Upload
martiana-helena
View
214
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tuberkulosis
Citation preview
Tuberculosis dalam Keluarga
Maria Monika Muda*Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
Alamat Korespondensi:
Maria Monika Muda, Fakultas Kedokteran UKRIDA Jl. Terusan Arjuna no. 6, Tanjung
Duren, Jakarta Barat 11510. E-mail: [email protected]
Pendahuluan
Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang berbagai organ
atau jaringan tubuh. Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling banyak dan paling
penting.1
Penyakit tuberculosis merupakan penyakit masyarakat yang dapat menyerang siapa saja
(tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya ) dan dimana saja. Indonesia sendiri
termasuk dalam negara peringkat ke tiga yang menyumbang penyakit Tb terbesar di dunia
setelah india dan cina2. Terdapat empat juta kasus baru tbc setiap tahunnya. Penyakit
Tuberculosis ialah penyakit kronis. Proses gejalanya berjalan perlahan sehingga banyak
masyarakat yang tidak mengenal tentang penyakit tuberculosis. Gejala tuberculosis yang lama
tidak ditangani bisa menyebabkan kematian. Di Indonesia sekitar 140.000 kematian yang terjadi
setiap tahun disebabkan oleh tbc. Tahun 2004, menurut hasil survei prevalensi tbc di indonesia
ditemukan hasil BTA positif 110 per 100.000 penduduk. Pada frekuensi umur, terlihat angka
insidensi tbc secara perlahan bergerak ke arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64
tahun). Dalam usaha menumpas penyakit Tuberculosis, WHO sebenarnya telah memperkenalkan
strategi dots (Directly Observed Treatment Short-couers = pengobatan jangka pendek dengan
pengawasan). Strategi ini terdiri atas lima komponen utama yakni adanya komitmen politik, tepat
waktu, adanya sistem monitoring yang baik dan adanya program pengawasan keteraturan minum
obat di sertai jaminan agar setiap pasien pasti minum obat sampai tuntas. Strategi ini cukup
1
efektif untuk menurunkan frekuensi penyakit tuberculosis di Indonesia. Pada tahun 2005
keberhasilan strategi ini mencapai angka pengobatan (success rate = sr) sebesar 89,7% melebihi
target who sebesar 85%.2
Epidemiologi TBC
Definisi epidemiologi TB selain mencakup prevalensi, insidensi, kematian karena TB
(mortalitas) tetapi juga karena keunikannya mencakup pula, prevalensi dan insidensi penyakit
tersebut yang timbul dari populasi yang terinfeksi ini, serta rata-rata orang yang tertular penyakit
tuberkulosis oleh seorang penderita tuberkulosis menular.
Pengetahuan tentang berapa besarnya frekuensi, distribusi dan determinan yang ada menurut
umur, jenis kelamin, suku bangsa dan letak daerahnya memberi kita pengetahuan tentang
keadaan penyakit tuberkulosis di wilayah tertentu. Selanjutnya dengan mengetahui besarnya
prevalensi, distribusi dan determinan dari tuberkulosis di masyarakat tersebut maka dapat
diperkirakan besarnya permasalahan tuberkulosis yang ada di masyarakat tersebut. Dengan
demikian kita dapat menentukan prioritas dan strategiyang harus dilaksanakan pada program
pemberantasan penyakit TB.
Pada epidemiologi TB, parameter-parameter yang digunakan ada 4 (empat) yang penting yaitu:1
- Angka kematian karena TB, yaitu banyaknya kematian karena TB pada
populasi tertentu dalam 1 (satu) tahun per 100.000 penduduk.
- Angka insidensi penderita TB yaitu banyaknya kasus-kasus baru TB pada
populasi tertentu dalam 1 (satu) tahun per 100.000 penduduk.
- Angka prevalensi penderita TB yaitu banyaknya kasus-kasus TB lama dan
baru yang ditemukan pada populasi tertentu, biasanya dinyatakan pasif
denganmikroskopik dalam jangka waktu tertentu.
- ARTI (Annual Risk of Tuberculosis Infection ) yaitu suatu
probalitas/kemungkinan seseorang yang belum pernah terinfeksi TB akan terinfeksi
oleh kuman tersebut dalam 1 (satu) tahun.
