26
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara demokrasi, namun dalam perjalanan sejarah  perwujudan demokrasi di Indonesia tidaklah berjalan dengan semestinya, sebagaimana sebuah negara demokrasi. Dari awal pemerintahan Indonesia, dimana Presiden Soekarno sebagai kepala negara dan sebagai kepala  pemerintahan, menerapkan konsepsi “demokrasi terpimpin” yang dikatakannya sebagai demokrasi asli Indonesia tetapi dalam prakteknya di dalam demokrasi terpimpin itu tidak ada atau, dengan meminjam ungkapan M. Natsir, semua ada di dalam demokrasi terpimpin itu kecuali demokrasi itu sendiri yang tidak ada. Pemerintahan Soekarno yang sangat otoriter dengan demokrasi terpimpinnya akhirnya jatuh melalui proses yang tidak normal menyusul Gerakan 30 September 1965. 1  Setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno muncullah pemerintahan orde  baru dimana Presiden Soeharto sebagai kepala negara dan sebagai kepala  pemerintahan. Pada awalnya orde baru dapat menampilkan pemerintahan yang demokratis tetapi ternyata hal itu hanya berlangsung kira-kira selama 3 tahun yakni selama pemerintah baru ini menyiapkan format politik baru melalui  penyusunan Undang-undang bidang politik. Setelah itu dan lebih-lebih setelah  pemilu tahun 1971, pemerintah kembali otoriter. Otoriterisme negara ini 1  Moh.Mahfud MD,  Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara,Ctk. Pertama,UII Press,Yogyakarta, Agustus 1999,hlm. 5.

Uii Skripsi 06410294 Yanuar Rifki Zamzami 06410294 YANUAR RIFKI ZAMZAMI 4993956545 Bab 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Uii Skripsi 06410294 Yanuar Rifki Zamzami 06410294 YANUAR RIFKI ZAMZAMI 4993956545 Bab 1

Citation preview

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Indonesia merupakan negara demokrasi, namun dalam perjalanan sejarah

    perwujudan demokrasi di Indonesia tidaklah berjalan dengan semestinya,

    sebagaimana sebuah negara demokrasi. Dari awal pemerintahan Indonesia,

    dimana Presiden Soekarno sebagai kepala negara dan sebagai kepala

    pemerintahan, menerapkan konsepsi demokrasi terpimpin yang dikatakannya

    sebagai demokrasi asli Indonesia tetapi dalam prakteknya di dalam demokrasi

    terpimpin itu tidak ada atau, dengan meminjam ungkapan M. Natsir, semua ada di

    dalam demokrasi terpimpin itu kecuali demokrasi itu sendiri yang tidak ada.

    Pemerintahan Soekarno yang sangat otoriter dengan demokrasi terpimpinnya

    akhirnya jatuh melalui proses yang tidak normal menyusul Gerakan 30 September

    1965.1 Setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno muncullah pemerintahan orde

    baru dimana Presiden Soeharto sebagai kepala negara dan sebagai kepala

    pemerintahan. Pada awalnya orde baru dapat menampilkan pemerintahan yang

    demokratis tetapi ternyata hal itu hanya berlangsung kira-kira selama 3 tahun

    yakni selama pemerintah baru ini menyiapkan format politik baru melalui

    penyusunan Undang-undang bidang politik. Setelah itu dan lebih-lebih setelah

    pemilu tahun 1971, pemerintah kembali otoriter. Otoriterisme negara ini

    1 Moh.Mahfud MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara,Ctk.

    Pertama,UII Press,Yogyakarta, Agustus 1999,hlm. 5.

  • berlangsung terus hingga dijatuhkannya rezim orde baru oleh gerakan reformasi

    pada Juli 1998.2

    Turunnya pemerintahan Soeharto merupakan awal dimulainya tahapan

    baru bagi masyarakat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan era reformasi,

    yaitu suatu proses untuk membuka ruang-ruang politik, hukum, ekonomi, sosial

    yang selama hampir 32 tahun tertutup. Ketika gerakan reformasi bergelora banyak

    yang mengatakan bahwa keberhasilan gerakan reformasi di Indonesia pada

    tahap permulaan dewasa ini merupakan dasar kebangkitan demokrasi di

    Indonesia yang harus dimanfaatkan dan didorong oleh berbagai kelompok

    masyarakat agar peluang tersebut tidak terlepas dari tangan bangsa Indonesia.3

    Pada saat itu proses reformasi berusaha mengubah ketentuan-ketentuan politik

    yang dihasilkan pemerintahan Soeharto. Habibie, yang ditunjuk oleh Soeharto

    menjadi Presiden, banyak mempunyai kelemahan-kelemahan politik akibat

    mempunyai kedekatan dengan pemerintahan masa lalu. Sehingga tidak ada jalan

    lain bagi Habibie untuk segera melakukan Pemilu, yang kemudian diadakan pada

    tahun 1999.4 Setelah proses pemilu ditetapkan, maka kemudian bermunculan

    partai-partai politik baru, dimana setiap partai politik membawa aspirasi dan

    kepentingan sekelompok orang atau golongan tertentu. Munculnya partai- partai

    politik baru yang jumlahnya cukup banyak dikarenakan selama pemerintahan

    Soeharto, hanya ada 3 partai politik yang diperbolehkan ikut dalam pesta

    demokrasi, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan

    2 Ibid.hlm. 5-6.

    3 Ibid.hlm. 9.

    4 Edward Aspinall, Indonesia Setelah Soeharto dalam Edward Aspinall, Herbert Feit

    dan Gerry Van Kliken (editor), Titik Tolak Reformasi, Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto, Ctk.

    Pertama, LKIS, Yogyakarta, Juli 2002, hlm. 338.

