132
Welywahyura Visum et Repertum VISUM ET REPERTUM Pendahuluan VISUM et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran Forensik. Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah pada hari itu adalah yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut. Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik keluarga kembali. Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat serendah-rendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi berpangkat sedemikian tidak ada di tempat, maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi berpangkat lebih rendah namun dengan catatan “atas nama”. Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya).

visum gnnnn

Embed Size (px)

Citation preview

WelywahyuraVisum et RepertumVISUM ET REPERTUM Pendahuluan VISUM et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab UndangUndang Hukum Pidana). Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran Forensik. Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah pada hari itu adalah yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut. Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik keluarga kembali. Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat serendahrendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi berpangkat sedemikian tidak ada di tempat, maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi berpangkat lebih rendah namun dengan catatan atas nama. Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya). Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang berwenang mengemukakan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan bukan dokter yang melakukan pemeriksaan. Adalah hak polisi untuk memberikan keterangan atau menolak memberikan keterangan yang diminta kepada khalayak ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga (misalnya pers)- apalagi sampai pada detail-detailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang diotopsi). Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun korban yang sudah meninggal sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.

Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban membuka rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah yang diperiksanya. Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah diangkat dan telah diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli Ilmu Kedokteran Forensik ia tidak mengucapkan sumpah lain. Pendapat yang menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran Forensik ialah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru. KUHAP adalah peraturan hukum, bukan sumpah. Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada pihak lain (misalnya media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap saja dokter forensik adalah seorang dokter yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan rahasia kedokteran (dalam hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam pemeriksaan forensik). Yang berwenang adalah polisi yang meminta VER. Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan bahwa demi kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan keterangan apabila diperlukan kepada media massa (kepentingan pribadi demi popularitas atau sensasi?). Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya sepotong kayu yang telah dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah seorang manusia hidup yang bernyawa, yang mempunyai riwayat kehidupan tertentu, dan dengan demikian juga terdapat ikatan-ikatan tertentu, seperti hubungan dengan anggota keluarganya yang masih hidup maupun dengan kaum kerabat lainnya. Oleh karena itu, hal-hal tertentu yang ditemukan dalam pemeriksaan yang dapat mencemarkan nama baik orang yang sudah meninggal-juga keluarga serta kawan-kawannya yang masih hidup-itu tidak dapat dibeberkan kepada pihak lain, apalagi untuk dikemukakan kepada publik. Sesuatu yang memburukkan nama baik orang yang sudah meninggal (jenazah) itu pasti akan berakibat aib bagi pihak keluarga yang ditinggalkan.

Definisi Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung tentang visum et repertum, yaitu pada staatsblad (lembaga Negara) Tahun 1937 No. 350. Ketentuan dalam Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah tiap kali sebelum membuat visum. Seperti diketahui setiap keterangan yang akan disampaikan untuk pengadilan haruslah keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini, maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat VeR, biarpun lafal dan maksudnya berbeda. Visum et repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup ataupun mati, ataupun

bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan. Peranan dan Fungsi Visum et repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam VeR terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian kesimpulan. Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Perbedaan VeR dengan Catatan Medis dan Surat Keterangan Medis Lain Catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan pengobatan/perawatannya yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh dokter/institusi kesehatan. Catatan medis ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 tentang rahasia kedokteran dengan sanksi hukum seperti pasal 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dokter boleh membuka isi catatan medis kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik langsung maupun berupa perjanjuan yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu, misalnya pada klaim asuransi. Karena Visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal 120, 179, dan 133 ayat 1 KUHAP, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et repertum tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang memintnya, untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses pengadilan. Jenis dan Bentuk Visum et Repertum Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah, dan visum et repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et repertum mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana.

Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia. 1. Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan. Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan visum et repertum. Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan datang ke dokter sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan datang terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan kerjasama antara institusi kesehatan dengan penyidik. Di dalam bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, lukaluka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan, sedangkan yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam visum et repertum. 2. Visum et Repertum Korban Kejahatan Susila Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya pada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul). Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan. Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut. 3. Visum et Repertum Jenazah

Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah). Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi : 1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik. 2. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya. Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas. 4. Visum et Repertum Psikiatrik Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini. Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum. Dalam Keadaan tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia diragukan kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik. Aspek Pengadaan Visum Et Repertum Pejabat yang dapat meminta visum et repertum atas seseorang korban tindak pidana kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah penyidik dan penyidik pembantu polisi, baik POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan jurisdiksinya masing-masing. Selain itu jaksa penyidik berwenang pula meminta visum et repertum pada perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hakim juga dapat meminta visum et repertum (psikiatrik) sesuai dengan pasal 180 jo pasal 187 KUHAP, biasanya melalui jaksa penuntut umum.

Penasehat hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta visum et repertum kepada dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan visum et repertum langsung dari dokter. Penasehat hukum tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan. Korban atau keluarga korban juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta visum et repertum langsung dari dokter. Akan tetapi mereka berhak memperoleh informasi tentang korban pada saat yang tepat dari penyidik, dan mereka juga dapat memperoleh salinan visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan. Dalam hal visum et repertum tersebut merupakan hasil pemeriksaan atas seseorang korban hidup, maka dokter pemeriksa berhak untuk memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada korban. Sikap ini masih dapat dibenarkan dari segi etika kedokteran, dan berkaitan dengan hak pasien atas informasi medis dirinya. Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati yang telah mempunyai ketentuan yang mengaturnya dan bahkan mempunyai ancaman hukuman bagi pelanggarnya, prosedur permintaan visum et repertum korban hidup (luka, keracunan dan kejahatan seksual / abortus) tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter (dalam pasal 133 hanya tertulis pemeriksaan luka). Hal ini berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung-jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan seseorang korban sebagai barang bukti. Ketentuan tentang perlakuan terhadap korban hidup tidak menunjukkan bahwa ia adalah barang bukti; ia tidak diberi label dan tidak disegel, apalagi disita oleh negara. Situasi tersebut membawa kita kepada keadaan, dimana dokter turut bertanggung-jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan identitas korban yang diperiksa. Dalam praktek sehari-hari, orang dengan luka-luka akan dibawa langsung ke dokter, baru kemudian dilaporkan ke penyidik. Hanya korban dengan luka ringan atau tampak ringan saja yang akan lebih dahulu melapor ke penyidik sebelum pergi ke dokter. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat permintaan visum et repertum korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat diterima, maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh keterlambatan seperti ini adalah keterlambatan pelaporan kepada penyidik seperti yang dimaksud di atas, kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (keadaan darurat). Syarat pembuatan visum et repertum sebagai alat bukti surat sebagaimana tercantum dalam pasal 187 butir c sudah terpenuhi dengan adanya surat permintaan resmi dari penyidik. Tidak ada alasan bagi dokter untuk menolak permintaan resmi tersebut. Perlu diingat bahwa selain sebagai korban (pidana), ia juga berperan sebagai pasien, yaitu seorang manusia yang merupakan subyek hukum, dengan segala hak dan kewajibannya. Hal ini

