenas telah menjadi dasar berbagai riset dan kebijakan di Indonesia sejak pertama kali dilaksanakan tahun1963. Namun, ada fitur-fitur yang belum dipahami benar oleh para penggunanya. Artikel ini mengangkatdua fitur yang dapat menghasilkan inferensi kurang tepat. Yang pertama, variabel pengeluaran tidaklahmengukur pengeluaran pribadi, melainkan konsumsi, karena mencakup nilai bantuan ekonomi dari pihaklain. Implikasinya, variabel ini menafsirkan daya beli yang terlalu tinggi untuk rumah tangga yang menerimabanyak subsidi. Yang kedua, adanya perubahan kuesioner pada Susenas 2015 yang berdampak pada analisistren pengeluaran. Khususnya untuk pengeluaran kesehatan, pergerakan ini bisa disalahartikan sebagaidampak program baru pemerintah ditahun sebelumnya.Kata kunci: survei data; Indonesia; kebijakan kesehatan

Kode Klasifikasi JEL: C80; I11

Pendahuluan

Indonesia memiliki data kondisi sosioekonomi ru-mah tangga yang bersifat representasi nasional ataudikenal sebagai Survei Sosial Ekonomi Nasional (Su-senas). Data ini dikumpulkan oleh Badan PusatStatistik (BPS) sejak tahun 1963. Data cross sectiondikumpulkan secara berulang setiap tahun atau

∗Alamat Korespondensi: Sekertariat TNP2K. Grand KebonSirih, Lantai 16 Menteng, Jakarta Pusat. E-mail: [email protected].

dua tahun yang mencakup seluruh provinsi di In-donesia. Susenas seri pertama mencakup 14.670rumah tangga, tetapi sejak tahun 2011 jumlah sam-pel diperbesar menjadi lebih dari 285.000 rumahtangga, yang mana tinggal 1.18 juta individu. Ditahun 2007, sebagian dari sampel Susenas (sekitar27% rumah tangga) diikuti selama setahun untukmendalami isu kemiskinan di tingkat kabupaten.Perkembangan dan perubahan pada struktur peng-ambilan data Susenas dalam 7 tahun terakhir (li-hat Tabel 1); Susenas 2017 baru saja dibuka untuk

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 2: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

“Tahukah kamu?”: Analisis Set Data...192

umum, setelah kajian ini selesai dibuat. Sejak tahun2015, Susenas hanya dikoleksi 2 kali setahun pa-da Maret dan September. Penulis melaporkan jugareferensi periode terpendek untuk setiap kategoribarang dan jasa di dalam modul pengeluaran, yangakan diulas dalam penelitian ini.

Susenas dapat dikaitkan dengan berbagai set da-ta di Indonesia, seperti Survei Potensi Desa (Podes)di tingkat kabupaten, Riset Kesehatan Dasar (Riskes-das), dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)di level grup (seperti grup umur-gender) untukmemperkaya informasi tentang kehidupan sehari-hari rumah tangga di Indonesia. Dengan demikian,Susenas telah digunakan secara luas oleh pembuatkebijakan, peneliti nasional dan internasional, sertamahasiswa/i yang menyusun skripsi atau diserta-si untuk menjawab berbagai pertanyaan peneliti-an, termasuk kesetaraan pendapatan (Sidique et al.,2014; Nugraha dan Lewis, 2013a; Sumarto et al., 2007;Asra, 2000; Cameron, 2000; Akita et al., 1999; Akitadan Lukman, 1995), perilaku layanan kesehatan(Sparrow et al., 2014; van Doorslaer et al., 2005, 2006;Kruse et al., 2012; Pradhan dan Prescott, 2002), pen-capaian pendidikan (Suryadarma, 2012; Akita danMiyata, 2008; Sparrow, 2007; Thomas et al., 2004),opsi fertilitas (Grimm et al., 2015; Kim, 2010), bayar-an pasar pekerja (Pasay et al., 2011; Comola dan DeMello, 2011; Bird dan Manning, 2008), dan dalampenelitian-penelitian evaluasi kebijakan (Sparrowet al., 2013; Nugraha dan Lewis, 2013b; Sumarto etal., 2005; Hastuti, 2007; van Doorslaer et al., 2006;Levinsohn et al., 2003; Waters et al., 2003).

Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengangkatdua keterbatasan Susenas yang mungkin berdam-pak pada inferensi hasil penelitian para pengguna-annya. Keterbatasan yang pertama adalah Susenastidak lazim digunakan untuk mengukur besarnyapengeluaran yang sering kali dipakai sebagai prok-si pendapatan pribadi rumah tangga. Kelemahanini belum dipahami benar oleh banyak pembuatkebijakan dan peneliti, walaupun Susenas sering

kali digunakan untuk membuat inferensi tentangpengeluaran pribadi rumah tangga. Variabel penge-luaran dalam Susenas sebenarnya tidak mengukurpengeluaran pribadi rumah tangga karena variabelini termasuk nilai subsidi atau bantuan ekonomilain yang diterima oleh rumah tangga ketika mem-peroleh barang dan jasa. Jadi, variabel pengeluaranpada Susenas menafsirkan total pengeluaran, bukanuntuk pengeluaran pribadi, yang dibiayai sendiridari kantong rumah tangga atau yang sering di-sebut sebagai out-of-pocket (OOP) dan/atau yangdibiayai oleh pembayar lain, termasuk pemerintah.Besaran nilai OOP dari total pengeluaran tidak bisadipisahkan dalam data Susenas. Peneliti hanya bisamelihat satu kesatuan ‘pengeluaran’ untuk sebuahbarang atau jasa.

Keterbatasan data Susenas yang kedua adalahadanya perubahan yang tidak konsisten dengandata di tahun sebelumnya pada Susenas tahun 2015.Perubahan ini terjadi pada beberapa jenis pengelu-aran (lihat Tabel 1). Misalnya, pengeluaran untukbiaya pengobatan di rumah sakit yang selalu diukurdengan satu bulan terakhir berubah referensinyamenjadi satu tahun terakhir di Susenas tahun 2015dan 2016. Hal ini dapat mengganggu analisis trenpengeluaran barang dan jasa tersebut dan juga trentotal pengeluaran dari tahun ke tahun. Misalnya,daya ingat responden cenderung lebih buruk untukperiode referensi yang lebih panjang. Dalam artikelini, penulis mengangkat pengeluaran kesehatan se-bagai sebuah studi kasus, dengan perubahan yangmendadak pada survei tahun 2015 ini menyebabkanpergerakan tren pengeluaran kesehatan yang tidakkonsisten dengan kumpulan set data lain. Selainitu, pergerakan tren yang bersamaan dengan tahunpertama program kebijakan nasional yang meng-ubah sektor kesehatan akan mempersulit prosesevaluasi kebijakan kesehatan ini. Peneliti harus bisamemisahkan pergerakan tren yang betul-betul dise-babkan oleh kebijakan pemerintah pusat di tahun2014 dari pergerakan tren “buatan” yang disebab-

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 3: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

Johar, M., et al. 193

Tabel 1: Cakupan Data Susenas dan Periode Referensi Modul Pengeluaran

2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017Cakupan Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional NasionalBulan Pengambilan Data 5, 6, 11, 12 5, 6, 11, 12 5, 6, 11, 12 5, 6, 11, 12 3, 11 3, 11 3, 11# Rumah Tangga 285.307 286.113 284.063 285.400 285.908 291.414 297.276# Individu 1.118.239 1.114.445 1.094.179 1.098.280 1.097.719 1.109.749 1.132.749Kategori Besar PengeluaranMakanan 1 minggu 1 minggu 1 minggu 1 minggu 1 minggu 1 minggu 1 mingguPerumahan dan Fasilitas Rumah 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan

Subkategori Generator 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 tahun 1 tahun 1 bulanPos dan Telekomunikasi 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulanAneka Barang dan Jasa 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulanKesehatan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 tahun 1 tahun 1 bulanPendidikan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 tahun 1 tahun 1 bulanTransportasi 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 tahun 1 tahun 1 bulan

Subkategori Transportasi 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 tahun 1 tahun 1 bulanPakaian, Alas Kaki, Tutup Kepala 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 tahun 1 tahun 1 bulanBarang Tahan Lama 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 tahun 1 tahun 1 bulanPajak, Pungutan, dan Asuransi 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 tahun 1 tahun 1 bulanKeperluan Pesta, Upacara/Kenduri 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 tahun 1 tahun 1 bulan

Sumber: Susenas 2011–2016, diolahKeterangan: Baris yang diblok merupakan kategori yang berubah referensi waktu pertanyaan pada Susenas tahun 2015 hingga 2017

kan oleh perubahan periode referensi. Setelah haltersebut dilakukan, inferensi dan advokasi menge-nai pencapaian program terhadap targetnya barudapat dibuat secara tepat.

