Upload
dangkiet
View
232
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN
DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN
RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN
1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN
1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
SHINTA UTAMI
NIM.E0007211
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN
DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN
RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN
1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN
1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI)
Oleh
Shinta Utami
NIM.E0007211
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 20 Juli 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
PERNYATAAN
Nama : Shinta Utami
NIM : E0007211
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN
DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN
RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN
1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN
1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum
(skripsi) ini.
Surakarta, Maret 2011
yang membuat pernyataan
Shinta Utami
NIM.E0007211
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
ABSTRAK
Shinta Utami, E0007211. 2011. TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sinkronisasi hukum mengenai pengaturan kewenangan dalam hal penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan yang mengaturnya. Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, mengkaji bagaimana pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi serta taraf sinkronisasi hukum mengenai kewenangan tersebut berdasarkan peraturan yang mengaturnya yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sumber penelitian sekunder yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan sumber bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan rujukan internet. Analisis penelitian yang digunakan adalah silogisme deduktif dengan pengumpulan sumber penelitian untuk menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi serta sinkronisasi hukum mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yaitu terdapat didalam Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13 UU Kepolisian, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Pasal 6, Pasal 7 huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 serta Pasal 43 sampai dengan Pasal 45 UU KPK, Pasal 25, 26, 28, 29, 30, 32, dan 33 UU Tipikor. Sedangkan taraf sinkronisasi horosontal kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan yang telah mengaturnya sesungguhnya terdapat sinergisitas antar instansi yang menanganinya sesuai dengan aturan yang telah mengaturnya. Kata Kunci : sinkronisasi hukum, kewenangan penyelidikan dan penyidikan, tindak pidana korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
ABSTRACT
Shinta Utami, E0007211. 2011. A STUDY OF LAW SYNCHRONIZATION OF PERUSAL AND INVESTIGATION COMPETENCE OF CORRUPTION CRIMINALITY (A STUDY TOWARDS UU NO. 2 YEAR 2002 ABOUT REPUBLIK OF INDONESIA POLICE DEPARTEMENT, UU NO. 16 YEAR 2004 ABOUT HOUSE OF PROSECUTION, UU NO. 8 YEAR 1981 ABOUT KUHAP, UU NO. 30 YEAR 2002 ABOUT CORRUPTION CRIMINALITY DISMISS COMISSION, UU NO. 31 YEAR 1999 jo UU NO. 20 YEAR 2001 ABOUT CORRUPTION CRIMINALITY DISMISS). Faculty of Law of SEBELAS MARET UNIVERSITY. This law essay is aimed at finding how the synchronization of law about the regulation of competence in perusal and investigation towards corruption criminality based on the rule that regulate it. This law essay is a normatuve law research prescription, that examine how the rule about perusal and investigation fowards corruption criminality ang law synchronization degree about that compentence based on the rule that regulate it, that is UU No. 2 Year 2002 about Republik Of Indonesia Police Departement, UU No. 16 Year 2004 about House Of Prosecution, UU No. 8 Year 1981 about KUHAP, UU No. 30 Year 2002 about Corruption Criminality Dismiss Comission, UU No. 31 Year 1999 Jo UU No. 20 Year 2001 about Corruption Criminality Dismiss. Secondary source used is primary law materials, secondary law materials and tertiary law materials. The law material source collection technique used is literature study and internet recomendation. The research analysis used in this reaserch is deductive syllogism with research source is processed and is analyzed to solve the problem examined. The last stage is infering all the research source processed, so it can be found about the perusal and investigation competence towards corruption criminality and the synchronization of law about perusal and investigation competence towards corruption criminality. Based on the research, it can be infer that the regulation about perusal and investigation competence towards corruption criminality that is stated in Chapter 1 number 8 until 13 UU Republik of Indonesia Police, Chapter 30 verse (1) letter d UU House of Prosecution, Chapter 1 verse (4) and Chapter 6 verse (1) KUHAP, Chapter 6, Chapter 7 letter a, Chapter 8 verse (2), (3), (4), Chapter 9, Chapter 10, Chapter 11, Chapter 12, Chapter 38 until Chapter 41, Chapter 43 until Chapter 45 UU Corruption Criminality Dismiss Comission, Chapter 25, 26, 28, 29, 30, 32, and 33 UU Corruption Criminality Dismiss.. meanwhile, the horizontal synchronization degree of perusal on investigation towards corruption criminalitybased on the regulation that had been regulated is in fact there is a synergy between instances that handle it based on the regulation that regulate it. Key words: Law synchronization, perusal and investigation competence, corruption criminality.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
MOTTO
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan kalau kamu memutar balikkan kenyataan atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.An-Nisa 4 : 135 ) Hiduplah bersama Al-quran, baik dengan cara menghafal, membaca, mendengarkan, maupun merenungkannya. Sebab ini obat yang mujarab untuk mengusir kesedihan dan kedukaan. (Dr. Aidh Al Qarni, La Tahzan) Terkadang Tuhan memberikan kita cukup kebahagiaan untuk membuat kita belajar bagaimana untuk tidak melupakan-Nya dengan bersyukur dan memberikan cukup cobaan membuat kita belajar bagaimana untuk tetap kuat dan berproses. (Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
PERSEMBAHAN Karya kecil ini Penulis persembahkan kepada : · Allah SWT, Dzat yang Maha Sempurna, Maha mendengar doa manusia dan memberi jalan untuk setiap kesulitan dan kemudahan hamba-NYA · Baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang telah menyampaikan kebenaran-kebenaran dari Allah SWT kepada kita hamba-Nya yang terlalu kecil di hadapan-Nya · Ibu dan Bapak, doamu adalah energiku dan harapanmu adalah kekuatanku · Simbah, sujud dan doamu adalah semangatku · Kakakku teman berbagiku, gudang pengalamanku · Fakultas Hukum UNS
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas setiap
kasih sayang-Nya, berkah dan rahmat-NYA sehingga Penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul “TELAAH SINKRONISASI
HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002
TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG
KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30
TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”. Shalawat
dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Penulisan Hukum atau Skripsi merupakan tugas wajib yang harus diselesaikan
oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh derajat sarjana dalam
Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penanganan tindak pidana korupsi seperti halnya dengan tindak pidana lain di
awali dengan penyelidikan dan penyidikan. Tindak pidana korupsi merupakan
salah satu tindak pidana khusus, dalam penanganan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana korupsi (tindak pidana khusus) dimiliki oleh beberapa instansi yang
memiliki kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi,
diantaranya alah Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di atur
di dalam beberapa aturan perundang-undangan yaitu UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8
tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga terlihat
seperti adanya tumpang tindik kewenangan antar instansi dalam penanganan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi untuk menjelaskan sinergisitas kewenangan antar instansi-instansi yang
berwenang tersebut
Untuk itu, mengenai pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi harus diatur secara jelas agar terlihat sinergisitas
antar pihak yang mempunyai kewenangan tersebut dan tidak terlihat adanya
tumpang tindih kewenangan dalam penanganan korupsi di Indonesia dan dapat
tetap berjalan secara maksimal.
Penulis menyadari bahwa terselesainya Penulisan Hukum ini tidak terlepas dari
bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai pihak,
dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku pembimbing I yang telah
memberikan banyak masukan, saran dan motivasi bagi Penulis untuk
menyelesaikan penulisan hukum ini.
3. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H., selaku pembimbing II yang dengan
sabar memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi serta bersedia
menyediakan waktu, pemikiran dan berbagi ilmu dengan penulis.
4. Ibu Kus Sunaryatun, S.H.,M.H., selaku pembimbing akademis, atas nasehat
yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan
skripsi ini.
6. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H., M.Hum., dan Mas Wawan
anggota PPH yang banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Hukum UNS, yang telah membantu
menyediakan bahan referensi yang berkaitan dengan topik penulisan hukum.
8. Ibu dan Bapak tercinta yang selalu mengantarkan kepergianku dengan penuh
doa, harapan dan nasehat-nasehatnya serta selalu menyambut kepulanganku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
dengan senyum dan perhatiannya. Terima kasih atas setiap cinta, doa, kasih
sayang, perhatian, harapan, dukungan, motivasi, semangat dan segala yang
telah kalian berikan yang tidak ternilai harganya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum ini.
9. Simbah tercinta, terimakasih disela-sela setiap sujud dan doamu tak lupa
selalu ada doa untukku.
10. Kakak terbaik didunia, Sulistyo Utomo teman berbagi yang telah memberikan
pandangan dan bantuan cukup ilmu bagi Penulis dalam menyelesaikan
penulisan hukum ini.
11. Saudara-saudara dan keluarga besar atas doa dan dukungan yang luar biasa
kepada penulis.
12. Sahabat-sahabat motivasiku, Lina “partner in crime” sahabat yang selalu
memberikan bantuan dan informasi selama hampir 4 tahun ini, Venni sahabat
ceriaku teman berbagi cerita, Tyas sahabat saling menopang teman untuk
saling menguatkan. Suka, duka, tawa dan tangis pernah mewarnai
kebersamaan kita dan kita selalu bertahan dalam keadaan apapun untuk tetap
menjadi satu dari awal sampai ujung kapanpun dibawah pedoman yang selalu
kita ingat bersama “Perbedaan Itu Indah!!”.
13. Sahabat-sahabat yang dipertemukan ketika Magang di Kejaksaan Negeri
Karanganyar : Mey, Wawan, Mas Agung, Mas Sukma, Puspita, Dhika,
Mardiyan. Tak akan pernah sekeping kenanganpun akan terlupakan dari
kebersamaan kita yang hanya 1 bulan saja.
14. Sahabat malamku, Mey, Wawan, Mas Agung dan Mas Sukma terimakasih
untuk hari-hari dan setiap malam yang kita lewati bersama. Walau hanya
sekedar kopi yang terkadang selalu menjadi teman bekumpul kita tapi rajutan
impian selalu terukir untuk menjadi semangat dan batu loncatan kita.
Tarimakasih dan maav atas segala kejutan yang terkadang menimbulkan tawa
ataupun amarah itu semua tak luput dari kealpaan dari diri pribadi untuk
kebersamaan kita.
15. Sahabat perjuangan, kawan untuk saling berproses : Dayat, Gopal, Padank,
Refi, Yuda, Mia, Citra, Dina, Riri, Desi, Hangga keluarga dalam satu tubuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
Pengurus HMI Kom FH UNS serta mas-mas yang telah membagi banyak ilmu
dan pandangan hidup untuk merubah dunia : Mas Didit, Mas Yasser, Mas
Anung, Mas Ridho, Mas Aldi, Mas Okki, Mas Aji, Mas Arman, Yedi, Mas
Martin, Mas Wisnu.
16. Keluarga keduaku, teman hidup bersama di kota Solo yang menumbuhkan arti
keluarga antara kita “Kethoprak” : Wulan, Lina, Dasri, Duden, Nopek, Nia,
Huzna, Dek Aning. Terimakasih atas perhatian dan bantuan serta canda tawa
yang mewarnai rumah kontrakan kita, walau hanya sekedar “gubuk” tetapi
banyak cerita tertoreh bersama.
17. Rahadian Anhar Ansori “kawan dalam bersaing” makasih untuk semua
waktunya sudah menjadi teman berbagi, menjadi pendengar dan penasehat
yang baik dan terimakasih untuk selalu mengingatkan tentang ajaran agama.
18. Sahabat senyum dan tawa : Prisil, Enggar, Lisa, Radit walau tak bisa
menempuh ilmu di kota yang sama dengan kalian tetapi terimakasih untuk
semua waktu, canda, tawa, cerita yang telah kalian luangkan dan bagi
bersama. Terima kasih untuk mau menampungku di Jogja ketika Solo
terkadang membuat lengah. Tetap saling berbagi semangat dalam keadaan
apapun. Bangkitkan kawan disaat dia terjatuh.
19. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS, teman-teman PETITUM
2010, teman-teman Kru DepDok (Hafidz, Mamo, Ebik, Yayas, Ocki, Yudha)
terimakasih atas kekompakan kita dan ilmu yang kita dapat bersama. Tak
pernah ada kata sesal pernah berada diantara kalian.