berarti bahwa seseorang korban hidup tidak secara en block (seutuhnya) merupakan barang bukti. Yang merupakan barang bukti pada tubuh korban hidup tersebut adalah perlukaannya beserta akibatnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, oleh karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya, maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum. Adanya keharusan membuat visum et repertum atas seseorang korban tidak berarti bahwa korban tersebut, dalam hal ini sebagai pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Keadaan ini berbeda dengan korban mati yang tidak merangkap perannya sebagai pasien dengan segala haknya. Korban hidup adalah juga pasien sehingga mempunyai hak untuk memperoleh informasi medik tentang dirinya, hak menentukan nasibnya sendiri (rights to self determination), hak untuk menerima atau menolak suatu pemeriksaan dan hak memperoleh pendapat kedua (second opinion), serta tentu saja hak untuk dirahasiakan ihwalnya. Umumnya korban tidak akan menolak pemeriksaan dokter bila telah dijelaskan manfaatnya bagi korban sendiri sehubungan dengan perkara pidananya. Terlebih bila diingat bahwa biasanya pemeriksaan tersebut dikaitkan dengan upaya pengobatan dirinya. Apabila suatu pemeriksaan dianggap perlu oleh dokter pemeriksa tetapi pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis. Ketentuan hukum mengenai siapa yang paling berwenang dalam pembuatan visum et repertum korban kejahatan seksual tidaklah jelas. Selama ini para dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan, yang memang terbiasa memeriksa pasien wanita, dianggap paling berwenang dalam pembuatan visum et repertum korban kejahatan seksual. Namun apabila diingat bahwa korban kejahatan seksual pada dasarnya adalah korban perlukaan, dan bahwa pemeriksaan yang harus dilakukan bukan hanya sekedar pemeriksaan fisik dan tujuannya adalah untuk pembuktian, maka dokter spesialis forensik tampaknya akan mempunyai peranan yang lebih besar. Hal ini juga didukung oleh segi keilmuan yang digunakan dalam memeriksa korban kejahatan seksual, yaitu ilmu-ilmu forensik dan bukan ilmu obstetri maupun ginekologi. Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa pemeriksa adalah dokter yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, baik di bidang ginekologi maupun di bidang kedokteran forensik. Tindakan yang akan dilakukan harus didahului dengan penjelasan dan permintaan persetujuan korban, atau bila korban tidak cakap memberi persetujuan dimintakan dari orang tuanya atau keluarga terdekatnya. Apabila korban belum cukup umur, maka disarankan agar persetujuan tersebut ditandatangani oleh bersama, baik oleh korban maupun oleh orangtuanya. Selain adanya surat permintaan visum et repertum dan persetujuan korban, pemeriksaan harus disaksikan oleh chaperone (saksi yang berjenis kelamin sama dengan korban) guna menghindari keadaan yang tidak diinginkan.(2) Struktur Dan Isi Visum Et Repertum

Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang kedokteran kehakiman yaitu Prof. Muller, Prof. Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof. Sutomo Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu (Nyowito Hamdani, Ilmu Kedokteran kehakiman, edisi kedua, 1992). Konsep visum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari : 1. Pro Yustitia. Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat di atas kertas materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuat harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis Pro Yustitia di bagian atas visum maka ini sudah dianggap sama dengan kertas materai. Penulisan kata Pro Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (Pro Yustitia). Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakan tentang arti sebenarnya kata Pro yustitia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena biarpun Pro Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna yang terkandung di dalamnya maka kata-kata atau tulisan ini menjadi sangat penting artinya. 2. Pendahuluan Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa, saat pemeriksa (tanggal, hari dan jam), di mana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan visum. 3. Pemeriksaan. Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara objektif. Biasanya pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa adanya, misalnya didapati suatu luka, dokter menuliskan pada visum suatu luka berbentuk panjang, dengan panjang 10 cm, lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Sebagai tambahan pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapatkan kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan katakata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa. 4. Kesimpulan. Untuk pemakai visum, ini adalah bagian yang penting, karena diharapkan dokter dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka perlu

penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan. Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini). Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif. 5. Penutup. Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat sejujurjujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan pernyataan itu dokter mencantumkan Staatsblad 1937 No.350 atau dalam konsep visum yang baru ditulis sesuai KUHP.(IJO) Tatacara permintaan Visum Et Repertum Seperti tercantum dalam KUHAP pasal 133 ayat 1, dimana dalam hal penyidik atau kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, adapun tata cara permintaannya sabagai berikut : a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh penyidik yang berwenang. b. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi : Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurang berpangkat Pelda Polisi 1. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi. 2. Kapolsek yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena 3. Jabatannya adalah Penyidik Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah Penyidik c. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat merupakan : 1) Korban Mati.

Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta merupakan Visum et Repertum Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lak dengan diberi cap jabatan , diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat. Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang melakukan pemeriksaan TKP. Petugas penyidik selanjutnya memberi informasi yang diperlukan Dokter dan mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang bukti lain yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan cara kematiannya. 2) Korban Hidup. Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit, memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et Repertum sementara tentang keadaan korban. Penilaian keadaan korban ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya tersangka ditahan. Bila korban memerlukan / meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain, permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi. Dalam perawatan ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal dunia. Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan. Kemungkinan yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et Repertum Jenazah diperlukan guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya. d. Dalam surat permintaan Visum et Repertum, kelangkapan data-data jalannya peristiwa dan data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi selengkapnya, karena data-data itu dapat membantu Dokter mengarahkan pemeriksaan mayat yang sedang diperiksa. Contoh : 1) Pada kecelakaan lalu lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan kaki/pengemudi/penumpang dan jenis kendaraan yang menabrak. Gambaran luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambarkan bagaimana posisi korban pada waktu terjadi kecelakaan. 2) Dalam kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal karena pembunuhan atau penganiayaan saja. sebutkan keterangan tentang jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku, senjata tajam, senjata api, racun.

Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah senjata / alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban. 3) Pada kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan keterangan tentang tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi serta perkiraan racun yang dipergunakan.) Bersama dengan korban perlu dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai sebagai penyebab 4) Pada kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang dipergunakan korban agar diisi slengkapnya. Apabila korban dirawat, sertakan salinan rekaman medis pada waktu perawatan e. Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau ahli lainnya. Catatan : Dokter ahli Kedokteran Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang terdapat Fakultas Kedokteran nya Ditempat-tempat dimana tidak ada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman maka biasanya surat permintaan Visum et Repertum ini ditujukan kepada Dokter. Dalam pelaksanaannya maka sebaiknya : 1) Prioritas Dokter Pemerintah, ditempat dinasnya (bukan tempat praktek partikelir) 2) Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran, permintaan ditujukan kepada bagian yang sesuai yaitu : Untuk korban hidup : a) Terluka dan kecelakaan lalu lintas : kebagian bedah b) Kejahatan susila / perkosaan : ke bagian kebidanan Untuk korban mati : bagian Kedokteran Kehakiman 3) Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri, disertai surat permintaannya 4) Ditempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan kepada Dokter pemerintah di Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri. Bila hal ini tidak memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta

f. Sebaiknya petugas yang meminta Visum / petugas penyidik hadir ditempat otopsi dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada Dokter yang membedah mayat tentang situasi TKP, barang-barang bukti relevan yang ditemukan, keadaan korban di TKP hal-hal lain yang diperlukan, agar memudahkan Dokter mencari sebab dan cara kematian korban. g. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu tentang korban seperti : 1) Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal. 2) Sejauh mana korban masih dapat berlari / jalan. 3)Apakah korban dipindah 4) Senjata/alat jenis apa yang melukai korban 5) Apakah jenis alat/ senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk luka yang ada pada tubuh korban 6) Bagaimana caranya alat /senjata tersebut mengenai tubuh korban 7) Apakah ada tanda-tanda perlawanan Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau sesudah kematian 9) Kapan kira-kira korban meninggal 10) Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum meninggal(3) Tata Cara Pencabutan Visum Et Repertum a. Pencabutan permintaan Visum et Repertum pada prinsipnya tidak dibenarkan, namun kadang kala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan untuk dilaksanakan bedah mayat dengan alasan larangan Agama, adat dan lain-lain. b. Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 134 ayat 2, maka penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan bedah jenazah tersebut. Disamping itu perlu pula dijelaskan bahwa bedah mayat Forensik : 1) Menurut Agama Islam hukumnya Mubah Fatwa Majelis Kesehatan dan Syurat Nomor 4 / 1955. 2) Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat penyidik dapat memberi penjelasan tentang ketentuan KUHP Pasal 2 yang tertulis : Barang siapa dengan sengaja mencegah menghalangi

atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. 3) Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka pelaksanaan pencabutan harus diajukan tertulis secara resmi dengan menggunakan formulir pencabutan dan ditanda tangani oleh Pejabat, petugas yang berwenang dimana pangkatnya satu tingkat diatas peminta, serta terlebih dahulu membahasnya secara mendalam. 4) Dengan pencabutan permintaan Visum et Repertum maka penyidik harus menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang jelas dapat diharapkan lagi sebagai keterangan dari barang bukti berupa manusia sebagai corpus delicti yang berkaian erat dengan masalah penyidikan yang sedang ditangani. Pasal KUHP Yang Berkaitan Dengan Visum Et Repertum Pasal 90 KUHP Luka berat berarti : 1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya mati. 2) Tidak mampu untuk terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian. 3) Kehilangan salah satu panca indera. 4) Mendapat cacat berat. 5) Menderita sakit lumpuh. 6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih. 7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Pasal 351 KUHP (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan dimaksud sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Pasal 352 KUHP Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan atau terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Pasal 353 KUHP (1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang berarti dekenakan pidana penjara pailing lama tujuh tahun. (3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 354 KUHP (1) Barang siapa melakukan penganiayaan kepada orang dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. Pasal 341 KUHP Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada anak yang dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja mematikan anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 342 KUHP Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena akan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 89 KUHP

Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Pasal 285 KUHP Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena memperkosa, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 286 KUHP Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan hal itu diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 287 KUHP (1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu berdasarkan pasal 291 dan pasal 294. Pasal 288 KUHP (1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan penjara paling lama delapan tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas ahun. Pasal 289 KUHP Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 44 KUHP (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan

supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. (3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Pasal 222 KHUP Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Yang berhak meminta visum et repertum Yang berhak meminta visum et repertum adalah penyidik,hakim pidana,hakim perdata dan hakim agama. Penyidik Penyidik adalah pejabat polisi negara tertentu dengan pangkat serendah-rendahnya pelda,sedangkan pangkat terendah untuk penyidik pembantu adalah serda.Di daerah terpencil mungkin saja seorang dengan pangkat serda diberi wewenang sebagai penyidik karena ia komandan. Hakim pidana Hakim pidana biasanya tidak langsung minta visum et repertum pada dokter,tetapi memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi berita acara pemeriksaan dengan visum et repertum.Kemudian jaksa melimpahkan permintaan hakim kepada penyidik. Hakim perdata Dasar hukumnya:HIR pasal 154 Karena di sidang pengadilan perdata tidak ada jaksa,maka hakim perdata minta langsung visum et repertum kepada dokter.Sebagai contoh adalah sidang pengadilan mengenai penggantian kelamin Iwan robyanto iskandar menjadi Vivian rubiyanti iskandar. Hakim Agama Dasar hukumnya:Undang-undang No.14.tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 10. Hakim agama mengadili perkara yang bersangkutan dengan agama islam,sehingga permintaan visum et repertum hanya berkenaan dengan hal syarat untuk berpoligami,syarat untuk melakukan perceraian dan syarat waktu tunggu (idah) seorang janda.(2)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN PEMBUNUHAN BAYI DI WILAYAH DIY TESISDisusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu Hukum

Oleh: SUSI HADIDJAH, SH Pembimbing: PROF. DR. NYOMAN SERIKAT PUTRA JAYA, SH, MH. PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008ii

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN PEMBUNUHAN BAYI DI WILAYAH DIY Disusun Oleh: SUSI HADIDJAH, SH NIM. B002.93.039 Dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Pada Tanggal : 24 Desember 2008 Tesis ini telah diterima sebagai persyaratan untuk memperoleh Gelar Magister Ilmu HukumMengetahui, Pembimbing, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Prof.Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH, MH. Prof.Dr. Paulus Hadisuprapto, SH.MH. NIP. 130 529 438 NIP. 130 531 702 iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH Dengan ini saya, Susi Hadidjah, SH., menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Tesis ini adalah asli hasil karya saya sendiri dan Karya Ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) maupun Magister (S2) dari Universitas Diponegoro maupun Perguruan Tinggi lain. Semua informasi yang dimuat dalam Karya Ilmiah ini yang berasal dari penulis lain baik yang dipublikasikan atau tidak, telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis secara benar dan semua isi dari Karya Ilmiah/Tesis ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis. Semarang, 24 Desember 2008 Penulis

iv

ABSTRACTBackground: Indonesian people has been longly human right that origin from Pancasila and Undang-undang Dasar 1945. So, it can be said that Inndnesia people also has great attention of human right principally for protecting individuals right. Child is lovely one who preciousless for every family, as heir and someone that continuos both of his parents. Nowdays, news that neonatal founded in death condition which got into the plastic bag or in garbage issue at mass media frequenly. Objectives: Generally to know and analized law enforcement rights to do infanticide as legislation now a days. To know and analized law enforcement rights at infanticide in DIY area. To know and analized law enforcement which in abbreviation in to the legislation in the future. Methods: This reasearch uses approach which oriented in legislation approach by empiric yuridical approach. Conclusions: Generally law enforcement of infanticed management in legislation recently enforcement at DIY area solved as same as criminal,s case. However, the rule of criminalsm law enforcement inthe future legislation, concept of KUHP Paragraf 526 and Paragraf 527 in 2008, rules about abandon and dump the child but not specifically rules for infanticide. Keywords: criminals law, criminals act, infanticide. v

ABSTRAKLatar Belakang; Masyarakat Indonesia telah lama mengenal hak asasi yang bersumber pada Pancasila dan Undang- Undang Dasar Tahun 1945. Jadi dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia juga mempunyai perhatian yang besar terhadap hak asasi manusia yang pada prinsipnya untuk melindungi hak-hak individu. Anak adalah buah hati yang sangat berharga bagi setiap keluarga, sebagai pewaris dan penerus kedua orang tuanya. Sekarang ini berita-berita tentang ditemukannya bayi baru lahir dalam keadaan meninggal yang dimasukan dalam tas plastik atau di bak sampah sering dimuat di media masa. Permasalahan; Bagaimana penegakan hukum pidana secara umumdalam penanggulangan pembunuhan bayi dalam perundang-undangan dewasa ini? Bagaimana praktek penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi di wilayah DIY. Bagaimana penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi, yang sebaiknya dirumuskan dalam perundang-undangan di masa yang akan datang.? Metode Penelitian; Penelitian ini digunakan pendekatan yang berorientasi pada pendekatan hukum yang ditempuh lewat pendekatan yuridis empiris. Hasil pembahasan; Penegakan Hukum Pidana secara umum dalam penanggulangan pembunuhan bayi dalam perundang-undangan dewasa ini yaitu Pasal 341 dan Pasal 342 KUHP. Praktek penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi di wilayah DIY dalam penyelesaiannya sama dengan penyelesaian kasus pidana.Sedangkan pengaturan penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi dalam perundang-undangan yang akan datang yaitu Pasal 526 dan Pasal 527 KONSEP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Tahun 2008 mengatur mengenai meninggalkan anak dan membuang anak, tetapi tidak khusus mengatur tentang pembunuhan bayi.

