5
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Religi
Religi berasal dari bahasa latin yakni Relegere, yang mengandung arti
mengumpulkan dan membaca. Pengertian itu juga sejalan dengan isi agama
yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi pada Tuhan yang terkumpul
dalam kitab suci yang harus dibaca. Menurut the wold book dictionary, kata
Religioucity berarti regious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan. Religi
lebih luas lebih mengarah pada masalah personalitas dan bersifat dinamis karna
lebih menonjolkan eksistensinya sebagai manusia.
Menurut Mangun Wijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 326-327)
mengemukakan bahwa “ perbedaan agama dengan religiusitas agama lebih
menunjukkan pada kelembagaan kebaktian pada tuhan dengan hukum –
hukum yang resmi sedangkan religiussitas bersifat mengatasi lebih dalam
dan lebih luas dari agama yang tampak, formal dan resmi ”.
Menurut Ratnawati (dalam Saidah Arafah, 2005:17) mengemukakan
bahwa “Religiusitas berkaitan dengan kebebasan orang untuk menjaga kualitas
keberagamannya jika dilihat dari dimensi yang paling dalam dan personal
yang sama sama sekali berada diluar kategori – kategori ajaran agama”.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Religiusitas adalah suatu
perasaan keagamaan yang lebih mengarah pada eksistensinya sebagai manusia
6
karena bersifat personalitas dan cakupannya pun lebih luas dari pada agama yang
hanya terbatas pada ajaran-ajaran dan pertautan-pertautan.
Religiusitas dalam Konteks ini meliputi beberapa unsur fundamental
yaitu: Aqidah, Syariah, Akhlak dan Ilmu Fiqh, empat hal dari unsur religi ini
tidak dapat dipisahkan karena sangat berkaitan dengan yang lainnya. Berikut
akan diuraikan hal yang berkaitan dengan empat unsur tersebut:
1. Aqidah
Aqidah secara bahasa berarti ikatan, secara terminologi berarti landasan
yang mengikat, yaitu keimanan, itu sebabnya ilmu tauhid disebut ilmu aqoid
(jamak aqidah).
Aqidah menurut Azyumardi Azra (2002: 103-104) “ merupakan ajaran
tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang
islam. Oleh karena itu Aqidah merupakan ikat dan simpul dasar islam yang
pertama dan utama” .
Menurut Iman Rejono (1996: 67) “mengatakan aqidah adalah suatu yang
mengeraskan hati membenarkan yang membuat jiwa tenang dan menjadi
kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan”.
Dari pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa aqidah adalah
keyakinan dasar yang menguatkan atau meneguhkan jiwa sehingga jiwa
terbebas dari rasa kebimbangan atau keraguan di dalam Islam disebut dengan
iman.
7
a. Ketauhidan
Kata ketauhidan adalah bentuk jadian dari kata dasar tauhid.Tauhid adalah
suatu kepercayaan atau keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Kepercayaan terhadap adanya Alam Gaib
Artinya setiap manusia yang beriman harus mempercayai adanya alam lain
dibalik alam semesta ini yakni alam gaib. Seperti alamnya para Malaikat, Jin dan
alam roh Manusia yang telah terlepas dari jasadnya yang bisa disebut alam baka,
dimana dalam alam tersebut manusia terlepas dari segala urusan yang bersifat
duniawi.
c. Iman Terhadap Takdir
Kepercayaan yang benar terhadap takdir Tuhan ini akan memberikan
sublime (nilai hidup yang tinggi) bagi seorang yang mempercayai takdir Tuhan
dengan sungguh-sungguh akan menerima keadaan dengan wajar dan bijaksana.
2. Syariah
Menurut Abu Ahmadi dan Salimi Noor (2008: 237) “mendefinisikan syariah
adalah tata cara atau tentang prilaku hidup manusia untuk mencapai keridhoan
Allah SWT”.
Adapun ruang lingkup syariah mencakup peraturan-peraturan sebagai
berikut:
a. Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur, hubungan langsung
dengan Allah SWT. Yang terdiri atas:
1) Rukun islam: Mengucapkan sahdatain, mengerjakan shalat, zakat,
puasa dan haji.
2) Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rukun islam
8
b. Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan
lainnya dalam hal tukar menukar harta, diantaranya: pinjam
meminjam, sewa menyewa dan kerjasama dagang.
c. Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang
dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga (nikah dan yang
berhubungan dengannya), perkawinan, perceraian, pengaturan nafkah,
penyusunan pemeliharaan anak pergaulan suami dan istri serta hal-hal
lain.
d. Siyasah, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan
(politik) diantaranya: persaudaraan, musyawarah, toleransi, tanggung
jawab dan lain-lain.
e. Akhlak, yaitu mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya: syukur,
sabar, tawadhu (rendah diri), pemaaf, tawakal, istiqomah berani dan
berbuat baik kepada orang tua.
Selain itu juga menurut Mohamad Idris Ramulyo (2004:9) “syariat
merupakan sasaran dari ilmu pengetahuan yang khusus disebut alfiqh.
Lebih jauh Syafi'I (dalam Mohamad Idris Ramulyo, 2004: 8) berpendapat
bahwa “ syariah merupakan peraturan-peraturan lahir dan bathin bagi umat islam
yang bersumber pada wahyu Allah dan kesimpulan-kesimpulan (deductions)
yang dapat ditarik dari wahyu Allah, dan sebagainya”. Peraturan-peraturan lahir
itu mengenai cara bagimana manusia berhubungan dengan Allah dan sesama
makhluk lainya.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, syariah adalah
tata cara atau peraturan-peraturan tentang perilaku hidup manusia secara lahir
dan bathin yang menyangkut bagaimana cara manusia berhubungan dengan
Allah dan dengan sesama makhluk lain untuk mencapai keridhoan Allah SWT
9
3. Akhlak
Secara Etimologi (arti Bahasa) akhlak berasal dari kata khalaqa, yang
kata asalnya berarti: perangkai, tabiat, adat, atau khalqun yang berarti kejadian,
buatan, ciptaan. Jadi secara etimologi akhlak berarti perangkai, adat, tabiat,
sistem prilaku yang baik.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia “akhlak adalah kelakuan,
tabiat, tingkah laku, seorang muslim hendaknya mempunyai akhlak mulia;
misalnya anak itu akhlaknya buruk sehingga tidak disukai oleh teman-
temannya”.
Akhlak sering juga disebut dengan moral, diartikan sebagai ajaran baik
buruk perbuatan atau kelakuan. Lebih jelasnya akhlak merupakan sistem nilai
yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai
yang dimaksud adalah ajaran islam dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul
sebagai sumber nilainya serta ijetihad (hukum islam).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah
tingkah laku, budi pekerti yang melekat pada jiwa seseorang untuk melakukan
suatu hal atau perbuatan.
10
Hal-hal yang fundamental terkait dengan penelitian didalam akhlak
adalah sebagai berikut:
a. Akhlak Kepada Allah
1) Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk
menyembahnya sesuai dengan perintahnya. Seseorang muslim
beribadah membuktikan ketundukan dan kepatuhan terhadap perintah
Allah. Berakhlak kepada Allah dilakukan melalui media komunikasi
yang telah disediakan, antara lain ibdah sholat.
2) Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam situasi dan
kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir
kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati (Q.S.Ar-
Ra'd:28).
3) Berdoa kepada Allah, yaitu senantiasa merendahkan diri kepadanya,
meminta dan memohon tentang segala sesuatu yang kita niatkan dan
semata-mata berniat kepadaNya.
4) Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri kepada Allah SWT atas
segala sesuatu yang dilakukan. Bahwasanya manusia hanya bisa
berusaha dan Allah yang menentukan segalanya. Seperti Firman Allah
dalam Q.S. Hud: 56." Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah
Rabb-ku dan Rabb-mu. Tidak ada sesuatu binatang melata pun
melainkan dia-lah yang memegang ubun-ubunnya."
11
b. Akhlak kepada kedua orang Tua
Berbuat baik kepada kedua orang tua, (birul waalidaini) merupakan akhlak
yang paling mulia (mahmudah) sebab pada hakekatnya hanya kepada ayah
dan ibulah yang paling banyak berjasa kepada anak-anaknya. Sehingga
berbakti, mengabdi, dan menghormati kedua orang tua adalah merupakan
kewajiban bagi semua anak.
c. Akhlak dalam menerima ketentuan Allah
Akhlak dalam menerima ketentuan Allah adalah salah satu bagian dari
perilaku yang terpuji dan menduduki tempat yang utama dalam
menentukan kesempurnaan pribadi. Karena segala yang terjadi, sedang
terjadi, dan yang akan terjadi semua telah menjadi ketentuan Allah SWT,
termasuk sifat baik dan buruk.
d. Perasaan malu (Al-Haya)
Rasa malu bagi orang mukmin merupakan basis nilai-nilai keutamaan
dan menjadi dasar akhlak yang mulia (Akhlakul karimah). Sebab malu
kepada Allah akan menjadi dasar timbulnya perasaan malu terhadap
orang lain dan diri sendiri. Karena seorang mukmin yang malu kepada
Allah tidak akan mendurhakainya dengan melanggar larangan atau
melalaikan perintahnya.
12
2.1.1 Religi Sebagai Sistem Kebudayaan
Istilah religi pada umumnya mengandung makna kecendrungan batin
manusia untuk berhubungan dengan kekuatan alam semesta, dalam mencari
nilai dan makna kekuatan alam semesta itu dianggap suci, dikagumi, dihormati
dan sekaligus ditakuti karena luar biasa sifatnya. Manusia percaya bahwa "yang
suci" itu ada dan diluar kemampuan dan kekuasaannya, sehingga manusia
meminta perlindunganNya dengan menjaga keseimbangan alam melalui
berbagai upacara. Istilah religi di sini menunjukan adanya hubungan antara
manusia dengan kekuasaan ghaib di luar kemampuanya, berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan mereka yang termanifestasikan ke dalam tiga
wujud kebudayaan, yaitu sistem gagasan, sistem tindakan dan artefak.
Definisi Religi yang melihat sebagai suatu upaya simbolis dikemukakan
oleh J. Van Ball (1971: 242). “Religi adalah suatu sistem simbol-simbol yang
dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagat rayanya”.
Uraian di atas membuktikan kompleksnya pengertian religi, namun pada
prinsipnya religi harus memuat lima unsur yaitu :
1. Adanya emosi
2. Keyakinan
3. Upacara
4. Peralatan dan
5. Pemeluk atau para penganut
13
Hal yang terakhir ini cukup penting karena suatu upacara atau tindakan
simbolis tertentu seperti berdoa menandahkan tangan ke atas bukan hanya
sekedar gerakan kinetik tanpa arti. Gerakan tangan tersebut sering kali
merupakan gerakan simbolis yang sarat dengan makna.
Demikian definisi tentang “religi itu yakni definisi yang memberi
memuat hal-hal keyakinan, upacara dan peralatan, sikap dan prilaku, alam
pikiran dan perasaan di samping hal-hal yang menyangkut para penganutnya
sendiri” (Koentjaraningrat, 1977: 269-272).
Ada Empat Fungsi religi yaitu:
a. Membantu dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan
mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat.
b. Menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia
dan lingkungan serta ruang dan waktu.
c. Religi memainkan peran yang besar bagi individu-individu karena
religi menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran
bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan
kekacoan yang dihadapi manusia.
d. Religi mampu menyajikan berbagai faktor dan bidang kehidupan ke
dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, sehingga
menciptakan rasa aman dan pencapaian tujuan kebenaran bersama.
2.1.2 Unsur Khusus dalam Sistem Religi
Semua aktifitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan
atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan (religious
emotion). Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia,
walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik
saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang
mendorong orang melakukan tindakan-tindakan riligi. Demikan juga benda-
14
benda, tindakan-tindakan atau gagasn-gagasan yang biasanya tidak keramat
(profane) tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi
keagamaan sehingga ia seolah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-
tindakan, dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.
Suatu sistem riligi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri
untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-
pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan unsur penting
dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain, yaitu (a) sistem
kayakinan; (b) sistem upacara keagamaan; (c) suatu umat yang mengatur religi
itu.
Sistem keyakinan secara khusus mengandung banyak subunsur.
Misalnya konsepsi tentang dewa-dewa yang baik mauppun yang jahat; sifat dan
tanda-tanda dewa; konsepsi tentang mahluk-mahluk halus lainnya seperti roh-
roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang jahat, hantu dan lain-lain;
konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia
dan alam (kosmogoni); masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam
(kosmologi); konsepsi tentang hidup dan maut; konsepsi tentang dunia roh,
dunia akhirat dan lain-lain.
Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek
yaitu: (a) tempat upacara keagamaan dilakukan; (b) saat-saat upacara
keagamaan dijalankan; (c) benda-benda dan alat upacara; (d) orang-orang yang
melakukan dan memimpin upacara.
15
Aspek pertama berhubungan denga tempat-tempat keramat upacara
dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan
sebagainya. Apek kedua adalah aspek mengenai saat-saat beribadah, hari-hari
keramat dan suci dan sebagainnya. Aspek ketiga adalah tentang benda-benda
yang dipakai dalam upacara, termasuk patung-patung yang melambangkan
dewa-dewa, alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, genderang
suci dan sebagainya. Aspek keempat adalah aspek yang mengenai para pelaku
upacara keagamaan, yaitu para pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain.
Upacara-upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu: “ (a) bersaji, (b)
berkorban; (c) berdoa; (d) makan bersama makan yang telah disucikan
dengan doa; (e) menari tarian suci; (f) menyayi nyaian suci; (g) berprosesi
atau berpawai; (h) memainkan seni drama suci; (i) berpuasa; (j) intoksikasi
atau mengaburkan pikiran dengan obat bius sampai kerasukan, mabuk; (k)
bertapa; (l) bersemedi ” (Koentjaraningrat 2009 : 294-296).
2.2 Nilai
2.2.1 Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan
berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau
berguna bagi kehidupan manusia. Adanya dua macam nilai tersebut sejalan
dengan penegasan pancasila sebagai ideologi terbuka. Perumusan pancasila
sebagai dalam pembukaan UUD 1945. Alinea 4 dinyatakan sebagai nilai dasar
dan penjabarannya sebagai nilai instrumental. Nilai dasar tidak berubah dan
tidak boleh diubah lagi. Betapapun pentingnya nilai dasar yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 itu, sifatnya belum operasional. Artinya kita belum
16
dapat menjabarkannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan
UUD 1945 sendiri menunjuk adanya undang-undang sebagai pelaksanaan
hukum dasar tertulis itu. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pembukaan
UUD 1945 itu memerlukan penjabaran lebih lanjut. Penjabaran itu sebagai
arahan untuk kehidupan nyata. Penjabaran itu kemudian dinamakan Nilai
Instrumental.
Nilai Instrumental harus tetap mengacu kepada nilai-nilai dasar yang
dijabarkannya Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamis dalam
bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama dan dalam batas-
batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Penjabaran itu jelas tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya.
2.2.2 Macam-Macam Nilai
Menurut Munir dari pandangan C.A Van Peurson (dalam Ibrahim
Polontalo, 2005:15-16) “mengemukakan bahwa nilai logika dalam pemikiran
islam dibagi atas tiga tahap pemikiran manusia yakni mitos, ontologism dan
fungsional”.
Dalam filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu (a). Nilai logika
adalah nilai benar salah. (b). Nilai estetika adalah nilai indah tidak indah. (c).
Nilai etika/moral adalah nilai baik buruk. Berdasarkan klasifikasi di atas, kita
dapat memberikan contoh dalam kehidupan. Jika seorang siswa dapat menjawab
suatu pertanyaan, ia benar secara logika. Apabila ia keliru dalam menjawab, kita
katakan salah. Kita tidak bisa mengatakan siswa itu buruk karena jawabannya
17
salah. Buruk adalah nilai moral sehingga bukan pada tempatnya kita
mengatakan demikian. Contoh nilai estetika adalah apabila kita melihat suatu
pemandangan, menonton sebuah pentas pertunjukan, atau merasakan makanan,
nilai estetika bersifat subjektif pada diri yang bersangkutan. Seseorang akan
merasa senang dengan melihat sebuah lukisan yang menurutnya sangat indah,
tetapi orang lain mungkin tidak suka dengan lukisan itu. Kita tidak bisa
memaksakan bahwa luikisan itu indah. Nilai moral adalah suatu bagian dari
nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Moral
selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral.
Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah
yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.
Penjelasan mengenai nilai logika, estetika dan etika juga tercermin pada
ritual dayango dengan memiliki nilai benar salah dikalangan masyarakat terjadi
kontrofersi terhadap dayango, ada yang menilai bahwa dayango merupakan
perbuatan syirik dilain pihak dayango juga memiliki nilai kebenaran yang
mampu memberikan fakta empiris seperti mengobati penyakit dan talak bala.
Nilai keindahan dayango merupakan jati diri Gorontalo itu sendiri karena
dayango adalah ritual dari leluhur sebelumnya.
18
2.3 Hakekat Kebudayaan
2.3.1 Pengertian Kebudayaan
Sebelum membahas pengertian kebudayaan sebaiknya akan dikemukakan
terlebih dahulu pengertian budaya.
Budaya menurut Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (2005:18)
adalah “suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya
didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang,
konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh
sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu
dan kelompok ”.
Dilihat dari sudut pandang bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari
kata bahasa sansekerta yaitu buddayah yang berarti bentuk jamak dari buddhi
yang berarti budi atau pekerti. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa
kebudayaan berasal dari kata budi yang artinya akal dari unsur rokhani
kebudayaan dan daya yang artinya pikiran dari unsur jasmani, sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil ikhtisar manusia.
Adapun pengertian kebudayaan menurut bahasa Belanda diterjemahkan
dengan cultuur, sedangkan dalam bahasa Inggris yakni culture. Dari kedua
bahasa tersebut berasal dari bahasa latin yakni colore yang artinya mengolah,
mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan.
Pada masyarakat Indonesia, kebudayaan diartikan bermacam-macam.
Dimana oleh masyarakat umum, kebudayaan diartikan sebagai kesenian atau
berbagai hal yang berkaitan dengan kesenian. Sedangkan dikalangan akademisi,
kebudayaan diartikan sesuai dengan defenisi kebudayaan yang dipergunakan.
19
Melihat hal tersebut diatas, bahwa pengertian kebudayaan yang tepat
amat sulit. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang yang membuat defenisi
tentang kebudayaan, sementara versi yang digunakannyapun berbeda-beda.
Menurut Sultan Takdir Alisyahbana (2011:5) ”bahwa kebudayaan adalah
manifestasi sebuah bangsa”.
Nani Tuloli (2001 : 187) “ Kebudayaan pada satu sisi dapat di lihat sebagai
suatu penyelesaian kelompok atas berbagai persoalan hidup manusia yang
mempola hubungan-hubungan manusia satu dengan yang lainnya dan
manusia dengan lingkungannya. Penerusan pola itu itu dapat diungkap
melalui berbagai cara atau sistem transformasi budaya. Berbagai sistem
transformasi budaya yang vertikal dapat dilaksanakan melalui sastra lisan.
Pada pihak lain sastra lisan juga adalah karya manusia yang mempunyai
posisi sebagai salah satu aspek budaya yang bersifat seni ”.
Cirri-ciri kebudayaan pada umumnya melekat pada sastra lisan. Ciri-ciri itu
antara lain:
1. Milik bersama seluruh masyarakat budaya(sastra itu);
2. Diturunkan dari generasi ke generasi, baik dalam bentuk asli maupun
yang berubah;
3. Berfungsi bagi kebutuhan dan kehidupan masyarakatnya;
4. Bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, tingkah laku dan hasil karya.
Robson (dalam Nani Tuloli 1978:7).
Kebudayaan menurut Geetz (dalam Budi Susanto 2000:35) diartikan
sebagai ”jaringan makna yang diciptakan oleh manusia, analisis dari makna ini
bukanlah merupakan ilmu yang eksperimental, melainkan sebuah ilmu
interpretatif untuk mencari makna”.
Sementara menurut Mansoer Pateda (2001 : 22) “ Kebudayaan tidak dengan
sendirinya terwujud, sebab keberadaan kebudayaan melalui suatu proses
dinamis hasil ketertarikan antar berbagai sistem. Dengan demikan
kebudayaan tidak pernah mencapai kemapanan abadi, suatu tahap
perkembangan yang telah mencapai kemapanan akan bersifat sementara
meskipun kemampuan itu berlangsung dalam waktu yang relatif lama.
20
Kebudayaan merupakan hasil proses dinamis penghasil yang pleksibel yang
bukan abadi, dan karena itu tidak mungkin abadi ”.
Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas tentang budaya maka penulis
menyimpulkan bahwa kebudayaan mempunyai hubungan dengan hasil
penelitian (dayango) dimana kebudayaan lahir dari hasil karya cipta manusia
yang kemudian di jalankan dalam kehidupan kesehariannya. Hubungannya
dengan dayango adalah dayango merupakan salah satu aspek budaya yang ada
di Gorontalo meskipun pelaksanaanya saat ini dilarang oleh pihak-pihak yang
berwajib.
2.4 Konsep Masyarakat
Pada dasarnya masyarakat bukan sekedar sekumpulan manusia semata
tanpa ikatan, akan tetapi terdapat hubungan fungsional antara satu dengan yang
lainnya. Setiap individu mempunyai kesadaran akan keberadaan di tengah-
tengah individu yang lainnya. Sistem pergaulan didasarkan atas kebiasaan
dalam kehidupan sehari-hari dapat terjalin dengan baik.
Definisi masyarakat menurut (Abdul Syani, 2007:30). “Masyarakat
berasal dari kata musyarak (arab) yang artinya bersama-sama, yang
kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama, hidup
bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, selanjutnya
mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat ”.
21
Supaya dapat menjelaskan pengertian masyarakat secara umum,
maka perlu ditelaah tentang ciri-ciri dari masyarkat itu sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto (dalam Abdul Syani, 2007:32) menyatakan
bahwa sebagai suatu pergaulan hidup atau suatu bentuk kehidupan
bersama manusia, maka masyarkat itu mampunyai ciri-ciri pokok
yaitu:
1) Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran
yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa
jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis, angka
minimumnya ada dua orang yang hidup bersama.
2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia
tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati sepeti umpamanya
kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya
manusia, maka akan timbul, manusia-manusia baru. Manusia itu juga
dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai
keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasan-
perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem
komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut.
3) Mereka sadar bahwa meraka merupakan suatu kesatuan.
4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan
bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota
kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.
2.5 Ciri-Ciri Masyarakat
Ciri-ciri masyarakat dalam suatu bentuk kehidupan bersama menurut
Soerjono Soekanto ( dalam Abdul Syani 1995 : 47 ) adalah sebagai berikut:
a. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran
yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa
jumlah yang harus ada.
b. Bercampur untuk waktu yang lama. Kumpulan dari manusia tidaklah
sam dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi,
meja, dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia,
maka akan timbul manusia-manusia baru.
c. Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.
22
d. Mereka merupakan satu system hidup bersama. System kehidupan
bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota
kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya.
2.5.1 Karakteristik Sosial Masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat, manusia dituntut untuk
mengedepankan kelompok dari pada kepentingan pribadinya sendiri. Dalam
tatanan implementasi, setiap individu harus menyadari bahwa dia merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari unsur kemasyarakatan sehingga setiap
tingkah laku perbuatannya harus melalui berbagai pertimbangan sehingga tidak
mengabaikan statusnya sebagai salah satu unsur dalam masyarakat.
Roucek dan Warren (dalam Shahab Kurnadi, 2007:11-12) “menyatakan
bahwa, masyarakat pedesaan memiliki karakteristik sebagai berikut: “ (1)
Punya sifat homogen dalam (mata pencahrian, nilai-nilai dalam
kebudayaan serta dalam sikab dan tingkah laku), (2) Kehidupan desa lebih
menenkankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi. Artinya, semua
anggota keluarga turut bersama-sama mematuhi kebutuhan ekonomi
rumah tangga, (3) Faktor geografis sangat berpengaruh atas kehidupan
yang ada. Misalnya, keterikatan annggota masyarakat dengan tanah atau
desa kelahirannya, (4) Hubungan sesama anggota mesyarakat lebih intim
dan awet dari pada kota serta jumlah anak yang ada dalam keluarga init
lebih besar ”.
Terbentuknya masyarakat dapat pula didorong oleh faktor sosial,
yaitu toleransi dan tolong menolong. Manusia dilahirkan sudah mempunyai
dua hasrat pokok yaitu; (1) hasrat untuk hidup bersama dengan manusia lain,
(2) hasrat untuk bersatu dengan suasana alam sekitarnya.
23
Ada tiga alternatif corak dan arah hubungan individu dengan
masyarakat, yaitu:
a. Individu memiliki status yang relatif dominan terhadap masyarakat;
b. Masyarakat memiliki status yang relatif dominan teerhadap individu; dan
c. Individu dan masyarakat saling tergantung.
Masyarakat dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu:
(a) masyarakat dapat dilihat sebagai penduduk yang menghuni suatu daerah
tertentu, (b) masyarakat dapat dilihat sebagai kesatuan dari beberapa orang,
(c) masyarakat dapat dilihat sebagai corak-corak perhubungan yang terjadi
antar warganya (masyarakat), dan (d) dari corak hubungan yang terjadi terdapat
nilai-nilai budaya dan norma-norma aturan kaidah yang berfungsi mengatur
hubungan antar warga masyarakat tersebut.
J.L. Gillin dan J.P. Gillin (dalam Warsito 2012 : 116) mengatakan,
bahwa “masyarakat adalah kelompok manusia terbesar yang mempunyai
kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama”.
Menurut Abdul Syani ( 1995 : 46 ) “masyarakat merupakan wadah hidup
bersama dari individu – individu yang terjalin dan terikat dalam
hubungan interaksi serta interelasi sosial dalam studi masyarakat,
individu tidak di pandang sebagai orang tersendiri tanpa hubungan dengan
individu lain. Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang khas bagi
manusia, sehingga tanpa adanya kelompok, manusia tidak akan mampu
untuk dapat berbuat banyak dalam kehidupannya.
24
Menurut linton ( Dalam Harsojo 1999 : 126 ) “masyarakat adalah setiap
kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga
dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-
batas tertentu”.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat itu
timbul dari setiap kumpulan individu – individu atau kelompok yang telah
cukup lama hidup dan bekerja sama dan saling membutuhakan antara satu sama
lain.
Menurut Koentjaraningrat ( 2002 : 148 ) “masyarakat adalah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu
yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama”.
Menurut Roucek dan Warren ( dalam Abdul Syani 1995 : 84 )
“masyarakat merupakan sekelompok manusia yang memiliki rasa kesadaran
bersama dimana mereka berdiam pada daerah yang bersama, yang sebagian
besar atau seluruh warganya memperlihatkan adanya adat kebiasaan dan
aktifitas yang sama pula”.
Masyarakat adalah orang – orang yang saling berinteraksi dalam suatu
ikatan atau sistem di mana mereka berada. Bisa dibilang juga bahwa
nmasyarakat adalah suatu jaringan yang menghubungkan antar entitas yang
saling tergantung antara satu individu dengan individu lainnya yang bersifat
teratur.
25
Dengan demikian, berarti masyarakat dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang, yaitu :
a. Masyarakat dapat dilihat sebagai penduduk yang menghuni suatu daerah
tertentu.
b. Masyarakat dapat dilihat sebagai kesatuan dari beberapa orang.
c. Masyarakat dapat dilihat sebagai corak-corak perhubungan yang terjadi
antara warganya ( Masyarakat ).
d. Dalam corak hubungan yang terjadi terhadap nilai-nilai budaya atau norma-
norma, aturan dan kaidah-kaidah yang berfungsi mengatur hubungan antara
warga masyarakat tersebut.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas, penulis
menarik kesimpulan bahwa yanng dikatakan masyarakat harus memenuhi
beberapa kriteria yaitu:
a. Adanya individu-individu yang berkelompok;
b. Adanya suatu wilayah atau daerah tertentu;
c. Adanya hubungan sosial antara anggota-anggota dalam jangka waktu yang
lama;
d. Adanya norma-norma atau aturan-aturan yang mengatur kehidupan
masyarakat; dan
e. Mempunyai pemimpin yang mengarahkan kehidupan masyarakat.
26
2.6 Masyarakat Multikultural
Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas beragam
suku bangsa dan budaya. Masyarakat Indonesia tergolong masyarakat
multikultural, karena masyarakatnya sangat majemuk dalam suku bangsa, ras,
klan, agama, mata pencaharian, adat-istiadat, golongan politik, dan sebagainya.
Walaupun masyarakat Indonesia sangat majemuk, tetapi hidup bersatu secara
damai dan berdampingan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat multikultural Indonesia ini oleh Mpu Tantular diungkapkan dengan
istilah Bhinneka Tunggal Ika, yang berbeda-beda tetapi tetap satu.
Multikultural merupakan suatu tantangan yang mengedepankan
majemuknya nilai-nilai, kelompok sosial, dan struktur sosial. Dalam kesadaran
pluralisme, manusia dihadapkan pada proses pembelajaran yang terus-menerus
bergulir sepanjang hidupnya terhadap sesuatu di luar pribadi dan identitas
monokulturnya. Dalam kedua konteks itu (manusia dan multikultur), banyak
perbenturan yang bisa terjadi. Tetapi, itu adalah impact yang tidak bisa
dihindari karena yang mau dicirikan manusia sebagai realitas-realitas human
being, manusia sebagai yang berakal budi. Konsep multikultural saat ini
menjadi kerinduan sosiologis ketika globalisme begitu deras mendera semua
bangsa dan negara, menjadi harapan ketika banyak bangsa mengalami krisis
identitas dan perpecahan, menjadi alternative di tengah chaos dan
ketidakpastian hidup. Kita merupakan dari situasi yang mencoba merekatkan
krisis identitas itu. Ketika multikultur menjadi bagian dari isu global, maka
27
sebagai manusia yang merindukan tatanan nilai harmoni, miltikultur manjadi
harapan baru dalam membangun reidentifikasi keindonesiaan kita.
Apa yang disebut sebagai multikultur sesunguhnya merupakan bagian
dari fakta sejarah manusia. Kondisi geografis, agraris, dan maritim menemukan
sinkretismenya dalam perilaku budaya profetis, moral, dan perilaku pergaulan
dalam persatuan nusantara. Fakta sejarah membuktikan bahwa kebersamaan dan
keberagaman itu telah lama terjalin dalam bingkai semangat kemanusiaan
sebagai bagian yang utuh dari hidup penuh nilai dan keberbedaan. Dalam
lingkup yang paling kecil, kenyataan historis itu dapat dilihat di Kubu
tambahan, Buleleng, bali tempat situs-situs yang mencerminkan kehidupan
multikultur tertandai dari abad ke 13.
Ketika isu multikultur merebak sebagai alternatif dan menjadi benang
merah terhadap kesadaran hidup dalam keberagaman etnis dan budaya, maka
sesunguhnya itu bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia. Multikultur tidak
hanya menempatkan keberagaman dalam konteks sinkretisme fisik, melainkan
telah tertanam dalam relasi-relasi rohani. Multikultur bagi mereka adalah
kesadaran yang memahami satu sama lain sebagai bagian utuh dari rasa
kemanusiaan, bagian utuh dari tatanan yang meletakkan satu dengan yang lain
saling memperkaya bangunan kebudayaan secara menyeluruh. Dalam
hubungan konteks kekinian, multikultur bukanlah suatu nilai dan tatanan baru
di negeri ini, karena ia adalah realitas sejarah bangsa Indonesia. Dalam ikhtiar
membangun rasa keindonesiaan ini, kita semua sangat membutuhkan kesadaran
28
sejarah itu, bahwa di tengah krisis identitas, chaos di segala lini kehidupan,
multikultur sangat perlu dikembalikan saat ini guna mendapat keharmonisan
tatanan kehidupan di tengah keberagaman.
Apabila kita mempersoalkan tentang dimana saat tertuju pada proses
pelaksanaan dan tingkat keberhasilan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang dapat memberikan manfaat dari
hasil pelajaran yang dilaksanakan. Para ahli banyak mengemukakan
pendapatnya tentang kelompok sosial dari sudut pandangan yang berbeda
namun mempunyai tujuan yang sama
Dewasa ini kita semua menerima pendapat bahwa dalam kehidupan
sehari-hari manusia tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain. Ia
selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga kepribadian individu,
kecakapan-kecakapannya, ciri-ciri kegiatannya baru menjadi kepribadian
individu yang sebenar-benarnya apabila keseluruhan system psycho-physik
tersebut berhubungan dengan lingkungannya.
Demikian kehidupan manusia dalam masyarakat mempunyai dua
macam fungsi yaitu berfungsi sebagai objek dan berfungsi sebagai subjek.
Demikian juga manusia lain ( Milieu ), juga barfungsi sebagai subjek dan objek.
Itulah sebabnya maka H. Bonner dalam bukunya Social Psychology
memberikan rumusan interaksi sosial sebagai berikut.
Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara individu atau lebih ,
dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau
29
memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Hal ini sebenarnya
merupakan keuntungan yang besar bagi manusia, sebab dengan adanya dua
macam fungsi yang dimiliki itu timbullah kemajuan-kemajuan dalam hidup
bermasyarakat. .
Berangkat dari pengertian para ahli di atas maka Ikatan primordial
pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh para anggota
suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan,
sejarah dan asal-usul. Identitas dasar ini merupakan sumber acuan bagi para
anggota suatu kelompok etnik dalam melakukan intreaksi sosialnya. Oleh
karena itu, identitas dasar merupakan suatu acuan yang sangat mendasar
dan bersifat umum, serta menjadi kerangka dasar bagi perwujudan suatu
kelompok etnik.
Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk
mengingkarinya, identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar kelompok
etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan
menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok di antara mereka. Identitas
dasar kemudian menjadi suatu pembeda antara berbagai kelompok etnik yang
sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan sumber adanya ikatan
primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan keluarga atau
hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan atau
keagamaan, serta bahasa atau dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan
darah, dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan
30
emosional yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu
yang bersifat destruksif. Ikatan-ikatan tersebut dapat dianggap sebagai
“warisan” dari sifat sosial yang telah ada suatu “kelangsungan yang
berkesinambungan” dan sebagian besar merupakan ikatan keluarga, namun
lebih dari itu merupakan warisan yang berasal dari kelahiran di tengah-tengah
masyarakat beragama tertentu, yang berbicara dalam dialek bahasa tertentu, dan
mengikuti praktik-praktik sosial tertentu.
Kehidupan sehari-hari merupakan identitas dasar suatu kelompok
etnik seringkali dimanipulasi. Identitas dasar dapat dinon-aktifkan,
diaktifkan, dipersempit dapat dimungkinkan karena identitas dasar itu bukanlah
sesuatu yang masih seperti batu melainkan cair, sehingga dapat mengalir dan
berkembang dalam rangka penyesuaian- penyesuaian dalam kehidupan.
Namun tidak jarang aliran identitas dasar menerjang dengan kuat bagaikan air
bah yang membobol bendungan-bendungan, serta merusak segala sesuatu yang
dilaluinya. Pada keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang mewujudkan
keberadaannya dalam bentuk ikatan-ikatan primordial melahirkan kohesi
emosional yang sangat kuat atau menjadi etnosentrisme yang berlebihan,
sehingga menjadi sumber malapetaka.
Berdasarkan dari beberapa pengertian masyarakat yang di kemukakan
diatas maka penulis menyimpulkan bahwa ternyata masyarakat mempunyai
hubungan erat dengan hasil penelitian (Dayango) dimana masyarakat yang
menjadi tonggak dan sumber penggerak dari dayango itu sendiri bahkan
31
masyarakat pulalah yang menciptakan dan melaksanakan kebudayaan ritual
dayango.
2.7 Penelitian Yang Relevan
Ipong Niaga dalam laporan penelitiannya mengenai ritual dayango
di Desa Liyodu, Kecamatan Bongomeme Kabupaten Gorontalo pada tahun
2013 menyimpulkan bahwa:
Pertama, ritual dayango merupakan ritual kuno masyarakat Gorontalo,
terbentuk dari proses transformasi dialektis antara tiga elemen penting berupa:
mitos Ti bebe, konsep perbintangan dan kultur dilingkungan agraris tropis,
dayango menjadi ekspresi kolektif dari rasa perlunya berharmoni dengan
alam agar dapat memperoleh kehidupan yang tidak menderita. Dalam
bentuknya, ritual dayango terdiri dari mantra-mantra, sesajian, ekspresi-
ekspresi gerak, dan iringan tetabuhan, yang maka semuanya terdapat
unsure-unsur eksotisme, eritisme dan artistic.
Kedua, meski demikian , ritual bukanlah bentuk ekspresi seni, sebab
ekspresi-ekspresi artistikdalam ritual-ritual kuno yang dapat kita amati tidak
sama sekali membawa fungsi-fungsi artistikitu sendiri, melainkan fungsi
tersendiri berupa spiritualitas yang terbentuk berdasarkan struktur ritualnya
yang merujuk pada konsep religi yang mendasarinya. Dalam pada itu, religi
tidak mendasari dirinya dengan oposisi antara „yang baik‟ dan „yang buruk‟
atau „yang indah‟ dan „yang jelek‟ akan tetapi oposisi dalam religi
32
mengutamakan perbedaan yang hakiki tentang „yang abadi‟ dengan „yang
fana‟, „yang suci‟ dengan „yang profane‟, juga oposisi gender „yang laki-laki‟
dengan „yang perempuan‟, begitu pula oposisi tentang „ayah‟ dan „anak‟
menjadi elemen khas yang membentuk hierarki organisasi religi dan ritual
manusia secara umum di kemudian hari. Oleh karenanya, ritual kultur dan natur.
Kultur dan natur sendiri di pahami sebagai pola yang terbedakan berdasarkan
dinamika elementernya, kultur berbasis pada prinsip adaptasi dan natur berbasis
pada prinsip siklik.
Secara fundamental pula, kesemua oposisi tersebut, disadari atau tidak,
telah membentuk kerangka konstitutif utama dalam pemikiran manusia, yaitu
terbentuknya „orientasi‟ yang mencetuskan „direksi‟ (arahan). Orientasi
merupakan dasar-dasar subjektifitas dimana perspektif manusia telah
menentukan jenis-jenis perubahan di permukaan bumi yang terjadi akibat
adanya dinamika budaya. Alam merupakan materi yang bebas nilai, tetapi
pikiran manusia mengelompokannya dalam kategori-kategori klasifikasi yang
hanya di pahami oleh manusia itu sendiri. Inilah yang di maksud dengan
orientasi, ketika manusia menyadari keberadaannya dan secara mandiri manusia
menentukan tujuannya dan mengarahkan perjalanan sejarahnya. „orientasi‟
mencetuskan „direksi‟ dan akhirnya melahirkan tanda-tanda yang beragam yang
terangkum dalam jenis-jenis symbol budaya manusia. Semisal, orientasi „yang
didalam‟ dan „ yang diluar‟ menghasilkan direksi „keluar‟ dan „masuk‟, „yang
diatas‟ dan „yang dibawah‟ menghasilkan direksi „disembah‟ dan „menyembah‟.
33
Ketiga, sistem religi yang selama ini di pahami sebagai suatu keyakinan
yang di turunkan lewat wahyu, ternyata di dalamnya sarat dengan system
pengetahuan yang berfungsi sebagai „konsep‟ yang menghubungkan antara
subjektifitas manusia dengan lingkungan ekologikalnya. Siklus alam yang tidak
bisa di kendalikan oleh kehendak manusia merupakan tembok pembatas
jangkauan pemikirannya, yang di sebut sebagai „takdir‟, sementara itu pikiran
dan hasil-hasil karya manusia berupaya keras untuk beradaptasi di tengah
gelombang besar tersebut. Pada kasus dayango, misalnya, ritual ini secara
eksplisit menggambarkan permohonan manusia kepada sang pencipta untuk
mengakhiri penderitaan akibat penyakit dan kekeringan. Sesajian-sesajian yang
di persembahkan memiliki relevansi dengan situasi alam yang sedang
melingkupinya.
Keempat, hubungan antara mitos dan rutual dalam system religi
memperlihatkan suatu transformasi dialektis yang membentuk korespondensi
setuap elemennya dalam konteksnya sendiri. Sebuah rasi bintang yang bernama
„malu‟o (ayam), identik dengan musim penyakit yang menyerang ternak ayam,
maka dibuatlah sesajian berupa ayam dan telur ayam. Begitu pula dalam mitos
yang memisahkan manusia dangan latti, dalam ritualnya kedua hal tersebut
„dipasangkan‟ kembali secara simbolik melalui gerak-gerak trans
merepresentasikan harmoni antara manusia dan alam.
Kelima, trasformasi mitos dan ritual berupa menjalin suatu hubungan
dialektis yang bersifat triadik antara manusia, tuhan dan roh; atau manusia,
34
tuhan dan media penghubung. Bahwa manusia ternyata tak bisa terbebas begitu
saja dari kematian dan penderitaan, adalah kesadaran mendasar yang
mendorong manusia untuk bisa mengakses kekuasaan tuhan agar bisa
memperoleh perasaan-perasaan aman dan terlindungi. Ilusi manusia untuk bisa
mengakses dunia lain yang lebih kuasa darinya, menjadi pendorong yang sangat
kuat dalam proses ritual.
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian saudara Ipong Niaga tentang
Ritual Dayango di Desa Liyodu, kecamatan bongomeme, kabupaten gorontalo
maka di ketahui bahwa ritual dayango adalah suatu ritual yang dilaksankan oleh
masyarakat gorontalo dimana terbentuk dari proses transformasi dialektis antara
tiga elemen penting berupa: mitos ti bebe, konsep perbintangan dan kultur di
lingkungan agraris tropis.
Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian Ipong Niaga adalah
sama-sama meneliti ritual dayango akan tetapi, ada pula perbedaanya yakni:
perbedaan tempat penelitian, waktu penelitiannya, serta perbedaan
pendekatannya di mana penelitian yang dilakukan oleh ipong niaga yakni lebih
mengarah pada pelaksanaan ritual dayango dan konsep-konsep dasar yang
mendasarinya bila di bandingkan dengan penulis yakni penulis hanya
mendeskripsikan tahap-tahap pelaksanaan ritual dayango dan nilai-nilai yang
tekandung pada ritual dayango itu sendiri.