  • (PPP), dan Partai Demokrat Indonesia (PDI). Ketiga partai ini, disahkan dalam

    Undang Undang Politik 1965, dimana Undang Undang tersebut adalah hasil dari

    pemerintahan Soeharto yang mengebiri sembilan partai politik lainnya yang

    terlibat dalam pemilu 1971.5 Pemilu tahun 1999 dapat disebut juga sebagai pemilu

    multipartai kedua setelah pemilu 1955. Dan pada pemilu-pemilu berikutnya

    setelah pemilu tahun 1999, yaitu pemilu tahun 2004 dan pemilu tahun 2009

    kemarin, sistem kepartaian yang digunakan di Indonesia tetap menggunakan

    sistem multipartai. Hal ini membuktikan telah terjadinya reformasi dalam bidang

    politik, dimana merupakan sebuah perwujudan negara yang demokrasi yang

    memberikan kebebasan warga negaranya untuk berserikat, mengeluarkan

    pendapat dan aspirasinya.

    Penerapan sistem multipartai di Indonesia dianggap merupakan salah satu

    bentuk dari demokratisasi yang selalu berjalan mencari bentuk yang tepat sesuai

    dengan kondisi rakyat Indonesia. Namun dalam perjalanan penerapan sistem

    multipartai di Indonesia setelah reformasi ini, masih juga menimbulkan

    permasalahan, hal ini dikarenakan berdasarkan teori, sistem kepartaian yang

    diterapkan dalam suatu negara harus selaras dengan sistem pemerintahan yang

    dianut di negara tersebut. Dan juga karena adanya keterkaitan yang erat antara

    upaya penataan sistem politik yang demokratis dengan terwujudnya sistem

    pemerintahan dengan baik dalam rangka penyelenggaraan negara.

    5 David Bourchier, Sistem Pemilu Pada Masyarakat Transisi dalam Erward Aspinal,

    Herbert Feit dan Gerry Van Kliken (editor), Titik Tolak Reformasi, Hari-hari Terakhir Presiden

    Soeharto, Ctk. Pertama, LKIS, Yogyakarta, Juli 2000, hlm.343.

  • Sistem pemerintahan itu sendiri merupakan salah satu cermin dari jati diri

    suatu bangsa dan merupakan salah satu aspek yang menentukan penyelenggaraan

    negara. Sistem pemerintahan menunjukkan pada pembagian kekuasaan dan

    hubungan antar lembaga negara, khususnya antara eksekutif dan legislatif. Sistem

    pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensiil yang

    terdapat dan diatur di dalam UUD 1945 baik sebelum dan sesudah amandemen.

    Sistem pemerintahan presidensiil telah dianut oleh Indonesia sejak masa orde

    lama sampai masa reformasi sekarang ini. Namun dalam perjalanannya sistem

    pemerintahan presidensiil di Indonesia dapat dibagi kedalam dua periode, yaitu

    periode sebelum amandemen UUD 1945 dan periode sesudah amandemen UUD

    1945. Pada periode sebelum amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan

    presidensiil yang terdapat dan diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen serta

    di dalam mempraktikkannya dianggap tidak sesuai dengan inti ajaran sistem

    pemerintahan presidensiil yang sesungguhnya karena UUD 1945 sebelum

    amandemen memuat prinsip-prinsip sistem pemerintahan presidensiil dan prinsip-

    prinsip sistem pemerintahan parlementer secara bersamaan. Dengan adanya dua

    sistem pemerintahan yang berbeda dalam UUD 1945 sebelum amandemen ,

    dimana UUD 1945 merupakan dasar dari sistem pemerintahan yang berlaku di

    Indonesia menunjukan terjadinya dualisme sistem pemerintahan dalam UUD 1945

    sebelum amandemen. Padahal jika ditinjau sesuai dengan teori sistem, dalam

    UUD tidak boleh ada dualisme karena konstitusi merupakan suatu kesatuan yang

    tersusun secara sistematis, tidak boleh ada pertentangan antara bagian yang satu

  • dengan bagian yang lain, atau antara bagian-bagian itu dengan keseluruhannya.6

    Dengan adanya penyatuan prinsip-prinsip sistem pemerintahan presidensiil

    dengan prinsip-prinsip sistem parlementer di dalam UUD 1945 sebelum

    amandemen, minimal menimbulkan dua buah konsekuensi logis yaitu; (1),

    menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan para ahli

    ilmu politik dan ahli hukum tata negara. Konsekuensi lainnya dengan adanya

    dualisme sistem pemerintahan dalam UUD 1945 sebelum amandemen adalah (2),

    memeberikan peluang terjadinya konflik antar lembaga negara, seperti yang dulu

    pernah terjadi anatar DPR/MPR dengan Presiden Soekarno dan Presiden

    Abdurrahman Wahid.7 Alasan-alasan tersebut menjadi dasar salah satu agenda

    dalam amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR pada Sidang Istimewa

    MPR 1998, yaitu mempertegas atau memperkuat sistem pemerintahan presidensiil

    di dalam UUD 1945. Setelah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945

    maka sistem pemerintahan yang di anut oleh Indonesia dianggap banyak kalangan

    lebih jelas dan lebih tegas kepada sistem pemerintahan presidensiil.

    Dari uraian penjelasan di atas dapat diketahui sistem kepartaian dan sistem

    pemerintahan apa dan yang bagaimana yang diterapkan di Indonesia. Dan dengan

    melihat teori serta fakta sejarah, dimana sistem pemerintahan yang dianut oleh

    suatu negara harus didukung dengan sistem kepartaian yang sesuai atau ideal

    dengan sistem pemerintahan tersebut sehingga terjadi keselarasan antara sistem

    pemerintahan dengan sistem kepartaian karena hal tersebut akan berdampak pada

    6Bintan R. Saragih& M. Kusnardi, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD

    1945, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hlm.2. 7Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah

    Amandemen, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 132.