Insidensi dan mortalitas tuberkulosis merupakan parameter yang baik untuk
2
menggambarkan epidemiologi TB namun sehubungan dengan surveilance yang tidak adekuat di
berbagai negara, tidak mungkin untuk menunjukkan data insindensi dan mortalitas TB yang
sebenarnya, sehingga dipergunakan beberapa parameter epidemiologi secara tidak langsung yaitu
Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI), perkiraan insindens BTA (+), jumlah dan
pencatatan kasus-kasus TB, perkiraan cakupan populasi dibandingkan dengan pelayanan
kesehatan, dan perkiraan kasus fatal pada BTA (+) dan bentuk lain TB. Diperkirakan sekitar
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995,
diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara
berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena
kehamilan, persalinan dan nifas.1
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-
50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20 – 30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara
sosial – stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:1
o Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang
sedang berkembang.
o Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
- Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
- Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat,
penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin
penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang
standar, dan sebagainya).
- Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak
standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis).
- Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
- Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat.
3
o Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan.
o Dampak pandemi infeksi HIV.
Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak
berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan
masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO
mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Munculnya pandemi
HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi TB dengan HIV akan meningkatkan
risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap
obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak
berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi
TB yang sulit ditangani.Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina
dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun
2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA
positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.
Pada bayi umur 1 tahun 32,1 % kematian disebabkan penyakit sistem pernapasan, anak balita gol
umur 1-4 tahun. penyakit sistem pernapasan 38,8%, pada kelompok umur 5 – 14 tahun TB 5,8%,
kelompok umur 15 –34 tahun TB 3,9%, kelompok umur 35-44 tahun12,4%, kelompok umur 45-
54 tahun sebesar 11,5% pada kelompok umur 55 tahun ke atas sebesar 8,7%.
Yang mempengaruhi penyebaran TB sebagai salah satu penyakit menular adalah adanya faktor
lingkungan, host dan agen penyakit. Ditinjau dari sudut ekologis, terdapat tiga faktor yang
dapat menimbulkan suatu kesakitan, kecacatan, ketidakmampuan dan kematian pada manusia
yang disebut trias ekologi atau trias epidemiologi yaitu agen penyakit, manusia (pejamu) dan
lingkungan. Dalam keadaan normal terjadi suatu keseimbangan yang dinamis antara ketiga
komponen ini atau dengan kata lain disebut sehat. Pada suatu keadaan terjadinya gangguan pada
keseimbangan dinamin ini, misalnya akibat menurunnya kualitas lingkungan hidup sampai pada
tingkat tertentu tertentu maka akan memudahkan agen penyakit masuk ke dalam tubuh manusia.2-
4
4
Interaksi agent, lingkungan, dan host:
a) Faktor Agent (Mycobacterium tuberculosis)
Agen yang dimaksud adalah agen biologis yaitu bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau
antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang
lama. Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium
Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir rendah dan daya virulensinya tergantung
dosis infeksi dan kondisi Host. Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan
ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak
langsung, serta transmisi kongenital yang jarang terjadi.2-4
b) Faktor Perilaku dan Lingkungan
Perilaku manusia sehari-hari bisa menjadi faktor pencetus terjadinya TBC. Perilaku yang
terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan yang kurang mengerti akan menjadi .
Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya
berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya. Kurangnya kesigapan
masyarakat akan setiap orang yang mangalami sakit cukup lama.
Perilaku Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk
mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan
kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena
TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per
orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430
batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760
batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada
hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa,
sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok
akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.1,3
Lingkungan : Kepadatan Hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
5
penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya
dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung
dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana
luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai
minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak
antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar
tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan
anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan
juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.1,4
Lingkungan : Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca
minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa
maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu
rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Intensitas
pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux.,
kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup. Semua jenis
cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses
mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila dipancarkan
melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih
cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif
tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah
serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat
berkurang.1,2
Lingkungan : Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar
aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan
oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya
6
ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu
kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban
ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/
bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB. Fungsi kedua dari ventilasi itu
adalah untuk membebaskan udara ruangan daribakteri-bakteri, terutama bakteri
patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri
yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk
menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy)
yang optimum. Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang
ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5%
dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas
lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban
udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban
udara optimum kurang lebih 60%.1,2,5,6
Lingkungan : Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana
kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C.
Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.2
c) Faktor Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak
kejadian dan kematian :
Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita
Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan
pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada
wanita
Puncak sedang pada usia lanjut
Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak
berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup
7
sampel usia ini atau tidak terlindung dari resiko infeksi. Pria lebih umum terkena,
kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan
kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk dengan sosialekonomi rendah
memiliki laju lebih tinggi. Aspek keturunan dan distribusi secara familial sulit
terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi keluarga
secara umum dan sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan
sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya
ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan
fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga
berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer
memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.2-4
Penularan :
o Cara Penularan
- Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
- Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab.
