REORIENTASI FUNGSI LEGISLASI, PENGANGGARAN,
DAN PENGAWASAN DEWAN PERKAWILAN RAKYAT DAERAH
(DPRD)
Oleh: Aceng Roni Sya’bana, S.Pd*
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri
terpisah dari komunitasnya. Namun, justru dalam kehidupan komunitas
itu ia dihadapkan pada masalah baru: beda pendapat, silang sengketa,
atau bahkan konflik berkepanjangan yang berpotensi mengancam
kelangsungan hidupnya. Ditinjau dari satu sisi, sejarah perjalanan umat
manusia adalah kisah perselisihan dan konflik.
Manusia dihadapkan pada pilihan: 1) hidup terpisah dalam
kesendirian = irrasional dan menyalahi kodratnya atau 2) hidup dalam
dan bersama komunitasnya = rasional dan realistis. Pada kenyataannya
kita memilih alternatif kedua. Konsekuensi logisnya kita harus
mengikatkan diri pada komitmen menghadapi konflik dan mencari
format resolusi konflik yang konstruktif dan arif.
Pada hakikatnya, konsep Trias Politica dirumuskan untuk
memanej dan memecahkan konflik kepentingan antar individu dan
kelompok. Sejauh ini, konsep yang lahir dari latar setting sosial-politik
masyarakat Barat itu dipandang masih relevan dan oleh karena itu
digunakan –dengan berbagai penyesuaian disana sini– di hampir semua
negara modern dengan berbagai latar agama, budaya, sosial, politik,
dan ekonomi.
Distribusi wewenang dan tanggungjawab ke dalam tiga lembaga
pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, berpijak pada asumsi
bahwa manusia –terlepas dari fithrah (citra asali)-nya yang suci–
cenderung dan berpeluang besar menyalahi fithrahnya itu dan tergoda
untuk menyalahgunakan kewenangan yang berada di tangannya.
Dengan demikian, pemisahan tiga lembaga utama pemerintahan itu
dimaksukan sebagai sarana saling kontrol dan mengimbangi (check and
balance) antara lembaga yang satu dengan yang lainnya.
Sebagai lembaga yang keberadaannya merupakan prasyarat bagi
sebuah negara demokrasi, sudah seharusnya lembaga legislatif dapat
menjalankan ketiga fungsi utamanya: legislasi, penganggaran, dan
pengawasan. Lembaga legislatif minus tiga fungsi di atas hanya akan
menghasilkan demokrasi formal-prosedural tanpa substansi yang justru
merupakan ruh dari demokrasi itu sendiri.
Demokrasi formal-prosedural merupakan praktik yang lazim
dalam sejarah masa lalu negara kita. Pada masa kekuasaan pemerintah
kolonial Belanda di awal abad ke-20 yang lalu, keberadaan Volksraad
(Dewan rakyat) tidak lebih dari sekedar simbol tanpa isi substantif,
wujudnya terlihat, tapi fungsinya tak terasa. Kondisi seperti ini tidak
jauh berbeda dengan nasib lembaga legislatif pada zaman demokrasi
terpimpin Orde Lama dan Demokrasi Pancasila versi rezim Orde baru.
Orde Reformasi lahir sebagai koreksi atas berbagai
penyelewengan dan penyimpangan yang terjadi selama masa Orde
Baru. Lembaga legislatif yang tidak berfungsi sebagai mestinya adalah
salah satu bentuk mencolok dan merupakan indikator telanjang dari
salah kelola negara oleh rezim yang berkuasa saat itu. Salah satu ciri
utama Orde Reformasi, di mana saat ini kita berada, adalah bersemai
dan tumbuhnya nilai, budaya, dan praktik demokrasi. Salah satu
indikatornya terlihat jelas dari semakin terberdayanya lembaga legislatif
dengan ketiga fungsi utamanya seperti disebutkan di atas.
Menyusun undang-undang, merancang anggaran belanja daerah,
dan memastikan efektivitas keberlangsungan pemerintahan daerah
(bahkan juga “penyalur aspirasi masyarakat”) bukanlah tugas yang
mudah dan sederhana. Terbukanya hambatan-hambatan demokrasi
yang memungkinkan lembaga legislatif menjalankan fungsinya tidak
secara otomatis menjamin berjalannya salah satu pilar trias politica itu.
Diperlukan prasayarat mutlak lainnya: kualitas sumber daya manusia
(SDM) yang merupakan refresentasi dari rakyat yang diwakilinya.
Pada dasarnya, sejauh pengamatan saya, secara umum, lembaga
legislatif, terutama pada Daerah Tingkat I dan II, belum dapat
menjalankan fungsinya secara maksimal sesuai dengan undang-undang
dan peraturan yang berlaku. Hal ini lebih disebabkan oleh, menurut
hemat saya, belum memadainya kualifikasi SDM kita sebagai lembaga
perwakilan rakyat. Akibatnya, fungsi-fungsi utama kita sebagai wakil
rakyat belum dapat diperankan secara maksimal. Meski kondisi ini, pada
tingkat tertentu, masih dapat ditolerir mengingat relatif barunya kita,
baik sebagai lembaga maupun individu, mendapat mandat sebagai
anggota dewan, namun untuk masa depan kita mesti mau, dan harus
mau, membuka diri untuk belajar dan dikoreksi.
Sebagai penutup, pada kesempatan yang langka ini saya ingin
menghimbau kita semua untuk terus konsisten kepada niat awal kita,
sambil terus memperbaharui niat itu kearah yang lebih baik, sebagai
wakil rakyat yang harus senantiasa memnunjukkan keberpihakan kita
kepada rakyat, terutama mereka yang tidak teruntungkan oleh struktur
yang tidak adil dan tidak berpihak kepada mereka. Singkatnya, fungsi
yang melekat pada diri kita sebagai wakil rakyat sudah seharusnya
diorientasikan kepada kepentingan rakyat yang kita wakili.
Selamat menunaikan tugas…! Semoga Tuhan senantiasa bersama kita.
[Penulis adalah Sekretaris Fraksi Partai Demokrat /Anggota Komisi E,
dan Anggota Panitia Anggaran DPRD Prov. Jawa Barat]
Recommended