  • perwujudan sistem pemerintahan itu sendiri dalam rangka penyelenggraan negara

    yang baik. Di Indonesia sendiri seperti yang telah dijelaskan diatas, merupakan

    negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil dengan menerapkan

    sistem multi partai di dalamnya, sehingga akan memunculkan pertanyaan

    mengapa sistem multi partai di adopsi dalam sistem pemerintahan presidensiil

    Indonesia pasca amandemen UUD 1945, serta apakah tepat sistem multi partai

    diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensiil Indonesia pasca amandemen

    UUD 1945?. Oleh karena itu penulis mempunyai inisiatif, untuk melakukan

    penelitian dan berusaha menjawab pertanyaan mendasar diatas. Sehingga penulis

    memilih judul SISTEM MULTI PARTAI DALAM SISTEM PRESIDENSIIL

    PASCA AMANDEMEN UUD 1945.

    B. Rumusan Masalah

    1. Mengapa sistem multi partai diadopsi dalam sistem pemerintahan

    presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945?

    2. Apakah tepat sistem multi partai diterapkan dalam sistem pemerintahan

    presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945?

    C. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :

    1. Mengetahui mengapa sistem multi partai diadopsi dalam sistem

    pemerintahan presidensiil pasca amandemen UUD 1945.

    2. Mengetahui apakah tepat sistem multi partai diterapkan dalam sistem

    pemerintahan presidensiil pasca amandemen UUD 1945.

  • D. Tinjauan Pustaka

    1. Sistem Kepartaian

    Dalam upaya mengklasifikasikan sistem kepartaian sampai saat ini belum

    ada metode yang bisa disepakati secara luas, sehingga hal ini menyebabkan

    banyak munculnya klasifikasi sistem kepartaian yang dikemukakan oleh para ahli.

    Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar

    Ilmu Politik mengemukakan beberapa cara pengklasifikasian sistem kepartaian.

    Pertama, dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaan partai politik.

    Dengan cara secara umum partai politik dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai

    massa dan partai kader. Partai massa mengutamakan kekuataan berdasarkan

    keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu partai massa biasanya terdiri dari

    pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat

    bernaung dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas

    dan kabur. Kelemahan dari partai massa ialah bahwa masing-masing aliran atau

    kelompok yang bernaung di bawah partai massa cenderung untuk memaksakan

    kepentingan masing-masing, terutama pada saat-saat krisis, sehingga persatuan

    dalam partai dapat menjadi lemah atau hilang sama sekali sehingga salah satu

    golongan memisahkan diri dan mendirikan partai baru. Sedangkan partai kader

    sangat mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-

    anggotanya. Dalam partai kader, pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian

    doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon

    anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah

    ditetapkan. Klasifikasi kedua yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo adalah

  • dengan cara melihat dari segi sifat dan orientasi, dalam hal mana partai-partai

    dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai lindungan (patronage party) dan partai

    ideologi atau partai azas (Weltanscauungs Partei atau programmatic party).

    Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (sekalipun

    organisasinya di tingkat lokal sering cukup ketat), disiplin yang lemah dan

    biasanya tidak mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Tujuan utama

    partai lindungan adalah memenangkan pemilihan umum untuk anggota-anggota

    yang dicalonkannya, oleh karena itu hanya giat menjelang masa-masa pemilihan.

    Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat merupakan contoh dari

    partai lindungan. Sedangkan partai ideologi atau partai azas (Sosialisme, fasisme,

    komunisem, kristen-demokrat) biasanya mempunyai pandangan hidup yang

    digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai

    yang kuat dan mengikat. Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan

    untuk menjadi anggota pimpinan disyaratkan lulus melalui tahap percobaan.

    Untuk memperkuat ikatan batin dan kemurnian ideologi maka dipungut iuran

    secara teratur dan disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaran-ajaran serta

    keputusan-keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan.8

    Sedangkan Gabriel A. Almond dalam memberikan serta mengemukakan

    gambaran tentang klasifikasi partai politik memiliki sudut pandang atau kriteria

    sendiri, dimana dalam salah satu risalahnya Interest Articulation and the

    Function of Aggregation mengemukakan fungsi agregasi sebagai salah satu

    alternatif dalam mengklasifikasikan sistem kepartaian. Dengan menggunakan

    8 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Ctk. Ketujuh, PT. Gramedia, Jakarta,

    1982, hlm.166-167.

  • kriteria tersebut, Gabriel A. Almond mengajukan empat kategori sistem

    kepartaian, masing-masing adalah :

    a. Sistem kepartaian authoritarian, dengan salah satu sub-kategorinya yang disebut totalitarian. Dalam mengagregasikan

    berbagai kepentingan, partai-partai politik yang totaliter

    (totalitarian parties) berusaha masuk jauh ke dalam struktur

    masyarakat negara yang bersangkutan. Karena itu mereka pada

    umumnya beranggapan bahwa proses transmisi dan agregasi

    berbagai kebutuhan ataupun tuntutan-tuntutan yang da harus

    diwujudkan melalui struktur partai tunggal. Sedangkan jika dilihat

    dalam satu segi, sistem kepartaian otoritarian dipandang lebih

    luwes dibandingkan sistem totaliter, disamping mereka selalu

    mengajukan penyampaian berbagai tuntutan dan kebutuhan secara

    terbuka. Tetapi, ketiadaan kebebasan memilih beserta alternatif

    pilihan menyebabkan kebijaksanaan-kebijaksanaan cenderung

    dibuat melalui struktur otoritatif seperti partai politik, kekuasaan

    militer dan birokrasi.

    b. Sistem kepartaian dominant non-authoritarian. Sistem kepartaian ini berkembang pada saat kelompok-kelompok kepentingan yang

    ada mengikatkan diri secara bersama-sama dalam satu program

    untuk mencapai kemerdekaan nasional. Dalam sistem ini, peranan

    partai oposisi (loyal oppositon) kurang memadai, kohesi partai

    sulit untuk dicapai dan berbagai kepentingan tidak diagregasikan

    secara efektif.

    c. Sistem dua partai yang selalu bersaing satu sama lain. Sistem kepartaian ini dalam banyak hal bisa dilihat dalam pelaksanaan

    sistem kepartaian di Amerika Serikat dan Inggris.

    d. Sistem banyak partai yang senantiasa bersaing satu sama lain. Sistem kepartaian ini biasanya dibedakan antara working class

    dengan kelas-kelas lain yang disebut immobilist. Untuk working

    class dapat ditemukakan di negara-negara Skandinavia, dimana

    partai-partai politik yang ada bersifat homogen serta

    melaksanakan fungsi agregatif secara lebih luas, dan bertujuan

    mencapai mayoritas yang stabil serta memperkenankan

    penggabungan berbagai kelompok oposisi terhadap pemerintah.