Kata kunci; Hukum Pidana, Perbuatan Pidana, Pembunuhan bayi. vi

KATA PENGANTARPuji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas perkenannya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Pembunuhan Bayi Di Wilayah DIY, sebagai syarat akhir studi Pasca Sarjana Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang. Penulis menyadari tesis ini masih kurang ada kekurangannya atau masih jauh dari sempurna, namun penulis tetap berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Yth; 1. Bapak Prof. DR. PAULUS HADISUPRAPTO,SH.MH., selaku Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum dan selaku Tim Review Proposal. 2. Bapak Prof. DR. NYOMAN SERIKAT PUTRA JAYA, SH.MH., selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini. 3. Bapak Prof. DR. H. BARDA NAWAWI ARIEF, SH.MH., selaku Tim Review Proposal. 4. Bapak EKO SOPONYONO, SH.MH, selaku Tim Review Proposal 5. Para Guru Besar, Staf Pengajar,dan Bagian Pendidikan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan bimbingan dalam memperdalam keilmuan sebagai akademisi selama perkuliahan. 6. Kepala Kepolisian Yogyakarta, Bantul,Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian. vii 7. Bapak Kepala Kejaksaan Negeri Yogyakarta,Bantul, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian. 8. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta, Bantul, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian. 9. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 10. Ibu Kepala Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.Yang telah memberikan ijin untuk menyelesaikan studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum di Semarang.Juga memberikan ijin untuk penelitian. 11. Bapak Hartono Brojokusumo (suami), dan anak-anak Harumurti Kusumawardhana, ST dan Whisnu Agus Suryanto, SH. yang selalu memberi dorongan semangat, doa dan bantuan selama proses studi dan penyelesaian tesis ini. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan baik dalam doa maupun perbuatan selama penulis mengikuti pendidikan Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang. Semoga amal kebaikan bapak, ibu dan saudara sekalian mendapatkan pahala dari ALLAH SWT, dan tesis ini bermanfaat bagi para pembaca. Semarang, .................................2008 Penulis SUSI HADIDJAH, SH.

viii

DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL................................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ................................. iii ABSTRAK ................................................................................................................ iv KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ................................................................... 1 B. PERUMUSAN MASALAH .......................................................... 8 C. TUJUAN PENELITIAN ............................................................... 9 D. KEGUNAAN PENELITIAN ........................................................ 9 E. KERANGKA TEORI ..................................................................... 9 F. METODE PENELITIAN ............................................................... 16 G. SISTEMATIKA PENULISAN ....................................................... 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERBUATAN PIDANA, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PEMIDANAAN.............................................................................. 20 B. PENGERTIAN PEMBUNUHAN BAYI (INFANTICIDE) DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA .................................. 31 C. KONSEP PEMBERIAN PIDANA DAN SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM KASUS PEMBUNUHAN BAYI ..................... 34 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA A. PENEGAKAN HUKUM PIDANA SECARA UMUM DALAM PENANGGULANGAN PEMBUNUHAN BAYI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DEWASA INI ................................. 38 1. PROSES PENYIDIKAN PEMBUNUHAN BAYI .................... 40 2. PERAN BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK PADA PEMBUNUHAN KASUS BAYI .............................................. 44 ix B. PRAKTEK PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN PEMBUNUHAN BAYI DI WILAYAH DIY................................................................................................... 54 C. PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN PEMBUNUHAN BAYI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI MASA YANG AKAN DATANG .................................................. 66 1. PRINSIP YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN OLEH HAKIM DALAM MEMERIKSA KASUS PEMBUNUHAN BAYI ..... 69 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN............................................................................... 77 B. SARAN ............................................................................................ 78 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 79 LAMPIRAN: 1. SURAT KETERANGAN PENELITIAN DARI KEPOLISIAN KOTA BESAR DIY, POLRES BANTUL, POLRES SLEMAN.

2. SURAT KETERANGAN PENELITIAN DARI KEJAKSAAN NEGERI YOGYAKARTA, BANTUL, DAN SLEMAN. 3. SURAT KETERANGAN PENELITIAN DARI PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTA, BANTUL, DAN SLEMAN x

BAB I PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG Negara Hukum menurut Undang-undang Dasar 1945 adalah negara hukum dalam arti yang luas, yang menjamin hak-hak dan kewajiban asasi warga negara/manusia, memajukan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila1. Hal ini berarti bahwa Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam Negara hukum Republik Indonesia penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara. Apabila hak asasi seseorang dilanggar oleh orang lain, maka orang tersebut akan selalu menuntut dan memperjuangkan terlaksananya hak asasi ini dengan segala cara. Hal ini dikarenakan hak-hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang dimiliki sejak bayi dalam kandungan lahir dan hidup di dalam kehidupan masyarakat. Dalam sejarah kemanusiaan, tak sedikit yang mencatat kejadian dimana seseorang atau segolongan manusia memperjuangkan apa yang dianggap haknya. Hal ini terbukti dengan lahirnya naskah-naskah keuniversalan dan keasasian beberapa hak yang mengandung inti yang sama yaitu manusia tidak ingin dirampas hak asasinya. Namun, hak asasi bangsa Indonesia yang dikenal dalam kehidupan masyarakat tidak hanya menonjolkan hak-haknya saja sebagai hak individu yang dituntutnya melainkan harus dipenuhi pula kewajiban-kewajibannya. Sebenarnya masyarakat1 Barda

Nawawi Arief, Kumpulan Hasil Seminar Nasional ke-1 s/d ke-, dan Konvensi Hukum Nasional 2008, Pustaka Magister, Semarang, 2008.

xi Indonesia telah lama mengenal hak asasi yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia juga mempunyai perhatian yang besar terhadap hak asasi manusia yang pada prinsipnya untuk melindungi hak-hak individu. Anak adalah buah hati yang sangat berharga bagi setiap keluarga, sebagai pewaris dan penerus kedua orang tuanya. Sedangkan seorang ibu adalah sosok yang penuh kasih sayang, apapun dikorbankan demi anak buah hati. Tetapi sekarang ini berita-berita tentang ditemukannya bayi baru lahir dalam keadaan meninggal yang dimasukan dalam tas platik sering dimuat di media masa. Seorang gadis berparas cantik X ( 17 tahun ) Warga Purwobinangun, Pakem Sleman,Daerah Istimewa Yogyakarta nekat membunuh bayi yang baru di lahirkannya. Kenekatan X di duga karena merasa malu mengingat bayi yang berjenis kelamin laki-laki itu merupakan hasil hubungan gelap dengan F yang tak lain kakak iparnya sendiri2 . Di Sumber Agung, Kecamatan Jetis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, seorang pelajar SMA Swasta, T (17 tahun) membunuh bayinya yang baru dilahirkan karena hubungan gelap dengan pacarnya yang tidak mau bertanggung jawab3. Selain,

dua kasus di atas, bisa juga dilihat kasus yang diperiksa di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Di dusun Bongoskenthi, desa Murtigading, Sanden, Kabupaten Bantul, seorang ibu, Ny. IW (40 tahun), pada hari minggu 23 Maret 2008, sekitar pukul 06.302 Surat 3 Surat

Kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta: 11 September 2008. Kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta: 12 Oktober 2007.