Sepengetahuan penulis, ini pertama kalinya ke-terbatasan data Susenas dimuat dalam artikel ilmi-ah nasional, yang dapat dijadikan referensi olehkajian-kajian, buku, dan kurikulum di masa depan.Selain itu, penelitian ini juga menawarkan teknikyang bisa digunakan peneliti untuk menanganiketerbatasan data Susenas yang kedua, agar anali-sis tren pengeluaran bisa terus dilakukan. Walaupada kesempatan ini, penulis hanya mengambilkasus pengeluaran kesehatan, teknik ini bisa diapli-kasikan ke pengeluaran lainnya yang mengalamiperubahan periode referensi.

Penelitian ini disusun sebagai berikut: bagianPendahuluan, selanjutnya di bagian Tinjauan Lite-ratur, penulis mengulas literatur yang ada, terutamapenelitian-penelitian yang menggunakan data Su-senas dalam membuat inferensi utama dan berisikountuk membuat inferensi yang kurang tepat kare-na kurangnya pemahaman peneliti terhadap dataSusenas. Berikutnya penulis akan membahas keco-cokan antara besaran pengeluaran rumah tangga

dengan tingkat kekayaan rumah tangga tersebut,yang diukur dari kepemilikan rumah, kendaraan,dan barang-barang berharga lainnya. Idenya ada-lah, jika pengeluaran mencerminkan status eko-nomi rumah tangga secara akurat, maka rumahtangga-rumah tangga yang memiliki pengeluarankecil juga cenderung rendah kekayaannya. Penulisakan menerangkan metode yang digunakan un-tuk membuat indeks kekayaan rumah tangga dibagian Metode. Pada bagian Metode, penulis jugaakan membahas teknik yang dapat digunakan un-tuk mengatasi perubahan dadakan dalam referensiperiode data pengeluaran. Setelah itu, penulis me-laporkan temuan dari analisis perbandingan nilaipengeluaran dan indeks kekayaan sebagai acuanperingkat ekonomi rumah tangga, serta hasil da-ri koreksi tren pengeluaran di bagian Hasil danAnalisis. Terakhir, penulis tutup dengan bagianKesimpulan.

Tinjauan Literatur

Oleh karena belum ada penelitian sebelumnya yangmembahas topik seperti ini, penulis akan mem-bahas beberapa penelitian yang penulis anggap

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 4: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

“Tahukah kamu?”: Analisis Set Data...194

tidak tepat karena menggunakan data Susenas un-tuk mengukur pengeluaran pribadi rumah tangga.Sidique et al. (2014) menggunakan Susenas tahun1999–2008 untuk menganalisis dampak desentra-lisasi fiskal terhadap ketimpangan ekonomi. Le-vel ketimpangan ekonomi diukur menggunakanindeks Gini dengan besaran pengeluaran rumahtangga sebagai pengukur kekuatan ekonomi. Tabel2 menampilkan hasil ekstrak Tabel 1 dari peneli-tian tersebut yang melaporkan tren pada indeksGini, serta variasi dalam kelompok (within-group)dan antarkelompok (between-group) pada desil pe-ngeluaran. Dapat dilihat bahwa, pengeluaran ru-mah tangga bervariasi karena adanya perbedaanbetween-group yang besar. Hal ini konsisten dengankonsep ketimpangan ekonomi. Penelitian ini lantasmenyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal mening-katkan ketimpangan ekonomi di negara Indonesia.Namun, karena sebenarnya variabel pengeluarandi Susenas adalah konsumsi, maka kesimpulanini tidak akurat karena apabila pemerintah daerahmenjalankan program-program sosial berupa sub-sidi untuk rumah tangga miskin sehingga rumahtangga-rumah tangga penerima bantuan akan “ka-ya” menurut konsumsi, dan ketimpangan ekonomijustru berkurang karena desentralisasi fiskal.

Sparrow et al. (2014) menggunakan variabel pe-ngeluaran di Susenas untuk dua variabel pentingdalam penelitiannya, yaitu (i) pengeluaran kesehat-an sebagai pengukur out-of-pocket kesehatan dan(ii) pengeluaran per kapita, neto dari pengeluar-an kesehatan, sebagai pengelompok rumah tanggamenurut status ekonomi. Untuk variabel (ii), pe-nelitian Sparrow et al. memiliki risiko terdapatnyakesalahan dalam menafsirkan status ekonomi ru-mah tangga seperti penelitian Sidique et al. (2014).Dalam penelitian ini, Sparrow et al. menganalisisbagaimana kondisi sakit bisa mendorong sebuahrumah tangga menjadi miskin. Hasil penelitianmenunjukan bahwa secara rata-rata, shock negatifkesehatan akan menaikkan pengeluaran kesehatan

hampir 100%. Jelas pengeluaran kesehatan mening-kat jika ada anggota rumah tangga yang sakit, tetapipihak mana yang menanggung biayanya tidak bisadisimpulkan dari Susenas. Terutama untuk rumahtangga miskin, bisa saja out-of-pocket kesehatan tidakmeningkat karena pemerintah membayar seluruhbiaya pengobatan rumah tangga miskin.

Masih dalam topik pengeluaran kesehatan, vanDoorslaer et al. (2005) menggunakan out-of-pocket ke-sehatan dalam mencerminkan konsep pengeluarankatastropik (catastrophic out-of-pocket) kesehatan danpengeluaran yang menyebabkan kemiskinan (impo-verishing out-of-pocket). Definisi katastropik adalahbesaran pengeluaran kesehatan yang dikeluarkanhampir menghabiskan semua pendapatan rumahtangga saat itu. Supaya konsep katastropik ini me-miliki interpretasi yang tepat, rumah tangga harusmenjadi pihak pembayar dan sumber dana harusberasal dari penghasilan pribadi rumah tangga.Namun, informasi ini tidak bisa didapatkan di re-kaman data Susenas.

Sama halnya dengan pengeluaran kesehatanyang menyebabkan kemiskinan. Konsep ini diukurmelalui hitungan banyaknya rumah tangga yangberada di bawah garis kemiskinan setelah memba-yar biaya kesehatan. Konsep ini membutuhkan dataout-of-pocket kesehatan yang benar, bukan informasitotal pengeluaran kesehatan, karena tidaklah benarjika menganggap semua penurunan besaran penge-luaran rumah tangga dibayar oleh rumah tanggasendiri dalam data Susenas.

Ketiga penelitian ini penulis ambil sebagai contohbahwa kurangnya pemahaman peneliti atas dataSusenas bisa menjurus pada kuantitas dan inferensiyang tidak akurat. Implikasinya bisa berkepanjang-an, sampai ke pembuatan kebijakan yang kurang te-pat. Penggunaan data Susenas di luar kajian ilmiahsebetulnya cukup luas, misalnya untuk laporan pe-merintah yang tidak dipublikasikan untuk umum.Misalnya, modul pengeluaran Susenas digunakanBPS untuk mengukur tingkat kemiskinan (poverty

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 5: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

Johar, M., et al. 195

Tabel 2: Kesenjangan Pengeluaran per Kapita Riil Rumah Tangga Berdasarkan Desil di Indonesia

Sumber: Sidique et al. (2014)

rate). BPS terlebih dahulu membentuk ‘pendudukreferensi’ untuk mendapatkan nilai konsumsi mini-mum yang harus dipenuhi sebuah rumah tanggauntuk memperoleh standar hidup yang layak. Un-tuk tujuan ini, data pengeluaran di Susenas cocokdigunakan, karena tujuannya memang untuk meng-ukur konsumsi – siapa pun pembayarnya. ‘Pendu-duk referensi’ ini terdiri dari 20% rumah tanggadalam Susenas dengan nilai pengeluaran per kapi-ta terdekat di atas Garis Kemiskinan sebelumnya;setiap tahunnya, Garis Kemiskinan disesuaikan de-ngan pergerakan inflasi umum. Di dalam keranjangpenduduk referensi, terdapat 52 komoditi dasar ma-kanan dan komoditi nonmakanan, yang meliputiperumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.Kebutuhan minimum makanan adalah pemenuhan2.100 kalori per hari per kapita. Nilai konsumsi mi-nimum makanan dihitung dari rata-rata harga perunit masing-masing komoditi makanan (didapatdari hasil interview dengan responden rumah tang-ga Susenas), dikalikan dengan jumlah unit yangdiperlukan untuk memenuhi kalori minimum diatas. Sementara untuk komoditi nonmakanan, nilaikebutuhan minimum per komoditi diukur menggu-nakan rasio pengeluaran minimal komoditi tersebutterhadap total pengeluaran komoditi nonmakan-an. Nilai rasio didapatkan dari hasil Survei PaketKomoditi Kebutuhan Dasar 2004 (SPKKD 2004).

Metode

Bagian ini dibagi menjadi dua. Pertama, penulisakan mendiskusikan fitur dari variabel pengeluarandi Susenas yang relevan untuk semua jenis barangdan jasa. Setelah itu, penulis akan menggunakanbarang dan jasa kesehatan sebagai sebuah studikasus.