- Daya penularan seorang pasein dapat ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
- Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB adalah ditentukan
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
o Resiko Penularan
- Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB
paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
8
- Risiko penularan setiap tahunnya juga ditunjukan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi
TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti 10 diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahunnya.
- ARTI di Indonesia bervariasi 1-3%.
- Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberculin negatif menjadi positif.
o Resiko Menjadi sakit TB:
- Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
- Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap
tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
- Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi TB adalah day tahan
tubuh rendah, diantaranya karena HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
- HIV merupakan faktor resiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (celluer immunity), sehingga terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasein TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
meningkat pula. 4
Peran Dokter Keluarga
Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan
primer yang komprehensif, kontinu, integrative, holistic, koordinatif, dengan mengutamakan
pencegahan, menimbang peran keluarga dan lingkungan serta pekerjaannya. Pelayanan
diberikan kepada semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis
penyakitnya.5
Sistem pelayanan dokter keluarga sesungguhnya merupakan bagian dari Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) yang perlu diatur dalam Undang-undang. Disinilah
sesungguhnya tumbuh kembangnya "the five stars doctors", sebagai "the agent of change",
yang berkemampuan dan berfungsi sebagai "care provider" (sebagai bagian dari kelurga,
9
sebagai pelaksana pealyanan kedokteran komprehensif, terpadu, berkesinambungan, pada
pelayanan dokter tingkat pertama; sebagai pelapis menuju ke pelayanan kedokteran tingkat
kedua), sebagai "decicion maker" (sebagai penentu pada setiap tindakan kedokteran, dengan
memperhatikan semua kondisi yang ikut mempengaruhinya), sebagai "communicator"
(sebagai pendidik, penyuluh, teman, mediator dan sebagai penasehat keluarga dalam banyak
hal dan masalah: gizi, narkoba, keluarga berencana, seks, HIV, AIDS, sters, kebersihan,
pola hidup sehat, olah raga, olah jiwa, kesehatan lingkungan), sebagai "community leader"
(membantu mengambil keputusan dalan ikhwal kemasyarakatan, utamanya kesehatan dan
kedokteran keluarga, sebagai pemantau, penelaah ikhwal kesehatan dan kedokteran
keluarga), dan sebagai "manager" (berkemampuan untuk berkolaborasi dalam kemitraan,
dalam ikhwal penanganan kesehatan dan kedokteran keluarga).
Five star doctor merupakan profil dokter ideal yang memiliki kemampuan untuk
melakukan serangkaian pelayanan kesehatan untuk memenuhi kualitas, kebutuhan,
efektifitas biaya, dan persamaan dalam dunia kesehatan. WHO menerapkan batasan bahwa
dokter masa depan wajib memenuhi kriteria lima kualitas seorang dokter, yaitu:
1. Care provider
Dalam memberikan pelayanan medis, seorang dokter hendaknya:
Memperlakukan pasien secara holistic
Memandang Individu sebagai bagian integral dari keluarga dan komunitas.
Memberikan pelayanan yang bermutu, menyeluruh, berkelanjutan dan manusiawi.
Dilandasi hubungan jangka panjang dan saling percaya.
2. Decision maker
Seorang dokter diharapkan memiliki:
Kemampuan memilih teknologi
Penerapan teknologi penunjang secara etik
Cost Effectiveness
3. Communicator
Seorang dokter, dimanapun ia berada dan bertugas, hendaknya:
Mampu mempromosikan gaya hidup sehat.
Mampu memberikan penjelasan dan edukasi yang efektif.
Mampu memberdayakan individu dan kelompok untuk dapat tetap sehat.
10
4. Community leader
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seorang dokter hendaknya:
Dapat menempatkan dirinya sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Mampu menemukan kebutuhan kesehatan bersama individu serta masyarakat.
Mampu melaksanakan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
5. Manager
Dalam hal manajerial, seorang dokter hendaknya:
Mampu bekerja sama secara harmonis dengan individu dan organisasi di luar dan
di dalam lingkup pelayanan kesehatan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan
pasien dan komunitas.
Mampu memanfaatkan data-data kesehatan secara tepat dan berhasil guna.
Dokter keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih dari pada seorang
lulusan fakultas kedokteran pada umumnya. Kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap
dokter keluarga secara garis besarnya ialah :
a. Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran keluarga.
b. Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik dalam pelayanan
kedokteran keluarga.
c. Menguasai keterampilan berkomunikasi, menyelenggarakan hubungan professional
dokter-pasien untuk:
Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota keluarga dengan
perhatian khusus terhadap peran dan risiko kesehatan keluarga.