    Sedang untuk immobilist dikembangkan di Italia dan Perancis

    yang tumbuh dalam satu kebudayaan politik isolatif dan

    fragmentaris, di mana koalisi politik sangat rapuh dan lemah.9

    9 Gabriel A. Almond dalam Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Ctk.

    Pertama, Tiara Wacana & YP2LPM,Yogyakarta, 1986, hlm.225-226.

  • Klasifikasi yang lain, dikemukakan oleh Maurice Duverger dengan

    menggunakan kekuatan partai sebagai salah satu alat ukurnya. Aspek kekuatan

    yang dimaksudkan Maurice Duverger tersebut bisa diukur dari segi pemilih dalam

    suatu proses pemilihan maupun dari segi jumlah kursi yang diperoleh partai

    politik dalam badan-badan perwakilan. Tetapi, pada prinsipnya Maurice Duverger

    lebih menekankan pada segi jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu partai politik

    dalam badan perwakilan dibanding besarnya pemilih pada pemilihan umum.

    Berdasarkan sudut pandang tersebut, Maurice Duverger mengelompokan partai

    politik ke dalam empat jenis. Masing-masing adalah:

    a. Partai-partai dengan kekuatan mayoritas yang ingin membawa kekuasaan mayoritasnya secara absolut dalam badan perwakilan

    rakyat. Partai-partai semacam ini biasa terdapat dalam negara yang

    menganut sistem dua partai dan dalam beberapa kasus terdapat

    pula dalam negara yang menganut sistem banyak partai.

    b. Partai-partai dengan kekuatan mayoritas yang tidak ingin membawakan kekuasaan mayoritasnya secara absolut dan bahkan

    tidak memaksakan kepentingannya. Kenyataan semacam ini

    adalah sebagai akibat koalisi beberapa partai politik sehingga bisa

    menguasai suara mayoritas dalam badan perwakilan rakyat.

    c. Partai-partai yang tergolong medium dan yang tidak mampu membentuk pemerintahan minoritas.

    d. Partai-partai minoritas yang tidak mampu memainkan peranan politik, baik dalam hubungannya dengan partai-partai pemerintah

    maupun partai-partai oposisi.10

    Giovani Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian berdasarkan ideologi

    yang dianut masing-masing partai serta banyaknya partai yang diakui dan ikut

    dalam setiap pemilihan umum. Pengklasifikasian sistem kepartaian tersebut dibagi

    menjadi 4 macam, yaitu Sistem dua Partai, Pluralisme Moderat, Pluralisme

    Terpolarisasi dan Sistem Partai Berkuasa. Sistem dua partai ditandai oleh adanya

    10

    Maurice Duverger dalam Cheppy Haricahyono, Ibid.hlm.226-227.

  • dua partai yang terus bersaing di dalam setiap pemilu serta paling memiliki

    pendukung luas. Kedua partai tersebut dapat saja memiliki ideologi yang berbeda

    ataupun isu-isu politik yang kontras. Contohnya di Amerika Serikat dimana Partai

    Republik dan Partai Demokrat yang bersaing. Partai Republik membawakan

    kepentingan pengusaha, kalangan militer, dan golongan konservatif. Partai

    Demokrat, kerap dicitrakan sebagai lebih dekat ke kalangan pekerja, gerakan

    sosial bernuansa hak asasi manusia, dan kesejahteraan sosial. Pluralisme Moderat

    adalah sistem kepartaian suatu negara di mana partai-partai politik yang ada di

    dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Namun, perbedaan ideologi

    tersebut tidak begitu tajam sehingga dapat saja para pemilih suatu partai dapat

    berpindah dari partai yang satu ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan

    parlemen, partai-partai yang memiliki perbedaan ideologi tetap dapat menjalin

    koalisi jika memang diperlukan guna menggolkan suatu kebijakan. Pluralisme

    Terpolarisasi adalah sistem kepartaian suatu negara dimana partai-partai politik

    yang ada di dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Perbedaan ideologi

    tersebut terkadang cukup fundamental sehingga sulit bagi pemilih partai yang satu

    untuk berpindah ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan parlemen,

    perbedaan ideologi tersebut membuat sulitnya tercipta koalisi akibat perbedaan

    ideologi yang cukup tajam tersebut. Sistem Partai Berkuasa adalah sistem

    kepartaian di mana di suatu negara terdapat sejumlah partai, tetapi ada sebuah

    partai yang selalu memenangkan pemilihan umum dari satu periode ke periode

    lain. Partai yang selalu menang tersebut menjadi dominan di antara partai-partai

    lainnya, dilihat dari sisi basis massa, dukungan pemerintah, maupun kemenangan

  • kursi mereka di setiap pemilihan umum. Contoh dari satu Sistem Partai Berkuasa

    ini adalah Malaysia, Indonesia di era Orde Baru, ataupun India.11

    Berbeda dengan yang lainnya, Roy C. Macridis yang cenderung tidak

    membedakan antara partai dan sistem kepartaian dalam mengungkapakan tipologi

    atau skema klasifikasinya. Dalam bukunya, yang berjudul Political Parties:

    Comtemporary Trends and Ideas, Roy C. Macridis mengemukakan tiga kriteria

    yang bisa digunakan. Yang pertama, adalah menyangkut sumber-sumber

    pendukung partai politik. Dari kriteria ini muncul dua tipe partai politik, yaitu

    comphrehensive parties yang berusaha menjangkau suara-suara keseluruhan

    pemilih dan sectarian parties yang mencoba mencari para pengikut dari kelas-

    kelas, daerah-daerah atupun ideologi-ideologi tertentu. Kriteria kedua, berkaitan

    dengan masalah organisasi internal partai politik. Dengan menggunakan kriteria

    ini muncul dua bentuk partai politik, yaitu closed party, yang dalam prakteknya

    membatasi secara ketat kenggotaan partainya, dan open party yang

    memperkenankan semua orang masuk menjadi anggota partainya. Kriteria ketiga,

    kriteria ini menjangkau masalah bentuk-bentuk tindakan tertentu. Untuk itu

    dibedakan antara apa yang disebut specialized dan diffused. Yang pertama

    mengikuti prosedur konvensional untuk melaksanakan fungsi pengawasan

    terhadap pemerintah menurut tujuan dan waktu yang terbatas, sedangkan yang

    kedua lebih pragmatis dalam menggunakan beberapa cara untuk memperoleh

    kekuasaan dan lebih menekankan pada pengawasan menyeluruh dan permanen.12

    11

    Giovani Sartori, Sistem Kepartaian Di Indonesia, at

    http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/sistem-kepartaian-di-indonesia.html. Agust. 30, 2010.

    12

    Roy C. Macridis dalam Cheppy Haricahyono, Ilmu...Op.Cit.hlm.227-228.

  • Di samping berbagai klasifikasi yang telah dikemukakan di atas terdapat

    metode yang paling konvensional dalam mengklasifikasikan partai politik, ialah

    menurut jumlah partai yang ada dalam suatu negara. Dengan cara konvensional

    tersebut, dikenal adanya tiga klasifikasi, masing-masing adalah sistem satu partai

    (one-party system, atau mono-partism), sistem dua partai atau sistem dwi partai,

    dan sistem banyak partai (multi party system, atau multipartism). Seperti yang

    telah dikemukakan di atas mengenai belum adanya metode yang bisa disepakati

    secara luas dalam upaya mengklasifikasikan sistem kepartaian, tetapi

    pengklasifikasian berdasar jumlah partai politik yang ada dalam suatu negara

    banyak menuai kritik dari para ahli dengan alasan pengklasifikasian tersebut

    sebenarnya memperkosa konsep dasar pola hubungan persaingan yang terjadi di

    dalam maupun antar partai. Para penganut aliran empirisme seringkali

    mempermasalahkan dilema teoritis sebagai akibat penggunaan pendekatan yang

    berdasarkan jumlah partai tersebut. Mereka pada umumnya beranggapan bahwa

    pada hakekatnya tidak mungkin ada persaingan intern maupun antar partai dalam

    negara yang menganut sistem partai tunggal. Di samping itu, satu fakta

    menunjukkan bahwa negara-negara seperti Amerika Serikat ataupun negara-

    negara lain yang dikatakan menganut sistem dua partai, ternyata masih

    memungkinkan tumbuhnya gerakan partai ketiga yang meramaikan persaingan

    yang ada. Kenyataan lain, bahwa di negara-negara yang termasuk dalam kategori

    penganut sistem banyak partai, lebih sering menerapkan pola sistem partai

    tunggal, karena dominannya salah satu di antara berbagai partai yang ada.13

    Frank

    13

    Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Ctk. Pertama, Tiara Wacana &

  • J. Sorauf berpendapat bahwa cara mengklasifikasikan dengan menggunakan

    jumlah partai cenderung memberikan pengukuran pada salah satu dimensi dan

    melupakan dimensi-dimensi lainnya, seperti persaingan ideologis antara partai

    mayoritas dengan partai-partai minoritas, kendatipun lebih banyak terjadi dalam

    organisasi politik dibanding dalam partai politik. Lebih lanjut dikatakan bahwa

    cara-cara tersebut juga cenderung melupakan perbedaan-perbedaan yang ada

    dalam organisasi partai, begitu pula hasil yang dicapai dari analisa semacam itu

    sangat tidak memuaskan dibandingkan dengan menggunakan analisa persaingan

    antara pemilih dan pendukung partai politik.14

    Meskipun dalam perkembangannya metode pengklasifikasian sistem

    kepartaian dengan menggunakan jumlah partai politik mendapat berbagai kritik

    dari para ahli namun dalam kenyataannya metode ini yang paling banyak

    digunakan di berbagai negara dalam mengklasifikasikan sistem kepartaian. Begitu

    pula di Indonesia.

    2. Sistem Pemerintahan

    Kata sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu systema yang mempunyai

    arti sebagai berikut: Pertama, suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak

    bagian. Kedua, hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau

    komponen secara teratur. Dengan perkataan lain systema itu mengandung arti

    sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan

    merupakan satu keseluruhan (a whole).15

    Pengertian kata sistem juga banyak

    dikemukakan oleh para ahli, antara lain :

    Menurut Prof. Pamudji, sistem adalah :

    YP2LPM,Yogyakarta, 1986, hlm.224-225

    14 Frank J. Souraf dalam Cheppy Haricahyono, Ibid.hlm.225.

    15 Tatang Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Ctk. keenam, Rajawali Press, Jakarta, 1996,

    hlm. 1.

  • 1. Suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang

    membentuksuatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau

    utuh.16

    2. Suatau kebulatan atau keseluruhan yang utuh, dimana di dalamnya terdapat komponen-kompenen yang pada gilirannya merupakan

    sistem tersendiri yang mempunyai fungsi masing-masing, saling

    berhubungan satu sama lain menurut pola, tata atau norma tertentu

    dalam rangka mencapai satu tujuan.17

    Menurut W. J. S. Poerwadarminta, sistem adalah sekelompok bagian-

    bagian (alat dan sebagainya), yang bekerja bersama-sama untuk melakukan

    sesuatu maksud.18

    Sedangkan menurut Jarl J. Federich, sistem adalah:

    Sesuatu keseluruhan, yang terdiri dari berbagai macam bagian-bagian yang

    mempunyai hubungan fungsional baik antar bagian maupun keseluruhan

    antar bagian sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan

    antar bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja

    dengan baik maka akan mempengaruhi keseluruhan itu.19

    Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pengertian tentang sistem yang

    dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian

    sistem, sebagai berikut:

    Sistem adalah kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian, yang kait

    mengkait satu sama lain. Bagian atau anak cabang dari suatu sistem,

    menjadi induk sistem dari rangkaian selanjutnya. Begitulah seterusnya

    sampai pada bagian yang terkecil, rusaknya salah satu bagian akan

    mengganggu kestabilan sistem itu sendiri. Pemerintahan Indonesia adalah

    suatu contoh sistem pemerintahan, anak cabangnya adalah sistem

    16

    Prof. Drs. S. Pamudji, MPA, Toeri Sistem dan Pengeterapannya dalam Management.

    Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1981, hlm. 4-7. 17

    Prof. Drs. S. Pamudji, MPA, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1985,

    hlm. 9-10. 18

    W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

    1987, hlm. 955. 19

    Moh. Kusnardi dan Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat

    Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm. 160.

  • pemerintahan daerah, kemudian seterusnya sistem pemerintahan

    desa/keseluruhan.20

    A. Hamid S. Atamimi mengemukakan bahwa dalam kata sistem

    pemerintahan terdapat begian-bagian dari pemerintahan yang masing-masing

    mempunyai tugasa dan fungsinya namun secara keseluruhan bagian-bagian itu

    merupakan salah satu kesatuan yang padu dan bekerjasama secara rasional21

    .

    Sedangkan pengertian Pemerintahan memiliki dua arti, yakni dalam arti

    luas dan dalam arti sempit.

    Pengertian pemerintahan dalam arti luas yakni segala bentuk

    aktifitas/kegiatan penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organ-

    organ negara (lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif) yang

    mempunyai otoritas menjalankan kekuasaan. Sedangkan pengertian

    pemerintahan dalam arti sempit adalah suatu aktifitas/kegiatan yang

    dilakukan oleh lembaga eksekutif yang dalam hal ini dilakukan oleh

    presiden maupun perdan menteri sampai dengan level birokrasi yang

    paling rendah tingkatannya.22

    Dari pengertian pemerintahan di atas, dalam melakukan pembahasan

    mengenai pemerintahan negara, dasar yang dipergunakan yakni konteks

    pemerintahan dalam arti luas yaitu meliputi pembagian kekuasaan negara,

    hubungan antar alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan kekuasaan-

    kekuasaan tersebut baik hubungan horizontal (pemisahan/pembagian kekuasaan)

    20

    Drs. Inu Kencana Syariie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Ersco, Bandung, 1992, hlm.

    101. 21

    A. Hamid S. Atamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

    Penyelenggaraan Negara Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang berfungsi Sebagai

    Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita II, (Disertasi), fakultas pasca sarjana UI, Jakarta,

    1990, hlm.110-111. 22

    Hestu Cipto Handoyo , Hukum Tata Negara Kewarganegaraan (Memahami Proses

    Konsolidasi Sistem Demokrasi), UAJY, Yogyakarta, 2003, hlm.84.

  • maupun hubungan vertikal (pemencaran kekuasaan) antara pemerintah pusat dan

    pemerintah lokal.

    Dengan demikian jika pengertian pemerintahan tersebut dikaitkan dengan

    pengertian sistem maka, pengertian sistem pemerintahan adalah suatu

    tatanan/susunan pemerintahan yang berupa struktur yang terdiri dari organ-organ

    pemegang kekuasaan di dalam negara yang saling melakukan hubungan

    fungsional di antara organ-organ negara tersebut baik secara vertikal maupun

    horizontal untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.

    Kebanyakan orang menganggap bahwa yang dimaksud dengan sistem

    pemerintahan negara hanya berkisar pada mekanisme hubungan antara pemegang

    kekuasaan eksekutif dan legislatif anggapan semacam ini dapat dibenarkan,

    sepanjang sistem pemerintahan dimaksudkan adalah sistem pemerintahan negara

    dalam arti sempit. Oleh karena itu, agar lebih jelas dalam memahami sistem

    pemerintahan, menurut Hestu Cipto Handoyo dalam doktrin hukum tata negara

    yang biasa tertuang di dalam setiap konstitusi maka sistem pemerintahan negara

    dapat dibagi tiga pengertian, yaitu:

    1. Sistem pemerintahan negara dalam arti paling luas, yakni tatanan yang berupa struktur dari suatu negara dengan menitikberatkan

    pada hubungan antara negara dengan rakyat dalam mekanisme

    pengangkatan kepala negara dan mekanisme pengambilan

    keputusan negara. Kajian ini akan menimbulkan:

    a. Model/bentuk pemerintahan monarki. 1) Mekanisme pengangkatan kepala negara melalui

    pewarisan.

    2) Mekanisme pengambilan keputusan negara ada pada satu orang.

    b. Model/bentuk pemerintahan republik.

  • 1) Mekanisme pengangkatan kepala negara melalui pemilihan oleh rakyat.

    2) Mekanisme pengambilan keputusan negara ada pada suatu majelis yang mencerminkan representasi

    rakyat.

    2. Sistem pemerintahan negara dalam arti luas, yakni suatu tatanan atau struktur pemerintahan negara yang bertitik tolak dari

    hubungan antar semua organ negara, termasuk hubungan antar

    pemerintah pusat (central government) dengan bagian-bagian yang

    terdapat dalam negara ditingkat lokal (local government). Kajian

    sistem pemerintahan negara dalam arti sempit seperti ini meliputi:

    a. Bangunan negara kesatuan: pemerintah pusat memegang otoritas penuh (berkedudukan lebih tinggi) daripada

    pemerintah lokal.

    b. Bangunan negara serikat (federal): pemerintah pusat dan negara bagian mempunyai kedudukan yang sama.

    c. Bangunan negara konfederasi: pemerintah lokal (kanton/wilayah) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi

    dari pemerintah pusat.

