DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI “TAPI” DAN “BELAJAR
MEMBACA” KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA DI SMA KELAS XII
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
FAJAR SETIO UTOMO
NIM. 10901300088
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "Dimensi Sufistik Dalam Puisi Tapi dan Belajar Membaca
Karya Sutardji Calzoum Bachri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SMA", yang disusun oleh Fajar Setio Utomo NIM109013000088, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak
untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan olehfakultas.
J akarla, 4 Septemb er 20 I 4
NIP: 19771030 200801 2009
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik Dalam Puisi "TAPI" dan "BELAJARMEMBACA" Karya Sutardji Calzoum Bachri dan Implikasinya TerhadapPengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Kelas XII" disusun oleh FajarSetio Utomo, Nomor Induk Mahasiswa: 109013000088, diajukan kepada FakultasIlmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif HidayatullahJakarta dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqosah pada tanggal 12
September 2A14, di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhakmemperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) dalam bidang Pendidikan Bahasadan Sastra Indonesia.
J akarta, 24 Septemb er 2Al 4
Panitia Ujian Munaqosah
Ketua Panitia (PLT Ketua Jurusan PBSD Tanggal
Didin Syafruddin. MA." Ph.D.
NIP. 19600307 199002 l00l
Sekretaris (Sekretaris JurusanlProdi)
Dra. Hindun" I\4 Pd.
NrP. 19701215 2A090 2 00t
Penguji I
Ahmad Baohtiar" M.Hum
NIP. 19760t18 2A09n I 002
Penguji II
Cecep Suhendi. M.Pd
NIP.
4E Sqxyr4r lot't.
29 S rn. eDtl,..........t...........'...{
6 kSo.u**'{
,lg Soq.er"b$ ldLt
Mengetahui,
Dekan Faf,ultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
MP. 19591020 198603 2 00r
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini
Nama
NIN4
Jurusan
Judul Skripsi
Fajar Setio Utomo
109013000088
Pendidikan Bahasa dan
Dimensi Sufistik Dalam Puisi
Karya Sutardji Calzoum BachriPembelajaran Bahasa dan Sastra
Sastra Indonesia
Tapi dan Belajar Membaca
dan Implikasinya Terhadap
Indonesia di SMA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untukmemenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UINSyarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telahsaya
cantumkan sesuai dengan ketntuan yang berlaku di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya
atau jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta. 4 September 2014
^^ETERATTE^IPEL
EA77DACF38830&4xn \.:
(Fajar Setio Utomo)
i
ABSTRAK
FAJAR SETIO UTOMO: Dimensi Sufistik Puisi Tapi dan Belajar Membaca
Karya Sutardji Calzoum Bachri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
Skripsi. Jakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Sikap hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini,
mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Berdasarkan hal tersebut peran
sastra dirasa menjadi semakin penting untuk disosialisasikan dan “dibumikan”
melalui instuisi pendidikan. Hal ini cukup beralasan, sebab sastra mengandung nilai
estetik dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Hal ini
cukup beralasan, sebab secara sederhana puisi adalah segala bentuk ekspresi dengan
memakai bahasa sebagai basisnya.
Metode penelitian yang dipakai adalah metode kualitatif deskriptif.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka dan catat sedangkan analisis
data dilakukan dengan menggunakan metode pembacaan model semiotik yang terdiri
dari tiga tahapan analisis, yaitu; sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Puisi “Tapi” dan “Belajar Membaca” dalam hal ini sarat dengan gagasan
tasawuf Wahdatul Wujud, yang menunjukkan berpadunya eksistensi manusia dengan
eksistensi Tuhan, berpadunya dimensi insaniyah dengan dimensi Ilahiyah,
bersatunya makhluk dengan Khalik, sehingga terlihat bahwa terdapat dua dimensi
sufistik, yakni dimensi transenden dan dimensi imanen. Dimensi sufistik yang
terdapat pada puisi “Tapi” dan “Belajar Membaca” mengajarkan aspek rohani dan
moral kepada siswa, dan memberi tahu bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial.
Dalam hal kebahasaan, puisi ini pun melatih dan mengajarkan siswa untuk lebih
memahami konstruksi bahasa baik dalam segi sintaksis, semantik, maupun
pragmatik. Melalui pendekatan semiotik pembelajaran materi sastra dan tata
kebahasaan dapat saling mendukung.
Kata Kunci: Dimensi sufistik, puisi-puisi Sutardji, dan implikasi pendidikan
ii
ABSTRACT
FAJAR SETIO UTOMO: Sufistic Dimension in Tapi and Belajar Membaca
Poetry Sutardji Calzoum Bachri Work and the Implicated for Indonesian
Language and Litterature Education in Senior High School.
Skripsi Jakarta: Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah
and Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2014.
Pragmatic attitude in majority indonesian society life today, resulting the
erosion of national cultural values, therefore, the role of Littrature increasingly
becomes important to be socialized and "grounded" through education intuition. It is
quite reasonable, because the literature contains aesthetic and moral values relating
to life and human life.
research method used is descriptive qualitative method. The data collection
was done by using the libraries techniques and notes while the data analysis was
performed by using the model of semiotic reading method which consists of three
stages of analysis, namely; syntactic, semantic, and pragmatic.
Tapi and Belajar Membaca Poetry is full of ideas of Sufism Wahdatul Wujud,
which show the proverbial of human existence with the existence of God, the
proverbial insaniyah dimension and illahiyah dimension, the proverbial of the God
with with human, so it appears that two dimensions of Sufi, is the transcendent
dimensions and immanent dimention . Sufistic dimension that found from Tapi and
Belajar Membaca poetry teaching the spiritual and moral aspects for students, and
told that poetrys have an essential function. In linguistic terms, this poem was to train
and teach students to better understand the construction of the language both in terms
of syntax, semantics, and pragmatics.
Key Word: Sufistic Dimension, Sutardji Calzoum Bachri Poetrys, and the
implication of education.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT, zat yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dengan cara-Nya
tersediri, serta dengan segala Kasihnya mengabulkan doa-doa penulis. Shalawat serta
salam semoga senantiasa Allah SWT berikan kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu persyaratan
mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam proses penulisan
skripsi ini, penulis banyak menerima saran, petunjuk, bimbingan, dan masukan dari
berbagai pihak. Oleh karena, itu penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada
semua pihak, khusunya kepada:
1. Orang tua penulis, kepada Ibu Rubinem dan Almarhum Bapak Sukamto yang
telah begitu bersabar menunggu anaknya untuk menyelesaikan penulisan
skripsi ini, serta adik laki-laki penulis, Tio Baskoro Dwi Nugroho yang
dengan caranya sendiri berusaha membantu dan mendukung proses penulisan
skripsi ini.
2 Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mempermudah dan memperlancar
proses penyelesaian skripsi ini.
3 Rosida Erowati, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing, orang yang paling
membantu dalam proses penulisan skripsi hingga tahap paling akhir. Terima
kasih pula karena telah menjadi pengajar, kakak, serta sahabat yang teramat
baik selama ini, semoga beliau diberikan balasan yang setimpal dari-Nya.
iv
4 Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya dosen-dosen
di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan selama ini dan
mau membantu dalam proses penyusunan skripsi ini khususnya..
5 Terima kasih banyak untuk Irsyad Zulfahmi, Bohari Muslim, dan Ayu
Annisa yang dengan caranya masing-masing telah memberikan dukungan
dan bantuan selama penulisan skripsi ini dan selama kehidupan penulis
sebagai mahasiswa.
6 Terima kasih kepada keluarga besar Komunitas Sastra Majelis Kantiniyah
yang telah menjadi rumah sekaligus gudang ilmu terbuka selama kegiatan
penulis di kampus. Penulis mengucapkan terima kasih karena telah mau
menjadi teman berdiskusi yang baik selama penulisan skripsi maupun masa-
masa perkuliahan.
Semoga apa yang kita perbuat mendapat Ridho-Nya. Amin ya Robbal‘alamin.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para
pembacanya, khususnya penulis sendiri.
Jakarta, 4 September 2014
Penulis,
Fajar Setio Utomo
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………………….. i
ABSTRACT …………………………………………………………………... ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………... iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. v
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang pendahuluan …………………………………………............1
B. Identifikasi Masalah …………………………………………………….........4
C. Pembatasan Masalah …………………………………………………........... 5
D. Perumusan Masalah …………………………………………………….........5
E. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….........5
F. Manfaat Penelitian ……………………………………………………...........6
G. Metode Penelitian ………………………………………………………........6
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Sufisme dan Sastra …………………………………………….…....……...11
1. Pengertian Tasawuf …………….……………………………....……… 11
2. Ajaran Tasawuf al-Ghazali…………………………………....……….. 13
3. Sastra Sufistik...........................................................................................14
vi
B. Puisi …………………………………………………………………..……..16
1. Pengertian Puisi …………….……………………………......................16
2. Bentuk Struktur Fisik Puisi……………………………………………...18
3. Bentuk Struktur Batin Puisi…………….………………………….........19
C. Semiotika..........………………………....……………………………..........20
1. Pengertian Semiotika..............…………………………………………..20
2. Teori Semiotik dalam Analisis Karya Sastra (puisi)…………….............21
3. Aspek Teks Sastra (Puisi).........................................................................24
a) Aspek Sintaksis untuk Analisis Puisi............................................24
1) Analisis Bentuk dan Unsur Bunyi dalam Puisi.................25
2) Analisis Aspek Sintaksis...................................................26
b) Aspek Sematik untuk Analisis Puisi.............................................28
1) Denotasi dan Konotasi…………………………………..28
2) Gaya Bahasa …………………………………………….30
3) Isotopi, Motif dan Tema………………………………...31
c) Aspek Pragmatik untuk Analisis Puisi…………………………..32
D. Pembelajaran Sastra ……………………………………………………….. 33
a. Sastra dalam Pembelajaran Hari Ini ………………………………….....33
b. Sastra dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran ………………......35
E. Hasil Penelitian yang Relevan ……………………………………………...38
BAB III PROFIL SUTARDJI CALZOUM BACHRI
A. Biografi Singkat Sutradji Calzoum Bachri ………………………………....40
B. Pemikiran Sutardji Calzoum Bachri...............................................................44
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Analisis Puisi Tapi
1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi........................................................52
2. Analisis Aspek Sintaksis.....................................................................55
vii
3. Analisis Aspek Semantik....................................................................61
a) Denotasi dan Konotasi............................................................61
b) Analisis Gaya Bahasa.............................................................65
1) Gaya bahasa berdasarkan Struktur Kalimat Puisi...............65
2) Analisis gaya bahasa figuratif.............................................66
c) Isotopi.....................................................................................66
4. Analisis Aspek Pragmatik ..................................................................70
B. Analisis Puisi Belajar Membaca
1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi........................................................75
2. Analisis Aspek Sintaksis.....................................................................77
3. Analisis Aspek Semantik....................................................................80
a) Denotasi dan Konotasi............................................................81
b) Analisis Gaya Bahasa.............................................................85
c) Gaya bahasa berdasarkan Struktur Kalimat (Puisi)................85
d) Analisis gaya bahasa figuratif.................................................85
e) Isotopi.....................................................................................86
4.Analisis Aspek Pragmatik ....................................................................91
C. Dimensi Sufistik Pada Puisi Tapi dan Belajar Membaca...............................94
D. Implikasi Puisi Tapi dan Belajar Membaca
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA......................99
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ………………………………………………………………… 103
B. Saran …………………………………………...………………………… 104
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 109
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Lembar Uji Refrensi
Lampiran 2 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Lampiran 3 : Puisi TAPI dan Puisi BELAJAR MEMBACA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia pendidikan kita saat ini sering dibuat miris dengan berbagai
pemberitaan di media cetak, maupun elektronik yang menampilkan berbagai
tindak anarkis, dan kemerosotan moral di kalangan para pelajar. Sikap hidup
pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan
terkikisnya nilai luhur budaya bangsa.
Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses
kesejagatan tersebut, sastra menjadi semakin penting untuk disosialisasikan dan
“dibumikan” melalui instuisi pendidikan. Hal ini cukup beralasan, sebab secara
sederhana puisi adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai bahasa sebagai
basisnya. Sehingga dengan begitu, lingkup sastra membludak menyentuh segala
sektor kehidupan. Tidak ada satu sudut kehidupan yang tidak mempergunakan
bahasa sebagai alat komunikasinya, dengan kata lain, tak ada bidang yang tak
terkait dengan sastra. Salah satunya dalam hal religius-sufistik-profentik yang
dalam hal ini merupakan bagian dari genre sastra, menyajikan pengalaman
spiritual dan transendental. Hal yang serupa juga dikatakan Mangunwijaya yang
menyatakan bahwa;
“Pada awal mula, Segala Sastra Adalah Religius”.1
Pendapat Mangunwijaya tidaklah berlebihan, dikarenakan semua sastra pada
awalnya memang digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan
kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan dan keadilan Tuhan yang Maha Esa sastra
mengandung nilai etik dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan
manusia. Soedjarwo mengemukakan bahwa tengah gemuruh teknologi, sastra
1 Y.B Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Kanisius, 1994), cet.3, h.11
2
berupaya mengebalikan nilai-nilai kemanusiaan yang terkikis habis oleh
teknologi. Dikatakan Soedjarwo lebih lanjut bahwa puisi itu berusaha
mengembalikan stabilitas, mengembalikan keselarasan, dan keutuhan dalam diri
manusia.2
Sebagai karya seni, puisi dalam pembelajaran di sekolah hari ini rasanya
kurang dipelajari sebagai pengalaman estetik. Padahal di setiap karya sastra selalu
menghadirkan pengalaman estetik, bahan perenungan, dan kerap menyajikan
banyak hal lain yang dapat menambah pengetahuan manusia yang menghayatinya.
Secara jujur harus diakui hingga saat ini sastra belum mendapatkan tempat yang
terhormat dalam dunia pendidikan kita. Yudi Latif berpendapat di tahun 1960-an,
sastra masih menjadi mata pelajaran wajib yang diuji-akhir, digeluti juga oleh
para pelajar SMA bagian B (Pasti –alam) dan C (ekonomi). Tetapi kini sastra
hanya menjadi penumpang gelap dalam pelajaran bahasa Indonesia.3
Pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pendidik terkadang
membahas puisi sebagai ilmu sastra yang berkutat pada pembahasan unsur
intrinsik dan ekstrinsik tanpa membahas nilai-nilai estetik yang terkandung dalam
sebuah karya sastra. Padahal tujuan puisi sebagai ilmu sastra sendiri di antaranya
yaitu membantu manusia menyingkap rahasia keadaannya, memberi makna pada
eksistensinya, serta untuk menemukan kebenaran secara maknawi dalam setiap
karya sastra. Ajip Rosidi pun berpendapat “bahwa mata pelajaran sastra sekarang
hanya merupakan bagian kecil dari mata pelajaran bahasa Indonesia.
Pembelajaran sastra di sekolah hanya memberikan batasan-batasan (definisi)
tentang istilah-istilah ilmu bahasa atau teori sastra, seperti apa itu metafora, apa
itu retorika, apa itu parelisme apa itu parafrase, dan semacam itu”.4
2 Rachmat Djoko Pradopo, dkk, Puisi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), cet. 3, h. 1.36
3 Yudi Latif, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan,
(Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara, 2009), h.158
4 Lihat esai Ajib Rosidi yang berjudul Kesusastraan di Indonesia: “Dimensi Rohani yang
Hilang Harus Dikembalikan” pada Sastra dan Budaya (Kedaerahan Dalam Keindonesian), (Jakarta:
PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), h.52
3
Dari beberapa penyair Indonesia, bisa dikatakan Sutardji memiliki pengaruh
dan sumbangsih yang cukup besar dalam kesusastraan (khususnya perpuisian) di
Indonesia. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena sejak awal puisi-puisi
Sutardji Calzoum Bachri telah dikenal membawa nafas baru dalam perpuisian di
Indonesia. Puisi-puisinya dipandang sebagai puisi-puisi “avant-garde”, yang
muncul pada permulaan 1970-an dengan kredo puisi yang kontroversional dan
menghebohkan. Walaupun puisi-puisinya yang awal cenderung nihilistic, namun
sangat intens melakukan pengembaraan spiritual, sehingga tak mengherankan bila
dalam beberapa puisi-puisi awalnya sudah bernafaskan sufistik.
Melihat keadaan sosial pada tahun 1970-an, Sutardji dalam karyanya hadir
dengan mengedepankan fungsi didaktis yang ternyata di dalam sastra dewasa ini
semakin penting. Dalam era globalisasi ini, siswa-siswi semakin dihadapkan
kepada problematika kehidupan yang mengarah pada krisis nilai-nilai kehidupan
akibat dari kemajuan sains dan teknologi modern. Sebab, sastra (khususnya puisi)
merupakan salah satu penghalus budi, yang mampu mengangkat kembali status
humanitasnya untuk menyadari arti keagungan alam semesta (universe),
keindahan nilai-nilai kehidupan dan kekuasaan Tuhan.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, penelitian ini akan berfokus pada dua puisi
karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu, “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”
dalam buku kumpulan puisi O, AMUK, KAPAK (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2007), Adapun pertimbangan lain yang memperkuat alasan untuk
menjadikan puisi Tapi yang berada dalam kumpulan puisi Amuk dan puisi
BELAJAR MEMBACA yang berada dalam kumpulan puisi Kapak karya Sutadji
Calzoum Bachri sebagai objek kajian dalam penelitian, dikarenakan dalam kedua
kumpulan puisi tersebut menunjukkan adanya aspek sufistik yang dominan di
samping daya ekspresinya yang estetis dan kompleks, dengan membandingan dua
puisi yang berada pada kumpulan puisi yang berbeda.
Usaha mengkaji puisi yang berjudul “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”
pada penelitian ini akan menggunakan tinjauan semiotik. Penggunaan pendekatan
4
semiotik dalam penelitian ini didasarkan dengan dua pertimbangan. Petama, puisi
sufistik pada hakikatnya mengungkapkan pengalaman manusia yang bersifat
personal dan spiritual dalam mendekatkan dirinya dengan Tuhan; hubungan itu
penuh misteri dan sulit dijangkau oleh pikiran biasa. Oleh karena masalah yang
diungkapkan bersifat spiritual, makna puisi ketasawufan sukar dipahami secara
mendalam karena di dalamnya digunakan tanda-tanda yang mengandung konotasi
tertentu dan memerlukan penafsiran.
Alasan yang kedua, dikarenakan menurut pengamatan saya, penelitian
dengan pendekatan semiotik terhadap puisi Sutardji Calzoum Bachri pada
umumnya dan khususnya puisi yang bertema ketasawufan, belum dilakukan.
Pemerhati dan peneliti lainnya cenderung bersifat lebih global. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka penulis mengangkat judul skripsi: “Dimensi Sufistik
Dalam Puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” Karya Sutardji Calzoum
Bachri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
SMA kelas XII”
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kurangnya minat baca peserta didik terhadap karya sastra terutama pada
puisi.
2. Kurangnya kreatifitas guru sebagai pendidik dalam mengajarkan materi puisi
di sekolah
3. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari puisi, sebagian besar masih pada
tataran penjelasan unsur-unsur intrinsik sehingga menjadikan kurangnya
minat peserta didik dalam mempelajari puisi.
4. Kurangnya pembahasan tentang makna dan pesan yang terkandung dalam
sebuah puisi, khususnya pada puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri
5
5. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap puisi sebagai bahan pertimbangan
dalam memperkenalkan nilai edukasi kepada anak-anak.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul
dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah peneliti
agar objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam. Dalam dua puisi karya
Sutardji Calzoum Bachri yaitu, “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” terdapat
banyak temuan masalah, maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan
penelitian pada:
1. Dimensi sufistik dalam dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu,
“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”
2. Implikasi dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu, “TAPI” dan
“BELAJAR MEMBACA” terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di SMA kelas XII.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian
seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah Sutardji Calzoum Bachri menampilkan dimensi sufistik dalam
puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”?
2. Bagaimana implikasi puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri terhadap
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XII?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan dimensi sufistik pada puisi “TAPI” dan “BELAJAR
MEMBACA” karya Sutardji Calzoum Bachri
6
2. Mendeskripsikan implikasi dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu
“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” terhadap Bahasa dan Sastra
Indonesia di SMA kelas XII.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Untuk menambah keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia, memberikan
manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran spiritual
menjadi sebuah hal yang penting untuk terus ditingkatkan ditengah derasnya
arus pusaran keadaan saat ini yang terus mengacu nilai-nilai keduniawian.
2. Manfaat Praktis
a) Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan memperkaya
referensi keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia di sivitas akademika
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
b) Pembaca dapat memperoleh gambaran tentang dimensi sufistik dalam
sebuah karya sastra, mengapresiasi sebuah karya sastra serta selalu
tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan pandangan
yang segar dan orisinil, bagi mahasiswa yang kelak akan menjadi calon
pendidik
c) Bagi calon pendidik, memperoleh pemahaman tentang puisi secara
terstruktur dan mendalam
G. Metode Penelitian
1. Objek dan Waktu Penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan objek kajian berupa dua buah
puisi, yaitu “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji Calzoum
Bachri. Tempat yang akan digunakan dalam penelitian tidak terikat pada satu
7
tempat, karena objek yang dikaji berupa teks karya sastra yang terdapat pada
buku kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul O, Amuk, Kapak
yang diterbitkan pada tahun 2004. Penulis melakukan kegiatan penelitian
antara lain di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Nasional, Perpustakaan Universitas Indonesia dan Pusat Dokumentasi Sastra
HB. Jassin. Adapun waktu penelitian dimulai pada bulan Desember 2013 – Juli
tahun 2014.
2. Metode Penulisan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a) Fokus Penelitian
Langkah awal sebuah penelitian adalah menentukan teks sastra
yang akan dikaji atau diteliti, dan persoalan apa yang muncul, yang
kemungkinan bisa dijelaskan dan dicarikan solusi melalui penelitian.
Langkah berikutnya setelah teks dan permasalahan ditentukan adalah
menentukan fokus penelitian.
Secara umum penelitian sastra dapat dikatagorikan ke dalam
empat fokus yang merujuk pada empat pendekatan Abrams, yaitu:
1) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan
penulis/penelitian genetik.
2) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca.
3) Penelitian dengan fokus teks itu sendiri.
4) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.5
Berdasarkan keempat jenis fokus penelitian di atas, dalam
penelitian ini penulis menggunakan fokus yang ketiga, yaitu penelitian
dengan fokus teks itu sendiri.
5 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h.180
8
b) Bentuk dan Strategi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan
yang dilakukan menggunakan pendekatan semiotik yang dikhususkan
dalam penerapannya dalam karya sastra khususnya puisi. Pendekatan
semiotika dalam penelitian ini melalui tiga tataran yaitu, sintaksis,
semantik dan pragmatik.
“Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis”.6
Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti menguraikan.
Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein
(„ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak
semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman
dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya
deskriptif komparatif, metode dengan cara menguraikan dan
membandingkan, dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara
menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari dalam ke luar.
Kemudian pendekatan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar
yang mempengaruhi karya sastra), yang dalam hal ini dikaitkan dengan
konsep tasawuf yang diperkenalkan oleh beberapa penyair sufistik.
c) Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-
dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
6 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2007), h. 53.
9
d) Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Membaca buku kumpulan puisi karya Sutardji Calzoum Bachri
yaitu O, Amuk, Kapak.
2) Menetapkan dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri “TAPI”
dan “BELAJAR MEMBACA” sebagai objek penelitian dengan
fokus menemukan dimensi sufistik yang tergambar dalam dua
puisi tersebut serta implementasinya dalam dunia pendidikan.
3) Membaca ulang dengan cermat dua puisi Sutardji Calzoum
Bachri, yaitu“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” untuk
menentukan dimensi sufistik yang terdapat di dalam dua puisi
tersebut dan implikasinya dalam dunia pendidikan.
4) Menandai kata, lirik dan bait yang mengandung dimensi
sufistik
5) Mengklasifikasikan data dan menetapkan kriteria analisis
berdasarakan tahapan sintaksis, semantik, dan pragmatik.
6) Menganalisis data yang sudah diklasifikasikan dan melakukan
pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data.
7) Menyimpulkan hasil penelitian
e) Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada
buku Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2013.
10
f) Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu
suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa
catatan, buku, surat kabar, dan majalah.
g) Sumber Data
1) Data Primer
Data primer merupakan literatur yang membahas secara
langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu puisi
“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji Calzoum
Bachri
2) Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat
untuk membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-
sumber dari penulis lain yang berbicara terkait dengan objek
penelitian.
11
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Tasawuf dan Sastra
1. Pengertian Tasawuf
Mengenai apa hakikat tasawuf bagi umat Islam, sering tidak mudah
mendapatkan pengertian yang cerah lantaran adanya stereotyped ideas yang
telah lama direntangkan para pendukung tasawuf. Terutama rumusan
propaganda penyusunan sintesis antara kasyfi (tasawuf) dan naqli (syariat)
seperti al-Ghazali, al-Qusyairi dan sebagainya.1
Secara etimologis kata tasawuf berasal dari suf „bulu domba‟ atau „jubah
wol‟ kasar yang dipakai oleh petapa pada periode awal tasawuf. Pakaian
tersebut menurut Schimel kemudian menjadi ciri-ciri sufi meskipun ciri
tersebut hanya mengungkapkan aspek luar, belum mencerminkan hakikat sufi
yang sebenarnya.2 Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf
dan intisari ajarannya adalah fana (ecstacy) dan kasyaf (illuminasi).3
Sebagai istilah, definisi tasawuf ada bermacam-macam, antara lain yang
dikutip oleh Hamka, yaitu berturut-turut menurut Makruf al-Karakhi,
Muhammad al-Jurairai, Rusim, dan Junaid berikut ini:
(1)... tasawuf ialah mengambil hakikat, dan putus asa dari
apa yang ada dalam tangan sesama makhluk; (2)... tasawuf
ialah masuk dalam budi menurut contoh yang ditinggalkan
Nabi dan keluar dari budi yang rendah; (3) ... tasawuf
ditegakan atas tiga perangkai. Berpegang teguh terhadap
kefakiran, membuktikan kesanggupan berkorban, dan
meniadakan pilihan; (4) ... tasawuf ialah ingat kepada
Tuhan walaupun dalam beramai-ramai, rindu kepada
1 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: Grafindo, 1997), cet.2, h.10
2 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj Sapardi Djoko Damono dkk
(Jakarta: Pustaka Firdas, 1986), h.12 3 Simuh, op. cit., h.11
12
Tuhan dan sudi mendengarkan, dan beramal dalam
lingkungan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasul ...4
Dari beberapa definisi tasawuf tersebut, hanya melihat atau
menggambarkan satu segi saja, tidak mencerminkan tasawuf secara utuh.
Istilah tasawuf kadang-kadang dipadankan dengan istilah mistik. Sementara itu
Schimmel mengatakan
“That mysticim contains something mysterious, not be
reached by ordinary means or by intellectual effort, is
understood from the root common to the word mystic and
mystery, the Greek myein, “to the close the eyes”.5
Dari pendapat Schimel dapatlah tasawuf diartikan sebagai ajaran
keruhanian penuh suasana kekudusan dan kekhusyukan berkenaan „menutup
mata‟ atau „sesuatu yang terlindung dalam rahasia‟. Hal yang serupa pun
dikatakan oleh Abu‟ Amr al-Dismisyaqi yang menyatakan “al-Tashawuf ru‟yat
al kawn bi‟ayn al-naqsy, bal ghadd al-tharf‟an al-kawn” yang artinya
“Tasawuf melihat ke tak sempurnaan alam fenomena, bahkan menutup mata
terhadap alam fenomena”.6
Berdasarkan hal ini jelaslah bahwa tasawuf ialah jalan keruhaniaan untuk
merealisasikan tauhid. Hal serupa diungkapan Shibil dengan mengatakan “al-
Shufi la yara fi al-darayn ma‟a Allah ghayra Allah” yang artinya “Sufi ialah
dia yang tidak memandang sesuatu di dalam dunia selain Allah Yang Esa”.7
Lebih jauh Abu al-Wafa al-Taftazani memberi pengertian tasawuf dan
mengaitkannya dengan dasar-dasar ajaran Islam tentang akhlak atau moral.
Tasawuf atau mistisme menurutnya secara keseluruhan ialah filsafat hidup,
yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia secara moral
melalui latihan-latihan praktis tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan
4 Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Nurul Islam, 1980), h. 83
5 “Secara etimologi kata “mistik” atau “mystic” berasal dari bahasa Yunani, myein, dan ada
kaitannya dengan „mysteri‟, serta bermakana „menutup mata‟ atau „terlindung di dalam rahasia‟.”
baca: Annemarie Schimel, Mystical Dimensions of Islam, (New York: Columbia University Press,
1981), h. 3 6 Abdul Hadi W.M, Tasawuf Yang Tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 13
7 Ibid., h. 12
13
keadaan fana di dalam hakekat tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara
instuitif, secara tidak rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan ruhaniah, yang
hakekatnya sukar diungkapkan dengan kata-kata, serta karakternya bercorak
instuitif.8
Melalui penjelasan tersebut dapat di lihat bahwa tasawuf merupakan jalan
keruhanian dalam Islam yang ditempuh oleh para sufi untuk mencapai makna
hakiki tauhid. Sebagai jalan keruhanian ia dibina oleh para sufi yang
berlandaskan tafsir dan penghayatan mereka terhadap ajaran-ajaran keruhanian
serta Al-Quran dan Sunah. Dengan kata lain tasawuf adalah suatu disiplin
keruhanian yang menghendaki penyempurnaan moral, pelaksanaan ibadah
mendalam kepada Allah. Apa bila ini semua dapat dicapai maka lahirlah
keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang memungkinkan terjadinya transformasi
di dalam diri seorang salik dan timbulnya keinsafan yang dalam terhadap
Wujud.9
2. Ajaran Tasawuf al-Ghazali
Nama lengkap Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-
Ghazali. Ia dikenal sebagai al-Ghazali karena lahir di Ghazalah suatu kampung
di Thuskhurusan, Persia. Al-Ghazali lahir pada 480H/1058M tiga tahun setelah
kaum Saijuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Ia meninggal hari senin,
14 Jumadil Akhir 505H/ 19 Desember 1111M.10
Imam al-Ghazali adalah seorang ahli filsafah dan sufi yang berjasa dalam
usaha menempatkan tasawuf sebagai ilmu yang penting di antara ilmu-ilmu
Islam lainnya. Ketajaman penanya sangat mengagumkan, begitu pula
pengusaan ilmu dan kefalsafahannya sangat luas.11
8 Ibid., h. 19-20
9 Ibid.
10
Heri MS Faridy, Rahmat Hidayat, Ika Prasasti Wijayanti. Edc, Ensiklopedia Tasawuf,
Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008) h. 129 11
Hadi W.M, op. cit., h. 52
14
Esensi tasawuf al-Ghazali menurut Simuh adalah penghayatan fana dan
makrifat. Penghayatan fana dan makrifat merupakan permulaan tarekat, sedang
penyucian jiwa hanyalah lorong menuju tarekat. Di dalam ekstase mistis
terjadi penghayatan makrifat, penghayatan langsung tentang Tuhan melalui
hati. Selain itu menurut Simuh, penghayatan makrifat dalam pemikiran al-
Ghazali adalah sebagai berikut:
Penghayatan makrifat ini dilukiskan dalam munqidz seperti
halnya Nabi sewaktu mi‟raj. Para sufi bisa berjumpa dengan para
malaikat, ruh-ruh para nabi, dan bisa mendapat pelajaran dari
mereka. Bahkan kemudian sampai pada penghayatan yang amat
dekat dengan Tuhan, suatu penghayatan yang amat indah yang
tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, sehingga segolong sufi
ada yang menghayal sampai ke pengalaman hulul, ittihad atau
wushul kepada Tuhan.12
Dari pernyataan tersebut dapatlah kita lihat bahwa konsep penyatuan
diri dalam konsep tasawuf al-Ghazali tidaklah berada dalam fase
lahiriah/wuju melainkan salam tataran spiritual/ batiniyah.
3. Sastra Sufistik
Sangat sedikit orang ketahui tradisi sufi sehingga menimbulkan banyak
kesalah pahaman seperti contohnya hubungan antara sufisme dan Islam. Sering
kali orang berfikir bahwa keduanya merupakan hal yang berbeda, padahal
sufisme adalah jalan eksoterin Islam. Dapat dikatakan jika Islam adalah sebuah
tubuh maka sufisme adalah jantungnya.13
Melalui penjelasan tasawuf sebelumnya, secara ringkas dan terbatas maka
sesungguhnya kita telah mengetahui sastra sufistik, sebab kandungan sastra
sufistik tiada lain ialah tasawuf. Dalam sejarah tasawuf, sastra telah dipilih
sebagai media di dalam menyampaikan pengalaman keruhanian para sufi sejak
awal. Terdapat banyak penjelasan tentang pengalaman mereka yang berkenaan
12
Simuh, Antara Tasawuf dan Batiniyah: Dalam Pesantren, (Jakarta: P3M, 1985), cet. 3 h. 13-14
13 Syeh Khaled Bentounes, Tasawuf Jantung Islam (nilai-nilai universal tasawuf).
(Yogyakarta:Pustaka Sufi, 2003), h. 21
15
dengan makrifat dan persatuan mistik disampaikan dalam bentuk anekdot-
anekdot, kisah perumpamaan atau alegori dan puisi.14
Sastra sufistik adalah sastra transendental karena pengalaman mistik yang
diungkapkan memang merupakan pengalaman yang berkaitan dengan
kenyataan transendental. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa sastra sufistik
mengabaikan dimensi social kehidupan. Ahli-ahli mistik sejati tidak
mengabaikan dunia nyata, hanya saja hati mereka telah begitu terpaut dengan
yang satu, yang kekal tidak berubah.15
Walaupun para sufi menulis dalam berbagai genre, pada umunya karya-
karya mereka memiliki tema utama yang sama, yaitu cinta atau isyq. Tema
cinta dipilih karena cinta merupakan peringkat keruhanian tertinggi dan
terpenting di dalam ilmu tasawuf. Dalam sistem estetika sufi, cinta (mahabbah
atau isyq) memiliki makna luas dan bersegi-segi. Cinta merupakan gabungan
dari berbagai unsur perasaan dan keadaan jiwa seperti uns (kehampiran), syawq
(kerinduan), mahabbah (kecenderungan hati) dan lain-lain. Menurut imam al-
Ghazali, cinta tidak mungkin ada tanpa makrifat, sebab orang hanya dapat
mencintai apabila seseorang itu mengenal atau mengetahui sesuatu yang
dicintainya. Hal ini berarti bahwa hanya cinta yang dapat membawa kita
meyakini realitas terdalam dan tertinggi segala sesuatu.16
Dalam gagasan al-Ghazali „isyq adalah cinta yang amat mendalam dan
mengungguli segala sesuatu, yaitu cinta yang benar-benar kokoh dan tidak
terhalang apapun. Seluruh sebab dan asas dari semua cinta, dalam pemikiran
imam al-Ghazali, terangkum dan terpadu dalam Tuhan, sebab Tuhan adalah
sebab terakhir dari segala manfaat dan kesenangan, yang sebab itu sudah
sepatutnya apabila dalam diri manusia senantiasa terbit perasaan rindu kepada
Tuhannya.17
14
Hadi W. M, op. cit., h. 9 15
Hadi W. M, Ibid., h. 26 16
Hadi W. M, Ibid., h. 35-36 17
Hadi W. M, Ibid., h. 53
16
B. PUISI
1. Pengertian Puisi
Pencarian akan definisi puisi mungkin tidak akan pernah berakhir dan
mencapai kata mufakat, dikarenakan sifat dari sebuah karya seni yang selalu
mengikuti zamannya. Sebagai karya seni, puisi tentunya juga memiliki pola
yang dinamis, sehingga tidak ada pengertian yang secara tetap. Hal yang
serupa dikatakan pula oleh Riffaterre;
...pengertian puisi pun dari waktu ke waktu selalu berubah
meski pun hakikatnya tetap sama. Perubahan pengertian itu
disebabkan puisi sealalu berkembang karena perubahan
konsep keindahan dan evolusi selera.18
Pengertian puisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ialah (1)
ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima, serta
penyusunan larik dan bait; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih
dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan
pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi,
irama, dan makna khusus; (3) puisi.19
Horatius dalam Melani Budianta dkk menyarankan dua hal yang harus ada
bagi puisi, yaitu harus indah (dulce), namun pada saat yang sama, puisi harus
menghibur dan mengajarkan sesuatu (utile).20
Lebih lanjut Suwardi Endaswara
beranggapan keindahan tersebut dibedakan lagi pengertiannya menjadi tiga
aspek yaitu: (a) keindahan yang identik dengan kebenaran, (b) keindahan
dalam estetik murni, yaitu keindahan dalam pengalaman sastrawan, yang
18
Rachmat Djoko Pradopo dkk, Puisi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), cet. ke-3, h.1
19
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1112.
20
Melani Budianta, Ida Suhendari Husen, Manneke Budiman, Ibnu Wahyudi, Membaca
Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Tera Anggota IKAPI,
2006) cet. ke-3, h. 39
17
mempengaruhi seseorang untuk merasa indah atau tidak indah suatu karya dan
(c) keindahan sederhana, yang terbatas pada panca indera.21
William Wordswoth dalam Melani Budianta dkk, memahami puisi sebagai
suatu luapan spontan dari perasaan yang kuat—a spontaneous overflow of
powerful feeling. Sementara itu, Roman Jacobson, seorang ahli linguistik dari
Prancis, menekankan pada fungsi puitik (poetic funcion) teks, yakni sebagai
sebuah fungsi yang mengarahkan segenap upaya dan perhatian unsur-unsur
teks itu sendiri.22
Dalam pemikiran para sufi, puisi memiliki peran dan konsep yang
berbeda. Dikarenakan bagi mereka puisi ialah ungkapan kelubuk rahasia
terdalam kehidupan, yaitu Sang Kebenaran itu sendiri. Jika seorang penyair
telah mencapai Yang Rahasia, maka dengan sendirinya ia akan mengalami
pencerahan transformasi (inabah) dalam arti yang sebenarnya. Puisi yang ideal
dalam konsep sufistik hadir untuk menyempurnakan kondisi ke manusiaan dan
memulihkan martabat kemanusiaan.23
Hal tersebut senada dengan apa yang dikemukakan Emha Ainun Najib. Ia
berpendapat bahwa membaca puisi adalah memasuki suatu kelangsungan
pengalaman rohani yang tidak hanya memerlukan kerja pikirannya, tapi juga
hati dan perasaan, yang sedianya dilengkapi oleh kemampuan imajinatif dan
kepekaan intuitif.24
Akhirnya yang patut dicatat bahwa konvensi puisi selalu berubah dari
masa ke masa di berbagai tempat yang berbeda. Tidak jarang sebuah teks
diterima begitu saja sebagai puisi hanya karena penulisnya dalah seorang
penyair, atau karena teks tersebut memiliki unsur-unsur puitik. Namun, seperti
21 Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Widyatama, 2004), h.68. 22
Budianta, loc. cit. 23
Hadi W. M, op. cit., h. 34 24
Emha Ainun Najib, Budaya Tanding, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h.131.
18
dikatakan oleh Werren Wellek, fungsi puisi pada akhirnya adalah setia pada
dirinya sendiri (fidelity to its own nature).25
Dengan kata lain, kita tahu bahwa kita sedang menghadapi sebuah puisi
ketika menjadi acuannya adalah teks itu sendiri, dan bukan pengarangnya, atau
pembacanya, atau masyarakat sezamannya. Puisi adalah bentuk karya sastra
yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan
disusun dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.
2. Bentuk dan Struktur Fisik Puisi
Bentuk dan struktur fisik puisi mencakup (a) perwajahan puisi, (b) diksi,
(c) pengimajian, (d) kata kongkret, (e) majas atau bahasa figurative, dan (f)
verifikasi. Semua unsur-unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh.26
a) Perwajahan Puisi, adalah pengaturan penulisan kata, larik dan bait
dalam puisi. Pada puisi konvensional, kata-kata diatur dalam deret
yang disebut larik atau barik. Setiap satu larik tidak selalu menderet
yang disebut larik atau baris. Namun pengaturan dalam bait-bait ini
sudah berkurang atau sama sekali tidak ada pada puisi modern atau
puisi kontemporer.
b) Diksi, adalah kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Pemilihan kata dalam puisi berhubungan erat dengan makna,
keselarasan bunyi, dan urutan kata. Pemilihan kata juga berhubungan
erat dengan latar belakang penyair.
c) Imaji, adalah kata-kata atau kelompok kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan,
pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga: imaji
suara (audio), imaji penglihatan (visual) dan imaji raba atau sentuh
(imaji taktil).
d) Bahasa figuratif (majas), adalah bahasa kias yang dapat
menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi
25
Budianta, op. cit., h... 26
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 113
19
tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatik,
artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.
e) Verifikasi (Rima, Ritme, dan Metrum)
Rima, adalah sedikit perbedaan konsep rima dengan sajak.
Sajak adalah persamaan bunyi pada akhir baris puisi,
sedangkan rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di
awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Rima mencakup (1)
onomatope, (2) bentuk intern pola bunyi, dan (3) pengulangan
kata atau ungkapan.
Ritma dan Metrum, merupakan tinggi-rendah, panjang-pendek,
keras-lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol bila puisi
dibacakan. Ada ahli yang menyamakan ritma dengan metrum27
3. Bentuk Struktur Batin Puisi
L.A Richards berpendapat bahwa struktur batin puisi terdiri atas empat
unsur, (a) tema; makna (sense), (b) rasa (feeling), (c) nada (tone) dan (d)
amanat; tujuan; maksud (intention)
a) Tema atau Makna, menurut Mursal Esten “sebuah cerita rekaan
membutuhkan tema. Tema ini akan dijalin di dalam sebuah plot
cerita.”28
Tema sendiri merupakan gagasan pokok yang ingin
disampaikan oleh pengarang yang dimuat dalam karyanya.29
b) Rasa, dalam puisi rasa adalah sikap penyair terhadap pokok
permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan
rasa berkaitan erat dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair.
c) Nada, dalam puisi nada adalah sikap penyair terhadap pembacaannya.
Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa.
27
Ibid., h. 113
28 Mursal Esten, Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur, (Bandung: Angkasa, 2013),
h.134. 29
Siswanto, op. cit., h. 124.
20
d) Amanat dan Tujuan, sadar atau tidak, ada tujuan yang mendorong
seorang penyair untuk menciptakan puisinya. Tujuan tersebut bisa
dicari sebelum penyair itu menciptakan puisi maupun dapat ditemui
dalam puisinya30
C. SEMIOTIK
1.Pengertian Semiotik
Secara singkat semiotik bisa disebut sebagai ilmu yang mempelajari tanda
dan sistem tanda secara sistematik, dengan pengertian demikian tersimpul dua
hal yang berhubungan, yaitu yang menandai dan ditandai, atau petanda dan arti
tanda.31
Sementara itu filosof John Locke berpendapat referred to semtotfea,
which he defined as 'the Doctrine of Signs, [...]; the business whereof, is to
consider the Nature of Signs, the Mind makes use of for the understanding of
Things, or conveying its Knowledge to others.32
Dalam lapangan kritik sastra,
penelitian semiotika meliputi analisis sastra dengan sebuah penggunaan bahasa
yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti
ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus)
wacana memiliki makna.
Dalam penelitian ini yang dibicarakan hanyalah semiotik modern yang
mempunyai dua orang pelopor, yaitu Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de
Saussure. Kedua tokoh yang dianggap sebagai pendiri semiotik modern adalah
dua orang yang hidup sezaman, bekerja secara terpisah dan dalam lapangan
yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), seorang ahli linguistik yaitu
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles
Sanders Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu ini dengan nama
30
Siswanto, Ibid. h. 124-125 31
Atmazaki, Ilmu Sasta, Teorii dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990) h. 77
32 Bronwen Martin and Felizitas Ringham, Dictionary of Semiotics, (New York:
CASSELL, 2000), h.1
21
semiologi, sedangkan Peirce menyebutnya semiotik (semiotiks) kemudian
nama itu sering dipergunakan bergantian dengan pengertian yang sama.33
2. Teori Semiotik dalam Analisis Karya Sastra (puisi)
Menurut Peirce ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda,
yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi
dalam batin si penerima. Semiotika yang ditawarkan Pierce ditujukan untuk
mengembangkan kategori tanda, seperti membuat perbedaan antar ikon,
indeks, dan simbol.34
“ikonis” dimana tanda mirip dengan apa yang
diwakilinya (foto mewakili objek yang difoto); “Indeksikal”, di mana tanda
diasosiasikan dengan apa yang ditandai olehnya (asap dengan api), dan
“simbolis” , di mana, seperti halnya menurut Saussure, tanda hanya terhubung
secara arbitrer atau konvensional dengan rujukannya.35
Pada pengembangan lebih jauh Pierce menjelaskan tentang adanya tiga
unsur dalam tanda, yaitu: representamen, objek, dan interpretan hubungan
ketiga unsur yang membentuk tanda ini, dapat terlihat pada bagan berikut
objek
Resepentamen interpretan.
Bagan Trikotomi Tanda Peirce
Kemudian dari trikotomi tersebut dibagi lagi menjadi tiga tahapan. Pada
trikotomi pertama, hubungan antara representamen, Pierce membuat klasifikasi
33 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet.ke-6, h. 119.
34 Peirce's work is devoted to the development of sign categories such as making a
distinction between icon, index and symbol. Baca: Bronwen Martin and Felizitas Ringham,
Semiotics Dictionaries, (New York: British Library, 2000), h.1
35 Terry Eagleton,Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, Terj. dari Literary
Theory: An Introduction, 2nd Edition oleh Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini (Yogyakarta:
Jalasutra, 2006) h. 145
22
tanda dalam tiga tahapan berdasarkan sudut pembentuknya, yaitu: Qualisign
(yang membentuk kualitas), Sinsign, dan legisign (sesuatu yang berfungsi
sebagai tanda). Kemudian pada trikotomi yang kedua, Peirce
mengklasifikasikan tanda berdasarkan hubungan antara representamen dan
objek. Ketiga anggota trikotomi itu adalah ikon, indeks, dan simbol. Pada
trikotomi yang ketiga, Pierce membuat klasifikasi tanda dalam tiga tahapan
berdasarkan hubungan antara interpresentamen dengan interpretan yaitu rheme,
discent, dan argumen.36
Morris (1901-1979) adalah seorang pemuka semiotik Amerika. Teorinya
berakar pada teori yang dikemukakan oleh Peirce, meskipun demikian
pemikirannya tidak selalu sejalan dengan Peirce. Tidak seperti Peirce yang
membagi proses semiosis triadic kepada sembilan jenis tanda, maka Morris
membaginya kepada tiga jenis yaitu teori tentang tiga tataran semiotik yaitu,
pragmatics, semantics, and syntactic.
Selanjutnya Morris mendefinisikan ketiganya sebagai berikut; syntactics
was the study of the relationships of signs to other signs, while semantics
investigated the connections between signs and the objects to which the signs
are applicable, and pragmatics ought to be devoted to the relationships
between signs and their users or interpreters.37
Secara mendalam Morrism
menjelaskan lagi:
“Syntactics is, then, the consideration of signs and sign
combination in so far as they are subject to syntactical
rules. It is not interested in the individual properties of
the sign vehiclen or in any of their relations except
syntactical ones, i.e., relations determined by syntactical
rules”.38
36 Okke Kusuma Sumantri Zaimar, Semiotika dalam Analisis Karya Sastra, (Depok: PT
Komodo Books, 2014) h. 3-8
37 Paul Cobley, The Routledge Companion To Semiotic and Linguistics, (London: British
Library, 2001), h. 83
38 Charles Morris, Foundations of the Theory of Sign, (London: University of Chichago
Press. 1970), h. 14
23
Oleh itu, sintaksis merupakan kesadaran tentang tanda dan kombinasi
tanda selagi ia di bawah peraturan sintaksis. Ia merupakan kajian tentang
penulisan tanda, mengkaji hubungan antara tanda-tanda seperti yang
ditetapkan dan ditentukan oleh peraturan.39
Sementara itu untuk semantik, Morris menjelaskannya sebagai berikut
semantic: comprehension of the intended meaning of the sign;.40
Dengan kata
lain semantik adalah studi tentang “hubungan tanda dengan objek yang diacu”
Mengenai pragmatik menurut Charles Morris:
“The term`pragmatics‟ has abviously been coined with
reference to the term `progmatism‟. It is a plausible view
that the permanent significance of pragmatism lies in the
fact that it has directed attention more closely to the
relation of signs to their users …..”.41
Dalam hal ini Morris melakukan penafsiran kepada tanda dikenali sebagai
organisma, maka `makna tanda‟ pula merupakan suatu kebiasaan dari pada
organisma untuk bertindak balas
Kemudian definisi ini perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Seorang ahli
semiotik lainnya, Carnap mengemukakan perbedaan tersebut sebagai berikut:
apabila kita menganalisis bahasa, tentu saja kita akan
menaruh perhatian pada ujaran-ujarannya. Namun, kita
tidak selalu berurusan dengan pengujar dan acuan.
Meskipun faktor-faktor ini selalu ada bila bahasa
digunakan, kita dapat saja tidak melibatkan salah satu atau
kedua faktor tersebut. Itulah sebabnya kita membedakan
ranah penelitian dalam bahasa. Apabila dalam suatu
penelitian ada pengacuan secara eksplisit pada pengujar
atau untuk menempatkannya dalam istilah yang lebih
umum mengacu pada pemakaian bahasa, maka kita perlu
memasukan hal tersebut ke ranah pragmatik. Apabila kita
tidak melibatkan pemakaian bahasa dan hanya
menganalisis ujaran dan acuannya, kita berada dalam
ranah semantik, dan akhirnya, bila kita tidak juga
melibatkan acuan dan pemakai bahasa, maka kita berada
dalam ranah sintaksis. Keseluruhan ilmu pengetahuan
39
Ibid., h.15-16 40
Daniel Chandler, Semiotics: Basics,edition 2 (New York: Routledge, 2007), h.196 41
Morris, op. cit., h.29
24
tentang bahasa, yang terdiri dari ketiga ranah yang telah
disebutkan tadi, disebut semiotik.42
Maka dari itulah penyajian teori semiotika dalam penelitian ini, teori
Chales Sanders Pierce tidak digunakan semuanya, tetapi hanya ground nya
saja. Teori Morris yang lebih banyak digunakan dalam penelitian ini.
3. Aspek Teks Sastra (Puisi)
Sama halnya Charles Morris yang membagi semiotika menjadi tiga tataran
analisis, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik, sebuah teks sastra menurut
Van Luxemburg dkk apabila dilihat sebagai tanda bahasa, atau sebagai
kumpulan tanda, yang mempunyai berbagai hubungan, memiliki tiga aspek:
pertama, sintaksis teks, yaitu mengkaji hubungan tanda yang satu dengan tanda
yang lain; kedua, semantik teks, yaitu mengkaji tanda dengan maknanya; dan
ketiga, pragmatik teks, yaitu mengkaji hubungan tanda dengan pemakai
tanda.43
Sehingga berdasarkan pendapat tersebut, sebuah teks termaksud teks
puisi memiliki tiga aspek yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik.
a) Aspek Sintaksis untuk Analisis Puisi
Menurut Van Luxemburg dalam puisi mudah terjadi struktur-struktur
sintaksis yang lain dari pada struktur sintaksis dalam bahasa sehari-hari.
Kadang-kadang pola itu kelihatan agak dibikin-bikin urutan kata dibalikan
demi rima atau metrum. Van Luxemburg pun membagi pola-pola sintaksis
menjadi dua, yaitu; pertama, kaidah-kaidah sintaksis diabaikan dan yang
kedua, pola-pola tertentu diulang-ulang sehingga terjadi keteraturan
tambahan.44
Dari pendapat tersebut maka analisis pada tataran ini dibagi
menjadi dua bagian, yang pertama, analisis bentuk dan unsur bunyi dalam
puisi, yang kedua, analisis aspek sintaksis (berdasarkan rangkain kalimat)
42
Zaimar, op. cit., h. 32-33
43 Van Luxemburg, Jan dkk, Tentang Sastra, Terj Achadiati Ikram, (Jakarta: Intermasa,
1989), h.51-53 44
Ibid., h 192
25
1) Analisis Bentuk dan Unsur Bunyi dalam Puisi
Secara sepintas, ciri-ciri sebuah puisi dapat di lihat dari bentuk puisi, yang
dimaksudkan sebagai perwajahannya. Perwajahan atau tipografi pada puisi
adalah penulisan kata, larik, dan bait dalam puisi. Pada puisi konvensional,
kata-kata diatur dalam deret yang disebut baris atau larik. Setiap satu larik
tidak selalu mencerminkan satu pernyataan, dan tidak selalu diawali dengan
huruf kapital dan di akhiri dengan tanda baca. Kumpulan pernyataan dalam
puisi tidak membentuk paragraf, tetapi membentuk satu bait. Sebuah bait
dalam suatu puisi mengandung satu pokok pikiran.45
Selain analisa tataran tipografi, pada analisis sintaksis juga dibahas
permasalahan bunyi yang merupakan unsur sangat penting dalam puisi. Unsur
yang terdapat didalamnya seperti nada dan irama menjadi pembeda dari
bentuk lainnya. Terlebih lagi beberapa penyair Indonesia (khususnya dalam
hal ini Sutardji Calzoum Bachri) menganggap puisi sebagai mantra.46
Sementara Wellek dan Warren mengartikan rima sebagai “pengulangan
(atau mendekati pengulangan) bunyi, rima yang mempunyai fungsi efoni.”47
Wellek dan Warren pun menambahkan, bahwa efek bunyi berbeda dari satu
bahasa ke bahasa lainnya, sebab tiap bahasa mempunyai sistem fonetiknya
sendiri.48
Wellek dan Warren tak lupa menekankan pula, yang terpenting untuk
diingat bahwa rima mempunyai makna dan sangat terlibat dalam membentuk
ciri puisi secara keseluruhan. Kata-kata disatukan, dipersamakan atau
dikontraskan oleh rima.49
Puisi terdiri atas rima, ritme dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi
pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Rima mencakup;
onomatope (tiruan terhadap bunyi), bentuk intern pola bunyi (aliterasi,
45
Siswanto, op. cit., h.113 46
Zaimar, op. cit., h. 50
47 Rene Wellek & Austin Warren, Buku Teori Kesusastraan. Terj.dari Theory of
Literature oleh Melani Budianta , (Jakarta: PT Gramedia, 1989), h.199 48
Ibid, h. 198. 49
Ibid. h. 17
26
asonansi, persamaan awal, sejak berselang, puisi perpengaruh, puisi penuh,
repetisi bunyi dan sebagainya), pengulangan kata. Dalam onomatope, yang
berkaitan dengan vocal. Perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang
menunjukan kegembiraan serta keceriaan dalam dunia puisi disebut eupfony,
yakni bunyi e, i dan a. Sedangkan untuk bunyi-bunyi yang berat menekan,
menyeramkan, mengerikan, seolah-olah desah bunyi burung hantu disebut
cacophony, yakni bunyi o, u, e dan au.50
Meskipun demikian, perlu diingat
bahwa kesan bunyi ini sangat tergantung dari konteks, dan hanya menopang
makna yang sudah ditemukan dengan penelitian unsur-unsur lainnya.
2) Analisis Aspek Sintaksis
Menurut Ramlan sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang
membicarakan suluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase. 51
Selain itu
Abdul Chaer juga mengatakan hal serupa, menurutnya pada satuan sintaksis,
dibatasi menjadi lima macam satuan sintaksis, yaitu kata, frase, klausa,
kalimat, dan wacana. Secara hierarkial, maksudnya, kata merupakan satuan
terkecil yang membentuk frase; lalu frase membentuk klausa; klausa
membentuk kalimat; dan kalimat membentuk wacana. Dalam hal ini berbeda
dengan paham tata bahasa tradisional yang mengatakan bahwa kalimat adalah
satuan tersebesar dalam kajian sintaksis.52
Dalam penelitian ini, masalah
analisis aspek sintaksis yang dijelaskan dibatasi pada kalimat atau kajian pola
kalimat.
Jika dikaitkan ke dalam penciptaan puisi yang menggunakan bahasa
sebagai medianya, Linus berpendapat, “puisi yang baik bukan sekedar hasil
kelihaian penyairnya beretorika, bukan sekedar hasil kemahiran penyairnya
50
Siswanto, op. cit., h.122 51
M. Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia, Sintaksis (Yogyakarta: CV. Karyono, 2005), cet ke-5, h. 18 52
Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta,
2009), h. 37
27
mengartikulasikan kata-kata abstrak, tapi hasil kesanggupan penyairnya
mentransformasikan pengalamannya menjadi kata-kata intuitif.”53
Ketika membicarakan apa itu kalimat, maka kita akan dihadapkan oleh
beberapa definisi yang dilakukan orang. Abdul Chaer mendefinisikan kalimat
sebagai satuan sintaksis yang disusun oleh konstituen dasar yang biasanya
berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai
dengan intonasi final.54
Menurut Ida Bagus Putrayasa, yang dimaksud dengan
kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang
yang disertai nada akhir naik atau turun.55
Dalam mengkaji teks puisi, teks sebagai kalimat tidak hanya dikaji dalam
wujud tulisan, yang harus diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda titik, seru, dan tanya. Teks diperlakukan pula dalam wujud lisan.
Sebuah larik puisi di perlakukan sebagai kalimat dengan mempertimbangkan
konteks ketika diucapkan dengan suara naik turun, keras lembut, disela jeda,
dan diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan asimilasi
bunyi ataupun proses fonologi lainnya.
Jenis-jenis kalimat yang dibicarakan dalam penelitian ini dibatasi pada
jenis kalimat berdasarkan klausanya, yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu;
kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang
terdiri atas satu klausa atau satu konstituens subjek dan predikat.56
Kalimat
majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih, atau bisa
dikatakan sebagai jenis kalimat yang terjadi dari beberapa klausa bebas.
Kalimat majemuk dapat dibedakan atas tiga bagian besar, yaitu; kalimat
majemuk setara (gabungan kalimat tunggal yang unsurnya tidak ada yang
dihilangkan), kalimat majemuk rapatan (gabungan kalimat tunggal yang
unsur-unsurnya sama dirapatkan), dan kalimat majemuk bertingkat (kalimat
53 Pamusuk Erneste (ed.), Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang
(Jilid 3), (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2009), h. 26. 54
Chaer, op. cit., h.44
55 Ida Bagus Putrayasa, Analisis Kalimat, Fungsi, Kategori, dan Peran, (Bandung:
Refika Aditama, 2007), h.20 56
Ibid., h. 26
28
tunggal yang dibentuk menjadi sebuah kalimat, dan kalimat bentukan ini
digabungkan dengan sisa kalimat sebelumnya).57
Pengertian klausa menurut Ramlan adalah satuan gramatikal yang terdiri
dari subjek, predikat, baik disertai objek, pelengkap, keterangan, maupun
tidak.58
Selain itu klausa juga dapat digolongkan berdasarkan kategori atau
frase yang mendukung fungsi predikat, yaitu klausa nominal, klausa verbal,
klausa bilangan, dan klausa depan.59
Pendapat-pendapat yang diutarakan oleh beberapa ahli dalam penelitian ini
akan dijadikan acuan dalam pengertian yang umum. Dalam hal ini yang lebih
diutamakan adalah teks puisi dengan segala keunikannya. Selain itu,
penentuan batas antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam teks
puisi yang dianalisis akan didasarkan pada kelengkapan makna.
3) Aspek Sematik untuk Analisis Puisi
Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris/semantics
dan bahasa Yunani sema (nomina) “tanda”; atau dari verba semaino
“menandai”, “berarti”.60
Namun pembicaraan masalah semantik teks sastra
dibatasi pada denotasi dan konotasi, gaya bahasa dan isotopi. Pembahasan
masalah tersebut dilakukan satu persatu.
1) Denotasi dan Konotasi
Denotasi adalah penunjuk yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau yang
didasarkan atas konvensi tertentu. Sehingga dapat dikatakan kata denotatif
memiliki sifat yang objektif karena makna yang terkandung dalam kata
sifatnya pasti atau sudah pasti.61
Menurut Kridalaksana makna konotatif ialah
makna yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau
57
Ibid., h. 55-59 58
Ramlan, op. cit., h. 79 59
Putrayasa, op. cit., h 13
60 Fatimah DjajaSudarma, Semantik 1 (Pengantar ke arah ilmu makna), (Bandung:
Refika, 1999), cet ke-2, h.1 61
Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 84-85
29
ditimbulkan pada pembicara dan pendengar.62
Sehingga dapat dikatakan
memiliki sifat yang subjektif karena makna yang terkandung bersifat
tambahan.63
Secara fundamental, puisi bertopang pada proses konotasi. Melalui proses
inilah sebuah kata dalam konteks tertentu menjadi penanda dari petanda yang
lain: penanda disini tetap memegang makna denotatifnya, namun selain itu ia
(penanda tersebut) mempunyai nilai semiotik atau simbolik yang baru. Untuk
puisi, analisis semantik dilakukan antara lain terhadap kosa-kata, yaitu pilihan
kata dan konotasi yang ditimbulkannya. Namun sekali lagi, makna yang
dipilih tidaklah semena-mena dikarenakan sangat tergantung dari konteks.64
Pemahaman denotasi dan konotasi kata merupakan masalah yang
mendasar bagi penyair dalam mencipta puisi, dan berdasarkan pengetahuan
itu penyair memanfaatkan bahasa/kata-kata sehari-hari untuk mengungkapkan
pengalaman batinnya. Hal tersebut sesuai dengan penyataan Werren dan
Wellek sebagai berikut:
“Bahasa puitis mengatur, memperkental sumber daya
bahasa sehari-hari, dan kadang-kadang sengaja membuat
pelanggaran-pelanggaran untuk memaksa pembaca untuk
memperhatikan dan menyadarinya”65
Selain itu dalam kegiatan menganalisis, para penganalisa harus memahami
pula konotasi dan denotasi kata, karena melalui kata-kata tersebut teks puisi
dapat ditentukan. Sehingga pemahaman denotasi dan konotasi kata atau tanda
merupakan hal penting dalam kegiatan analisis teks sastra.
Pada hakekatnya puisi ingin menggambarkan sesuatu secara tajam tetapi
sekaligus juga banyak artinya, maka tiap kata dan rangkaian kata yang
62 Rachmat Djoko Pradopo dkk, Puisi, (Jakarta: Universitas Terb
uka, 2007) cet. 3, h.5.21 64
Zaimar, op. cit., h. 67 65
Rene Wellek & Austin Warren, op. cit., h.17
30
digunakan penyair. Kata-kata pilihan penyair yang demikian itu disebut arti
konotasi dan denotasi dari kata.66
Perbedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada adanya atau
tidak adanya “nilai rasa” pada sebuah kata, terutama yang disebut kata penuh
mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata tersebut memiliki makna
konotatif.67
2) Gaya Bahasa dan Bahasa Kiasan.
Secara sederhana gaya bahasa ialah pemakaian ragam bahasa dalam
mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata
dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu.68
Sementara itu Gorys Keraf
mengartikan gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui
bahasa secara khas yang memperlihatkan dan kepribadian penulis (pemakai
bahasa).69
Ada pun gaya bahasa yang akan dibahas pada penelitian ini hanya
berdasarkan struktur kalimat. Adapun gaya bahasa yang dimaksud yaitu;
Gaya bahasa klimaks (gaya bahasa yang semakin meningkat kepentingannya
dari gagasan sebelumnya), anti klimaks (kalimat yang strukturnya
mengendur), paralelisme (berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian
kata-kata atau frasa yang sama dalam bentuk gramatikal), antitesis
(mengandung gagasan yang bertentangan), dan repetisi (perulangan bunyi,
suku kata, kata atau bagian kalimat yang penting)70
Selain itu untuk mendapatkan unsur kepuitisan yang lain, ialah dengan
menggunakan bahasa kiasan (figuratif). Bahasa kiasan ada bermacam-macam,
namun meskipun begitu mempunyai satu sifat hal yang umum bahasa kiasan
mempertalikan sesuatu dengan menghubungkannya dengan yang lain.71
66
Jakob Sumardjo, Memahami Kesusastraan, (Bandung: Alumni, 1984), h. 78
67 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), cet
ke-2, h. 65 68
Zainuddin, op. cit., h. 51 69
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia 2001), cet.11, h. 113 70
Ibid., h. 124-127 71
Pradopo, op. cit., h. 61-62
31
Ada pun pada garis besarnya gaya bahasa itu dapat dibedakan menjadi 4
golongan yaitu, (1) gaya perbandingan yang didalamnya metafora,
personifikasi, asosiasi, metonimia, hiperbola, alusio. (2) gaya sindiran yang di
dalamnya ironi, sinisme, dan sarkasme. (3) gaya penegasan yang di dalamnya
epifora, ihversi. (4) gaya pertentangan atau paradoks.72
3) Isotopi, Motif dan Tema
Kata isotopi berasal dari kata Yunanni yaitu isos dan topos yang masing-
masing berarti “sama” dan “tempat”. Konsep isotopi dikemukakan oleh
Graimas dan disempurnakan oleh ahli lain. Konsep itu timbul karena adanya
makna kata yang bersifat polisemis, dan adanya kebutuhan analisis wacana
sastra pada tataran suprakalimat73
.
Isotopi adalah wilayah (medan) makna terbuka yang terdapat di sepanjang
wacana. Kata-kata mempunyai komponen makna yang sama dapat
membentuk isotopi. Isotopi yang dominan akan mendukung sebuah motif dan
keseluruhan motif mendukung tema. Dengan adanya analisis isotopi pada
penelitian ini, penentuan tema mempunyai dasar yang kuat. Perlu diingat
kembali bahwa yang dimaksud dengan motif di sini adalah pengulangan
gagasan tertentu dan tema adalah gagasan yang terdapat dari awal hingga
akhir teks. Dengan demikian, isotopi, motif, dan tema merupakan suatu
hierarki makna74
.
Hal tersebut serupa dengan yang dikatakan M.P Schmitt dan A. Viala
“motif dan tema digunakan dengan makna yang sama dengan yang digunakan
dalam komposisi musik, yaitu pada unsur-unsur yang berulang”. Motif adalah
isotopi kompleks yang terbentuk dari beberapa motif .75
72
Sumardjo, op. cit., h. 93-96
73 Okke Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang, (Jakarta: ILDEP,
1990) h. 113 74
Zaimar, op. cit., h. 84 75
Zaimar, op. cit., h. 136
32
c) Aspek Pragmatik untuk Analisis Puisi
Horatius dalam Art Poeticanya mengatakan tentang tugas atau fungsi
penyair sebagai berikut:
Aut prodesse volunt aut delectare poetae
Aut simul et iucunda et idonea dicere vitae
(tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat, atau sekaligus
mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan)
Dalam kutipan ini terungkap pendekatan terhadap sastra yang disebut
pragmatik dan dalam sejarah kritik sastra sangat berpengaruh.76
Selain itu
pragmatik dalam ilmu bahasa merupakan kajian tentang kemampuan
pemakaian bahasa untuk mengkaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang
disesuaikan bagi kalimat-kalimat itu77
.
Pendekatan pragmatik sebagai salah satu kajian sastra menitik beratkan
dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya
sastra.78
Pendapat serupa pun diungkapkan oleh Van Luxemburg dkk, yang
mengatakan setiap teks sastra mempunyai pembicara sendiri. Pembicara dalam
teks puisi disebut si aku, si aku lirik atau subjek lirik. Oleh karena teks puisi
bersifat monolog maka pembicara dalam kebanyakan puisi tidak saja berfungsi
sebagai penutur tetapi juga menjadi tokoh sentral yang menjadi pokok
pembicaraan.79
Pendengar atau yang diajak bicara dalam teks puisi beraneka ragam.
Masalahnya sama dengan aku lirik, ada yang ekplisit, dan ada pula yang
implisit. Pendengar dalam teks puisi tidak terbatas pada manusia, tetapi juga
dapat Tuhan, dewa, alam, angin, dan sebagainya
76
A Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003), cet. 3 h. 151 77
Atmazaki, Ilmu Sasta, Teoti dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990) h. 69 78
Ibid., h. 68 79
Van Luxemburg dkk, op. cit., h.74
33
Menurut Van Luxemburg dkk, apabila aku lirik berbicara terhadap sesuatu
yang tidak mengharapkan jawaban disebut apostrofe hal ini dijelaskan oleh
Van Luxemburg sebagai berikut;
Apostrofe dapat juga dianggap sebagai metode penggubahan
terpenting bagi puisi lirik. Dengan mengajak bicara sesuatu
yang tidak bisa hadir, mati atau tak bernyawa, sesuatu itu
dihadirkan , dihidupkan, dan dimanusiakan. Dengan demikian
ia menjadi pemantul suara yang walaupun sendirinya diam,
namun tanggap terhadap subjek lirik yang justru memerlukan
pemantul semacam itu untuk mengungkapkan perasaanya ....80
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, pembaca karya sastra,
berdasarkan moder semiotik, berada dalam berbagai tegangan; pertama
tegangan antara sistem sastra dan penerapan sistem secara individual,
yang tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur bahasa; kedua tegangan
antara sistem sastra dan karya individual, yang pada satu pihak
merupakan perwujudan sistem sastra, penerapan konvensi dan
kompetensi yang dikuasainya, sekaligus merupakan penyimpangan dari
dan pemberontakan terhadap sistem itu sehingga pembaca
dikian-kemarikan oleh sistem dan karya individual.81
D. Pembelajaran Sastra
1. Sastra dalam Pembelajaran Hari ni
Di kalangan masyarakat tertentu, penyair memperoleh gelar terhormat
lantaran dianggap „seorang nabi‟. Pramoedya menuliskan pengalamanya dalam
menghadiri suatu konfrensi yang diadakan di Cina, yang dimuat dalam Mimbar
Indonesia pada tahun 1957. Pramoedya menuliskan kesan-kesannya sebagai
berikut:
Para penulis Cina menempati kedudukan yang tinggi. Suara
mereka didengarkan oleh masyarakat. Bersama dengan
politikus, mereka menjadi para pemimpin spiritual yang
memegang peran sangat penting dalam pembangunan bangsa di
80
Ibid., h. 80 81
Teeuw, op. cit., 3 h. 149
34
zaman kita. Ini turut menjelaskan mengapa penulis
diperlakukan sangat baik oleh masyarakat.”82
Meski demikian, sampai hari ini proses pembelajaran puisi tak jarang
menjumpai banyak kesulitan, entah karena minat siswa yang kurang, dengan
alasan mulai dari sulitnya memahami bahasa puisi yang dianggap di luar
kebiasaan dari proses berkomunikasi sehari-hari, sampai dengan alasan yang
menganggap bahwa membaca atau menulis puisi merupakan proses yang
membosankan dan tak lagi berguna dibandingkan bidang studi lainnya yang
memberikan ilmu pengetahuan secara jelas. Bahkan tidak jarang proses
pembelajaran puisi menjadi tersendat karena disebabkan para guru bahasa dan
sastra sendiri cenderung menghindarinya karena merasa kesulitan untuk
mengajarkannya.
Menurut Rahmanto, pada umumnya dalam usaha mengajarkan bagaimana
cara menikmati puisi, dijumpai dua macam hambatan yang cukup
mengganggu. Yang pertama, adanya anggapan kebanyakan orang yang
menyatakan bahwa secara praktis puisi sudah tak berguna lagi, merujuk pada
gaya hidup kekinian dalam dunia praktis yang banyak tergantung pada ilmu
bisnis, ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia, dan biologi), serta teknologi
modern.83
Hambatan yang kedua bagi Rahmanto adalah pandangan yang disertai
prasangka bahwa mempelajari puisi sering tersandung pada diksi-diksinya
yang „ruwet‟. Pandangan semacam ini mungkin sekali berasal dari para siswa
yang berkemauan keras untuk melakukan yang terbaik dengan berusaha
memahami dan menikmati sajak-sajak terkenal yang ditulis oleh para penyair
yang sering menggunakan simbol, kiasan dan ungkapan-ungkapan tertentu
yang membingungkan.84
82 Sebenarnya pendapat Pramoedya ini pertama kali ditulis di Mimbar Indonesia dengan
judul “Sedikit tentang Pengarang Tiongkok” pada tanggal 19 Januari 1957, di halaman 57, namun
pada penelitian ini penulis menyitir pendapat Pramoedya dari: Hong Liu, Goenawan Mohamad
dan Summit Kumar Mandal, Pram dan Cina, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h.25. 83
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988), h.44. 84
Ibid, h. 46.
35
Hal yang paling penting menurut Rahmanto adalah agar para pengajar
tidak terlalu terburu-buru dalam membebani para siswa dengan istilah-istilah
teknis dan gaya bahasa yang kompleks.85
Dalam beberapa hal, puisi memang
merupakan bahasa dan yang padat dan penuh arti, jadi apabila bahasa dan
pokok persoalan puisi itu mempunyai keselarasan, niscaya siswa akan merasa
dirinya menghadapi sesuatu yang mengesankan dan memerlukan perhatian
khusus dalam praktek pembelajaran bahasa dan sastra.
2. Sastra dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran
Pada bab sebelumnya telah dijabarkan bagaimana sifat sastra yang pada
hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik, dan pada praktiknya
kita dapat menilai bagaimana sastra dan implikasinya dalam proses belajar di
bawah ini.
Pertama, sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan
berbahasa. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa,
yaitu: (1) menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, mengikut
sertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa
berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah keterampilan
menyimak, bicara dan menulis. B. Rahmanto menjelaskan sebagai berikut
Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa
dalam praktek. Belajar sastra harus selalu berpangkal
pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya
merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus
diteliti, ditelusuri, dianalisis dan diintegrasikan.”86
Dalam pembelajaran sastra pun siswa di arahkan untuk melatih
keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan
guru, teman atau lewat rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara
dengan ikut berperan dalam suatu drama atau saat membacakan puisi di depan
teman-temannya. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca
85
Ibid, h.48. 86
Ibid.,h.38.
36
dengan membacakan puisi atau prosa. Siswa pun mendapat keterampilan
menulis ketika diajak untuk menuliskan pengalamannya atau diajak
menciptakan puisi.
Yang kedua, sastra memberi wawasan kebudayaan. Sastra tidak seperti
bidang studi pada umumnya yang menyuguhkan pengetahuan dalam bentuk
jadi. Ini diibaratkan, jika ilmu pengetahuan lainnya didasarkan atas perbedaan
logika, perbedaan sudut pandang dalam memecahkan problematika atas hal
keilmuan tersebut, maka dalam sastra pun karya lahir dalam perbedaan cara
pandang sastrawan dalam memecahkan problematika kehidupan manusia,
tetapi perbedaan tersebut didasarkan atas perbedaan aspek-aspek estetis. Dalam
hal ini Nyoman Kutha Ratna memberikan contoh, ia menyatakan bahwa,
“dalam karya besar bentuk dan isi memperoleh maknanya secara proporsional
sebab karya besar merupakan indikator perkembangan suatu kebudayaan
tertentu.”87
Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak langsung
sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang menyangkut dengan
aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa secara
historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya semangat kebangsaan.
Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat kesimpulan atas pendapat-
pendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu kesimpulannya sebagai
berikut:
“Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-
lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau
kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia
harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak
hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari
pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial
dan kultural, dan karya sastra itu sendiri merupakan objek
kultural yang rumit.”88
87 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.515
88 Sapardi DjokoDamono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas ,(Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978), h. 4.
37
Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra
memuat bagaimana semangat zamannya yang bersifat kolektif, yang
menggambarkan perkembangan sosial masyarakat atau kebudayaan yang
berlaku pada saat itu. Oleh karena itu, apabila kita dapat merangsang siswa-
siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa
itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri jauh lebih penting
dibanding karya sastra itu. Hal yang demikian akhirnya memberikan
pengalaman yang berbeda ketika menelaah fakta lewat karya sastra sehingga
pada akhirnya meningkatkan minat siswa untuk lebih jauh menyelami dunia
pembelajaran sastra.
Ketiga, sastra menunjang pembentukan watak. Perilaku seseorang pada
dasarnya mengacu pada faktor-faktor kepribadiannya yang paling dalam. Tak
ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia secara
pasti kecuali pendidikan yang menggunakan praktik Brain Wash atau cuci
otak. Bagaimanapun pendidikan hanya dapat berusaha membina dan
membentuk, akan tetapi pendidikan tidak menjamin secara mutlak bagaimana
watak manusia yang dididiknya.
Di sisi lain, sastra sebagai media pendidikan yang memuat pembelajaran
moral diharapkan dapat menjadi tuntunan kearah pembetukan etika,
sebagaimana ungkapan Nyoman Kutha Ratna bahwa “memahami karya sastra
pada gilirannya merupakan pemahaman terhadap nasihat dan peraturan,
larangan dan anjuran, kebenaran yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang
harus ditolak, dan sebagainya.”89
Sementara Rahmanto berpendapat bahwa seseorang yang telah banyak
mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih
peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab
di banding pelajaran-pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra
mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh
rangkaian kemungkinan hidup manusia.”90
Rahmanto beranggapan bahwa
89
Ratna, op.cit., h. 438 90
Rahmanto, op.cit., h. 24
38
pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha
mengembangkan berbagai kualitas kepribadian anak didik sehingga ia akan
mampu menghadapi masalah-masalah hidup dengan pemahaman, wawasan,
toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan alat
untuk mendidik, terlebih jika dikaitkan dengan pesan muatannya, hampir
secara keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana pembelajaran guna
mengasah keterampilan berbahasa, menambah wawasan dan membentuk etika
pada kepribadian si anak didik.
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan refrensi atau sumber acuan guna
menopang penelitian yang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber
dari makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya. Penelitian-penelitian
yang mengulas puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri dapat ditinjau dari beberapa
penelitian skirpsi. Berikut ini, tinjauan penulis pada penelitian yang mengkaji
puisi-puisi Sutadji Calzoum Bahcri bisa dilihat dalam karangan Prasetyo Heru
dari Universitas Negeri Semarang dengan judul “Pencarian Hakikat Ketuhanan
dalam Kumpulan Puisi O Amuk Kapak Karya Sutardji Calzoum Bachr”.
Skripsi. Prasetyo Heru didasarkan atas pencarian hakikat ketuhanan yang
muncul pada puisi-puisi Sutardji Colzoum Bachri dalam kumpulan puisinya O
Amuk Kapak. Dari hasil analisis pada 10 puisi Sutardji, dapat diketahui bahwa
puisi-puisi tersebut mengandung makna religi dan mengarah pada makna
pencarian hakikat ketuhanan. Pencarian hakikat ketuhanan yang dimaksud
berupa simbol pencarian kekuatan, daya pikir, dan keyakinan dalam memahami
ajaran religi.
Penelitian tentang puisi Sutardji yang lain dikarang oleh saudara Dody
Mardanus dari Universitas Indonesia dengan judul Unsur Mantra Dalam
Kumpulan Puisi O Sutardji Calzoum Bachri: Tinjauan fungsi. Berlandaskan
pada Kredo Puisi Sutardji yang mengatakan bahwa berawal dari mantra, maka
pada penelitian ini Dody mencari unsur-unsur mantra yang terdapat pada
39
beberapa karya Sutardji. Ada pun metode deskriptif dan analisis yang digunakan
dengan mengelompokan beberapata puisi Sutardji ke beberapa kategori, tahap
berikut menemukan pertalian un_sur mantra yang terdapat di dalam teks mantra
dan puisi, dan tahap terakhir membandingkan antara mantra dan puisi sebagai
sesama bentuk kesenian dalam keseluruhan segi ekspresinya. Pelaksanaan
bingkai kerja di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa puisi Sutardji
sangat intens memanfaatkan dan mencernakan secara impresif unsur-unsur
mantra, baik bagi kepentingan kualitas puitik maupun untuk kegunaan
pembacaan puisi yang menandai tingkat keparipurnaan ekspresi puisi- puisinya
sebagai sarana komunikasi estetis antara sesama manusia.
Berdasarkan tinjauan tersebut, maka kiranya mungkin bagi penulis untuk
membuat skripsi yang berjudul “Dimensi Sufistik Dengan Pendekatan Semiotik
pada Puisi Tapi dan Belajar Membaca Karya Sutardji Calzoum Bahcri Dan
Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” ini
belum ada yang menggunakan judul yang sama. Oleh karena itu, penulis
mengangkat judul tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.
40
BAB III
PROFIL SUTARDJI CALZOUM BACHRI
A. Biografi Singkat Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bahcri buka saja dianggap sebagai salah satu penyair
yang terpenting di Indonesia, namun ia sering juga dianggap sebagai
pembaharu estetika perpuisian Indonesia setelah Chairil Anwar dan bersama-
sama Goenawan Mohamad, Iwan Simatupang, Danarto, Umar Kayyam,
Sapardji Djoko Damono dan penulis terkemuka lainnya merupakan pelopor
dari pada “kesadaran baru” dalam sastra modern Indonesia.1
Sebagai penyair nama Sutardji Calzoum Bachri sudah menjadi bagian
yang begitu melekat dalam khazanah sastra Indonesia. Sutardji Calzoum
Bachri dalam khazanah sastra Indonesia adalah el libertador alias sang
pembebas. Ia telah menjadi salah satu ikon penting dalam perpuisian Indonesia.
Puisi-puisinya telah dikutip dan diambil untuk berbagai kepentingan, mulai
dari tulisan ilmiah hingga demonstrasi politik, bahkan disablonkan dalam T-
shirt anak-anak muda.
Sutardji Calzoum Bachri dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juli 1941.
Ayahnya Mohammad Bachri berasal dari Prembun, Kutoardjo, Jawa Tengah,
yang sejak masa remajanya mengembara ke Riau, menjabat sebagai Ajun
Inspektur Polisi, Kepolisian Negara, Kementerian Dalam Negeri RI di daerah
Tanjung Pinang, Riau (Tambelan). Ibunya bernama May Calzoum berasal dari
Riau (Tambelan).2
1 Abdul Hadi W.M, “Sutardji Tentang Puisinya dan Puisi Kita Kini”, Harian Umum
Horison, Jakarta, 19 Juni 1975, h. 5
2 Sutardji Coulzum Bachri, O, AMUK, KAPAK (Jakarta Timur: Yayasan Indonesia dan
PT Cakrawala Budaya Indonesia, 2004) cet. 4., h. 110
41
Pada tahun 1947 Sutardji masuk ke sekolah rakyat (SD) dan selesai pada
tahun 1953 di Bengkalis – Pekanbaru. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya di
Sekolah Menengah Pertama Negeri di Tanjungpinang, Riau3. Setelah lulus
SMA Sutardji melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik, Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Bandung. Ketika menjadi
mahasiswa itulah Sutardji mulai intens dalam dunia sastra. Sutardji mulai
menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, dan mulai dari situlah
puisi-puisinya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta
kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.4 Selain itu bersama dengan
mahasiswa lainnya, Sutardji aktif sebagai redaktur di Indonesia Ekspress dan
Duta Masyarakat, koran ini dikenal sering memmuat tulisan-tulisan kreatif dan
juga kritis menentang pemerintahan.5
Kehadirannya di dunia sastra mulai cukup diperhitungkan ketika ia
menghadirkan perombakan dan inkonvensionalisasi di bidang puisi (bukan
cuma penulisan, tetapi sekaligus pembacaan). Perombakan itu ia tegaskan
dengan mengeluarkan kredo kepenyairan (1973) yang ingin melepaskan kata
dari beban makna, yang kemudian dari situlah ia dikenal sebagai penyiar
mantra. Hal ini ditegaskan dengan diterbitkannya antologi O, AMUK, KAPAK
(Pustaka Sinar Harapan, 1981).
Sutardji Calzoum Bachri hadir di tengah perpuisian Indonesia dengan
kehebohan yang besar. Kehebohan pertama, tentu saja diakibatkan oleh
kredonya yang mau membebaskan kata dari beban makna. Dalam tulisannya
“Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam sketsa (1982) Dami N. Toda
menyatakan;
bahwa selama 30-an tahun terakhir, wawasan estetika
perpuisian Indonesia dirajai oleh wawasan estetika perpuisian
Chairil Anwar, yakni asas yang menolak seni improvisasi.
3 Jamal D Rahman dkk, Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan Tanjungpinang dari
Raja Ali Haji samapai Suryati A. Manan (Jakarta: Komodo Books, 2010), hlm:157 4 Sutardji. loc. cit
5 Sutardji Calzoum Bachri, ISYARAT: Kumpulan Esai Sutardji Calzoum Bachri,
(Tangerang: INDONESIA TERA, 2007), hlm: 504
42
Menciptakan puisi harus dilakukan dengan penuh kesadaran
memilih kata. Selama 30-an tahun itu, tidak ada yang
menantang wawasan estetika perpuisian Chairil Anwar.
Namun pada 1972, di Bandung, meledak bom yang
dilemparkan Sutardji Calzoum Bachri, berupa kredo puisinya
yang antara lain berisi bahwa kata bukanlah alat pengantar
pengertian. Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan
pengertian, dari beban ide. Oleh karena itu, puisi-puisi
Sutardji dapat disebut sebagai “puisi anti kata” atau “puisi
anti bahasa”6
Tak lama kemudian muncul kehebohan kedua, Sutardji mengumumkan
dirinya sebagai Presiden Penyair Indonesia. Sesungguhnya gelar presiden
penyair kepada Sutardji bukanlah pemberian gelar dengan penganugrahan
formal. Awalnya hanya berupa gurauan antar sesama pernyair, yang di
dalamnya termaksud Sutardji kira-kira tahun 1970-an awal.7 Perdebatan
mengenai puisi-puisinya meramaikan dunia sastra pada penghujung tahun
1970-an hingga awal 1980-an. Kehebohan yang ketiga, ia muncul dalam
pembacaan puisi dengan amuk yang meradang, dan menerjang. Jika Chairil
Anwar yang perlente demikian populer sebagai sosok binatang jalang, maka
Sutardji yang penampilannya jauh dari necis yang benar-benar menghadirkan
sosok binatang jalang itu.8 Berbeda dengan yang lainnya, ketika membacakan
puisi-puisinya Sutardji selalu menyiapkan sebotol bir, gelas, dan sebuah kapak.
Sehingga nama Sutardji pun mencuat sebagai sosok penyair dekade tujug
puluhan akrab dengan bir.9
Keterlibatanya di dalam peta perpuisian Indonesia tertulis di dalam
sejarah. Namun ia sebenarnya tidak membatasi diri berkreasi dalam satu genre
penciptaan. Ia juga menulis cerpen dan sempat dipublikasikan di berbagai
media (barangkali karena “kebesarannya” di dunia puisi atau sekedar kendala
6 Satya Hoerip, Sejumlah Masalah Sastra, (Jakarta: PT Bunda Karya, 1986), cet. 3, h.175
7 Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Sastra
Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h.778 8 D. Rahman dkk, op. cit., h. 160
9 Zaenuddin H.M , “Sutardji Merambah Shirothol Mustaqiem”, Harian Umum Pelita,
Jakarta, 5 Juli, h.5
43
teknis pendokumentasian, cerpen-cerpennya berlalu hampir tanpa dibicarakan
orang).10
Beberapa karya Puisi Sutardji Calzoum Bachri:
1. O (Kumpulan Puisi, 1973)
2. Amuk (Kumpulan Puisi, 1977),
3. Kapak (Kumpulan Puisi, 1979).
Kumpulan puisinya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku
kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang
diterbitkan oleh Sinar Harapan.
Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara
lain11
:
1. Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976),
2. Writing from The Word (USA),
3. Westerly Review (Australia),
4. Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975),
5. Ik Will nog dulzendjaar leven, negen modern indonesische (1979)
6. Ajip Rosidi (editor), Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya,
1977)
7. Parade Puisi Indonesia (1990)
8. Majalah Tenggara, Journal of Southeast Asian Literature 36 & 37
(1997)
Selain itu, sastrawan yang terkenal sebagai Presiden Penyair Indonesia
juga pernah meraih berbagai penghargaan sastra yaitu:
1. SEA Write Award (1979)
2. Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakartan 1997-1998 (1998)
3. Anugrah Sastra Chairil Anwar Dewan Kesenian Jakarta (1998)
4. Hadiah Seni Pemerintah RI (Menteri Kebudayaan dan Pendidikan)
10
Bachri, op. cit., h. 504 11
Bachri. loc cit.
44
5. Anugrah Sastra Dewan Kesenian Riau (2000)
6. Anugrah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), Bandar
Sri Begawan, Brunei Darussalam (2006)
Pengabdiannya dalam bidang sastra diwujudkannya dengan menjadi
redaktur sastra, di antaranya di majalah Horison, dan rubrik budaya bulanan
Bentara di harian Kompas. Tapi, keduanya sudah ia tinggalkan sejak sekitar
tahun 2003.
B. Pemikiran Sutardji Calzoum Bachri
Ketika membicarakan tentang konsep puisi dimata Sutardji mungkin akan
dipertemukan dengan sebuah pola yang diluar konvensi. Pada awalnya banyak
hal yang membuat para kritikus menolak kehadiran puisi-puisinya dikarenakan
tidak pantas disebut sebagai puisi (tidak sesuai konvensi puisi pada masanya).
Sampai akhirnya Sutadji memilih untuk menjelaskan sendiri tentang puisinya.
Sutadji Calzoum Bachri mengungkapkan bahwa menulis baginya adalah
suatu upaya untuk mengucap, suatu kata kerja yang memiliki makna khusus
dalam kebudayaan Melayu. Dalam kebudayaan Melayu, jika seseorang merasa
atau dirasakan melakukan kegiatan hal yang sia-sia, kehilangan kesadaran pada
nilai-nilai hidup, maka ia selalau mengupayakan diri atau dianjurkan pada
keluarga atau para sahabat untuk mangucap, “mangucap mengucaplah kau -
ber-istigfar dan menyebut nama-nama Tuhan-dan dengan mengucap, ia
diharapkan biasa melepas dari kehidupannya yang sia-sia dan akan kembali
pada kesadaran diri sebagai manusia yang harus menjalani hidup yang
bermakna”.12
Sutardji bahkan sudah memulai pemikirannya akan posisi makna jauh
ketika ia kanak-kanak. Pada pengantar tersebut kita dapat merasakan
bagaimana kata-kata menjadi tidak terlalu penting, namun “khasiatlah” yang
12
Bachri, op. cit.., h. vii.
45
sejatinya ia utamakan. Hal yang demikian mungkin menjadi cikal bakal akan
kredo puisi yang dia tuliskan.13
Penciptaan Kredo Puisi yang dilakukan Sutardji memang tidak lazim
dilakukan oleh penyair pada umumnya. Pencitaan Kredo Puisi ia lakukan
dengan tujuan mempermudah pembaca dan kritikus untuk memahami pesan
yang ingin disampaikannya. Terlebih lagi tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk
puisi yang ia bawa memang kontemporer, sehingga belum ada konvensi yang
kuat untuk memahami dan mengkajinya. Hal ini terlihat dari tulisan Sutardji
dalam salah satu esainya
Yakin dan sadar bahwa tidak ada kritikus walaupun
yang berwibawa sekalipun pada waktu itu, mampu
berapresiasi dan memahami kumpulan puisi saya O pada
pertama kali terbit di tahun 1970-an, maka saya tuliskan
kredo untuk itu. Penyair tidak perlu mematikan diri jika
karyanya selesai ditulis atau diterbitkan, ia harus hidup
dengan komentar, visi tentang karyanya untuk menolong
para kritikus agar tidak mati atau pingsan dengan
kemunculan karyanya
Suatu karya yang sangat di luar konvensi cenderung
bisa membunuh kritikus yang mapan konvensional, namun
akan cenderung pula menciptakan kritikus baru. Maka,
komentar, kredo, sikap, dan visi pengarang perlu
ditampilkan, untuk membantu kritikus konvensional bisa
terus hidup dengan memperluas wawasannya atau pun
untuk merangsang lahirnya para kritikus baru14
Pertama adalah sikapnya memilih mantra sebagai nafas puisinya “Dan
kata pertama adalah mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah
mengembalikan kata kepada mantera”. Ya setidaknya itu yang dikatakan
Sutardji dalam Kredo Puisinya
Pada sebuah wawancara, Sutardji memberikan alasannya memilih mantra
sebagai gaya perpuisinyanya;
“Pertama, Mantra itu pengucapannya lain. Secara fisik mantra
sudah merupakan puisi yang kalau menyebutkannya bisa
13 Untuk Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri dapat dilihat di buku: Sutardji Calzoum
Bachri, ISYARAT: Kumpulan Esai Sutradji Calzoum Bachri, (Jogjakarta: INDONESIA TERA,
2007), h. 3-4 14
Ibid., h. xvi
46
menimbulkan sihir dan daya pukau. Mantra itu mengucap,
seperti diyakini dalam keadaan apapun mengucaplah, ketika
akan mati mengucaplah, ketika mabuk pun mengucaplah…
Kalau di daerah asal saya ada mantra, ya saya pilih mantra, dan
mengucaplah kata yang bukan sesuatu penjelasan tapi yang
mempunyai efek. Punya sesuatu kekuatan bukan hanya alat
menjadi alat pengucap semata. Ini yang menarik perhatian saya
untuk menggunakan mantra”15
Selain itu, ketika diwawancarai oleh Leon Agustaf, Sutardji mengatakan,
“puisi harus dikembalikan kepada mantera” jangan ditafsirkan secara harfiah
semata. “kalau cuma begitu dia akan kering”. Yang pokok ialah menyerap
sifat sugestif dari mantera. Menangkap ritmenya dan ekspresinya yang tajam.16
Hal serupa juga dikatakan Nyoman dan Umar Yunus yaitu:
“Kedekatan puisi-puisi Sutardji bukan saja karena sifat
misterinya tetapi tampak pula dengan jelas dalam
bentuknya. Pengulangan kata yang sama pada awal tiap
baris merupakan ciri bentuk yang paling menonjol dalam
puisi-puisi Sutardji”.17
Ya sebagai kekhasan mantra yang lebih mengutamakan kekuatan efek
pengulangan bunyi pada kata, sehingga menimbulkan efek tersendiri bagi
pembacanya. Pengulangan kata-kata yang sama menimbulkan intensitas bunyi
yang dapat menjelmakan kekhusukan. Inilah dasar sebuah mantra yang juga
menjadi dasar bagi puisi Sutardji.
Selain itu melalui mantra Sutardji ingin menyalurkan perlawanan
metafisiknya terhadap intelektualisme dan rasionalisme yang mendasari
peradaban modern yang menindas. Perlawanannya itu secara simbolik
dinyatakan dengan hasratnya untuk melakukan pembebasan kata dari beban
idea dan pengertian. Hal ini terlihat di salah satu kolom Republika, Sutardji
mengatakan;
15 Yos, Sutardji Calzoum Bachri: “Bangsa yang Besar perlu Trial and Error”, Harian
Umum Republika, Jakarta, 16 Maret 1998, h. 2
16 Leon Agusta, “Sutardji Tentang Sajak2 Barunya: Upaya Menangkap Tuhan”, Harian
Umum SIWALAN, Jakarta, 24 Januari 1970, h.10
17 Nyoman Tusthi, Sampai Dimana Pembaruan Sutardji, Harian Umum Suara Karya,
Jumat, 16 Desember 1977, h.4
47
saya melihat banyak puisi pada waktu itu hanya membawa
ide dan gagasan. Yang menurut saya tak berjiwa, tak hidup.
saya kesal dengan puisi yang isinya cuma “kemerdekaan
adalah … dst”. Saya ingin membuat puisi yang lain. Ketika
saya mulai membuat puisi, saat itu kredo puisi tumbuh
bersama.18
Yang kedua adalah pandangan bahwa kata harus dibebaskan dari beban
makna. Banyak orang yang terlalu terpaku oleh kata “membebaskan” dan kata
“makna”, sehingga menganggap Sutardji ingin “membebaskan kata dari
makna”. Kata “beban” dalam kredo Sutardji sering diabaikan. Akan menjadi
berbeda jika kredo itu diartikan sebagaimana mestinya, yakni ingin
“membebaskan kata dari beban makna”.
Kata tanpa pengertian juga tidak mungkin. Sebuah puisi yang hanya terdiri
atas rentetan kata tanpa pengertian semacam itu merupakan puisi yang tidak
bisa dianggap berhasil atau gagal. Dengan demikian, maka yang dimaksud
Sutardji dengan pembebasan kata adalah pembebasan kata dari hubungan
sintaksis, dari hubungan semantik dan dari hubungan morfologi yang biasa dan
asing.
Sutardji Calzoum Bachri banyak mempergunakan penyimpangan-
penyimpangan dari tata bahasa normatif dalam puisi-puisinya untuk
mendapatkan arti baru dan ekspresivitas karena kepadatan atau “keanehan”nya,
yang pada umumnya belum pernah dicoba secara intensif oleh penyiar-penyair
sebelumnya. Penyimpangan itu diantaranya berupa penghapusan tanda baca,
pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih,
penghilangan himbuhan, pembentukan jenis kata dari jenis kata lain tanpa
mengubah bentuk morfologisnya.19
Sikap tersebut diakuinya dari
pernyataannya pada sebuah wawancara;
..Dari situ saya lantas berani melakukan yang paling aneh
yang mungkin dianggap hal yang baru pada saat itu
bagaimana gramatikal itu saya main-mainkan, malah kata
kerja menjadi kata benda, kata sifat menjadi kata keadaan,
kata penghubung bisa jadi keta benda. Karena
18
Yos, loc. cit.
19 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis
Struktural dan Semiotik, (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 2010), cet: ke 12, h. 106
48
mempermainkan bahasa itu adalah naluri yang membuat saya
tak merasa takut salah dan selalu hidup. Itu sebabnya saya
lebih suka mengetam, bermain dan membentuk kata20
Penyataan yang diutarakan Sutardji di atas, sejalan dengan pendapat Linus
Suryadi yang beranggapan “bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh
Sutardji diarahkan kepada membebaskan beban dari ide”.21
Pembebasan kata
dari beban makna yang dilakukan Sutardji mempunyai latar untuk tujuan gaib
dan magis. Karena dalam usaha manusia menciptakan tenaga gaib dan magis
melalui ucapannya, kata hanyalah sebuah suara, sedang makna sesungguhnya
bukan berada dalam kata itu sendiri, tetapi dalam batin manusia. Dengan
permainan kata, Sutardji ingin menciptakan makna yang lebih luas dan bulat
dalam puisi-puisinya – yang menurut pengakuannya sendiri untuk tujuan
mistik yaitu mendekati Tuhan.22
Spiritualitas pada puisi-puisi Sutardji bukanlah hal yang baru atau aneh.
Terlebih lagi jika kita melihat Sutardji yang merupakan salah satu sastrawan
yang besar tahun 1970-an, dimana tema-tema agama sedang marak untuk
dibicarakan dan dijadikan tema pada karya-karya sastra pada waktu itu. Puisi-
puisi Sutardji dalam kumpulan puisinya yang berjudul O merupakan suatu
wadah pendirian sekaligus sebagai dasar pemikiran penyair tentang puisi.
Sejumlah puisi-puisinya dalam kumpulan O memperlihatkan betapa ia
berupaya agar Tuhan masuk dalam dirinya. Ini jelas terlihat pada baris-baris
terakhir dari puisi Ah dibawah ini:
Nah
Rasa yang dalam
Tinggalkanlah puri purapuraMU!
Kasih! Jangan menampik!
Masuk Kau padaku!
20
Yos, loc. cit.
21 Linus Suryadi, Aspek Bahasa dalam puisi Sapardi dan Sutardji, Harian Umum Berita
Buana, tt.p., 4 April 1977, h. 3
22 Nyoman Tusthi, Sampai Dimana Pembaruan Sutardji, Harian Umum Suara Karya,
tt.p., 16 Desember 1977, h.4
49
Pada baris-baris di atas tercermin suatu pemberontakan jiwa, rasa haus
mencari Tuhan dengan bentuk dan cara yang berbeda tema ini selalu muncul
kembali pada kebanyakan puisi-puisinya yang lain.23
Puisi-puisinya sendiri, dengan atas pencarian Tuhan kuat sekali, sama
sekali tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat yang mendesak masyarakat
pada waktu itu. Sutardji mengatakan:
“Saya yakin, masalah religius pada bangsa kita kuat sekali.
Bagaimana hubungan manusia dengan Tuhannya dalam
masyarakat modern ini, sah sebagai masalah, sebagai
tema”.24
Lebih lanjut, pada kesempatan yang berbeda, pada salah satu surat kabar
Sutardji mengatakan “dalam keadaan begini, maka timbulah kerinduan untuk
ingin pulang kembali secara mistis, dan inilah yang dikatakan orang sebagai
kerinduan religius”. Kerinduan religius seperti ini sangat menonjol dalam
dekade 1970-an. kesadaran religius yang mengarah kepada kesufian ini
menurut Sutardji bukan hanya kesadaran yang muncul dalam diri penyair atau
dramawan saja. Upaya untuk kembali kepada semangat religius, sudah
merupakan suatu gejala umum dalam kebudayaan kita.25
Sehingga tidak salah
dan berlebihan jika H.B Jassin mengatakan;
“bagi saya kunci memahami puisi-puisi Tardji ialah
perenungan yang dalam. Hanya jika kita dalam situasi
mencari Tuhan pula maka pencarian Tardji dapat kita
rasakan. Bagi saya dia penyair yang religius”.26
Selanjutnya AMUK kumpulan puisi kedua Sutardji Calzoum Bachri
sesudah O, memeperlihatkan realitas-realitas yang lain. Sutardji mengatakan
“AMUK itu sebenarnya adalah sejarah kemanusian itu sendiri” begitu yang ia
katakan kepada Ikranegara. Sutardji selanjutnya berkomentar puisinya Amuk
23 Yasser S. Kesan2 dari pembacaan sajak 26 Januari di TIM: Sutadji Mencari Jalan
Sendiri, Harian Umum Sinar Harapan, tt.p., Januari 6 Febuari 1978, h. iv
24 Efix, Lagi Tanggapan terhadap Sutan Takdir: Seni Terlalu Lemah Sastra Berhenti pada
Kata, Harian Umum Kompas, Jakarta, 6 Mei 1982. h.
25 Eddy Utama, Sutardji di Padang: Sastra Sufistik dan Kerinduan Pulang, Harian Umum
Buana, Jakarta, 27 Oktober, 1987, h. 4
26 Dokumentasi Sastra H.B Jassin, Sutardji Penyair Yang Religius, Harian Umum Sinar
Harapan, tt.p., 28 Januari 1976 h. 2
50
itu adalah suatu perjalanan panjang manusia mencari kesempurnaannya. Tapi
manusia akhirnya menemukan kehadirannya yang “seadanya” itu-itu sajalah.
Sederhana dan rumit.27
Disitu realitas-realitas dan kebenaran lain diuji melawan realitas dan
kebenaran “aku” : lebih tua dari niniveh dari pinx/lebih tua dari maya lebih
tua dari babilon/ aku telah hidup sebelum musa”, kata Sutardji, mengingatkan
kita pada anggapan tentang “Nur Muhammad” yang lebih awal lagi dari
Adam. Dengan demikian Sutardji telah masuk ke kebenaran dunia sufi tentang
asal-usul manusia dan hakekatnya.28
Pada kumpulan puisinya yang diberi judul KAPAK pada pengantar Kapak,
Sutardji mengatakan beberapa alasannya memilih judul tersebut sebagai judul
kumpulan puisinya. Menurutnya imaji kapak memecahkan kemampatan. Sekali
orang jatuh dalam kerutinan, itu waktu dia dalam kemampatan. Batin jadi
mampat. Untuk itu dibutuhkan Kapak guna memecahkannya sehingga hari-hari
akan mengalir dengan deras menantang kita untuk kreatif. Lebih lanjut Sutardji
mengatakan;
“tidak seperti puisi-puisi saya yang terdahulu yang banyak
dengan pencarian ketuhanan, dalam puisi-puisi selanjutnya
maut lebih mempesona saya. Menghayati kematian
sebelum kematian, itulah yang saya tampilkan dalam
banyak puisi-puisi saya kini.29
Selepas puisi-puisinya yang terkumpul dalam O, AMUK, KAPAK Sutardji
menulis puisi-puisi baru yang bisa dibilang lain dari puisi-puisi sebelumnya.
Puisi-puisinya terkini cenderung konvensional, dengan gaya perpuisian yang
lazim, sebagaimana kita temukan dalam puisi-puisi “Berdepan-depan dengan
Ka’bah”, “Idul Fitri”, “Tanah Airmata”, “Jembatan” dan lain-lain.
Sebenarnya baik dalam puisi-puisi lama maupun puisi-puisi barunya, Sutardji
27 Pusat Dokumentasi H.B Jassin, Sutardji Tentang Sajaknya “AMUK”, Harian Umum
Waspada, tt.p. Minggu 28 Agustus 1977, h. 5
28 Abdul Hadi W.M, “AMUK” Sutardji: Sebuah penjelajahan estetik & metafisik, Harian
Umum Buana, Selasa, 12 Juli 1977, h. 6 29
Bachri, op. cit., h. 82
51
tetaplah menarik, karena selalu saja kita temui kegirahan kreatif dan
kecermelangan olah kata.30
Jadi alih-alih melepaskan kata dari beban makna, Sutardji memberikan
makna yang berlimpah pada sebuah kata di dalam puisi-puisinya. Selain itu
tidak hanya tekstual saja yang dibangun oleh Sutardji, karya-karyanya kaya
akan makna semiotiknya, dikarenakan pada karya-karya sering dijumpai
bagaimana tipografi dan visual dalam puisinya memiliki maksud tersendiri.
Melihat akan hal tersebut, maka pada penelitian ini, peneliti memilih semiotika
sebagai pisau bedah untuk menangkap makna-makna yang tersembunyi dalam
puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri.
30
D. Rahman, op. cit., h.167-168
52
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Analis Puisi “TAPI”
Teks Puisi
TAPI
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
Sutardji Calzoum Bachri,
1981
1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi
Puisi ini dikategorikan dalam puisi pendek, karena hanya tersusun dari
satu bait dengan enam belas larik. Pada tahapan ini akan ini akan dilakukan
verifikasi bunyi yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah bunyi
pada puisi, baik awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Irama (ritme) adalah
pengulangan bunyi kata, frase, dan kalimat. Pada penelitian ini, tahapan analisis
53
metrum mencoba mencari tekanan kata yang tetap yang terdapat pada sebuah
puisi.
Rima (pengulangan bunyi) pada puisi “TAPI” tiap baris terdapat kesamaan
bunyi [a], [i], [u], yang hadir secara berulang. Bunyi [a] yang hadir pada puisi ini
terdapat pada baris pertama sampai kedua yakni bawakan, bunga, bilang,
Kemudian hal yang sama juga terjadi pada baris ke-3 sampai ke-4, bawakan,
resah, bilang, hanya. Kemudian pada baris ke-5 sampai ke-6, bawakan, bilang,
cuma. Baris ke-7 sampai ke-14 hanya ada kata bawakan 4x, dan bilang 4x yang
hadir secara berulang pada setiap barisnya. Kemudian pada baris ke-15 sampai
ke-16 yakni tanpa, apa, datang, dan wah. Dalam hal ini bunyi [a] memberikan
kesan bunyi sebagai kata-kata yang lebih terbuka (lepas).
Bunyi [i] yang hadir pada baris pertama hingga ke-16 yaitu kata tapi 8x,
meski, dan hampir
Bunyi [u] pada puisi “TAPI”, hadir pada setiap baris pertama hingga ke-15
yaitu kata aku 8x, padamu 8x, kau 7x, darahku, mimpiku, dukaku, arwahku,
mayatku, dan kalau. Dalam hal ini bunyi [u] merupakan bunyi yang dominan
pada puisi ini. Bunyi [u] cenderung memberikan kesan ada subjek yang ingin
dituju.
Mengenai rima, dapat dikatakan puisi ini memiliki perbedaan bunyi pada
setiap akhir larik (dalam hal ini larik-larik sebelah kanan yaitu, masih, hanya,
cuma, meski, tapi, hampir, kalau, wah) untuk memberikan efek bunyi secara
estetik. Semua larik yang berada di sebelah kiri, rima hadir dengan teratur
melalui pengulangan kata aku bawakan dan kata padamu yang hadir pada setiap
awal larik, dan sedikit perubahan pada larik ke-16 tanpa apa aku datang
padamu. Meskipun demikian,pada larik ke-16 rima tetap dijaga melalui bunyi
vokal akhir [a] pada kata tanpa dan kata apa, yang kemudian, rima tersebut
tetap dijaga pada kata selanjutnya dengan vokal akhir [u] pada kata aku dan kata
padamu
Irama (ritme) pengulangan bunyi kata, frase, dan kalimat. Pada puisi
Tapi terdapat pada baris pertama hingga ke-14. Kata aku bawakan dan kata
tapi kau bilang di awal baris pada larik ke-1 hingga ke-14. Selain itu untuk
54
larik-larik yang secara tipografi berada di sebelah kiri, kata padamu hadir secara
berulang pada setiap akhir lariknya.
Pada larik yang secara tipografi dikelompokan di sebelah kiri, nampak
adanya perulangan bunyi yang menghasilkan suatu efony sebagai sebuah efek
penguat puisi. Adapun larik-larik yang dimaksud yaitu; aku bawakan resah
padamu, aku bawakan darahku padamu, aku bawakan mimpiku padamu, aku
bawakan dukaku padamu, aku bawakan mayatku padamu, aku bawakan
arwahku padamu, tanpa apa aku datang padamu
Efony pada larik-larik tersebut tercipta karena kombinasi [mu] yang
terdapat pada kata padamu yaitu /m/ yang merupakan salah satu huruf efony
dan dikombinasikan dengan huruf vokal /u/, sehingga menimbulkan suara
merdu sekaligus suram dan memberikan efek magis, layaknya seorang yang
sedang melakukan ritual pembacaan mantra atau dalam agama Islam lebih
seperti proses zikir, proses mengingat yang kuasa. Adapun terciptanya efony
terjadi ketika disatukan dengan larik-larik yang secara tipografi berada di
sebelah kanan, yang seakan-akan membuat larik-larik tersebut berada pada satu
larik yang utuh, namun dipisahkan dengan kedudukan tinggi-rendahnya.
Pada semua larik yang berada di sebelah kanan, kita menemukan tokoh
kau yang dalam hal ini tidak jelas mengacu kepada siapa: apakah kepada
dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada Tuhan, atau mungkin juga kepada
pembaca yang dianggap mengerti tasawuf.
Pada puisi ini larik-larik yang berada di sebelah kanan melalui kata-kata
masih, hanya, cuma, maskit, tapi, hampir, kalau tidak tercipta kesamaan rima
diakhir larik. Rima pada larik- larik sebelah kanan dibentuk melalui kemunculan
kata tapi kau bilang yang hadir secara berulang pada setiap lariknya. Perubahan
bunyi di setiap akhir larik yang terdapat pada larik-larik sebelah kanan terlihat
disengaja untuk menciptakan nuansa estetik.
Akibat perubahan bunyi tersebut terciptalah efek kakofoni dengan
memanfaatkan kata masih, meski, dan hampir. Pemilihan kata-kata tersebut
terdengar berdesis dan parau di telinga, sehingga kombinasi hurufnya tidak enak
didengar.
55
Selain secara tipografi yang membagi larik menjadi dua, penempatan
tinggi rendahnnya larik pun berbeda antara larik sebelah kanan dengan sebelah
kiri. Larik-larik yang berada di sebelah kiri menempati posisi yang lebih tinggi
dibandingkan larik yang berada di sebelah kanan. Hal ini menarik karena
menimbulkan efek adanya sebuah dialog bukan hanya secara larik, namun juga
secara tipografi visual puisi tersebut.
Dari hal tersebut diketahui bahwa puisi “TAPI” secara tipografi dibagi
menjadi dua bagian, bagian pertama adalah larik-larik yang berada di sebelah
kiri, dengan bentuk dan struktur kalimat yang serupa, dan berada menempati
posisi lebih tinggi. Bagian kedua adalah larik-larik yang berada di sebelah kanan
menempati posisi yang lebih rendah, dan larik-lariknya memiliki struktur yang
sama. Sebagai penyair yang baik, Sutardji tidaklah serta merta menyusun
tipografi untuk puisi-puisinya, sehingga untuk mencari makna yang ingin
dibangun dan disampaikan penyair melalui bentuk tipografi dan bunyi dari
puisinya akan dilakukan analisis ke tahapan berikutnya, yaitu analisis pada
tataran sintaksis.
2. Analisis Aspek Sintaksis
Setelah analisis bentuk puisi dan bunyi, pada tahapan ini akan dilakukan
rangkaian sintaksis pada puisi “TAPI”. Pada penelitian ini, analisis aspek
sintaksis merupakan analisis rangkaian kata pada setiap lariknya, sehingga dapat
ditentukan struktur sintaksisnya, baik frase, klausa, maupun kalimat.
Bila dilihat dari segi sintaksis yang berupa analisis terhadap satuan-
satuan linguistik yaitu analisis yang dapat mengacu pada tata bahasa baku atau
pedoman ejaan bahasa Indonesia yang benar, maka ada beberapa masalah yang
terlihat. Puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul, “TAPI” terdiri dari 16
larik dan hanya satu bait. Secara keseluruhan setiap larik tidak di awali dengan
huruf kapital terkecuali pada judul puisi, selain itu puisi ini tidak disertai dengan
tanda baca, terkecuali pada larik terakhir terdapat satu tanda seru (!) pada kata
wah!
56
Penentuan sebuah kalimat pada puisi tidak selalu terkait dengan ada
tidaknya tanda titik (pada istilah lain disebut sebagai intonasi akhir) pada setiap
akhir kalimat. Seperti yang diutarakan Henry Guntur Tarigan dalam buku
Pengajaran Sintaksis bahwa ada empat batasan ciri utama kalimat, yaitu: satuan
bahasa, secara relatife dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi akhir,
terdiri dari klausa1. Namun tidak dapat dipungkiri, larik-larik dalam puisi tidak
dapat serta merta dipelakukan dalam wujud tulisan saja, melainkan harus
dipertimbangkan dalam bentuk lisan. Dalam pembahasan sintaksis pada
penelitian ini, peneliti memanfaatkan pendapat Abdul Chaer yang memasukan
wacana dalam tataran sintaksis dan pendapat Ramlan yang mempertimbangkan
larik dalam wujud lisan berdasarkan naik turun dan keras lembut, disela jeda,
sebagai intonasi akhir sebuah larik.
Selain itu ada beberapa alasan yang dapat mendukung larik-larik tersebut
dapat dikelompokan sebagai kalimat, baik sebagai kalimat tunggal maupun
kalimat majemuk setara bertentangan. Pertama berdasarkan analisis bentuk
(tipografi) yang sebelumnya telah dilakukan, dapat ditentukan bahwa puisi ini
memiliki dua bagian, yang dihubungkan dengan sebuah konjungsi kata tapi,
sehingga antara larik yang berada di sebelah kanan dan kiri menjadi
berkesinambungan. Larik yang berada di sebelah kanan terdiri dari kata yang
sangat memungkinkan menjadi kalimat tunggal sempurna. Bisa dilihat dalam
larik-larik yaitu:
aku bawakan bunga padamu
aku bawakan resah padamu
aku bawakan darahku padamu
aku bawakan mimpiku padamu
aku bawakan dukaku padamu
aku bawakan mayatku padamu
1 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Sintaksis, (Bandung. Angkasa :1986), h. 8
57
aku bawakan arwahku padamu
tanpa apa aku datang padamu
Terkecuali pada larik ke-15, semuanya diawali oleh kata aku yang
merupakan subjek (S) dari sebuah kalimat. Kalimat-kalimat tersebut merupakan
sebuah kalimat sempurna karena, sekurang-kurangya mengandung sebuah
klausa. Kalimat tersebut sempurna karena setiap barisnya mengandung subjek
(S), predikat (P), dan objek (O), karena menurut konstruksi sintaksis, sebuah
klausa harus mengadung unsur fungsional subjek dan predikat baik disertai
objek, pelengkap, keterangan maupun tidak.
Kemudian larik-larik yang berada di sebelah kanan yaitu:
tapi kau bilang masih
tapi kau bilang hanya
tapi kau bilang cuma
tapi kau bilang meski
tapi kau bilang hampir
tapi kau bilang kalau
wah!
Terkecuali larik ke-16, semua larik-larik di sebelah kanan terdapat kata
tapi yang menyatakan penolakan akan apa yang diserahkan si aku lirik kepada
kau sebagai target objek larik sebelah kiri. Larik-larik yang dalam penelitian ini
dikelompokan dalam larik-larik yang berada di sebelah kanan termasuk jenis
kalimat intransintif. Jika kita amati keseluruhan larik-larik yang masuk dalam
kelompok ini memiliki kontruksi kalimat yang sama. Kata tapi pada
keseluruhan larik yang dikelompokan pada larik yang berada di sebelah kanan
berfungsi sebagai konjungsi. Kata kau berfungsi sebagai subjek, dan kata bilang
sebagai predikat. Kata masih, hanya, cuma, meski hampir, dan kalau pada larik-
58
larik ini berfungsi sebagai keterangan. Berdasarkan pembagian tipografi
tersebut, dapat disimpulkan puisi “TAPI” terdiri dari dua jenis kalimat, yaitu
kalimat sempurna/transitif (berada disebelah kiri) dan kalimat intransitif (berada
disebelah kanan).
Alasan kedua berangkat dari mengkaji judul puisi yaitu kata Tapi. Kata
tapi merupakan salah satu koordinator hubungan perlawanan selain dari
melainkan dan namun. Hubungan perlawanan adalah hubungan yang
menyatakan bahwa apa yang dinyatakan pada klausa pertama berlawanan
dengan apa yang dinyatakan klausa kedua. Kata tapi dapat digunakan untuk
menyatakan makna perlawanan yang implikatif, limitatif, opositif, dan
konstrantif
Berdasarkan beberapa alasan tersebut, dan dengan memperhatikan
keutuhan makna puisinya, maka antara larik-larik yang terdapat di sebelah kiri
dan kanan dapat dihubungkan untuk menjadi sebuah kalimat majemuk
bertingkat;
aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau
Kalimat-kalimat tersebut memiliki pola yang diulang-ulang, terutama
pada kalimat ke-1 sampai kalimat ke-7. Dari ke-7 kalimat yang sudah
ditentukan, dapat kita peroleh kesimpulan bahwa keseluruhannya memiliki
konstruksi kalimat yang sama. Pengulangan pola kalimat tersebut menimbulkan
kesan bahwa ada unsur-unsur yang hubungannya rapat sekali.
Kalimat pertama aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih,
diawali dengan kata aku yang dalam hal ini berfungsi sebagai subjek,
59
menunjukan eksistensi aku pada puisi tersebut. Kalimat pertama itu termasuk
dalam jenis kalimat majemuk setara bertentangan, dengan kata tapi sebagai
konjungsi penghubung perlawanan antar klausa. Kalimat majemuk setara
bertentangan yang terdiri dari dua kalimat sempurna berkontruksi sebagai
berikut; subjek (aku), predikat (bawakan), objek (bunga), keterangan ( padamu)
konjungsi (tapi), subjek (kau), predikat (bilang), keterangan (masih).
Kalimat ke-2 aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya, masih
memiliki kontruksi kalimat yang sama dengan kalimat sebelumnya. Dalam hal
ini, berfungsi untuk memperjelas pernyataan yang diutarakan pada kalimat
pertama. Hal ini terlihat dengan penggunaan kata resah, yang menunjukan
peningkatan dari usaha mendapatkan jawaban dari tokoh kau.
Kontruksi kalimat ke-1 dan ke-2 kemudian diulang-ulang sampai
kalimat ke-8. Pengulangan konstruksi kalimat tersebut semata-mata untuk
menekankan makna kalimat-kalimat sebelumnya. Satu-satunya kalimat yang
memiliki kontruksi yang berbeda dari kalimat lainnya ialah kalimat yang
terdapat pada larik ke-15 tanpa apa aku datang padamu dan ke-16.wah!
larik ke-15 memiliki konstruksi yang berbeda dengan larik-larik
sebelumnya. Pada larik tanpa apa aku datang padamu, keterangan ditempatkan
di awal larik. Frase tanpa apa, dikategorikan sebagai keterangan berdasarkan
konteks situasi yang terjalin pada larik-larik sebelumnya, yang mengacu pada
kata bunga, resah, duka, arwah, mayat yang bertindak sebagai objek dari apa
yang dibawakan aku lirik, sehingga dapat disimpulkan larik ke-15 ini
berkonstruksi, tanpa apa (keterangan), aku (subjek), datang (predikat),
keterangan tempat (padamu).
Larik ke-16 wah! Pada penelitian ini diklasifikasikan sebagai kalimat,
dengan alasan memiliki ciri-ciri sebuah kalimat. Adapun alasannya sebagai
berikut;
1. wah! dalam larik terakhir itu merupakan sebuah kalimat
2. adanya intonasi, yaitu nada yang diwakili tanda baca seru (!) dan
perhentian
60
3. ada makna, yaitu lawan bicara (dalam hal ini aku sebagai subjek pada
larik-larik sebelumnya)
4. adannya situasi yang dibangun pada larik-larik berikutnya, sehingga
memungkinkan hanya menuturkan wah! sebagai bentuk kalimat jawab.
Selain itu, merujuk pada pendapat Abdul Chaer maka secara strukturnya,
wah! termasuk kedalam jenis kalimat terikat atau tidak bebas. Kalimat wah!
diposisikan sebagai kalimat terikat atau tidak bebas dikarenakan tidak dapat
berdiri sendiri, maknanya pun sangat terikat dengan larik-larik sebelumnya.2
Kata wah merupakan sebuah interjeksi yang pada hakikatnya berperan
sebagai sebuah kalimat padanan dari kalimat sebelumnya. Dalam hal ini wah
mengandung nilai “persetujuan” pada konsep yang terkandung atau diucapkan
pada kalimat sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, puisi “TAPI” terbentuk dari susunan kalimat-
kalimat tunggal yang konstruksinya diulang-ulang dengan tujuan penekanan
makna. Penggabungan dari konstruksi-konstruksi lariknya, menimbulkan
sebuah bentuk kontruksi baru, sehingga terciptalah bentuk kalimat majemuk
bertentangan yang menguatkan efek dari konstruksi-konstruksi sebelumnya.
Adapun pengulangan kontruksi baik dalam bentuk kalimat tunggal maupun
penggabungan larik kiri dan kanan yang menghasilkan kalimat majemuk
bertentangan yang menimbulkan adanya proses mendekatkan diri yang
berkesimbungan, dan dilakukan aku lirik sebagai subjek kepada tokoh kau.
Dari analisis sintaksis ini terlihat bagaimana Sutardji mengimplikasikan
Kredo Puisinya pada karya-karyanya. Perubahan struktur kata dan kalimat pada
puisi “TAPI” merupakan bagian kesuksesan Sutardji dalam melakukan
eksperimennya yang memanfaatkan fungsi kata itu sendiri. Jadi bukannya
membebaskan kata dari beban makna, Sutardji malah berhasil membuat kata-
2 Abdul Chaer berpendapat dalam masalah keberterimaan sebuah kalimat dilihat secara
strukturnya kalimat dibagi menjadi dua macam kalimat, yaitu kalimat bebas dan tidak bebas.
Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h.
233
61
kata tersebut kaya akan makna dan dapat berdiri sendiri, tanpa keterikatan
aturan struktur secara sintaksis.
3. Analisis Aspek Semantik
a) Denotatif dan Konotatif
Pada analisis aspek sintaksis yang telah dilakukan sebelumnya kita
mendapatkan bahwa puisi “TAPI” tersusun dari konstruksi kalimat tunggal dan
kalimat majemuk setara, adapun kalimat yang dimaksud yaitu;
aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamutapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamutapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau
Sebelum menentukan makna denotatif, dan konotatif yang akhirnya
membentuk sebuah majas, dalam penelitian ini ditentukan terlebih dahulu suatu
peristiwa yang terbentuk yang melibatkan peserta atau lebih, berdasarkan peran
semantisnya. Pada puisi “TAPI”, peneliti menemukan adanya tiga peserta: aku
(subjek) yang menyatakan pelaku, bawakan sebagai predikat yang menyatakan
perbuatan, bunga, resah, darah, mimpi, duka, mayat, arwah sebagai objek yang
menyatakan sasaran perbuatan, dan padamu/kau yang menyatakan peserta
peruntung yang memperoleh manfaat dari peristiwa tersebut. Adapun klausa
kedua yang terbentuk dari konjungtor tapi, hadir sebagai penguat dan jawaban
dari klausa pertama.
Kata aku pada larik pertama aku bawakan bunga padamu merupakan
sebuah perkenalan akan subjek pada puisi ini, yang secara denotatif merujuk
kepada seseorang yang sedang membawakan bunga kepada seseorang, yang
62
dalam larik ini ditujukan kepada –mu melalui kata padamu. Secara denotatif, -
mu pada kata padamu mengacu kepada mahkluk hidup, yang belum jelas acuaan
bentuknya. Hal tersebut diperkuat di larik kedua yaitu tapi kau bilang masih,
yang jika dikaitkan dengan larik ke-1, larik ke-2 secara denotatif merupakan
sebuah jawaban dari larik ke-1, yang berarti sebuah penolakan.
Kata masih pada akhir larik ke-2, hadir sebagai penjelas penolakan yang
dilakukan. Penolakan tersebut diwakili dengan kata tapi. Dilihat secara konteks
dialog, pada larik ke-1dan ke-2, kata masih mengacu kepada kata bunga yang
secara denotatif dapat diartikan bahwa kau saudah memiliki bunga, sehingga
tidak memerlukan bunga yang diberikan oleh aku lirik pada larik pertama.
Kata aku di awal larik ke-1 dan kau pada larik ke-2, mengandung makna
konotatif yang berarti bahwa adanya hubungan di antara aku lirik dan kau.
Penggunaa kata bunga pada larik ke-1 sebagai benda yang ingin diberikan
kepada –mu pada kata padamu menyimbolkan bentuk cinta, sehingga secara
konotatif dapat diinterpretasikan bahwa hubungan aku dan kau terjalin atas
dasar cinta. Dapat disimpulkan larik aku bawakan bunga padamu merupakan
sebuah majas metafora yang digunakan untuk mengkongkretkan adanya
kedekatan aku lirik dengan kau. Jadi larik ke-1 dan ke-2 menggambarkan usaha
aku lirik untuk mendekati kau, dengan berlandaskan cinta.
Gambaran mengenai usaha aku lirik dalam mendekati kau pada larik
pertama dan ke-2 diperjelas lagi pada larik ke-3 sampai larik ke-14
aku bawakan resah padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
63
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
Larik ke-3 sampai ke-14 masih menggunakan struktur kalimat yang sama
dengan larik-larik sebelumnya, namun kata-kata resahku, darahku, mimpiku,
dukaku, mayatku, dan arwahku tidaklah hadir melalui makna denotatif. Kata-
kata tersebut tidaklah diartikan sebagai kata benda yang dibawakan oleh aku
lirik kepada kau, dikarenakan termasuk kata sifat. Meskipun secara denotatif
kata mayatku, bisa diartikan sebagai benda material, namun secara logika
tidaklah mungkin seseorang membawakan mayatnya sendiri, sehingga kata-kata
resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku hadir dengan
kekuatan makna secara konotatif.
Jika pada larik ke-1, aku lirik membawakan bunga, yang dalam tataran
denotatif masih berbentuk material, maka pada larik ke-3 aku lirik membawakan
bentuk resah, yang secara konotatif sudah mempercayakan segala permasalahan
hidup kepada tokoh kau. Lalu pada larik ke-5 aku lirik berada pada titik yang
lebih dalam. Dalam proses usaha mendekatkan diri, aku lirik sampai kepada
taraf membawakan darah, yang secara konotatif berarti kau sudah setara dengan
kehidupannya.
Kata mimpiku pada larik ke-7 secara konotatif bermakna sebuah cita-cita,
sebuah masa depan yang dipercayakan dan diharapkan kepadamu. Selain itu
kata mimpiku hadir untuk memperkuat kesungguhan aku lirik. Kata meski pada
larik ke-8 hadir sebagai bentuk penolakan terhadap larik sebelumnya, yang
akhirnya pada larik ke-9 aku bawakan dukaku padamu. Kata dukaku secara
denotatif berarti perasaan susah hati, sedih hati. Aku lirik ingin menunjukan rasa
sakit dan kecewa atas penolakan kau pada larik sebelumnya, namun tetaplah
tidak membuat kau terbuka untuk menerima. Penolakan tersebut hadir melalui
kata tapi yang secara denotatif bermakna sebuah pertentangan, atau tidak
selaras.
64
Pada larik ke-11 aku bawakan mayatku padamu, seperti yang sudah
dijelaskan di awal, secara denotatif, kata mayatku mengacu pada bentuk
material, namun pada larik ini, kata mayatku hadir secara konotatif sebagai
bentuk simbol penyerahan keseluruhan material, yang pada nantinya tetap
mengalami penolakan, melalui kata hampir pada larik ke-12 tapi kau bilang
hampir yang secara denotatif bermakna sedikit lagi atau nyaris. Usaha aku lirik
diperkuat kembali pada larik ke-13 dengan kata arwahku yang secara konotatif
mengartikan sebagai penyerahan keseluruhan kepada kau, baik secara jasmani
maupun rohani. Kata kalau pada larik ke-14 selain sebagai jawaban kau, secara
denotatif berfungsi juga sebagai kata penghubung yang bermakna bentuk
pengandaian yang tidak pasti.
Larik ke-15 selain sebagai bentuk kata sifat, frase tanpa apa, hadir
sebagai keterangan, yang mengacu pada kata-kata resahku, darahku, mimpiku,
dukaku, mayatku, dan arwahku sebagai objek. Dalam hal ini frase tanpa apa
secara konotatif bermakna aku lirik sudah mencapai titik ikhlas dan menerima
segala jawaban dari kau. Sebagai bentuk pengakuan bahwa segala bentuk
jasmani dan batin tak akan pernah cukup untuk mendapatkan cinta kau yang
dalam hal ini mengacu kepada Tuhan.
Kesadaran dan rasa ikhlas yang dirasakan aku lirik pada larik ke-15
sesungguhnya merupakan bentuk jawaban atas cara mendekatkan diri kepada
Tuhan. Hal tersebut dinyatakan dalam larik ke-16 dengan satu kata yaitu wah!
Jika dilihat secara denotatif kata wah bermakna sebagai kata seruan, untuk
menyatakan kekaguman, heran, dan terkejut. Namun kata wah tersebut tidak
hadir secara sendiri, melainkan didampingi sebuah tanda baca yang merupakan
tanda seru (!), sehingga secara konotatif larik ini bermakna sebagai bentuk
puncak atau inti dari bagaimanakah cara mencintai Tuhan.
Dua larik terakhir pada puisi ini nampaknya merupakan sebuah puncak
ungkapan ekstase mistik, yang dalam hal ini, aku lirik sedang mengalami proses
bagaimana cara mencintai Tuhan. Kata wah! pada larik terakhir dapat diartikan
sebagai bentuk persatuan, bentuk pengakuan, dan bentuk penerimaan seorang
hamba kepada Tuhannya.
65
b) Analisis Gaya Bahasa
1. Gaya bahasa berdasarkan Struktur Kalimat (Puisi)
Dilihat dari kehadiran pada setiap lariknya dapat dikatakan Sutardji
sebagai penyair menggunakan gaya bahasa klimaks. Pada satu bait, terdapat
urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan
sebelumnya pada setiap lariknya. Hal ini terlihat dari kata-kata bunga,
resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku. Sepintas
struktur gaya bahasa klimaks yang dibangun penyair sedikit rusak/
bertentangan ketika pada larik ke-15 yaitu tanpa apa aku datang padamu
yang seakan membuat menjadi anti klimaks. Frase tanpa apa, sedikit
mengganjal akan gagasan kepentingan yang ditempatkan pada larik-larik
sebelumnya, namun tidaklah demikian. Frase tanpa apa, sesungguhnya
menjadi puncak konsep gagasan yang dibangun penyair. Hal tersebut terlihat
dari bagaimana Sutardji menutup puisi “TAPI” pada larik ke-16 dengan kata
wah!
Selain itu pada puisi “TAPI” Sutardji pun menampilkan gaya bahasa
paradoksal (paradok), ialah gaya bahasa yang melukiskan dua hal atau
keadaan yang bertentangan dalam satu saat. Namun gaya bahasa paradoks
pada puisi “Tapi” tidaklah padu karena asosiasi yang ditimbulkan oleh kata
yang mestinya berkesan paradoks justru tidak paradoks.
Larik ke-1 dengan larik ke-2 masih menimbulkan kesan gaya paradoks
yang sesungguhnya. Namun, pada larik-larik berikutnya, kesan paradoks itu
terputus oleh kata-kata: resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan
arwahku yang tidak memiliki hubungan paradoks dengan kata-kata : hanya,
cuma, meski, tapi, hampir, dan kalau. Kesan paradoks hanya terpaut pada
kata tapi, sebagai salah satu penghubung paradoks.
Pada puisi ini tampak adanya penggabungan gaya bahasa paralelisme
anaphora dengan gaya bahasa pararelisme epifora. Penggabungan ini
menunjukkan adanya variasi dan komposisi yang artistik. Pararelisme
66
anaphora terbentuk oleh kata aku dan tapi, sedangkan paralelisme epifora
terbentuk oleh kata padamu.
2) Analisis gaya bahasa figuratif
Puisi ini menggunakan gaya bahasa yang salah satunya adalah hiperbola
yaitu melebih-lebihkan. Bisa di lihat pada beberapa barisnya seperti aku
bawakan mayatku padamu, yang secara logika mungkin mayat kita sendiri
bisa kita bawa sendiri kehadapan Tuhan. Begitu pun terdapat ambiguitas
dalam puisi ini seperti tapi kau bilang kalau, yang dalam hal ini kata kalau
menjadi tidak memiliki arti yang pasti. Dengan kata lain pada larik tapi kau
bilang kalau, Sutardji memberikan ruang terbuka kepada pembaca untuk
memberikan tafsirannya masing-masing.
c) Isotopi
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, isotopi terbentuk dari
pengulangan komponen makna dan membentuk kohesi leksikal. Beberapa
isotopi membentuk motif dan motif dapat membentuk tema.
Analisis semantik yang berupa isotopi, dalam puisi “Tapi” karya Sutardji
Calzoum Bachri terlebi dahulu ditentukan jumlah kata yang digunakan. Hal ini
dilakukan untuk melihat ada tidaknya kata yang kehadirannya lebih dominan
sebagai tema utama yang dibicarakan. Puisi “TAPI” hanya tersusun dari 24 kata.
Adapun kata yang dimaksud yaitu: aku 8x, bawakan 7x, padamu 8x, tapi 7x,
kau 7x, bilang 7x, bunga, resah, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, arwahku,
masih, hanya, cuma, meski, tapi, hampir, kalau, tanpa, apa, datang, dan wah!
Sekilas dari pengelompokan berdasarkan kehadiran kata pada puisi
tersebut, puisi “TAPI” berpusat pada hubungan antara aku dan padamu, namun
hal tersebut tidaklah dapat dijadikan penentuan tema utama, oleh karena itu
analisis isotopi dirasa perlu dilakukan untuk menguatkan penentuan tema besar
yang dibicarakan pada sebuah puisi. Setelah dilakukan pemisahan larik-larik
menjadi kata-perkata peneliti menyimpulkan tiga hal yang dapat dikategorikan
67
sebagai kelompok isotopi bersama, yaitu isotopi manusia, isotopi kesakitan, dan
isotopi usaha. Penjelasan ketiga isotopi tersebut terlihat pada tabel-tabel berikut.
1. Isotopi Manusia
Tabel 1
Kata/frase yang
termasuk isotopi
manusia dan
pemunculannya
Denotatif (D)
atau
Konotatif
(K)
Komponen makna bersama
Insan
(tubuh dan roh)
Berakal
budi
aktivitas
aku 8x D + + -
padamu 8x D + + -
kau 7x D + + -
mayatku, D + - -
arwahku, D + - -
darahku, D + - +
Untuk lebih jelasnya bisa kita rinci sebagai berikut ini. Kata aku dan kau
merupakan kata ganti orang yaitu kata ganti orang pertama dan kata ganti orang
kedua. Jika diartikan secara denotatif, kata kau mengacu kepada makhluk yang
berada dibumi namun kau secara konotatif dalam puisi ini tidak akan masuk
pada isotopi manusia jika kita maknai sebagai Tuhan karena tak layak jika
Tuhan kita masukan pada kategori isotopi manusia.
Selain itu mayat adalah bentuk jasad dari sebuah makhluk yang lebih kita
kenal sebagai jasad dari manusia yang telah meninggal dunia. Sekalipun semua
makhluk yang meninggal jasadnya disebut mayat, namun dalam puisi ini si aku
adalah manusia, sehingga mayat ini tentu mayat dari manusia. Arwahku adalah
roh atau berupa benda abstrak yang lebih kita kenal sebagai jiwa dari sebuah
mahluk yang salah satunya dimiliki oleh makhluk hidup berupa manusia. Kata
arwah bisa kita masukan pada isotopi manusia karena arwah yang tertera dalam
puisi adalah arwah yang dibawa oleh si aku yang notabene adalah manusia.
Darahku adalah sel-sel darah merah dan putih yang mengalir di dalam
tubuh manusia dan binatang. Melalui pengertian secara denotatif, kata darahku
68
merupakan termasuk isotopi manusia. Komponen makna yang paling menonjol
dalam isotopi tersebut adalah insan (tubuh dan roh). Komponen tersebut
menonjol berkaitan dengan bentuk pendekatan diri sebagai manusia kepada
Tuhan yang melibatkan unsur fisik dan nonfisik.
Tabel 2
Isotopi Kesakitan
Kata/frase yang
termasuk isotopi
manusia dan
pemunculannya
Denotatif (D)
atau
Konotatif (K)
Komponen makna bersama
Derita/sakit Cara Proses
resah, D + - -
dukaku D + - -
tapi D + + -
hanya D + - +
cuma D + + -
meski D + + -
hampir D - - +
Kata resah adalah sebuah perasaan galau atau gamang yang mendera hati
manusia. Kata resah bisa kita golongkan dalam isotopi kesakitan karena resah
itu membuat orang yang mengalaminya susah melakukan sesuatu karena
dibebani oleh perasaan ini. Duka, kata ini merupakan kebalikan dari kata
“suka”. Duka adalah ekspresi kepedihan dan kemuraman yang dialami manusia
seperti saat kehilangan, dan kata ini bisa kita golongkan dalam isotopi kesakitan
karena duka akan membuat hati orang yang mengalaminya terasa sakit dan
sedih.
Kemudian kata tapi yang secara denotatif yang termasuk kata konjungtor,
namun dalam hal ini bermakna penolakan. Kata hanya, cuma meski dan hampir
bisa digolongkan dalam isotopi kesakitan karena, kata-kata tersebut secara
makna mengacu kepada jawaban dari usaha tokoh aku lirik dalam mendapatkan
69
kau (Tuhan). Kata hanya, cuma, meski, dan hampir mengartikan sebuah
ketidakpuasaan, kekecewaan atas pencapaian yang tidak sesuai diharapkan.
Kata-kata dalam tabel 2 yang mendukung isotopi kesakitan berjumlah 7
buah. Kata resah, dukaku, tapi, masih, hanya, cuma, meski, hampir,
dikategorikan dalam isotopi kesakitan karena bermakna kesakitan. Komponen
makna yang dominan dalam isotopi tersebut adalah derita/sakit yang dialami
aku lirik dalam menerima perlakuan Tuhan atas segala usaha mendekatkan diri.
Tabel 3
Isotopi Usaha
Kata/frase yang
termasuk isotopi
usaha dan
pemunculannya
Denotatif
(D)
atau
Konotatif
(K)
Komponen makna bersama
proses tindakan hasil ketiadaan/
ketidaktahuan
bawakan 7x D + + - -
kau bilang D - + - -
tanpa apa K + + _ +
datang padamu D + + - -
wah K + - + -
Bawakan merupakan kata kerja yaitu bawa yang berasal dari kata
membawa yang mendapat imbuhan –kan. Kata ini bisa kita golongkan pada
isotopi usaha karena ini merupakan kata kerja. Frase kau bilang adalah frase
yang bisaanya dilakukan oleh insan manusia dengan seperti kata berucap atau
berbicara dan kata bilang pun masih kata kerja. Frase datang padamu adalah
frase tindakan yang bisa dilakukan oleh manusia dan kata lainya untuk datang
adalah hadir atau tiba. Ini merupakan usaha untuk menuju suatu tempat.
Kemudian yang terakhir yaitu kata wah, yang secara konotatif, melihat kesatuan
makna pada larik-larik sebelumnya merupakan sebuah hasil. Sebuah pencapaian
dari segala usaha yang telah dilakukan.
70
Dapat kita lihat kata-kata dan frase yang mendukung isotopi usaha
berjumlah 5 buah. Di antara kata-kata tersebut terdapat frase dan kata yang
bermakna konotatif yaitu tanpa apa, dan wah yang bermakna sebagai usaha
pencarian akan penerimaan Tuhan dan sebagai hasil dari pencarian. Komponen
makna yang dominan ialah tindakan. Menonjolnya komponen makna itu
berkaitan dengan sebuah pencarian penerimaan Tuhan terhadap aku lirik. Hal
tersebut didukung dengan pengulangan frase aku bawakan sebanyak tujuh kali.
Jadi berdasarkan ketiga isotopi tersebut dapat dilihat komponen makna
yang paling kuat dan dijadikan tema besar pada puisi “TAPI” adalah sebuah
usaha pencarian pengakuan kasih seorang hamba kepada Tuhannya. Pencarian
ini dilakukan aku lirik secara spiritual atau bersifat batin.
Berdasarkan analisis semantik (denotatif, konotatif, majas, dan isotopi),
puisi “TAPI” menggambarkan usaha manusia untuk menjadi makhluk yang
diakui keberadaannya oleh Tuhan. Oleh karena usaha yang bergitu kuat, aku
lirik menyerahkan seluruhnya secara utuh kepada Tuhan. Keutuhan tersebut
meliputi jasad, roh, dan hati, seperti konsep iman dalam agama Islam bahwa
iman harus diyakini dalam hati, diucapkan secara lisan, dan dibuktikan melalui
tindakan.
Bila dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, puisi “TAPI” ini bisa
bermakna tentang sifat manusia yang selalu ingin lebih dan lebih. Sifat manusia
yang tidak pernah merasa puas dan tinggi hati terhadap apa yang telah dimiliki,
sehingga lupa akan jati dirinya sendiri. Rasa ikhlas dan kesadaran bahwa
sesungguhnya diri ini seutuhnya adalah milik Tuhan, sesungguhnya tidak
pernah memberikan apapun kepada Tuhan, hanya meminjam dan
mengembalikan apa yang Tuhan berikan. Kesadaran manusia sebagai makhluk
yang tak punya apa-apa yang dinyatakan pada larik ke-15 tanpa apa aku datang
padamu merupakan inti dari bagaimana seharusnya mencintai Tuhan.
4. Analisis Aspek Pragmatik
Sesuai dengan penjelasan pada kerangka teori, aspek pragmatik pada
penelitian ini dibatasi pada cara penampilan atau kehadiran aku lirik
71
(pembicara) dan pendengar. Dalam puisi “TAPI”, aku lirik ditampilkan sejak
awal larik melalui pronomina aku yang terdapat di larik pertama yaitu aku
bawakan bunga padamu. Melalui larik tersebut penyair ingin menyampaikan
kepada pembaca, tentang situasi yang sedang dialami aku lirik. Kemunculan
tokoh kau melalui kata padamu, dan tapi kau pada larik selanjutnya
memberitahukan kepada pembaca bahwa puisi ini menceritakan antara aku lirik
dengan tokoh kau yang tidak jelas mengacu kepada siapa; apakah kepada
dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada Tuhan, atau mungkin juga kepada
pembaca yang dianggap mengerti tasawuf
Namun berdasarkan analisis yang dilakukan pada aspek sintaksis, dan
semantik dapat kita nyatakan bahwa kau di sini mengacu kepada Tuhan. Hal
demikian terlihat dengan kata-kata bunga, resahku, darahku, mimpiku, dukaku,
mayatku, dan arwahku sebagai benda yang ingin diberikan kepada kau. Kata
mimpi, duka, arwah, merupakan kata sifat, yang tidak mungkin diberikan dan
diterima sebagai bentuk material kepada manusia, sehingga dapat disimpulkan
bahwa kau pada puisi ini mengacu kepada Tuhan.
Kata aku di awal larik pertama dan kau pada larik kedua, mengandung
makna konotatif yang berarti bahwa adanya hubungan di antara aku lirik dan
kau. Penggunaan kata bunga larik pertama sebagai benda yang ingin diberikan
kepada –mu pada kata padamu menyimbolkan bentuk cinta, sehingga secara
konotatif dapat diinterpretasikan bahwa hubungan aku lirik dan kau terjalin atas
dasar cinta.
Percakapan pada puisi itu merupakan percakapan satu arah, atau bisa
dikatakan sebagai monolog. Jika diamati, aku lirik hadir pada setiap larik-larik
ganjil, yang melalui larik tersebut aku lirik menceritakan apa yang dialaminya.
Sementara itu Tuhan yang hadir melalui kata kau hadir pada larik-larik genap
dan jumlah kehadiran yang sama dengan aku lirik. Dialog-dialog kau yang
diterima pembaca/pendengar sesunguhnya didapat dari perkataan aku lirik
melalui klausa tapi kau bilang, sehingga dapat dikatakan bahwa kau di sini tidak
berkata sedikit pun, dan pembaca/pendengar hanya mendapatkan informasi dari
kutipan tidak langsung yang disampaikan aku lirik.
72
Penempatan makna cinta dengan perumpamaan kata bunga di awal larik
tidaklah hadir tanpa maksud, karena dalam sistem estetika sufi, cinta memiliki
makna luas dan bersegi-segi. Dalam estetika sufi, cinta bukan dalam arti yang
lazim, tetapi merupakan suatu keadaaan rohani yang dapat membawa seseorang
mencapai suatu jenis pengetahuan yang sangat penting, yaitu pengetahuan
ketuhanan, sehingga secara tidak langsung hal ini menguatkan kata kau
mengacu kepada Tuhan.
Larik berikutnya yaitu pada larik ke-3 sampai ke-11 banyak ungkapan
yang mengandung paradoks. Ungkapan paradoks pada puisi ini disebabkan
penggabungan kata-kata bunga, resah, darah, mimpi, duka, mayat, arwah yang
di sandangkan dengan kata-kata masih, hanya, cuma, meski, tapi, hampir, kalau.
Hal ini menarik dikarenakan kata-kata tersebut dirajut oleh kata tapi yang
merupakan konjungtor bertentangan.
Dengan paradoks seperti itu, penyair seolah memperlihatkan kepada kita
bahwa pengalaman aku lirik sangat dalam dan kompleks, serta menuntut
kesadaran logis untuk memungkinkan pembaca memahami dan menghayati.
Selain itu, paradoks yang kental dengan dimensi sufistik, dapat juga
menimbulkan pencerahan apabila pembaca bersedia memasuki lubuk terdalam
aura keruhaniannya yang paling hakiki
Ungkapan kata tapi dan kau yang penuh paradoks adalah hasil rekaman
bisikan yang terdengar di lubuk terdalam hati aku lirik sebagai manusia. Kau
yang dalam hal ini mengarah kepada Tuhan seolah-olah berbicara menggunakan
keterangan yang disampaikan aku lirik.
Selain itu penyandingan kata aku bawakan bunga, resahku, darahku,
mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku dengan kata tapi kau bilang masih,
hanya, cuma, meski, tapi, hampir, dan kalau, memberi efek ambiguitas secara
bertahap pada setiap lariknya. Mengisyaratkan bagaimana aku lirik melakukan
proses makrifat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti yang dikatakan
Junaidi ―makrifat ialah keraguan hati antara menyatakan bahwa ia terlalu
73
dasyat untuk dilihat. Makrifat adalah pengetahuan bahwa apapun yang
terbayang dalam hatimu, Tuhan adalah kebalikkannya‖.3
Pada larik ke-1 sampai ke-11 melalui kata-kata bunga, resah, darahku,
mimpiku, dukaku, mayatku, penyair ingin menyindir pembaca yang gagal
memahami proses penyatuan dalam dimensi sufistik. Gagasan persatuan mistik
aku lirik dengan Tuhan, dianggap sebagai pernyataan tentang kedekatan fisik.
Padahal para sufi tidak pernah berbicara tentang kedekatan fisik, tetapi
kedekatan batiniyah.
Setelah pada larik sebelumnya aku lirik mendapatkan penolakan melalui
kata tapi kau bilang tapi, kata mayatku pada larik ke-11 bermakna konotatif
yang lebih dalam. Mayatku merupakan simbol dari kematian yang berarti
meleburkan diri dari sifat-sifat individual (resahku, darahku,mimpiku, dukaku)
agar tersingkap penutup yang memisahkan kau sebagai kekasih yang khalik
dengan aku lirik sebagai pecinta yang mahkluk. Kematian dalam hal ini bahkan
sampai pada tataran kematian jasmani. Hal tersebut terlihat pada larik
berikutnya yaitu aku bawakan arwahku padamu.
Hal ini diwujudkan Sutardji pada larik-larik akhir dimana aku lirik tidak
putus asa menghadapi penolakan yang diberikan Tuhan. Kata arwahku pada
larik ke-13 secara konotatif bermakana ruhaniyah, bagaimana usaha aku lirik
meningkatkan kehidupan ruhaniyah, sehingga dapat mengenal dan mendekatkan
diri dengan sifat-sifat Tuhannya
3Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj Sapardi Djoko Damono dkk
(Jakarta: Pstaka Firdas, 1986), h. 135
74
B. Analisis Puisi BELAJAR MEMBACA
Teks Puisi
BELAJAR MEMBACA
kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
Sutardji Calzoum Bachri 1979
75
1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi
Puisi “BELAJAR MEMBACA” termasuk dalam puisi pendek. Puisi ini
hanya terdiri dari satu bait, lima belas larik dan terdiri dari lima kata yaitu luka,
kaku, kaki, kau, kalau, dan dua pertikel yaitu –ku dan -kah. Kelima kata tersebut
hadir secara berulang dan teratur, sehingga menimbulkan efek bunyi yang
menarik. Pada penelitian puisi ini akan dilakukan verifikasi yaitu yang
menyangkut rima, ritme, dan metrum.
Rima (pengulangan bunyi) pada puisi “BELAJAR MEMBACA” pada tiap
baris terdapat kesamaan bunyi [a], dan [u], yang bermunculan secara berulang.
Bunyi [a] terdapat pada keseluruhan baris, yaitu kata luka 5x, lukakah 4x,
lukakaukah, lukakaukah, kakikaukah 2x, dan lukakakukakikukah 2x. Hal serupa
juga terdapat pada bunyi [u] yang berada pada keseluruhan baris. Adapun kata
yang termasuk di dalam bunyi [u] yaitu, kata kakiku 7x, kakikau 4x, kalau 3x,
lukaku 2x, lukakau 2x, dan lukakakukakiku 2x yang dalam hal ini bunyi [u]
merupakan bunyi yang dominan pada puisi ini. Bunyi [u] cenderung
memberikan kesan ada seseorang yang ingin didekati atau dituju.
Mengenai rima, dapat dikatakan inilah yang menjadi kekuatan puisi
Sutardji pada umumnya. Dalam penulisannya, puisi ini menggunakan gaya
bahasa aliterasi dan asonansi dengan persamaan bunyi kata, baik pada akhir
baris atau dalam baris larik itu sendiri. Pada baris-baris puisi terdapat persamaan
bunyi yang sering dan lengkap, sehingga dapat disimpulkan termasuk dalam
rima sempurna (seluruh suku akhirannya berirama sama). Dalam puisi ini, rima
sangat dijaga dengan ketat. Rima tidak hanya hadir pada akhir larik,namun
dikaitkan dengan adanya rima berpeluk dari setiap larik.
Pengulangan tidak hanya sebatas terhadap bunyi, namun juga pada kata
atau ungkapan. Hampir semua rima akhir mempunyai bentuk nasal, yaitu [ku],
[ka], [ah]. Bunyi ini memberikan gema dan sesuai kontkesnya, memberikan
kesan suatu recital doa yang diucapkan secara terus menerus, sehingga
memberikan efek magis, seperti efek seorang yang sedang melakukan ritual
76
zikir sedang mengulang kata, sesuai dengan judul puisi tersebut yaitu,
“BELAJAR MEMBACA”.
Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, puisi “BELAJAR
MEMBACA” sesungguhnya hanya terdiri dari lima kata yaitu luka, kaku, kaki,
kau, dan kalau. Kelima kata tersebut hadir secara berulang dan teratur, sehingga
menimbulkan efek bunyi yang menarik yang pada akhirnya membentuk suatu
alunan merdu, indah, dan penuh daya magis ketika dibacakan (seperti
pembacaan mantra).
Setelah mengetahui bentuk rima dan irama yang terdapat pada puisi
“BELAJAR MEMBACA” selanjutnya akan dilakukan pencarian bentuk
metrum. Meskipun metrum tidak begitu penting dalam menganalisis puisi
Indonesia pada umumnya, namun untuk menemukan beberapa kemungkinan
yang lebih menarik maka tidak salahnya tetap digunakan untuk menganalisis
puisi ini.4
Dapat dikatakan bahwa jumlah suku kata dalam puisi ini cukup bervariasi
karena terdiri dari 5-15 suku kata ( 5, 5, 6, 6, 7, 7, 5, 7, 8, 7, 7, 7, 8, 15, 15). Hal
ini menarik, karena larik ke-15 yang merupakan larik terakhir pada puisi ini
berjumlah 15 suku kata. Hal ini seakan mengisyaratkan bahwa perhatian puisi
“BELAJAR MEMBACA” berfokus pada larik terakhir yaitu:
lukakakukakikaukah lukakakukakiku. Larik ke-15 seperti rangkuman dari ke-14
larik sebelumnya, dimana semua kata yang digunakan pada larik-larik
sebelumnya terangkum di larik akhir ini. Jika dilakukan penedahan terpisah
maka kita akan menemukan kata-kata [luka] [kaku] [kaki] [kau-kah] [luka]
[kaku] [kaki-ku]
4
Dalam hal ini dikarenakan metrum hanya ada dalam teori barat dan sulit diaplikasikan
pada puisi Indonesia. Dalam penggunaannya sering disamakan dengan istilah rima yang pada
dasarnya terbagi menjadi dua macam, yaitu ritme dan metrum. Baca: Racmad Djoko Pradopo,
dkk, Puisi, (Universitas Terbuka, 2007), cet III, h. 4.39
77
Mengingatkan proses ketika seorang siswa diminta belajar membaca Iqro
(belajar mengaji), yang ketika ingin mendaki ke Iqro 2, 3, 4, 5, dan 6 ia akan
memasuki ujian akhirnya yang mewajibkannya untuk menyelesaikan semua
pelajaran yang ia dapatkan. Tidak berbeda dengan proses belajar, proses
kehidupan, dan proses pencarian seakan memberi penegasan isi puisi ini dan
hubungan dengan pemberian judul “BELAJAR MEMBACA”.
Selain itu, melalui analisis bunyi, terlihat bagaimana Sutardji benar-benar
memanfaatkan unsur bunyi pada puisinya. Bunyi di sini tidak hanya terjadi pada
akhir larik, namun muncul pada keseluruhan kata-kata yang hadir. Bunyi tidak
hanya sebagai pemanis puisi ketika dibacakan, namun memberikan nuansa
tersendiri sebagai bentuk puisi mantra.
2. Analisis Aspek Sintaksis
Setelah analisis bentuk puisi dan bunyi, pada tahapan ini akan dilihat
rangkaian sintaksisnya. Di sini analisis aspek sintaksis merupakan analisis
rangkaian kata pada setiap lariknya, sehingga dapat ditentukan struktur
sintaksisnya, baik frase, klausa, maupun kalimat.
Pada puisi “BELAJAR MEMBACA” tidak ditemukan penggunaan tanda
baca, baik huruf kapital pada awal larik, maupun tanda baca seperti: titik, koma,
seru, tanya dll, sehingga dapat disimpulkan bahwa larik pada puisi itu tidak
dapat dikategorikan sebagai sebuah kalimat. Tidak terdapatnya tanda baca pada
puisi ini terkadang menyulitkan dalam menentukan batas antar-klausa, frase,
maupun kalimat, sehingga untuk menentukan batasan dalam teks puisi ini,
maknalah yang dijadikan landasan dasar.
Puisi ini diawali dengan klausa kakiku luka. Frase kakiku yang dibangun
dengan menggabungkan kata luka sebagai nomina dengan kata ku sebagai
pronomina, hadir sebagai subjek, dan luka sebagai objek. Kehadiran pronomina
–ku pada frase kakiku memberikan arti bahwa kaki yang dimaksudkan adalah
kaki aku lirik, yang kemudian diperkuat lagi dengan kata luka sebagai frase
adverbial. Selain itu, pronomina -ku dituliskan selalu berhimpit dengan kata kaki
78
pada setiap larik, sehingga menimbulkan efek bahwa kaki di sini benar-benar
bagian tubuh dari aku lirik.
Pada larik ke-2 luka kakiku, kata luka yang pada larik ke-1 dituliskan di
akhir, pada larik ke-2 berubah posisi dengan menempatkannya di awal, sehingga
menimbulkan kesan bahwa larik ke-2 hadir sebagai penegasan larik pertama,
bahwa kaki aku lirik benar-benar terluka dengan menempatkan kata luka
sebagai objek di awal larik.
Pada larik ke-3 kakikau lukakah ditemukan keganjilan yang secara
sintaksis pada frase kakikau seharusnya ditulis secara terpisah, karena kau
merupakan kata sapaan bebas (dalam hal ini seharusnya pronomina –mu yang
digunakan untuk menunjukan kata ganti kepemilikan). Seperti pada penulisan
frase kakiku, frase kakikau juga selalu ditulis berdampingan pada semua larik,
sehingga menimbulkan kesan bahwa ada dua subjek pada puisi itu, sehingga
memperkuat bahwa kakiku dan kakikau hadir secara terpisah. Pada larik ke-3
ini frase kakikau hadir didampingi dengan frase lukakah. Larik ke-3 memiliki
pola yang sama dengan larik pertama. Namun pada larik ke-3 subjek mengacu
pada pronomina –kau yang entah mengacu kepada siapa.
Pada penulisan larik ke-4 lukakah kakikau secara struktur hampir sama
dengan penulisan larik ke-2, di mana kata lukakah dipindahkan posisinya
menjadi di depan larik, sehingga menimbulkan penekanan bahwa kata luka
merupakan titik fokus dari permasalahan yang ditanyakan aku lirik kepada
tokoh –kau.
Pada larik ke-5 kalau kakikau luka diawali dengan sebuah konjungtor/kata
penghubung bersyarat kalau dan didampingi subjek kakikau dan luka sebagai
keterangan. Penempatan klausa adjektiva di awal larik menegaskan bahwa aku
lirik mulai mengalami kebimbangan akan posisi aku lirik terhadap kau.
Larik ke-6 lukakukah kakikau sesungguhnya terdiri dari beberapa kata
yang secara penulisan disatukan. Larik ini terdiri dari beberapa kata dan partikel
yaitu; luka, -ku, -kah, kaki, dan kau, namun dikarenakan penulisannya disusun
79
secara menyatu, menciptakan efek yang berbeda ketika dibacakan. Pada larik ini
hadir sufiks –kah yang memberikan efek pertanyaan yang hadir dari sebuah
keraguan. Setelah pada larik ke-5 hadir kata kalau maka larik ke-6 hadir
sebagai penguat akan kebimbangan aku lirik. Terlebih lagi ketika dilihat secara
struktur, penyair menempatkan pronominal ku di awal larik larik ke-6 dan ke-7
dan memposisikan sebagai subjek, sehingga memberi tanda kepada pembaca
bahwa pada larik ini aku lirik menjadi titik fokus utama.
Konstruksi serupa terdapat juga pada larik ke-8 dan ke-9, namun pada
larik ini titik fokus dipusatkan pada tokoh kau, yang berarti aku lirik meminta
jawaban atas kebimbangannya. Hal ini bisa dilihat dengan ditempatkanya klausa
lukakaukah di awal larik yang kemudian diikuti dengan frase kakiku, dengan
pronomina –kah hadir sebagai bentuk kata tanya kepada tokoh kau. Selanjutnya
larik ke-9 hadir sebagai penguat akan pertanyaan yang terdapat pada larik ke-8
kalau lukaku lukakau, dengan menempatkan kata kalau di awal larik, sebagai
bentuk penguat pertanyaan pada larik ke-8, dengan melihat kata kalau sebagai
kata penghubung bersyarat.
Hal yang menarik dari dua larik setelahnya yaitu larik ke-10 kakiku
kakikaukah dan ke-11 kakikaukah kakiku yaitu hanya di dua larik ini saja, kata
luka tidak hadir. Jika larik ke-10 dipisah-pisah maka akan didapatkan kaki (adj),
-ku (pronomina), kaki (nomina), kau (predikat) dan dapat dikategorikan sebagai
frase adjektiva, kemudian ditambahkan -kah sebagai partikel tanya. Dari hal
tersebut terlihat bahwa larik ke-10 merupakan jenis klausa introgatif yang
merupakan bentuk kebimbangan dari aku lirik kepada tokoh kau. Pertanyaan
tersebut dipertegas kembali pada larik ke-11 dengan menempatkan kakikaukah
sebagai bentuk pertanyaan di awal larik.
Pada larik ke-12 kakiku luka kaku, dimana frase kakiku hadir sebagai
subjek dengan adanya pronominal –ku. Kata luka hadir sebagai objek yang kali
ini didampingi dengan kata kaku sebagai keterangan dan berfungsi sebagai
informasi akan jenis luka yang dialami aku lirik.
80
Berbeda dengan larik ke-9 yang hadir sebagai penguat larik ke-8, larik ke-
13 kalau lukaku lukakau hadir sebagai penguat akan pertanyaan yang terdapat
pada larik selanjutnya yaitu larik ke -14. Penempatan kata kalau di awal larik,
merupakan penguat pertanyaan dengan menggunakannya sebagai kata
penghubung bersyarat di awal larik. Pada larik ke-14 lukakakukakiku
lukakakukakikaukah ditemukan kesulitan untuk menentukan struktur
sintaksisnya, karena kata-kata tersebut disusun secara berhimpitan. Maka dari
itu pada larik ini akan dilakukan penedahan larik menjadi kata-perkata. Kata
lukakakukakiku sesungguhnya terdiri dari susunan kata luka, kaku, kakiku dan
kata lukakakukakikaukah terdiri dari susunan kata luka, kaku, kaki, kau, -kah,
dan dapat dikatakan bahwa larik ke-14 terdiri dari dua klausa, yaitu klausa pasif.
Larik ke-15 lukakakukakikaukah lukakakukakiku memiliki pola yang serupa
dengan larik sebelumnya. Hanya saja pada larik ke-15 lukakakukakikaukah
ditempatkan posisinya di awal sebagai objek yang diiringi keterangan, yang
subjeknya adalah kau, sehingga menimbulkan kesan bahwa yang ingin
diterangkan sebagai fokus pada larik ini adalah tokoh kau.
Dari analisis sintaksis ini terlihat bahwa pada puisi “BELAJAR
MEMBACA”, kebimbangan merupakan kata kunci pada puisi ini. Hal tersebut
terlihat dari penggunaan partikel tanya-kah yang terdapat pada hampir
keseluruhan larik. Selain itu dengan mempertimbangkan puisi ini dalam wujud
lisan, ketika dibacakan pertikeh –kah akan membuat larik-larik tersebut
berintonasi sebagai sebuah pertanyaan, selain itu, kata kalau sebagai konjungtor
bersyarat pada puisi ini hadir sebagai penguat akan kebimbangan yang dirasakan
aku lirik.
3.Analisis Aspek Semantik
Dari judulnya, puisi “BELAJAR MEMBACA” memberi kesan berisikan
pengalaman yang berkaitan dengan proses pembelajaran, yang dalam hal ini
berkaitan dengan kepekaan untuk melihat dan merenungi keadaan sekitar.
Berdasarkan analisis bunyi dan analisis sintaksis yang telah dilakukan
81
sebelumnya, dapat dikatakan perenungan dan penghayatan tersebut tertuju akan
keberadaan kau yang mengacu kepada Tuhan.
Penggunaan klausa “BELAJAR MEMBACA” yang hanya terdapat pada
judul menimbulkan kesan sebagai ringkasan isi puisi ini secara keseluruhan.
Untuk membuktikan kesan tersebut maka akan dilakukan analisis semantik yang
mencakup tahapan denotatif, konotatif, gaya bahasa dan isotopi pada puisi ini.
a) Denotatif dan Konotatif
Sebelum menentukan makna denotatif, dan konotatif yang akhirnya
membentuk sebuah majas pada puisi, pada penelitian ini ditentukan terlebih
dahulu suatu peristiwa yang terbentuk yang melibatkan peserta atau lebih,
berdasarkan peran semantisnya. Pada puisi “BELAJAR MEMBACA”, peneliti
menemukan adanya dua peserta: -ku (subjek) dan kau yang menyatakan peserta
peruntuk yang bertindak sebagai objek yang diajak berbicara.
Apabila dihubungkan dengan isi setiap larik dalam satu bait, larik pertama
memberikan infomasi awal kepada pembaca tentang apa yang dirasakan oleh
aku lirik. Frase kaki-ku berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia secara
denotatif berarti anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk
berjalan; 2 bagian tungkai yang paling bawah; 3 bagian suatu benda yang
menjadi penopang yang berfungsi sebagai kaki; bagian bawah.5 Secara
sederhana dapat diartikan sebagai penyanggah, hal penopang tokoh aku [-ku]
yang kemudian diperkuat dengan kata luka yang menggambarkan bahwa
sesuatu yang menjadi dasar penopang dalam kehidupan aku lirik sedang
terluka, sedang bermasalah.
Sementara itu secara denotatif kata luka bermakna belah (pecah, cedera,
lecet dsb) pada kulit karena kena barang yang tajam dsb.6 Dari hal tersebut
secara konotatif, larik pertama mengisaratkan kepada pembaca bahwa dalam
puisi ini yang menjadi tema utama adalah pemasalah luka pada hal yang
5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 605 6 Ibid., h. 845
82
mendasar, sesuatu yang fundamental. Diksi luka yang berakhiran [a] juga
memberikan kesan keterbukaan yang berarti luka disini sebagai sesuatu yang
besar, dan menganga.
Hal ini dipertegas kembali pada larik ke-2 dengan menempatkan kata luka
di awal larik pada baris ke-2. Perubahan konstruksi pada larik kedua, secara
konotatif memberikan arti bahwa luka di sini merupakan luka yang serius,
dikarenakan bersemayam pada sesuatu yang fundamental.
Pada larik ke-3 untuk pertama kalinya muncul tokoh kau yang tidak jelas
mengacu kepada siapa: apakah kepada dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada
Tuhan, atau mungkin juga kepada pembaca yang dianggap mengerti tasawuf.
Secara denotatif kata kau merupakan bentuk lain dari kata engkau yang secara
denotatif dipakai untuk orang yang sama atau lebih rendah kedudukannya,
digunakan juga untuk berdoa kepada Tuhan. Dari pengertian tersebut dapatlah
disimpulkan kau yang bertindak sebagai objek yang diajak berbicara oleh aku
lirik, mengacu kepada Tuhan.
Selain itu pada larik ke-3 dan ke-4 muncul sebuah pertanyaan yang secara
denotatif bermakna “mungkin” dengan penempatan pronomina –kah pada kata
luka sehingga menjadi frase lukakah yang merupakan bentuk lain kata tanya.
Kemudian hal yang sama juga dilakukan penyair pada larik ke-4 dengan
menempatkan frase lukakah di awal larik dan menempatkan sebagai subjek.
Dengan menempatkan pertanyaan di awal larik, secara konotatif menunjukan
adanya luka yang benar-benar mengganggu batin aku lirik.
Pada larik ke-5 dan ke-6 yaitu kalau kakikau luka, lukakukah kaki kau jika
dikaitkan dengan larik sebelumnya, kata kalau disini secara konotatif
bermakna bahwa aku lirik sedang merasakan duka, sedih, kesakitan. Kesakitan
tersebut diikuti dengan pertanyaan apakah kau lirik juga merasakan apa yang
aku lirik rasakan, sehingga bisa dikatakan larik ke-5 dan ke-6 secara konotatif
bermakna sebagai penegasan tokoh aku, kepada tokoh kau.
83
Pada larik ke-7 penyair kembali membawa pembaca untuk mengingat
pokok permasalahan pada larik pertama, yaitu kakiku luka. Selain itu pada larik
ke-8 penegasan di sini tidak sama dengan penegasan yang sebelumnya
dilakukan pada kata luka di larik ke-2. Kata luka ditempatkan di awal sebagai
subjek namun diiringi dengan kata kaukah, sehingga penekanan luka disini
secara konotatif hadir untuk mempertegas lukakaukah kakiku, yang langsung
disambung dengan larik ke-9 kalau lukaku lukakau, sehingga dapat
disimpulkan larik-larik; kakiku luka, lukakaukah kakiku, kalau lukaku lukakau,
hadir sebagai penegasan akan sumber luka yang tokoh aku lirik rasakan.
Selanjutnya pada larik ke-10 dan ke-11, tidak dijumpai adanya kata luka.
Hal ini cukup menarik, mengingat hanya pada dua larik ini saja, kata luka tidak
hadir, sehingga secara konotatif bermakna akan pertanyaan, sekaligus tanda
bahwa ada hal yang ingin dilepaskan tokoh aku lirik terhadap tema utama yang
dibawakan dari awal larik hingga larik ke-9.
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
Pada kedua larik ini secara denotatif penyair lebih fokus menanyakan akan
kesatuan tubuh dan jiwa antara aku lirik dan kau. Pertanyaan akan kesatuan
jiwa menjadi lebih penting, sehingga luka yang menganga sebelumnya tidak
lebih berarti pada pengakuan kau terhadap –ku. Selain itu, sama halnya dengan
larik-larik sebelumnya, perubahan konstruksi antara larik ke-10 dan ke-11
secara konotatif bermakna penekanan akan bentuk pertanyaan. Hal ini terlihat
dengan penempatan partikel –kah di awal larik sebagai bentuk pengukuhan atas
pertanyaan.
Selanjutnya pada larik ke-12 kakiku luka kaku secara denotatif berarti aku
lirik sedang memberikan informasi bahwa luka yang di alami aku lirik
merupakan luka kaku. Kata kaku secara denotatif berarti keras tidak dapat
dilenturkan; keju; kejang, sukar diberi tahu; tidak lemah lembut. Luka disini
hadir jauh lebih kuat dari pada luka yang disampaikan pada larik-larik
84
sebelumnya. Pada larik kakiku luka kaku secara konotatif dapat diartikan luka
yang kaku, luka yang menganga, namun tak juga bisa diobati. Luka abadi
dikarenakan tak dapat bertindak, kaku mematung, yang jika dihubungkan
dengan larik ke-13 kalau lukaku lukakau, maka secara konotatif kata kaku yang
berada pada larik ke-12 dapat bermakna bahwa hati aku lirik begitu sakit,
begitu kejang, begitu sukar, jika sakit yang dialaminya menyebabkan kau
menjadi sakit. Pada intinya melalui dua larik ini, penyair ingin memberitahu
sakit yang dirasakannya akan bertambah sakit jika, luka tersebut penyebab
tokoh kau sakit.
Pada penutup puisi ini, masih lahir pertanyaan yang sama dan dipertegas
lagi dengan pernyataan bahwa aku lirik merasakan sakit yang terlalu menusuk,
sehingga tak dapat lagi menahannya sendiri. Hal ini dilakukan dengan
menambah kata kaku di belakang kata kakiku luka. Dengan keadaan luka yang
sangat menyakitkan ini, dipertanyakan lagi hal yang sama dengan emosi yang
lebih ditekan oleh aku lirik.
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
Selain itu pada larik terakhir ini, kata-kata yang digunakan untuk
membangun puisi ini hadir secara keseluruhan dan hadir disusun dengan
berhimpitan. Kerapatan kata-kata tersebut semakin memuncak sampai pada
larik ke-15. Kerapatan ini juga tidak sekedar dalam bentuk kata, namun jika
dibacakan akan menghasilkan bunyi yang lebih kuat, dan memaksa kita
bergerak lebih cepat. Seakan mengisyaratkan kepada pembaca bagaimana
proses tokoh aku lirik dalam mendekati tokoh kau, yang selama perjalanan
sempat mengalami kebimbangan, dan ketidakpastian. Hal ini terlihat dengan
hadirnya kata kalau sebanyak tiga kali. Namun pada akhirnya keyakinan aku
lirik membulat, bahkan tidak peduli akan luka, yang menjadi kaku, sehingga
membuat aku menjadi lebih dekat (merapat) dengan kau.
85
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keseluruhan puisi ini
menampilkan hubungan antara aku lirik dan tokoh kau, serta kebimbangan
yang dirasakan aku lirik terhadap kau yang mengacu kepada Tuhan. Secara
tipografi sesuai dengan judul puisi yaitu “BELAJAR MEMBACA” proses
pencarian dan pendekatan diri aku lirik terhadap Tuhan juga bertahap. Larik
pertama hanya tersusun dari dua kata, dengan jarak antar kata yang juga sesuai,
namun pada larik berikutnya dan semakin kebawah jumlah kata akan
meningkat, dengan susunan kata ditulis tanpa spasi, sehingga adanya bentuk
kedekatan diri aku lirik dengan kau yang sudah meningkat.
b). Analisis Gaya Bahasa
1) Analisis Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur
Ketika membahas struktur puisi yang paling terlihat adalah adanya gaya
bahasa repetisi yang digunakan dalam puisi ini. Repetisi yang dibicarakan pada
puisi ini berbentuk pengulangan kata, frase atau pun klausa. Repetisi yang
demikian terlihat pada keseluruhan larik. Dari lima belas larik yang ada
sesunguhnya hanya tersusun dari 5 kata dan 2 partikel. Adapun kata yang
dimaksud yaitu: kaki 17x, luka 17x, kau 10x, kalau 3x, kaku 5x dan partikel –
kah 6x, dan –ku 13x. Kelima kata dan 2 pertikel tersebut hadir secara berulang
sehingga menghasilkan sebuah gaya bahasa paraleisme.
Kata kaki dan luka berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-
kata atau frase, sehingga menduduki fungsi yang sama dalam gramatikal yang
sama. Pengulangan kata kaki dan luka yang berulang-ulang pada setiap
kontruksi di setiap larik membuat repetisi ini dimasukan kedalam jenis repetisi
tautotes.7
Selain kuat akan gaya repetisi, pada puisi ini juga dominan dengan gaya
bahasa aliterasi. Larik 1-5 kakiku luka, luka kakiku, kakikau lukakah, lukakah
kakikau, kalau kakikau luka terjadi perulangan konsonan yang sama, dan dalam
hal ini terjadi di keseluruhan larik.
7 Salah satau jenis repetisi atas kata berulang –ulang dalam sebuah konstruksi. Baca:
Gorys Keras, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2001) cet ke-12, h. 127
86
2) Analisis Gaya Bahasa Kiasan/Figuratif
Pertama-tama ditentukan dahulu adakah pembentuk atau persamaan pada
kata di setiap lariknya. Membandingkan sesuatu hal dengan hal yang lain,
dilakukan untuk menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara
kedua hal tersebut. Perbandingan di sini dilakukan dalam rangka menentukan
apakah larik tersebut merupakan gaya bahasa yang polos atau langsung, dan
perbandingan yang merupakan bahasa kiasan.
Bila dibaca sepintas lalu, puisi ini tidak mengandung banyak majas, yang
tampak hanya gambaran seorang yang kakinya terluka, dan berharap bahwa
luka yang di rasakan tidaklah miliknya seorang dan adanya harapan
penyatuan antara aku lirik dengan kau. Namun jika diperhatikan dengan lebih
seksama, keseluruhan puisi ini merupakan metafora dari eksistensi manusia di
hadapan Tuhannya.
Larik pertama diawali dengan kata kakiku merupakan majas sinekdoke
pars pro toto. Kata kaki di sini tidak hadir sebagai perwakilan bagian anggota
tubuh, namun sebagai bagian keseluruhan aku lirik, sehingga ditambahkan
dengan pronomia –ku sebagai acuannya. Kaki sini juga lebih bermakna
konotatif, yang berarti landasan hidup yang terluka. Larik ini mengantarkan
pembaca pada suasana sedih yang dikemukakan aku lirik.
Begitu pun pada larik selanjutnya, masih dalam tataran struktur yang
sama. Pada larik ke-12 kakiku luka kaku di larik ini, penyair menggabungkan
kata luka dan kaku. Luka yang berarti bukan sebagai tertusuk benda tajam,
atau terbukanya kulit maupun daging, dikarenakan kaku pun bukan itu
penyebabnya.
Kaku yang berarti diam, tak bergerak, tak bisa melakukan yang diinginkan,
sehingga luka menjadi arti baru sebagai keadaan tertekan, tidak mampu
berbuat banyak. Dengan menggunakan bahasa kiasan luka kaku penyair
mengantarkan perasaan yang ingin disampaikan aku lirik yaitu kesedihan dan
kesakitan.
87
e) Analisis Isotopi
Sebelum melakukan analisis semantik pada tataran pembagian isotopi
pada puisi “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji Calzoum Bachri, terlebih
dahulu ditentukan jumlah kata yang digunakan. Hal ini dilakukan untuk melihat
ada tidaknya kata yang kehadirannya lebih dominan sebagai tema utama yang
dibicarakan. Puisi “BELAJAR MEMBACA” sesungguhnya hanya tersusun dari
5 kata dan 2 partikel. Adapun kata yang dimaksud yaitu: kaki 17x, luka 17x,
kau 10x, kalau 3x, kaku 5x dan partikel –kah 8x, dan –ku 13x
Dari pengelompokan berdasarkan kehadiran kata pada puisi ini, tema
berpusat pada hubungan antara kaki dan luka yang dalam hal ini terjadi antara
aku lirik dan kau. Penentuan luka sebagai tema besar berdasarkan jumlah
kemunculannya tidak dapat dijadikan penentuan tema utama, oleh karena itu
analisis isotopi dirasa perlu untuk menguatkan penentuan tema besar yang
dibicarakan pada sebah puisi. Setelah dilakukan pemisahan larik-larik menjadi
kata-perkata peneliti menyimpulkan tiga hal yang dapat dikategorikan sebagai
kelompok isotopi yang bersama, yaitu isotopi kedekatan, isotopi penderitaan,
dan isotopi usaha. Penjelasan ketiga isotopi tersebut dapat di lihat pada tabel-
tabel berikut.
Tabel 1
Isotopi Kedekatan
Klausa yang termasuk
isotopi kedekatan dan
kemunculannya
Denotatif
(d) atau
konotatif
(k)
Komponen makna
bersama
Jarak
Mental
Jarak
fisik
lukakaukah kakiku K +
lukaku lukakau (2x) K +
88
Jumlah klausa yang termasuk isotopi kedekatan ada 7 buah. Klausa
lukakaukah kakiku, lukaku lukakau (2x), kakiku kakikaukah, kakikaukah kakiku,
lukakukah kakikau, lukakakukakiku lukakakukakikaukah, lukakakukakikaukah
lukakakukakiku, dimasukkan ke dalam isotopi kedekatan karena ketujuh klausa
tersebut berkonotatif kedekatan (kedekatan yang tidak terbatas). Klausa lukaku
lukakau diulang dua kali karena berkaitan dengan pernyataan aku lirik yang
merasa dekat dengan kau yang mengacu kepada Tuhan. Di antara kedua
komponen makna tersebut, “jarak mental” menjadi komponen utama yang
menonjol. Hal ini berkaitan dengan sifat kedekatan antara aku lirik dengan kau,
yaitu kedekatan yang bersifat mental atau rohani/spiritual.
Tabel 2
Isotopi Penderitaan
Kata/frase/ yang
termasuk isotopi
penderitan dan
kemunculannya
Denotatif
(d) atau
konotatif
(k)
Komponen makna bersama
Derita/sa
kit
cara Proses
luka 17x D + + -
kakiku kakikaukah K +
kakikaukah kakiku K +
lukakukah kakikau K +
lukakakukakiku
lukakakukakikaukah
K +
lukakakukakikaukah
lukakakukakiku
K +
89
kaku 5x D + + -
kakiku luka D + + -
luka kakiku D + + -
Kata dan frase pada tabel 2 yang mendukung isotopi penderitaan hanya
berjumlah 4. Kata luka dan kaku serta frase kakiku luka dan luka kakiku
dimasukan kedalam isotopi penderitaan karena secara denotatif bermakna
penderitaan. Kata luka secara denotatif dapat bermakna keadaan belah jika
terjadi dalam tubuh menjadi belah (pecah, cidera, lecet, dsb) pada kulit karena
terkena barang yang tajam. Sedangkan dalam pengertian konotatif, kata luka
bisa mengacu pada keadaan psikologis perihal perasaan, perihal kejiwaan. luka
itu membuat orang yang mengalaminya susah melakukan sesuatu karena rasa
sakitnya.
Berikutnya adalah kata kaku yang memiliki banyak pengertian. Kata kaku
bisa berarti keras tidak dapat dilenturkan, keju, kejang. keras dan liat. sukar
diberi tahu, tumpul pikiran. Kata ini dapar digolongkan menjadi isotopi
kesakitan karena kaku akan membuat baik fisik, mental, maupun kejiwaan orang
yang mengalaminya terasa sakit dan sedih.
Dalam kemunculannya pada dua larik terakhir, kata luka dan kaku hadir
berdampingan dan berhimpitan, yang dalam hal ini berarti luka yang dialami
aku lirik, makin menjadi dikarenakan luka tersebut adalah luka kaku.
Penderitaan yang dialami aku lirik dalam hal ini adalah penderitaan yang
bertempat pada pijakan, penderitaan yang keras, yang liat yang sukar
disembuhkan pada penopang kehidupan. Komponen yang dominan dalam
isotopi tersebut adalah derita/sakit. Dominannya komponen makna tersebut
berkaitan dengan penderitaan yang sedang dirasakan aku lirik sejak awal hingga
akhir larik.
90
Tabel 3
Isotopi Persepsi Pengukuhan
Kata/frase/
klausa yang
termasuk isotopi
pengkuhan dan
kebimbangan
Denotatif
(d) atau
konotatif
(k)
Komponen makna bersama
Mengukuhan Ragu Proses
-kah 7X D + + +
kakikau lukakah D - + -
lukakah kakikau D + - -
lukakukah
kakikau
D + - +
lukakaukah
kakiku
D - + -
kalau lukaku
lukakau 2X
D - - +
kakiku
kakikaukah
D - + -
kakikaukah
kakiku
D + - -
Pada tabel 3 dapat diketahui bahwa terdapat 7 frase dan 1 partikel –kah
yang termasuk kedalam isotopi persepsi kebimbangan. Kata-kata yang
mendukung isotopi persepsi bimbang umumnya bermakna denotatif. Secara
91
denotatif partikel –kah bermakna sebagai bentuk terikat yang berfungsi
mengukuhkan maupun memperhalus pertanyaan. Dalam hal ini partikel –kah
termasuk kedalam isotopi kebimbangan, dikarenakan ia menempel pada kata
maupun frase yang mengindikasikan ketidakyakinan. Komponen makna yang
menonjol adalah “mengukuhkan”. Menonjolnya komponen makna pengukuhan
berkaitan dengan kegiatan penyatuan diri yang dalam dimensi sufistik berwujud
batiniyah.
Dari ketiga tabel tersebut terdapat tiga motif utama yang menonjol pada
masing-masing isotopi, yaitu komponen makna kedekatan jarak mental,
kesakitan, dan pengukuhan. Berdasarkan komponen makna tersebut dapat
dikemukakan bahwa tema puisi “BELAJAR MEMBACA” adalah penyatuan
aku lirik yang dalam hal ini adalah seorang hamba, dengan Tuhan. Proses
penyatuan ini bersifat batiniyah, dan dilakukan dengan perasaan dan proses
keyakinan.
Berdasarkan analisis semantik (denotatif, konotatif, gaya bahasa, dan
isotopi) puisi “BELAJAR MEMBACA” bermakna penyatuan jiwa yang
dilakukan seorang hamba kepada Tuhannya. Penyatuan yang sangat dalam
antara aku lirik dan Tuhan. Oleh karena perasaan keakraban yang sangat dalam,
aku lirik merasa menjadi bagian dari Tuhan. Pada saat bersatu dengan Tuhan
itulah aku lirik mendapat keyakinan dan kemantapan hati.
4 Analisis Aspek Pragmatik
Pada puisi “BELAJAR MEMBACA”, aku lirik ditampilkan sejak awal
larik melalui partikel -ku yang terdapat di larik pertama yaitu kakiku luka.
Melalui larik tersebut penyair ingin menyampaikan kepada pembaca, tentang
situasi yang sedang dialami aku lirik dalam puisi ini. Kemunculan kata luka
pada larik ini menginformasikan kepada pembaca bahwa aku lirik sedang berada
dalam kondisi terluka, yang kemudian diperkuat kembali di larik kedua dengan
menempatkan kata luka di awal larik. Pada larik ke-3 hadir kau lirik melalui
kata kakikau, yang memberitahukan kepada pembaca bahwa puisi ini
menceritakan dialog antara aku lirik dengan kau yang tidak jelas mengacu
92
kepada siapa: apakah kepada dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada Tuhan, atau
mungkin juga kepada pembaca yang dianggap mengerti tasawuf
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada aspek sintaksis, dan semantik
dapat kita nyatakan bahwa kau di sini mengacu kepada Tuhan. Hal demikian
terlihat dengan frase kakikau, pada larik ke-3. Kata kau merupakan bentuk lain
dari kata engkau yang secara denotatif dipakai untuk orang yang sama atau lebih
rendah kedudukannya), digunakan juga untuk berdoa kepada Tuhan, sehingga
dapat disimpulkan bahwa kau pada puisi itu mengacu kepada Tuhan.
Kata aku di awal larik pertama dan pronomina kau pada larik ke-3
memberikan tanda kepada pembaca bahwa pada puisi ini, terjadi sebuah dialog
berbentuk pertanyaan dari aku lirik kepada tokoh kau. Hal ini terlihat dengan
kehadiran partikel –kah sebagai bentuk tanya. Percakapan pada puisi ini
merupakan percakapan satu arah, atau bisa dikatakan sebagai monolog, yang
jika diamati melalui larik tersebut aku lirik menceritakan apa yang dialaminya.
Dialog-dialog tokoh kau yang diterima pembaca/pendengar sesunguhnya
didapat dari perkataan aku lirik, sehingga dapat dikatakan bahwa kau di sini
tidak berkata sedikit pun dan pembaca/pendengar hanya mendapatkan informasi
dari kutipan tidak langsung yang disampaikan aku lirik.
Larik pertama aku lirik mulai menghadirkan dirinya melalui perwujudkan
kaki yang terluka, hadir dengan membawa penderitaan yang ingin disampaikan.
Masalah penderitaan yang diwakili melalui diksi luka dipertegas kembali pada
larik ke-2 dengan menempatkan kata luka di awal larik.
Pada larik ke-5 dan ke-6 yaitu kalau kakikau luka, lukakukah kakikau
terjadi suatu pertanyaan seberapa dekat aku lirik dengan sosok kau, sehingga
dapat disimpulkan larik tersebut adalah penegasan eksistensi aku lirik dalam
hubungannya dengan kau yang dapat kita simpulkan sebagai Tuhan. Terjadi
pengulangan hal yang serupa pada larik berikutnya hingga larik terakhir.
larik berikutnya berisikan ungkapan penyatuan antara aku lirik dengan
Tuhan, yang dikemas apik melalui permainan unsur bunyi, dengan pengulangan
penggunaan kata, yang menghasilkan intonasi vokal yang sama. Hal demikian
tidaklah heran, dikarenakan dalam tradisi sufi, puisi dipandang sebagai proyeksi
93
zikir dan ekpresi kerinduan untuk bersatu dengan kekasih. Tujuan zikir disini
ialah agar seorang salik lebih dekat dengan Tuhan. Menurut Ibn Arabi zikir
sama dengan fana dan zikir memiliki kaitan erat dengan makrifat.8 Keadaan
ruhani yang berhubungan erat dengan zikir inilah yang disampaikan para sufi di
dalam puisi-puisi sufistik mereka. Karena makrifat dan zikir merupakan realisasi
dari tauhid
Sebagai proyeksi zikir dan ekpresi kerinduan, keindahan yang dihadirkan,
puisi “BELAJAR MEMBACA” dimaksudkan agar dapat menerbitkan keadaan-
keadaan ruhani yang diperlukan oleh pembaca dalam mencapai musyahadah
yang diartikan oleh al-Hujwiri sebagai upaya untuk merenungi Tuhan secara
ruhaniah9. Puisi “BELAJAR MEMBACA” dan puisi-puisi Sutardji pada
umumnya akan memiliki unsur mistik yang jauh lebih kuat ketika ditampilkan
dalam pertunjukan pembacaan puisi. Selain itu sebagai puisi yang kuat dengan
dimensi sufistik, dan permainan tipografi yang unik (permainan struktur kata
dan pemainan bunyi) puisi ini pun penuh dengan nilai-nilai religius yang dapat
digunakan sebagai pembentuk dan pembelajaran rohani siswa.
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
Melalui larik di atas, dapat dilihat bagaimana proses penyatuan aku lirik
dengan kau. Proses menyatu disini diibaratkan sampai pada penyatuan wujud,
yang sejatinya hanya sebagai simbol penyatuan spiritual. Pada larik ini pun kuat
akan ekpresi nilai-nilai tauhid dari nilai makrifat sebagai akhir perjalanan
seorang sufi sebagai penyaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah swt.
Dalam puisi ini tergambar bahwa hubungan aku lirik dan kau sangat akrab
atau bersatu, namun kau tidak dapat menjawab atau berreaksi terhadap
pernyataan aku lirik karena hal tersebut tidaklah mungkin terjadi. Tuhan dalam
puisi ini merupakan pemantul/cermin yang dianggap dapat mendengar ungkapan
isi hati aku lirik, sehingga dapat dikatakan berbicara dengan Tuhan adalah sama
halnya dengan berbicara pada diri sendiri. Oleh sebab itu, puisi “BELAJAR
8 Abdul Hadi, Tasawuf Yang Tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001), h.32
9 Ibid., h. 72
94
MEMBACA” merupakan monolog aku lirik tentang perasaan kedekatan atau
penyatuan dengan tokoh kau yang dalam hal ini mengacu kepada Tuhan.
Berdasarkan analisis aspek pragmatik diatas, Tuhan sebagai pendengar
dalam puisi ini pada dasarnya adalah sama dengan diri aku lirik yang berarti,
tindakan aku lirik yang berbicara pada Tuhan adalah sama dengan aku lirik
berbicara pada dirinya sendiri. Menyatunya aku lirik dengan pendengar dalam
puisi itu dapat memperkuat atau mendukung makna puisi yang menggambarkan
perasaan keakraban yang sangat dalam atau persatuan aku lirik (manusia)
dengan Tuhan.
Sebagai puisi sufistik, puisi ini merupakan bentuk pengalaman estetik
yang tinggi dan bersifat keruhanian, makrifat. Hikmah dari sebuah puisi dan
ungkapan tentang aku lirik dan kau yang merupakan aspek kognitif, bukan
semata-mata perasaan. Maka penyatuan luka di dalam puisi ini berkaitan dengan
bentuk penyatuan yang universal dan hakiki.
Dilihat dari sudut pandangan ini puisi “BELAJAR MEMBACA” sebagai
sastra yang kuat dengan dimensi sufistik merupakan ekspresi estetik yang
berkenaan dengan zikir dan pikir, yaitu mengingat dan memikirkan kau yang
dalam hal ini mengacu kepada Allah. Allah dengan segala keagungan dan
keindahan-Nya menjadi tumpuan utama renungan penyair-penyair sufi. Zikir
sebagai ikhtiar keruhanian merupakan tangga naik menuju alam transendental,
suatu alam yang disebutkan oleh perkataan zikir tersebut, puisi “BELAJAR
MEMBACA” ditulis untuk membawa pembaca melakukan kenaikan, pendakian
atau mi’raj ke alam malakut dengan segala kesempurnaannya.
C. Dimensi Sufistik Pada Puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”
Berdasarkan uraian pada analisis semiotika dengan tiga tahapan analisis
yaitu; sintaksis, semantik, dan pragmatik, kedua puisi Sutarji Calzoum Bahcri
yang berjudul “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” memiliki dimensi sufistik
yang cukup kuat. Hal ini terlihat dengan mengaitkan analisis aspek sintaksis,
aspek semantik, dan aspek pragmatik yang telah dilakukan.
95
Puisi pertama “TAPI” menggambarkan proses pencarian Tuhan oleh aku
lirik (sebagai hamba). Pencarian Tuhan itu dilakukan melalui perjalanan rohani,
melalui perasaan, atau perenungan yang berlangsung dalam proses yang panjang
dan rumit. Perjalanan rohani aku lirik sebagai hamba dalam mencari
penerimaan/pengakuan cinta dari Tuhan terjadi dalam ruang (yang bersifat fisik
dan nonfisik) dan dalam waktu tertentu serta melibatkan unsur-unsur fisik dan
nonfisik (emosi atau perasaan).
Dalam pencarian penerimaan/pengakuan cinta kepada Tuhan aku lirik
yang dalam hal ini sebagai hamba, berhasil mendapatkan penerimaan. Meskipun
penerimaan dan penyatuan dalam puisi tersebut tercapai, aku lirik
berkesimpulan bahwa Tuhan itu adalah misteri, teka-teki yang sulit dirumuskan
dengan pasti karena memang Tuhan tidak dapat dirumuskan. Puisi ini pada
hakikatnya merupakan monolog aku lirik, sang penyair tentang pengalaman
rohaninya dalam mencari Tuhan.
Makna puisi “TAPI” didukung oleh aspek sintaksis dan aspek pragmatik.
Aspek sintaksis puisi “TAPI” memperlihatkan bahwa pola sintaksis atau pola
kalimat berkaitan erat dengan makna yang dalam hal ini kalimat-kalimat yang
membentuk puisi tersebut adalah kalimat tunggal dan kalimat majemuk
bertingkat. Kalimat tunggal menimbulkan kesan ada sesuatu yang berdiri
sendiri-sendiri. Hal ini dapat dihubungkan dengan eksistensi aku lirik (manusia)
dan Tuhan yang secara lahiriah tampak terpisah. Meskipun secara lahiriah
manusia dan Tuhan itu tampak terpisah, tetapi secara rohaniah manusia dan
Tuhan itu berkaitan, bahkan dapat bersatu.
Hal ini didukung dengan adanya pola kalimat majemuk bertingkat yang
tercipta, sehingga menimbulkan kesan dua hal yang terpisah tetapi berkaitan dan
dua hal yang menyatu. Pola kalimat majemuk bertingkat dalam hal ini
mendukung aspek makna persatuan manusia dengan Tuhan, yang tercermin
pada ekstase mistis. Melihat bahwa pencarian penerimaan cinta aku lirik kepada
Tuhan sebagai hamba berlangsung dalam proses panjang: melalui cara tertentu,
penuh dengan misteri. Ketika kalimat tunggal tersebut disatukan dengan
96
konjungsi kata tapi, kesan itu menguatkan keberadaan aku lirik dan Tuhan yang
terlihat terpisah atau berdiri sendiri-sendiri. Kalimat majemuk bertingkat sangat
mendukung makna puisi, yaitu persatuan dan aku lirik di mata Tuhan.
Pada uraian di atas telah dijelaskan hubungan antara aspek sintaksis
dengan aspek semantik puisi “TAPI” selanjutnya akan dilihat hubungan aspek
pragmatik dengan aspek semantik. Seperti sudah dijelaskan pada landasan teori,
bahwa masalah pragmatik dibatasi pada cara hadirnya pembicara dan
pendengar. Dilihat dari sudut tersebut, aspek pragmatik puisi tersebut berkaitan
erat dengan aspek maka. Tipografi dan kalimat majemuk bertingkat pada puisi
tersebut menciptakan makna hubungan aku lirik merupakan hubungan antara
hamba dengan Tuhannya. Secara lahiriah pendengar dalam puisi itu seakan-akan
terdapat dialog antara dua orang, akan tetapi dilihat dari fungsi pemantul,
pendengar itu sesuangguhnya merupakan satu subjek, yaitu kau lirik sendiri.
Menyatunya pembicara dengan pendengar sangat menunjang makna puisi yang
menggambarkan usaha aku lirik sebagai hamba dalam menggapai cinta Sang
Ilahi.
Dalam gagasan Imam al-Ghazali isyq adalah cinta yang amat mendalam
dan mengungguli segala sesatu, yaitu cinta yang benar-benar kokoh dan tidak
terhalang apapun. Seluruh sebab dan asas dari semua cinta, dalam pemikiran
Imam al-Ghazali, terangkum dan terpadu dalam Tuhan, sebab Tuhan adalah
sebab terakhir dari segala manfaat dan kesenangan. Orang yang mencintai
keindahan tertinggi akan mengalami kebenaran penyatuan ini. Manusia
mencintai Tuhan disebabkan adanya munasabah antara jiwa manusia dengan
asal-usul kejadian dirinya di alam KeTuhanan. Sesungguhnya manusia mendapat
bagian dari kodrat dan sifat-sifat Ilahi dan karena itu Imam al-Ghazali yakin
bahwa dengan berbekal ilmu dan cinta, manusia akan mencapai kehidupan
kekal. Oleh sebab itu sudah sepatutnya apabila dalam diri manusia senantiasa
terbit perasaan rindu kepada Tuhannya.10
10
Ibid., h. 53
97
Penggunaan tema Cinta dan keakraban makhluk khalik pada karya-karya
sufistik memang bukanlah hal yang aneh, dikarenakan tema cinta selalu
diungkapkan oleh penyair-penyair sufi sejak dahulu hingga masa yang paling
akhir, yakni sejak Rabi’ah al-Adawiyyah pada abad ke-8 hingga sampai
Mumammad Iqbal pada abad ke-20.11
Perhentian-perhentian terakhir di jalan mistik ialah mahabba atau cinta dan
makrifat. Kadang-kadang keadanya dianggap saling melengkapi, kadang-kadang
cinta dianggap lebih utama , dan ada kalanya makrifat dipandang lebih tinggi.
Imam al-Ghazali menekankan: ―Cinta tanpa makrifat tidak mungkin—orang
hanya dapat mencinta sesat yang dikenal‖12
Di dalam Ihya bab IV, bab yang secara keseluruhan membahas masalah
cinta dan dasar-dasar estetika sufi, al-Ghazali menegaskan bahwa isyq
merupakan peringkat keruhanian dan tujuan akhir ahli suluk. Imam al-Ghazali,
mengungkapkan seorang pecinta adalah dia yang telah mencapai makrifat (arif),
sebab siapa mengenal Tuhannya (makrifat) maka sesungguhnya dia mencintai-
Nya. Dikatakan pula oleh Imam al-Ghazali bahwa bagi orang yang mencintai-
Nya Tuhan akan melimpahkan pengetahuan mengenai Kekasih lebih banyak.
Selain itu seorang pecinta akan memperoleh penglihatan indah yang
menerbitkan kebahagiaan persatauan dengan Kekasih
Dalam Ihya, Imam al-Ghazali membagi cinta menjadi lima; (1) Cinta diri,
berupa keinginan akan kesempurnaan diri mencakup cinta kepada tubuh,
kekayaan, istri, anak, karib kerabat, dan lain-lain. (2) Cinta yang terbit
disebabkan adanya keuntungan yang diperoleh dari objek yang dicintai (3) Cinta
yang disebabkan keindahan dan kebaikan, dan ini termasuk cinta sejati; (4)
Cinta yang diilhami oleh keindahan dan kebaikan dalam arti moral seperti cinta
seorang Muslim kepada Nabi Muhammad saw; (5) Cinta yang lahir karena
11
Ibid., h.35 12
Schimmel, loc. cit.
98
adanya munasabah atau afinitas rahasia, umpamanya cinta yang wujud antara
Pecinta dengan Kekasihnya.13
Jika merujuk pada pembagian cinta yang dilakukan al-Ghazali, konsep
Cinta yang dibawakan pada puisi “TAPI” merujuk pada bagian yang kelima.
Yaitu cinta yang lahir karena adanya munasabah atau afinitas rahasia,
umpamanya cinta yang wujud antara pencinta dan kekasihnya. Hal demikian
terlihat pada tahapan larik-larik pada puisi “TAPI”. Aku lirik dalam puisi
tersebut berusaha keras dalam memperoleh Cinta Sang Kekasih yang dalam hal
ini aku lirik sebagai pecinta tidak memandang kesenangan yang akan diperoleh,
sebab cintanya terbit karena adanya pertautan istimewa antara keduanya.
Puisi kedua “BELAJAR MEMBACA” merupakan gambaran perasaan
keakraban yang sangat dalam (aku lirik atau manusia) terhadap Tuhan.
Gambaran perasaan keakraban yang sangat dalam atau bersatunya manusia
dengan Tuhan dalam puisi itu mencerminkan konsep tasawuf imam al-Ghazali.
Dalam hal ini manusia, dan Tuhan itu berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan
karena manusia adalah mahkluk yang diciptakan oleh Tuhan dan sekaligus
sebagai bukti adanya Tuhan. Larik-larik keakraban hubungan manusia dengan
Tuhan dalam puisi ini sebenarnya merupakan gambaran semacam ekstase mistis
menurut Al-Ghazali.
Selain itu jika dihubungkan antara aspek sintaksis dengan aspek semantik
puisi “BELAJAR MEMBACA” maka akan terlihat adanya persamaan yang
menunjukan bahwa pola-pola penyusunan kata-kata pada larik puisi berfungsi
mendukung pembentukan makna. Penggunaan klausa dengan struktur sintaksis
yang sama dan diulang-ulang pada setiap lariknya menimbulkan kesan
keterkaitan atau hubungan yang rapat sekali (persatuan) antara aku lirik dengan
Tuhan dan hubungan tersebut tidak berifat fisik, tetapi bersifat nonfisik
(rohaniah). Selain itu dengan menggunakan larik-larik yang bernada deklaratif
menimbulkan kesan informatif, yang dari kesan tersebut mendukung
13
Hadi, op. cit., h. 52
99
pengungkapan pengalaman rohani aku lirik tentang perasaan keakraban yang
kemudian menyatu dengan Tuhan.
Selanjutnya pada aspek pragmatik dengan aspek semantik, seperti halnya
puisi “TAPI”, aku lirik dan pendengar dalam puisi “BELAJAR MEMBACA”
sudah menjadi satu. Hal tersebut tergambarkan pada larik-lariknya,m terutama
pada dua larik terakhir yaitu lukakakukakiku lukakakukakikukah,
lukakakukakikaukah lukakakukakiku. Larik tersebut memberikan kesan
hubungan yang rapat sekali atau persatuan. Kesan tersebut berkaitan dengan
makna puisi dan visual susunan kata-kata yang berhimpitan; perasaan keakraban
yang sangat dalam atau persatuan aku lirik dengan Tuhan. Korelasi tersebut
menunjukan bahwa aspek pragmatik, khususnya kehadiran pembicara dan
pendengar mendukung makna puisi.
Dengan mencari hubungan antara beberapa tahapan analisis yang
dilakukan pada puisi “BELAJAR MEMBACA” maka terlihatlah konsep ekstase
mistik yang dalam konteks ini bukan sebagai persatuan antara dua identitas:
manusia dengan Tuhan, tetapi sebagai ungkapan perasaan manusia yang sangat
dalam terhadap Tuhan: dalam pikiran aku lirik yang ada hanya Tuhan; Tuhan
adalah segala-galanya. Perasaan yang sangat mendalam terhadap Tuhan
menyebabkan aku lirik (manusia) merasa bersatu dengan Tuhan. Meskipun
demikian, aku lirik memiliki kesadaran bahwa kedudukan aku dan Tuhan
tetaplah berbeda. Tuhan tetap sebagai yang transenden, dan manusia tetap
sebagai makhluk ciptaannya.
D. Implikasi Puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” Dalam
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi merupakan bagian dari materi
ajar bahasa dan sastra Indonesia yang tercantum dalam (GBPP) Garis-garis
Besar Program Pengajaran di SMA. Oleh sebab itu, materi ajar harus disuguhkan
sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai, yaitu siswa mampu memahami
unsur intrinsik dan ekstrinsik dari sebuah puisi. Secara tidak langsung dapat
100
dikatakan pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila
mencakupnya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu keterampilan
berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa
dan menunjang pembentukan watak.14
Mengikut sertakan pengajaran bahasa dan
sastra Indonesia dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih
keterampilan tersebut15
Pengajaran sastra sesungguhnya membantu siswa melatih kecakapan yang
perlu dikembangkan. Meningkatkan kepekaan dan kecakapan yang bersifat
indra; yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan yang bersifat sosial;
serta ditambahkan lagi yang bersifat religius.16
Melihat nilai positif yang
terdapat dalam karya sastra, maka karya sastra yang disajikan harus dapat
dipahami siswa, sehingga dapat mengungkapkan apa yang didapatkan dari karya
sastra tersebut. Suatu karya sastra boleh dimulai dengan misteri, tapi hendaknya
berakhir dengan jelas.17
Pada kenyataannya, kegiatan mengapresiasikan sebuah puisi sebagai
bagian dari salah satu bentuk karya sastra dalam materi ajar jarang sekali
dilakukan. Hal ini disebabkan ruang dan waktu yang tersedia dalam kurikulum
untuk mengarahkan siswa ke arah tersebut amat terbatas. Hal yang demikian
sangat bertolak belakang dengan pendapat Rusyana yang beranggapan bahwa
guru sastra dituntut pula agar mempunyai semangat sehubungan dengan
pengajarannya, terlebih mempunyai kecintaan pribadi terhadap sastra dan
meyakini bahwa pengajaran sastra bermanfaat bagi muridnya.18
Sudah
selayaknya bagi seorang pendidik untuk membantu peserta didik dalam
menentukan karya sastra apa saja yang kaya akan nilai-nilai positif dan
mengajarkan peserta didik untuk dapat melakukan interpretasi yang baik
terhadap karya sastra.
14
Ibid., h.16 15
Ibid., 16
Ibid., h.19 17
Ibid., h.37
18 Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, (Bandung,: C.V.
Diponegoro, 1984), h .332
101
Mempelajari puisi, artinya kita belajar mengenal dan memahami satu sama
lain, karena dalam puisi terdapat semacam komunikasi antara penyair dan
pembacanya. Konsekuensinya adalah bagaimana satu sama lain saling
memahami, dan dalam proses saling memahami inilah terdapat sebuah dialektika
yang panjang. Sebab dalam pembelajaran sastra peserta didik tidak hanya
sebatas mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan juga menyatakan sikap
terhadap nilai-nilai.19
Peran sastra dalam pembentukan karakter siswa tidak hanya didasarkan
pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat
apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter di sekolah. Kegiatan membaca,
mendengarkan, dan menonton pementasan karya sastra pada hakikatnya
menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat
yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan, sehingga siswa cenderung
cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran.
Apabila dikaitkan dengan puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”,
seorang pendidik dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk mampu
membaca, memahami dan menerapkan nilai-nilai keagamaan yang disampaikan
dalam puisi tersebut. Hal ini dikarenakan kedua puisi tersebut sarat akan nilai-
nilai keagamaan yang layak untuk dijadikan contoh oleh siswa. Puisi sebagai
karya sastra adalah sesuatu yang dapat menyentuh, karena ia berada di wilayah
rohani, yaitu sesuatu yang sakral, bersih, tidak ada tendensi, pretensi, dan tidak
ada niatan buruk.
Selain itu, dalam hal pengajaran kebahasaan, puisi “TAPI” dan
“BELAJAR MEMBACA” melatih dan mengajarkan siswa untuk lebih
memahami konstruksi bahasa baik dalam segi sintaksis, semantik, maupun
pragmatik yang dengan demikian pembelajaran tata kebahasaan menjadi lebih
menarik. Melalui pendekatan semiotik yang dilakukan pada penelitian ini,
pendidik tidak hanya dapat menjelaskan unsur intrinsik dalam sebuah puisi,
namun sekaligus dapat memberikan materi kebahasaan, baik pada tataran kata,
klausa, dan kalimat, sehingga pemberian materi kebahasaan menjadi lebih
19
Ibid
102
menarik bagai peserta didik.
Dalam hal menanamkan nilai-nilai religiusitas terhadap peserta didik,
dimensi sufistik yang terdapat pada puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”
mengajarkan aspek rohani dan moral kepada peserta didik, dan memberi tahu
bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial dalam pembinaan proses
pemanusiaan insan-insan modern yang selalu dilanda krisis spiritual, dan gagap
akan jati diri, dikarenakan dalam karya sastra (khususnya puisi) banyak terdapat
nilai-nilai keagamaan yang dapat dipelajari.
Pada hakikatnya, pembelajaran sastra melalui pembacaan puisi ini
diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami dan menentukan nilai-nilai
positif yang terkandung dalam puisi. Oleh karena itu, setelah pembelajaran
dalam pembacaan puisi ini, diharapkan siswa mampu menerapkan nilai-nilai
keagamaan dalam kehidupan sehari-hari yang pada akhirnya turut berpengaruh
terhadap pembentukan watak dan kepribadian dari siswa tersebut.
Pembelajaran dimensi sufistik yang dalam hal ini mencakup nilai-nilai
keagamaan yang telah diperoleh siswa diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal
dan pegangan dalam perjalanan hidup, sehingga peserta didik menjadi manusia
dengan kepribadian yang baik, lebih bijaksana menghadapi kehidupan yang
kompleks dari sudut pandang yang serba materialistis. Dengan kata lain,
pemebelajaran karya sastra, yang dalam hal ini puisi ikut andil membantu
pembentukan karakter bangsa.
103
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap dua puisi karya
Sutardji Calzoum Bachri, yaitu “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”, maka
dapat diambil beberapa simpulan, yaitu:
1. Beberapa aspek sufistik sastra transendental telah dikemukakan dalam
kajian ini, yakni sastra transendental dalam manifestasinya sebagai puisi
sufistik. Puisi d“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” alam hal ini sarat
dengan gagasan tasawuf Wahdatul Wujud, yang menunjukkan berpadunya
eksistensi manusia dengan eksistensi Tuhan, berpadunya dimensi
insaniyah dengan dimensi Ilahiyah, bersatunya makhluk dengan Khalik.
Esensi puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” yakni hakikat dan
ma’rifat dalam tradisi tasawuf yang dianut para sufi. Hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu
sastrawan sufistik Indonesia, yang tercermin pada sikap kepasrahan dan
ikhlas aku lirik dalam menerima segala jawaban Tuhan yang paradoks
pada puisi “TAPI”. Pada puisi “BELAJAR MEMBACA” hubungan itu
tergambaran dari ke akraban yang sangat dalam antara aku lirik atau
manusia terhadap tokoh kau yang dalam hal ini mengacu kepada Tuhan.
Perasaan ke akraban yang sangat dalam menyebabkan aku lirik merasa
seolah-olah bersatu dengan Tuhan, satu tubuh, dan rasa. Namun pada
dasarnya aku lirik tetap memiliki kesadaran bahwa antara mereka selalu
ada jarak. Tuhan tetap sebagai transenden, dan manusia tetap sebagai
makhluk atau hamba. Gambaran perasaan kedekatan dan kebersatuan
tersebut merupakan monolog, yang hanya dirasakan oleh yang
melakukannya yang dalam hal ini adalah aku lirik.
104
2 Implikasi puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji
Calzoum Bachri dalam pembelajaran adalah bagaimana peserta didik
memahami bahwa di dalam puisi ini terdapat semacam pembelajaran baik
dalam hal tata kebahasaan dan nilai-nilai keagamaan. Dalam hal
kebahasaan, puisi Sutardji melatih dan mengajarkan siswa untuk lebih
memahami konstruksi bahasa baik dalam segi sintaksis, semantik, maupun
pragmatik. Selain itu, dengan puisi “TAPI” dan “BELAJAR
MEMBACA”, pembelajaran tata kebahasaan menjadi lebih menarik,
dikarenakan dalam karya sastra (khususnya puisi) banyak terdapat pesan
keagamaan yang dapat dipelajari. Dimensi sufistik yang terdapat pada
puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” mengajarkan aspek rohani
kepada siswa, dan memberi tahu bahwa puisi memiliki fungsi yang
esensial dalam pembinaan proses pemanusiaan insan modern yang selalu
dilanda krisis spiritual, dan gagap akan jati diri. Maka dari itu, proses yang
dilakukan peserta didik dalam mempelajari puisi dapat memperkuat dan
memperdalam watak peserta didik menjadi lebih peka terhadap Tuhan dan
keadaan sekitar.
B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyampaikan beberapa saran kepada:
1. Guru
Agar mampu mengajarkan metode pembelajaran bahasa dan sastra
kepada siswa di sekolah, sehingga pembelajaran bahasa, khususnya
kesusastraan dapat tercapai sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan.
2. Siswa
Siswa dapat menganalisis puisi secara terstruktur dan mendalam,
agar siswa mampu mengapresiasikan dan mengambil esensi dan hikmah
dari sebuah karya sastra.
105
3. Penulis
Mengingat karya-karya Sutardji sering digunakan dalam kurikulum
pengajaran sastra di sekolah sebagai salah satu contoh jenis puisi mantra,
dan masih minim pemahaman atas puisi-puisi Sutardji. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menambah informasi kepada pendidik maupun peserta
didik. Peneliti lain
]yang ingin melanjutkan dan mengembangkan penelitian yang sudah
dilakukan ini, dapat meneliti lebih lanjut puisi sufistik karya Sutardji
Calzoum Bachri yang lain, yang belum tercakup pada penelitian ini,
sehingga pemahaman dan pengayaan akan puisi mantra dan puisi sufistik
sebagai salah satu jenis puisi di Indonesia menjadi bertambah.
106
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, Leon. Sutardji Tentang Sajak2 Barunya “Upaya Menangkap Tuhan”.
Harian Umum SIWALAN. Jakarta, 24 Januari 1970
Atmazaki. Ilmu Sasta, Teoti dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.1990
Bachri, Sutardji Calzoum. ISYARAT: Kumpulan Esai Sutardji Calzoum Bachri.
Tangerang: INDONESIA TERA. 2007
____________________. O, AMUK, KAPAK . Jakarta Timur: Yayasan Indonesia
dan PT Cakrawala Budaya Indonesia. Cet 4. 2004.
Bentounes, Syeh Khaled. Tasawuf Jantung Islam: nilai-nilai universal tasawuf.
Yogyakarta:Pustaka Sufi. 2003
Budianta, Melani dkk. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi. Magelang: Tera Anggota IKAPI. Cet 3. 2006
Chaer, Abdul. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka
Cipta. 2009
Chandler, Daniel. Semiotics: Basics. edition 2 .New York: Routledge. 2007
Cobley, Paul. The Routledge Companion To Semiotic and Linguistics. London:
British Library. 2001
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1978
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Djaja Sudarma, Fatimah. Semantik 1: Pengantar ke arah ilmu makna. Bandung:
Refika. Cet 2. 1999.
Eagleton Terry. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, Terj. dari
Literary Theory: An Introduction, 2nd Edition oleh Harfiah Widyawati
dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. 2006
Efix. “Lagi Tanggapan terhadap Sutan Takdir: Seni Terlalu Lemah Sastra
Berhenti pada Kata”. Harian Umum Kompas. Jakarta, 6 Mei 1982
107
Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Widyatama. 2004
Erneste , Pamusuk (ed.). Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya
Mengarang (Jilid 3).Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer. 2009
Esten, Mursal. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa. 2013
Hadi W.M, Abdul. “AMUK” Sutardji: Sebuah penjelajahan estetik & metafisik.
Harian Umum Buana. Selasa, 12 Juli 1977
______________. Kembali Ke Akar Ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profentik dan
Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999
______________. “Sutardji Tentang Puisinya dan Puisi Kita Kini”. Harian
Umum Majalah Horison, Jakarta. 19 Juni 1975
______________. Tasawuf Yang Tertindas. Jakarta: Paramadina 2001
Hamka. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Nurul Islam. 1980
Hoerip, Satya. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: PT Bunda Karya. Cet 3 1986
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Cet 11. 2001
Latif, Yudi. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis
Kesastraan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. 2009
Liu, Hong. dan Mohamad, Goenawan. dan Mandal, Summit Kumar. Pram dan
Cina. Depok: Komunitas Bambu. 2008
Luxemburg, Van Jan dkk. Tentang Sastra, Terj Achadiati Ikram. Jakarta:
Intermasa. 1989
______________________. Pengantar Ilmu Sastra, Terj Dick Hartoko. Jakarta:
Gramedia. 1984
Martin, Bronwen. and Ringham, Felizitas. Dictionary of Semiotics. New York:
CASSELL. 2000
Morris, Charles. Foundations of the Theory of Signs. London: The University, of
Chicago Press. 1970
Najib, Emha Ainun. Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995
Pradopo, Rachmat Djoko dkk. Puisi. Jakarta: Universitas Terbuka. 2007
108
Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin. “Sutardji Penyair Yang Religius”. Harian
Umum Sinar Harapan. tt.p., 28 Januari 1976
______________________________. Sutardji Tentang Sajaknya “AMUK”,
Harian Umum Waspada. tt.p. Minggu 28 Agustus 1977
Putrayasa, Ida Bagus. Analisis Kalimat, Fungsi, Kategori, dan Peran. Bandung:
Refika Aditama. 2007
Rahman, Jamal D. Dkk. Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan
Tanjungpinang dari Raja Ali Haji samapai Suryati A. Manan. Jakarta:
Komodo Books. 2010
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. 1988
Ramlan, M. Ilmu Bahasa Indonesia, Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono. 2005
Ratna, Nyoman Kutha. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010
__________________. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2007
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik Dalam Islam. Terj Sapardi Djoko
Damono dkk . Jakarta: Pustaka Firdas. 1986
__________________. Mystical Dimensions of Islam. New York: Columbia
University Press. 1981
Simuh. Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: Grafindo. 1997
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo. 2008
Sumardjo, Jakob. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.1984
Suryadi, Linus. Aspek Bahasa dalam puisi Sapardi dan Sutardji. Harian Umum
Berita Buana. tt.p., 4 April 1977
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Cet. 3 2003
Utama, Eddy. “Sutardji di Padang: Sastra Sufistik dan Kerinduan Pulang”. Harian
Umum Buana. Jakarta. 27 Oktober. 1987
Wellek, Rene. & Warren, Austin. Buku Teori Kesusastraan. Terj. dari Theory of
Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia. 1989
109
Yasser S. “Kesan2 dari pembacaan sajak 26 Januari di TIM: Sutadji Mencari
Jalan Sendiri”. Harian Umum Sinar Harapan. tt.p. Januari. 6 Febuari.
1978
Y.B Mangunwijaya. Sastra dan Religiositas. Jakarta: KANISIUS. 1994
Yos, Sutardji Calzoum Bachri: Bangsa yang Besar perlu Trial and Error. Harian
Umum Republika. Jakarta. 16 Maret. 1998
Zaenuddin H.M. Sutardji Merambah Shirothol Mustaqiem. Harian Umum Pelita.
Jakarta. 5 Juli
Zaimar, Okke. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta:
ILDEP. 1990
___________. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Depok: PT Komodo
Books. 2014
Zainuddi. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
1992
Lampiran I
UJI RBFERENSI
Fajar Setio Utomo
1 090 1 3000088
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Dimensi Sufistik Dalam Puisi Tapi dan Belujar Membaca
Karya Sutradji Calzoum Bachri dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di
SMA.
Dosen Pembimbing : Rosida Erowati, M. Hum.
Nama
NIM
Jurusan
Fakultas
Judul Skripsi
BAB I
No Judul Buku Halaman Nomor
Catatan
Kaki
Paraf
nRachmat Djoko Pradopo, dkk, Pzzsi, (Jakarla:
Universitas Terbuka, 2007),
h. 1.36 No. 1 d\2 Yudi Latif Menyemai Karakter Bangsa, Budaya
Kebangkitan Berbasis Kesastraan, (Jakarta:
PT.Kompas Media Nusantara, 2009),
h.158 No.2
,A-l3 Ajib Rosidi, Sastra dan Budaya (Kedaerahan
Dalam Keindonesian), (Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya,1995),
h.52 No.3
4 Y.B Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas,
(Jakarla: Kanisius, 1994), cet.3,
h.11 No.4
qI5 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,
(J akarla: PT. Grasindo, 2008),
h.1 80 No. 5
C I\6 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Telcnik h. 53. No.6 )a
Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2007),
BAB IINo Judul Buku Halaman Nomor
Catatan
Kaki
Paraf
7 Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam
Islam, (Jakarta: Grafindo, 199'7),
h. 10
h. 11
h. 390,
h. 133r
No. 1
No.3
8 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam
Islam, Terj Sapardi Djoko Damono dkk (Jakarta:
PustakaFirdas, I986),
h. t2 No.2
49 Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan
Pemurniannya, (Jakarta: Nurul Islam, 1980)
h. 83 No.4
A10 Annemarie Schimel, Mystical Dimensions of
Islam, (New York: Columbia University Press,
I 98 1),
h.3 No.5
l1 Abdul Hadi, Tasawuf Yang Tertindas, (Jakarta:
Paramadina, 2001),
h. 13
h.t2
h.19-20
h.20
h.52
h.9
h.26
h. 3s-36
h. s3
h....
No.6
No.7
No.8
No.9
No.il
No. 14
No. 15
No. 16
No. 17
No.23
t2 Heri MS Faridy, Rahmat Hidayat, Ika Prasasti
Wijayanti. Edc, Ensiklopedia Tasawuf, Jilid I,
(Bandung: Angkasa, 2008)
h. t29 No. l0
+
l3 Simuh, Antara Tasawuf dan Batiniyah: Dalam
Pesantren, (lakarta: P3M, 1985), cet. 3
h. l3-14 No. 12
o I-\14 Syeh Khafed Bentounes, Tasawuf Jantung Islam
(nilai-nilai universal tasawuf.).
(Yogyakarta:Pustaka Sufi , 2003 )
h.21 No. 13
) hl5 Rachmat Djoko Pradopo dkk, Puisi, (Jakarta:
I-Jniversitas Terbuka, 2007), cet. IIih. 1 No. 18
C \t6 Depaftemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Pusat Bahqsa Edisi Keempat,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)
h.1112 No. 19
o \
t7 Melani Budianta, Ida Suhendari Husen, Manneke
Budiman, Ibnu Wahyudi, Membaca Sastra
(Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi), (Magelang: Tera Anggota IKAPI, 2006)
Cetaka ke-3,
h. 39
loc. cit.,
h. ...
No.20
No.22
No 25
l8 Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian
Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Widyatama, 2004), hlm.68.
h.62 No.21
{^t9 Emha Ainun Najib, Budaya Tanding,
(Yogyakarta: Pustaka Pelaj ar, 1 995), hal. I 3 1.
131h. No.24
J \20 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,
(Jakarla: PT. Grasindo, 2008),
h. 113
h. t24
h.i24-125
h. 113
h. t22
No.26
No.29
No. 30
No.45
No.50
21 Mursal Esten, Sastra Indonesia dan Tradisi
Subkultur, (Bandung: Angkasa, 2013),
h. 134 No.28
$22 Atmazaki, Ilmu Sasta, Teoti dan Terapan,
(Padang: Angkasa Raya, 1990)
h.77
h.69
h. 68
No.3l
No. 77
No. 78
t5 Bronwen Martin and Felizitas Ringham,
Dictionary of Semiotics, (New York: CASSELL,
2000)
h. l
ibid.,
No. 32
No. 37
24 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), cet.ke-6,
h. 1 19. No. 33
25 Terry Eagleton,Teori Sastra: Sebuah Pengantar
Komprehensrt Terj. dari Literaty Theory: An
Introduction, 2nd Edition oleh Harfiah Widyawati dan
Evi Setyarini (Yogyakarta: Jalasutra, 2006)
h. 145 No. 35
426 Okke Kusuma Sumantri Zaimar, Semiotika dalam
Analisis Karya Sastra, (Depok: PT Komodo Books,
2014)
h. 3-8
h.32-33
h. 50
h.67
h. 84
No. 36
No.42
No.46
No. 64
No. 74
27 Paul Cobley, The Routledge Companion To Semiotic
and Linguistics, (London: British Library, 2001),
h. 83 No. 37
&){
28 Charles Morris, Foundations of the Theoty of Signs.
(London: The University, of Chicago Press. 1970),
h. t4
h. 15-16
h.29
No. 38
No. 39
No.4l $29 Daniel Chandler, Semiotics: Basics, edition 2 (New
York: Routle dge, 2007),
h.196 No.40 I
d )A
30 Van Luxemburg, Jan dkk, Tentang Sastra, Terj
Achadiati lkram, (Jakarta: Intermasa, 1989),
h.5l -53
h.192
h.74
h.80
No.43
No.44
No. 79
No. 80
3l Rene Wellek & Austin Warren, Buku Teori
Kesusastraan Terj.dari Theory of Literature oleh
Melani Budianta, (Jakarta: PT Gramedia, 1989),.
h.r99
h. 198
h. 198
No.47
No.48
No.49
h. t7 No.65
32 M. Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia, Sintal<sis(Yogyakarta: CV" Karyono,2005), cet ke-5,
h. 18
h.79
No.5l
No.58
+JJ Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan
Proses), (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),
h.37
h.44
No.52
No.54 rh\1
34 Pamusuk Erneste (ed.), Proses Kreatif: Mengapa dan
Bagaimana Saya Mengarang (Jilid 3), (Jakarta:
Kepustakaan Gramedia Populer, 2009),
h.26. No. 53
(t35 Ida Bagus Putrayasa, Analisis Kalimat, Fungsi,
Kategori, dan Peran, (Bandung: Refika Aditama,
2007),
h.20
h.26
h. ss-59
h13
No.55
No.56
No.67
No.59
36 Fatimah Djaja Sudarma, Semantik 1 (Pengantar ke arah
ilmu makna), (Bandung: Refika, 1999), cetke-2,
h.1 No.60\
(iJI Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra
I ndo ne s i a, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
h. B4-8s
h. 51
No.6l
No.68 ( \38 Jakob Sumardjo, Memahami Ke sus as t raar, (Bandung:
Alumni, 1984),
h.
h.
18
93-96
No.66
No. 72
u39 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta:
Gramedia 2001), cet. 1 l,h.113
h.124-127
No.69
No. 70 $40 Okke Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya lwan
Si matup ang, (Jakarta: ILDEP, I 990)
h.113
h. r36
No. 73
No. 75(
d -A
4t Van Luxemburg dkk, Tentang Sastra, Teri AchadiatiI kram, (J akarta: Intermasa, I 989),
h.74
h.B0
No.79
No. 80
$42 A Teeuw, Sastra dan llmu Sastra, (Jakarta: Pustaka h. l5l No. 76 fl'
Jaya,2003), cet.3 h.149 No.8l
43 Hong Liu, Goenawan Mohamad dan Summit Kumar
Mandal, Pram dan Cina, (Depok: Komunitas Bambu,
2008),
h.25. No. 82
&44 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, I 988),
h.44
h. 46
h. 48
h. 38
h.24
No.83
No. 84
No. 85
No. 86
No. 90
45 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies:
Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,20l0),
h.515
h. 438
No. 87
No. 89
46 Sapardi DjokoDamono, Sosiologi Sastra, Sebuah
Pengatar Ringkas ,(Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1978),
h.4. No.88
BAB IIINo Judul Buku Halaman Nomor
Catatan
Kaki
Paraf
47 Abdul Hadi W.M, "Sutardji Tentang Puisinya dan
Puisi Kita Kini", Majalah Horison. Jakarta, 19
Juni 1975,
h.5 No. I
48 Sutardji Coulzum Bachri, O, AMUK, KAPAK
(Jakarta Timur: Yayasan Indonesia dan PT
Cakrawala Budaya Indonesia, 2004) cet.4., h. 110
h.110
loc. cit.,
loc. cit.,
h. 82
No.2
No.4
No. llNo.29
N49 Jamal D Rahman dk,k, Dermaga Sastra Indonesia; h. r57 No.3 .A
Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali
Haji samapai Suryati A" Manan (Jakarta: Komodo
Books,2010)
h.160
h.167-168
No.8
No. 30
50 Sutardji Calzoum Bachri, ISYARAT: Kumpulan
Esai Sutardji Calzoum Bachri, (Tangerang:
INDONESIA TERA, 2001), hlm: 504
h. 504
h. vii
h.3-4
hlm:xvi
No.5
No. l0
NO. 12
No. 13
No. 14
51 Satya Hoerip, Sejumlah Masalah Sastra, (Jakarta:
PT Bunda Karya, 1986), cet. 3
h.175 No.6 q52 Zaenuddin H.M , "Sutardji Merambah Shirothol
Mustaqiem", Harian Umum Pelita, Jakarla, 5 Juli,
h.5
h.5 No. 9
53 Yos, Sutardji Calzoum Bachri: Bangsa yang Besar
perlu Trial and Error, Harian Umum Republika,
Jakarta,l6 Maret 1998,
h.2 No. 15
No. l8
No.20
54 Leon Agusta, Sutardji Tentang Sajak2 Barunya
"Upaya Menangkap Tuhan", Harian Umum
SIWALAN, Jakarlra,24 Janttari 1970
h. 10 No. 16
A55 Nyoman Tusthi, Sampai Dimana Pembaruan
Sutardi, Harian Umum Suara Karya, Jumat, 16
Desember 1977
h.4 No. 17
No,22
56 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi:
Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan
Semiotik, (Jogjakarta: Gajah Mada University
Press, 2010), cet.12
h.106 No. 19
57 Linus Suryadi, Aspek Bahasa dalam puisi Sapardi
dan Sutardji, Harian (Jmum Berita Buana, tt.p., 4
April1977
h.3 No.21
s8 Yasser S. Kesan2 dari pembacaan sajak 26 Januari h. iv No. 23A
di TIM: Sutadji Mencari Jalan Sendiri, Harian
Umum Sinar Harapan, tt.p., Januari 6 Febuari
1978
59 Efix, Lagi Tanggapan terhadap Sutan Takdir: Seni
Terlalu Lemah Sastra Berhenti pada Kata, Harian
Umum Kompas, Jakarta,6Mei 1982
No.24
$60 Eddy Utama, Sutardji di Padang: Sastra Sufistik
dan Kerinduan Pulang, Harian Umum Buana,
I akarta, 27 Oktober, 1987
h.4 No.25
61 Dokumentasi Sastra H.B Jassin, Sutardji Penyair
Yang Religius, Harian Umum Sinar Harapan,
tt.p.,28 Januari 1916
h.2 No.26
t62 Pusat Dokumentasi H.B Jassin, Sutardji Tentang
Sajaknya "AMUK", Harian Umum Waspada,
tt.p. Minggu 28 Agustus 1977
h.5 27No,
63 Abdul Hadi W.M, "AMUK" Sutardji: Sebuah
penjelajahan estetik & metafisik, Harian Umum
Buana, Selasa, 12Juli 1977
h.6 No.28
A
BAB IV
No. Judul Buku Halaman Nomor
Catatan
Kaki
Paraf
?1 Hendry Guntur Tarigan, Pengajaran Sintaksis,
(Bandung. Angkasa :1986), h.8
h.8 No. I
A74 Abdul Chaer berpendapat dalam masalah
keberterimaan sebuah kalimat dilihat secara
strukturnya kalimat dibagi menjadi dua macam
kalimat, yaitu kalimat bebas dan tidak bebas.
Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia
(Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta,
200e),
h.233 No.2
75 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam
Islam, Terj Sapardi Djoko Damono dkk
(Jakarta: Pstaka Firdas, 1986),
h.
h.
135
135
No. 3
No. 12A
+77 Racmad Djoko Pradopo, dkk, Pursr, (Universitas
Terbuka, 2007), cet IIl,h.4.39 No. 4 $
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus BesarBahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008),
h. 605
h. 845
No. 5
No.6 $A
Salah sataujenis repetisi atas kata berulang -ulangdalam sebuah konstruksi. Baca: Gorys Keras, Diksldan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2001) cet ke-12,
h.121 No. 7
478 Abdul HAdi W.M, Tasawf Yang Tertindas, (Jakarta:
Paramadina, 2001), h.32
h.32
h.72
h. 53
h. 3s
h. s2
No.8
No.9
No. 10
No. llNo. 13
80 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988),
h.44. No. 14 4
h. 34
h. l6
h. 16
h. l9
h.37
No. 15
No. 16
No. 17
No. 18
No. 19
8t Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan
Pendidikan, (Bandung,: C.V. Diponegoro, 1984), h
-:}-)z
h.332
h.332
No.18
No. 19 4J akarta, 4 September 2014
NIP: 19771030 200801 2009
P{mbiinbing
Lampiran 2
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
MATA
PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS /SEMESTER XII (dua belas) / 2 (dua)
PROGRAM Umum
ALOKASI WAKTU 2 x 45 menit
TEMA
STANDAR
KOMPETENSI
13. Memahami pembacaan puisi dan mengungkapkan pendapat
terhadap puisi melalui diskusi
KOMPETENSI
DASAR
13.1 Mengidentifikasi unsur intrinsik dan penyimpangan bahasa
pada Puisi
ASPEK
PEMBELAJARAN
Membaca
Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya Dan
Karakter Bangsa
Kewirausahaan/
Ekonomi Kreatif
Mampu membaca puisi dengan baik
Mampu mengidentifikasi unsur
intrinsik ( tema, amanat, perwajahan,
majas, dan rima) dalam puisi dengan
baik
Mampu mendiskusikan unsur intrinsik
(tema, amanat, perwajahan puisi, diksi,
pengimajian, majas,) yang sudah
diidentifikasi
Mampu mengidentifikasi
penyimpangan bahasa pada puisi
Bersahabat/
komunikatif
Mandiri
Kepemimpinan
MATERI POKOK
PEMBELAJARAN Pusi yang dibacakan
Cara mengidentifikasi unsur intrinsik dalam sebuah puisi
Cara mengidentifikasi penyimpangan bahasa dalam puisi
STRATEGI PEMBELAJARAN
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
Memahami
pembacaan puisi
Mengidentifikasi unsur
intrinsik (tema, amanat,
perwajahan puisi, majas,
dan rima)
Mengidentifikasi
penyimpangan bahasa pada
puisi
Siswa mampu
mendiskusikan
mengidentifikasi unsur
intrinsik (tema, amanat,
perwajahan puisi, majas,
dan rima)
Siswa mampu
mengidentifikasi
penyimpangan bahasa pada
dalam puisi
KEGIATAN PEMBELAJARAN
TAHAP KEGIATAN PEMBELAJARAN
Nilai Budaya
Dan
Karakter
Bangsa
Alokasi
Waktu
PEMBUKA
(Apersepsi)
Guru membuka pelajaran dengan salam
dan presensi kehadiran siswa
Guru mengulas kembali pelajaran yang
telah dilakukan pada pertemuan
sebelumnya dengan bertanya jawab kepada
siswa
Guru-siswa bertanya jawab tentang unsur
intrinsik puisi
Guru-siswa bertanya jawab tentang struktur
kebahasaan
Guru dan siswa bertanya jawab mengenai
cara mengidentifikasi unsur intrinsik dan
penyimpangan bahasa pada puisi
Bersahabat/
komunikatif
5 menit
Motivasi
Guru menyampaikan kepada siswa tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai dan
memberikan penanaman sikap dan
motivasi terhadap pembelajaran yang akan
dilaksanakan
Bersahabat/
komunikatif 5 menit
INTI Eksplorasi
1. Siswa mendengarkan pembacaan puisi
2. Guru menggali pengetahuan siswa
mengenai materi puisi melalui berbagai
sumber.
3. Guru menggiring pemikiran siswa ke
materi dengan menampilkan slide puisi
Tapi karya Sutardji Calzoum Bachri dan
siswa memberikan tanggapan terhadap
puisi tersebut.
4. Siswa secara mandiri mengidentifikasi
unsur intrinsik puisi
5. Siswa secara mandiri mengidentifikasi
penyimpangan bahasa
Elaborasi
Guru membimbing dan membagi kelas
menjadi 4 kelompok diskusi. Setiap
kelompok menyiapkan dua anggotanya
untuk menjadi pemateri yang nantinya
akan ditugaskan untuk mempresentasikan
hasil kelompoknya
Mandiri
Berkelompok
10 menit
45 menit
Guru membagikan lembar materi kepada
setiap kelompok yaitu:
1. Kelompok 1 = tema dan amanat puisi
2. Kelompok 2 = perwajahan puisi dan
diksi puisi
3. Kelompok 3 = majas dan rima puisi
4. Kelompok 4 = penyimpangan bahasa
Masing-masing perwakilan kelompok
maju kedepan kelas untuk
mempresentasikan hasil diskusi masing
kelompoknya
Guru memeberikan kesempatan kepada
peserta diskusi/kelompok lain untuk
bertanya atau memberi tanggapannya
terhadap presentasi yang telah
disampaikan
Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:
Menyimpulkan tentang hal-hal yang
belum diketahui
Menjelaskan tentang hal-hal yang belum
diketahui.
Guru memberikan tanggapan terhadap
hasil diskusi yang telah dilaksanakan oleh
siswa di depan kelas.
Guru memberikan tambahan ulasan
materi yang belum diketahui siswa.
Guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk bertanya.
10 menit
10 menit
PENUTUP
(Internalisasi
& persepsi)
Siswa diminta menjelaskan
kesulitannya menyimak pembacaan
puisi
Siswa diminta mengungkapkan
pengalamannya dalam
mengidentifikasi unsur intrinsik dan
struktruk larik secara kebahasaan
Siswa mengungkapkan permasalahan
di masyarakat yang sesuai dengan
permasalahan dalam puisi Tapi
Siswa mengerjakan uji kompetensi
dan menjawab kuis uji teori
Bersahabat/
komunikatif
5 menit
METODE DAN SUMBER BELAJAR
Sumber Belajar
v Pustaka rujukan Alex Suryanto dan Agus
Haryanta. 2007. Panduan
Belajar Bahasa dan Sastra
Indonesia untuk SMA dan
MA Kelas XII Jakarta :
ESIS-Erlangga halaman
118-124
Sutardji Coulzum Bachri,
O, AMUK, KAPAK
(Jakarta Timur: Yayasan
Indonesia dan PT
Cakrawala Budaya
Indonesia, 2004) cet. 4., h.
110
v Material: VCD, kaset,
poster
Rekaman
pengajaran/analisis puisi
V Media cetak dan
elektronik
puisi yang dipublikasikan
melalui koran, tabloit,
majalah
Website internet
V Narasumber Penulis puisi
V Model peraga Siswa yang mempunyai
pengalaman menganalisis
puisi
V Lingkungan Kejadian di masyarakat
yang sesuai dengan tema
dan amanat dalam puisi
Metode
V Presentasi
V Diskusi Kelompok
V Inquari
V Demontrasi /Pemeragaan
Model
PENILAIAN
TEKNIK
DAN
BENTUK
V Tes Lisan
V Tes Tertulis
V Observasi Kinerja/Demontrasi
V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio
V Pengukuran Sikap
V Penilaian diri
INSTRUMEN /SOAL
Daftar pertanyaan lisan tentang unsur intrinsik dan stuktur larik-larik secara tata
kebahasaan dalam puisi Tapi
Daftar pertanyaan mengenai cara mengidentifikasi unsur intrinsik dan penyimpangan
bahasa pada puisi
Daftar pertanyaan uji kompetensi dan kuis uji teori untuk mengukur tingkat pemahaman
siswa terhadap teori dan konsep yang sudah dipelajari
RUBRIK/KRITERIA PENILAIAN/BLANGKO OBSERVASI
Instrumen :
TAPI
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
Sutardji Calzoum Bachri,
1981
Soal:
1. Perhatian puisi Tapi, jelaskan tentang perwajahan/tipografi, majas, dan rima
yang terdapat pada puisi tersebut !
2. jelaskan tema utama yang diangkat pada puisi Tapi
3. Identifikasilah puisi Tapi karya Sutardji Calzoum Bachri, lalu jelaskan amanat
apa yang dapat dipetik dari puisi tersebut?
4. Perhatikanlah larik berikut:
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
Jelaskan struktur bahasa yang digunakan pada kutipan larik diatas (subjek, predikat,
objek dll) dan sertakan alasannya
5. Jelaskan hubungan isi puisi dengan realitas masyarakat, nilai religiusitas, dan
pembentukan kepribadian siswa !
RUBRIK PENILAIAN HASIL IDENTIFIKASI UNSUR INTRINSIK
DAN PEMNYIMPANGAN BAHASA PADA PUISI TAPI
NAMA :
KELAS/NO. ABS :
TANGGAL PENILAIAN :
KOMPETENSI DASAR : Mengidentifikasi unsur intrinsik dan penyimpangan
bahasa pada puisi
HAL YANG DINILAI
NILAI
AMAT
JELEK
Skor : 1
JELEK
Skor : 2
CUKUP
Skor : 3
BAIK
Skor : 4
AMAT
BAIK
Skor : 5
Identifikasi
Intrinsik
Ketepatan
penyebutan
tema puisi Tapi
Ketepatan
identifikasi
amanat puisi
Tapi
Ketepatan
identifikasi
perwajahan
puisi
Ketepatan
identifikasi
majas, dan rima
puisi
Bukti pendukung
Identifikasi
penyimpangan
bahasa
Ketepatan
identifikasi
subjek,
predikat,
dan objek pada
puisi
Bukti
pendukung
Identifikasi
hubungan isi
puisi dengan
realitas
Ketepatan
identifikasi
hubungan isi
puisi dengan
realitas
masyarakat,
di sekitar nilai
religiusitas,
dan
pembentukan
kepribadian
siswa
Bukti pendukung
JUMLAH NILAI (Maksimal 50)
Perhitungan nilai akhir dalam skala 0 – 100 adalah sebagai berikut :
...... (100) idealskor x 0)maksimum(2Skor
skorPerolehan akhir Nilai
Jakarta, 17 Agustus 2014
Mengetahui,
Kepala SMA/MA Guru Mata Pelajaran
Fajar Setio Utomo
NIP : NIP :
Lampiran 3
Teks Puisi 1
TAPI
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
Sutardji Calzoum Bachri,
1981
Teks Puisi 2
BELAJAR MEMBACA
kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
Sutardji Calzoum Bachri 1979
BIOGRAFI
Nama Fajar Setio Utomo, lahir di Jakarta 16 Maret 1991. Anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan orang tua bernama
Sukamto dan Rubinem. Jenjang pendidikan yang sudah ditempuh,
SD Negeri Bambu Apus II, SMP Negeri 1 Pamulang, SMA
Negeri 4 Tangerang Selatan, dan sedang menempuh S1 di
Universitas Negeri Islam Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) angkatan
2008
Hobi yang ditekuni sampai saat ini yaitu berkesenian dan mengikuti salah
satu komunitas yang berkecimpung pada hal kesusastraan. Kegiatan yang pernah
diikuti yaitu pencak silat, dan pramuka di Sekolah Dasar (SD), Rohani Islam Siswa
(ROHIS) di SMA, dan aktif di Komunitas Majelis Kantiniyah. Sempat
mengajarkan teater di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan, menjadi sutradara
pementasan PBSI di Universitas Islam Negeri Jakarta dengan naskah Topeng karya
Ekranegara dan Naskah sendiri yang berjudul S.A.M.P.A.H, serta ikut membantu
pementasan teater PBSI angkatan 2010.
Prestasi yang dicapai, juara harapan 1 lomba Pramuka tingkat Kecamatan
untuk Sekolah Dasar, juara 1 lomba Nasyid tingkat Jabodetabek di SMA
Pembangunan Jaya, Juara 2 lomba Band Religius tingkat SMA di Universitas
Islam Negeri Jakarta, juara 1 teater SMA tingkat regional 1 Tangerang Selatan.