Secara efektif memanfaatkan kemampuan keluarga untuk bekerja sama
menyelesaikan masalah kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan dan
penyembuhan penyakit, serta pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan
keluarga.
Dapat bekerjasama secara professional secara harmonis dalam satu tim pada
penyelenggaran pelayanan kedokteran/ kesehatan.
Karakteristik Dokter keluarga menurut IDI (1982) adalah :
a. Memandang pasien sebagai individu, bagian dari keluarga dan masyarakat.
b. Pelayanan menyeluruh dan maksimal
11
c. Mengutamakan pencegahan, tingkatan taraf kesehatan
d. Menyesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memenuhinya
e. Menyelenggarakan pelayanan primer dan bertanggung jawab atas kelanjutannya.
Tugas Dokter Keluarga, meliputi :
a. Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna menyuruh, dan bermutu guna
penapisan untuk pelayanan spesialistik yang diperlukan.
b. Mendiagnosis secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat.
c. Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan
sakit.
d. Memberikan pelayanan kedokteran kepada nidividu dan keluarganya.
e. Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf
kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi.
f. Menangani penyakit akut dan kronik.
g. Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke rumah sakit.
h. Tetap bertanggung jawab atas pasien yang dirujukan ke Dokter Spesialis atau dirawat
di RS.
i. Memantau pasien yang telah dirujuk atau dikonsultasikan
j. Bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultan bagi pasiennya.
k. Mengkoordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasien.
l. Menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar
m.Melakukan penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran secara umum dan ilmu
kedokteran keluarga secara khusus.
Upaya Promitif dan Preventif
Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Lingkungan dari TBC,
maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
1) Pencegahan Primer2,6,7
Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif, walaupun
hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar kesehatan
sebelumnya yang sudah tinggi.
12
Promosi kesehatan menghindari kemunculan dari/ adanya factor resiko ( masa Pra-
Kesakitan). Dimana upaya promosi kesehatan diantaranya adalah:
Penyuluhan penduduk untuk meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan lingkungan.
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian kegiatan
yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu,
kelompok atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara,
melindungi dan meningkatkan kesehatannya. Penyuluhan TB perlu dilakukan karena masalah
TB banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan
adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, peran serta masyarakat dalam penanggulangan
TB. Penyuluhan TB dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung
ataupun menggunakan media.
Penyuluhan langsung bisa dilakukan perorangan maupun kelompok.vDalam program
penanggulangan TB, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan
keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan
keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Bagi
anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya,
sehingga terhindar dari penularan TB. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media
massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi
masyarakat tentang TB-dari “suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan”,
menjadi “suatu penyakit yang berbahaya, tetapi dapat disembuhkan”. Bila penyuluhan ini
berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif.
Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO, sedangkan
penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan media massa selain dilakukan oleh tenaga
kesehatan, juga oleh para mitra dari berbagai sector, termasuk kalangan media massa.
a. Penyuluhan Langsung Perorangan
Cara penyuluhan langsung perorangan lebih besar kemungkinan untuk berhasil
dibanding dengan cara penyuluhan melalui media. Dalam penyuluhan langsung
perorangan, unsur yang terpenting yang harus diperhatikan adalah membina
hubungan yang baik antara petugas kesehatan (dokter, perawat,dll) dengan penderita.
13
Penyuluhan ini dapat dilakukan di rumah, puskesmas, posyandu, dan lain-lain
sesuaia kesepakatan yang ada. Supaya komunikasi dengan penderita bisa berhasil,
petugas harus menggunakan bahasa yang sederhana yang dapat dimengerti oleh
penderita. Gunakan istilah-istilah setempat yang sering dipakai masyarakat untuk
penyakit TB dan gejala-gejalanya. Supaya komunikasi berjalan lancar, petugas
kesehatan harus melayani penderita secara ramah dan bersahabat, penuh hormat dan
simpati, mendengar keluhan-keluhan mereka, serta tunjukkan perhatian terhadap
kesejahteraan dan kesembuhan mereka. Dengan demikian, penderita mau bertanya
tentang hal-hal yang masih belum dimengerti.
Hal-hal penting yang disampaikan pada kunjungan pertama
Dalam kontak pertama dengan penderita, terlebih dahulu dijelaskan tentang
penyakit apa yang dideritanya, kemudian Petugas Kesehatan berusaha memahami
perasaan penderita tentang penyakit yang diderita serta pengobatannya.