Pengeluaran di Susenas

Buku Pengeluaran di Susenas menanyakan kepadaperwakilan rumah tangga besarnya pengeluaranuntuk barang-barang dan jasa dalam satuan Ru-piah.1 Untuk makanan, periode referensi yang di-gunakan adalah tujuh hari (lihat Tabel 1). Untukbarang dan jasa bukan makanan, ada variasi diperiode referensi di tahun 2015. Sampai tahun 2014,pengeluaran untuk semua barang dan jasa bukanmakanan tersedia setiap bulan dan di tiga bulanterakhir. Pada Susenas tahun 2015 dan seterusnya,

1Tidak ada tulisan eksplisit tentang Susenas modul KeteranganKonsumsi/Pengeluaran Makanan dan Bukan Makanan, dan Pendapat-an/Penerimaan Rumah Tangga tentang bagaimana pewawancaramengajukan tiap pertanyaan ke responden rumah tangga. Teta-pi, tersedia judul di tiap seksi dalam buku (seperti Pengeluaranuntuk Barang-Barang Bukan Makanan Selama Sebulan dan SetahunTerakhir (Dalam Rupiah) dengan pengeluaran kesehatan yang terletakdalam BLOK IV.2), yang dapat diterjemahkan ke dalam BahasaInggris.

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 6: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

“Tahukah kamu?”: Analisis Set Data...196

beberapa kategori besar barang dan jasa bukanmakanan mempunyai periode referensi satu tahundengan pengeluaran bulan lalu tidak lagi ditanya-kan (lihat Tabel 1). Ragam barang dan jasa bukanmakanan yang terpengaruh dengan perubahan iniadalah biaya renovasi rumah, premi asuransi danpajak, pengeluaran untuk pakaian, barang-barangdan jasa kesehatan, biaya pemeliharaan kendaraan,pengiriman barang, pengeluaran pesta dan upaca-ra adat, serta biaya operasional generator pribadi.Sementara pengeluaran seperti pembayaran sewarumah, utilitas, bahan bakar untuk masak dan ken-daraan, tagihan telepon, tagihan internet, produkhigienis, langganan surat kabar, dan gaji pembantumasih tersedia dalam satu bulan terakhir.

Meskipun kuesioner Susenas menanyakan be-saran pengeluaran kepada responden, nilai yangdirekam dalam set data tidaklah spesifik untuk pe-ngeluaran pribadi rumah tangga atau out-of-pocket.Sebagai contoh, apabila enumerator menanyakanberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk membe-li tabung gas LPJ (Elpiji) untuk memasak bulan lalu,responden bisa menjawab dia membeli 3 tabunggas hijau bersubsidi dengan harga Rp60.000. Akantetapi bukan angka ini yang direkam. Nilai penge-luaran yang dicatat adalah harga pasaran tabunggas tersebut dikali 3, bukan harga subsidi dikali 3yang dikeluarkan rumah tangga. Sama halnya keti-ka rumah tangga menerima bantuan pangan beras,maka yang dicatat dalam set data adalah harga un-tuk beras jenis tersebut di pasar. Enumerator akanmeminta estimasi harga dari responden. Misalnya,“harga di pasar berapa, Bu?” Pada umumnya, jikarumah tangga dapat menunda atau menghindaripembayaran barang atau jasa, maka biaya penam-bah atau pengganti –nilai subsidi yang diestimasiresponden dengan bantuan enumerator– akan di-tambahkan dengan out-of-pocket dan dicatat sebagaivariabel pengeluaran.

Biaya pengganti telah digunakan di semua seridata Susenas, akan tetapi penjelasannya hanya di-

dokumentasikan dalam buku pedoman untuk enu-merator pada saat pelatihan pengambilan data dantidak tersedia dalam bentuk elektronik.2 Oleh sebabitu, banyak penelitian yang menggunakan Susenastidak memperhitungkan kekurangan data yang sa-tu ini: variabel pengeluaran sebetulnya adalah totalkonsumsi rumah tangga yang dibiayai dari out-of-pocket dan bantuan/subsidi. Inilah keterbatasanSusenas pertama yang penulis angkat dalam artikelini, yakni adanya kesalahpahaman atas interpre-tasi variabel pengeluaran. Penelitian sebelumnyatelah menginterpretasikan variabel pengeluaran diSusenas sebagai out-of-pocket (contohnya laporanWorld Bank untuk out-of-pocket kesehatan untuk ku-run waktu 1995–2015 (World Bank, 2016)). Khususuntuk penelitian yang menggunakan pengeluarandi Susenas sebagai pengukur besaran pendapatanrumah tangga3, penelitian-penelitian tersebut akanmenaksir lebih tinggi daya beli pribadi rumah tang-ga berpendapatan rendah yang menerima berbagaimacam bantuan ekonomi. Parahnya, rumah tanggaini tidak bisa dibedakan dengan rumah tangga lainyang betul-betul mempunyai pendapatan tinggidari penghasilannya. Implikasi selanjutnya ada-lah hasil penelitian tentang kesejahteraan rumahtangga yang disebabkan oleh kesenjangan ekono-mi akan melaporkan dampak kesenjangan yanglebih kecil daripada yang sebenarnya terjadi; inidikarenakan berbagai pencapaian sebagian rumahtangga dengan nilai konsumsi besar (contohnyapencapaian pendidikan, penggunaan layanan ke-sehatan, dan sebagainya), yang sebenarnya adalahpencapaian rumah tangga berpendapatan rendahdengan bantuan pihak lain, termasuk pemerintah.

2Sayangnya, tidak ada indikator barang-barang dan jasaapa saja yang menggunakan biaya pengganti. Ada beberapainformasi tentang hutang piutang di Susenas di tahun-tahunawal, tetapi tidaklah cukup untuk mengidentifikasi besarankredit untuk setiap barang dan jasa.

3Karena informasi besaran pendapatan rumah tangga dari la-poran sendiri sering tidak dapat dipercaya akurasinya, misalnyaresponden cenderung tidak melaporkan seluruh pendapatan,maka data besaran pendapatan lapor sendiri secara umum tidakdipakai. BPS juga tidak memperbolehkan akses ke data ini.

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 7: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

Johar, M., et al. 197

Seberapa besar nilai bantuan tersebut adalah per-tanyaan empiris yang belum bisa terjawab dengandata yang ada.

Oleh karena konsumsi tidaklah sesuai untuk men-jadi pengukur status ekonomi sebuah rumah tang-ga, maka penulis harus mencari variabel alternatif.Di Susenas, ada variabel kepemilikan rumah yangdihuni, kendaraan bermotor, barang-barang ber-harga lainnya, serta karakteristik kualitas rumah.Variabel-variabel ini bisa mencerminkan harta ataukekayaan sebuah rumah tangga. Penulis memilihvariabel-variabel populer yang dipakai di literatur:kepemilikan rumah, sepeda motor, televisi, tele-pon, pendingin ruangan, pemanas air, kulkas dankomputer, bahan utama genting, tembok dan lantai,sumber air minum dan air untuk mandi dan cuci,adanya jamban dalam rumah, serta bahan bakarutama untuk memasak. Bahan bangunan rumahmungkin dipengaruhi oleh preferensi daerah ataurumah tangga sendiri, misalnya rumah tangga ka-ya berdinding kayu. Akan tetapi, secara kolektif,variabel-variabel ini seharusnya bisa menggam-barkan status kekayaan rumah tangga (Sumarto etal., 2017). Terlebih lagi, penulis akan membuat indi-kator kekayaan yang merupakan skor rangkumandari pengaruh semua variabel. Indikator kekayaandapat dibuat melalui analisis komponen utama dariPrincipal Components Analysis (PCA) berdasarkankumpulan variabel ini.

Tujuan dari PCA adalah untuk mendeteksi kore-lasi antara banyak variabel. PCA digunakan untukmengurangi sejumlah variabel dalam data ke dalamdimensi yang lebih kecil (Vyas dan Kumaranayake,2006). Seperti dalam kasus penulis, ada banyakvariabel yang dapat mencerminkan kekayaan ru-mah tangga. Penggunaan semua variabel ini bisamenyebabkan problem statistik yang sering dise-but sebagai curse of dimentionality atau kebanyakandimensi karena terlalu banyak data. Jika korela-si antara variabel-variabel ini kuat, penulis bisa“merangkum” informasi dari variabel-variabel ini

sehingga tidak perlu menggunakan semua variabeldalam sebuah analisis, menghindari curse of dimen-tionality. Metode PCA mencari direksi atau arahvariasi yang maksimal pada data berdimensi besardan memproyeksikan itu ke dimensi yang lebihkecil tanpa kehilangan informasi. Metode ini lebihefisien daripada mengurangi jumlah variabel yangdipakai untuk mengurangi dimensi. Secara teknis,metode PCA membuat variabel-variabel baru darikombinasi linear variabel original dengan bobotyang berbeda-beda. Variabel-variabel baru ini di-sebut sebagai principal components (PCs). Misalnya,dari satu set n variabel yang berkorelasi, X1 ke Xn,penulis bisa menulis ekspresi untuk PCs:

PC1 = a11X1 + a12X2 + a13X3 + · · · + a1nXn

PC2 = a21X1 + a22X2 + a23X3 + · · · + a2nXn

...