    3. Sistem pemerintahan negara dalam arti sempit, yakni suatu tatanan atau struktur pemerintahan yang bertitik tolak dari hubungan

    sebagian organ negara ditingkat pusat khususnya hubungan antara

    eksekutif dan legislatif. Struktur atau tatanan pemerintahan negara

    seperti ini akan menimbulkan model:

    a. Sistem parlementer : parlemen (legislatif) mempunyai kedudukan lebih tinggi ketimbang eksekutif. Contohnya di

    Jepang, India, Inggris.

    b. Sistem pemisahan kekuasaan (presidensiil) : parlemen (legislatif) pemerintahan mempunyai kedudukan yang sama

    dan saling melakukan kontrol (check and balances).

    Contohnya di Amerika Serikat.

    c. Sistem pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat : pemerintahan (eksekutif) pada hakikatnya adalah

    badan pekerja dari parlemen (legislatif), dengan kata lain

    eksekutif merupakan bagian yang tidak terpisah dari

    legislatif (parlemen) oleh karena itu parlemen tidak diberi

    kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada

    eksekutif, sehingga yang berhak mengawasi parlemen dan

    eksekutif adalah rakyat secara langsung. Contohnya di

    Swiss.23

    Secara konseptual sistem pemerintahan yang pada umumnya digunakan

    oleh negara-negara demokrasi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yakni ;

    23

    Ibid, hlm.86.

  • sistem pemerintahan Parlementer (the Parliamentary Cabinet Government),

    sistem pemerintahan Presidensiil (the Presidential Government), dan sistem

    pemerintahan yang mengandung ciri sistem Parlementer dan ciri sistem

    Presidensiil (Semi Presidential Government) atau dapat juga disebut sebagai

    sistem pemerintahan campuran.24

    3. Sistem Pemerintahan Dan Sistem Kepartaian Di Indonesia Pasca

    Amandemen UUD 1945

    a. Sistem Pemerintahan Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

    Salah satu agenda dalam amandemen UUD 1945 yang dilakukan

    oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR 1998, yaitu mempertegas dan

    memperkuat sistem pemerintahan presidensiil dalam UUD 1945.

    Setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 dengan melalui empat

    tahapan maka sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia

    dianggap banyak kalangan sudah lebih jelas dan lebih tegas kepada

    sistem presidensiil yang sesungguhnya. Hal ini mengindikasikan

    keberhasilan yang dilakukan oleh MPR hasil pemilu 1999 dalam

    memperkuat sistem pemerintahan presidensiil dalam UUD 1945. Hal

    itu dapat terlihat dari; (1), dihapusnya beberapa ketentuan-ketentuan

    UUD 1945 sebelum amandemen yang memuat prinsip-prinsip sistem

    pemerintahan parlementer.25

    (2), Dipertegasnya lima prinsip sistem

    24

    Ellydar Chaidir, Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca Perubahan

    Undang-undang Dasar 1945, Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm 1. 25

    Prinsip sistem parlementer yang dihapus dalam UUD 1945 adalah; (a), Presiden dan

    Wakil Presiden dipilih oleh MPR dan bertanggungjawab kepada MPR, diganti menjadi

    Presidendan Wakil Presiden dipilih lengsung oleh rakyat dan bertnggungjawab kepada rakyat. (b),

    Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melanggar

  • pemerintahan presidensiil di antaranya;26

    (a) walaupun pasal 4 ayat

    (1) UUD 1945 hanya menyebutkan kekuasaan pemerintahan

    dipegang oleh Presiden,27

    tetapi berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UUD

    1945 dapat dilihat bahwa Presiden dan Wakil Presiden merupakan

    institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di

    bawah UUD, karena apabila Presiden berhalangan, baik berhalangan

    tetap maupun berhalangan sementara, maka kekuasaan Presiden

    dijalankan oleh Wakil Presiden,28

    (b), Presiden dan Wakil Presiden

    dipilih oleh rakyat secara langsung.29

    (c) Presiden dan/ atau Wakil

    Presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Presiden

    hanya dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum dalam masa

    jabatannya apabila melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan

    tercela dan mengalami perubahan sehingga tidak lagi memenuhi

    syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.30

    (d), Para Menteri

    merupakan pembantu Presiden. Menteri diangkat dan diberhentikan

    konstitusi dan GBHN dirubah menjadi Presiden dan/ Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan

    dalam masa jabatannya karena melanggar hukum dan karena perubahan tidak lagi memenuhi

    syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terlebih dahulu harus dibuktikan oleh

    Mahkamah Konstitusi (MK). 26

    Mahmuzar, Sistem...Op.cit.hlm.133. 27Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, Presiden Republik Indonesia memegang

    kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. 28

    Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.

    29Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan ketiga menyebutkan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

    30Pasal 7A UUD 1945, Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam

    masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik

    apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,

    korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti

    tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

  • oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden.31

    (e), Ditentukannya masa jabatan Presiden selama lima tahun, dan

    tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa

    jabatan.32

    b. Sistem Kepartaian Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

    Sistem kepartaian di Indonesia Pasca amandemen UUD 1945 adalah

    sistem kepartaian yang multi partai, hal ini dijelaskan dalam

    penjelasan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang

    menggantikan UU No. 2 Tahun 1999 yang dianggap tidak sesuai lagi

    dengan perkembangan masyarakat dan perubahan ketatanegaraan.

    Dalam penjelasan UU No.31 Tahun 2002 ini, dinyatakan bahwa

    sistem kepartaian kita menganut sistem multi partai sederhana yang

    dilakukan dengan menerapkan persyaratan kualitatif ataupun

    kuantitatif, baik dalam pembentukan partai politik maupun

    penggabungan partai politik yang ada. Dalam perkembangannya

    upaya pengaturan partai politik terus dilakukan, yang berarti

    penataan legislasi pertai politik dengan membentuk undang-undang

    partai politik yang baru merupakan keharusan yang tidak mungkin

    dihindari. Sehingga pada tahun 2008 diberlakukan UU No. 2 Tahun

    2008 tentang Partai Politik, menggantikan UU No. 31 Tahun 2002.

