27
REFLEKSI KASUS NYERI NOSISEPTIF EC PAD Disusun oleh: Thesar Waldi (14/365537/KU/17190) Diajukan kepada : dr. Fajar Maskuri, M.Sc, Sp. S Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

neurorsaugm.files.wordpress.com€¦  · Web viewSejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan rasa nyeri pada kaki di area lutut menjalar hingga jari jari kaki. Rasa

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

REFLEKSI KASUS

NYERI NOSISEPTIF EC PAD

Disusun oleh:

Thesar Waldi

(14/365537/KU/17190)

Diajukan kepada :

dr. Fajar Maskuri, M.Sc, Sp. S

Ilmu Penyakit Saraf

Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

2019

DESKRIPSI KASUS

Pasien datang ke Poli Saraf RS UGM pada hari Rabu tanggal 23 Desember 2019 pukul 09.00 WIB

I. Identitas Pasien

No. RM: 14-02-XX

Nama: Tn. P

Jenis Kelamin: Perempuan

Tempat, tanggal lahir: Banyurejo, 27 Desember 1960

Usia: 59 tahun

Pekerjaan: IRT

Alamat: Tempel

Agama: Islam

Asuransi: BPJS

DPJP : dr. Fajar Maskuri, M.Sc, Sp.S

II. Anamnesis

Diperoleh dari istri pasien sendiri

1. Keluhan Utama :

Nyeri dan Kebas pada Kaki

2. Riwayat Penyakit Sekarang:

Sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan rasa nyeri pada kaki di area lutut menjalar hingga jari jari kaki. Rasa nyeri digambarkan seperti ditikam atau di tusuk tusuk. 1 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengatakan keluhan memberat dengan adanya rasa kebas yang muncul terutama di bagian jari jari kaki. Nyeri dikatakan menetap. Dengan intensitas skala nyeri yang meningkat dari sebelumnya. NPS sulit di ingat. Dikatakan apabila kaki diangkat kadan rasa nyeri dapat hilang. Dikatakan rasa nyeri cukup mengganggu aktivitas. Ketika tidur pasien sering menaikan kaki untuk mengurangi rasa nyeri.

2 Hari sebelum masuk rumah sakit muncul edema di ekstrimitas kanan. Riwayat penyakit jantung disangkal. Tekanan darah tidak terukur. Nyeri menetap disertai rasa kebas di kedua sisi ekstremitas bawah.

3. Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat penyakit : hipertensi (+) mengkonsumsi obat rutin, diabetes mellitus (-), alergi (-), penyakit jantung (-), asma (-), malaria (-) Riwayat operasi : (-)

Riwayat konsumsi obat rutin : Obat anti hipertensi

Riwayat gaya hidup: minum alkohol (-) dan merokok (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus, alergi, penyakit jantung

4. Anamnesis sistem

i. Sistem serebrospinal : tidak ada keluhan

ii. Sistem kardiovaskular : Pembengkakan tungkai kanan unilateral

iii. Sistem respirasi : tidak ada keluhan

iv. Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan

v. Sistem muskuloskeletal : Nyeri dan kebas pada tungkai kanan dan kiri

vi. Sistem integumental : tidak ada keluhan

vii. Sistem urogenital : tidak ada keluhan

5. Resume Anamnesis :

III. Diagnosis Sementara

1. Diagnosis Klinis : Parastesia Tungkai

2. Diagnosis Topis : Lesi Susunan Saraf Tepi

3. Diagnosis Etiologis : susp Klaudikasio Intermittent dd Critical Limb Ischemia

4. Diagnosis Penyerta : Hipertensi

IV. Pemeriksaan Fisik

1. Kondisi Umum:

· KU : Sedang

· Status nutrisi: gizi cukup

· BB : 57 kg

· TB : 175 cm

· BMI : 29,91 kg/m2

· Kesadaran: Compos Mentis (E4V5M6)

· NPS : 5

· Tanda Vital

· BP: 160/90 mmHg

· RR: 20 kpm

· HR: 104 kpm

· Suhu: 36,9 derajat selsius

· Kepala: CA (-/-), SI (-/-), Pupil isokor diameter 3mm/3mm, RC (+/+), RK (+/+)

· Leher: Lnn tidak ada pembesaran, JVP tidak ada peningkatan

· Thoraks

· Paru: fremitus kanan = kiri, sonor pada kedua lapang paru, vesicular (+/+), suara tambahan (-/-)

· Jantung: konfirgurasi dbn, suara tambahan (-/-), S1,S2 reguler

· Abdomen: supel (+), timpani, BU (+) normal, hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-)