PCm = am1X1 + am2X2 + am3X3 + · · · + amnXn (1)

dengan amn merepresentasikan bobot untuk PC no-mor m dan variabel Xn. Bobot yang dicari adalahkombinasi yang membuat sebuah PC memiliki va-riasi yang maksimum, tetapi juga harus memenuhikriteria independen atau tidak berkorelasi denganPCs lain. Secara grafik, ini bisa dilihat di Gambar 1yang penulis kutip dari Vyas dan Kumaranayake(2006). PC-1 dan PC-2 tidak berkorelasi atau inde-penden satu sama lain; arah keduanya berbeda danbersudut 45 derajat pada interseksi.

Gambar 1: Ilustrasi Dua Principal Component (PC) yangIndependen

Sumber: Vyas dan Kumaranayake (2006)

Isian bobot adalah eigenvector dari matriks ko-

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 8: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

“Tahukah kamu?”: Analisis Set Data...198

relasi variabel X1 sampai Xn dan besarnya variasisetiap PC diukur oleh eigenvalue dari eigenvectortersebut. Kuadratik dari bobot-bobot ini bertotal 1;(a2

11 +a212 +a2

13 + · · ·+a21n) = 1. Jadi, jumlah PCs adalah

sama dengan banyaknya variabel di PC: n. Lalu PCsdiurutkan menurut banyaknya variasi yang bisadijelaskan. PC yang teratas mampu menjelaskanvariasi terbanyak yang ada pada data. Sebagian be-sar sisa variasi dalam data dijelaskan oleh PC yangkedua dari atas, independen dari PC yang pertama,dan begitu seterusnya. Biasanya 1–3 PCs teratasmampu menangkap mayoritas variasi yang ada didata original. Semakin kuat korelasi antara variabel,semakin sedikit PC yang dibutuhkan untuk men-jelaskan mayoritas variasi pada data. Lihat Jolliffedan Cadima (2016) untuk rincian mekanisnya sertaperkembangan penggunaan PCA belakangan ini.Oleh karena, biasanya ada puluhan variabel padaawalnya, teknik ini sering juga dinamai teknik datacompression atau data reduction. Dengan programmodern statistik, PCA sudah menjadi teknik anali-sis yang umum digunakan, seperti yang dilakukanVyas dan Kumaranayake (2006) yang menghitungukuran sosio-ekonomi berdasarkan PCA di Brazildan Etiopia menggunakan data Demographic HealthSurvey (DHS).

Untuk indikator kekayaan rumah tangga dalampenelitian ini, variabel-variabel yang memiliki lebihdari dua opsi (ya/tidak), seperti bahan utama lantaidan dinding, penulis membuat peringkat yang se-suai dengan nilai barang tersebut. Misalnya, bahanutama lantai bisa berasal dari tanah, kayu, semen,atau keramik. Penulis memberi nilai 1 untuk ta-nah, 2 untuk kayu, 3 untuk semen, dan 4 untukkeramik. Jadi, semakin besar angkanya, semakinbesar kemungkinan kalau rumah tangga itu adalahrumah tangga kaya. Estimasi dilakukan melaluiprogram statistik STATA dengan prosedur ‘polycho-ric’ yang bisa mengakomodasi variasi pada level divariabel-variabel yang dipakai dalam PCA.

Indikator kekayaan dibuat setiap tahunnya se-

belum data tahunan digabung menjadi satu databesar. Gambar 2 adalah scree plot yang mengurutkanPCs sesuai dengan besaran variasi yang ditangkap.Bisa dilihat, di semua tahun, PC yang pertama (ter-atas) menangkap mayoritas besar dari variasi didata original dan PCs setelahnya hanya menambah-kan sedikit informasi. Oleh karena itu, penulis rasacukup rasional hanya memakai PC teratas. PC inimempunyai korelasi yang tinggi dengan kondisidapur yang baik (sumber air yang baik, ada kul-kas, bahan bakar yang baik untuk memasak), statuslantai, dan status dinding yang baik. Nilai dari PCsendiri tidak mempunyai arti yang riil, tetapi besar-annya mengindikasikan tingkat kekayaan sebuahrumah tangga: semakin besar nilai indeks, semakinkaya rumah tangga tersebut. Jadi, indeks ini bisadipakai untuk mengurutkan rumah tangga dariyang terkaya ke yang termiskin.

Studi Kasus: Pengeluaran Kesehatan

Pengeluaran kesehatan adalah kasus yang cukupmenarik setidaknya untuk dua alasan. Pertama, be-sarnya bantuan ekonomi untuk barang dan jasakesehatan sangatlah sulit untuk diestimasi. Tidakseperti bantuan untuk pendidikan, utilitas, berasdan bantuan nontunai lainnya –yang mungkin bisadiestimasi dengan cukup akurat oleh respondenrumah tangga dalam proses pengumpulan datadan oleh para peneliti dari variabel pengeluarankesehatan yang terekam di set data (contohnyamelalui jenjang dan tipe sekolah anak maupun be-sarnya rumah tangga dan tipe rumah)– nilai subsidikesehatan mempunyai variasi yang sangat tinggikarena tarifnya berbeda jauh untuk beragam jasadan barang kesehatan, belum lagi variasi dalam ku-alitas fasilitas kesehatan, intensitas pembelian, dankompleksitas penyakit yang diderita. Pada umum-nya, sebagian besar orang tidak mengetahui hargapasti dari layanan kesehatan sampai melihat tagih-an biaya medis. Bagi penerima subsidi kesehatan,rincian tagihan ini tidak pernah diberikan. Jadi, sa-

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 9: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

Johar, M., et al. 199

Gambar 2: Scree plot Indeks Kekayaan Rumah Tangga 2011–2016Sumber: Susenas 2011–2016, diolah

ngatlah sulit bagi responden rumah tangga untukmengestimasi secara tepat biaya pengobatan medis,terutama ketika layanan mencakup perawatan dirumah sakit, prosedur yang kompleks, dan resepobat yang mahal. Implikasinya adalah nilai penge-luaran kesehatan rumah tangga penerima subsidiyang terekam di Susenas cenderung mengurangibiaya kesehatan yang sebenarnya, terutama bagirumah tangga-rumah tangga dengan kebutuhanmedis yang tinggi.

Kedua, perubahan format survei secara mendadakdi Susenas tahun 2015 dan seterusnya bertepatandengan reformasi sistem kesehatan publik di negarakita. Pemerintah Pusat menyelenggarakan programJaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014untuk mengurangi beban biaya kesehatan rumahtangga melalui kepemilikan jaminan kesehatan so-sial. Peta jalan JKN menargetkan bahwa seluruhwarga negara Indonesia harus ikut serta dalamjangka waktu 5 tahun ke depan (2019). Perubahanformat survei ini akan mempersulit proses evalu-asi pelaksanaan JKN, karena perubahan tersebutmenyebabkan pergerakan pada tren pengeluaran

kesehatan yang tidak didasari pada perubahaan riilpenggunaan jasa dan produk kesehatan.

Sebelum tahun 2015, Susenas mencatat besar-an pengeluaran untuk barang dan jasa kesehatandalam periode waktu per bulan untuk tiga bulanterakhir. Untuk tahun 2015 dan seterusnya, perio-de referensi ini secara mendadak berubah menjadidua belas bulan atau satu tahun terakhir dan be-sar pengeluaran bulan lalu tidak lagi ditanyakan(lihat Tabel 1). Oleh karena itu, untuk meneruskananalisis tren pengeluaran kesehatan, rata-rata pe-ngeluaran kesehatan bulanan perlu diestimasi daripengeluaran tahunan, seperti membaginya dengan12. Asumsi ini akan memberikan bobot yang sa-ma rata setiap bulan. Akan tetapi, karena faktanyaada banyak rumah tangga yang tidak memerlukanlayanan kesehatan rutin setiap bulannya, nilai rata-rata pengeluaran kesehatan bulanan yang dihitungdari pengeluaran tahunan (dibagi 12) tersebut a-kan sangat kecil untuk banyak rumah tangga. Jikadibandingkan dengan tren tahun-tahun sebelum-nya, yang memang rekap bulanan yang sebenarnyadicatat, maka rata-rata di tahun 2015 dan selanjut-

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 10: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

“Tahukah kamu?”: Analisis Set Data...200

nya akan jauh lebih kecil. Untuk kasus-kasus biayakesehatan sesaat yang besar, contohnya keadaandarurat, rawat inap, dan kelahiran juga tidak terca-tat secara utuh karena adanya proses konversi ini,misalnya biaya bersalin harus dibagi 12.

Pengeluaran bulanan diperlukan untuk menga-nalisis tren jangka menengah dan panjang. Untukmengevaluasi progres pelaksanaan JKN, salah sa-tu contohnya bisa diukur dengan cara memban-dingkan tren pengeluaran kesehatan sebelum dansesudah tahun 2014. Masalahnya adalah transisitren pengeluaran yang distimulasi oleh JKN bersatudengan dampak perubahan dari referensi periodetersebut. Perubahan dalam tren pengeluaran ke-sehatan bisa disalahartikan sebagai dampak dariprogram JKN.

