Upload
her-wandi
View
209
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 1/7
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 61
K
omoditas karet memiliki peran
yang sangat penting dalam per-ekonomian nasional, antara lain sebagai
sumber pendapatan bagi lebih dari 10 juta
petani dan menyerap sekitar 1,70 juta
tenaga kerja, serta memberikan kontribusi
pada Produk Domestik Bruto (PDB) yang
nilainya mencapai Rp6 triliun setiap tahun
(Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan 2002). Selain itu, pengem-
bangan perkebunan karet berperan dalam
mendorong pertumbuhan sentra-sentra
ekonomi baru di wilayah pengembangan.
Tanaman karet juga memberikan
kontribusi yang sangat penting dalam
pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian
lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu
penting mengingat kondisi sebagian besar
hutan alam makin memprihatinkan. Padatanaman karet, energi yang dihasilkan
seperti oksigen, kayu, dan biomassa dapat
digunakan untuk mendukung fungsi
perbaikan lingkungan seperti rehabilitasi
lahan, pencegahan erosi dan banjir, peng-
aturan tata guna air bagi tanaman lain, dan
menciptakan iklim yang sehat dan bebas
polusi. Pada daerah kritis, daun karet yang
gugur mampu menyuburkan tanah. Daur
hidup tanaman karet yang demikian akan
terus berputar dan berulang selama satu
siklus tanaman karet paling tidak selama
30 tahun. Oleh karena itu, keberadaan
pertanaman karet sangat strategis bagi
kelangsungan kehidupan, karena mampu
berperan sebagai penyimpan dan sumber
energi (Indraty 2005). Hal senadadikemukakan oleh Azwar et al. (1989),
bahwa laju pertumbuhan biomassa rata-
rata tanaman karet pada umur 3−5 tahun
mencapai 35,50 ton bahan kering/ha/
tahun. Hal ini berarti perkebunan karet
dapat mengambil alih fungsi hutan yang
berperan penting dalam pengaturan tata
guna air dan mengurangi peningkatan
pemanasan bumi ( global warming).
Perkebunan karet di Indonesia masih
didominasi oleh perkebunan rakyat yang
mencakup areal sekitar 2,80 juta ha atau
85% dari total areal perkebunan karet
seluas 3,30 juta ha. Dari luasan tersebut,
perkebunan rakyat memberikan kontri-
POTENSI PEMANFAATAN KAYU KARET UNTUK
MENDUKUNG PEREMAJAAN PERKEBUNAN
KARET RAKYAT
Island Boerhendhy dan Dwi Shinta Agustina
Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet, Kotak Pos 1127, Palembang 30001
ABSTRAK
Kayu karet mempunyai prospek yang cerah sebagai bahan baku industri untuk menyubstitusi kayu hutan alam
mengingat ketersediaannya sangat besar dan diharapkan terus meningkat sejalan dengan adanya peremajaan
tanaman karet tua. Selain itu, kayu karet mempunyai sifat-sifat fisik, mekanis, dan kimia yang setara dengan kayu
hutan alam. Pemanfaatan kayu karet perlu didukung dengan industri pengolahan. Kontinuitas penyediaan bahan baku bagi industri pengolahan antara lain dapat ditempuh melalui pengembangan pola kemitraan antara petani dan
industri pengolahan kayu karet. Pola kemitraan juga dapat menjamin harga jual kayu di tingkat petani sehingga
dapat mendukung upaya peremajaan karet rakyat. Klon-klon anjuran seperti BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100,
AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118 direkomendasikan untuk dikembangkan
dalam skala luas sebagai penghasil lateks sekaligus kayu.
Kata kunci: Kayu karet, industri kayu, peremajaan tanaman, perkebunan rakyat
ABSTRACT
Rubber wood potency in supporting replanting of rubber smallholdings
Nowadays, the use of rubber wood for industry is very profitable because its availability is abundantly and wouldincrease in the future in line with the replanting program of smallholdings. Rubber wood also has good characteristics
in physics, chemical, and mechanic which is equal with other natural timber. Utilization of rubber wood should be
supported with industrial processing. Partnership program between supplier of rubber wood and farmers is important
to guarantee the continuous supply of raw material for whole year. The partnership will also increase wood price
at farm level and support replanting program. Some clones such as BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS
2037, IRR5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, and IRR 118 were recommended in a large scale as latex and timber
clones.
Keywords: Rubber wood, wood industry, replanting, small farmers
5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 2/7
62 Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
busi sekitar 1,20 juta ton atau 76% dari
total produksi karet alam nasional sebesar
1,60 juta ton pada tahun 2002 (Direktorat
Jenderal Bina Produksi Perkebunan
2002).