20. Para pihak “di belakang layar” yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian Penulisan Hukum ini, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu
persatu, semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan yang lebih atas
jasa-jasa yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum atau Skripsi ini masih jauh dari
sempurna baik dari segi subtansi ataupun teknis penulisan. Untuk itu sumbang
saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif, sangat penulis harapkan demi
perbaikan penulisan hukum selanjutnya. Demikian semoga penulisan hukum ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk penulisan, akademisi,
praktisi maupun masyarakat umum.
Surakarta, Maret 2011
Penulis
SHINTA UTAMI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................. v
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ............................................................................................... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... ix
KATA PENGANTAR .............................................................................................. x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 8
E. Metode Penelitian ................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................................ 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ....................................................................................... 15
1. Tinjauan tentang Sinkronisasi Hukum ................................................. 15
2. Tinjauan tentang Penyelidikan dan Penyidikan .................................... 16
a. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan ...................................... 16
b. Pengertian Penyelidik dan Penyidik ............................................. 18
c. Tugas dan wewenang Penyelidik................................................... 19
d. Tugas dan wewenang Penyidik ..................................................... 21
3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi ............................................. 24
a. Pengertian Korupsi ....................................................................... 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................................... 27
c. Pembagian Tindak Pidana Korupsi ............................................... 29
d. Faktor-faktor timbulnya korupsi .................................................... 33
4. Tinjauan tentang Undang-Undang Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi ................................................................................................. 35
a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI ..... 35
b. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI .... 36
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.............. 38
d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ......................................... 38
e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi .......................................................................................... 39
B. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 41
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK, UU
Tipikor ...................................................................................................... 42
1. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi dalam UU Kepolisian ................................................ 42
2. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi dalam UU Kejaksaan ................................................. 45
3. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi dalam KUHAP ........................................................... 47
4. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi dalam UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi ............................................................................................... 51
5. Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
B. Taraf Sinkronisasi Horisontal Pengaturan Kewenanagn Penyelidikan
dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU
Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor ...................................... 64
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................... 75
B. Saran ....................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran ..................................................................... 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi semakin lama semakin menunjukkan era persaingan dan
kemajuan di segala bidang mulai saling berhadapan. Indonesia sebagai suatu
negara yang sedang berkembang tidak mau untuk ketinggalan dalam melalui
era ini, sehingga mau tidak mau masyarakatnyapun harus dapat menyesuaikan
dengan kemajuan zaman.
Seiring dengan fenomena di atas, tidak hanya persaingan dan
kemajuan di segala bidang saja yang mencuat ke permukaan, tetapi kebutuhan
masyarakatpun juga semakin meningkat, bahkan meningkatnya berbagai
kebutuhan tersebut tidak senada dengan meninggkatnya daya beli dan
pendapatan masyarakat yang terkadang tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Hal inilah yang akhirnya dapat memunculkan barbagai
cara untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Berbagai inovasi akhirnya
muncul, masyarakat semakin produktif, namun tidak jarang cara-cara negatif
juga ikut bermunculan. Menghalalkan segala cara untuk memenuhi berbagai
kebutuhan menjadi hal yang biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat tanpa
mempedulikan kepentingan orang lain bahkan kepentingan negara sekalipun
jika perlu akan dikorbankan. Perampokan, pencurian, penggelapan,
penyelundupan, penipuan dan berbagai bentuk kejahatan lainnya terjadi. Itu
semua dapat terjadi seakan-akan disebabkan karena faktor ekonomi, seiring
dengan kemajuan dan persaingan yang semakin meningkat.
Di sini peran penegak hukum sangatlah penting untuk menciptakan
kehidupan yang selaras dengan tujuan Pancasila dan UUD 1945. dalam
system penegakan hukum di peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua
institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat.
Hukum acara pidana menjadi pegangan bagi Polisi, Jaksa, serta Hakim
(bahkan termasuk Penasihat Hukum) di dalam melaksanakan tugas
penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaan di
pengadilan. Para pelaksana hukum ini dalam melaksanakan tugasnya tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
boleh menyimpang dari asas-asas hukum acara pidana. Di dalam hukum acara
pidana diatur dengan jelas apa tugas dan kewenangan masing-masing alat
negara yang bekerja dalam sistem peradilan pidana.
Secara nyata pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum
sangatlah marak terjadi di masyarakat bahkan di kalangan penegak hukum itu
sendiri. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum ini merupakan
tindak pidana yang sangat merugikan masyarakat bahkan Negara itu sendiri.
Tindak pidana yang saat ini menjadi sorotan masyarakat adalah korupsi,
kolusi dan nepotisme. Masalah korupsi itu sendiri merupakan masalah yang
besar dan ruwet yang dihadapi oleh negara kita saat ini. Masalah korupsi
merupakan masalah banyak seginya, banyak sangkut pautnya dan tidak tentu
pangkalnya.
Andi Hamzah berpendapat, masalah korupsi telah mendunia. Buktinya
telah ada konvensi internasional mengenai pemberantasan korupsi, jadi
penentuan peringkat korupsi Indonesia yang demikian tingginya masih dapat
dipertanyakan kebenarannya, melihat negara lain yang sampai
mempergunakan kekuatan militer untuk merebutkan kekayaan negara lain, ini
sudah meningkat dari persoalan korupsi individual atau kelompok ke korupsi
negara (Andi Hamzah, 2004:13)
Korupsi merupakan suatu bentuk tindak pidana yang dianggap suatu
extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), karena korupsi dapat menjegal
dan melumpuhkan sendi-sendi perekonomian negara baik secara langsung
maupun tidak langsung. Semenjak reformasi pada tahun 1998, sejak
lengsernya pemerintahan Orde baru, dimana pemerintahan yang dipimpin oleh
Soeharto tersebut dianggap tidak bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN), suara-suara tentang perlawanan terhadap korupsi mulai terdengar.
Bahkan termuat pula dalam agenda cita-cita reformasi sendiri yang dituangkan
dalam Ketetapan MPR No. XI Tahun 1998 tertanggal 13 November tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, yang menyatakan antara lain bahwa upaya pemberantasan KKN
harus dilakukan secara tegas kepada siapapun juga, baik pejabat negara,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
mantan pejabat negara, keluarga dan kroni-kroninya, maupun pihak swasta
atau pengusaha konglomerat termasuk Presiden Soeharto
(http://www.komisihukum.go.id/konten.php/ diakses tanggal 9 September 2010
pukul 22.15 WIB).
Penanganan terhadap perkara-perkara korupsi haruslah dilakukan
secara serius, karena seperti yang telah disebutkan di atas korupsi dapat
menjegal dan melumpuhkan sendi-sendi perekonomian negara baik secara
langsung maupun tidak langsung. Maka daripada itu Peraturan Perundang-
undangan yang mengaturnyapun harus diupayakan secara efektif dapat
menjerat setiap menggeliatnya praktek-praktek korupsi, jadi Peraturan
Perundang-undangan tersebut juga harus dapat digunakan secara dinamis dan
fleksibel dari zaman ke zaman. Namun karena tidak dapat dibuat Undang-
undang tentang korupsi yang semacam itu, maka terpaksa Undang-undang
korupsi selalu diganti setiap undang-undang tersebut sudah dianggap tidak
efektif lagi.
Usaha pemberantasan korupsi selain telah diadakan pembaharuan
sumber pokok hukum pidana korupsi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971, telah dibentuk dan diberlakukan pula berbagai perangkat peraturan
perundang-undangan lainnya sebagai penunjang dan pelengkap dasar hukum
bagi pemerintah, dalam usaha memberantas korupsi di Indonesia. Hendaknya
dicermati bahwa dengan membuat dan mengganti atau memperbaiki peraturan
perundangan-undnagan akan berakibat penegakan hukum dalam mengatasi
korupsi menjadi beres. Anggapan tersebut tidak benar, karena penyebab
utamanya bukanlah pada perangkat hukumnya, tetapi pada penegak
hukumnya. Dahulu gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena
pejabat atau penyelenggara negara banyak turut campur dalam urusan
penegakan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya
peradilan. Dalam era reformasi saat ini bukan saja penyelenggara negara
(eksekutif) yang ikut campur, tetapi juga dari kekuatan poitik yang ada di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
partai politik atau kalangan politikus yang ada di DPR termasuk DPR daerah.
Lebih parah lagi bila pengaruh itu menggunakan uang. Tidak dapat di pungkiri
dan telah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di rusak oleh
adanya budaya suap (termasuk kategori korupsi) yang memang sulit
dibuktikan secara hukum.
Kesungguhan pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana korupsi
adalah komitmen yang tidak dapat dipungkiri, harus dilaksanakan secara
konsekuen penuh tantangan dan resiko, walaupun kendala sangat komplek,
tetapi peraturan yang telah ada dijadikan sebagai pedoman kerja bagi aparat
penegak hukum. Setiap pelaku kejahatan korupsi tentu harus dikenakan sanksi
pidana sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Ajimbar,
2007:5)
Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan keluarnya
hanya dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum internasional,
selain korupsi sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya penyalahgunaan
kewenangan (abuse of power) yang telah menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan bernegara. Juga kejahatan korupsi menjadi sangat sulit diberantas
karena muara utamanya berada pada instutusi penegak hukum (Jawahir
Thontowi, 2007:2). Kasus korupsi yang juga menjadi masalah di negara-
negara lain memunculkan pernyataan bahwa bukti data kuantitatif mengenai
korupsi sebenarnya bisa didapatkan dari sumber resmi pemerintah seperti
lembaga statistik pemerintah namun data semacam itu hanya sedikit yang
dipublikasikan secara riil (Daniel Levy, 2007:1-2). Dalam pemeriksaan
perkara pidana di Indonesia secara normatif (substansi) menunjuk kepada
peraturan induk yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
(KUHAP), beserta aturan lain yang memiliki keterkaitan denagn ketentuan
tersebut. Tahapan pemeriksaan dalam aturan itu dapat digambarkan sebagai
berikut:
a. Tahap Penyelidikan;
b. Tahap Penyidikan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
c. Tahap Penuntutan;
d. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan;
e. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa;
f. Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
Dalam tahap pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan merupakan
fungsi yang tidak dapat dipisahkan. Penyelidikan merupakan salah satu cara
atau metode yang menyatu dengan fungsí penyidikan sebagaimana yang
ditentukan Pedoman Pelaksanaan KUHAP berikut ini : “Penyelidikan
bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi
penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode fungsi
penyidikan, yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,
pemanggilan, tindakan pemeriksaan penyelesaian dan penyerahan berkas
perkara lepada penuntut umum. Latar belakang motivasi dan urgensi perkara
diintrodusirkan fungsi penyelidikan, antara lain adanya persyaratan dan
pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan
dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa tidak
setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana, maka sebelum
melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan denagn konsekuensi di
gunakannya upaya paksa perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan daat
atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang
terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak
pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan”. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam melakukan statu penyidikan diperlukan adanya
taktik, teknik, pengetahuan, modus operandi yang variatif serta kejelian,
ketepatan dan kecepatan untuk mengungkapkan alat-alat bukti lain yang dapat
berupa surat-surat, baik asli maupun fiktif, neraca dan jurnal-jurnal
pembukuan dan lain-lain yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara secara melawan hukum sebagaimana elemen terpenting
dari tindak pidana korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Dalam penanganan tindak pidana korupsi khususnya pada tahap
penyelidikan dan penyidikan terdapat ketidak harmonisan bahkan tumpang-
tindih penanganan terhadap masalah tersebut karena dilakukan oleh beberapa
lembaga yang kesemuanya merasa mempunyai wewenang untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Sehinggga
muncul sindiran dari masyarakat bahwa lembaga-lembaga penegak hukum
tersebut saling berebut rejeki satu sama lain. Rebutan kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus (seperti korupsi) antara
polisi, jaksa dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, misalnya
membuat masyarakat mengkritik bahwa antara lembaga penegak hukum
tersebut tengah terlibat “perkelahian” untuk mendapat “rejeki” yang besar.