· Ekstremitas:

· Kanan: Edema pada kaki kanan, hipoestesi, akral hangat, WPK <2 detik

· Kiri: Tidak ada edema pada kaki kiri, hipoestesi, akral hangat, WPK <2 detik

3. Status Sistem

i. Sistem serebrospinal : hipoestesi ekstremitas kiri dan kanan

ii. Sistem kardiovaskular : hipertensi stage 2

iii. Sistem respirasi : dalam batas normal

iv. Sistem gastrointestinal : dalam batas normal

v. Sistem muskuloskeletal : nyeri ekstremitas bawah disertai edema pada tungkai kanan

vi. Sistem integumental : dalam batas normal

vii. Sistem urogenital : dalam batas normal

2. Status Neurologis:

· Kesadaran : baik, compos mentis

· Kuantitatif : E4V5M6

· Kualitatif : tingkah laku normal, perasaan hati normal

· Orientasi : tempat baik, waktu baik, orang baik, sekitar baik

· Jalan pikiran : baik, kecerdasan cukup

· Daya ingat kejadian : baru baik, lama baik

· Kemampuan bicara : baik, sikap tubuh baik

· Cara berjalan : Berjalan dengan menyeret kaki kanan

· Kepala : bentuk bulat, simetris, ukuran normal, pulsasi normal, nyeri tekan regio temporal sinistra ec vulnus ekskoriatum, bising normal

· Leher : sikap normal, gerakan normal, kaku kuduk (-), bentuk vertebrae normal, nyeri tekan vertebrae tidak ada, pulsasi normal, bising normal, tes Brudzinki (-)

· Nervus kranialis

I : daya pembau dalam batas normal

II : daya lihat dan diskriminasi warna dalam batas normal, diameter pupil 3mm/3mm, RC +/+

III : gerak mata dalam batas normal

IV : gerak mata dalam batas normal

V : sensibilitas dahi, pipi, dagu normal, dapat menggigit dan membuka mulut dengan baik, RK +/+

VI : gerak mata dalam batas normal

VII : motorik wajah baik, sensasi rasa manis-asam-asin baik

VIII : pendengaran baik

IX : gerak arkus faring baik, sensasi rasa pahit baik

X : gerak arkus faring baik

XI : memalingkan kepala, sikap bahu, dan gerak bahu baik

XII : sikap lidah, artikulasi, kekuatan otot lidah baik; tidak ditemukan tremor lidah, atrofi lidah, dan fasikulasi lidah

Ekstremitas

Gr

Tn

Tr

K

Cl

RF

RP

B

B

N

N

E

E

5/5/5

5/5/5

-

-

2+

2+

-

-

B

B

N

SD

E

E

5/5/5

5/5/5

2+

2+

-

-

Sensoris : hipoestesi dermatom sakral 1 ke bawah

Vegetatif : dalam batas normal

BAB (+)

BAK (+),

Flatus (+)

V. Diagnosis Akhir

1. Diagnosis Klinis : Paraestesia Ekstremitas Bawah

2. Diagnosis Topis : Vaskuler

3. Diagnosis Etiologis :susp Klaudikasio Intermittent dd Critical Limb Ischemia

4. Diagnosis Penyerta : Hipertensi

VI. Terapi

Farmakologis :

1. Vitamin B 12 tablet 50 mcg 3x1 No. 30

2. Vitamin B 6 tablet 10 mg 3x1 No. 30

3. Cilostazol 100mg tablet 1x0,5 tab No.5

4. Parasetamol 500mg tablet 3x1 No.20

5. Gabapentin 100mg capsule 1x1 No.6

6. Furosemide 40mg tablet 1x1 No.7

VII. Prognosis

1. Death: bonam

2. Disease: malam

3. Disability: bonam

4. Discomfort: malam

5. Dissatisfaction: bonam

6. Distitution: bonam

DISKUSI KASUS

NYERI NOSISEPTIK

I. Definisi

Mekanisme nosisepsi

a. Proses transduksi adalah rangsang noksius dapat berasal dari bahan kimia, seperti yang terjadi pada proses inflamasi menimbulkan sensitisasi dan mengaktifasi reseptor nyeri. Bisa juga diartikan sebagai pengubahan berbagai stimuli oleh reseptor menjadi impuls listrik yang mampu menimbulkan potensial aksi akhiran saraf.6

b. Proses transmisi adalah penyaluran impuls saraf sensorik dilakukan oleh

serabut A delta bermyelin dan serabut C tak bermyelin sebagai neuron pertama, kemudian dilanjutkan traktus spinothalamikus sebagai neuron kedua dan selanjutnya di daerah thalamus disalurkan sebagai neuron ketiga sensorik pada area somatik primer di korteks serebri.6

c. Proses modulasi terjadi pada sistem saraf sentral ketika aktivasi nyeri

dapat dihambat oleh analgesik endogen seperti endorphine, sistem inhibisi sentral serotonin dan noradrenalin, dan aktivitas serabut A beta.6

d. Proses persepsi merupakan hasil akhir proses interaksi yang kompleks, dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi sepanjang aktivasi sensorik yang sampai pada area primer sensorik korteks serebri dan masukan lain bagian otak yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri atau disebut dengan kesadaran akan adanya nyeri.6

II. Anatomi

Mekanisme nosisepsi dalam tubuh ditampilkan dalam gambar 1 berikut:

Pada kasus klaudikasio seringkali rasa nyeri timbul akibat adanya disrupsi di vasa aorta ataupun di arteri iliaka komunis.

III. Epidemiologi

Resiko yang menyebabkan PAD mirip dengan yang menunjukkan perkembangan aterosklerosis koroner. AHA mengeluarkan guideline untuk mengidentifikasi PAD pada kelompok kelompok tertentu.

Usia diatas 70 tahun

Riwayat diabtes dan merokok

Memiliki lebih dari satu faktor resiko aterosklerosis

Gejala pada tungkai bawah pada nyeri pada saat istirahat

Hasil pemeriksaan tungkai bawah yang abnormal

Diketahui adanya atherosklerosis di bagian organ tubuh lain

IV. Patofisiologi

Peripheral arterial disease (PAD) merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu penyakit yang menyebabkan gangguan aliran darah pada ekstremitas yang biasanya disebabkan oleh proses aterosklerosis. PAD sering merupakan tanda aterosclerosis sistemik. Penderita PAD empat kali lebih berisiko menderita infark miokard fatal dan tiga kali lebih berisiko stroke.

Diperkirakan lebih dari 200 juta penduduk dunia menderita PAD. Penyakit ini juga mempengaruhi kualitas dan harapan hidup dengan meningkatkan kejadian kardiovaskular.

Penderita penyakit arteri perifer di Indonesia lebih banyak berasal darigolongan dewasa muda, dengan penyebab radang arteritis non spesifik. Sumbatan akut arteri berupa emboli yang semula dianggap jarang, ternyata meningkat frekuensinya pada usia relative muda.

Arteri yang paling sering terlibat adalah femoralis dan popliteal pada ekstremitas bawah, dan brakhiocephalica atau subclavia pada ekstremitas atas. Stenosis arteri atau sumbatan karena aterosklerosis, thrombo-embolism dan vaskulitis dapat menjadi penyebab PAD.5

Aterosklerosis menjadi penyebab paling banyak dengan kejadiannya mencapai 4% populasi usia diatas 40 tahun, bahkan 15- 20% pada usia lebih dari 70. Kondisi aterosklerosis tersebut terjadi sebagaimana pada kasus penyakit arteri koroner begitu juga dengan faktor resiko mayor seperti merokok, DM, dyslipidemia & hipertensi.

V. Etiologi

· Aterosklerosis

VI. Gejala dan tanda klinis

Sebanyak 65-75% pasien dengan PAD tidak memiliki gejala (asimptomatik). Pasien yang asimptomatik dengan ankle-brachial index (ABI) yang menurun, mungkin telah terjadi perburukan yang signifikan fungsi kaki ketika dilakukan pemeriksaan yang secara objektif. Pasien PAD yang asimptomatik memiliki fungsi yang lebih buruk, kualitas hidup yang lebih buruk, dan gejala pada otot tungkai bawah

yang lebih berat.

Tanda gejala utama adalah nyeri pada area yang mengalami penyempitan pembuluh darah. Bila pembuluh darah yang terkena adalah pembuluh darah tungkai, maka tanda dan gejala awal adalah nyeri (klaudikasi) dan sensasi lelah pada otot yang terpengaruh. Karena pada umumnya penyakit ini terjadi pada kaki maka sensasi terasa saat berjalan. Gejala bisa menghilang saat beristirahat. Saat penyakit bertambah buruk gejala mungkin terjadi saat aktivitas fisik ringan bahkan setiap saat meskipun beristirahat. Bila yang terkena adalah pembuluh darah tangan, maka gejala yang muncul adalah nyeri dan jari-jari yang membiru sampai gambaran nekrosis. Kulit akan menjadi kering dan bersisik bahkan saat terkena luka kecil dapat terjadi ulkus karena suplai darah yang tidak adequat menyebabkan proses penyembuhan luka tidak berjalan dengan baik.

Pada fase yang paling parah saat pembuluh darah tersumbat akan dapat terbentuk gangren pada distal jari tangan. Pada beberapa kasus penyakit vaskular perifer terjadi secara mendadak hal ini terjadi saat ada emboli yang menyumbat pembuluh darah. Pasien akan mengalami nyeri yang tajam diikuti hilangnya sensari di

area yang kekurangan suplai darah. Tangan akan menjadi dingin dan kebas serta

terjadi perubahan warna menjadi kebiruan.

VII. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik awal bisa didapatkan: (1) pulsasi ekstremitas bawah abnormal; (2) bruit vaskular; (3) luka di ekstremitas bawah yang sulit sembuh atau

ditemukan gangren.

Pemeriksaan ABI direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis pada pasien yang dicurigai PAD. Pemeriksaan dilakukan dengan mengukur tekanan darah sistolik pada lengan (arteri brachialis) dan pergelangan kaki (arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior) dalam posisi supine. ABI pada setiap kaki dihitung dengan membagi tekanan yang lebih tinggi dari arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior dengan

tekanan yang lebih tinggi dari tekanan pada lengan kiri atau kanan.

VIII. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan hematologi rutin meliputi: gula darah puasa, profil lipid, serum kreatinin, dan creatinine clearance. Pemeriksaan tambahan adalah lippoproteinjika ditemukan riwayat keluarga penyakit kardiovaskular premature. Pemeriksaan dengan pencitraan untuk penilaian struktur anatomis, seperti duplex ultrasound, computed tomography angiography (CTA), atau magnetic resonance angiography (MRA) berguna dalam hal mendiagnosis lokasi anatomis dan keparahan stenosis pada ekstremitas bawah terhadap pasien dengan PAD simptomatis yang memerlukan tindakan revaskularisasi. Ketiga pemeriksaan noninvasif ini memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Sedangkan angiografi invasif bermanfaat bagi pasien dengan CLI yang memerlukan tindakan revaskularisasi. Pemeriksaan angiografi invasif dan noninvasif (seperti CTA, MRA) tidak direkomendasikan pada pasien PAD yang tidak memiliki gejala.

IX. Diagnosis banding

· Claudicatio Intermittent

· Critical Limb Ischemic

X. Penataksanaan

Modifikasi Gaya Hidup

Rokok merupakan faktor risiko yang dominan dalam perkembangan dan perburukan PAD, selain itu rokok juga meningkatkan risiko amputasi, oklusi graft dan mortalitas. Trans-Atlantic inter-society consensus (TASC II) merekomendasikan untuk berhenti merokok sebagai bagian dalam tatalaksana PAD.2 AHA/ACC 2016 merekomendasikan pasien dengan PAD yang merokok harus disarankan untuk

berhenti.

Beberapa penelitian merekomendasikan olahraga 3 kali seminggu dengan berjalan kaki selama 30 menit dalam jangka waktu selama 6 bulan. Secara keseluruhan dijumpai peningkatan dalam kemampuan berjalan sekitar 50-200%.

Pada pasien dengan claudicatio, olahraga direkomendasikan karena dapat memperbaiki status fungsional, kualitas hidup, dan mengurangi gejala pada tungkai.

Antiplatelet

Terapi antiplatelet dengan aspirin (75-325 mg per hari) atau clopidogrel (75 mg per hari) direkomendasikan pada pasien PAD yang simptomatik.10 Pada pasien PAD (ABI ≤0,90) yang tidak memiliki gejala, antiplatelet masih dapat diberikan untuk menurunkan risiko MI, stroke / kematian akibat vaskular.8

Terapi Hiperlipidemia

Terapi statin memperbaiki outcome kardiovaskular pada penderita PAD. Semua penderita PAD diharapkan dapat mencapai target low-density lipoprotein cholesterol (LDL-C) hingga 50% dari nilai awal LDL-C.8

Terapi Hipertensi

Target tekanan darah pada pasien PAD adalah<140/90mmHg (130/80 mmHg pada pasien DM atau gagal ginjal). Terapi antihipertensi harus diberikan kepada pasien dengan hipertensi dan PAD untuk menurunkan risiko infark miokard, stroke, gagal jantung, dan kematian akibat kardiovaskular. Penggunaan ACE-I atau ARB dapat digunakan untuk menurunkan risiko kejadian iskemik kardiovaskular pada pasien PAD.

Terapi Nyeri

Pasien dengan klaudikasio intermiten sering kali tidak membutuhkanterapi simtomatis karena nyeri dapat menghilang dengan istirahat. Hal ini dapat menjelaskan kenapa mereka dapat medikasi medikamentosa pada PAD tingkat II/ IV. Terapi obat yang digunakan adalah NSAID dan opioid. Di beberapa kasus antikonvulsant dan antidepressan juga diberikan

Untuk nyeri nosisepsi kronik, penanganannya berupa terapi farmaka, blok transmisi saraf, dan alternatif. 12

Terapi farmaka terdiri dari

Terapi analgesik seperti NSAID/ Paracetamol-opiod

Terapi analgesik ajuvan, seperti antidepresan, antikonvulsan

Terapi alternatif

Stimulator

Akupuntur

Hipnosis

Psikologi

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk terapi nyeri : farmakologik dan non farmakologik.

Pendekatan farmakologik

Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, COX-2 inhibitors(coxib), analgetika opioid , dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat. Istilah “pukul dulu, urusan belakang” tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip tatalaksana nyeri akut. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan nyeri. Protokol ini dikenal dengan nama WHO analgesic ladder.

Analgesik nonopioid

Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen(Tylenol) dan OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti arthritis, dan nyeri akibat-kanker yang ringan. OAINS menghasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme

nosiseptor aferen primer dengan menghambat sintesis prostaglandin. Efek samping yang sering adalah iritasi GI/ulkus peptikum dan menghambat agregasi platelet. Inhibitor COX-2 spesifik (seperti celecoxib dan lumiracoxib) mengurangi resiko efek samping tersebut. Inhibitor COX-2 bersifat selektif karena hanya menghambat jalur COX-2. Tidak terpengaruhnya jalur COX-1 ini melindungi produk-produk prostaglandin yang “baik” yang diperlukan untuk fungsi fisiologis seperti melindungi mukosa lambung dan filtrasi glomerulus di ginjal.

Analgesik Opioid

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan

digunakan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Analgesik opioid efektif dalam penanganan nyeri nosiseptif maupun neuropatik. Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat anlgesik lain.

Berbeda dengan OAINS yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak penemuan reseptor-reseptor opuioid endogen di sistem limbic, thalamus, PAG, substansia gelatinosa kornu dorsalis, dan usus. Opioid eksogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid endogen (endorphin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nucleus modulasi nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada system-sistem desndens yang menghambat nyeri. Di tingkat kornu dorsalis medulla spinalis, morfin juga dapat menghambat transmisi impuls nosiseptor yang dating dengan mengikat reseptor opioid di substansia gelatinosa.

Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip, termasuk depresi pernapasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan ketagihan (adiksi).

Adjuvan atau koanalgesik

Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memiliki sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri.

Nyeri tulang tipikal tidak dapat sepenuhnya dikontrol dengan pemberian narkotik. Oleh karena itu, obat adjuvan ditambahkan pada regimen narkotik. Terapi adjuvan lini pertama pada nyeri tulang adalah OAINS dan kortikosteroid seperti prednison (30-60 mg/hari per oral), dexametason (decadron; 16 mg/hari per oral) dan methlprednisolone (medrol; 120 mg/hari per oral).

Adjuvan lain untuk analgesik adalah agonis reseptor adrenergic-alfa (misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid atau analgesik local; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respon adrenergic simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer.

Pendekatan Nonfarmakologik

Metode non farmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok : terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupungtur,, aplikasi panas atau dingin, olahraga). Sedangkan, startegi kognitif-prilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, dan member pasien perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hypnosis, dan biofeedback

XI. Prognosis

PAD yang simptomatik membawa setidaknya risiko 30% kematian dalam waktu 5 tahun terutama disebabkan karena MI (60%) atau Stroke (12%). 73% pengalami claudication yang stabil, 16% mengalami claudication yang memburuk, 7% dioperasi dengan bypass dan 4% mengalami amputasi.

DAFTAR PUSTAKA

Baehr & Frotscher. 2005. Duus Topical Diagnosis in Neurology. New York: Thieme

Ropper & Brown. 2005. Adam’s and Victor’s Principles of Neurology. New York: McGrawHill

Hall, John E. 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Ed 13. USA: Elsevier

15