xii WIB, membunuh bayi yang baru dilahirkannya dengan memasukkan bayi ke dalam lubang kloset.4 Kejahatan pembunuhan bayi bukan hanya merusak nilai-nilai asas manusia, tetapi telah merendahkan derajat manusia, karena masalah moralitas agama melekat pada seorang manusia juga tidak kalah memegang peranan penting dalam terjadinya tindak pidana pembunuhan bayi. Oleh sebab itu, menurut Barda Nawawi Arif, Hukum pidana yang paling dekat dan paling syarat dengan nilai-nilai kejiwaan atau moralitas.5 Masalah pembunuhan bayi merupakan sebutan yang bersifat umum bagi setiap perbuatan merampas nyawa bayi di luar kandungan, sedangkan infanticide (yang dikenal di negara-negara Common Law) merupakan sebutan yang bersifat khusus bagi tindakan merampas nyawa bayi yang belum berumur satu tahun oleh ibu kandungnya sendiri. Pengkhususan infanticide sebagai tindak pidana yang hukumannya lebih ringan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa kondisi mental pada saat hamil, melahirkan dan menyusui sangat labil dan mudah terguncang akibat gangguan keseimbangan hormon.6 Disamping alasan tersebut ada motivasi untuk melakukan kejahatan adalah karena si ibu takut ketahuan bahwa ia telah melahirkan anak, oleh karena anak tersebut adalah anak sebagai hasil hubungan gelap atau anak yang tidak diinginkan. Selain alasan itu adalah saat dilakukan tindakan menghilangkan nyawa si anak, yaitu pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian yang dalam hal ini patokannya adalah sudah ada atau belum ada tanda4 Surat

Kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta: Maret 2008. Nawawi Arif. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. P.T Citra Aditya Bakti. Bandung 2001 6 Dahlan Sofwan, Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 2000, hal.1415 Barda

xiii tanda perawatan, dibersihkan, dipotong tali pusatnya, atau diberi pakaian. Saat dilakukannya kejahatan tersebut dikaitkan dengan keadaan mental emosional dari si ibu dimana selain rasa malu, takut, benci, bingung serta rasa nyeri bercampur aduk menjadi satu sehingga perbuatan itu dianggap dilakukan tidak dalam keadaan mental yang tenang, sadar serta perhitungan yang matang. Inilah yang menjelaskan mengapa ancaman hukuman pada kasus pembunuhan bayi/anak lebih ringan dibandingkan dengan kasus-kasus pembunuhan lainnya. Hukum sebagai salah satu tiang utama dalam menjamin ketertiban masyarakat, diharapkan mampu mengantisipasi segala tantangan kebutuhan, kendala-kendala yang menyangkut sarana dan prasarana serta peluang yang terjadi sebagai akibat dari hasil pembangunan yang telah dicapai. Hukum harus dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam Pembukaan UUD 1945 telah dirumuskan, tujuan negara ialah; melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan Pancasila. Inilah yang menjadi

landasan dan tujuan politik hukum di Indonesia dan usaha pembaharuan hukum termasuk pembaharuan di bidang hukum pidana, serta kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pembunuhan bayi di Indonesia. Dengan adanya reformasi maka semangat untuk menanggulangi pembunuhan bayi yang sudah sejak lama ada lebih digiatkan dan sangsinya berat, tetapi tidak menyurutkan seorang remaja atau ibu melakukan pembunuhan bayi Hal semacam ini dapat dipahami karena proses penegakan hukum dalam upaya penanggulangan pembunuhan bayi, masih menunjukkan permasalahan dan kendala. Oleh karena itu apabila tujuan dan dasar pemikiran kepada upaya xiv pencegahan dan penanggulangan pembunuhan bayi sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002: bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. a. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. b. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan; c. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.7 Dalam Deklarasi hak-hak anak yang ditetapkan oleh PBB pada 20 November 1959 dalam Resolusi Sidang Majelis Umum PBB, dalam mukadimahnya bahwa seorang anak dalam keadaan masih belum matang jasmani dan rokhani membutuhkan upaya pembinaan dan perlindungan khusus (termasuk perlindungan hukum) baik sebelum maupun sesudah lahir. Pemerintah Indonesia mengakui Deklarasi Hak-Hak Anak (Universal) dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1979 yang antara lain menyebutkan bahwa anak berhak atas7 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Penerbit Citra Umbawa, Bandung:

2003

xv pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. 8 Dalam menggunakan dasar penal,praktek penegakan hukum khususnya dalam proses penanggulangan pembunuhan bayi bersumber pada 3 hal, yaitu; 1. Tahap kebijakan Formulasi atau legislatif; 2. Tahap kebijakan Yudikafif atau Aplikatif, dan 3. Tahap kebijakan Eksekusi atau Administratif.9 Lebih jauh Peter Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief mengemukakan, bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasanya dikenal dengan istilahPolitik Kriminaldapat meliputi ruang lingkup yang lebih luas. Upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:10 a. Penerapan Hukum Pidana ( Criminal Law Aplication); b. Pencegahan tanpa Pidana (Prevention Without Punishment);

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat dan pemidanaan lewat media massa (Influencing Views of Society on Crime andPunishment Mass Media). Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu; 1. lewat jalur penal (hukum pidana); 2. lewat jalur non penal (di luar hukum pidana) Upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Perbedaannya adalah:8 Anonim,

Citra Anak Indonesia, Kerja sama Kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI dengan Departemen Sosial Jakarta, 1988. 9 Barda Nawawi Arief, Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung; Citra Aditya Bakri, 2001, hal 75. 10 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Kriminal, Bandung; Citra Aditya Bakri, 2002.

xvi Social-Welfare Policy a. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindasan, pemberantasan, penumpasan), sesudah kejahatan terjadi. b. Upaya-upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal (pencegahan, penangkalan, pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Menurut Barda Nawawi Arief, sekiranya dalam kebijakan penanggulangan kejahatan atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy). Hal ini dapat dilihat dari skema berikut:11 Gambar 1. Penal policy menurut Barda Nawawi Arif11 Barda

Nawawi Arief, Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,Bandung; Citra Aditya Bakri, 2001, hal 73-74.

Social Policy Social-DefencePolicy Criminal Policy Goal SW/SD Penal: - Formulasi - Aplikasi - Eksekusi Non Penal xvii Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal law enforcement policy operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi (kebijakan legislatif); tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulisan ini didasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut; 1. Law Enforcement Policy secara umum sebagai kebijakan hukum, dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari upaya perlindungan terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan bayi, dan juga korbannya.

2. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku pembunuhan bayi para pelaksana hukum dari mulai penangkapan, penahanan, dan sampai pemeriksaan, ada tidak pelanggaran hak asasi manusia. 3. Polisi, Jaksa, Hakim dalam melaksanakan tugas sudah sesuai belum dengan peraturan/undang-undang yanng berlaku. Berdasarkan latar belakang seperti yang diuraikan di atas, maka dalam penulisan ini, penulis mengambil judul: PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN PEMBUNUHAN BAYI DI WILAYAH DIY . B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah: 1. Bagaimana pengaturan penegakan hukum pidana secara umum, dalam penanggulangan pembunuhan bayi dalam perundang-undangan dewasa ini? xviii 2. Bagaimana praktek penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi di wilayah DIY? 3. Bagaimana sebaiknya pengaturan penanggulangan pembunuhan bayi, yang dirumuskan dalam perundang-undangan di masa yang akan datang? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini bertolak dari perumusan tersebut di atas adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis penegakan hukum pidana secara umum dalam penanggulangan pembunuhan bayi dalam perundang-undangan dewasa ini. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis praktek penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi di wilayah DIY. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi, yang sebaiknya dirumuskan dalam perundang-undangan di masa yang akan datang. D. KEGUNAAN PENELITIAN 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi terhadap penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi serta sumbangan penelitian pada bidang ilmu hukum pidana. xix 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam rangka meningkatkan kualitas penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi di dalam pengambilan keputusan. E. KERANGKA TEORI Anak adalah buah hati yang sangat berharga bagi setiap keluarga, sebagai pewaris dan penerus kedua orang tuanya. Sedangkan seorang ibu adalah sosok yang penuh kasih sayang, apapun dikorbankan demi anak buah hatinya. Oleh karena itu seorang anak harus mendapatkan perlindungan baik masih dalam kandungan maupun setelah dilahirkan.Tetapi sekarang ini berita-berita tentang ditemukannya bayi yang baru lahir dalam keadaan meninggal karena dibunuh oleh ibunya, seringkali dijumpai di media massa.