Untuk mengatasi masalah ini, penulis mengaju-kan penggunaan informasi historis sebagai salahsatu solusinya. Dalam praktiknya, penulis menggu-nakan proporsi rumah tangga yang tidak menggu-nakan layanan kesehatan di tahun 2014 dan sebe-lumnya untuk diaplikasikan ke proporsi korespon-dennya di tahun 2015 dan seterusnya. Penyesuaianini akan meningkatkan proporsi rumah tangga bu-kan pemakai di tahun 2015–2016 karena referensiperiode yang lebih pendek di tahun 2014 dan sebe-lumnya. Pertimbangannya adalah, referensi periodeyang lebih panjang sejak tahun 2015 secara otomatismemberikan lebih banyak kesempatan untuk ru-mah tangga menggunakan pelayanan kesehatan se-dikitnya satu kali sehingga menggolongkan rumahtangga tersebut menjadi rumah tangga pemakai.Padahal, jika referensi periode tidak berubah padasatu atau tiga bulan, rumah tangga-rumah tanggaini mungkin tidak memerlukan pengobatan ataucek kesehatan.

Setelah proporsi rumah tangga bukan pemakaidi tahun 2015–2016 disamakan dengan proporsikoresponden di tahun 2011–2014, penulis menca-ri tingkat pengeluaran kesehatan yang konsistendengan proporsi ini. Proses pencarian memang

melalui trial and error, tetapi hal ini seharusnyatidak menimbulkan masalah karena hanya ada sa-tu solusi yang unik. Tingkat pengeluaran ini akanpenulis pakai sebagai acuan atau threshold yangmana pengeluaran kesehatan di bawah tingkat iniakan diasumsikan setara dengan nol atau tidak adapengeluaran karena nilai pengeluaran yang diang-gap terlalu kecil dari segi daya beli. Misalnya, duaanggota rumah tangga berobat ke puskesmas satukali di tahun 2015. Dengan kisaran tarif pelayananprimer di puskesmas per orang per bulan Rp4.000–Rp10.000, pengeluaran kesehatan rumah tangga initercatat Rp12.000–Rp20.000 di tahun 2016. Setelahdibagi 12, pengeluaran bulanan ini menjadi sangatkecil (Rp1.000–Rp1.667) dan tidak realistis untukpembelian jasa kesehatan. Penerapan threshold a-kan memindahkan kelompok rumah tangga sepertiini (mempunyai pengeluaran kesehatan yang posi-tif namun kecil di tahun 2015–2016 karena proseskonversi pengeluaran tahunan ke bulanan) dari go-longan rumah tangga pemakai ke golongan rumahtangga bukan pemakai. Alhasil, proporsi rumahtangga bukan pemakai di tahun 2015–2016 naik,menuju proporsi historikal bulanan yang telah di-rekap sebelumnya di tahun 2011–2014.

Setelah kelompok rumah tangga di tahun 2015–2016 tergolong dengan “benar”, penulis mengal-kulasi ulang nilai rata-rata pengeluaran kesehatanbulanan yang bisa dibandingkan dengan nilai rata-rata dari tahun 2011. Seterusnya, nilai rata-rata inibisa dipakai, dengan metodologi yang sesuai untukevaluasi pencapaian dari program JKN.

Hasil dan Analisis

Tabel 3 membandingkan konsistensi antara besarkonsumsi dengan kekayaan. Untuk masing-masingindikator, rumah tangga dikelompokkan menurutkuintil (20%) berdasarkan besaran indikator. Ku-intil 1 dari konsumsi berisikan 20% rumah tanggadengan konsumsi per kapita (nilai konsumsi per

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 11: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

Johar, M., et al. 201

jumlah anggota rumah tangga) terkecil, sementarakuintil 5 dari konsumsi berisikan 20% rumah tang-ga dengan konsumsi per kapita terbesar. Demikianpula untuk kekayaan, kuintil 1 dari kekayaan me-representasikan 20% rumah tangga dengan indekskekayaan terkecil, sementara kuintil 5 dari keka-yaan berisikan 20% rumah tangga dengan indekskekayaan tertinggi. Enam tahun set data Susenas da-ri tahun 2011 sampai 2016 digabungkan. Distribusisampel dikoreksi dengan bobot frekuensi populasiper tahunnya agar distribusi konsumsi dan kekaya-an yang dianalisis adalah distribusi pada populasiyang sesungguhnya.

Angka pada kolom diagonal di Tabel 3 menun-jukkan proporsi rumah tangga untuk kuintil kon-sumsi tertentu yang masuk dalam kuintil yangsama pada distribusi kekayaan. Misalnya, 46,19%rumah tangga di kuintil konsumsi 1 juga masukdalam kuintil 1 kekayaan. Hal ini menunjukkanbahwa sebagian besar rumah tangga yang konsum-sinya rendah juga mempunyai tingkat kekayaanyang rendah. Sama halnya, 58,46% rumah tang-ga dengan konsumsi terbesar adalah juga rumahtangga dengan tingkat kekayaan yang tertinggi.Sementara angka di sel-sel di luar kolom diago-nal menunjukkan tingkat inkonsistensi yang cukupsubstansial. Di antara rumah tangga-rumah tanggadengan konsumsi terbesar, 8,56% berada di duakuintil kekayaan terendah. Hal yang sama, hampir25% rumah tangga di kuintil konsumsi ke-4 beradadi dua kuintil kekayaan terendah.

Gambar 3 membahas dua karakteristik rumahhunian, jenis lantai, dan dinding yang cenderungsensitif terhadap kenaikan status ekonomi sebu-ah rumah tangga. Apabila ekonomi rumah tanggamengalami kemajuan yang cukup besar, sering kalirumah tangga melakukan renovasi rumah denganbahan yang lebih baik. Untuk itu, gambar ini mung-kin bisa memperjelas indikator mana –konsumsiatau kekayaan– yang lebih akurat mencerminkanstatus ekonomi rumah tangga. Dapat dilihat bahwa

beberapa rumah tangga dengan konsumsi terbesarmasih tinggal di rumah berlantai tanah atau kayudan berdinding bambu atau kayu. Sebagai per-bandingan, hampir semua rumah tangga dengankekayaan tertinggi tinggal di rumah dengan lantaikeramik (atau disebut juga dengan marbel) dan din-ding dari batu bata. Gambaran ini menunjukkanbahwa jika peneliti ingin mengangkat kekuatan eko-nomi sebuah rumah tangga menggunakan set dataSusenas, maka indikator-indikator kekayaan cen-derung lebih akurat dari variabel konsumsi yangdiambil dari variabel pengeluaran rumah tangga diSusenas.

Beralih ke kasus khusus kesehatan, Tabel 3 me-laporkan proporsi rumah tangga yang tidak mem-punyai pengeluaran kesehatan serta besaran nilairata-rata pengeluaran kesehatan per bulan dan pertriwulan di tahun 2011–2016. Bisa dilihat bahwaproporsi rumah tangga yang tidak menggunakanlayanan kesehatan jauh lebih besar pada referensiperiode satu bulan (52%–54%) dibanding proporsiekuivalen pada referensi periode satu tahun (23%–26%). Hal ini dikarenakan kesempatan berobat yanglebih banyak dalam periode yang lebih panjang.Sementara itu, nilai rata-rata pengeluaran rumahtangga pemakai mencerminkan intensitas utilisasilayanan dan barang kesehatan. Seperti yang telahdidiskusikan di atas, pada sampel rumah tanggayang memiliki pengeluaran kesehatan tahun lalu,memiliki nilai yang jatuh secara drastis di tahun2015 karena adanya konversi dari data tahunanke bulanan. Dampak konversi pada pengeluaranper triwulan (3 bulan) relatif lebih kecil: nilai rata-rata pengeluaran kesehatan triwulan rumah tanggapemakai tetap jatuh di tahun 2015 tetapi relatif ti-dak ekstrem. Penurunan nilai rata-rata ini tidakbisa dijelaskan oleh perubahan di sektor kesehatankarena tidak ada peningkatan suplai dan infrastruk-tur kesehatan yang berskala besar ataupun diskonbesar-besaran terhadap harga obat dan tarif jasakesehatan dalam periode tersebut.

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 12: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

“Tahukah kamu?”: Analisis Set Data...202

Tabel 3: Perbandingan Distribusi Konsumsi dan Kekayaan Rumah Tangga 2011–2016

Kuintil kekayaan/Kuintil konsumsi 1 2 3 4 5(kekayaan terendah) (kekayaan tertinggi)

1 (konsumsi terkecil) 46,19 28,87 16,65 7,14 1,152 26,96 27,90 24,39 16,61 4,143 16,61 22,93 25,53 24,51 10,434 8,69 15,15 21,56 30,07 24,53

5 (konsumsi terbesar) 2,52 6,04 11,45 21,54 58,46Sumber: Susenas 2011–2016, diolahKeterangan: Proporsi bertotal 100% per baris;

Distribusi kuintil (per 20%) konsumsi dan kekayaan dihitung setiap tahunnya dan disesuaikandengan bobot frekuensi populasi untuk tahun tersebut.

