teori

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah normal. Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Parameter yang digunakan adalah kadar bilirubin direk serum > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5 mg/dl atau bilirubin direk > 20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total > 5 mg/dl. 1 1.2 Epidemiologi 2 Kolestasis pada bayi terjadi pada 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi -1 antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik. Di Kings College Hospital England antara tahun 1970-1990, atresia bilier 377 (34,7%), hepatitis neonatal 331 (30,5%), -1 antitripsin defisiensi 189 (17,4%), hepatitis lain 94 (8,7%), sindroma Alagille 61 (5,6%), kista duktus koledokus 34 (3,1%). Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis. Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5 (5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%).

1.3 Etiologi Etiologi kolestasis dapat dibedakan menjadi:2,3,4 1. Kolestasis ekstrahepatik a. Atresia biliaris b. Kista koledukus c. Stenosis biliaris d. Kholelitiasis e. Mucus plug 2. Kolestasis intrahepatik a. Idiopatik

b. Infeksi TORCH, sepsis, Hepatitis B dan C c. Metabolik; defisiensi alfa-1 antitripsin, hipotiriodism dan lain-lain

1.4 Patogenesis dan Patofisiologi Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu menyebabkan

hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi terkonyugasi.2 Perubahan fungsi hati pada kolestasis Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural:1 A. Proses transpor hati Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari hepatosit sehingga eliminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu. B. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan terganggu C. Sintesis protein Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi serum protein albumin-globulin akan menurun. D. Metabolisme asam empedu dan kolesterol Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.

E. Gangguan pada metabolisme logam Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik. F. Metabolisme cysteinyl leukotrienes Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal. G. Mekanisme kerusakan hati sekunder 1. Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na , K -ATPase, Mg -ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu.(28) ++ + +

Sistim transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu. 2 . Proses imunologis Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier. 1.5 Metabolisme bilirubin 6 Tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase: prahepatik, intrahepatik, pascahepatik.

1.6 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik Gejala klinis utama pada kolestasis bayi, tanpa memandang etiologinya adalah ikterus, tinja akholis, dan urine yang berwarna gelap. Ikterus terjadi akibat gangguan ekskesi bilirubin terkonjugasi. Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin. Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap bilirubin, sehingga

pemeriksaan sklera lebih sensitif. Biasanya hiperbilirubinemia terkonjugasi lebih kuning dibandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Tinja akolik disebabkan urobilinogen feses menurun (sterkobilin). Urin berwarna gelap disebabkan peningkatan bilirubin terkonjugasi.2

Tabel 2. Kriteria klinis untuk membedakan intrahepatik dan ekstraheptik Data klinis Kolestasis Ekstrahepatik Warna tinja selama dirawat - Pucat - Kuning Berat lahir (gr) Usia tinja akolik (hari) Gambaran klinis hati Normal Hepatomegali**: 79% 21% 3226 45* 16 1.5* 13 12 63 24 Konsistensi normal Konsistensi padat Konsistensi keras Biopsi hati*** Fibrosis porta Proliferasi duktuler Trombus empedu intraportal 94% 86% 63% 47% 30% 1% 26% 74% 2678 55* 30 2* 47 35 47 6 0.001 0.001 0.001 0.001 Kolestasis Intrahepatik Kemaknaan (P)

*MeanSD; **Jumlah pasien; ***Modifikasi Moyer

Di bawah ini bagan yang menunjukkan konsekuensi akibat terjadinya kolestasis.4

1.7 Pemeriksaan Penunjang1 Baku emas atresia biliaris adalah kolangiografi. Tindakan invasif tersebut harus diputuskan secara tepat. Untuk itu diperlukan pemeriksaan pendahuluan untuk sampai pada kesimpulan bahwa atresia biliaris sangat dicurigai. Hanya perlu diingat bahwa pemeriksaan pendahuluan tersebut masing masing mempunyai keterbatasan. Pemeriksaan penunjang dilaksanakan melalui 2 tahap. Tahap pertama : bertujuan utuk menetapkan perlu tidaknya pemeriksaan tahap kedua a. Darah tepi : leukosit

b. Biokimia hati : bilirubin direk/indirek serum, SGOT SGPT ( peningkatan menunjukkan adanya kerusakan sel hati, Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT) peningkatan menunjukkan adanya obstruksi saluran bilier, albumin ( fungsi sintesis), kolesterol (fungsi sintesis), dan masa protrombin (fungsi sintesis ) c. Urin rutin ( leukosit, bilirubin, urobilinigen, reduksi ) dan biakan urin d. Tinja 3 porsi ( dilihat feses akolik pada 3 periode dalam sehari) e. Pemeriksaan etiologi ( TORCH, atresia biliaris, Hepatitis B) f. Pencitraan : Ultrasonografi g. Biopsi hati bila mungkin

Tahap kedua: Kolangiografi sekaligus prosedur Kasai apabila terbukti ada atresia biliaris. 1.8 Penatalaksanaan1,2 a. Kausatif Pada atresia biliaris dilakukan prosedur Kassai dengan angka keberhasilan tinggi apabila dilakukan sebelum usia 8 minggu. b. Suportif Bertujuan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan seoptimal mungkin serta meminimalkan komplikasi akibat kolestasis kronis Medikamentosa Stimulasi asam empedu : asan ursodeoksikolat 10-30 mg/kgbb dibagi 2-3 dosis Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 130-150% kebuhan bayi normal Vitamin yang larut lemak : A (5000-25.000 IU/hari), D (calcitriol 0,005-0,2 ug/kgbb/hari, E (25-200 IU/kgbb/hari, KI (2,5-5 mg/hari dberikan 2-7 kali/minggu. Akan lebi baik apabila ada sediaan vitamin tersebut yang larut dalam air ( indonesia belum tersedia) Asam urdodeoksikolat Kolestiramin 0,25-0,5 g/khbb/hari

c. Pemantauan Keberhasilan terapi dilihat dari: Progresifitas secara klinis seperti keadaan ikterus (berkurang, tetap, makin kurang), besarnya hati, limpa, asites, vena kolateral Pemeriksaan laboratorium seperti kadar bilirubin direk dan indirek, SGOT, SGPT, albumin, dan uji koagulasi dilakukan setidaknya setiap bulan. Pencitraan kadang- kadang diperlukan untuk memantau adanya perbaikan atau perburukan Tumbuh kembang Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya dengan membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan bayi/ anak Pertumbuan pasien dengan kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan sejak awal.