Soedarto memberi arti pada penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh- sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potenti)12 Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiranpikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan- peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai12 Sudarto,

Kapita Selekta Hukum Pidana,Bandung Alumni 1985, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung Alumni 1988.

xx kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.13 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto: Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral.14 Sebagai generasi penerus bangsa, seorang bayi harus ditempatkan pada posisi yang aman sebagai mana yang ditegaskan pada akhir Deklarasi PBB, tanggal 25 November 1959, tentang Hak-hak anak, bahwa anak-anak haruslah dibesarkan dalam semangat jiwa yang penuh pengertian, toleransi persahabatan antar bangsa, perdamaian dan persaudaraan yang bersifat universal. Kejahatan pembunuhan bayi bukan hanya merusak nilai-nilai asas manusia , tetapi telah merendahkan derajat manusia, karena masalah moralitas agama melekat pada seorang manusia juga tidak kalah memegang peranan penting dalam terjadinya tindak pidana pembunuhan bayi. Oleh sebab itu, menurut Barda Nawawi Arief, dan dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang dimaksud menciptakan hukum positif secara nasional, tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai yang timbul dan berkembang dalam masyarakat hukum yang hidup dalam masyarakat, karena13 Satjipta

Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1983, hal 24. 14 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983, hal 5.

xxi masyarakat memegang teguh nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pedoman untuk berbuat dan tidak berbuat. Berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dalam kepustakaan asing. juga dikenal dengan berbagai istilah lain, diantaranya adalah penal policy, criminal law policy, atau stafrecht politeik.15

Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang atau hukum pidana, pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat atau social defence, dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat atau social welfare. Oleh karena itu, wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dan kebijakan politik atau social policy. Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi, di dalam pengertian social policy tercakup pengertian social welfare policy dan social defence policy.16 Penggunaan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk mengatasi masalah sosial atau kejahatan termasuk dalam bidang penegakan hukum, khususnya hukum pidana sehingga sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari penegakan hukum (law enforcement policy).17 Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang mengatakan bahwa hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum15 Barda

Nawawi Arief , Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP( Semarang 1984) hal 28. 16 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kedua Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakri, Bandung;2002 17 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1983.

xxii manakala ia tidak pernah dilaksanakan (lagi).18 Dan diketahui pula, bahwa hukum dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum itulah terkandung tindakantindakan yang harus dilaksanakan, yang tidak lain berupa penegakan hukum itu.19 Untuk mewujudkan hukum sebagai ide-ide menjadi kenyataan, maka sebetulnya kita sudah memasuki bidang manajemen. Dan, menurut Shrode dan Voich, sebagaimana telah dikutip oleh Satjipto Rahardjo, manajemen adalah seperangkat kegiatan atau suatu proses mengkoordinasikan dan mengintegrasikan penggunaan sumber-sumber daya dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi melalui orang-orang, teknik-teknik dan informasi, dan dijalankan dalam kerangka suatu strukur organisasi.20 Perwujudan hukum sebagai ide-ide membutuhkan suatu organisasi yang cukup kompleks. Negara yang harus campur tangan dalam mewujudkan hukum yang21, abstrak ternyata harus mengadakan berbagai macam badan untuk keperluan tersebut, seperti pengadilan; kejaksaan; kepolisian; pemasyarakatan; dan juga badan perundang-undangan.22 Hal ini dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:2318 Satjipto

Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Sinar Baru, Bandung Tanpa Tahun 19 Satjipto Rahardjo, Loc.Cit, hal16 20 Satjipto Rahardjo, Loc, Cit, hal 16-17 21 Ibid, hal .16 22 Ibid, hal 5 23 Satjipto Rahardjo, Loc, Cit, hal 16.

TujuanTujuan

Hukum Organisasi Organisasi Organisasi Organisasi - Perumusan UU, Hak, Kewajiban, Hubungan Hukum dan sebagainya. - Keputusan-keputusan Pengadilan - Kondisi Ketertiban, keamanan - Dan sebagainya. xxiii Gambar 2. Perwujudan Tujuan Hukum Melalui Organisasi Untuk dapat menjalankan tugasnya, organisasi yang dituntut untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum itu perlu mempunyai suatu tingkat otonomi tertentu. Otonomi mencapai tujuan organisasi. Sumber-sumber daya ini menurut Satjipto Rahardjo adalah:24 1. Sumber daya manusia, seperti hakim, polisi, jaksa, panitera. 2. Sumber daya fisik, seperti gedung, perlengkapan, kendaraan. 3. Sumber daya keuangan, belanja negara dan sumber-sumber lain. 4. Sumber daya selebihnya yang dibutuhkan untuk menggerakkan organisasi dalam usahanya mencapai tujuan. Menurut Soerjono Soekanto, bahwa masalah pokok dari penegak hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu:25 1. Faktor hukum (Undang-Undang). 2. Faktor Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku dan diterapkan.24 Satjipto

Rahardjo, Loc, Cit, hal 18 Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983, hal.525 Soerjono

xxiv 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Mengenai penegakan hukum atau bekerjanya hukum di dalam masyarakat, Robert B. Seidman, secara teoritis memberikan penjelasan sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo yang dapat digambarkan dalam sebuah bagan sebagai berikut:2626 Satjipto

Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: 1980, Alumni, Hal.27

Lembaga Pembuat Peraturan Lembaga Penerap Peraturan Lembaga Penerap

Peraturan Aktivitas Penerapan Faktor-faktor sosial dan personal lainnya Faktor-faktor sosial dan personal lainnya Umpan Balik Umpan Balik xxv Gambar 3. Diagram Chambliss dan Seidman mengenai Proses Penegakan Hukum. Dalam teori tersebut, terdapat tiga komponen utama pendukung bekerjanya hukum dalam masyarakat. Ketiga komponen tersebut meliputi: 1) Lembaga Pembuat Peraturan; 2) Lembaga Penerap Peraturan; 3) Pemegang Peran. Dan dari ketiga komponen dasar tersebut, Robert B. Seidman mengajukan beberapa dalil, sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, sebagai berikut:27 Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seorang pemegang peran itu diharapkan bertindak. 1. Bagaimana seorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya. Sanksi-sanksi, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana, serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain-lain mengenai dirinya. 2. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, dan lain-lain yang mengenai diri mereka, serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peran. 3. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, ideologis,27 Satjipto

Rahardjo, Op.Cit, Hal.28

xxvi dan lain-lain yang mengenai diri mereka, serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peran serta birokrasi. Sedangkan Sudarto memberi arti pada penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie)28 F. METODE PENELITIAN Pendapat Soerjono Soekanto ;tentang penelitian dengan mengatakan: Penelitian hukum dimaksudkan sebagai kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau lebih gejala-gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktafakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam segala hal yang bersangkutan.29 1. Metode Pendekatan

Permasalahan pokok dalam penelitian ini merupakan bagian pokok dari penegakan hukum. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang berorientasi pada pendekatan hukum yang ditempuh lewat pendekatan yuridis normatif . Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, data primer lebih bersifat sebagai penunjang. 2. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis. 3. Jenis Data28 Soedarto, 29 Soerjono

Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung; 1986. Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta.UI Press, 1981.