Gambar 3: Lantai dan Dinding Rumah Menurut Distribusi Konsumsi dan Kekayaan Rumah Tangga 2011–2016Sumber: Susenas 2011–2016, diolah

Keterangan: 1–5 menandakan kuintil;Warna merepresentasikan jenis lantai dan dinding;

Tinggi batang untuk setiap warna menandakan proporsi rumah tangga di kuintil tertentu dengan karakteristik rumah jenis warna itu.

Secara grafis, perubahan tren intensitas konsumsibarang dan jasa kesehatan dapat dilihat di Gambar4. Tidak hanya nilai rata-rata per bulan, tetapi se-luruh distribusi pengeluaran kesehatan per bulan(persentil 25, 75, 90) mengalami penurunan yangdrastis di tahun 2015 yang tidak kembali lagi ketingkat seperti tahun 2014. Untuk tren pengeluarantriwulan, penurunan terlihat pada nilai rata-rata,persentil 25 dan 75 tetapi tidak terlalu menurundibandingkan pengeluaran bulanan dan hanya ber-sifat sejenak. Sementara pengeluaran triwulan bagi10% rumah tangga dengan pengeluaran kesehat-an terbesar (persentil 90) terlihat meningkat cukupsubstansial. Perbedaan antara tren bulanan dan trenper triwulan bisa dijelaskan oleh konversi yang eks-

trem dari tahun ke bulan (dibagi 12) dibandingdengan dari tahun ke triwulan (dibagi 4). Selain itu,bias pada daya ingat responden tentang pengguna-an jasa kesehatan dan penebusan resep obat selamatiga bulan terakhir mungkin lebih mirip denganbias daya ingat pada referensi periode setahun; peri-ode satu bulan mungkin lebih unik karena dayaingat cenderung lebih kuat.

Gambar 5 menunjukkan tren antarwilayah di In-donesia. Pengeluaran bulanan memiliki tren yangmirip dengan tren pada tingkat nasional (Gambar4). Pengeluaran kesehatan menurun di tahun 2015dan tidak kembali ke level seperti di tahun 2014.Penurunan yang bersamaan di semua wilayah mem-perkuat hipotesis bahwa penyebabnya bukanlah

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 13: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

Johar, M., et al. 203

Tabel 4: Nilai Rata-rata Pengeluaran Kesehatan 2011–2016

2011 2012 2013 2014 2015 2016Periode Referensi: 1 bulanProporsi bukan pemakai 0,535 0,528 0,535 0,521 0,228 0,260Rata-rata keseluruhan Rp37.931 Rp44.782 Rp55.828 Rp63.307 Rp58.587 Rp66.233Rata-rata pemakai Rp81.560 Rp94.861 Rp120.103 Rp132.053 Rp75.865 Rp89.493Periode Referensi: 3 bulanProporsi bukan pemakai 0,367 0,365 0,383 0,377 0,228 0,260Rata-rata keseluruhan Rp103.698 Rp116.361 Rp136.441 Rp156.771 Rp175.761 Rp198.699Rata-rata pemakai Rp163.713 Rp183.344 Rp221.165 Rp251.657 Rp227.594 Rp268.478

Sumber: Susenas 2011–2016, diolahKeterangan: Pengeluaran kesehatan dalam Rupiah tahun 2016;

Rata-rata tahun 2015 dan 2016 dibuat italik karena dihitung dari pengeluaran tahunan;Pengeluaran bulanan (per triwulan) dihitung dengan membagi pengeluaran tahunan dengan 12 (3);Rumah tangga yang memiliki asuransi kesehatan swasta dikeluarkan dari sampel (2%–7%);Frekuensi populasi dipakai dalam kalkulasi.

Gambar 4: Tren Pengeluaran Kesehatan Rumah Tangga Pemakai 2011–2016Sumber: Susenas 2011–2016, diolah

Keterangan: Pengeluaran kesehatan dalam persamaan nilai rupiah di tahun 2016;Frekuensi populasi dipakai dalam kalkulasi;

Rumah tangga pemakai adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran kesehatan.

perubahan pada suplai kesehatan, karena jika seba-liknya, akan terlihat perbedaan tren antarwilayah,sesuai dengan kondisi suplai awal. Tren triwulanantarwilayah ini juga mirip tren pada tingkat nasio-nal. Peningkatan pengeluaran pada tingkat nasionalpada persentil 90 didorong oleh kenaikan di duawilayah berpopulasi terpadat, Sumatera dan Jawa.Dibandingkan dengan wilayah lain, Maluku danPapua terlihat mengalami penurunan yang lebihrendah. Hal ini dikarenakan rumah tangga-rumahtangga di wilayah ini jarang menggunakan layan-an kesehatan. Menurut data, 70% rumah tanggadi Maluku dan 81% rumah tangga di Papua tidak

menggunakan jasa kesehatan dalam sebulan ter-akhir. Sementara di wilayah lain, proporsi setarahanya 49%–54%. Jadi, ketika masa periode referensidiperpanjang menjadi satu tahun, banyak rumahtangga-rumah tangga di Maluku dan Papua yangmempunyai nilai rata-rata pengeluaran kesehat-an yang sangat kecil karena pengeluaran sesekaliselama setahun harus dibagi 12 atau 4.

Oleh karena keterbatasan variabel pengeluarandi Susenas yang selama ini dipercaya mengukur out-of-pocket, penurunan pengeluaran mengisyaratkankesuksesan JKN yang dalam waktu singkat (1 ta-hun), dapat mengurangi beban biaya kesehatan

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 14: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

“Tahukah kamu?”: Analisis Set Data...204

Gambar 5: Pengeluaran Kesehatan Rumah Tangga Pemakai Antarwilayah 2011–2016Sumber: Susenas 2011–2016, diolah

Keterangan: Pengeluaran kesehatan dalam persamaan nilai rupiah di tahun 2016;Frekuensi populasi dipakai dalam kalkulasi;

Rumah tangga pemakai adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran kesehatan;Nusa termasuk Bali.

rumah tangga. Apalagi jika yang dipakai adalahtren bulanan, JKN menurunkan out-of-pocket de-ngan signifikan. Out-of-pocket naik lagi di tahunberikutnya tetapi jauh dari kondisi bulanan sebe-lum JKN. Sebenarnya, konsumsi kesehatanlah yangdigambarkan menurun drastis. Namun, gambaranini berlawanan arah dengan tren belanja kesehat-an negara. Dengan adanya JKN, belanja kesehatannegara meningkat cukup substansial dari 31% di ta-hun 2010 ke 41,4% di tahun 2014, dan spesifik untukkomponen subsidi jaminan kesehatan, lompatan

terjadi dalam setahun (2013 ke 2014) dari 7,4% ke13%, dengan nilai Rp23 triliun (Pusat Pembiayaandan Jaminan Kesehatan [PPJK] Kementerian Kese-hatan dan Universitas Indonesia, 2016). Problemidentifikasi seperti ini sebenarnya bisa dihindarijika tidak ada perubahan pada referensi periodepengeluaran di waktu yang sama.

Gambar 6 menggambarkan tren nilai rata-ratapengeluaran kesehatan rumah tangga pemakai ta-hun 2011–2016 setelah sinkronisasi proporsi sepertiyang diusulkan di atas. Dari Tabel 4, proporsi ru-

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 15: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

Johar, M., et al. 205

mah tangga bukan pemakai untuk referensi periodesebulan cukup konstan selama tahun 2011–2014,sekitar 53%. Penulis membawa proporsi ini ke pro-porsi koresponden di tahun 2015–2016. Pada titik53%, pengeluaran kesehatan rumah tangga tahun2015–2016 yang konsisten dengan persentase iniadalah Rp94.800 atau Rp7.900 per bulan. Jadi, pe-nulis berasumsi bahwa rumah tangga dengan pe-ngeluaran kesehatan kurang dari level ini tidak me-miliki pengeluaran kesehatan jika referensi periodetidak berubah. Asumsi ini dianggap cukup realistismengingat ada 3–4 orang dalam satu rumah tangga,maka besar kemungkinan rumah tangga ini tidakmenggunakan layanan kesehatan setiap bulannya.Hal ini juga berlaku pada pengeluaran triwulan.Menurut Tabel 4, proporsi rumah tangga bukanpemakai untuk referensi periode tiga bulan cukupkonstan selama tahun 2011–2014, sekitar 37%. Pe-ngeluaran kesehatan rumah tangga per tahun ditahun 2015–2016 yang konsisten dengan titik iniadalah Rp44.000 atau Rp11.000 per triwulan.