Secara umum permasalahan utama
dalam perkebunan karet rakyat adalah
produktivitas yang rendah, hanya sekitar
610 kg/ha/tahun, padahal produktivitas
perkebunan besar negara atau swasta
masing-masing mencapai 1.107 kg dan
1.190 kg/ha/tahun (Direktorat Jenderal
Bina Produksi Perkebunan 2002). Rendah-
nya produktivitas karet rakyat tersebut
antara lain disebabkan oleh luasnya areal
karet yang menggunakan bahan tanam
nonunggul ( seedling ), dan tanaman
umumnya sudah tua atau rusak sehingga
perlu diremajakan (Gambar 1). Upaya pere-
majaan oleh petani dengan menerapkan
teknologi maju secara swadaya berjalanrelatif lambat dan tingkat keberhasilannya
rendah karena adanya berbagai kendala,
antara lain terbatasnya dana, kurangnya
ketersediaan informasi dan sumber daya
manusia yang handal, serta lemahnya
kelembagaan finansial (Supriadi et al.
1999).
Nilai ekonomis karet terletak pada
kemampuannya dalam menghasilkan
lateks, sedangkan produk nonlateks
seperti kayu karet pada awalnya dianggap
sebagai hasil samping terutama untuk kayu bakar. Namun, sejalan dengan
berkembangnya teknologi pengolahan
dan pengawetan kayu karet dan makin
terbatasnya ketersediaan kayu dari hutan
alam, baik untuk memenuhi permintaan
pasar domestik maupun ekspor maka
permintaan terhadap kayu karet terus
meningkat setiap tahun. Peningkatan
permintaan kayu karet juga didorong oleh
membaiknya perekonomian dunia dan
bertambahnya jumlah penduduk, serta
terbatasnya ketersediaan kayu hutan alam
terutama setelah kayu ramin, meranti
putih, dan agathis dilarang untuk diekspor
dalam bentuk kayu gergajian (Boerhendhy
et al . 2003). Nilai ekonomi kayu karet
yang makin tinggi tersebut dapat men-
jadi tambahan modal bagi petani untuk
melakukan peremajaan kebun karet
dengan menanam klon-klon unggul yang
produktivitasnya tinggi dan pertumbuh-
annya cepat.
Menurut Manurung (2003), kebutuh-
an bahan baku kayu nasional tahun 2003
sebesar 63 juta m3, sementara dalam rangka
pelaksanaan kebijakan soft landing ,
pemerintah melalui Departemen Kehu-tanan pada tahun yang sama hanya
memberikan jatah tebangan sebesar 6,80
juta m3. Data tersebut memperlihatkan
adanya kesenjangan yang sangat besar,
sekitar 56 juta m3, antara produksi dan
kebutuhan kayu. Kondisi ini disebabkan
oleh menurunnya produktivitas hutan
alam akibat laju kerusakan hutan yang
sangat tinggi. Oleh karena itu perlu dicari
alternatif kayu pengganti kayu hutan alam
yang memungkinkan untuk diekspor.
Pemanfaatan kayu karet sebagai peng-ganti kayu hutan alam sangat memung-
kinkan mengingat ketersediaan kayu
karet sangat besar serta sifat-sifatnya
relatif sama dengan kayu hutan alam,
seperti kayu ramin, meranti, dan agathis
(Boerhendhy et al . 2003).
Di Indonesia, industri pengolahan
kayu karet skala besar mulai berkembang
sejak akhir tahun 1980-an, seperti di
Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan,
Lampung, dan Jawa. Pada awalnya, kayu
karet banyak dimanfaatkan untuk kayu
pertukangan, terutama kayu yang ber-
diameter besar, namun akhir-akhir ini kayu
karet berdiameter kecil pun banyak digu-
nakan untuk keperluan pabrik papan serat
densitas medium (Medium Density Fibre-
board, MDF) (Boerhendhy et al . 2003).
MDF dapat diproses menjadi bubur kayu,
selanjutnya menjadi papan partikel, pulp,
dan kertas
Di Malaysia, industri pengolahan
kayu karet untuk ekspor telah dimulai
sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1980,
Malaysia mengekspor 17.500 m3 kayu karetdalam bentuk gergajian dan angka ini
meningkat menjadi 178.000 m3 pada tahun
1986 (Coto 1989). Terbukanya pasar ekspor
kayu karet gergajian dan berkembangnya
pemanfaatan kayu karet berdiameter kecil
untuk keperluan pabrik MDF menyebab-
kan makin banyaknya minat pengusaha
perkayuan untuk ikut dalam kegiatan
pengolahan kayu karet.
Tulisan ini bertujuan untuk mem-
bahas potensi pemanfaatan kayu karet dan
peranannya dalam mendukung perema-
jaan kebun karet rakyat. Berbagai masalah
yang dihadapi dalam pemanfaatan kayu
karet juga dibahas dan disertai dengan
upaya pemecahannya.
PELUANG KAYU KARET
SEBAGAI SUBSTITUSI KAYU
HUTAN ALAM
Ada beberapa alasan mengapa kayu karet
dapat digunakan sebagai substitusi kayu
hutan alam dan menjadi andalan dalam
memenuhi kebutuhan kayu baik untuk
pasar dalam maupun luar negeri. Alasan
tersebut adalah: 1) sifat-sifat dasar kayu
karet, baik sifat fisik, mekanis maupun
kimia relatif sama dengan kayu hutan
alam, 2) potensi ketersediaan kayu karet
cukup besar sejalan dengan peremajaan
perkebunan karet rakyat, dan 3) nilai
ekonomis kayu karet cukup baik.