xxvii Sumber data yang digunakan dari sumber primer dan sumber sekunder. Untuk data sekunder, sumber primer yang digunakan berpusat pada perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang pembunuhan bayi, yaitu: KUHP; Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter; Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sumber sekunder yang digunakan berupa dokumen atau Konsep KUHP 2008, pendapat para ahli hukum, ahli medis serta hasil penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya yang menyangkut pembunuhan bayi. Di samping itu, digunakan pula data sekunder yang berupa putusan perkara pembunuhan bayi di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta dan Pengadilan Negeri Sleman, Pengadilan Negeri Bantul. Sedangkan, data empiris digunakan data primer dari hasil wawancara dengan polisi, jaksa, hakim, dan ahli kedokteran forensik Yogyakarta. 4. Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data untuk penyusunan dan pembahasan penulisan hukum ini, penulis memakai metode-metode: a. Kepustakaan (Library Research) Yaitu dengan mempelajari buku-buku jurnal, makalah dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Wawancara/interview 1) Wawancara secara langsung kepada pihak-pihak yang bersangkutan sebagai responden, dengan menggunakan pedoman yang berupa penanggulangan pembunuhan bayi. xxviii 2) Wawancara dengan daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, dalam arti pertanyaan tersebut hanya memuat garis besar saja, sehingga tidak menutup kemungkinan diajukannya pertanyaan-pertanyaan baru, sepanjang masih ada hubungannya dengan permasalahan. c. Teknik Dokumentasi Yaitu mengumpulkan data dengan cara mempelajari, meneliti dokumendokumen atau berkas, karena berkas yang berkaitan dengan pembunuhan bayi. 5. Metode Analisis Data Setelah data berhasil dikumpulkan, disajikan secara sistematis, selanjutnya akan dianalisa secara kualitatif dengan penguraian secara deskriptif. Normatif, karena penelitian ini bertolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif. Deskriptif, karena penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan secara

keseluruhan dan sistematis mengenai kebijakan legislatif dalam merumuskan peraturan perundangan yang berlaku sekarang dan yang akan datang, serta penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi di DIY. G. SISTEMATIKA PENULISAN Penulisan, untuk Bab I: Pendahuluan dilanjutkan Bab II: Tinjauan Pustaka, akan dibahas tentang: A. Perbuatan Pidana, Pertanggung jawaban Pidanna, Dan Pemidanaan, B. Pengertian Pembunuh Bayi Menurut Perundang-undangan Di Indonesia, C. Konsep Pemberian Pidana dalam kasus pembunuhan Bayi Di Wilayah DIY. xxix Sesuai dengan uraian dalam Bab I dan Bab II, maka Bab III berisi tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan, dari penelitian berikut akhirnya, tesis ini diakhiri dengan Bab IV, merupakan Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. xxx

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. PERBUATAN PIDANA, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PEMIDANAAN Dalam penulisan tesis ini diketengahkan 3 (tiga) masalah :(1) penegakan hukum pidana dalam menanggulangi pembunuhan bayi dalam perundang-undangan dewasa ini, (2) praktek penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi di wilayah DIY, (3) penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi, yang dirumuskan dalam perundang-undangan dimasa datang, merupakan masalah penting, khususnya apabila dikaitkan pengertian pembunuhan bayi oleh ibu kandung sendiri (infanticide) baik disengaja maupun direncanakan akibat perzinahan dan perkosaan. Moeljatno, dalam berbagai tulisannya pernah mengatakan bahwa perbuatan pidana dapat disamakan dengan Criminal act. Beliau menolak dengan tegas untuk menggunakan istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah Strafbaar feit atau delict.30 Senada dengan pendapat Moeljatno, Roeslan Saleh juga mengatakan bahwa perbuatan pidana itu dapat disamakan dengan criminal act, jadi berbeda dengan istilah Strafbaar feit yang meliputi pertanggung jawaban pidana. Criminal act menurutnya berarti kelakuan dan akibat, yang lazim disebut dengan actu reus. Perbuatan pidana (criminal act) harus dibedakan dengan pertanggung jawaban pidana30 Moeljatno,

Pengantar Ilmu Hukum Pidana, Yogyakarta, 1983

xxxi (criminal responsibility). Oleh karena itu pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggung jawaban pidana. Unsur perbuatan pidana adalah sifat melawan hukumnya perbuatan, sedangkan unsur pertanggung jawaban pidana adalah bentuk-bentuk kesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) serta tidak adanya alasan pemaaf. Alasan pemaaf yaitu alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa. Adapun asas dari pertanggung jawaban pidana adalah tidak dipidana apabila tidak ada kesalahan. Ini berarti, bahwa kalau ada alasan pemaaf, terdakwa harus dilepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging).

Roeslan Saleh mengikuti pendapat Moeljatno, dengan menamakan kesengajaan dan kealpaan itu sebagai bentuk-bentuk kesalahan., Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan, maka yang ditinjau adalah sifat-sifat dari orang yang melakukan perbuatan tersebut. Sifat-sifatnya ini dilihat pada saat dia melakukan perbuatan pidana 31. Sifat melawan hukum dari pada perbuatan pidanaadalah bagian dari Ilmu Hukum Pidana, demikian pendapat dari Roeslan Saleh. Beliau menambahkan bahwa32; Bersifat melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum, yaitu lebih luas dari pada bertentangan dengan undang-undang. Selain dari pada peraturan undang-undang disini haruslah diperhatikan aturan-aturan yang tidak tertulis. Adapun asas daripada perbuatan pidana adalah asas legalitas, yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Seperti telah dikemukakan dimuka, bahwa sifat31 Roeslan

Saleh, Perbuatan pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Jakarta, Aksara Baru, Cetakan kedua,1981, hal 150. 32 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana.Jakarta, Aksara Baru, 1981, Cetakan ketiga.

xxxii melawan hukumnya perbuatan, berarti tidak ada alasan pembenar.Alasan pembenar inilah yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam praktek Pengadilan, apabila ada alasan pembenar, maka terdakwa haruslah dibebaskan dari segala dakwaan (Vrijspraak) yang lazim disebut bebas murni,sesuai dengan pasal 191 ayat (1) KUHAP. Apabila ada alasan pemaaf, terdakwa harus dilepas dari tuntutan hukum, ini berarti bebas tidak murni (ontslag van rehctsvervolging) sesuai dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Dalam hal putusan Pengadilan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari tuntutan hukuman, maka dalam amar putusan Pengadilan harus memuat rehabilitasi yang berbunyi: Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) BABV tentang Rehabilitasi dalam PP tentang pelaksanaan KUHAP, dan upaya hukumnya adalah kasasi ke Mahkamah Agung RI. Berbicara tentang pidana dan pemidanaan sangat luas sekali lingkupnya, oleh karena itu dalam pembahasan kali ini, penulis akan membatasi pembicaraan dalam konteks, formulasi pidana dan pedoman pemidanaan nya sehingga dengan demikian dapat terarah dengan jelas. Memulai pembicaraan ini, kiranya tidak perlu lagi diuraikan mengenai pengertian pidana dan pemidanaan itu secara harfiah/ maknawiah. Namun secara singkat dapat diartikan dalam konsep sistem, sehingga pidana dapat diartikan sebagai susunan dan pemidanaan diartikan sebagai cara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana merupakan hasil konsruksi lembaga yang berwenang, dalam hal memformulasikan pidana tersebut xxxiii dalam batasan-batasan yang sejelas mungkin dengan sanksi yang tegas, sehingga dapat mereaksi perbuatan pidana yang dilakukan oleh individu maupun oleh Badan hukum. Dalam memformulasikan pidana (susunan), hukum pidana dapat dilihat dalam sudut pandang sebagai berikut: a. Strafaatmaat, yaitu dalam aspek lamanya pidana,

b. Strafsoort yaitu dalam aspek jenis pidana, dan c. Strafaatmodus, yaitu dalam aspek pelaksanaan pidana. Sedangkan pemidanaan(cara) dipandang dalam konteks; 1. Pola pemidanaan ; 2. Tujuan pemidanaan; dan 3. Pedoman pemidanaan. Kejahatan dalam arti kriminologi menurut Roeslan Saleh masih dibutuhkan upaya-upaya adat untuk memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu (misalnya terhadap delik perkosaan), baik yang dilakukan oleh orang dewasa maupun remaja, dimana remaja sebagai korbannya, maupun remaja sebagai pelakunya. Pidana penjara saja tidaklah cukup, masyarakat belum bersih dari kotoran batin. Pengadilan tidak berwenang untuk memerintahkan upaya-upaya adat tersebut diatas, kecuali sebagai syarat istimewa pada pidana bersyarat.33 Berbicara tentang pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya setelah melahirkan yang diatur Pasal 341 dan Pasal 342 KUHP juga terdapat dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Adanya aturan dalam Pasal 341 dan Pasal 342 sebagai akibat Pasal 284 KUHP tentang delik perzinahan. Barda Nawawi Arief memaparkan sebagai berikut:33 Roeslan