Petugas Kesehatan seyogyanya berusaha mengatasi beberapa faktor manusia yang
dapat menghambat terciptanya komunikasi yang baik.
Faktor yang menghambat tersebut, antara lain:
a. Ketidaktahuan penyebab TB dan cara penyembuhannya
b. Rasa takut berlebihan yang berakibat pada timbulnya penolakan
c. Stigma sosial yang mengakibatkan penderita merasa takut tidak diterima oleh
keluarganya.
d. Menolak untuk mengajukan pertanyaan karena tidak mau ketahuan bahwa
pasien tidak tahu tentang TB.
b. Penyuluhan Kelompok
Penyuluhan kelompok adalah penyuluhan TB yang ditujukan kepada sekelompok
orang (sekitar 15 orang), bias terdiri dari penderita TB dan keluarganya. Penggunaan
flip chart (lembar balik) dan alat bantu penyuluhan lainnya sangat berguna untuk
memudahkan penderita dan keluarganya menangkap isi pesan yang disampaikan
oleh petugas. Dengan alat peraga (gambar atau symbol) maka isi pesan akan lebih
mudah dan lebih cepat dimengerti gunakan alat Bantu penyuluhan dengan tulisan
dan atau gambar yang singkat dan jelas.
14
c. Penyuluhan Massa
Penyakit menular termasuk TB bukan hanya merupakan masalah bagi penderita,
tetapi juga masalah bagi masyarakat, oleh karena itu keberhasilan penanggulangan
TB sangat tergantung tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat. Pesan-pesan
penyuluhan TB melalui media massa (surat kabar, radio, dan TV) akan menjangkau
masyarakat umum. Bahan cetak berupaleaflet,poster,billboard hanya menjangkau
masyarakat terbatas, terutama pengunjung sarana kesehatan. Penyampaian pesan TB
perlu memperhitungkan kesiapan unit pelayanan, misalnya tenaga sudah dilatih, obat
tersedia dan sarana laboratorium berfungsi. Hal ini perlu dipertimbangkan agar tidak
mengecewakan masyarakat yang dating untuk mendapatkan pelayanan. Penyuluhan
massa yang tidak dibarengi kesiapan UPK akan menjadi “bumerang” (counter
productive)
Penyuluhan Penderita Tuberkulosis
Petugas baik dalam masa persiapan maupun dalam waktu berikutnya secara berkala
memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas melalui tatap muka, ceramah dan
mass media yang tersedia diwilayahnya, tentang cara pencegahan TB-paru.
Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu kunjungan
rumah dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai upaya mengurangi
penyebaran penyakit.
Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar penderita
mau berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain.
Beri penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan cara-cara
pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.
Menganjurkan, perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan demi
tercapainya masyarakat yang sehat.
Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila diantara warganya ada yang
mempunyai gejala-gejala penyakit TB paru.
15
Berusaha menghilangkan rasa malu pada penderita oleh karena penyakit TB paru
bukan bagi penyakit yang memalukan, dapat dicegah dan disembuhkan seperti halnya
penyakit lain.
Petugas harus mencatat dan melaporkan hasil kegiatannya kepada koordinatornya
sesuai formulir pencatatan dan pelaporan kegiatan kader.
Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan.
Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan
membuang dahak tidak disembarangan tempat.
Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus
harus diberikan vaksinasi BCG. Vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi
dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada
12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan.
Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang
antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu
perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur,
pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan
hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect
gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak,
suspect, perawatan.
Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan
pasteurisasi air susu sapi.
2) Pencegahan Sekunder2,5,7
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC
yang timbul dengan 3 komponen utama ; Agent, Host dan Lingkungan.