Tren terlihat cukup berbeda dengan tren yangdipaparkan pada Gambar 4 dan 5, khususnya un-tuk persentil terendah dan tertinggi. Pada persentil25, pengeluaran kesehatan selama dua tahun tera-khir meningkat. Hal ini mungkin mengindikasikanpenggunaan pelayanan kesehatan primer yang per-tama kali bagi banyak orang yang sebelumnya tidakpernah berobat ke dokter. Pada persentil 90, penge-luaran kesehatan meningkat cukup signifikan, teru-tama pada pengeluaran triwulan. Pada tahun 2016,10% rumah tangga dengan pengeluaran kesehatanterbesar mempunyai pengeluaran triwulan di atasRp560.000, meningkat 75% dari Rp320.000 di tahun2014.

Gambar 6 menunjukkan bahwa pengeluaran tri-wulan tampak lebih stabil dibanding pengeluaranbulanan. Misalnya, adanya sedikit penurunan pe-ngeluaran kesehatan di tahun 2015 yang tidak bisadikaitkan dengan pergerakan di sektor kesehat-an. Boleh jadi penurunan acak ini disebabkan oleh

perubahan sistem pengumpulan set data Susenas.Untuk periode 2011–2014, ada empat titik pengum-pulan, yaitu Maret, Juni, September, dan Desember.Sebulan sebelum bulan-bulan tersebut tidak per-nah berbarengan dengan musim liburan sehinggakegiatan layanan kesehatan cenderung tidak terinte-rupsi. Sementara untuk tahun 2015 dan seterusnya,pengumpulan dilakukan sekali di Maret, tetapi ka-rena masa referensi diperpanjang jadi tahunan, adavariasi musiman dengan tingkat kegiatan menurunkarena liburan (contohnya waktu lebaran atau liburpanjang lainnya). Alhasil, nilai rata-rata pengeluar-an bulanan di periode 2011–2014 lebih tinggi darinilai di tahun 2015 dan 2016. Beda halnya untukpengeluaran triwulan. Tiga bulan sebelum Maret,Juni, September, dan Desember, selalu berbarengandengan libur nasional atau sekolah. Jadi, kompara-si tren triwulan untuk seluruh periode 2011–2016lebih konsisten.

Kesimpulan

Sebagai set data nasional yang berada pada tingkatrumah tangga atau mikro, ada banyak riset peneliti-an dan formulasi kebijakan yang berbasis pada Su-senas. Selain itu, set data Susenas juga sangat diman-faatkan oleh mahasiswa dalam menyusun skripsi,disertasi, maupun tugas ilmiah lainnya. Tujuan dariartikel ini adalah membantu literatur ke depannyauntuk menghindari kesalahan interpretasi variabelpengeluaran di Susenas yang selama ini dipercayamengukur pengeluaran pribadi rumah tangga danmencerminkan besaran pendapatan. Telah dibahasbahwa variabel pengeluaran di Susenas mengukurkonsumsi, bukan murni out-of-pocket sehingga ti-daklah akurat untuk digunakan sebagai pengukurdaya beli ataupun status ekonomi sebuah rumahtangga. Susenas tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan beban ekonomirumah tangga. Konsep-konsep yang menggunakanout-of-pocket, seperti pengeluaran katastropik, ju-

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 16: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

“Tahukah kamu?”: Analisis Set Data...206

Gambar 6: Pengeluaran Kesehatan Rumah Tangga Pemakai Setelah Sinkronisasi 2011–2016Sumber: Susenas 2011–2016, diolah

Keterangan: Untuk pengeluaran bulanan, rumah tangga dengan pengeluaran kurang dari Rp7.900 di tahun 2015–2016 dianggap bukanpemakai;

Untuk pengeluaran triwulan, rumah tangga dengan pengeluaran kurang dari Rp11.000 di tahun 2015–2016 dianggap bukan pemakai.

ga harus dipertimbangkan kembali. Penulis jugamembahas beberapa penelitian yang menggunakanvariabel pengeluaran di Susenas untuk mengukurpendapatan rumah tangga dan tingkat ketimpang-an ekonomi. Inferensi dari penelitian-penelitian inijuga harus dipertimbangkan kembali mengingat ke-mungkinan rumah tangga yang mempunyai levelkonsumsi besar adalah rumah tangga yang sebenar-nya miskin tetapi mendapat banyak bantuan sosial.Terkait dengan hal ini, akurasi dari level kemiskinan(poverty headcount) yang tercatat sekarang mungkintidak akurat dan cenderung lebih kecil dari yangsebenarnya. Hal ini dikarenakan level yang seka-rang belum termasuk rumah tangga-rumah tanggamiskin yang memiliki konsumsi besar karena ban-tuan subsidi. Pada tahun 2016, poverty headcountdi bawah US$1,90 (2011 Purchasing Power Parity)di negara Indonesia menurut laporan World Bankmenggunakan data Susenas ada pada level 6,8%atau 17,8 juta orang. Sama halnya dengan tingkat ke-timpangan ekonomi yang saat ini telah diintervensioleh bantuan sosial.

Harus dipertimbangkan juga adanya eror dalam

estimasi nilai subsidi oleh responden rumah tang-ga. Problem ini sebenarnya sudah ada di Susenassejak lama, tetapi baru belakangan ini diangkat danditanggapi oleh BPS sebagai potensi sumber eroryang besar. Besarnya eror mungkin bergantung pa-da level edukasi responden, motif untuk cenderungmengecilkan nilai bantuan, ataupun bertambah be-sar seiring waktu karena ada lebih banyak programsosial.

Dengan mengangkat kasus pengeluaran kesehat-an, telah didemontrasikan juga adanya perubahanformat survei pada tahun 2015 dadakan yang mu-dah disalahartikan sebagai dampak dari programJKN. Setelah anomali ini diakomodir, tren penge-luaran kesehatan rumah tangga terlihat jauh lebihkonsisten dengan pergerakan belanja kesehatan ne-gara di periode yang sama. Mengingat pentingnyaevaluasi progres JKN yang akurat di tahap awaldengan menggunakan metode koreksi data yangpenulis usulkan dalam penelitian ini, penulis me-lakukan penelitian lanjutan untuk mengukur pen-capaian JKN selama tiga tahun pertamanya (Joharet al., 2017). Hasil penelitian penulis menunjukkan

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 17: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

Johar, M., et al. 207

bahwa konsumsi kesehatan meningkat pada ru-mah tangga-rumah tangga yang terjamin oleh JKN,terutama rumah tangga yang memerlukan banyakkeperluan kesehatan. Dalam segi ini, bisa dikatakanbahwa JKN telah memberikan proteksi kesehatan,walaupun belum bisa dipastikan apakah JKN jugamemberikan proteksi finansial kesehatan pada ang-gotanya karena data out-of-pocket kesehatan padatingkat rumah tangga belum ada.

Rekomendasi penulis untuk para pengguna Su-senas adalah untuk mengingat bahwa data penge-luaran di Susenas mengukur nilai konsumsi bukanpengeluaran pribadi rumah tangga. Dengan demi-kian, inferensi yang dibuat berdasarkan variabel iniharus disesuaikan dengan definisi yang sebenarnya.Untuk menganalisis tren pengeluaran, teknik korek-si yang penulis aplikasikan untuk tren pengeluarankesehatan dalam penelitian ini bisa dipertimbang-kan. Ada beberapa barang dan jasa yang referensiperiodenya berubah di tahun 2015 selain kesehatan.Tentunya, peneliti bisa memformulasikan teknikkoreksi sendiri, yang mungkin lebih akurat. Penulishanya menyorot adanya perubahan besar dalamseri data yang bisa menutupi perkembangan trenyang sebenarnya.

Berita bagusnya, Susenas di tahun 2018 dan se-terusnya telah direvisi untuk merekam biaya out-of-pocket kesehatan sehingga pertanyaan mengenaidampak JKN terhadap beban kesehatan rumah tang-ga nantinya bisa terjawab. Sayangnya, karena bebanmental dan fisik responden juga bertambah denganpertanyaan tambahan, tidaklah memungkinkan un-tuk menanyakan out-of-pocket untuk barang dan jasabersubsidi lainnya seperti edukasi dan utilitas. Ka-rena tujuan dari Susenas memang untuk mencatatkonsumsi, penulis harus merujuk ke set data lainuntuk mengukur besaran pendapatan seperti Saker-nas. Ada potensi kedua set data ini diintegrasikansehingga besaran pendapatan pribadi rumah tang-ga bisa dikaitkan dengan karakteristik-karakteristiklain dari rumah tangga tersebut, karena Sakernas

sangatlah terbatas dalam informasi lain di luar ke-tenagakerjaan. Selain itu, bisa dilihat dari Tabel 1,referensi periode barang dan jasa yang mengalamiperubahan di tahun 2015, tampaknya diubah lagidi tahun 2017 dan seterusnya, mengikuti referensiperiode Susenas pra-2015. Hal ini penting dicatatoleh para pengguna Susenas agar analisis tren bisadilakukan dengan benar.