Untuk itu perlu dilihat kembali lembaga mana yang benar-benar penting dan
perlu untuk menanggulangi korupsi secara optimal dengan peraturan
perbandingan tugas dan wewenang dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian di atas, menarik penulis untuk meneliti tentang
sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi di tinjau dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, maka
penulis mengkaji lebih mendalam di dalam sebuah penulisan hukum dengan
judul “TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN
PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN
RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8
TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO.
31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
B. Rumusan Masalah
Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan
konteks dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka
diperlukan suatu pembatasan masalah. Pokok permasalahan yang hendak
menjadi tujuan penulis yaitu terbatas pada masalah yang berkaitan dengan
sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi di lihat dari UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP, UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Sehingga agar tidak terjadi penyebutan berulang-
ulang mengenai produk-produk hukum diatas maka selanjutnya akan
disebutkan dengan UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan
UU Tipikor.
Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang dan mengacu dari judul
penelitian hukum, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK
dan UU Tipikor?
2. Bagaimana taraf sinkronisasi horisontal pengaturan kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kepolisian,
UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan karena memiliki tujuan. Tujuannya adalah
memecahkan permasalahan yang tergambar dalam latar belakang dan rumusan
masalah. Karena itu, tujuan penelitian sebaiknya dirumuskan berdasarkan
rumusan masalahnya. Tujuan penelitian dicapai melalui serangkaian
metodologi penelitian . Oleh karenanya, tujuan penelitian yang baik adalah
rumusannya operasional dan tidak bertele-tele. Dari tujuan inilah, dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
diketahui metode dan teknik penelitian mana yang cocok untuk dipakai dalam
penelitian itu (M. Subana dan Sudrajat, 2001:71)
Selain itu, tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam
melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan kewenangan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi dalam produk hukum di Indonesia.
b. Untuk mengetahui taraf sinkronisasi horisontal pengaturan
kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam
produk hukum di Indonesia.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk mengembangkan dan memperdalam pengetahuan penulis di
bidang Hukum Acara Pidana khususnya mengenai sinkronisasi hukum
kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di
lihat dari UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU
Tipikor.
b. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan
skripsi sebagai persyaratan wajib guna mencapai derajat sarjana (S1)
di bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
penulis maupun orang lain baik sekarang dan di masa yang akan datang.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan
sumbangan pemikiran pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan referensi di bidang karya
ilmiah serta bagi penelitian dan penulisan hukum sejenis di masa yang
akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan data dan informasi mengenai sinkronisasi hukum
kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di lihat
dari UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU
Tipikor.
b. Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak dalam
melaksanakan tugas menangani perkara tindak pidana korupsi.
c. Sebagai praktek dan teori penelitian dalam bidang hukum dan juga
sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode
penelitian ilmiah.
E. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukan
sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang mudah terpegang
di tangan. Penelitian merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu
research, yang berasal dari kata re (kembali) dan search (meneliti). Dengan
demikian artinya ”mencari kembali”. Suatu penelitian secara ilmiah dilakukan
oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahunya yang telah mencapai
taraf ilmiah, yang disertai dengan keyakinan bahwa setiap gejala akan dicari
sebab akibatnya atau kecenderungan yang timbul. Pentingnya dilaksanakan
penelitian hukum ialah untuk mengembangkan disiplin hukum dan ilmu
hukum sebagai salah satu tridarma perguruan tinggi. Penelitian hukum itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
bertujuan untuk membina kemampuan dan keterampilan para mahasiswa dan
para sarjana hukum dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah, yang obyektif,
metodik, dan sistemati (Hilman Hadikusuma, 1995:8).
Sebuah tulisan baru dapat dirasakan bersifat ilmiah apabila ia
mengandung kebenaran secara obyektif, karena didukung oleh informasi yang
teruji kebenarannya. Untuk dapat membuktikan kebenaran ilmiah dari
penelitian yang dilaksanakan, maka perlu dikumpulkan fakta dan data yang
menyangkut masalahnya dengan menggunakan metode dan teknik penelitian.
Tanpa adanya metode dan teknik penelitian maka hasil penelitian itu
diragukan kebenarannya (Hilman Hadikusuma, 1995:58).
Adapun metode penelitian yang akan digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum ini adalah jenis penelitia hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan
mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau disebut juga data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Bahan-bahan hukum disusun secara sistematis dan juga
dikaji untuk selanjutnya dapat ditarik kesimpulan atas apa yang diperoleh.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri.
Sifat dari ilmu hukum adalah ilmu yang preskriptif dan terapan (Peter
Mahmud Marzuki, 2009:22). Penelitian ini bersifat Preskriptif karena
berusaha menjawab isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori,
atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009:35).
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum
ada lima pendekatan, yaitu: pendekatan perundang-undangan (Statute
approach), pendekatan kasus (Case approach), pendekatan histories
(Historical approach), pendekatan perbandinagn (Comparative approach),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
dan pendekatan konseptual (Conceptual approach). (Peter Mahmud
Marzuki, 2009:93).
Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang
relevan dengan permasalahan penelitian yang diangkat yaitu pendekatan
perundang-undangan. Pendekatan undang-undang (Statute approach)
dilakukan dengan menelaah beberapa undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut denagn isu hukum yang sedang diteliti oleh penulis.
Dalam hal ini penulis akan menelaah UU Kepolisian, UU Kejaksaan,
KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor guna menemukan sinkronisasi hukum
kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-
sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum
autoritatif. Artinya, bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki
otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Yang termasuk bahan
hukum primer adalah peraturan perundnag-undangan, catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan undanng-undang, dan putusan hukum. Bahan
hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkaitan
dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-
kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2009:141).
Sumber data yang diperguanakn dalam penelitian ini adalah sumber
data sekunder. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh
dari kepustakaan, dalam hal ini dibedakan menjadi 2 yaitu :
a) Bahan hukum primer
Semua bahan hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara
yuridis. Meliputi peraturan perundang-undangan dalam hal ini:
(1) Kitab Undang-Undnag Hukum Acara Pidana.
(2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
(3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
(4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(5) Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
b) Bahan hukum sekunder
Semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum primer, meliputi:
(1) Buku-buku ilmiah dibidang hukum.
(2) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana.
(3) Kamus-kamus hukum dan ensiklopedia.
(4) Jurnal-jurnal hukum.
(5) Literatur dan hasil penelitian lainnya.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam hal penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan melalui
studi pustaka yaitu dengan cara mengkaji, membaca, dan mempelajari
bahan-bahan pustaka, baik berupa peraturan perundang-undangan, artikel
dari media massa maupun internet, jurnal, makalah, dokumen, serta bahan-
bahan lain yang berhubungan denagn pokok bahasan daalm penelitian ini.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Setelah bahan hukum terkumpul, langkah selanjutnya yang dapat
dilakukan ialah mengolah atau menganalisis bahan. Teknik analisis bahan
yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah interpretasi dan
silogisme dengan menggunakan pola berpikir deduktif.
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penelitian
hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks
undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan
dengan peristiwa tertentu.
Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip dasar untuk
kemudian memberikan objek yang akan diteliti. Sedangkan metode
silogisme yang menggunakan pendekatan deduktif menurut Aristoteles
berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
minor, dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau
conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005:46)
Peter Mahmud membedakan interpretasi menjadi beberapa macam,
yaitu interpretasi berdasar kehendak pembentuk Undang-Undang,
interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi teologis,
interpretasi antisipatoris, dan interpretasi modern (Peter Mahmud Marzuki,
2005:106-107).
Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode interpretasi
antara lain adalah sebagai berikut:
a. Interpretasi berdasarkan kata Undang-Undang
Interpretasi ini berdasarkan kata-kata yang terdapat dalam
Undang-Undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan terhadap kata-
kata dalam undang-undang yang singkat, padat, tajam dan akurat
mengenai apa yang dimaksud oleh undang-undang tersebut dan tidak
mengandung kata yang multi tafsir atau arti yang bermacam-macam.
Hal ini sesuai dengan karakteristik dari Undang-Undang sebagai
perintah maupun larangan (Peter Mahmud Marzuki, 2005:112).
b. Interpretasi sistematis
Interpretasi yang menilik keterkaitan antara undang-undang
yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang
memiliki hubungan saling ketergantungan asas yang mendasarinya
satu sama lain. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah
undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satupun ketentuan
dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter
Mahmud Marzuki, 2005:112).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara mneyeluruh mengenai
sistematika penulisan yang sesuai denagn aturan baku dalam penulisan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
hukum, maka sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang
tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bab untuk memudahkan pemahaman
terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.
Dalam menyajikan penelitian ini penulis menyusunnya dalam
sistematiak penulisan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, kerangka
Teoritis, dan Metode Penelitian.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, penulis menguraikan teori-teori yang
menjadi landasan dalam penulisan hukum ini yang
meliputi tinjauan tentang sinkronisasi hukum, tinjauan
tentang penyelidikan dan penyidikan, tinjauan tentang
tindak pidana korupsi, tinjauan tentang undang-undang
penegakan hukum tentang tindak pidana korupsi dan
diakhiri dengan kerangka pemikiran.
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian
dan pembahasan tentang pengaturan kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam
UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan
UU Tipikor dan taraf sinkronisasi horisontal pengaturan
kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP,
UU KPK dan UU Tipikor.
BAB IV: PENUTUP
Pada bab ini berisi simpulan serta saran-saran yang
dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait
dengan bahasan penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Sinkronisasi Hukum
Sinkronisasi hukum adalah penyelarasan dan penyelerasian
berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang
mengatur suatu bidang tertentu (http://www.penataan
ruang.net/Bab4.pdf/ diakses tanggal 16 Oktober 2010 pukul 01.30
WIB).
Sinkronisasi hukum dapat dilakukan baik secara vertikal (beda
derajat) ataupun secara horizontal (sama derajat/ sederajat).
Sinkronisasi secara vertikal merupakan sinkronisasi yang didasarkan
atas hierarki suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya antar
Undang-Undang 1945 dengan Ketetapan MPR atau dengan peraturan
pelaksanaannya, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan sebagainya. Untuk itu perhatikan beberapa
asas perundang-undangan, yaitu (Amiruddin, 2004:129):
a) Undang-undang tidak berlaku surut.
b) Asas lex superior (lex superior derogat legi inferior); Undang-
undang yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.
c) Asas lex specialis (lex specialis derogat legi generalis); Undang-
undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang
bersifat umum.
d) Asas lex poterior (lex posterior derogat legi priori); Undang-
undang yang berlaku belakangan, mengalahkan undang-undang
yang terdahulu.
e) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
Sedangkan sinkronisaasi horizontal merupakan sinkronisasi
terhadap peraturan perundangan yang mengatur tentang berbagai
bidang yang mempunyai hubungan fungsional, konsisten yang sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
derajatnya. Penelitian ini, disamping mendapatkan data yang lengkap
dan menyeluruh mengenai perundang-undangan bidang tertentu, juga
dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang ada pada
perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang tertentu. Dengan
demikian peneliti dapat membuatrekomendasi agar perundnag-
undangan tersebut dilakukan amandemen. Misalnya sinkronisasi antara
Undanng-Undang dengan Peraturan Pemerintah atau antara Keputusan
Presiden dengan Keputusan Presiden.
Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang
diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling
melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis
pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi
muatannya. Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk
mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat
memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan
bidang tersebut secara efisien dan efektif.