Diagnosis TB
16
Mengacu pada program nasional penanggulangan TB, diagnosis dilakukan
dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Adapun diagnosis pastinya
adalah melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Namun, pemeriksaan kultur
memerlukan waktu yang lama, hanya akan dilakukan bila diperlukan atas indikasi
tertentu, dan tidak semua unit pelayanan kesehatan memilikinya. Pemerintah melalui
gerakan terpadu nasional, memiliki upaya untuk meningkatkan kemampuan Puskesmas
untuk melakukan diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan BTA. Pemeriksaan dahak
dilakukan sedikitnya 3 kali, yaitu pengambilan dahak sewaktu penderita datang berobat
dan dicurigai menderita TB, kemudian pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya,
yang diambil adalah dahak pagi. Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika
penderita memeriksakan dirinya sambil membawa dahak pagi. Oleh sebab itu, disebut
pemeriksaan SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif apabila sedikit 2 dari 3 pemeriksaan spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu)
BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu
rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan radiologi,
dada menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada TB maka yang
bersangkutan dianggap positif menderita TB. Kalau hasil radiologi tidak menunjukkan
adanya tanda-tanda TB, maka pemeriksaan dahak SPS harus diulang. Sedangkan
pemeriksaan biakan basil atau kuman TB, hanya dilakukan apabila sarana mendukung
untuk itu.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka diberikan antibiotik
berspektrum luas selama 1 hingga 2 minggu, amoksilin atau kotrimoksasol. Bila tidak
berhasil, dan penderita yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda TB,
maka ulangi pemeriksaan dahak SPS. Selanjutnya prosedur terdahulu dilakukan, yakni
kalau dalam pemeriksaan ulang ternyata dahak SPS positif, maka yang bersangkutan
adakah positif menderita TB. Namun, apabila dahak negatif, maka ulangi pemeriksaan
radiologi. Apabila hasil radiologi mendukung TB dianggap sebagai penderita TB
17
dengan BTA negatif, radiologi positif. Apabila baik radiologi tidak mendukung TB,
spesimen dahak negatif, maka yang bersangkutan bukan TB.
Karena tingginya prevalensi TB di Indonesia, maka tes tuberkulin pada orang
dewasa, tidak memiliki makna lagi. Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA, sehingga
diagnosis TB pada anak didapat dari gambaran klinik, radiologi dan uji tuberkulin.
Untuk itu, seorang anak dapat dicurigai menderita TB, kalau terdapat gejala
seperti:
1. Mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB dengan BTA positif.
2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG dalam waktu 3-7
hari.
3. Terdapat gejala umum TB. Gejala umum TB pada anak sebagai berikut:
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut, tanpa sebab yang jelas dan
tidak naik dalam 1 bulan meski sudah mendapat penanganan gizi yang baik.
Nafsu makan tidak ada, dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
dengan memadai.
Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat
malam, tanpa sebab-sebab lain yang jelas. Misalnya infeksi saluran napas
bagian atas yang akut, malaria, tipus, dan lain-lain.
Pembesaran kelenjar limpa superfisialis yang tidak sakit. Pembesaran ini
biasanya multiple, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
Batuk lama lebih dari 30 hari, disertai tanda adanya cairan di dada.
Gejala dari saluran pencernaan, misalnya adanya diare berulang yang tidak
sembuh dengan pengobatan diare, adanya benjolan massa di daerah dan
adanya tanda-tanda cairan abdomen.
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan secara intrakutan, dengan
tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU ( Tuberculin Unit ). Pembacaan dilakukan 48-72
jam setelah penyuntikan, dan diukur diameter dari peradangan atau indurasi yang
dinyatakan dalam milimeter. Dinyatakan positif bila indurasi sebesa r > 10 mm.
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern
kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga.
Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC
18
sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan
tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang
paling efektif.
Penatalaksanaan TB
Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat.
Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan
teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya resistensi terhadap
obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup efektif
untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis. Berbagai
penelitian yang telah dilakukan terhadap orang dewasa yang menderita infeksi HIV
terbukti bahwa pemberian rejimen alternatif seperti pemberian rifampin dan
pyrazinamide jangka pendek ternyata cukup efektif. Pemberian terapi preventif
merupakan prosedur rutin yang harus dilakukan terhadap penderita HIV/AIDS usia
dibawah 35 tahun. Apabila mau melakukan terapi preventif, pertama kali harus
diketahui terlebih dahulu bahwa yang bersangkutan tidak menderita TB aktif,
terutama pada orang-orang dengan imunokompromais seperti pada penderita
HIV/AIDS. Oleh karena ada risiko terjadinya hepatitis dengan bertambahnya usia
pada pemberian isoniazid, maka isoniazid tidak diberikan secara rutin pada
penderita TB usia diatas 35 tahun kecuali ada hal-hal sebagai berikut: infeksi baru
terjadi (dibuktikan dengan baru terjadinya konversi tes tuberkulin); adanya
penularan dalam lingkungan rumah tangga atau dalam satu institusi; abnormalitas
foto thorax konsisten dengan proses penyembuhan TB lama, diabetes, silikosis,
pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid atau pengobatan lain yang
menekan kekebalan tubuh, menderita penyakit yang menekan sistem kekebalan
tubuh seperti HIV/AIDS. Mereka yang akan diberi pengobatan preventif harus
diberitahu kemungkinan terjadi reaksi samping yang berat seperti terjadinya
hepatitis, demam dan ruam yang luas, jika hal ini terjadi dianjurkan untuk
menghentikan pengobatan dan hubungi dokter yang merawat. Sebagian besar
19
fasilitas kesehatan yang akan memberikan pengobatan TB akan melakukan tes
fungsi hati terlebih dahulu terhadap semua penderita, terutama terhadap yang
berusia 35 tahun atau lebih dan terhadap pecandu alkohol sebelum memulai
pengobatan.
Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif
dalam pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di
AS. Pengawasan minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedangkan
Indonesia sebagai negara anggota WHO telah mengadopsi dan mengadaptasi sistem
yang sama yang disebut DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse).
Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi yang tepat dengan
pemeriksaan sputum yang teratur. Untuk penderita yang belum resisten terhadap
OAT diberikan regimen selama 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH), Rifampin
(RIF) dan pyrazinamide (PZA) selama 2 bulan kemudia diikuti dengan INH dan
PZA selama 4 bulan. Pengobatan inisial dengan 4 macam obat termasuk etambutol
(EMB) dan streptomisin diberikan jika infeksi TB terjadi didaerah dengan
peningkatan prevalensi resistensi terhadap INH. Namun bila telah dilakukan tes
sensititvitas maka harus diberikan obat yang sesuai. Jika tidak ada konversi sputum
setelah 2-3 bulan pengobatan atau menjadi positif setelah beberapa kali negatif atau
respons klinis terhadap pengobatan tidak baik, maka perlu dilakukan pemeriksaan
terhadap kepatuhan minum obat dan tes resistensi. Kegagalan pengobatan
umumnya karena tidak teraturnya minum obat dan tidak perlu merubah regimen
pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila tidak ada perubahan respons klinis
penderita. Minimal 2 macam obat dimana bekteri tidak resisten harus ada dalam
regiemen pengobatan. Jangan sampai menambahkan satu jenis obat baru pada kasus
yang gagal. Jika INH atau rifampisin tidak dapat dimasukkan kedalam regimen
maka lamanya pengobatan minimal selama 18 bulan setelah biakan menjadi negatif.
551 Untuk penderita baru TBC paru dengan BTA (+) di negara berkembang, WHO
merekomendasikan pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2 bulan yang
teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti dengan pemberian INH dan RIF 3 kali
seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus diawasi secara langsung, jika
pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan pengawasan langsung maka
20
diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan EMB selama 6 bulan. Walaupun
pengobatan jangka pendek dengan 4 macam obat lebih mahal daripada pengobatan
dengan jumlah obat yang lebih sedikit dengan jangka waktu pengobatan 12- 18
bulan namun pengobatan jangka pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih
baik. Penderita TBC pada anak-anak diobati dengan regimen yang sama dengan
dewasa dengan sedikit modifikasi. Kasus resistensi pada anak umumnya karena
tertular dari penderita dewasa yang sudah resisten terlebih dahulu.Anak dengan
limfadenopati hilus hanya diberikan INH dan RIF selama 6 bulan. Pengobatan
anak-anak dengan TBC milier, meningitis, TBC tulang/sendi minimal selama 9-12
bulan, beberapa ahli menganjurkan pengobatan cukup selama 9 bulan. Etambutol
tidak direkomendasikan untuk diberikan pada anak sampai anak cukup besar
sehingga dapat dilakukan pemeriksaan buta warna (biasanya usia > 5 tahun).
Penderita TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus diberikan
pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat. Streptomisin tidak boleh
diberikan selama hamil. Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi efek
samping yang berat. Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada kasus MDR.
Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi untuk
penderita yang mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan
sediakan juga fasilitas pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak.
Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum
biasanya terjadi dalam 4 – 8 minggu. Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit
hanya dilakukan terhadap penderita berat dan bagi penderita yang secara medis dan
secara sosial tidak bisa dirawat di rumah. Penderita TB paru dewasa dengan BTA
positif pada sputumnya harus ditempatkan dalam ruangan khusus dengan ventilasi
bertekanan negatif. Penderita diberitahu agar menutup mulut dan hidung setiap saat
batuk dan bersin. Orang yang memasuki ruang perawatan penderita hendaknya
mengenakan pelindung pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran
submikron. Isolasi tidak perlu dilakukan bagi penderita yang hasil pemeriksaan
sputumnya negatif, bagi penderita yang tidak batuk dan bagi penderita yang
mendapatkan pengobatan yang adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan
21
sensitivitas/resistensi obat dan adanya respons yang baik terhadap
pengobatan).Penderita remaja harus diperlakukan seperti penderita dewasa.
Penilaian terus menerus harus dilakukan terhadap rejimen pengobatan yang
diberikan kepada penderita.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu:
a. Obat primer/Lini pertama: Isoniazid (INH), Rifampisin, Etambutol,
Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan
toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar dapat dipisahkan
dengan obat-obatan ini.
b. Obat sekunder / Lini kedua: Etionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,
Amikasin, Kapreomisin, Kanamisin.
3) Pencegahan Tersier2,5,7
Rehabilitasi merupakan suatu usaha mengurangi komplikasi penyakit. Rehabilitasi
merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan diagnosis kasus berupa
trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi penghibur
selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi pekerjaan yang
tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan
media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan perlunya
rehabilitasi.
Program Penanggulangan TBC di Puskesmas
Direct Observe Treatment Shorcut (DOTS)
Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan badan kesehatan dunia
(WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama yang menghasilkan rekomendasi perlunya
segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulangan TB di Indonesia, yang
kemudian disebut sebagai strategi DOTS.10,11
Istilah DOTS dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka
pendek setiap hari oleh pengawas menelan obat. Tujuannya mencapai angka kesembuhan
yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan
22
mencegah resistensi. Sebelum pengobatan pertama kali dimulai DOTS harus menjelaskan
kepada pasien tentang cara dan manfaatnya. PMO haruslah seseorang yang mampu
membantu pasien sampai sembuh selama enam bulan dan sebaiknya merupakan anggota
keluarga pasien yang diseganinya. Siapapun dapat menjadi PMO, dengan syarat sebagai
berikut:
a. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama
pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita dengan HIV/AIDS.
b. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader PKK,
atau anggota keluarga yang disegani pasien.
Adapun tugas PMO antara lain:
1. Bersedia mendapat penjelasan di klinik
2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang
ditentukan
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga
sembuh
5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap minum
obat.
6. Merujuk pasien bila efek semakin berat
7. Melakukan kunjungan rumah
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala
TB.
Hasil evaluasi pada tahun 1998 menggambarkan bahwa cakupan penemuan penderita baru
mencapai 9.8% dengan angka keberhasilan mencapai 89%, sehingga WHO menggolongkan
Negara kita sebagai Negara dengan penyelenggaraan program yang baik tetapi ekspansi
sangat lambat. Kajian data ini didapatkan dari puskesmas pelaksana program DOTS yang
baru mencapai lebih kurang 40% dari 7000 puskesmas dan rumah sakit yang ada.7-10
23
Kesimpulan
Penyakit tuberculosis merupakan penyakit masyarakat yang dapat menyerang siapa saja
dan dimana saja. Penyakit Tuberkulosis perlu penanganan intensif dari dokter keluarga dan
pelayanan kesehatan yang menyeluruh. Prinsip kedokteran keluarga yang bersifat
berkesinambungan, menyeluruh, terkoordinasi, dan mengutamakan pencegahan sangat
diperlukan untuk penatalaksanaan penyakit Tbc. Pendekatan keluarga berupa gambaran Status
Gizi, Kondisi rumah, Keadaan Sosial Ekonomi, Pekerjaan, Tingkat Pendidikan, Faktor Umur
sangat berpengaruh pada perkembangan penyakit Tbc. Prinsip pelayanan kesehatan yang
mengutamakan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit berguna untuk mencegah
penularan penyakit Tbc yang luas. Penyuluhan tentang Perilaku dan lingkungan masyarakat
dibutuhkan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya kesehatan.
Daftar Pustaka
1. Nasry N. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta;2008.hal.5-23.
2. Widoyono A. Tuberkulosis Paru. In: Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,
dan Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.hal.13-21.
3. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Binarupa Aksara;
2006.hal.104-19.
4. Aditama Tjandra et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi ke-2.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.hal.3-37.
5. Pohan I. Tuberkulosis Paru. In: Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2006.hal.438-50.
6. Amin Z, Asril r. Tuberkulosis Paru. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2009.hal.2230-9.
7. Crofton J, Horne N, Miler F. Tuberkulosisi klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Widya
Medika;2002.h.1-56.
8. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
EGC; 2009.h.5-19.
24
9. Dinas Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Edisi ke-2. Jakarta: Bakti Husada; 2006.hal.3-7,13-33,83-5.
10. Idris F. Manajemen Public Private Mix Penanggulangan Tuberkulosis Strategi DOTS Dokter
Praktik Swasta. Jakarta: Penerbit Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia; 2004.h.87-95,
112-3.
25