Sifat-Sifat Kayu Karet
Salah satu sifat fisik kayu karet yang cukup
penting adalah kerapatan atau berat jenis.
Kerapatan kayu karet tergolong setengah
berat yaitu berkisar antara 0,62–0,65 g/cm 3
(Seng 1951; Budiman 1987; Mandika et
al. 1989; Darsini 1991). Variasi kerapatan
kayu karet disebabkan beberapa hal, antara
lain perbedaan genetik, tempat tumbuh,
dan contoh yang dianalisis (Budiman,
1987). Kerapatan kayu karet setara dengan
kayu eik atau oak (Quercus sp.), Acasia
mangium (0,61), ramin (0,63), dan mahoni
(0,61) (Seng 1951; Kartasujana dan
Martawijaya 1973; Sutigno dan Mas’ud
1989; Darsini 1991).
Nilai penyusutan (stabilitas dimensi)
kayu karet sangat kecil, hanya sedikit lebih
kecil dari kayu jati (Budiman 1987;
Boerhendhy et al . 2001). Dibandingkan
dengan kayu ramin, penyusutan kayu
karet dari basah sampai kering udara arah
radial dan tangensial jauh lebih kecil, yaitu1,77−3,05% (Boerhendhy et al . 2001),
sedangkan kayu ramin mengalami penyu-Gambar 1. Kebun karet tua yang per-
lu diremajakan.
5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 3/7
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 63
sutan untuk arah radial 4,50% dan arah
tangensial 9,70% (Darsini 1991). Berkaitan
dengan penyusutan, untuk mempercepat
waktu pengeringan diperlukan dapur
pengering (kilndry).
Salah satu kelemahan kayu karet yaitu
mudah terjadi cacat (melengkung dan
melintir) dan sering mengalami retak di
bagian ujung selama proses pengeringan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, tum-
pukan kayu perlu diberi pemberat atau
pegas dan bagian ujungnya diberi penu-
tup untuk mengurangi cacat bentuk
tersebut (Budiman 1987; Coto 1989).
Dilihat dari sifat fisik dan mekanis,
kayu karet tergolong kayu kelas kuat II-
III, yang setara dengan kayu ramin,
perupuk, akasia, mahoni, pinus, meranti,
durian, ketapang, keruing, sungkai,
gerunggang, dan nyatoh (Seng 1951;
Budiman 1987; Sutigno dan Mas’ud 1989;Sulastiningsih et al . 1999). Kelas awet
kayu karet tergolong kelas awet V yaitu
setara dengan kayu ramin (Seng 1951),
namun kayu karet lebih rentan terhadap
serangga penggerek dan jamur biru (blue
stain) dibanding kayu ramin. Oleh karena
itu, untuk memanfaatkannya perlu di-
lakukan pengawetan yang lebih intensif
dibandingkan kayu ramin, terutama
setelah digergaji. Pengawetan kayu ramin
cukup dengan cara pencelupan, sedang-
kan pada kayu karet harus dilakukandengan cara vakum dan tekan (Sutigno
dan Mas’ud 1989). Namun, dengan ber-
kembangnya teknologi pengawetan,
masalah tersebut telah dapat diatasi (Coto
1989).
Sifat lain yang menarik dari kayu karet
adalah mudah digergaji dengan hasil
gergajian yang cukup halus, serta mudah
dibubut dengan permukaan yang rata dan
halus. Kayu karet mudah pecah bila
dipaku sehingga perlu hati-hati dalam
pengerjaannya. Selain itu, kayu karet
mempunyai sifat perekatan yang baik
dengan semua jenis perekat industri
(industrial adhesives). Menurut Sutigno
et al . (1979), kayu lapis (tripleks) dari kayu
karet yang direkat dengan perekat urea
formaldehyde (UP) dan diberi ekstender
20% mempunyai sifat keteguhan rekat
yang memenuhi standar Indonesia,
Jepang, dan Jerman. Hal ini berarti sifat
perekatan kayu karet tergolong baik,
karena tidak semua jenis kayu dapat
memenuhi syarat keteguhan rekat ketiga
standar tersebut. Dengan warna khas putihkekuningan atau kuning pucat seperti
warna jerami, serta tekstur yang halus dan
rata mirip kayu ramin, kayu karet mudah
diwarnai sehingga disukai dalam pembu-
atan mebel (Budiman 1987; Boerhendhy
et al. 2001).
Produk berbahan kayu karet makin
banyak diminati. Menurut Hasan (1989),
peralatan yang terbuat dari kayu karet
dapat dibuat secara knock down atau
completed knock down seperti meja dan
kursi makan, kursi lipat, rak, pigura dan lis
kaca, dinding penyekat, jelusi jendela,
dan profil lantai. Produk seperti ini
umumnya diekspor ke Asia Timur, Eropa,
dan Amerika.