Daftar Pustaka

[1] Akita, T., & Lukman, R. A. (1995). Interregional inequalitiesin Indonesia: a sectoral decomposition analysis for 1975–92.Bulletin of Indonesian Economic Studies, 31(2), 61-81. doi:https://doi.org/10.1080/00074919512331336785.

[2] Akita, T., & Miyata, S. (2008). Urbanization, educationalexpansion, and expenditure inequality in Indonesia in 1996,1999, and 2002. Journal of the Asia Pacific Economy, 13(2),147-167. doi: https://doi.org/10.1080/13547860801923558.

[3] Akita, T., Lukman, R. A., & Yamada, Y. (1999). Inequa-lity in the distribution of household expenditures in In-donesia: A Theil decomposition analysis. The DevelopingEconomies, 37(2), 197-221. doi: https://doi.org/10.1111/j.1746-1049.1999.tb00231.x.

[4] Asra, A. (2000). Poverty and inequality in Indone-sia: estimates, decomposition and key issues. Jour-nal of the Asia Pacific Economy, 5(1-2), 91-111. doi: ht-tps://doi.org/10.1080/13547860008540785.

[5] Bird, K., & Manning, C. (2008). Minimum wages and pover-ty in a developing country: Simulations from Indonesia’sHousehold Survey. World Development, 36(5), 916-933. doi:https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2007.05.012.

[6] Cameron, L. A. (2000). Poverty and inequality in Java:examining the impact of the changing age, educational andindustrial structure. Journal of Development Economics, 62(1),149-180. doi: https://doi.org/10.1016/S0304-3878(00)00079-1.

[7] Comola, M., & De Mello, L. (2011). How does decentra-lized minimum wage setting affect employment and in-formality? The case of Indonesia. Review of Income andWealth, 57(s1), S79-S99. doi: https://doi.org/10.1111/j.1475-4991.2011.00451.x.

[8] Grimm, M., Sparrow, R., & Tasciotti, L. (2015). Do-es electrification spur the fertility transition? Eviden-ce from Indonesia. Demography, 52(5), 1773-1796. doi:https://doi.org/10.1007/s13524-015-0420-3.

[9] Hastuti, Sumarto, S., Suryahadi, A., Mawardi, S., Sulak-sono, B., Devina, S., Artha, R. P., & Dewi, R. (2007). TheEffectiveness of the Raskin Program. SMERU Research Re-port December 2007. The SMERU Research Institute. Diak-

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208

Page 18: Tahukah kamu? : Analisis Set Data Survei Sosial Ekonomi

“Tahukah kamu?”: Analisis Set Data...208

ses 3 Januari 2018 dari http://www.smeru.or.id/en/content/effectiveness-raskin-program.

[10] Jolliffe, I. T., & Cadima, J. (2016). Principal componentanalysis: a review and recent developments. Philoso-phical Transactions of the Royal Society A: Mathematical,Physical and Engineering Sciences, 374(2065), 1-16. doi: ht-tps://doi.org/10.1098/rsta.2015.0202.

[11] Johar, M., Soewondo, P., Adji, A., Pujisubekti, R., Satrio., H.K., & Wibisono, I. D. (2017). The impact of Indonesia’s rapidmove towards universal health insurance on total health ca-re expenditure. TNP2K Working Paper 3. TNP2K. Diakses 3Januari 2018 dari http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/working-paper-the-impact-of-ndonesia%E2%80%99s-rapid-move-january-2018.pdf.

[12] Kim, J. (2010). Women’s education and fertility: An analysisof the relationship between education and birth spacing inIndonesia. Economic Development and Cultural Change, 58(4),739-774. doi: https://doi.org/10.1086/649638.

[13] Kruse, I., Pradhan, M., & Sparrow, R. (2012). Marginal bene-fit incidence of public health spending: Evidence from Indo-nesian sub-national data. Journal of Health Economics, 31(1),147-157. doi: https://doi.org/10.1016/j.jhealeco.2011.09.003.

[14] Levinsohn, J.A., Berry, S. T., & Friedman, J., 2003. Impactsof the Indonesian economic crisis. Price changes and thepoor. In M. P. Dooley & J. A. Frankel (Eds.), Managingcurrency crises in emerging markets (pp. 393-428). Universityof Chicago Press.

[15] Nugraha, K. & Lewis, P. (2013a). Towards a bettermeasure of income inequality in Indonesia. Bulletinof Indonesian Economic Studies, 49(1), 103-112. doi: ht-tps://doi.org/10.1080/00074918.2013.772941.

[16] Nugraha, K., & Lewis, P. (2013b). The impact of taxation onincome distribution: Evidence from Indonesia. The SingaporeEconomic Review, 58(04), 1350024.

[17] Pasay, N. H. A., Handayani, D., & Setiawan, B. (2011).Sheepskin and working experience effects on wage in Indo-nesia: The importance of signaling. Economics and Financein Indonesia, 59(2), 117-144.

[18] Pradhan, M., & Prescott, N. (2002). Social risk managementoptions for medical care in Indonesia. Health Economics,11(5), 431-446. doi: https://doi.org/10.1002/hec.689.

[19] Sidique, M. A. B., Wibowo, H., & Wu, Y. (2014). Fiscal decen-tralistion and inequality in Indonesia: 1999-2008. DiscussionPaper 14.22. The University of Western Australia. Diakses3 Januari 2018 dari http://ecompapers.biz.uwa.edu.au/

paper/PDF%20of%20Discussion%20Papers/2014/14-22%20Fiscal%20Decentralisation%20and%20Inequality%20in%20Indonesia%201999-2008.pdf.

[20] Sparrow, R. (2007). Protecting education for the poorin times of crisis: An evaluation of a scholarship pro-gramme in Indonesia. Oxford Bulletin of Economics andStatistics, 69(1), 99-122. doi: https://doi.org/10.1111/j.1468-

0084.2006.00438.x.[21] Sparrow, R., Suryahadi, A., & Widyanti, W. (2013). Social he-

alth insurance for the poor: Targeting and impact of Indone-sia’s Askeskin programme. Social Science & Medicine, 96, 264-271. doi: https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2012.09.043.

[22] Sparrow, R., de Poel, E. V., Hadiwidjaja, G., Yumna, A., Wa-rda, N., & Suryahadi, A. (2014). Coping with the economicconsequences of ill health in Indonesia. Health Economics,23(6), 719-728. doi: https://doi.org/10.1002/hec.2945.

[23] Sumarto, S., Suryahadi, A., & Widyanti, W. (2005). Asses-sing the impact of Indonesian social safety net programmeson household welfare and poverty dynamics. The Euro-pean Journal of Development Research, 17(1), 155-177. doi:https://doi.org/10.1080/09578810500066746.

[24] Sumarto, S., Suryadarma, D., & Suryahadi, A. (2007). Pre-dicting consumption poverty using non-consumption indi-cators: Experiments using Indonesian data. Social IndicatorsResearch, 81(3), 543-578. doi: https://doi.org/10.1007/s11205-006-0023-x.

[25] Suryadarma, D. (2012). How corruption diminishes theeffectiveness of public spending on education in Indonesia.Bulletin of Indonesian Economic Studies, 48(1), 85-100. doi:https://doi.org/10.1080/00074918.2012.654485.

[26] Thomas, D., Beegle, K., Frankenberg, E., Sikoki, B., Stra-uss, J., & Teruel, G. (2004). Education in a Crisis. Jo-urnal of Development Economics, 74(1), 53-85. doi: ht-tps://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2003.12.004.

[27] van Doorslaer, E., O’Donnell, O., Rannan-Eliya, R. P., Soma-nathan, A., Adhikari, S. R., Garg, C. C., ... Zhao, Y. (2005).Paying out-of-pocket for health care in Asia: Catastrophicand poverty impact. EQUITAP Project : Working Paper # 2.India: Institute for Human Development.

[28] van Doorslaer, E., O’Donnell, O., Rannan-Eliya, R. P., So-manathan, A., Adhikari, S. R., Garg, C. C., ... & Karan,A. (2006). Effect of payments for health care on povertyestimates in 11 countries in Asia: an analysis of house-hold survey data. The Lancet, 368(9544), 1357-1364. doi:https://doi.org/10.1016/S0140-6736(06)69560-3.

[29] Vyas, S., & Kumaranayake, L. (2006). Constructing socio-economic status indices: how to use principal componentsanalysis. Health Policy and Planning, 21(6), 459-468. doi:https://doi.org/10.1093/heapol/czl029.

[30] Waters, H., Saadah, F., & Pradhan, M. (2003). The impactof the 1997–98 East Asian economic crisis on health andhealth care in Indonesia. Health Policy and Planning, 18(2),172-181. doi: https://doi.org/10.1093/heapol/czg022.

[31] World Bank. (2016). Indonesia - health financingsystem assessment: Spend more, right and better.Diakses 3 Januari 2018 dari http://documents.worldbank.org/curated/en/453091479269158106/

Indonesia-Health-financing-system-assessment-spend-more-right-and-better.

JEPI Vol. 19 No. 2 Juli 2019, hlm. 191–208