2. Tinjauan Umum tentang Penyelidikan dan Penyidikan
a) Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan berasal dari kata ”selidik” yang berarti memeriksa
dengan saksama atau mengawasi gerak-gerik musuh sehingga
penyelidikan dapat diartikan sebagai pemeriksaan, penelitian, atau
pengawasan (Rusli Muhammad, 2007:52)
Berdasar Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Sedangkan Penyidikan atau yang biasa disebut Pengusutan,
dalam istilah asingnya disebut Opsporing adalah merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
persiapan perlengkapan untuk melakukan suatu penuntutan
(verpolging) dengan kata lain merupakan dasar untuk
melaksanakan penuntutan. Karena itu tak dapat dilakukan
penuntutan sebelum dilakukan penyidikan atau pengusutan.
Perbuatan penyidik atau mengusut adalah merupakan usaha atau
tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang apakah
betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang melakukan perbuatan
itu, bagaimana sifat perbuatan itu, serta siapakah yang terlibat
dalam perbuatan itu. Dan suatu penyidikan atau pengusutan
diakhiri dengan suatu kesimpulan, bahwa atas perkara tersebut
akan diadakan penuntutan atau tidak (K. Wantjik Saleh, 1983:58).
Perlu diketahui bahwa telah dilakukan penyidikan mungkin tidak
akan dilakukan penuntutan, karena Badan Penuntut Umum dapat
mempergunakan asas opportunitet yang tidak akan melakukan
penuntutan dengan alasan kalau dilakukan penuntutan maka
kerugian negara akan lebih besar.
Berdasar Pasal 1 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa:
“Penyidikan ádalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti itu terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menentukan tersangkanya”.
Sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak
pidana, tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum ditemukan
siapa pembuatnya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu
diketahui dari pekerjaan penyelidikan. Karena menurut Pasal 1
ayat (5), pekerjaan penyelidikan itu dilakukan untuk mencari
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan
dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Jadi, hasil penyelidikan
adalah menemukan peristiwa yang diduga tindak pidana yang
berarti tindak pidana yang disebut dalam Pasal 1 ayat (2) tadi
masih dugaan saja, artinya belum terang. Walaupun belum terang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
karena masih berupa dugaan (subjektif penyelidik), tetapi telah
dapat ditentukan untuk dilakukan penyelidikan. Dasar untuk
menarik dugaan adanya atau terjadinya tindak pidana yang belum
terang tadi ialah adanya alat bukti permulaan, alat bukti permulaan
itu dalam praktik disandarkan pada adanya laporan polisi, atau
temuan penyelidik. Demikian kiranya isi pengertian dari
penyidikan (Adami Chazawi, 2005:381).
b) Pengertian Penyelidik dan Penyidik
Menurut Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penyelidikan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5)
KUHAP di atas, maka tugas pokok penyelidik adalah mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1
ayat (1) KUHAP). Penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh
penyidik apabila terjadi suatu tindak pidana dan terhadap tindak
pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan menurut yang diatur
dalam KUHAP. Untuk dapat menentukan suatu peristiwa yang
terjadi adalah termasuk suatu tindak pidana, menurut kemampuan
penyidik untuk mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak
pidana dengan berdasarkan pada pengetahuan hukum pidana.
Secara umum tindak pidana bisa diartikan sebagai suatu perbuatan
yang dilarang untuk dilakukan, yang apabila dilakukan, akan
dikenai ancaman hukuman oleh undang-undang. Hal ini berarti
bahwa suatu tindak pidana harus mempunyai unsur melawan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
hukum dan atas pelanggaran tersebut diancam dengan hukuman
pidana (H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1991:2).
c) Tugas dan Wewenang Penyelidik
Berdasarkan definisi tersebut diatas jelaslah bahwa fungsi
penyelidikan atau tugas daripada penyelidik merupakan suatu
kesatuan dengan fungsi penyidikan, penyelidikan hanya
merupakan suatu cara, salah satu tahap dari penyidikan, yaitu tahap
yang seyogyanya dilakukan lebih dahulu sebelum melangkah pada
tahap-tahap penyidikan selanjutnya. Menurut Pasal 4 KUHAP
penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Di dalam buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP dijelaskan latar
belakang, motivasi, dan urgensi diintrodusirnya fungsi
penyelidikan yaitu:
1) Adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia.
2) Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam
penggunaan upaya paksa.
3) Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan
rehabilitasi.
4) Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak
pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak
pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan
melakukan penyidikan, dengan konsekuensi digunakannya
upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu berdasarkan data
dan keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa
peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu
benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat
dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.
Kewenangan penyelidik diatur dalam Pasal 5 KUHAP,
menyatakan bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
1) Penyelidik sebagaimana diatur dalam Pasal 4:
(a) Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana;
(2) Mencari keterangan dan barang bukti;
(3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
(4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
(b) Atas perintah penyidik dapat dilakukan tindakan berupa:
(1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan;
(2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;
(3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
(4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil
pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf
a dan huruf b kepada penyidik.
Secara formal prosedural, suatu proses penyidikan sudah
dimulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah
Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di
instansi penyidik. Setelah pihak kepolisian menerima laporan atau
informasi tentang adanya suatu peristiwa tindak pidana, ataupun
mengetahui sendiri peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak
pidana. Hal ini selain untuk menjaga agar tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang dari pihak kepolisian, dengan adanya
Surat Perintah Penyidikan tersebut adalah sebagai jaminan
terhadap pelindungan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka (H.
Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1991:36).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
4) Tugas dan Wewenang Penyidik
Sesuai dengan pengertian dari penyidikan dalam Pasal 1 ayat
(2) KUHAP, maka tugas pokok dari seorang penyidik adalah:
a) Mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti-bukti
tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi.
b) Menemukan tersangka (Leden Marpaung, 2001:17).
Untuk menunjang tugas utama penyidik agar berjalan dengan
lancar, maka penyidik diberi kewenangan utuk melaksanakan
kewajibannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1)
KUHAP yang berbunyi: ”Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai
wewenang:
a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tendang
adanya tindak pidana.
b) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal tersangka.
d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan.
e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka ataupun saksi.
h) Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i) Mengadakan penghentian penyidikan.
j) Melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung
jawab.”
Hukum acara kita membatasi pelaksanaan penyidikan tersebut
sedemikian rupa agar jangan sampai melanggar hak-hak asasi yang
paling pokok dari setiap individu dan penyidik wajib menghormati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
asas-asas tersebut, yaitu antara lain asas-asas (Mohammad Amari,
2003:6) :
a) Praduga tak bersalah (presumtion of innocence);
b) Persamaan di muka hukum (equality before the law);
c) Hak memperoleh bantuan hukum/penasehat hukum (legal and
assistance);
d) Peradilan yang cepat, sederhana, murah, serta bebas dan jujur;
e) Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang.
Jika memperhatikan keseluruhan ketentuan didalam KUHP,
dapat diketahui bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana
Sumber bahan masukan suatu tindak pidana ke dalam pross
peradilan pidana berupa pengetahuan atau persangkaan telah
terjadinya suatu perbuatan tindak pidana dapat diperoleh
penyidik dari berbagai sumber, yaitu dari:
(a) Laporan;
(b) Pengaduan;
(c) Tertangkap tangan;
(d) Diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari hasil
penyelidikan.
2) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian
Yang dimaksud dengan ”tempat kejadian” adlah tempat
dimana telah dilakukan sesuatu tindak pidana. Sedangkan yang
dimaksud dengan ”melakukan tindakan pertama” di etmpat
kijadian itu adalah melakukan segala macam tindakan yang
oleh penyidik telah dipandang perlu untuk (P.A.F. Lamintang,
1984:76):
(a) Menyelamatkan nyawa korban atau harta kekayaan orang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
(b) Menangkap pelakunya apabila pelaku tersebut masih
berada dalam jangkauan penyidik untuk segera ditangkap.
(c) Menutup tempat kejadian bagi siapa pun yang
kehadirannya disitu tidak diperlukan untuk menyelamatkan
nyawa korban, untuk menyelamatkan harta kekayaan orang
atau untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan
dengan maksud agar tempat kejadian itu tetap berada dalam
keadaan yang asli untuk memudahkan penyelidikan dan
penyidikan.
(d) Menemukan, menyelamatkan, mengumpulkan dan
mengambil barang-barang bukti serat bekas-bekas yang
dapat membantu penyidik untuk mendapatkan petunjuk-
petunjuk tentang identitas pelaku atau dari pelaku-
pelakunya, tentang cara-cara atau alat-alat yang telah
dipergunakan oleh para pelakunya dan untuk melemahkan
alibi yang mungkin saja akan dikemukakan oleh seorang
tersangka apabila ia kemudian berhasil ditangkap.
(e) Menemukan saksi-saksi yang diharapkan dapat membantu
penyidik untuk memecahkan persolan yang sedang ia
hadapi dan memisahkan saksi-saksi tersebut agar mereka
itu tidak dapat berbicara satu dengan yang lain, dan lain-
lain.
3) Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi
Berdasar Pasal 7 ayat (1) KUHAP, selama dalam tahap
penyidikan, penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan
pemanggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi-
saksi lain yang diperlukan.
4) Melakukan upaya paksa yang diperlukan
Upaya paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat
dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap
kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
menguasai suatu barang, atau kemerdekaan pribadinya untuk
tidak mendapat gangguan terhadap siapapun.
5) Pembuatan berita acara penyidikan
Pada berita acara juga dilampirkan semua berita acara
keterangan tersangka dan saksi, berita acara penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya jika hal
tersebut telah benar-benar dilakukan dalam rangka penyidikan
suatu perbuatan pidana.
6) Penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum
Apabila penyidikan telah selesai, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.
3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi
a) Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin ”Corruptio” atau
”Corruptus”. Yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa
seperti Inggris ”Corruption”, bahasa Belanda ”Korruptie” yang
berarti penyuapan, perusakan moral, perbuatan tak beres dalam
jawatan, pemalsuan dan sebagainya kemudian muncul dalam
bahasa Indonesia ”Korupsi”.
Definisi korupsi dalam kamus lengkap Webster’s Third New
International Dictionary adalah “ajakan (dari seorang pejabat
politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya
(misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas”(Robert
Klitgaard dan Selo Soemardjan 2001:29).
Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa (IGM Nurdjana,
2010:14-15):
1) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan
dan ketidak jujuran.
2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
3) Perbuatan yang kenyataannya menimbulakn keadaan yang
bersifat buruk, perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejatan
moral, penyuapan dan bentuk-bentuk ketidak jujuran, sesuatu
yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak
tepat dalam satu kalimat, pengaruh-pengaruh yang korup.
Arti kata Korupsi oleh Purwadarminta disimpulkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1979): ”Korupsi ialah perbuatan
yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya” (BPKP, 1999:267-268). Istilah ”korupsi” sering kali
selalu diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme yang selalu
dikenal dengan singkatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
KKN saat ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas
dan dijadikan agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secar
serius dan mendesak, sebagai bagian dari program untuk
memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam
rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang
bersangkutan.
Transparency International definisi tentang korupsi yaitu
sebagai: ”Perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan
publik untuk kepentingan pribadi”(Pope J, 2003:6). Dalam definisi
tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi :
1) Menyalahgunakan kekuasaan;
2) Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik di sektor publik
maupun di sektor swasta), memiliki akses bisnis atau
keuntungan materi;
3) Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi
orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota
keluarganya dan teman-temannya).
Beberapa pengertian korupsi menurut John A. Gardiner dan
David J. Olson sebagaimana yang dikutip oleh Martiman
Prodjohamidjojo antara lain (M. Prodjohamidjojo, 2001:8-12):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
1) Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar
Jacob Van Klaveren mengatakan bahwa seorang pengabdi
negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap
kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, sehingga dalam
pekerjaannya diusahakan pendapatannya akan diusahakan
semaksimal mungkin.
2) Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan
M. Mc. Mullan mengatakan bahwa seorang pejabat
pemerintahan dikatakan korup apabila menerima uang yang
dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang bisa
dilakukan dalam tugas dan jabatannya padahal seharusnya
tidak boleh melakukan hal demikian selama menjalankan tugas.
J.S. Nye berpendapat bahwa korupsi sebagai perilaku yang
menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran
instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga,
golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi,
atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari
penngaruh bagi kepentingan pribadi.
3) Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum
Carl J. Friesrich mengatakan bahwa pola korupsi dikatakan
ada apabila seorang memegang kekuasaan yang berwenang
untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang
bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya
yang tidak dibolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk
mengambil langkah yang menolong siapa saja yang
menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar
membahayakan kepentingan umum.
4) Rumusan korupsi dari sisi pandangan sosiologi
Makna korupsi secara sosiologi dapat dilihat dari makna
korupsi sebagaimana yang dikemukakan oleh Syeh Hussein
Alatas yang mengatakan bahwa: ”Seperti halnya dengan semua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat dirumuskan dalam
satu kalimat saja. Yang mungkin ialah membuat gambaran
yang masuk akal mengenai gejala tersebut agar kita dapat
memisahkannya dari gejala lain yang bukan korupsi. Korupsi
adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan
pribadi”(SH Alatas, 1987:1).
Berdasarkan beberapa pengertian tentang korupsi di atas
maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu
perbuatan melawan hukum yang baik secara langsung maupun
tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan
negara yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
masyarakat. Pengertian tentang korupsi ini sering kali tidak dapat
dibedakan ataupun dicampuradukkan dengan pengertian kolusi dan
nepotisme. Hal ini disebabkan oleh karena ketiga perbuatan itu
mempunyai batasan yang sangat tipis dan dalam praktiknya sering
kali menjadi satu kesatuan tindakan atau merupakan unsur-unsur
dari perbuatan korupsi.
Pengertian tersebut diatas berdasarkan unsur-unsur mutlak
atau pokok korupsi, berupa: a. Adanya pelaku atau pelaku-pelaku
korupsi; b. Adanya tindakan yang melanggar norma-norma yang
berlaku yang dalam hal ini dapat membentuk moral (aspek agama),
etika (aspek profesi), maupun peraturan perundang-undangan
(aspek hukum); c. Adanya unsur merugikan keuangan/ kekayaan
negara atau masyarakat, langsung atau tidak langsung, serta d.
Adanya unsur atau tujuan untuk kepentingan atau keuntungan
pribadi/ keluarga/ golongan.
b) Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi adalah merupakan salah satu dari pada
sekian banyak macam tindak pidana. Dalam ilmu hukum pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
masalah tindak pidana adalah merupakan bagian yang paling
pokok dan sangat penting. Berbagai masalah dalam hukum pidana
seolah terpaut dan berselingkar dengan persoalan tindak pidana.
Oleh karena itu memahami pengertian tindak pidana sangatlah
penting sekali. Istilah tindak pidana adalah dimaksudkan sebagai
terjemahan dalam Bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Belanda
strafbaar feit atau delict. Perkataan feit dalam bahasa Belanda
diartikan sebagian dari kenyataan sedang strafbaar berarti dapat
dihukum sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit berarti
sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang
tentu tidak tepat oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang
dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan
kenyataan, perbuatan, tindakan (Evi Hartanti, 2005:5).
Dalam pengertian ini tindak pidana adalah rumusan tentang
perbuatan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan
yang disertai ancaman suatu pidana terhadap siapa yang melakukan
perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila istilah tersebut
digabungkan dengan kata korupsi akan menjadi tindak pidana
korupsi sehingga mudah kita pahami bahwa pengertiannya ialah
rumusan-rumusan tentang segal perbuatan yang dilarang dalam
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Ciri-ciri perbuatan tindak pidana korupsi adalah sebagai
berikut:
1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
2) Korupsi pada umumnya melibatkan elemen kewajiban dan
keuntungan timbal balik, dimana kewajiban dan keuntungan
itu tidaklah senantiasa berupa uang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
3) Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya
berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan
berlindung dibalik pembenaran hukum.
4) Mereka yang terlibat korupsi adalh mereka yang
menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka
yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
5) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya
badan publik atau masyarakat umum.
6) Setiap bentuk korupsi merupakn suatu pengkhianatan
kepercayaan.
7) Setiap bentuk korupsi menggunakan fungsi ganda yang
kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu.
8) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat berdasarkan
atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum
dibawah kepentingan khusus.
c) Pembagian Tindak Pidana korupsi
Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 tahun
1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut dirumuskan dalam
Pasal : 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 21, 22, 23
(menarik Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP), dan 24. Dari
pasal-pasal tersebut ada 44 rumusan tindak pidana korupsi yang
atas dasar-dasar tertentu dapat dibedakan dan dikelompokkan
sebagai berikut:
1) Atas Dasar Substansi Obyek Tindak Pidan Korupsi
Atas dasar substansi obyeknya, tindak pidana korupsi dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
(a) Tindak Pidana Korupsi Murni
Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana
korupsi yang substansi obyeknya mengenai hal yang
berhubungan denngan perlindungan hukum terhadap
kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara,
perekonomian negara, dan kelancaran pelaksanaan
tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan
yang bersifat publik.
(b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak pidana korupsi tidak murni ialah tindak
pidana yang substansi obyeknya mengenai perlindungan
hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran
pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
2) Atas Dasar Subyek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar subyek hukum atau si pembuatnya, maka tindak
pidana korupsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
(a) Tindak Pidana Korupsi Umum
Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk-bentuk
tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada
orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan
tetapi ditujukan pada setiap orang termasuk korporasi.
(b) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau
Penyelenggara Negara
Tindak pidana pegawai negeri atau tindak pidana
korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya
dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai
pegawai negeri atau penyelenggara negara. Tindak pidana
korupsi ini merupakan bagian dari kejahatan jabatan atau
dapat disebut sebagai kejahatan jabatan khusus..
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
3) Atas Dasar Sumbernya
Atas dasar sumbernya tindak pidana korupsi dapat
dikelompokan menjadi dua sebagai berikut:
(a) Tindak Pidana Korupsi yang Bersumber pada KUHP
Tindak pidna korupsi yang bersumber pada KUHP
dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
§ Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri
dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001, rumusan tersebut berasal
atau bersumber dari rumusan tindak pidana dalam
KUHP. Formula rumusannya agak berbeda denagn
rumusan aslinya dalam pasal KUHP yang bersangkutan,
tetapi substansinya sama.
§ Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada pasal-pasal
tertentu dalam KUHP dan ditarik menjadi tindak pidana
korupsi dengan mengubah ancaman dan sistem
pemidaannya.
(b) Tindak Pidana Korupsi yang oleh Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 dirumuskan sendiri sebagai Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana ini berupa tindak pidana asli yang
dibentuk oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undanng-Undang No. 20 Tahun 2001. yang termasuk
dalam kelompok ini ialah tindak pidana korupsi
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13,
15, 16, 21, 22, dan 24.
4) Atas Dasar Tingkah Laku/ Perbuatan dalam Rumusan Tindak
Pidana
Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak
pidana, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan antara
tindak pidana korupsi aktif dan tindak pidana korupsi pasif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
(a) Tindak Pidana Korupsi Aktif
Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana
korupsi positif ialah tindak pidana yang dalam rumusannya
mencantumkan unsur perbuatan aktif. Perbuatan aktif atau
perbuatan materiil yang bisa disebut juga perbuatan jasmani
adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan
gerakan tubuh atau bagian dari tubuh orang.
(b) Tindak Pidana Korupsi Pasif atau Tindak Pidana Korupsi
Negatif
Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana
yang unsur tingkah lakunya dirumuskan secara pasif.
Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu
adalah tindak pidana yang melarang untuk tidak berbuat
aktif (disebut perbuatan pasif). Di dalam kehidupan sehari-
hari, ada kalanya seseorang berada dalam situasi dan atau
kondisi tertentu, dan orang itu diwajibkan (disebut
kewajiban hukum) untuk melakukan suatu perbuatan (aktif)
tertentu. Apabila dia tidak menuruti kewajiban hukumnya
untuk berbuat (aktif) tertentu tersebut, artinya dia telah
melanggar kewajiban hukumnya untuk berbuat tadi, maka
dia dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana pasif
tertentu.
5) Atas Dasar Dapat-Tidaknya Merugikan Keuangan dan atau
Perekonomian Negara
Atas dasar seperti itu tindak pidana korupsi dapat
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:
§ Tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
§ Tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat
menimbulkan kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara.
Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak
perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat
ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat
menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut
sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang terdapat unsur/syarat dapat
merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara
terdapat dalam Pasal: 2, 3, 15 jo 2 dan 3 (sepanjang percobaan,
pembantuan, atau permufakatan jahat itu dilakukan dalam
rangka melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 2 dan 3). Demikian juga tindak pidana
dalam Pasal 16 disyaratkan dapat menimbulkan kerugian
negara sepanjang orang ayang berada di luar wilayah hukum RI
itu memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan
untuk terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 2 dan 3. sedangkan terhadap bentuk-
bentuk tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal-
pasal berikutnya (ini yang terbanyak) tidak memerlukan unsur
atau syarat dapat merugikan keuangan atau perekonomian
negara.
d) Faktor-faktor timbulnya Korupsi.
Menurut Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis
tetapi ada dua hal yang jelas sebagai faktor timbulnya korupsi,
yaitu:
§ Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak
dan sebagainya).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
§ Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya
kesempatan, kurang kontrol).
Sedangkan menurut Andi Hamzah mengiventariskan beberapa
penyebab tindak pidana korupsi antara lain:
§ Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan denagn
kebutuhan yang makin meningkat.
§ Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang
merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.
§ Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif
dan efisien yang memberikan peluang orang untuk korupsi.
§ Modernisasi pengembangbiakan korupsi.
Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah
keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat.
Keadaan moral dan intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi
yang lain. Beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi,
walaupun tidak akan memberantasnya adalah:
(a) Keterikatan positif pada pemerinyahan dan keterlibatan
spiritual serta tugas kemajuan nasional dan publik maupun
birokrasi.
(b) Administrasi yang efisien serta penyesuaian struktur yang
layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari
penciptaan sumber-sumber korupsi.
(c) Kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan.
(d) Berfungsinya suatu sistem yang anti korupsi.
(e) Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar
moral dan intelektual yang tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
4. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi
a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan dasar
pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sebelumnya, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pelaksanaan tugas Kepoisian Negara Republik Indonesia sebelum
Undang-Undang ini berlaku adalah Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3710) sebagai penyempurnaan dari Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kepolisian Negara (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2289).
Undang-Undang ini telah didasarkan kepada paradigma baru
sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan
peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh
segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan
masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradap berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Selain itu juga diharapkan dapat
memberikan penegasan watak Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Tri Brata dan Catur
Prasatya sebagai sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir
dari falsafah Pancasila. Oleh karena itu, Undang-Undang ini
mengatur pula pembinaan profesi dan kode etik profesi agar
tindakan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, moral, maupun secra
teknik profesi dan terutama hak asasi manusia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Undang-Undang ini menampung pula pengaturan tentang
keanggotaan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian yang meliputi pengaturan tertentu
mengenai hak anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia baik
hak kepegawaian , maupun hak politik, dan kewajibannya tunduk
pada kekuasaan peradilan umum.Substansi lain yang baru dalam
Undang-Undang ini adalah diaturnya lembaga kepolisian nasional
yang tugasnya memeberikan saran kepada Presiden tentang arah
kebijakan kepolisian dan pertimbangan dalam pengangkatan dan
pemberhentian Kapolri sesuai amanat Ketetapan MPR RI No.
VII/MPR/2000, selain terkandung pula fungsi pengawasan
fungsional terhadap kinerja Kepolisian Negara Republil Indonesia
sehingga kemandirian dan profesionalisme Kepolisian Negara
Republik Indonesia dapat terjamin.
b) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 ini merupakan
perubahan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia karena sudah tidak sesuai lagi maka
perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan
membentuk undang-undang ini.
Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang disempurnakan,
antara lain:
1) Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan
negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu,
kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara
independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.
Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan
dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan
kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.
2) Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh
berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam
menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai denagn
profesionalisme dan fungsi kejaksaan, ditentukan bahwa jaksa
merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian , usia pensiun
jaksa yang semula 58 tahun ditetapkan menjadi 62 tahun.
3) Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak
pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa
ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan
kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan.
4) Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dengan
berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian Jaksa
Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta
bertanggung jawab kepada Presiden.
5) Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan
mempunyai kewenangan untuik dan atas nama negara atau
pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam
pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau
membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga
membela dan melindungi kepentingan rakyat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, peraturan ini yang menjadi dasar
bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan
umum. Sebelum undang-undang ini, yang berlaku adalah
”Reglemen Indonesiayang dibaharui” atau yang terkenal dengan
nama ”Het Herziene Inlandsch Reglement” atau H.I.R (Staatsblad
Tahun 1941 Nomor 44).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana ini wajib didasarkan pada falsafah/
pandangan hidup bangasa dan dasar negara, maka sudah
seharusnyalah di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin
perlindungan terhadap hak asasi warganegara maupun asas-asas.
Kitab Undang-Undang ini tidak saja memuat ketentuan tentang
tatacara dari suatu proses pidana, tetapi kitab ini pun juga memuat
hak dan kewajiban dari mereka yang ada dalam suatu proses
pidana dan memuat pula hukum acara pidana Mahkamah Agung
setelah dicabutnya undang-undang Mahkamah Agung (Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1950) oleh Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1965.
d) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ini merupakan suatu
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai suatu
badan khusus pemberantasan tindak pidana korupsi yang
selanjutnya disebut sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang mempunyai kewenangan melakukan koordinasi dan
supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi
disamping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga
dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai
ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur
mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di
lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali di bentuk di
lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-
Undang ini diatur pula mengenai ketentuan rehabilitasi dan
kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan
tugas dan wewenangnya bertentangan denagn Undang-Undang ini
atau hukum yang berlaku.
e) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan perubahan
dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang ini
ditambahkan mengenai ”pembuktian terbalik”. Selain itu diatur
pula hak negara untuk mengajukan gugatam perdata terhadap harta
benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru
diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi itu
diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dana atau ahli
warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat
menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Selanjutnya dalam Undang-Undang ini juga diatur ketentuan
baru mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi
tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00
(lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk
menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana
korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil. Disamping itu
dalam Undang-Undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan.
Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai
denagn asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
B. Kerangka pemikiran
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Penyelidikan diatur oleh KUHAP
dilaksanakan oleh
Kepolisian
Terjadi tindak pidana diatur oleh KUHP
Tindak pidana khusus diatur dalam Undang-Undang tersendiri
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002
Penyidikan diatur oleh KUHAP
dilaksanakan oleh
Kepolisian & Kejaksaan
Tindak pidana korupsi diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Kepolisian, UU
Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor guna menemukan keselarasan dan keserasian kewenangannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan tindak
pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga negara antara lain:
Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
sedangkan pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan
terhadap perkara tindak pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan
perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian RI, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
1. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian RI, salah satu tugas dan wewenang Kepolisian yaitu
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana.
Hal ini termuat di dalam Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13, yaitu :
a. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penyelidikan.
b. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang.
c. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
d. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang berdasakan peraturan perundang-undangan ditunjuk
selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan
penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing.
e. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang
tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam
undang-undang.
f. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Kepolisian merupakan segala hal ihwal yang berkaitan dengan
fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas-tugas pokok
tercantum di dalam Pasal 13, antara lain:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
b. Menegakkan hukum, dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Didalam tugas pokok penegakkan hukum, Kepolisian Nagara
Republik Indonesia mempunyai tugas dan wewenang salah satunya yaitu
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana. Hal
tersebut diperjelas didalam Pasal 14 ayat (1) huruf g yang berbunyi
”Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.” Dalam
Pasal tersebut menjelaskan bahwa Ketentuan Undang-Undang Hukum
Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara
umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap
memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh
penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing. Maka Kepolisian Negara
Republik Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan
dan penyidikan terhadap semua tindak pidana termasuk juga tindak
pidana korupsi.
Mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penyelidikan dan
penyidikan suatu tindak pidana sesuai ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1)
huruf g, h, dan i, dalam menjalankan tugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia berwenang antara lain melakukan tindakan pertama di tempat
kejadian, mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang serat mencari keterangan dan barang bukti. Keterangan dan
barang bukti yang dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan proses
pidana maupun dalam rangka tugas kepolisian pada umumnya. Selain itu
didalam Pasal 16 ayat (2) mengatur bahwa dalam menjalankan tugas
yang dimaksud, Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai
wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. Menghormati hak asasi manusia.
2. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi dalam UU Kejaksaan
Berdasar Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa di bidang pidana,
Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang salah satunya mengenai
penyidikan yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang, dimana dalam penjelasannya kewenangan
tersebut mengenai kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan ketentuan dari Pasal tersebut memperlihatkan dengan jelas akan
kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi. Selain itu di dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa
tugas dan wewenang Kejaksaan yang lainnya adalah melengkapi berkas
perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik. Dalam hal ini dijelaskan bahwa untuk
melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak dilakukan terhadap tersangka;
b. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau
dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan
keselamatan Negara;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
c. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah
dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
d. Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
Berdasar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
kejaksaan RI di dalam melakukan penegakkan hukum tidak diatur
mengenai kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyelidikan
terhadap suatu tindak pidana karena kewenangan penyelidikan oleh
Kejaksaan untuk menangani suatu tindak pidana seperti korupsi
kewenangan penyelidikan tersebut telah melekat dengan kewenangan
penyidikan yang dimiliki oleh Kejaksaan dalam menangani suatu tindak
pidana. Pada umumnya, Kejaksaan mempunyai tugas utama adalah
Penuntutan di bidang Peradilan Pidana termasuk didalamnya pada tindak
pidana korupsi. Namun mengenai kewenangan penyelidikan terhadap
tindak pidana korupsi, kewenangannya melekat pada kewenangan
penyidikan. Disamping itu, untuk kesempurnaan penyelesaian suatu
perkara pidana baik mengenai perkaranya itu sendiri maupun mengenai
cara-cara penyelesaiannya ataupun untuk kepentingan hukum orang yang
kena perkara yang selalu harus menajdi pedoman bagi para pejabat dalam
mengerjakan perkara-perkara itu, jaksa perlu turut campur tangan di
dalam segala tindakan-tindakan penyelesaian perkara dari mula-mula
perkara itu diungkap. Maka untuk kesempurnaan pemeriksaan perkara
dalam keseluruhannya yang pada hakekatnya ditujukan kepada pekerjaan
penuntutan perkara itu pada sidang peradilan, jaksa perlu mempunyai
wewenang penyidikan. Guna menjamin lancarnya penyidikan dan
penuntutan perkara-perkara tindak pidana, sewaktu-waktu jaksa
menganggap perlu dapat diadakan pertemuan dengan penyidik lainnya.
Jaksa yang berfungsi sebagai penuntut umum, juga merupakan
penyidik atau pengusut yang paling luas dan penting karena tugasnya
pengusutan dari permulaan sampai akhir, penyidikan lanjutan dan
mengawasi serta mengkoordinasikan alat penyidikan terhadap perkara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
tertentu. Untuk itu jaksa wajib melengkapi berkas pemerikasaan perkara
tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik. Maka dalam perkara tindak pidana korupsi, pihak
Kejaksaan juga mempunyai peran dalam hal melakukan penyidikan.
3. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi dalam KUHAP
Berdasar Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini. Menurut Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penyelidikan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5)
KUHAP di atas, maka tugas pokok penyelidik adalah mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Dari ketentuan Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 5 KUHAP dapat
diperinci terhadap fungsi dan wewenang penyelidik adalah (Lilik
Mulyadi, 2000:37-38):
a. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan
hukum dapat berupa:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
2) Mencari keterangan dan barang bukti;
3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
b. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan
perintah penyidik dapat berupa:
1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik
c. Apabila dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tindakan penyelidik kepada penyidik:
Untuk itu, penjelasan Pasal 5 huruf a angka 4 KUHAP
menyebutkan yang dimaksud ”tindakan lain” adalah tindakan
penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan;
3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
4) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;dan
5) Menghormati hak asasi manusia.
Sedangkan mengenai penyidikan atau ”opsporing” itu menurut
ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan sebagai serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menentukan tersangkanya. Mengenai personil dari penyidik sebagaimana
ditentukan Pasal 6 ayat (1) KUHAP adalah pejabat polisi negara
Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
wewenang khusus oleh undang-undang. Sedangkan mengenai syarat
kepangkatan pejabat sebagaimana tersebut diatas berdasarkan ketentuan
Pasal 6 ayat (2) KUHAP dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dapat disebutkan
bahwa syarat kepangkatan pejabat polisi negara RI itu sekurang-
kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi, sedangkan pejabat pegawai
negeri sipil yang diberi wewenang penyidikan adalah berpangkat
sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (Gol II/b) atau yang
disamakan dengan itu.
Apabila dalam suatu daerah tidak terdapat pejabat penyidik
berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi ke atas, maka berdasarkan
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara dibawah
Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatan adalah penyidik. Penyidik
pejabat polisi negara tersebut ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain
(Pasal 2 ayat (3), (4) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983).
Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil berdasarkan ketentuan
Pasal 2 ayat (5) dan (6) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
diangkat oleh Menteri Kehakiman RI atas usul departemen yang
membawahi pegawai tersebut. Wewenang pengangkatan ini dapat
dilimpahkan (didelegasikan) Menkeh RI sebagaimana ditentukan
Kepmenkeh RI Nomor: M.08-UM.01.06 Tahun 1963 sebelum
pengangkatan tersebut dilakukan oleh Menkeh RI, terlebih dahulu
meminta pertimbangan Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian RI.
Adapun apabila dilihat fungsi dan wewenang penyidik
berdasarkan ketentuan Pasal 7 KUHAP maka dapat berupa:
a) Penyidik pejabat polisi negara RI karena kewajibannya mempunyai
wewenang:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tendang adanya
tindak pidana.
2) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal tersangka.
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan.
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
ataupun saksi.
8) Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
9) Mengadakan penghentian penyidikan.
10) Melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung
jawab
b) Penyidik pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang mempunyai wewenang
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP sesuai dengan
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan
dalam pelaksanaanya berada di bawah koordinasi dan pengawasan
penyidik tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a KUHAP. Apabila melalui visi tugas dan wewenang, maka
sebenarnya antara Penyelidikan dan Penyidikan merupakan fungsi
yang tidak dapat dipisahkan. Penyelidikan merupakan salah satu cara
atau metoda yang menyatu dengan fungsi penyidikan sebagaimana
ditentukan Pedoman Pelaksanaan KUHAP berikut ini (Departemen
Kehakiman Republik Indonesia, 1982:27):
”Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan,melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metoda atau sub daripada fungsi penyidikan, yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan; tindakan pemeriksaan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Latar belakang, motivasi dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan, antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan suatu penyidikan
diperlukan adanya taktik dan teknik sehingga apa yang menjadi modus
operandi dari tindak pidana tersebut dapat diungkap sekaligus dengan
tersangkanya.
4. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi dalam UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal
2 dan 3 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam
ketentuan ini yang dimaksud ”kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang
dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif,
legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
atau keadaan dan situasi apapun dengan alasan apapun (Ermansjah Djaja,
2008 : 185).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK mempunyai
kekuatan ekstra dibandingkan aparat penegak hukum lainnya. Selain dapat
melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikan (fungsi yang selama ini
dipegang oleh Polisi), KPK juga dapat melaksanakan fungsi penuntutan
(fungsi yang selama ini di pegang oleh Kejaksaan). Berdasarkan alasan-alasan
tertentu, KPK bahkan diberi kewenangan untuk mengambil alih proses
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan atas suatu tindak pidana korupsi
yang sebelumnya ditangani oleh aparat penegak hukum lainnya (Kepolisian
dan Kejaksaan) untuk dilaksanakan sendiri oleh KPK.
Mengenai ketentuan umum kewenangan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana korupsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6, Pasal 7
huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan
Pasal 38 sampai dengan Pasal 41.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas-tugas sebagaimana
diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai
berikut:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
c. Melakukan penyelidikan, peenyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi.
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Untuk menjelaskan Pasal 6 huruf a mengenai koordinasi tersebut maka
Pasal 7 huruf a menyebutkan bahwa:
”Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.”
Pasal 8 yang menyatakan tentang kewenangan Komisi pemberantasan
Korupsi dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi tercantum
dalam ayat (2), (3), (4) yaitu:
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korusi yang
sedang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan
atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka
dan seluruh berkas beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak
tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara
penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau
kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal 9 menyatakan bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan alasan :
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti.
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yangs esungguhnya.
d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung korupsi.
e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau
f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Pasal 10 menyatakan bahwa:
”Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.”
Pasal 11 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
yang:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Pasal 12 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri.
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa.
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,
terdakwa atau pihak lain yang terkait.
e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa
kepada instansi yang terkait.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,
dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta
konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang
diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan
tindak pidana korupsi yang sedang dipriksa.
h. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara
lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti
di luar negeri.
i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam
perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Sedangkan isi dari Pasal 38 sampai dengan Pasal 42 juga mengenai
ketentuan umum dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pada Komisi
Pemberantasan Korupsi. Pasal 38 menyatakan bahwa:
(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik,
penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantsan Korupsi.
(2) Ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku
bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun
2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain,
kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan
dan pemeriksaan surat.
Pasal 39 menyatakan bahwa:
(1) Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini.
(2) Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada
Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi
Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Selanjutnya dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 42 menyatakan
bahwa:
a. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat
perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak
pidana korupsi.
b. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan
lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang
telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam penjelasan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “lembaga penegak hukum
negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan badan-badan
khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana
korupsi.
c. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada
peradilan militer dan peradilan umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
a. Ketentuan mengenai penyelidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi
Pengaturan mengenai penyelidikan perkara tindak pidana korupsi
pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 43
dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, adalah sebagai
berikut :
Pasal 43
(1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi
penyelidikan tindak pidana korupsi.
Pasal 44
(1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti
permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah
ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak
terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.
(3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti
permulaan yang cukup yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti,
penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan.
(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara
tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan
penyidikan sendiri atau dapat dilimpahkan perkara tersebut kepada
penyidik kepolisian atau kejaksaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi kepada Kepolisian atau Kejaksaan, maka Kepolisian atau
kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan
perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantsan Korupsi.
b. Ketentuan mengenai penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi
Pengaturan mengenai penyidikan perkara tindak pidana korupsi pada
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 45
sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, adalah
sebagai berikut :
Pasal 45
(1) Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi
penyidikan tindak pidana korupsi.
Pasal 46
(1) Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut
prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka
diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku
berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ini.
(2) Pemeriksaan tersangka dengan berdasarkan Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.
Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah
kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk
dapat dilakukan pemeriksaan.
Pasal 47
(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti pemulaan yang cukup,
penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan
Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur
mengenai tindak penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang- undang
Nomor 30 Tahun 2002.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita
acara penyitaan pada hari penyitaan sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga lain yang
disita.
b. Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun
dilakukan penyitaan.
c. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau
benda berharga lain tersebut.
d. Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan,
dan
e. Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai
barang tersebut.
(4) Salinan berita acara penyitaan barang atau benda berharga lain
disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.
Pasal 48
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib
memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.
Pasal 49
Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan
disampaikan kepada kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
untuk segera ditindaklanjuti.
Pasal 50
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan
Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut
telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari hari kerja terhitung sejak
tanggal dimulainya penyidikan.
(2) Penyidikan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan
penyidikan suatu tindak pidana korupsi, kepolisian atau kejaksaan
tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian
dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan
yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera
dihentikan.
Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “dilakukan secara
bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama
dimulainya penyidikan
5. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi diatur dalam Pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 25 menyatakan bahwa:
”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”.
Di dalam penjelasan Pasal 25 disebutkan bahwa ”apabila terdapat 2
(dua) atau lebih perkara yang oleh undang-undang ditentukan untuk
didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
pada setiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan”. Makna dari
kalimat tersebut adalah penyelesaian yang secepatnya pada waktu melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan di sidang pengadilan terhadap
perkara tindak pidana korupsi daripada penyelesaian penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan tindak pidana yang bukan tindak pidana korupsi. Walaupun
pada dasarnya semua perkara hukum yang diproses sampai di sidang
pengadilan harus dilakukan dengan cepat sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, tetapi berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 penyelesaian perkara tindak pidana korupsi tetap harus didahulukan
dibanding perkara tindak pidana yang lain walaupun perkara pidana yang lain
tetap juga harus diselesaikan secepatnya sebagaimana yang diamanatkan Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Pasal 26 menyatakan bahwa:
”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Didalam Pasal 26 tersebut yang dimaksud dengan ”hukum acara pidana
yang berlaku” adalah:
a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap tersangka tindak
pidana korupsi yang statusnya adalah masyarakat sipil.
b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terhadap tersangka tindak pidana
korupsi yang statusnya adalah anggota militer.
Adapun yang dimaksud dengan ”kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang ini” adalah bahwa yang menjadi dasar hukum untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
dalam perkara tindak pidana korupsi adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi.
b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi.
Pasal 28 menyatakan bahwa:
”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka”.
Rumusan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sama persis dengan rumusan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni:
”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka”.
Pasal 29 menyatakan bahwa:
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta
keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diajukan kepada Gubernur Jenderal Bank Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
(3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban memenuhi permintaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya
3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara
lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk
memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga
hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak
diperoleh bukti yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum,
atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran.
Di dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini
bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan, penuntutan,
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan koordinasi
lintas sektoral dengan instansi terkait. Demikian pula dalam alinea ke-1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dijelaskan bahwa untuk memperlancar proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi undang-undang ini
mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan
tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan
mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia. Dengan
berdasarkan kepada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tersebut bahwa penyidik dan penuntut umum Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk
meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi.
Pasal 30 menyatakan bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
”Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi”.
Dalam penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi
kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan
yang pada dasarnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin
terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa:
”Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan”.
Pasal 33 menyatakan bahwa:
”Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan padahal secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
B. Taraf Sinkronisasi Horisontal Pengaturan Kewenangan Penyelidikan
dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU
Kejaksaan, KUHAP, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh
Indonesia pada saat ini. Setiap pergantian periode kepemimpinan selalu
menjanjikan akan melakukan tindakan hukum dalam pemberantasan tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
pidana korupsi. Namun tindakan pemberantasan tersebut selalu tidak berjalan
dengan optimal sehingga tanda-tanda bahwa masalah korupsi telah dapat
diatasi belum dapat dilihat secara nyata. Pemberantasan tindak pidana korupsi
memang pada dasarnya tidak semudah apa yang kita pikirkan, karena korupsi
seperti telah membudaya pada masyarakat negara kita. Sehingga secara
bertahap, tindak pidana korupsi harus segera ditangani, setidak-tidaknya
dapat berkurang dan harus dilenyapkan semua.
Salah satu langkah penanganan masalah tindak pidana korupsi ini yaitu
dengan pembentukan lembaga penanganan masalah tindak pidana korupsi
yang dilakukan baik oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Selain itu,
penanganan masalah korupsi juga diatur didalam beberapa peraturan tertulis
yaitu dibentuknya peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan
pemberantasan tindak pidana korupsi serta lembaga yang berwenang dalam
penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi diawali dengan
adanya proses penyelidikan dan penyidikan. Proses penyelidikan dan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dimana tindak pidana ini termasuk
didalam tindak pidana khusus diatur baik didalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan yang
bersifat khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi.
Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan tindak
pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga negara antara lain: Kepolisian,
Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan pengaturan
mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak
pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan antara
lain: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Pembahasan tentang kewenangan dalam sistem peradilan pidana
terpadu, tidak lepas dari hukum acara pidana sebagai tata cara untuk
melaksanakan hukum meteriil. Posisi Kejaksaan dalam peradilan pidana
terpadu adalah melaksanakan fungsi penuntutan terhadap suatu perkara.
Semenjak diberlakukannya KUHAP kewenangan penyidikan Kejaksaan
hanya dalam hal tindak pidana khusus salah satunya yaitu tindak pidana
korupsi. Namun dalam hal kewenangan penyidikan yang di miliki oleh
Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi, didalam kewenangan
penyidikan tersebut juga melekat kewenangan penyelidikan terhadap tindak
pidana korupsi. Setelah lahirnya Undang-Undang Kepolisian yang baru tahun
2002 yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI
membuat semakin rancu lagi kewenangan yang telah ada, dimana terdapat
arahan bahwa polisi memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan
dan merupakan penyidik tunggal terhadap segala bentuk tindak pidana (baik
tindak pidana umum maupun khusus). Pengaturan mengenai kewenangan
dalam penanganan tindak pidana korupsi menimbulkan pertentangan
perundang-undangan yang melahirkan tumpang tindih kewenangan, sehingga
timbul kesan perebutan penanganan perkara tindak pidana khusus, dalam hal
ini perkara korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang dimiliki
oleh kedua institusi tersebut dapat juga diambil alih oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun
dengan diambil alihnya kewenangan penyelidikan dan penyidikan dari
Kepolisian atau Kejaksaan oleh KPK tidak menghilangkan permasalahan
kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana
korupsi, karena ketiga instansi tersebut secara yuridis-normatif sama-sama
mempunyai kewenangan terhadap perkara tindak pidana korupsi. Dengan
hadirnya KPK yang mempunyai kewenangan jauh lebih besar dari Kepolisian
atau Kejaksaan, KPK dapat melakukan pengambilalihan penyelidikan dan
penyidikan yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan, walau
pengambilalihan tersebut harus disebabkan alasan tertentu, namun dirasakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
oleh Kepolisian atau Kejaksaan dalam menangani penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi telah berjalan dengan baik dan sesuai
dengan prosedur serta tidak menimbulkan alasan tertentu yang dapat
diambilalih penyelidikan dan penyidikan oleh KPK, KPK kadang
memandang penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan baik oleh
Kepolisian maupun Kejaksaan tersebut kurang baik sehingga perlu diambil
alih penyelidikan dan penyidikannya.
Pihak Kepolisian dan Kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan
pidana terpadu memang mempunyai kewenangan yang sama dalam rangka
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi karena kedua pihak
tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam sistem
peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum
yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini
seharusnya dapat bekerja sama dan saling berkoordinasi dengan baik untuk
mencapai tujuan dari sistem ini yaitu menanggulangi kejahatan atau
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
yang dapat diterima masyarakat.
Berlakunya Undang-Undang Kepolisian yang baru yaitu Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 dimana dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g
menyebutkan :
“Kepolisian Negara RI bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”.
Pengaturan mengenai wewenang penyelidikan oleh pihak Kepolisian juga
diatur dalam Pasal 1 butir 4 KUHAP yaitu:
“Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”.
Sedangkan wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana diatur
dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Hal ini berarti kewenangan penyelidikan dan penyidikan semua jenis tindak
pidana termasuk tindak pidana khusus (tindak pidana korupsi) dimiliki oleh
Kepolisian, padahal Kejaksaan juga mempunyai kewenangan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi dimana didalam kewenangan penyidikan
tersebut melekat pula kewenangan penyelidikan yang di lakukan oleh bagian
Intelejen di tubuh Kejaksaan. Kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan
dalam melakukan penyidikan diatur didalam Pasal 30 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang
menyebutkan :
“Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.
Dimana dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan kewenangan tersebut mengenai
kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dengan ketentuan dari Pasal tersebut sehingga
memperlihatkan dengan jelas akan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan diatas, maka baik
Kepolisian maupun Kejaksaan mempunyai kewenangan dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan tehadap tindak pidana korupsi dan dalam hal
kewenangan ini, kedua institusi tersebut mempunyai dasar hukum yang
mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki baik oleh Kepolisian maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Kejaksaan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi sesuai
dengan yang telah dijelaskan diatas. Maka terlihat bahwa antara Kepolisian
dan Kejaksaan memiliki kewenangan yang sama dalam penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat dianggap adanya
tumpang tindih kewenangan dalam menangani suatu perkara. Meskipun
kedua institusi tersebut mempunyai kewenangan yang sama dalam
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dan kewenangan yang
dimiliki oleh kedua institusi tersebut diatur didalam peraturan perundang-
undangan yang didalamnya mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki
oleh masing-masing institusi tersebut namun sesungguhnya tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi yang dimiliki baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan karena
kedua pihak tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan
dalam sistem peradilan pidana, Kepolisian dan Kejaksaan merupakan dua
institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat.
Kedua institusi ini harus dapat bekerja sama dan saling berkoordinasi dengan
baik dalam penanganan suatu tindak pidana (baik tindak pidana umum
maupun khusus).
Jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana terutama
korupsi juga mempunyai landasan dasar hukum yaitu pasal 17 Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. KUHAP yang
dikenal sebagai karya agung bangsa Indonesia karena telah melakukan
perubahan fundamental dalam Hukum Acara Pidana melalui Undang-Undang
No. 8 tahun 1981 perubahan fundamental tersebut antara lain di bidang
Penyidikan. Pada waktu HIR Penyidikan dapat dilakukan oleh banyak
instansi, kedudukan Jaksa sebagai Penuntut dapat sekaligus sebagai,
Koordinator Penyidikan. Setelah berlakunya KUHAP wewenang Penyidikan
dialihkan kepada Polri sebagai Penyidik Utama dan PPNS dengan
kewenangan terbatas sesuai dengan Undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya. Dalam pelaksanaan Penyidikan di bawah Koordinasi Penyidik
Polri dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan Penyidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
(Pasal 6, Pasal 7 ayat (2)), Pasal 107 dan Pasal 109 ayat (3) KUHAP.
Ketentuan-ketentuan dalam KUHAP sudah merupakan sistem Peradilan
Pidana Terpadu dan adanya saling kontrol dengan menempatkan para
penegak Hukum pada fungsi, tugas dan wewenangnya masing-masing. Pasal
284 KUHAP merupakan pasal mengenai Ketentuan Peralihan, suatu
ketentuan untuk menjamin agar tidak terjadi kekosongan dalam hukum
(rechts vacuum) dengan menghubungkan ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang yang lama HIR dan Undang-undang yang baru
KUHAP. Fungsinya sebelum dapat dilaksanakannya seluruh ketentuan yang
berada dalam Undang-undang yang baru, maka terbitlah Ketentuan Peralihan
Pasal 284 KUHAP yang berbunyi :
1. Terhadap perkara yang ada sebelum Undang-Undang ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan Undang-Undang ini.
2. Dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan Undang-Undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
Penjelasan Pasal 284 ayat (2) berbunyi :
1. Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah
dilimpahkan ke pengadilan.
2. Yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu ialah
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara
lain : a. Undang-Undang tentang pengusutan, penuntutan dan
peradilan tindak pidana ekonomi (Undang-Undang No. 7 Drt
Tahun 1955). b. Undang-Undang tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi (Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yang telah
diubah menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001). Dengan catatan bahwa semua
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Rumusan ayat (2) pasal 284 KUHAP dengan menjelaskan bahwa
terhadap semua perkara setelah 2 (dua) tahun berlakunya KUHAP, mutlak
dilakukan sebagaimana diatur oleh KUHAP. Adapun batasan-batasan
terhadap pengecualian adalah bersifat sementara, sehingga kata “Sementara“
dan “Sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi“
merupakan keharusan untuk tidak membiarkan ketentuan-ketentuan tersebut
tetap berlaku, dan harus segera disesuaikan dengan ketentuan KUHAP yang
menginginkan adanya kodifikasi dan unifikasi. Peraturan pemerintah No. 27
tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, dalam peraturan pemerintah ini
mengenai penyidikan terhadap tindak pidana tertentu sebagaimana diatur
dalam pasal 17 yang berbunyi:
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik Jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan ”.
Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai pasal ketentuan peralihan dari
periode HIR ke KUHAP masih menyisakan kewenangan penyidikan kepada
penuntut umum sepanjang mengenai tindak pidana tertentu. Terlepas dari
ketentuan peralihan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHAP khususnya
mengenai peraturan peralihan yang disebut dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP
sebab peraturan peralihan ini mempunyai kaitan yang agak khusus terhadap
fungsi dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum. Karena peraturan
peralihan pada ayat ( 2 ) melibatkan jaksa / penuntut umum sebagai penyidik
dalam tindak pidana tertentu, justru jaksa yang berwenang melakukan
penyidikan. Namun di dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa:
“Dalam waktu 2 ( dua ) tahun setelah undang-undang ini, diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Dalam beberapa tindak pidana khusus, masih ada wewenang Jaksa
melakukan penyidikan, oleh karena undang-undang tindak pidana khusus itu
sendiri menyebut secara tegas tentang wewenang Jaksa melakukan
penyidikan, seperti Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Korupsi, dan
lain-lain. Meskipun begitu, adanya pengecualian tersebut di atas sama sekali
bukan berarti mengurangi keabsahan penerapan KUHAP sebagai hukum
acara pidana bagi semua perkara tindak pidana, termasuk tindak pidana
khusus sepanjang tindak pidana khusus tersebut tidak mengatur sendiri
hukum acaranya secara keseluruhan. Juga sama sekali tidak mengurangi
prinsip diferensasi fungsional yang memberi wewenang tunggal kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai instansi yang diberi
wewenang penyidikan. Berkaitan dengan hal tersebut apa yang diatur pada
Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai pengecualian atas prinsip umum diatas,
dimaksudkan:
1. Untuk menjaga jangan terjadi kevakuman pelaksanaan penyidikan,
disebabkan undang-undang tindak pidana khusus sendiri telah
melimpahkan wewenang penyidikan kepada jaksa / penuntut umum. Hal
ini, disebabkan karena Polri saat itu tidak dapat menjangkaunya,
sehingga bisa menimbulkan kekosongan hukum dalam penegakan
hukum.
2. Pengecualian ini tidak mengurangi arti prinsip-prinsip umum secara
permanen dalam ketentuan Pasal 284 ayat (2), yakni:
a) Pengecualian tersebut bersifat sementara.
b) Hanya mengenai ketentuan-ketentuan khusus acara pidana yang
terdapat pada undang-undang pidana khusus.
c) Sampai adanya perubahan atau dinyatakan tidak berlaku lagi
ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP tersebut.
Kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang
dimiliki baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah suatu hal yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
dianggap perebutan kewenangan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan, namun
hubungan fungsional yang sangat erat antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat
menciptakan suatu koordinasi diantara dua institusi tersebut. Begitu juga
dalam hal penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila
terdapat suatu tindak pidana korupsi maka untuk menghindari perebutan
maupun tumpang tindih kewenangan dalam penanganan penyelidikan dan
penyidikannya maka sebelumnya antara Kepolisian dan Kejaksaan
melakukan koordinasi terlebih dahulu untuk menentukan apakah Kepolisian
atau Kejaksaan yang akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
perkara korupsi tersebut.
Selain itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memiliki kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam
penanganan tindak pidana korupsi sebenarnya telah ada instansi-instansi yang
telah mempunyai kewenangan berdasarkan hukum untuk menangani kasus
korupsi, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, namun KPK ini dibentuk karena
lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dirasa
belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana
korupsi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai Ketentuan lain-lain yang
menyebutkan bahwa:
1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.
Walaupun KPK memiliki kewenangan yang sama dengan Kepolisian
dan Kejaksaaan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi
namun kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan
juga penuntutan yaitu terhadap tindak pidana korupsi yang tertera di dalam
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu antara lain:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Sehingga untuk tindak pidana korupsi yang tidak tergolong dalam ketiga
kategori diatas penanganan penyelidikan dan penyidikannya dapat dilakukan
oleh Kepolisian atau Kejaksaan walaupun tidak menutup kemungkinan juga
tindak pidana korupsi yang tergolong dalam kategori diatas juga dapat
ditangani oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan selama ada koordinasi antara
ketiga instansi tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat mengambil alih penyidikan
atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang
dilakukan oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan, alasan pengambilalihan
wewenang penanganan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang tentang
KPK yaitu:
1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.
4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tersebut
maka Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau
penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang
ditangani. Pasal 68 Undang-Undang KPK mengenai Ketentuan Peralihan
juga menegaskan:
“Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
1. Pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap
perkara tindak pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan perundang-
undangan antara lain:
a. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI,
salah satu tugas dan wewenang Kepolisian yaitu melakukan penyelidikan
dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Hal ini termuat di dalam
Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13.
b. Berdasar Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa di bidang pidana,
Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang salah satunya mengenai
penyidikan yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang, dimana dalam penjelasannya kewenangan
tersebut mengenai kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan. Mengenai personil dari penyidik sebagaimana ditentukan
Pasal 6 ayat (1) KUHAP.
d. Mengenai ketentuan umum kewenangan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana korupsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6, Pasal 7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan
Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Pengaturan mengenai penyelidikan
perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 sedangkan pengaturan
mengenai penyidikan perkara tindak pidana korupsi pada Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 sampai dengan
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai
kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi
diatur dalam Pasal 25, 26, 28, 29, 30, 32, dan 33.
2. Penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi diawali dengan adanya
proses penyelidikan dan penyidikan. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan
dalam penanganan tindak pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga
negara antara lain: Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), sedangkan pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan
penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi tersebut diatur didalam
beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembahasan tentang kewenangan dalam sistem peradilan pidana terpadu, tidak
lepas dari hukum acara pidana sebagai tata cara untuk melaksanakan hukum
meteriil. Posisi Kejaksaan dalam peradilan pidana terpadu adalah
melaksanakan fungsi penuntutan terhadap suatu perkara. Semenjak
diberlakukannya KUHAP kewenangan penyidikan Kejaksaan hanya dalam hal
tindak pidana khusus salah satunya yaitu tindak pidana korupsi. Kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dimiliki baik oleh
Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah suatu hal yang dapat dianggap perebutan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
kewenangan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan, namun hubungan fungsional
yang sangat erat antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat menciptakan suatu
koordinasi diantara dua institusi tersebut. Begitu juga dalam hal penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila terdapat suatu tindak pidana
korupsi maka untuk menghindari perebutan maupun tumpang tindih
kewenangan dalam penanganan penyelidikan dan penyidikannya maka
sebelumnya antara Kepolisian dan Kejaksaan melakukan koordinasi terlebih
dahulu untuk menentukan apakah Kepolisian atau Kejaksaan yang akan
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut.
Dengan hadirnya KPK yang mempunyai kewenangan jauh lebih besar dari
Kepolisian atau Kejaksaan, KPK dapat melakukan pengambilalihan
penyelidikan dan penyidikan yang sedang ditangani Kepolisian atau
Kejaksaan, walau pengambilalihan tersebut harus disebabkan alasan tertentu,
hal ini diatur dalam Pasal 8, 9, dan 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mengatur kewenangan penyelidikan dan penyidikan pada Pasal 26 yaitu
dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku ataupun ditentukan
lain dalam undang-undang tersebut.
B. Saran
1. Perlu adanya ketegasan dan pengaturan yang jelas mengenai kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi pada Undang-Undang
Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun
Hukum Acara Pidana sehingga tidak terluhat adanya tumpang tindih
kewenangan dalam menanganinya.
2. Adanya pembagian kewenangan antara Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK
yang diatur secara jelas baik dalam Undang-Undang yang mengatur tiap
instansi tersebut maupun di dalam Undang-Undang hukum acara pidana dan
tindak pidana korupsi sehingga dapat tumbuh sinergisitas antar instansi
tersebut dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.