Sifat-sifat kimia yang penting dari
kayu karet antara lain adalah kadar
holoselulose, lignin, dan ekstraktif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kadar
holoselulose kayu karet tergolong tinggi
(67,38%), kadar lignin tergolong rendah
(20,68%) dibandingkan dengan kayu A.mangium yang umum digunakan untuk
bahan baku pulp yaitu sebesar 26,72%,
dan kadar zat ekstraktif tergolong tinggi
(4,58%) (Boerhendhy et al . 2001). Kayu
karet dengan kandungan holoselulose
tinggi sangat baik sebagai bahan baku
kertas karena akan menghasilkan ren-
demen pulp yang tinggi. Sementara itu
dengan kadar lignin yang rendah, kayu
karet sangat disukai dalam pengolahan
pulp karena akan menghasilkan pulp yang
mempunyai sifat keteguhan tinggi danwarnanya cerah. Kayu karet mempunyai
kadar zat ekstraktif lebih tinggi diban-
dingkan dengan klasifikasi kayu Indonesia
(> 4%). Kadar zat ekstraktif yang tinggi
akan menghambat proses pengolahan
pulp terutama pengolahan secara kimia,
karena akan menurunkan rendemen pulp
dan kemungkinan menimbulkan noda
dalam lembaran kertas yang dihasilkan.
Namun, masalah tersebut dapat diatasi
dengan cara merendam kayu karet dan
memberikan tambahan ramuan dengan
jenis kayu lain (Silitonga et al . 1974).
Sifat kimia kayu karet yang juga
cukup penting adalah dimensi serat, yang
meliputi panjang serat, diameter serat,
tebal dinding, dan lebar lumen serat. Baik
secara tersendiri maupun kombinasinya,
sifat-sifat tersebut akan berpengaruh ter-
hadap sifat keteguhan lembaran pulp yang
dihasilkan. Panjang serat kayu karet cukup
baik, sekitar 1,70 mikron, lebih tinggi
dibandingkan dengan kayu akasia yang
mempunyai panjang serat 0,986 mikron
Diameter serat kayu karet tergolong kecilyaitu sekitar 24,16 mikron (kurang dari 36
mikron). Tebal dinding sel berukuran tipis
sampai sedang (3,53–4,68 mikron), sedang-
kan lebar lumen serat tergolong lebar (0,61
mikron) (Boerhendhy et al . 2001). Menurut
Hendi dan Suhendi (2000), kayu dengan
serat yang panjang, diameter serat yang
kecil, dinding sel yang tipis, dan lumen
serat yang lebar sangat baik untuk
pembuatan pulp dan kertas, karena akan
menghasilkan daya tenun yang tinggi
sehingga kertas yang dihasilkan mem-
punyai keteguhan sobek yang tinggi.
Ditinjau dari sifat kimia, kualitas kayu karet
termasuk ke dalam kelas II (Hendi dan
Suhendi 2000). Berdasarkan sifat fisik,
mekanis, dan kimia tersebut, kayu karet
memungkinkan dimanfaatkan sebagai
bahan bangunan, mebel, dan bahan baku
pulp.
POTENSI DAN PROSPEK PERMINTAAN KAYU KARET
Kayu karet dapat digunakan sebagai
pengganti kayu hutan alam setelah melalui
proses pengolahan dan pengawetan.
Penggunaan kayu karet untuk bahan baku
industri sangat cerah mengingat keter-
sediaannya sangat besar dan akan terus
meningkat di masa depan sejalan dengan
luasnya areal tanaman karet yang perlu
diremajakan, meskipun angka yang pasti
belum diperoleh. Namun, berdasarkandata Direktorat Jenderal Perkebunan tahun
2002, luas tanaman karet yang perlu
diremajakan sekitar 125.000 ha atau 4%
dari total luasan karet di Indonesia. Jika
tiap hektar tanaman karet diperkirakan
dapat menghasilkan 50 m3kayu bulat yang
dapat diproses menjadi kayu gergajian
(Djajapertjunda dan Nasution 1989) maka
dari luasan 125.000 ha akan diperoleh 6,25
juta m3 kayu bulat, yang bersumber dari
perkebunan rakyat (87%), perkebunan
besar negara (6%), dan perkebunan besar
swasta (7%)). Riau, Sumatera Selatan, dan
Jambi merupakan tiga propinsi yang
memiliki areal karet tua terluas di Sumatera
yang perlu diremajakan, masing-masing
23.907 ha, 20.317 ha, dan 19.012 ha
(Direktorat Jenderal Bina Produksi Perke-
bunan 2002).
Pada masa lampau, kayu karet hasil
peremajaan hanya digunakan sebagai
bahan bakar dalam pembuatan ribbed
smoked sheet (RSS), pembakaran kapur,
dan kayu bakar. Namun dengan makin
berkembangnya teknologi pengolahankayu karet, pemanfaatan kayu karet
menjadi semakin luas. Di Malaysia, kayu
5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 4/7
64 Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
karet dapat dimanfaatkan menjadi berbagai
produk, seperti papan, papan partikel,
papan serat, kertas, komponen bangunan,
profil lantai, dan furnitur. Di Liberia, kayu
karet sebagian besar digunakan untuk
papan partikel dan di Sri Lanka untuk
produksi pulp sebagai bahan dasar kertas
(Tan et al. 1980; Paardekooper 1989). Di
India, kayu karet digunakan sebagai bahan
kayu bangunan, ukiran, papan, penyekat,
palet, dan boneka (Sekhar 1989).
Pada masa mendatang, Indonesia
sangat berpeluang untuk mengembang-
kan kayu karet sebagai bahan baku
industri. Beberapa pabrik di Sumatera
Selatan sudah mulai mengolah kayu karet
dalam bentuk laminating board dan
moulding . Di Lampung terdapat pabrik
pengolahan papan partikel (Sumana et al.
1991), sedangkan di Jambi terdapat pabrik
pengolahan papan partikel, kayu lapis,MDF, dan moulding . Hasil olahan kayu
karet yang berwarna khas putih keku-
ningan seperti kayu ramin dan prupuk
umumnya dipasarkan ke negara-negara
Eropa seperti Perancis, Belanda, Jerman
dan Inggris; serta negara-negara Asia
seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan
(Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan
dan Perhutanan Sosial 1997). Beberapa
produk olahan dari kayu karet disajikan
pada Gambar 2.
Permintaan terhadap produk kayukaret dari tahun ke tahun semakin
meningkat sebagai akibat perkembangan
penduduk dunia dan membaiknya kondisi
perekonomian berbagai negara. Selain itu,
dengan berkembangnya teknologi peng-
olahan kayu, pemanfaatan kayu karet
sebagai bahan baku industri tidak lagi
hanya terbatas pada kayu yang berukuran
besar, tetapi kayu-kayu yang berukuran
lebih kecil pun dapat diproses menjadi
bubur kayu yang seterusnya diolah
menjadi papan partikel, pulp, dan kertas.
Dengan demikian seluruh bagian kayu
termasuk cabang dan ranting saat ini telah
dapat dimanfaatkan (Asosiasi Penelitian
Perkebunan Indonesia 1999). Berdasarkan
hal tersebut, kayu karet yang bersifat
terbarukan (renewable) diharapkan dapat
digunakan lebih luas sebagai substitusi
kayu hutan alam sehingga memberi nilai
tambah bagi pekebun, terutama sebagai
tambahan modal dalam peremajaan ke-
bun karet mereka, serta sebagai sumber
pendapatan asli daerah (PAD) dan devisa
negara.Sejalan dengan bergesernya peran
tanaman karet dari semula hanya sebagai
Tabel 1. Potensi produksi karet kering dan pertumbuhan beberapa klon
anjuran untuk klon penghasil lateks dan kayu.
Klon Tetua ProduksiPertumbuhan
(kg/ha) TBM T M
BPM 1 AVROS 163 X AVROS 368 1.945 Cepat Sangat cepat
PB 330 PB 5/51 X PB 49 1.774 Sangat cepat Cepat
PB 340 PB 235 X PR 107 2.180 Sangat cepat Sedang
RRIC 100 RRIC 52 X PB 85 1.997 Sangat cepat Cepat
AVROS 2037 AVROS 256 X AVROS 352 1.993 Sangat cepat Cepat
IRR 5 KLON PRIMER 1.609 Sangat cepat Cepat
IRR 32 LCB 1320 X AVROS1734 1.644 Cepat Cepat
IRR 39 LCB 1320 X FX 25 1.640 Sangat cepat Sangat cepat
IRR 42 LCB 1320 X F 351 1.989 Sangat cepat Cepat
IRR 112 IAN 873 X RRIC 110 2.195 Cepat Cepat
IRR 118 LCB 1320 X FX 2784 2.011 Sangat cepat Cepat
Sumber: Balai Penelitian Sembawa (2006).
Gambar 2. Beberapa produk olahan dari kayu karet: kursi dan meja makan, lemari
hias khas Palembang, dan rak majalah atau koran.
penghasil lateks kemudian menjadi
penghasil lateks dan kayu, maka pemilihan
klon pun perlu diarahkan untuk memenuhi
kedua keperluan tersebut. Tanaman
hendaknya memiliki pertumbuhan yang
cepat, baik pada masa tanaman belum
menghasilkan (TBM) maupun pada masa
tanaman menghasilkan (TM), serta pro-
duktivitasnya tinggi. Berdasarkan Hasil
Rumusan Lokakarya Pemuliaan Karet
tahun 2005, beberapa klon yang dapat
dikembangkan untuk produksi lateks dan
kayu adalah BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC
100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39,
IRR 42, IRR 112, dan IRR 118 (Balai
Penelitian Sembawa 2006). Potensi
produksi dan sifat sekunder klon-klon
tersebut disajikan pada Tabel 1.
KAYU KARET MENDUKUNGBIAYA PEREMAJAAN
KARET RAKYAT
Satu siklus tanaman karet untuk meng-
hasilkan lateks sekitar 30 tahun, yang
terbagi atas fase TBM 5 tahun dan TM 25
tahun. Setelah masa tersebut, kebun karet
tidak produktif lagi sehingga perlu
diremajakan. Kebun-kebun seperti ini
merupakan sumber bahan baku pabrik
pengolahan kayu karet. Pada penanaman
dengan jarak tanam 6 m x 3 m, populasi
tanaman tiap hektar sekitar 550 pohon.
Pada saat peremajaan, populasi tersebut
berkurang menjadi 250–300 pohon/ha
karena berbagai hal, seperti tumbang atau
patah akibat angin.
Umumnya petani mengalami kesu-
litan dalam melakukan peremajaan kebun
karet tua karena kurangnya modal untuk
biaya penebangan, pembukaan lahan,
pemagaran, pengadaan bibit, dan pena-
naman. Selain itu, penebangan atau
peremajaan dipengaruhi oleh musim
pembukaan lahan. Pembukaan lahan
perkebunan biasanya dilakukan padamusim kemarau. Lokasi kebun yang sulit
dijangkau atau tidak dilengkapi akses
jalan untuk kendaraan roda empat akan
mempersulit pengangkutan kayu ke
tempat pengolahan. Kondisi tersebut
5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 5/7
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 65
mengakibatkan suplai bahan baku ke
pabrik pengolahan kayu karet menjadi
tidak kontinu.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh
pemerintah daerah seperti Pemerintah
Propinsi Sumatera Selatan untuk menjamin
kesinambungan pasokan bahan baku bagi
pabrik pengolahan kayu karet. Pemerintah
Propinsi Sumatera Selatan bekerja sama
dengan salah satu pabrik pengolahan kayu
karet telah membuat kesepakatan melalui
kemitraan dengan petani. Melalui pola
kemitraan dapat disepakati penjadwalan
kegiatan penebangan di kebun petani
sehingga kebutuhan kayu karet dapat
terpenuhi sepanjang tahun.
Dengan pola kemitraan tersebut,
petani dapat menjual kayu karet kepada
industri pengolahan dengan harga yang
disepakati, dan pihak industri menyedia-
kan bibit unggul, melakukan penebangandan pendongkelan akar dengan menggu-
nakan traktor sehingga pembukaan lahan
untuk peremajaan dapat dilakukan dengan
cepat. Selain itu, pembukaan lahan dengan
cara pendongkelan akar sangat bermanfaat
untuk mengatasi serangan penyakit jamur
akar putih (JAP) yang merupakan salah
satu penyakit utama pada tanaman karet.
Sementara itu petani hanya mengeluarkan
biaya untuk pembersihan dan persiapan
tanam seperti pengajiran, pembuatan
lubang tanaman, dan penanaman.Untuk kegiatan persiapan lahan dan
penanaman, pekebun harus mengeluarkan
biaya Rp6.652.500/ha masing-masing
untuk tenaga kerja Rp2.320.000 serta bibit,
pupuk, dan peralatan Rp4.332.500. Pada
saat peremajaan akan diperoleh 247
pohon/ha dengan kayu berkualitas baik
dari populasi awal 550 pohon. Jika harga
kayu rata-rata Rp42.600/pohon (diameter
> 45 cm) maka akan diperoleh pendapatan
bersih dari hasil penjualan kayu karet
sebesar Rp3.869.700/ha. Pendapatan yang
diperoleh bergantung pada jumlah
tegakan per hektar, diameter batang, jarak
pabrik ke lokasi kebun, dan kondisi jalan
yang dilalui.
Selama masa TBM, pendapatan yang
diperoleh dari hasil penjualan kayu karet
dapat digunakan untuk pemeliharaan
kebun dan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Pada masa TBM, petani dapat
menanam tanaman sela di antara karet
untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau
untuk dijual sebagai tambahan pengha-
silan. Di Sumatera Selatan, jenis tanamansela yang dianjurkan adalah padi gogo
pada tahun pertama serta nenas dan pisang
pada tahun kedua dan ketiga. Tanaman
sela tahan naungan seperti jahe, kapulaga,
dan vanili masih dapat diusahakan di
antara tanaman karet setelah tanaman
karet menghasilkan (Gambar 3).
PERMASALAHAN DAN
UPAYA PEMANFAATAN
KAYU KARET
Meskipun industri kayu karet mempunyai
prospek dan potensi yang cukup baik,
beberapa permasalahan perlu mendapat
perhatian, yaitu (Boerhendhy et al .
2002):
1) Sebagian besar lokasi kebun karet
rakyat terletak di wilayah yang tidak
mempunyai akses jalan sehingga sulit
dijangkau oleh kendaraan roda empat.
Selain itu, tidak semua sentra karetmemiliki industri pengolahan kayu
karet, sehingga jarak antara lokasi
kebun dan pabrik relatif jauh. Akibat-
nya, pengangkutan sering tertunda
dan memerlukan biaya cukup besar.
Penundaan pengangkutan menyebab-
kan kayu menjadi rusak karena
terinfeksi jamur biru, terutama untuk
kayu gergajian. Pada kondisi seperti
itu, penjualan kayu karet menjadi tidak
ekonomis sehingga kayu karet hanya
digunakan sebagai kayu bakar. Kayukaret akan bernilai ekonomis jika kebun
mempunyai akses jalan yang dapat
dilewati truk dan lokasinya tidak
terlalu jauh dari pabrik pengolahan.