Saleh, Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana (Jakarta,Aksara Baru,1981), Cetakan Ketiga

xxxiv A. Perumusan delik perzinahan dalam Pasal 284 KUHP (yang didalam Konsep disebut dengan istilah permukahan) mengalami perubahan redaksional, walaupun inti deliknya sama, yaitu: Pria/Wanita telah kawin, melakukan persetubuhan dengan orang lain yang bukan istri/suaminya; dan Seorang yang melakukan persetubuhan dengan orang lain yang sudah kawin. Sejak Konsep pertama Buku II tahun 1977 (disebut KonsepBAS) s/d Konsep 1991/1992 edisi revisi bulan Desember 1992, delik permukahan ini oleh Konsep tidak lagi dijadikan delik aduan (berarti menjadi delik biasa); tetapi dalam perkembangan terakhir Maret 1993, dirubah kembali menjadi delik aduan.Hal semacam ini seharusnya dilihat dari pendekatan kebijakan (policy-oriented approach) B. Perumusan delik perkosaan yang diatur dalam pasal 285 KUHP;Barang siapa dengan kekerasan dan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. C. Selain itu masih ada lagi pasal 287 dan pasal 289 KUHP.34 Dilihat sebagai salah satu delik masalah kebijakan (policy), banyak faktor dan alternatif yang perlu dipertimbangkan,antara lain; 1. Konsep nilai dan kepentingan yang melatar belakangi sifat dan hakikat delik perzinahan.34 Bahan

Ceramah, Diklat Aparatur Penegak Hukum, Depkumdang, Di Pusdiklat Cinere, Jakarta, 28 Januari 2000.

xxxv 2. Aspek tujuan dari kebijakan / politik kriminal 3. Aspek nilai kesusilaan nasional, faktor kriminogen dan dampak negatif

4. Aspek kepentingan individu dan alternatif teknik perumusan delik aduan. Dalam pasal 287 s/d pasal 289 KUHP yang mengatur mengenai delik perkosaan dan percabulan dalam konsep KUHP yang akan datang lebih diperluas, sedangkan Pasal 284 s/d 289 KUHP sebagai akibat terjadinya pembunuhan bayi baik yang dilakukan oleh remaja maupun ibu. Delik perzinahan pada hakekatnya termasuk salah satu delik kesusilaan yang erat hubungannya dengan nilai-nilai kesucian dari lembaga perkawinan. Jadi masalah sentralnya bukan berkisar masalah, apakah perzinahan itu delik aduan atau bukan, tetapi masalah sentralnya harus melihat pada masalah pandangan dan konsep nilai masyarakat mengenai nilai-nilai kemanusiaan dan kesucian dari lembaga perkawinan itu sendiri. Menurut pandangan Baratyang individualistik-liberalistik, hak-hak dan kebebasan individu (termasuk dibidang hubungan seksual/moral) sangat menonjol dan dijunjung tinggi. Sepanjang hubungan seksual/moral itu bersifat individual, bebas tanpa paksaan dianggap wajar dan tidak tercela. Oleh karena itu wajar perzinahan dalam lembaga perkawinan bersifat sangat pribadi (privat), konsekuensinya perzinahan dipandang delik aduan. Yang melatar belakangi konsep delik aduan menurut WvS (KUHP) yang termasuk keluarga civil law system atau The Romano xxxvi Gormanic Family. Menurut Rene David, keluarga hukum ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan paham individualism, liberalism dan individual rights..35 Masalah perzinahan dan lembaga perkawinan dalam pandangan dan struktur sosial budaya masyarakat yang lebih bersifat kekeluargaan, kolektivistik dan monodualistik, tidak hanya masalah privat dan kebebasan individual; tetapi terkait pula nilai-nilai dan kepentingan masyarakat luar, minimal kepentingan keluarga,kaum dan kepentingan lingkungan. Dengan demikian dilihat dari sudut kebijakan, apakah cukup bijaksana. apabila delik perzinahan dijadikan delik aduan absolute (menjadi hak absolut istri/suami untuk mengadu/menuntut). Sementara di lain pihak ada juga kepentingan umum, atau kepentingan pihak lain di luar istri/suami yang bersangkutan. Terlebih apabila sudah ada korban di pihak wanita (misal terjadi kehamilan), ini ada hubungannya dengan pembunuhan bayi yang kelahirannya tidak dikehendaki. Sedangkan pihak istri dari pria yang menghamili tidak melakukan pengaduan atas dasar perzinahan. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan terjadinya kehamilan diluar nikah, sehingga kelahiran nya tidak dikehendaki maka seorang ibu nekat membunuh bayinya. 1. Pengertian Kesengajaan dan Kealpaan Pengertian atau definisi mengenai kesengajaan dan kealpaan tidak kita jumpai dalam KUHP kita saat ini . Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Baru yang akan datang bermaksud merumuskan kedua bentuk kesalahan itu.35 Barda

Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana,2007 Ed I. Cet I 32. Soegandhi, Buku Pedoman Pengadaan Visum Et Repertum, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran UGM,Yogyakarta, 1984.

xxxvii Sedangkan Konsep Tahun 2008 KUHP yang baru tidak memformulasikan pembunuhan bayi dalam Pasal 526; (1) Setiap orang yang meninggalkan anak yang belum berumur 7 (tujuh) tahun

dengan maksud supaya ditemukan orang lain, sehingga dapat melepaskan tanggung jawab atas anak tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan: a. pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada anak yang ditinggalkan; atau b. pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya anak yang ditinggalkan. Pasal 527; Seorang ibu yang membuang atau meninggalkan anaknya tidak lama setelah dilahirkan karena takut kelahiran anak tersebut diketahui oleh orang lain, dengan maksud agar anak tersebut ditemukan orang lain atau dengan maksud melepas tanggung jawabnya atas anak yang dilahirkan, maksimum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 526 dikurangi 1/2 (satu per dua). Ancaman pidana yang didasarkan pada pertimbangan bahwa rasa takut seorang ibu yang melahirkan diketahui orang lain sudah dianggap suatu penderitaan. Sedangkan dalam pembunuhan bayi ada yang disengaja dan direncanakan, hal ini bisa dilihat dari tanda-tanda bayi yang telah dilahirkan apakah bayi lahir hidup atau lahir mati. Dalam ilmu kedokteran hal seperti ini bisa ditentukan sebab-sebab kematiannya contoh apakah dicekik atau dibekap dan akan dituangkan/ditulis dalam Visum et Repertum, masalah seperti ini akan xxxviii membantu dalam proses peyidikan oleh polisi dan dapat untuk alat bukti di Pengadilan akan mempengaruhi sanksi pidananya.36 Menurut Soerjono Soekanto mengartikan penegakan hukum sebagai berikut, secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dalam sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekat