BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Lansia
2.1.1 Definisi Lansia
Lansia adalah seseorang yang mengalami tahap akhir dalam Perkembangan
kehidupan manusia. UU No. 13/Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia disebutkan
bahwa lansia adalah seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun (Dewi, 2014). Proses
menua adalah proses alamiah kehidupan yang terjadi mulai dari awal seseorang hidup,
dan memiliki beberapa fase yaitu anak, dewasa, dan tua (Kholifah, 2016).
Lansia adalah tahap akhir dalam proses kehidupan yang terjadi banyak
penurunan dan perubahan fisik, psikologi, sosial yang saling berhubungan satu sama
lain, sehingga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan fisik maupun jiwa pada
lansia (Cabrera, 2015). Lansia mengalami penurunan biologis secara keseluruhan, dari
penurunan tulang, massa otot yang menyebabkan lansia mengalami penurunan
keseimbangan yang berisiko untuk terjadinya jatuh pada lansia (Susilo, 2017).
2.1.2 Batasan Usia Lansia
Batasan usia pada lansia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun.
Berikut pendapat para ahli dalam Nugroho (2008) mengenai batasan usia :
1) Menurut organisasi kesehatan WHO ada empat tahap yaitu :
a) Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun
b) Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun
c) Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun
d) Usia Sangat tua (very old) : diatas 90 tahun.
2.1.3 Proses Menua
Proses menua merupakan proses yang terus menerus atau berkelanjutan secara
alamiah dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Menusia akan mengalami
kemunduran baik struktur maupun fungsi organ dan keadaan tersebut dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan
(Nugroho,2008). Menua adalah proses yang komplek dari Biologi, Psikososial,
Budaya dan perubahan pengalaman (DeLaune & Ladner,2011).
2.1.4 Teori Menua
1. Teori Biologis
Teori stress menyatakan bahwa terjadi perubahan secara structural dan
kimiawi yang bersifat irreversible pada tubuh sebagai akibat dari stress yag terjadi
selama rentang kehidupan dan idividu harus dapat belajar beradaptasi terhadap
perubahan tersebut (Eliopulos, 2010).
2. Teori Psikososial
a. teori disengagement menyatakan bahwa orang yang menua cenderung
menarik diri dari peran yang biasanya, terikat pada aktivitas yang lebih
intropeksi dan berfokus pada diri sendiri sebagai suatu proses
pemisahan (DeLaune & Ladner, 2011).
b. teori komunikasi menyatakan bahwa nilai individu dan kepribadian
berkembang selama rentang kehidupan, tujuan erta karakteristik
individu akan tetap konstan sepanjang hidup. Hal tersebut membuat
individu belajar untuk beradaptasi dengan perunahan dan cenderung
akan mengulas reaksi dan perilaku yang menyebabkan sukses dimasa
lalu (Eliopoulus,2010).
c. Teori aktivitas menyatakan bahwa keuasan individu terhadap
kehidupanya tergantung pada keterlibatan dalam minat baru, hobi,
peran, dan hubungan. Kesukarelaan adalah salah satu cara yang
mebuat pensiunan tetap terhubung kepada masyarakat, selain
meneydiakan koneksional, kegiatan sukarela juga mendukung rutinitas
sehari-hari, cara untuk membuat kontribusi, danperasaan dibutuhkan
oleh orang lain (Eliopoulos,2010).
2.1.5 Perubahan yang terjadi pada lansia
Seiring dengan bertambahnya usia, seseorang akan mengalami berbagai macam
perubahan pada dirinya. Perubahan-perubahan umum terjadi pada lansia yaitu:
1. Perubahan Kondisi Fisik
Dampak yang dipengaruhi oleh proses penuaan dan berkaita dengan system
Neurologis adalah gangguan tidur. Gangguan tidur pada umumnya terjadi setelah
insiden lebih dari 50%. Tidur malam yang kurang dapat mengakibatkan tidur pada
siang hari,gangguan perhatian dan pengambilan keputusan, gangguan memori, jatuh
dan depresi. Terdapat banyak mekanisme komplek yang mengatur tidur, sirkardian
adalah mekanisme utama dalam pengaturan tidur. Nukleus suprachiasmatic dalam
hipotyalamus mengendalikan tidur dan bangun, menyesuaikan dengan irama
lingkungan terang gelap (Guyton & Hall,2006). Normalnya pada tidur siklus otak
melalui setiap tahap tidur selama 60 menit sampai 90 menit sebelum mencapai tahap
REM (Taylore et al,2011). Pada orang dengan depresi mencapai tahap REM terlalu
awal (hanya 5 sampai 30 menit), menghabiskan waktu yang lebih sedikit pada tidur
dengan gelombang lambat yang lebih menyegarkan (NREM 3 dan 4).
Perubahan siklus tidur yang muncul seiring dengan enuaan meliputi: tidur
lebih mudah tergagu, peningkaytan waktu tidur yang dihabiskan pada tidur Non-Raid-
Eye-Movement (NREM) tahap 1, itu adalah periode transisi antara tidur dan bangun,
penurunan waktu yang dihabiskan pada tidur tahap 3 dan 4, itu adalah fase tidur
paling menyegarkan. Tahap Raid-Eye-Movement (NREM) tetap sama, hanya saja
munculnya di dalam siklus tidur terlalu awal (Taylore et al,2011).
2. Perubahan Kondisi Mental
Perubahan mental pada lansia erat sekali kaitanya dengan perubahan fisik,
keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau pengetahuan serta situasi lingkungan.
Dari segi mental emosional sering muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak
aman dan cemas, adanya kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya
suatu penyakit atau takut diterlantarkan karena tidak berguna lagi. Munsulnya
perasaan kurang mampu untuk mandiri serta cenderung bersifat introvert (DeLaune &
Ladner,2011).
3. Perubahan Psiokosial
Masalah terkait psikososial akan sangat beragam, tergantung pada kepribadian
individu yang bersangkutan. Perubahan psikososial yang terjadi pada lansia, misalnya
pesniun, merasakan atau sadar akan kematian, adanya perubahan cara hidup (yaitu
memasuki rumah perawatan) penghasilan menurun padahal biaya hidup meningkat
dan adanya tambahan biaya pengobatan (Schulz,2009).
Perubahan lainya yaitu kesepian akibat pengasingan dari lingkungan social, kehilangn
hubungan denga teman dan keluarga, hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik atau
perubahan konsep diri da kematianpasangan hidup (DeLaun & Ladner,2011). Faktor-
faktor psikososial berkontribusi terhadap prose perilaku biologi yang berakitan
dengan penyakit dan kualitas hidup (Halter et al,2009).
2.1.6 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Lansia
1. Aktivitas Sosial
Aktivitas sosial merupakan salah satu dari aktivitas sehari – hari yang
dilakukan oleh lansia. Lansia yang sukses adalah lansia yang mempunyai aktivitas
sosial di lingkungannya. Contoh aktivitas sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas
sosial yang dikemukan oleh Marthuranath pada tahun (2004) dalam Activities of
Daily Living Scale for Elderly People adalah lansia mampu berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya bersama lansia lainnya atau orang orang terdekat, menjalankan
hobi serta aktif dalam aktivitas kelompok. Aktivitas sosial merupakan kegiatan yang
dilakukan bersama dengan masyarakat di lingkungan sekitar (Napitupulu, 2010).
Menurut Yuli pada tahun (2014) Teori aktivitas atau kegiatan (activity theory)
menyatakan bahwa lansia yang selalu aktif dan mengikuti banyak kegiatan sosial
adalah lansia yang sukses.
1 Interaksi Sosial
Sebagai makhluk sosial manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya,
makhluk yang mampu berpikir sebelum melakukan sesuatu. Dari proses berpikir
muncul perilaku atau tindakan sosial. Ketika seseorang bertemu dengan orang lainnya,
dimulailah suatu interaksi sosial. Seseorang dengan orang lainnya melakukan
komunikasi baik secara lisan maupun isyarat, aktivitas-aktivitas itu merupakan suatu
bentuk interaksi sosial. Terdapat beberapa macam interaksi sosial. Dari sudut subjek,
ada 3 macam interaksi sosial yaitu interaksi antar perorangan, interaksi antar orang
dengan kelompoknya atau sebaliknya, interaksi antar kelompok. Dari segi cara, ada 2
macam interaksi sosial yaitu interaksi langsung yaitu interaksi fisik, seperti berkelahi,
hubungan seks dan sebagainya, interaksi simbolik yaitu interaksi dengan menggunakan
isyarat (Subadi, 2009).
Interaksi sosial merupakan suatu hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi antara individu, kelompok sosial, dan masyarakat. Interaksi sosial
merupakan suatu proses di mana manusia melakukan komunikasi dan saling
mempengaruhi dalam tindakan maupun pemikiran. Penurunan derajat kesehatan dan
kemampuan fisik menyebabkan lansia secara perlahan akan menghindar dari hubungan
dengan orang lain. Hal ini akan mengakibatkan interaksi sosial menurun (Hardywinoto
dan T., 2005).
2 Dukungan Keluarga
Menurut Yuli pada tahun (2014) fungsi keluarga adalah sebagai tempat saling
bertukar antar anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional
setiap individu. Kuisioner APGAR digunakan untuk mengukur level kepuasan
hubungan di dalam suatu keluarga, yakni penilaian terhadap lima fungsi pokok
keluarga, yaitu :
1) Adaptasi (Adaptation)
Penilaian adaptasi yaitu dengan menilai tingkat kepuasan anggota
keluarga dalam menerima bantuan yang dibutuhkannya dari anggota keluarga
yang lain.
2) Kemitraan (Partnership)
Penilaian kemitraan yaitu dengan menilai tingkat kepuasan anggota
keluarga terhadap komunikasi dan musyawarah dalam menyelesaikan suatu
masalah.
3) Pertumbuhan (Growth)
Penilaian pertumbuhan yaitu dengan menilai tingkat kepuasan anggota
keluarga terhadap kebebasan yang diberikan keluarga dalam mematangkan
kedewasaan setiap anggota keluarga.
4) Kasih Sayang (Affection)
Penilaian kasih sayang yaitu dengan menilai tingkat kepuasan anggota
keluarga terhadap kasih sayang yang terjadi dalam keluarga.
5) Kebersamaan (Resolve)
Penilaian kebersamaan yaitu dengan menilai tingkat kepuasan anggota
keluarga terhadap kebersamaan dalam membagi banyak hal dalam keluarga.
2.2 Konsep Dukungan Keluarga
2.2.1 Definisi Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga menurut (Friedman,2010) adalah sikap, tindakan
penerimaan keluarga terhadap anggota keluargannya, berupa dukungan informasional,
dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Jadi dukungan
keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan
dan penerimaan terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada
yang memperhatikannya. Jadi dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-
dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat
diakses atau diadakan untuk keluarga yang selalu siap memberikan pertolongan dan
bantuan jika diperlukan (Erdiana, 2015).
2.2.2 Tujuan Dukungan Keluarga
Sangatlah luas diterima bahwa orang yang berada dalam lingkungan sosial
yang suportif umumnya memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan rekannya
yang tanpa keuntungan ini. Lebih khususnya, karena dukungan sosial dapat dianggap
mengurangi atau menyangga efek serta meningkatkan kesehatan mental individu atau
keluarga secara langsung, dukungan sosial adalah strategi penting yang haru ada
dalam masa stress bagi keluarga (Friedman, 2010). Dukungan sosial juga dapat
berfungsi sebagai strategi pencegahan guna mengurangi stress akibat negatifnya
(Roth, 1996). Sistem dukungan keluarga ini berupa membantu berorientasi tugas
sering kali diberikan oleh keluarga besar, teman, dan tetangga. Bantuan dari keluarga
besar juga dilakukan dalam bentuk bantuan langsung, termasuk bantuan financial
yang terus-menerus dan intermiten, berbelanja, merawat anak, perawatan fisik lansia,
melakukan tugas rumah tangga, dan bantuan praktis selama masa krisis (Friedman,
2010).
2.2.3 Sumber Dukungan Keluarga
Menurut Caplan (1974) dalam Friedman (2010) terdapat tiga sumber
dukungan sosial umum, sumber ini terdiri atas jaringan informal yang spontan:
dukungan terorganisasi yang tidak diarahkan oleh petugas kesehatan professional, dan
upaya terorganisasi oleh professional kesehatan. Dukungan sosial keluarga mengacu
kepada dukungan-dukungan sosial yang di pandang oleh anggota keluarga sebagai
sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau
tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan).
Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti
dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial
keluarga eksternal (Friedman, 1998).
2.2.4 Jenis Dukungan Keluarga
Menurut Friedman (1998), menyatakan bahwa keluarga berfungsi sebagai
sistem pendukung bagi anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang
bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan.
Terdapat empat dimensi dari dukungan keluarga yaitu:
1. Dukungan emosional berfungsi sebagai pelabuhan istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan emosional serta
meningkatkan moral keluarga (Friedman, 2010). Dukungan emosional
melibatkan ekspresi empati, perhatian, pemberian semangat,
kehangatan pribadi, cinta, atau bantuan emosional. Dengan semua
tingkah laku yang mendorong perasaan nyaman dan mengarahkan
individu untuk percaya bahwa ia dipuji, dihormati, dan dicintai, dan
bahwa orang lain bersedia untuk memberikan perhatian (Sarafino,
2011).
2. Dukungan informasi, keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan
disseminator (penyebar) informasi tentang dunia (Friedman,
2010).Dukungan informasi terjadi dan diberikan oleh keluarga dalam
bentuk nasehat, saran dan diskusi tentang bagaimana cara mengatasi
atau memecahkan masalah yang ada (Sarafino, 2011).
3. Dukungan instrumental, keluarga merupakan sebuah sumber
pertolongan praktis dan konkrit (Friedman, 2010). Dukungan
instrumental merupakan dukungan yang diberikan oleh keluarga secara
langsung yang meliputi bantuan material seperti memberikan tempat
tinggal, meminjamkan atau memberikan uang dan bantuan dalam
mengerjakan tugas rumah sehari-hari (Sarafino, 2011).
4. Dukungan penghargaan, keluarga bertindak (keluarga bertindak
sebagai sistem pembimbing umpan balik, membimbing dan
memerantai pemecahan masalah dan merupakan sumber validator
identitas anggota (Friedman, 2010). Dukungan penghargaan terjadi
melalui ekspresi penghargaan yang positif melibatkan pernyataan
setuju dan panilaian positif terhadap ide-ide, perasaan dan performa
orang lain yang berbanding positif antara individu dengan orang lain
(Sarafino, 2011).
2.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga
Menurut Purnawan (2008) dalam Rahayu (2008) faktor-faktor yang
mempengaruhi dukungan keluarga adalah:
a. Faktor internal
1. Tahap perkembangan
Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah
pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-lansia)
memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.
1. Pendidikan atau tingkat pengetahuan
Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh
variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan
dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara
berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang
berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang
kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya.
2. Faktor emosi
Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap adanya
dukungan dan cara melakukannya. Seseorang yang mengalami respon stress
dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai tanda
sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit
tersebut dapat mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara umum
terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respon emosional yang kecil
selama ia sakit. Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara
emosional terhadap ancaman penyakit mungkin.
3. Spiritual
Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani
kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan
dengan keluarga atau teman,dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam
hidup.
b. Eksternal
1. Praktik di keluarga
Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya mempengaruhi
penderita dalam melaksanakan kesehatannya. Misalnya, klien juga kemungkinan
besar akan melakukan tindakan pencegahan jika keluarga melakukan hal yang sama.
2. Faktor sosio-ekonomi
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit
dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya.
Variabel psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan lingkungan
kerja.Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok
sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya.
Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap
terhadap gejala penyakit yang dirasakan. Sehingga ia akan segera mencari
pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.
3. Latar belakang budaya
Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan
individu, dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.
1.3 Corona Virus Disease-19
1.3.1 EPIDEMIOLOGI
Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di China
setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020. Awalnya
kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar, kemudian bertambah
hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China. (Wu Z, McGoogan JM,2019).
Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di
China, dan 86 kasus lain dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand,
Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi,
Korea Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan
Jerman.(WHO,2020).
COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020
sejumlah dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi
berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian. Tingkat mortalitas COVID-19 di
Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia
Tenggara.(WHO,2020).
Per 30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus dan 33.106 kematian di seluruh
dunia. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi COVID-19, dengan
kasus dan kematian sudah melampaui China. Amerika Serikat menduduki peringkat
pertama dengan kasus COVID-19 terbanyak dengan penambahan kasus baru
sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan
6.549 kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu
11,3%.(WHO,2020).
2.3.2 VIROLOGI
Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus ini
utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan unta.
Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat
menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63,
betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness
Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus
(MERS-CoV).( Riedel S, Morse S,2019).
Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus
betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam
subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah Severe Acute
Respiratory Illness (SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus.15 Atas dasar
ini, International Committee on Taxonomy of Viruses mengajukan nama SARS-CoV-
2.( Gorbalenya,2020).
Struktur genom virus ini memiliki pola seperti coronavirus pada umumnya
Sekuens SARSCoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus yang diisolasi pada
kelelawar, sehingga muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-2 berasal dari kelelawar
yang kemudian bermutasi dan menginfeksi manusia (Zhang,2020). Mamalia dan
burung diduga sebagai reservoir perantara (Rothan,2020).
Pada kasus COVID-19, trenggiling diduga sebagai reservoir perantara. Strain
coronavirus pada trenggiling adalah yang mirip genomnya dengan coronavirus
kelelawar (90,5%) dan SARS-CoV-2 (91%). Genom SARS-CoV-2 sendiri memiliki
homologi 89% terhadap coronavirus kelelawar ZXC21 dan 82% terhadap SARS-
CoV. (Chan JF-W,2020).
Hasil pemodelan melalui komputer menunjukkan bahwa SARS-CoV-2
memiliki struktur tiga dimensi pada protein spike domain receptor-binding yang
hampir identik dengan SARS-CoV. Pada SARS-CoV, protein ini memiliki afinitas
yang kuat terhadap angiotensinconverting-enzyme ACE2 (Zhang H,2020). Pada
SARS-CoV-2, data in vitro mendukung kemungkinan virus mampu masuk ke dalam
sel menggunakan reseptor ACE2. Studi tersebut juga menemukan bahwa SARS-CoV-
2 tidak menggunakan reseptor coronavirus lainnya seperti Aminopeptidase N (APN)
dan Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) (Zhou P,2020).
2.3.3 TRANSMISI
Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber
transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS-CoV-2
dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin
(Han Y,2020). Selain itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol
(dihasilkan melalui nebulizer) selama setidaknya 3 jam.23 WHO memperkirakan
reproductive number (R0) COVID-19 sebesar 1,4 hingga 2,5. Namun, studi lain
memperkirakan R0 sebesar 3 (Ong SWX,2020).
Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan dari karier
asimtomatis, namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-kasus terkait
transmisi dari karier asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak erat dengan
pasien COVID-19 (Han Y,2020). Beberapa peneliti melaporan infeksi SARS-CoV-2
pada neonatus. Namun, transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum
terbukti pasti dapat terjadi. Bila memang dapat terjadi, data menunjukkan peluang
transmisi vertikal tergolong kecil. Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali
pusat, dan air susu ibu pada ibu yang positif COVID-19 ditemukan negative (Chen
H,2020). SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil
biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di feses,
bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam feses
walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini
menguatkan dugaan kemungkinan transmisi secara fekal-oral (Xiao F,2020).
Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh dibandingkan
SARS-CoV. Eksperimen yang dilakukan (van Doremalen N,2020) menunjukkan
SARSCoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan stainless steel (>72 jam)
dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam). Studi lain di Singapura
menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada kamar dan toilet pasien
COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan
toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada sampel
udara.
2.3.4 PATOGENESIS
Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga tidak
jauh berbeda dengan SARSCoV yang sudah lebih banyak diketahui (Li X, Geng
M,2020). Pada manusia, dengan reseptor-reseptor dan membuat jalan masuk ke dalam
sel. Glikoprotein yang terdapat pada envelope spike virus akan berikatan dengan
reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2. Di dalam sel, SARS-CoV-2
melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-protein yang dibutuhkan,
kemudian membentuk virion baru yang muncul di permukaan sel (Zhang H,2020)
Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke
dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan
menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom virus akan mulai
untuk bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru terbentuk masuk ke
dalam membran retikulum endoplasma atau Golgi sel. Terjadi pembentukan
nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein nukleokapsid. Partikel virus
akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel
yang mengandung partikel virus akan bergabung dengan membran plasma untuk
melepaskan komponen virus yang baru (De Wit,2016).
Pada SARS-CoV, Protein S dilaporkan sebagai determinan yang signifikan
dalam masuknya virus ke dalam sel pejamu (De Wit,2016). Telah diketahui bahwa
masuknya SARS-CoV ke dalam sel dimulai dengan fusi antara membran virus dengan
plasma membran dari sel. Pada proses ini, protein S2’ berperan penting dalam proses
pembelahan proteolitik yang memediasi terjadinya proses fusi membran. Selain fusi
membran, terdapat juga clathrindependent dan clathrin-independent endocytosis yang
memediasi masuknya SARS-CoV ke dalam sel pejamu (Wang H,2008).
Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV. Efek
sitopatik virus dan kemampuannya mengalahkan respons imun menentukan
keparahan infeksi. Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan
jaringan pada infeksi SARS-CoV-2. Respons imun yang tidak adekuat menyebabkan
replikasi virus dan kerusakan jaringan. Di sisi lain, respons imun yang berlebihan
dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Li G, Fan Y,2020).
2.3.5 Faktor Resiko
Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes
melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari infeksi
SARS-CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga
terkait dengan prevalensi perokok aktif yang lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi,
dan diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi reseptor ACE2 (Fang L,2020).
Lansia dapat mengalami perubahan fisik dan perubahan psikologis karena
proses degeneratif. Menua adalah suatu proses kehilangan secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan
fungsi normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus
(berlanjut) secara alamiah. Sejauh ini, virus Corona terlihat lebih sering menyebabkan
infeksi berat dan kematian pada orang lanjut usia (lansia) disbanding dengan orang
dewasa atau anak. Jumlah penderita dan kasus kematian akibat infeksi virus Corona
pada lansia setiap harinya terus meningkat akibat imunitas lansia berkurang
(Adisasmito W,2020).
Diaz JH43 menduga pengguna penghambat ACE (ACE-I) atau angiotensin
receptor blocker (ARB) berisiko mengalami COVID-19 yang lebih berat. Terkait
dugaan ini, European Society of Cardiology (ESC) menegaskan bahwa belum ada
bukti meyakinkan untuk menyimpulkan manfaat positif atau negatif obat golongan
ACE-i atau ARB, sehingga pengguna kedua jenis obat ini sebaiknya tetap
melanjutkan pengobatannya (ESC,2020).
Infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya memiliki
risiko mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV. Namun, hingga
saat ini belum ada studi yang mengaitkan HIV dengan infeksi SARS-CoV-2
(Soriano,2020). Hubungan infeksi SARS-CoV-2 dengan hipersensitivitas dan
penyakit autoimun juga belum dilaporkan (Conforti C,2020). Belum ada studi yang
menghubungkan riwayat penyakit asma dengan kemungkinan terinfeksi SARS-CoV-
2. Namun, studi meta-analisis yang dilakukan oleh (Yang J,2020) menunjukkan
bahwa pasien COVID-19 dengan riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung
memiliki manifestasi klinis yang lebih parah.
Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien
COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan
namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah.
Tenaga medis merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia,
sekitar 9% kasus COVID-19 adalah tenaga medis. Di China, lebih dari 3.300 tenaga
medis juga terinfeksi, dengan mortalitas sebesar 0,6% (Wang J,2020).
2.3.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari
tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS,
sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8%
mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis.
Berapa besar proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui. Viremia dan viral load
yang tinggi dari swab nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan
(Kam KQ,2020).
Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas
atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa
sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala.
Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga
mengeluhkan diare dan muntah Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai
dengan demam, ditambah salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit
(2) distres pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen.
Pada pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal (WHO,2020).
Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-
gejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas.
Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk kering, dan
fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak napas, sakit
tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal,
diare, nyeri abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva. Lebih dari 40% demam
pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C, sementara 34%
mengalami demam suhu lebih dari 39°C (Huang C,2020).
Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14
hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit
menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus
menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi
ACE2 seperti paru-paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya
ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal.
Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit
menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika
tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin
yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan komplikasi lainnya (WHO,2020).
2.3.7 Komplikasi
Komplikasi utama pada pasien COVID-19 adalah ARDS, tetapi (Yang
X,2020). Menunjukkan data dari 52 pasien kritis bahwa komplikasi tidak terbatas
ARDS, melainkan juga komplikasi lain seperti gangguan ginjal akut (29%), jejas
kardiak (23%), disfungsi hati (29%), dan pneumotoraks (2%). Komplikasi lain yang
telah dilaporkan adalah syok sepsis, koagulasi intravaskular diseminata (KID),
rabdomiolisis, hingga pneumomediastinum.
1. Pankreas
(Liu F,2020) menunjukkan bahwa ekspresi ACE2 di pankreas tinggi dan
lebih dominan di sel eksokrin dibandingkan endokrin. Hal ini juga diperkuat data
kejadian pankreatitis yang telah dibuktikan secara laboratorium dan radiologis.
Bila ini memang berhubungan, maka perlu perhatian khusus agar tidak berujung
pada pankreatitis kronis yang dapat memicu inflamasi sistemik dan kejadian
ARDS yang lebih berat. Namun, peneliti belum dapat membuktikan secara
langsung apakah SARS-CoV-2 penyebab kerusakan pankreas karena belum ada
studi yang menemukan asam nukleat virus di pancreas.
2. Miokarditis
Miokarditis fulminan telah dilaporkan sebagai komplikasi COVID-19.
Temuan terkait ini adalah peningkatan troponin jantung, myoglobin, dan n-
terminal brain natriuretic peptide. Pada pemeriksaan lain, dapat ditemukan
hipertrofi ventrikel kiri, penurunan fraksi ejeksi, dan hipertensi pulmonal.
Miokarditis diduga terkait melalui mekanisme badai sitokin atau ekspresi ACE2 di
miokardium (Zheng,2020).
3. Kerusakan Hati
Peningkatan transaminase dan biliriubin sering ditemukan, tetapi
kerusakan liver signifikan jarang ditemukan dan pada hasil observasi jarang yang
berkembang menjadi hal yang serius. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada
kasus COVID-19 berat. Elevasi ini umumnya maksimal berkisar 1,5 - 2 kali lipat
dari nilai normal. Terdapat beberapa faktor penyebab abnormalitas ini, antara lain
kerusakan langsung akibat virus SARSCoV-2, penggunaan obat hepatotoksik,
ventilasi mekanik yang menyebabkan kongesti hati akibat peningkatan tekanan
pada paru (Zhang C,2020).
2.3.8 Permasalah Yang Terjadi Pada Lansia Selama Pandemi Covid-19
Banyak reaksi muncul saat mengahadapi situasi pandemi virus covid-19 ini
karena hal tersebut merupakan hal yang baru dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya
oleh lansia. hal ini tentu saja menimbulkan rasa panik dan cemas. Pola hidup lansia
yang normal seperti biasanya mendadak harus diubah seketika demi menjalankan
protokol kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah, dan banyak lansia tersebut
bingung harus berbuat atau bertindak seperti apa dan bagaimana. Hal inilah yang
menimbulkan masalah psikologi yang cukup menggangu untuk lansia yakni panik,
dan cemas (Medina,2020).
Sejauh ini, virus Corona terlihat lebih sering menyebabkan infeksi berat dan
kematian pada orang lanjut usia (lansia) disbanding dengan orang dewasa atau anak.
Jumlah penderita dan kasus kematian akibat infeksi virus Corona pada lansia setiap
harinya terus meningkat akibat imunitas lansia berkurang (Adisasmito W,2020).
2.3.9 Perawatan Lansia Pada Saat Pandemi Covid-19
Kementrian kesehatan RI (2020) menjelaskan terdapat 10 tata cara
pencegahan penularan virus corona yang bisa diterapkan kepada lansia, yaitu:
1. Menjaga kesehatan dan kebugaran agar stamina tubuh tetap prima dan system
imunitas atau kekebalan tubuh meningkat.
2. Mencuci tangan dengan benar dan teratur menggunakan air dan abun atau hand-rub
berupa alkohol. Mencuci tangan sampai bersih selain dapat membunuh virus yang
mungkin ada di tangan kita, tindakan ini adalah salah satu tindakan yang mudah dan
murah. Sekitar 98% penyebaran penyakit bersumber dari tangan, karena itu, menjaga
kebersihan tangan adalah hal yang sangat penting.
3. Ketika batuk dan bersin, tutup hidung dan mulut menggunakan tisu atau dengan
lengan atas bagian bawah.
4. Hindari kontak dengan orang lain atau berpergian ke tempat umum.
5. Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut. Atau juga sering disebut segitiga wajah.
6. Gunakan masker dengan benar hingga menutupi mulut dan hidung ketika sedang sakit
atau berada ditempat umum
7. Buang masker dan tisu yang telah digunakan ke tempat sampah dengan benar benar,
lalu cuci tangan yang bersih.
8. Menunda atau membatalkan perjalanan keluar daerah atau luar negeri yang ditemukan
virus covid-19.
9. Jangan keluar dari rumah jika dirasa kurang enak badan. Jika ada tanda dan gejala
covid-19 silahkan lapor ke pihak yang berwenang.
10. Selalu memantau perkembangan informasi baik dari keluarga ataupun berita dimedia
yang sudah dijamin kebenaranya
2.4 Kerangka Konsep
Gambar 2.2 : Kerangka Konsep Identifikasi Dukungan Keluarga Dalam Menghadapi
Pandemi Covid-19 Pada Lansia Di Wilayah RW 04 Kelurahan Sambikerep
Surabaya.
Keterangan :
= Diteliti
= Tidak diteliti
Permasalahan pada lansia yang
muncul:
1. Kecemasan
2. Penurunan imunitas tubuh
3. Panik
Faktor resiko penyebaran Covid-
19
1. Penyakit komorbid
diabetes
melitus,hipertensi.dan
perokok pada laki-laki.
2. Pengguna (ARB)
3. Penderita infeksi saluran
napas akut yang
menyerang pasien HIV.
4. Ibu hamil
5. Lansia
Dukungan Keluarga:
1. Dukungan
Instrumental
2. Dukungan
Informasional
3. Dukungan
Penghargaan
4. Dukungan
Emosional
Faktor-faktor yang
mempengaruhi satus
kesehatan lansia:
1. Aktivitas Sosial
2. Interaksi Sosial
3. Dukungan
Keluarga
Baik Cukup Kurang