2) Penebangan biasanya dilakukan pada
musim kemarau karena pada musim
tersebut petani mudah melakukan
pembakaran untuk membersihkan
lahan yang akan ditanami kembali (re-
planting ). Akibatnya di luar musim
peremajaan pabrik mengalami kesulitan
memperoleh bahan baku.
3) Rendemen kayu cukup rendah karena
diameter kayu relatif kecil dan kayu
banyak yang rusak akibat penyadapan
sampai ke bagian kayu.
Untuk meningkatkan pemanfaatan
kayu karet di masa depan, terutama sebagai
pengganti atau substitusi kayu hutan
alam, perlu dilakukan berbagai upaya
sebagai berikut:
1) Meningkatkan rendemen kayu karet
dengan menerapkan sistem penya-dapan yang tidak melukai kayu, serta
menggunakan bahan tanaman unggul
yang memiliki pertumbuhan cepat,
batang lurus, dan produktivitas
tinggi. Klon penghasil lateks dan kayu
yang dapat dikembangkan adalah
BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100,
AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39,
IRR 42, IRR 112, dan IRR118. Klon-
klon tersebut memiliki potensi hasil
karet kering yang cukup tinggi yaitu
1.609−
2.195 kg/ha/tahun. Kayu karetmemiliki rasio penyusutan tangensial
terhadap radial yang rendah sehingga
Gambar 3. Tanaman sela padi, nenas + pisang, dan kapulaga di antara gawangan
karet.
5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 6/7
66 Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
mempunyai kestabilan dimensi kayu
yang baik (Daslin dan Anas 2003).
2) Dalam penanaman ulang, petani
dianjurkan menanam karet dalam satu
hamparan dan dilengkapi dengan
akses jalan yang dapat dilewati oleh
truk untuk memudahkan pengang-
kutan kayu pada saat peremajaan.
3) Pembangunan industri pengolahan
kayu karet perlu diawali dengan iden-
tifikasi potensi kayu karet di sekitar-
nya, sehingga kapasitas terpasang
pabrik dapat terpenuhi dari bahan baku
yang tersedia di sekitar pabrik. Pola
kemitraan antara industri pengolahan
dan petani juga dapat menjamin keter-
sediaan kayu karet melalui pengaturan
waktu penebangan (peremajaan).
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. 1999.
Klon-klon karet untuk HTI dan hutan
kemasyarakatan. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 21(4): 8.
Azwar, R., N. Alwi, dan Sunarwidi. 1989. Kajian
komoditas dalam pembangunan hutan
tanaman industri. hlm. 131−155. Prosiding
Lokakarya Nasional HTI Karet, Medan,
28−30 Agustus 1989. Pusat Penelitian
Perkebunan Sungei Putih, Medan.
Balai Penelitian Sembawa. 2006. Rekomendasi
klon karet periode 2006−2020. Balai Pene-
litian Sembawa, Pusat Penelitian Karet,
Palembang.
Boerhendhy, I., N. Hadjib, R.M. Siagian, A.
Gunawan, dan M. Lasminingsih. 2001.
Karakteristik mutu dan sifat kayu karet klon
anjuran dan harapan. hlm.1−26. Prosiding
Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet, 5−6
November 2001. Pusat Penelitian Karet,
Medan.
Boerhendhy, I., C. Nancy, dan A. Gunawan. 2002.
Prospek dan potensi pemanfaatan kayukaret sebagai substitusi kayu alam. Warta
Penelitian Pusat Karet 21(1−3): 58−66.
Boerhendhy, I., C. Nancy, dan A. Gunawan. 2003.
Kayu karet dapat menggantikan kayu hutan
alam. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 25(1): 3−5.
Budiman, S. 1987. Perkembangan pemanfaatan
kayu karet. Sasaran 1(4): 5−9.
Coto, Z. 1989. Kayu karet sebagai bahan baku
industri pengolahan kayu. hlm. 393−407.
Prosiding Lokakarya Nasional Pem-
bangunan HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus
1989. Pusat Penelitian Perkebunan SungeiPutih, Medan.
Darsini, A.S. 1991. Struktur dan sifat kayu karet
sebagai pengganti kayu ramin. Tesis Pasca-
sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogya-
karta.
Daslin, A. dan A. Anas. 2003. Karakteristik hasil
serta sifat lateks dan kayu dari berbagai klon
karet unggul generasi IV. hlm. 189−198.
Prosiding Konferensi Agribisnis Karet
Menunjang Industri Lateks dan Kayu 2003.
Pusat Penelitian Karet, Medan.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan.
2002. Statistik Perkebunan Indonesia: Karet.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perke-
bunan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial. 1997. Promotion of
optimum utilization of rubberwood. Socio-
economic Survey and Rubber Wood Develop-
ment Potential in Jambi. 31 pp.
Djajapertjunda, S. dan D. Nasution. 1989. Ke-
mungkinan pembangunan industri kayu karet
di Sumatera Utara. hlm. 381−392. Prosiding
Lokakarya Nasional Pembangunan HTIKaret, Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat
Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan.
Hasan, M. 1989. Pengembangan hutan tanaman
industri dengan karet sebagai alternatif. hlm.
77−85. Prosiding Lokakarya Nasional HTI
Karet, Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat
Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan.
Hendi dan Suhendi. 2000. Pola pewarisan genetik
sifat-sifat kayu pinus ( Pinus mercusii). hlm.
162−184. Prosiding Diskusi Peningkatan
Kualitas Kayu, 24 Februari. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Indraty, I.S. 2005. Tanaman karet menyelamat-kan kehidupan dari ancaman karbondiok-
sida. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 27(5): 10−12.
Kartasujana dan Martawijaya. 1973. Sifat dan
kegunaan kayu perdagangan Indonesia.
Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
Mandika, D., A. Sapta, dan R.K. Sari. 1989. Se-
lintas tentang kayu karet. hlm. 373−379.
Prosiding Lokakarya Nasional HTI Karet,
Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat Pe-
nelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan.
Manurung, T. 2003. Laju kerusakan hutan
Indonesia, terparah di planet bumi. Majalah
Gatra.
Paardekooper, E.C. 1989. Exploitation of the
rubber tree. p. 349−414. In C.C. Webster
and W.J. Baulkwill (Eds.). Rubber. Longman
Scientific & Technical Co., published in the
United States with John Wiley & Sons, Inc,
New York.
Sekhar, A.C. 1989. Rubber wood production and
utilization. RRII, Kottayam 686009. 224
pp.
Seng, O.D. 1951. Perbandingan berat dari jenis-
jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya
kayu untuk keperluan praktek. Laporan
No.46 Balai Penyelidikan Kehutanan, Bogor.
Silitonga, T., Roliadi, dan Sudrajat. 1974. Papan
serat dari campuran kayu karet dan beberapa
jenis kayu daun lebar lainnya. Laporan No.
43 Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
Sulastiningsih, I.M., M. Wardani, dan P. Sutigno.
1999. Pengembangan jenis andalan setempat
untuk menunjang industri kayu lapis.
Prosiding Lokakarya Kayu Lapis, 18 Mei
1999. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
hlm. 184−205.
Sumana, R. Dereindra, M.N. Ridha, dan S. Ach-
diansyah. 1991. Pendapatan dan motivasi
petani dalam penjualan kayu karet tebangan.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Agri-
bisnis, Jakarta. 15 hlm.
4) Diperlukan dukungan pemerintah
dalam pemanfaatan kayu karet misal-
nya melalui kemudahan perizinan
untuk pendirian pabrik pengolahan
kayu karet.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kayu karet mempunyai prospek yang
sangat cerah sebagai substitusi kayu
hutan alam mengingat ketersediaannya
cukup besar, permintaan terus meningkat,
dan mempunyai keunggulan setara
dengan kayu hutan alam. Klon-klon
anjuran seperti BPM 1, PB 330, PB 340,
RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR
39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118 dapat
dikembangkan dalam skala luas untuk
produksi lateks sekaligus kayu.
Pemanfaatan kayu karet perlu
didukung dengan industri pengolahan.
Kontinuitas penyediaan bahan baku bagi
industri pengolahan dapat ditempuh
melalui pengembangan pola kemitraan
antara petani dan industri pengolahan,
sekaligus untuk mendukung peremajaan
karet rakyat. Tersedianya akses jalan
dengan kondisi yang baik, penggunaan
bahan tanam unggul, sistem sadap yang
baik, lokasi kebun dalam satu hamparan,
serta adanya dukungan positif dari
pemerintah merupakan langkah-langkah
yang perlu dilakukan berbagai pihak agar
nilai guna dan nilai ekonomi kayu karet di
masa depan dapat dioptimalkan.
5/10/2018 tumbuhan karet-biosistematika - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tumbuhan-karet-biosistematika 7/7
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 67
Supriadi, M., G. Wibawa, dan C. Nancy. 1999.
Percepatan peremajaan karet melalui pe-
nerapan teknologi dan pemberdayaan masya-
rakat perkebunan. hlm. 45−69. Prosiding
Lokakarya dan Ekspose Teknologi Per-
kebunan. Buku I. Model Peremajaan Karet
Rakyat Secara Swadaya. Asosiasi Penelitian
Perkebunan Indonesia, Bogor.
Sutigno, P., R. Memed, dan S. Kliwon. 1979.
Sifat venir dan kayu lapis jenis-jenis kayu
Indonesia. Laporan No. 143 Lembaga Pe-
nelitian Hasil Hutan, Bogor.
Sutigno, P. dan A.F. Mas’ud. 1989. Alternatif
pengolahan kayu hutan tanaman industri
karet. hlm. 259−269. Prosiding Lokakarya
Nasional HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus
1989. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei
Putih, Medan. hlm. 259−269.
Tan, A.G., A. Sujan, and T.C. Khoo. 1980. Rubber
wood for parquet manufacture. Planter’s
Bulletin of Rubber Research Institute of
Malaysia (163): 81−87.