    31Pasal 17 ayat (1), Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara. Ayat (2)

    menyebutkan, Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 32Pasal 7 UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima

    tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali

    masa jabatan.

  • Alasan penggantian UU No. 31 Tahun 2002 dengan UU 2 Tahun

    2008 adalah belum optimalnya UU No.31 Tahun 2002

    mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang

    menuntut peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan

    bernegara.

    Sebenarnya sistem kepartaian yang multi partai ini sudah diterapkan

    di Indonesia sejak masa pemerintahan orde lama, yaitu pada masa

    presiden Soekarno. Namun dalam perjalanannya di masa

    pemerintahan orde baru setelah jatuhnya pemerintahan orde lama,

    yaitu pada masa presiden Soeharto terjadi perubahan sistem

    kepartaian di Indonesia, yang dianggap oleh beberapa pihak disebut

    sebagai sistem satu partai berkuasa atau sistem dominan satu partai.

    Hal ini dikarenakan adanya penggabungan partai-partai politik ke

    dalam kedekatan garis ideologi politik yang menghasilkan tiga partai

    dari sembilan partai yang ada sebelumnya. Setelah jatuhnya

    pemerintahan orde baru dan beralih ke masa reformasi pintu politik

    terbuka lebar, sehingga segala pembatas terhadap prinsip kebebasan

    berserikat ditiadakan. Sesuai dengan jaminan konstitusional

    mengenai prinsip kebebasan, semua orang diakui berhak mendirikan

    partai politik, sehingga berkembang menjadi sistem politik yang

    biasa dikenal dengan sistem multi partai.

    E. METODE PENELITIAN

  • Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif33

    yang akan

    mengkaji penerapan sistem multi partai dalam sistem pemerintahan presidensiil di

    Indonesia melihat implementasi sistem dengan mengkaji doktrin-doktrin yang

    berkembang dari para ahli dan akedemesi. Selain itu penelitian ini mengkaji asas-

    asas yang ada dalam undang-undang guna menganalisis dengan teori, doktrin,

    Undang-Undang sebagai sumber formal. Obyek penelitian ini yaitu : Undang-

    Undang, Doktrin, Asas-asas. Karena bersifat normatif, maka penelitian ini tidak

    menggunakan kasus hukum yang bersifat spesifik untuk dijadikan sebagai objek

    penelitian. Jika pun terdapat beberapa kasus yang diungkapkan dalam penelitian

    ini, hal tersebut merupakan sampel yang lebih bersifat data untuk melengkapi

    pembahasan.

    Aspek-aspek yang muncul dalam metode penelitian ini adalah sebagai berikut :

    1. Objek penelitian ini adalah berbagai hukum positif di Indonesia yang

    berkaitan dengan konsepsi penerapan sistem multi partai dalam sistem

    presidensiil pasca amandemen UUD 1945.

    2. Sumber Data

    Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang

    mencakup :

    a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan bahan hukum yang mengikat

    secara yuridis, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum

    maupun setelah amandemen, dan undang-undangan yang terkait dengan

    penelitian.

    33

    Menurut Wignjosoebroto, Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan

    cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada

    penelitian yang mencakup (1) asa-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) adanya taraf sinkronisasi

    vertikal dan horizontal, (4) perbandingan hukum, (5) sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat,

    M. Syamsudin, Operasi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 21-26.

  • b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai

    bahan hukum primer berupa buku-buku literatur, jurnal yang relevan,

    tulisan-tulisan ilmiah, hasil-hasil seminar, penelitian terdahulu, situs-

    situs internet yang relevan, artikel, dan lain-lain.

    c. Bahan Hukum Tersier, yaitu yang memberikan petunjuk bahan hukum

    primer dan sekunder berupa kamus hukum, dan lain-lain.

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

    pustaka, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang

    berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku kepustakaan yang

    berhubungan dengan mudah yang diteliti agar mendapat gambaran dan

    pengertian secara teoritis.

    4. Metode Pendekatan

    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis,

    yakni menganalisis permasalahan dari sudut pandang hukum, terutama

    hukum tata negara.

    5. Analisis Data

    Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif.

    Hal ini dikarenakan data yang akan digunakan adalah data yang bersifat

    kualitatif, bukan data kuantitatif yang berupa angka, skala, dan ukuran.

    F. SISTEMATIKA PENULISAN

  • Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis dalam 5 BAB yang saling

    mendukung sebagai berikut:

    BAB I : PENDAHULUAN

    Menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,

    tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan metode penelitian.

    BAB II : SISTEM-SISTEM PEMERINTAHAN

    Membahas teori-teori tentang pemisahan dan pembagian

    kekuasaan, sistem pemerintahan presidensiil, sistem pemerintahan

    parlementer dan sistem pemerintahan campuran.

    BAB III: SISTEM-SISTEM KEPARTAIAN

    Membahas tentang hak politik rakyat dalam mendirikan partai

    politik, sistem partai tunggal, sistem dua partai dan sistem multi

    partai.

    BAB IV: SISTEM MULTI PARTAI DALAM SISTEM PRESIDENSIIL

    PASCA AMANDEMEN UUD 1945

    Membahas mengenai sistem pemerintahan presidensiil Indonesia

    pasca amandemen UUD 1945, alasan sistem multi partai diadopsi

    dalam sistem pemerintahan presidensiil Indonesia pasca

    amandemen UUD 1945, tepat tidaknya sistem multi partai

    diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensiil pasca

    amandemen UUD 1945 serta gagasan ideal penerapan sistem multi

  • partai dalam sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia pasca

    amandemen UUD 1945.

    BAB V : PENUTUP

    Berupa :

    A. Kesimpulan

    Kesimpulan pada skripsi ini intinya berisi jawaban atas

    permasalahan yang menjadi objek penelitian setelah

    dilakukannya analisis oleh peneliti.

    B. Saran

    Saran adalah rekomendasi terhadap hasil simpulan dalam

    skripsi.